pemikiran ki bagoes hadikoesoemo tentang negara...

108
i PEMIKIRAN KI BAGOES HADIKOESOEMO TENTANG NEGARA DAN ISLAM (1945-1953) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora Oleh Qisthi Faradina Ilma Mahanani NIM: 21613001 JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2017

Upload: others

Post on 28-May-2020

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

PEMIKIRAN KI BAGOES HADIKOESOEMO

TENTANG NEGARA DAN ISLAM (1945-1953)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Humaniora

Oleh

Qisthi Faradina Ilma Mahanani

NIM: 21613001

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2017

ii

iii

PEMIKIRAN KI BAGOES HADIKOESOEMO

TENTANG NEGARA DAN ISLAM (1945-1953)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Humaniora

Oleh

Qisthi Faradina Ilma Mahanani

NIM: 21613001

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2017

iv

v

vi

vii

MOTTO

“Don‟t lose hope nor be sad –Al Imron:139”

ول تهنىا ول تحزنىا وأنتم العلىن إن كنتم مؤمنين

viii

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku,

para dosenku, kakak tertuaku, adik-adikku, sahabat-sahabat seperjuangan

SPI‟13, teman-temanku di mana saja kalian berada dan teruntuk seseorang yang

selalu menyebut namaku dalam setiap do‟anya

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis

mampu menyelesaikan karya tulis yang berbentuk skripsi ini dengan lancar.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabiyullah Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabatnya, dan tabiin-tabiin.

Sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah bagi penulis dalam mencari,

mengumpulkan, menyeleksi, menganalisis, dan menulis data-data yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Namun berkat usaha, kesabaran, dan do‟a akhirnya

skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi

syarat guna untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora. Adapun judul skripsi ini

adalah “PEMIKIRAN KI BAGOES HADIKOESOEMO TENTANG NEGARA

DAN ISLAM (1945-1953)”. Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini

dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,

Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga.

3. Bapak Haryo Aji Nugroho, S. Sos. M. A. selaku Ketua Jurusan Sejarah

Peradaban Islam IAIN Salatiga dan selaku Dosen Pembimbing Skripsi

x

penulis yang berkenan memberikan pengarahan, meluangkan waktu serta

mencurahkan waktu dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

4. Bapak Ahmad Faidi, M. Hum. selaku pendengar setia segala keluh kesah

penulis selama menyusun skripsi ini dan membantu memberikan banyak

masukan yang berguna bagi penulis.

5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora Jurusan

Sejarah Peradaban Islam yang telah berkenan memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis dan pelayanan hingga studi ini dapat selesai.

6. Kedua orang tua dan segenap keluarga di rumah yang selalu memberikan

dorongan, motivasi dan doa yang tak pernah henti demi lancarnya studi

penulis dan kesuksesan penulis.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan yang senantiasa memberikan motivasi,

dorongan dan semangat kepada penulis selama masa perkuliahan di IAIN

Salatiga hingga akhir studi.

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu dalam penulisan skripsi ini.

Akhirnya, penulis hanya bisa berharap semoga orang-orang yang telah

memberikan bantuan selama ini, mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelebihan.

xi

xii

ABSTRAK

Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah tokoh intelektual, pejuang, politikus,

sekaligus ulama yang ada di Indonesia. Perjuangan Ki Bagoes Hadikoesoemo

dalam menegakkan syariat Islam terlihat saat keikutsertaan dalam panitia

BPUPKI dan PPKI. Ki Bagoes Hadikoesoemo mengharapkan negara Indonesia

ini berdasarkan Islam, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pengharapan atas wujudnya dasar negara Islam tidak bisa terealisasikan

dikarenakan banyak dorongan yang menginginkan negara Indonesia ini

berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo

meluluh akibat beberapa faktor antara lain demi tegaknya Negara Republik

Indonesia dan untuk kemaslahatan umat bersama. Batasan penulisan ini terkait

biografi dan latar pendidikan Ki Bagoes Hadikoesoemo, latar pemikiran

keislaman dan kebangsaan di Indonesia dan pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo

tentang negara Islam.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah menurut Kuntowijoyo

yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Sebagai

pelengkap data penulis juga menggunakan metode library research serta

pendekatan multidimensional antara pendekatan historis, sosiologis, politik dan

agama.

Hasil penelitian ini menunjukkan sosok Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan

latar belakang religius berusaha membuat dasar negara Indonesia ini berdasarkan

Islam. Ideologi Islam dianggap paling sempurna karena bersumber dari Al Quran

dan Sunah. Islam sebagai agama yang rahmatan lil „alamin yang dianut oleh

sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi

kehidupan bernegara, serta menjamin keberagaman hidup antar golongan. Dengan

adanya faktor religius dalam kerukunan antar umat dan demi tegaknya Negara

Republik Indonesia, akhirnya Ki Bagoes Hadikoesoemo menanggalkan pemikiran

tentang dasar negara Islam dan menerima Pancasila sebagai dasar negara.

Kata kunci: Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam, Dasar Negara

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i

HALAMAN BERLOGO ................................................................................ ii

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ................................................. vi

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii

KATA PENGANTAR ................................................................................... ix

ABSTRAK ...................................................................................................... xii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................ 4

C. Tujuan Penelitian Dan Ruang Lingkup ............................................ 6

D. Kerangka Konseptual ....................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 15

F. Metode Penelitian ............................................................................ 20

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 23

BAB II: RIWAYAT HIDUP KI BAGOES HADIKOESOEMO

A. Biografi Ki Bagoes Hadikoesoemo ................................................. 26

B. Latar Pendidikan Ki Bagoes Hadikoesoemo ................................... 28

xiv

C. Karir Perjuangan Ki Bagoes Hadikoesomo Untuk Negara Kesatuan

Republik Indonesia

1. Karir Perjuangan Sebelum Kemerdekaan Indonesia .................. 31

2. Karir Perjuangan Di Muhammadiyah Dan Setelah Kemerdekaan

Indonesia ..................................................................................... 34

BAB III: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KEISLAMAN DAN

KEBANGSAAN DI INDONESIA (1945-1953)

A. Pemikiran Nasionalis Islam pada era 40an ........................................ 43

B. Polemik Dasar Negara Menurut Kalangan Islam dan Kalangan

Kebangsaan ........................................................................................ 53

BAB IV: PEMIKIRAN KI BAGOES HADIKOESOEMO TENTANG

NEGARA DAN ISLAM

A. Konsep Dasar Negara Islam Oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo ........... 63

B. Peranan Ki Bagoes Hadikoesoemo Dalam Perumusan Dasar Negara

............................................................................................................ 76

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 81

B. Kritik Dan Saran ................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 83

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 87

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... 93

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Keputusan Presiden Nomor 048/TK/Tahun 1992 tanggal 12 Agustus 1992

tentang Piagam Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia kepada

Ki Bagoes Hadikoesoemo

2. Keputusan Presiden Nomor 72/TK/Tahun 1992 tanggal 7 Agustus 1992

tentang Piagam Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia kepada

Ki Bagoes Hadikoesoemo

3. Surat Rekomendasi KI Bagoes Hadikoesoemo sebagai Pahlawan Nasional:

a. Surat Pimpinan MPR-RI kepada Presiden RI

b. Surat Pimpinan DPR-RI kepada Presiden RI

c. Surat Pimpinan DPD-RI kepada Presiden RI

d. Rekomendasi Gubernur DIY kepada Menteri Sosial RI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan antara agama dan ideologi negara pada dasarnya telah

menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Pada awal-awal

perjuangan kemerdekaan, pembahasan mengenai dasar negara sudah

terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan anggota BPUPKI. Para

tokoh yang berbicara dalam hal tersebut antara lain: Mohammad

Yamin, Mohammad Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo,

Soekarno, dan tokoh-tokoh lainnya.1 Pada saat sidang terjadi

pegelompokan 2 kubu anggota dalam BPUPKI yaitu kalangan Islam

dan kalangan Kebangsaan. Kalangan Islam menginginkan dasar negara

Indonesia adalah Islam, sedangkan kalangan Kebangsaan

menginginkan dasar negara Indonesia adalah Kebangsaan.

Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan

bahwa dasar negara untuk semua, tidak hanya untuk satu golongan

saja, tetapi dasar negara yang akan mengikat seluruh rakyat Indonesia

yang tinggal di daerah manapun, di atas kesatuan bumi Indonesia dari

ujung Sumatera sampai ke Irian. Dapat dikatakan bahwa ide dasar

1 Hal ini terbukti dari naskah-naskah pidato beberapa anggota BPUPKI yang

sudah ditemukan. Naskah-naskah tersebut termuat di dalam Risalah Sidang BPUPKI dan

PPKI, buku RM. A. B. Kusuma yang berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945

dan termuat pula di Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun oleh

Muhammad Yamin.

2

negara Islam yang diusung oleh kalangan Islam tidak didukung oleh

sebagian besar anggota BPUPKI, sekalipun mayoritas anggota

BPUPKI beragama Islam.

Menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanya 15 orang saja

dari 61 orang anggota BPUPKI yang benar-benar mewakili aspirasi

politik kalangan Islam.2 Wakil-wakil dari kalangan Islam itu antara

lain: Ahmad Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Mas Mansoer, Abdoel

Kahar Moezakkir, Wachid Hasjim, Maskoer, Soekiman Wirjosandjojo,

Abikoesno Tjokrosoejoso, Agoes Salim, dan Abdoel Halim.3

Sedangkan anggota BPUPKI yang berasal dari kalangan Kebangsaan

jauh lebih banyak, antara lain: Soekarno, Mohammad Hatta,

Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo, Otto Iskandardinata, A. A.

Maramis, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Soepomo, J. Latuharhary, dan

lain-lain.4 Dengan jumlah yang lebih banyak kalangan Kebangsaan

lebih mempunyai kekuatan daripada kalangan Islam.

Sejarah mencatat sebelum Ir. Soekarno menyampaikan pidato

tentang dasar negara tanggal 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI,

Soekarno telah mendengarkan pidato para anggota BPUPKI yang

menjunjung asas Islam sebagai dasar negara. Para tokoh itu antara lain:

2 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1987)

hlm. 102.

3 Ibid.

4 Deliar Noer, Partai Islam di Petas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,

1987) hlm. 35.

3

Mohammad Natsir, S.M Kartosoewio, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan

lain-lain. Ki Bagoes Hadikoesoemo mengemukakan agar negara

Indonesia berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Al

Quran dan Sunah, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat

dan kokoh. Ki Bagoes Hadikoesoemo mengingatkan sudah enam abad

Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum

Belanda menjajah di sini, dan hukum Islam sudah berlaku di Indonesia.

Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, sepuluh kali menyebut nama Ki

Bagoes Hadikoesomo. Soekarno sangat segan kepada Ki Bagoes

Hadikoesoemo walaupun dalam banyak hal prinsipil keduanya

berlainan pendapat dan pandangan.5

Pada tahun 1945, Ki Bagoes Hadikoesoemo ikut bergabung dalam

organisasi BPUPKI dan PPKI. Ki Bagoes Hadikoesoemo mempunyai

peran besar di dalam organisasi tersebut. Peran Ki Bagoes

Hadikoesoemo adalah ikut memberikan ide dalam perumusan

muqaddimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan,

kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Selain itu, sebagai Pimpinan

Besar Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo juga berhasil

merumuskan pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan. Pemikiran itu dapat

menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan

Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran itu yang kemudian menjadi

muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Kepemimpinan Ki

5 Penjabaran oleh Fuad Nassar sebagai Pemerhati Sejarah dalam artikel sejarah

online Bimbingan Masyarakat Islam oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat

Islam.

4

Bagoes Hadikoesoemo selalu menekankan pada ajaran Islam dan

syariat Islam dalam pemerintahannya.

Oleh karena itu, studi pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang

konsep dasar negara Islam sangat menarik dan patut untuk diteliti

secara mendalam dalam rangka memberi konstribusi positif yang tinggi

bagi upaya memahami politik Islam di Indonesia dalam kaitannya

dengan relasi Islam dan Negara. Untuk itu, judul yang diambil dalam

penelitian ini adalah Pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo Tentang

Negara dan Islam (1945-1953).

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Judul yang akan diajukan adalah Pemikiran Ki Bagoes

Hadikoesoemo Tentang Negara dan Islam (1945-1953). Alasan penulis

memilih topik tersebut karena dalam perjuangan kemerdekaan, Ki

Bagoes Hadikoesoemo pernah menjadi anggota BPUPKI dan PPKI

sebagai lembaga yang membidangi dan mempersiapkan kemerdekaan

Indonesia. Kiprah Ki Bagoes Hadikoesoemo diapresiasi oleh

Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkannya sebagai

Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia pada tanggal 05

November 2015. Ki Bagoes Hadikoesoemo awalnya menjadi pahlawan

yang terlupakan, akan tetapi setelah dinobatkannya menjadi Pahlawan

Nasional pada tahun 2015, nama Ki Bagoes Hadikoesoemo menjadi

ramai diperbincangkan publik. Ini sebuah kesempatan yang menarik

5

untuk penulis kaji lebih dalam, mengingat bahwa belum ada penelitian

skripsi mengenai pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang negara

Islam. Selain itu, terlepas dari diangkatnya Ki Bagoes Hadikoesoemo

sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia tahun lalu,

penulis juga tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai pemikiran

Ki Bagoes Hadikoesoemo yang dituangkan dalam muqaddimah

Anggaran Dasar Muhammadiyah, karena Ki Bagoes Hadikoesoemo

pernah menjadi Ketua Pimpinan Besar Muhammadiyah ke 5 pada

tahun 1944-1953.

Sedangkan untuk ruang lingkup temporal yang diambil yaitu tahun

1945-1953 yang merupakan waktu berdirinya BPUPKI sebagai wadah

dalam perumusan dasar negara Indonesia. Dalam hal itu, adanya

keterlibatan Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam merumuskan

muqaddimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan,

kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pemikiran Ki Bagoes

Hadikoesoemo selalu mengedepankan syariat Islam. Mengusung tema

ketuhanan, Ki Bagoes Hadikoesoemo mengharapkan dasar negara

Indonesia itu sesuai dengan syariat Islam.

Dipilihnya tahun 1953 sebagai batas akhir, karena pada tahun

tersebut Ki Bagoes Hadikoesoemo lengser dari jabatan Ketua Umum

Pimpinan Besar Muhammadiyah. Setelah berakhirnya jabatan sebagai

Pimpinan Besar Muhammadiyah kiprah Ki Bagoes Hadikoesoemo

dalam mengupayakan syariat Islam dalam negara mulai pudar. Akan

6

tetapi, dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan juga mengenai

akhir perpolitikan Ki Bagoes Hadikoesoemo sampai akhir hayatnya.

Ketertarikan penulis dengan pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo

dalam memberikan sumbangsih dalam perumusan dasar negara yang

bernafaskan Islam semakin menguat. Hal ini dilatarbelakangi oleh

sebuah asumsi bahwa apabila seseorang telah masuk dalam sistem

kekuasaan, biasanya cenderung melakukan rasionalisasi-rasionalisasi

dalam melihat aspek sosial politik.6

Berangkat dari batasan masalah tersebut, maka penulis

merumuskan beberapa masalah yang penting untuk dikaji dalam

penelitian. Rumusan masalah itu antara lain:

1. Bagaimana riwayat hidup Ki Bagoes Hadikoesoemo?

2. Bagaimana perkembangan keislaman dan kebangsaan di Indonesia?

3. Bagaimana pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang negara

dan Islam?

C. Tujuan Penelitian

Dalam menjawab beberapa rumusan masalah di atas, maka penulis

mempunyai tujuan dalam penelitian, antara lain:

1. Untuk mengetahui riwayat hidup dan latar belakang belakang

pendidikan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

6 Muzakki, Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004) hlm.

17.

7

2. Untuk mengetahui perkembangan keislaman dan kebangsaan di

Indonesia.

3. Untuk mengetahui pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang

negara Islam.

D. Kerangka Konseptual

Dalam mengetahui kerangka konseptual yang digunakan dalam

penelitian sejarah ini, maka penulis menggunakan penelitian kualitatif

deskriptif kepustakaan atau penelitian bibliografis (library research),

karena mengandalkan dokumen-dokumen, arsip-arsip dan buku-buku

yang berkaitan dengan pemikiran serta biografi Ki Bagoes

Hadikoesoemo. Suatu penelitian sejarah akan lebih sempurna apabila

menggunakan pendekatan multidimensional. Penggunaan pendekatan

multidimensional ini bertujuan untuk mengurangi subjektifitas dari

penulis. Pendekatan multidimensional dalam penelitian ini, antara lain:

pendekatan historis, sosiologis, politik, dan agama. Pendekatan historis

dalam penulisan sejarah sangat diperlukan dalam melihat suatu

peristiwa berdasarkan kronologis waktu atau babakan zaman.

Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang digunakan untuk

melihat segi-segi sosial dari peristiwa yang dikaji. Segi-segi sosial yang

dimaksud dalam penulisan ini adalah golongan sosial mana yang

berperan, konflik berdasarkan kepentingan, ideologi dan lain

8

sebagainya.7 Penulis menggunakan pendekatan ini untuk mengkaji

kehidupan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Pendekatan politik adalah pendekatan yang menyoroti struktur

kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan

kekuasaan, dan lain sebaginya.8 Penulis menggunakan pendekatan ini

untuk mengkaji kondisi politik di Indonesia tahun kolonialisme

Belanda dan Jepang, kemerdekaan Indonesia, dan pasca kemerdekaan

Indonesia khususnya dalam peran Ki Bagoes Hadikoesoemo di

dalamnya.

Pendekatan agama adalah suatu refleksi kritis dan sistematis yang

dilakukan oleh penganut agama terhadap agamanya.9 Penulis

menggunakan pendekatan ini untuk mengkaji lebih dalam mengenai

pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo khususnya dalam bidang agama

Islam dan dasar negara Islam.

1. Islam dan Demokrasi

Demokrasi adalah sistem politik kemasyarakatan Barat yang

sebelumnya berkembang pesat pada masa peradaban Yunani. Setelah

itu, dikembangkan oleh kebangkitan modern yang meletakkan landasan

hubungan diametral antara masyarakat dengan negara sesuai prinsip

7 Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Ombak, 2007) hlm. 4.

8 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.

(Jakarta: Gramedia, 1993) hlm. 4.

9 Kevin Barnet, Pengantar Teologi. (Jakarta: Gunung Mulia, 1981) hlm.15.

9

persamaan dan kemerdekaan di antara penduduk dalam menetapkan

undang-undang. Hal itu didasarkan pada prinsip bahwa kepemimpinan

berada di tangan rakyat, yang sekaligus menjadi sumber undang-

undang. Dengan demikian, kekuasaan dalam sistem demokrasi berada

di tangan rakyat untuk merealisasikan kepemimpinan dan kemaslahatan

rakyat itu sendiri.10

Sedangkan sistem perwakilan dari rakyat yang

menjalankan fungsi kekuasaan hukum (yudikatif) dan fungsi

pengawasan terhadap pelaksanaan hukum (legislatif) merupakan sistem

demokrasi tidak langsung. Pelaksanaan kekuasaan di tangan rakyat

dapat dijadikan jembatan untuk mewujudkan maksud dan tujuan

demokrasi. Sebenarnya Islam menyikapi dengan baik persoalan

kehidupan, sistem dan metode untuk merealisasikan tujuan kehidupan

dan falsafah dan menerima sesuatu yang asing dengan selektif seperti

tampak dalam ijtihad. Apabila ijtihad adalah kewajiban bersifat

keagamaan dalam pemikiran Islam, maka masalah demokrasi

merupakan hal baru dalam ijtihad.11

Apabila sebagian yang menempatkan sistem permusyawaratan

(syura) sebagai pengganti demokrasi, maka menurut perspektif Islam

tema di antara keduanya tidak bertentangan. Islam mempraktikkan

keduanya secara mutlak dan membedakan keduanya atas dasar

kesesuaian dan perbedaan yang ada. Adapun bagian-bagian yang

10

Lihat Mausu‟ah as Siyasah, Al Mu‟assasah al Arabiyah li ad Dirasah wa an

Nasr, Beirut, 1981.

11

Muhammad Tanthawi dkk, Problematika Pemikiran Muslim (Yogyakarta: Adi

Wacana, 1997) hlm. 50.

10

memisahkan sistem permusyawaratan Islam dari sistem demokrasi

Barat, pasti akan menimbulkan perbedaan pendapat seputar siapa yang

berhak memberlakukan tasyri‟ (hukum). Dalam sistem demokrasi,

kepemimpinan berasal dari etnis dan masyarakat, baik secara nyata

atau dalam bentuk undang-undang yang bersifat alamiah atas dasar

fitrah manusia.

Sedangkan dalam sistem musyawarah yang islami, kepemimpinan

hukum berasal dari Allah SWT. dalam bentuk syari‟at. Syari‟at bukan

bentukan manusia dan terjadi secara alamiah, namun dibangun atas

dasar syari‟at ilahiyah. Dalam pandangan Islam, kedudukan Allat

SWT. adalah sebagai syari‟ (penetap hukum), sedangkan manusia

hanyalah sebagai faqih (ahli hukum). Perbedaan ini penting, karena

rujukan yang digunakan keduanya berbeda pula. Dalam Islam, rujukan

yang digunakan adalah ketetapan Allah SWT sementara rujukan dalam

pandangan Barat berdasarkan aturan manusia. Selain itu juga, karena

perbedaan cara pandang mengenai manusia dan Tuhan (Allah SWT).

Maka kepemimpinan dalam tasyri‟ merupakan kesatuan ketetapan

ilahiyah yang tercermin dalam As Syari‟ah as Samawiyah dan manusia

mempunyai otoritas hukum fiqh dan undang-undangan yang

disyaratkan tidak keluar dari semangat dan falsafah syari‟at.

Demikianlah, gambaran paling minimal dan partikulatif perbedaan

antara sistem syura dengan demokrasi Barat. Adapun kesamaan antara

demokrasi Barat dengan syura adalah bahwa hukum dari kekuasaan

11

didasarkan atas kerelaan umat, pendapat mayoritas dan pemikiran yang

sifatnya lebih universal.

Ada beberapa ayat Al Quran yang menggambarkan prinsip-prinsip

negara demokrasi, antara lain:

1. Keadilan (Al Maidah: 8)

“Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada

taqwa.”

2. Musyawarah (As Syuro: 38)

“Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di

antara mereka.”

3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran (Ali Imron:

110)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk

manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari

yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.”

4. Perdamaian dan Persaudaraan (Al Hujarat: 10)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara

karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan

bertaqwalah kepada Allah.”

5. Keamanan (Al Baqarah: 126)

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo‟a, Ya Tuhanku, jadikanlah

negeri ini negeri yang aman sentosa”.

12

6. Persamaan (An Nahl: 97)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka

sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang

baik.”

2. Karakteristik Kekuasaan dalam Islam

Bila ditelusuri secara mendalam, pada awal daulah Islamiyah sudah

ada undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan berdasarkan

nash, yaitu undang-undang negara Madinah pada masa Rasulullah

SAW yang bernama Piagam Madinah yang berisi kurang lebih 46

perjanjian, antara lain:

“... Hal-hal yang terjadi pada penduduk yang terkait

dengan piagam ini, atau perselisihan yang muncul dan

dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, harus

dikembalikan pada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang lebih

menjaga dan menghormati butir-butir perjanjian ini.12

Dalam Islam tidak mungkin terjadi pertentangan, kecuali dalam

persoalan yang terkait dengan kemakmuran duniawi. Sedangkan

persoalan yang bersifat fardu, akidah, dan beberapa bangunan

syari‟atnya telah banyak dijelaskan oleh perspektif wahyu melalui

sunah, sehingga menutup kemungkinan adanya pertentangan di

dalamnya. Karena Islam memiliki sistem pemerintahan yang ideal,

12

Lihat “Nash ad Dustur” dalam Majmu‟at al Watsa‟iq as Siyasah li al „Ahdi an

Nabawi wa al Khulafa‟ar Rasyidah, hlm 15. Karya Muhammad Hamidullah, tahun terbit

1957.

13

terutama terkait dengan kemakmuran rakyat, maka piagam di atas

menjadi suatu kesepakatan yang dibangun atas rujukan Al Qur‟an dan

As Sunah, terutama dalam berbagai perselisihan dalam kehidupan

politik kenegaraan maupun kemakmuran rakyat, sebagai syarat

berlakunya kebenaran nilai iman, menyangkut perselisihan rakyat dan

penguasa.

Prinsip-prinsip dan ketetapan-ketetapan hukum tersebut adalah

penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada penguasa untuk

melaksanakan amanatnya. Rakyat taat kepada ulil amri (pemimpin),

yaitu orang-orang yang mampu menciptakan ketenangan masyarakat.

Ketaatan ini perlu, karena mereka itu juga termasuk bagian komunitas

mukmin.

Beberapa ketentuan yang bersumber dari Al Qur‟an dan Sunah

yang bersifat amaliyah (praktis, empiris) yang membentuk

kepemimpinan Nabi dan pada masa khulafa ar rasyidin serta undang-

undang yang ada terdapat dalam pemikiran politik Islam. Dalam

perspektif pemikiran politik Islam, kehidupan politik yang dibangun

oleh para pemimpin Islam adalah berkaitan dengan beberapa

karakteristik dan otoritas kekuasaan seorang penguasa negara, dan

sanksi hukum terhadap penyalahgunaan otoritas kekuasaan.

Adapun otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh para penguasa,

sekaligus kewajibannya adalah otoritas sebagai pelaksana hukum dan

perundang-undangan. Dalam perspektif Islam, tidak dikenal bentuk

14

negara yang baku secara mutlak dan juga didasarkan pada hak

istimewa pemimpin, akan tetapi dibentuk dengan cara

berkesinambungan dan bergantian. Tidak ada hal otoratif yang mutlak

dalam penentuan hukum, sekalipun imam yang dipilih berasal dari

kalangan mujtahidin. Karena kepemimpinan dalam Islam adalah

kepemimpinan tasyri‟ yang didasarkan ketetapan ilahiyah dan syari‟at

yang ditetapkan melalui ketetapan ilahi.

3. Islam dan Aparatur Negara

Dalam menghadapi soal kenegaraan seperti Undang-Undang Dasar

Negara, dengan sendirinya akan berhadapan dengan ajaran-ajaran

Islam yang tersimpan di dalam unsur muamalah13

. Sistem perpolitikan

Islam mampu menjadi indikator yang menyediakan ketetapan jaminan

bagi kehidupan rakyat. Dengan begitu, Islam dengan pemikiran

politiknya mampu memperhatikan dan mengevaluasi terhadap

keberadaan aparatur negara ketika menyimpang sebagai pengemban

amanat dan keadilan dalam penetapan hukum di masyarakat.

4. Negara Islam menurut para tokoh yang sesuai dengan pemikiran Ki

Bagoes Hadikoesoemo

13

Pidato Mohammad Natsir di depan sidang majelis konstituante untuk

menentukan dasar negara RI (1957-1959).

15

Konsep dasar negara Islam pernah dikemukan oleh beberapa tokoh

Islam lainnya, antara lain Mohammad Natsir14

, S. M. Kartosoewirjo15

,

H.O.S Tjokroaminoto16

.

E. Tinjauan Pustaka

Sumber-sumber penulisan ini penulis menggunakan arsip-arsip

nasional seputar kondisi politik Indonesia pada tahun 1945-1953 dan

artikel-artikel ataupun karya tokoh yang dihimpun dalam Suara

Muhammadiyah. Selain itu, didukung dengan penelitian-penelitian

sebelumnya yang berkaitan dengan topik yang penulis ambil, antara

lain:

Yang pertama, adalah skripsi dari program studi Pendidikan

Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Negeri Yogyakarta, (2012). Skripsi ini ditulis oleh Herguita Immas

Raspati. Skripsi ini menjelaskan mengenai pemikiran Mohammad

Natsir tentang Islam dan dasar negara. Pemikiran ini sama Ki Bagoes

Hadikoesoemo dalam hal menegakkan syariat Islam di atas negara

Indonesia.

Yang kedua adalah penelitian dari fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, (2014). Penelitian

14

Mohammad Natsir, Capita Selecta. (Jakarta: Bulan Bintang, 1955). hlm. 436.

15

S. M Kartosoewirjo, “Sedikit Tentang Oelil Amri” dalam Fadjar Asia, 24 Mei

1930. Lihat Al Chaidar, Pemikiran politik. hlm. 515-516.

16

H. O. S Tjokroaminoto, “Moeslim Nationale Onderwijs”.

16

oleh Ainur Rofiq. Judul penelitian ini adalah Ki Bagus Hadikusumo

Dalam Proses Perumusan Dasar Negara Republik Indonesia

Pancasila: Tinjauan Historis Tentang Jejak Perjuangan dan

Peranannya. Dalam hal ini, penulis memiliki kesamaan tokoh yang

dikaji dalam penelitian. Dalam penelitian tersebut tidak menjelaskan

mengenai pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang hubungan

agama dan Islam, oleh karena itu, penulis akan lebih menjabarkan

mengenai perkembangan pemikiran keislaman yang meletarbelakangi

pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo dan pemikiran Ki Bagoes

Hadikoesoemo tentang negara dan Islam.

Sumber lain buku-buku yang komprehensif terhadap topik yang

dikaji sebagai berikut:

Buku pertama, yang digunakan berjudul Gerakan Modern Islam di

Indonesia 1900-1942 karangan Deliar Noer, penerbit LP3ES, tahun

terbit 1980, dan tebal buku 376 halaman. Buku ini membicarakan

tentang pergerakan Islam antara tahun 1990-1942. Pada Bab I dan II

membicarakan pengenalan dan pertumbuhan pemikiran dan kegiatan

pembaharuan Islam yang umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian

besar, yaitu gerakan pendidikan dan sosial dan gerakan politik. Buku

ini juga melukiskan sebab-sebab serta perkembangan-perkembangan

dan perpecahan di kalangan umat Islam di Indonesia yang diakibatkan

oleh adanya pengaruh dan desakan masyarakat modern.

17

Dalam buku ini penulis banyak mengambil sumber mengenai latar

pemikiran Islam pada era 40an dan peran Ki Bagoes Hadikoesoemo

dalam keterlibatan menyusun dasar negara.

Buku kedua, yaitu Partai Islam di Pentas Nasional karangan Deliar

Noer17

, penerbit Pustaka Utama Grafiti, dan tebal buku 493 halaman.

Dalam buku ini membahas tentang perkembangan politik di Indonesia

dari periode 1945–1965, terutama partai-partai Islam dalam lintasan

sejarah. Deliar Noer mendeskripsikan bagaimana kinerja partai-partai

Islam seperti Masyumi, PSII, NU, dan Perti pada masa revolusi

kemerdekaan, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Di

dalam isi buku hanya ada sedikit data yang sesuai dengan tema yang

penulis ambil.

Buku ini juga berupaya untuk menjelaskan sisi-sisi menarik

pergolakan Islam dalam menentukan kepemimpinan dan ideologi,

kedudukan, dan peran hingga jatuh bangunnya kabinet. Semua itu

dijelaskan oleh Deliar Noer dengan didukung oleh literatur dan

dokumen sejarah termasuk dokumen pribadi dari para tokoh. Dalam

menjelaskan mengenai pertentangan ideologis antara golongan

nasionalis dan Islam mengenai dasar negara. Sebagai contoh adalah

Pemikiran Mohammad Natsir yang menawarkan Islam sebagai dasar

negara, sedangkan golongan nasionalis yang diwakili oleh Soekarno

mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Hal inilah yang kemudian

17

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1997).

18

memunculkan konflik antara Natsir dan Soekarno mengenai hubungan

antara agama dan negara di Indonesia pada masa sebelum

kemerdekaan, melalui berbagai tulisannya yang kemudian

berkelanjutan hingga dalam pembahasan UUD yang baru sebagai

pengganti UUD S 1950 di Majelis Konstituante.

Buku ketiga, yaitu Islam dan Masalah Kenegaraan karangan

Ahmad Syafii Maarif18

, penerbit LP3ES, dan tahun terbit 1987. Dalam

buku ini menjelaskan secara detail tentang Islam yang dikaitkan dengan

perumusan dasar negara Indonesia. Polemik-polemik seputar anggota

BPUPKI yang mayoritas beragama Islam dan pengaruhnya serta

sumbangsih dalam perumusan dasar negara.

Dalam buku inilah adanya gagasan mengenai dasar negara Islam

yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam yang salah satunya Ki

Bagoes Hadikoesoemo.

Buku keempat, yaitu Problematika Pemikiran Muslim karangan

Muhammad Tanthawi19

, penerbit Adi Wacana. Dalam buku ini

menjelaskan mengenai Islam hubungannya dengan politik beserta

persoalan-persoalan pemikiran Islam terhadap pemerintahan Islam.

Dalam buku ini penulis mengambil sumber untuk menjabarkan

18

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES,

1987).

19

Muhammad Tanthawi, Problematika Pemikiran Muslim, (Yogyakarta: Adi

Wacana, 1997).

19

kerangka konseptual seperti Islam dan politik, Islam dan demokrasi dan

lain-lainnya.

Buku kelima, yaitu Muhammadiyah Berjuang Demi Tegaknya

NKRI dan Agama Islam karangan Imron Nasri penerbit Suara

Muhammadiyah. Buku ini merupakan kumpulan khutbah tokoh

Muhammadiyah pada masa lalu. Namun bila dibaca dengan seksama,

bukanlah sekedar pidato seremonial. Akan tetapi terkandung makna

dan amanat yang penting. Dalam beberapa kumpulan khutbah tersebut

ada khutbah dari Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Buku keenam, yaitu Islam Sebagai Dasar Negara (Pidato

Mohammad Natsir di Depan Sidang Majelis Konstituante Untuk

Menentukan Dasar Negara RI (1957-1959), tulisan Kholid O. Santosa

(ed)20

yang diterbitkan di Bandung oleh penerbit Sega Arsy tahun

2004. Buku yang merupakan referensi pembanding sekaligus

pelengkap yang penulis ambil untuk menambah wawasan pemikiran Ki

Bagoes Hadikoesoemo.

Buku ketujuh, yaitu Dari Muhammadiyah untuk Indonesia:

Pemikiran dan Kiprah Ki Bagoes Hadikoesoemo, Mr. Kasman

Singodimejo, K. H. Abdul Kahar Muzakkir penerbit Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, oleh editor Lukman Hakiem. Buku ini berbicara

mengenai pemikiran Trio Patriot itu serta kiprahnya. Pemikiran-

pemikiran yang diambil dari beberapa pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo

20

Kholid O. Santosa, Islam Sebagai Dasar Negara (Pidato Mohammad Natsir

di Depan Sidang Majelis Konstituante Untuk Menentukan Dasar Negara RI 1957-1959,

(Bandung: Sega Arsy, 2004).

20

yang termuat dalam buku ini dijadikan sumber bagi penulisan skripsi

ini.

Dari beberapa sumber yang digunakan penulis, baik sumber primer

maupun sekunder, tidak banyak data yang menjelaskan mengenai Ki

Bagoes Hadikoesoemo dan pemikirannya. Oleh karena itu, data-data

yang terpisah itu dijadikan satu untuk mengambil Ki Bagoes

Hadikoesoemo dan pemikirannya. Penulis lebih menitikberatkan

penulisan ini terhadap pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang

negara Islam dan hubungan antara agama Islam dan negara.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara

kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.21

Metode penulisan sejarah terbagi menjadi empat tahap, antara lain:

1. Heuristik

Menurut terminologinya heuristik dari bahasa Yunani

heuristiken yaitu mengumpulkan atau menemukan sumber. Sumber

primer dalam penelitian ini adalah naskah-naskah dalam proses

perumusan dasar negara, naskah-naskah terkait tokoh penelitian

dan beberapa karya tulis Ki Bagoes Hadikoesoemo yaitu Islam

Sebagai Dasar Negara, Achlak Pemimpin, Muhammadiyah

21

Louist, Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Presss, 1986) hlm. 32.

21

Berjuang Demi Tegaknya NKRI dan Agama Islam. Kedua sumber

sekunder, berupa karya-karya para tokoh yang membahas

mengenai perumusan dasar negara Indonesia dan Ki Bagoes

Hadikoesoemo dan pemikirannya baik dalam bentuk karya ilmiah

maupun dalam bentuk berita. Dalam mendapatkan bukti sejarah

yang diperlukan baik primer maupun sekunder yang sesuai dengan

masalah yang diteliti, penulis juga mengadakan penelitian lapangan

di berbagai perpustakaan, seperti: Perpustakaan Jurusan SPI IAIN

Salatiga, Perpustakaan IAIN Salatiga, Perpustakaan Daerah Kota

Salatiga, Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Badan Arsip

Daerah Kota Yogyakarta. Dari beberapa perpustakaan penulis

mendapatkan buku-buku antara lain: Dari Muhammadiyah Untuk

Indonesia22

dan Muhammadiyah Berjuang Demi Tegaknya NKRI

dan Agama Islam23

2. Kritik Sumber

Adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas

sumber dengan cara kritik. Kritik yang dimaksud adalah kerja

22

Lukman Hakiem, Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia: Pemikiran Ki

Bagoes Hadikoesoemo, Mr. Kasman Singodimejo, K. H. Abdul Kahar Muzakkir,

Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

23

Imron Nasri, Muhammadiyah Berjuang Demi Tegaknya NKRI dan Agama

Islam, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012).

22

intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna

mendapatkan objektivitas suatu kejadian.24

Guna mendapatkan fakta-fakta sejarah dalam tahap kedua ini

dibagi menjadi:

a. Kritik Ekstern

Kritik ekstern adalah usaha mendapatkan otentisitas sumber

dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber.25

b. Kritik Intern

Kritik intern adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas

sumber, artinya apakah isi dokumen ini terpercaya, tidak

dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan lain-lain.

Kritik intern ditujukan untuk memahami isi teks.26

3. Interpretasi

Suatu peristiwa agar menjadi cerita sejarah yang baik maka

perlu diinterpretasikan berbagai fakta yang saling terpisah antara

satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi satu kesatuan

bermakna. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat individual,

artinya siapa saja dapat menafsirkan. Terjadi perbedaan dalam

penginterpretasian hal itu dipengaruhi oleh perbedaan latar

24

Suhartono, W. Pranoto. Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2010) hlm. 35.

25

Ibid, hlm. 36.

26

Ibid, hlm. 37

23

belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, dan lain-lain yang

mempengaruhi interpretasinya.27

4. Historiografi

Setelah melakukan proses analisis dan sintesis, proses kerja

mencapai tahap akhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah.

Proses penulisan dilakukan agar fakta-fakta yang sebelumnya

terlepas satu sama lain dapat disatukan, sehingga menjadi satu

perpaduan yang logis dan sistematis dalam bentuk narasi

kronologis. Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual

dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah.28

Penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana

mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji

(verifikasi), dan diinterpretasi. Setelah menyelesaikan secara tuntas

setiap tahap penelitiannya, langkah selanjutnya adalah

menyampaikan atau mengkomunikasikan hasil-hasik penelitian.29

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai keseluruhan isi

penelitian ini, maka perlu dikemukakan secara garis besar

pembahasan melalui sistematika penulisan sebagai berikut:

27

Suhartono, W. Pranoto. Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2010) hlm. 55.

28

Paul Veyne, Writing History, Essay on Epistemology, terjemahan dari bahasa

Perancis, Mina Moore-Rinvolucri (Perancis: Wesleyan Univercity Press, 1984) hlm. 121.

29

A. Daliman. Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012) hlm. 100.

24

BAB I: Berisi pendahuluan yang memberikan gambaran

mengenai latar belakang masalah penelitian, selanjutnya diberikan

batasan dan rumusan masalah agar penelitian yang dikaji lebih

fokus dan penjelasannya lebih mendetail, kemudian dirumuskan

tujuan dari penelitian, selanjutnya sumber-sumber penelitian

ditinjau dalam tinjauan pustaka dan dijabarkan dengan beberapa

konsep dalam kerangka konseptual, lalu metode penelitian dan

terakhir sistematika penulisan.

BAB II menjelaskan biografi Ki Bagoes Hadikoesoemo dan

masa kecil Ki Bagoes Hadikoesoemo dari mulai latar belakang

pendidikan sampai karir perjuangan Ki Bagoes Hadikoesoemo

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam karir

perjuangan Ki Bagoes Hadikoesoemo dijabarkan lagi dalam dunia

politik sebelum kemerdekaan Indonesia dan karirnya dalam

organisasi Muhammadiyah dan karir setelah kemerdekaan

Indonesia.

BAB III menjelaskan mengenai latar pemikiran keislaman dan

kebangsaan yang membentuk pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo

tentang konsep negara Islam. Serta menjelaskan beberapa

problematika mengenai pembentukan dasar negara Republik

Indonesia.

BAB IV menjelaskan tentang pemikiran Ki Bagoes

Hadikoesoemo tentang negara Islam dan peranan Ki Bagoes

25

Hadikoesoemo dalam mewujudkan negara Islam pada saat

perumusan dasar negara Indonesia.

BAB V berisi penutup yang menjelaskan kesimpulan dari

penelitian mengenai Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang negara

Islam yang didukung dengan kritik dan saran dari penulis dalam

menyikapi pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo.

26

BAB II

RIWAYAT HIDUP KI BAGOES HADIKOESOMO

A. Biografi Ki Bagoes Hadikoesoemo

Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia30

ini dilahirkan di

kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada senin pahing

24 November 1890 bertepatan dengan 11 Robiul Akhir 1038 Hijriyah.

Nama Ki Bagoes Hadikoesoemo bukan merupakan nama sejak kecil, tetapi

nama itu disandang oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo pada usia 30-an atau

sekitar tahun 1921. Ki Bagoes Hadikoesoemo merupakan putra ketiga dari

lima bersaudara K. H. Hasyim.31

Kelima anak dari K. H. Hasyim tercatat

sebagai tokoh-tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal di kalangan

Muhammadiyah, yaitu H. Sudjak, K. H. Fachrudin, Ki Bagoes

Hadikoesoemo, K. H. Zaini, dan Siti Munjiyah.

Kultur Kauman telah berpengaruh terhadap pertumbuhan

Hidayat/Dayat (nama Ki Bagoes Hadikoesoemo saat kecil). Secara sosial

keluarga priyayi Jawa menempati posisi yang cukup dihormati antara lain

karena memiliki hubungan dekat dengan Sri Sultan Hamengkubuwono ke

VIII dan apalagi menggunakan simbol-simbol priyayi seperti pakaian,

30

Presiden Joko Widodo telah menetapkan Ki Bagoes hadikoesoemo sebagai Pahlawan

Nasional Perintis Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 05 November 2015.

31

K. H. Hasyim merupakan abdi dalem lurah di Keraton Mataram Yogyakarta yang

membidangi soal keagamaan di masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Oleh sebab itu ayah Ki

Bagoes Hadikoesoemo digelari Raden Haji Lurah Hasyim.

27

nama dan sebagainya. Kedalaman pengetahuan agama keluarga priyayi-

santri juga sangat berpengaruh menaikkan status sosial dan rasa hormat

masyarakat kepada mereka. Tidak sedikit dari mereka kemudian yang juga

dikenal sebagai tokoh, pemimpin dan orang-orang alim menyediakan diri

untuk mengajar agama di Kauman maupun kalangan masyarakat luas.

Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagoes Hadikoesoemo mulai

memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di

Kauman. Setelah tamat dari “Sekolah Ongko Loro” (tiga tahun tingkat

sekolah dasar), Ki Bagoes Hadikoesoemo belajar di Pesantren

Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Di pesantren ini Ki Bagoes

Hadikoesoemo banyak mengkaji kitab-kitab Fiqh dan Tasawuf.

Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari

seorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagoes

Hadikoesoemo juga belajar Bahasa Inggris dari Mirza Wali Ahmad Baig.

Dalam usia 20 tahun Ki Bagoes Hadikoesoemo menikah dengan Siti

Fatmah (Putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah

seorang di antara anak-anak Ki Bagoes Hadikoesoemo ialah Djarnawi

Hadikoesoemo yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah

menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Siti Fatmah meninggal, Ki

Bagoes Hadikoesoemo menikah lagi dengan wanita pengusaha dari

Yogyakarta yang bernama Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang

anak. Ki Bagoes Hadikoesoemo kemudian menikah lagi dengan Siti

28

Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari

istri ketiga ini Ki Bagoes Hadikoesoemo memperoleh lima anak.

Sekolah Ki Bagoes Hadikoesoemo tidak lebih dari sekolah rakyat

(yang sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di Pesantren. Namun,

berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya

Ki Bagoes Hadikoesoemo menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin

ummat. Di samping itu jiwa nasionalisme dan patriotisme Ki Bagoes

Hadikoesoemo sangat mendalam.

B. Latar Pendidikan Ki Bagoes Hadikoesoemo

Kauman terdapat sejumlah tempat atau pusat pembelajaran Islam yang

dipimpin oleh sejumlah Kiai dengan berbagai ahli. Sebagaimana pesantren,

Kauman adalah Kampung Santri dengan ciri khas santri yang sangat

kental. 32

Seperti pada umumnya masyarakat Kampung Kauman yang pada

saat itu penduduknya 100% beragama Islam melihat adanya tantangan

yang ditimbulkan oleh kehadiran Kristenisasi yang secara langsung

disokong oleh Pemerintah Kolonial Belanda khususnya ke dalam

lingkungan umat Islam di Yogyakarta. Demikian juga karena tidak adanya

pelajaran agama di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah

Belanda.33

Maka para orang tua lebih banyak mengarahkan anak-anaknya

32

Lihat buku klasik Clifford Geertz, Religion of Java (Chicago and London: University

of Chicago Press, 1976).

33

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1990-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980)

hlm. 105.

29

pada pembinaan bidang keagamaan yang bersifat non formal. Demikian

halnya yang dialami Ki Bagoes Hadikoesoemo, sebagian besar ilmu yang

didapatkan adalah bersifat non formal dan dari didikan orang tua, ulama-

ulama atau tokoh-tokoh lain di Kampung Kauman dan sekitarnya.

Kemudian dilanjutkan dengan belajar di pondok pesantren Wonokromo

dan Pekalongan. Bahkan Ki Bagoes Hadikoesoemo belajar bahasa dan

kebudayaan Jawa dari raden Ngabehi Sosrosoegondo, penulis buku yang

cukup terkenal Judhagama. Di pesantren tradisional Ki Bagoes

Hadikoesoemo bersentuhan dengan tasawuf yang menentukan corak

keilmuan dan watak tradisi keilmuan pesantren. Hal ini senada dengan apa

yang dikatakan oleh Abdurrahman Wahid: “Buku-buku Tasawuf yang

menggabungkan fiqih dengan amal-amal akhlaq merupakan bahan

pelajaran utama. Misalnya Kitab Bidayatul Hidayah karya Fiqih-Sufistik

Imam Ghazali.”34

Titik tekan corak keilmuan ini ialah pendalaman akhlaq

dalam bentuk pengamalannya secara tuntas dan pendalaman pemahaman

sufistik kepada kehidupan. Pengaruhnya terhadap Ki Bagoes

Hadikoesoemo nampak sangat jelas antara lain dari bukunya Poestaka

Ihsan.35

Ki Bagoes Hadikoesoemo banyak belajar ilmu perbandingan agama

dan kristalogi dari K. H. Ahmad Dahlan. Selain itu, juga banyak tentang

leadership (ilmu kepemimpinan) dan ilmu logika (ilmu mantiq) dari K.H.

34

Abdurrahman Wahid, “Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren”, Pesantren, nomor

perdana (Oktober-Desember, 1984) hlm. 6.

35

Lihat Ki Bagoes Hadikoesoemo, Poestaka Ihsan (Mataram, Persatoean, 1941) .

30

Ahamad Dahlan. Beberapa ilmu tersebut digunakan untuk melakukan

tabligh ke daerah pelosok-pelosok.36

Kitab-kitab yang pernah Ki Bagoes

Hadikoesoemo pelajari antara lain: kitab karangan Muhammad Abduh,

terutama kitab Tafsir Al Manar, kitab Ibnu Taimiyah, kitab Imam Ghozali,

kitab Ibnu Rusyd dan kitab-kitab ulama pembaharu lainnya.

Ki Bagoes Hadikoesoemo sejak kecil dididik dan tumbuh sebagai

seorang yang bersahaja atau sederhana secara ekonomi dan juga secara

sosial. Ki Bagoes Hadikoesoemo tidak suka publisitas apalagi menyangkut

pribadi. Foto pribadinya pun sangat sedikit dan bahkan atas pesan Ki

Bagoes Hadikoesoemo menjelang wafatnya kepada keluarga bahwa

kuburan atau makamnya tidak dibangun apa-apa. Sehingga sampai

sekarang sukar mendapatkan makam Ki Bagoes Hadikoesoemo. Ki Bagoes

Hadikoesoemo dikenal sebagai seorang yang memiliki disiplin tinggi,

teguh pendirian dan keyakinan kepada kebenaran, seorang yang tulus,dan

menghormati keputusan. Tidak kurang, Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah

seorang yang siap berkorban dan siap menanggung resiko untuk

kepentingan umum, seorang Muslim nasionalis yang berkarakter.37

36

Djarnawi Hadikoesoemo, Derita Seorang Pemimpin (Yogyakarta: Persatuan, 1979)

hlm. 11.

37

Lukman Hakiem, Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia: Pemikiran dan Kiprah Ki

Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, dan K. H. Abdul Kahar Mudzakkir (Pimpinan

Pusat Muhammadiyah, 2013) hlm. 40.

31

C. Karir Perjuangan Ki Bagoes Hadikoesoemo Untuk Negara

Kesatuan Republik Indonesia

1. Karir Perjuangan Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Jiwa nasionalisme dan patriotisme Ki Bagoes Hadikoesoemo sangat

mendalam, hingga membuat Ki Bagoes Hadikoesoemo sangat akrab

dengan para tokoh pergerakan baik golongan nasionalisme non agam

(sekuler) maupun nasionalisme islami. Keakraban Ki Bagoes

Hadikoesoemo dengan para pejabat dan pembesar sebelum

kemerdekaan dapat digambarkan seperti dengan seorang kepala

Kempetai38

yang bernama Kolonel Tsuda (masa pendudukan Jepang).

Ketika Jepang sudah hampir menyerah kepada sekutu, pada saat itulah

Ki Bagoes Hadikoesoemo, Ir. Soekarno, dan Moh. Hatta kembali dari

Tokyo berkenalan dengan Tenno Heika sambil menerima secara resmi

janji kemerdekaan. Kolonel Tsuda dalam salah satu kesempatan

menepuk bahu Ki Bagoes Hadikeosoemo dan berkata: “Ini tuan Ki

Bagoes Hadikoesoemo adalah sahabat saya.”39

Sikap-sikap itulah yang membuat Ki Bagoes Hadikoesoemo

memiliki pengaruh yang besar bagi organisasi yang diikuti maupun

untuk kemaslahatan ummat. Ki Bagoes Hadikoesoemo juga menjadi

anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

38

Kempetai adalah polisi militer Jepang.

39

Djarnawi Hadikoesoemo, Derita Seorang Pemimpin (Yogyakarta: Persatuan, 1979)

hlm. 22.

32

Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI).

Dalam sidang BPUPKI tahun 1945 dan dalam Muktamar

Muhammadiyah ke-31, Ki Bagoes Hadikoesoemo menyampaikan

pidato tentang Islam sebagai dasar negara yang tidak dimuat dalam

dokumen negara yang disusun oleh Muhammad Yamin. Begitu juga

tidak termuatnya pidato dari golongan Islam lainnya seperti Mas

Mansyur, Muzakkir, Wahid Hasyim dalam dokumen Muhammad

yamin40

Sidang tersebut berlangsung pada tanggal 29, 30, dan 31 Mei

1945, yang membahas tentang dasar negara Indonesia, daerah negara

dan kebangsaan Indonesia. Sidang tersebut diketuai oleh Dr. KRT

Radjiman Wedyodiningrat.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah diproklamirkan

pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini dalam arti tekstual Indonesia sudah

menjadi negara merdeka, artinya telah bebas dari penjajahan. Akan

tetapi kenyataanya kolonial Belanda yang sebelumnya telah menjajah

Indonesia dalam waktu yang cukup lama kembali ingin menguasai

negeri ini. Belanda pergi dari Indonesia setelah Jepang berhasil

mengambil alih kekuasaanya dan berkuasa pada tahun 1942-1945.

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta

ternyata tidak diakui oleh Belanda, artinya mereka masih menganggap

bahwa Hindia Belanda masih menjadi jajahannya dan perlu mendapat

40

Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1997) hlm. 108-109.

33

pembinaan untuk benar-benar menjadi negara yang merdeka

seutuhnya. Belanda kembali mencoba menduduki kembali tanah bekas

jajahannya dengan berbagai cara di Hindia Belanda khususnya

Indonesia.

Saat terjadinya Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta pada

tanggal 21 Juli 1947, dalam waktu yang relatif singkat Belanda dapat

menerobos pertahanan TNI. Dalam menghadapi ini, ulama-ulama

Muhammadiyah membuka markas di masjid Taqwa di kampung

Suronatan.41

Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Ki Bagoes

Hadikoesoemo, K.H Mahfudz, K.H Hajdid, K.H Badawi, Jenderal

Sarbini, K.H Abdul Aziz, K.H Johar, K.H Juremi dan dalam pertemuan

ini terbentuklah Angkatan Perang Sabil (APS) lengkap dengan

pengurusnya. Ki Bagoes Hadikoesoemo menjadi penasihat.

Pembentukan APS ini dilaporkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono

IX dan juga kepada Sudirman, panglima besar TKR (Tentara

Keamanan Rakyat).42

Aksi dari Agresi militer Belanda ini mendapat kecamana dari dunia

internasional, yaitu melalui DK ( Dewan Keamanan) PBB. Dewan

41

Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1997) hlm. 131.

42

Pada tanggal 12 November 1945 diselenggarakan konferensi TKR yang pertama

dibawah Letnan Jenderal Oerip Sumoharjo. Sebenarnya Sukarno Telah menunjuk Supriyadi

sebagai panglima tertinggi TKR, akan tetapi ia tidak pernah muncul. Dalam konferensi itu juga

akhirnya Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar mengalahkan calon-calon lainnya. Lihat

Sardiman, Guru Bangsa, Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, (Yogyakarta: Ombak, 2008) hlm.

128-134. Ia dilantik pada tanggal 18 Desember 1945 sebagai panglima besar. Lihat pula dalam

Marwati Jonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993) hlm. 109.

34

Keamanan menyerukan untuk gencatan senjata dari kedua belah pihak

yang bertikai. Dalam kenyataanya Belanda tidak mematuhi sama

sekali, bahkan pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak Van Mook

memproklamirkan tentang “garis demakrasi van Mook” yang menjadi

batas antara daerah RI dan daerah yang dikuasai oleh Belanda. Maka

dari itu Indonesia mendesak Komisi tiga Negara (KTN) untuk menekan

Belanda mematuhi gencatan senjata.43

Pada akhirnya Belanda mau berunding dengan Indonesia tanggal 8

Desember 1947, kemudian yang dikenal dengan perjanjian

Renville. Perundingan ini disepakati dan ditandatangai pada tanggal 17

Januari 1948 oleh ketua delegasi Indonesia PM Amir Syarifuddin dan

delegasi Belanda R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.44

Keputusan

perundingan ini sangat menyakitkan bagi Indonesia, karena wilayah RI

menjadi sempit yang mengakibatkan anggota TNI harus ditarik dari

belakang garis van Mook.

2. Karir Ki Bagoes Hadikoesoemo Dalam Muhammadiyah Dan

Setelah Kemerdekaan

Pengalaman organisasi Ki Bagoes Hadikoesoemo antara lain: pada

tahun 1922 Ki Bagoes Hadikoesoemo menjadi Ketua Majelis Tabligh,

tahun 1926 menjadi Ketua Majelis Tarjih dan anggota Komisi MPM

43

Sardiman, Guru Bangsa, Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, (Yogyakarta: Ombak,

2008) hlm. 157.

44

Ibid., hlm. 158.

35

Hoofdbestuur Muhammadijah. Ki Bagoes Hadikoesoemo sempat pula

aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul.

Selain itu, bersama kawan-kawan, Ki Bagoes Hadikoesoemo

mendirikan klub bernama Kauman Vietbal Club (KVC) yang sekarang

dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).

Hadirnya Ki Bagoes Hadikoesoemo sebagai Ketua PB Muhammadiyah

berawal saat terjadi pergolakan politik Internasional, yaitu pecahnya

Perang Dunia II. Ki Bagoes Hadikoesoemo diminta K. H. Mas

Mansoer untuk menggantikannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah

pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, karena Mas Mansoer

dipaksa menjadi Pengurus Pusat tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta

tahun 1942.

a. Ketua Bagian Tabligh

Ki Bagoes Hadikoesoemo diberi kepercayaan sebagai Ketua

Bagian Tabligh untuk mengembangkan dakwah. Pada masa-masa

inilah Ki Bagoes Hadikoesoemo mulai berkeliling bertemu

masyarakat luas, mengembangkan jaringan dan menjelaskan Islam

semurni-murninya berdasarkan Al Qur‟an dan Hadits Shohih.

Pandangan dan keyakinan Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah tauhid

yang murni, konsistensinya kepada aturan (syariat) yang telah

ditetapkan dan sikapnya yang jelas bahwa Islam yang seperti itulah

yang mampu menyelamatkan masyarakat dari keyakinan yang

36

ekstrim yang menyesatkan. Kesederhanaan dan ketulusannya

memperkuat posisi Ki Bagoes Hadikoesoemo sebagai mubaligh,

pemimpin yang diperhitungkan baik di kalangan internal

Muhammadiyah maupun di luar Muhammadiyah. Melaui Bagian

Tabligh ini Ki Bagoes Hadikoesoemo telah ikut memainkan

peranan penting dalam memperluas dan mengembangkan

Muhammadiyah.

b. Ketua Majelis Tarjih

Atas keteguhan sikap dan pandangan tentang syariat, Ki bagoes

Hadikoesoemo diberi kepercayaan memimpin Majelis Tarjih pada

periode kepemimpinan kedua di bawah K. H. Ibrahim (1923-1932).

Melalui majelis inilah warga Muhammadiyah memiliki pedoman

praktis dalam menjalankan ketentuan syariat atau ajaran Islam yang

semurni-murninya dalam kehidupan sehari-hari. Peran Ki Bagoes

Hadikoesoemo sebagai Ketua Majelis Tarjih adalah menyiapkan

dan menetapkan metode Istinbath al Hukm termasuk persyaratan-

persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seorang jika benar-

benar ingin beristinbath. Jadi, Ki Bagoes Hadikoesoemo

memainkan peran sebagai seorang ulama yang memimpin semacam

Lembaga Fatwa, menyediakan obor (al misbah) agar umat atau

warga Muhammadiyah secara keagamaan dan sosial tidak tersesat.

37

c. Tim MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah

Komisi ini bertugas melengkapi putusan Kongres

Muhammadiyah ke- 15 di Surabaya tahun 1926 khusus tentang

pendidikan. Ketua oleh K. H. Muchtar, Wakil ketua K. H. Hisyam

dan Sekretaris M. Y. Anies, terdapat empat belas anggota komisi

ini dan salah satunya adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo. Keberadaan

komisi ini sangat penting mengingat jumlah lembaga pendidikan

atau sekolah Muhammadiyah mulai tumbuh akan tetapi

menghadapi berbagai kesulitan antara lain terkait dengan sarana. Ki

Bagoes Hadikoesoeomo telah ikut berperan memperteguh

independensi atau otonomi pendidikan Muhammadiyah sebagai

lembaga pendidikan Islam swasta yang tidak tergantung kepada

pemerintah.

d. Ketua Umum Muhammadiyah

Kondisi sosial politik negara Indonesia pada masa Ki Bagoes

Hadikoesoemo sebagai Ketua Umum Muhammadiyah benar-benar

dihadapkan pada tantangan yang berat berupa masa transisi.

Dimulai dari masa pendudukan Jepang, kemudian masa perebutan

kekuasaan sampai pada Proklamasi 1945, hingga ada usaha dari

pihak kolonial Belanda untuk kembali menjajah Republik

Indonesia. Masa mempertahankan kemerdekaan yang telah

dibentuk dengan perang-perang kemerdekaan I dan II, dan yang

38

terakhir adalah mengisi kemerdekaan. Kalau melihat realitas di

atas, tentang situasi dan kondisi yang terjadi, masa kepemimpinan

Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah masa-masa sulit bagi siapapun

untuk memimpin umat. Ki Bagoes Hadikoesoemo disamping

memimpin persyarikatan Muhammadiyah, juga memikirkan nasib

bangsa. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Bagoes menentang Sei

Kerei45

yang diwajibkan bagi sekolah sekolah setiap pagi hari.

Setelah melalui debat yang sangat seru, menegangkan dan beresiko

tinggi dengan pihak Jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberi

dispensasi khusus bagi sekolah Muhammadiyah untuk tidak

melakukan upacara tersebut.46

Itulah suatu keistimewaan terhadap

Muhammdiyah dengan memberikan kelonggaran untuk tidak

melakukan Sei Kerei pada pagi hari. 47

Setelah tugas-tugas kenegaraan terselesaikan Ki Bagoes

Hadikoesoemo kembali menekuni dan mencermati berbagai hal yang

ada di Muhammadiyah dan menemukan berbagai masalah fundamental

yaitu Muqadimah anggaran dasar Muhammadiyah belum diuraikan dan

hanya berupa batang tubuh. Ki Bagoes Hadikoesoemo melihat bahwa

arti pentingnya mukadimah bagi sebuah anggaran dasar, sama

45

“Sei Kerei” adalah membungkukkan badan ke arah timur laut, kearah negeri Jepang

dengan maksud menghormati dewa matahari, dewa yang dipercaya telah mentiskan para kaisar

Jepang.

46

Mustafa Kemal Pasha dan A. Adaby Darban,(2005) hlm. 155. 47

Djarnawi Hadikoesoemo, Aliran Pembaruan Islam: Dari Jamaluddin Al Afghani

hingga KH Ahamd Dahlan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014) hlm. 97.

39

pentingnya dengan Pembukaan atau Preambule bagi sebuah Undang-

Undang Dasar.48

Hal ini dikarenakan dapat memberikan gambaran

kepada dunia luar atau kepada siapapun pandangan hidup , serta tujuan

yang dicita-citakan.

Isi dari Mukadimah merupakan hasil dari refleksi pemikiran, ide,

dan gagasan dari K.H Ahmad Dahlan dalam upaya menegakkan dan

menjunjung tinggi ajaran Islam. Hakekat dari mukadimah tersebut

sebenarnya menggambarkan falsafah hidup dan falsafah perjuangan

K.H Ahmad Dahlan yang didalamnya menegaskan tentang dasar dan

keyakinan hidup, tujuan atau cita-cita hidup, dan cara yang digunakan

untuk mencapai tujuan hidup. Hasil Muktamar Muhammadiyah ke-31

tahun 1950 adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam

sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya.49

Setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Ki Bagoes

Hadikoesoemo termasuk sebagai anggota Komite Nasional Pusat

(KNIP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili partai

Islam Masyumi. Sebagai anggota Dewan Ki Bagoes menggantikan K.

H Bunyamin. Terakhir Ki Bagoes Hadikoesoemo juga ikut berjuang di

bidang ketentaraan dengan membentuk laskar yang di bawah pimpinan

ulama dengan nama “Angkatan Perang Sabil” yang disingkat APS.

48

Ibid.

49

Ibid, hlm. 157.

40

APS didirikan pada bulan Ramadhan atau bulan Juli 1947 oleh para

ulama Muhammadiyah.

Perjuangan partai politik Ki Bagoes Hadikoeseomo setelah

Indonesia merdeka, dilanjutkan melalui wadah partai Masyumi. Di

partai Masyumi, Ki Bagoes Hadikoesoemo ikut serta sebagai Wakil

Ketua dalam Majlis Syuro bersama K.H Wahab Hasbullah,

mendampingi K. H Hasyim Asy‟ari sebagai Ketuanya. Jabatan itu

berakhir hingga Muktamar ke 4, di Yogyakarta pada tahun 1950, sebab

Ki Bagoes Hadikoesoemo terpilih sebagai anggota Pengurus Besar

Partai bahkan sampai wafatnya pada tanggal 3 September 1954.

Sebagai seorang pemimpin tertinggi Muhammadiyah, Ki Bagoes

Hadikoesoemo sangat prihatin terhadap apa yang telah menjadi

keputusan dan ketetapan dalam proses perumusan dasar negara.

Suasana kemerdekaan Indonesia tidak seperti yang diharapkan dan

diidam-idamkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Ki Bagoes

Hadikoesoemo melihat roh Islam tidak menampakkan

kecemerlangannya dalam masyarakat. Hingga sampai umur 62 tahun

kesehatan jasmani Ki Bagoes Hadikoesoemo turun. Ki Bagoes

Hadikoesoemo sadar bagaimana besar tanggung jawabnya kepada

Allah dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin itu membuat takut

untuk mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Karena luasnya dan

dalamnya ilmu terutama ilmu agama Ki Bagoes Hadikoesoemo merasa

takut mengemban amanatNya dan umat sebagai pemimpin. Derita

41

inilah yang membuat Ki Bagoes menolak jabatan Ketua yang telah

dipercayakan oleh Muh. Tamirin secara aklamasi dalam Muktamar

Muhammadiyah ke 32 di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1954.

Beberapa peninggalan jejak perjuangan Ki Bagoes Hadikoesoemo

berupa buku atau karangan. Sejumlah buku atau karangan diterbitkan

semasa penjajahan Belanda dan berbahasa Jawa tatapi juga sebagian

diterbitkan di jaman Jepang dan Kemerdekaan Indonesia. Buku-buku

karangan Ki Bagoes Hadikoesoemo antara lain:

a. Tafsir Juz „Amma, terbit tahun 1935.

Memuat tafsir dar Al Quran juz terakhir secara lengkap

berbahasa Jawa.

b. Ruhul Bayan, terbit 1935.

Memuat tafsir surat Jumuah dan surat Munafiqun berbahasa

Jawa.

c. Katresnan Jati, terdiri dari 3 jilid, terbit tahun1935.

Memuat tentang tuntunan Nabi tentang cara mearwat serta

mendoakan orang sakit, mengurus jenazah, sholat istikharah

serta doa-doa yang maqbul dan amalan dalam mengurusi serta

menanggapi orang mati yang berdasarkan Al Quran dan

Sunnah (berbahasa Jawa).

d. Pustaka Iman, terbit tahun 1935.

42

Memuat tentang sejarah kehidupan dan perjuangan Nabi

Muhammad dalam rangka mengembangkan ajaran tauhid dan

berisi rukun iman (berbahasa Jawa).

e. Pustaka Hadi, terdiri dari 6 jilid, terbit tahun1936.

Memuat tafsir-tafsir Al Quran yang berhubungan dengan

hukum, ibadah, akhlaq dan muamalah (berbahasa Jawa).

f. Pustaka Islam, terbit tahun1940.

Memuat tentang arti, cara melakukan dan hikmah dari rukun

Islam (berbahasa Jawa).

g. Pustaka Ihsan, terbit tahun1941.

Memuat tentang ilmu jiwa, tasawuf, akhlaq, iman dan taqwa,

sabar dan tawakal serta nilai-nilai pribadi yang harus dimiliki

oleh setiap pemimpin (berbahasa Jawa).

h. Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlaq Pemimpin, terbit tahun

1954.

Memuat bagaimana konsep Islam tentang kenegaraan yang

dikaitkan dengan praktek negara demokrasi Islam di jaman

Nabi dan akhlaq seorang pemimpin dengan mengambil

tauladan kepemimpinan Nabi (berbahasa Indonesia).

43

BAB III

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KEISLAMAN DAN

KEBANGSAAN DI INDONESIA

A. Pergolakan Pemikiran Nasionalis Islam Sebelum Kemerdekaan

Asal usul dan pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia didominasi

dengan gerakan politik. Gerakan politik di kalangan Muslimin di Indonesia

dapat dikatakan identik dengan asal usul dan pertumbuhan Sarekat Islam.

Sebuah partai Islam lain, Persatuan Muslimin Indonesia di daerah

Sumatera aktif sebagai suatu partai politik dalam permulaan tahun 1930-

an. Tetapi setelah itu partai Persatuan Muslimin Indonesia lumpuh karena

tindakan yang dilakukan pihak Belanda. Partai Islam Indonesia yang

didirikan pada tahun 1937 memperlihatkan harapan-harapan besar, tetapi

ini tidak dapat dipenuhi karena datangnya Jepang pada tahun 1942. Karena

kesempatan tumbuh dari partai-partai lain ini sangat kurang, terbukalah

kemungkinan untuk mempelajari aspek politik dari gerakan pembaharuan

Islam dari perkembangan Serikat Islam. Perkembangan partai ini

memperlihatkan maju dan mundurnya posisi umat Islam di Indonesia yang

mendasarkan ideologinya pada ajaran Islam.50

Perkembangan Sarekat Islam dapat dibagi menjadi empat bagian:

Periode pertama (1911-1916) yang memberikan corak dan bentuk bagi

50

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES) hlm. 114.

44

partai-partai tersebut, Periode kedua (1916-1921) yang dapat dikatakan

merupakan periode puncak, Periode ketiga (1921-1927) yang merupakan

periode konsolidasi yang mana partai tersebut bersaingan keras dengan

golongan Komunis, di samping itu juga mengalami tekanan-tekanan yang

dilancarkan oleh pemerintah Belanda. Dan keempat (1927-1942) yang

memperlihatkan usaha partai untuk tetap mempertahankan eksistensinya di

forum politik Indonesia.

Pada tahun 1922 gerakan nasional keseluruhan Sarekat Islam tidak lagi

menempati posisi yang menentukan sebagai yang pernah ditempatinya. Di

samping menurunnya kekuatan partai , hal ini mungkin disebabkan oleh

perubahan hubungannya dengan partai-partai lain yang tidak bersahabat

lagi seperti pada periode sebelumnya. Menurut Deliar Noer peranan

Sarekat Islam sebagai suatu perkembangan yang wajar. Pertama, tidaklah

dapat diharapkan bahwa subuah partai Islam hanya menjadi penonton

tentang problema yang bersangkutan dengan orang Islam pada umumnya.

Kedua, walaupun partai Sarekat mempunyai pemikiran pembaharuan

dalam agama, partai itu kurang terlibat dalam masalah-masalah yang

dipertikaikan antara pihak pembaharu (Kaum Muda) dan pihak tradisi

(Kaum Tua), dibandingkan dengan orang-orang ataupun organisasi-

organisasi yang membatasi diri mereka pada bidang sosial dan pendidikan.

Ketiga, walaupun dalam masa mundurnya Sarekat Islam masih mempunyai

pengiku-pengikut yang lebih banyak dari organisasi Islam manapun pada

waktu itu. Partai itu memang dianggap sebagai satu-satunya partai bagi

45

semua orang islan, baik pembaharu maupun golongan tradisi. Kongres-

kongres Al Islam juga membicarakan masalah-masalah politik seperti

masalah khilafah. Tiga organisasi Islam yang berpartisipasi dalam kongres

Al Islam tahun 1922 adalah Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al Irsyad.

Pada saat itu pembahasan kongres Al Islam membicarakan masalah-

masalah agama, di mana Muhammadiyah dan Al Irsyad di satu pihak dan

golongan tradisi di pihak lain mempunyai perbedaan pendapat. Akhirnya

kongres itu memilih Serikat Islam sebagai pimpinan. Perbedaan berangsur-

angsur antara kalangan tradisi dan kalangan pembaharu. Suatu pertikaian

terjadi antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada tahun 1926 yang

menyebabkan pihak Sarekat Islam mengambil langkah-langkah disiplin

terhadap Muhammadiyah (yaitu bahwa anggota muhammadiyah akan

dikeluarkan dari partai atau bila mereka menghendaki tetap di dalam partai,

mereka harus meninggalkan muhammadiyah). Pada masa ini juga Sarekat

Islam berusaha untuk memonopoli persoalan khilafah dengan menganggap

diri sebagai satu-satunya wakil pihak Islam Indonesia dengan mengubah

Majelis A‟la Islam Syarqiyah sebagai bagian dari partai. Peranan partai ini

dalam masalah khilafah habis begitu saja disebabkan oleh berkurangnya

perhatian negeri-negeri Islam lain tentang masalah ini.

Dalam tahun 1927 periode transisi untuk mendirikan Partai Serikat

Islam dan menghapuskan struktur lama selesai. Pada tahun 1927 juga

mencatat pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Soekarno dan

dengan demikian di Indonesia dimulailah partai yang menentang

46

kedudukan Sarekat Islam ataupun kepemimpinan Islam umumnya dalam

rangka pergerakan perjuangan kemerdekaan. Posisi yang penting dari

pemimpin-pemimpin PNI di dalam gerakan kemerdekaan

menyebabkanterjadinya dua sayap di dalam lingkungan gerakan itu, yaitu

nasionalis Islam di satu pihak dan nasionalis yang netral agama di pihak

lain. Secara ideologi adanya kedua sayap ini dapat dicatat terus sampai

masuknya tentara Jepang di Indonesia pada tahun 1942, dan dapat juga

dikatakan samapi masa kemerdekaan.

Pada tahun 1930 nama Sarekat Islam berubah menjadi Partai Syarikat

Islam Indonesia. Dan setalah ini Sarekat Islam pecah menjadi beberapa

partai kecil, seperti Penyadar dan Komite Kebenaran PSII. Pada tahun ini

juga Sarekat Islam mulai melemah dikarenakan terjadi perselisihan antar

anggota-anggotanya dan persaingan dengan kelompok-kelompok yang

terpecah seperti Penyadar dan Komite Kebenaran, serta berdirinya Partai

Islam Indonesia dalam tahun 1937. Kedudukan yang melemah ini

dicerminkan juga pada peranan partai dalam gerakan nasional umumnya di

Indonesia. Sedangkan dalam bidang agama partai terus aktif akan tetapi

tidak dapat mempertahankan kepemimpinannya seperti sebelumnya.

Adanya tindakan-tindakan disiplin Sarekat Islam terhadap Muhammadiyah

dalam tahun 1927, berdirinya Nahdlatul Ulama tahun 1926 dan ketegangan

dengan pihak Persatuan Islam sekitar tahun 1930-an mengenai masalah

furu‟ tampaknya mengasingkan partai Sarekat Islam dari organisasi-

organisasi Islam lain. Setelah partai Sarekat Islam berakhir dengan

47

tumbuhnya Penyadar (dipimpin oleh Salim) dan Komite Kebenaran

(dipimpin Kartosuwirjo), terdapat dua lagi partai Islam yaitu Persatuan

Muslimin Indonesia dan Partai Islam Indonesia. Dalam Sarekat Islam

masalah kepemimpinan sangat rawan. Sebagai suatu organisasi politik

perbedaan pendapat, kepentingan dan ambisi pribadi lebih jelas nampak

dari pada organisasi sosial dan pendidikan.

Dalam politik sebenarnya pihak Islam memulai gerakannya dengan

banyak sedikitnya menaruh kepercayaan terhadap pihak Belanda yang

melancarkan politik etis, tetapi lambat laun kepercayaan itu hilang

dikarenakan beberapa kekecewaan. Kekecewaan ini antara lain disebabkan

oleh tindakan sewenang-wenang dari pejabat Belanda untuk menghambat

dan memukul gerakan moderen Islam. Kekecewaan lain ialah kedudukan

kepala-kepala anak negeri tradisional seperti priyayi dan kepala adat

dilindungi oleh pemerintah. Kepala-kepala anak negeri ini memandang

para pemimpin moderen Islam sebagai lawan mereka. Kekecewaan

terbesar yang dirasakan oleh kalangan moderen Islam terutama yang

bergerak di bidang politik ialah penolakan Belanda untuk mendirikan suatu

pemerintahan yang bertanggungjawab kepada lembaga-lembaga

perwakilan. Ini merupakan tuntutan pokok Sarekat Islam (dan organisasi

nasionalis lain). Munculnya pemikiran nasional di kalangan para

pembaharu di Indonesia tidak pula mengurangi perasaan kesatuan umat

Islam. Sesekali konferensi Islam di Timur Tengah turut memperkuat

perasaan ini. Tetapi tidaklah tercetus dalam pikiran kalangan moderen

48

bahwa struktur politik selain khilafah tidak sesuai dengan Islam. Oleh

sebab itu, setelah jelas bahwa khilafah setelah penghapusannya di Turki

tidak dapat dipertahankan dan dihidupkan lagi, mereka tidak terlalu

kecewa. Dalam hubungan ini tuduhan dari kalangan yang netral agama

bahwa partai yang berdasar Islam menanti pertolongan dari khilafah di

Istanbul51

lebih didasarkan pada prasangka daripada kenyataan sikap dan

perasaan nasionalis Muslim. Menurut kalangan moderen, Islam sesuai saja

dengan nasionalisme dan dalam banyak hal memupuk perasaan

kebangsaan ini.

Di sisi lain, pada saat akhir pendudukan Jepang yaitu sewaktu Jepang

yang mulai kalah dengan Sekutu, Indonesia memperoleh manfaat dengan

diijinkannya untuk mengadakan persiapan kemerdekaan Indonesia.

“Orang-orang Jepang memandang Islam sebagai salah satu sarana yang

terpenting untuk menyusupi lubuk rohaniah terdalam dari kehidupan rakyat

Indonesia dan untuk meresapkan pengaruh pikiran serta cita-cita mereka ke

bagian masyarakat yang paling bawah. Dengan pertimbangan yang sama

agama Kristen terpilih di Filipina sebagai wahana penyusupan ideologis”.52

Beberapa catatan-catatan yang termuat dalam buku riwayat hidup serta

himpunan tulisan K. H. Wahid Hasjim 53

memuat manfaat zaman Jepang

51

George McT. Kahin. Nasionalism and Revolution in Indonesia (Ihaca, N. Y. : Cornell

University Press, 1952) hlm. 91.

52

M. A Aziz, Japan‟s Colonialism and Indonesia, tesis, Leiden 1955, hlm. 200.

53

Sedjarah Hidup K. H. A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, disunting oleh Aboe

Bakar atas permintaan Menteri Agama bertanggal 23 Maret 1954, untuk mengenang pendahulunya

yang meninggal dalam kecelakaan mobil pada tanggal 9 April 1953; diterbitkan di Jakarta. 1954;

selanjutnya kita sebut sebagai Wahid Hasjim.

49

yaitu dibentuknya Kantor Urusan Agama Indonesia, didirikan Masyumi,

dan pembentukan Hizbullah.

Kantor Urusan Agama (dalam bahasa Jepang Shumubu) banyak

sedikitnya mengganti Kantoor voor het Inlandsche Zaken yang sudah ada

pada zaman kolonial Belanda. Sebelumnya kantor ini dipimpin oleh

Kolonel Hori dari tentara Jepang mulai bulan Maret 1942, tetapi pada

tanggal 1 Oktober 1943 jabatan itu diserahkan kepada Hoesein

Djajadiningrat. Namun, lebih penting dari itu adalah penunjukan pejabat

kepala (yang baru) sejak tanggal 1 Agustus 1944. Pimpinan baru itu adalah

K. Hasjim Asj‟ari. Manfaat kedua dari zaman Jepang adalah pembentukan

Masyumi, yang merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin

Indonesia. Masyumi ini dipandang sebagai pengganti MIAI. Posisi

kepemimpinan dari Masyumi yang baru itu agak terbagi rata di antara para

pendukung pikiran-pikiran NU dan Muhammadiyah.54

Dengan

pembentukan dua organisasi ini yaitu kantor Urusan Agama dan Masyumi,

berarti dalam kenyataannya umat Islam telah diberi suatu aparatur yang

akan menjadi sangat penting bagi masa depan. Sebagai suatu sistem

keagamaan, Islam telah menerima suatu sarana yang kemudian dapat

berkembang menjadi suatu Kementrian Agama -yang dibentuk selama

Kabinet Sjahrir 2 Maret 1946- dengan jaringan kantor-kantor daerahnya di

seluruh Indonesia. Dan sebagai kekuatan politik, yang sayapnya

dipatahkan selama zaman kolonial, Islam segera akan mampu memainkan

54

Lihat Wahid Hasjim, hlm. 351-352.

50

peranannya melalui Masyumi yang pada tanggal 7 November 1945

direorganisasikan sebagai suatu partai politik.

Manfaat ketiga yang diperoleh selama zaman Jepang pada akhir tahun

194455

adalah disusunnya Hizbullah yang merupakan sejenis organisasi

militer bagi pemuda-pemuda Muslim.

Dapat dimengerti bahwa para pemimpin Islam sangat mengharapkan

terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Bagi mereka, pendudukan Jepang

telah mengakhiri abad-abad gelap penindasan Kolonial. Pemerintahan

Jepang memberikan suatu janji yang samar-samar mengenai kemerdekaan

Indonesia pada tanggal 7 September 1944, berpacu dengan waktu

kemungkinan kalahnya menghadapi Sekutu. Pada tanggal 1 Maret 1945

janji itu diulangi secara terbuka.56

Sebagi suatu reaksi terhadap

pengumuman (Perdana Menteri Jepang) Koiso tanggal 7 September 1944,

para pemimpin Masyumi mengundang anggota-anggotanya untuk

mempersiapkan kaum Muslimin bagi pembebasan negeri dan agamanya.

Salah satu hasilnya adalah pembentukan Hizbullah. Deklarasi tanggal 1

Maret 1945 menghasilkan terbentuknya suatu panitia untuk menyelidiki

apa yang harus dikerjakan untuk mempersiapkan kemerdekaan. Panitia itu

diresmikan di jakarta tanggal 29 April, yang disebut Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Dr.

55

Menurut A. A Zorab, De Japanse Bezetting van Indoneie, tesis, Leiden, (1954) hlm.

107.

56

B. J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985)

hlm. 18.

51

Radjiman Widjodiningrat yang beranggotakan 62 orang sehingga disebut

sebagai “Panitia 62”.57

Kalangan Islam yang ikut beraspirasi hanya 15

orang yaitu:

1. Abikoesno Tjokrosoejoso (Syarekat Islam)

2. K. H. Ahmad Sanoesi (Persatuan Umat Islam, Sukabumi)

3. K. H Abdoel Halim (Perikatan Umat Islam, Majalengka)

4. Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah)

5. K. H Masjkur (Nahdlatul Ulama)

6. K. H Abdoel Kahar Moezakkir (Muhammadiyah)

7. K. H Mas Mansoer (Muhammadiyah)

8. Raden Rooslan Wongsokoesoemo (bekas anggota Perindra

yang bergabung ke Masjumi tahun 1945)

9. H. Agus Salim (Penyadar)

10. Raden Sjamsuddin (bekas Perindra, dari PUI)

11. Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia)

12. K. H Abdul Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama)

13. Ny. Sunarjo Mangunpuspito (Aisyiah, bekas aktifis Jong

Islamieten Bond)

14. Abdul Rahman Baswedan (bekas Partai Arab Indonesia)

15. Abdul Rahim Pratalykrama (residen Kediri, afiliasi tidak

diketahui)

57

Ibid, hlm. 19.

52

Ketika pada 28 Juli 1945 sejumlah 28 orang lagi ditambahkan sebagai

anggota, hanya dua orang yang dapat dikatakan termasuk golongan Islam,

yaitu Pangeran Mohammad Noor (bekas JIB “Jong Islamieten Bond” yang

bergabung ke Masjumi tahun 1945), dan H. Abdul Fatah Hassan (afiliasi

organisasi tidak diketahui). Meskipun hanya 15 orang dari keseluruhan

anggota BPUPKI akan tetapi tokoh-tokoh dari kalangan Islam cukup

memberi warna terhadap perumusan dasar dan konstitusi dari Negara

Indonesia yang akan dibentuk.58

Sidang pertama panitia BPUPKI ini hanya mempunyai satu acara,

yaitu dasar negara Indonesia yang diinginkan itu. Dalam rapat tanggal 29

Mei 1945, Moh. Yamin menyampaikan sebuah pidato yang merupakan

rancangan falsafah negara Indonesia yang dirangkum dalam lima sila yaitu

Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan

Kesejahteraan Rakyat, Keadilan Sosial. Disanalah terdapat perbedaan

pendapat mengenai lima sila falsafah negara. Inti dari masalah yang

diajukan adalah persoalan struktur negara (negara kesatuan atau negara

federal), persoalan hubungan antara negara dan agama, dan persoalan

apakah Indonesia menjadi republik atau kerajaan. Pada hari terakhir masa

sidang ini, tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan suatu pidato yang

terkenal, yang kemudian diterbitkan dengan judul Lahirnya Pantja Sila.59

58

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1997) hlm. 31.

59

Yamin. Naskah, I, hlm. 61-81. Suatu ringkasan berdasarkan terjemahan bahasa Inggris

oleh Kementerian Penerangan Indonesia (The Birth of Pantjasila, Jakarta. 1950) dapat ditemukan

dalam Kahin, Nationalism, hlm. 122-127.

53

Soekarno mengawali pidatonya itu dengan pendahuluan yang panjang.

Soekarno menekankan agar panitia tersebut jangan membahas semua hal

itu. Dapatlah disimpulkan bahwa selama sidang pertama, satu-satunya

masalah yang akan dihadapi oleh Indonesia baru di masa datang telah

muncul ke permukaan. Masalah itu adalah mengenai dasar resmi untuk

negara dengan pertimbangan harus dengan peristilahan Islam atau dasar

Pancasila. Sayangnya, karya Yamin itu tidak menyertakan pidato-pidato

serta catatan yang dibuat oleh para pemimpin Islam seperti Ki Bagoes

Hadikoesoemo, K.H.M. Mansoer, Soekiman, Wahid Hasjim, Kahar

Muzakkir, dan H. Agoes Salim selama sidang pertama Panitia BPUPKI ini.

Ketiga ahli pidato -Yamin, Soepomo, dan Soekarno- secara jelas

menyatakan pilihannya bagi suatu negara Pancasila yang bersifat nasional.

Setelah rapat itu para pemimpin Islam menyadari bahwa perkembangan

keadaan tidaklah menuju arah yang mereka inginkan.

B. Polemik Dasar Negara Menurut Kalangan Islam Dan Kalangan

Kebangsaan

Setelah masa sidang pertama itu, apa yang dinamakan panitia kecil

dari panitia BPUPKI melanjutkan tugasnya di Jakarta. Soekarno, Hatta,

Soetardjo, Wahid Masjim, Hadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Yamin,

dan Maramis adalah anggota-anggota panitia kecil ini. Dan anggota-

anggota ini juga mendesak agar Indonesia merdeka diproklamasikan

secepat mungkin. Salah satu dari demikian banyak hal yang

54

dipermasalahkan pada bulan Juni 1945 tampaknya adalah persoalan:

apakah tidak akan lebih baik mewujudkan kemerdekaan Indonesia

merdeka di bawah pengawasan Jepang dan selama kekalahan Jepang,

untuk kemudian diikuti oleh suatu keputusan lanjutan mengenai struktur

negara baru tersebut, yang akan diambil pada saat yang tepat setelah

kemerdekaan dapat direbut. Namun, yang lebih penting adalah adanya

perdebatan yang berlanjut dan semakin menghangat antara kaum nasionalis

“sekuler” dan para pemimpin Islam, yang dalam sumber-sumber Indonesia

sekarang ini selalu ditunjuk sebagai golongan kebangsaan dan golongan

Islam.60

Kebetulan Dewan Penasehat Pusat (Cuo Sangi-In) berapat di

Jakarta tanggal 18 Juni 1945. Sejumlah orang Indonesia yang menjadi

anggota BPUPKI juga menjadi anggota Dewan ini. Soekarno dan Panitia

Kecil mengundang seluruh anggota BPUPKI yang kemudian lahirlah

kelompok 9 anggota yang akan mencari pemecahan terhadap ketegangan

yang semakin meningkat antara kaum Nasionalis dan golongan Islam

tersebut. Panitia 9 yang beranggotakan 9 orang yaitu:

1. Mohammad Hatta

2. Muhammad Yamin

3. Subarjo

4. Maramis

5. Sukarno

6. K. H Abdul Kahar Muzakir

60

B. J. Boland, Pergumulan Islam Di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985)

hlm. 27.

55

7. K. H Wahid Hasjim

8. Abikusno Cokrosuyoso

9. Haji Agus Salim

Sedangkan panitia lain disamping panitia sembilan adalah Panitia Kecil

Perancang UUD beranggotakan:

1. Ki Bagoes Hadikoesoemo

2. K. H wahid Hasjim

3. Mohammad Yamin

4. Sutarjo

5. Maramis

6. Otto Iskandardinata

7. Drs. Mohammad Hatta

8. Soekarno

Dalam sebuah rapat tanggal 22 Juni 1945, yang pasti merupakan rapat

yang sangat sulit, akhirnya panitia sembilan dapat mencapai suatu jalan

tengah. Panitia Sembilan dapat merumuskan suatu gentleman agreement

“kesepakatan kehormatan” yang dimaksudkan sebagai Pembukaan Undang

Undang Dasar. Beberapa minggu kemudian Yamin menamakan dokumen

politik ini sebagai Piagam Jakarta. Soekarno sebagai Ketua Perancang

menekankan bahwa Preambule yang disebut Piagam Jakarta itu adalah

merupakan suatu hasil kesepakatan yang dicapai dengan susah payah

antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan. Setelah itu perdebatan

56

masih tetap terjadi pada saat pembahasan sampai pada pasal-pasal yang

berhubungan dengan “Tujuh Kata” dalam Preambule yaitu “dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”.

Pasal-pasal tersebut adalah pasal 4 mengenai Presiden dan Wakil Presiden

dan pasal 29 mengenai hal agama dalam Rancangan Undang Undang

Dasar. Pasal 4 dalam Rancangan Undang Undang Dasar semula berbunyi:

“a. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh soeara jang

terbanjak dari Badan-Badan Permoesyawaratan Rakjat.

b. Jang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanja

Orang Indonesia asli.”61

Pasal 29 dalam rancangan Undang Undang dasar semula berbunyi:

“Negara mendjamin kemerdekaan tiap-tiap pendoedoek

oentoek memeloek agama apapoen dan oentoek beribadat

menoeroet agamanja masing-masing.”62

Dalam upayanya menuju penyempurnaan pasal-pasal dalam Rancangan

Undang Undang Dasar tersebut di atas, untuk disesuaikan dengan

Preambule Undang Undang Dasar yang sudah disepakati bersama, Wahid

Hasjim sebagai salah satu dari golongan Nasionalis Islam menunjukkan

pendapatnya bahwa presiden harus beragama Islam dan agama negara

adalah agama Islam.

61

Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I-III. (Jakarta: Jajasan

Prapanca, 1959) hlm.264.

62

Ibid, hlm 268.

57

Usul Wahid Hasjim itu disokong oleh seorang wakil Islam lain yaitu

Soekiman. Tetapi ditantang oleh H. Agus Salim, Husein Djajadiningrat,

dan Wongsonegoro. H. Agus Salim juga merupakan kelompok Nasionalis

Islam tidak menyetujui usul wahid Hasjim dengan beralasan:

“Dengan ini kesepakatan antara golongan Kebangsaan dan

golongan Islam mentah lagi, apakah hal ini tidak bisa

diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Rakyat? Jika

Presiden harus orang Islam, bagaimana halnya terhadap

Wakil Presiden, duta-duta dan lain sebagainya. Apakah

arti janji kita untuk melindungi agama lain?”

Husein Djajadiningrat menyampaikan keberatannya atas usul Wahid

Hasjim, bahkan menghendaki dihapuskannya sama sekali pasal 4 ayat 2,

meskipun diakuinya bahwa dalam prakteknya sudah tentu yang menjadi

Presiden nantinya adalah orang Indonesia yang beragama Islam.

Lain halnya dengan Otto Iskandardinata yang mencari jalan tengah.

Hal ini tampak pada pendapatnya yang menyetujui pendapat Husein

Djajadiningrat untuk menghapus pasal 4 ayat 2. Tetapi di lain hal Otto

Iskandar Dinata menyarankan agar kata-kata yang tercantum dalam

Preambule (Piagam Jakarta) juga dimuat dalam pasal 29 Undang Undang

Dasar sebagai ayat 1 dan kata-kata “Negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk... dan seterusnya menjadi ayat 2.

Sedangkan Wongsonegoro dengan memperkuat alasan H. Agus Salim

mengusulkan adanya perubahan kata-kata “dan kepercayaannya” pada

pasal 29 ayat 2 sesudah kata-kata “agamanya”, sehingga berbunyi: “Negara

58

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agama apapun dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing.”

Menurut pembicaraan pada rapat tersebut, terutama dari perkataan

Wongsonegoro sendiri, bahwa yang dimaksud dengan kata

kepercayaannya bukanlah kepercayaan di luar batas agama, tetapi

kepercayaan orang Islam sendiri tentang ajaran agamanya. Di samping itu

terjaminlah hak orang Islam untuk melakukan ibadah sesuai dengan

madzabnya atau sektenya atau mistik serta tarekat keIslamannya.63

Sehubungan dengan beberapa pendapat dan usulan yang masuk, maka

Soekarno membentuk Panitia Pengahalus Bahasa yang terdiri dari: Husein

Djajadiningrat, H. Agus Salim, dan Supomo. 64

Sidang paripurna BPUPKI dilanjutkan pada tanggal 14 Juli 1945.

Dalam sidang paripurna, Soekarno melaporkan hasil kerjanya berupa tiga

rancangan, yaitu:

1. Deklarasi Indonesia Merdeka

2. Preambule Undang Undang Dasar yang berupa Piagam Jakarta

3. Materi Batang Tubuh Undang Undang Dasar yang terdiri dari 42

pasal

63

Djarnawi H. Dari Jamaluddin Al Afghani sampai K. H. A. Dahlan (Yogyakarta:

Persatuan) hlm. 101.

64

Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I-III. (Jakarta: Jajasan

Prapanca. 1959) hlm. 263.

59

Banyak saran dan penyempurnaan disampaikan oleh anggota yang

berkenaan dngan redaksi rancangan Deklarasi Indonesia Merdeka dan

Rancangan Preambule Undang Undang Dasar. Berbicara tentang kedua

rancangan tersebut ternyata perhatian lebih terpusat pada Preambule

Undang Undang Dasar.

Dalam hal ini Ki Bagoes Hadikoesoemo yang menjadi salah satu

anggota golongan nasionalis Islam, mengajukan pendapatnya tentang tujuh

kata dalam Piagam jakarta. Ki Bagoes tidak menyetujui adanya kata-kata

“bagi pemeluk-pemeluknya” dan mengusulkan agar kata-kata tersebut

dihapuskan saja. Dengan demikian kalimat berbunyi: “Dengan berdasar

kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Usul

serupa juga disampaikan oleh K. Ahmad Sanusi. Soekarno selaku Ketua

Panitia Perancang Undang Unadang Dasar menyatakan keberatannya

terhadap usul tersebut dan sekali lagi mengingatkan kepada sidang-sidang

sebelumnya bahwa persoalan tersebut telah dikesepakatankan semua pihak.

Setelah terjadi diskusi panjang lebar tentang berbagai istilah di dalam

Deklarasi Indonesia Merdeka, kembali lagi Ki Bagoes Hadikoesoemo

menyampaikan ketidak setujuannya terhadap kata-kata “bagi pemeluk-

pemeluknya” dalam “tujuh kata” dalam Pembukaan. Ki Bagoes

Hadikoesoemo mempertegas argumennya, kalau kata-kata “bagi pemeluk-

pemeluknya” tetap disebutkan, maka akan menimbulkan kesan bahwa akan

diadakan dua peraturan, yang satu untuk umat Islam yang satu lagi untuk

yang bukan Islam. Sementara Soekarno dan Ki Bagoes Hadikoesoemo

60

tetap pada pendiriannya masing-masing. Radjiman sebagai ketua Badan

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bertanya,

apakah untuk menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan pemungutan

suara atau tidak. Abikusno dari kalangan Nasionalis Islam dalam hal ini

mencoba menjelaskan lagi mengenai apa yang telah disampai Soekarno

yang termuat dalam Piagam jakarta adalah hasil kesepakatan. Penjelasan

Abiksuno mampu meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo, sehingga pada

akhirnya Ki Bagoes Hadikoesoemo dapat menerima kata-kata “bagi

pemeluk-pemeluknya” untuk tidak dicoret. Akhirnya konsep pernyataan

Indonesia merdeka yang disusun dengan mengambil tiga alenia pertama

Piagam jakarta dengan sisipan yang panjang sekali dan konsep pembukaan

Undang Undang Dasar yang hampir seluruhnya diambil dari alenia

keempat Piagam jakarta itu telah disepakati oleh BPUPKI pada tanggal 14

Juli 1945.

Pada sidang selanjutnya tanggal 15 Juli 1945, panitia membicarakan

tentang materi rancangan Undang Undang dasar. Dalam hal ini Supomo

menjelaskan sekali lagi tafsirannya mengenai “tujuh kata” yang

dipermasalahkan itu. Kata-kata tersebut tidak berarti bahwa negara

Indonesia akan didirikan hanya untuk suatu golongan saja (yaitu kaum

Muslim), tetapi hanya berarti bahwa negara akan memperhatikan

kepribadian khusus dari bagian terbesar penduduk. Supomo mengulangi

bahwa “tujuh kata” pembukaan dan pasal Undang Undang Dasar mengenai

agama merupakan suatu jalan tengah, dan Supomo memberikan kesan

61

bahwa Panitia Undang Undang Dasar telah menerima jalan tengah ini

secara aklamasi. Dalam hubungan ini di satu pihak Supomo menyebut

nama-nama Wahid Hasjim dan Agus Salim, di pihak lain nama-nama

Latuharhary dan Maramis yang bukan Muslim itu, sehingga secara sadar

ataupun tidak sadar mengalihkan pertentangan itu dari golongan Islam dan

Nasionalis menjadi pertentangan antara golongan Islam dan Kristen.65

Setelah berbagai pidato dan perdebatan mengenai persoalan-persoalan

lain, perdebatan mengenai masalah agama kembali berkoar sekali lagi

dalam rapat malam hari tanggal 15 Juli 1945. Hal ini terjadi karena Ki

Bagoes Hadikoesoemo mengulangi pertanyaannya yang merupakan teka-

teki mengenai “tujuh kata”. K. H Masykur memperburuk masalahnya,

dengan mengatakan bahwa jika warga negara mempunyai kewajiban

menegakkan hukum Islam, dalam kenyataan hal itu hanya akan dapat

dilaksanakan jika Presiden adalah seorang Muslim dan Islam diakui

sebagai agama resmi dari negara Republik Indonesia.

Abdul Kahar Muzakkir yang merasa kecewa, karena usul-usul

golongan Islam tidak banyak diindahkan, sambil menghantam meja,

mengusulkan suatu jalan tengah baru, seperti yang disebutkannya sendiri.

Berbicara atas nama golongan Islam Abdul Kahar Muzakkir menuntut agar

seluruhnya itu dicoret tanpa repot-repot lagi, mulai dari kata-kata pertama

dari Pernyataan Kemerdekaan sampai kepada dan termasuk pasal Undang

65

B. J. Boland, Pergumulan Islam Di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985)

hlm.34.

62

Undang Dasar yang dipersoalkan itu, yang mencantumkan kata Tuhan atau

Islam, sehingga tidak satupun tertinggal.

63

BAB IV

PEMIKIRAN KI BAGOES HADIKOESOEMO TENTANG

NEGARA DAN ISLAM

A. Pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo Tentang Negara dan Islam

Konsep hubungan agama dan negara telah menjadi materi perdebatan

antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama sejak tahun

1920-an. Kalangan Islam mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan

persatuan yang diciptakan oleh adanya solidaritas Islam yang dianut 90%

penduduk Hindia-Belanda. Sedangkan kaum kebangsaan mengatakan

persatuan itu didasarkan atas cinta tanah air. Karena itu sudah selayaknya

jika golongan Islam mempunyai cita-cita Indonesia merdeka didasarkan

atas Islam, sedangkan kaum kebangsaan pada cinta tanah air.

Perdebatan tentang hubungan agama dan negara kembali muncul dalam

BPUPKI sebagimana telah dijelaskan di bab sebelumnya. Inti

permasalahannya sama yaitu Kalangan Islam berpegang teguh bahwa

Islam adalah agama yang mengandung ideologi negara dan karena itu tidak

mungkin agama dipisahkan dengan negara. Sedangkan kaum kebangsaan

beranggapan bahwa antara agama dan negara itu harus dipisahkan sebab

jika disatukan berarti mendirikan negara Indonesia bukan karena

persatuan. Ini dilihat dari agama-agama lain juga dianut oleh sebagian

masyarakat Indonesia. “Negara nasional bersatu itu tidak berarti bahwa

negara itu akan bersifat a-religius” Kata Soepomo dalam sidang BPUPKI.

64

“Negara Indonesia yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti

kemanusiaan yang luhur. Maka negara yang demikian itu, dan hendaknya

negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan

pula oleh agama Islam.66

Muhammad Hisyam67

membagi model politik di Indonesia dalam

kaitannya relasi agama dan negara menjadi 3 model yaitu:

1. Model Negara Demokrasi Islam

Merupakan hasil pemikiran para intelektual muslim Indonesia

generasi proklamasi. Model ini mencita-citakan sebuah negara Islam,

dengan cara memasukkan Islam ke dalam negara melalui proses

demokrasi. Hubungan agama dan negara dalam model ini bahwa

negara mempunyai peran menentukan dalam kehidupan agama rakyat.

Kelemahan model ini adalah tidak bisa diterapkan dalam masyarakat

Indonesia Indonesia yang pluralistik.

2. Model Negara Demokrasi Agama

Merupakan hasil pemikiran para generasi baru muslim yang hadir

dalam panggung politik awal 1970-an. Secara genealogis, generasi itu

datang dari lingkungan santri yang sebagian besarnya adalah keturunan

dan kerabat para generasi proklamasi, baik Masyumi maupun NU.

66

Saafroeddin Bahar, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati (Eds), Risalah Sidang

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), 28 Mei 1945-22

Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia) hlm. 40

67

Muhammad Hisyam adalah peneliti pada Pusat penelitian Kemasyarakatan dan

Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB)-LIPI . Dalam jurnal Ki Bagoes

Hadikoesoemo Hadikusumo dan Problem Relasi Agama-Negara dalam Jurnal Masyarakat dan

Budaya, Volume 13, No. 2 tahun 2011.

65

Tidak seperti generasi dalam model pertama, generasi baru ini kurang

concern dengan afiliasi ideologi. Model kedua ini negara bersikap

netral terhadap agama, tetapi menganggap pentingnya peran agama

dalam negara. Dalam soal hubungan agama dan negara generasi baru

santri ini kemudian terbelah menjadi dua kelompok. Yang pertama,

cenderung menganggap pentingnya peran agama dan negara. Kedua,

yang melihat hubungan itu tidak begitu penting.

3. Model Negara Demokrasi Liberal

Model ini lahir sebagai reaksi terhadap banyaknya masalah

hubungan agama dan negara yang muncul pada model kedua. Kritik

yang keras disebabkan oleh posisi hegemonik negara atas aktivitas

agama rakyat, dan mencoba mencari format baru hubungan agama dan

negara yang lebih layak. Seperti Model kedua, Model ketiga juga

berangkat dari kesadaran sosiologis tentang realitas pluralistik rakyat

Indonesia untuk menemukan integritas nasional yang sesuai dengan

prinsip-prinsip pluralisme itu. Jika Model kedua prinsip pluralisme

berada pada kesadaran agama dan pentingnya peran negara dalam

memelihara agama rakyatnya, sementara mereka menolak sekularisme,

maka Model ketiga prinsip pluralisme diletakkan pada pemisahan

peran agama dan negara. Pluralisme tidak akan jalan jika negara

terlampau intervensi pada aktivitas agama rakyatnya.

Pemikiran tentang Negara Demokrasi Liberal di Indonesia tumbuh

pesat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Perubahan rezim

66

mengakibatkan makin liberalnya iklim politik, dimana kebebasan

berpendapat dan berbicara menjadi semakin normal, mengkritik peran

hegemonik negara atas masalah-masalah agama dan menghimbau

kaum muslimin untuk tidak menyerahkan urusan agama kepada

pemerintah. Ada dua alasan mengapa terjadinya situasi ini. Pertama,

sebagai bagian dari ketidak-puasan atas sistem politik dan ekonomi,

pelaksanaan hukum serta peran negara atas agama yang telah dibangun

oleh pemerintahan Soeharto. Kedua sebagai respons terhadap

munculnya kelompok fundamentalis Islam, yang agendanya adalah

membawa Islam ke dalam negara, tuntutan memulihkan Jakarta

Charter, dan kritik atas RUU yang esensinya mendorong intervensi

negara atas kehidupan beragama kaum muslimin.

Dalam konteks perkembangan pemikiran politik Islam seperti itu, Ki

Bagoes Hadikoesoemo sebagai eksponen “angkatan 45” tidak dapat

dipisahkan dari karakter model pertama yang memandang pentingnya

negara mengatur pelaksanaan agama. Tetapi pemikiran semacam ini bukan

sesuatu yang tidak bisa ditawar. Ketika Ki Bagoes Hadikoesoemo

berhadapan dengan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, yang dianggap oleh

banyak kalangan Islam sebagai dasar konstitusional bagi pelaksanaan

syariat Islam, Ki Bagoes Hadikoesoemo justru tidak sepaham. Ki Bagoes

Hadikoesoemo berpendirian bahwa negara tidak boleh campur tangan atau

mengatur dalam urusan agama. Pendirian semacam ini sejalan dengan

67

pemikiran model ketiga. Oleh karena itu, pemikiran Ki Bagoes

Hadikoesoemo menerabas jauh ke depan mendahului jamannya.68

Sebagai salah satu tokoh Islam, Ki Bagoes Hadikoesoemo memiliki

intregitas cita-cita yang tinggi dan luhur untuk kepentingan umat dan

bangsa Indonesia. Ki Bagoes Hadikoesoemo memperjuangkan hukum dan

ajaran Islam di dalam negara Indonesia melalui forum Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama tokoh-tokoh

Islam lainnya.

Dalam pidatonya pada sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 Ki

Bagoes Hadikoesoemo menyerukan agar persatuan nasional dan

membangun negara Indonesia diatas ajaran Islam.69

Seruan ini berbentuk

pernyataan enam kali dalam bentuk perintah, harapan, atau anjuran, dan

dua kali dalam bentuk pernyataan, yaitu sebagai berikut:

1. Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi

pemerintahan kebangsaan di negara kita Indonesia ini.

2. Umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan

mulia sejak dahulu hingga sekarang, seterusnya pada masa yang akan

datang, yaitu dimana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat

68

Muhammad Hisyam, Jurnal Mayarakat dan Budaya . Volume 13. No. 2. (2011) hlm

25.

69

Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin

(Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954) hlm. 7.

68

Islam akan membangunkan negara atau menyusun masyarakat yang

didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam.70

Secara filosofis Ki Bagoes Hadikoesoemo mengemukakan tentang

adanya adanya persatuan antara orang dan tempatnya, antara bangsa

Indonesia dan tanah airnya. Sehingga dengan demikian bangsa Indonesia

dituntut untuk mewujudkan persatuan nasional Indonesia.

Alasan pemahaman atas ajaran Islam. Ki Bagoes Hadikoesoemo

mendasarkan keinginannya agar Islam dijadikan dasar negara pada

pemahaman atas ajaran Islam secara substansial dan menyeluruh. Bagi Ki

Bagoes Hadikoesoemo, substansial dan sistematika ajaran Islam meliputi:

iman, ibadah, amal shaleh, dan jihad.keempat aspek ajaran ini merupakan

ringkasan ajaran Islam yang telah diajarkan dan dipimpinkan oleh para

nabiyullah dalam rangka memperbaiki masyarakat atau negara.71 Lima

tahun kemudian, ringkasan ajaran Islam yang telah disampaikan dalam

forum sidang BPUPKI (1945) ini juga disampikan dalam Muktamar

Muhammadiyah ke-31 (1950), dengan penambahan dua aspek ajaran, yaitu

meneladan pada para nabiyullah, terutama Nabi Muhammad SAW, dan

berorganisasi (bernegara). Keduanya merupakan kiat strategi perjuangan

yang tidak bisa ditawar dalam menegakkan dan menjunjung tinggi agama

Islam.

70

Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi (Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1997) hlm.101-102.

71

Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin.

(Yogyakarta: Pustaka Rahayu. 1954) hlm. 5-7.

69

Dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan ideologis yang sengit antara

golongan Islam dengan golongan nasional sekuler tentang dasar negara

yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Hal ini diakui oleh

Soepomo dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei

1945.72

Gagasan-gagasan para tokoh Islam menjadikan Islam dasar negara

sebenarnya tidak dilengkapi oleh argumentasi empiris mengenai “negara

Islam” yang dicita-citakan. Dipandang dari sudut ini, sebenarnya yang

diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam BPUPKI dan PPKI bukan

realisasi konsep negara Islam tetapi lebih tepat pada adanya jaminan

terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam.

Ki Bagoes Hadikoesoemo mendasarkan pemikirannya pada Al Quran

dan Sunnah. Al Quran justru banyak berbiacara tentang masalah politik,

sosial, urusan duniawi dan lain-lain. Pemisahan Islam dengan negara bagi

Ki Bagoes Hadikoesoemo sama sekali tidak ada dasarnya. Pemikiran

(pemikiran sekular) ini tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam menjamin membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan

keadilan berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan

memeluk agama. Merujuk pada nash Al Quran, Ki Bagoes Hadikoesoemo

menyebutkan tiga prinsip penting yaitu keadilan, musyawarah, dan

kebebasan beragama. Tiga prinsip itu merupakan prinsip yang sangat

mendasar dalam Islam dan juga dalam sistem demokrasi. Dengan ketiga

72

Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I-III (Jakarta: Jajasan

Prapanca. 1959) hlm. 115.

70

prinsip tersebut maka Ki Bagoes Hadikoesoemo berkeyakinan bahwa

Islam sesungguhnya bisa jadi bagian atau sumber yang sangat penting bagi

demokrasi dan bahkan bagi pembentukan dan peyelenggaraan

negara/pemerintahan modern. Arah pandangan dan argumentasi Ki Bagoes

Hadikoesoemo tentang Islam dan Negara sangat jelas terlihat saat

perdebatan konstitusi. Ki Bagoes Hadikoesoemo mengajukan Islam

sebagai dasar negara dengan beberapa alasan:

1. Alasan Normatif. Ki Bagoes mengemukakan beberapa ayat Al Quran

yang menegaskan bahwa Islam sebagai Rahmatan lil „alamin, memberi

kan landasan atau prinsip-prinsip moral yang sangat kuat bagi

masyarakat dan negara. Hukum Islam dibangun untuk kemaslahatan

umum (maslahah „ammah) bukan kemaslahatan umat Islam saja karena

Islam memang agama yang rahmatan lil‟alamin.

2. Alasan Historis. Para Nabi dan Rosul telah berhasil menegakkan

masyarakat yang didasarkan pada hukum agama. Bahkan sejarah dan

peradaban Islam yang panjang sejak 1400 tahun, telah membuktikan

keagungan ajaran dan hukum Islam dalam membangun masyarakat di

berbagai wilayah dunia. Jika dijumpai ada eksepsi (Sultan Sulaiman di

Turki misalnya) itu lebih dikarenakan pengaruh tipu muslihat politik

imperialisme Barat yang memang tidak pernah menunjukkan niat baik

terhadap Islam dan umat Islam di wilayah jajahannya, termasuk di

Indonesia. di Indonesia sendiri sudah enam abad sebelum Belanda

menjajah Hukum Islam sudah berjalan. Bahkan karena dorongan iman,

71

orang-orang Islam telah berjuang membela tanah air dari Belanda.

Perjuangan orang Islam sejak awal telah menjadi bagian yang sangat

penting dalam pembentukan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.

3. Alasan Sosiologis. Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam dan

Islam telah berakar dan besar berpengaruh terhadap tradisi masyarakat

Indonesia. tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa masyarakat

Indonesia telah pada hakikatnya adalah masyarakat relijius dan Islam

telah menjadi bagian penting dari kehidupan dan kebudayaan

masyarakat dan bangsa indonesia. Bahkan pengaruh Islam sangat terasa

di banyak sektor, antara lain: lembaga pendidikan, intelektual, berbagai

upacara dan tradisi, seni, sistem hukum dan lain-lain. Karena itu Ki

Bagoes Hadikoesoemo mengungkapkan pandangannya bahwa Islam

itu “sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak... janganlah

hendaknya jiwa yang 90% dari rakyat itu diabaikan saja tidak

diperdulikan.”73

4. Alasan Psikologis. Dengan beberapa pertimbangan Ki Bagoes

mengingatkan kepada seluruh anggota sidang BPUPKI:

“Apabila negara Indonesia tidak berdiri di atas

agama Islam, kalu-kalau umat Islam yang terbanyak

itu nanti bersikap passif atau dingin tidak

bersemangat.”74

73

Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlak

Pemimpin. (Yogyakarta: Pustaka Rahayu. 1954) hlm 23.

74

Ibid.

72

Ki Bagoes Hadikoesoemo memang sangat mengkhawatirkan

aspirasi Islam ini tidak diterima, kekecewaan umat akan bertambah

besar apalagi keputusan sidang Komite Perbaikan Peradilan Agama

tentang pemberlakuan hukum Islam pada masa penjajahan Belanda

juga dianulir oleh pemerintah Belanda. Tentu ini sebuah penghianatan

dan sangat mengecewakan umat Islam.75

Didorong keyakinannya terhadap Islam yang antara lain mengajarkan

persatuan berdasarkan persaudaraan yang kokoh, maka Ki Bagoes

Hadikoesoemo menganjurkan agar negara dibangun atas dasar ajaran

Islam. Bagi Ki Bagoes Hadikoesoemo Islam yang diusulkannya menjadi

dasar negara itu, paling sedikit mengandung nilai-nilai yang:

1. Mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kukuh

2. Mementingkan perekonomian dan mengatur pertahanan negara

3. Membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan

4. Tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita,

5. Membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur

semangat kemerdekaan yang menyala-nyala.

Ki Bagoes Hadikoesoemo memberikan delapan (8) kriteria seorang

pemimpin. Pertama, seorang pemimpin haruslah memiliki sifat istiqomah.

Istiqomah menurut beliau berarti lurus, teguh dan bersungguh-sungguh.

Lurus maksudnya tidak miring dan tidak berbelok. Teguh berarti sikap tak

75

Lukman hakiem, Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia: Pemikiran dan Kiprah

Ki Bagoes hadikoesoemo, Mr. Kasman Singodimejo, dan K. H. Abdul Kahar Muzakkir

(Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013) hlm. 69-71.

73

berubah pendirian. Dan bersungguh-sungguh berarti yakin dan setia. Ki

Bagoes Hadikoesoemo menegaskan:

“Dalam i‟tiqod (kepertjajaan), pembitjaraan dan

tindakan dengan pendirian jang tegoeh serta bersedia

membela kebenaran itoe dengan setia.”

kemudian mengutip surat Hud ayat 112 dan As-Syura ayat 15.

Sikap istiqomah ini hanya bisa didapat jika pemimpin tersebut tawakal

pada Allah. Menurut Ki Bagoesa Hadikoesoemo,

“Orang jang tidak bertawakkal kepada Allah hati dan

ketegoehan, mendjadi penakoeoet dan senantiasa

merasa koeatir ragoe. Kalaoepoen ia berani, maka

keberaniannja itoe tidak tegoeh dan lekas beroebah

mendjadi ketakoetan dan ketjemasan.”

Yang kedua adalah Tawakkal. Ki Bagoes Hadikoesoemo menekankan

pentingnya tawakkal bagi seorang pemimpin.

“Orang jang sengadja beramal kebaikan membela

agama dan kebenaran sangat sering digoda oleh

sjaitan-iblis (jang selaloe menampakkan dirinja

beroepa kesenangan doenia), sehingga ia merasa

takoet dan koeatir berkoerang penghasilanja,

moendoer peroesahaannja, ataoe soesoet

hartabendanja; ataoe kehilangan pangkat dan

djabatannja, ataoe koeatir tak mendapat rezeki.

Ketahoeilah, disini orang haroes mempoenja tawakkal

itoe oentoek mengalahkan godaan sjaitan terseboet

diatas.”

Yang ketiga, Ki Bagoes Hadikoesoemo menyebutkan “Selpkoreksi

(self-correction) serta tidak menjari-tjari kesalahan dan tjela orang lain.”

dan mengutip Surat Al Hijr ayat 18, Ki Bagoes Hadikoesoemo

74

menyebutkan pentingnya bermuhasabah. Karena yang paling berbahaya

adalah hawa nafsu yang bersembunyi dalam diri manusia.

Yang keempat adalah adil dan jujur. Adil berarti meletakkan sesuatu

pada tempatnya, sedangkan jujur berarti lurus.

“Maka djoedjoer ialah keadilan watak dan kelakoean,

dan adil ialah kedjoedjoeran hoekoem dan peratoeran”

Yang kelima adalah tawadlu dan tidak takabur. Takabur artinya

sombong. Termasuk sombong (tidak suka) untuk menerima kebenaran dari

orang lain karena perasaan angkuhnya. Ki Bagoes Hadikoesoemo

menyebutkan Surat Luqman ayat 18 sebagai peringatan Allah untuk tidak

berlaku angkuh dan sombong. Sifat sombong dan ujub menurut Ki Bagoes

Hadikoesoemo menghilangkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Inilah yang

menjadi pangkal kekalahan dan kejatuhan.

Yang keenam adalah pemimpin juga harus memegang teguh janji. Poin

ini menjadi poin penting setelah tawadlu. Ki Bagoes Hadikoesoemo

mengingatkan,

“Djandji tidak boleh disalahi teroetama oleh para

pemimpin, karena namanja akan loentoer hilang

kehormatan dirinja, dan pemimpinja tak akan dihargai

orang. Djanganlah boros dengan djandji dan

kesanggoepan, djanganlah berdjanji kalaoe tidak jakin

dapat menetapi. Menjalahi djandji adalah dosa besar

dan menetapi djandji adalah satoe kewadjiban.”

Yang ketujuh adalah sabar dan halim. Sabar bukan hanya menerima

kekecewaan dengan tenang, tetapi juga lebih luas, yaitu;

“Tahan dan koeat batinja, teliti, tenang dan berani.

Bersabar ialah menahan kemarahan hawanafsoe dan

75

menahan keinginan nafsoe jang djahat, sehingga

nafsoe itoe dapat dikendalikan dan diatoer dengan

teliti dan oetama”

Sifat halim menurut Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah lembut hati dan

peramah, tidak lekas marah dan pemaaf. Sifat seperti ini akan menarik hati,

perhatian dan kecintaan pengikutnya dan masyarakat.

Terakhir Ki Bagoes Hadikoesoemo menyebutkan, hidup sederhana

sebagai sifat seorang pemimpin. Pemimpin harus menghindari sifat kikir

dan boros. Sebaliknya dapat hidup hemat dan dermawan. Hidup sederhana

justru akan memberikan kehormatan bagi pemimpin tersebut. Ki Bagoes

Hadikoesoemo berpesan,

“Kalaoe engkaoe hendak mentjari pemimpin sedjati

ichlas lahir-batin, perhatikanlah terlebih dahoeloe

dapoer roemahnja dan tjara hidoepnja sebeloem

memperhatikan dia dari segi-segi lainnja. Djika

engkaoe lihat dapoernya penoeh santapan jang enak-

enak dan tjara hidoepnja mewah, hentikan

penjelidikanmoe karena soedah terang dia boekan

pemimpin sedjati. Sebab seorang pemimpin sedjati

tidak moengkin soeka hidoep mewah. Bahkan

pemimpin jang mengatakan bahwa kemegahan dan

kemewahan itoe perloe oentoek medjaga standing

bangsa dan negara kita dimata doenia internasional :

tetapi perkataan itoe njatanja alasan jang diboeat-

boeat, sebab diroemah tangganja jang terpisah dari

doenia internasional, namoen mereka soeka mewah

dan megah djoega. Djarang orang jang berani hidoep

melarat ketika ada kesempatan baginja mendjadi kaja

baik setjara halal ataoe tidak halal, jang berani

hanjalah pemimpin-pemimpin sedjati dan moechlis

serta orang2 jang saleh, karena mereka sedia rela

melepaskan kedoeniaan itoe asal dapat bekerdja dan

berdjoang oentoek keselamatan dan kebahagiaan

oemat.”

Ki Bagoes Hadikoesoemo kemudian melanjutkan,

76

“Tidak koerang pemimpin jang dahoeloe diseboet

moechlis, tetapi setelah terboeka kesempatan oentoek

mewah maka diambilnja kesempatan itoe dan mereka

teroes djoega mendjadi pemimpin; tetapi keichlasanja

itoe telah hilang, apalagi djika kesempatan itoe tidak

halal. Ketahoeilah bahwa oekoeran pemimpin tidak

ditentoekan oleh lamanja dia berdjoang, tetapi oleh

keichlasan dan kebidjaksanaannja serta keberaniannja

memikoel tanggoeng djawab.” 76

B. Peranan Ki Bagoes Hadikoesoemo Dalam Perumusan Dasar

Negara

Melalui “Panitia Sembilan” menghasilkan konsep yang kemudian

disebut dengan Piagam Jakarta. Di dalam piagam ini disepakati bahwa

dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Sesudah BPUPKI di hapuskan

dengan digantikan PPKI, anggota kalangan Islam makin merosot yaitu

hanya 4 orang. Keempatnya adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo, K. H. A.

Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimejo, dan Mr. T. M. Hasan.

Inti persoalan yang masih berlarut-larut membuat ketegangan antara

kalangan Islam dan kalangan nasionalis. Kalangan nasionalis yang

menghendaki penghapusan “Tujuh Kata” membuat Ki Bagoes

Hadikoesoemo yang merupakan wakil kalangan Islam tersudut. Tidak

mudah meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk menghapus tujuh kata

dari rancangan pembukaan Undang Undang Dasar. Sesudah Mohammad

Hatta yang pada tanggal 17 Agustus 1945 menerima opsir Angkatan Laut

Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di indonesia Timur atas

76 Lihat, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlak

Pemimpin. (Yogyakarta: Pustaka Rahayu. 1954).

77

masuknya “Tujuh Kata” dalam pembukaan Undang Undang Dasar dan

Mohammad Hatta telah gagal meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo,

sehingga Mohammad Hatta meminta T. M Hasan untuk melobi Ki Bagoes

Hadikoeosoemo. Hasan ternyata juga tidak mampu melunakkan hati Ki

Bagoes Hadikoeosoemo.

Dalam situasi kritis itulah, Mohammad Hatta meminta Kasman

Singodimejo untuk membujuk Ki Bagoes hadikoesoemo. Dengan bahasa

Jawa yang halus, Kasman meyakinkan Ki Bagoes untuk mau menerima

usul perubahan. Kasman antara lain mengingatkan Ki Bagoes bahwa

kemarin kemerdekaan sudah diproklamasikan, maka Undang Undang dasar

harus cepat ditetapkan supaya memperlancar roda pemerintahan. Kasman

juga mengingatkan Ki Bagoes bahwa bangsa Indonesia sekarang posisinya

terjepit di antara bala tentara Dai Nippon yang masih tongol-tongol di

bumi Indonesia dengan persenjataannya dan tentara Sekutu termasuk

Belanda. Di akhir pembicaraan, Kasman bertanya kepada Ki Bagoes

Hadikoesoemo apakah tidak bijaksana jika kita sebagai umat Islam yang

mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud

demi kemenangan cita-cita bersama, yaitu tercapainya Indonesia merdeka

sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridhai

Allah.77

77

Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang Kasman Singodimdjo

75 Tahun (Jakarta: N. V. Bulan Bintang, 1982) hlm. 129.

78

Ki Bagoes Hadikoesoemo dikenal sebagai penyambung lidah

kepentingan umat Islam saat pembahasan konstitusi negara. Demi menjaga

stabilitas sosial dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang baru

dirasakan Indonesia kala itu, dan menghindari perpecahan bangsa, Ki

Bagoes Hadikoesoemo disarankan agar mengalah sejenak guna mengakhiri

perdebatan ideologis yang menguras energi bangsa. Ki Bagoes

Hadikoesoemo pun luluh lantaran tawaran sebuah pasal dalam draf

Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa dalam kurun waktu

enam bulan, akan digelar kembali rapat pembahasan draf Undang Undang

Dasar 1945 secara lebih komprehensif.

“Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan

Undang Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini

tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat

adakan MPR, justru untuk membuat Undang Undang dasar yang

sempurna.” Kata Kasmaan menyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Karena berjanji akan dibahas lagi, Ki Bagoes Hadikoesoemo pun

menerima pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun,

pembahasan itu tidak berlanjut sampai Ki Bagoes Hadikoesoemo wafat.

Karenanya, di hadapan Majelis Konstituante itulah, Kasman kembali

menyuarakan aspirasi golongan Islam sebagai dasar negara Indonesia.

“Seluruh tekanan psikologis tentang hasil atau tidaknya penentuan

Undang Undang dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagoes

79

Hadikoesoemo.”78

Begitu penjelasan Prawoto Mangkusasmito dalam

bukunya. Dalam waktu 15 menit Ki Bagoes Hadikoesoemo memberikan

jawaban menerima pencoretan “Tujuh Kata” islami dalam Piagam Jakarta

demi keutuhan dan persatuan bangsa dengan syarat kata-kata setelah

Ketuhanan diganti dengan Yang Maha Esa, sehingga menjadi Ketuhanan

Yang Maha Esa, usul ini diterima. Ketika Prawoto Mangkusasmito

bertanya tentang arti Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Ki Bagoes

Hadikoesoemo menjawab “Tauhid.” Ki Bagoes Hadikoesoemo kembali

mengajukan amandemen, rumus Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab diubah menjadi Ketuhanan Yang

Maha Esa, Kemanusiaan Yang adil dan Beradab. Usul amandemen ini juga

diterima. Itulah sebabnya Prodjokusumo mengatakan bahwa kunci

Pancasila sebetulnya ada ditangan Ki Bagoes Hadikoesoemo.79

Tuntutan-tuntutan golongan Islam sebelumnya semuanya dibatalkan.

Bahkan sehari setelah proklamasi, tujuh patah kata dalam Piagam Jakarta

dihapuskan, kata Allah dalam muqadimah diganti dengan Tuhan, dan kata

muqaddimah diubah menjadi pembukaan.80

Beberapa cendikiawan muslim menganggap bahwa diterimanya

ideologi negara Pancasila dan dihapuskannya tujuh patah kata dalam

78

Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara Sebuah

Proyeksi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm. 35.

79

HS. Prodjokusumo, Kunci Pancasila di Tangan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Suara

Muhammadiyah, No 8/63 (1983) hlm. 24-25.

80

Drs. Abdul Azis Thaba, M.A, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru(1966-

1994) (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 156.

80

Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik Islam. Namun hal ini

membuat mereka bersatu yaitu mereka mulai memikirkan suatu partai

politik yang dapat menjadi payung bagi semua organisasi Islam pada saat

itu yaitu dengan mendirikan partai politik Masyumi.

81

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan mengenai pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo

tentang Negara dan Islam, kiranya dapat ditarik kesimpulan penting yang

berkaitan dengan rumusan masalah pada skripsi ini, diantaranya adalah

sebagai berikut:

1. Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah salah satu tokoh dari kalangan Islam

yang terlibat dalam perjuangan sekulerisasi negara pada masa-masa

penentuan dasar negara. Ki Bagoes Hadikoesoemo bersama tokoh

kalangan Islam menginginkan untuk memasukkan konsepsi Islam ke

dalam negara dengan jalan demokrasi.

2. Sebenarnya yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam

BPUPKI dan PPKI bukan realisasi konsep negara Islam tetapi lebih

tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran

Islam.

3. Ki Bagoes Hadikoesoemo memberi perhatian yang sangat serius

terhadap klausul 7 kata dalam Piagam Jakarta dengan argumen bahwa

kata-kata “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang

membuat perdebatan kalangan Nasionalis islam dengan kalangan

Kebangsaan itu akhirnya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa

atas usul Ki Bagoes Hadikoesoemo.

82

4. Pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang Islam sebagai dasar

negara yang bermula dari pemikiran anti kolonialisme dan anti

pemikiran Barat yang menurutnya orang-orang Barat sangat jauh

menyimpang Al Quran dan Sunah. Maka ideologi Islam dianggap

sempurna dalam membangun negara Indonesia ini. Akan tetapi

pemikiran tersebut tersisihkan karena demi tegaknya Republik

Indonesia dan rasa persatuan dan kesatuan untuk kemaslahatan umum,

maka Ki Bagoes Hadikoesoemo menanggalkan pendiriannya

membentuk negara dengan dasar Islam dan mengubah rumusan sila

pertama di Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang

diinterpretasikan sebagai “Tauhid”.

B. KRITIK DAN SARAN

1. Konsep dasar negara Islam yang di harapkan Ki Bagoes

Hadikoesoemo tidak begitu relevan di Indonesia dilihat dari sisi

keberagamaan suku, ras dan agama di Indonesia. Walaupun begitu

setidaknya perjuangan Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh kalangan

Nasionalis Islam lainnya berhasil mendorong negara Indonesia tidak

menjadi negara sekuler.

2. Karena pembahasan soal konstitusi negara berdasarkan syariat Islam

tidak dilaksanakan, wajar jika kekuasaan rezim Orde Lama yang

dipimpin Presiden Soekarno dihantui konflik laten soal perdebatan

ideologis.

83

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M. A. Japan‟s Colonialism and Indonesia, tesis, Leiden. 1955.

Bakar, Aboe. Sedjarah Hidup K. H. A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar.

1954.

Boland , B. J, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970. Jakarta: Grafiti Pers,

1985

Daliman, A. . Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak. 2012.

Gottschalk, Louist. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Presss. 1986.

Hadikoesoemo, Ki Bagoes. Islam Sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin.

Yogyakarta: Pustaka Rahayu. 1954.

Hadikusuma, Djarnawi. Dari Jamaluddin Al Afghani sampai K. H. A. Dahlan .

Yogyakarta: Persatuan.

Hakiem, Lukman, Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia: Pemikiran dan Kiprah

Ki Bagoes hadikoesoemo, Mr. Kasman Singodimejo, dan K. H. Abdul

Kahar Muzakkir. Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2013.

Hisyam, Muhammad. Jurnal Mayarakat dan Budaya . Volume 13. No. 2. Tahun

2011.

I.Gde, Widja. Sejarah Lokal: Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989.

84

Kahin, George McT. Nasionalism and Revolution in Indonesia. Ihaca, N. Y. :

Cornell University Press. 1952

Kartosoewirjo, S. M. Sedikit Tentang Oelil Amri. Dalam Fadjar Asia, 24 Mei

1930.

Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES. 1987.

Mangkusasmito, Prawoto. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara Sebuah

Proyeksi. Jakarta: Bulan Bintang. 1977.

Mausu‟ah as Siyasah, Al Mu‟assasah al Arabiyah li ad Dirasah wa an Nasr.

Beirut. 1981.

Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif, Jakarta: Referensi.

2013.

Muzakki. Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi. Jakarta: Lentera. 2004.

Nasri, Imron. Muhammadiyah Berjuang Demi Tegaknya NKRI dan Agama Islam.

Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2012.

Natsir, Mohammad. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang. 1955.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

1994.

Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti. 1997

Prodjokusumo, HS. Kunci Pancasila di Tangan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Suara

Muhammadiyah, No 8/63. 1983.

85

Raspati, Herguita Immas. Sejarah Pemikiran Mohammad Natsir tentang Islam

dan Dasar Negara. Program studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan

Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 .

RM. A. B. Kusuma. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Risalah sidang

BPUPKI dan PPKI).

Rofiq, Ainur. Ki Bagus Hadikusumo Dalam Proses Perumusan Dasar Negara

Republik Indonesia Pancasila :Tinjauan Historis Tentang Jejak

Perjuangan Dan Peranannya. Fakultas Adab dan Humaniora Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014.

Saafroeddin Bahar, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati (Eds), Risalah Sidang

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPK), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia.

Santosa, O. Kholid (Ed). Islam Sebagai Dasar Negara (Pidato di Depan Sidang

Konstituante Untuk Menentukan Dasar Negara RI (1957-1959). Bandung:

Sega Arsy. 2004.

Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi . Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1997.

Tanthawi, Muhammad. Dkk, Problematika Pemikiran Muslim. Yogyakarta: Adi

Wacana. 1997.

Thaba, Drs. Abdul Azis, M.A. Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru

(1966-1994). Jakarta: Gema Insani Press. 1996.

86

Tjokroaminoto, H.O.S, Moeslim Nationale Onderwijs.

Tsiyarat al Fikr al islamy, 1991.

Veyne Paul, Writing History, Essay on Epistemology, terjemahan dari bahasa

Perancis, Mina Moore-Rinvolucri. Perancis: Wesleyan Univercity Press.

1984.

Yamin, Moh, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I-III. Jakarta:

Jajasan Prapanca. 1959.

87

LAMPIRAN-LAMPIRAN

88

89

90

91

92

93