pemodelan regresi spasial

13
1 Abstrak Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan salah satu penentu derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya AHH yang rendah menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat juga rendah. AHH di Provinsi Papua Barat dalam skala nasional masih tergolong rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji indikator-indikator yang mempengaruhi Angka Harapan Hidup (AHH) di Provinsi Papua Barat dan mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap besarnya AHH. Pendekatan yang digunakan dalam pemodelan ini yaitu regresi linier berganda dan regresi spasial (dimana terdapat indikasi adanya pengaruh dependensi spasial besarnya AHH antar lokasi). Kriteria pemilihan model berdasarkan AIC dan R 2 . Diperoleh model regresi spasial error yang sesuai untuk memodelkan AHH di Provinsi Papua Barat, karena diperoleh nilai AIC kecil dan R 2 yang besar dengan variabel yang berpengaruh terhadap AHH yaitu persentase RT dengan penolong kelahiran pertama tenaga ahli kesehatan dan besarnya Angka Melek Huruf. Kata Kunci Angka Harapan Hidup, Autokorelasi Spasial, Regresi Spasial Error I. PENDAHULUAN esehatan merupakan suatu tolok ukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi indeks angka kesehatan maka dapat dikatakan masyarakat semakin sejahtera. Banyak indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesehatan masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Angka Harapan Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Jadi Angka Harapan Hidup merupakan salah satu indikator dari kesehatan. Angka Harapan Hidup yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program pemberantasan kemiskinan. Di Indonesia pencatatan Angka Harapan Hidup dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS, Angka Harapan Hidup di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada periode 1995-2000 indeks Angka Harapan Hidup di Indonesia menunjukan angka 66, pada periode 2000-2005 menunjukan angka 67,8, pada periode 2005-2010 menunjukan angka 69,1, dan pada periode 2010- 2013 menunjukan angka 70,1. Angka Harapan Hidup di Indonesia cenderung naik setiap tahunnya. Akan tetapi ada beberapa provinsi Angka Harapan Hidupnya masih dibawah Indonesia, salah satunya yaitu Provinsi Papua Barat. Pada tahun 2013 indeks Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat menunjukan angka 69,14. Angka tersebut masih dibawah dari 70,1 yang merupakan indeks Angka Harapan Hidup Indonesia pada tahun 2013. Menurut World Bank adapun indikator-indikator dari Harapan Hidup yaitu angka bebas cacat, kesehatan yang bagus, dan bebas dari penyakit. Angka Harapan Hidup akan tinggi jika angka bebas cacat tinggi, kesehatan yang bagus dan penduduk bebas dari penyakit. Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat disingkat Irjabar) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Papua. Papua Barat merupakan salah satu provinsi termuda pemekaran dari Provinsi Papua dengan ibukota provinsinya adalah Kabupaten Manokwari. Provinsi Papua Barat terletak antara 0 4 derajat Lintang Selatan dan 124 132 derajat Bujur Timur, tepat dibawah garis katulistiwa dengan ketinggian 0 100 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Provinsi Papua Barat sebesar 126.093 kilometer persegi. Pada tahun 2013, Provinsi Papua Barat memiliki 10 Kabupaten dan 1 Kota, namun pada akhir tahun 2014 sudah mengalami pemekaran. Sebagai salah satu provinsi baru, Angka Harapan Hidup di Provinsi Barat masih tergolong rendah dibandingkan dengan AHH di Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi perhatian bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam penelitian ini dikaji indikator-indikator yang mempengaruhi Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat. Indikator-indikator yang digunakan beracuan dari indikator-indikator yang digunakan oleh World Bank. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu persentase rumah tangga (RT) dengan penolong kelahiran pertama tenaga ahli kesehatan, persentase RT dengan fasilitas sanitasi layak, persentase RT dengan fasilitas air minum bersih, Angka Kesakitan Penduduk, Angka Melek Huruf Penduduk. Terbatasnya akses transportasi serta kesulitan dalam komunikasi antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat diduga berpengaruh terhadap Angka Harapan Hidup. Menurut Draper dan Smith (1981), metode yang bisa digunakan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan varibel yang mempengaruhinya yaitu regresi linier. Regresi linier mampu menunjukan besar-kecilnya pengaruh dari variabel prediktor terhadap variabel respon. Akan tetapi kekurangan dari regresi linier yaitu tidak dapat menangkap efek dari spasial. Anselin (1988) mengembangkan regresi linier menjadi regresi spasial. Regresi spasial dapat Pemodelan Regresi Spasial dan Aplikasinya pada Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat Muktar Redy Susila, Eva Khoirun Nisa, Maulidiah Nitivijaya Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Email: [email protected], [email protected], [email protected] K

Upload: ratkum-alisus

Post on 12-Dec-2015

102 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Pemodelan Regresi Spasial dan Aplikasinya pada Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat

TRANSCRIPT

Page 1: Pemodelan Regresi Spasial

1

Abstrak — Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan

salah satu penentu derajat kesehatan masyarakat. Pada

umumnya AHH yang rendah menunjukkan bahwa tingkat

kesejahteraan masyarakat juga rendah. AHH di Provinsi

Papua Barat dalam skala nasional masih tergolong rendah.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji indikator-indikator

yang mempengaruhi Angka Harapan Hidup (AHH) di Provinsi

Papua Barat dan mengetahui faktor yang paling berpengaruh

terhadap besarnya AHH. Pendekatan yang digunakan dalam

pemodelan ini yaitu regresi linier berganda dan regresi spasial

(dimana terdapat indikasi adanya pengaruh dependensi spasial

besarnya AHH antar lokasi). Kriteria pemilihan model

berdasarkan AIC dan R2. Diperoleh model regresi spasial error

yang sesuai untuk memodelkan AHH di Provinsi Papua Barat,

karena diperoleh nilai AIC kecil dan R2 yang besar dengan

variabel yang berpengaruh terhadap AHH yaitu persentase RT

dengan penolong kelahiran pertama tenaga ahli kesehatan dan

besarnya Angka Melek Huruf.

Kata Kunci — Angka Harapan Hidup, Autokorelasi Spasial,

Regresi Spasial Error

I. PENDAHULUAN

esehatan merupakan suatu tolok ukur tingkat

kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi indeks

angka kesehatan maka dapat dikatakan masyarakat

semakin sejahtera. Banyak indikator yang digunakan untuk

mengetahui tingkat kesehatan masyarakat. Menurut Badan

Pusat Statistik (BPS) Angka Harapan Hidup merupakan alat

untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan

kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan

derajat kesehatan pada khususnya. Jadi Angka Harapan

Hidup merupakan salah satu indikator dari kesehatan. Angka

Harapan Hidup yang rendah di suatu daerah harus diikuti

dengan program pembangunan kesehatan, dan program

sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan

gizi dan kalori termasuk program pemberantasan

kemiskinan.

Di Indonesia pencatatan Angka Harapan Hidup

dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS,

Angka Harapan Hidup di Indonesia mengalami kenaikan

setiap tahunnya. Pada periode 1995-2000 indeks Angka

Harapan Hidup di Indonesia menunjukan angka 66, pada

periode 2000-2005 menunjukan angka 67,8, pada periode

2005-2010 menunjukan angka 69,1, dan pada periode 2010-

2013 menunjukan angka 70,1. Angka Harapan Hidup di

Indonesia cenderung naik setiap tahunnya. Akan tetapi ada

beberapa provinsi Angka Harapan Hidupnya masih dibawah

Indonesia, salah satunya yaitu Provinsi Papua Barat. Pada

tahun 2013 indeks Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua

Barat menunjukan angka 69,14. Angka tersebut masih

dibawah dari 70,1 yang merupakan indeks Angka Harapan

Hidup Indonesia pada tahun 2013.

Menurut World Bank adapun indikator-indikator dari

Harapan Hidup yaitu angka bebas cacat, kesehatan yang

bagus, dan bebas dari penyakit. Angka Harapan Hidup akan

tinggi jika angka bebas cacat tinggi, kesehatan yang bagus

dan penduduk bebas dari penyakit.

Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat disingkat

Irjabar) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di

bagian barat Pulau Papua. Papua Barat merupakan salah satu

provinsi termuda pemekaran dari Provinsi Papua dengan

ibukota provinsinya adalah Kabupaten Manokwari. Provinsi

Papua Barat terletak antara 0 – 4 derajat Lintang Selatan dan

124 – 132 derajat Bujur Timur, tepat dibawah garis

katulistiwa dengan ketinggian 0 – 100 meter dari permukaan

laut. Luas wilayah Provinsi Papua Barat sebesar 126.093

kilometer persegi. Pada tahun 2013, Provinsi Papua Barat

memiliki 10 Kabupaten dan 1 Kota, namun pada akhir tahun

2014 sudah mengalami pemekaran. Sebagai salah satu

provinsi baru, Angka Harapan Hidup di Provinsi Barat masih

tergolong rendah dibandingkan dengan AHH di Indonesia.

Hal ini tentu saja menjadi perhatian bagi pemerintah

khususnya pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat.

Dalam penelitian ini dikaji indikator-indikator yang

mempengaruhi Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua

Barat. Indikator-indikator yang digunakan beracuan dari

indikator-indikator yang digunakan oleh World Bank.

Indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

persentase rumah tangga (RT) dengan penolong kelahiran

pertama tenaga ahli kesehatan, persentase RT dengan

fasilitas sanitasi layak, persentase RT dengan fasilitas air

minum bersih, Angka Kesakitan Penduduk, Angka Melek

Huruf Penduduk. Terbatasnya akses transportasi serta

kesulitan dalam komunikasi antar wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Papua Barat diduga berpengaruh terhadap Angka

Harapan Hidup.

Menurut Draper dan Smith (1981), metode yang bisa

digunakan untuk mengetahui hubungan suatu variabel

dengan varibel yang mempengaruhinya yaitu regresi linier.

Regresi linier mampu menunjukan besar-kecilnya pengaruh

dari variabel prediktor terhadap variabel respon. Akan tetapi

kekurangan dari regresi linier yaitu tidak dapat menangkap

efek dari spasial. Anselin (1988) mengembangkan regresi

linier menjadi regresi spasial. Regresi spasial dapat

Pemodelan Regresi Spasial dan Aplikasinya pada Angka

Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat

Muktar Redy Susila, Eva Khoirun Nisa, Maulidiah Nitivijaya

Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

K

Page 2: Pemodelan Regresi Spasial

2

mengetahui pengaruh variabel prediktor terhadap variabel

respon dan efek spasial.

Tujuan penelitian ini adalah memodelkan Angka

Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat menggunakan

regresi spasial. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat

mengetahui variabel-variabel prediktor yang berpengaruh

signifikan terhadap variabel respon dan dapat mengetahui

adanya efek spasial terhadap Angka Harapan Hidup antar

wilayah di Provinsi Papua Barat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Analisis Regresi

Analisis regresi adalah analisis yang digunakan untuk

menyatakan pola hubungan antara satu variabel respon dan

satu atau lebih variabel prediktor. Apabila variabel prediktor

berjumlah lebih dari satu maka digunakan analisis regresi

linier berganda. Untuk pengamatan sebanyak n dengan

variabel prediktor X sebanyak p maka model regresi linear

berganda dapat diformulasikan dalam bentuk matriks sebagai

berikut (Draper dan Smith, 1981).

(1)

dengan

111 121 0 1

221 122 1 2

1 2

1

1, , ,

1

p

p

n nn p nnp

xx xy

xx xyy X

x xy x

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam regresi

dengan beberapa variabel prediktor adalah tidak adanya

korelasi antara satu variabel prediktor dengan variabel

prediktor lainnya. Adanya korelasi dalam suatu model

regresi menyebabkan taksiran parameter regresi yang

dihasilkan akan memiliki error yang sangat besar. Kasus

multikolinieritas dapat dilihat melalui nilai Variance

Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF lebih besar dari 10

maka terdapat indikasi multikolinieritas (Hocking, 1996).

Pendugaan vektor β dapat dilakukan pendugaan dengan

menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan

didapatkan hasil sebagai berikut: 1( ' ) ( ' )X X X Y (2)

Pengujian terhadap dilakukan dengan dua cara yaitu

pengujian secara serentak dan pengujian secara individu. Uji

serentak merupakan pengujian secara bersama semua

parameter dalam model regresi. Hipotesis yang digunakan

adalah:

H0 : 1 2 ... 0j

H1 : paling tidak ada satu 0j , j = 1, 2, ... p

Statistik uji yang digunakan adalah

2

1

2

1

/ ( )

/ ( 1)

n

i

ihitung n

ii

i

Y Y pMSR

FMSE

Y Y n p

(3)

MSR :Mean Square Regression

MSE :Mean Square Error

Pengambilan keputusan adalah apabila Fhitung > F𝛼(p, n-p-1)

dengan p adalah parameter maka H0 ditolak pada tingkat

signifikansi 𝛼, artinya paling sedikit ada satu j yang tidak

sama dengan nol. Pengambilan keputusan juga dapat melalui

P-value dimana H0 ditolak jika P-value < 𝛼.

Uji parsial merupakan pengujian secara individu setiap

parameter dalam model regresi yang bertujuan untuk

mengetahui signifikansi parameter model regresi. Hipotesis

yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0 : 0j

H1 : 0j , j = 1, 2, ..., p

Statistik uji yang digunakan adalah

( )

j

hitung

j

tS

(4)

dengan 2 1( ) ( ' ) ( ' ' ' ) / 1jS X X Y Y X Y n p

Pengambilan keputusannya yaitu apabila |thitung| > t(1- 𝛼/2,

n-p-1) dengan p adalah parameter maka H0 ditolak pada tingkat

signifikansi 𝛼, artinya ada pengaruh variabel Xj terhadap

variabel respon. Pengambilan keputusan juga dapat melalui

P-value, dimana H0 ditolak jika P-value < α.

B. Pengujian Asumsi Regresi Klasik

1. Pengujian Multikolinieritas

Untuk melihat apakah variabel prediktor yang kita

pergunakan mengandung unsur multikolinieritas maka

dapat diperlihatkan dengan nilai VIF (Variance Inflation

Factor). Apabila VIF > 10 maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat multikolinieritas pada variabel prediktor.

2. Pengujian Normalitas

Salah satu asumsi klasik yang harus dipenuhi dalam

analisis regresi linier yaitu residual harus menyebar normal

atau ε ∼ N(0, σ2

). Uji normalitas dapat dilakukan dengan

beberapa cara, salah satunya yaitu melalui uji Jarque Bera.

Poitras (2005) menyatakan bahwa statistik uji Jarque Bera

memperhitungkan skewness dan kurtosis suatu distribusi

data. Pendekatan yang dilakukan yaitu dengan memeriksa

momen ketiga dan keempat dari galat. Hipotesis uji Jarque

Bera (Brys, et al, 2004).

H0 : i = 0 (residual berdistribusi normal)

H1 : i ≠ 0 (residual tidak berdistribusi normal)

α = 0.05

24

3K

6

SNJB

22 )( 22 (5)

dengan

S =

22

3

mm

m

K = 2

2

4

)(m

m

sedangkan mk adalah momen ke-k dengan persamaan

mk = i

ki yY

1N

1)(

)( (6)

Y X

Page 3: Pemodelan Regresi Spasial

3

keterangan:

JB : statistik uji untuk uji Jarque Bera

N : banyaknya sampel

S : skewness (ke-asimetrian) distribusi

K : kurtosis (kelandaian) distribusi

m2 : momen kedua dari fungsi distribusi yang diuji

m3 : momen ketiga dari fungsi distribusi yang diuji

m4 : momen keempat fungsi ditribusi yang diuji.

Apabila statistik uji JB > 2(2) atau p-value < , maka H0

ditolak artinya residual tidak berdistribusi normal.

3. Pengujian Homoskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis

klasik regresi linier yaitu residual bersifat homoskedastik,

yaitu residual memiliki varians yang sama atau E(2)=2.

Untuk menguji apakah residual pada regresi linier bersifat

homoskedastik, dapat dilakukan melalui uji Breusch Pagan.

Hipotesisnya adalah sebagai berikut (Hansen, 2001):

H0 : 21 = 2

2 = ..... = 2N

H1 : paling tidak ada 1 σ2 yang berbeda

Sedangkan statistik uji Breusch Pagan yaitu

)(

)(

/

1kn

R1

kRF

2

2

2

2

F ,(k,n-k-1) (7) (2.4)

dimana k = banyaknya peubah bebas 2

2R

diperoleh dengan cara meregresikan residual terhadap k

variabel prediktor yang dilibatkan termasuk intersep. R-

square dari regresi tersebut yang dinamakan 22R

. Apabila

statistik uji F > F (k,n-k-1) atau p-value > maka H0 ditolak,

artinya varians residual tidak homogen atau tidak identik.

C. Regresi Spasial

Model regresi spasial dikembangkan oleh Anselin

(1988) menggunakan data spasial cross section. Model dari

regresi spasial secara umum ditunjukkan dengan

1Y W Y X u (8)

2

2(0, )

u W u

N

dimana Y adalah vektor variabel respon yang berukuran n x 1

dan X adalah matrik variabel prediktor, berukuran n x (p+1).

β adalah vektor parameter koefisien regresi, berukuran

(p+1) x 1. ρ adalah koefisien spasial lag variabel respon. λ

merupakan koefisien spasial lag pada error yang bernilai

λ < 1. W1 dan W2 adalah matriks pembobot yang berukuran

n x n. u adalah vektor error yang berukuran n x 1, yang

berdistribusi normal dengan mean nol dan varians σ2.

1 2 1 2

1 2

'; ';

'

n n

n

Y Y Y Y u u u u

11 1 0

21 2 1

1

1

1;

1

p

p

pn np

X X

X XY

X X

1W atau

11 12 1

21 22 22

1 2

n

n

n n nn

W W W

W W WW

W W W

Terdapat empat model yang bisa dibentuk dari model

uum regresi spasial yaitu sebagai berikut:

1) Apabila ρ = 0, λ = 0 maka persamaan menjadi:

Y XB (9)

Persamaan ini disebut model regresi Ordinary Least

Square (OLS), yaitu regresi yang tidak mempunyai efek

spasial.

2) Apabila ρ ≠ 0, λ = 0 maka persamaan menjadi:

Y = ρW1Y + XB + ε (10)

Persamaan (8) disebut sebagai regresi Spatial Lag

Model (SLM) atau biasa disebut dengan Spatial

Autoregresive Models (SAR).

3) Apabila ρ = 0, λ ≠ 0 maka persamaan menjadi:

Y = XB + u , u = λW2u + ε (11)

Persamaan (9) disebut juga regresi Spatial Error Model

(SEM).

4) Apabila ρ ≠ 0, λ ≠ 0 maka persamaan menjadi:

Y = ρW1Y + Xβ + u, u = λW2u + ε (12)

Persamaan (10) disebut General Spatial Model atau

disebut juga model Spatial Autoregressive Moving

Average (SARMA).

Identifikasi efek spasial yaitu spatial dependence dan spatial

heterogeneity pada data digunakan beberapa metode

pengujian. Metode Moran’s I dan Lagrange Multiplier (LM)

untuk mengidentifikasi spatial dependence.

Pengecekan Moran’s I menggunakan persamaan berikut.

*

1 1

2

1

( )( )

( )

n n

ij i j

i j

n

i

i

W y y y y

I

y y

(13)

Untuk mengetahui apakah indeks Moran’s I menunjukan

adanya autokorelasi spasial maka dilakukan pengujian

Moran’s I dengan hipotesis.

H0: Tidak terdapat autokorelasi spasial

H1: Terdapat autokorelasi spasial

Statistik Uji :

( )

var( )I

I E IZ

I

(14)

Dengan

1

( )1

E In

2 221 2 0

2 20

3var( ) ( )

( 1)

n S nS SI E I

n S

0

1 1

n n

ij

i j

S w

2

1

1 1

1

2

n n

ij ji

i j

S w w

Page 4: Pemodelan Regresi Spasial

4

2

2 .

1

n

i i

i

S w w

Keputusan adalah Tolak H0 jika nilai statistik uji lebih dari

1Z .

Pada LM test diperoleh berdasar pada asumsi model di

bawah H0.

a) H0 : ρ = 0 dengan H1 : ρ ≠ 0 (untuk model SAR)

b) H0 : λ = 0 dengan H1 : λ ≠ 0 (untuk model SEM)

c) H0 : ρ, λ = 0 dengan H1 : ρ, λ ≠ 0 (untuk model

SARMA)

Statistik uji yang digunakan adalah:

1 2 2 222 12 e 11 ( )( ) 2 (R ) ( )y y mLM E R T R T D T (15)

dengan

m = jumlah parameter spasial (SAR = 1, SEM = 1,

SARMA = 2)

21

2e 2

1

21 1

211 22 12

' /

R ' /

( ' ) '

' , , 1, 2

( ) ' ( )

( ) ( )

y

fg f g f g

R e W y

e W e

M I X X X X

T tr W W W W f g

D W X M W X

E D T T T

e adalah least square residual untuk observasi. Jika matriks

penimbang spasial W1 = W2 = W maka T11 = T12 = T22 = T =

tr{(W’ + W) W}.Keputusan tolak H0 jika nilai LM > 2( )m .

Metode regresi spasial erat kaitannya dengan

penggunaan bobot, yang mana menunjukkan ukuran

hubungan lokasi. Dalam penelitian ini bobot yang digunakan

adalah pembobot customize dimana penentuan bobot ini

berdasarkan karakteristik kemiripan antar lokasi satu dengan

lainnya (memiliki kesamaan kekhasan).

Pemilihan model terbaik dilakukan untuk mendapatkan

faktor yang paling mendukung penelitian. Beberapa ukuran

sebagai kriteria pemilihan model terbaik yang digunakan

adalah Akaike’s Information Criteria (AIC) dan R2. Wei

(2006) mendefinisikan AIC sebagai berikut

AIC (M) = n Ln(2

a ) + 2M (16)

dimana n adalah banyaknya pengamatan efektif yaitu

banyaknya pengamatan yang diikutkan dalam proses

penaksiran parameter,2

a merupakan estimator maksimum

likelihood dari 2

a , dan M adalah banyaknya parameter

yang diestimasi dalam model.

III. METODOLOGI

A. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data

Angka Harapan Hidup kabupaten/kota di Papua Barat

beserta variabel-variabel yang diduga mempengaruhi Angka

Harapan Hidup. Data yang digunakan merupakan data

sekunder yang diperoleh dari BPS Provinsi Papua Barat

tahun 2013.

Tabel 1. Variabel Penelitian

Nama Uraian Skala

Y Angka Harapan Hidup Tahun

X1

Persentase RT dengan Penolong

Kelahiran Pertama Tenaga Ahli

Kesehatan

Persen

X2 Persentase RT dengan Fasilitas Sanitasi

Layak Persen

X3 Persentase RT dengan Fasilitas Air

Minum Bersih Persen

X4 Angka Kesakitan Penduduk Persen

X5 Angka Melek Huruf Penduduk Persen

Adapun jumlah kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat

sebanyak 11 kota/kabupaten. Berikut adalah peta wilayah

dari Provinsi Papua Barat beserta nama kota/kabupaten yang

berada di Provinsi Papua Barat.

Gambar 1. Peta Provinsi Papua Barat

B. Definisi Operasional Variabel

Pada penelitian ini, variabel yang dipergunakan adalah

sebagai berikut:

1. Angka Harapan Hidup, yaitu perkiraan banyaknya tahun

yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup

(secara rata-rata)

2. Penolong kelahiran pertama oleh tenaga ahli kesehatan

yaitu meliputi dokter atau bidan.

3. Fasilitas sanitasi (tempat buang air besar) adalah

ketersediaan jamban/kakus yang dapat digunakan oleh

rumah tangga (RT).

a. Sendiri, adalah bila fasilitas tempat buang air besar

hanya digunakan oleh satu RT.

b. Bersama, adalah bila fasilitas tempat buang air

besar digunakan oleh RT bersama dengan beberapa

RT tertentu.

c. Umum, adalah bila fasilitas tempat buang air besar

dapat digunakan oleh setiap RT.

d. Tidak ada, adalah bila RT tidak mempunyai fasilitas

tempat buang air besar.

Sanitasi yang layak yaitu jika ketersediaan

jamban/kakus dipakai sendiri atau oleh satu RT.

4. Fasilitas air minum bersih, adalah instalasi air minum

yang dikelola oleh PAM (Perusahaan Air

Minum)/PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) atau

non-PAM/PDAM, termasuk sumur dan pompa. Instalasi

yang dikelola oleh non-PAM/PDAM dapat

menggunakan cara penjernihan air yang sama atau

berbeda dengan PAM/PDAM, seperti penyaluran air

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARI

SORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

Page 5: Pemodelan Regresi Spasial

5

dari mata air ke rumah dengan menggunakan pipa atau

bambu.

a. Sendiri, adalah bila fasilitas air minum hanya

digunakan oleh satu rumah tangga.

b. Bersama, adalah bila fasilitas air minum digunakan

oleh rumah tangga bersama dengan beberapa rumah

tangga tertentu.

c. Umum, adalah bila fasilitas air minum dapat

digunakan oleh setiap rumah tangga.

d. Tidak ada, adalah bila rumah tangga tidak

mempunyai fasilitas air minum, walaupun ada

fasilitas air minum jaraknya > 2,5 km. Mengambil

air langsung dari sungai atau air hujan dianggap

tidak ada fasilitas.

Fasilitas air minum yang bersih yakni apabila fasilitas

air minum dipakai sendiri oleh satu rumah tangga.

5. Angka Kesakitan Penduduk menunjukkan persentase

penduduk yang mengalami keluhan kesehatan yang

menyebabkan gangguan terhadap aktivitas sehari-hari

seperti bekerja, sekolah, atau mengerjakan pekerjaan

rumah.

6. Angka Melek Huruf, yaitu persentase penduduk usia 15

tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf

latin dan atau huruf lainnya.

C. Langkah Analisis

Langkah-langkah analisis yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membuat peta Provinsi Papua Barat berdasarkan Angka

Harapan Hidup dan variabel prediktor yang diduga

mempengaruhi Angka Harapan Hidup.

2. Mengidentifikasi pola hubungan faktor-faktor penyebab

Angka Harapan Hidup (variabel prediktor) terhadap

Angka Harapan Hidup (variabel respon).

3. Melakukan pemodelan regresi OLS, melakukan

pengujian signifikansi parameter dan melakukan

pengujian residualnya.

4. Menentukan pembobot antar lokasi yang digunakan

dalam penelitian.

5. Identifikasi awal efek spasial yang akan digunakan

dengan melihat parameter mana yang signifikan pada

hasil Moran’s I dan pengujian dependensi spasial

melalui LM test.

6. Melakukan pemodelan regresi spasial dan melakukan

pengujian signifikansi koefisien spasial lag (ρ) dan

koefisien spasial error (λ) serta uji residual.

7. Menentukan model terbaik.

8. Intepretasi Model.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Angka Harapan Hidup dan Variabel

Prediktor di Papua Barat

Angka Harapan Hidup antar kabupaten/kota di Papua

Barat memiliki variansi yang cukup rendah, artinya tingkat

Angka Harapan Hidup antar kabupaten/kota memiliki angka

yang tidak jauh berbeda.

Tabel 2.Statistika Deskriptif Tingkat Penganguran Terbuka

Variabel Rata-rata Varians Minimum Maksimum

Y 68,649 3,809 66,48 72,52

X1 52,32 372,2 28,57 83,7

X2 48,8 397,73 16,79 74,32

X3 41,35 433,49 15,79 81,38

X4 11,1 17,53 4,44 20,09

X5 90,63 37,8 77,38 98,47

Akan tetapi untuk variabel kelahiran pertama oleh tenaga ahli

kesehatan, persentase RT dengan fasilitas sanitasi layak, dan

persentase RT dengan fasilitas air minum bersih memiliki

varians yang tinggi, artinya variabel-variabel tersebut

memiliki variansi angka-angka untuk masing-masing

variabel yang berbeda antara wilayah satu dengan wilayah

lainnya.

Gambar 2. Persebaran Angka Harapan Hidup

Untuk Angka Harapan Hidup tertinggi yaitu Kota Sorong,

sedangkan Angka Harapan Hidup paling rendah yaitu

Kabupaten Tambrauw. Hal ini cukup wajar karena

Kabupaten Tambrauw masih tergolong kabupaten baru yang

merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong, sedangkan

Kota Sorong merupakan satu-satunya wilayah Papua Barat

yang berstatus kota dimana sudah memiliki fasilitas

kesehatan yang cukup lengkap. Rata-rata di Papua Barat

memiliki Angka Harapan Hidup 68,649.

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARISORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

AHH

66.48 - 66.99

66.99 - 70.11

70.11 - 72.52

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARISORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

28.57 - 40.840.8 - 64.3564.35 - 83.7

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARISORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

16.79 - 32.51

32.51 - 55.41

55.41 - 74.32

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARISORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

15.79 - 24.03

24.03 - 40.75

40.75 - 81.38

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARISORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

4.44 - 8.23

8.23 - 14.87

14.87 - 20.09

a) b)

c) d)

Page 6: Pemodelan Regresi Spasial

6

Gambar 2. Persebaran Variabel Prediktor ( a=X1, b=X2, c=X3, d=X4, e=X5)

Untuk kelahiran pertama tenaga ahli kesehatan, persentase RT

dengan fasilitas sanitasi layak, persentase RT dengan fasilitas

air minum bersih, Angka Kesakitan Penduduk, dan Angka

Melek Huruf Penduduk yang memiliki angka paling tinggi

yaitu Kota Sorong,Kota Sorong, Kabupaten Sorong,

Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Fak-fak.

Untuk mengetahui pola hubungan antara Angka

Harapan Hidup dengan variabel-variabel prediktornya, maka

dilakukan analisis scatter plot dan korelasi antara varibel

Angka Harapan Hidup dengan variabel-variabel

prediktornya sebagai berikut:

Gambar 3. Scatter PlotVariabel Respon dengan Variabel Prediktor

Tabel 3.Korelasi Antara Variabel Respon dan Variabel Prediktor

X1 X2 X3 X4 X5

Y

Korelasi

Pearson 0,901 0,762 0,68 0,126 0,67

P-value 0,000* 0,006* 0,021* 0,713 0,024*

Berdasarkan Scatter Plot pada Gambar 3 dapat dijelaskan

hubungan antara variabel Y dengan X1, X2, X3, X5 yaitu

positif dan saling berkorelasi. Sedangkan Variabel Y dengan

X4 tidak terlalu signifikan, karena garis regresi yang

terbentuk dari scatter plot landai. Diperkuat juga tidak

adanya korelasi yang signifikan antara Variabel Y dengan

X4. Berdasarkan uraian hubungan pola antara Angka

Harapan Hidup dengan variabel-variabel prediktornya dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara Angka

Harapan Hidup dengan Angka Kesakitan Penduduk dengan

kata lain Angka Harapan Hidup tidak dipengaruhi oleh

Angka Kesakitan Penduduk. Pendapat ini akan diperkuat

dengan analisis regresi linier berganda pada pembahasan

selanjutnya.

B. Pemodelan Regresi Linier Berganda

Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel respon dengan variabel

prediktor. Regresi linier berganda dapat menunjukan

variabel prediktor yang signifikan mempengaruhi varibel

respon dan mengetahui seberapa besar pengaruhnya. Berikut

hasil analisis regresi linier berganda antara Angka Harapan

Hidup dengan variabel-variabel prediktornya.

Tabel 4. Analisis Regresi Linier Berganda Variabel Respon dengan

Variabel Prediktor

Prediktor Koefisien SE

Koefisien t

P-

Value

Konstanta 55,766 4,217 13,22 0,000*

X1 0,12154 0,02796 4,35 0,007*

X2 -0,06225 0,02963 -2,1 0,09**

X3 0,01776 0,01607 1,11 0,319

X4 -0,04232 0,05997 -0,71 0,512

X5 0,10258 0,0496 2,07 0,093**

Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa variabel

kelahiran pertama tenaga ahli kesehatan berpengaruh signifikan

terhadap Angka Harapan Hidup pada taraf alfa 5%. Sementara

itu variabel persentase RT dengan fasilitas sanitasi layak dan

Angka Melek Huruf Penduduk berpengaruh signifikan

terhadap Angka Harapan Hidup pada taraf alfa 10%. Untuk

variabel prediktor yang lainnya tidak berpengaruh terhadap

Angka Harapan Hidup. Selanjutnya untuk mendapatkan model

regresi yang sesuai dilakukan proses stepwise. Dalam

pemilihan model pada regresi stepwise dipilih model yang

memiliki CP Mallows yang terkecil dan nilai R2 yang tinggi

sehingga dengan regresi stepwise diperoleh model yang sesuai

yaitu sebagai berikut.

Tabel 5. Analisis Regresi Linier Berganda Variabel Respon dengan

Variabel Prediktor yang Sesuai

Prediktor Koefisien SE

Koefisien t P-Value VIF

Konstanta 54,7767 7,15982 7,651 0,000*

X1 0,10031 0,02736 3,666 0,006* 1,365

X5 0,09817 0,08585 1,143 0,086** 1,365

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh model regresi yang sesuai

dengan variabel prediktor signifikan pada taraf alfa 10%.

Pada model tersebut tidak terdapat kasus nilai

multikolinieritas, dapat dilihat pada nilai VIF yang kecil

(VIF < 10). Untuk selanjutnya yaitu pengecekan asumsi

residual dari model yang didapat.

Tabel 6. Uji Jarque Bera

DF Statistik Uji P-value

2 0,7338 0,69288

Berdasarkan residual yang dihasilkan dari model, dapat

disimpulkan dengan uji Jarque Bera data berdistribusi

normal dengan nilai P-value > 0,05.

KAIMANA

FAKFAK

TELUK BINTUNI

MANOKWARISORONG

TAMBRAUW

TELUK WONDAMA

MAYBRAT

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

KOTA SORONG

77.38

77.38 - 91.84

91.84 - 98.47

806040 604020 906030

72.5

70.0

67.5

65.0

18126

72.5

70.0

67.5

65.0

1009080

X1

Y

X2 X3

X4 X5

e)

Page 7: Pemodelan Regresi Spasial

7

Tabel 7. Uji Breusch-Pagan

Tes DF Statistik Uji P-value

Breusch-Pagan 2 8,6043 0,01354*

Selanjutnya yaitu pengujian untuk residual identik

menggunakan uji Breusch Pagan. Tabel 7 menunjukkan

bahwa dengan alfa sebesar 5%, p-value statistik uji Breusch-

Pagan berada di luar wilayah penolakan H0 sehingga dapat

disimpulkan bahwa asumsi varians residual homogen

(identik) tidak terpenuhi. Untuk pengujian asumsi residual

independen model regresi dilakukan dengan uji Durbin-

Watson. Berdasarkan hasil pengujian dengan diperoleh nilai

statistik uji Durbin-Watson sebesar 1,611. Dengan

menggunakan nilai d tabel yaitu dL sebesar 0,807. Maka

diperoleh informasi bahwa dhitung lebih dari dL,α/2(1,44969 >

0,807) yang tidak terjadi autokorelasi (independen) sehingga

residual dari model sudah memenuhi asumsi IIDN.

C. Pemodelan Regresi Spasial

Bobot matriks yang dipergunakan pada penelitian ini

yaitu bobot customize dengan pertimbangan sebagai berikut:

i. Wilayah Papua Barat terdiri atas wilayah pegunungan

dan kepulauan dimana tidak semua wilayah dapat

ditempuh dengan perjalanan darat.

ii. Seringkali batas wilayah antar kabupaten/kota belum

mempunyai akses transportasi secara langsung (mudah),

jadi harus menyesuaikan dengan wilayah yang memiliki

pelabuhan atau Bandar udara.

iii. Secara tidak langsung dengan terbatasnya akses

transportasi diduga dapat mempengaruhi kemajuan antar

wilayah baik dari sisi perkembangan sosial, roda

perekonomian, kualitas kesehatan dan juga kemajuan

pendidikan.

Dengan mempertimbangkan akses transportasi dan

perkembangan informasi, maka diperoleh bobot customize

seperti dibawah ini:

Matriks Bobot Customize Kode

Kab 9101 9102 9103 9104 9105 9106 9107 9108 9109 9110 9171

9101 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1

9102 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1

9103 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

9104 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1

9105 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1

9106 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0

9107 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1

9108 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

9109 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0

9110 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0

9171 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 0

Sebelum dilakukan pemodelan regresi spasial maka

dilakukan identifikasi efek spasial (autokorelasi spasial)

sebagai berikut.

Tabel 8. Uji Autokorelasi Spasial

Tes MI/DF Statistik

Uji P-value

Moran's I (error) -0,5019 -1,9722 0,04859*

Lagrange Multiplier (lag) 1 0,9526 0,32905

Robust LM (lag) 1 0,0024 0,96093

Lagrange Multiplier

(error) 1 3,7199 0,05377**

Robust LM (error) 1 2,7697 0,09607**

Lagrange Multiplier

(SARMA) 1 3,7223 0,15549

Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi pada Tabel 8 dapat

diidentifikasi adanya autokorelasi spasial yaitu dengan

melihat p-value Moran’s I bahwa model regresi yang

dibentuk mengandung unsur dependensi spasial pada error.

Dengan alpha 10% maka diperoleh p-value pada LM error

sebesar 0,05377 dan Robust LM error sebesar 0,09607

dimana nilai tersebut lebih kecil dari alpha, sehingga

disimpulkan bahwa model regresi yang terbentuk melibatkan

unsur spasial error atau disebut Model Regresi Spasial Error/

Spatial Error Model (SEM). Dengan memasukkan unsur

spasial error maka dibentuklah model Regresi Spasial Error

Model sebagai berikut:

Tabel 9. Analisis Regresi Spasial Error Model

Variabel Koefisien Std, Error Statistik

Uji P-value

Konstanta 47,49097 4,428278 10,72448 0,00000*

X1 0,0820181 0,0171374 4,785918 0,00000*

X5 0,1899786 0,0546589 3,475712 0,00051*

Lamda -0,6057657 0,2770436 -2,18653 0,02878*

Pada pengujian signifikansi parameter Tabel 9 dapat

disimpulkan bahwa dengan alpha sebesar 5% parameter X1

(persentase RT dengan penolong kelahiran pertama tenaga ahli

kesehatan), X5 (Angka Melek Huruf Penduduk) dan parameter

lambda signifikan sehingga koefisien spasial error layak

untuk dipertimbangkan. Model regresi spasial error yang

terbentuk adalah sebagai berikut

1 5 1, 147,49097 0,080202 0,18998 0,60577 ,

ni i i i j ii j

Y X X W u

dengan Wij merupakan matriks pembobot spasial customize

berukuran 11 x 11. Residual yang dihasilkan dari model

bersifat identik (homoskedastik) pada taraf signifikansi 10%.

Berikut uji Breusch-Pagan untuk residual dari model.

Tabel 10. Uji Breusch-Pagan pada Regresi Spasial Error Model

DF Statistik Uji P-value

2 5,0469 0,08018**

P-value pada Tabel 10 sebesar 0,08018 < 0,10. Kesimpulan

yang diperoleh yaitu gagal tolak H0, artinya residual bersifat

homoskedastik (identik). Untuk pengujian normalitas dari

residual diperoleh nilai p-value 0,145, artinya gagal tolak H0

(Lampiran 6). Sehingga residual berdistribusi normal.

Sedangkan dilihat dari segi autokorelasi dari residual dapat

disimpulkan bahwa residual independen (Lampiran 7).

Page 8: Pemodelan Regresi Spasial

8

Sehingga model regresi spasial error sudah memenuhi asumsi

IIDN.

D. Perbandingan Model Regresi Linier Berganda (OLS)

dan Regresi Spasial Error (SEM)

Pada pembahasan sebelumnya diperoleh dua model

yang sesuai untuk memodelkan Angka Harapan Hidup di

Provinsi Papua Barat yaitu OLS dan regresi spasial error.

Sehingga untuk memilih model yang paling sesuai dilakukan

perbandingan nilai AIC dan R2, semakin kecil nilai AIC dan

semakin besar nilai R2 maka model dikatakan bagus. Berikut

perbandingan nilai AIC dan R2 dari kedua model tersebut:

Tabel 11. Perbandingan Nilai AIC dan R2 Model Regresi OLS dan SEM

Model Regresi AIC R2

OLS 56,620 76,496

SEM 37,465 85,596

Pada Tabel 11 terlihat bahwa dengan menggunakan model

SEM, diperoleh nilai R2 lebih besar dibandingkan model

Regresi OLS. Artinya model SEM dapat menjelaskan

varians dengan lebih baik. Selain itu nilai AIC yang

dihasilkan oleh model Regresi OLS nilainya lebih besar

daripada Regresi SEM, sehingga dapat disimpulkan bahwa

model Regresi SEM lebih baik untuk memodelkan Angka

Harapan Hidup di Papua Barat. Faktor yang paling

berpengaruh terhadap besarnya Angka Harapan Hidup yaitu

persentase RT dengan penolong kelahiran pertama oleh

tenaga ahli kesehatan dan Angak Melek Huruf serta

pengaruh spasial angka harapan hidup.

E. Intepretasi Model yang Sesuai

Interpretasi dari model regresi spasial error yang

terbentuk yaitu model SEM mampu menjelaskan variasi dari

persentase angka harapan hidup sebesar 85,59 persen,

sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model dimana

variabel yang paling berpengaruh yaitu persentase RT dengan

penolong kelahiran pertama tenaga ahli kesehatan dan

besarnya Angka Melek Huruf. Jika persentase RT dengan

penolong kelahiran pertama oleh tenaga ahli kesehatan

meningkat 10 persen maka akan meningkatkan Angka

Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat sebesar 0,8 tahun

(kurang lebih 10 bulan) dengan asumsi variabel lain

dianggap tetap. Apabila persentase angka melek huruf

penduduk meningkat sebesar 1% maka akan meningkatkan

Angka Harapan Hidup sebesar 0,18998 tahun (±2 bulan)

dengan asumsi variabel lain dianggap tetap. Apabila

dimodelkan per kabupaten, misalkan Kabupaten Fakfak

maka didapatkan bentuk sebagai berikut:

Y Fakfak = 47,49097 + 0,08202 X1 + 0,18998 X5 – 0,60577 (0.25

UKaimana + 0,25 UBintuni + 0,25 UManokwari + 0,25 Ukota Sorong)

= 47.49097 + 0.08202 X1 + 0.18998 X5 + 0.00569

= 47.49666 + 0.08202 X1 + 0.18998 X5

Angka Harapan Hidup pada Kab. Fakfak dipengaruhi

residual kab. Kaimana, Kab. Bintuni, Kab. Manokwari dan

Kota Sorong yang artinya terdapat dependensi antara Angka

Harapan Hidup pada kabupaten Fakfak dengan Angka

Harapan Hidup pada kab. Kaimana, Kab. Bintuni, Kab.

Manokwari dan Kota Sorong. Selanjutnya jika kita ambil

contoh Kota Sorong diperoleh bentuk sebagai berikut:

Y KotaSorong = 47.49097 + 0.08202 X1 + 0.18998 X5 - 0.60577

(0.167UFakfak + 0.167 Ukaimana + 0.167 UBintuni + 0.167

UManokwari + 0.167 Usorong + 0.167 URajaAmpat)

= 47.49097 + 0.08202 X1 + 0.18998 X5 + 0.25147

= 47.74244 + 0.08202 X1 + 0.18998 X5

Angka Harapan Hidup (AHH) pada Kota Sorong

dipengaruhi residual kab. Fakfak, Kab. Kaimana, Kab.

Bintuni, Kab. Manokwari, Kab. Sorong, dan Kab. Raja

Ampat yang artinya terdapat dependensi antara Angka

Harapan Hidup (AHH) pada kabupaten Fakfak dengan AHH

pada kab. Fakfak, Kab. Kaimana, Kab. Bintuni, Kab.

Manokwari, Kab. Sorong, dan Kab. Raja Ampat

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah

dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang

paling berpengaruh terhadap besarnya Angka Harapan Hidup

di Papua Barat yaitu tingginya persentase RT dengan

penolong kelahiran pertama oleh tenaga ahli kesehatan dan

Angka Melek Hidup serta adanya dependensi atau

ketergantungan antar lokasi berdasarkan pembobot spasial

customize, dimana penentuan pembobot didasarkan pada

akses transportasi dan komunikasi yang tersedia di Provinsi

Papua Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Anselin, L. (1988), “Spatial Econometrics:Methods and Models”, Kluwer

Academic Publishers, Dordrecht. Badan Pusat Statistik. (2013), Indeks Pembangunan Manusia Provinsi

Papua Barat 2012.

Badan Pusat Statistik. (2013), Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi

Papua Barat 2013.

Badan Pusat Statistik. (2013), Indikator Kesejahteraan Rakyat Papua Barat

2013.

Brys, G., M. Hubert, dan A. Struyf (2004), A Robustification of The Jarque-

Bera Test of Normality.

http://wis.kuleuven.be/stat/robust/Papers/tailweightCOMPSTAT04.

pdf. Tanggal akses 2 April 2015.

Draper, N.R dan Smith (1981). “Applied Regression Analysis”, Edisi II,

John Wiley & Sons.Inc, New York.

Hansen, H. (2001), Economic Modelling.

http://www.econ.ku.dk/hansen/em/Bptest.pdf. Tanggal akses 29

Maret 2015.

Hocking, R.R. (1996), Methods and Applications of Linear Models, New

York: John Wiley & Sons, Inc.

Poitras, G. (2005), More on The Correct Use of Omnibus Tests for

Normality. http://www.sfu.ca/~poitras/el$.pdf. Tanggal akses 1

April 2015.

Wei, W. W., (2006), Time Series Analysis: Univariate and Multivariate

Methods 2nd Ed., New York: Pearson.

Page 9: Pemodelan Regresi Spasial

9

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Penelitian.

Kabupaten/ Kota X1 X2 X3 X4 X5 Y

Fak-Fak 69,67 68,6 66,56 4,44 98,47 71,24

Kaimana 60,1 45,43 53,53 11,88 96,99 70,11

Teluk Wondama 40,8 32,51 31,02 11,18 85,12 68,01

Teluk Bintuni 64,35 55,41 40,75 20,09 87,38 68,88

Manokwari 70,62 66,33 28,77 10,25 89,03 68,58

Sorong Selatan 35,09 29,04 20,14 8,23 88,45 66,99

Sorong 59,18 72,72 81,38 10,63 91,84 68,59

Raja Ampat 28,57 31,59 35,72 13,58 94,34 66,82

Tambrauw 30 16,79 24,03 10,23 77,38 66,48

Maybrat 33,42 44,02 15,79 6,72 91,22 66,92

Kota Sorong 83,7 74,32 57,11 14,87 96,69 72,52

Lampiran 2. Analisis Regresi Linier Berganda antara Variabel Y dan X1, X2, X3, X4, dan X5

Regression Analysis: AHH versus x1, x2, x3, x4, x5 The regression equation is

AHH = 55.8 + 0.122 x1 - 0.0623 x2 + 0.0178 x3 - 0.0423 x4 + 0.103 x5

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 55.766 4.217 13.22 0.000

x1 0.12154 0.02796 4.35 0.007 5.647

x2 -0.06225 0.02963 -2.10 0.090 6.779

x3 0.01776 0.01607 1.11 0.319 2.172

x4 -0.04232 0.05997 -0.71 0.512 1.224

x5 0.10258 0.04960 2.07 0.093 1.805

S = 0.717819 R-Sq = 93.2% R-Sq(adj) = 86.5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 5 35.5176 7.1035 13.79 0.006

Residual Error 5 2.5763 0.5153

Total 10 38.0939

Page 10: Pemodelan Regresi Spasial

10

Lampiran 3. Pemilihan Variabel yang Signifikan untuk Pemodelan Regresi Linier Berganda

Stepwise Regression: AHH versus x1, x2, x3, x4, x5 Alpha-to-Enter: 0.15 Alpha-to-Remove: 0.15

Response is AHH on 5 predictors, with N = 11

Step 1 2 3

Constant 63.88 56.62 53.91

x1 0.091 0.077 0.115

T-Value 6.24 5.07 4.57

P-Value 0.000 0.001 0.003

x5 0.089 0.122

T-Value 1.87 2.66

P-Value 0.099 0.032

x2 -0.048

T-Value -1.80

P-Value 0.115

S 0.891 0.789 0.697

R-Sq 81.23 86.93 91.06

R-Sq(adj) 79.15 83.66 87.23

Mallows Cp 6.9 4.7 3.6

Page 11: Pemodelan Regresi Spasial

11

Lampiran 4. Regresi OLS dengan Variabel yang Signifikan

SUMMARY OF OUTPUT: ORDINARY LEAST SQUARES ESTIMATION

Data set : 9100KabKota

Dependent Variable : Y Number of Observations: 11

Mean dependent var : 68.9218 Number of Variables : 3

S.D. dependent var : 2.51362 Degrees of Freedom : 8

R-squared : 0.764960 F-statistic : 13.0184

Adjusted R-squared : 0.706200 Prob(F-statistic) : 0.00305189

Sum squared residual: 16.3356 Log likelihood : -17.7833

Sigma-square : 2.04195 Akaike info criterion : 41.5666

S.E. of regression : 1.42897 Schwarz criterion : 42.7603

Sigma-square ML : 1.48505

S.E of regression ML: 1.21863

-----------------------------------------------------------------------

Variable Coefficient Std.Error t-Statistic Probability

-----------------------------------------------------------------------

CONSTANT 54.77675 7.159822 7.650574 0.00006

X1 0.1003056 0.02736117 3.665983 0.00635

X5 0.0981732 0.08585542 1.143471 0.08590

-----------------------------------------------------------------------

REGRESSION DIAGNOSTICS

MULTICOLLINEARITY CONDITION NUMBER 41.966834

TEST ON NORMALITY OF ERRORS

TEST DF VALUE PROB

Jarque-Bera 2 0.7338 0.69288

DIAGNOSTICS FOR HETEROSKEDASTICITY

RANDOM COEFFICIENTS

TEST DF VALUE PROB

Breusch-Pagan test 2 8.6043 0.01354

Koenker-Bassett test 2 6.6113 0.03668

DIAGNOSTICS FOR SPATIAL DEPENDENCE

FOR WEIGHT MATRIX : Cust9100KabKota.gal

(row-standardized weights)

TEST MI/DF VALUE PROB

Moran's I (error) -0.5019 -1.9722 0.04859

Lagrange Multiplier (lag) 1 0.9526 0.32905

Robust LM (lag) 1 0.0024 0.96093

Lagrange Multiplier (error) 1 3.7199 0.05377

Robust LM (error) 1 2.7697 0.09607

Lagrange Multiplier (SARMA) 2 3.7223 0.15549

========================== END OF REPORT ==============================

Page 12: Pemodelan Regresi Spasial

12

Lampiran 5. Regresi Error Model (SEM)

SUMMARY OF OUTPUT: SPATIAL ERROR MODEL - MAXIMUM LIKELIHOOD ESTIMATION

Data set : 9100KabKota

Spatial Weight : Cust9100KabKota.gal

Dependent Variable : Y Number of Observations: 11

Mean dependent var : 68.921818 Number of Variables : 3

S.D. dependent var : 2.513620 Degrees of Freedom : 8

Lag coeff. (Lambda) : -0.605766

R-squared : 0.855960 R-squared (BUSE) : -

Sq. Correlation : - Log likelihood : -15.732722

Sigma-square : 0.910085 Akaike info criterion : 37.4654

S.E of regression : 0.953984 Schwarz criterion : 38.6591

-----------------------------------------------------------------------

Variable Coefficient Std.Error z-value Probability

-----------------------------------------------------------------------

CONSTANT 47.49097 4.428278 10.72448 0.00000

X1 0.08201811 0.01713738 4.785918 0.00000

X5 0.1899786 0.05465891 3.475712 0.00051

LAMBDA -0.6057657 0.2770436 -2.186536 0.02878

-----------------------------------------------------------------------

REGRESSION DIAGNOSTICS

DIAGNOSTICS FOR HETEROSKEDASTICITY

RANDOM COEFFICIENTS

TEST DF VALUE PROB

Breusch-Pagan test 2 5.0469 0.08018

DIAGNOSTICS FOR SPATIAL DEPENDENCE

SPATIAL ERROR DEPENDENCE FOR WEIGHT MATRIX : Cust9100KabKota.gal

TEST DF VALUE PROB

Likelihood Ratio Test 1 4.1011 0.04285

========================== END OF REPORT ==============================

Page 13: Pemodelan Regresi Spasial

13

Lampiran 6. Uji Asumsi Normalitas Regresi Error Model (SEM)

Lampiran 7. Uji Asumsi Independen Regresi Error Model (SEM)

3210-1-2-3

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

Pe

rce

nt

Mean 0.0000009091

StDev 1.001

N 11

KS 0.218

P-Value 0.146

Normal

321

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

-0.2

-0.4

-0.6

-0.8

-1.0

Lag

Au

toco

rre

lati

on

Autocorrelation Function (with 5% significance limits for the autocorrelations)