pemetaan kerukunan kehidupan beragama - …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/pemetaan...

334
PEMETAAN KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA di Berbagai Daerah di Indonesia Editor: H. Mursyid Ali DEPARTEMEN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2009

Upload: trancong

Post on 06-Feb-2018

290 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

PEMETAAN KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA

di Berbagai Daerah di Indonesia

Editor:H. Mursyid Ali

DEPARTEMEN AGAMA RIBADAN LITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2009

ii

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di IndonesiaJakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2009xxii + 312 hlm; 15 x 21 cm.ISBN : 978-602-8739-01-6

Hak cipta pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan pertama, Agustus 2009

Tim Peneliti Keagamaan Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerahdi Indonesia

Editor: Drs. H. Mursyid Ali

Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta

Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Puslitbang Kehidupan KeagamaanBadan Litbang Dan Diklat Departemen AgamaGedung Bayt Al-Quran dan Museum IstiqlalKomplek Taman Mini Indonesia IndahTelp./Fax. (021) 87790189 Jakarta

Dicetak oleh CV. PRASASTI

iii

KATA SAMBUTANKEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT

Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 disebutkan definisi Kerukunan Umat Beragama sebagai berikut: ”Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Sebagai kondisi maupun proses pengembangan pola-pola interaksi sosial, kerukunan memiliki fungsi penting bagi penguatan dan pemeliharaan struktur sosial suatu masyarakat. Kerukunan dapat menjadi katup pengaman (safety valve) bagi disintegrasi sosial. Kerukunan dapat mereduksi konflik, disamping secara fungsional-struktural berfungsi membangun keseimbangan masyarakat (social equilibrium). Kerukunan, dengan demikian berfungsi mengontrol, memelihara, menguatkan dan membangun ”ikatan sosial” struktur masyarakat. Kerukunan mengontrol unsur untuk saling mengikat dan memelihara keutuhan bersama agar tetap eksis dan survived. Secara terinci, makna dan fungsi kerukunan dapat dipahami dalam berbagai konteks dimensi kehidupan masyarakat.

Menyadari pentingnya kerukunan, maka ada beberapa hal yang perlu dikembangkan. Pertama, pengembangan wadah kerukunan yang kuat. Wadah ini harus merupakan

iv

forum komunikasi kelompok-kelompok yang secara murni menghendaki kerukunan. Untuk itu, wadah harus memiliki kejelasan orientasi (visi dan misi) yang dapat diprogramkan.

Kedua, pengembangan sistem norma, atau perangkat pengaturan ikhwal norma dan nilai tentang ekspektasi serta preskripsi dan proskripsi yang diperlukan. Sistem norma dan nilai yang dibangun niscaya harus merepresentasikan prinsip-prinsip kejelasan orientasi, relevansi dengan kebutuhan, keadilan bagi semua pihak, kebersamaan dan kepraktisan. Dalam konteks inilah, peranan pemerintah dan masyarakat sangat menentukan derajat keberhasilan terbangunnya proses integrasi sosial masyarakat.

Menyadari makna strategis kerukunan bagi kesatuan dan keutuhan negara dan bangsa ini, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama telah melakukan penelitian tentang ”Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama” di beberapa daerah pada tahun 2007 yang secara umum hasilnya dapat disimak dalam buku ini.

Terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnya. Semoga buku ini bermanfaat.

Jakarta, Agustus 2009Kepala Badan Litbang dan DiklatDepartemen Agama RI,

Prof. Dr. H. M. Atho MudzharNIP. 19481020 196612 1 001

v

KATA PENGANTARKEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

egala puji bagi Allah atas petunjuk dan rahmat-Nya, buku berjudul ”Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia”, dapat diterbitkan sesuai

dengan rencana yang sudah ditetapkan. Buku ini memuat hasil-hasil penelitian mengenai Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan beberapa tahun terakhir.

Pemetaan kerukunan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi kondisi kehidupan beragama, hubungan antar umat beragama, potensi-potensi konflik, kecenderungan hubungan antar umat beragama, institusi-institusi lokal yang berperan dalam menjaga kerukunan, usaha-usaha yang dilakukan dalam menjaga integrasi sosial, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung lahirnya kondisi integrasi sosial kemasyarakatan.

Produk-produk berupa pemetaan kerukunan kehidupan beragama ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam membangun dan merawat harmoni sosial yang telah ada selama ini, sekaligus mencari alternatif baru yang lebih mengena dan lebih berbasis pada realitas sosial. Agar pengkajian ini lebih dapat melihat realitas sosial masyarakat, maka penelitian dilakukan di daerah yang masyarakatnya mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi dari segi suku, etnik dan agama. Kajian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan diperkuat dengan metode kuantitatif. Dengan demikian, analisis terhadap hasil pengamatan dan wawancara

S

vi

diperkuat dengan hasil angket sehingga semua argumen kualitatif akan didukung dan diperluas.

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama yang telah memberikan arahan dalam penerbitan buku ini. Kepada para peneliti yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik, kami juga mengucapkan banyak terima kasih. Semoga hal ini dapat dilanjutkan pada masa-masa yang akan datang.

Akhirnya kami mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya, dalam rangka perbaikan tulisan ini pada masa yang akan datang.

Wabillahitaufik walhidayah.

WassalamJakarta, Agustus 2009Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.DNIP. 19600416198903 1 005

vii

PENGANTAR EDITOR

Pendahuluanerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama berkenaan dengan masalah

kerukunan kehidupan beragama di berbagai daerah di Indonesia diperoleh gambaran umum antara lain sebagai berikut.

Konflik dan kerusuhan (riots) sosial yang meledak di berbagai kota di Indonesia dua-tiga tahun belakangan ini tidak berlangsung dalam ruang kosong. Konflik dan kerusuhan itu terjadi dalam realitas sosial dan politik tertentu. Oleh karena itu, analisis terhadap setiap konflik dan kerusuhan sosial yang meledak tidak cukup hanya dengan melihat aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, baik dari perspektif etnisitas maupun agama. Analisis konflik dan kerusuhan harus juga memperhatikan faktor-faktor seperti sosial, politik, dan ekonomi. Faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi merupakan infrastruktur terjadinya konflik dan kerusuhan sosial. Sementara etnisitas dan agama dapat dipandang sebagai faktor komplementer yang menambah semakin mengerasnya kelompok maupun aktor yang terlibat konflik dan kerusuhan, apalagi dalam masyarakat majemuk (heterogen) seperti Indonesia. Memang etnisitas dan agama bisa menjadi sumber konflik dan kerusuhan sosial, tetapi ia lebih sering membutuhkan infrastruktur lain untuk terjadinya konflik dan kerusuhan sosial daripada faktor yang berdiri sendiri. Apalagi dalam sejarah masyarakat Indonesia yang majemuk konflik dan kerusuhan sosial yang terjadi senantiasa melibatkan faktor-faktor yang lebih kompleks dari sekedar

B

viii

soal etnis dan agama. Akan tetapi perlu tetap digarisbawahi bahwa masyarakat majemuk lebih membuka peluang terjadinya konflik sosial daripada masyarakat yang homogen meski pada era modern sekarang masyarakat homogen hampir mustahil ditemukan.

Kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah realitas yang baru terbentuk. Kemajemukan dari segi etnis, budaya, bahasa, dan agama, merupakan realitas sejarah yang sudah berlangsung lama di negeri ini. Sejak masa-masa kerajaan, penjajahan, dan kemerdekaan kemajemukan telah menjadi salah satu ciri bangsa Indonesia. Di samping itu, penduduk Indonesia tersebar di pulau-pulau dengan komposisi yang tidak merata; ada pulau yang relatif kecil, tetapi padat seperti pulau Jawa-Luasnya hanya 6,89% dan dihuni 59,99%; sebaliknya pulau Irian Jaya yang luasnya 21,99% hanya dihuni 0,92% penduduk. Data 1993 menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di pulau Jawa adalah 814 jiwa per kilometer persegi, sementara di Irian Jaya untuk ukuran luas yang sama hanya dihuni 4 jiwa saja.

Selanjutnya, dari segi jumlah dan komposisi pemeluk agama juga menampakkan tingkat keragaman yang relatif besar. Persebaran dan komposisi penganut agama di Indonesia (BPS, 1990) adalah: Islam 87,21% (156.318.610 jiwa); Protestan 6,04% (10.820.769 jiwa); Katolik 3,58% (6.411.794 jiwa); Hindu 1,83% (3.287.309 jiwa); Budha 1,02% (1.840.693 jiwa); lain-lain 0,32% (568.608 jiwa). Jumlah penduduk Indonesia pada tahun itu sebanyak 179.247.783 jiwa. Penyebaran penganut agama itu tidak merata. Meyoritas penganut Islam tersebar di Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau di Maluku Utara. Penganut Kristen Protestan mayoritas tersebar

ix

di Irian Jaya, Katolik di Pulau Plores, Timor Timur, dan mayoritas Hindu tersebar di Pulau Bali.

Sebagaimana diperlihatkan sejarah Indonesia di masa lampau, kemajemukan itu tidak menimbulkan konflik masyarakat, apalagi kerusuhan sosial. Sebaliknya bahkan menjadi himpunan kekuatan bangsa dalam menumbuhkansemangat nasionalisme. Kemajemukan itu malah telah menjadi slogan persatuan dan kesatuan bangsa; Bhineka Tunggal Ika.

Dengan titik tolak bahwa kemajemukan itu merupakan kekayaan dan modal bangsa, bukan malah menjadi beban, maka konflik dan kerusuhan sosial di Indonesia harus dilihat lebih dari itu. Meskipun demikian, karena sejarah sebagai masyarakat majemuk itu tidak dialami oleh seluruh masyarakat Indonesia, maka kemajemukan tetap harus dipandang sebagai faktor sekaligus kondisi yang dapat menimbulkan konflik antar masyarakat. Di samping memperhatikan faktor kemajemukan masyarakat, analisis terhadap konflik dan kerusuhan sosial harus lebih memperhatikan realitas sosial dan politik yang tengah berjalan daripada murni sebagai konflik antar kelompok-kelompok masyarakat yang dipicu oleh kemajemukan in itselfoleh karena itu, dalam menjelaskan fenomena konflik dan kerusuhan di Indonesia faktor sosial dan politik termasuk kebijakan yang diformulasikan pemerintah dalam pembangunan bidang agama, menjadi sangat signifikan.

Sampai sejauh ini, secara umum terdapat dua jenis analisis yang mencoba menjelaskan fenomena kerusuhan sosial di Indonesia. Pertama, kelompok teoritis yang berpendapat bahwa kerusuhan sosial yang melibatkan tindak kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kelompok teoritis ini lebih menekankan aspek

x

psikologis dalam merinci dan menjelaskan fenomena kerusuhan sosial. Kedua, kelompok pendukung argumen instrumentalis yang memandang kerusuhan sosial yang melibatkan tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi strategis dan keputusan taktis. Kelompok ini lebih memfokuskan aspek politis dalam menjelaskan fenomena kerusuhan sosial.

Pandangan dua kelompok besar itu sama-sama mengandung kebenaran: faktor psikologis dan politis sama-sama bekerja dalam menciptakan kondisi bagi meletusnya kerusuhan sosial. Karena itu, mengabaikan salah satunya bukan hanya tidak adil, tetapi juga salah karena lebih menekankan aspek yang satu dibandingkan yang lain. Untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif, seluruh faktor yang dipandang kontributif, atau memiliki kaitan, dengan peristiwa kerusuhan sosial harus mendapat porsi perhatian yang seimbang.

Kondisi-kondisi UmumKerusuhan sosial tidak bisa dipisahkan dari kondisi

sosial politik negara ini di bawah pemerintahan Orde Baru. Selama berkuasa lebih dari 30 tahun, pemerintah Orde Baru telah melancarkan kebijakan pembangunan bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Pembangunan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru, karena sifat antitesisnya terhadap kebijakan yang digulirkan pemerintah Orde Lama. Lebih menekankan bidang pembangunan ekonomi. Pembangunan bidang-bidang yang lain disubordinasikan ke dalam bidang ekonomi. Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, pemerintah Orde Baru menempuh jalan modernisasi dengan corak pembangunan yang sangat pragmatis. Ini ditempuh dengan masuknya kapitalisme global melalui

xi

pemberian kesempatan yang besar terhadap masuknya modal asing.

Membanjirnya modal asing ke Indonesia mengakibatkan industrialisasi dan perdagangan di negeri ini mengalami pertumbuhan pesat. Perkembangan ini segera diikuti oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota karena besarnya kesempatan kerja yang tersedia di kota. Sektor pertanian sendiri, diletakkan sebagai bagian dari industrialisasi dan perdagangan sehingga program-program yang dicanangkan justru lebih berpihak pada kalangan pengusaha dan pedagang daripada petaninya sendiri. Akibatnya, sektor ini tidak hanya menjadi kurang manarik bagi kalangan generasi muda desa, tetapi juga kurang menjanjikan dari segi ekonomi. Kondisi ini segera memicu urbanisasi dan mengkonsentrasikan penyebaran penduduk ke kota-kota besar.

Akan tetapi, penduduk desa yang bermigrasi ke kota-kota itu tidak seluruhnya memiliki keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan di kota besar. Bagi yang dibekali keterampilan, tenaga kerja mereka segera terserap ke sektor-sektor industri di kota, sementara yang tidak memiliki ketermpilan menjadi kelompok marginal di kota. Sebagian mereka bekerja di sektor-sektor formal, buruh lepas, dan sebagainya. Mereka inilah yang kemudian tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh (slum areas) di kota-kota. Sementara itu, pada saat yang sama industrialisasi yang dilancarkan berhasil mengubah wajah fisik perkotaan, kalangan pemilik modal, dan kaum profesional. Secara fisik kota mengalami perubahan besar dengan berdirinya gedung-gedung baru, jalan-jalan yang luas dan lebar, pusat-pusat perbelanjaan, dan fasilitas transportasi yang relatif modern. Sejalan dengan suksesnya program industrialisasi, kaum

xii

pemilik modal dan para profesional juga semakin menikmati kelimpahan ekonomi. Pada saat yang sama trickle down effect yang diharapka tidak kunjung terwujud. Akibatnya, fasilitas fisik perkotaan itu hanya mampu dijangkau dan dinikmati oleh kaum pemilik modal dan para profesional, sementara kebanyakan masyarakat perkotaan, apalagi kaum migran desa yang bekerja di sektor informal, semakin terpinggirkan. Mereka hanya menikmati sedikit saja hasil pembangunan ekonomi yang dilancarkan pemerintah.

Arus perpindahan penduduk itu tidak hanya dari desa ke kota, tetapi juga terjadi antar pulau dan suku bangsa. Pemerintah bahkan menyelenggarakan program ini secara sistematik melalui transmigrasi sebagai bagian dari pemerataan penyebaran penduduk. Program transmigrasi ini tak jarang menimbulkan masalah hubungan antara etnisitas dan lokalitas di berbagai daerah di Indonesia, terutama di luar Jawa. Secara umum, program transmigrasi memang berhasil, tetapi di antara efek samping dari program ini adalah tumbuhnya persaingan, terutama di bidang ekonomi antara kaum pendatang dan penduduk lokal. Persaingan itu tak jarang dapat memicu konflik dan kerusuhan sosial.

Kasus kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat, yang berlangsung antara masyarakat Dayak versus Madura(1999) merupakan contoh yang cukup representatif.

Lepas dari itu, melalui pembangunan ekonomi yang terkonsentrasi di kota-kota, telah terbentuk masyarakat ”heterogen baru” yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya beserta tuntutan-tuntutan infrastruktur dan norma-norma sosial yang baru pula.

Secara sederhana itulah antara lain gambaran kebijakan ekonomi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru. Akibat yang timbul dari kebijakan ini adalah semakin

xiii

lebarnya disparitas pendapatan antar masyarakat. Pada gilirannya hal itu membawa akibat-akibat sosial yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Kesenjangan ekonomi yang lebar mengakibatkan semakin tegasnya perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat sehingga menjadi rawan konflik. Apalagi jika kesenjangan itu kemudian ditambang faktor-faktor lain, terutama yang bersifat psikologis dan teologis seperti perbedaan etnis dan agama.

Pembinaan KerukunanPembinaan agama merupakan tanggung jawab

Departemen Agama, sebagai institusi negara yang memang secara historis mempunyai wewenang di bidang itu. Arah pembinaan kehidupan beragama di Indonesia antara lain membangun kerukunan hidup antar dan intra umat beragama. Hal ini karena agama mempunyai kecenderungan untuk menyebarkan kebenaran yang diyakini pada umat manusia. Jika kecenderungan ini tidak diatur, maka akan menjadikan masyarakat beragama saling berebut pengaruh yang pada gilirannya dapat menimbulkan konflik antar agama.

Karena arahnya adalah pembangunan kerukunan antar dan intra umat beragama, maka Departemen Agama di samping mengeluarkan pedoman-pedoman penyiaran agama, juga memberi fasilitas bagi kalangan umat beragama untuk mengadakan dialog dan kerjasama. Departemen Agama telah mendirikan forum-forum beranggotakan tokoh agama-agama yang berfungsi sebagai jembatan antar umat beragama dengan pemerintah atau Departemen Agama. Forum-forum itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesa (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI), dan Perwalian Umat Budha

xiv

Indonesia (WALUBI). Melalui forum-forum itu diharapkan agama bertindak sebagai kekuatan pemersatu bagi para pemeluk agama masing-masing.

Membangun kerukunan agama merupakan agenda yang tidak ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati mengingat agama lebih melibatkan aspek emosi daripada rasio; lebih menegaskan ”klaim kebenaran” daripada ”mencari kebenaran”. Meskipun sejumlah pedoman telah digulirkan, pada umumnya masih sering terjadi gesekan-gesekan di tingkat lapangan, terutama berkaitan dengan penyiaran agama, pembangunan rumah ibadah, dan sebagainya. Pada tingkat tertentu ini dapat mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama.

Pada saat yang sama, agama juga membuka peluang munculnya paham-paham yang berbeda. Perbedaan paham dalam menghayati agama itu, pada gilirannya dapat mengganggu hubungan intern umat beragama karena antara satu dengan yang lain sering saling menyalahkan, atau dalam bahasa Islam ”saling mengkafirkan”. Dalam kaitan ini, Departemen Agama tidak hanya berusaha mengembangkan paham keagamaan yang moderat, tetapi juga yang sejalan dengan ideologi nasional bangsa, Pancasila. Paham-paham yang bercorak ekstrem dan eksklusif tidak dilegitimasi, bahkan jika mengandung tendensi politik segera dilarang. Itulah kebijakan umum dalam bidang agama yang diambil oleh pemerintah Orde Baru melalui Departemen Agama.

Dapat diduga bahwa kalangan masyarakat yang memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan institusi resmi, akan memendam rasa kecewa yang diwujudkan dalam berbagai bentuk respon. Bentuk yang paling ekstrim rasa kecewa itu adalah membangun komunitas sendiri yang terpisah dari masyarakat umum. Ini jelas merupakan kondisi

xv

yang rentan konflik. Berkaitan dengan upaya meningkatkan kerukunan beragama paling sedikit terdapat tiga ancaman. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama. Kedua, organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung menekankan peningkatan jumlah anggota daripada perbaikan kualitatif keimanan anggota. Ketiga, disparitas sosial ekonomi antar para penganut agama yang berbeda.

Faktor-Faktor PemicuTanpa bermaksud menimpakan seluruh kesalahan

pada Orde Baru, harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan yang diformulasikannya seperti yang sepintas digambarkan di atas telah menciptakan kondisi yang mengarah pada ketegangan tersembunyi di kalangan masyarakat. Bahkan sering dikatakan bahwa kondisi tersebut mengandung potensi konflik yang besar. Jika diasumsikan kerusuhan sosial sebagai salah satu bentuk protes sosial, maka terjadinya berbagai kerusuhan sosial di berbagai wilayah tak lebih dan tak kurang mengindikasikan ketidakpuasan kalangan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang dilancarkan pemerintah, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kerusuhan sosial, dengan demikian, pertama-tama harus diletakkan dalam konteks kebijakan umum pemerintah sebelum dideteksi lebih jauh penyebab-penyebab khususnya.

Dalam kaitan itu dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata telah mengkondisikan terjadinya konflik dan kerusuhan sosial, yang bersifat horizontal (antar masyarakat) maupun vertikal (antara masyarakat dan aparat). Respons terhadap kebijakan yang dilancarkan pemerintah yang dipandang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat adalah munculnya perasaan kecewa. Ini merupakan kondisi yang rentan terhadap konflik dan

xvi

kerusuhan sosial. Kondisi yang rentan itu dapat diibaratkan ”rumput kering” yang siap terbakar. Karena itu, ketika kondisi yang rentan itu bergesekan dengan masalah-masalah sosial yang bersumber dari perbedaan etnis dan agama, maka segera ia akan meletus menjadi kerusuhan.

Hal ini karena etnisitas dan agama merpakan faktor sensitif dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia.

Faktor-faktor apakah gerangan yang dapat memicu konflik, bahkan kerusuhan sosial? Mengikuti uraian-uraian tersebut, tampak bahwa faktor ekonomi dan politikmerupakan peringkat pertama faktor pemicu konflik dan kerusuhan. Sedangkan faktor agama menduduki peringkat kedua. Berkaitan dengan faktor agama, Departemen Agama telah mendaftar sejumlah kegiatan keagamaan yang dipandang rawan konflik antara lain:1. Pendirian rumah ibadah

Seperti terjadi di beberapa wilaya, tempat ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi umat beragama merupakan faktor yang sering menimbulkan hubungan tidak harmonis antara penganut agama. Lebih dari itu, tak jarang menimbulkan konflik antar umat beragama.

2. Penyiaran AgamaPenyiaran agama yang dilakukan secara lisan dan media cetak maupun elektronik dapat menimbulkan konflik antar umat beragama. Lebih-lebih jika penyiaran agama itu diarahkan pada penganut agama lain.

3. Bantuan luar negeriBantuan luar negeri, baik berupa materi maupun tenaga ahli, yang diarahkan untuk mengembangkan dan menyebarkan suatu agama – jika tidak mengikuti

xvii

peraturan yang ada – juga rawan konflik, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama.

4. Perkawinan berbeda agamaPerkawinan berbeda agama, meski pada mulanya bersifat pribadi dan keluarga, tak jarang menyeret kelompok umat beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis. Apalagi jika menyangkut akibat hukum perkawinan, hartabenda perkawinan, warisan dan sebagainya.

5. Perayaan hari besar keagamaanPenyelenggaraan perayaan hari besar keagamaan yang kurang mempertimbangkan kondisi, situasi, dan lokasi juga dapat menimbulkan kerawanan dalam bidang kerukunan antar umat beragama.

6. Penodaan agamaPerbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu agama tertentu, baik yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang, juga dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan antar umat beragama. Penodaan agama merupakan faktor yang paling sering memicu konflik antar umat beragama.

7. Kegiatan aliran sempalanAliran yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada keyakinan terhadap agama tertentu secara menyimpang dari agama bersangkutan dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat beragama. Pada gilirannya keresahan itu dapat muncul dalam bentuk konflik intern dan antar umat beragama.

Faktor-faktor tersebut harus mendapat perhatian agar konflik dan kerusuhan sosial yang bersumber dari agama sejauh mungkin dapat dideteksi secara dini.

Peringkat selanjutnya atau ketiga ditempati faktor lokalitas dan etnisitas. Faktor ini terutama muncul sebagai

xviii

akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Migrasi penduduk itu, sebagaimana dikatakan, melahirkan masyarakat-masyarakat heterogen baru yang belum mempunyai preseden sebelumnya. Masyarakat seperti itu membutuhkan social conduct baru yang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.

Sejauh menyangkut etnisitas, Indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi. Secara etnis, sebagaimana dicatat Hildred Geertz (1963) Indonesia terdiri dari 300 kelompok puak (etnis) yang berbeda masing-masing dengan identitas kulturalnya sendiri, yang berbicara dengan lebih dari 250 bahasa yang berbeda. Akan tetapi, kesadaran tentang kelompok etnis di Indonesia sebenarnya baru berlangsung pada awal abad ke-20 sejalan dengan ide nasionalisme yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda. Kesadaran tentang komunitas etnis dan keunikan etnisitas masing-masing baru muncul ketika pemerintah kolonial mempercepat perubahan ekonomi dan sosial, mengembangkan komunikasi dan transportasi yang membawa sekian banyak individu terlibat dalam kontak satu sama lain. Di samping itu, dalam batas-batas tertentu, kesadaran etnis ini juga dijinakkan oleh faktor agama, khususnya Islam. Dalam beberapa hal Islam bahkan menjadi supra identity yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnis.

Meskipun demikian, kesadaran etnis itu sama sekali tidak mungkin dihapuskan. Sejalan dengan akselerasi modernisasi yang dilancarkan pemerintah yang berakibat semakin tingginya mobilitas sosial dan intensitas kontak sosial, telah membuka kembali kesadaran masyarakat tentang kunikan etnisnya. Ditambah dengan kesadaran lokalitas, maka etnisitas menjadi semakin mengental. Apalagi terdapat kategori penduduk asli dan kaum pendatang yang dengan

xix

mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial.

Secara sosiologis, kerusuhan sosial yang merupakan ekstensi dari konflik sosial hanya mungkin terjadi di kalangan masyarakat yang heterogen. Tingkat heterogenitas masyarakat yang berpadu dengan kondisi sosial-ekonomi, kemudian menjadi faktor yang sangat menentukan besarnya potensi konflik dan kerusuhan sosial. Oleh karena itu, sejalan dengan peringkat di atas, pertama-tama yang harus mendapat perhatian adalah masalah kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang adil dan demokratis. Di atas itu kebijakan tentang kehidupan beragama dapat berjalan sehingga bangunan kehidupan masyarakat yang harmonis akan tegak berdiri.

Pendekatan MasalahUntuk mengatasi masalah kerusuhan sosial dan

mewujudkan kerukunan keagamaan serta persatuan dan kesatuan bangsa, diperlukan upaya-upaya konkrit, intensif, terarah serta kontinu yang melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait yang meliputi tokoh-tokoh keagamaan, masyarakat dan pemerintah, sesuai dengan kondisi obyektif di masing-masing wilayah baik di tingkat pusat, provinsi, maupun di tingkat kabupaten dan kecamatan di seluruh Indonesia, dengan menggunakan metode, dialog, diskusi, sarasehan, tatap muka, kerjasama.

Menurut mantan Kabalitbang Agama Johan Efendi, ada berbagai opsi dalam masyarakat berkenaan dengan penanganan masalah kerukunan ini. Pertama adalah sikap saling menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah sikap tidak saling mengganggu. Kedua, mengembangkan kerjasama sosial keagamaan melalui berbagai kegiatan yang

xx

secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga, adalah mencari dan mengembangkan serta merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab problem, tantangan dan keprihatinan umat kemanusiaan. Opsi pertama adalah tahap awal dan kondisi minimal untuk membangun kebersamaan masyarakat. Opsi ketiga merupakan landasan ”theologis” bagi masing-masing kelompok agama untuk membangun sebuah masyarakat di mana semua orang dapat hidup bersama dalam semangat kebersamaan, persamaan, dan kesatuan umat. Sementara opsi kedua merupakan perwujudan nyata dari kebersamaan dan kerukunan tersebut.

Terkait ihwal rumah ibadat dan kerukunan ini, berdasarkan dialog dan diskusi yang cukup intens antara para wakil dari pemerintah dan majelis-majelis agama pusat, telah dikeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Jakarta, Agustus 2009 Editor

Mursyid Ali

xxi

DAFTAR ISIHalaman

KATA SAMBUTAN ....................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................... v

PENGANTAR EDITOR ................................................. vii

DAFTAR ISI ................................................................... xxi

BAGIAN 1KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI MALUKU

Moh. Yamin Rumra, Abdul Rauf, dkk .................. 1

BAGIAN 2KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI KALIMANTAN BARAT

Fauziah, Ibrahim, dkk ........................................... 43

BAGIAN 3KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI LAMPUNG

Yukrim Latief, Agus Pahrudin, dkk ...................... 67

BAGIAN 4KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI JAMBI

Muntholib Sm, Hilmi, dkk .................................... 103

BAGIAN 5KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN

H. M. Adlin Sila, Suhanah , dkk ........................... 149

xxii

BAGIAN 6KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN LUBUK PAKEM SUMATERA UTARA

H. Ahsanul Khalikin ............................................ 175

BAGIAN 7KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN BATANG HARI JAMBI

H. Umar R. Soeroer, Asnawati, dkk ...................... 203

BAGIAN 8KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT KALIMANTAN TENGAH

H. Muchit A. Karim, Muchtar , dkk ..................... 231

BAGIAN 9KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN

H. Ridwan Lubis, Hj. Kustini , dkk ...................... 255

BAGIAN 10

Kerukunan Kehidupan Beragama Masyarakat Perkebunan di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah

H. Bashori A. Hakim, H. Mursyid Ali, dkk .......... 281

BAGIAN 1

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMADI PROVINSI MALUKU

Tim Peneliti

Moh. Yamin RumraAbdul RaufAdam LatuconsinaKarmanMuh. Nahar Nahrawi

2

Pendahuluan

A. Latar Belakangalam masyarakat plural kemungkinan besar konflik itu terjadi. Secara teoritik terdapat beberapa faktor penyebab konflik sosial. Pertama, pada tataran

makroskopik, konflik sosial disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah dalam segala bidang yang sentralistik dengan dampak ketimpangan dan ketidakadilan dalam pembagian kue pembangunan. Kedua, pada tataran mikroskopik, konflik sosial bernuansa agama (seperti di Ambon dan Poso) akibat adanya kebijakan yang kurang memperhatikan kehidupan sosial keagamaan masyarakat lokal.

Secara empirik, cukup banyak faktor-faktor yang menyebabkan konflik sosial. Pertama, pada tataran makroskopik, konflik sosial disebabkan oleh adanya kesenjangan yang nyata dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan budaya. Kasus pemberian kredit tanpa agunan kepada etnis tertentu (Cina) sementara etnis pribumi harus

D

3

menggunakan agunan dan persyaratan lain yang berbelit-belit adalah contoh adanya ketidakadilan ekonomi (Sri Edi Swasono, 2001,22). Kriminalitas yang dilakukan penjahat kelas teri, semacam mencuri ayam, ketika ditangkap harus mendekam di penjara selama enam bulan. Sementara yang melakukan korupsi bermilyar-milyar hanya mendapat tahanan kota adalah contoh ketidakadilan dalam bidang hukukm (M. Rusli Karim, 1999:24). Dalam bidang politik, pemberian kesempatan dan peluang untuk menempati jabatan politik atau kekuasaan hanya kepada kalangan tertentu dan tidak mau berbagi kesempatan kepada kelompok lain telah mengakibatkan marjinalisasi para politisi yang tidak segolongan dengan penguasa (Mohtar Mas’ud, 1997:5-7, Alfian, 2000:9-13, AS Hikam, 2001:36). Akhirnya keputusan politik semakin tinggi dan meluas menyentuh berbagai lapisan masyarakat, baik elit politik, intelektual dan masyarakat, berakibat lahirnya tindak kekerasan politik dan konflik sosial (Gurr, 1979:6-9). Menyamaratakan biaya pendidikan di semua jenjang sekolah tanpa melihat kondisi ekonomi wali murid, sehingga ada subsidi terselubung dari orang miskin kepada orang-orang kaya adalah contoh faktual dalam bidang pendidikan. Kedua, pada tataran mikroskopik terlihat adanya pengabaian masyarakat lokal untuk dapat mengembangkan multikulturalisme dengan model yang sesuai dengan kondisi dan budaya lokal, telah berakibat pada terhentinya pengembangan toleransi antar kelompok etnis dan agama yang digantikan oleh kebijakan keseragaman yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika kran kebebasan dibuka, masyarakat lokal bingung mendefenisikan kebebasan itu yang akhirnya banyak mendefinisikan kebebasan secara keliru.

Argumen teoritis dan empirik di atas kiranya dapat dijadikan dasar akan perlunya penyusunan peta yang menggambarkan potensi konflik dan kerukunan kehidupan umat beragama. Pemetaan kerukunan ini dimaksudkan untuk

4

mengelaborasi kondisi kehidupan beragama, hubungan antar umat beragama, potensi-potensi konflik, kecenderungan hubungan antar umat beragama, institusi-institusi lokal yang berperan dalam menjaga kerukunan, usaha-usaha yang dilakukan dalam menjaga integrasi sosial, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung lahirnya kondisi integrasi sosial kemasyarakatan.

Produk-produk yang berupa pemetaan keruknan kehidupan beragama itu akhirnya diharpakan dapat menjadi bahan dalam membangun dan merawat harmoni sosial yang telah ada selama ini, sekaligus mencari alternatif-alternatif baru yang lebih mengena dan lebih berbasis pada realitas sosial. Agar pengkajian ini lebih dapat melihat realits sosial masyarakat, akan dilakukan di daerah yang masyarakatnya mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi dari segi suku, etnik dan agama. Kajian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan diperkuat dengan metode kuantitatif. Dengan demikian, analisis terhadap hasil pengamatan, wawancara dan kualitatif akan diperkuat dengan hasil angket sehingga semua argumen kualitatif akan didukukung dan diperluas.

B. Masalah Penelitian

Penelitian yang berjudul “Penelitian tentang Pemetaan Kerukunan Hidup Beragama” memfokus pada beberapa masalah berikut:1. Bagaimana aktivitas kehidupan beragama masyarakat.2. Bagaimana tingkat hubungan antar umat beragama

masyarakat. 3. Apa saja yang menjadi faktor penyebab naik turunnya

kualitas hubungan antar umat beragama.4. Bagaimana kecenderungan (trends) hubungan antar umat

beragama masyarakat.

5

5. Kebijakan atau program solutif apa yang telah dilakukan terhadap masalah hubungan antar umat beragama yang terjadi.

C. Hubungan dan Signifikansi Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara rinci penelitian ini bertujuan untuk:1. Menggambarkan (mendeskripsikan) tentang aktivitas

kehidupan beragama masyarakat.2. Menggambarkan tingkat hubungan antar umat beragama

masyarakat.3. Menggambarkan faktor-faktor penyebab naik dan

turunnya kualitas hubungan antar umat beragama masyarakat.

4. Menggambarkan kecenderungan hubungan antar umat beragama masyarakat.

5. Menggambarkan kebijakan / program solutif dari pemerintah yang pernah ada.

D. Kerangka Konseptual

1. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama

Pemetaan kerukunan kehidupan beragama dalam kajian ini adalah penyusunan peta yang dapat menggambarkan kondisi dan tingkat kerukunan hidup beragama, kerawanan dan konflik secara jelas pada suatu daerah tertentu dan mengidentifikasi secara jelas dan tepat faktor-faktor yang membentuk kerukunan dan atau konflik antar umat beragama. Dengan pemetaan itu, dapat dilakukan suatu analisis penyelesaian masalah yang pragmatis dalam upaya mendorong terciptanya suatu masyarakat yang rukun dan damai, sehingga terjadi integrasi bangsa yang semakin kuat dan bersatu.

6

2. Hubungan Sosial

Hubungan sosial yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atau satu kelompok atau lebih dan dalam tindakan itu para pelaku mengaktifkan simbol-simbol untuk dapat memahami dan difahami sesuai dengan konteks hubungan yang berlangsung. Seseorang dapat saja memiliki banyak identitas, tetapi tidak mungkin menggunakan semua identitas itu sekaligus dalam hubungan sosial dalam waktu yang bersamaan. Identitas-identitas lainnya akan digunakan pada saat yang berlainan sesuai dengan kondisi yang relevan (Parsudi Suparlan, 1997:26). Akhirnya pola hubungan sosial dilakukan oleh antar kelompok sosial dan stratifikasi sosial masyarakat yang tidak menonjolkanidentitas kelompok masing-masing, maka hubungan sosial itu akan menjadi harmonis. Sebaliknya, jika masing-masing kelompok menonjolkan identitas kelompok secara berlebihan, maka yang terjadi adalah ketegangan dalam hubungan sosial atau malah menjadi potensi konflik yang semakin besar.

3. Kerukunan Hidup Beragama

Kerukunan hidup beragama adalah pola hubungan antar berbagai kelompolk umat beragama yang rukun, saling menghormati, saling menghargai dan damai, tidak bertengkar dan semua persoalan dapat diselesaikan sebaik-baiknya dan tidak mengganggu kerukunan hubungan antar umat beragama pada suatu daerah tertentu. Adanya kondisi kerukunan hidup beragama bukan berarti tidak pernah konflik. Sebab konflik itu sendiri adalah bagian dari proses menuju integrasi bangsa atau kerukunan hidup beragama. Bangsa atau masyarakat dengan integrasi yang kuat, bukan berarti sebuah bangsa atau masyarakat yang tanpa perbedaan, tetapi di dalamnya merupakan sebuah bangsa

7

atau masyarakat yang mempunyai komitmen bersama tentang norma-norma sosial yang dapat menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan dengan cara yang penuh dengan nuansa kekeluargaan dan demokratis. (Nasikun, 1992:11-13).

Untuk menuju kerukunan hidup beragama ada faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap naik turunnya tingkat kerukunan hidup beragama. Faktor-faktor itu adalah keadilan ekonomi, keadilan politik, persamaan manusia dihadapan hukum, persamaan kesempatan untuk maju dan sebagainya. Kondisi kerukunan hidup beragama atau integrasi sosial makin mudah terjadi jika ada concencus di antara anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.

4. Konflik dan Integrasi

Kondisi kerukunan hidup beragama akan berubah menjadi konflik jika faktor-faktor penyebab konflik tidak diperhatikan oleh berbagai kelompok umat beragama maupun pemerintah. Konflik adalah sebuah kondisi yang berlawanan dengan integrasi yaitu suatu keadaan di mana warga bangsa atau masyarakat yang di dalamnya ada dua pihak atau lebih yang berusaha menggagalkan tercapainya tujuan masing-masing pihak disebabkan adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai atau pun tuntutan dari masing-masing pihak. (Puhan 151 1966 dalam Budiarti; 11). Kelompok keagamaan tertentu yang bersaing untuk memperebutkan jabatan secara paksa dalam suatu tujuan melahirkan reaksi dari kelompok keagamaan yang lain. Kasus perebutan jabatan gubernur dan walikota Maluku Utara adalah kasus yang masih hangat dalam ingatan kita (Djumsi 66-67). Jadi, konflik terjadi karena adanya pemaksaan kehendak dari satu kelompok terhadap kelompok lain yang tidak dapat

8

membuat kesepakatan bersama sehingga muncullah konflik berdarah.

Di dalam setiap masyarakat, menurut teori fungsional struktural yang dikembangkan oleh Talesa Purnomo, selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota masyarakat yang menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak benar. Sistem sosial tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, akan tetapi sekaligus merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial itu sendiri. Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota masyarakat dapat terjadi oleh karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, sehingga memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama lain dalam suatu tingkat integrasi sosial tertentu. (Nasikun, 1992:21-22).

Dari beberapa definisi dan penjelasan konsep di atas, maka kerangka teori yang dapat dibangun dalam kaitannya dengan pemetaan kerukunan kehidupan beragama ini adalah mengatur bagaimana identitas agama dan kelompok keagamaan yang seluruhnya menggunakan simbol-simbol sebagai atribut atau identitas tidak diaktifkan sekehendak hati dalam hubungan sosial. Dalam kerangka ini, kerukunan kehidupan beragama adalah wujud masyarakat yang rukun dan integratif yang tidak menonjolkan identitas agamanya masing-masing pada transaksi sosial secara berlebihan. Sebab, begitu sebuah kelompok keagamaan atau apapun namanya mengaktifkan simbol-simbol keagamaan secara berlebihan dalam berbagai transaksi sosial, maka kelompok lain akan berbuat serupa. Dalam kondisi pengaturan simbol-simbol identitas secara berlebihan dapat mengakibatkan terbentuknya kasus sosial yang tidak memungkinkan

9

interaksi antar kelompok terjadi secara baik. Ketika batas sosial sudah dibangun sedemikian rupa dan tidak ada interaksi yang wajar, maka yang terjadi kemudian adalah ketegangan psikologis yang dapat berlanjut menjadi ketegangan sosial dan ketika ada pemicu yang relevan, maka dengan mudah dapat menjadi konflik sosial antara dua kelompok.

5. Kategori Pola Hubungan Sosial

Untuk mempermudah penyusunan peta kerukunan beragama, maka dalam penelitian ini akan digunakan empat kategori kerukunan. Pertama, rukun sekali. Rukun sekali atau integrative yaitu menunjuk pada situasi dan kondisi di mana semua kelompok etnis, ras, suku, agama dan kelompok kepentingan bersatu padu dalam menghadapi semua persoalan bersama dengan mengedepankan demokrasi, hak azasi manusia, keadilan hukum, nilai-nilai budaya yang berlaku, kebersamaan, kesederajatan, penghargaan atas keyakinan, memberikan kesempatan berprestasi dan mobilisasi sosial, penghindaran tindakan kekerasan fisik dan keyakinan, rasa aman dengan identitas yang dimiliki dan eksistensi yang keseluruhannya dilakukan secara partisipatif dan penuh kearifan. Kedua, kurang rukun, yaitu menunjukkan pada situasi dan kondisi di mana semuakelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok kepentingan, kurang kompak dalam menghadapi dan memecahkan semua persoalan bersama. Bahkan ada kesan sebagian tidak peduli dengan demokrasi, hak azasi manusia, keadilan hukum, keyakinan orang lain, peluang berprestasi dan mobilitas sosial, serta tidak peduli dengan rasa aman. Namun demikian tidak terjadi benturan-benturan dalam masyarakat (begitu pasif). Ketiga, potensial konflik atau rawan konflik yaitu menunjuk pada situasi dan kondisi di mana semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok kepentingan, tidak kompak dalam menghadapi

10

dan memecahkan semua persoalan bersama. Kondisi ini dalam masyarakat terjadi persaingan yang tidak sehat (kongkurensi) dan saling curiga mencurigai serta merasa terancam oleh kelompok lain. Potensial konflik ini dapatpula disetarakan dengan kerukunan dalam kondisi rawan dan berbahaya, sehingga perlu segera diantisipasi, misalnya dengan pembentukan wadah semua kelompok yang ada dalam masyarakat. keempat, konflik terbuka sangat tidak rukun yaitu menunjuk pada situasi dan kondisi di mana semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok kepentingan tidak kompak dan tidak arif dalam menghadapi dan memecahkan semua persoalan bersama. Dalam kondisi ini sering terjadi benturan-benturan sosial, segregasi sosial, stereotip sosial dan saling memfitnah atau menghakimi. Mereka bukan saja tidak peduli dengan demokrasi, hak azasi manusia, keadilan hukum dan sebagainya, tetapi masyarakat yang emosional dan ingin melakukan tindak kekerasan atau penyingkiran salah satu pihak. Keyakinan dan identitas menjadinannya tidak asa rasa aman. Situasi sudah saling menjegal terhadap kelompook lain untuk mencapai tujuan dengan kekerasan.

Dengan semua kategori di atas, kiranya dengan mudah sebuah wilayah dipetakan kerukunan hidup umat beragamanya. Kadar dari kerukunan, kurang rukun, potensial konflik dan konflik terbukanya seberapa jauh atau seberapa besar dapat diketahui dengan penyebaran angket kepada responden.

E. Metodologi Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang pemetaan kerukunan dan kerawanan sosial ini dilaksanakan di beberapa kabupaten yang mempunyai kecenderungan penduduk yang heterogen di seluruh propinsi., yakni kota Ambon dan Maluku

11

Tenggara. Pertimbangan wilayah penelitian ini didasarkan pada alasan, yaitu: (1) tingkat heterogenitas penduduk, baik dari segi agama maupun suku; (2) tingkat persoalan konflik atau kerawanan sosial, baik yang sudah terjadi maupun potensial dapat terjadi.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang didukung pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh data yang diperoleh melalui observasi,l wawancara dan analisis data tekstual. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan analisis yang tajam dan menyeluruh terhadap keseluruhan data, termasuk data-data tekstual. Analisis data tekstual dilakukan selain terhadap buku-buku pustaka dan dokumentasi, juga dilakukan terhadap bahan-bahan dari media massa seperti koran dan majalah. Wawancara mendalam yang akan dilakukan pada tiap kecamatan minimal mengambil 10informan. Informan terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh agama dari masing-masing agama yang terdapat di tingkat kabupaten atau kota, tokoh adat atau etnis, tokoh pemuda dan wanita serta masyarakat yang memiliki pengetahuantentang situasi pluralitas di wilayah tersebut.

Pendekatan kuantitatif adalah pengumpulan data melalui penyebaran angket untuk melihat kecenderungan tentang pandangan dan sikap antar kelompok keagamaan dalam hubungan sosial sesuai dengan empat kategori yang telah ditentukan di atas. Penyebaran angket yang dimaksud hanya untuk melihat prosentasinya saja, tidak sampai melihat pada hubungan atau korelasinya dan sebagainya. Kecenderungan yang dimaksud hanyalah untuk mendukung data-data kualitatif. Untuk memudahkan dilakukan penentuan sampel sebanyak 50 orang di setiap

12

kecamatan. Sampel sebanyak itu harus dikategorikan yang mencerminkan keragaman suku, etnis, dan agama sehingga akan memperlihatkan keterwakilan kelompok yang ada (purposif).

Di samping penyebaran angket, maka dilakukan pula penggunaan data-data skunder kuantitatif (jumlah penduduk, pemeluk agama dan sebagainya), grafik dan statistik terutama untuk keperluan penyusunan peta yang argumentatif.

3. Data yang Dihimpun

Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini meliputi: (a) Kondisi geografis dan demografis yang meliputi kondisi wilayah, demografi penduduk, pertimbangan penduduk asli dan pendatang, mobilitas penduduk beberapa tahun terakhir, kelompok etnik dan keagamaan; (b) Setting kehidupan sosial ekonomi meliputi pengelompokan penduduk menurut letak pemukiman, mata pencaharian penduduk, penguasaan sumber daya alam, menurut penguasaan sumber daya ekonomi strategis; (c) Setting kehidupan sosial politik meliputi pengelompokan penduduk menurut aspirasi politik, organisasi kepemudaan underbow partai politik, formasi PNS dan pemegang jabatan strategis di daerah; (d) Setting kehidupan sosial budaya meliputi pengelompokan penduduk menurut tingkat pendidikan bahasa daerah, tradisi masyarakat yang berkembang serta isu-isu atau potensi yang mengganggu terciptanya kerukunan sosial atau konflik sosial yang pernah terjadi di daerah itu; (e) Setting kehidupan sosial keagamaan, yang meliputi kelompok pandangan pemahaman keagamaan atau aliran pemahaman keagamaan, tokoh-tokoh agama, rumah ibadah, pendidikan keagamaan, tradisi keagamaan yang berkembang pandangan terhadap kelompok pemahaman keagamaan

13

yang lain; (f) Situasi dan kondisi masyarakat sebelum terjadi konflik, waktu konflik dan setelah konflik terjadi; (g) Pengendalian konflik dan usaha-usaha rekonsiliasi menuju integrasi yang pernah terjadi dan yang tumbuh dalam masyarakat termasuk upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan (h) Pandangan atau sikap antar kelompok tentang pola hubungan sosial keagamaan.

4. Pengolahan Data dan Analisis

Data kualitatif akan dianalisis secara kualitatif melalui proses editing, kategorisasi, deskripsi dan interpretasi, penyimpulan sementara dan kesimpulan akhir. Sementara itu data kuantitatif akan dianalisis melalui proses editing, kategorisasi, tabulasi, interpretasi dan kesimpulan. Data yang diolah secara kuantitatif ini akan digunakan untuk mendukung atau memperkuat data-data yang dianalisis dengan menggunakan data kualitatif.

14

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

A. Geografi dan Demografi

ropinsi Maluku merupakan wilayah kepulauan, terdiri atas 559 pulau, dan sejumlah pulau tersebut terdapat beberapa pulau yang tergolong pulau besar (lampiran).

Luas wilayah Propinsi Maluku secara keseluruhan 581.376km2, terdiri dari 527.185 km2 luas lautan dan 54.185 km2 luas daratan. Jadi, 95% wilayah Propinsi Maluku lautan. Menurut letak astronomis, wilayah Maluku terletak pada 30 LU dan 90

LS, dan 1240 BT sampai 1370 BT. Wilayah Maluku terbentang antara pulau Sulawesi dan Irian, antara pulau Sangihe dan Timor. Di sebelah utara terbentang Samudera Pasifik, di sebelah selatan laut Timor dan Arafuru, dan sebelah barat Laut Maluku. (BPS Maluku, 204:3).

Daratan Propinsi Maluku terdiri dari gugusan gunung dan danau yang terdapat di hampir seluruh kabupaten atau kota yang berjumlah 4 gunung dan 11 danau. Gunung yang tertinggi adalah gunung Binaya dengan ketinggian 3.055 m

P

15

terletang di pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah. (BPS Maluku, 2004:3).

Wilayah kepulauan Maluku dipengaruhi oleh iklim tropis dan iklim musim, karena daerah ini merupakan daerah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan luas.

Pertumbuhan penduduk pada tahun 2004 cukup besar dibanding tahun sebelumnya dengan angka pertumbuhan sebesar 2,5%. Hal ini karena kondisi keamanan di daerah ini sudah mulai kondusif mengakibatkan arus masuk penduduk terus bertambah. Walaupun demikian, secara trend laju pertumbuhan penduduk terus menurun pada periode tahun sensus, terutama pada dekade 1990-2000 penurunannya sangat tajam, yaitu 0,37%. Namun pada periode 2000-2003pertumbuhannya cukup tinggi.

Angka pertambahan penduduk antara kabupaten atau kota sangat bervariasi. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Maluku Barat dan Maluku Tenggara mengalami penurunan selama 2000-2004. sementara Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Buru dan Kabupaten Ambon, laju pertumbuhannya meningkat bahkan cukup tajam untuk kota Ambon mencapai 6%. Dilihat dari penyebaran penduduk di Propinsi Maluku sangat merata. Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2004, prosentasi penduduk Kabupaten Maluku Tengah tercatat lebih tinggi dibanding daerah lainnya, yaitu 42,73%, sedangkan daerah Kabupaten Buru hanya mencapai 10,22%.

Perkembangan sarana transportasi menyebabkan Maluku khususnya Ambon berkembang pesat, penduduknya makin padat. Sekitar 70% penduduk Ambon pendatang. Raja Soya misalnya, menyebutkan bahwa warga penduduk yang tinggi di Batu Merah atau Galunggung, suatu kawasan yang dihuni oleh umat Islam, dari penduduk yang 23.000 orang, orang asli ambon yang beragama Islam hanya sekitar 1.000

16

orang, sedang yang lainnya adalah suku BBM. Bahkan menurut Ketua MUI Propinsi Maluku, di Seram bagian barat (dulu masuk wilayah Maluku Tengah sebelum dimekarkan) jumlah suku berasal dari Jawa semakin banyak, terutama di daerah transmigrasi seperti di Wassarisa, sekalipun tidak disebutkan jumlahnya secara tepat.

B. Kehidupan Sosial Ekonomi

Mata pencaharian penduduk Maluku sangat heterogen. Ada yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Selain juga banyak yang bekerja di sektor perindustrian seperti industri kecil, listrik dan air minum. Hal serupa terjadi dalam sektor perdagangan juga tidak sedikit jumlahnya.

Menyadari kondisi geografis Maluku merupakan sebagian besar lautan, masyarakat lebih banyak bekerja di sektor perhubungan atau transportasi. Masalah transportasi menjadi prioritas utama dari sasaran pembangunan di kawasan ini. Transportasi antar pulau di daerah ini lebih banyak didominasi oleh angkutan laut yang dihubungkan dengan pelayaran lokal. Transportasi jalan raya tidak terlalu dominan dalam melayani kebutuhan transportasi di daerah ini, tetapi memegang peranan penting, khususnya untuk melayani penduduk dalam sebuah pulau tertentu yang merupakan alternatif lain apabila jalur laut tidak bisa digunakan pada saat kondisinya tidak memungkinkan.

Untuk kelancaran kehidupan ekonomi masyarakat, pemerintah daerah maupun pihak swasta telah menyediakan fasilitas-fasilitas perekonomian seperti pertokoan besar (Mall), toko, pasar, kios, sarana angkutan umum, perbankan dan koperasi. Di wilayah propinsi ini tidak kurang dari 56 buah bank dan 172 buah koperasi.

17

Dalam bidang ekonomi, selain etnis Cina, etnis Bugis, Makassar, Buton dan Jawa menguasai perdagangan hampir di berbagai pelosok wilayah Maluku. Misalnya penjualan buah-buahan, pakaian dan jenis keperluan rumah tangga di pasar-pasar dikuasai oleh etnis Bugis, Makassar dan Jawa, bahkan sampai di pusat-pusat kecamatan dan desa.

C. Kehidupan Sosial Politik dan Pemerintahan

Propinsi Maluku terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota dengan jumlah 42 kecamatan dan jumlah desa atau kelurahan sebanyak 857 desa terdiri dari 824 desa dan 33 kelurahan. Jumlah kelurahan terbanyak secara berturut-turut adalah Kabupaten Maluku Tengah terdapat 310 desa dan kelurahan dari 19 kecamatan. Kabupaten Maluku Tenggara Barat terdapat 188 desa dan kelurahan dari 17 kecamatan, Kabupaten Buru terdapat 92 desa dari 10 kecamatan dan kota Ambon terdapat 50 desa dan kelurahan dari 3 kecamatan.

Di lihat dari aspek politik, sebenarnya kehidupan politik sebagian masyarakat Ambon masih sederhana. Akan tetapi kesadaran politik sudah mulai menjamah akar rumput. Sejak reformasi digulirkan di tanah air, semangat reformasi bergaung hingga ke desa-desa. Ini tampak dengan adanya sikap kritis masyarakat yang tidak sekedar menerima berbagai jenis program pembangunan dewasa ini tanpa kesepakatan dan mufakat. Mereka bahkan menuntut setiap program pembangunan di desa-desa.

Partisipasi masyarakat dalam politik juga terlihat dengan diterimanya berbagai jenis partai politik di wilayah ini. Pada pemilu tahun 2004 yang lalu misalnya, sejumlah partai politik yang wakilnya duduk dalam anggota DPRD Propinsi Maluku.

Pada pemilu tahun 2004 anggota dewan dari Partai Golkar dan Partai PDIP masih mendominasi. Menurut data di

18

BPS Propinsi Maluku tahun 2003 misalnya, anggota dewan dari Partai Golkar berjumlah 12 orang, dari PDIP 10 orang, disusul PPP sebanyak 8 orang. Namun, di pemilu 2004, Partai Keadilan Sejahtera memiliki perkembangan yang cukup signifikan dengan menempatkan wakilnya 5 orang.

Di Propinsi Maluku, perolehan suara dan penempatan anggota dewan di legislatif dilihat dari pemeluk agama tampaknya berimbang. Namun anggapan PDIP sebagai partai Kristen di Maluku telah menjadi stigma di sebagian kalangan umat Islam. berbeda dengan Partai Golkar yang lumbungnya di Maluku Tengah, dengan mayoritas penduduknya muslim. Jadi, dengan kemenangan Golkar berarti kemenangan seluruh warga. Ini berbeda dengan kemenangan PDIP atau PKS yang difahami sebagai kemenangan komunitas tertentu.

D. Kehidupan Beragama

1. Komposisi Pemeluk Agama

Penduduk di Propinsi Maluku dilihat dari segi kepemelukan agama sangat bervariasi. Berdasarkan data dari kantor wilayah Departemen Agama Propinsi Maluku tahun 2004, penduduk Islam mencapai 49%, disusul Kristen Protestan 43% yang dominan di Maluku. Islam mayoritas di kabupaten Maluku Tengah 67,07%, Maluku Tenggara 80,63% dan Buru 39,69%. Sedangkan Kristen mayoritas di Maluku Tenggara Barat (67,30%) dan kota Ambon (54,41%). Di Maluku Tenggara Barat jumlah penganut agama Kristen dan Katolik jika digabungkan mencapai 97,24%, artinya Islam minoritas. Di Maluku Tenggara Islam menjadi mayoritas yakni 80,63% dibanding dengan 19,36% gabungan Kristen dan Katolik.

Penyebaran agama di wilayah Maluku sangat bervariasi. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masuknya penjajah Portugis dan Belanda. Selain menjajah juga

19

menjalankan misi zending Kristen di masa lalu. Di Maluku Tenggara Barat, Kristen lebih dominan 97,24% disusul oleh kota Ambon (54,41%). Adapun perkembangan Islam di wilayah Maluku, berlangsung setelah penjajahan Belanda di Indonesia. Islam masuk ke Maluku dilakukan oleh etnis keturunan Arab. Islam juga tersebar di sejumlah jazirah Huamual dan lain-lain. Demikian halnya di Maluku Tenggara, Islam lebih dominan dibanding pemeluk agama lainnya, yaitu 80,63% disusul Maluku Tengah 67,07%. Dalam kehidupan sehari-hari mereka berbaur hidup dalam kerukunan dan penuh keharmonisan.

2. Sarana KeagamaanSarana keagamaan di Maluku cukup banyak

jumlahnya. Keberadaan sarana ibadah itu didirikan dengan memenuhi prosedur atau perizinan, juga lebih didasarkan pada kebutuhan mendesak warga. Terkadang hal ini dapat menjadi konflik jika tidak dipelihara harmonisasi di kalangan mereka.

Rumah ibadah tersebut pada umumnya berfungsi sebagai tempat tuntuk melakukan ibadah, baik ritual maupun kegiatan pembinaan sosial keagamaan atau pembinaan keumatan masing-masing agama. Secara umum dapat terlihat bahwa perkembangan kegiatan sarana keagamaan baik dari fungsinya maupun pertumbuhannya semakin menunjukkan kualitasnya.

Jumlah sarana keagamaan ini, jika dibuat perbandingan sesuai data BPS Propinsi Maluku tahun 2004terdapat 1.021 masjid, 1077 gereja, 11 pura dan 3 vihara. Menurut data dari Kantor Departemen Agama Propinsi Maluku tahun 2005, ada data baru khusus untuk Seram dan kepulauan Aru. Di Seram Bagian Timur terdapat 173 Masjid dan 5 gereja. Di Seram Bagian Barat terdapat 92 masjid dan

20

18 gereja. Di kepulauan Aru terdapat 72 masjid dan gereja sebanyak 135 buah.

3. Organisasi atau Lembaga Keagamaan dan Tokoh Agama

Masyarakat Indonesia umumnya dan Maluku khususnya yang religius memandang peran tokoh agama dan lembagaka keagamaan sangat sentral dalam membangun dan meningkatkan kerukunan dikalangan umatnya dan umat lainnya. Para tokoh agama memiliki peran penting, karena suara mereka memberikan andil terbesar membangun masyarakat yang lebih baik. Lebih dari itu, peran tokoh agama dapat menangkal ganggung sosial yang berpotensi memecah belah umat beragama. Peran tokoh agama dapat mempersatukan kembali umat atau masyarakat.

21

Potensi Integrasi dan KoflikSerta Solusi yang Dilakukan

A. Potensi Integrasi dan Konflik

1. Potensi Integrasi

a. Keragaman masyarakat Maluku yang terdiri dari berbagai etnis dan ras (Jawa, Sunda, Bugis Makassar, Buton, Cina, Arab dan Ambon sendiri) dan agama (Islam, Kristen, Hindu dan Buddha) dapat menjadi potensi untuk membangun kekuatan dan kedinamisan kehidupan masyarakat Maluku. Keragaman ini, selain merupakan perbedaan, juga dapat mewujudkan kooperasi dan kompetisi.

b. Terdapat budaya-budaya lokal sebaga perekat sosial yang teruji ampuh membangun harmoni masyarakat, diantaranya Pela dan Gandong di Kota Ambon dan Maluku Tengah. Di Maluku Tenggara ada budaya yang disebut Lar Vul Ngabal sebagai perekat sosial semua komunitas untuk menciptakan hubungan yang baik dalam kehidupan masyarakat.

22

c. Adanya kesadaran pemerintah dan para pemuka masyarakat untuk lebih mewujudkan kehidupan umat yang rukun.

d. Adanya kemauan bersama yang tulus dari pemuka agama dan masyarakat untuk membina kerukunan umat beragama yang lebih harmonis dengan pembinaan internal masing-masing, antara lain dengan melakukan reinterprestasi konsep-konsep ajaran agama yang bersifat eksklusif kearah pemahaman yang bersifat inklusif.

e. Adanya nilai dan ajaran masing-masing agama yang menghargai pluralitas dan menjadi tekad serta kesadaran bersama para pemuka agama setempat untuk lebih mengembangkan ajaran tersebut bagi pembinaan internal umat.

f. Berdirinya forum bersama sebagai wadah seluruh kelompok agama di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 1992 dan kegiatan silaturrahmi tokoh-tokoh agama ke tingkat kecamatan.

2. Potensi Konflik

Sebagaimana halnya dalam integrasi, dalam konflik pun terdapat potensi-potensi yang sangat kuat. Potensi konflik yang dapat diidentifikasi di Maluku, diantaranya:

a. Struktur warisan masa lalu, yaitu struktur hubungan antar kelompok yang berbentuk berdasarkan teori, suku dan agama. Pemerintah Kolonial Belanda telah mewariskan struktur social yang menyimpan bom waktu yang setiap saat bias meledak menjadi ketegangan dan konflik antar kelompok agama, teritori dan suku di Ambon dan Maluku.

b. Perkembangan dan komposisi penduduk. Peningkatan migran dan penduduk Muslim sedikit banyak menimbulkan krisis persepsi dan sikap di kalangan

23

penduduk asli beragama Kristen. Hal itu selanjutnya menimbulkan semacam krisis hubungan, kecurigaan dan ketegangan sosial antara kedua komunitas berbeda agama yang berlangsung cukup lama di komunitas Maluku sejak sebelum konflik Januari 1999 meletus. Karena pada umumnya kaum migran itu orang-orang Islam yang berasal dari Sulawesi dan Jawa, ada anggapan dari pihak Kristen bahwa Maluku terjadi Islamisasi.

c. Perkembangan Ekonomi Sosial.

Banyaknya jumlah tingkat pengangguran menimbulkan masalah-masalah sosial politik tersendiri berdimensi vertikal, yaitu munculnya dinamika kompetisi dan konflik politik ekonomi antara pusat dan lokal. Ketergantungan itu menimbulkan penetrasi campur tangan politik dan kapital ekonomi dari pusat yang begitu besar. Campur tangan dan penetrasi kapital demikian menyebabkan marginalisasi sektor ekonomi lokal dan terdesaknya struktur kepemimpinan adat yang selama ini sangat bergantung pada sumber daya lokal. Sebagai contoh, pada tahun 1992 sebuah gerakan pemetaan tanah adat muncul dari kalangan pemimpin adat lokal di Maluku untuk menentang pencaplokan kawasan tanah-tanah adat oleh birokrasi pemerintah dan bisnis swasta dari pemerintah daerah dan pusat.; gerakan demikian menimbulkan konflik-konflik perebutan sumberdaya alam antara pemerintah dan masyarakat sipil adat dan antara kalangan bisnis dengan lokal.

d. Perubahan Sosial Politik. Para migran yang dulu hanya sebagai anak dagang (umumnya orang Muslim dari Bugis, Makassar, Buton dan Jawa) secara perlahan telah menguasai ekonomi. Sedangkan penduduk asli, khususnya Kristen menguasai wilayah birokrasi pendidikan dan sektor jasa. Struktur piraminda dan

24

mobilitas sosial politik berdasar etnis dan agama di Maluku merupakan potensi koflik terpendam yang setiap saat bisa meletus menjadi konflik terbuka ketika tidak ada mekanisme pembagian kekuasaan yang jelas dan kehilangan kekuatan kontrol dari luar. Selain itu, sebelum terjadi kerusuhan telah berhembus isu sensitif marginalisasi ekonomi dan politk penduduk asli oleh kaum pendatang. Isu itu berkembang menjadi isu agama, politik dan ekonomi seperti isu Islamisasi birokrasi. Contoh kecil, di Maluku Tenggara ada upaya pemerintah daerah memilih calon-calon kades dari kelompok/komunitas tertentu. Inipun dapat memicu konflik dan rentan konflik.

e. Modernisasi Budaya. Hubungan Pela Gandong ini hanya berlaku dalam kerangka hubungan adat Ambon, di luar itu seperti hubungan antar agama atau antar etnis asli dan pendatang tidak lagi memiliki kekuatan yang mengikat.Secara adat, jabatan raja atau kepala desa menjadi hak khusus bagi kalangan dari fam tertentu. Selama puluhan tahun, hak khusus tersebut diakui oleh orang-orang pemerintah, termasuk pemerintah kolonial Belanda. Namun, sejak pemerintah orde baru mengeluarkan UU No 4 tahun 1975 tentang pemerintah daerah, pemilihan seorang raja tidak lagi harus dilakukan secara adat yang dengan persyaratan sang calon harus berasal dari Soa raja. Modernisasi birokrasi ini menciptakan kondisi melemahnya fungsi lembaga-lembaga adat untuk memelihara integrasi sosial di antara warga masyarakat, sehingga masyarakat Maluku menjadi sangat rentan menghadapi potensi konflik yang setiap saat mengancam mereka. Urbanisasi demikian merupakan sumber masalah sosial-ekonomi tersendiri bagi kota Ambon. Meningkatnya kaum migran masuk ke kota Ambon, berarti menyimpan potensi hubungan konflik

25

antar etnik karena perebutan sumberdaya dan erosi budaya serta belum ditemukannya bentuk solidaritas dan pola hubungan baru di daerah perkotaan. Hal ini ditambah dengan kenyataan lain bahwa sebagian besar penduduk sekitar 60 % s.d. 65 % penduduk usia muda dibawah 25 tahun. Banyaknya penduduk usia muda demikian selain membawa masalah meningkatnya permintaan lapangan kerja baru, juga mengakibatkan semakin memudarnya nilai dan solidaritas sosial berdasar adat di kalangan warga masyarakat.

f. Batas tanah antar desa (Ratsap) juga menjadi potensi konflik, seperti di Maluku Tenggara. Apabila pemerintah setempat tidak tanggap dengan masalah ini, maka konflik akan menyebar ke daerah lainnya di Maluku Tenggara dan suatu saat memicu konflik terbuka.

B. Langkah-Langkah Solusi yang Dilakukan

1. Upaya di Tingkat Lokal

Beberapa langkah di tingkat lokal yang pernah dilakukan pemerintah di antaranya (1) membentuk lembaga Pusat Rujuk Sosial (PRS) lembaga sosial rekonsiliasi yang kegiatannya antara lain melakukan analisis anatomi kerusuhan Maluku, merumuskan dan melakukan langkah-langkah penanganan kerusuhan antara lain safari damai, diskusi dan analisis sosial anatomi kerusuhan, pengadaan pos-pos keamanan, konsolidasi dengan negeri-negeri dalam lingkungan kota dan pulau Ambon, seminar dan lokakarya tentang akar permasalahan kerusuhan Ambon; (2) membentuk Tim Fasilitator Pemda oleh Gubernur Saleh Latuconsina tanggal 14 Januari 2000. tim ini sebagai fasilitator untuk dialog dengan tingkat bawah antar komunitas, membentuk Tim 24 dan Forum Jaringan Pengamanan Lingkungan. Tim 24 dibentuk atas prakarsa gubernur Maluku

26

untuk menjamin keamanan Maluku menjelang dan selama kunjungan Presidan Abdurrahman Wahid bulan Desember 1999. Anggota forum ini kelompok-kelompok yang selama ini aktif berkonflik di garis depan; (3) mengadakan Pertemuan Latupati dan Kepala Desa pada tanggal 12 Desember 1999yang intinya meminta dukungan para Latupati untuk menghentikan konflik.

Selain pemerintah, langkah-langkah penghentian konflik, khususnya di Ambon dilakukan oleh LSM-LSM lokal, diantaranya: (1) membentuk Tim 20 Wayame. Dalam kerjanya, Tim 20 Wayame berusaha untuk memelihara resistensi dan membangun ketahanan lokal; membentuk LSM Baileo merupakan LSM yang anggotanya dari akar rumput, khususnya di tempat pengungsi. Misi utamanya melakukan pemberdayaan dan advokasi pelestarian komunitas dan hak adat di Maluku menghadapi berbagai penetrasi politik dan kekuasaan; (2) membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TIRUS) yang anggotanya terdiri dari beberapa LSM Ambon Maluku yang mengurusi masalah kemanusiaan. Pembentukan LSM ini diprakarsai oleh anggota jaringan Baileo. Selain berfungsi untuk mengkoordinasi kemanusiaan, LSM ini berfungsi sebagai forum untuk mengkoordinasi dan membagi informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konflik; (3) membentuk Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yang beranggotakan perempuan dari dua komunitas Muslim dan Kristen. LSM yang semi pemerintah ini memiliki kegiatan bervariasi berkaitan dengan rekonsiliasi dan rehabilitasi.

2. Upaya Pemerintah Pusat

Di antara upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah pusat, yaitu membentuk Tim 19 yang dibentuk oleh TNI/Polri sebagai upaya pencegahan konflik yang dilakukan dengan pendekatan keamanan di bawah koordinasi Menkopolkam, pendekatan rekonsiliasi langsung di bawah Wapres yang

27

pelaksanaannya ditangani oleh Menteri Agama dan pendekatan rehabilitasi di bawah Menkokesra dan Taskin. Upaya lainnya memfasilitasi perundingan yang dihadiri dua komunitas agama Islam dan Kristen. Pada tanggal 11-12Februari 2002, kedua delegasi tersebut melakukan dialog (perundingan) di Malino, Gowa Sulawesi Selatan yang bertujuan mencapai penyelesaian konflik masyarakat di Maluku.

Selain LSM lokal, ada juga LSM internasional yang ikut mendukung upaya perdamaian di Maluku, di antaranya the British Council. LSM Internasional ini bekerjasama dengan LSM lokal dalam berbagai kegiatan perdamaian di Maluku. Salah satu kegiatan Konferensi Penelusuran (search conference) untuk keberdayaan masyarakat Maluku bekerja sama dengan PSKP (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian) UGM.

28

Hubungan Antar Umat Beragama

A. Hubungan Pertemanan

ubungan pertemanan merupakan aspek penting dalam membina kerukunan di Maluku. Hubungan pertemanan

yang baik akan menciptakan situasi yang kondusif bagi kehi-dupan umat beragama. Dari hasil ovservasi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Maluku menghendaki jalinan pertemanan yang akrab dengan berbagai komunitas di Maluku. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa responden yang menyatakan bahwa pertemanan di kalangan masyarakat Maluku perlu diwujudkan untuk membina kerukunan. Mereka menyatakan bahwa perlu dibina pertemanan seperti menghadiri acara syukuran, menghadiri acara agama, saling menolong dan mengingatkan hal-hal yang dapat mengganggu hubungan. Data tersebut didukung oleh hasil angket dengan responden 200 orang, 80 orang (40%) menunjukkan sangat setuju, membina hubungan pertemanan dengan anggota masyarakat yang berbeda agama atau etnis, 92 orang (46%) setuju, 20orang (10%) tidak setuju, 4 orang (2%) sangat tidak setuju, dan 4 orang (2%) tidak tahu. Ini berarti bahwa masyarakat Maluku

H

29

sangat setuju melakukan hubungan pertemanan dengan berbagai komunitas yang berbeda agama atau etnis dan bahasa.

B. Hubungan Pertetanggaan

Hidup bertetangga yang harmonis sangat diidam-idamkan oleh seluruh komponen masyarakat. Masyarakat Maluku yang plural terikat dengan kehidupan bertetangga, sehingga perlu dibina hubungan pertetanggaan ini. Pertetanggaan ini tidak hanya dibangun dengan orang yang se-etnis saja, akan tetapi meliputi seluruh masyarakat. Menurut hasil wawancara dengan beberapa responden mereka pada umumnya merasa perlu melakukan hubungan pertanggaan dalam membina harmoni kehidupan. Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket kepada 200orang, 52 orang (26%) sangat setuju melakukan hubungan pertetanggaan tersebut, 120 orang (60%) setuju, 12 orang (6%) tidak setuju, 12 orang (6%) sangat tidak setuju dan 4 orang (2%) tidak tahu. Mereka menyadari bahwa sebagai masyarakat majemuk, mereka perlu hidup membaur dengan komunitas-komunitas yang ada dengan memegang prinsip-prinsip kemanusiaan, seperti menghadiri acara adat keagamaan, memberikan lahan untuk parkir jama’ah yang akan melakukan ibadah di masjid maupun di gereja.

C. Hubungan Kekerabatan

Kekerabatan di kalangan masyarakat Maluku sudah terjalin harmonis sejak dulu. Kekerabatan dalam masyarakat Maluku kerapkali ditasbihkan dengan seremonial tertentu. Mereka berkeyakinan bahwa kerukunan dapat diciptakan melalui hubungan kekerabatan ini. Mereka menolak anggapan bahwa kekerabatan yang tidak didasarkan tali iman dikatakan kekerabatan semu. Hal ini diakui juga oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat (Ketua MUI maupun Ketua Sinode dan

30

Klasis) bahwa hubungan kekerabatan itu harus dibina dengan siapa saja, tanpa membedakan agama apa dan suku apa. Data tersebut didukung oleh hasil angket dari 20 orang responden, 38 orang (19%) sangat setuju, 82 orang (41%) setuju, melakukan hubungan kekerabatan dengan siapa saja walaupun berbeda agama maupun etnis atau suku. Selebihnya 52 orang (26%) tidak setuju, 18 orang (9%) sangat tidak setuju dan 10 orang (5%) tidak tahu.

Namun menurut hasil pengamatan peneliti, di beberapa daerah di Ambon terutama di kalangan akar rumput masih terdapat sikap-sikap tegang dan masih belum mau menjalin hubungan pertetanggaan dengan komunitas yang selain komunitas mereka (seagama). Ini pula yang dikhawatirkan menjadi pemicu konflik berikutnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antar agama dalam tataran pribadi dapat dikatakan sangat baik. Di Maluku Tenggara misalnya faktor pendukung hubungan antar pribadi yang baik itu di antaranya sikap stereotip yang tidak menonjol di kalangan masyarakat. Ini sangat berbeda dengan di Ambon, sikap stereotipnya masih ada, terutama di kalangan akar rumput. Ini didukung oleh hasil wawancara 200 orang yang menunjukkan 32 orang (16%) menyatakan sangat setuju membina hubungan antar umat beragama dalam tataran pribadi, 74 orang (37%) menyatakan setuju dan selebihnya 48 orang (24%) tidak setuju, 40 orang (20%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.

D. Hubungan Antar Kelompok Politik

1. Hubungan Antar Organisasi Politik

Organisasi politik di Maluku sangat banyak, sebagaimana terdapat di daerah lain di Indonesia. Organisasi politik diyakini dapat menciptakan kerukunan di Maluku, dengan catatan bahwa organisasi politik tersebut menjunjung

31

tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi manusia. Beberapa responden yang sempat diwawancarai (tokoh Golkar, tokoh PAN, PKB, PPP, PNU) menyatakan bahwa perlu dibangun komitmen untuk membangun Maluku melalui upaya mengedepankan aspek persatuan, bersaing sehat memperoleh dukungan, mengedepankan kualitas pribadi seseorang dan tidak mencaci partai lain dalam mencari dukungan bagi partai.

Dari hasil angket yang disebarkan kepada 200responden, 82 orang (41%) responden menyatakan sangat setuju melakukan hubungan antar organisasi politik, 92 orang (46%) menyatakan setuju. Selebihnya sebanyak 18 orang (9%) tidak setuju dan 4 orang (2%) sangat tidak setuju.

Namun menurut hasil pengamatan peneliti, masih ada organisasi politik yang mengusung persatuan hanya retorika semata, mengedepankan proporsional (agama atau etnis) organisasi berdasarkan agama atau suku, dan melakukan cara-cara tidak elegan dalam mencari dukungan bagi partainya. Noer Tawainella, misalnya (pengamat politik di Ambon) menyebutkan masih ada organisasi politik yang tidak fair dalam mencari dukungan partainya, bahkan terkesan ada pilih-pilih orang berdasarkan proporsi agama atau suku, bukan kwalitasnya.l

2. Hubungan Antar Pelaku Politik

Pelaku politik (tokoh politik dan kader-kadernya)menjadi faktor penting dalam membina kerukunan di Maluku. Mereka menajdi publik figur yang dapat ”membius” para simpatisannya untuk mendukung kebijakan-kebijakan partainya. Agar kerukunan tetap langgeng, maka hubungan antar pelaku politik sangat menentukan.

Hasil wawancara melalui angket pada 200 responden, 62orang (31%) menyatakan sangat setuju adanya menjalin hubungan antar pelaku politik. 58 orang (29%) setuju, 27%

32

tidak setuju dan 5% sangat tidak setuju serta 8% tidak tahu. Mereka juga menghendaki agar para pelaku bersaing sehat dalam memperoleh dukungan bagi partainya, tidak saling fitnah, perlu ada etika politik.

Dari hasil pengamatan peneliti, ada diantara para elit politik yang melakukan kecurangan dalam mencari dukungan, menebar fitnah dan memprovokasi masyarakat demi kepentingannya. Hal tersebut diantaranya pemicu ketidakrukunan di masyarakat Maluku.

3. Hubunan Antar Organisasi Kepemudaan

Organisasi kepemudaan merupakan hal penting untuk membangun kerukunan di Maluku. Dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh pemuda diperoleh data bahwa hubungan antar organisasi kepemudaan di Maluku cukup baik. Indikasinya, bahwa masing-masing organisasi kepemudaan tersebut tetap saling menjaga kerukunan, saling memahami agama lain. Wawancara tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket kepada 200 responden, 38 orang (19%) menyatakan sangat setuju, 88 orang (44%) setuju, 23% tidak setuju, 22 orang (11%) sangat tidak setuju, dan 6 orang (3%) tidak tahu.

Dengan demikian, hubungan antar kelompok politik dikatakan baik. Dari akumulasi data angket menunjukkan 60orang (30%) sangat setuju melakukan hubungan antar kelompok politik, 80 orang (40%) setuju, 38 orang (19%) tidak setuju, 12 orang (6%) sangat tidak setuju, dan 10 orang (5%) tidak tahu.

E. Hubungan pada Tataran Peribadatan

1. Hubungan Keagamaan

Hubungan keagamaan masyarakat Maluku dikatakan baik. Menurut hasil wawancara dengan para tokoh agama

33

(MUI, Sinode dan Klasis) bahwa masyarakat Maluku setuju apabila antar pemeluk agama dapat membina kerukunan dengan menghadiri peringatan hari besar agama, menunjukkan sikap baik dan tidak menunjukkan sikap permusuhan pada masing-masing agama. Hal ini perlu dibangun mengingat salah satu faktor penghambat kerukunan antar umat beragama itu sikap klaim kebenaran dan menganggap agamanya yang paling selamat dan agama orang lain keliru dan salah.

Hasil angket yang disebar kepada 200 responden menunjukkan 44 orang (22%) sangat setuju membina hubungan keagamaan dengan baik, 88 orang (44%) menyatakan setuju, 48 orang (24%) tidak setuju dan 14 orang (7%) menyatakan sangat tidak setuju. Selebihnya 6 orang (3%) tidak tahu.

Menurut pengamatan peneliti, masih ada pemeluk agama tertentu yang menunjukkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain karena mereka menganggap hanya agama mereka yang benar dan akan selamat di akhirat. Di Ambon, ada beberapa kalangan yang masih memiliki sikap ini, sehingga diprediksikan dapat membangkitkan ketidakrukunan. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap fanatisme yang kuat di kalangan mereka.

2. Pendirian Rumah Ibadat

Rumah ibadat merupakan sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan sehingga menjadi orang baik. Di Maluku, pendirian rumah ibadat dikatakan tidak ada masalah. Hal ini selain rumah-rumah ibadat itu tidak ada lagi di lingkungan komunitas lain yang berbeda agama, juga rumah-rumah ibadat tersebut pada umumnya didirikan mengikuti prosedur atau perizinan yang telah ditentukan. Ini berlaku di kota Ambon dan sekitarnya. Sedangkan di Maluku Tenggara sekalipun rumah ibadah berada di lingkungan komunitas

34

berbeda agama tetap eksis, karena tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat dapat membina kerukunan dengan baik. (Wawancara dengan Sekretaris MUI Maluku Tenggara dan Ketua Sinode Maluku Tenggara).

Data di atas didukung oleh hasil angket yang disebar kepada 200 responden, 42 orang (21%) menyatakan sangat setuju dan mempersilakan untuk mendirikan rumah ibadah mengikuti prosedur perizinan agar menjadi pemeluk agama yang baik. 100 orang (50%) setuju dan selebihnya 40 orang (20%) tidak setuju, 16 orang (8%) sangat tidak setuju, dan 2orang (1%) tidak tahu. Ini artinya bahwa masyarakat Maluku menghendaki agar pendirian rumah ibadat jangan dijadikan alat merusak keharmonisan kehidupan masyarakat, justru sebagai sarana membina kepribadian manusia yang baik.

3. Upacara Keagamaan

Pluralitas di kalangan masyarakat Maluku berlaku juga dalam upacara keagamaan. Upacara keagamaan ini perlu dilestarikan sebagai kekayaan budaya masyarakat Maluku. Oleh karena itu, agar tercipta kerukunan di Maluku upacara-upacara keagamaan itu boleh dihadiri oleh semua kelompok agama sebagai bagian dari kearifan lokal yang perlu dikelola dengan baik, tidak dipermasalahkan keberadaannya. (Wawancara dengan Kakandepag Maluku Tenggara, Ketua MUI, Ketua Sinode, Ketua Klasis di Ambon).

Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket kepada 200 responden, bahwa 66 orang (33%) menyatakan sangat setuju, 104 orang (52%) setuju, 16 orang (8%) tidak setuju, 2 orang (1%) sangat tidak setuju dan 12 orang (6%) tidak tahu.

Menurut pengamatan peneliti di Ambon, masih ada sikap dari beberapa penganut agama yang sikap kurang bersahabat mengapresiasi heterogenitas upacara keagamaan. Hal ini dapat menjadi potensi konflik di Maluku.

35

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan pada tataran peribadatan di Maluku dikatakan sangat baik. Ini didukung oleh hasil penyebaran angket yang menunjukkan 98orang (49%) responden menyatakan setuju dan 52 orang (26%) menyatakan sangat setuju. Selebihnya 34 orang (17%) tidak setuju, 10 orang (5%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.

F. Aspek Hubungan Antar Kelompok Agama

1. Hubungan Antar Organisasi Keagamaan

Organisasi keagamaan di Maluku cukup dikenal di antaranya MUI dan BIIN (Islam) dan GPM (Kristen) memiliki pengaruh besar bagi penciptaan kerukunan di Maluku. Menurut hasil wawancara dengan tokoh-tokoh agama (Islam dan Kristen) perlu dibina hubungan antar organisasi keagamaan, seperti mengadakan dialog-dialog, pertemuan berkala, dibentuk wadah kerukunan dan membangun sikap inklusivisme.

Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket kepada 200 responden, bahwa 56 orang (28%) sangat setuju membina hubungan antar organisasi keagamaan, 84 orang (42%) setuju, 26 orang (13%) tidak setuju, 18 orang (9%) sangat tidak setuju dan 16 orang (18%) tidak tahu. Mereka setuju melakukan pertemuan berkala antar organisasi keagamaan, membentuk wadah kerukunan, dapat diikuti (kebijakannya) oleh kalangan di bawahnya, menghilangkan sikap eksklusivisme, tidak menyebarkan ajaran agama yang dapat meresahkan masyarakat.

Harus diakui bahwa masil ada kelompok tertentu yang menyebarkan ajaran agama dapat meresahkan masyarakat dan mengedepankan sikap eksklusivisme. Menurut hasil pengamatan penulis, ada beberapa kelompok agama tertentu yang secara diam-diam melakukan penyebaran agama kepada

36

orang yang berbeda agama. Hal ini dapat membuka peluang pemicu konflik. Oleh karena itu, para tokoh agama memiliki peran besar untuk mengingatkan para penganjur agama agar memperhatikan etika dakwah atau missi.

2. Hubugan Antar Organisasi Pemuda Keagamaan

Organisasi pemuda keagamaan di Ambon cukup banyak, seperti NU, Muhammadiyah (Islam), Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) dan sebagainya. Organisasi pemuda tersebut dapat menjadi wahana bagi pembentukan kerukunan di Maluku. Menurut hasil wawancara dengan tokoh agama di Maluku, hubungan antar organisasi pemuda sangat baik. Indikasinya, mereka memilih tidak secara diskriminatif (berdasarkan agama, suku atau etnis), sering melakukan dialog dan melakukan pengembangan-pengembangan dan inovasi-inovasi.

Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket kepada 200 responden, 28 orang (14%) menyatakan sangat setuju melakukan hubungan antar organisasi pemuda keagamaan, 92 orang (46%) setuju, 50 orang (25%) tidak setuju, 24 orang (12%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.

Menurut hasil temuan di lapangan hubungan antar organisasi kepemudaan tampak kurang intensif melakukan dialog. Sekalipun ada, dialog tersebut bersifat insidentil. Lembaga Lintas Iman saja melakukan dialog tidak secara kontinyu, kecuali bersifat insidentil. Apabila lembaga ini dapat diberdayakan dengan baik, maka dapat menjadi wahana bagi penciptaan kerukunan di Maluku.

Jadi, hubungan antar kelompok agama di Maluku baik. Menurut hasil komulatif wawancara kepada 200 orang responden 42 orang (21%) menunjukkan setuju, 88 orang (44%) setuju, 38 orang (19%) tidak setuju, 20 orang (10%) sangat tidak setuju dan 12 orang (6%) tidak tahu.

37

G. Aspek Hubungan Ekonomi

1. Hubungan Transaksi Bisnis (Individu dan Kelompok)

Hubungan transaksi bisnis di Maluku sangat baik. Menurut hasil wawancara dengan para pelaku bisnis di Maluku bahwa transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapa saja tanpa harus memilah-milah agama tertentu atau etnis tertentu. Perlu disusun kebijakan yang dapat menjembatani kesenjangan masyarakat antar yang bermodal kuat dan lemah, memiliki kepedulian terhadap pedagang yang berbeda agama atau etnis, dan tetap melakukan persahabatan dengan pedagang yang berbeda etnis atau agama.

Data di atas diperkuat oleh hasil penyebaran angket kepada 200 responden 56 orang (28%) menyatakan sangat setuju melakukan transaksi bisnis dengan siapapun, agama dan suku apapun, 106 orang (53%) setuju, 28 orang (14%) tidak setuju, 8 orang (4%) sangat tidak setuju dan 2 orang (1%) tidak tahu.

Menurut hasil pengamatan penulis, sebenarnya masih banyak para pelaku bisnis yang masihbersikapr diskriminatif baik agama maupun suku. Beberapa jabatan di jalur bisnis masih dikuasai oleh agama atau etnis tertentu. Hal ini dapat menjadi faktor pemicu munculnya ketidakrukunan di Maluku.

2. Hubungan Pekerjaan

Pekerjaan yang baik harus diserahkan kepada ahlinya. Hal itu disadari oleh banyak pihak di Maluku agar pembangunan kehidupan masyarakat Maluku berlangsung baik. Oleh karena itu, rekrutmen pegawai harus baik, tidak diskriminatif, mengangkat pejabat tidak diskriminatif, tidak menghambat karir pegawai yang berbeda suku atau agama, memberikan fasilitas atau insentif kepada pegawai tidak berat sebelah. Menurut tokoh-tokoh pemerintah di Maluku,

38

hubungan pekerjaan di Maluku dikatakan baik dan mengindahkan prosedur-prosedur yang berlaku.

Data tersebut didukung oleh hasil angket yang disebarkan kepada 200 responden bahwa 4 orang (2%) menyatakan sangat setuju melakukan hubungan pekerjaan tanpa diskriminatif, 26 orang (13%) menyatakan setuju, 80orang (40%) tidak setuju, 74 orang (37%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.

Sekalipun demikian, harus diakui bahwa di beberapa instansi kecenderungan untuk mengangkat pejabat atau memberikan fasilitas tertentu yang lebih kepada orang tertentu yang se-agama atau se-suku masih ada. Hal ini dapat menjadi pemicu kerawanan konflik di Maluku. Jadi, hubungan antar agama di Maluku, baik dalam transaksi jual beli maupun hubungan pekerjaan kurang baik. Data menunjukkan 4 orang (2%) sangat setuju, 26 orang (13%) setuju, 80 orang (40%) tidak setuju, 64 orang (37%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.

39

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

1. Dari aspek geografi dan demografi Provinsi Maluku merupakan wilayah yang kurang menguntungkan dalam usaha pembinaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Provinsi yang terdiri dari ribuan pulau dan penyebaran penduduk yang tidak merata, serta terjadinya kantong-kantong konsentrasi pemukiman umat beragama tertentu telah dapat difahami sebagai permasalahan yang cukup rumit yang tidak mudah diatasi.

2. Bila diidentifikasi faktor-faktor yang mendukung terjadinya kerukunan atau konflik umat beragama hampir berimbang, namun faktor pemicu terjadinya konflik atau benturan antar umat beragama lebih dominan, terutama di kalangan masyarakat lapis bawah. Hal ini dapat dimaklumi menginat faktor adat dan budaya yang telah lama berfungsi sebagai perekat mengalami kepudaran, sedangkan peran pemimpin formal dan informal yang telah terbangun selama ini mengalami krisis wibawa terutama setelah era reformasi. Potensi konflik terutama di kota Ambon cukup dominan karena faktor sentimen antar suku, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dalam politik,

40

stereotipe negatif yang berkembang di masyarakat, serta ekses migrasi dan mobilitas penduduk yang tidak terkendali akan dapat mendorong terjadinya benturan-benturan kepentingan antar kelompok antar umat beragama.

3. Upaya–upaya untuk mengintegrasikan umat yang telah mengalami konflik horisontal telah banyak dilakukan baik atas prakarsa pemerintah pusat dan daerah, antar tokoh agama, tokoh adat, LSM lokal, nasional dan internasional bahkan Perguruan Tinggi. Namun demikian upaya-upaya tersebut meskipun berhasil menghentikan benturan antar umat beragama, belum dapat dikatakan berhasil memadamkan sepenuhnya faktor-faktor penyebab konflik. Berdasarkan daftar pertanyaan yang diisi oleh responden maupun hasil pengamatan sehari-hari masih terdapat kendala-kendala dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang dapat mendorong potensi terjadinya konflik horizontal terutama di kota Ambon. Berbeda halnya dengan Maluku Tenggara yang penduduknya mayoritas beragama Islam (80,63%) kondisinya tergolong cukup rukun dimana budaya adat Larwul Ngabel masih berfungsi sebagai perekat integrasi umat beragama.

B. Saran

1. Upaya-upaya mendamaikan hubungan antar umat beragama provinsi Maluku, khususnya di Kota Ambon harus tetap dilanjutkan dengan segala macam pendekatan baik keamanan, budaya, agama, politik dan ekonomi secara simultan. Sebagai faktor pemicu masih berkembang di tengah masyarakat seperti fanatisme (agama dan suku), kecemburuan dan stereotipe sosial, maka upaya-upaya tersebut di atas harus tetap ditingkatkan. Demikian juga ke depan relokasi pemukiman dan rekonstruksi sosial perlu

41

direncanakan secara matang dan aplikatif agar dapat terwujud integrasi sosial yang hakiki. Oleh karena itu fungsi dan peran pemerintah beserta tokoh agama, adat dan LSM secara terpadu sangat diperlukan.

2. Mengingat konflik yang mungkin terjadi bersifat laten,diperlukan adanya upaya-upaya deteksi dini dengan memonitoring dan mengidentifikasi gejala-gejala sosial yang mengarah, terjadinya konflik terbuka, tindakan preventif lebih diutamakan daripada tindakan repressif. Sistem peringatan dini tersebut perlu dirancang dan dibangun melalui sistem informasi yang strategis dan akurat dengan melibatkan berbagai unsur (komponen) masyarakat seperti terurai di atas.

Daftar Pustaka

Abdullah, 1996, Studi Agama: Historisitas atau Normativitas,Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Ahmad Syahid, 2003, ”Peta Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bengkulu” dalam Riuh Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta 2003.

C. Hendropuspito, 1997, Sosiologi Utama, Kanisius, Yogyakarta.

_____, 1989, Sosiologi Sistematika, Kanisius, Yogyakarta.Duriana, ”Revitalisasi Nilai-Nilai Pelagandong Pasca Konflik”

dalam Fikratuna,Vol. 1, Nomor 1, 2004.Hans Warnir, 2004, ”Kekuatan Tradisi: Penyelesaian Konflik Sosial

dan Multireligius”, Vol. III, Nomor 12, Oktober-

42

Desember, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.

Imam Tolkha, 2001, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Rajawali Press.

Lambang Trijono, 2001, Keluar dari Kemelut Maluku: Refleksi Pengamalan Praktis Bekerja untuk Perdamaian Maluku,Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Maluku Dalam Angka 2004, Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku.

Parsudi Suparlan, 1986, ”The Javanes in Suriname: Ethman ini an Rthnically Plural Society” dalam A. F. Syaifudin, Konflik dan Integrasi, Rajawali, Jakarta.

Rumra, Moh. Yamin, 2003, Efektifitas Komunikasi Antar Umat Beragama di Tual Maluku Tenggara Pasca Konflik, dalam Fikratuna, Vol. 1, Nomor 1, 2004, Ambon.

S. Yunanto, 2004, ”Konflik Komunal di Ambon: Potret Politisasi Pluralitas Kehidupan Agama yang Rentan” dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius,Vol. III, Nomor 12, Oktober-Desember, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.

Sumarthana, dkk., 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Institut Dia/Interfidei, Yogyakarta.

Syafii Maarif, Ahmad, 2004, ”Penggunaan Simbol-Simbol Keagamaan untuk Kepentingan Politik”, dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. III, Nomor 12, Oktober-Desember, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.

BAGIAN 2

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI KALIMANTAN BARAT

Tim Peneliti

Fauziah IbrahimErwinYusriadiAsnawati

44

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

alimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan, berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Sarawak Malaysia. Provinsi ini memiliki luas

146.807 km2, terluas keempat di Indonesia setelah provinsi Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Barat terdiri dari 2 daerah kota dan 9 daerah kabupaten. Daerah itu adalah Kota Pontianak dan Singkawang, serta Kabupaten Pontianak, Landak, Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu.

Penduduk Kalimantan Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, terbanyak di kota Pontianak (BPS Kalbar 2003). Lebih 60 % beragama Islam, sisanya yaitu ; Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Dari segi etnis, selalu disebutkan Dayak merupakan bilangan terbesar, disusul kelompok Melayu, Tionghoa dan

K

45

Madura, serta sejumlah etnis lainnya seperti Bugis, Jawa, dll. Tetapi, jumlah riil penduduk berdasarkan etnis tidak pernah diperoleh datanya (Yusriadi, dkk 2005).

Aktivitas Keagamaan

Kegiatan keagamaan cukup marak di masing-masing daerah. Sejauh ini masing-masing umat beragama dapat menjalankan ajaran agamanya dengan baik, tanpa hambatan, tanpa merasa ancaman dari pihak lain. Simbol-simbol agama juga bisa ditampakkan tanpa dibatasi oleh kemungkinan tekanan eksternal dari kelompok agama lain.

Masing-masing dapat membangun rumah ibadah, melakukan pembinaan ummat, mendirikan sekolah, dan lain sebagainya. Di setiap daerah terdapat rumah ibadah yang berdiri di sudut-sudut kota, di kantong-kantong pemukiman. Sekolah-sekolah yang dibangun berdasarkan afiliasi agama berkembang, bahkan khusus untuk sekolah tertentu muridnya lintas agama. Umat tetap dapat melaksanakan ritual keagamaan tanpa hambatan; melaksanakan shalat berjamaah di masjid, kebaktian bagi umat Kristiani di gereja, dan pelaksanaan ritual keagamaan di Vihara, Pekong dan Kelenteng.

Kegiatan-kegiatan masyarakat agama dalam menyambut hari besar agama juga berjalan dengan baik. Sejumlah tokoh di lapangan mengaku mereka terlibat dalam kegiatan agama keluarga, tetangga dan rekan-rekannya.

Di Singkawang Selatan dan Pontianak Utara, beberapa tradisi keagamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh menjadi agenda tahunan dan diarahkan menjadi kalender wisata. Bukan saja dukungan secara politis, tetapi keterlibatan komponen lintas agama dan etnik dalam persembahan kegiatan ini.

46

Di Ketapang, penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran dilakukan bersama-sama lintas agama dan etnik (Ikhsan Tanggok, 2005). Sedangkan di Sintang, dilaksanakan kegiatan bersama dalam bidang olahraga, sosial dan perayaan hari besar bersama.

Hanya saja memang ada beberapa catatan dalam konteks ini. Di Singkawang misalnya, pernah terjadi pelarangan menggunakan pengeras suara ketika azan di lingkungan komunitas etnis Dayak di Singkawang Timur, gangguan terhadap ibadah sembahyang kubur di Sedau, lemparan batu kepada Jemaah Hizbullah. Penampakan simbol identitas etnik Dayak, Tionghoa dan Melayu di kota ini juga pernah menimbulkan ganjalan yang cukup berarti.

Di Sintang, soal penggunaan pengeras suara di rumah ibadah juga menjadi ganjalan antar pengurus rumah ibadah dengan masyarakat sekitar tidak seagama. Penerimaan pegawai negeri di lingkungan Departemen Agama telah memicu aksi sekelompok mahasiswa, sehingga mereka menyegel kantor pemerintah tersebut. Selain itu, persinggungan terjadi antar agama menyusul pendekatan dakwah yang dilakukan kelompok agama tertentu yang dengan menawarkan materi untuk menarik minat orang lain.

Di Delta Pawan Ketapang ketegangan sempat terjadi menyusul perebutan jenazah dan beredarnya selebaran bernuansa SARA menjelang Pilkada 2005 lalu. Secara internal, seorang khatib pernah diturunkan dari mimbar Jumat ketika menyampaikan khutbah yang menyinggung perasaan sebagian jamaah. Pendirian tugu persatuan di Simpang Jalan Merdeka pasar lama juga menimbulkan permasalahan karena bagi orang Melayu tugu ini dianggap upaya menampilkan identitas Dayak. Di tempat lain, di hulu sungai Laur beberapa tahun lalu keagamaan eksklusif sekelompok penganut agama juga menimbulkan konflik.

47

Tetapi meskipun terdapat beberapa ganjalan, namun, banyak yang beranggap bahwa ganjalan itu hanya merupakan riak-riak kecil yang hilang dengan sendirinya. Ganjalan itu tidak konstan, dan pada akhirnya, suasana kerukunan kembali wujud seperti semula. Kesadaran mengenai pentingnya membangun kerukunan beragama di tengah masyarakat jauh lebih kuat tertancap di sanubari masing-masing umat beragama.

48

Realitas Hubungan Kehidupan Beragama

Pontianak Utara

ontianak Utara memikul beban dari konflik Dayak-Madura tahun 1997. Suasana mencekam dan ketakutan dirasakan penduduk di sini. Hal ini terjadi terkait posisi

Pontianak Utara yang menjadi pintu masuk ke kota Pontianak dari wilayah utara (dan timur), terminal dan perhentian utama transportasi dari dan ke Pontianak.

Kerusuhan tahun 1999 di Sambas juga membawa dampak pada penduduk di Pontianak Utara. Bahkan, konflik tahun 2000 antara Melayu-Madura juga berimbas ke sini. Terminal Siantan dan toko-toko yang ada di sana menjadi saksi beberapa pembunuhan, kerumunan massa, dan suasana yang mencekam. Namun, kemelut ini perlahan mereda seiring meredanya suasana di titik konflik (di Sambas). Dan, kehidupan kembali berjalan normal dan kondusif.

Dinamika kehidupan beragama memang tidak statis. Konflik-konflik keagamaan sering muncul seketika, tanpa dipahami sebelumnya, apa penyebabnya. Baru-baru ini telah terjadi pengerusakan puluhan makam Tionghoa di pemakaman Yayasan Sungai Jernih dan Yayasan Sentiasa, Pal V Batu Layang Pontianak Utara. Saat ini belum diketahui

P

49

motif pengerusakan tersebut, penyelidikan masih dilakukan Polisi. (Equator 19 Oktober 2005).

Singkawang Selatan

Singkawang Selatan termasuk wilayah yang menjadi saksi sejarah konflik antara Dayak-Madura di Sanggau Ledo tahun 1997. Daerah Sagatani dan Pangmilang terkena imbas konflik karena di kedua daerah tersebut terdapat orang Madura. Kerusuhan tidak sempat meluluhlantakkan kedua wilayah ini karena penduduk setempat lebih dahulu melaporkan tanda-tanda akan terjadi serangan Dayak ke Komando Distrik Militer (Kodim) Singkawang, dan tentara kemudian mengungsikan orang Madura di sini ke markas Komando Pendidikan (Dodik) Pasir Panjang –sekitar 20kilometer dari pusat kota Singkawang. Penyerangan ke wilayah yang sudah ditinggalkan orang Madura ini hanya menyebabkan kerugian harta benda saja.

Singkawang Selatan (dan Singkawang Umumnya) juga terhindar dari kerusuhan antar Melayu-Madura di Sambas dua tahun setelah Madura-Dayak di Sanggau Ledo itu. Kantong-kantong pemukiman orang Madura di Singkawang tetap aman, sekalipun mencekam. Penduduk tidak terusir dan mengungsi. Malah, di Marhaban, Kelurahan Sedau, Singkawang Selatan, menjadi tempat relokasi pengungsi Madura dari Sambas.

Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 2002dalam skala relatif kecil, terjadi ketegangan di tengah masyarakat. Insiden ini dikenal dengan kisruh sembahyang kubur (sembahyang rampas) antara Melayu-Tionghoa di Sedau. Beberapa orang luka dan 3 sepeda dirusak. Polisi diturunkan ke Sedau untuk mengamankan suasana karena massa Melayu sudah beringas dan meneriakkan yel-yel ‘Bakar, hancurkan!’. Mereka berniat membakar sebuah

50

kelenteng dekat balai desa. Kepala Kepolisian, Komandan Komando Rayon Militer dan Camat turun tangan menenangkan massa dan memfasilitasi pertemuan antar Melayu-Tionghoa. Perdamaian dibuat, dan tokoh Tionghoa mengganti seluruh kerugian yang timbul sebelumnya.

Ketegangan berikutnya terjadi antara kelompok etnis Tionghoa. Ketegangan dipicu oleh sengketa Tanah Lirang tahun 2005. Kasus ini berawal dari beroperasinya pabrik batako milik Su Fong di atas tanah yang diklaim milik Tji Kong. Salah satu pihak bersikeras menyelesaikan kasus ini dengan hukum adat Dayak. Massa kedua belah pihak meluruk ke kantor Camat meminta penyelesaian. Dan akhirnya setelah pemerintah turun tangan, kedua belah pihak sepakat memilih damai.

Peralihan status Desa Pangmilang menjadi Kelurahan juga sempat memicu ketegangan. Kepala Desa menyatakan dirinya masih sah sebagai kepala desa dan masih menguasai kantor desa karena merasa masih berhak sampai tahun 2006sesuai dengan SK Pengangkatannya. Selain itu dia merasa masyarakat masih mendukungnya. Namun, upayanya bertahan juga mendapat tantangan. Sejumlah warga menolak kepemimpinannya. Sejumlah RT menumpuk kartu keluarga baru sebagai bentuk protes terhadap Kepala Desa itu. Pro-kontra muncul di tengah masyarakat (Pontianak Post 4 April 2005).

Sintang Kota

Ketegangan dalam skala kecil sempat terjadi di Sintang Kota. Pada tahun 2004, Kantor Departemen Agama Sintang yang terdapat di tengah kota diduduki oleh massa Perhimpunan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) dari Universitas Kapuas (Unka). Penyegelan itu sebagai bentuk protes karena formasi penerimaan pegawai

51

negeri sipil dianggap tidak adil. Di Sintang juga terjadi perebutan jabatan Rektor Universitas Kapuas. Pemilihan yang dijadwalkan awal Oktober lalu gagal dilaksanakan karena tarik menarik kepentingan agama antara pihak yang menjagokan Dr. Arkanudin yang beragama Islam dengan pihak yang mengusulkan Petrus Atong, MM yang beragama Katolik. (Equator 3, 6, 8 Oktober 2005).

Selain itu, penyebaran agama dengan menukar akidah dengan materi kerap kali menjadi ganjalan. Sejumlah orang dibujuk memeluk agama tertentu dengan imbalan makanan, rumah dan berbagai fasilitas hidup. Hal ini riskan terjadi di wilayah transmigran: antara orang Jawa dan penduduk setempat. Bahkan terjadi juga intimidasi. Pro-kontra terhadap kegiatan kelompok Ahmadiyah di internal umat Islam dankegiatan saksi Yehova di kalangan umat Kristiani juga mewarnai kehidupan beragama di Sintang.

Delta Pawan

Selama ini Ketapang mengklaim sendiri sebagai daerah paling aman dan rukun di Kalimantan Barat. Pidato Bupati Ketapang tahun 2005 menyebutkan bahwa keamanan dan Ketertiban Ketapang diklaim 100 % aman. (LPj Bupati 2005). Klaim ini muncul karena kerusuhan yang terjadi di pelbagai wilayah lain misalnya di Sanggau Ledo, di Sambas, di Pontianak atau Sanggau, atau kerusuhan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah tidak sampai merembet ke Ketapang.

Tetapi meskipun demikian, riak-riak yang menggoyang hubungan sosial masyarakat bukan tidak ada. Pelaksanaan Pilkada 20 Juni 2005 lalu memperlihatkan munculnya gejolak di tengah masyarakat dan bahkan ketegangan. Gejolak itu dipicu munculnya selebaran yang berisi Seruan atau Himbauan yang dibuat oleh Majelis Adat dan Budaya Melayu Ketapang tanggal 26 Mei 2005 yang

52

ditandatangani Ketua Dewan Pemangku Adat M Dardi D Has, Ketua Dewan Penasehat H. Ridwan Hasan,BA dan KetuaUmum Dewan Pengurus H. Morkes Effendi; Seruan/Himbauan Forum Mufakat Alim Ulama Kabupaten Ketapang yang ditandatangani Ustadz Sy HA Kadir Syahab, Ustadz Abdullah Alfakir, Ustad M Hory, BA. Ustadz Musleh Muallim, Ustadz Naweri, S.Ag., Ustadz Udin Mahyudin,Ustadz Jama’ie Makmur, Ustadz M Zubaer dan Ustadz Hayat Syarif; dan Bulletin Suara Santri yang diterbitkan Yayasan Kota Santri, Ketapang yang berjudul “Saatnya Ummat-Islam Mengambil Keputusan Di Dalam Memilih Pemimpin”.

Selebaran beredar pada masa kampanye, antara lain isinya seruan kepada umat Islam agar memilih pemimpin yang beragama Islam, dan jangan memilih pemimpin yang kafir, jangan memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani. Seruan itu antara lain dilengkapi dengan kutipan ayat Al-Quran Surah Ali Imran 28, An-Nisa 59, 139, 144, Al-Maidah 51, serta foto pasangan calon Bupati Morkes Effendi dan Henrikus.

Pada mulanya, selebaran ini adalah untuk konsumsi internal, baik kalangan anggota MABM, maupun umat Islam. Tujuannya, agar mereka memberikan dukungan kepada Morkes dan Henrikus. Sebab, sebelumnya ada kekhawatiran bahwa dalam Pilkada ini Morkes akan kehilangan dukungannya dari mayoritas muslim. Asumsi ini muncul karena pada saat yang sama data-data dan selebaran yang berisi raport merah Morkes saat menjabat sebagai Bupati periode 1999-2004 juga beredar. Suara masyarakat dikhawatirkan lari ke pasangan calon Bupati Lourentius Majun – Abul Ainen, dan pasangan Gusti Sofyan Afsier –Lukas Denggol. Namun belakangan selebaran ini jatuh juga ke tangan masyarakat non-muslim.

Majun dan pendukungnya keberatan dengan selebaran itu. Majun keberatan karena seruan itu secara tersirat memang

53

dimaksudkan untuk mengganjalnya meskipun pasangannya, Abul Ainen adalah muslim juga, dan sebaliknya pasangan Morkes, Henrikus sebenarnya bukan Islam juga. Sedangkan pasangan Sofyan keberatan karena walaupun selebaran itu bisa jadi menguntungkannya karena dia muslim, tetapi karena foto Morkes saja di selebaran itu maka bisa ditafsirkan bahwa selebaran itu hanyalah untuk Morkes.

Kalangan Katolik dan Protestan memang keberatan dengan selebaran itu. Mereka mengaku mengklarifikasi kepada kontak person dari kalangan Islam yang mereka kenal. Namun, setelah dijelaskan, akhirnya mereka mengerti tafsiran kafir yang ada pada ayat itu. Sumber lapangan mengaku bahwa sempat juga isu-isu Pilkada ini dibicarakan dalam khotbah dan kebaktian. Beberapa tokoh Katolik mengaku membicarakannya secara khusus.

Dewan Adat Dayak Ketapang mengeluarkan seruan/himbauan pada tanggal 12 Juni 2005 berkaitan dengan selebaran itu. Himbauan yang ditandatangani Heronimus Sintin itu menyebutkan mereka menyesalkan himbauan dan seruan yang dibuat perorangan atau lembaga itu (sama sekali tidak disebut secara eksplisit seperti yang kemudian kita lihat) yang mereka anggap melecehkan kelompok, golongan agama tertentu. Mereka mengajak masyarakat Dayak untuk memilih pemimpin yang tidak melakukan pelecehan kepada kelompok, golongan, agama dan kepercayaan.

Pada masa minggu tenang, pencoblosan, hingga awal perhitungan suara, tidak muncul gejolak berkaitan dengan selebaran itu. Reaksi muncul justru pada saat perhitungan suara memasuki tahap akhir dimana kemenangan Morkes sudah bisa diprediksikan. Tokoh/pemuka dan masyarakat Etnis Muslim dan Non Muslim Kabupaten Ketapang membuat pernyataan sikap dan tututannya kepada Panitia Pengawas Daerah Pilkada Ketapang Senin, 27 Juni 2005. Dan,

54

ke DPRD Ketapang Selasa, tanggal 28 Juni 2005 agar mencoret nama Morkes Effendi dan Henrikus, selanjutnya memproses sesuai hukum yang berlaku.

Dewan Adat Dayak dan Forum Pemuda Dayak serta tokoh masyarakat adat Dayak Ketapang bersama Tokoh masyarakat Pasar (Tionghoa) menggelar rapat Rabu 29 Juni 2005 di Rumah Anastasius Bantang, tokoh Dayak yang pernah menjadi anggota Dewan periode sebelumnya. Akan terus melakukan tekanan, tetapi tidak anarkis, dan melakukan melalui perwakilan. Orang Tionghoa tidak pernah terlibat dalam gerakan mendukung Morkes secara resmi, menyerahkan persoalan kepada hukum positif.

Pada 30 Juni 2005, diselenggarakan pertemuan antara tokoh agama Ketapang yang difasilitasi Kandepag Marsijdo ATS dan Kapolres Drs. Antam Novambar. Mendudukkan persoalan ini pada tempatnya, meminta tenang, tidak mempertentang agama, dll. Pada saat itu juga, mewakili Majelis Ulama Indonesia Ketapang, Sekretarisnya menyampaikan permohonan maaf terhadap orang-orang yang tersinggung dengan selebaran ini. Permohonan ini disampaikan karena khawatir situasi yang genting, sebab pada saat yang sama beredar isu mengenai kemungkinan orang Madura akan menjadi sasaran aksi massa kelompok yang menolak selebaran itu. Madura dianggap bertanggung jawab karena dari 9 ustadz yang menandatangani selebaran itu, 6 di antaranya adalah Madura. Tambahan lagi orang belum melupakan sepenuhnya kerusuhan Madura-Dayak di Sanggau Ledo, Madura – Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah. Bagaimanapun selama masa demonstrasi itu, 9 ustadz yang menandatangi selebaran itu dicari-cari kelompok

55

demonstran, dan terpaksa mengungsi di Polres Ketapang untuk sekian lama1.

Pada saat yang sama massa pendukung Morkes melakukan gerakan. Diprakarsai Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) Ketapang menggelar aksi tandingan untuk mengimbangi tekanan yang sedemikian kuat kepada Kepolisian, DPRD dan Panwasda-KPUD.

Setelah melalui serangkaian pertemuan dan dialog akhirnya memang badai berlalu. Suasana relatif aman. Namun, kelompok yang protes tidak merasa puas sebelum masalah ini diselesaikan secara hukum, atau dalam bahasa lain, sebelum pembuat selebaran itu dijatuhi hukuman. Dewan Adat Dayak tanggal 4 Juli 2005 mengirim surat kepada Presiden, DPR-RI, DPD dan Mahkamah Agung mengenai selebaran ini. Ketika tanggal 8 Juli 2005, Drs. Isyah Siat dan Donatus Gasa, SH mewakili Dewan Adat Dayak (DAD) Ketapang menyampaikan ucapan selamat kepada Morkes, keduanya sempat digoyang dengan gerakan mosi tak percaya –namun tak jadi dilakukan. 12 Juli 2005 sekali lagi kelompok yang menamakan diri sebagai tokoh masyarakat Muslim dan Non-Muslim Ketapang (tetapi nama-nama itu tidak dikenal) mendesak aparat penegak hukum mengutus pelaku pembuat selebaran SARA itu dengan 7 pernyataan sikap.

Tanggal 21 Juli 2005 DAD Ketapang didampingi advokat S. Bagus Triyogo A.P, SH dari Bratan Pajang, Surakarta, Jawa Tengah mengadukan Ustadz Faisal Al-Hamied, pimpinan Yayasan Kota Santri Ketapang ke Polisi.

1 Equator, Senin 18 Juli 2005 berjudul Sengketa Pilkada Ketapang Polres Gamang? mengutip komentar seorang pelapor kasus SARA, yang menyoal mengapa hanya ustad itu saja yang diproses, sedangkan Morkes dan kawan-kawan yang menandatangani selebaran MABM Kalbar hanya dipanggil sebagai saksi. Hal yang sama disampaikan Drs. F Radon, saksi pelapor lainnya. Radon juga mengakui telah melakukan aksi menanyakan hal itu pada tanggal 16 Juli 2005.

56

Kamis 24 Agustus 2005, sekali lagi kelompok pemrotes melakukan aksi dalam bentuk menggelar upacara adat pengembalian tempayan yang terletak di tugu tolak bala di persimpangan Jalan Merdeka-Jalan A Yani Ketapang2.

Selain ketegangan itu, sebelumnya, pada Mei 2003terjadi yang menghebohkan Ketapang, bahkan se Kalimantan Barat. Pada tahun tersebut terjadi perebutan jenazah Yohanes Victor. Yohanes adalah Ketua Dewan Adat Dayak Ketapang, pengusaha dan juga Ketua Persatuan Sepakbola Ketapang (Persikat) memeluk agama Islam dan menikah dengan Siti Murjanah, seorang perempuan muslim. Yohanes meninggal di Rumah Sakit Normah di Kuching 26 Mei 2003. Setelah meninggal jenazahnya sempat dimandikan, dikafani dan dishalatkan secara Islam di Kuching, Sarawak, Malaysia. Namun, ketika hampir sampai di Pontianak jenazah itu diambil oleh anggota keluarganya dan dibawa ke Ketapang. Atas usaha Wakil Bupati ketika itu Lorentius Majun, jenazah Yohanes dikremasikan dan dikubur secara Katolik. Mereka beralasan tidak pernah tahu bahwa Yohanes memeluk agama Islam. Ribuan umat Islam juga melaksanakan shalat ghaib untuk Yohanes di Masjid Raya Mujahidin Pontianak pada 30Mei 2003 (Equator, 31 Mei 2003).

Kasus yang sama juga terjadi pada Susanto. Susanto masuk Islam secara diam-diam tanpa memberitahukan hal itu kepada orang tuanya pada tahun 2002, dan dia terus tinggal di rumah keluarganya. Pada tahun 2003, sekitar 6 bulan setelah muslim, Susanto meninggal dunia. Pihak keluarga yang tak tahu mengenai kepindahan agama Susanto tetap menyelenggarakan jenazah bujangan itu dengan cara adat

2 Harus diakui, bahwa aksi ini merupakan bagian dari ungkapan persatuan antar kelompok masyarakat etnik di Ketapang di satu sisi, tetapi di sisi lain secara tersirat mengingatkan orang bahwa kemelut SARA Paska Pilkada di Ketapang yang belum berakhir. Kegiatan ini melibatkan DAD kecamatan se Ketapang dan diselenggarakan berdasarkan Adat Dayak.

57

Tionghoa. Sedangkan orang Islam yang tahu Susanto sudah muslim berusaha menjelaskan persoalan itu dan bahkan bukti-bukti dokumen yang memperlihatkan ke-Islam Susanto. Kepala Kantor Urusan Agama Delta Pawan (Matan HilirUtara) Abdul Aziz yang sebelumnya mengislamkan Susanto, memberitahukan, 6 kali mereka datang ke pihak keluarga Susanto memberikan penjelasan –termasuk meminta agar jenazah Susanto diselenggarakan sesuai agama yang dianut. Namun tetap tidak berhasil.

Upacara pengembalian tempayan persatuan bulan Agustus 2005 yang diselenggarakan dengan adat Dayak sesungguhnya bagi banyak pihak menimbulkan prasangka. Walaupun kemudian berdasarkan data angket 72,08 % setuju dan sangat setuju bahwa kedua kelompok saling mengunjungi dalam upacara keagamaan, namun kenyataannya tokoh-tokoh Melayu, kecuali Rumpun Melayu Arus Bawah, tidak menghadiri upacara itu. Bahkan, tokoh-tokoh agama Islam menolak ketika diminta untuk membaca doa dalam upacara itu. Kebanyakan hanya melihat dari jauh apa yang terjadi dan sebagiannya malah sinis.

58

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Antar Agama

ecenderungan hubungan antar umat beragama di wilayah penelitian tidak sama. Di Kota Pontianak, Singkawang, Sintang kecenderungannya mengarah

pada situasi yang dinamis, yaitu harmonis. Sedangkan di Ketapang, hubungan cenderung konfliktual.

Hubungan di di Pontianak dianggap harmonis karena, asumsi ini muncul karena sekalipun terpengaruh suasana konflik namun konflik yang terbuka tidak pernah terjadi. Ketegangan muncul lebih karena ditimbulkan tekanan dari luar dan bukannya muncul dari dalam, dari kalangan masyarakat setempat. Sejauh ini, pengaruh kejadian di Sanggau Ledo atau di Sambas, hanya menghasilkan ketegangan sementara dan dalam skala kecil, tidak merembet terlalu jauh.

Pemerintah telah melakukan langkah-langkah preventif, dengan melakukan pertemuan dan dialog antar tokoh. Di Pontianak Utara terbentuk Forum Komunikasi Antar Agama yang berdiri tahun 2004, difasilitasi Kantor Urusan Agama, dan unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) seperti Camat, Koramil dan Polsek.

Keadaan diprediksi akan terus harmonis karena kesadaran yang tumbuh di kalangan umat beragama sangat

K

59

tinggi. Data angket memperlihatkan bahwa di Pontianak Utara 75 % responden setuju dan sangat setuju terhadap upaya membangun kerukunan dan 72 % menolak provokasi dan keributan. 70 % menyatakan mereka bersedia bertoleransi terhadap segala bentuk ibadah dan kebiasaan agama lain, 72% eksistensi kerukunan perlu terus dijaga melalui upaya pembangunan komunikasi antar kelompok agama. Mereka juga tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam interaksi sosial-ekonomi sesama (70 % tidak setuju).

Begitu pula di Singkawang Selatan. Hubungan antar agama dianggap harmonis karena pertama: konflik yang terjadi sebelum ini bukanlah konflik agama. Yang terjadi sebelum ini muncul karena adanya kepentingan politik dan golongan, ekonomi, dan kepentingan pribadi yang merembet pada upaya membawa persoalan ini pada tataran agama, etnis dan budaya. Tidak saja dalam kasus sengketa Pangmilang, tetapi dalam kasus-kasus lain yang penyelesaiannya dibawa ke hukum adat, atau dalam kasus patung naga di tengah kota yang merupakan representasi kuatnya keinginan politik etnik tertentu.

Selain itu kuatnya motivasi untuk terus hidup rukun dengan kelompok lain merupakan sinyal mengenal kesadaran masing-masing untuk terus menjaga kerukunan. Dialog yang terbangun antar agama selama ini cukup intensif. Kesadaran ini mendorong tumbuhnya kerukunan antar umat beragama di Singkawang Selatan.

Keadaan diprediksi akan terus harmonis karena kesadaran yang tumbuh di kalangan umat beragama sangat tinggi. Data angket memperlihatkan bahwa di Singkawang Selatan 95 % responden setuju dan sangat setuju dengan pola pertemanan yang sedia ada sekarang dan 90 % responden setuju dan sangat setuju dengan pola pertetanggaan yang terbangun sekarang. Dalam konteks hubungan politik, 95 %

60

setuju dan sangat setuju dengan pola hubugan antar organisasi politik yang ada sekarang, 93 % juga berharap persaingan sehat mesti dikedepankan. Dalam tataran hubungan peribadatan, 79 % responden mengatakan setuju dan sangat setuju dengan sikap toleransi dan saling memberi kesempatan kepada semua agama melaksanakan upacara keagamaan. 95 % setuju dan sangat setuju adanya kerukunan antar organisasi keagamaan, sebaliknya mereka tidak setuju dengan organisasi keagamaan yang ekspansif. Mereka juga tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam hubungan sosial-ekonomi (90 % tidak setuju dan sangat tidak setuju).

Hubungan antar umat beragama di Sintang dianggap cukup harmonis karena dua aspek, yaitu aspek hubungan sosial kemasyarakatan dan pandangan serta sikap antar umat beragama. Dalam aspek realitas hubungan sosial: baik itu dalam aspek sosial ekonomi, sosial politik dan kehidupan beragama, setiap umat beragama di Sintang, senantiasa menjaga hubungan antar mereka agar tetap berjalan dengan baik, penuh toleransi, saling menghargai dan menghormati. Masih juga terpelihara hubungan kekerabatan, kekeluargaan dan tolong menolong.

Jika ada persoalan antar kelompok agama, mereka senantiasa mencari penyelesaian terbaik melalui musyawarah, dialog dan komunikasi. Karena itulah di Sintang hingga saat ini tidak pernah ada konflik antar umat beragama. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah hubungan sosial kemasyarakatan antar umat beragama di Sintang.

Selain itu, setiap umat beragama di Sintang juga menghendaki hubungan antarumat beragama yang rukun, harmonis, saling menghargai dan menghormati, tolong menolong, dan membangun kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wujud juga harapan untuk membuka diri, disertai sikap menolak upaya-upaya

61

penyalahgunaan agama dan menyeretnya untuk kepentingan politik, serta pemaksaan kehendak. Data angket memperlihatkan bahwa di Sintang Kota 89,90 % responden setuju dan sangat setuju terhadap upaya membangun kerukunan, 89,58 % responden setuju dan sangat setuju dengan pola hubungan yang sehat, terbuka dan demokratis, 77,08 % setuju dan sangat setuju bahwa persaingan politik harus dilakukan dengan cara sehat, 92,36 % responden setuju dan sangat setuju adanya sikap toleransi dan saling memberikan kesempatan kepada agama lain melaksanakan upacara keagamaan masing-masing. 71,67 % responden setuju dan sangat setuju adanya kerukunan antar organisasi keagamaan, dialog dan komunikasi intensif. Umumnya respon juga tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam hubungan sosial ekonomi (80,20 %).

Pemerintah juga memperlihatkan kepeduliannya dalam persoalan keumatan dengan memfasilitasi dialog.Misalnya pada saat kerusuhan di Sambas tahun 1999 dan menjelang Pilkada 2004, pemerintah mengundang tokoh-tokoh agama (selain etnik) agar komitmen membangun kerukunan terus dipertahankan.

Di Ketapang, situasi sekarang memang relatif sudah aman. Namun, kelompok masyarakat tertentu masih mengisyaratkan mereka menuntut penyelesaian isu SARA Pilkada. Mereka menuntut ada penyelesaian. Meskipun kemudian tuntutan mereda dan masalah berkepanjangan, namun, ketiadaan penyelesaian (penyelesaian menguap) akan menimbulkan ganjalan di kemudian hari. Sekalipun masalah ini mengemuka dalam konteks politik, namun, agama dan etnik ikut dilibatkan.

Memang dalam konteks hari ini tokoh-tokoh agama, etnik, politik, dan semua orang di Ketapang memberikan jawaban bahwa mereka menginginkan suasana damai dan

62

aman. 99,95% responden mengaku setuju dan sangat setuju bahwa hubungan harus dijalin baik tanpa batas agama dan etnis. 100 % responden setuju dan sangat setuju bahwa semua orang harus membaur, walaupun pada bagian lain mereka mengatakan persahabatan yang tidak didasarkan agama adalah semu (53,48 % menjawab setuju dan sangat setuju). 100% responden setuju dan sangat setuju bahwa pelaku politik harus bersaing secara sehat dan tidak saling memfitnah. 97,66% responden setuju dan sangat setuju organisasi keagamaan harus menjaga kerukunan kehidupan beragama. Sebaliknya mereka berbeda secara berimbang soal kelompok agama dalam pengembangan agama. 30,23% setuju kelompok seperti ini dibiarkan secara alami, berbanding 41, 86% tidak setuju, dan 23,25 % sangat tidak setuju. Selebihnya, tidak tahu dan tidak menjawab. Umumnya memang responden tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam kegiatan sosial-ekonomi (97,66% setuju dan sangat setuju).

Secara eksplisit diakui, mereka memang belajar banyak dari pelbagai kerusuhan yang berkembang di tempat lain. Tetapi, di sisi lain, kecurigaan, perbedaan tanggapan dalam penyelesaian masalah mereka suatu saat dikhawatirkan membuat suasana hati berubah, akumulasi kekecewaan tak mustahil membuncah dan membentuk gumpalan yang akan meletus di kemudian hari karena persoalan yang timbul tidak diselesaikan sampai tuntas. Kasus perebutan jenazah bagaimanapun berakhir dengan kekecewaan kalangan Islam. Kini, kasus SARA berakhir dengan kekecewaan kelompok Dayak. Semakin banyak kekecewaan, semakin rawan hubungan antar kelompok. Sementara pemerintah yang diharapkan menjadi penengah sejauh ini tidak mampu memainkan peranan yang maksimal. Kasus sebelum ini memperlihatkan bahwa saat ini harapan lebih banyak bergantung pada aparat penegakan hukum (Kepolisian).

63

Penutup

ari paparan di atas, secara umum kehidupan beragama di Kalimantan Barat berada dalam situasi rukun sekali dan tidak ada konflik terbuka (Lihat Peta

6). Situasi rukun sekali terjadi di wilayah utara kota Pontianak. Situasi konflik di tempat lain, justru menjadi perekat hubungan antar kelompok di Pontianak Utara ini. Kelompok berbagai agama dan etnik ini membangun dialog antar agama maupun dalam bentuk kerjasama sosial antar masyarakat. Sebuah rumah ibadah yang dibangun berdasar-kan bantuan dari kelompok-kelompok ini, menjadi simbol kerukunan yang tercipta di tengah masyarakat.

Sedangkan di Singkawang Selatan dan Sintang Kota suasananya dikatagorikan sebagai kurang rukun. Data yang diperoleh di wilayah wilayah utara dan timur provinsi Kalbar ini bahwa terjadi riak-riak kecil yang mengganjal hubungan antar masyarakat. Riak-riak itu meskipun dipicu oleh kepentingan pribadi dan kelompok, namun beberapa kasus memperlihatkan pelibatan simbol agama dan etnik. Memang persoalannya pada akhirnya dapat diselesaikan melalui dialog

D

64

dan kesepahaman antar mereka, dan konflik tidak menyebabkan benturan dalam masyarakat (secara meluas).

Masing-masing pihak menyadari bahwa persoalan yang terjadi muncul karena ada pihak tertentu yang membawanya ke ranah agama dan etnik, atau paling tidak karena adanya kepentingan tertentu, bukan karena masalah agama. Terhadap persoalan tersebut mereka juga mampu menyelesaikan persoalan hingga tuntas.

Situasi di Ketapang lebih mengkhawatirkan. Wilayah selatan provinsi Kalbar yang sebelum ini dicap sebagai daerah teraman di Kalbar, justru memperlihatkan terjadinya konflik terbuka. Hubungan antar kelompok etnik dan agama dibayangi oleh persoalan SARA yang mencuat Paska Pilkada 2005 di Ketapang. Persoalan yang bercampur aduk antara agama, etnik dan politik, sampai hari ini belum selesai sekalipun kemarahan kelompok tertentu sudah agak mereda. Sekarang tidak ada demonstrasi, tidak ada lagi perburuan terhadap para ustadz yang menandatangani selebaran, namun ketegangan dan kecurigaan masih dirasakan. Apalagi di tengah pesimisme bahwa hukum positif yang dipercaya menyelesaikan persoalan itu tidak akan mampu berbuat banyak. Sementara itu permintaan maaf di satu pihak tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru di internal umat beragama. Saling curiga, fitnah, bahkan teror (fisik dan mental) tidak saja terjadi di antara kelompok etnik, tetapi juga di internal penganut agama.

Sekalipun pada akhirnya semua pihak menyadari bahwa ada kepentingan politik dalam konflik SARA, tetapi, mereka juga tidak mengabaikan bahwa kepentingan politik itu juga atas nama kepentingan agama dan kelompok etnik. Masing-masing pihak amat menyadari bahwa kekuasaan politik akan berimplikasi pada pengembangan agama dan ekonomi.

65

Tetapi tentu saja, seperti disebutkan di atas situasi-situasi itu mempunyai peluang terus berubah. Dinamika kehidupan sosial tidak pernah konstan, selalu tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Sehingga pada akhirnya suasana yang diprediksi rukun bisa jadi bergerak ke arah tidak rukun, dan sebaliknya suasana konflik terbuka bisa jadi meredup menuju suasana rukun.

Daftar Pustaka

[Didik Bil Ikhsan]. 2000. Majalah Didik Bil Ikhsan Edisi 2, tahun 2000.

[Equator]. 2005. Catatan menjelang seminar profil etnik di Kalimantan Barat, Equator 19 April 2005.

[KR]. 2003. Kalimantan Review Edisi Khusus tahun 2003.

[LPj Bupati]. 2005. Pidato Bupati Ketapang pada penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Bupati Ketapang Tahun 2000-2005, Maret 2005. Naskah.

BPS dan Bappeda. 2003. Sintang dalam Angka. Sintang: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

BPS Kalbar. 2003. Kalimantan Barat dalam Angka. Pontianak: Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat.

BPS Ketapang. 2003. Ketapang Dalam Angka. Ketapang: Badan Pusat Statistik.

BPS Ketapang. 2003. Monograf Kecamatan Delta Pawan. Ketapang: Badan Pusat Statistik.

BPS Pontianak. 2004. Monografi Kecamatan Pontianak Utara. Pontianak: Badan Pusat Statistik.

66

BPS Singkawang. 2004. Monografi Kecamatan Pontianak Utara. Singkawang: Badan Pusat Statistik.

BPS Sintang. 2003. Kabupaten Sintang dalam Angka 2003. Sintang: Badan Pusat Statistik.

BPS Sintang. 2004. Monografi Kecamatan Sintang Kota. Sintang: Badan Pusat Statistik.

Kecamatan Sintang. 2004. Data-base Kecamatan Sintang Kota tahun 2000-2004. Naskah.

Kecamatan Sintang. 2004. Monografi Desa Se-Kecamatan Sintang Kota Tahun 2004. Sintang: Kecamatan Sintang.

KUA Pontianak Utara. 2005. Data Penduduk Berdasarkan Klasifikasi Agama. Pontianak: KUA Kec. Pontianak Utara.

KUA Singkawang Selatan. 2005. Data Penduduk Berdasarkan Klasifikasi Agama. Singkawang Selatan: KUA Kec. Singkawang Selatan.

KUA Sintang Kota. 2005. Data Penduduk Berdasarkan Klasifikasi Agama. Sintang: KUA Kec. Sintang.

M. Ikhsan Tanggok. 2005. Lourentius Majun, SH; Menembus Birokrasi Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Morkes Effendi. 2005. Merenda Ketapang Hari Esok. Jakarta: Penerbit Indomedia.

Munawar. 2003. Sejarah konflik etnis di Kabupaten Sambas. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Yusriadi, Hermansyah, Dedy Ari Asfar. 2005. Etnisitas di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

BAGIAN 3

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI LAMPUNG

Tim Peneliti

Yukrim LatiefAgus PahrudinSuhanahErina PaneMansyur HidayatMuhadiMujib

68

Gambaran UmumWilayah Penelitian

1. Bandar Lampung

a. Geografis dan Demografis

ecara geografis, Kota Bandar Lampung terletak diantara 5.20 derajat - 5.30 derajat lintang selatan dan 105.28derajat -105.37 derajat bujur timur. Terletak di bagian

selatan Provinsi Lampung, tepatnya pada Teluk Lampung dan di ujung selatan Pulau Sumatra. Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 192,18 Km2 yang merupakan 0,54persen dari luas wilayah Provinsi Lampung .

Seluruh kecamatan yang membatasi wilayah Kota Bandar Lampung ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan–kecamatan di Kota Bandar Lampung terdiri dari 13 kecamatan sebagai berikut :

S

69

Kecamatan IbukotaLuas wilayah

(km2)Teluk Betung Barat Bakung 20,54

Teluk Betung Selatan Sukaraja 8,63

Panjang Panjang Selatan 23,99

Tanjung Karang Timur Kota Baru 21,10

Teluk Betung Utara Kupang Kota 9,95

Tanjung Karang Pusat Palapa 5,67

Tanjung Karang Barat Gedong Air 17,43

Kemiling Sumberejo 22,89

Kedaton Kampung Baru 8,88

Rajabasa Rajabasa 13,02

Tanjung Seneng Tanjung Seneng 12,62

Sukarame Sukarame 16,87

Sukabumi Sukabumi 10,59

Jumlah 192,18

Sumber : Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, 2003

b. Kehidupan sosial Ekonomi, Politik, Budaya dan Kehidupan beragama

Sebagian besar penduduk Kota Bandar Lampung bekerja di sektor perdagangan dan jasa. Masyarakat Lampung mendominasi posisi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) , khususnya di lingkungan Pemerintah Daerah dan di instansi pemerintah lainnya. Masyarakat pendatang (Jawa, Padang, Batak dan beberapa suku lainnya) ada juga yang menduduki jabatan strategis pada instansi pemerintah di Kota Bandar Lampung, namun dalam jumlah yang kecil.

Dan, berdasarkan aspirasi politik, penduduk didominasi oleh Partai Golongan Karya selanjutnya Partai

70

Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan partai-partai lainnya dalam jumlah partisan yang relatif kecil. Organisasi kepemudaan onderbaw partai politik didominasi oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Kemudian kondisi Kehidupan Beragama di Kota Bandar Lampung bersifat campuran. Keadaan ini tampak pada data penduduk yang memeluk agama sangat beragam, yaitu pemeluk agama Islam yang mayoritas (91,29) maupun pemeluk agama lainnya seperti Kristen Protestan, Katolik, Budha dan Hindu, tetap dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan rasa toleransi serta kekeluargaan yang tinggi.

Data Jumlah Pemeluk Agama dari Tahun 2000-2003

Tahun Islam Kristen Katolik Hindu Budha Jumlah(jiwa)

2003 728,012 20,942 18,682 6,119 13,145 786,9002002 623,977 21,039 18,781 6,502 13,191 683,4902001 623,532 21,029 18,771 6,474 13,185 682,9912000 621,191 19,976 16,906 5,491 13,229 676,793

Sumber : Dep. Agama Kota Bandar Lampung, 2003

Dari jumlah mayoritas penduduk yang beragama Islam, tidak heran jika jumlah masjid, langgar dan mushola berada dalam jumlah besar, sehingga mendominasi rumah ibadah yang lain. Dengan hanya 5 agama yang diakui oleh negara, maka keberadaan kepercayaan Kong Fu Chu seperti tidak menjadi perhatian. Padahal ada 1 klenteng yang cukup besar di Teluk Betung yang menjadi tempat ibadah sebagian masyarakat keturunan Cina. Dan pada saat upacara perkawinan dan kematian, masyarakat keturunan Cina ini banyak mempergunakan kepercayaan leluhurnya walaupun diantaranya ada juga keturunan Cina ini yang sudah menganut agama Kristen atau Katholik.

71

Tipologi kerukunan umat beragama di Bandar Lampung digolongkan dalam kategori campuran.Indikatornya tampak pada berfungsinya lembaga keagamaan yang didukung kedewasaan umat beragama di perkotaan. Karena itu, hampir tidak pernah terjadi konflik-konflik atau kekerasan atas nama agama.

2. Tanggamus

a. Demografis

Dilihat dari sudut demografis, jumlah penduduk Kecamatan Pringsewu tercatat sebesar 70.050 jiwa, 35.565 laki-laki dan 34.485 perempuan (15.896 KK). Tingkat kepadatan penduduk di kecamatan ini bila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Tanggamus lainnya cukup padat, dengan ratio kepadatan sebesar 1560jiwa /Km2. Pertumbuhan penduduk di wilayah ini cukup terkendali, dikarenakan program KB di daerah tersebut telah berjalan secara efektif, yang ditunjukkan dengan telah ikutnya semua Pasangan Usia Subur (PUS) dalam Program Keluarga Berencana. Terakhir jumlah akseptor yang aktif tercatat 8.576(72 %) dan peserta yang tidak aktif 3.369 (28 %) dari jumlah seluruh peserta pasangan usia subur yang ada.1

b. Kehidudupan Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan Kehidupan Beragama

Penduduk Kecamatan Pringsewu dilihat dari sudut lapangan usaha/mata pencahariannya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

1 Diadaptasi dari Kecamatan Pringsewu dalam Angka 2003, hal. 12-14.

72

Tabel : 1

MATA PENCAHARIAN PENDUDUK KECAMATAN PRINGSEWUKABUPATEN TANGGAMUS

No JENIS PEKERJAAN JUMLAH %

1. Tani 31.803 orang 45,40

2. Jasa 28.703 orang 26,70

3. Dagang 7.916 orang 11,30

4. Pengrajin 4.133 orang 5,90

5. Usaha angkutan 1.751 orang 2,50

6. Lain-lain 5.744 orang 8,20

Total Keseluruhan 70.050 orang 100,00Sumber: Diadaptasi dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, dan Kecamatan Pringsewu Dalam Angka 2003.

Dari tabel di atas diketahui bahwa mata pencaharian penduduk Kecamatan Pringsewu 45,40 % masih menekuni bidang pertanian sebagai pekerjaannya, baik sebagai petani pemilik, penggarap atau buruh tani. Sedangkan selebihnya 54,60 % bekerja di sektor non pertanian, yaitu bergerak dalam bidang jasa; perorangan, swasta, termasuk didalamnya juga pegawai negeri dan TNI-Polri, kemudian berdagang, pengrajin industri, usaha angkutan, dan lain-lain.

Sementara kondisi sosial politik Tanggamus berdasarkan hasil perolehan suara Pemilihan Umum Nasional tahun 2003 di Kecamatan Pringsewu, yang masuk katagori lima partai besar adalah; PDIP, Golkar, Demokrat, PKS, dan PAN. Untuk perwakilan pusat, provinsi dan daerah, urutan pertama kedua didominasi oleh partai PDIP dan Partai Golkar.2 Sementara itu kehidupan sosial keagamaan dapat

2 Wawancara Suroto, Staf PPK Kecamatan Pringsewu, tgl. 25Agustus 2005.

73

dilihat pada agama dianut oleh penduduk kecamatan Pringsewu bersifat heterogen, mayoritas penduduk menganut Agama Islam. Gambaran penduduk mengenai agama yang dipeluk, secara keseluruhan dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel : 2

JUMLAH PEMELUK AGAMA DALAM WILAYAH KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN TANGGAMUS

No. AGAMA JUMLAH %1. Islam 65.215 orang 93,102. Kristen 514 orang 0,733. Katolik 3.503 orang 5,004. Hindu 488 orang 0,705. Budha 330 orang 0,47

Jumlah : 70.050 orang 100,00Sumber diadaptasi dari Kecamatan Pringsewu Dalam Angka 2003

Toleransi beragama dikalangan penduduk setempat nampaknya telah terwujud dengan baik, kendatipun masih ada hal-hal tertentu yang masih memerlukan pembinaan. Penganut-penganut agama itu, meski kebanyakan tinggal secara berkelompok, dalam kenyataannya dapat hidup berdampingan secara damai, dalam arti tidak pernah terdengar adanya gangguan pada kelompok –kelompok agama yang berbeda, atau konflik dikalangan penduduk yang bersumber dari perbedaan faham atau agama. Demikian halnya, kondisi harmonis dan dinamis itu nampak pula dalam hubungan antara penganut agama dengan pemerintah setempat, yang terwujud dalam bentuk kerja sama dan saling pengertian secara timbal balik.

Kehidupan umat beragama di Tanggamus mencerminkan situasi yang kondusif, tepatnya digolongkan sedang. Artinya, kondisi keberagamaannya berjalan secara

74

kondusif, meskipun isu-isu keagamaan kadang muncul sebagai cerminan masyarakat yang dihuni beragam agama, Etnis dan budaya. Namun, kemampuan tokoh agama, adat dan masyarakat mampu menetralisir situasi yang cenderung konfliktual.

3. Way Kanan

a. Demografis

Kondisi demografis kependudukan Kecamatan Buay Bahuga sangat heterogen yang terdiri beberapa suku dan penduduk asli, dan pendatang sedangkan jumlah penduduk yang terhitung, bulan Agustus 2005 berjumlah 18,898 orang.

Gambaran penduduk mengenai agama yang dianut secara keseluruhan dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 3

Komposisi Pemeluk Agama Kecamatan Buay Bahuga Tahun 2005

NO AGAMA JUMLAH1. Islam 18.584 orang2. Kristen 42 orang3. Katolik 67 orang4. Hindu 197 orang5. Budha 8 orang

JUMLAH 18.898 OrangSumber : Laporan departemen agama Kab. Way Kanan (Kec. Buay Bahuga), tahun 2005

b. Kehidupan Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan Kehidupan Beragama

Kehidupan ekonomi Sosial Dan Budaya wilayah Kabupaten Way Kanan Kecamatan Buay Bahuga merupakan

75

daerah transmigrasi sehingga penduduk asli maupun pendatang pada umumnya mengadakan pertanian sebagai sumber kehidupan sehari-hari Sehingga dari luas Kecamatan, Buay Bahuga 35 Km 2 hampir 60% merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Selain petani 54.190 % pekerjaan penduduk Lampung sangat beragam seperti PNS 27.621 %, Buruh 11,705%, Pedagang 6.491 %, Petani, dan lain-lain. Masyarakat Kecamatan Buay Bahuga secara umum dalam bentuk aslinya memiliki struktur hukum adat. Bentuk hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainya.

Sementara dalam kehidupan dibidang politik melalui pemilu tahun 2005 telah terjadi perubahan komposisi politik, dimana setelah melewati pilkada yang terlaksana secara demokrasi menghasilkan komposisi perolehan suara yang bervariasi, partai demokrat masih merupakan partai terkuat di Kecamatan Buay Bahuga yang memperoleh suara terbanyak. Sedangkan partai PKS, PDI, dan GOLKAR ketiga partai tersebut secara ketat membayangi partai demokrat, jadi partai terbesar di Buay Bahuga adalah partai demokrat kalau dilihat dari segi etnik dan agama pendukung partai tersebut adalah mayoritas beragama Islam.

Kemudian kehidupan beragama dapat dilihat berdasarkan pada beberapa hal yakni; Kecamatan Bahuga seperti kita ketahui adalah salah satu daerah yang menonjol pluralitas sosialnya baik dari segi agama maupun etnis dan budaya. Peran tokoh agama untuk mengembangkan dan memelihara eksistensi masing masing agama yang ada di Kecamatan Buay Bahuga maka setiap agama memiliki tokoh agama yang di sebut Ulama dari mubaligh, pastor, pendeta biksu dan sebagainya.

Suasana kerukunan beragama di Way Kanan tampak berbeda dengan daerah lain. Kerukunan umat beragama di

76

Way Kanan Kec. Buay Bahuga dikategorikan rawan konflik. Tetapi indikator tersebut tidak dapat dijadikan sebagai rujukan bahwa daerah ini selalu terjadi konflik, sebab setiap terjadi konflik selalu dipicu hal-hal yang bukan agama, tetapi faktor lain yang bisa berimplikasi pada masalah agama. Kerawanan konflik di Way Kanan Kec. Buay Bahuga disebabkan karena nilai-nilai budaya lokal kurang teraplikasikan dalam kehidupan. Padahal nilai-nilai kearifan lokal masyarakat di Way Kanan Kec. Buay Bahuga bisa menjadi nilai-nilai filosofi untuk menciptakan kerukunan beragama secara kondusif. Artinya, untuk menetralisir kondisi yang rawan konflik dapat dilakukan melalui pendekatan nilai-nilai lokal dengan melibatkan tokoh agama, masyarakat dan adat istiadat di daerah tersebut .

4. Lampung Barat

a. Demografis

Berdasarkan data statistik tahun 2004, jumlah penduduk Lampung Barat adalah 383.736 orang yang mendiami 14 wilayah kecamatan yaitu : Kecamatan PesisirSelatan, Bengkunat, Pesisir Tengah, Karya Penggawa, Pesisir Utara Lemong, Balik Bukit, Sukau, Belalau, Sekincau, Suoh, Batu Brak, Sumber Jaya dan Way Tenong. Dengan jumlah penduduk 383.736 orang, maka rata-rata kepadatan penduduk/Km2 di Lampung Barat adalah 77,52/Km2.

b. Kehidudupan Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan Kehidupan Beragama

Secara umum perekonomian masyarakat Kec. Pesisir Selatan masih tertinggal, sekalipun potensi yang ada masih memberi harapan untuk mengalami perkembangan.

77

Sektor kelautan merupakan sub sektor yang menjadi tumpuan hidup sebagian penduduk Lampung Barat, terutama yang mendiami wilayah yang berada di pantai. Akan tetapi penghasilan nelayan di tempat ini sangat fluktuatif karena jumlah tangkapan ikan sangat ditentukan oleh laut yang ditempat ini terkenal keganasannya. Dan teknologi penangkapan ikan yang dipakai masih sangat sederhana bahkan cenderung tradisional, sehingga juga sulit bagi penduduk yang menekuni profesi sebagai nelayan untuk dapat menjadikan Kabupaten ini sebagai tumpuan perekonomian.

Kemudian aspek kehidupan sosial politik dilihat pada beberapa faktor yang ada menjadikan kehidupan sosial politik di daerah ini kurang bergairah dibanding daerah lain. Tingkat partisifasi politik masyarakat didaerah ini cenderung rendah. Data yang ada menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden di tahun 2004 hanya berkisar 65%. Sementara Kehidupan Beragama, secara kuantitatif mayoritas penduduk Lampung Barat menganut agama Islam (99,38%), 0.21%penduduk beragama Kristen, 0.320% beragama Katolik, 0.15%beragama Hindu, dan 0.20% beragama Budha. Mereka yang menganut agama selain Islam umumnya adalah para pendatang yang sengaja memasuki daerah ini untuk mencari sumber penghidupan (motif ekonomi). Sedangkan penduduk asli daerah yang terdiri dari etnis Lampung, Semendo, dan Ogan 100% beragama Islam secara turun temurun. Kehidupan beragama penduduk di topang oleh sarana peribadatan berupa Masjid, Gereja, Pure, dan Wihara. Pembangunan sarana peribadatan ini sebagian besar merupakan swadaya masyarakat dan hanya sebagian kecil yang merupakan bantuan proyek pemerintah.

Kondisi kerukunan beragama di Lampung Barat Kec. Pesisir Selatan tergolong rukun. Hal ini dipengaruhi kultur

78

masyarakatnya yang hidup rukun. Aplikasi nilai-nilai agama dan adat istiadat masyarakat Lampung Barat Kec. Pesisir Selatan cukup baik. Dalam konteks kerukunan beragama, masyarakat dapat bekerjasama saling membantu untuk pembangunan rumah ibadah, demikian pula dalam upacara-upacara keagamaan terjadi toleransi dan solidaritas tinggi sehingga hampir semua masalah-maslah keagamaan, etnis, ras dan suku tidak dipersoalkan oleh masyarakat grass root.

79

Konflik dan Integrasi

1. Bandar Lampung

asyarakat Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa dan agama yang menyebar di

berbagai daerah, baik pusat kota maupun di daerah kecamatannya. Kemajemukannya itu ditandai dengan beragamnya suku bangsa yang ada hampir disemua kecamatan di Kota Bandar Lampung. Selain suku Lampung, ada suku Jawa, Banten, Sunda, Cina, Batak, Bugis, keturunan Arab, Padang, Palembang, Bali. Sedangkan agama yang dianut oleh masyarakat Kota Bandar Lampung terdiri dari beragam agama. Mayoritas masyarakat menganut agama Islam, selain itu ada agama Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Sedangkan di kalangan masyarakat keturunan Cina ada yang menganut kepercayaan Konghucu.

M

80

Sebagai Ibu Kota Propinsi, dengan mobilitas kehidupan masyarakatnya yang cukup tinggi, Kota Bandar Lampung tentu tidak lepas dari permasalahan masyarakatnya, dari tingkat kejahatan yang memprihatinkan sampai dengan bentuk-bentuk perselisihan kecil yang mengarah kepada konflik antar suku dan agama.3 Konflik yang bernuansa agama pernah terjadi di Kelurahan Pahoman Kecamatan Teluk Betung Utara, dimana warga yang memeluk agama Kristen menyelenggarakan acara kebaktian setiap minggu disebuah rumah yang mana disekitarnya merupakan masyarakat pemeluk agama Islam. Dapat diakui bahwa aktifitas sosial dan pendidikan di bawah yayasan Kristen dan Katolik berkembang pesat di Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara walaupun saat ini sudah ada perubahan orientasi di dalam pelayanannya. Misalkan, pada pelayanan rumah sakit, walaupun terjangkau oleh masyarakat namun ada perbedaan pelayanan bagi mereka yang beragama non Kristen atau Katholik.4

Perkembangan aktifitas sosial dan pendidikan masyarakat pemeluk Kristen dan Katholik di Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara cenderung membaik disertai dengan bertambahnya jumlah warga Kristen dan Katolik tersebut. Dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, jumlah pemeluk agama di Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara mengalami perubahan dengan variasi jumlah yang beragam, sebagai berikut :

3 Wawancara dengan Yogi S. Kasat Serse pada Kepolisian Kota Bandar Lampung, 16 Agustus 2005.

4 Wawancara dengan Ibu Amin (beragama Islam) yang menyekolahkan anaknya di SD Xaverius Pahoman dan Ibu Sakim (beragama Islam) yang penah menjadi pasien di Rumah Sakit Advent Kota Bandar Lampung, Agustus 2005.

81

Data Jumlah Pemeluk Agama dari Tahun 2000-2005

Tahun Islam Kristen Katolik Hindu BudhaJumlah(jiwa)

2005 620,583 25,879 15,554 1,641 24,892 688,5492003 728,012 20,942 18,682 6,119 13,145 786,9002002 623,977 21,039 18,781 6,502 13,191 683,4902001 623,532 21,029 18,771 6,474 13,185 682,9912000 621,191 19,976 16,906 5,491 13,229 676,793

Sumber : Dep. Agama Kota Bandar Lampung, 2005

Demikian halnya, Pola Integrasi di Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara masyarakat sudah seperti masyarakat perkotaan pada umumnya. Kehidupan sehari-hari dihabiskan untuk pekerjaannya, sehingga satu warga dengan warga yang lain kurang sekali berinteraksi. Interaksi masyarakat yang berada dalam satu kelurahan, terjalin dengan adanya pengajian di mesjid terdekat dengan jadwal yang telah ditentukan, biasanya satu minggu sekali, kegiatan-kegiatan hari besar agama Islam misalnya Maulid Nabi Muhammad dan kegiatan tujuh belasan. Untuk itu, masyarakat Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara dapat dikategorikan rukun atau integratif. Dikategorikan rukun atau integratif karena situasi dan kondisi dimana semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok kepentingan, bersatu padu dalam menghadapi semua persoalan bersama dengan mengedepankan hak azasi manusia, keadilan hukum, nilai-nilai budaya yang berlaku, kebersamaan, kesederajatan, dan penghargaan atas keyakinan sesama warga. Adapun konflik atau pemicu konflik yang ada, sampai saat ini tidak mencuat kepermukaan.

Adapun faktor-faktor penyebab kerukunan atau integratif tersebut adalah (1) adanya toleransi serta pemahaman setiap warga masyarakat, baik masyarakat setempat maupun masyarakat pendatang yang membawa

82

beragam budaya dan agama (2) adanya interaksi yang kurang antar warga menyebabkan warga menjadi acuh, mereka berpendapat asalkan keberadaannya tidak diganggu oleh warga lain. Langkah-langkah solusi yang telah dilakukan untuk menjaga kerukunan ini meliputi; diadakannya dialog antar tokoh agama dan mengadakan suatu kerjasama dengan beberapa tokoh agama di KotaBandar Lampung dimana penyelenggaranya adalah Nahdatul Ulama Propinsi Lampung. Kegiatan ini diadakan dalam upaya mensikapi hasil Pemilu tahun 2004 yang dapat memicu keresahan dan perpecahan di dalam masyarakat Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara dan kerjasama antar umat beragama melalui LSM Damar, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang interest terhadap perempuan korban kekerasan, tanpa membedakan agama maupun suku. Salah satu kegiatannya adalah acara doa bersama untuk kebersamaan warga Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara yang masing-masing dipimpin oleh imam dari 5 agama dan dialog antar umat beragama mensikapi kondisi perempuan di Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara. Kemudian dari pemerintah melalui Kantor Departemen Agama di Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara, diadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai kerukunan umat beragama dengan peserta penyuluhan adalah tokoh-tokoh agama yang berada di lingkungan Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara.

Kecenderungan Pola Hubungan Antar Umat Beragama di masa mendatang dapat didasarkan pada realitas toleransi yang digambarkan selama ini di Kota Bandar Lampung, bahwa pluralisme di dalam masyarakat Kota Bandar Lampung, tidak dimaksudkan sebagai pluralisme ekstrem. Kerukunan hidup beragama di Kota Bandar Lampung dipengaruhi oleh faktor-faktor karena adanya

83

saling pengertian dan saling memahami di dalam masyarakat. Kerukunan masyarakat Kota Bandar Lampung akan tetap terjaga asalkan menggunakan pendekatan budaya lokal (budaya Lampung). Pendekatan budaya Lampung diperlukan dalam upaya mengantisipasi konflik sosial dalam masyarakat. Paling tidak ada empat potensi budaya lokal yang perlu digali untuk keperluan tersebut. Pertama pi’il pesengiri5 yang memiliki nilai falsafah dan telah berkembang menjadi adat istiadat. Meski ada pendapat yang mengemukakan, piil pesengiri sudah teraktualisasi dalam berbagai upacara seremonial berupa acara daur hidup dan perilaku sehari-hari. Kedua Sakai Sambayan6 yang memiliki unsur untuk mengutamakan tolong menolong. Ketiga Nemui Nyimah7 yang merupakan sikap yang terbuka bagi semua orang dan keempat tradisi kemuakhian berfungsi sebagai forum

5 Pi’il Pesengiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri,prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun secara berkelompok yang senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang (Lampung) dapat mempertaruhkan apa saja (termasuk nyawanya) demi untuk mempertahankan Pi’il Pesengiri tersebut. Sealin itu dengan Pi’il Pesengiri seseorang dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, kendatipun hal itu merugikan dirinya secara materi, Lampung Dalam Angka 2002.

6 Sakai Sambayan meliputi beberapa pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain dan hal tersebut tidak terbatas pada sesuatu yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam artimoril termasuk sumbangan pemikiran dan sebagainya. Lampung Dalam Angka 2002.

7 Nemui Nyimah berarti bermurah hati dan ramah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompok maupun terhadap siapa saja pihak yang berhubungan dengan mereka. Jadi bermurah hati dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga bermurah hati dalam bertutur kata serta sopan santun dan ramah tamah terhadap tamu mereka. Lampung Dalam Angka 2002.

84

musyawarah antar marga, yang mempertemukan berbagai pimpinan marga untuk membicarakan masalah sosial setempat (keamanan kampung, persoalan tanah, hak ulayat, persiapan upacara keagamaan tapi tidak untuk membicarakan masalah adat). Forum kemuakhian semacam itu bisa dilakukan di masjid, gedung pertemuan desa atau balai adat (sesat).

Hubungan antar umat beragama di Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara secara umum dapat disimpulkan rukun sekali, namun pembinaan/ pengarahan kepada warga masyarakat masih sangat dibutuhkan. Mengingat, pada beberapa segi tertentu ditemukan adanya gejala kerancuan dalam memahami prinsip kerukunan beragama, yang mengesankan seolah-olah yang dirukunkan agamanya. Penyelenggaraan do’a untuk umat lain dalam upacara yang berkenaan dengan siklus hidup manusia, merupakan persoalan yang sering muncul di kalangan warga masyarakat setempat.

2. Tanggamus

Kehidupan intern penganut agama di wilayah Kecamatan Pringsewu, secara umum diperoleh gambaran yang menunjukkan adanya suasana hubungan harmonis dan kondusif. Kondisi itu didukung oleh eratnya jalinan kerja sama di kalangan intern masing-masing kelompok agama, baik dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan maupun dalam melakukan aktivitas sosial. Kondisi hubungan antar kelompok-kelompok penganut agama di Kecamatan Pringsewu tidak jauh berbeda dengan kondisi intern umat beragama , yaitu telah terbina dengan baik, ditandai dengan suasana damai dan rukun, atau tidak munculnya konflik-konflik sosial bernuansa agama yang dapat mengganggu keharmonisan hubungan antar umat beragama. Ketegangan-ketegangan emosional yang

85

bersumber dari perbedaan agama menunjukkan tingkat yang sangat minim, demikian pula segregasi atau pun alienasi yang disebabkan kondisi mayoritas dan minoritas sulit untuk ditemukan.

Kemudian hubungan di sekitar antar umat beragama dengan Pemerintah dapat dikatakan telah mendekati kondisi idealnya. Di wilayah ini belum terdengar adanya ketegangan antara rakyat dengan pemerintah setempat akibat beda persepsi terhadap suatu kebijakan bidang tertentu, termasuk bidang agama. Selain itu tidak pernah ada gerakan-gerakan tertentu yang menentang pimpinan Kecamatan, baik secara individu maupun institusional. Kondisi yang mendekati ideal itu, juga ditunjukkan dengan terbinanya jalinan komunikasi dan kerjasama timbal balik antara pemerintah dengan warga masyarakat’ serta lancarnya roda pembangunan, baik berupa pembangunan fisik maupun non fisik.

Hubungan antarumat beragama pada tataran pribadi dalam bentuk pertemanan, pertetanggaan dan kekerabatan merupakan salah satu wujud kongrit kerukunan kehidupan beragama. Hal itu didasarkan adanya pertautan orientasi dan persamaan nilai-nilai budaya yang berasal dari tiap-tiap kelompok masyarakat serta adanya timbal balik antara satu kelompok dengan lainnya dalam sector ekonomi. Sementara itu, langkah-langkah solusi yang telah dilakukan untuk menjaga kerukunan ini adalah (1) diadakannya dialog dan kerjasama antar tokoh agama di Tanggamus. (2) melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan peringatan hari besar agama. (3) sedangkan dari pemerintah sendiri melalui Kantor Departemen Agama Tanggamus, diadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai kerukunan umat beragama dengan peserta penyuluhan adalah tokoh-tokoh agama setempat.

86

3. Way Kanan

Masyarakat Way Kanan, khususnya di Kecamatan Buay Bahuga tampak rukun, aman, dan damai meski menghimpun keragaman masyarakat, etnis, suku, budaya, dan agama yang begitu kentara akan tetapi masyarakat sendiri dapat membina suasana kerukunan diantara mereka berdasarkan norma kearifan lokal.

Secara tidak langsung di Kecamatan Buay Bahuga telah terbentuk beberapa lembaga yang menangani masalah-masalah kehidupan sosial khususnya yang berkenaan dengan kerukunan hidup beragama diantaranya Lembaga kerukunan umat beragama yang terbentuk tahun 2000 aktif melakukan kegiatannya diantaranya; mengadakan dialog-dialog antar umat beragama, menyerukan himbauan bersama pemuka-pemuka agama, melaksanakan pengkajian untuk hidup rukun antar umat beragama. Begitu juga dengan generasi muda khususnya remaja Kecamatan Buay Bahuga yang mengadakan perkumpulan pemuda kerukunan umat beragama.

Selain pembinaan yang mengarah kepada kerukunan terdapat juga hal-hal yang dapat dianggap memiliki potensi kearah konflik di Kecamatan Buay Bahuga diantaranya; Rendahnya pemahaman keagamaan yang umumnya masih pada tataran simbolik, budaya minum-minuman keras oleh masyarakat tertentu yang tanpa mengindahkan lingkungan, menggunakan pengeras suara di masjid-masjid yang kurang memperhatikan ketentuan yang sudah ada, pendirian rumah ibadah yang masih belum memperhatikan aturan contoh rumah di jadikan Gereja yang terletak dilingkungan mayoritas beragama Islam, Fanatisme terhadap agama yang dianutnya sehingga sikap kurang menghargai terhadap agama lain, Kurangnya saling pengertian antara sesama masyarakat.

87

Dalam proses perkembangan sosial masyarakat kemungkinan lahir perbedaan-perbedaan yang ada telah melahirkan kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial yang antara satu sama lain sangat kontras. Oleh karenanya, konflik antar umat beragama dapat muncul karena adanya tarik menarik kepentingan, perebutan kebutuhan material dan benturan antara keyakinan gagasan, kebijakan dan nilai sosial budaya yang dianut kelompok satu dengan yang lain.

Kecamatan Buay Bahuga Way Kanan tentu tidak lepas dari permasalahan masyarakatnya dari tingkat kejahatan memprihatinkan sampai dengan bentuk-bentuk perselisihan yang mengarah konflik antar suku dan agama. Konflik yang bernuansa agama pernah terjadi di desa Wonoharjo, Runyai dan Sukadana, yakni ketika warga beragama kristen mengadakan acara kebaktian di rumah penduduk yang berada ditempat yang penduduknya mayoritas Islam. Selain itu, kawin beda agama yang bermotif misi agama juga menjadi pemicu konflik dan bersifat laten.

Langkah-langkah solusi yang telah dilakukan untuk menjaga kerukunan ini adalah (1) diadakannya dialog antar tokoh agama dan mengadakan suatu kerjasama dengan beberapa tokoh agama. Bedasarkan realitas toleransi yang digambarkan selama ini di daerah ini, dapat disimpulkan bahwa pluralisme di dalam masyarakat tidak dimaksudkan sebagai pluralisme ekstrem. Pluralisme yang perlu dan harus dikembangkan melalui sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajemukan di masa depan.

88

4. Lampung Barat

Suasana kehidupan Lampung Barat terdapat kesamaan pandangan tentang bagaimana batasan hubungan sosial antar pemeluk agama. Perbedaan latar belakang agama bukanlah menjadi penghambat mereka untuk saling bekerja sama di segala bidang sosial keagamaan dan kemasyarakatan.8

Dalam bidang sosial ekonomi, pemeluk antar agama juga dapat bekerja sama, mereka melakukan transaksi jual-beli, bahkan tidak jarang seorang pedagang memiliki pelanggan yang berbeda agama dengannya. Dalam pandangan mereka agama tidak menjadi pertimbangan dalam hubungan sosial ekonomi, tetapi yang dijadikan pertimbangan adalah harga dan pelayanan.9

Keharmonisan hubungan antar pemeluk agama ini dipupuk dengan selalu mengedepankan sikap saling harga-menghargai terhadap keyakinan agama orang lain. Dalam suatu kesempatan seorang warga masyarakat yang beragama Hindu mengundang warga yang beragama Islam dalam sebuah acara. Untuk menghargai warga yang beragama Islam dan untuk menghindari prasangka yang tidak baik, tuan rumah dalam menyiapkan jamuan makan tidak berkeberatan memesan makanan di Rumah Makan.10

Dalam bidang politik, masyarakat Lampung Barat tetap memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa daripada hanya memikirkan kepentingan kelompoknya

8 Hasil wawancara dengan Bapak Kusnan, tokoh masyarakat dusun Handop, marang tgl 25 Agustus 2005.

9 Hasil wawancara dengan Bapak H. Abu, tokoh masyarakat Desa Wayjambu dan Bapak Turi, warga Hindu desa Marang, tgl 27Agustus 2005.

10 Hasil Wawancara dengan Bapak Turi, ibid.

89

saja. Sehingga mereka tidak sepakat jika untuk mencari kedudukan atau jabatan harus dengan mengorbankan jiwa yang disebabkan konflik-konflik berdarah. Mereka sepakat jika ada persaingan, tetapi persaingan itu harus dilandasi dengan sportifitas dan secara sehat. Namun demikian, kerjasama antar organisasi keagamaan masih perluditingkatkan lagi.

Faktor-faktor penyebab kerukunan/konflik dipengaruhi latar belakang sosial budaya, memberikan andil yang cukup besar atas terbinanya kerukunan kehidupan beragama di Lampung Barat, kenyataan itu terjadi karena adanya pertautan orientasi dan persamaan nilai-nilai budaya yang berasal dari tiap-tiap kelompok masyarakat, baik yang tergolong mayoritas maupun minoritas. Kemudian sebagai orang yang beragama prilakunya tentu tidak lepas dari nilai-nilai agama yang dianut. Agama diturunkan bukan semata agar manusia mengenal Penciptanya, tetapi juga dijadikan dasar dalam membina hubungan antara sesama, mewujudkan kedamaian dan ketertiban dikalangan umat manusia itu sendiri. Kemudian pola Hubungan Antar Umat Beragama tampak pada pergaulan antar umat beragama di Kabupaten Lampung Barat berlangsung dengan normal dan lebih didasari oleh pertimbangan pragmatis. Seperti dalam hubungan dagang, interaksi dan transaksi jual beli antara pedagang dengan pembeli, begitu juga transaksi pinjam meminjam uang antara debutur dan kreditur yang berbeda agama sekalipun, berlangsung semata-mata atas pertimbangan kepentitngan laba rugi kedua belah pihak. Pedagang yang beragama Hindu tetap secara kontinyu membina hubungan baik dengan pelanggan yang beragama Islam, semata-mata karena hubungan dagang dengan tidak mempertimbangkan faktor agama.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah sebagai stakeholders adalah dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh

90

masyarakat untuk bersama-sama membicarakan pendekatan dan solusi apa yang akan diambil dalam rangka penyelesaian konflik tersebut. Pada tahun 2001 yang lalu Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Departemen Agama telah memfasilitasi terbentuknya “Forum Komunikasi Antar Ummat Beragama”. Forum ini dibentuk bertujuan sebagai wadah untuk menjalin kerukunan dan kerjasama antar ummat beragama di Lampung Barat.11

Dambaan masyarakat Desa Marang Lampung Barat untuk bisa hidup rukun, damai di tengah-tengah heterogenitas agama, suku, ras, budaya dan bahasa tidaklah sulit, karena langkah kebersamaan di antara mereka sudah terbangun dengan baik. Sikap kegotongroyongan masih sangat kental, mereka memberikan pertolongan kepada saudara mereka yang membutuhkan pertolongan, seperti membangun rumah, membersihkan lingkungan kampung, ronda malam, bahkan mereka saling mendatangi ketika ada di antara warga yang mengadakan pesta perkawinan, kendurenan atau selamatan. Dalam hidup bermasyarakat mereka bersahabat dengan baik, tolong menolong antar sesama dan saling hadir-menghadiri dalam suatu acara . Sedangkan sebagian kecil lainnya dalam berhubungan sosial kemasyarakatan masih tetap mempertimbangkan perbedaan agama, ras, suku, budaya dan bahasa sehingga masih terkesan eksklusif.

11 Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. Karbito, Kasi Penamas dan Pokontren Kandepag Lampung Barat, tgl 26 Agustus 2005.

91

Sikap antar Kelompok Tentang Pola Hubungan Sosial Keagamaan

ikap antar kelompok tentang pola hubungan sosial keagamaan tampak memiliki kecenderungan masing-masing sesuai fluktuasi interkasi sosial masyarakat di

Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Utara), Tanggamus (Kecamatan Pringsewu), Way Kanan (Kecamatan Bahuga), dan Lampung Barat (Kecamatan Pesisir Selatan). Namun secara garis besar dari beberapa aspek untuk menelaah hubungan antar kelompok umat beragama. Satu diantaranya adalah hubungan antar organisasi keagamaan. Umat beragama diorganisir menurut agamanya masing-masing, 80 persen responden berpendapat sangat setuju bahwa diperlukan pertemuan berkala dalam upaya menjaga kerukunan kehidupan beragama. Karena kemajemukan suatu komunitas masyarakat dalam hal agama, etnis, tradisi dan bahasa, maka 80 persen responden berpendapat sangat setuju

S

92

untuk membentuk wadah kerukunan kehidupan beragama di seluruh Indonesia. Selama ini kerjasama antar organisasi keagamaan di tingkat pusat cukup baik, bahkan sangat baik. Mereka sering duduk bersama dalam membicarakan persoalan masa depan bangsa. Dalam hal ini 80 persen responden berpendapat, mestinya organisasi keagamaan di tingkat bawahnya harus mengikuti contoh kerukunan dari tokoh organisasi keagamaan tersebut.

Sedangkan dalam hal adanya sebagian kecil kelompok organisasi keagamaan yang sangat ekspansif dan bersemangat dalam mengembangkan agamanya dan mereka menggunakan cara-cara yang tidak disukai oleh kelompok agama lain, maka 80 persen responden menjawab sangat tidak setuju jika kelompok ini dibiarkan saja. Dalam hubungan antar organisasi kepemudaan keagamaan, 80 persen responden berpendapat bahwa selama ini hubungan organisasi kepemudaan cukup baik dan perlu dikembangkan. Dan 80persen responden menjawab sangat setuju jika diantara organisasi kepemudaan keagamaan mestinya sering bertemu dan berdialog untuk membicaraka masa depan bangsa ini sesuai aspirasi pemuda. Sedangkan dalam pemilihan Karang Taruna di suatu desa atau kelurahan, sebanyak 80 persen responden menjawab bahwa tidak perlu melihat agamanya tetapi melihat kualitas dan kemampuannya.

93

Analisis Temuan Penelitian

emuan-temuan penelitian ini dieksplorasi melalui analisis bahwa secara umum peta kerukunan umat beragama di wilayah Lampung, khususnya pada 4

kabupaten sebagai representasi yakni; Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Utara), Tanggamus (Kecamatan Pringsewu), Way Kanan (Kecamatan Bahuga), dan Lampung Barat (Kecamatan Pesisir Selatan) bahwasanya, pluralisme masyarakat adalah sebuah realitas eksistensi yang terbentuk dari perbedaan yang ada secara kodrati dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Sebuah masyarakat terdiri dan terbentuk dari banyak orang yangmerupakan warganya. Kalaupun ada sebuah masyarakat tradisional yang dianggap homogen namun pasti homogenitasnya itu relatif sifatnya sebab di dalamnya pasti ada unsur-unsur yang berbeda sehingga tidak terelakan adanya heterogenitas betapapun kecilnya. Apa lagi di Kota Bandar Lampung yang memang memiliki realitas

T

94

kemajemukan, tentunya banyak sekali perbedaan-perbedaan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.

Dalam penelitian ini digunakan empat kategori kerukunan. Pertama, campuran. Kondisi ini tampak pada masyarakat Bandar Lampung yang juga ibukota provinsi Lampung. Kedua, Tanggamus termasuk daerah sedang. Ketiga,Way Kanan dikategorikan masuk dalam kelompok rawan konflik. Keempat, Lampung Barat digolongkan daerah yang rukun. Klasifikasi tersebut didasarkan berdasarkan data lapangan yang dilakukan tim peneliti pada masing-masing daerah tersebut. Gambaran kerukunan beragama secara umum di Lampung dikategorikan rukun dengan asumsi tipologi masyarakat Lampung (pribumi) dan masyarakat pendatang dapat hidup rukun dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya kerukunan antar umat beragama.

Sebagai sebuah masyarakat yang cukup dinamis yang hidup di kota dan relatif pesat perkembangannya, masyarakat kota Bandar Lampung bagaimanapun bukanlah sebuah kumpulan makhluk organus yang statis yang tidak mengalami perubahan. Perubahan itu baik berlangsung alami atau direncanakan tentu sangat bervariasi coraknya sehingga makin memperkaya dan menambah kompleksitas perbedaan.

Dalam perspektif masyarakat Lampung yang multi etnik perlu disadari bahwa masing-masing etnik tentu memiliki identitas budayanya sendiri. Selain itu kehadiran berbagai agama yang menjadi anutan masyarakat kita telah memperkaya kemajemukannya. Dari berbagai keragaman yang ada masyarakat Lampung umumnya menyebut Islam sebagi identitas baik bagi kalangan penduduk asli suku Lampung maupun suku pendatang. Bagi penduduk asli, Islam merupakan identitas memang sudah diakui oleh warga masyarakat, negara maupun pemerintah, dari aspek agama,

95

suku Lampung identik dengan Islam. Oleh karena itu agama bagi warga Lampung merupakan manifestasi dari suatu keyakinan yang paling mendasar dalam kehidupan sekaligus kebutuhan yang asasi dalam realitas secara individual maupun komunal. Fakta menunjukan mayoritas penduduk Lampung beragama Islam. Tetapi tidak berarti di lampung tidak terdapat pemeluk agama lain seperti Hindu, Budha, Katolik dan Kristen.

Berdasarkan realitas toleransi yang digambarkan selama ini di beberapa wilayah tersebut mengindikasikan pluralisme di dalam masyarakat Lampung, tidak dimaksudkan sebagai pluralisme ekstrem. Pluralisme yang perlu dan harus dikembangkan adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap pluralistik yakni sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajemukan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat di Lampung saling berinteraksi secara alamiah dalam proses yang saling memperkaya dan diharapkan akan melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka, multikulturalis yang tidak hanya mengakui tetapi juga memberi tempat terhadap keragamanan budaya dan agama dalam masyarakat Lampung sebagai perwujudan dari pluralisme.

Dalam proses perkembangan sosial masyarakat di Lampung, perbedaan-perbedaan yang ada telah melahirkan kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial yang antara satu sama lain sangat kontras. Oleh karenanya, konflik antar umat beragama dapat muncul karena adanya tarik menarik kepentingan, perebutan kebutuhan material dan benturan antara keyakinan gagasan, kebijakan dan nilai sosial budaya yang dianut kelompok satu dengan yang lain. Dengan kata

96

lain konflik antar umat beragama tidak selalu disebabkan oleh faktor keagamaan, tetapi juga faktor kepentingan yang sifatnya non agama.

Dalam kehidupan keberagamaan masyarakat di masing-masing wilayah penelitian ini menunjukkan adanya hubungan sosial antar kelompok keagamaan sudah cukup kondusif, dan masing-masing umat beragama memiliki integritas yang tinggi untuk terwujudnya kerukunan kehidupan beragama. Kerukunan hidup antar umat beragama dapat diwujudkan dengan baik tidak terlepas dari peran hubungan antar organisasi. Salah satunya organisasi kepemudaan. Organisasi kepemudaan dapat mengkader para pemuda untuk menjadi pemimpin masa depan bangsa, karena itu, eksistensi organisasi kepemudaan tetap memelihara kerukunan, menghormati perkembangan agama pada masyarakat, menempa diri dengan berbagai ilmu dan pengalaman, sehingga menjadi generasi yang berprestasi tanpa mendeskriditkan agama-agama lain.

Hubungan antar kelompok agama yang dapat dijadikan tolak ukur kerukunan kehidupan beragama, antara lain dapat dilihat dari aspek hubungan antar organisasi keagamaan, dan antar organisasi pemuda keagamaan. Kerukunan hidup antar umat beragama dapat terpelihara melalui upaya-upaya yaitu; mengadakan pertemuan yang sifatnya berkala dan berkesinambungan khususnya bagi organisasi keagamaan dalam upaya menjaga kerukunan kehidupan beragama. Adanya wadah kerukunan kehidupan beragama yang personelnya terdiri dari berbagai penganut agama, etnis, tradisi dan bahasa. Menciptakan kerjasama antar organisasi keagamaan, menghindarkan diri dari menyalahkan dan mengkafirkan paham lain dan atau golongan lain, dan setiap organisasi keagamaan bertindak bijaksana dalam mengembangkan agamanya, sehingga tidak menimbulkan desintegrasi. Demikian halnya hubungan antar

97

organisasi pemuda keagamaan memberi kontribusi positif dalam menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama. Kontribusi ini diwujudkan dalam bentuk hubungan antar organisasi pemuda keagamaan telah berjalan dengan baik, mengadakan pertemuan dan dialog dalam membahas masa depan bangsa sesuai dengan aspirasi pemuda. Organisasi sosial kemasyarakatan (karang taruna) menempatkan personel atas dasar kualitas dan kemampuan pribadinyatanpa memandang asal agama yang dianut.

98

Kesimpulan dan Rekomendasi

ari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kota Bandar Lampung, khususnya di Kecamatan Teluk Betung Utara dapat dikategorikan

rukun atau integratif. Dikategorikan rukun atau integratif karena situasi dan kondisi dimana semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok kepentingan, bersatu padu dalam menghadapi semua persoalan bersama dengan mengedepankan hak azasi manusia, keadilan hukum, nilai-nilai budaya yang berlaku, kebersamaan, kesederajatan, dan penghargaan atas keyakinan sesama warga. Adapun konflik atau pencetus konflik yang ada, sampai saat ini tidak mencuat kepermukaan.

Bedasarkan realitas toleransi yang digambarkan selama ini di Kota Bandar Lampung, dapat disimpulkan bahwa pluralisme di dalam masyarakat Kota Bandar Lampung di Kecamatan Teluk Betung Utara, tidak dimaksudkan sebagai pluralisme ekstrem. Pluralisme yang perlu dan harus dikembangkan adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap pluralistik yakni sikap yang bersedia

D

99

menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajemukan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat di Kota Bandar Lampung di Kecamatan Teluk Betung Utara saling berinteraksi secara alamiah dalam proses yang saling memperkaya dan diharapkan akan melahirkan sebuah masayarakat majemuk yang terbuka, multikulturalis yang tidak hanya mengakui tetapi juga memberi tempat terhadap keragamanan budaya dan agama dalam masyarakat Kota Bandar Lampung di Kecamatan Teluk Betung Utara. Kondisi masyarakat ini harus diarahkan pada upaya menumbuhkan kesadaran bahwa pluralitas itu alamiah dan kerukunan dalam keragaman adalah kebutuhan masyarakat modern, meningkatkan pemahaman dasar tentang aspek-aspek kehidupan keagamaan dan etnisitas setempat dan memberi bekal praktis berkenaan teknik-teknik dasar hidup rukun atau pengelolaan konflik.

Demikian halnya di Tanggamus (Kecamatan Pringsewu). Aktivitas kehidupan beragama masyarakat di Kecamatan Pringsewu berjalan dengan baik, semua penganut kelompok keagamaan dapat melaksanakan ibadah, aktivitas sosial dan keagamaan, sesui keyakinan dan agamanya masing-masing secara kondusif. Tingkat hubungan antar umat beragama di Kecamatan Pringsewu secara umum dapat dikatakan rukun, kendatipun dalam hal-hal tertentu masih ada persoalan-persoalan khusus yang perlu mendapatkan pembinaan.

Faktor-faktor penyebab naik turunnya kualitas hubungan antar umat beragama, dari sekian banyak faktor yang paling dominan adalah faktor sosial budaya, politik dan sosial ekonomi. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka kecenderungan hubungan antar umat beragama di Kecamatan

100

Pringsewu ke depan, kondisinya akan tetap rukun dan lebih baik, bila mendapat pembinaan dan pengarahan dari semua fihak. Pembinaan dan pengarahan yang telah dilakukan terhadap hubungan antar umat beragama, selain melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang terdapat dalam peraturan dan perundang-undangan, juga mengadakan kegiatan-kegiatan khusus untuk membina kerukunan kehidupan beragama, dan melibatkan unsur kelompok penganut agama dalam acara peringatan hari-hari besar nasional untuk terwujudnya kebersamaan.

Kemudian potensi konflik yang berkaitan langsung dengan masalah agama pada umumnya menyangkut etika komunikasi diantara masing-masing pemeluk agama yang berkenaan dengan penyebaran agama yang dianggap menyalahi ketentuan yang telah disepakati. Disisi lain, hubungan antara umat beragama di Kabupaten Lampung Barat Kecamatan Pesisir Selatan terjadi pada aktifitas sosial masyarakat. Pada pelaksanaan acara-acara keagamaan, kenyataannya ketidak-engganan masyarakat untuk mengundang penganut agama yang berbeda sekalipun dan juga tidak segan untuk hadir dan mengikuti seremoni yang sebenarnya sarat dengan nuansa ritual itu, jika diundang oleh tetangga atau kenalan yang menganut agama yang berbeda. Dimasa mendatang ada berberapa upaya bagi kerukunan masyarakat Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Utara), Tanggamus (Kecamatan Pringsewu), Way Kanan (Kecamatan Bahuga), dan Lampung Barat (Kecamatan Pesisir Selatan) dalam menjawab pluralistas keagamaan itu. Penyuluhan dan pembinaan di bidang kerukunan kehidupan beragama perlu terus ditingkatkan, terutama berkenaan dengan hubungan antar umat beragama dalam tataran pribadi, yaitu pertemanan, pertetanggaan dan kekerabatan, agar prinsip-prinsip kerukunan kehidupan beragama dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

101

Daftar Pustaka

BPS Kabupaten Tanggamus, Produk Domistik Regional Bruto Kecamatan Se- Kabupaten Tanggamus 2002-2003

--------------, Penduduk Kabupaten Tanggamus, Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000.

--------------, Kecamatan Pringsewu Dalam Angka 2003.

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, CV. Rajawali, Jakarta, 1992.

Hilman Hadikusuma, Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung, Mandar Maju, Bandung, 1989.

KUA Kecamatan Pringsewu, Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pringsewu Kabupaten Tanggamus, 2005.

Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penyiaran Agama, Bantuan Kepada Lembaga Keagamaan Dan Pendirian Tempat-tempat Ibadat, Proyek Penerangan, Bimbingan Dan Da’wah/Khutbah Agama Islam Propinsi Lampung, 1981/1982.

102

BAGIAN 4

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI JAMBI

Tim Peneliti

Muntholib SmHilmiAhsanul KhalikinRasitoEvi Sopandi

104

Gambaran UmumWilayah Penelitian

A. Kecamatan Kota Baru Kota Jambi1. Demografis

ecamatan ini luasnya 77,78 km 2 terdiri dari 241 RT dan 10 kelurahan yaitu: Kelurahan Kenali Besar 32 RT, Kelurahan Rawasari 22 RT, Kelurahan Simpang III

Sipin 37 RT, Kelurahan Suka Karya 17 RT, Kelurahan Kenali Asam Bawah 26 RT, Kelurahan Kenali Asam Atas 23 RT, Kelurahan Pal V 28 RT, Kelurahan Bagan Pete19 RT, Kelurahan Beliung 12 RT, dan Kelurahan Mayang Mengurai 25 RT.

Kecamatan Kota Baru menurut Sensus Penduduk tahun 2000 berpenduduk 82.015 jiwa. Penduduk tersebut terdiri dari

K

105

81.947 WNI (41.572 laki-laki, 40.375 perempuan) dan 474 NNA (246 laki-laki, 228 perempuan) dengan kepadatan penduduk 1.153 jiwa/km2 Penduduk Kecamatan Kota Baru Kota Jambi secara rinci seperti tabel berikut :

2. Kehidupan KeagamaanAgama yang hidup di Kecamatan Kota Baru adalah

Islam (91,74)%, Katholik (2,32%), Kristen (3,70%), Hindu (1,28%), Buddha (0,3%), Khong Hu Chu dan lain-lainnya (1,0%). Yang terakhir ini dalam pencatatan oleh pihak pemerintah tampaknya belum termasuk dalam administrasi politik dan pemerintahan.

Secara umum kehidupan beragama relatif rukun dan tidak pernah ada konflik terbuka yang bersumber pada ajaran agama yang hidup di daerah ini. Potensi konflik terjadi antara Muslim dan Kristen dalam masalah pendirian tempat ibadah karena surat edaran Gubernur menyaratkan suatu tempat ibadah baru dapat didirikan bila di sekitar tempat ibadah yang akan didirikan ada 40 kepala keluarga dari pemeluk agama yang bersangkutan. Pihak Kristen membantu membuat jalan dalam komunitas muslim yang kebetulan terisolir dan imbalannya dapat mendirikan tempat ibadah di sekitar komunitas tersebut.

B. Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi1. Keadaan Demografis.

Penyebaran penduduk menunjukkan keadaan yang tidak merata, karena wilayahnya kebanyakan perkebunan sawit dan karet. Penduduk Kec. Sungai Bahar berdasarkan Sensus tahun 2003 berjumlah 51.373 orang, terdiri dari laki-laki 26.021 jiwa dan perempuan 25.352 jiwa terhimpun dalam 12.352 KK.

Kec. Sungai Bahar termasuk penerima transmigran yang cukup banyak Daerah Transmigrasi itu sekarang sudah

106

banyak yang berhasil meningkatkan Pendapatan Anggaran Daerah baik tingkat II maupun tingkat I, seperti Rimbo Bujang, Kuamang Kuning, Pemenang, Singkut, dan Sungai Bahar.

2. Kehidupan Keagamaan.Agama yang hidup di Kec. Sungai Bahar adalah Islam,

Katholik, Protestan, Hindu, dan Khong Hu Chu. Yang terakhir ini dalam pencatatan oleh pihak pemerintah tampaknya belum termasuk dalam administrasi politik dan pemerintahan Kec. Sungai Bahar. Selain itu ada agama yang dalam istilah antropologi dikatakan agama lokal yaitu agama yang dianut oleh masyarakat sederhana seperti orang Kubu (orang Rimba dan Anak Dalam) juga tidak termasuk dalam kategori agama yang dicatat oleh pihak kecamatan. Agama yang dianut masyarakat Kecamatan Sungai Bahar adalah: Islam 52.643 orang, Katholik 479 orang, Protestan 436 orang, dan Hindu/Budha/Kepercayaan 346 orang. Tempat Ibadah seperti Masjid 66 buah, Musholla 155 buah, Gereja 6 buah.

Sarana Pendidikan agama Islam: Pondok Pesantren 4buah, Pengajian sesudah Magrib 175 buah, TPA 2 buah. Pegawai Syara’ mendapat bantuan dari Pemda Muaro Jambi, mereka itu ialah : Da’I : 2 orang, Guru MIS 20 orang, Guru Ngaji 17 orang, Imam 24 orang, Khotib 24 orang, Bilal 24orang.

Lembaga pendidikan Islam yang lain adalah Badan Koordinasi Majelis Ta’lim dan kelompok Yasinan yang ada di setiap desa. Majlis Ta’lim pesertanya ibu-ibu dan remaja putri, sedangkan Kelompok Yasinan dikuti oleh bapak-bapak dan ibu-ibu dalam arti ada kelompok khusus laki-laki dan ada kelompok khusus perempuan.

Secara umum kehidupan beragama relatif rukun dan belum pernah terjadi konflik terbuka yang bersumber pada ajaran agama yang hidup di daerah ini. Namun potensi konflik terjadi antara Muslim dan Kristen karena ke dua

107

agama ini adalah agama dakwah yang mewajibkan masing-masing umatnya untuk mengembangkan ajaran agamanya. Potensi konflik dapat terjadi di semua desa dalam Kec. Sungai Bahar.

C. Kecamatan Kayu Aro Kabupaten KerinciPenduduk Kecamatan Kayu Aro menurut Sensus tahun

2004 berjumlah 87.477 jiwa, terdiri dari 41.338 laki-laki dan 46.139 perempuan. Kec. Kayu Aro luasnya 78,481 km 2 terdiri dari 40 desa, secara administratif, Kec. Kayu Aro dibagi dalam 40 desa dengan berbagai perbedaan perkembangannya masing-masing, baik karena potensi geografis, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun karena pembangunan prasarana pada masing-masing desa.

Sampai saat ini, masyarakat Kec. Kayu Aro masih bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan rakyat. Dengan potensi lahan yang terbatas, sangat sulit menjadikan sektor pertanian sebagai sumber utama penggerak roda perekonomian. Memang terdapat beberapa potensi sumberdaya alam dan pertambangan yang belum dikembangkan secara optimal, baik dilihat dari aspek pemanfaatannya bagi pembangunan daerah/wilayah maupun dilihat dari aspek pembangunan yang berkelanjutan, akan tetapi untuk mengeksploitasinya memerlukan nilai investasi yang tidak sedikit.

Satu di antara banyak karunia alam yang sangat potensial dikembangkan adalah keindahan alamnya. Kecamatan Kayu Aro dikenal sebagai Kecamatan yang memiliki panorama terindah di Kabupaten Kerinci. Keindahannya menjadi terkenal dengan keberadaan Gunung Kerinci yang merupakan gunung tertinggi di Sumatera, Air terjun Telun Berasap dan Danau Gunung Tujuh di kaki Gunung Kerinci. Di samping itu, keberadaan Taman Nasional Kerinci Seblat yang merupakan paru-paru dunia, serta

108

sejumlah peninggalan bersejarah menjadikan keindahan Kecamatan Kayu Aro semakin sempurna.

Potensi lain yang dimiliki Kecamatan Kayu Aro adalah sumberdaya tambang. Tak kurang dari 25 (dua puluh lima) jenis bahan galian terdapat di daerah ini dan tersebar di Kecamatan Kayu Aro. Meski demikian, hanya sebagian kecil potensi tambang tersebut yang sudah diolah, antara lain batu kali dan pasir. Pemanfaatannya terkesan kurang optimal, bahkan terdapat kecenderungan penguasaan yang tidak berkeadilan dan mengabaikan lingkungan, sehingga kadang berpotensi menimbulkan koflik di masyarakat.

Pertanian sebagai mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Kayu Aro hingga saat ini masih menunjukkan peranan yang besar. Komoditi utama perkebunan rakyat meliputi: cassiavera, kopi, Palawija dan kemiri. Satu-satunya sektor yang mempunyai prospek menjanjikan adalah pariwisata. Keindahan panorama alam adalah "keunggulan alamiah" (natural advantage) yang tidak dimiliki oleh daerah lain di dalam Provinsi Jambi. Tidak banyak kabupaten yang memiliki objek wisata yang hampir lengkap (kecuali laut) seperti Kabupaten Kerinci, Khususnya Kecamatan Kayu Aro. Kalau saja prasarana dan sarana menuju objek wisata cukup baik dan lancar serta didukung oleh supra struktur yang jelas, sektor ini akan dapat memberikan sumbangan yang semakin besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kerinci.

D. Kecamatan Tungkal Ilir Kab. Tanjung Jabung Barat1. Keadaan Demografis.

Kecamatan Tungkal Ilir terdiri dari empat kelurahan dan tujuh desa, semua dengan klasifikasi swadaya. Adapun nama kelurahan di Kecamatan Tungkal Ilir adalah sebagai berikut: Desa Beram Itam Kanan, Desa Beram Itam Kiri, Desa Pembengis, Desa Tanjung Senjulang, Desa Tungkal V, Desa Tungkal IV, Kelurahan Tungkal Harapan, Kelurahan

109

Tungkal IV, Kelurahan Tungkal III, Kelurahan Tungkal II, Desa Tungkal I.

Ibu Kota Kec. Tungkal Ilir adalah Kuala Tungkal yang berada di Kelurahan Tungkal Kota, berjarak 125 km dari Ibu Kota Propinsi Jambi. Penduduk Kec. Tungkal Ilir tercatat sebanyak 76.749 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 40.310 jiwa dan perempuan sebanyak 36.439 jiwa.

Keadaan sosial ekonomi penduduk Kec. Tungkal Ilir secara langsung atau tidak langsung sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah ini. Kec. Tungkal Ilir berada di pantai timur sumatera maka sebagian besar wilayah ini berupa tanah berair. Rumah tempat tinggal, pasar, sebagian kantor pemerintah, serta fasilitas lainnya hampir semua dibangun di atas tanah berair dalam bentuk rumah panggung. Namun beberapa rumah penduduk, ruko, masjid agung, kantor pemerintah (kantor bupati, DPRD dan lain-lain) dibangun secara permanen.

Sebagian besar penduduk Kec. Tungkal Ilir tinggal di perkotaan yakni di Kota Kuala Tungkal yang merupakan Ibukota Kecamatan sekaligus juga Ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Mereka berusaha dalam bidang perdagangan, usaha sarang burung walet, transportasi, pegawai negeri/TNI/Polri, buruh. Bagi penduduk yang hidupnya relatif mapan, seperti memiliki kebun kelapa yang cukup luas, ada kecenderungan untuk memilih tinggal di Kota Kuala Tungkal. Sebagian lainnya tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Etnis Jawa bertani di sawah dan ladang, etnis bugis berkebun kelapa.

Kecamatan Tungkal Ilir memiliki berbagai sumber daya alam berupa tambang minyak bumi, kelapa, dan sumber daya laut. Sumber daya tambang minyak dikuasi oleh kontraktor asing dari China, Petro China. Kelapa dikelola oleh etnis Bugis, Jawa, Banjar, dan Melayu, sumber daya laut berupa ikan didominasi oleh etnis Bugis dan Banjar.

110

Konflik dan Integrasi

A. Realitas Hubungan Sosial

enduduk Jambi terdiri dari berbagai macam etnis, budaya, dan agama. Masing-masing tidak meninggalkan corak identitasnya – seperti bahasa

daerah dan tradisi – sehingga mudah dikenal dan dibedakan. Meskipun demikian, antara etnis yang satu dengan etnis yang lainnya saling menghormati dan menghargai adat istiadat masing-masing, bahkan menciptakan tradisi baru yang berlaku untuk banyak etnis seperti peringatan 17 Agustus, dan bagi yang beragama Islam diciptakan tradisi tahlilan atau yasinan yang berlaku bagi semua etnis yang beragama Islam. Tradisi ini diperuntukkan bagi berbagai peristiwa siklus hidup (kelahiran, perkawinan, kematian), syukuran (lulus ujian, naik pangkat, terhindar dari musibah, menempati rumah/kantor baru, dan lain-lain).

P

111

B. Hubungan Antar Umat Beragama pada Tataran PribadiMasyarakatnya kebanyakan pendatang dari berbagai

daerah yang memiliki latar belakang suku dan budaya yang beraneka ragam. Penduduk asli di daerah ini adalah Melayu. Penduduk asli dan pendatang membaur menjadi warga masyarakat Jambi. Bagi penduduk asli, pendatang juga menjadi warga masyarakat Jambi dengan ketentuan bertempat tinggal “setahun padi” (enam bulan) dan “di situ bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana tembilang di cacak, di situ tanaman tumbuh” artinya bagi siapapun yang tingal menetap selama minimal 6 bulan di Jambi dan mematuhi semua aturan setempat, maka orang tersebut termasuk orang Jambi. Dalam pengertian ini maka berkenaan dengan isu politik tentang “putra daerah”, maka dalam pandangan itu, putra daerah atau orang Jambi adalah mereka yang telah tinggal di Jambi selama enam bulan.

Suku-suku pendatang di Jambi terdiri dari suku Jawa, Minang, Banjar, Bugis, Batak, Sunda, Madura, Aceh, India, Arab, dan lain-lain. Identitas kesukuan mudah dikenal. Di daerah ini banyak perkumpulan atau organisasi berdasarkan daerah asal atau suku asal. Mereka yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan mempunyai organisasi Himpunan Keluarga Sulawesi Selatan (HKSS). Mereka yang berasal dari Kalimantan (suku Banjar) dengan organisasinya Persatuan Keluarga Banjar (PKB). Mereka yang berasal dari Sumatra Utara juga mempunyai perkumpulan, anggota dari perkumpulan tersebut tidak hanya beragama Kristen, tetapi juga ada yang beragama Islam, atau lainnya, demikian juga perkumpulan dari daerah lain.

Identitas suku-suku terutama bahasa daerah terpelihara dengan baik. Di samping menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, masing-masing suku dapat menggunakan bahasa daerahnya tanpa ada perasaan risih (sungkan) terutama jika berkomunikasi dengan sesama

112

sukunya. Bagi orang Batak, mereka bebas menggunakan bahasa daerahnya, demikian pula etnis China, dan lain-lainnya. Bahasa Indonesia mereka gunakan dalam pertemuan-pertemuan formal atau pun antar suku. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hubungan sosial antara satu suku dengan lainnya dapat terjalin dengan baik tanpa meninggalkan identitas suku masing-masing. Hal ini bisa terwujud karena adanya sikap saling menghormati antara suku satu dengan lainnya. Demikian hal dengan identitas kesukuan lainnya, seperti adat budaya perkawinan. Bagi masyarakat pendatang, pada umumnya menggunakan adat budaya Jambi (Melayu), di samping adat budayanya sendiri.

Ini semua karena jalinan yang baik antara warga masyarakat baik sesama pendatang maupun dengan penduduk asli (Melayu Jambi). Sebagian besar dari mereka setuju bahwa hubungan pribadi dengan siapapun, termasuk yang berbeda agama, suku, ras/etnis, budaya dan bahasa harus dijalin dengan baik.

Pandangan masyarakat Jambi terhadap peran orang tua yang baik adalah orang tua yang mendorong anaknya bergaul dengan siapapun termasuk yang berbeda agama, suku, ras/etnis, budaya dan bahasa setuju yang penting saling menjaga diri.

Pertemanan di kalangan masyarakat Jambi juga bersifat terbuka, sebagian besar mereka setuju bahwa manusia harus berteman dengan orang lain, meskipun berbeda agama, suku, etnis/ras, budaya dan bahasa. Hal ini dipertegas lagi, bahwa sebagian besar mereka setuju apabila teman berbeda agama mempunyai sebuah acara syukuran, maka apabila diundang seharusnya kita datang.

Pernyataan terakhir ini cukup mengindikasikan bahwa masyarakat Jambi bersifat terbuka, sebab “acara syukuran” biasanya kental dengan nuansa keyakinan/agama. Meskipun masyarakat ini bersifat terbuka, namun ketika masuk ke wilayah yang dilarang agama, seperti menghadiri ritual

113

keagamaan, sebagian besar mereka tidak setuju untuk menghadiri acara agama lain (seperti Natalan, Lebaran, Galungan). Sementara itu, untuk pernyataan yang sama, hanya sebagian yang menyatakan setuju datang menghadiri acara keagamaan agama lain. Mereka yang cenderung setuju menghadiri acara keagamaan lain jika ditelusuri lebih lanjut, mereka berasal dari golongan non-Muslim (minoritas). Kaum non-Muslimi ketika Lebaran (Idhul Fitri) mendatangi tetangga, teman yang beragama Islam untuk mengucapkan selamat dan saling memaafkan.

Antara warga masyarakat yang berbeda suku maupun antar pemeluk agama yang berbeda bisa hidup berdampingan secara damai. Mereka menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada gangguan dari pihak atau kelompok lain. Meskipun di sini ada masing-masing suku membuat organisasi-organisasi persatuan daerah asal masing-masing. Namun organisasi-organisasi itu bersifat kekeluargaan dan sosial keagamaan. Hubungan dengan warga masyarakat rukun. Warga masyarakat non-Muslim membaur dengan masyarakat, jika warga masyarakat di sekitar daerah ini mengadakan hajatan, maka warga non-Muslim ikut membantu.

Kaitan dengan tolong-menolong masyarakat Jambi ini sebagian besar (hampir 90 %) menyatakan setuju dengan menyatakan bahwa meskipun kita berbeda agama, sebaiknya tolong-menolong dalam berbagai kegiatan sosial, sehingga bisa terwujud kerukunan sesama warga.

Kaitan dengan hubungan ketetanggaan, masyarakat Jambi sebagian besar lebih 90%) menyatakan setuju bahwa di mana kita berada sebaiknya hidup membaur dengan masyarakat sekitar, meskipun berbeda agama. Walaupun sebagian besar setuju bahwa hidup di masyarakat harus membaur meskipun berbeda agama, namun ketika memasuki wilayah keyakinan agama, masyarakat Jambi cenderung tidak setuju untuk menghadiri kegiatan agama

114

lain. Dengan demikian nampak bahwa bagi masyarakat Jambi tentang masalah keyakinan agama menjadi sesuatu yang sama sekali tidak boleh dicampuradukkan.

Rumah ibadah memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeluk agama tertentu. Rumah ibadah tidak saja sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual keagamaan, namun juga menjadi pusat kegiatan umat agama yang bersangkutan. Di samping itu, rumah ibadah juga dapat berfungsi sebagai simbol keberadaan agama yang bersangkutan. Karena itu, tiap-tiap umat agama berusaha untuk mendirikan rumah ibadah masing-masing. Masyarakat Jambi ini cenderung berpendapat bahwa pembangunan rumah ibadah menjadi tugas/tanggung jawab masing-masing pemeluk agama, dalam arti bila dikerjakan dengan melibatkan agama lain.

Kekerabatan merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kerukunan hidup beragama. Masyarakat Jambi hanya sebagian kecil (40 %) setuju dengan pendapat bahwa salah satu cara menjaga kerukunan beragama melalui jalinan kekerabatan, karena kekerabatan itu lebih penting dari agama. Pada sisi lain, terhadap pernyataan yang sama lebih dari 50% masyarakat Jambi ini menyatakan tidak setuju. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Jambi (60%) lebih mengedepankan agama dari pada kekerabatan.

Pada kasus-kasus tertentu peristiwa kawin antar agama (dengan salah satu pindah agama biasanya pihak laki-laki) justru menimbulkan kerenggangan tali kekerabatan, bahkan menimbulkan ketegangan. Demikian pula dengan pelaksanaan ibadah keagamaan, sebagian besar (74,5%) tidak setuju untuk menyediakan peralatan ibadah bagi kerabat yang berbeda agama.

Persaudaraan atau kekerabatan dalam masyarakat Jambi lebih mengedepankan ikatan agama. Mereka mengatakan setuju (52%) bahwa persaudaraan atau

115

kekerabatan yang tidak seiman dan seagama adalah semu. Sebagian lainnya (45%) tidak setuju dengan pernyataan tersebut, 3% tidak tahu. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat Jambi lebih mementingkan aspek agama dalam hubungan kekerabatan dan persaudaraan.

C. Tataran Hubungan Antar Kelompok PolitikBidang politik, sebagian besar (78,5%) masyarakat

Jambi memprioritaskan persatuan dan persaudaraan karena politik hanyalah suatu alat untuk memperoleh kekuasaan, karenanya tidak harus mengorbankan persatuan dan persaudaraan yang bila terganggu membuat hidup menjadi tidak nyaman dan untuk memperolehnya kembali perlu biaya yang sangat mahal.

Menurut mereka (88%) dalam mencari dukungan partai maupun calon pimpinan hendaknya bersaing secara sehat dan tidak perlu konflik berdarah. Hal ini disadari benar bila sampai terjadi konflik berdarah semua pihak akan dirugikan dan hidup menjadi tidak tenteram.

Kegiatan Pemilu maupun Pilkada, 85,5% berpendapat bahwa peserta atau pendukung tidak perlu menjelekkan satu dengan lainnya. Dalam menentukan jabatan-jabatan politik di pemerintahan dari tingkat RT sampai dengan Presiden dan lebih menekankan pada kualitas pribadi, bukan berdasarkan pertimbangan proporsionalitas penganut agama (54,5%).

Namun di sisi lain, 43,5% masyarakat menentukan jabatan-jabatan tersebut berdasarkan proporsionalitas penganut agama. Pendapat ini tampaknya didasari oleh suatu kenyataan bahwa lebih 80% masyarakat Jambi beragama Islam dan kualitas pribadi, pengetahuan, kekayaan, pendidikan, dan sebagainya masih relatif rendah, jadi bila hanya menekankan kualitas pribadi tanpa melihat

116

proporsionalitas pemeluk agama, maka umat Islam akan dirugikan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam kegiatan di bidang politik masyarakat Jambi mengutamakan persatuan dan kesatuan. Hal ini juga terbukti dari beberapa kali kegiatan pemilu baik pemilu legislatif maupun eksekutif (Pilpres dan Pilkada) di Jambi tidak terjadi konflik terbuka.

Hubungan antar pelaku politik, sebagian besar (96,5%) menghendaki agar para pelaku politik hendaknya bersaing secara sehat, tidak saling memfitnah karena perilaku tersebut merupakan perilaku yang tidak terpuji dan merugikan semua pihak.

Penggalangan dukungan untuk mencapai tujuan politik, sebagian besar (72%) masyarakat Jambi setuju menggunakan kekuatan fisik namun harus memenuhi sopan santun politik . Setelah dirunut lebih jauh yang dimaksud kekuatan pisik adalah dengan penggalangan masa, arak-arakan dengan kendaraan, rapat-rapat yang melibatkan banyak orang; bukan beradu pisik apalagi sampai berkelahi.

Organisasi kepemudaan yang menjadi kepanjangan tangan partai politik, sebagian besar masyarakat Jambi sebagian besar (81%) setuju agar tetap menjaga kerukunan serta tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat. Alasan mereka adalah bila generasi muda sudah tidak menjaga kerukunan, maka sampai tuapun akan seperti itu dan akibatnya kehidupan masyarakat luaspun menjadi tidak aman.

Mereka sebagian besar (93%) berpendapat bahwa organisasi-organisasi kepemudaan dalam mencari dukungan tidak harus mencari pengaruh karena alasan agama (berlainan agama) tetapi karena hubungan pribadi, pertemanan, pertetanggaan bukan karena yang diajak beragama A dan yang mengajak beragama B.

117

Kedua hal tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Jambi lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan, tanpa mengedepankan simbol-simbol agama. Partai-partai politik yang menggunakan simbol agama ternyata tidak mendapat dukungan mayoritas. Partai yang memperoleh suara terbanyak di Jambi adalah Golkar.

D. Hubungan pada Tataran PeribadatanMasyarakat Jambi mengutamakan persatuan dan

kesatuan, namun dalam hal kegiatan seremonial keagamaan, sebagian dari mereka hal itu tidak boleh dicampuradukkan dengan persoalan keyakinan. Apabila diundang dalam acara hari besar keagamaan (seremonial keagamaan) sebagian mereka setuju (48 %) dan 52 % sangat tidak setuju.

Pengembangan agama tertentu dilakukan dengan cara memberikan sesuatu, baik berupa makanan seperti mie instan, bea siswa, dan lain-lain. Cara-cara seperti ini banyak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang relatif miskin atau terbelakang. Pemberian sesuatu yang memiliki tendensi untuk mengembangkan agama tertentu ditolak oleh sebagian besar masyarakat Jambi, selebihnya menerima/setuju dengan cara tersebut.

Berdasarkan dua hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa meskipun masyarakat Jambi mengutamakan persatuan, namun tidak mencampuradukkan dengan persoalan ibadah, serta sebagian besar menolak pemberian yang memiliki tendensi untuk pengembangan agama lain tertentu.

Pengembangan agama juga dilakukan dengan mendirikan rumah-rumah ibadah. Rumah ibadah memiliki fungsi dan makna yang sangat penting bagi pemeluk agama tertentu. Namun pada sisi lain golongan minoritas mengalami kesulitan untuk membangun rumah ibadah. Kesulitan membangun rumah ibadah bagi golongan minoritas agama disebabkan oleh beberapa hal, terutama

118

ketentuan peraturan yang mengharuskan adanya persetujuan dari masyarakat sekitar sebanyak 40 kepala keluarga. Sebagian besar masyarakat Jambi (71,5%) menghendaki agar pendirian rumah ibadah harus mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagian lainnya (25%) berpendapat tidak perlu mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka yang berpendapat tidak perlu mengindahkan peraturan dengan dalih bahwa rumah ibadah merupakan kebutuhan primer bagi umat beragama dan bagian dari hak asasi manusia.

Pembangunan rumah ibadah bagi golongan minoritas agama menjadi persoalan tersendiri yang dapat menjadi sumber ketegangan hubungan antara umat Islam dengan agama Kristen karena itu membangun rumah ibadah khususnya berupa gereja mengalami kesulitan. Kaum Kristen menggunakan rumah tinggal untuk melakukan ibadah atau kebaktian. Kaitan dengan masalah ini 47% masyarakat Jambi menyatakan setuju dan 53% menyatakan tidak setuju tentang penggunaan rumah tinggal yang difungsikan sebagai gereja. Masyarakat Muslim di Jambi merasa terganggu dengan penggunaan rumah tinggal sebagai tempat kegiatan ibadah umat Kristen.

Bagian lain dalam tulisan ini telah dikemukakan bahwa masyarakat Jambi terdiri dari beragam suku. Tiap suku memiliki tradisi budaya yang dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya. Di masyarakat Jambi yang merupakan bagian dari masyarakat Jambi dikenal seloka adat bahwa “adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah, syara’ mengato adat memakai.” Seloka adat ini hingga saat ini masih hidup dalam masyarakat, baik bagi masyarakat asli maupun pendatang. Hal ini dapat dilihat dari tradisi budaya yang ada dan tumbuh di masyarakat. Tradisi budaya memiliki persamaan dan perbedaan antara suku satu dengan suku lainnya. Bagi suku yang mayoritas Islam seperti Melayu,

119

Bajar, Bugis, kesamaannya pada kekentalan unsur budaya Islam. Banyak juga ditemui tradisi budaya yang merupakan percampuran antara tradisi satu suku dengan suku lainnya. Sebagai contoh, tradisi cukuran. Tradisi ini di Jawa pada daerah tertentu disebut “selapanan”, karena dilakukan setelah selapan (35 hari) setelah anak lahir. Di Jawa tradisi ini tidak disertai pembacaan barzanji lengkap dengan doa-doa tertentu. Namun setelah tinggal di Jambi, acara cukuran ini “mengikuti” tradisi di Jambi pada umumnya. Masyarakat Jawa menerima tradisi baru tanpa harus meninggalkan tradisi lama. Begitu juga masyarakat dari suku lain -biasanya minoritas - yang tinggal di komunitas masyarakat Jawa (daerah transmigrasi misalnya) dalam upacara siklus hidup juga mengikuti tradisi masyarakat Jawa yaitu setelah selesai acara pulangnya dibagikan ambeng.

Masyarakat Jambi, selanjutnya sebagian besar setuju bahwa bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang sopan dan toleran, tradisi lokal tetap berjalan dengan baik apapun agama, suku, dan bangsa, semua dibiarkan terseleksi secara alami, sehingga tidak ada konflik yang terjadi hanya disebabkan oleh persoalan agama dan adat istiadat.

Mereka sebagian besar menyatakan setuju bahwa kita bisa hadir dalam acara siklus hidup, seperti; upacara rujakan/menujuhbulani, kelahiran, (Aqiqah: Islam), perka-winan, kematian dan lain-lain, dalam tata cara/adat istiadat masing-masing; hanya sebagian kecil masyarakat Jambi menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan itu.

Tradisi-tradisi di atas merupakan tradisi yang disepakati oleh banyak orang tanpa memandang dari mana mereka berasal baik suku, etnik, bahasa, dan agama. Tradisi ini merupakan arena untuk memberatkan hubungan sesama warga Jambi yang berlatarbelakang pekerjaan yang sangat heterogen dan ajarannya akan sulit mereka berkumpul bersama bila tidak ada arena untuk itu, dan upacara tradisi-

120

tradisi di atas merupakan kesempatan yang tampak cocok bagi semua orang.

Besarnya persentase yang berpandangan tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat Jambi yang mutli suku ini di samping menjunjung tinggi dan melestarikan adat dan tradisi sukunya, juga memiliki sikap terbuka dan menghormati adat/tradisi suku lain. Hal ini merupakan modal kekuatan yang besar bagi masyarakat Jambi untuk terwujudnya integrasi dan kerukunan.

E. Hubungan antar Kelompok AgamaMasyarakat Jambi di samping multi suku, juga

menganut berbagai agama. Agama-agama yang dianut oleh masyarakat Jambi meliputi Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu. Menurut tokoh agama Katolik dan Protestan, kesadaran masyarakat cukup baik, jadi tidak perlu dipermasalahkan lagi. Salah satu penyebabnya adalah antara tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintah terjalin komunikasi yang baik dalam suatu wadah Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, meskipun kegiatannya tidak terlalu intensif. Komunikasi yang baik antara tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat dan juga tokoh pemerintah berimbas pada masyarakat sehingga hubungan sesama merekapun menjadi baik.

Pelaksanaan kehidupan beragama baik yang Muslim maupun non-Muslim berjalan dengan baik. Hal yang sama juga diakui oleh tokoh agama Katholik, dan Budha. Dalam pandangan masyarakat, komunikasi atau pertemuan (dialog) secara berkala perlu dilakukan dalam upaya menjaga kerukunan hidup beragama. Pernyataan mereka ini diperkuat dari kusioner yang diedarkan. Sebagian besar masyarakat Jambi memandang bahwa komunikasi atau dialog tersebut perlu dilakukan untuk menjaga kerukunan hidup beragama, hanya sebagian kecil masyarakat Jambi yang tidak setuju.

121

Kaitan dengan dialog ataupun kerjasama antar organisasi keagamaan yang harus dilaksanakan tidak hanya pada tingkat pusat, tetapi juga sampai ke organisasi keagamaan tingkat bawah minimal tingkat Jambi, sebagian besar mereka setuju dan hanya sebagian kecil yang tidak setuju. Setelah ditelusuri ketidaksetujuan mereka itu karena belum pernah ikut dialog ataupun kerjasama antar umat beragama, sehingga pengalaman indahnya berdialog dan kerjasama tidak pernah dimiliki, yang ada adalah sikap ragu-ragu dan curiga terhadap agama lain.

Aplikasi pelaksanaan dialog dan kerjasama antar umat beragama, sebagian besar masyarakat Jambi setuju dibentuk wadah kerukunan hidup beragama sampai tingkat kecamatan, bahkan sampai tingkat desa/kelurahan di mana warganya terdiri dari multi agama.

Sebagian besar masyarakat Jambi tidak menyukai terhadap sekelompok orang yang merasa agama dan keyakinannya paling benar, saling mengkafirkan orang yang berbeda kelompok/paham apalagi berbeda agama. Kelompok seperti itu menurut mereka harus dilarang hidup dan berkembang di Indonesia. Sikap saling mengkafirkan yang dimaksud di atas yang berlaku pada intern suatu agama karena berbeda aliran atau paham, misalnya dalam Islam antara aliran Islam Jamaah dengan aliran lainnya (NU, Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Al Wasliyah, Tarbiyah Islamiah). Penyataan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jambi mengutamakan persatuan dan kesatuan, tidak menyukai konflik atau pertentangan dalam hal beragama.

Masyarakat Jambi sebagian besar menyatakan tidak setuju terhadap kelompok organisasi keagamaan yang sangat ekspansif dan bersemangat dalam mengembangkan agamanya. Pengembangan agama ekspansif tersebut dapat berupa pemaksaan kehendak untuk mendirikan rumah ibadah di tengah-tengah komunitas agama lain, padahal di daerah tersebut hanya terdapat satu atau beberapa penganut

122

agama yang bersangkutan. Salah satu kasus dapat dipaparkan dari penuturan tokoh masyarakat bahwa salah satu agama membantu suatu permukiman yang dihuni oleh agama lain berupa akses jalan menuju jalan raya sehingga mobilitas masyarakat menjadi lancar. Awalnya masyarakat merasa sangat senang, namun setelah di dekat permukiman mereka yaitu di tepi jalan yang dibuat di atas didirikan rumah ibadah agama lain, masyarakat menjadi resah; bahkan gesekan-gesekan antara warga terjadi. Gesekan-gesekan itu karena sebagian warga (tokoh pemudanya) mendapat bantuan materi sedangkan sebagian yang lain tidak. Bagi yang tidak mendapatkan bantuan memusuhi mereka yang dapat bantuan dan berakibat ketenteraman masyarakat setempat menjadi terganggu.

Pemuda memegang peran yang sangat stretegis bagi terwujudnya kerukunan hidup beragama. Masyarakat Jambi setuju, jika hubungan antar organisasi keagamaan pemuda yang selama ini cukup baik, perlu dikembangkan ke arah persatuan dan persaudaraan bangsa. Antara organisasi keagamaan kepemudaan mestinya sering bertemu dan berdialog untuk membicarakan masa depan bangsa ini sesuai aspirasi pemuda. Sebagian besar dari mereka setuju tentang pernyataan di muka karena para pemuda sadar bahwa masa depan bangsa harus mereka kenali sejak dini sehingga mereka pada masanya nanti sudah relatif siap menerima tanggung jawab memimpin bangsa. Mereka yang tidak setuju dengan pernyataan di atas ternyata berasal dari kaum tua yang melihat banyak anak muda yang tidak jelas kegiatannya ( kebut-kebutan, minuman keras, kongko-kongko di pinggir jalan sampai larut malam, dan sebagainya).

F. Aspek Hubungan EkonomiHubungan ekonomi di masyarakat Jambi yang terdiri

dari multi suku, etnis, budaya, dan agama tampak tidak

123

terjadi masalah karena tidak satu sukupun yang menguasai mutlak dalam kegiatan ekonomi tanpa melibatkan suku lainnya. Hal ini sesuai dengan pengamatan antara lain bidang perdagangan memang sebagian besar dikuasai orang Minang dan China, namun tetap juga melibatkan suku lain seperti Jawa, Melayu, Batak dalam perekrutan karyawan. Begitu juga pertanian tampaknya dikuasai orang Jawa namun suku lain juga diperbolehkan seperti Bugis, Banjar, Batak, Minang, Melayu, Cina. Kegiatan ekonomi baik perdagangan, pertanian, jasa; semuanya terbuka bagi siapapun dari suku dan agama apapun. Bila tampak ada bidang yang menonjol tampak dikuasai oleh satu atau dua suku bukan karena agama maupun suku, tetapi lebih pada keahlian, ketekunan, keuletan, kejujuran pelaku ekonomi. Sebagai contoh orang Cina yang berusaha pada pertanian (sayur mayur) padahal biasanya orang Cina bergerak di perdagangan dan jasa, namun karena tekun dengan hasilnya dijual kepada orang Batak, Jawa, dan Melayu maka hasilnya tidak kalah dengan orang Jawa yang sudah terbiasa bergerak di bidang ini.

Hubungan pekerjaan, sebagian besar mereka tidak setuju jika ada perusahaan besar menambah tenaga kerja hanya yang seagama atau sesuku saja dengan pemilik perusahaan. Dengan kata lain dalam hubungan pekerjaan masyarakat di Jambi menghendaki perlakuan dan peluang yang sama, tidak diskriminatif. Sistem penggajian/upah, sebagian besar tidak setuju jika karyawan yang sesuku dan seagama dengan pemilik perusahaan diberi gaji dan fasilitas yang lebih besar dari pada karyawan yang tidak sesuku dan seagama dengan pemilik perusahaan.

Masyarakat di Jambi juga tidak setuju dengan perlakuan yang berbeda terhadap pekerja. Sebagian besar mereka, tidak setuju terhadap perlakuan perusahaan yang memperlakukan pekerja secara berbeda kepada mereka yang

124

berbeda suku dan agama, baik fasilitas peribadatan, kesejahteraan, karir maupun kemudahan lainnya.

Uraian tentang hubungan sosial keagamaan sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat di Jambi adalah masyarakat yang terbuka bagi suku apa saja untuk hidup di daerah ini. Beragam suku dengan berbagai macam budaya dan bahasa dapat eksis di daerah ini. Hal ini menandakan bahwa masyarakat di Jambi mengedepankan demokrasi, nilai-nilai budaya yang berlaku, kebersamaan, kesederajatan, penghargaan atas keyakinan, menghindari tindak kekerasan fisik dan keyakinan, rasa aman dengan identitas yang dimiliki. Dengan demikian maka pola hubungan sosial keagamaan di Jambi dapat dikategorikan rukun. Kategori ini bersifat dinamis, artinya se waktu-waktu dapat pula bergeser ke arah kategori kurang rukun. Apabila kategori rukun digambarkan dengan warna hijau, kurang rukun dengan warna kuning, dan konflik dengan warna merah, maka Jambi masuk kategori hijau tapi tidak hijau betul mungkin hijau muda, namun belum masuk kategori kuning. Jambi rukun tapi mengandung faktor-faktor kurang rukun (potensi konflik). Potensi konflik terdapat pada masalah pendirian tempat ibadah khususnya bagi umat Kristen.

G. Potensi Kerukunan dan KonflikDi Jambi belum pernah terjadi konflik terbuka antar

umat beragama. Meskipun demikian, terdapat potensi-potensi konflik yang dapat mengganggu kerukunan hidup dalam masyarakat. Pendirian rumah ibadah berupa gereja merupakan potensi konflik yang paling banyak ditemui di Jambi. Di samping itu kecemburuan sosial berupa kesenjangan ekonomi, seperti antara etnik Cina dengan lainnya, hal inilah yang sewaktu-waktu merupakan faktor yang dapat memicu konflik.

125

Potensi konflik berupa pembangunan atau pendirian rumah ibadah hampir menjadi masalah di seluruh Propinsi Jambi. Kesulitan mendirikan rumah ibadah dialami oleh umat agama apapun yang minoritas di seluruh wilayah Indonesia. Umat Islam di daerah yang mayoritas penduduknya beragama non Islam, seperti di Bali, akan mengalami kesulitan mendirikan rumah ibadahnya. Kesulitan ini bersumber dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menag No. 01/BER/MDG-MAG/1979 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Dari perspektif politik hukum, peraturan tersebut menghendaki agar tidak timbul gejolak/konflik antar umat beragama yang disebabkan oleh pendirian rumah ibadah. SKB tersebut dimaksudkan untuk mengatur, memupuk keharmonisan dan kerukunan, serta menumbuhkan toleransi antar umat beragama guna mendukung terciptanya kehidupan beragama yang penuh kerukunan dan keharmonisan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara kalangan menilai bahwa substansi dari SKB yang dibuat tahun 1979 itu perlu "diharmonisasikan". Pemerintah (Depdagri dan Depag) mengisyaratkan, peninjauan terhadap SKB akan dilakukan secepat mungkin karena banyaknya kasus rawan, seperti upaya penutupan sejumlah gereja atau pemukiman yang dijadikan tempat ibadah. Sementara pemerintah daerah dipandang kurang tanggap atas kejadian tersebut yang berbuntut munculnya keresahan di masyarakat.

Argumentasi yang dikemukakan oleh penganut agama mayoritas di Jambi (Islam) berbeda dengan argumentasi yang dikemukakan oleh penganut agama minoritas. Menurut pandangan umat Islam, sebagian dari saudara-saudara kita yang non Islam itu kurang memperhatikan pembagunan perumahan ibadah dengan masyarakat sekitar. Kadang-kadang mereka hanya 3 KK atau 4 KK ingin membangun rumah ibadah tanpa mengindahkan peraturan-peraturan

126

yang berlaku dan masyarakat mayoritas sekitar, ini merupakan peluang-peluang yang bisa menimbulkan keretakan antar umat beragama, karena mereka tidak mendapat persetujuan dari masyarakat setempat biasanya mereka menggunakan tempat atau mengontrak tempat rumah untuk dijadikan tempat ibadah. Penggunaan rumah sebagai tempat kegiatan ibadah bagi golongan minoritas menimbulkan respon negatif dari masyarakat, mereka merasa terganggu dengan kegiatan tersebut.

Bagi kalangan minoritas, mereka merasa diperlakukan tidak adil, diskriminatif. Menurut para Pendeta dan Pastur potensi konflik yang ada berupa pembangunan Gereja. Kami selama ini begitu sulit untuk membangun rumah ibadah. Jadi kesulitan itu perlu dicari solusi tentang bagaimana caranya supaya terdapat saling pengertian dalam hal membangun rumah ibadah dengan tenang, ada dukungan dan izin yang betul-betul dengan hati ikhlas supaya kami bisa beribadah dengan aman dan tenang. Kadang-kadang saya heran kenapa kita membangun rumah, membangun ruko boleh tapi kalau itu rumah ibadah nggak boleh. Padahal rumah ibadah sangat kita perlukan untuk peribadatan.

H. Kecenderungan Pola Hubungan Antar Umat Beragama di Masa Mendatang

Kecenderungan pola hubungan antar umat beragama di Jambi sangat tergantung pada umat agama yang bersangkutan. Potensi konflik yang ada adalah antara umat Islam dengan Kristen. Faktor penyulut konfliknya adalah pendirian rumah ibadah. Pola hubungan yang masuk kategori hijau (rukun) tetapi mengandung unsur kuning (potensi konflik) dapat bergeser ke warna merah (konflik terbuka) tergantung pada penyelesaian persoalan pendirian rumah ibadah. Kecenderungan pola hubungan ke depan tergantung pada kearifan (keluwesan) pihak Islam dan Kristen menyikapi ketentuan peraturan pendirian rumah

127

ibadah. Apabila umat Kristen memaksakan diri mendirikan gereja di tengah mayoritas Muslim apalagi dengan pemaksaan (menggunakan jasa preman) dan memanipulasi tanda tangan persetujuan warga sekitar, maka dapat menyulut terjadinya konflik. Namun apabila umat Kristen membangun gereja jauh dari komunitas mayoritas muslim maka konflik tidak terjadi. Dengan demikian maka kecenderungan pola hubungan antar umat beragama ke depan ke arah yang rukun, jika masing-masing pihak tidak memaksakan kehendak khususnya berkaitan dengan rumah ibadah.

I. Langkah-Langkah Solusi yang Pernah DilakukanKonflik terbuka antar umat agama di Jambi belum

pernah terjadi. Meskipun demikian pemerintah dan tokoh-tokoh agama melakukan upaya preventif untuk meredam potensi konflik agar tidak berkembang menjadi yang lebih besar. Pemerintah dan masyarakat di Jambi telah melakukan upaya untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama berupa dialog yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama melalui suatu Forum Kerukunan Antar Umat Beragama mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat propinsi. Dialog dan pertemuan tokoh agama difasilitasi oleh pemerintah. Menurut M. Ridwan Lubis, Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama dalam acara Lokakarya Penyiar Agama se Propinsi Jambi, dialog antar umat beragama merupakan keharusan, karena hanya dengan cara inilah, kerukunan antar pemeluk agama bisa diwujudkan.

Konflik-konflik antar umat beragama sebagian besar, sesungguhnya bukan berasal dari ajaran-ajaran agama. Ada berbagai faktor, dari masalah ekonomi hingga kesenjangan sosial, yang memicu konflik-konflik yang kemudian mengatasnamakan agama. Pada dasarnya, semua agama menerima pluralitas, karena kenyataan faktual yang tak dapat dibantah.

128

Dialog ini harus berangkat dari dua hal. Pertama, umat beragama harus betul-betul bersedia hidup bersama dengan damai. Supaya mereka dapat mengembangkan toleransipositif. Umat agama lain tidak hanya dibiarkan tapi dihargai untuk dapat hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Secara tradisional sebenarnya itu sudah ada, tapi sering tertutupi oleh gejolak transformasi sosial dan pengaruh kepentingan politik. Kedua, perlu dibedakan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Dengan demikian diharapkan bisa saling menerima secara positif serta saling menghormati. Menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama sama. Dengan dialog maka dapat menumbuhkan sikap pluralis, yakni mampu hidup dengan umat beragama yang berbeda.

Salah satu hasil kegiatan ini adalah terbentuknya Forum Komunikasi Penyiar Agama dalam Kecamatan Kota Baru. Forum ini beranggotakan berbagai agama yang ada di kecamatan ini. Melalui forum ini diharapkan dapat terjalin komunikasi antar penyiar agama dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama.

J. Sikap Antar Kelompok tentang Pola Hubungan Sosial (Hubungan Sosial Aantar Kelompok Keagamaan).

1. Hubungan Antar Organisasi Keagamaan.Umat beragama di Indonesia diorganisir menurut

agamanya masing-masing, begitu juga di Jambi karenanya diperlukan pertemuan secara berkala dalam menjaga kerukunan hidup beragama. Pembentukan forum itu telah terealisir mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat propinsi. Khusus di tingkat bawah dalam hal ini tingkat kecamatan terbentuklah Forum Komunikasi Umat Beragama yang diketuai oleh camat setempat, wakil ketua Kepala Kantor Agama Kecamatan, anggota semua tokoh agama yang ada di kecamatan tersebut. Yang menarik sekertaris dipilih oleh dan

129

dari anggota forum. Tampaknya pemilihan sekertaris ini didasarkan atas siapa yang dianggap paling lancar menangani masalah kesekretariatan. Keberadaan forum ini tampaknya mendapat dukungan dari semua agama.

Sebagian tokoh agama tampaknya masih enggan berdialog dengan agama lain. Setelah dikaji ternyata tokoh tersebut belum terbiasa berdiskusi dengan orang lain dan ada kecurigaan bahwa bila berdebat di forum pejabat dia akan kalah. Perasaan ini ternyata hilang dikit demi sedikit setelah dalam dialog ternyata yang terjadi adalah suasana keakraban yang diciptakan bersama di bawah arahan camat setempat. Tipe kepemimpinan Camat dan Kepala KUA Kecamatan yang demokratis tampaknya merupakan tipe kepemimpinan yang diharapkan semua pihak.

Berkurangnya kecurigaan antar kelompok keagamaan terjadi setelah antar mereka saling bertemu baik dalam Forum Kerukunan Antar Umat Beragama maupun dalam kegiatan lain seperti gotong royong, perayaan hari besar nasional, maupun hari besar keagamaan yang diadakan di kecamatan, maupun hubungan pribadi. Khusus hubungan pribadi di sini terjadi karena merasa warga dalam satu kecamatan atau desa dan bahkan merasa senasib sepenanggungan. Kenyataan di atas didukung oleh hasil angket yang diedarkan kepada perwakilan tokoh agama (Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha), tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, pemuda, dan tokoh wanita. Hasilnya terlihat bahwa masyarakat Jambi sebagian besar setuju berhubungan dengan sesama manusia meskipun berbeda etnik, budaya, suku, dan agama.

Kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jambi pada khususnya bersifat hetrogen baik dari segi agama, etnis, budaya, dan agama. Hal ini merupakan potensi umat dan kekayaan bangsa yang harus disyukuri, apabila dilaksanakan dengan baik akan menjadi potensi pembangunan sebaliknya apabila tidak dilaksanakan dengan

130

baik akan menjadi penghambat pembangunan (konflik). Dalam kehidupan sekarang dengan adanya perubahan di segala sektor (era Reformasi) akan berdampak negatif apabila tidak diiringi dengan penegakan supermasi hukum yang harus ditegakan di dalam kehidupan bermasyarakat agar hidup menjadi tertib, rukun, dan harmonis, serta terhindar dari konflik yang membawa kepada disintegrasi bangsa.

Penegakan supermasi hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, jika situasi dan kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia tidak kondusif. Sejak era reformasi digulirkan pada Desember 1998 hingga kini di Jambi masih tergolong daerah aman dan terkendali, namun riak-riak gejolak sosial politik dan ekonomi masih terjadi di beberapa daerah kabupaten/kota di Jambi dan hal tersebut telah dapat dikendalikan.

Kenyataan ini tampaknya sesuai dengan hasil angket tentang pertemanan dengan semua orang meskipun berbeda agama, suku, etnik, dan budaya. Hasilnya menunjukan bahwa masyarakat Jambi sebagian besar setuju bergaul dengan semua orang meskipun berbeda agama, suku, etnik, dan budaya; namun potensi tidak setuju juga ada meskipun kecil saja.

Potensi itu terangkat dari berbagai hasil wawancara dari berbagai tokoh maupun warga masyarakat dalam beberapa hal yaitu:

a. Masalah pendirian tempat ibadah khususnya gereja. Bagi selain Kristen berpedoman pada SKB Menteri

Agama dan Mendagri Tahun 1979 yang ditindaklanjuti olehEdaran Gubernur Jambi bahwa tempat ibadah bias dibangun bila di sekitar tempat itu ada 40 KK orang Kristen. Untuk Jambi tampaknya sulit terealisir, karena kebanyakan orang Kristen bertempat tinggal membaur dengan orang Muslim, sangat jarang orang Kristen yang hidup mengelompok tersendiri sesama mereka. Akibatnya mendirikan tempat

131

ibadah di sekitar komunitas orang Muslim meskipun harus memakai berbagai macam siasat antara lain: Membeli tanah orang Muslim di pinggiran desa (biasanya

sedikit di atas harga pasaran) pertama untuk rumah, kemudian untuk tempat kebaktian dan lama kelamaan dijadikan gereja.

Komunitas orang Muslim yang kumuh tidak ada jalan dibikin jalan oleh orang Kristen dan ada beberapa orang (biasanya beberapa tokoh yang agak ditakuti namun tidak taat) diberi bantuan materiil, kemudian di pinggir jalan tersebut dibangun gereja. Orang Muslim yang lain (yang tidak dapat bantuan) memusuhi pihak Kristen dan pihak Muslim yang dapat bantuan materiil tadi.

b. Masalah pelaksanaan kebaktian.Kebaktian Kristen yang dilakukan di rumah orang

Kristen yang terletak di komunitas orang Muslim dengan mendatangkan warga Kristen dari tempat lain, akibatnya lingkungan tersebut menjadi resah. Setelah diamati keresahan itu disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: Warga Kristen yang datang ke tempat itu banyak yang

tidak dikenal oleh orang Muslim di mana rumah yang dijadikan tempat kebaktian berada.

Kebaktian tersebut dengan cara bernyanyi yang bagi kebanyakan orang Muslim kurang setuju karena pendapat mereka “ibadah kok sambil nyanyi- nyanyi”

Sikap warga Kristen yang datang dari tempat lain rata-rata agak kurang bersahabat dengan warga Muslim setempat.

Jalan keluar yang ditempuh biasanya orang Muslim melaporkan ke aparat pemerintah setempat dan tokoh agama Islam setempat. Aparat pemerintah meneruskan laporan ke Camat, sedangkan tokoh agama meneruskan laporan ke Kepala KUA Kecamatan. Kedua pejabat tersebut kebetulan adalah ketua dan wakil ketua Forum Antar Umat Beragama. Akhirnya semua tokoh agama dan aparat pemerintah di mana

132

kejadian itu terjadi dipertemukan untuk dicari jalan keluar yang terbaik. Jalan keluarnya antara lain kebaktian itu harus dilakukan di tempat ibadah bukan di rumah, tetapi bila pesta perkawinan ala Kristen boleh dilakukan di rumah.

Jalan keluar ini sementara dapat memuaskan ke dua belah pihak, namun masih terdapat ganjalan yang berat bagi kaum Kristen yaitu mendirikan tempat ibadah tetap sulit bila harus memenuhi persyaratan 40 KK di sekitar rumah ibadah yang akan dibangun.

2. Hubungan Antar Organisasi Keagamaan Pemuda

Organisasi keagamaan pemuda di Jambi tidak menonjol. Hubungan antar pemuda tampaknya didasari oleh selain organisasi keagamaan seperti: partai politik, karang taruna, sekolah, pekerjaan, pertandingan olah raga, dan kesenian.

Partai politik, karang taruna, wadah ini tampaknya tidak terlalu memandang agama artinya agama apa saja asal mereka mau masuk di dalamnya tidak ditolak.

Sekolah, yang dimaksud di sini adalah sekolah umum non agama. Pergaulan antar pemuda yang berlainan agama tampak tidak terjadi hambatan, terbukti belum pernah ada perkelahian antar pemuda/siswa SLTA yang dilatarbelakangi perbedaan agama.

Karang Taruna, organisasi yang tidak terlalu menyentuh kepentingan pemuda namun ada di setiap desa karena difasilitasi dari pusat anggotanya dari berbagai macam agama, dan ketua atau pengurusnya dipilih secara demokratis dalam arti tidak harus dari agama tertentu.

3. Pekerjaan

Bidang pekerjaan tampaknya hampir tidak ada pertimbangan masalah agama dalam arti agama apapun bisa menjadi kawan sekerja, contoh kasus dealer alat berat. Pemilik

133

perusahaan orang China, sopir/operator orang Batak, karyawan Jawa, Melayu, Minang.

4. Pertandingan Olahraga

Arena ini benar-benar didasari keahlian dan kewilayahan, maksudnya dari desa mana atau kecamatan mana, kabupaten mana; bukan dari agama apa, suku mana. Hal ini tampak dari hasil pengamatan, ada ‘bos’ bola orang Kristen, padahal pemain dan suporter hampir seluruhnya orang Muslim. Interaksi antar mereka tampak akrab, penuh kewajaran, dan penuh kesetiakawanan.

5. Kesenian

Bidang ini juga tidak ada batasan tentang agama tertentu. Organ tunggal (kesenian yang merakyat di seluruh Jambi) misalnya, yang ikut berpartisipasi menyanyi dangdut siapa saja yang mau naik panggung tanpa ditanya dari agama dan suku mana mereka. Siapapun mereka yang suara dan gayanya menarik menurut penonton mendapat applaus dari penonton tanpa melihat dari agama mana dia berasal.

Potensi pemuda dari berbagai agama sangat baik untuk dikembangkan menjadi persaudaraan bangsa dan kesatuanbangsa. Hal ini dikuatkan dari pengamatan di Jambi bahwa seorang pemuda itu dikatakan orang Jawa karena sehari-hari dipanggil mas atau mbak begitu juga suku lain dikatakan orang Batak karena dipanggil ucok atau butet, padahal banyak orang Jawa, Batak, Bugis, Banjar, Sunda, Arab, Cina, India; semuanya sulit berbahasa suku bangsanya tetapi lancar berbahasa Melayu/Indonesia aksen Jambi.

Kerukunan dalam kenyataannya di Jambi dapat diuraikan sebagai berikut:a. Kerukunan Intern Umat Beragama

Kerukunan intern umat beragama tampak terjadi kekurangrukunan dalam hal ketidaksamaan dalam

134

melakukan ritual, sebagai contoh orang Muslim yang ada di propinsi ini terdapat berbagai model, antara lain: Antara semua paham dalam Islam (NU, Muhammadiyah,

LDII, Jamaah Tariqot) dengan Jamaah Tabligh yang oleh masyarakat disebut “Jamaah Kompor” karena ke mana-mana selalu membawa beras dan kompor. Jamaah Tabligh dalam perilaku sehari-hari berlainan dengan jamaah lainnya seperti bentuk pakaian (selalu memakai gamis, surban, kain sarung di atas mata kaki), memelihara jenggot sampai panjang, Dalam satu tahun minimal harus tabligh dengan biaya sendiri dengan cara meninggalkan anak isteri minimal empat hari, dan bagi yang sudah tingkatan lanjut sampai empat bulan.

Antara semua aliran dengan LDII/Islam Jamaah. Islam Jamaah memang membiarkan orang Islam lainnya (selain Islam Jamaah) sholat di masjid, musholla mereka, namun setelah selesai tempat itu dibersihkan dengan cara dipel karena tempat yang dimasuki selain Islam Jamaah menjadi kotor.

Perselisihan paham itu tidak sampai menimbulkan konflik terbuka, hanya sebatas ‘rasan-rasan’. Bagi Kristen yang tampak di permukaan kasusnya sebagai berikut: Protestan Karismatik menganggap babtis yang hanya

diperciki air belum dibabtis, baptis menurut mereka harus dimandikan.

Tempat kebaktian. Ada orang bertetangga sama-sama Kristen tetapi tempat beribadahnya selalu berlainan, maksudnya orang desa A belum tentu beribadah di gereja di desa A tadi, bisa di desa lain yang kadang-kadang jaraknya lebih 25 km. Penyebabnya adalah berlainan paham, yang satu berpaham A, yang lain berpaham B yang tidak mungkin disatukan dalam ritual dan paham itu sudah sejak nenek-nenek mereka dulu.

135

b. Kerukunan Antar Umat Beragama Kerukunan antar umat beragama di Jambi relatif

rukun, hal ini terbukti belum pernah terjadi konflik terbuka antar umat beragama, namun potensi konflik tampak selalu ada. Potensi konflik telah banyak diuraikan di muka. Potensi ini akan semakin hilang bila pemerintah dan masyarakat menyikapi dengan bijaksana yang wujudnya antara lain: Pihak pemerintah selama ini sudah melakukan dialog

melalui Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, namun frekuensinya sedikit sekali. Dalam satu tahun berkisar satu sampai tiga kali dan tampaknya tidak dimasukan dalam APBD baik tingkat II maupun tingkat I.

Pihak masyarakat karena menyadari pentingnya hidup rukun dan harmonis di lingkungannya, maka masyarakat menciptakan mekanismenya sendiri.

c. Kerukunan Antar Umat Beragama dengan PemerintahPemerintah Jambi tampaknya berusaha melayani

masyarakat-nya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan, maka dalam hal pendirian tempat ibadah diaturlah harus ada 40 KK di lingkungan tempat ibadah yang akan dibangun baru bisa didirikan.

Kenyataannya ini dianggap merugikan umat selain Muslim khususnya Kristen, sedangkan umat Muslim berpegang pada aturan pemerintah di atas, meskipun tidak konsekuen. Tempat ibadah berupa masjid dan langgar mematuhi aturan tersebut, tetapi tempat ibadah berupa musholla pribadi banyak didirikan di depan rumahnya bahkan satu RT (biasanya 40 KK) terdapat beberapa musholla pribadi yang ukuran dan mutunya di atas langgar.

136

Analisis Temuan Lapangan

A. Pola Hubungan Umat Beragama pada Tataran Pribadi.

ubungan umat beragama di Jambi akan dianalisis melalui berbagai pola:

1. Hubungan PertemananMasyarakat Jambi meskipun terdiri dari berbagai etnik,

suku, budaya, dan agama; tampaknya diatur oleh suatu tatanan yang disepakati bersama yaitu aturan adat. Aturan adat yang berkaitan dengan siapa yang dimaksud orang Jambi adalah “sudah setahun jagung di Jambi, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, ke bukit sama mendaki ke lembah sama menurun, berkata di bawah-bawah mandi di ilir-ilir” artinya, orang Jambi itu adalah orang yang tinggal di Jambi selama 6 bulan

H

137

berturut-turut, menghormati aturan masyarakat Jambi, selalu bekerjasama dan bergotong-royong, bertutur kata penuh sopan santun, tahu diri, dan tidak sombong.

Bila seseorang memenuhi kriteria tersebut, maka siapapun orangnya dan apapun agamanya dapat hidup aman, tentreram, damai, dan sejahtera di Jambi. Kaitannya dengan agama tampaknya yang terjadi konflik tersembunyi adalah antara orang yang beragama Islam dengan beragama Kristen, antara orang Batak dan dengan suku lainnya (Jawa, Melayu, Banjar, Bugis, Sunda).

Umat Islam mempunyai kewajiban menyebarkan agama kepada orang lain demikian juga bagi kaum Kristen. Namun bila cara penyebarannya penuh kesopanan, tidak memaksa tampaknya masuknya seseorang ke agama tertentu tidak dipermasalahkan.

Orang Batak Kristen termasuk kurang disukai oleh orang Muslim dari berbagai suku. Setelah di kaji bukan karena agama melainkan karena style nya yang kurang disukai yaitu suara keras bila berbicara dan terus terang. Namun bila antar mereka sudah sering terjadi interaksi akhirnya tidak menjadi masalah.

Berdasarkan pengamatan masyarakat Jambi sudah terjadi kawin antar suku seagama, antara Melayu-Jawa, Melayu-Batak, Melayu-Minang, Melayu-Bugis, Melayu-Banjar dan sebagainya, bahkan Melayu-Cina, Melayu-Arab, Melayu-India; akibatnya anak-anak mereka tidak lagi bisa berbudaya pada suku bapak atau ibunya, melainkan budayanya Indonesia dengan aksen Melayu Jambi. Banyak ditemukan orang Cina atau orang Jawa, atau orang Bugis, atau yang lainnya yang tidak pandai lagi berbahasa bahasa bapak ibunya, tetapi berbahasa Indonesia dialek Jambi.

2. Hubungan KetetanggaanMasyarakat Jambi dari agama dan suku manapun

dalam hubungan bertetangga tidak memilih kecuali etnik Cina

138

di kota. Etnik Cina di kota membuat permukiman berkelompok sesama mereka dan biasanya dipagar tinggi, namun etnik yang lain tidak demikian. Hubungan ketetetanggan antara Cina dengan suku lainnya kurang harmonis, penyebabnya tampaknya bukan masalah agama atau bahkan suku melainkan masalah ekonomi. Cina biasa bergerak di perdagangan dan jasa dan di rumahnya biasanya juga merangkap gudang yang tidak bisa dibuat pagar biasa karena keamanannya akan terganggu.

Masyarakat Jambi kebanyakan dalam sedekah (pesta khitanan, perkawinan) dilakukan di rumah bukan di gedung. Setelah didalami ternyata ingin melibatkan tetangga sebanyak-banyaknya, bahkan di dua kecamatan dalam kota Jambi melibatkan warga satu Kelurahan, entah dari etnik dan agama mana.

Pembangunan rumah ibadah khususnya masjid atau musholla banyak di bantu agama lain baik Kristen, Katolik, Kong Hu Chu, Hindu, maupun Budha. Rumah ibadah yang mendapat bantuan dari berbagai agama itu bila salah satu pengurusnya adalah tokoh yang disegani oleh masyarakat luas. Tampaknya partisipasi agama lain itu sebagai bentuk interaksi antara minoritas dengan mayoritas dalam hal ini melalui tokoh. Dengan demikian minoritas merasa terlindungi.

3. Hubungan Antar Organisasi PolitikMasyarakat Jambi dalam berpolitik lebih

mengutamakan persaudaraan, persatuan, kesatuan, sehingga tercapai ketenteraman, keamanan, dan kedamaian. Faktor suku dan agama tampak tidak menjadi pertimbangan pokok dalam memilih aspirasi politiknya.

Masalah pilpres dan pilkada masyarakat kecamatan ini tidak suka bila ada orang yang menjelek-jelekkan orang lain untuk meraih dukungan, hal ini disebabkan oleh:

139

Bila perilaku saling menjelekan antara sesama calon, maka akan terjadi ketidakrukunan, ketidakserasian, kekacauan dalam masyarakat.

Masyarakat Jambi sadar sepenuhnya bahwa menjelekkan orang lain biasanya dilakukan dengan cara menunjuk yang bersangkutan, kata orang tua kita menunjuk orang itu jelek misalnya, jari kita hanya satu yang mengarah ke orang tersebut, sedang tiga jari menunjuk kita sendiri. Maksud petuah orang tua ini adalah jangan kita menjelekkan orang lain, jangan-jangan kejelekan kita lebih banyak lagi.

4. Hubungan Antar Organisasi KepemudaanOrganisasi keagamaan pemuda tampaknya kalah

dengan organisasi kepemudaan lainnya seperti Karang Taruna, KNPI, Pemuda Pancasila, HMI, PMII dan sebagainya. Penentuan bagi pemimpinya dasar pertimbangannya adalah kemampuan, keahlian, kesalehan, kejujuran seseorang bukan karena factor suku maupun agama tertentu.

Masyarakat Jambi dalam hal menyelenggarakan seremonial keagamaan dapat dibagi dua : Seremonial yang dapat melibatkan semua pihak seperti

upacara siklus hidup, syukuran menaiki rumah baru, kendaraan baru, lepas dari musibah, peringatan hari-hari besar agama. Pihak mayoritas (Muslim) selalu mengundang pihak minoritas (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu) dan pihak minoritaspun dating memenuhi undangan tersebut. Tetapi bila yang mengundang pihak minoritas tetapi tata caranya masih menurut yang mengundang, maka pihak mayoritas yang diundang tidak akan datang. Namun bila semua acara, peralatan masak dan makan, semua petugas orang Muslim, maka undangan minoritas kepada mayoritas dipenuhi.

Seremonial yang tidak boleh melibatkan agama lain, sebagai contoh sholat Jum’at bagi orang Muslim, agama

140

lain sama sekali tidak boleh terlibat. Kejadian dalam masyarakat tampaknya sudah terjadi saling pengertian, dalam arti suara ramai melalui pengeras suara pada hari Jum’at antara jam 11.00 wib- 13.00 wib pihak selain muslim menyadarainya.

Penyelenggaraan seremonial baik yang melibatkan agama lain maupun khusus bagi agama tertentu, selalu memperhatikan agar tidak terjadi gangguan terhadap yang lain. Sebagai contoh, orang selain Muslim bila mengadakan acara pasti sebelum Maghrib selesai agar umat Muslim tidak terganggu melaksanakan ibadah Sholat Maghrib.

Pendirian rumah ibadah di Jambi tampaknya banyak menimbulkan potensi konflik terutama antara umat Muslim dengan Umat Kristen. Kaum Kristen merupakan minoritas di Jambi merasa sulit mendirikan tempat ibadah karena dalam peraturan Pemda Propinsi Jambi disyaratkan antara lain harus ada 40 KK di sekitar rumah ibadah yang akan didirikan. Aturan ini dibuat oleh pihak pemerintah daerah karena ukuran rumah ibadah orang Muslim bisa didirikan sholat Jum’at sekaligus dikategorikan masjid bila ada 40 KK yang kepala keluarganya laki-laki.

Sesungguhnya aturan ini bukan hanya untuk orang Kristen saja tetapi juga untuk agama lain. Sebagai contoh akan sangat banyak gereja maupun masjid berdiri dalam satu desa karena 10 KK berpaham X dapat mendirikan Masjid ataupun gereja.

5. Hubungan Antar Kelompok AgamaAntar organisasi keagamaan pada awalnya kurang

berinteraksi, namun setelah terjadi bibit-bibit konflik, maka pihak pemerintah kecamatan berinisiatif membentuk suatu forum yaitu Forum Kerukunan Antar Umat Beragama dengan ketua Camat setempat dan wakil ketua Kepala KUA Kecamatan, anggota semua tokoh agama yang ada di

141

kecamatan yang bersangkutan. Forum inilah yang digunakan untuk mengadakan dialog antar umat beragama yang ada di kecamatan yang bersangkutan. Tujuan dialog dirumuskan sebagai berikut:

Sarana untuk saling mengenal antar sesama tokoh agama.

Bila ada masalah yang menyangkut hubungan antar agama, dalam forum inilah dicari solusi yang terbaik untuk semua.

Bila ada provokator yang akan mengganggu ketenteraman warga, maka anggota forum mencegahnya dan berusaha menginformasikan kepada anggota lainnya.

Forum dialog ini menurut pengakuan para tokoh yang ditemui merupakan sarana yang efektif untuk membina kerukunan antar agama di suatu wilayah, namun dari pihak pemerintah tampaknya kurang sungguh-sungguh melaksanakan-nya hal ini terbukti belum ada dukungan sarana, biaya, peralatan yang diperlukan.

Dialog antar umat beragama ini tampaknya yang antusias justru masyarakat, sedangkan pihak pemerintah tampaknya lesu. Masyarakat antusias karena mereka menyadari bila sampai terjadi konflik antar umat beragama korban serta biayanya luar biasa besarnya, karenanya mereka berusaha mengadakan dialog melalui camat masing-masing.

Masyarakat Jambi juga tidak setuju bila ada orang yang merasa keyakinannya paling benar dan mengkafirkan oranglain yang tidak sealiran apalagi tidak seagama, dan yang demikian ini harus dilarang di Indonesia termasuk di karena orang ini sesuai yang dikatakan pepatah adat “bercekak pinggang menggulung lengan baju” artinya orang sombong dan suka mengajak kelahi, merupakan sifat buruk yang tidak boleh dilakukan di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah(maksudnya Propinsi Jambi).

142

6. Pola Hubungan Ekonomi Umat BeragamaMasyarakat Jambi yang terdiri dari berbagai etnik, suku,

budaya, dan agama dalam kehidupan sehari-hari terutama yang berkaitan kehidupan materi bersifat rasional. Dalam berbisnis misalnya, bila ada orang seagama, ada pula orang yang lain agama dan bahkan lain suku menjadi agen atau grosser atau menjadi toke, maka mereka berbisnis kepada orang yang memenuhi criteria : ramah, jujur, murah, pelayanan memuaskan tidak berbelit-belit, setiap lebaran Idul Fitri atau Natal memberi hadiah. Orang yang demikianlah yang disenangi oleh masyarakat Jambi tanpa melihat suku dan agama apa.

Masyarakat Jambi mempunyai tatanan yang berkaitan dengan seorang pemimpin harus “rajo adil rajo disembah, rajo lalim rajo disanggah” artinya seorang pemimpin itu harus adil dan bila tidak akan mendapat perlawanan dari rakyat. Selain itu dalam masyarakat kecamatan ini dikenal “ Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Maksud dari seloka ini adalah sesuatu pekerjaan harus dilakukan secara bersama-sama, menghargai hakekat kemanusiaan tanpa membedakannya.

143

Penutup

A. Kesimpulan

ktivitas kehidupan beragama umat Islam tidak mengalami kesulitan atau hambatan baik dari intern umat Islam, maupun dari umat beragama lainnya,

bahkan dapat dikatakan sangat leluasa, baik untuk ibadah wajib maupun ibadah lainnya.Penganut agama Kristiani menjalankan ibadah di gereja-gereja serta di rumah-rumah penduduk yang dilaksanakan secara bergiliran dari rumah satu ke rumah yang lainnya. Khusus untuk penganut agama Kristen Protestan yang tergabung dalam Gereja Kristen Protestan Jambi (GKPJ) kegiatan ibadah dilaksanakan di rumah penduduk yang difungsikan sebagai gereja karena tidak memiliki gereja.

A

144

Tingkat hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir yang cukup rukun atau cukup harmonis. Hubungan ini bersifat dinamis, yakni bisa harmonis atau mengarah sebaliknya. Apabila tingkat kerukunan antar umat beragama digambarkan dengan warna, misalnya warna hijau berarti rukun, warna kuning kurang rukun, dan warna merah konflik antar umat beragama, maka warna yang cocok untuk menggambarkan tingkat hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir adalah warna hijau tapi mengandung unsur warna kuning. Artinya, tingkat hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir cukup rukun namun mengandung potensi konflik.

Faktor-faktor penyebab naik dan turunnya kualitas hubungan antar umat beragama masyarakat adalah pendirian, pemanfaatan rumah sebagai gereja dan pengembangan agama secara eskpansif merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi naik dan turunnya kualitas hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir.

Kecenderungan hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir langsung atau tidak langsung tergantung kepada elit politik dan elit ekonominya. Pada tataran grass root hubungan antar umat beragama cukup harmonis. Jika hal ini diimbangi secara positif oleh elit politik dan elit ekonomi maka kecenderungan hubungan antar umat beragama ke arah harmonis, rukun.

Kebijakan/program solutif dari Pemerintah yang pernah Ada berupa langkah-langkah solutif yang pernah dilakukan dalam rangka mencegah konflik sosial antar umat beragama dilakukan melalui beberapa cara, yaitu membuat penataan ruang untuk tempat-tempat ibadah, melakukan dialog antar tokoh-tokoh agama terutama dalam hal terjadi keresahan dalam masyarakat berkenaan dengan kehidupan antar umat beragama, sosialisasi tentang pedoman dan penyiaran agama, serta pembentukan Forum Komunikasi Penyiar Agama.

145

B. RekomendasiKondisi kerukunan hidup antar umat beragama di

Jambi cukup rukun namun mengandung potensi konflik. Kepada semua pihak disarankan untuk memahami secara bijaksana slogan adat Jambi “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah, syara’ mengato adat memakai”. Bagi tokoh-tokoh agama Islam, slogan tersebut untuk meneguhkan iman dan keberagamaan umatnya. Bagi tokoh-tokoh agama lain Budha, Kristen, Katholik, dan Hindu, internalisasi nilai slogan adat tersebut telah berurat berakar di kalangan masyarakat Jambi, maka hendaknya bijaksana dalam menyiarkan agama kepada masyarakat.

Penyiaran agama secara ekspansif berupa pembangunan gereja di tempat strategis di tengah-tengah komunitas Islam, dapat memicu ketegangan hubungan antar pemeluk agama. Oleh karena itu pemerintah hendaknyamerealisasikan dan melakukan sosialisasi pemetaan ruangan tempat/rumah ibadah.

Dialog konstruktif antar umat beragama hendaknya diaktifkan guna menampung aspirasi masyarakat guna menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Demikian pula Forum Komunikasi Penyiar Agama hendak diberdayakan.

146

Daftar Pustaka

Abduh, Syuhada, 2002, Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama di Berbagai Komunitas (Kasus Kerusuhan di Purwakarta pada Tahun 1995), Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Ali, Mursyid (Ed), 2000, Studi Keagamaan dan Kerusuhan Sosial Profil Kerukunan HidupBeragama, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta.

Azra, Azyumardi, 1998, Agama dalam Keragaman Etnik di Indonesia, Badan Litbang Agama, Jakarta.

Daulay, M. Zainuddin, 2002, Konflik Kekerasan Bernuansa Sara di Situbondo, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Hakim, Bashori A., 2002, Kasus Kerusuhan di Pekalongan Menjelang Pemilu 1997, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Harsono, Andreas, 1997, Huru-Hara Rengasdenglok, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta.

Husaini, Adian, 2000, Gereja-Gerja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia, DEA-Press, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1993, Masalah Kesukubangsaan Integrasi Nasional, UI Press, Jakarta.

Mukhtar, Ibnu Hasan, 2002, Kerusuhan Sosial di Solo; Kerusuhan Sosial di Tegal Studi Kasus Kerusuhan Tasikmalaya (Tanggal 26 Desember 1996), Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Kecamatan Tungkal Ilir Dalam Angka 2005.

Sahetapy, JE, “Agama Seharusnya Rukun”,www.komisihukum.go.id diakses tanggal 10 September 2005.

147

Soetrisno, Lukman, et.al, 1997, Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Pusat Penelitian Pengembangan Pedesaan dan Kawasan (PPPK) Yogyakarta.

Syahid, Achmad dan Daulay, Zainudin, 2001, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta.

Suseno, Frans Magnis. “Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme”, Jaringan Islam Liberal Online, diaskes tanggal 2 September 2005.

Tholkhah, Imam dkk (Ed.), 2002, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta.

Soeroer, Umar R., 2002, Konflik Sosial Bernuansa Sara di Bangkalan – Madura, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Sudjangi, 2002, Kerusuhan Sosial Bernuansa Sara (Studi Kasus) Kerusuhan Sosial di Rengasdengklok, Kab. Karawang, Propinsi Jawa Barat, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Suwariyati, Titik, 2002, Kerusuhan Sosial Bernuansa Sara (Studi Kasus) Kerusuhan Sosial di Rengasdengklok, Kab. Karawang, Propinsi Jawa Barat, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Harian Umum Media Indonesia, Edisi 5 September 2005.

Harian Umum Media Indonesia, Edisi 25 September 2005.

http://www.suara karya.online.com. Kamis, 8 September 2005.

http://www.pbb-iainjakarta.or.id. Radikalisme Agama (FPI, FKAWJ, MMI, dan HAMMAS) dan Perubahan Sosial di DKI Jakarta. Diakses tanggal 10 September 2005.

148

BAGIAN 5KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN

Tim Peneliti

H. M. Adlin Sila, S.Ag., MADra. Suhanah, M.Pd.H. Zabidi

150

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

ebijakan pemerintah Orde Baru yang men-fokuskan pembangunan di bidang ekonomi mengaki-batkan membanjirnya modal asing dan pesatnya pertumbuhan

industrialisasi dan modernisasi, ter-utama di perkotaan yang sangat menguntungkan pengusaha dan pedagang. Sementara sektor pertanian termasuk sektor perkebunan yang menjadi andalan hidup masyarakat, menjadi kurang menarik dan kurang menjanjikan dari segi ekonomi. Akibatnya kemiskinan di pedesaan dan urbanisasi besar-besaran dari desa-desa ke perkotaan, konsentrasi kelompok migran dari pedesaan yang tidak memiliki ketrampilan, kemudian menjadi kelompok marginal di perkampungan kumuh di perkotaan. Lebih jauh kebijakan ekonomi tersebut mengakibatkan kesen-jangan sosial antar masyarakat dan menjadi rawan konflik. Apalagi

K

151

bila kesenjangan itu kemudian berakumulasi dengan faktor-faktor lain yang bersifat psikologis dan teologis seperti perbedaan etnis dan agama. Kondisi yang sangat rentan itu kemudian bersinggungan dengan permasalahan yang bersum-ber dari perbedaan kepentingan politis, ekonomis, etnis dan agama, maka merupakan lahan subur meletusnya kerusuhan sosial. (Sistem Siaga Dini, Balitbang Agama, 1999).

Kerusuhan sosial dapat terjadi diakibatkan ketidak harmonisan hubungan antar umat beragama yang dilatar belakangi oleh nilai-nilai atau acuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan, etnis dan agama masing-masing. Namun demikian kerukunan bisa terjadi apabila diantara mereka yang berbeda agama, etnis dan kebudayaan itu saling membutuh-kan, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong, saling membantu dan mampu menyatukan pendapat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kajian tentang Kerukunan Beragama di Lingkungan Masyarakat Perkebunan ini dipandang perlu dilakukan.

B. Kerangka Pemikiran

Yang menjadi sasaran penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang berada di Kompleks perkebunan PTPN VII unit Usaha Musilandas Kabupaten Banyuasin Kota Palembang.

Kerukunan umat beragama adalah terciptanya suatu hubungan yang harmonis dan dinamis serta rukun dan damai di antara sesama umat beragama, yaitu hubungan harmonis antara sesama umat satu agama dan umat berbagai agama serta antara umat beragama dengan pemerintah, dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa serta meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun

152

masyarakat sejahtera lahir dan bathin. (Proyek Pembinaan Kerukunann Hidup Beragama, 1989/1990).

Menurut salah seorang pengurus Masjid yang berada di PTPN VII Musilandas mengatakan bahwa kriteria hidup rukun adalah tidak pernah ada pertengkaran dalam hidup bertetangga.

Umat beragama adalah penganut suatu agama yang berkembang di masyarakat, seperti : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sedangkan agama itu sendiri dapat diketahui dari tiga aspek yaitu aspek kepercayaan, aspek peribadatan, dan aspek sosiologis. Dari ketiga aspek tersebut aspek sosiologislah yang dapat memiliki hubungan antar sesama umat beragama. Ronald Robeertson menga-takan bahwa agama adalah suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang sacred yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang.

Masyarakat adalah kumpulan manusia dalam arti seluas-luasnya yang terkait oleh suatu kebudayaan yang mereka pandang sama. (Koentjoroningrat, dkk, 1984:111).

Pendapat lain mengatakan bahwa masyarakat adalah sistem tempat berlangsungnya interaksi antar komponen, baik individual, kelompok maupun antar lembaga. Mereka dapat hidup saling bergantungan, saling mempengaruhi, saling memelihara dan saling menghargai dalam komunitas sosial yang terbentuk berdasarkan ikatan norma-norma dan nilai-nilai yang diakui, ditaati dan dianut serta dijadikan acuan bersama dalam berprilaku dan berinteraksi sosial dalam hidup kesehariannya. (Kontribusi Agama Dalam mewujudkan Multikulturalisme Di Indonesia, 2004:6)

Adapun masyarakat perkebunan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sekumpulan manusia yang mata

153

pencaharian utama guna memenuhi kebutuhan hidupnya dari perkebunan. Dan mereka dapat hidup berdampingan dalam satu kompleks perumahan milik perusahaan PTPN VII Musilandas yang tentunya tidak terlepas dari berinteraksi dengan sesama tetangganya yang bekerja dalam satu profesi dan pimpinan yang sama. Walaupun mereka berbeda agama tetapi dapat hidup damai, aman dan saling bekerja sama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

154

Gambaran UmumWilayah Penelitian

A. Geografis dan Demografis

erusahaan Perkebunan PTPN VII unit Usaha Musilandas terletak di Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin dengan lingkungan desa air batu,

Purwosari, Rawa Maju dan desa Karang Anyar. Perusahaan ini jaraknya dengan Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan Palembang 20 Km arah rute Palembang Jambi.

Kecamatan Banyuasin III merupakan salah satu Kecamatan dari sebelas Kecamatan yang berada di Kabupaten Banyuasin. Kabupaten ini terletak di antara 104o 16'29" sampai dengan 104o38'02" Bujur Timur dan 2o18'00" sampai dengan 3o06'16" Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Pulau Rimau, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Rantau Bayur, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Betung

P

155

dan sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Talang Kelapa.

Luas wilayah Kabupaten Banyuasin sekitar 11.832,99 Km dengan jumlah penduduk seluruhnya mencapai 712.813 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 268.231 jiwa dan penduduk perempuan 444.582 jiwa. (Laporan tahunan Kantor Departemen Agama Kabupaten Banyuasin, 2004).

Sedangkan luas wilayah kecamatan Banyuasin III dan jumalh penduduknya bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut:

No Nama Desa/Kelurahan

Luas Wilayah

Jumlah Pendud

uk

Kepadatan Penduduk/

km2(1) (2) (3) (4) (5)1

23456789101112131415161718

Galang Tinggi PetalingSidang MasUjung TanjungRimba AlaiTerantangTanjung BeringinPerlajauSukarajaRegan AgungPelajau IlirLubuk SaungMulya AgungPangkalan balaiSeterioSri BandungTanjung MenangSuka Mulia

24,2726,0018,4024,0022,5030,0029,0

32,0032,0032,0018,0029,0015,0064,0028,0022,5025,0015,00

2.2451.8531.6691.729

9131.0691.2071.3201.1271.260

5381.3361.442

13.9063.8361.5001.323

761

92719072413642413539304696

217137675351

156

1920212223242526272829303132

Kayuara KuningTanjung AgungPangkalan PanjiLangkanPulauLalang SembawaRejodadiMainanLimauPurwosariTanjung KepayangLimbang MulyaSuka MakmurPulau Muning

12,5024,0021,0045,0054,0070,0033,0039,4245,727,58

10,008,288,508,50

2.098556

3.3334.4405.6696.0553.1156.8841.9271.999

729680774284

16823

15999

1058794

17542

26473829133

874,17 77.573 89Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuasin

B. Sosial Ekonomi, Budaya dan Pendidikan

Sesuai dengan jenis lapangan usaha di Kabupaten Banyuasin III, sektor pertanian merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Kehidupan ekonomi penduduk Kabupaten Banyuasin tercermin dari kegiatan perekonomian yang mereka kerjakan. Kegiatan perekonomian penduduknya dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis lapangan kerja yaitu bidang pertanian, pertambangan dan penggalian, industri, listrik, gas dan air minum, perdagangan, bangunan, angkutan, komunikasi, keuangan dan jasa. Berbagai jenis lapangan pekerjaan tersebut dikelola oleh sejumlah perusahaan, baik swasta maupun pemerintah. Untuk kelancaran lapangan usaha pekerjaan tersebut, pihak pemerintah maupun swasta menyediakan

157

fasilitas-fasilitas berupa: pertokoan, pasar, kios, warung, rumah makan, angkutan umum, tempat tinggal, perbankan, koperasi, puskesmas, rumah sakit umum, sarana pendidikan dan sarana-sarana lainnya.

Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Kabupaten Banyuasin III ini diperlukan koordinasi yang seimbang antara Pemerintah dan masyarakat, salah satunya adalah upaya pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang sehat adalah dengan pengadaan sarana dan prasarana kesehatan dan tenaga medis yang memadai, sehingga layanannya mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sampai ke pelosok pedesaan.

Dengan adanya upaya pemerintah tersebut diharapkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada semakin meningkat. Sejalan dengan usaha pemerintah tersebut jumlah sarana pelayanan dan peningkatan tenaga medis. Di Kecamatan Banyuasin III ini terdapat 2 (dua) Puskesmas yaitu Puskesmas Pangkalan Balai dan Puskesmas Sembawa. Keberadaan Puskesmas tersebut dilengkapi dengan adanya Puskesmas pembantu di beberapa desa dan adanya bidan desa diseluruh desa yang dalam Kecamatan Banyuasin III ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kecamatan Banyuasin III akan kesehatan.

Jumlah tenaga medis dan paramedis di Kecamatan Banyuasin III selalu mengalami perkembangan, khususnya tenaga Bidan paling dominan yaitu 52 bidan, hal ini tidak lepas dari program Pemerintah untuk menempatkan Bidan disetiap desa. Adapun jumlah tenaga medis dan paramedis di Kecamatan Banyuasin III yang terdiri dari Dokter Umum, Dokter Gigi, Bidan, Perawat, Sanitarian dan lain sebagainya berjumlah 104 tenaga kesehatan.

158

Bertambahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan usaha yang preventif kesehatan salah satunya dengan jalan vaksinasi, antara lain dari data yang ada di Puskesmas Pangkalan Balai dan Puskesmas Sembawa vaksinasinya sebagai berikut : BCG, DPTI, DPT2, DPT3, TT1, TT2, TT3, TT4, TT5 , Polio 1, Polio 2, Polio 3, Polio 4 dan Campak.

Di samping penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah penyakit yang timbul dalam masyarakat. Penyakit yang berjangkit dalam masyarakat adalah penyakit tradisional yaitu penyakit yang dominan berkembang di Kecamatan Banyuasin III yang mudah menular yaitu Diare, Pnemonia, TBC, dan Malaria. Masih tingginya penyakit Diare yaitu mencapai 2.274 penderita disebabkan masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam hal kebersihan terutama dalam penggunaan air bersih. Salah satu usaha Pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan dengan penambahan sarana untuk mendapatkan air bersih dan sarana penunjang untuk terciptanya kebersihan lingkungan terutama di desa yang rawan penyakit tersebut.

Pentingnya pendidikan dewasa ini merupakan salah satu refleksi tingkat kemajuan kehidupan dan kesejahteraan suatu daerah. Dengan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna menunjang pembangunan daerah. Pemerintah hingga saat ini sangat memperhatikan pengembangan pendidikan denganmengadakan sarana serta prasarana pendidikan, penambahan jumlah sekolah dan guru secara langsung memberikan kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan.

159

Pada tingkat sekolah Dasar baik Negeri maupun swasta jumlah sekolahnya adalah 68 sekolah dengan jumlah guru mencapai 589 dan murid 10.594 siswa, sedangkan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama baik Negeri maupun Swasta jumlah sekolahnya 10 buah, jumlah gurunya mencapai 273 orang dan murid mencapai 3.169 siswa dan Sekolah Menengah Umum baik Negeri maupun swasta jumlah sekolahnya 5 sekolah, jumlah guru mencapai 146 orang dan jumlah murid mencapai 1.555 siswa. Sekolah kejuruan swasta jumlah sekolahnya 3 buah, jumlah gurunya 48 orang dan jumlah muridnya mencapai 442 siswa. Adapun jumlah fasilitas pendidikan tersebut khususnya Sekolah Dasar tersebar hampir diseluruh desa di Kecamatn Banyuasin III, sedangkan untuk SLTP, SMU, SMK sebagian besar terletak di Kota Pangkalan Balai.

Disamping jumlah sekolah, sarana pendidikan lain yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga pengajar yang mencukupi, karena kurangnya tenaga pengajar secara langsung akan mempengaruhi kualitas pendidikan tersebut. Dilihat dari rasio murid terhadap guru atau perbandingan jumlah murid dan guru, untuk tingkat Sekolah Dasar rasio murid terhadap guru 17,99% artinya setiap satu orang guru dapat mengajar 18 orang siswa, sedangkan rasio murid terhadap guru untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Menengah Umum masing-masing sebesar 11,61 % dan 10,65%. (Banyuasin III Dalam Angka, Koordinator Statistik Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin, BPS 2003)

Pengadaan sekolah tersebut sangat diperlukan khususnya untuk daerah pedesaan yang berada dipelosok karena trasportasi untuk menuju sekolah terdekat sangat sulit dan memerlukan waktu yang relatif lama. Untuk sekolah

160

Menengah Umum Negeri di Kecamatan Banyuasin III hanya 1 buah dan terletak di Kota Pangkalan Balai sehingga khususnya daerah pedesaan yang cukup jauh dari pangkalan Balai menjadi salah satu kendala masyarakat untuk menjangkau sarana pendidikan tersebut.

Pembangunan Nasional maupun daerah tetap di prioritaskan pada sektor Pertanian yang diharapkan mampu mendukung pembangunan sektor lain. Kecamatan Banyuasin III dengan jumlah penduduk 77.573 jiwa yang tersebar di 28 desa, 1 Kelurahan dan 3 Desa Persiapan /UPT sebagian besar penduduk mata pencahariannya adalah sebagai Petani. Untuk lebih jelas perkembangan sektor pertanian yang dibagi menjadi beberapa sub sektor antara lain: a. Tanaman bahan makanan, realisasi produksi di Kecamatan Banyuasin III pada tahun 2003 berjumlah 5.322,7 Ton dengan luas panen 1.717 hektar atau rata-rata 3,1 ton perhektar. Jumlah produksi padi di Kecamatan Banyuasin III hanya menyumbangkan 1,6% untuk produksi padi Kabupaten Banyuasin yang sebesar 457.457 Ton. Kecilnya produksi padi di Kecamatan ini yang hanya 1,16 % dari total produksi padi kabupaten Banyuasin disebabkan berbagai faktor, salah satunya adanya perubahan lahan tanaman padi menjadi lahan perkebunan.

Adapun luas lahan untuk jagung, ubi, jala, kacang tanah dan kacang hijau seluas 213 Hektar dengan produksinya 17.122,83 ton. Untuk luas panen kacang Panjang, cabai, Tomat, Terong, Ketimun, kangkung, bayam dan Buncis adalah 230 Hektar dan produksinya 1.363,9 ton. Serta luas panen dan produksi untuk mangga, jeruk, sawo, durian, duku, cempedak, jambu biji, rambutan, pisang adalah 154,6 hektar dan 1.7126,74 ton.

Perkebunan di Kecamatan Banyuasin III terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan besar

161

terdiri dari perkebunan Negara, Swasta Nasional dan swasta Asing meliputi komoditi karet dan Kelapa Sawit. 2 komoditi ini berpotensi di kembangkan di Kecamatan Banyuasin III. Untuk produksi karet di Kecamatan Banyuasin III sebesar 39.193,81 ton atau sekitar 39,9 % dari total produksi karet Kabupaten Banyuasin, untuk produksi kelapa sawit Kecamatan Banyuasin III sebesar 7.500 ton atau sekitar 20,32 % produksi kelapa sawit kabupaten Banyuasin.

C. Kehidupan Keagamaan

Penduduk yang berada di Kabupaten Banyuasin III mayoritas menganut agama Islam mencapai 717.810 jiwa, selebihnya menganut agama Kristen 5.443 jiwa, Katolik 2.235 jiwa, Budha 4.785 jiwa, dan agama Hindu 2.056 jiwa. Kehidupan keagamaan di wilayah ini dapat dikatakan cukup marak, bukti kemarakannya terlihat dari banyaknya sarana ibadah yang ada yang merupakan salah satu tempat umat beragama melakukan kegiatan keagamaan, seperti: terdapat majelis taklim 399 buah, masjid 822 buah, mushalla 391 buah, langgar 211 buah, gereja 30 buah, pura 4 buah, wihara 2 buah . Selain itu terdapat beberapa pondok pesantren, Ulama, Muballigh, Khatib, penyuluh agama fungsional dan penyuluh agama honorer. Dengan melihat banyaknya sarana ibadah tersebut, tentunya aktivitas keagamaan cukup tinggi dan kerukunan antar umat beragamanya cukup baik dan toleran. Upaya dari para pemuka agama untuk dapat mempertahankan Kerukunan Antar Umat Beragamanya cukup kuat dan terjaga dengan baik, sehingga hubungan antar umat beragama dapat berjalan aman dan damai, saling hormat menghormati, harga menghargai walaupun berbeda agama, etnis dan budayanya.

162

Profil Perusahaan Perkebunan PTPN VII Musilandas

A. Sejarah Singkat Perusahaan Perkebunan PTPN VII Musilandas

emerintah Hindia Belanda semula menetapkan centra perkebunann di Pulau Jawa dan selanjutnya sesuai perkembangan zaman diwaktu itu, maka kebijaksanaan

yang semula tercentra di Pulau Jawa kemudian diadakan expansi ke luar Jawa. Salah satu perusahaan perkebunan milik maschapai Nederlands Indiche mempunyai lahan di Musilandas Sumatera Selatan. Maka pada tahun 1926 didirikanlah pusat perkantoran perusahaan dengan komoditi perkebunan karet. Sejalan dengan perkembangan zaman pada tahun 1957 dengan dideklarasikannya Trikora oleh

P

163

pemerintah Indonesia, maka ex perusahaan Belanda terkena Nasionalisasi. Perkembangan Badan Usaha Perkebunan Musilandas era nasionalisasi sebagai berikut : 1. pada tahun 1958 sampai dengan tahun 1969 bernama PPN Karet IX, 2. pada tahun 1969 sampai dengan tahun 1980 bernama PN P X, 3. pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1996 bernama PTP X dan pada tahun 1996 sampai dengan sekarang bernama PTPN VII Musilandas (Profil PTPN VII Musilandas, Pebruari 2005).

B. Kontribusi Perusahaan dan Sumber Daya Manusianya

Keberadaan perusahaan Perkebunan PTPN VII Musilandas telah banyak memberikan kontribusi kepada negara dan daerah setempat , berupa : 1) Pajak Bumi dan Bangunan; 2) PPN; 3) PPH pasal 21; 4) Commodity Of Development; 5) Kesempatan kerja kepada masyarakat setempat dan bantuan-bantuan lainnya.

Pada umumnya tenaga kerja yang ada di PTPN VII Musilandas ini adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar unit Usaha Musilandas dan masyarakat yang berasal dari luar Sumatera. Pegawai yang bekerja di perusahaan ini mayoritas berasal dari suku jawa dan selebihnya dari suku Sumatera. Latar belakang pendidikannya terdiri darikebanyakan tamatan SD, SMP. SMA dan jarang sekali yang berpendidikan dari perguruan tinggi. Komposisi karyawan dapat digolongkan menjadi : golongan 1a sebanyak 550 orang; golongan 1b sebanyak 129 orang; golongan 1c sebanyak 5 orang; golongan 1d sebanyak 11 orang; golongan IIa sebanyak 30 orang; golongan II b sebanyak 21 orang; golongan II c sebanyak 3 orang ; golongan II d sebanyak 4 orang; golongan III a sebanyak 2 orang; golongan III b sebanyak 3 orang; golongan IIIc sebanyak 1 orang; dan golongan IV c sebanyak 1 orang. Jumlah seluruh karyawannya ada 761 orang termasuk

164

seorang Manager atau pimpinannya yang bernama Ir. H. Musyafak (Profil PTPN VII Musilandas, Pebruari 2005).

C. Fasilitas yang tersedia di Perusahaan PTPN VII Musilandas adalah :

1. Bangunan Perusahaan yang terdiri dari: a. Kantor sentral;b. Kantor Apdeling; c. Gudang Produksi;d. Pabrik ;e. Kamar Mesin;f. Limbah Trap;

2. Sarana SosialBeberapa fasilitas yang ada di Unit usaha Musilandas dan dapat dimanfaatkan oleh pekerja bersama keluarganya adalah sebagai berikut: a. perumahan Staf dan perumahan bulanan;b. sarana pendidikan dari Tingkat SD sampai dengan

SMP; c. sarana peribadatan meliputi: Mesjid, Mushalla,

dan Gereja;d. sarana kesehatan yang diberi nama PUSKESBUN;e. sarana olah raga meliputi: lapangan sepak bola,

lapangan Volly dan lapangan Bulutangkis;f. kesenian.

165

Interaksi Sosial Antar Umat Beragama

A. Interaksi Sosial Intern Umat Beragama

ebagaimana kita ketahui bahwa Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada

kehidupan bersama. Menurut Soejono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok maupun antar individu dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial akan terjadi jika ada kontak sosial dan ada komunikasi antar pelaku interaksi.

S

166

Interaksi sosial bila dilihat dari bentuknya dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan dapat juga berbentuk pertentangan (conflict). (Soejono Sukanto, Sosiologi suatu pengantar, 2003: 61). Sedangkan integrasi adalah sebagai suatu proses dimana kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat saling menjaga keseim-bangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik. Kelompok-kelompok sosial tersebut dapat terwujud atas dasar agama, suku dan golongan.

Interaksi sosial antara umat Islam dengan umat Islam itu sendiri yang berada di Perumahan milik perusahaan PTPN VII Musilandas dapat dilakukan pada wadah majelis taklim di Mesjid dalam memperingati kegiatan hari-hari besar Islam seperti perayaan Isra' ma'raj, Maulid Nabi Muhamad SAW,dan pengajian-pengajian yang dilakukan seminggu sekali yang dilaksanakan pada setiap hari Kamis pagi, bagi kaum ibu. Untuk kaum bapak dilaksanakan pada setiap malam jum'at ba'da isya. Begitu pula dalam perayaan hari raya idul fitri maupun idul adha, semua umat Islam baik laki-laki ataupun perempuan , tua muda dan anak-anak berkumpul bersama-sama melakukan shalat idul fitri maupun idul adha baik yang dilakukan di lapangan, di Masjid ataupun di Mushalla-Mushalla. Setelah selesai dari mengerjakan shalat semua umat Islam saling berjabatan tangan mengucapkan selamat idul fitri mohon maaf lahir dan bathin. Begitu juga setelah selesai shalat idul adha semua umat Islam melaksanakan pemotongan kurban yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin. (wawancara dengan salah seorang ibu yang tinggal di perumahan PTPN VII Musilandas).

Interaksi sosial antar umat Kristen dengan umat Kristen itu sendiri dapat dilakukan dalam wadah Kebaktian

167

yang dilakukan di Gereja-gereja pada setiap hari minggu pagi sampai dengan selesai. Acara kebaktian ini dihadiri oleh kaum bapak, ibu dan anak-anak. Begitu pula dalam acara Natalan semua umat Kristen maupun umat Katolik baik kaum ibu, kaum bapak maupun anak-anak semuanya melakukan acara natalan secara bersama-sama dengan penuh riang dan gembira dilakukan di Gereja-Gereja . (wawancara denga salah seorang Bapak yang tinggal di perumahan PTPN VII Musilandas).

B. Interaksi Sosial Antar Umat Beragama

Dalam masyarakat perkebunan PTPN VII Musilandas interaksi sosial umat beragama dapat terjadi antara umat beragama Islam dengan umat beragama Kristen berupa kerjasama dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti: kerja bakti, memperingati hari-hari besar Nasional, PKK, LKMD, di bidang jasa, perdagangan, pendidikan , arisan dan lain sebagainya. Selain itu dalam upacara-upacara lingkaran hidup seperti: acara tujuh bulanan, perkawinan, khitanan, kematian dan sebagainya. Hal-hal semacam itu menurut Ahmad Fedyani Saifuddin disebut integrasi sosial, yakni sebagai penyatuan kelompok-kelompok yang tadinya terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaan-perbedaan seperti agama, etnis dan kebudayaan yang ada sebelumnya.

Pada saat peneliti berada di lapangan, seorang pegawai PTPN VII Musilandas kebetulan mendapatkan musibah kecelakaan motor dan meninggal dunia, maka semua pegawai melakukan ta'ziyah bersama sambil menyerahkan santunan kematian dan mengantarkan jenazah sampai ke tempat pemakaman, sehingga mengakibatkan kantor sepi dan hanya dijaga oleh seorang pegawai.

168

Menurut hasil wawancara dengan bapak Ramalan sebagai seorang penghulu yang bertempat tinggal di Perumahan PTPN VII Musilandas mengatakan bahwa warga kami di sini bila ada perayaan hari raya idul fitri bagi umat Islam, semua tetangga baik Islam maupun non Islam, mereka saling berdatangan ataupun berkunjung dari rumah kerumah. Begitu juga bila ada perayaan hari Natal bagi umat Kristen, semua umat beragama antar sesama tetangga saling beradatangan mengucapkan selamat natal.

C. Faktor-faktor yang Berpotensi dalam Mewujudkan Kerukunan

Umat beragama yang berada di perumahan milik perusahaan perkebunan PTPN VII Musilandas menganut dua agama yaitu Islam dan Kristen, yang dianut oleh dua suku Jawa dan Sumatera. Warga masyarakat yang berada di sekitar ini dapat hidup berdampingan dengan baik , aman dan damai, saling tolong menolong, harga menghargai antara umat yang satu dengan umat yang lainnya tanpa membedakan agama, kebudayaan, tingkat pendidikan maupun tingkat ekonomi mereka.

Kerukunan umat beragama di wilayah ini dapat terwujud dengan baik karena adanya potensi-potensi yang meliputi: 1. untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup hari-hari bagi karyawannya selain ada gaji bulanan, juga disediakan koperasi simpan pinjam bagi yang membutuhkannya dengan tidak memungut bunga yang terlalu besar , kecuali untuk biaya administrasi 2 %. Selain itu diadakan arisan bulanan bagi semua karyawan dengan tujuan bagi isteri-isteri karyawan dapat bersilaturrahmi dan bertatap muka dalam setiap bulan sekali pada minggu pertama. 2. Dalam kegiatan sosial biasanya diadakan kerja bakti,

169

permainan sepak bola, volly, dan olah raga lainnya. 3. Dalam upacara-upacara lingkaran hidup seperti pesta perkawinan, tujuh bulanan, khitanan dan lain-lain yang dilaksanakan oleh warganya, semua umat beragama menghadirinya tanpa membedakan agama, suku, kebudayaan , tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi mereka. 4. Dari pimpinan perusahaan sangat memperhatikan pengabdian para karyawannya dengan memberikan penghargaan kepada seluruh karyawannya yang telah mengabdi lamanya 25 tahun diberikan uang sebanyak lima bulan gaji plus 10 gram emas; kemudian 30 tahun mengabdi diberi lagi uang dan emas sebanyak itu; setelah itu berlanjut 35 tahun mengabdi diberi lagi uang dan emas sebanyak itu. (wancara dengan bapak Ramalan pegawai PTPN VII Musilandas). Bahkan bagi semua karyawan diberi hak lagi berupa: santunan hari tua yang diberikannya pada saat pensiun dan banyaknya tergantung lamanya masa kerja dan tingginya golongan; uang pensiun yang biasanya diambil tiap bulan sampai yang bersangkutan meninggal dunia.

Atas kebijakan pimpinan ada pemberian berupa paket bingkisan untuk kaum duafa/fakir miskin yang diberikannya pada saat menjelang bulan puasa, berupa: beras, gula, terigu dan minyak goreng .Dalam bidang keagamaan bagi kebutuhan masyarakat di wilayah sekitar Kabupaten Banyuasin pada program safari Ramadhan diberikan bantuan berupa: Sajjadah untuk Masjid Nurul Iman, Keramik untuk Masjid Baitul Rahman, Ton blok untuk Masjid Baitul Makmur dan sebagainya. Hal semacam ini dilakukan hampir tiap tahun. (wawancara dengan salah seorang pegawai PTPN VII Musilandas).

170

D. Upaya-upaya yang dilakukan dalam memelihara dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama.

Untuk memelihara dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama yang ada di Kabupaten Banyuasin khususnya warga yang tinggal di perumahan milik PTPN VII Musilandas dilakukan dengan jalan meningkatkan toleransi melalui kegiatan sosial dan upacara-upacara lingkaran hidup. Salah seorang warga menyatakan bahwa bila kita melihat tetangga sebelah sedang ditimpah musibah seperti kematian , maka kita ikut merasakannya dengan membantu sesuai kemampuan dan kebutuhan mereka atau sekedar menghadiri acara tersebut. Bahkan sebaliknya bila kita melihat warga kita sedang mendapatkan kebahagiaan, seperti melakukan hari pernikahan ataupun kelahiran anaknya, maka warga yang lainnya menghadiri atau mendatangi tempat itu dengan mengucapkan selamat atas kebahagiaan itu tanpa melihat agama, kebudayaan, etnis , tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi mereka.

Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa kerukunan antar umat beragama setempat cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pimpinan perusahaan yang menekankan kepada seluruh karyawannya untuk dapat hidup dengan rukun dan damai antara sesama karyawan dan keluarganya serta masyarakat sekitar dan juga begitu memperhatikan kebutuhan hidup karyawannya serta kebutuhan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya. Selain itu pimpinan cukup toleran terhadap bawahan dan masyarakat sekitarnya serta sangat memperhatikan perkem-bangan kehidupan keagamaan umat.

171

Penutup

A. Kesimpulan

ari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan :

1. Interaksi sosial antar umat beragama pada masyarakat perkebunan karet yang bertempat tinggal di perumahan milik Perusahaan PTPN VII Musilandas dalam hidup kesehariannya dapat dikatakan cukup baik. Hal ini dikarenakan pengaruh pimpinan yang menekankan kepada karyawannya untuk dapat hidup saling harga menghargai, hormat menghoramati, antar sesama karyawan, antar keluarga karyawan maupun antar masyarakat sekitar tanpa melihat etnis maupun agama mereka;

D

172

2. Interaksi sosial intern umat beragama Islam yang berada di perumahan milik PTPN VII Musilandas dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial keagamaan seperti dalam acara shalat tarawih bersama, shalat idul Fitri, shalat idul adha bersama, dan juga dalam acara kegiatan Isra' mi'raj, maulid Nabi Muhamad SAW, pengajian-pengajian di Masjid, Mushalla, langgar dan di rumah-rumah, sertadalam upacara-upacara lingkaran hidup.

3. Interaksi sosial umat beragama Kristen yang berada di perumahan milik PTPN VII Musilandas dapat dilakukan melalui Upacara-upacara keagamaan seperti Natalan yang dilaksanakan di Gereja-gereja, rumah-rumah dan dalam Paguyuban-paguyuban pada acara kebaktian bersama.

4. Faktor-faktor yang dapat berpotensi dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama yang bekerja dalam perusahaan perkebunan karet ini, antara lain : a) adanya wadah Koperasi Simpan Pinjam bagi semua karyawan tanpa melihat etnis, agama maupun pangkat/golongan mereka; b) adanya perkumpulan arisan, sehingga bagi keluarga karyawan dapat bertemu dalam setiap bulan sekali pada minggu pertama; c) Dalam upacara-upacara lingkaran hidup yang dilaksanakan oleh keluarga karyawan, semua pegawai diwajibkan hadir;d) Kharismatik pimpinan yang ditaati karyawannya; e) adanya penghargaan bagi karyawan yang sudah mengabdi lamanya 25 tahun, 30 tahun dan 35 tahun; f) adanya santunan hari tua yang diberikannya ketika pada saat akhir masa kerjanya sesuai tingkat golongannya; g) adanya pemberian uang pensiun yang diambil pada setiap bulan sekali sampai dengan karyawan itu meninggal dunia.

173

5. Upaya-upaya yang dilakukan dalam memelihara dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama antara lain adalah : saling bekerja sama dalam melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, jangan ada saling timbul rasa curiga mencurigai diantara sesama umat beragama

B. Rekomendasi

1. Interaksi sosial antar umat beragama masyarakat Banyuasin khususnya warga yang berada di perumahan milik perusahaan perkebunan PTPN VII Musilandas yang sudah sangat baik itu, perlu di pertahankan terus agar suasana aman dan damai dapat terpelihara;

2. Hal-hal yang dapat berpotensi dalam memelihara dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat perkebunan karet itu perlu ditingkatkan agar jalinan hubungan antar pimpinan, bawahan dan masyarakat menjadi lebih akrab dan harmonis;

174

Daftar Pustaka

Alo Siliweri, Prof. Dr., MS. Prasangka dan Konflik, Jakarta, 2005

Basri Yusriati, Pembinaan kehidupan Beragama Melalui Masjid di Kota Kecill Semarang

BPS Kabupaten Banyuasin III , Kota Palembang, 2003

Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama , Tiga Kondisi Ideal Kehidupan Beragama di Indonesia, Proyek Pembinaan Keerukunan Hidup Beragama, Jakarta, 1992

Laporan Tahunan Kandepag Kabupaten Banyuasin 2004

Ronald Robetson, Agama Dalam Analisa Interpretasi Sosiologis, Jakarta, 1992

Profil PTPN VII Musilandas, 2005

Saifuddin, Ahmad Fedyani, Konflik dan Integrasi Sosial, Jakarta, 1982

Sulaiman, Drs. Hubungan Antar Umat Beragama Hindu dan Islam di Bali, Departemen Agama Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, Semarang, 2000

Soejono Soekanto, Sosiaologi Suatu Pengantar, Jakarta, 2003

Kontribusi Agama Dalam Mewujudkan Multikulturalisme di Indonesia, 2004

BAGIAN 6

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN LUBUK PAKEM SUMATERA UTARA

Penulis

Drs. H. Ahsanul Khalikin

176

Pendahuluan

A. Latar Belakang

onflik agama di Indonesia sesungguhnya hampir tidak pernah terjadi sebagai variable independen. Setidaknya, hampir tidak dijumpai konflik yang

berlatar belakang agama secara murni. Konflik di Ambon yang berawal di tahun 1999 tidak sepenuhnya merupakan konflik agama, karena konflik itu sendiri terbungkus secara rapi dari proses hubungan antaretnis yang begitu mengkristal (Alqadrie, 1999). Bahkan konflik di kabupaten Poso yang secara langsung melibatkan kelompok pemuda Islam dan Kristen, sesungguhnya memiliki basis kepentingan politik antara penguasa pusat dan daerah. Namun demikian tidak berarti kehidupan antarumat beragama di Indonesia steril dari konflik. Setidaknya perbedaan itu sendiri merupakan bagian paling potensial di dalam menimbulkan konflik, ketika

K

177

masyarakat dihadapkan dengan nilai-nilai yang serba pluralistik1.

Itu sebabnya kemudian berkembang studi multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan varian teori perbedaan, di mana perbedaan manusia secara analitis lebih penting dibanding kesamaan mereka2. Agger menjelaskan, multikulturalis menyangkal kemungkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara keseluruhan. Dengan cara berpikir demikian maka perbedaan bukan berarti konflik, dan lebih dari itu hubungan mayoritas dan minoritas sama sekali tidak berkaitan erat dengan akar persoalan konflik itu sendiri.

Persepsi yang menyatakan bahwa minoritas harus tunduk kepada mayoritas, bukan merupakan bagian dari studi multikulturalis. Justru yang sering disalahpahami adalah bahwa kelompok mayoritas seringkali memaksakan kehendak kepada kelompok minoritas. Ironisnya, dalam beberapa studi etnisitas dominasi semacam itu menjadi bagian yang absah di dalam mengambil kesimpulan. Akibatnya, banyak resolusi konflik etnis atau agama di Indonesia diselesaikan dengan metode yang salah.

Persoalan yang sesungguhnya menarik adalah bagaimana masyarakat secara tradisional mem-bangun hubungan harmonis antar agama atau antar etnis, tanpa campur tangan politik yang lebih luas. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa sesungguhnya masyarakat

1 Spivak Gayatri Chakravorty dan Sneja Gunew, “Questions of Multiculturalism”, dalam Simson During (ed), The Cultural Studies Reader, London dan New York Routledge, 1993

2 Agger, Ben, “Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya”, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003

178

Indonesia telah memiliki mekanismenya sendiri di dalam mengelola konflik dan harmonisasi di antara mereka. Pada dasarnya mereka sadar akan perbedaan dalam kehidupan multidimensi.3 Karena faktor eksternal keseimbangan hubungan antar etnis mengalami perubahan, misalnya perubahan politik secara makro maupun mikro.

Keseimbangan hubungan antar etnis memang tidak mungkin dicapai karena posisi ekonomi dan politik satu etnis dengan etnis lain sejak awal sudah berbeda, termasuk di dalamnya perbedaan agama. Masalah muncul ketika perbedaan itu semakin mencolok dan melahirkan ketimpangan dalam penguasaan sumber daya. Etnis pendatang sering kali menjadi etnis yang lebih dominan dalam penguasaan sumber daya walaupun dari sudut jumlah mereka tergolong minoritas. Ketimpangan penguasa-an sumber daya ini kemudian meluas ke dalam ketimpangan akses politik yang menyebabkan lahirnya dominasi suatu etnis. Dua hal yang berbahaya di sini adalah ketika kelompok etnis atau agama dominan mendapatkan privilege dariberbagai agen sosial, khususnya pemerintah dan ketika kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries) mulai muncul. Etnis setempat mulai sadar bahwa wilayah itu merupakan tanah air mereka yang mulai dijajah oleh orang luar.

Dalam kondisi yang serba multi itulah sering-kali terjadi konflik antar kelompok masyarakat. Selanjutnya, konflik-konflik antar kelompok masyara-kat tersebut akan melahirkan ketidakserasian sosial. Menurut Syafri Sairin dan Pujo Sumedi, terdapat tiga sumber ketidakserasian sosial,

3 Musthofa, “Kearifan Lokal dan Kerukunan Antarumat Beragama” (Studi tentang Hubungan Islam-Hindu di Bali dalam Membangun Harmoni), Lemlit UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005

179

yaitu;4 (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi (access to economic resources and to means of production); (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansions); (3) benturan kepentinganpolitik, ideology dan agama (conflict of political, ideology and religious interst).

Ketiga sumber konflik tersebut dapat ditemu-kan dalam setiap masyarakat (besar atau kecil). Tetapi dalam masyarakat majemuk dan heterogen, frekwensi benturannya akan lebih banyak jika dibandingkan dengan masyarakat sederhana dan homogen. Ketiga sumber konflik tersebut juga dapat bersatu secara simultan dan melahirkan benturan yang keras dalam masyarakat sehingga terasa sulit untuk ditelusuri dan dibedakan.5

Oleh karena itu, untuk mengetahui secara lebih jelas kondisi obyetif kerukunan dan ketidakrukunan antarumat beragama pada masyarakat perkebunan di lingkungan PT. Perkebunan Nusantara II Perkebunan Tamora di sekitar Kecamatan Tanjung Morawa Kab. Lubuk Pakem, dengan maksud untuk memudahkan mengantisipasi berbagai hal yang tidak dinginkan, maka perlu dilakukan sebuah kajian yang mendalam. Dengan demikian, juga dapat diketahui berbagai pola pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan terhadap masyarakat perkebunan itu sendiri. Informasi tersebut dipandang sangat berguna dalam rangka penyusunan kebijakan dibidang kehidupan keagamaan, sosial, budaya, politik, khususnya terkait dengan kerukunan.

4 Syafri Sairin dan Pujo Sumedi, “Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia”, Jakarta: Kantor Menteri Negara KLH dan UGM, 1983, 13.

5 Achmad Jainuri, “Model Solusi Pengatan Konflik Sosial Berbasis Agama”, Lemlit IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005, 4.

180

B. Kerangka Teori

Secara subtansial-perennial, agama merupa-kan sistem nilai (value system) yang bersumber dari Dzat yang transhistoris-transcultural, transcendental, realitas tertinggi, kebenaran mutlak dan kesejatian abadi. Sementara manusia sebagai penerima agama merupakan makhluk temporal-kultural, tidak tak terbatas dan terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karenanya agama lebih merupakan tatanan kemanusiaan yang bersifat normative, ia merupakan grant theory yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan karenanya dalam tataran implemantasi sangat tergantung pada cara memahami dan menginterpretasikannya. Dalam perspektif ini maka sistem nilai agama yang sacred-transcultural dan sistem nilai budaya yang profane-historical, antropologis-kondisional tidak dapat terpisahkan6.

Pemahaman demi pemahaman maupun reinterpretasiterhadap pesan-pesan Tuhan (baca: agama) terus berlangsung secara dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya transformasi dan internalisasi nilai-nilai transcedental (transcedental value) agama dalam kesejarahan (historisitas) manusia, sehingga manusia benar-benar mampu mengaktualisasikan kekhalifahannya menuju tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin (comprehensive human justice).

Sikap umat beragama dalam menginter-pretasikan dan mengimplementasikan ajaran agamanya sangat dipengaruhi oleh bagaimana paradigma yang digunakannya dalam memahami agama itu sendiri. Dalam penelitian agama-agama

6 M. Mudhofi, dkk, “Toleransi Lintas Agama Bagi Masyarakat Rawan Konflik”, (Studi Kasus Model Kerjasama Lintas Agama di Kota Semarang), IAIN Walisongo – Semarang, 2005, 5.

181

setidaknya ada tiga paradigma (untuk mengatakan hanya ada tiga paradigma saja) yang dapat digunakan untuk memetakan varian tipologi keagama-an dan keberagamaan.

Pertama, paradigma ekslusif.7 Orang atau kelompok yang memiliki kerangka berpikir ini berpan-dangan bahwa seseorang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengikuti iman yang dia akui, kecuali memeluk agama yang dia peluk. Agama-agama lain barangkali memiliki banyak kebenaran dan kebaikan, tetapi agama-agama lain tersebut dianggap tidak bisa menjadi mediasi keselamatan8.

Ekpresi keberagamaan penganut kelompok ini memiliki watak tertutup, anti dialog, konservatif, cenderung fundamentalis, ekstrimis, intoleran, apologis dan dogmatis sehingga kurang kondusif untuk melihat rumah tangga orang lain secara bersahabat, sejuk dan ramah, serta terlalu

7 Paradigma ekslusif ini dalam Islam memang memiliki landasan normative yang dipegang teguh oleh penganutnya, antara lain QS. Al-Maidah/5:3; QS. Ali Imran/3:19 dan 85; QS. Al-Bayyinah/98:7. Sementara bagi penganut paradigma eksklusif di kalangan umat kristiani sering mendasarkan pada teks Yohanes (14 : 6) yang berbunyi : “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang dating kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4, 12). Dari landasan inilah kemudian muncul istilah “No Other Name” yang menjadi symbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus, “extra ecclesiam mulla salus” (tidak ada keselamatan di luar Gereja), “extra ecclesiam nullus propheta” (tidak ada nabi di luar Gereja). Selanjutnya dilihat Hendrik Kraemer, “Christian Attitudes toward Non-Christian Religions” dalam Carl E. Braaten dan Robert W. Jenson, A Map of Twentieth Century Theology, Readings from Karl Barth to Radical Pluralism, (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 222-231.

8 J.B. Banawiratma, S.J., “Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain Perspektif Gereja Katolik”, dalam Seri Dian 1 Tahun 1, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), 4.

182

menonjolkan sisi perbedaan dengan menutup serapat-rapatnya sisi persamaannya. Pendekatan yang dipakai oleh kelompok ini adalah pendekatan yang bersifat subyektif, sebuah pendekatan yang menilai subyek lain dari perspektif agamanya sendiri. Agamanya dipandang paling otentik memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, sementara agama lain di luar dirinya dianggap hanya memiliki kebenaran yang palsu dan tidak otentik, sehingga memunculkan budaya truth claim yang berimplikasi pada pembentukan mode thought yang partikularistik dan pada akhirnya terjadi apa yang oleh Arkoundisebut sebagai pelapisan geologi pemahaman agama atau taqdis al-afkar al-diniy,9 (sakralisasi terhadap pemikiran keagamaan) dan bahkan kecenderungan pemahaman tentang agama itu sendiri dianggap sebagai agama yang wajib diikuti, sehingga religiousitas yang sesungguhnya bersifat “on going process” serta “on going formation” mengalami stagnasi dan akhirnya terjadilah marginalisasi dan alienasi agama dalam realitas empirik. Proses ini pula yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses “ortodoksi”.10 Paradigma ini sangat sejauh dari kemungkinan terbukanya peluang dialog, intraksi dan toleransi antarumat beragama.

Kedua, paradigma inklusif. Berbeda dengan kalangan yang menganut paradigma ekslusif yang memandang konsep keselamatan dan kebenaran hanya dari sudut pandang agamanya sendiri, maka kelompok inklusif membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan

9 M. Arkoun, Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Saleh, (Beirut: Markaz al-Inma’al-Qaumi, 1990), 172-173; 116-117.

10 Fazlur Rahman, “Islam”, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: penerbit Pustaka, 1984); 105

183

aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain.11 Penganut paradigma inklusif ini lebih mengedepankan pemahaman ajaran agama secara kontekstual, lebih mementingkan esensi dan makna terdalam pesan-pesan teks, sehingga implementasi ajaran agama selalu dipertimbangkan dengan konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi sosio-kultural yang tak terpisahkan dengan historisitas manusia. Tetapi dalam paradigma inipun masih terdapat titik kelemahan yakni meskipun memiliki pandangan yang menaruh simpati

11 Dalam Islam penganut paradigma inklusif ini sering menggunakan landasan normative ayat al-Qur’an tentang adanya titik temu agama-agama (QS. Ali Imran/3:64), dimana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi untuk berlomba menuju berbagai kebaikan, dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu . (QS. Al-Maidah/5:48). Kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Sebagaimana dikutif dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. Bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu”. (HR Bukhari). Lihat Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 47-48.

Dalam perspektif Kristiani, pandangan paling ekspresif dari paradigma inklusif ini nampak pada dokumen Konsili Vatikan II yang mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen tentang pernyataan inklusif yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklerasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani”. Teolog terkemuka yang menganut pandangan ini adalah Karl Rahner yang memunculkan istilah inklusif, the Anonymous Christian (Kristen Anonim), yakni orang-orang non Kristiani. Para “Kristen Anonim” ini dalam pandangan Rahner juga akan selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Lihat Karl Rahner, “Cristianity and the Non Christian Religions”, dalam Carl E. Braaten dan Robert W. Jenson, op. cit, 231-246

184

terhadap agama-agama lain, tetapi kurang menempatkan agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan. Maka sebagai paradigma hubungan antarumat beragama masih kurang operasional dan kurang tegas membuka peluang untuk saling berinteraksi dengan penuh toleransi.

Setidaknya ada tiga gagasan utama yang saling terkait dari penganut madzhab inklusif yaitu pertama, bahwa subtansi keimanan dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keagamaan yang bersifat literal. Kedua, pesan-pesan agama yang bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya harus selalu ditafsirkan ulang oleh masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi. Ketiga, kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tak seorangpun yang dapat memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan perennial Tuhan adalah paling benar, lebih benar atau lebih baik daripada pemahaman orang lain. Maka kelompok subtansialis sangat menekankan betapa pentingnya toleransi terhadap sesama umat seagama maupun antarumat beragama, karena perbedaan agama, budaya maupun politik di pandang sebagai fitrah kemanusiaan yang bersifat universal dan oleh karenanya perlu direspon dengan penuh kesadaran.

Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini berbeda secara subtansial dengan kelompok inklusif, lebih-lebih dengan kelompok ekslusif. Dalam pandangan ini semua agama dengan cara masing-masing menempuh jalan keselamatan menuju Yang Mutlak, the Ultimate, menuju Allah. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri dank arena itu klaim bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau yang melengkapi atau yang mengisi jalan yang lain (sikap

185

inklusif) haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.12

Sementara dalam pandangan Islam, tafsir Islam pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Perbedaan antara Islam dengan agama-agama lain diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut yakni perumusan iman dan pengalaman iman.13

Pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan pluralisme keagamaan, seperti kata Raimundo Panikkar “berdiri di antara pluralitas yang tidak berhubungan, dan kesatuan monolitik”. Sikap pluralistik mengekspresikan adanya fenomena “satu Tuhan, banyak agama” yang berarti suatu sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.14 Paradigma ini paling memungkinkan untuk membuka dialog, kerjasama, interaksi dan toleransi antarumat beragama.

12 Tokoh utama yang paling impresif mengemukakan paradigma pluralis ini adalah; John Harwood Hicks dalam karyanya “God and the Universe of Faiths (1973). Melalui buku ini ia dianggap sebagai tokoh yang telah melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Selengkapnya lihat John Harwood, God and Universe of Faiths, (oxford: One World Publications, 1993).

13 Pandangan pluralis ini misalnya dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam “The One and The Many” dalam Parabola, 22/3/94

14 Sikap pluralistic dewasa ini terekpresi dalam macam-macam ungkapan, seperti “Other religions are equally valid ways to the same truth’ (John Hicks), “Other religions speak of different but equally valid truths” (John B. Cobb Jr.), atau “Each religion expresses an important part of thetruth” (Raimundo Panikkar). Keterangan tentang masing-masing ekpresi ini, lihat John Lyden, Enduring Issues in Religion, (San Diego: Greenhaven, Inc, 1995), 74-90.

186

Sesungguhnya keanekaragaman (pluralitas) kehidupan manusia merupakan realitas historis yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun, baik pluralitas etnik, bahasa, sosio-kultural, maupun pluralitas agama. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa sangat sulit bagi manusia untuk mempertahankan “paradigma tunggal” dalam wacana apapun. Di sinilah maka pluralitas harus dipahami dan didekati dengan multidimentional approach.15 Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat berada dalam kemejemukan atau keanekaragaman yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bisa dipahami hanya sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya dilihat dari kegunaannya untuk mengeliminasi fanatisme (to keef fanaticism at bay). Namun pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”.16 Dalam perspektif ini yang dibutuhkan bukan “ideal language” yang bersifat reduktif-positivistik, tetapi yang diperlukan adalah kepekaan baru yang lebih bersahaja untuk sepenuhnya menghargai keanekaragaman narasi.

Dalam konsep yang berbeda Alwi Shihab17

menyimpulkan tentang pluralisme. Menurutnya pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemejemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemejemukan tersebut. Dengan demikian pengertian pluralisme agama adalah bahwa

15 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 104

16 Budy Munawar Rachman, op. cit., 3117 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam

Beragama, Cet. IV, (Bandung: Mizan, 1988), 41-43.

187

tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat secara aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan hidup bersama di tengah kebhinekaan.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan konsep kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, budaya, etnis dan bangsa hidup berdampingan di suatu wilayah tertentu, namun interaksi positif antar penduduk –khususnya dibidang agama-- kalaulah ada masih pada tingkat sangat minimal.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Maka sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama – menurut pandangan ini—walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi pemaksaan kebenaran itu pada pihak lain. Paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikapabsolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Oleh karena itulah banyak orang enggan mengunakan istilah pluralisme agama karena khawatir akan terperangkap dalam lingkaran konsep relativisme agama.

188

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme yakni menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.

Dalam konteks ini Nurcholish Madjid menjelas-kan bahwa pluralisme merupakan pertemuan yang sejati dari keanekaragaman dalam ikatan-ikatan kesopanan (bond of civility). Namun keragamannya tetap dalam ruang lingkup yang several (heterogen), bukan dalam pengertian “beberapa” (many) yang cenderung homogen.18 Konsep ini mengandung arti bahwa untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme diperlukan adanya toleransi. Kehidupan bersama dalam pluralitas agama harus diimbangi dengan sikap toleran (tasamuh), saling pengertian, saling terbuka untuk berinteraksi satu dengan lainnya, saling menjunjung tinggi kehormatan agama lain, dan saling menghargai satu dengan lainnya.

Konsep toleransi (tasamuh) dalam setiap agama merupakan bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama itu sendiri. Toleransi merupakan kunci pembuka bagi terwujudnya dialog, kerja sama dan interaksi sosial lainya dalam kehidupan bersama antarumat berag-ama. Toleransi juga merupakan kunci bagi keberlang-sungan hidup masyarakat majemuk (plural).

Ada dua macam penafsiran tentang konsep toleransi yaitu penafsiran negative (negative interpretation of tolerance) dan penafsiran positif (positif interpretation of tolerance).19 Yang

18 Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia”, Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. 95, 62-63.

19 Masykuri Abdillah, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Nur Achmad (Ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2001), 13.

189

pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti atau tidak mengganggu orang lain atau kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi membutuh-kan lebih dari sekedar itu, ia membutuhkan bantuan, dorongan, dukungan, penghargaan terhadap eksistenasi orang atau kelompok lain.

190

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

A. Sekilas tentang Kecamatan Tanjung Morawa

enurut sejarah asal usul nama Kecamatan Tanjung Morawa ada beberapa cerita antara lain dari : a. kata Belanda yaitu Tanjung Morawa dimana mengingat

penjajahan Belanda pada leluhurnya di Eropa menyatakan Tanjung Morawa berasal dari bahasa Karo yaitu Tanjung Morawa arti dari Merawa atau perlawanan/patriotik pejuang-pejuang bangsa, karena dimasa revolusi perjuangan fisik melawan penjajahan Belanda, Tanjung Morawa merupakan daerah perjuangan Medan Area Selatan. Sementara dari cerita lain asal Tanjung Morawa yaitu dari kata tanung dimana pada

M

191

dulunya sungai yang ada saat ini tempat berlabuhnya perahu yang singgah sedangkan Merawa artinya banyak rawa-rawa.

Kecamatan Tanjung Morawa terbentuk pada tahun 1994 yang terdiri dari 25 desa dan satu kelurahan.

B. Kondisi Geografis dan Demografis

Luas Kecamatan Tanjung Morawa ± 13.1175 ha (141,75 Km²) terdiri dari 25 desa dan 1 kelurahan, 194 dusun, 5 lingkungan, 309 Rukun Warga dan 674 Rukun Tetangga. Wilayahnya terletak pada ketinggian ± 30 meter di atas permukaan laut dan pada garis Lintang Utara 0,3 s/d 30, garis Bujur 98 s/d 46 bujur Timur, dengan curah hujan 14.944 mm dan suhu udara rata-rata 27,8º. Adapun sungai-sungai yang ada di Kecamatan Tanjung Morawa adalah sungai Belumai, sungai Batang Kuis, Sungai Batu Gingging, dan sungai Palu Kemirih, serta beberapa sungai kecil lainnya.

Jumlah penduduk Kecamatan Tanjung Morawa tahun 2003 adalah 159.582 orang yang terdiri dari penduduk laki-laki 80.673 orang dan penduduk perempuan 78.909 orang. Bila dikelompokkan penduduk berdasarkan etnik adalah : Jawa sebanyak 84.778 orang, Melayu sebanyak 15.394 orang, Batak Toba sebanyak 15.394 orang, Karo sebanyak 9.421 orang, Tapanuli Selatan sebanyak 9.153 orang, Minang sebanyak 2.940 orang, Kalimantan sebanyak 2.640 orang, Aceh sebanyak 1.184 orang, Nias sebanyak 2.102 orang, lain-lain sebanyak 6.594 orang.

Sedangkan matapencaharian penduduk Kecamatan Tanjung Morawa adalah : tani sebanyak 8.924 orang, industri sebanyak 26.099 orang, perkebunan sebanyak 301 orang, pedagang sebanyak 2.115 orang, angkutan sebanyak 1.286 orang, jasa masyarakat sebanyak 2.301 orang, PNS/TNI dan POLRI sebanyak 3.117 orang, lainnya sebanyak 378 orang.

192

C. Kehidupan Sosial, Ekonomo dan Keagamaan

Dari jumlah penduduk yang ada, penduduk yang beragama Islam sebanyak 126.165 orang, Kristen sebanyak 26.427 orang, Katholik sebanyak 3.892 orang, Budha sebanyak 2.690 orang, dan Hindu sebanyak 406 orang. Dengan jumlah masing-masing pemeluk tersedia sarana tempat ibadah untuk umat Islam terdapat masjid sebanyak 74 buah dan mushalla sebanyak 55 buah. Untuk umat Kristen terdapat gereja sebanyak 12 buah, dan Katholik gereja sebanyak 10 buah. Untuk umat Budha vihara sebanyak 9 buah, dan Hindu tidak ada.

Pendidikan masyarakat di Kecamatan Tanjung Morawa dari sekolah dasar swasta sarananya terdapat 9 buah dengan jumlah murid sebanyak 3311 orang dan guru 119 orang. Sekolah dasar negeri sebanyak 56 buah dengan jumlah murid 18.019 orang dan guru 700 orang. Madrasah Ibtidaiyah swasta sarana sebanyak 11 buah dengan murid sebanyak 2.104 orang dan guru 99 orang. Madrasah Ibtidaiyah negeri murid sebanyak 448 orang dan guru 21 orang. SLTP negeri sarana sebanyak 3 buah dengan murid 1.911 orang dan guru 141 orang. SLTP swasta terdapat sarana 16 buah dengan murid 5.063 orang dan guru 329 orang. MTsN terdapat sarana sebanyak 1 buah dengan murid 278 orang dan guru 16 orang. MTs Swasta terdapat sarana 11 buah dengan murid 2.654 orang dan guru 197 orang. Untuk SMU Negeri 1 buah dengan murid 994 orang dan guru 87 orang. SMU Swasta terdapat sarana 7 buah dengan murid 1.816 orang dan guru 132 orang.

193

Kerukunan Umat Beragama Pada Masyarakat Perkebunan

A. Sejarah singkat Kebun Tamora

ebun Tamora merupakan salah satu kebun di lingkungan PTPN II yang merupakan pemisahan sebagian dari Kebun Pagar Merbau yang berada di 11

desa dengan 2 kecamatan yaitu kecamatan Talun dan kecamatan Tanjung Morawa. Keberadaan kebun Tamora sendiri adalah sejak bulan Januari 2004 yang mempunyai luas HGU 2.352.58 ha dengan luas tanaman = 983,06 ha dengan komoditi Kelapa Sawit. Secara umum tanaman Kelapa Sawit yang ada di Kebun Tamora termasuk kategori Tanaman Tua (TT) dengan rata-rata tahun tanam 1975 dengan komposisi sebagai berikut :

K

194

Tanaman Tua (TT) seluas 271.66 Ha = 27,69% dari luas areal

Tanaman Dewasa (TD) seluas 532,10 Ha = 54,12% dari luas areal

Tanaman Muda ™ seluas 179,30 Ha = 18,23% dari luas areal

Untuk PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Tamora tidak ada PKS, maka untuk pengolahan hasil produksi Kelapa Sawit diolah di Pabrik PKS Pagar Merbau dan pengolahan tanahnya menggunakan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT).

Adapun lokasi Kebun Tamora berada di lingkungan perkampungan yang padat penduduk dan seluruhnya masyarakat berada di dalam Pemerin-tahan Daerah Tingkat II Deli Serdang. Dari hamparan HGU yang sebagian lokasi berada di tengah-tengah areal terdiri dari jurang-jurang dan areal persawahan yang berada di luar HGU PT Perkebunan Nusantara II Kebun Tamora. Kebun Tamora berada di daerah dataran dengan letak geografi 14 – 20 meter di atas permukaan laut.

B. Struktur Organisasi Kebun Tamora

PTPN II Kebun Tamora sekarang ini dipimpin oleh seorang Administratur (Ir. H. Suriyanto) sebelumnya administrator seorang yang beragama Kristen. Dibawah Adminstratur namanya Asisten Kepala (ASKEP) dibawahnya ada 3 (tiga) Asisten Teknik Afdeling (di kantor) salah seorang beragama Kristen lainnya Islam, Perwira Pengaman (PAPAM), Kepala Tata Usaha (KTU) beragama Kristen, Asisten Tanaman dan Asisten Hak/Umum. Di bawah Asisten-Asisten itu ada namanya Kirani 1 s/d Kirani 3 (Petugas Pimpinan di lapangan).

195

Setiap afdeling ada satu guru agama dan ada asisten yang membidangi lapangan. Siar Islam sejak dulunya sudah ada, dan dikomando oleh PTPN II di tingkat Direktur berdekatan dengan PTPN II Kebun Tamora. Di dekat kantor Administratur sudah ada rumah ibadah umat Kristiani, dan masyarakat tidak pernah mempermasalahkannya.

Kebebasan melaksanakan ibadah shalat seperti shalat zuhur itu ada istirahatnya, bila jam 12.00 sirena berbunyi pertanda istirahat dan ibadah shalat zuhur. Kegiatan guru-guru agama termasuk pada malam hari, ceramah-ceramah pada masyarakat perkebunan. Bagi guru-guru pada masing-masing afdeling dianjurkan untuk mengikuti bimbingan kerohanian sesuai dengan ajaran masing-masing, seperti program Ari Ginanjar tentang Tes Q kaitannya dengan pengalaman ibadah.

Gaji karyawan PTPN II Kebun Tamora, seperti pegawai baru gol. 1(b) diangkat Rp. 1.013.000,- tambahan untuk keluarga (isteri dan anak 2 orang) sebanyak 9 kg. beras, tambahan rumah bila tidak perumahan kebun, bisa dikasih uang sewa, dan pelayanan kesehatan gratis. Menjelang hari raya karyawan dapat THR, dan bila perusahaan banyak keuntungan dapat tambahan.

Dalam struktur Organisasi Kebun Tamora terdapat 9 orang pimpinan mulai dari Administratur hingga Asisten Teknik dan Lapangan serta Kepala Tata Usaha. Dari jumlah yang ada sebanyak 7 orang beragama Islam dan 2 orang beragama Kristen. Kedua orang yang beragama Kristen itu adalah menjabat Asisten Teknik Afdeling I dan KTU.

1. Tenaga kerja dan fasilitas kemasyarakatanJumlah tenaga kerja seluruhnya baik karyawan

pimpinan maupun karyawan pelaksana berjumlah = 389 orang. Fasilitas dan sarana yang diberikan oleh perusahaan

196

adalah rumah dinas untuk tempat tinggal karyawan, namun kenyataan yang ada pada saat ini masih banyak rumah dinas tersebut yang ditempati oleh karyawan pension dan pihak ketiga.

Pihak perkebunan memberikan fasilitas-fasilitas bagi karyawan yang diperuntukkan juga bagi anak karyawan dan masyarakat di Kebun Tamora dengan tujuan untukmemotivasi dalam bekerja dan mensejahterakan karyawan. Kesempatan ini direspon baik oleh karyawan perkebunan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada, terutama dalam kegiatan-kegiatan olah raga yang mana fasilitas tersebut ada di setiap afdeling.

Adapun fasilitas tersebut terbagi dua yaitu : (1) Bangunan Perumahan; rumah staf = 13 buah, rumah karyawan G.1 = 81 buah, rumah karyawan G.2 = 298 buah, pondok panjang = 5 buah, dan rumah karyawan G1/Eks masyarakat = 125 buah. (2)Bangunan Perusahaan; kantor = 5 buah, poliklinik/puskesbun = 1 buah, TK/TPA = 1 buah, mesjid/langgar = 7 buah, dan balai karyawan = 1 buah. Masing-masing fasilitas tersebut tersebar di setiap afdeling.

2. Kehidupan AgamaKecamatan Tanjung Morawa dengan jumlah

penduduknya 159.582 orang, bila dilihat dari pemeluk agama penduduknya mayoritas beragama Islam (126.165 orang). Selama ini sudah terbangun toleransi kehidupan beragama dengan baik. Masalah hubungan internumat beragama adalah keberadaan LDII selama ini dirasakan kurang membuat keadaan kondusif, karena belum bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.

Sementara hubungan antarumat beragama yang muncul adalah kegiatan umat Kristiani seperti ibadah kebaktian ataupun ibadah lainnya menggunakan fasilitas

197

bangunan gedung, ruko, dan tempat tinggal. Hal ini disebabkan masih belum fahamnya fungsi rumah ibadah dikalangan pemeluk agama. Namun secara bertahap sudah diselesaikan oleh pemerintah daerah.20

Dalam hal sosial kemasyarakatan toleransi berjalan dengan baik. Bila ada undangan pesta perkawinan, mereka hidangkan dengan rasa penghormatan kepada muslim dengan nasi kotak, sedangkan mereka masak sendiri. Dalam hal memelihara binatang babi, mereka lakukan ditempat yang jauh dengan orang muslim dan tidak berkeliaran, agar terjaga segala kotoran dan dampaknya bagi umat muslim. Untuk pendirian rumah ibadah (gereja), mereka lakukan disekitar tanah milik keluarga Kristen sendiri. Jelasnya apapun yang dilakukan umat muslim, umat Kristen dan lainnya selama ini tidak pernah terjadi perselisihan ataupun konflik.

PTPN II Kebun Tamora melakukan berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan relative banyak, terutama bagi agama Islam, karena mayoritas muslim seperti ; nasidan, marhaban, dan lain-lainnya. Pimpinan perusahaan tidak memandang apa agama, suku, adat istiadat dan lain sebagainya. Termasuk bila terjadi musibah belasungkawa diantara mereka, perusahaan selalu memperhatikan dan membantu keluarga yang ditinggalkan.

Hubungan antar dan intern umat beragama di lingkungan karyawan dan masyarakat perkebunan selalu mendapat perhatian dan bantuan perusahaan. Misalnya dalam acara hari raya/lebaran, natalan, tahun baru, dan lain sebagainya pihak perusahaan bisa membantu dengan memberikan fasilitas kendaraan mobil untuk dipergunakan

20 Wawancaca dengan Drs. Impun Srg, MA (KUA Kec. Tanjung Morawa) tanggal, 27 September 2006

198

sepanjang kegiatan itu berlangsung. Contoh lain ; bantuan mendirikan masjid/mushalla. Untuk gereja biasanya mereka minta izin untuk pemagaran gereja di areal tanah milik perusahaan.

Hubungan sesama tokoh agama, berlangsung baik, saling tolong menolong dan pengertian, melalui serikat tolong menolong sesama orang Batak. Bila ada masyarakat yang sakit, serikat ini saling menolong dan memperhatikannya dengan baik. Tidak ditemukan masyarakat baik muslim, Kristen maupun lainnya yang fanatik berlebihan terhadap agamanya sehingga agama yang lain merasa terganggu keberagamaannya.

Pernah ada kasus pendirian gereja HKBP berdekatan dengan bangunan masjid di tanah kebun kelapa sawit di daerah Batang Kuis Kec. Tanjung Morawa, kemudian mendapat protes dari masyarakat muslim dan dilakukan pembakaran (1980-an) namun, akhirnya diselesaikan dengan baik.

Dalam hal perkawinan berbeda agama, sudah sering terjadi dengan dasar suka-sama suka diantara mereka tanpa ikut campur tangan terlalu jauh dari pihak orang tua. Kalau laki-lakinya beragama Islam dan perempuannya Kristen ikut dengan suaminya, demikian juga sebaliknya. Bisa juga laki-lakinya Kristen ikut dengan agama perempuannya yang beragama Islam. Orang tua pada awalnya merasa keberatan, lama kelamaan bisa menerimanya dengan baik.21

21 Wawancara dengan Gultum dan Isteri (Guru Agama SD & SLTP Kristen) tanggal, 30 September 2006

199

Penutup

A. Kesimpulan

ondisi kerukunan umat beragama di lingkungan masyarakat perkebunan PTPN II Kebun Tamora Kec. Tanjung Morawa selama ini sudah terbangun toleransi

kehidupan beragama dengan baik. Masalah hubungan intern umat beragama adalah keberadaan LDII selama ini dirasakan kurang membuat mereka kondusif, karena belum bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Sementara hubungan antar umat beragama yang muncul adalah kegiatan umat Kristiani seperti ibadah kebaktian ataupun ibadah lainnya menggunakan fasilitas bangunan gedung, ruko, dan tempat tinggal. Hal ini disebabkan masih belum fahamnya fungsi

K

200

rumah ibadah dikalangan pemeluk agama. Namun secara bertahap sudah diselesaikan oleh pemerintah daerah.

Pembinaan dan aktifitas sosial keagamaan yang dilakukan PTPN II Kebun Tamora seperti program kerja pembinaan di bidang pendidikan ; Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), pengajian malam bersifat pripat. Program keagamaan MADASIN (Majelis Dakwah Siar Islam), sebulan sekali keliling ke antar afdeling (3 afdeling) tambah plasmen,diikuti oleh pekerja-pekerja termasuk karyawan pimpinan dan karyawan pelaksana, dan diikuti juga masyarakat perkebunan di sekitarnya. Kegiatan lainnya peringatan `Hari-Hari Besar Umat Islam, misalnya ; Isra Miraj, shalat idhul fitri dan idhul adha, dan lain sebagainya. Kemudian kegiatan membina anak-anak untuk metode Iqra, setiap tahun PTPN II Kebun Tamora mengadakan Mushabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) antar unit kebun, kemudian di bawa ke seluruh PTP wilayah 1 Sumatera, baru-baru ini diadakan di Lansa – Propinsi NAD.

Interaksi sosial antar umat beragama pada masyarakat perkebunan PTPN II Kebun Tamora sesama tokoh agama, tokoh masyarakat saling tolong menolong dan pengertian, diantaranya sudah membentuk serikat tolong menolong sesama orang Batak. Bila ada masyarakat yang sakit, serikat ini saling menolong dan memperhatikannya dengan baik. Tidak ditemukan masyarakat baik muslim, Kristen maupun lainnya yang fanatik berlebihan terhadap agamanya sehingga agama yang lain merasa terganggu keberagamaannya.

Pernah ada kasus pendirian gereja HKBP berdekatan dengan bangunan masjid di tanah kebun kelapa sawit di daerah Batang Kuis Kec. Tanjung Morawa, kemudian mendapat protes dari masyarakat muslim dan terjadi pembakaran (1980-an), akhirnya diselesaikan dengan baik.

201

B. Rekomendasi

Meskipun toleransi kehidupan keagamaan masyarakat perkebunan di lingkungan PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Tamora kec. Tanjung Morawa sudah dirasakan baik dan sangat kondusip, namun masih dirasakan perlu mendapat perhatian yang lebih serius adalah tentang aktifitas rutinitas ibadah umat yang menggunakan fasilitas rumah tinggal yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah, serta perlu perhatian mereka terhadap ketentuan untuk izin mendirikan rumah ibadah.

Daftar Pustaka

Achmad Jainuri, “Model Solusi Pengatan Konflik Sosial Berbasis Agama”, Lemlit IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005

Agger, Ben, “Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya”, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Cet. IV, (Bandung: Mizan, 1988)

Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001)

Fazlur Rahman, “Islam”, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: penerbit Pustaka, 1984)

J.B. Banawiratma, S.J., “Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain Perspektif Gereja Katolik”, dalam Seri Dian 1 Tahun 1, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993).

202

Syafri Sairin dan Pujo Sumedi, “Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia”, Jakarta: Kantor Menteri Negara KLH dan UGM, 1983.

Spivak Gayatri Chakravorty dan Sneja Gunew, “Questions of Multiculturalism”, dalam Simson During (ed), The Cultural Studies Reader, London dan New York Routledge, 1993

Masykuri Abdillah, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Nur Achmad (Ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2001)

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

M. Arkoun, Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Saleh, (Beirut: Markaz al-Inma’al-Qaumi, 1990).

Musthofa, “Kearifan Lokal dan Kerukunan Antarumat Beragama” (Studi tentang Hubungan Islam-Hindu di Bali dalam Membangun Harmoni), Lemlit UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005

M. Mudhofi, dkk, “Toleransi Lintas Agama Bagi Masyarakat Rawan Konflik”, (Studi Kasus Model Kerjasama Lintas Agama di Kota Semarang), IAIN Walisongo – Semarang, 2005

Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia”, Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. 95

BAGIAN 7

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN BATANG HARI JAMBI

Tim Peneliti

Drs. H. Umar R. Soeroer, MMDra. Asnawati

204

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

A. Geografi dan Demografi

uas wilayah Kecamatan Bajubang 481,66 Km2, dengan presentase luas 9,30% dari luas Kabupaten Batang Hari yang memiliki luas 5.180,35 Km2. Adapun kondisi

geologi kecamatan ini terdiri dari: neogin dari luas 31.196 Ha sebanyak 10,98%; endapan dari luas 12.900 Ha sebanyak 7,51%; tufa Vulcan dari luas 11.196 Ha. Sebanyak 13,25%.(BPN Kabupaten Batang Hari, tahun 2003)

Jumlah penduduk di Kecamatan Bajubang yang tersebar di delapan desa dan satu kelurahan. Kelurahan dan desa tersebut adalah: Kelurahan Bajubang, sementara desanya adalah: Desa Penerokan, Ladang Peris, Batin, Bungku, Petajin,

L

205

Sungkai, Pompa Air dan Desa Mekar Jaya. Penduduk tersebut berjumlah 29.200 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak15.384 jiwa, dan perempuan sebanyak 13.816 jiwa. Penduduk dari jenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk jenis kelamin laki-laki.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umurdan Jenis Kelamin

di Kecamatan Bajubang, Tahun 2003

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0-45-9

10-1415-1920-2425-2930-3435-3940-4445-4950-5455-5960-6465-6970-7475+

1.5521.6291.7251.7581.4241.4731.3141.2311.01373649633630117713485

1.5301.5371.6221.5771.4771.4411.1401.0737645083592392341299780

3.0913.1663.3473.3352.9012.9142.4542.3041.7771.244855575535306231165

Jumlah 15.384 15.816 29.200Sumber : BPS Kabupaten Batang Hari, Tahun 2003

206

Dari data kependudukan tersebut menurut tingkat usia antara usia 15 sampai dengan usia 54 tahun merupakan usia yang produktif untuk bekerja berjumlah 17.784 jiwa dari jumlah penduduk 29.200 jiwa. Lebih separuh dari jumlah penduduk yang dapat diandalkan dapat bekerja lebih enerjik dan produktif, selebihnya adalah usia yang masih sekolah dan usia yang sudah lanjut. Usia yang sudah lanjut, tidak produktif lagi untuk bekerja. Karena bekerja di sektor perkebunan memerlukan tenaga yang prima.

Penduduk Kecamatan Bajubang, sedikit mengalami perkembangan, pada tahun 2003 jumlah penduduk sebanyak 29.200 jiwa, dua tahun kemudian pada tahun 2005 jumlah penduduk berjumlah 29.673 jiwa (Laporan KUA Kecamatan Bajubang, Tahun 2006).

B. Keadaan Sosial dan Budaya

Lingkungan sosial yang berhubungan dengan masalah pendidikan, jumlah sekolah tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) pada tahun 2003 berjumlah enam buah, dengan tenaga guru sebanyak 19 orang. Sementara jumlah murid sebanyak 2002 orang, terdiri dari laki-laki 96 orang dan perempuan sebanyak 106 orang. Untuk Sekolah Dasar (SD) baik yang berstatus negeri dan swasta, pada tahun 2003 berjumlah 27 buah, dengan jumlah guru sebanyak 223 orang dan jumlah murid sebanyak 3.415 orang terdiri dari murid laki-laki sebanyak 1.784 orang dan murid perempuan sebanyak 1.631 orang.

Tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP) pada tahun 2003 berjumlah lima buah baik bersatus negeri maupun swasta. Tenaga guru sebanyak 83 orang dan jumlah murid sebanyak 814 orang. Sementara pendidikan pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) pada tahun 2003, datanya pada tingkat kabupaten

207

(Batang Hari) sebanyak 15 buah, jumlah guru sebanyak 307 orang dan jumlah murid sebanyak 3.518 orang. Di Kabupaten Batang Hari terdapat delapan buah kecamatan.

Perguruan Tinggi yang terdapat di Kabupaten Batang Hari adalah: STIP, AMKOP, AKPER dan STIE semuanya berstatus swasta. Jumlah mahasiswa pada tahun ajaran 2003/2004 sebanyak 231 orang, dengan jumlah tenaga dosen tetap sebanyak 29 orang dan dosen tidak tetap sebanyak 22 orang.

Kemudian di wilayah kecamatan ini terdapat penduduk yang tergolong anak terlantar dan yatim piatu, jumlahnya cukup tinggi, yaitu sebanyak 277 orang terdiri dari laki-laki sebanyak 143 orang dan perempuan sebanyak 134 orang. Pemerintah setempat juga peduli akan keadaan masyarakat seperti tersebut di atas, dengan menyiapkan sebanyak 13 panti, dan non panti sebanyak 14 buah. Bagaimana pemeliharaan dan pembinaannya dilakukan dengan bekerja sama dengan Sudin Sosial dan Dinas Sosial (BPS, Kabupaten Batang Hari, Tahun 2003).

Keadaan sosial yang berhubungan dengan kesehatan, di Kecamatan Bajubang hanya terdapat satu Puskesmas dan tujuh buah Puskesmas Pembantu. Data yang terkait masalah medis di kecamatan tidak ada.

C. Kehidupan Keagamaan

Penganut agama menyebar di delapan kelurahan/ desa terdiri dari penganut agama Islam sebanyak 28.902 orang (98,98%), Katolik 114 orang (0,39%), Protestan 157 orang (0,53%), Hindu 10 orang (0,04%) dan penganut agama Buddha sebanyak 17 orang (0,06%). Bila dikaitkan penganut agama dengan rumah tempat ibadah masing-masing agama adalah: umat Islam memiliki Mesjid sebanyak 33 buah, Langgar 11

208

buah dan Mushalla sebanyak tiga buah. Sedang umat Katolik dan Protestan memiliki satu tempat ibadah (Gereja). Sementara itu umat Hindu dan Buddha belum memiliki tempat ibadah di wilayah tersebut, karena jumlah umatnya belum begitu banyak. Jadi bila mereka akan melakukan ibadah, umat agama tersebut dilakukan di tingkat kabupaten atau di tingkat propinsi.

Aktivitas keagamaan berjalan seperti halnya dengan kecamatan tetangga lainnya. Mereka melakukan pengajian, yasinan dimalam hari, memperingati perayaan hari besar Islam (PHBI). Di Desa Batin salah satu desa yang penduduknya bekerja sebagai perkebunan karet di siang hari, maka aktivitas keagamaan dilakukan di malam hari, melalui kelompok pengajian. Kelompok ini terdiri dari kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan kelompok remaja menurut jadwal yang disepakati.

Sedang umat non Islam melakukan kebaktian di Komplek Perumahan Pertamina di Bajubang, satu-satunya Gereja dicamatan tersebut, yang digunakan kebaktian bagi umat Katolik dan Kristen secara bergantian. Sedangkan umat Hindu dan Buddha belum memiliki sarana ibadat, bila akan melakukan pengamalan ibadat, maka mereka pergi kecamatan lain yang terdapat rumah ibadat mereka.

209

Kedudukan Adat

rovinsi Jambi, dalam masalah adat berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Kedudukan Adat di Jambi, memiliki landasan dasar sendi hukum yang kukuh dan

kuat. Dalam hal ini dibuktikan, walaupun telah melalui rentang waktu yang panjang, dan masyarakatnya hidup dalam kekuasaan pemerintahan yang silih berganti dengan corak yang berbeda-beda, namun keberadaan hukum adat tetap diakui dan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat. Setiap desa terdapat seorang ketua adat secara berjenjang di tingkat kecamatan, kabupaten dan tingkat propinsi. Sehingga kedudukan seorang ketua adat sangat penting artinya di tengah masyarakat. Ketua adat dipilih oleh lingkungan masyarakat didesa tersebut. Masyarakat harus tunduk atas

P

210

putusan ketua adat. Bila melanggar putusan adat maka sanksinya berat. Bila putusan adat di tingkat desa/kelurahan tidak selesai, maka dilanjutkan pada ketua adat tingkat kecamatan, demikian seterusnya sampai ke tingkat propinsi. Dasar hukum Adat Jambi disebut Induk Undang, yang terdiri dari lima macam, yaitu: 1. TitianTeras Bertangga Batu;2. Cermin Nan Tidak Kabur;3. Lantak Nan Tidak Goyah;4. Nan Tidak Lapuk Karena Hujan Tidak Lekang Karena Panas; 5. Kata Seiyo.

Hukum Adat Jambi1

Dasar Pertama: Titian Teras Bertangga Batu Maksudnya: ketentuan yang bersumber dari Hadist Nabi dengan Firman Allah yang tercantum dalam Al-Quran yang disebut dengan syarak dijadikan tuntunan utama, yang tercantum dalam Seloko adat berbunyi: Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah Syarak mengata adat memakai Syarak berbuhul mati, adat berbuhul sentak2

Dasar Kedua: Cermin Nan Tidak KaburMaksudnya: Ketentuan yang sudah ada berasal dari masa berabad-abad silam yang terbukti kebenarannya dan kebaikannnya dalam menga-yomi masyarakat di ikuti dari

1 Disarikan dari berbagai sumber, dan hasil wawancara dengan beberapa tokoh adapt di tingkat desa, kecamatan, dan wawancara dengan Herman, S.Ag Kepala KUA bajubang dan Camat Bajubang, Sugiejo, S.Pd.I pada tanggal 21 September 2006 di Kantor Kecamatan Bajubang.

2 Adat dalam Kotek Pembangunan dan Kehidupan Sehari-hari,Disusun Oleh Pemerintahan Desa/Kelurahan, Setda Kabupaten Batang Hari, Tahun 2006

211

generasi ke generasi. Dasar kedua ini mengacu kepada selo adat yang berbunyi: Jalan berambah yang di turut, baju berjahit yang dipakai Nan bersesap berjerami, bertunggul berpemareh, berpendam

berpekuburan

Dasar Ketiga: Lantak Nan Tidak GoyahMaksudnya: Lantak atau tonggal adalah sepotong kayu atau batu beton yang salah satu ujungnya di tanamkan atau di masukkan ke dalam tanah untuk dijadikan pedoman atau penahan sesuatu.Maksudnya: dalam mencantumkan hukum dan melaksakannya orang berwenang harus memiliki mental dan tekad yang teguh sehingga keadilan bagi semua orang dapat ditegakkan. Dasar ketiga adat ini diungkapkan dalambeberapa seloko adat antara lain berbunyi: Beruk dirimba disusukan, Anak dipangku diletakkan Tiba dimata jangan dipicingkan, Tiba diperut jangan

dikempeskan Lurus benar dipegang teguh, Kata benar diubah tidak.

Dasar Keempat: Nan Tidak Lapuk Karena Hujan, Tidak Lekang Karena Panas

Maksudnya: Berpegang pada kebenaran yang tidak berubahDlanjak Layu, Dianggu mati.

Dasar ke lima: Kata SeiyoMaksudnya: Pembicaraan yang sudah di musyawarahkan dan dumufakati. Kata Seiyo, diperoleh melalui perundingan dengan mendengarkan dan memperhatikan pendapat sebanyak mungkin orang yang patut didengar sehingga dicapai kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi bersama.

212

Dalam seloka adat dikatakan: Elok air karena pembulu, Elok kata karena mufakat Bulat boleh digulingkan, Pipih boleh dilayangkan

Kelima dasar hukum tersebut dalamkodifikasinya dinamakan Induk Undang nan Lima, dan kedudukannya maka dalam menetapkan hukum adat atau menyelesaikan masalah yang timbul harus berdalilkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Induk Undang Nan Lima.

Hukum adat Jambi jika diteliti dengan seksama ternyata telah mengatur segi-segi kehidupan perorangan dan kema-syarakatan (sosial) sampai pada persoalan yang sekecil-kecilnya, dengan perangkat hukum yang sederhana berupa pepatah-petitih dan seloko adat, yang harus dilaksanakan dengan jujur, penuh rasa tanggung-jawab.

213

Pola Kerukunan Umat Beragamapada Masayarakat Perkebunandi Kecamatan Bajubang

A. Sejarah dan Profil Perusahaan Perkebunan

T. Asiatic Persada, salah satu perusahaan swasta kerjasama Indonesia, Inggeris dan Amerika, berkedudukan di Desa Sei Kandang (Di luar Kecamatan

Bajubang), Kabupten Batang Hari. Perusahaan perkebunan kelapa sawit berdiri sejak 1986, memiliki areal tanah se luas 30.000 hekatre. Luas tanam 26.000 hektare dan empat ribu hektare sebagai lokasi pembibitan kelapa sawit, perkantoran dan pergudangan. Pembagian wilayah terdapat delapan divisi, tiap divisi memiliki karyawan sebanyak 315 orang, tiga diantaranya bertugas sebagai Kepala Administrasi, Kepala Perawatan dan Kepala Tata Usaha.

P

214

Kantor pusat perusahaan terletak di Sie Kandang, Kantor Divisi Satu, namanya Divisi Produksi Kebon Tanjung Johor, letaknya kurang lebih 30 km dari Kantor Divisi Delapan. Kantor Divisi Delapan teletak di Desa Bungku kurang lebih 30 kilometer dari Ibukota Kecamatan Bajubang. Untuk menuju ke areal perkebunan bisa menggunakan kendaraan umum dengan angkot, atau dengan sepeda motor dengan jarak tempuh satu jam lamanya dari Bajubang ke Desa Bungku. Jalannya berkelok-kelok, mendaki dan menurun, disisi kanan-kiri hanya pohon kelapa sawit, berhamparan sepanjang jalan.

Menurut Hartiah, yang memegang jabatan sebagai Kepala Administrasi Divisi Delapan, setiap hari menerima laporan kegiatan opersional dari wilayah divisinya, dipilah menurut kepentingannya, demikian juga laporan kejadian karyawan, dihimpun lalu di lanjutkan ke tingkat pimpinan. Jadi ketika karyawan sudah beristirahat baik Camp maupun di luar Camp, dia masih menyelesaikan sejumlah laporan secara rutin. Karena jabatannya, Hartiah dan keluarga menempati perumahan karyawan di lingkungan Perusahaan. Sementara karyawan tetap lainnya tinggal di mess milik perusahaan. Lalu karyawan harian mengontrak atau membuat rumah sendiri di luar Camp.

Setiap divisi memiliki karyawan sebanyak 315 orang, tiga orang diantaranya masing-masing sebagai Kepala Administrasi, Kepala Tata Usaha dan Kepala Pengawas. Sebanyak 312 orang itu terbagi dalam bidang-bidang: sopir mobil operasional, perawatan, pergudangan, kesehatan, pemanen dan lain-lain. Kondisi Divisi Delapan dari jumlah 315 itu, sebanyak 113 orang tinggal didalam Camp, sedang 202 orang tinggal di luar Camp.

215

Menurut Susi Kristina Hutahayang, Kepala tata Usaha Divisi Delapan, bahwa standar gaji mereka rata-rata Rp.22.250 perhari kerja perorang. Jumlah hari kerja sebanyak enam hari dalam seminggu. Jam kerja di Perusahaan adalah tujuh jam sehari, atau 40 jam dalam dalam seminggu, dengan ketentuan apabila Perusahaan memerlukan tenaga gilir/aplus, maka Pekerja harus bersedia melaksanakan pekerjaan tersebut3. Disamping gaji yang mereka peroleh, juga mereka menerima berbagai tunjangan misalnya tunjangan kesehatan, tunjangan natura, pernikahan, melahirkan dan tunjangan karena musibah, tunjangan hari raya dan Natal semuanya diatur di dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) PT. Asiatic Persada.

Kemudian mengenai pelanggaran yang dilakukan pekerja, menurut Susi Hutagalung, bagian Pengawas Perusahaan mengatakan: timbulnya moral kerja ditentukan oleh kesadaran seluruh Pekerja atau tegaknya disiplin, oleh karena itu setiap pekerja wajib memahami dan melaksanakan tata Tertib Kerja dan Aturan Kedisiplinan yang telah ditetapkan oleh Perusahaan. Dalam Bab IX, PKS, Pasal 52 tentang Kewajiban dan Tanggungjawab terdapat 18 item kewajiban Pekerja. Kemudian dalam Pasal 53 diatur tentang Sanksi atas pelanggaran tersebut, dengan diberi Surat Peringatan I sampai ke III, bila tetap melakukan pelanggaran maka Perusahaan melakukan penetapan Putusan Hubungan Kerja (PHK).

1. Konflik yang Pernah TerjadiKonflik yang sering terjadi dalam lingkungan

perusahaan, misalnya diantara Pekerja terjadi perselisihan

3 Ketentuan tersebut dimuat dalam Perjanjian Kerja Bersama PT. Asiatic Persada 2004-2006, bab III Ketentuan Mengenai Waktu Kerja, Pasal 13, Ayat 1.1.

216

Paham, karena diantara Pekerja itu berasal dari berbagai latar belakang etnik, ada etnik Batak, Bugis, Jawa, Madura dan perbedaan budaya. Penyelesaian konflik diselesaikan oleh unsur pimpinan, dan bila ternyata tidak bisa diselesaikan dalam lingkungan Perusahaan, maka diserahkan kepada pihak Kepolisian, guna diselesaikan secara hukum.

2. Pembinaan Keagamaan PT AsiaticDi lingkungan perusahaan terdapat delapan buah

Mesjid, yang di fasilitasi oleh PT.Asiatic Persada, tiap wilayah divisi mempunyai satu buah mesjid. Sedangkan untuk karyawan yang beragama Kristen maupun agama Katolik, untuk delapan divisi hanya disediakan satu buah Gereja bagi umat Katolik dan Kristen, yang letaknya di pertengahan dari delapan divisi tersebut. Jumlah penganut agama Islam di wilayah Divisi Delapan sebanyak 60%, dan 40% menganut agama Kristen dan Katolik. Penganut agama non Islam kebanyakan berasal dari Medan, Sumatera Utara.

Menurut Suparno, S.Ag, selaku petugas P2N dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Bajubang, yang mewilayahi Desa Bungku Kecamatan Bajubang, juga bertugas melakukan pembinaan keagamaan terhadap karyawan di delapan divisi di lingkungan PT. Asiatic Persada. Jadwal pembinaan keagamaan bagi umat Islam maupun non Islam dilakukan satu kali dalam seminggu untuk bapak-bapak dan satu kali seminggu untuk kaum Ibu. Pembinaan keagamaan disamping dilakukan di setiap divisi juga dilakukan kebaktian di Gereja, terutama kegiatan yang sifatnya lebih besar.

Bentuk pembinaan bagi umat Islam berupa pengajian dan ceramah keagamaan dilakukan di malam hari sesuai dengan jadwal pembinaan. Pembinaan yang lebih ramai ketika mela-kukan peringatan hari besar Islam seperti Isra’

217

Mikraj dan Maulid Nabi Muhammad saw. mendatangkan penceramah dari luar, dilaksanakan di mesjid di lokasi perusahaan.

Kemudian Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Batang Hari, Drs.H.Syamsuddin, S.Ag mengatakan bahwa pihak perusahaan PTP juga memberikan pembinaan keagamaan terhadap karyawan perkebunan karet dan kelapa sawit, yaitu:1. Pendidikan agama bagi anak-anak;2. Pendidikan dan pelatihan Seni Baca Al-Qur’an;3. Pelatihan Da’I dan Da’iyah;4. Perusahaan memberikan santunan kepada anak-anak

yatim piatu.Perkebunan Karet yang terdapat di Kecamatan

Bajubang adalah di Desa Batin dan juga terdapat di PTP.VI. namun yang dilakukan obyek kajian adalah perkebunan karet di Desa Batin. Lokasi desa berjarak enam kilometer dari Ibukota Kecamatan Bajubang, dapat ditempuh dengan menggunakan ikendaraan roda dua atau roda empat. Jalannya termasuk mulus menggunakan aspal, yang dibiayai dari Pemda setempat, sehingga dapat digunakan sebagai sarana transportasi yang menghubungkan dengan sembilan desa lainnya, dalam rangka melancarkan roda perekonomian di wilayah tersebut.

Disebut desa Batin, karena keadaan desa tersebut pada awal 1981 dibukanya desa tersebut sangat memprihatinkan. Sarana jalan belum teratur, penduduknya sangat sedikit. Terdapat 70 orang warga transmigrasi yang ditempatkan disini pada tahun 1984 dari pulau Jawa ditempatkan di Kompleks Perumahan Muhajirin, Mereka hanya bertahan tidak berapa lama, kemudian mereka tinggalkan desa ini pergi entah kemana guna menyelamatkan

218

hidup mereka. Tinggal empat keluarga yang bertahan, itupun dilakukannya karena mereka sakit dan tidak punya biaya untuk pergi.

Desa Batin mempunyai penduduk 2.999 jiwa yang terdiri dari laki-laki 1.629 orang dan perempuan sebanyak 2.999 orang itu. Penduduknya terdiri dari warga transmigrasi dari Jawa, Batak, Padang, Bugis, Sunda dan penduduk asli Jambi.

Beberapa tahun kemudian, karet sudah mulai tumbuh dengan baik menunjukkan masa depan yang dapat diandalkan, Pemda mulai menata desa membentuk kelompok tani, satu kelompok beranggotakan 25 orang,. Kelompok tersebut dinamakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok Tani disingkat WKAKT berpusat di Bajubang. Melalui kelompok ini mereka memperoleh penyuluhan dan bantuan pertanian lainnya.

Selaku pekerja perkebunan karet, laki dan perempuan, tua-muda pada pukul 06.00 pagi, mereka sudah pergi kekebun menyadap karet, sore hari pukul 17.00 baru kembali kerumah masing-masing. Mereka bekerja pada kebon sendiri bisa memper-oleh antara 10-15 kilogram karet. Bila dijual dengan harga Rp.7.000 maka bisa memperoleh hasil penjualan sebesar Rp.100.000.- setiap hari. Tidak semua warga memiliki kebon karet, bagi warga yang tidak memiliki kebon karet (terutama warga pendatang baru), mereka bekerja sebagai buruh, dengan sistem bagi hasil. Atau mereka bekerja pada Perusahaan PTP milik pemerintah.

Dalam perkembangan zaman, bagi generasi muda mereka tidak lagi mengandalkan sebagai penyadap karet, apalagi bila mereka sudah memperoleh pendidikan tinggi, mereka pergi kekota bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta. Hanya orangtua mereka saja menekuni

219

pekerjaan di kebon. Penduduk selain bekerja sebagai tukang kebon karet, juga ada warga sebagai peternak ayam, petani sayur-mayur, atau pergi kekota berjualan dan lain-lain.

B. Kondisi Lingkungan dan Aktivitas Sosial Keagamaan

Kondisi lingkungan Kecamatan Bajubang seperti yang digambarkan dalam lokasi penelitian (Bab I), bahwa tanaman perkebunan yang paling banyak diproduksi di kabupaten Batang Hari adalah komoditi kelapa sawit, dan terbanyak di Kecamatan Bajubang, 76,43% dari seluruh kecamatan di Kabupaten Batang Hari yang luas wilayahnya 5.180,35 Km2.4

Diantara delapan desa yang ada di Kecamatan Bajubang, di Desa Bungku mayoritas diproduksi tanaman kelapa sawit, Sementara di Desa Batin, di mana masyarakatnya, mayoritas bekerja di perkebunan karet. Dalam aktifitas keagamaanya, mereka membentuk kelompok-kelompok pengajian. Kelompok penga-jian terdiri dari kaum ibu-ibu, kaum bapak-bapak dan kelompok Remaja. Secara bergiliran melakukan yasinan, bergantian di rumah anggota pengajian tersebut. Pengajian dilakukan di malam hari dari pukul 19.00 sampai pukul 20.00. karena kalau siang hari mereka bekerja di kebun karet masing-masing. Media pengajian tersebut berfungsi ganda, dilakukan untuk aktivitas keagamaan, juga aktifitas sosial kemasyarakatan.

Aktifitas keagamaan setelah yasinan terkadang diisi dengan ceramah, terkadang juga habis yasinan lalu selesai. Sedangkan yang tergolong aktifitas sosial kemasyarakatan adalah dilakukan arisan. Siapa yang kebagian arisan maka dirumah itulah diselenggarakan pengajian berikutnya. Kesempatan itu pula dapat dimanfaatkan pemerintah dalam

4 Kabupaten Batang Hari Dalam Tahun 2004

220

hal ini Kades atau petugas Pemda lainnya, untuk menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat, misalnya akan dilakukan kerja bakti, ada penyuluhan tentang penyakit Demam Berdarah, Flu Burung, Pilkades dan lain-lain kepentingan kemasya-rakatan. Kemudian dengan melalui kelompok pengajian pula, dapat diperluas mengundang kelompok pengajian lain, dalam rangka melakukan “hajatan, selamatan, pernikahan”. Misalnya Kades merencanakan melakukan acara pernikahan anaknya. Disampaikanlah maksud tersebut kepada anggota pengajian. Kades mengumum-kan bahwa pernikahan tersebut akan diundang 1000 orang dengan biaya misalnya Rp.5 juta. Sementara Kades telah memiliki uang Rp. 2 juta untuk kebutuhan: beras, ayam, daging, gula, kopi, teh dan lain-lain. Kekurangannnya ditutupi oleh anggota kelompok pengajian. Semuanya diselesaikan oleh panitia pelaksana dari persiapan sampai pelaksanaan, Kades tinggal terima jadinya. Demikian juga bila ada salah seorang anggota pengajian yang akan melakukan hajatan, selamatan, juga diperlakukan sama dengan Kades. Semua anggota kelompok pengajian terlibat dan merasa malu sendiri bila seseorang anggota pengajian tidak melibatkan diri dalam acara tersebut.

Bukan saja dalam bentuk acara “suka cita”, dalam acara “duka cita” pun dilakukan sama. Keluarga yang kena musibah tidak perlu mengurus kebutuhan yang terkait musibah tersebut. Semua ditangani kelompok pengajian, sampai selesai. Kelompok pengajian kompak dan berjalan lancar. Namun masalah pelaksanaan ritual agama, agak kurang. Ketika Peneliti melakukan pengamatan, disaat waktu Magrib tiba, saya datang ke Mushalla Al-Ikhlas shalat magrib, yang nampak adalah kurang lebih 20 orang anak (laki-laki dan perempuan) datang shalat dan belajar ngaji, dan seorang

221

dewasa sekaligus sebagai imam. Tidak ada seorang jemaah dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang ikut shalat Magrib tersebut, kecuali Peneliti. Ketika nginap di rumah Kades, pukul 03.00 dini hari, saya sudah bangun shalat malam, saya mengamati Kades dan keluarga tidak bangun shalat subuh. Kebetulan saya tidur di lantai dua bela-kang, jadi ketika orang akan ke kamar mandi pasti lewat dekat kamar saya. Saya tidak melihat angota keluarga masuk kamar mandi nanti setelah pukul 07.00 pagi baru Kades bangun langsung duduk ngopi dan ngobrol. Rupanya pengamalan ibadah shalat itu tidak menjadi pokok, tergantung kembali kepada pribadi masing-masing. Kejelasan pengamalan agama diperoleh ketika wawancara dengan H. Syamsuddin, S.Ag Kepala Kandepag Kabupaten Batang Hari di Wisma Pertamina Bajubang, juga ketika melaporkan diri kepada Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jambi atas kunjungan dan tugas penelitian di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batang Hari. Memang masalah ritual agama pada masyarakat tertentu, kurang melakukan pengamalan ibadah. Dalam rangka mengantisipasi kejadian tersebut, Gubernur Propinsi Jambi memberikan Instruksi kepada Pemda setempat, agar setiap selesai shalat Magrib sampai selesai Shalat Isya’ dilakukan Pengajian bagi Anak-anak5.

Dalam salah satu kewajiban yang ditujukan kepada Generasi Muda, salah satu aturan Hukum Adat Jambi, dimana Adat mendukung Instruksi Pemerintah dari tingkat provinsi sampai jajaran paling bawah, agar melaksanakan Pengajian Anak-anak antara shalat Magrib dan Shalat Isya (PAMI)

5 Wawancara dengan H.Syamsuddin, S.Ag. Kepala Kandepag Kabupaten Batang Hari di Wisma Pertamina, Muara Bulin, 22 Sepember 2006.

222

Di lingkungan Kecamatan Bajubang terdapat komplek Perusahaan Pertamina. Kehadiran perusahaan besar tersebut banyak menunjang perkembangan pembangunan wilayah. Dalam komplek perusahaan Pertamina terdapat berbagai sarana seperti: wisma, ruang pertemuan, sarana olah raga dan sarana peribadatan mesjid dan gereja. Gereja satu-satunya di kecamatan ini dipakai untuk acara kebaktian untuk umat Katolik dan umat Kristen Protestan. Menurut Pendeta Rido yang baru empat bulan bertugas melayani umat dikecamatan ini mengatakan, Dialog Lintas Agama, sangat diperlukan , sebagai media pertemuan untuk membicarakan permasalahan keagamaan dan bagaimana mencari solusi terbaik bagi masalah yang timbul.

Di wilayah kecamatan ini baru saja berlangsung Dialog Lintas Agama, sebagai salah satu program pemerintah Propinsi Jambi, yang pelaksanaannya di lakukan di Kecamatan Bajubang, pesertanya 150 orang, yang diwakili lima agama, generasi muda, tokoh adat, tokoh masyarakat, dengan Nara Sumber Lima Tokoh Agama.

C. Interaksi Sosial Antar Umat Beragama

Interaksi sosial antar umat beragama pada lingkungan masyarakat yang bekerja dalam perkebunan karet di Desa Batin, berbeda dengan masyarakat pekerja perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku. Perbedaan itu terlihat tempat tinggal mereka di perusahaan terikat berbagai aturan, sedang di perkebunan karet bebas dari aturan kehidupan mereka. Ketika masyarakat akan melakukan hajatan, selamatan, pernikahan, mereka tidak terikat dengan waktu, kapan saja bisa dilakukannya sesuai dengan kesepakatan warga. Tapi bila tinggal di komplek perusahaan semuanya serba diatur sesuai dengan keinginan perusahaan.

223

Interaksi sosial di lingkungan perusahaan terjalin baik, mereka bekerja dalam perusahaan tanpa ada sekat-sekat agama, suku dan asal daerah. Mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsi dalam perusahaan tesebut. Mereka selalu dalam kebersamaan dan mengikuti aturan dalam perusa-haan. Karena kalau mereka tidak disiplin dalam melaksanakan pekerjaan, maka sanksi-sanksi yang mereka telah sepakati ketika akan masuk kerja, akan menentukan nasib mereka.

Interaksi sosial yang berkaitan dengan peribadatan, juga perusahan telah mengaturnya, kapan mulai beribadat dengan kelompok dan kapan melaksanakan ibadah secara perseorangan. Sarana peribadatan bagi umat Islam dan Nasrani telah tersedia. Bagi karyawan yang berdomisili di luar Camp, merekapun dapat berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang berhubungan interaksi sosial maupun interaksi keagamaan.

Sementara itu marga masyarakat yang berdomisili di Desa Batin, yang mata pencahariannya mayoritas berkebun karet, mereka berinteraksi di tempat pekerjaan di kebon. Mereka umumnya menganut agama Islam, yang membedakan diantara mereka adalah suku dan daerah asal. Namun mereka rukun-rukun saja, tanpa ada konflik.

Di malam hari barulah mereka melakukan interaksi berkaitan keagamaan, yaitu melalui kelompok pengajian. Kelompok pengajian dewasa ini dapat berfungsi ganda. Dapat dimanfaatkan oleh Kades untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, misalnya menyampaikan berupa: instruksi, penyuluhan, atau pelaksanaan suatu hajatan. Sedang bersifat keagamaan adalah kegiatan kelompok pengajian dan yasinan. Kelompok pengajian tingkat anak-anak dilakukan di mesjid dan di mushalla. Mereka belajar mengenal Al-Qur’an dan

224

belajar melaksanakan ibadah shalat, yang dipandu oleh guru Ngaji setiap habis shalat Magrib sampai shalat Isya’.

D. Upaya Memelihara dan Meningkatkan Kerukunan

Secara umum upaya memelihara dan meningkat kerukunan umat beragama di perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet, seperti yang dikemukakan Mawardi Ketua Adat di Desa Batin mengatakan bahwa dalam menciptakan kerukunan di tengah masyarakat, harus melakukan aturan adat, dengan tiga sipilan, terkait dengan hubungan adat, agama dan pemerintah harus seiring dan sejalan. Adat dipakai lembaga dituang, cupak (gentong) di isi disaksikan orang banyak. Maksudnya: bila hukum adat itu sudah diputuskan, maka harus dipenuhi, dilaksanakan dan disaksikan oleh orang banyak. Bila tidak dilaksanakan maka penyelesaiannya harus melalui hukum Negara.

Sementara itu dari upaya yang dilakukan Pemerintah, sebagaimana dikemukakan Sugirjo, S.Pd.I, Camat Bajubang, bahwa Pemda setempat telah memberikan bantuan gaji honorer kepada mereka yang telah mengabdi, melakukan pembinaan dakwah di masyarakat. Demikian juga kepada sebagian guru dan pegawai honorer telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan dikantor Pemda kecamatan dan kantor KUA setempat, dan sebagai guru

Kemudian usaha yang dilakukan dilingkungan perkebunan kelapa sawit, maupun diperkebunan karet, meningkatkan pengajian secara individu dilingkungan keluarga, sesuai dengan instruksi Gubernur Propinsi Jambi, agar setiap hari sehabis shalat Magrib dan shalat Isya’ dilakukan pengajian secara rutin.

225

Faktor pendukung dan penghambat kerukunanFaktor pendukung di perkebunan kelapa sawit, bahwa

perusahan ada kepedulian dalam pembinaan kerukunan bagi pekerja, yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKB) PT. Asiatic Persada, sehingga menjadi pedoman bagi pekeja dalam melakukan pengamalan agama, interaksi sosial sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya konflik di antara pekerja. Sedangkan yang menjadi hambatan adalah masih terdapatnya pekerja yang tinggal di luar camp, sehingga mengalami kesulitan pendekatan dalam melakukan pembinaan keagamaan maupun pembinaan sosial kemasyarakatan lainnya;

Faktor pendukung di perkebunan karet di Desa Batin, lebih mudah melakukan sosialisasi pembinaan keagamaan maupun pembinaan sosial kemasyarakatan, dimana dapat dilakukan melalui kelompok pengajian yang berlangsung setiap malam secara bergiliran.

Upaya yang perlu dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kerukunan dalam lingkungan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku, adalah eksistensi perusahan memelihara kebijakan memberla-kukan aturan yang berkaitan pembinaan pekerja, memperhatikan kesejah-teraan pekerja dan keluarganya, sehingga menguntungkan pe-rusahaan dan mensejahterakan pekerja.

Sementara di lingkungan perkebunan karet, dalam upaya memelihara dan meningkatkan kerukunan, disamping mening-katkan kegiatan kelompok pengajian , juga mening-katkan pengamalan agama bagi setiap individu, baik yang dilaksanakan di lingkungan perkebunan maupun yang di laksanakan dilingkungan keluarga masing-masing.

226

Penutup

A. Kesimpulan

1. Kondisi lingkungan dan kehidupan keagamaan masyarakat perkebunan di Kecamatan Bajubang, yang terjadi di lingkungan perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku, yang terdiri delapan divisi dengan luas areal 30.000 hektare, sudah tertata rapi oleh perusahaan PT.Asiatic Persada. Mulai dari pengelompokan divisi, perkantoran dan perumahan dalam komplek perusahaan. Pembinaan keagamaan terjadwal sesuai dengan aturan perusahaan yang meliputi : hubungan keja, waktu kerja, pengupahan, jaminan sosial dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, istirahat, tata kerja, kedisiplinan dan PHK, dan penyelesaian keluh kesah ketanagakerjaan. Sementara kondisi lngkungan kehidupan keagamaan di Desa Batin, yang mayoritas penduduknya bekerja pada perkebunan karet, mereka mengelompok

227

dalam pengajian dan juga bisa berfungsi kelompok kegiatan sosial kemasyarakatan, yang dapat dimanfaatkan Kades dalam menyampaikan aspirasi pembangunan, misalnya dalam kerja bakti, penyuluhan, sosialisasi keagamaan, juga dalam kegiatan hajatan warga.

2. Pada masyarakat perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku, interaksi sosial terjadi dilingkungan perkebunan dianatara karyawan yang berbeda suku, agama dan daerah asal mereka. Interaksi dapat terjadi ketika sedang melaksanakan kegiatan keagamaan bagi umat Islam terjalin dalam mesjid, dalam melaksanakan hari raya besar Islam, sementara bagi komunitas krsten kegiatan ke-baktian di Gereja. Juga dapat berinteraksi dalam kegiatan olah raga baik yang terjadi dalam Camp maupun di luar Camp.Demikian juga pada masyarakat perkebunan karet di Desa Batin, interaksi sosial keagamaan pada kelompok pengajian, ditempat pekerjaan mereka di areal perkebun-an, dalam kerja bakti, juga areal peternakan ayam, dalam forum kegiatan adat, kegiatan siskamling dan lain-lain.

3. Upaya-upaya yang terjadi dalam memelihara dan mengembangkan kerukunan umat beragama di Desa Bungku, terpenuhinya kegiatan pembinaan kerohanian yang dilakukan oleh perusahaan menurut agama yang dianutnya. Perusahaan telah memfasilitasi sarana keagamaan. Demikian juga yang terjadi Desa Batin, perlunya peningkatan pengamalan agama sesuai dengan instruksi Gubernur Propinsi Jambi, yang diperkuat dengan instruksi Ketua Adat di tingkat propinsi sampai ketingkat desa agar setiap hari diwajibkan warga masyarakat yang beragama Islam (dewasa dan anak-anak) belajar pendalaman agama, termasuk belajar Ngaji setiap habis

228

shalat Magrib sampai shalat Insya. Kerukunan umat beragama dapat tercipta kalau umat beragama itu sendiri menyadari pengamalan agama dilaksanakan sebagai kewajiban dari Allah Yang Maha Esa. Karena Rumah ibadah itu tidak hanya bisa dibangun, tapi juga bisa dipakai untuk pengamalan agama, dan tempat berdiskusi dan tempat membicarakan kegiatan intern beragama, agar permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara kekeluargaan di antara umat.

B. Rekomendasi

1. Penyuluhan agama di lingkungan masyarakat intern dan antar umat beragama, perlu ditingkatkan dan dimonitoring oleh para pimpinan majelis-majelis agama setempat. Karena dalam pengamatan Peneliti di lapangan di dua lokasi penelitian di Desa Bungku di luar komplek perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan di Desa Batin yang mayoritas bekerja diperkebunan karet ternyata pengamalan agama secara individual sangat kurang. Sekalipun kelompok pengajian di Desa batin, marak setiap malam.

2. Pemerintah Propinsi Jambi, telah menyadari akan kurangnya pengamalan agama di lingkungan keluarga (umat Islam), maka keluar instruksi Gubernur Propinsi Jambi, dan seiring dengan itu keluar pula instruksi dari Ketua Adat Jambi, agar setiap hari antara shalat Magrib dan shalat Isya’ dilakukan pengamalan agama dan belajar Ngaji dilingkungan keluarga masing-masing.6

6. Hasil wawancara dengan Kepala Tata Usaha Kantor Dinas Perke-bunan Propinsi Jambi pada tanggal 21 September 2006 dan Kepala Kandepag Kabupaten Batang Hari pada tanggal 20 September 2006.

229

Daftar Pustaka

BPS Kabupaten Batang Hari, Batang Hari Dalam Angka tahun 2004, Batang Hari, 2004;

Kuntjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pemba-ngunan, Jakarta , Grmedia, 1974;

Lukman Zakaria,H, Makalah, Selokoh Adat LengkapDalam Upacara Adat Perkawinan Jambi Yang berlaku di Kabupaten Batang Hari, Batang Hari, 2006

………………, Makalah, Adat dalam Kontek Pembangunan dan Kehidupan Sehari-hari, Bagian Pemerin-tahanDesa/Kelurahan, Setda kabupaten Batang Hari, 2006;

P.T Asiatic Persada, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2004-2006, Bajubang, 2004;

Tendri Yusman, Dra, M.Si, Seratus Tokoh Masayarakat Batang Hari, Batang Hari 2004;

230

BAGIAN 8

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT KALIMANTAN TENGAH

Tim Peneliti

Drs. Muchit A Karim, M.Pd.Muchtar, S.Ag.Achmad Rosyidi, S.Ag.

232

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

A. Geografi dan Demografi

otawaringin Barat terbagi atas 5 (lima) kecamatan. Kecamatan Kotawaringin Lama, Kecamatan Arus Selatan, Kecamatan Kumai, dan Kecamatan

Pangkalan Lada (pemekaran dari Kecamatan Kumai), serta Kecamatan Arus Utara.

Kecamatan pangkalan lada dengan batas-batas wilayah antara lain: Di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Arus Selatan; Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pulau Banteng, dan sebelah Barat berbatasan dengan

K

233

Kecamatan Arus Selatan serta sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kumai.

Kecamatan Pangkalan Lada adalah Kecamatan yang paling muda di antara lima kecamatan yang ada di Kabupaten Kotawaringin Barat yang merupakan pemekaran Kecamatan Kumai pada tahun 2005, yang terdiri atas sembilan desa.

Jumlah penduduk di Kecamatan Pangkalan Lada sebanyak 24.369 jiwa yang terdiri dari 6.168 KK, sedangkan tingkat pendidikan di Kecamatan ini terdiri dari 13.711 jiwa tidak tamat sekolah dasar diantaranya 9.241 jiwa tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf), yang berpendidik sampai tamat Sekolah dasar sebanyak 5.429 jiwa, dan yang berpendidikan Sekolah lanjutan Tingkat Pertama sebanyak 1.631 jiwa, dan yang berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebanyak 599 jiwa, serta yang mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi ada 102 jiwa. (Profil Kecamatan Pangkalan Lada 2005).

Persebaran penduduk di Kecamatan Pangkalan lada dapat dirinci sebagai berikut ; Jumlah penduduk di Desa Purbasari sebanyak 2.586 jiwa, Desa Pangkalan Tiga sebanyak 2,353 jiwa dan Desa Pangkalan Dewa sebanyak 2.384 jiwa, di Desa Pandu Sanjaya sebanyak 3.144 jiwa, Desa Makarti Jaya dengan jumlah 1.823 jiwa, Desa Sumber Agung jumlah penduduknya sebanyak 2.602 jiwa, di desa Sungai Rangit Jaya sebanyak 2.893 jiwa serta Desa Kadipi Atas sebanyak 1.468 jiwa dan Desa Lada Mandala jaya dengan jumlah penduduknya sebanyak 4.439 jiwa.

Bila dilihat dari persebaran penduduk di Kecamatan Pangkalan Lada ini tidak merata dikarena kan letak wilayah sangat mempengaruhi terhadap kehidupan masyarakat setempat disamping lahan yang kurang menguntungkan untuk pertanian juga fasilitas sarana transportasi yang belum

234

begitu lancar dan masih minimnya transportasi untuk umum dalam menjalankan roda perekonomian penduduk setempat. Sedangkan jarak dari Ibu Kota Kecamatan ke Ibu Kota Kabupaten ± 180 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi kurang lebih 5 jam, dan bila di tempuh dari Ibu Kota Provinsi kurang lebih memakan waktu 15 jam dengan kondisi jalan yang sudah rusak dan memerlukan perbaikan di samping jalan tersebut banyak dilalui oleh kendaraan yang muatannya sangat berat seperti mobil yang mengangkut kelapa sawit dari perkebunan dengan bermuatan yang cukup berat sehingga mempengaruhi kerusakan jalan tersebut. Sedangkan jalan-jalan yang menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya masih berupa tanah yang dikeraskan sehingga ketika musim penghujan datang jalan tersebut sulit untuk dilewati oleh kendaraan roda empat sedangkan transport sehari-hari kebanyakan dengan kendaraan roda dua.

Bila dilihat jumlah pemeluk agama di Kecamatan Pangkalan Lada dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1Jumlah Pemeluk Agama

Kecamatan Pangkalan Lada Tahun 2005

No DesaAgama

Islam Katolik Protestan Hindu Budha1 Purbasari 2588 10 19 1 -2 Pangkalan

Tiga2353 - 50 - -

3 Pangkalan dewa

2384 15 27 - -

4 Pandu Sanjaya

3144 11 70 - -

5 Makarti Jaya 1823 15 20 - -6 Sungai

Rangit Jaya2893 - 207 - -

235

7 Sumber Agung

2602 5 40 - -

8 Kadipi Atas 1468 10 14 -9 Lada

Mandala Jaya

4439 16 155 - 2

J u m l a h 23692 82 592 1 2Monografi Kecamatan Pangkalan Lada 2005

Bila dilihat dari segi pemeluk agama maka dilihat pada tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa mayoritas pemeluk agama di Kecamatan Pangkalan lada sebagian besar beragama Islam dari jumlah penduduk sebanyak 24.369 jiwa 23.693 jiwa atau 97,23%, menganut agama Islam, 82 orang beragama Katolik atau sekitar 0,34%, yang beragama Kristen protestan 592 jiwa atau sekitar 2,43% dan Hindu hanya satu orang serta yang menganut agama Budha sebanyak 2 orang.

Bila dilihat dari persebaran suku yang tersebar di Kecamatan Pangkalan Lada maka mayoritas diduduki oleh suku Jawa dari jumah penduduk sebanyak 24.369 jiwa, 23.452 jiwa atau sekitar 95,17% adalah suku Jawa, 757 jiwa atau ,2,90%, adalah suku Melayu, 199 orang atau 0,81% adalah suku Dayak, 73 orang atau 0,29% suku Madura, dan Batak 28 orang atau 0,11% dan lain-lain ada suku banjar, bugis sebanyak 617 orang atau 1,82%. (Kecamatan Dalam Angka 2005)

Bila dilihat dari persebaran penduduk di Kecamatan Pangkalan Lada mayoritas didiami oleh suku Jawa Menurut Ch. F. H. Dumont dalam bukunya Masri Singaribun dimana orang orang dayak yang tadinya mendiami seluruh wilayah pulau Kalimantan baik di daerah pantai maupun darat. Dengan kedatangan orang melayu, dari Sumatera dan Malaka mendesak orang-orang Dayak yang tadinya bermukim di

236

pantai kemudian mundur ke kesebelah darat pulau Kalimantan ditambah lagi dengan kedatangan orang-orang Bugis dan Jawa yang mendiami pantai timur Kalimantan (Dumont 1924). Dan menurut Mallincordt suku bangsa melayu di sekitar pesisir adalah keturunan Jawa pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit (Mallicordt 1928: 48) di tambah lagi pada masa pemerintahan Orde Baru dengan digalakkannya program transmigrasi di wilayah Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. maka tidaklah heran suku Jawa banyak mendiami di berbagai pulau pulau di Indonesia.

B. Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya

Kecamatan Pangkalan Lada yang berkarak-teristik daerah pertanian, sebagian besar penduduknya adalah petani dengan perbandingan bahwa jumlah petani yang menggarap lahan pertanian sebanyak 10.219 jiwa, atau sekitar 41,94% adalah petani penggarap sawah dan bekerja sebagai nelayan sebanyak 35 orang atau 0,014%, dan petani peternak 278 orang atau sekitar 1,20%, dan buruh sebanyak 2849 orang atau sekitar11,70% serta bekerja sebagai pedagang dan bertani sebanyak 1849 orang atau sekitar 7,60%. (laporan tahunan Kecamatan Pangkalan Lada).

Pertumbuhan pertanian di Kecamatan Pangka-lan Lada tidak begitu subur dari luas areal 30733 ha, lahan yang hanya dapat ditanami padi dan pertanian lainnya sebanyak 500 ha dan tadah hujan 387 ha, serta lahan kering 11.695 ha lahan kering yang sebagian besar dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit dan karet serta lada. untuk lahan pemukiman dan sarana lainnya seluas 2.039 ha, lahan tegalan seluas 5828 ha, serta rawa-rawa 794 ha (Prafil Kecamatan Tahun 2005).

237

Untuk lahan perkebunan yang ada di Pangkalan Lada khususnya perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh swasta dan rakyat seluas 9.490 ha, dan sisanya kurang lebih 2205 ha adalah merupakan perkebunan karet, lada. Sedangkan perkebunan Kelapa Sawit yang di kelola oleh “PT. Medco Argo Kebun Kumai kurang lebih 8000 ha, Keberadaan perkebunan tersebut diperkirakan berdiri pada tahun 1996. Dengan adanya perkebunan ini masyarakat yang berada di sekelilingnya ada semacam tambahan penghasilan yang tadinya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani/bercocok tanam mereka dapat bekerja di perusahaan perkebunan setelah selesai melakukan aktifitas sebagai petani mereka bekerja sebagai harian lepas dalam rangka menyambung kehidupan sehari-hari(mereka sebagai tenaga kasar seperti potong rumput, memetik kelapa sawit yang sudah siap petik dan memelihara tanaman).

Sekilas Gambaran PT Medco Argo Kebun Kumai, Perkebunan Sawit yang dikelola oleh Medco Argo berdiri pada tahun 1996, sebagai Pimpinan Administrator Kumai adalah Ir Jafar Khalid dan Mill Manager Ir, Ilyas yang beralamatkan di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 43 Bambal Pangkalan Embun Kotawaringin Barat yang merupakan sebagai kantor perwakilan yang ada di Kabupaten Kota-waringin Barat sedangkan kantor pusat menurut informasi berada di Jakarta. Di samping bergerak dalam bidang perkebunan perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan, bidang perhotelan, dan bidang perbankan.

Perkebunan kelapa sawit ini merupakan perkebunan milik swasta dalam hal ini pemiliknya adalah PT Medco Argo Kebun Kumai dengan sistim kontrak lahan dengan penduduk/masyarakat setempat sebagai pemilik lahan dengan sistim bagi hasil sesuai dengan perjanjian yang telah mereka

238

sepakati bersama. Perkebunan ini biasanya disebut perkebunan Plasma karena setelah selesai masa kontraknya tanah tersbut kembali kepada pemiliknya beserta tanaman yang ada di lahan tersebut. Dengan model semacam ini masyarakat diharapkan merasa memiliki perkebunan sawit karena bila perkebunan ini tidak menghasilkan maka yang akan rugi tidak hanya perusahaan tetapi juga pemilik lahan karena mereka tidak akan menerima keuntungan dan tidak bisa menikmati yang di peroleh dari hasil perkebunan tersebut. (wawancara dengan Ir. Maladi Bagian Personalia).

Jumlah karyawan sebagai tenaga admnistrasi kantor sebanyak 13 orang. Mereka ini yang mengendalikan laju perkembangan perusahaan yang ada di Pangkalan Embun sebagai kantor perwakilan di Kota Kabupaten, sedangkan yang bekerja sebagai tenaga di perkebunan sebanyak 89 orang sebagian besar tinggal di Camp-Camp (mess/rumah tinggal yang disediakan di tempat perkebunan). Sebagian yang lain mereka pulang kerumah karena tempat tinggal mereka tidak jauh dari tempat pekerjaannya. Dari tenaga yang jumlahnya sebanyak 89 orang itu membawahi delapan afdeling (desa) perkebunan jadi setiap afdeling dikelola oleh kurang lebih 10 atau 12 orang untuk mengurusi perkebunan tersebut.

Menurut penuturan salah seorang karyawan yang tinggal di Camp (Bapak Ismanto) yang merupakan pimpinan camp ia berasal dari Jawa dan diangkat oleh perusahaan tersebut dari pusat (Jakarta) kebanyak karyawan yang tinggal di cam adalah sebagian besar masih bujangan dan tidak memiliki sanak famili, karena sebagian besar tenaga tenaga tersebut di datangkan dari luar daerah seperti dari Jawa, Sunda Makassar, Bali dan Sumatera (batak), NTT dan NTB. Walaupun begitu tidak semua karyawan yang tinggal di campsendirian tetapi ada yang sudah berkeluarga. Rata-rata usia

239

perkawinan mereka berkisar satu hingga tujuh tahun dan mereka rata-rata memiliki anak masih kecih-kecil dan belum masuk usia sekolah, dan mereka setiap keluarga mendapat satu pintu yang terdiri dari ruang/kamar tamu, kamar tidur dan dapur serta kamar mandi dll.

Sedang tenaga harian lepas (tenaga musiman) yang jumlahnya kurang lebih 1000 orang ini kebanyakan para petani yang telah selesai menggarap sawahnya mereka manfaatkan untuk bekerja di perkebunan sambil menunggu hasil panennya. Mereka tinggal di sekitar perkebunan sebagai tenaga transmigran. Adapun penduduk asli suku dayak lebih senang minggir masuk ke pedalaman karena mereka disamping tidak memiliki keahlian juga ketinggalan dalam bidang pendidikan dengan para pendatang (wawancara dengan Kasubbag TA Kandepag Kotawaringin Barat) Drs. H. Abdullah. Bagi Suku dayak yang telah maju sebagian besar tidak mau disebut suku dayak lagi. Mereka lebih senang disebut suku melayu di samping suku dayak sudah banyak yang membaur dengan pendatang disamping adanya hubungan perkawinan istilah dayak mempunyai konotasi merendahkan sehingga ada yang lebih suka menamakannya Daya (Suku Daya). (Coomons:1997). Sekarang dayak tak perlu diganti dengan daya, karena hal ini untuk meningkatkan harkat dan martabat suku dayak di masa lalu. (Masri Singarimbun, Hon LLD 1997:258).

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga yang siap pakai kecamatan ini nampaknya masih membutuhkan waktu yang panjang di samping usianya yang baru berjalan satu tahun, sarana dan prasarana merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari untuk mencerdaskan masyarakat yang akan berakibat ketertinggalan dengan daerah lain yang sudah lebih maju. Sekarang ini untuk memenuhi kebutuhan pendidikan

240

hanya terdapat 12 Taman kanak-kanak, 20 Sekolah dasar dan 5 Sekolah lanjutan Pertama serta 2 Sekolah lanjutan Atas.

Berkaitan dengan pendidikan pada umunya masyarakat daerah ini bagi mereka yang mampu ekonominya mereka lebih senang menyekolahkan anak-anak mereka di luar daerah seperti Jawa Tengah (Semarang dan di Jawa Timur (Surabaya) Disamping transportasinya pada sekarang ini mudah di jangkau baik itu melalui udara maupun dengan kapal laut. Selain itu juga mereka masih ada hubungan keluarga di daerah tersebut karena mereka pada awalnya adalah orang-orang transmigran dari daerah tersebut dan tidak heran bila daerah Kotawaringin barat banyak kendaraan dari daerah Surabaya dan semarang atau sekitarnya.

Sebagaian matapencaharian mereka adalah bertani (bercocok tanam) yang sering melibatkan beberapa anggota keluarga untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari, dan masih banyak yang tidak bisa baca tulis. Untuk wilayah di perkebunan rata-rata tenaga berpendidikan SLTP dan SLTA datang dari luar daerah, sementara yang berpendidikan lebih tinggi ditempatkan unit perwakilan yang berada di wilayah Pangkalan Embun.

Kehidupan di camp-camp sendiri nampaknya tidak ada masalah diantara sesama karyawan. Mereka saling hormat menghormati, saling bantu membantu dan bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari begitu juga mungkin mereka merasa senasib dan sepenanggungan nampaknya kehidupan di camp-camp terasa aman dan damai. Dengan lingkungan masyarakat sekitarnya tidak ada masalah. Mereka dapat berdaptasi, sudah saling kenal mengenal dalam lingkungan pekerjaan, dengan mudah menyesuaikan diri dalam bermasyarakat.

241

Dalam hubungan sosial kemasyarakatan mereka selalu berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari seperti kerja bakti, dalam kegiatan seperti perayaan HUT RI ikut merayakan secara bersama-sama dengan masyarakat setempat.

C. Kehidupan Keagamaan

Dalam kehidupan keagamaan di daerah perkebunan Kecamatan Pangkalan Lada dengan ditandai berbagai aktifitas keagamaan. Masing-masing umat beragama menjalan kewjibannya tidak bedanya denga umat beragama di daerah lain, seperti upacara kelahiran, perkawinan, sunatan dan kematian sesuai dengan budaya yang mereka warisi dari daerah asal. Begitu pula di daerah lingkungan perkebunan hampir tidak ada perbedaan. Ketika masyarakat di perkebunan membutuhkan bantuan seperti mengadakan sunatan atau pengajian selalu mendatangkan penceramah dariluar tanpa membedakan mereka dari golongan. Mereka diminta untuk membaca doa maupun memimpin kegiatan keagamaan lainnya seperti memberi nama anak yang baru dilahirkan. Begitu sebaliknya masyarakat di dalam perkebunan, karena tidak memiliki sarana peribadatan yang memadai, bila akan melaksanakan salat Jum’at mereka mencari masjid yang terdekat bersama masyarakat sekitarnya dan sering memberikan bantuan untuk kegiatan keagamaan. Bagi yang beragama Islam mereka memberikan sumbangan kepada yayasan/TPA disekitar perkebunan seperti TPA Bahrul Ullum dan Bahrul Muttaqin serta Miftahul Ullum. Mereka memberikan sumbangan melalui gaji yang mereka potong setiap bulannya untuk disumbangkan pada kegiatan keagamaan di masyarakat sekelilingnya. Sedang yang beragama non Islam (Katolik dan protestan) mereka sumbangkan ke gereja di mana mereka ikut kebaktian. Dalam

242

kegiatan di bulan suci ramadhon mereka mengadakan shalat tarawih di Camp yang telah kosong yang digunakan sebagai sarana untuk beribadah salat lima waktu dan kegiatan lainya seperti pengajian.

Sedangkan kegiatan masyarakat di sekitar perkebunan pada umumnya di pusatkan di tempat-tempat ibadah seperti masjid-masjid maupun mushallah. Mereka bangun tempat ibadah dengan swadaya masyarakat secara bersama-sama tahap demi tahap sehingga lama-lama berdiri sebuah tempat ibadah. Jumlah masjid di Kecamatan Pangkalan Lada sebanyak 111 buah, gereja 2 buah. Hindu dan Budha belum mempunyai tempat peribadatan, karena jamaahnya baru ada 1 (satu) untuk umat Hindu dan Budha hanya 2 orang.

243

Pola Kerukunan Hidup Umat Beragama

A. Sejarah Kotawaringin Barat

wal mula pemukiman di Kotawaringin Barat tidak bisa dilepas dari daerah aliran sungai. Di Kabupaten Kotawaringan Barat terdapat empat sungai besar

yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau, dan Sungai kumai, dan masih banyak puluhan anak sungai. Pemukiman penduduk sejak berabad-abad yang lalu tumbuh di sepanjang sungai. Sungai ini selain menjadi tempat mencari ikan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga tempat mandi dan sebagai transportasi.

Penduduk Asli yang tinggal di daerah ini adalah suku Dayak yang berindukkan Dayak Ngaju. Kedekatan suku Dayak dengan sungai mengakibat-kan mereka mengindentitaskan dirinya, dengan nama sungai (Usop et al, 1995: 1-6.

A

244

Menurut Ch. F. H. Dumon, dahulu orang Dayak mendiami seluruh wilayah pulau baik di daerah pantai maupun darat. Kedatangan suku Melayu, dari Sumatera dan Malaka, serta suku Jawa mendesak orang-orang Dayak yang bermukim mundur ke sebelah darat (pedalaman) pulau Kalimantan. Selain suku Melayu dan Jawa juga kedatangan orang Bugis yang mendiami pantai Timur dan pantai Barat pulau Kalimantan. Di sebelah barat Kalimantan berdatangan pula orang Tionghoa yang bekerja sebagai penambang (Dumont, 1924) .

Pada umumnya orang-orang Dayak memeluk agama Kaharingan atau Kristen. Sedang orang Dayak yang telah memeluk agama Islam menyebut dirinya orang Melayu. Di daerah Kotawaringin Barat orang melayu banyak yang bercampur dengan suku dayak dan menumbuhkan satu kebudayaan yang sangat unik baik dari struktur arsitek bangunan maupun kehidupan sehari-hari. Orang Tionghoa banyak kita jumpai di kota-kota seperti Pangkalan Embun, Sukamara, bahkan di kota kota kecil seperti Nanga Bulik. Selain itu, juga terjadi percampuran antara orang Dayakdengan orang India yang beragama Hindu.

Untuk mengetahui suku Melayu di Kalimantan sukar untuk dijelaskan karena pengertian melayu disini digunakan dalam pengertian perbedaan agama, tidak dalam pengertian asal usul suku/bangsa. Meskipun demikian banyak juga orang melayu yang berasal dari Riau dan Tanah Semenanjung Malaka. Mallinconrdt menerangkan bangsa Melayu di sekitar pesisir sebagian keturunan dari suku Jawa pada masa kerajaan Majapahit, (suku Sedulun dan Melayu Tarakan). Pada tahun 1960, tumbuhlah perkembangan baru datangnya penduduk asal Banjarmasin-Hulu sungai dengan nama “orang Banjar”,

245

Mereka kebanyakan tinggal di sekitar Sukarama dan merupakan pedagang yang tangguh.

Sejarah Kotawaringin Barat dimulai dengan masuknya pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di Tahun 1365, dengan mengangkat kepala-kepala suku menjadi menteri kerajaan (Riwut, 1993: 55), ini dibuktikan dengan disebutnya daerah Kotawaringin dalam pupuh XIII buku Kertanegara Kertagama karya Mpu Prapanca. Nama Kotawaringin Barat berasal dari nama pohon beringin yang banyak tumbuh di daerah ini, dengan akarnya yang panjang dan dedaunan yang lebat.

Tentang berdirinya Kotawaringin Barat terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kerajaan ini baru dibangun oleh Pangeran Adipati Anta Kesuma, putra banjar Sultan Musta’inubillah (1650-1678). Yang pergi kearah barat 1679, (Nahan ©, mengutip Saifuddin Zuhri: 401 dan Riwut 1993:55). Kerajaan IslamKotawaringin ini meliputi Sampit, Mendawai dan Pembuang. Daerah lain di sekitarnya masih dibawah pimpinan kepala-kepala suku Dayak (Riwut, 1993: 55). Pendapat ini banyak didasari oleh tulisan Sanusi dan Lontaan yang tidak mencantumkan angka tahun pemerintahan raja-raja Kotawaringin dengan jelas. Sedangkan buku yang lebih baru memori Hari Pahlawan ke 4315 Nopember 1988 di Pangkalan Bun angka tahunnya bercampur antara masehi dan tahun hujriah, dan keduanya tidak sesuai, ( 920 H dan 1499 M). Pendapat kedua yang bersumber dari catatan di istana Alnusari di Kotawaringin Lama kurang lebih tahun 1615 M. Menurut legenda dalam pemufakatan untuk menjalin hubungan yang baik, maka dilakukan upacara yang meminta tumbal masing-masing kelompok satu orang untuk dibunuh dan diatas kuburan dua orang tumbal diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Ratu Petahan. Hubungan yang baik

246

antara orang Dayak yang memeluk agama lokal dengan para pendatang yang beragama Islam. Agaknya hubungan yang baik ini pulalah yang ditiru oleh masyarakat Kalimantan Tengah hingga sekarang ini.

Dari bagian yang terpenting, dalam sejarah perjuangan Kotawaringin barat adalah usaha berdirinya kabupaten ini. Sebab pada era ini penduduk Kotawaringin Barat ditantang untuk mengurus daerahnya sendiri tanpa pengaruh pemerintah dari luar. Dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia kabupaten Kotawaringin barat didorong untuk lebih maju dari masa –masa sebelumnya.

Setelah berjalan sekian lama daerah ini berada di dalam lingkungan Kabupaten Kotawaringin dengan ibu kota Sampit, atas dasar kemauan rakyatnya yang disalurkan melalui Partai partai/organisasi agar daerah swapraja menjadi suatu daerah Kabupaten tersendiri. Dengan keputusan DPRDS, Kab. Kotawaringin dengan Pen-Pres No. 5/6 tahun 1960 dan berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Maret 1960, No. 35-PD-1-1960. maka terbentuklah Kabupaten Kotawaringin Barat.

A. Strategi Pemeliharaan Kerukunan

1. Potensi Kerukunan

Menyadari pentingnya keutuhan dan kerukunan umat beragama demi persatuan dan kesatuan serta stabilitas ketahanan nasional maka salah satu hal yang harus diupayakan adalah peningkatan pembinaan dan kehidupan beragama, guna menjamin terciptanya kerukunan baik intern umat beragama atau antar umat beragama terutama dalam kehidupan di masyarakat perkebunan dan sekitarnya di Kecamatan Pangkalan Lada. Kerukunan hidup umat

247

beragama di masyarakat perkebunan baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha hingga sampai sekarang ini dirasa cukup baik dan kondusif demikian juga antar etnis/suku. Disamping pemerin-tah cukup bijaksana dalam menjembatani umat beragama terhadap pelaksanaan kegiatan keagamaan sehingga mereka tidak saling curiga mencurigai diantara masing masing penganut agama.

Di Kecamatan Pangkalan Lada yang merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat yang merupakan kecamatan termuda tentunya masih banyak yang harus dibenahi. Pada tahun 2005 yang jumlah penduduknya mencapai 24.369 jiwa yang kurang lebih pemeluk agama Islam sebagai mayoritas (97,23), Kristen Protestan 2,40%, Katolik 0,30%, Lain-lain, 0,7%. Sementara latar belakang etnis/suku seperti suku Jawa 95,17%, suku Melayu 2,90%, dan suku Dayak 0,81% serta Suku Madura 0,29%, Batak 0,11%, serta lain-lain 1,82% (Banjar, Bugis).

Nampaknya kehidupan umat beragama masyarakat di Perkebunan Kelapa Sawit dan masyarakat sekitar berjalan cukup baik, hubungan umat beragama baik intern maupun antar umat beragama lainnya menunjukkan adanya sikap yang saling toleran, saling hormat menghormati, begitu pula di dalam perkebunan sendiri nampaknya tidak ada masalah dan cukup kondusif. Kehidupan sehari-hari para pekerja perkebunan dan masyarakat sekitarnya mereka di sibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ada hal yang perlu diteladani di mana penduduk asli mau menerima para pendatang dengan terbuka dan mereka iku membaur dengan masyarakat pendatang bahkan banyak masyarakat pribumi melakukan perkawinan dengan para pendatang.

Keadaan yang semacam ini dapat memupuk keakraban, saling tolong menolong, saling hormat menghormati. Antara

248

mereka terdapat persamaan kultur dan budaya sehingga dengan mudah untuk menciptakan suatu keakraban dalam upaya membina kerukunan baik intern maupun antar umat beragama. Peristiwa yang terjadi di Sampit merupakan peristiwa yang mengerikan dan menakutkan bagi masyarakat kalimantan Tengah pada umumnya dan khususnya di Kabupaten Sampit yang memakan korban baik harta maupun jiwa yang tak ternilai harganya merupakan suatu pelajaran untuk menatap masa depan yang lebih baik dan kondusif agar masyarakat selalu berhati-hati dan berpikiran jernih dalam mengatasi suatu permasalahan.

Kehidupan diperkebunan maupun di sekitarnya nampaknya ada ketergantungan baik yang tinggal di camp-camp maupun masyarakat sekitar perkebunan baik sesama anggota masyarakat maupun sebagai pekerja di perkebunan dalam upaya pemenuhan kehidupan yang mengharuskan mereka saling berhubungan dan berintegrasi dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aktifitas keagamaan. Dalam hal pemberian bantuan kepada tempat-tempat ibadah, masyarakat perkebunan tidak membedakan-bedakan salah satu agama.

2. Potensi KonflikSecara konseptual konflik dapat pula terjadi pada

masyarakat yang relatif homogen. Karena konflik merupakan salah satu sisi dari situasi sosial maka dalam kenyataan tidak dapat dipisahkan dengan sisi lain yaitu kerja sama (kerukunan). Oleh karena itu secara mendasar konflik tidak dapat dilenyapkan sama sekali dalam masyarakat. Selama masyarakat itu masih ada, anggota-anggotanya akan terus selalu melakukan interaksi sosial di antara mereka. Selama ada interaksi selalu ada kemungkinan konflik atau kerjasama.

249

Penyebab konflik sangat kompleks antara lain sumberdaya, baik ekonomi, sosial dan politik. Dengan perkembangan iklim dan teknologi komunikasi dan transportasi menyebabkan hubungan antar daerah menjadi semakin mudah sehingga perpindahan penduduk dari suatu pulau ke pulau yang lain semakin mudah. Hal ini sering menimbulkan kecemburuan sosial dari penduduk (suku) setempat. Karena persaingan yang tidak seimbang antara pendatang dengan penduduk asli.

Keberadaan perkebunan sawit di Kecamatan Pangkalan Lada tidak bisa dipungkiri bahwa selain memberikan kontribusi penting dalam perekonomian, sekaligus membuka lapangan kerja dan kehidupan buruh yang terlibat di dalamnya.

Namun dari sisi lain, perkebunan sawit juga sering menjadi sumber berbagai konflik sosial dan menjadi malapetaka lingkungan bagi masyarakat sekitarnya. Dengan ribuan ha tanah perkebunan sawit tentunya mampu memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya, yang sampai sekarang ini dirasakan sudah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Tetapi bila tidak dapat mengakses kepentingan penduduk pribumi (asli) dan pendatang dapat menimbulkan kecemburuan sosial diantara mereka.

Terpinggirnya penduduk asli yang tidak bisa bersaing dengan para pendatang yang kaya akan pengalaman dan etos kerja yang tinggi karena rendahnya tingkat pendidikan dan sosial masyarakat setempat dibandingkan dengan pekerja perkebunan mengindikasikan adanya ketimpangan dan kesen-jangan ekonomi yang tidak merata. Akibatnya bila dibiarkan berlarut-larut, kemungkinan akan menimbulkan konflik sosial di masyarakat.

250

Masuknya para pendatang seperti suku madura atau yang memiliki watak keras perlu diperhatikan secara baik-baik pada masa mendatang agar tidak menimbulkan permasalahan baru seperti kasus di Poso, Ambon dan Sampit yang hingga sekarang ini masih dirasakan.

251

Penutup

A. Kesimpulan

erdasarkan beberapa informasi, dan beberapa temuan–temuan kenyataan dilapangan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Kondisi sosial masyarakat perkebunan di Kecamatan Pangkalan Lada termasuk kehidupan keagamaan, pada umumnya berjalan dengan baik. Dalam pembinaan keagamaan, mereka lakukan dengan mengadakan pengajian-pengajian di masjid dengan memanggil

B

252

Kyai/penceramah untuk berceramah. Dalam peringatan Hari Hari Besar Keagamaan, masyarakat di lingkungan perkebun-an yang tinggal di camp-camp dilakukan berbagai kegiatan sosial keagamaan antar lain memberikan bantuan kepada Yayasan Yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan (TPA, dan masjid-masjid).

b. Interaksi masyarakat perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya cukup baik karena di samping adanya hubungan kerja juga tiap ada kegiatan kegiatan kemasyarakatan selalu dilibatkan. Mereka saling hormat menghormati, dan saling toleransi di samping adanyahubungan ketergantungan di antara mereka.

c. Faktor yang dapat menopang terjalinnya kerukunan di antara mereka antara lain di samping umat Islam mayortitas juga hubungan kerja serta perasaan senasib dan sepenanggungan, karena mereka kebanyakan dari daerah yang sama. Disamping itu juga penduduk asli mau menerima para pendatang dengan terbuka bahkan mereka saling melakukan perkawinan dengan para pendatang. Sedangkan faktor yang dapat mengusik terciptanya kerukunan adalah kesenjangan ekonomi dan lapangan kerja yang tidak seimbang antar pendatang dengan pribumi yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Bila hal itu dibiarkan secara terus menerus kemungkinan akan menimbulkan konflik.

d. Untuk menjaga dan membina kerukunan antar umat beragama tentunya perusahaan perkebunan hendaknya jangan hanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan masyarakat setempat dan sekitarnya.

253

B. Rekomendasi

Walaupun kerukunan dirasakan sudah cukup baik, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama begitu juga dengan masyarakat sekitar perkebunan yang sekarang telah berjalan dengan baik terutama masalah kerukunan yang tumbuh dari bawah, perlu terus dipelihara dan ditingkatkan.

Diharapkan adanya peningkatan peran pemerintah dalam rangka mencerdaskan umat beragama, dengan menyalurkan tenaga terdidik untuk mengentaskan ketertinggalan baik di bidang ilmu pengetahuan maupun di bidang agama, sehingga masyarakat semakin cerdas dan tak mudah diprofokasi.

Daftar Pustaka

A.W. Wijaya, Ed., Individu, Keluarga dean Masyarakat,Academika Lasendo, 2001;

BPS KOTA Waringi, Kotawaringin Barat Dalam Angka Tahun 2004; Kota waringin, 2004

Badan Perencanaan Pengendalian Pembangunan daerah Kabupaten Kotawaringin Barat, Sejarah Kotawaringin Barat tahun 2004;

Departemen Agama RI, Profil Kerukunan Umat Beragamam Seri II, Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama RI, jakarta, tahun 1996;

254

........................., Konflik Sosial Bernaunsa Agaama di Indomesia,Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama RI, tahun 2003;

.........................,Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia,Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama RI, tahun ;

........................., Sistim Siaga Dini, tahun 1999;

Dewi Fortuna Anwar, dkk, Ed., Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi, politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, Obor, Jakarta, Tahun 2004;

Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan Sosial, Jakarta tahun 1997;

Profil Kecamatan Pangkalan Lada, Dalam Angka 2005;

Wawancara dengan Kasubbag TA Kandepag Kotawaringin Barat, Abdullah;

........................., Pimpinan Camp PT. Medco Argo Kebon Kumai, Ismanto;

........................, Maladi (Bagian Personalia PT. Medco Argo Kebon Kumai) Mallicordt 1928: 48;

........................., Maulud Supriyadi, Ceff Offecer, PT. Medco Argo Kebun Kumai;

BAGIAN 9

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN

Tim Peneliti

Prof. Dr. Ridwan LubisDra. Hj. Kustini, M.Si.Lastriyah

256

Pendahuluan

A. Latar Belakang

ebijakan pembangunan di Indonesia dengan menggunakan paradigma modernisasi telah menekankan aspek pertumbuhan ekonomi di berbagai

sektor. Pada sektor agraria, pembangunan dilaksanakan setidaknya melalui tiga program yaitu: revolusi hijau (green revolution)1, eksploitasi hutan serta agro industri (Noer Fauzi; 1999: 163). Keberhasilan revolusi hijau dalam meningkatkan produksi beras tidak diragukan lagi. Para petani di Jawa menghasilkan padi dua kali lipat dan pada tahun 1985 Indonesia mencapai swasembada beras. Dalam program

1 Istilah Revolusi Hijau awalnya adalah sebuah jargon politik yang diusulkan pada tahun 1968 oleh William S. Gaud, seorang administrator USAID, untuk menandai usaha memotong derap Revolusi Merah dari Komunisme. Secara ekonomi, Revolusi Hijau adalah modernisasi pertanian, khususnya tanaman pangan, yang mengandalkan asupan kimiawi dan biologi, selain persyaratan kelancaran irigasi, ke dalam kultur bercocok tanam tanaman pokok, khususnya padi di Indonesia dan gandum di India Utara (Francis Wahono: 1999).

K

257

eksploitasi hutan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), maupun tentang Hutan Tanaman Industri (HTI). Sedangkan melalui Program Agro Industri telah diterapkan berbagai kebijakan tentang Perusahaan Inti Rakyat – Perkebunan (PIR – BUN), Tebu Rayat Intensifikasi (TRI), maupun pemberian kesempatan kepada pihak swasta untuk mengelola perkebunan.

Berbagai program tersebut di satu sisi telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi pada sisi lain ternyata telah menimbulkan konflik-konflik agraria dan protes petani. Program revolusi hijau misalnya, menuai sejumlah konflik karena: (1) pihak petani ingin mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi secara tradisional; (2) lapangan pekerjaan makin menyempit akibat penerapan mekanisasi pertanian; (3) harga pupuk dan pestisida yang terus meningkat tidak sejalan dengan peningkatan harga gabah; (4) kredit usaha tani yang tidak mampu terbayarkan. Program agro industri juga telah menuai sejumlah protes dari para petani, baik sebagai pemilik tanah maupun pekerja perkebunan. Protes tersebut antara lain terjadi karena pengelola perkebunan mengambil alih tanah produktif yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat, tercerabutnya rakyat petani dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan, langkanya penyuluhan dari pihak perkebunan sehingga tidak terjadi transfer of technolgy, serta monopoli pemasaran hasil komoditi perkebunan (Noer Fauzi; 1999: 196-200).

B. Kerangka Pemikiran

Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan

258

dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adanya persyaratan tentang toleransi, saling pengertian, dan saling menghargai dalam menciptakan kerukunan menunjukkan bahwa kondisi rukun bukan merupakan sesuatu yang given, tetapi kondisi yang harus diupayakan bersama antara umat beragama dan Pemerintah. 2

Hubungan sesama umat beragama bukanlah sesuatu yang statis, tetapi merupakan hal yang dinamis, yang terjalin karena adanya interaksi sosial antar umat beragama. Interaksi sosial merupakan hubungan antara orang perorang, antara kelompok manusia dan antara orang perorang dengan kelompok manusia (Soekanto; 2001: 67). Interaksi sosial dapat berbentuk kerjasama, persaingan atau pertentangan. Dampak dari interaksi sosial dapat berupa proses sosial asosiatif (akomodasi, asimilasi, dan akulturasi) atau bersifat disasosiatif (persaingan dan pertentangan).

Interaksi sosial antar kelompok masyarakat, baik kelompok etnik, agama, maupun kelompok berdasarkan tempat tinggal, sangat diperlukan dalam rangka menghindari terjadinya konflik. Menurut Varshney (dalam Harmoni: 2002) konflik sosial antar etnik/agama lebih disebabkan oleh kuatnya tingkat kohesivitas internal dalam kelompok-kelompok etnik/agama (internal engagement). Sedangkan

2 Pengertian kerukunan umat beragama serta pemeliharaan kerukunan umat beragama dapat dibaca pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1Peraturan Bersama Menteri Agma dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

259

perdamaian sosial lebih didorong oleh menguatnya jaringan pertalian antar warga lintas agama/etnik. Varshney juga percaya bahwa masyarakat sipil yang memiliki jaringan antar etnis yang baik dengan suatu pelibatan bersama dalam suatu kegiatan (network of interethnic civic engagement) akan dapat mencegah terjadi konflik dan kekerasan. Ikatan warga (civic engagement) menurut Varshney meliputi ikatan formal (associational form of engagement) dan ikatan informal (everyday form of engagement). Ikatan warga yang teorganisir dapat berbentuk asosiasi bisnis, organisasi profesi, perkumpulan olah raga, kelompok yang memiliki hobby tertentu, dan lain-lain. Sedangkan ikatan-ikatan yang bersifat informal antara lain dapat dilihat dalam bentuk interaksi rutin antar kelompok masyarakat seperti saling mengunjungi, saling memberi ucapan selamat pada saat hari raya, makan bersama, berpartisipasi dalam kegiatan perayaan-perayaan di lingkungannya, menjalin hubungan ketetanggaan, atau mengizinkan anak-anak mereka untuk bermain bersama.

Melalui peningkatan komunikasi antar berbagai kelompok masyarakat maka harapan terciptanya perdamaian akan lebih mudah dicapai. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah pembentukan forum warga dan forum komunikasi antar umat beragama yang dalam banyak hal telah berhasil menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dalam menyelesaikan sengketa antar kelompok masyarakat. Untuk menciptakan ikatan warga tersebut maka diperlukan usaha-usaha untuk melakukan interaksi sosial dan komunikasi antara kelompok masyarakat (Cahyo Pamungkas: 2005: 92).

C. Gambaran Singkat Kabupaten Tanah Laut

Kabupaten Tanah Laut dengan Ibukota Kecamatan Pelaihari dibatasi sebelah barat dan sebelah selatan oleh Laut

260

Jawa, sebelah timur oleh Kabupaten Kotabarau dan sebelah utara oleh Kabupaten Banjar. Kabupaten Tanah Laut meliputi 9 (sembilan) kecamatan yaitu Kecamatan Panyipatan, Jorong, Batu Ampar, Kintap, Peleihari, Takisung, Bati-Bati, Tambang Ulang dan Kurau. Daerah yang memiliki wilayah paling luas adalah Kecamatan Jorong 628,00 km2, kemudian Kecamatn Peleihari 575,75 km2, Kecamatan Batu Ampar 548,10 km2. Sedangkan kecamatan yang paling sempit wilayahnya adalah Kecamatan Tambang Ulang yaitu 160,75 km2.

Kabupaten Tanah Laut dikepalai oleh seorang bupati. Mulai tahun 1966 sampai sekarang telah terjadi sepuluh kali pergantian pemegang jabatan bupati. Sejak tahun 2003 jabatan bupati dipegang oleh Drs. Adriansyah didampingi oleh wakil bupati Ikhsanudin Husin. Dalam melaksanakan tugasnya, Bupati Tanah Laut dibantu oleh 3 (tiga) perangkat staf pemerintah daerah yaitu Sekretaris Daerah (Sekda), Badan Perencanaan pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pengawasan Kabupaten.

Pada tahun 2004 jumlah penduduk Kabupaten Tanah Laut sebesar 243.762 orang. Dari rasio jenis kelamin yaitu 103 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Dilihat dari perbandingan penduduk per kecamatan, maka penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Pelaihari yaitu 65.623 orang dengan kepadatan penduduk 114 orang per km2 Sedangkan wilayah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Tambang Ulang yaitu 12.519 orang dengan kepadatan penduduk 78 orang per km2. Rata-rata penduduk setiap desa/kelurahan per km2 dapat dilihat pada tabel berikut.

Dilihat dari agama yang dipeluk, karakteristik penduduk Kabupaten Tanah Laut tidak berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan.

261

Penduduk beragama Islam merupakan mayoritas. Selebihnya adalah mereka yang menganut agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, penduduk yang menganut agama selain agama yang telah disebutkan, ternyata jumlahnya relatif banyak. Mereka dikategorikan dengan sebutan ‘lainnya’ (lihat Tabel 2 kolom 8). Tidak ada informasi yang pasti tentang kategori ‘agama lainnya’. Tetapi kemungkinan besar sebagian dari mereka menganut kepercayaan seperti leluhurnya yaitu Kaharingan. Gambaran penduduk Kabupaten Tanah Laut serta kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 adalah sebagai berikut:

Tabel 2Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kabupaten/Kota

di Kalimantan Selatan Tahun 2000

Kabupaten/Kota

Agama JumlahIslam Katolik Kristen Hindu Budha LainnyaTanah LautKotabaruB a n j a rBarito K.T a p i nH. Sungai Sl H. Sungai TH. Sungai UTabalongBanjarmasinBanjarbaru

225.781387.256391.481243.441138.654189.318216.880285.201163.926504.558120.077

9072.32927655219613570254

1.4316.8971.099

1.9076.036646882810847587502

3.97210.7082.483

7945.995

831.008152101

2.322909

1.156794241

2363.17620827403322

4.57414

4.02637

377.6072.048

10915

2.6713.53055121743242

229.662412.399394.742245.920

1.403.767193.105223.411291.991170.716527.415123.979

Kalimantan Selatan 2.866.573 14.145 29.380 13.555 12.393 18.060 2.954.107

Sumber: Profil dan Analisa Kependudukan Kalimantan Selatan Tahun 2000

262

Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut

A. Kondisi Geografis ektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Salah satu sub sektor

pertanian yang cukup besar potensinya adalah perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting dalam meningkatkan devisa negara di luar minyak dan gas.

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut merupakan hasil dari berbagai pola pengembangan perkebunan seperti pola PIR, pola kemitraan, program swastanisasi daerah, dan penanaman kelapa sawit pada kebun masyarakat (Razak dkk; 2005; 9). Potensi ini menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kelapa

S

263

sawit terbesar kedua setelah Malaysia. Propinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki luas areal perkebunan kelapa sawit terbesar sekaligus memiliki produksi kelapa sawit terbesar di Indonesia (Badan Pusat Statistik: 2005; xii). Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Tahun 1998 – 2004 (Ha)

Thn PerkebunanRakyat

Perkebunan Besar Negara

Perkebunan Besar Swasta

Jumlah Pertumbuhan

1998 890.506 556.640 2.113.050 3.560.196 -1999 1.041.046 576.999 2.283.757 3.901.802 9,602000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077 6,572001 1.561.031 609.943 2.542.457 4.713.431 13,362002 1.808.424 631.566 2.627.068 5.067.058 7,502003 1.854.394 662.803 2.766.360 5.283.557 4,272004 1.904.944 675.090 2.820.525 5.400.559 2,21

Sumber: Badan Pusat Statistik; Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2004

Pada tahun 2004 luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan adalah 143.321 ha, terdiri atas Perkebunan Rakyat 21.012 ha, dan Perkebunan Swasta 122.309 ha, dengan keseluruhan jumlah produksi 213.618 ton. Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Selatan tidak ada yang dikelola oleh Perkebunan Negara Dengan kata lain, hanya dikelola dalam bentuk Perkebunan Rakyat atau Perkebunan Besar Swasta (Lihat Statistik Kelapa Sawit 2004). Salah satu wilayah di Kalimantan Selatan yang memiliki areal perkebunan, khususnya kelapa sawit, adalah Kabupaten Tanah Laut yang dikelola melalui Perkebunan Besar Swasta (PBS). Lihat tabel berikut.

264

Tabel 4Perkebunan Besar Swasta di Kabupaten Tanah Laut

Tahun 2005No Nama Perkebunan

Besar Swasta (PBS)Lokasi/

KecamatanKomoditi Lahan

(ha)1 PT. Damit Mitra

SekawanKintap, Jorong, Batu Ampar

Kelapa Sawit 4.777,418.894,50

2 PT. Smart Tbk. Kintap Kelapa Sawit 4.895,003 PT Kintap Jaya

WattindoKintap Kelapa Sawit 4.687,00

4 PT Pola Kahuripan Inti Sawit

Kintap Kelapa Sawit 7.550,00

5 PT. Indoraya Everlatex Kintap Kelapa Sawit 8.700,006 PT. Lunik Anugrah Batu Ampar Kelapa Sawit 1.139,007 PT. Candi Artha Batu Ampar Kelapa Sawit 1.078,008 PT. Bangun Kalimantan Batu Ampar Kelapa Sawit 805,009 PT. Perkebunan

Nusantara XIIIPelaihari Kelapa Sawit 3.200,00

10 PT. Melindo Jaya Diraja Kintap Kelapa Sawit 9.678,0011 PT. Bridgestone

Kalimantan PlantationBati-Bati Karet 5.971,00

12 PT. Sarana Subur Agrindotama

Jorong Kelapa Sawit 1.750,50

13 PT. Multi Raya Anugrah

Tambang Ulang

Karet, Jambu Mete

223,40

14 PT. Pugung Raya Bati-Bati Kelapa Hybrida

649,80

15 PT. Meratussindo Nugraha Sentosa

Batu Ampar Ubi Kayu 510,00

16 PT. Citra Putra Kebun Aseri

Jorong Jahe 1.000,00

17 PT. Sinar Surya Jorong Batu Ampar Jahe 452,0018 PT Perembe Pelaihari Jahe, Kelapa

Hybrida50,00

19 PT. Sapto Angro Unggul

Jorong Karet 150,00

20 PT. Emida Jorong Karet 698,80Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006

265

B. Profil PT Damit Mitra Sekawan

PT Damit Mitra Sekawan (PT DMS) adalah salah satu Perkebunan Besar Swasta dengan komoditi kelapa sawit. Perkebunan ini mulai dibuka tahun 1996, terdiri dari tiga divisi (wilayah) yang berada di tiga kecamatan yaitu Divisi I di Kecamatan Kintap, Divisi II di Kecamatan Jorong dan Divisi III di Kecamatan Batu Ampar dengan luas keseluruhan 13.671,91 ha. Dari keseluruhan luas tanah tersebut, 8.224,00 ha merupakan tanah dengan Tanaman Menghasilkan (TM) dan selebihnya merupakan tanah dengan Tanaman Belum Menghasilkan TBM yaitu tanaman yang sampai saat ini belum pernah memberikan hasil, karena masih muda atau tanaman yang sudah cukup umur tetapi belum dapat menghasilkan karena tidak cocok dengan keadaan tanah. Melihat luasnya lahan TBM maka dapat dipastikan bahwa di masa depan produksi kelapa sawit yang dihasilkan PT DMS ahkan meningkat. Pada tahun 2005 PT DMS telah memproduksi rata-rata 9.450 ton/bulan. Tentang nama Damit Mitra Sejahtera, Manager Divisi III menjelaskan: ‘Damit’ diambil dari nama desa ketika pertama kali dilakukan pembukaan lahan yaitu di Desa Damit Hulu dan Desa Damit di Kecamatan Batu Ampar. Sementara kata ‘mitra’ menunjukkan bahwa sesungguhnya perusahaan kami ingin menjadi partner bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut untuk bersama-sama meningkatkan pendapatan daerah yang berarti meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi karyawan perkebunan, dan secara lebih luas untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tanah Laut. Untuk itu, pekerja perkebunan diusahakan dari masyarakat setempat dengan penyediaan fasilitas mobil (truk) antara jemput dari rumah menuju perkebunan sehingga pekerja perkebunan tetap dapat tinggal di rumahnya masing-masing. (Wawancara dengan Manager Divisi III Ir. Todung Silitonga, tanggal 29 September 2006).

266

Kabupaten Tanah Laut dengan ibu kota di Kecamatan Pelaihari terletak sekitar 110 km dari Kota Banjarmasin. Untuk sampai ke Kecamatan Batu Ampar masih harus menempuh perjalanan sekitar 30 km dari Peleihari dengan melewati jalan kecil dan berbatu, melingkari Gunung Melati, namun masih bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Dari kantor Kecamatan Peleihari masih harus menempuh perjalanan sekitar 20 km untuk sampai ke kantor PT DMS Divisi III. Di sisi kiri dan kanan jalan, sepanjang mata memandang terhampar dataran perkebunan kelapa sawit yang dipisahkan oleh jalan setapak atau jalan tanah yang sudah dikeraskan sehingga bisa dilewati kendaraan roda empat. Karena hanya merupakan jalan tanah, maka pada musim penghujan jalan tersebut akan becek, sementara ketika kemarau tiba, seperti saat penelitian ini dilaksanakan, jalan berdebu.

Kantor PT DMS Divisi III dengan mudah dapat dikenali karena merupakan lokasi yang dihuni oleh beberapa gedung kantor permanen, dikelilingi oleh 9 long house 3 untuk tempat tinggal para buruh perkebunan, dan beberapa rumah yang relatif lebih bagus untuk pegawai kantor level manager dan supervisor. Lokasi tersebut, yang berjarak sekitar 3 km dari perumahan penduduk, sangat kontras dengan keadaan sekelilingnya yang hanya merupakan hamparan kebun sawit. Satpam (security) selalu stand by di pos jaga depan kantor, sementara sebagia anggota Satpam lainnya berkeliling dengan sepeda atau sepeda motor mengawasi kebun sawit.

3 Long house adalah bangunan rumah yang relatif besar (panjang) untuk tempat tinggal para pekerja perkebunan. Satu long house terdiri atas 10(sepuluh) kamar atau petak. Pekerja yang sudah berumah tangga masing-masing diberi satu petak. Sementara bagi pekerja yang belum menikah, satu petak dapat ditempati 5 sampai 6 orang.

267

PT DMS Divisi III memiliki pekerja lapangan atau pekerja kebun sejumlah 512 (lima ratus dua belas) orang, 62 (enam puluh dua) orang suverpisi, dan 14 orang yang bekerja di staf administrasi. Setiap 10 (sepuluh) orang pekerja lapangan (pekerja kebun) dipimpin oleh seorang Kepala Pekerja yang bertanggung jawab kepada seorang mandor. Mandor terbagi dalam dua kelompok yaitu mandor yunior dan mandor senior yang bertugas membimbing mandor yunior. Mandor-mandor tersebut bertanggung jawab kepada Asisten/Kepala Divisi. Kemuidan di atas Kepala Divisi ada Koordinator Asisten, Asisten Kepala Manager dan Manager Utama.

268

Kehidupan Keagamaan di Sekitar PT Damit Mitra Sekawan

A. Interaksi Sosial Keagamaan

ekerja PT DMS Divisi III yang keseluruhannya berjumlah hampir 600 orang, sebagian besar (92%) beragama Islam. Selebihnya beragama Kristen, Katolik,

dan Hindu. Untuk kegiatan keagamaan (Islam) PT DMS telah membangun sebuah masjid yang berada di tengah-tengah lokasi perumahan buruh perkebunan. Masjid yang diberi nama Nurul Iman semula hanya merupakan bangunan musholla sederhana. Delapan bulan lalu musholla tersebut direnovasi secara permanen sehingga dapat menampung lebih dari seratus orang jamaah. Untuk memakmurkan masjid, pimpinan PT DMS telah mengangkat Muhammad Toha (58

P

269

tahun) sebagai takmir masjid. Muhammad Toha semula adalah buruh perkebunan yang memiliki sedikit pengetahuan keagamaan karena sempat menamatkan Madrasah Aliyah dan tinggal di pesantren di Jawa. Ia bertugas untuk membersihkan masjid, mengumandangkan adzan setiap kali waktu sholat tiba, sebagai imam shalat, menjadi guru ngaji, memberikan ceramah keagamaan sekaligus menjadi penghubung antara PT DMS dengan tokoh-tokoh agama di Kecamatan Batu Ampar. Setiap kamis sore setelah asar, di masjid ini diadakan pengajian yang biasanya mendatangkan penceramah dari luar perkebunan. Untuk tugas-tugas tersebut, Muhammad Toha memperoleh bayaran Rp. 480.000,-/bulan.

Pada bulan Ramadlan masjid Nurul Iman menjadi lebih ramai karena digunakan untuk buka bersama, tadarusan, pengajian serta shalat tarawih. Masjid juga menjadi tempat berkumpul para pekerja perkebunan: Di lingkungan pekerja perkebunan ini tidak ada sarana umum untuk bisa bertemu antara pekerja selain masjid ini. Oleh karena itu, pada sore hari sambil menunggu buka bersama, biasanya para pekerja laki-laki berkumpul di masjid ini, baik untuk sekedar ngobrol-ngobrol atau sambil mengaji. Masjid ini digunakan warga tidak hanya untuk beribadah tetapi juga tempat untuk saling bertemu. Pada bulan Ramadlan ini para pekerja memiliki waktu agak longgar karena hanya bekerja dari pukul 06.30 sampai pukul 14 WITA. Sementara hari biasa mereka bekeja dari pukul 07.00 sampai pukul 16.00 dengan diselingi istirahat untuk sholat dan makan siang selama 60 menit (Wawancara dengan Muhammad Toha, 30 September 2006).

Hubungan personal antara PT DMS dengan tokoh-tokoh agama khususnya di tingkat kecamatan relatif bagus.4 Hampir

4 Ketika peneliti datang ke Kantor Divisi III PT DMS, untuk berwawancara dengan Ir. Todung Silitonga (Manager Divisi III), urusan menjadi relatif

270

semua tokoh agama di Kecamatan Batu Ampar pernah diundang ke masjid Nurul Imam untuk memberikan ceramah. Menurut Manager Divisi III, dalam beberapa kesempatan, PT DMS memberikan bantuan untuk kelancaran kegiatan keagamaan di Desa Batu Ampar.

Namun demikian, bagi sebagian kelompok masyarakat Kecamatan Batu Ampar, kebijakan tersebut dirasakan belum memadai. Untuk memperoleh bantuan, harus mengajukan permohonan dan membuat proposal yang cukup memberatkan. Kemudian, jika dipenuhi jumlahnya jauh dari memadai. Berkaca dari fenomena tersebut, sebagian masyarakat memilih untuk tidak mengajukan permohonan sekalipun kebutuhan biaya pembinaan umat Islam dirasakan sangat mendesak.5

Pekerja perkebunan maupun masyarakat sekitarnya yang beragama Kristen dan Katolik jumlahnya hanya sekitar 2%. Mereka tidak memiliki rumah ibadah permanen sehingga hanya melakukan kebaktian di rumah-rumah dengan jumlah jemaat yang terbatas. Tetangga sekitarnya yang beragama Islam sejauh ini tidak mempermasalahkan karena mereka tahu

mudah karena ditemani oleh seorang Penyuluh Agama, Drs. Makmun, yang sering memberikan pembinaan keagamaan kepada pekerja perkebunan di PT DMS. Setelah peneliti menyelesaikan wawancara, Penyuluh Agama tersebut masih meneruskan perbincangan dengan Ir. Todung Silitonga menanyakan perihal keluarga, jadwal pengajian dan hal-hal lain yang bersifat pribadi.

5 Pendapat bahwa PT DMS kurang memperhatikan kepentingan masyarakat setempat diungkapkan oleh Noor Aida, S.Sos. Camat Kecamatan Batu Ampar. Menurutnya ia sering membantu masyarakat membuat proposal yang akan diajukan ke PT DMS. Tetapi PT DMS sering kali mengacuhkan (tidak merespon) proposal-proposal yang diajukan. Sebagian proposal memang ada yang dipenuhi, tetapi dengan jumlah biaya yang jauh dari yang diajukan (Wawancara tanggal 30 September 2006).

271

bahwa gereja Kristen hanya ada 2 (dua) terletak cukup jauh yaitu di Peleihari. Demikian juga untuk umat Katolik di Kabupaten Tanah Laut baru tersedia satu gereja yang terletak di Kecamatan Peleihari sehingga sebagian masyarakat Katolik ada yang menyelenggarakan sekolah minggu di rumah jemaatnya. Hubungan ketetanggaan yang selama ini terjalin dengan baik, menjadi perekat warga sehingga ketika terjadi penggunaan rumah untuk tempat ibadat, yang bagi sebagian masyarakat di daerah lain sering menjadi penyebab konflik, di Kecamatan Batu Ampar sejauh ini tidak menjadi penyebab konflik. Ikatan antar masyarakat inilah yang oleh Varshney (2003) disebut sebagai everyday forms of engegement (ikatan informal).

Transmigrasi spontan dari Bali menjadikan wilayah ini semakin heterogen karena hadirnya mereka yang beragama Hindu. Umat Hindu di Kecamatan Batu Ampar berjumlah 476 orang yang tinggal di dua desa yaitu Desa Tajau Pecah dan Desa Damar Lima (Identifikasi Potensi Wilayah Kecamatan Batu Ampar Tahun 2005). Sementara umat Hindu di Kabupaten Tanah Laut berjumlah 794 orang (hasil Sensus Penduduk Tahun 2000). Di kalangan masyarakat sekitarnya, umat Hindu dikenal sebagai kelompok yang memiliki etos kerja tinggi, ulet dan pantang menyerah. Tempat pemukiman mereka relatif lebih asri, hijau, dihiasi dengan tanaman bunga yang selain memiliki nilai estetis tetapi juga nilai ritual ekonomis yaitu untuk perlengkapan upacara.

Namun demikian, keberadaan penganut agama Hindu sempat memicu terjadinya konflik kecil di wilayah tersebut. Hal itu terkait dengan pelaksanaan upacara ngaben (membakar mayat) yang dianggap tidak memperoleh izin dari pihak berwajib. Setelah aparat pemerintah, khususnya Camat dan Kepala KUA, serta tokoh agama setempat berdialog,

272

akhirnya ngaben dapat dilaksanakan tanpa keberatan dari masyarakat sekitarnya.

B. Interaksi Sosial Masyarakat Perkebunan Bagian ini menjelaskan secara singkat, interaksi di

berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik terkait dengan keberadaan perkebunan, atau interaksi antar warga masyarakat Kecamatan Batu Ampar yang tinggal di luar perkebunan. Interaksi antara PT DMS dengan pihak Pemerintah Daerah dapat digambarkan sebagai berikut. Sesuai dengan makna yang terkandung dari nama perusahaan ini yaitu ingin menjadi ‘mitra’ bagi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka selayaknya jika PT DMS menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di tingkat desa, kecamatan, atau kabupaten. Bagaimana selama ini PT DMS menjalin kerjasama, dapat disimak dari pernyataan berikut: Setiap awal bulan saya melakukan rapat koordinasi dengan seluruh kepala desa serta pejabat lainnya. Rapat tersebut dilaksanakan di desa-desa secara bergiliran sekaligus sebagai upaya saya mengunjungi warga dan melakukan pembinaan. Dalam setiap rapat, Pimpinan PT DMS Divisi III selalu diundang. Namun, mereka jarang menghadirinya. Pernah sekali-kali menghadiri, itupun yang datang hanya setingkat staf. Dengan Manager sekarang (Ir. Todung Silitonga) yang telah bertugas lebih dari satu tahun, saya malah belum pernah bertemu (Wawancara dengan Camat Kecamatan Batu Ampar, Noor Aida, S. Sos. tanggal 30 September 2006).

Keadiran PT DMS, di satu sisi menjadi lahan pekerjaan bagi sebagian masyarakat Batu Ampar, khususnya sebagai buruh di perkebunan. Namun di sisi lain, kehadiran PT DMS

273

juga membawa problem yang cukup serius. Pada musim kemarau, jala-jalan di perkebunan sawit menjadi berdebu. Jika jalan tersebut dilalui mobil, maka debu akan semakin beterbangan. Hal itu sangat mengganggu kesehatan warga. Masyarakat meminta kepada PT DMS agar jalan, khususnya yang berdekatan dengan perkampungan warga, sering-sering disiram sehingga mengurangi debu. Tetapi permintaan itupun sulit untuk dipenuhi.

Interaksi kurang harmonis antara PT DMS dengan warga sekitarnya juga tampak ketika PT DMS mulai membuka lahan. Sekitar 300 ha tanah yang akan digarap PT DMS digugat sebagai tanah milik warga sehingga warga menentang pengelolaan tanah tersebut untuk perkebunan kepala sawit. Warga menganggap bahwa tanah di sekitarnya telah menjadi miliknya karena selama berpuluh-puluh tahun warga tinggal di sekitar lahan tersebut. Sementara PT DMS yang telah memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah tersebut merasa telah memiliki kekuatan hukum untuk menggarapnya. Protes warga sempat disampaikan juga ke DPRD Kabupaten Tanah Laut. Namun, seperti gerakan-gerakan protes petani di berbagai daerah, gerakan ini mudah dipatahkan oleh para penguasa yang kerap kali memihak kepentingan penguasa. (Francis Wahono; 1999: 2). Setelah dibicarakan oleh para wakil rakyat yang duduk di DPRD Kabupaten, sebagian petani akhirnya menerima ganti rugi. Sementara sebagian warga lainnya masih harus menunggu kemurahan hati Pimpinan PT DMS.

Interaksi antara warga perkebunan dengan masyarakat di luar perkebunan dalam bentuk ikatan informal (everyday form of engagement) merupakan sesuatu yang relatif langka. Hal itu terjadi karena tempak tinggal para pekerja lapangan yang berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit

274

terletak relatif jauh dari pemukiman warga. Untuk mencapai long house tempat tinggal para pekerja lapangan, harus menempuh jarak sekitar 3 km melalui kebun sawit. Jika tidak ada keperluan yang dirasakan mendesak, maka hampir tidak terlihat warga yang bukan pekerja perkebunan bertandang ke pemukiman pekerja perkebunan.

Sementara itu, jaringan antar warga dalam bentuk ikatan formal (associational form of engagement) tampaknya baru berada di tingkat kabupaten dalam bentuk Forum Kerukunan Umat Beragama misalnya. Dengan kata lain untuk masyarakat bawah, khususnya masyarakat di sekitar perkebunan tampaknya belum terjalin.

B. Upaya Menjaga dan Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama

Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. Untuk menjaga kerukunan maka diperlukan upaya bersama dari masyarakat dan pemerintah. Upaya yang dilakukan masyarakat sekitar perkebunan adalah melalui jaringan ikatan-ikatan informal (everyday form of engagement) yang secara alamiah terbentuk karena mereka saling bertemu di pasar, bertetangga, mengantarkan anak ke sekolah, bekerja di tempat yang sama atau untuk keperluan lainnya. Sejauh ini hubungan atau ikatan-ikatan informal berjalan dengan baik karena sekalipun mereka memiliki identitas etnik berbeda, tetapi dipersatukan oleh kesamaan identitas atas nama agama.

Sementara itu kerukunan umat beragama juga terjalin melalui berbagai bentuk yang oleh Varshney disebut ikatan formal (associational form of engagement) Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dalam beberapa hal, forum ini efektif berperan sebagai mediator bagi warga masyarakat

275

unuk bertemu dan saling bertukar pikiran. Forum juga berperan sebagai early warning system ketika timbul beberapa peristiwa yang mengarah pada konflik sosial. Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, maka FKUB terdiri dari mereka yang merupakan pemuka agama dari berbagai kelompok agama yang ada. FKUB juga diarahkan untuk menjadi media antara masyarakat dengan Pemerintah.

Ikatan-ikatan formal lain dapat dilihat dalam bentuk lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan, perkumpulan di bidang olah raga, perkumpulan antar penyuluh agama, perkumpulan para guru dan lain sebagainya. Ikatan-ikatan tersebut secara nyata telah menjadi perekat di antara berbagai kelompok masyarakat, sekaligus menjaga untuk tidak terjadi ketegangan dalam hubungan antar kelompok masyarakat.

Masih terkait dengan menjaga dan meningkatkan kerukunan, khususnya antara umat beragama dengan Pemerintah, dalam hal ini Bupati Kabupaten Tanah Laut, menyediakan forum dialog interaktif di salah satu radio daerah yang mengudara di Tanah Laut. Acara yang diadakan satu minggu satu kali tersebut menampilkan tema pembicaraan yang berbeda setiap minggu. Tema tersebut disesuaikan dengan program-program pembangunan di Kabupaten Tanah Laut. Dalam dialog ini, masyarakat diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau kritik melalui telepon tentang berbagai hal terkait dengan kebijakan pemerintah.

Berbagai upaya tersebut sekalipun tidak (belum) memperlihatkan langkah-langkah strategis, tetapi sajauh ini masih efektif untuk menghindari konflik. Pemimpin formal maupun tokoh-tokoh agama masih memiliki kharisma untuk

276

merukunkan warganya. Sementara kondisi sosial, misalnya rendahnya kepadatan penduduk, masih memungkinkan warga untuk hidup damai.

277

Penutup

ari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pembinaan kehidupan keagamaan bagi pekerja perkebunan

sejauh ini dinilai memadai. Pimpinan PT DMS menyediakan sarana tempat ibadat (masjid) sekaligus petugas khusus untuk mengelola tempat ibadat tersebut. Sementara itu, kehidupan keagamaan di luar lingkungan perkebunan masih didominasi oleh suasana keIslaman karena mayoritas penduduk beragama Islam. Penduduk non Islam memiliki tempat ibadat yang sangat terbatas. Oleh karena itu beberapa jemaat Kristen atau Katolik masih melakukan ibadat di rumah-rumah. Namun demikian, fenomena tersebut sejauh ini tidak menjadi masalah sebab ikatan informal antar warga relatif terjalin dengan baik. Umat Hindu memiliki

D

278

pengelompokan tempat tinggal tersendiri dan terpusat di beberapa desa.

Kedua, lokasi long house para pekerja perkebunan serta kompleks perumahan karyawan kantor PT DMS yang relatif jauh dari pemukiman penduduk menjadi salah satu kendala terbangunnnya interaksi yang dinamis dalam bentuk ikatan-ikatan informal (everyday form of engagement). Sementara ikatan-ikatan formal (associational form of engagement) sejauh ini baru terbentuk di tingkat kabupaten dan belum secara khusus menyentuh kelompok masyarakat di perkebunan. Interaksi sosial pada kelompok masyarakat di luar perkebunan relatif berjalan baik karena terbangunnya ikatan-ikatan informal melalui hubungan ketetanggaan, berinteraksi di pasar, pertemanan antar anak, di tempat pekerjaan maupun dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan.

Ketiga, disadari atau tidak, hubungan atau ikatan informal antar warga merupakan salah satu strategi untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan umat beragama. Bagi Pemerintah, upaya menjaga kerukunan dilakukan melalui pembinaan keagamaan, menyediakan media agar masyarakat dapat menyampaikan kritik, maupun membentuk asosiasi-asosiasi termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama. Di samping itu, keberadaan para pemuka agama maupun tokoh masyarakat lainnya masih efektif untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama.

Berdasarkan catatan kesimpulan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan perlunya memperkuat ikatan-ikatan informal maupun formal baik bagi masyarakat di lingkungan perkebunan maupun antar masyarakatperkebunan dengan masyarakat di luar perkebunan. Ikatan formal dapat terjalin antara lain melalui pembentukan klub olah raga, pengajian bersama, hubungan di bidang ekonomi

279

misalnya masyarakat menyediakan kebutuhan para pegawai perkebunan, dan lain sebagainya. Ikatan atau jaringan yang memperkuat interaski sosial ini merupakan tugas bersama antara PT DMS, Pemerintah dan masyarakat sekitarnya.

Daftar Pustaka

Ashutosh Varshney. Konflik Etnik dan Civil Society. Dalam“Harmoni” Volume I Nomor 2 Tahun 2002. Judul Asli: Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India (2002). New York: Yale University Press.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Laut. Tanah Laut dalam Angka 2004

Badan Pusat Statistik. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2004

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Selatan. Profil dan Analisa Kependudukan Kalimantan Selatan Hasil Sensus Penduduk 2000.

Cahyo Pamungkas. 2005. Interaksi Sosial Antar Umat Beragama di Maluku: Sebelum dan Sesudah Konflik Sosial Tahun 1999. dalam Masyarakat Indonesia. Jilid XXXI Nomor 1 Tahun 2005.

Francis Wahono. 1999. Petani: Dari KonflikMenuju Demokrasi.dalam Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. Nomor IV Tahun 1999.

280

Francis Wahono. 1999. Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi. dalam Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. Nomor IV Tahun 1999.

Kristi Poerwandari. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta. INSIST, KPA bekerjasama dengan Pustakan Pelajar.

Razak Purba, Witjaksono dan Bambang Dradjat. 2005. Benih Kelapa Sawit Palsu: Penghambat Peningkatan Produktivitas. Dalam ‘Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian’ Vol. 27 Nomor 2.

Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa.

BAGIAN 10

KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH

Tim Peneliti

Drs. H. Bashori A. Hakim, M.SiDrs. H. Mursyid AliH. Ibnu Hasan Muchtar, Lc, MA.

282

Pendahuluan

A. Latar Belakang

asus-kasus konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia seringkali melibatkan berbagai faktor terutama faktor ekonomi, sosial dan politik.

Sementara itu faktor etnis dan agama dianggap sebagai komplemen yang dapat mempengaruhi sikap aktor yang terlibat konflik semakin menguat. Faktor etnis dan agama sebenarnya cukup dominan dalam memberi andil terhadap peningkatan eskalasi konflik. Konflik vertikal akibat kesenjangan ekonomi, sosial maupun politik akan menjadi lebih komplek manakala diperparah oleh perbedaan horizontal lantaran perbedaan etnis dan agama. Bertemunya kesenjangan vertikal dan horizontal dalam masyarakat yang berkonflik akan sangat menyulitkan upaya penyelesaiannya.

K

283

Konflik seperti itu dapat saja terjadi di setiap kelompok masyarakat, termasuk di lingkungan masyarakat perkebunan. Dalam beberapa hal kelompok masyarakat perkebunan cenderung berbeda dengan kelompok masyarakat pada umumnya. Masyarakat perkebunan cenderung lebih terikat dengan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh perusahaan atau pemilik perkebunan. Ada kalanya peraturan yang dibuat oleh perusahaan sangat merugikan karyawan perkebunan lantaran peraturan yang dibuat tidak mengindahkan ketentuan yang menyangkut perburuhan. Peraturan yang ada mungkin saja tidak hanya merugikan secara ekonomis, tetapi juga dapat merugikan hak dalam hal kebebasan menjalankan ajaran agama para karyawannya. Apabila keadaan demikian terjadi maka dapat menimbulkan konflik antara karyawan dengan pihak perusahaan perkebunan. Konflik dapat lebih kompleks apabila terjadi persaingan kurang sehat atau pertentangan antar karyawan perkebunan bila dikaitkan dengan perbedaan etnis ataupun agama. Apabila konflik dibiarkan berlarut, dapat mengganggu kerukunan termasuk kinerja karyawan perkebunan. Oleh karena itu maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan memandang perlu dilakukan kajian, khususnya tentang pola Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Masyarakat Perkebunan di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah.

284

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

A. Kecamatan Rio Pakava

ecamatan Rio Pakava secara administratif merupakan salah satu dari 21 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah.

Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan, sebelah Selatan dengan Propinsi Sulawesi Selatan, sebelah Barat dengan Propinsi Sulawesi Barat dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kulawi.

Jarak antara Kecamatan Rio Pakava dengan Pusat Pemerintahan Kabupaten Donggala sekitar 160 km, sedangkan jarak dengan Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah (Palu) sekitar

K

285

260 km, dapat ditempuh selama sekitar 4 s/d 5 jam dengan kendaraan bermotor.

Luas wilayah kecamatan ini 709,4 km, terbagi atas 11 desa definitif dan 1 UPT. Ke 11 desa dan UPT itu adalah: Towiora, Minti Makmur, Polanto Jaya, Tinauka, Lalundu, Polando Jaya, Rio Mukti, Panca Mukti, Pantolobete, Bonemarawa, Ngovi Pakava dan UPT Lalundu IV.

Jumlah penduduk Kecamatan Rio Pakava 17.383 jiwa, terdiri atas 9.093 laki-laki dan 8.290 perempuan (Data Kecamatan Rio Pakava, 2006). Persebaran penduduk hampir merata. di setiap desa. Desa Minti Makmur berpenduduk paling padat, dengan jumlah 2.318 jiwa, sedangkan desa terjarang penduduknya adalah Desa Tinauka dengan jumlah penduduk 377 jiwa. Desa Towiora yang sebagian wilayahnya menjadi sentra dan lokasi Perusahaan Perkebunan PT. Lestari Tani Teladan (PT. LTT) berpenduduk 1.708 jiwa. Desa ini terbagi menjadi tiga (3) dusun, yakni Dusun I, Dusun II dan Dusun III. Wilayah Dusun III seluruhnya menjadi daerah perkebunan PT. LTT. Sedangkan Desa Lalundu yang sebagian wilayahnya juga menjadi lokasi perkebunan berpenduduk 1.985 jiwa (Data Kecamatan Rio Pakava, 2006).

Dilihat dari segi agama, berdasarkan data tahun 2002 sebagian besar penduduk Kecamatan Rio Pakava beragama Islam dengan jumlah 12.072 jiwa. Penduduk beragama Hindu menempati jumlah terbesar kedua dengan jumlah 3.613 jiwa, selanjutnya penduduk beragama Kristen berjumlah 2.703 jiwa, Katholik 173 jiwa dan Buddha 6 jiwa (Rio Pakava Dalam Angka, 2002). Banyaknya penduduk beragama Hindu di kecamatan ini karena adanya program transmigrasi yang mendatangkan penduduk dari Bali terutama pada tahun 1991 dan tahun 1994.

286

Hubungan intern maupun antar umat beragama secara umum terlihat harmonis. Kehidupan keagamaan cukup kondusif, belum pernah terjadi konflik terbuka. Demikian penuturan para tokoh masing-masing agama. Pernah ada kasus tempat peribadatan di kalangan intern umat Kristen tetapi tidak sampai menimbulkan konflik karena cepat diatasi. Kasus pencurian ayam yang melibatkan oknum antar suku tertentu juga pernah terjadi, namun dapat diatasi secara cepat oleh para tokoh masyarakat dan tokoh agama terkait sehingga tidak menimbulkan bentrok fisik.

Para penduduk dalam hidup bertetangga saling hormat-menghormati, sekalipun dengan umat beragama lain. Mereka saling berkunjung ketika ada perayaan hari besar keagamaan dan saling mengantar makanan satu sama lain.

Kegiatan keagamaan masing-masing umat beragama terlihat marak terutama umat Islam, Hindu dan Kristen didukung oleh umatnya yang relatif lebih banyak dibanding dengan umat beragama lainnya.

B. Perusahaan Perkebunan PT Lestari Tani Teladan

PT. Lestari Tani Teladan (PT. LTT) adalah sebuah perusahaan perkebunan dengan komoditi kelapa sawit, bernaung di bawah Perusahaan Astra Agro Lestari (AAL) yang berpusat di Jakarta.

Di Sulawesi, Perusahaan AAL memiliki 7 cabang yaitu: PT Pasang Kayu, PT Mamuang, PT Letawa, PT Surya Lestari I, PT Surya Lestari II, PT Bahtera Sukses (seluruhnya ada di Propinsi Sulawesi Barat) dan PT.LTT ada di Sulawesi Tengah. Dengan demikian PT LTT merupakan satu-satunya perusahaan milik AAL yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah.

Perusahaan AAL secara struktural merupakan bagian dari Perusahaan Astra Internasional (AI) yang juga berpusat

287

di Jakarta. Perusahaan AAL sampai dengan saat ini membawahi tiga (3) wilayah operasional, meliputi: Sumatera, Kalimantan dan Jawa (tinggal satu PT) serta Sulawesi. Masing-masing wilayah membawahi sejumlah PT. Dengan demikian Perusahaan AAL memiliki puluhan PT tersebar di seluruh Indonesia, termasuk PT LTT yang menjadi lokasikajian ini. Puluhan PT tersebut bergerak di bidang perkebunan kepala sawit, karet dan (dulu) teh, tetapi sekarang lebih dikonsentrasikan kepada kelapa sawit.

PT. LTT dengan status Usaha Swasta Nasional, terletak di Dusun III Desa Towiora dan sebagian Desa Lalundu (Lalundu I, II dan IV) Kecamatan Rio Pakava. PT ini didirikan tahun 1993, memiliki tanah areal perkebunan 6.500 hektar. Tanah seluas itu sebagian besar yakni 5.214,64 hektar untuk kebun kelapa sawit. Selebihnya untuk perumahan karyawan, perkantoran, mes /penginapan, rumah ibadah (masjid, mushalla dan gereja) dan toko koperasi karyawan, serta sebagian kecil lainnya merupakan areal tanah tidak produktif/tak dapat ditanami karena berupa rawa, tanah terjal dan puso.

Seluruh areal perkebunan PT LTT tersebut terbagi menjadi 11 afdeling, yakni afdeling: OA, OB, OC, OD, OE, OF, OG, OH, OI, OJ dan Afdeling OK. Luas setiap afdeling rata-rata antara 200 hektar s/d 600 hektar.

Jumlah karyawan PT. LTT yang merupakan tenaga produktif sebanyak 456 orang, terdiri atas Karyawan Staff sebanyak 22 orang dan Standar Karyawan Usaha (SKU) yakni karyawan tetap sebanyak 434 orang. Baik karyawan Staff maupun SKU seluruhnya mendapat fasilitas perumahan dari PT. LTT, berada di areal perkebunan. Selain itu terdapat karyawan dengan kategori Buruh Harian Lepas (BHL) sebanyak 401 orang. Sebagian mereka tinggal di perumahan

288

dan sebagian yang lain tinggal di luar perkebunan. Dengan demikian jumlah karyawan PT. LTT seluruhnya 857 orang, baik yang tinggal di perumahan perkebunan maupun yang tinggal di luar perkebunan. (Data Perusahaan Perkebunan PT. LTT, Rio Pakava, 2006). Semua karyawan diasuransikan oleh PT LTT.

Perumahan karyawan seluruhnya berjumlah 255 buah, terdiri atas perumahan Asisten Kepala dan Staf sebanyak 25 buah dan perumahan karyawan SKU sebanyak 230 buah. Perumahan karyawan tersebut terakhir ini semuanya berbentuk kopel, dengan rincian 221 rumah untuk karyawan biasa (bukan mandor) dan 9 rumah sisanya untuk karyawan mandor.

Perumahan karyawan tersebut tersebar di setiap afdeling, dengan rincian: di Afdeling OA = 24 unit rumah, Afdeling OB = 91 unit (termasuk 25 rumah Staf), Afdeling OC = 21 unit, Afdeling OD = 19 unit, Afdeling OE = 17 unit, Afdeling OF = 12 unit, Afdeling OG = 7 unit, Afdeling OH = 9 unit, Afdeling OI = 18 unit, Afdeling OJ = 20 unit dan Afdeling OK= 17 unit (Data Perusahaan Perkebunan PT. LTT, Rio Pakava, 2006).

Untuk mengelola kebun sawit, di setiap afdeling terdapat: Asisten Afdeling, Mandor I, mandor-mandor dan karyawan. Selain itu terdapat Kepala Paguyuban yang berfungsi untuk mengkoordinasikan kegiatan sosial termasuk kegiatan keagamaan karyawan di setiap afdeling.

Karyawan PT. LTT dilihat dari segi agama, pendidikan maupun etnis cukup beragam. Karyawan Staf dan SKU yang berjumlah 456 orang, sebagian besar (363 orang) beragama Islam. Kristen sebanyak 58 orang, Hindu 18 orang, Katholik 16 orang karyawan dan Buddha 1 orang.

289

Dilihat dari segi pendidikan, sebagian besar (255 orang) tamatan SD, SMP 17 orang, SMA/SMK 148 orang, Diploma 6 orang dan Sarjana 30 orang. Dilihat dari etnis, sebagian besar (53%) etnis Jawa, Palu/Poso 14%, Bugis/Makassar 10%, Toraja 7%, Bali 5%, Flores 4%, Minahasa 2%, Gorontalo 2%, Sunda 1% dan lainnya 2% (Data PT LTT, Rio Pakava, 2006).

Untuk tempat peribadatan para karyawan, pihak PT. LTT menyediakan rumah ibadah di beberapa afdeling. Tidak kurang dari 1 masjid, 6 mushalla dan 1 gereja telah dibangun oleh PT LTT. Masjid al-Muhtadin dibangun tahun 2001/2002, terletak di Afdeling OB. Masjid berukuran 32x32 meter ini selain untuk tempat beribadah karyawan (muslim) yang tinggal di Afdeling OA dan OB, juga menjadi sentra kegiatan keagamaan umat Islam karyawan PT LTT pada umumnya. Sedangkan 6 mushalla berikut letaknya masing-masing yaitu: mushalla Afdeling OC, mushalla di Afdeling OD (untuk tempat beribadah karyawan Afdeling OD dan OE), mushalla Afdeling OF (untuk tempat beribadah karyawan Afdeling OF dan OG), mushalla Afdeling OH, mushalla Afdeling OI (untuk tempat beribadah karyawan Afdeling OI dan OJ) dan mushalla Afdeling OK. Masing-masing mushalla berukuran 12x12 meter.

Gereja Oikumene dibangun tahun 2000 terletak di Afdeling OB, sebagai sentra kegiatan keagamaan umat Kristen di wilayah perkebunan PT LTT. Karyawan beragama Hindu, Katholik maupun Buddha hingga kini belum difasilitasi rumah ibadah karena jumlah mereka relatif sedikit dibanding dengan jumlah karyawan beragama Islam maupun Kristen.

290

AKTUALISASI KEAGAMAAN DAN KERUKUNAN

A. Kehidupan Keagamaan

ehidupan beragama masyarakat perkebunan yakni karyawan pengelola perkebunan PT.LTT di Kecamatan Rio Pakava yang terdiri atas berbagai

pemeluk agama terlihat kondusif. Para karyawan di sela-sela kesibukan mereka bekerja di kantor maupun di perkebunan dapat melakukan kegiatan keagamaan sesuai ajaran masing-masing agama tanpa hambatan.

Karyawan beragama Islam (yang dalam uraian selanjutnya disebut umat Islam) melakukan kegiatan keagamaan di mushalla yang ada di afdeling tempat mereka tinggal. Apabila di afdeling tempat tinggal mereka belum ada mushalla, mereka melakukan kegiatan keagamaan di

K

291

mushalla yang terdapat di afdeling terdekat. Umat Islam yang tinggal di Afdeling OA dan OB melakukan kegiatan keagamaan di Masjid al-Muhtadin yang terletak di Afdeling OB. Masjid ini karena merupakan satu-satunya masjid yang ada di wilayah perkebunan PT. LTT, maka menjadi sentra kegiatan keagamaan umat Islam di perkebunan PT. LTT. Oleh karena lokasi masjid relatif dekat dengan jalan umum maka kadang-kadang disinggahi oleh orang luar perkebunan untuk sekedar melakukan salat lima waktu.

Jumlah umat Islam yang jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah umat beragama lain dengan fasilitas tempat peribadatan relatif cukup banyak dan terdapat di berbagai afdeling, menjadikan kegiatan keagamaan umat Islam relatif semarak. Mushalla di setiap afdeling selain dipergunakan untuk berjamaah salat lima waktu, salat Jum’at (terutama bagi umat Islam yang tinggalnya jauh dari masjid) dan salat tarawih, juga dipergunakan untuk tempat pengajian dan yasinan setiap malam Jum’at. Yasinan dilakukan pula di rumah -rumah anggota pengajian terutama anggota pengajian yang terkena musibah, atau atas permintaah anggota dalam rangka acara syukuran. Di Masjid al-Muhtadin diadakan kegiatan peribadatan antara lain: salat berjamaah lima waktu, salat Jum’at, salat tarawih, acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), sentra kegiatan penyembelihan hewan korban, pengelolaan zakat fitrah, pengajian/yasinan/tahlilan bapak-bapak setiap malam Jum’at sesudah Isya’, pengajian ibu-ibu setiap Jum’at sore dan pengajian anak-anak. Materi pengajian anak-anak selain belajar membaca al-Qur’an, do’a dan salat, juga diajarkan fikih. Kegiatan pengajian diadakan setiap sore hari, kecuali hari Minggu karena libur. Peserta pengajian terdiri atas anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

292

Salat Idul Fitri dan Idul Adha diadakan di lapangan. Karyawan/umat Islam yang tempat tinggalnya jauh dari Masjid al-Muhtadin, mereka salat Ied di masjid lain terdekat. Sebagai contoh, karyawan/umat Islam yang bertempat tinggal di Afdeling OF yang jumlahnya relatif lebih banyak dibanding dengan umat lain, mereka salat Ied di Masjid al-Muhajirin Lalundu I. Demikian pula umat Islam yang tinggal di afdeling OG.

Imam dan Khatib diambil dari luar. Pada bulan puasa, di masjid sebelum salat tarawih diadakan ceramah agama/kultum, disampaikan oleh para pejabat PT. LTT dan karyawan yang mampu ceramah agama. Sesudah salat tarawih diadakan tadarus al-Qur’an anak-anak dari jam 21.00 s/d 22.00, sedangkan untuk remaja dan bapak-bapak mulai jam 22.00 s/d 23.30. Tadarus diadakan di masjid dan di mushalla- mushalla.

Karyawan PT. LTT yang muslim seperti halnya umat Islam pada umumnya, menyelenggarakan pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah serta penyembelihan qurban setiap tahun. Zakat fitrah yang terkumpul setiap tahun mencapai hampir satu ton beras, dibagikan antara lain kepada para orang tua jompo, muallaf (di PT. LTT ada beberapa muallaf), dan masyarakat di desa-desa lain yang berhak menerima. Adapun hewan qurban dari para karyawan setiap tahun, sapi rata-rata 5 ekor dan kambing antara 3 s/d 6 ekor. Daging qurban dibagikan selain kepada para karyawan baik muslim maupun non muslim, juga kepada masyarakat desa sekitar perkebunan PT. LTT.

Umat Kristen mengkonsentrasikan kegiatan keagamaan di Gereja Oikumene yang terletak di Afdeling 0B. Di antara kegiatan keagamaan yang diadakan adalah: Kebaktian Umum dilakukan pada setiap Minggu siang,

293

Sekolah Minggu diadakan pada hari Minggu pagi, untuk remaja diadakan setiap hari Jum’at, serta upacara natalan setiap tahun. Selain itu, setiap Sabtu sore dilakukan Kebaktian Rumah Tangga, diadakan secara berkeliling ke rumah-rumah jemaat.

Umat Katholik, Hindu dan Buddha, melakukan kegiatan keagamaan di rumah ibadah terdekat bergabung dengan yang lain. Jumlah mereka relatif sedikit sehingga belum ada fasilitas rumah ibadah dari PT. LTT. Umat Hindu melakukan kegiatan peribadatan bergabung dengan umat Hindu lainnya di Pura Lalundu I.

B. Kerukunan Hidup Beragama

Kerukunan hidup baik di kalangan intern maupun antar umat beragama terlihat tercipta secara harmonis. Masyarakat/karyawan perkebunan yang tergabung dalam PT. LTT di Kecamatan Rio Pakava dalam menyikapi perbedaan di antara mereka, baik perbedaan faham keagamaan, perbedaan agama maupun perbedaan etnis terlihat cenderung kooperatif. Masing-masing kelompok dalam melakukan interaksi sosial tidak mengedepankan perbedaan, tetapi saling bersikap hormat-menghormati, , tenggangrasa , toleransi, gotong-royong dan kerjasama. Suasana kerja di kantor yang memperlihatkan adanya hubungan dan kerjasama yang baik antara atasan dengan bawahan maupun antar sesama bawahan, sedikit banyak mempengaruhi keharmonisan hubungan intern masing-masing umat beragama maupun antar umat beragama.

Di kalangan intern umat beragama Islam sekalipun tidak didapati organisasi keagamaan maupun faham keagamaan yang terorganisir, namun dalam kenyataan secara individual ada yang mengamalkan praktek ubudiyah

294

sebagaimana dipraktekkan kelompok NU maupun Muhammadiyah. Dengan demikian di perkebunan PT. LTT ada umat Islam yang amalan ibadahnya seperti NU dan ada yang seperti Muhammadiyah. Namun dalam melakukan ibadah di masjid atau mushalla mereka beribadah secara bersama-sama. Salat lima waktu, salat Jum’at dan salat tarawih mereka lakukan secara berjamaah dengan imam dan khatib yang sama. Kenyataan itu dapat dijumpai di Masjid al-Muhtadin (satu-satunya masjid di perkebunan PT. LTT) dan mushalla-mushalla di beberapa afdeling. Hanya saja, dalam pelaksanaan salat tarawih misalnya, di Masjid al-Muhtadin dan di mushalla beberapa afdeling melaksanakan salat tarawih 20 rakaat. Jamaah yang salat tarawihnya 8 rakaat mengikuti sampai 8 rakaat, kemudian jamaah yang salat tarawih 20 rakaat melanjutkan hingga selesai dengan imam yang sama. Mereka melakukan salat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan secara bersama pula.

Dalam pemilihan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) maupun kepengurusan mushalla, mereka cenderung mengedepankan profesionalitas, kemauan bekerja dan tanggungjawab, bukan sentimen kelompok ataupun etnis. Demikian pula dalam pemilihan kepanitian Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), panitia qurban dan sebagainya.

Di kalangan intern umat Kristen tampak terjalin kebersamaan baik dalam melakukan peribadatan maupun dalam kehidupan sosial antar sesama jamaah. Keadaan itu terpicu oleh antara lain kebersamaan mereka di lingkungan kerja yang sama-sama karyawan perkebunan PT. LTT. Hubungan kerja terjalin akrab antara atasan dengan bawahan yang kebetulan sama-sama satu agama. Kebersamaan juga mereka ciptakan dalam kegiatan keagamaan. Setiap Hari Minggu mereka dari afdeling tempat tinggal masing-masing

295

berangkat ke Gereja Oikumene untuk beribadah/Kebaktian Umum, dikoordinasikan oleh Ketua Kolom. Di setiap afdeling dibentuk kelompok-kelompok Paguyuban yang bertugas mengurus kegiatan sosial dan keagamaan masing-masing kelompok agama. Untuk kelompok paguyuban ini umat Kristen membentuk Ketua Kolom yang bertugas mengurus kegiatan sosial dan keagamaan umat Kristiani di afdeling, termasuk mengkoordir ke gereja. Kebaktian Rumah Tangga yang diselenggarakan secara berkeliling dari rumah kerumah jemaat pada setiap Sabtu Sore, menunjukkan kebersamaan antar sesama jemaat Kristen.

Dalam hubungan antar umat beragama, kebersamaan terlihat misalnya pada saat diadakan acara Natal Bersama pada bulan Desember tahun 2005 yang lalu di Gereja Oikumene PT. LTT. Acara ini selain dihadiri oleh lima (5) unsur pimpinan agama-agama, tokoh masyarakat dan Pemda setempat serta pimpina PT. LTT sendiri, juga dihadiri oleh kelima pimpinan PT yang ada di bawah naungan PT. AAL yang ada di wilayah Propinsi Sulawesi Barat. Kebersamaan juga terlihat pada saat pengumpulan dana dari warga untuk memberikan sumbangan kepada anggota masyarakat yang terkena musibah tanpa melihat agama, dikoordinasikan oleh Kelompok Paguyuban masing-masing afdeling. Pada waktu perayaan natalan, melalui proposal dari umat Kristiani, umat Islam ikut menyumbang dana, diambilkan dari dana yang dikumpulkan pada waktu pengajian/yasinan setiap minggu sekali. Sebaliknya, pada saat umat Islam menyelenggarakan perayaan hari besar Islam atau lomba pembacaan al-Qu’an seperti di Lalundu, pihak Gereja ikut memberikan bantuan dana melalui proposal yang diterima. Kegiatan seperti: kerja bakti membersihkan lingkungan, pekarangan rumah ibadah, serta kegiatan lain yang bersifat gotong royong merupakan

296

kegiatan kebersamaan yang biasa dilakukan oleh kelompok masyarakat lintas agama di tiap afdeling.

Selain perayaan natal seperti tersebut di atas, kegiatan kebersamaan lintas agama yang bersifat keagamaan ternyata terjadi pula pada kegiatan tahlilan / yasinan yang diadakan tiap malam Jum’at di setiap afdeling. Sebagaimana yang terjadi di lingkungan masyarakat di Afdeling 0I ( India), kegiatan tahlilan/yasinan yang diselenggarakan oleh kelompok Islam dihadiri pula oleh semua kelompok agama di afdeling itu. Jumlah penghuni Afdeling 0I sebanyak 60 jiwa, terdiri atas: umat Nasrani 11 jiwa, Hindu 3 jiwa dan selebihnya umat Islam. Di antara acara dalam kegiatan tahlilan/yasinan itu adalah pembacaan tahlil, surat Yasin dan ceramah agama. Pada saat pembacaan tahlil dan surat Yasin, hanya diikuti oleh kelompok Islam yang hadir. Sedangkan ceramah agama yang diadakan yaitu ceramah agama Islam dan ceramah agama Kristen, masing-masing dengan penceramah yang berbeda.

Dalam kaitannya dengan pembinaan kerukunan hidup beragama kepada masyarakat perkebunan yang terdiri atas berbagai kelompok agama, pada dasarnya pihak manajemen PT. LTT secara formal tidak memiliki program khusus mengenai pembinaan kerukunan umat beragama. Namun dari beberapa kebijakan yang dilakukan oleh manajemen berkenaan dengan pelayanan kehidupan keagamaan kepada karyawan PT LTT, yang menghuni menyebar di 11 afdeling, secara tidak langsung menunjukkan adanya pola-pola pembinaan kehidupan beragama kepada para karyawan.

Pola pembinaan kerukuna hidup umat beragama yang dilakukan pihak manajemen kepada masyarakat karyawan Perkebunan PT. LTT , tergambar dalam pemberian pelayanan

297

keagamaan kepada mereka baik secara individual maupun secara kelompok yang tergabung dalam agama-agama. Adapun pola pembinaan dimaksud antara lain: pelayanan dengan pemberian hak secara adil, pelayanan dengan menggunakan prinsip proporsional, pelayanan dengan prinsip pemberian kebebasan untuk melakukan kegiatan keagamaan, serta pelayanan dengan memotivasi terciptanyakebersamaan.

Pelayanan dengan pemberian hak secara adil dilakukan pihak manajemen PT.LTT terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan dan dengan hak-hak asasi. Prihal kesejahteraan karyawan misalnya pada setiap Hari Raya Idul Fitri setiap karyawan diberikan Tunjangan Hari Raya (THR) tanpa melihat agama karyawan. Tentu saja nominal jumlah tunjangan untuk setiap karyawan berbeda sesuai jabatannya. Selain itu setiap karyawan mendapat hak perumahan, sesuai penempatannya di afdeling, tanpa melihat latar belakang agama mereka. Yang berkaitan dengan hak asasi misalnya prihal beragama. Setiap karyawan tidak ada larangan/tekanan untuk memeluk agama sesuai yang diyakininya. Dalam melayani kegiataan keagamaan umat beragama, diangkat Imam dan dibentuk Pengurus Mushalla di setiap mushalla. Untuk melayani kegiatan keagamaan di masjid al –Muhtadin, dibentuk DKM dan Imam Masjid. Untuk melayani kegiatan keagamaan di Gereja Oikumene, diangkat seorang Pendeta. Baik Imam masjid dan mushalla serta Pendeta tersebut berstatus sebagai pegawai honorer. Mereka masing-masing diberi fasilitas perumahan. Bagi setiap kelompok agama di setiap afdeling dibentuk kelompok paguyuban untuk melayani kegiatan sosial dan keagamaan kelompok agama yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pelayanan demikian merupakan upaya pembinaan kerukunan

298

antar karyawan yang berbeda agama di satu pihak dan antara karyawan dengan pihak manajemen. Dengan cara demikian, kecemburuan antar karyawan yang berbeda agama diharapkan tidak terjadi.

Pelayanan menggunakan prinsip proporsional dilakukan pihak manajemen misalnya dalam hal pemberian fasilitas rumah ibadah kepada umat beragama atau karyawan di tiap afdeling. Terdapatnya fasilitas rumah ibadah untuk umat Islam berupa 6 mushalla yang terletak di 6 afdeling dari 11 afdeling yang ada dan 1 masjid di Afdeling 0B (Bravo) serta 1 gereja yang juga di Afdeling 0B (Bravo), menunjukkan pelayanan prinsip proporsional tersebut. Jumlah umat Islam yang hampir mayoritas mutlak, menjadikan umat beragama lain (termasuk Katholik, Hindu dan Buddha) menerima kenyataan itu, sekalipun ketiga kelompok umat beragama itu hingga kini belum difasilitasi rumah ibadah di afdeling mereka. Mereka menyadari, jumlah umat mereka terlalu sedikit untuk bisa diberikan fasilitas rumah ibadah.

Pelayanan dengan prinsip pemberian kebebasan untuk melakukan kegiatan keagamaan sesuai agama yang diyakini masing-masing karyawan. Jam kerja dan jam istirahat diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu karyawan yang akan menunaikan ibadah sesuai agamanya. Demikian pula waktu-waktru lembur. Manajemen PT LTT mengadakan lembur setiap hari Jum’at dan Minggu, tanpa mengganggu waktu / pelaksanaan ibadah karyawan. Bagi karyawan yang tidak bersedia lembur, tidak dipaksakan harus lembur. Setiap kelompok agama diberikan kebebasan untuk melakukan aktivitas keagamaan seperti: tahlilan/yasinan, pengajian untuk Islam dan Sekolah Minggu dan Kebaktian Rumah Tangga untuk umat Kristen.

299

Pelayanan dengan memotivasi terciptanya kebersamaan dilakukan pihak manajemen PT. LTT, misalnya pengkoordinasian kegiatan sosial karyawan antar agama dengan mengedarkan isian sumbangan sosial sesaat sesudah karyawan menerima gaji, untuk disumbangkan kepada karyawan yang terkena musibah. Kebijakan yang dibuat PT. LTT yang diwujudkan dalam bentuk peraturan-peraturan dengan mengacu kepada pola umum kebijakan PT Astra Internasional yang mengedepankan pola kemitraan, pada dasarnya untuk menumbuh kembangkan kebersamaan antara pihak manajemen PT. LTT dengan karyawan. Selain itu, dalam berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan umat beragama, sebagian dananya berasal dari sumbangan PT. LTT. Pengkoordinasian dana sumbangan untuk karyawan yang terkena musibah, peraturan-peraturan yang dibuat didasarkan pola kemitraan, serta bantuan dana untuk kegiatan keagamaan, itu semua menjadi motivasi bagi terciptanya kebersamaan di kalangan sesama karyawan sekalipun berbeda agama.

Dalam upaya pembinaan kerukunan hidup beragama kepada para karyawan PT. LTT yang terdiri atas berbagai umat beragama, sudah barang tentu ada faktor-faktor penghambat di samping adanya faktor pendukung. Di antara faktor penghambat yang dirasakan adalah: kurangnya perhatian dari Pejabat Kantor Pemerintahan setempat dan langkanya tenaga pembina keagamaan atau tenaga dakwah. Sulitnya alat transportasi dan komunikasi mengakibatkan tingkat isolasi lokasi perkebunan PT. LTT cukup tinggi. Sedangkan faktor pendukung upaya pembinaan kerukunan hidup beragama adalah kebijakan-kebijakan dari pihak manajemen PT. LTT yang mengedepankan kebersamaan tanpa melihat latar belakang agama, peran positif dan proaktif

300

pihak manajemen PT. LTT dalam memberikan pelayanan keagamaan kepada umat beragama, serta sikap umat beragama yang toleran dalam menghadapi perbedaan, baik perbedaan etnis maupun agama.

301

Analisis

ata ‘rukun” yang lazim disepadankan dengan harmonious atau concord mempunyai arti cocok, selaras, sehati dan tidak berseteru. Dengan demikian

kerukunan berarti suatu kondisi sosial yang ditandai oleh adanya keselarasan, kecocokan dan tidak ada perseteruan. Kerukunan merupakan proses terwujudnya dan terpeliharanya pola interaksi yang beragam antar unit, unsur, sub sistem yang otonom, misalnya keselarasan berinteraksi antar kelompok etnis, budaya, strata sosial atau antar kelompok keagamaan yang berbeda. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal-balik yang bercirikan saling menerima, saling menghargai, kebersamaan dan toleransi. Sedangkan konflik diartikan sebaliknya, sehingga konflik seringkali dimaknakan sebagai suasana interaksi sosial yang

K

302

ditandai adanya perseteruan, perselisihan, permusuhan, kecurigaan, ketidakharmonisan serta perbedaan kepentingan. Konflik dapat terjadi antar individu maupun kelompok. Misalnya konflik antara dua orang warga desa, antar karyawan, atau antar kelompok kepentingan seperti kepentingan politik, etnik, organisasi sosial dan konflik antar kelompok keagamaan, serta konflik kepentingan antara kelompok buruh dengan kelompok majikannya.

Terkait dengan ihwal kerukunan atau integrasi dan konflik, dalam pandangan Nasikun (1999) terdapat dua landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun sangat terbatas dalam masyarakat multikultural, yakni: Pertama,suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus oleh sebagian besar anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, adanya berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliation).Dengan demikian apabila terjadi konflik akan dapat dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross cutting loyalities)dari para tokoh yang berperan dalam pelbagai kesatuan sosial dalam suatu masyarakat. Sementara konflik yang sering terjadi dalam masyarakat multikultural cenderung bersifat ideologis dan politis. Pada tataran ideologis, konflik lazimnya dalam bentuk benturan sistem nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat sekaligus merupakan penganut dari ideologi yang berasal dari pelbagai kesatuan sosial. Sedangkan pada tataran politis, biasanya terjadi dalam ranah pembagian status, kekuasaan dan akses sumber-sumber ekonomi yang menopang kehidupan sosial keseharian seluruh warga masyarakat setempat.

Berkenaan dengan kehidupan sosial di lingkungan masyarakat perkebunan PT. Lestari Tani Teladan (LTT) yang

303

dijadikan sasaran kajian ini, berdasarkan wawancara dengan sejumlah nara sumber termasuk dari unsur pimpinan kantor perkebunan, dapat digambarkan bahwa kerukunan atau integrasi sosial masyarakat perkebunan relatif kondusif dan tidak pernah timbul konflik terbuka yang melibatkan massa atau kelompok-kelompok sosial setempat. Kondisi rukun tersebut dimungkinkan ditopang oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, adanya konsensus atau keterikatan semua karyawan terhadap peraturan yang harus mereka patuhi. Kepatuhan para karyawan terhadap peraturan tersebut sampai sekarang tetap terpelihara dengan adanya efektivitas para pimpinan perusahaan perkebunan yang bersikap tegas dan disiplin dalam memimpin perusahaan. Sanksi diberlakukan kepada setiap karyawan yang melakukan pelanggaran. Agar tidak kehilangan sumber penghidupan, para karyawan berusaha senantiasa melaksanakan tugasnya masing-masing sesuai kontrak kerja yang mereka sepakati bersama. Kedua, di kalangan para karyawan berasal dari latar belakang sosial yang berbeda-beda, baik dari segi etnis, budaya, sosial maupun keyakinan agama. Setelah mereka bertahun-tahun bekerja dan berada dalam lingkungan yang sama maka kemudian tumbuh suatu ikatan batin antar sesama yang semakin kokoh. Solidaritas sosial, kebersamaan, rasa kekeluargaan, perasaan senasib seperantauan (diaspora) di kalangan mereka sangat mendukung terciptanya konsolidasi dan integritas. Ketiga, di jajaran pimpinan perusahaan dan di kalangan karyawan terdapat sejumlah tokoh yang berperan ganda. Di antara mereka selain selaku pimpinan atau karyawan perusahaan juga tokoh kelompok etnis atau pimpinan keagamaan, sehingga sewaktu-waktu terjadi konflik di lingkungan karyawan, tokoh-tokoh tersebut dapat berfungsi sebagai mediator dan simbol pemersatu

304

dalam mencairkan konflik atau perselisihan yang akan timbul. Keempat, menyangkut kerukunan keagamaan. PT. Lestari Tani Teladan merupakan lembaga ekonomi. Semua kegiatan, secara umum terfokus dan terarah pada upaya produktivitas dan efisiensi kerja dengan harapan dapat menghasilkan keuntungan maksimal bagi perusahaan. Hal itu berdampak kepada insentif atau kesejahteraan bagi seluruh karyawan. Persoalan keagamaan tidak termasuk ke dalam urusan dan tanggung-jawab perusahaan. Urusan agama dipandang sebagai wilayah privat dan menjadi urusan pribadi para karyawan. Karena itu perusahaan tidak mengatur dan tidak mencampurinya. Bila terjadi konflik antar karyawan yang berbeda keyakinan keagamaan maka agama atau etnik tidak boleh diaktifkan, dan dalam kenyataan memang tak pernah terjadi konflik antar kelompok keagamaan. Sekalipun demikian, pihak perusahaan memberikan fasilitas dan kemudahan kepada semua karyawan secara adil dan proporsional untuk melaksanakan aktivitas keagamaan masing-masing yang tergabung dalam kelompok keagamaan, dengan tidak mengganggu aktivitas keagamaan dan kewajiban para karyawan terhadap perusahaan. Kelima,tingkat kesejahteraan para karyawan relative baik. Para karyawan staf dan karyawan SKU seluruhnya mendapat fasilitas perumahan untuk tempat tinggal bersama anggota keluarganya, serta penghasilan yang dianggap memadai, fasilitas kesehatan serta tunjangan hari raya. Dengan kesejahteraan ekonomi keluarga yang relatif terjamin, maka tidak banyak keluhan apalagi protes. Kondisi demikian menguntungkan bagi upaya integritas sosial dan membangun kerukunan. Keenam, hubungan baik dengan masyarakat lingkungan setempat tercipta melalui kerjasama dan bantuan secara berkala yang diberikan oleh perusahaan. Hubungan

305

baik juga tercipta antara perusahaan dengan pihak Pemda setempat. Kemudian, integrasi dan kerukunan yang sudah terbangun diperkokoh oleh adanya tantangan bersama yakni suasana kerusuhan Poso yang berkepanjangan, yang secara geografis jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi perusahaan. Pimpinan perusahaan, karyawan dan Pemda serta masyarakat Kabupaten Donggala mempunyai kepentingan bersama mengkonsolidasi diri dan selalu waspada terhadap kemungkinan terkena imbas kerusuhan Poso, antara lain dengan meningkatkan dan memperketat Kamtibmas setempat.

Di balik suasana kondusif tersebut, pihak perusahaan dan masyarakat tentu saja tidak boleh alpa bahwa kerukunan dan konflik itu bukan sesuatu yang permanen. Konflik dan kerukunan merupakan suatu proses yang dinamis. Tidak ada masyarakat yang terus-menerus konflik atau terus-menerus rukun. Kondisi sekarang yang kondusif, bukan mustahil berubah menjadi sebaliknya karena ada gangguan-gangguan baik dari dalam maupun dari luar lingkungan setempat. Beberapa persoalan yang menurut Achmad Fedyani Saifuddin (Harian Kompas, 30 Desember, 2006) cukup potensial mengundang konflik antara lain: Keberhasilan membangun integrasi kebangsaan kita selama ini, berhasil dijaga dan dikendalikan oleh kekuasaan politik yang sentralistik. Begitu ada reformasi, ada tekanan dari luar, tekanan demokrasi, desentralisasi dan sebagainya, maka terjadi perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan sistem politik. Semua itu membuka kendali yang ketat, pelonggaran peraturan dan kesepakatan sosial, pada hal pada saat yang sama integrasi budaya kita belum terbentuk . Selain kita belum memiliki pengikat secara budaya, bertumpuknya berbagai kesulitan hidup di berbagai wilayah dapat memicu

306

timbulnya konflik. Kemiskinan, kesenjangan sosial antara penduduk asli dan pendatang misalnya, dapat menjadi faktor pendorong ketidak percayaan yang memudarkan ikatan. Ketidakpercayaan ini menghinggapi kelompok-kelompok yang mulai kehilangan identitas pengendalian tadi. Muncul kesadaran baru, kesadaran lokal, kesadaran sektarianisme yang mendorong mereka mulai memunculkan identitas baru lagi. Orang mulai melihat identitas kesukuannya lagi, melihat kelompok lain yang berbeda, lebih sejahtera, lebih maju dan seterusnya. Pemikiran semacam itu memunculkan kesadaran baru menguatkan identitas lokal masing-masing yang cenderung negatif. Aktualisasi identitas kelompok seharusnya tidak menjadi ancaman bagi kelompok lain. Bahkan dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan sosial jika saja orang di dalamnya tetap mempunyai pegangan dan keyakinan bersama sebagai satu bangsa. Keuntungan lain, kita yang berada dalam proses demokratisasi, memberikan peluang kepada setiap kelompok untuk mengungkapkan dirinya. Ada proses penyamaan dan penyetaraan semua kelompok dalam ruang publik dan mengikis diskriminasi. Semua orang dapat mengungkapkan apa yang diinginkannya. Namun bila tidak terkendali dapat kebablasan dan memunculkan perpecahan. Ini dilemma yang dihadapi bangsa ini. Dilema lain dapat muncul, jika berkembang banyak aliran atau faham dalam suatu agama, dan mereka berhak mengekspresikan identitasnya. Munculnya keanekaragaman aliran dalam suatu agama mungkin tidak dapat diterima oleh kelompok agama arus utama, bahkan dapat terjadi penolakan. Kondisi ini dapat berpotensi timbulnya konflik. Lebih-lebih kalau faham keagamaan baru yang ditolak itu berupaya memperjuangkan eksistensinya dengan cara paksaan, anarkis atau kekerasan, maka akan lebih berbahaya lagi buat integrasi

307

dan kerukunan bangsa. Oleh karena itu, menurut Fedyani lebih lanjut, kita memerlukan pemikiran jangka panjang yang mendahulukan kepentingan bangsa. Jangka pendek, harus segera mengurangi kemiskinan, kesenjangan sosial dan mengikis pengangguran. Bila kesejahteraan social meningkat maka perpecahan dapat ditekan. Selain itu perlu penguatan negara. Meskipun banyak yang alergi dengan penguatan negara sebagai salah satu bentuk trauma masa lalu, namun hal ini seharusnya tidak perlu terjadi.

308

Penutup

A. Kesimpulan

erdasarkan temuan-temuan tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kehidupan beragama masyarakat perkebunan PT. LTT terlihat kondusif. Umat beragama melakukan kegiatan keagamaan dengan lancar tanpa hambatan di sela-sela kesibukan mereka bekerja di perkebunan. Demikian pula kerukunan intern maupun antar umat beragama terkesan normal. Para karyawan dalam menyikapi perbedaan di antara mereka baik perbedaan etnis maupun agama lebih mengedepankan prinsip kebersamaan, hormat-menghormati dan toleransi.

B

309

2. Pola pembinaan kerukunan hidup beragama yang dilakukan oleh manajemen PT. LTT kepada karyawan yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, tercermin dari bentuk-bentuk pelayanan keagamaan kepada umat beragama, meliputi: pelayanan dengan pemberian hak secara adil, pelayanan dengan menggunakan prinsip proporsional, pelayanan dengan prinsip pemberian kebebasan untuk melakukan kegiatan keagamaan, serta pelayanan dengan memotivasi untuk terciptanya kebersamaan.

3. Di antara faktor penghambat dalam upaya pembinaan kehidupan beragama masyarakat perkebunan PT. LTT adalah: kurangnya perhatian dari Pejabat Departemen Agama setempat, kurangnya tenaga dakwah/keagamaan, serta lokasi Perkebunan PT. LTT yang relatif terisolasi. Sedangkan di antara faktor penunjang pembinaan kehidupan keagamaan adalah: sikap proaktif manajemen PT LTT dalam memberikan pelayanan kepada umat beragama, sikap kebersamaan dan toleransi antara sesama karyawan dalam menyikapi perbedaan, serta kebijakan pihak manajemen terhadap karyawan dengan mengesampingkan perbedaan etnis dan agama.

4. Berkenaan dengan integrasi sosial di lingkungan masyarakat PT. LTT, sejauh ini berlangsung normal, tidak banyak gangguan yang berarti. Suasana integritas sosial terbangun dan ditopang oleh faktor-faktor: (a) Adanya konsensus atau keterikatan semua karyawan terhadap peraturan yang berlaku dan efektivitas kepemimpinan perusahaan; (b) Kebersamaan dan kerjasama antar karyawan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, etnik dan agama; (c) Peran ganda sejumlah tokoh yang berasal dari satu satuan sosial yang berbeda yang

310

merupakan simbol pemersatu; (d) Sebagai lembaga ekonomi, PT.LTT terfokus kepada produktivitas kerja. Sementara itu agama diposisikan sebagai wilayah privat, di luar tanggung-jawab perusahaan, namun pihak perusahaan memfasilitasi sarana peribadatan kepada semua kelompok agama secara proporsional agar karyawan dapat beribadat sesuai keyakinan agamanya; (e) Penghasilan dan kehidupan sosial ekonomi para karyawan relatif baik sehingga tidak mudah terpicu konflik; (f) Integritas dan kerukunan yang sudah terbangun tersebut diperkokoh oleh adanya kerjasama dan bantuan dari perusahaan secara berkala kepada Pemda dan masyarakat sekitar.

B. Rekomendasi

1. Kondisi kerukunan hidup beragama di kalangan masyarakat perkebunan PT. LTT Kecamatan Rio Pakava yang selama ini tercipta secara harmonis, perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan. Diharapkan pihak manajemen PT. LTT dalam mempertahankan kondisi harmoni tersebut dapat memotivasi karyawan untuk meningkatkan kebersamaan dan toleransi. Departemen Agama setempat diharapkan secara proaktif dapat membantu upaya tersebut.

2. Pola-pola pembinaan kerukunan hidup beragama yang diterapkan oleh manajemen PT. LTT untuk menjaga kerukunan hidup beragama para karyawan , kiranya perlu dikembangkan terus sehingga kerukunan intern maupun antar umat beragama di kalangan karyawan PT. LTT semakin mantap.

3. Pihak Departemen Agama setempat diharapkan kiranya dapat ikut serta mengupayakan peningkatan pelayanan

311

keagamaan kepada masyarakat perkebunan PT. LTT Rio Pakava secara proaktif, misalnya melalui kegiatan monitoring, penyuluhan, dan pengiriman tenaga dakwah sesuai keperluan secara terprogram.

4. Perlu pula pihak Kantor Departemen Agama setempat menggalakkan interaksi dan dialog multikultural secara kontinu, serta pemupukan rasa kebangsaan secara lebih terarah dengan melibatkan semua kelompok agama yang ada.

Daftar Bacaan

Ahmad Fedyani Siafuddin, Kompas, 30 Desember 2006

Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur Penelitian – Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, Edisi Revisi V.

Burhan Bungin, M. 2005, Metodologi Studi Kualitatif, Jakarta, Perdana Media.

Creswell, John, W., Editor: Aris Budiman, et all., 2002, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, Jakarta, KIK Press, Eidisi Revisi, Cetakan kedua.

Kantor Kecamatan Rio Pakava, 2003, Rio Pakava Dalam Angka, Tahun 2002, Donggala, Kantor Kecamatan Rio Pakava Dalam, 2006.

----------------, 2006, Data Penduduk Kecamatan Riau Pakava, 2006, Kecamatan Rio Kakava, Kabupaten Donggala.

312

Mantra, Ida Bagoes. 2004, Filsafat Studi dan Metode Studi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, penerbut Rajawali; (1999)

PT. Lestari Tani Teladan, (PT. LTT), 2006, Data Karyawan Perusahaan Perkebunan PT. Lestari Tani Teladan (PT. LTT), Donggala, Kecamatan Rio Pavaka, Kabupaten Donggala.

Sugiyono, 2001, Metode Studi Administratif, Bandung, Alfebeta.