pemeruman bab1.pdf

26
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan laut, khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto, 2001). Seiring dengan perkembangan zaman, pemetaan batimetri dapat dilakukan dengan beberapa metode dan teknologi. Penerapan teknologi akustik dasar laut terus berkembang untuk tujuan ilimiah antara lain digunakan untuk mempelajari proses perambatan suara pada medium air yang mampu memberikan informasi karakteristik dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di perairan. Hydro-acoustic merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik (acoustic instrument), di antaranya Echosounder, Fish Finder, dan Sonar (Hermawan, 2009). Kedalaman hasil pengukuran dengan echosounder adalah jarak yang diukur dari alat yang ada di bawah kapal terhadap titik di bawah laut, sedangkan kedalaman laut dinyatakan sebagai jarak vertikal antara suatu bidang referensi tertentu dengan sebuah titik di dasar laut (Anonim, 2013). Dalam hal ini bidang referensi yang biasa digunakan adalah muka surutan (Chart Datum) yang ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut. Saat ini teknologi akustik berkembang semakin signifikan dengan dikembangkannya variasi yang lebih maju, hal ini tergantung dari area yang ingin dipetakan dan tujuan dari pemetaan yang akan dilakukan. Terdapat tiga jenis sistem Echosounder yang umum dikenal yaitu Singlebeam Echosounder, Multi Transducer Echosounder dan Multibeam Echosounder (Parikesit, 2008). Metode akustik menggunakan alat Multibeam Echosounder memiliki kelebihan yaitu sangat cocok untuk diaplikasikan untuk daerah yang luas serta memiliki kedalaman yang cukup dalam karena mempunyai resolusi yang tinggi. Tetapi di sisi lain juga mempunyai kelemahan, yaitu besarnya biaya yang dibutuhkan

Upload: impun-ritonga

Post on 09-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sounding

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pemetaan laut, khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar

dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan

(Soeprapto, 2001).

Seiring dengan perkembangan zaman, pemetaan batimetri dapat dilakukan

dengan beberapa metode dan teknologi. Penerapan teknologi akustik dasar laut terus

berkembang untuk tujuan ilimiah antara lain digunakan untuk mempelajari proses

perambatan suara pada medium air yang mampu memberikan informasi karakteristik

dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di perairan. Hydro-acoustic

merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat

akustik (acoustic instrument), di antaranya Echosounder, Fish Finder, dan Sonar

(Hermawan, 2009). Kedalaman hasil pengukuran dengan echosounder adalah jarak

yang diukur dari alat yang ada di bawah kapal terhadap titik di bawah laut,

sedangkan kedalaman laut dinyatakan sebagai jarak vertikal antara suatu bidang

referensi tertentu dengan sebuah titik di dasar laut (Anonim, 2013). Dalam hal ini

bidang referensi yang biasa digunakan adalah muka surutan (Chart Datum) yang

ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut. Saat ini teknologi akustik

berkembang semakin signifikan dengan dikembangkannya variasi yang lebih maju,

hal ini tergantung dari area yang ingin dipetakan dan tujuan dari pemetaan yang akan

dilakukan.

Terdapat tiga jenis sistem Echosounder yang umum dikenal yaitu Singlebeam

Echosounder, Multi Transducer Echosounder dan Multibeam Echosounder

(Parikesit, 2008). Metode akustik menggunakan alat Multibeam Echosounder

memiliki kelebihan yaitu sangat cocok untuk diaplikasikan untuk daerah yang luas

serta memiliki kedalaman yang cukup dalam karena mempunyai resolusi yang tinggi.

Tetapi di sisi lain juga mempunyai kelemahan, yaitu besarnya biaya yang dibutuhkan

2

dalam pelaksanaannya, dimana untuk pelaksanaan pemetaan batimetri harus dibawa

dengan wahana berupa kapal yang memiliki spesifikasi khusus dan ukurannya cukup

besar. Oleh sebab itu maka penggunaan alat Multibeam Echosounder untuk

pemetaan batimetri seperti danau, waduk dan sungai dinilai kurang efektif.

Solusi untuk pemecahan permasalahan pemetaan batimetri untuk wilayah

seperti danau, waduk dan sungai adalah digunakan alat Singlebeam Echosounder.

Salah satu jenis Singlebeam Echosounder (SBES) yang ada dan sering digunakan

adalah Echosounder Odom Hydrotrac II. Alat ini khusus dirancang untuk wahana

kapal yang berukuran kecil dan kondisi kapal yang keras. Sistem Singlebeam

Echosounder biasanya terdiri dari catu daya, seperangkat perekam data, transducer

(pemancar) dan hidrofon (penerima). Singlebeam Echosounder biasanya juga

dilengkapi dengan GPS internal yang digunakan untuk penentuan posisi dan display

yang menampilkan printer chart paper untuk menampilkan gambaran profil dasar

perairan yang dikonversi dari data kedalaman. Walau demikian, biaya yang harus

dikeluarkan masih dinilai cukup mahal. Selain itu kerapatan titik serta ketelitian peta

batimetri yang ingin dihasilkan juga mempengaruhi mahalnya biaya yang

dibutuhkan, karena hal ini berpengaruh pada lamanya waktu pengukuran yang

dibutuhkan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan beberapa alternatif alat survei

hidrografi yang lebih efisien untuk memberikan informasi spasial secara teliti.

Salah satu tipe alternatif Singlebeam Echosounder dengan biaya rendah dan

sering digunakan adalah Fish Finder. Fish Finder yang paling banyak digunakan

adalah GARMIN MAP Sounder 178 C. Alat ini dirancang khusus untuk perairan

dangkal dan tidak terlalu luas seperti waduk, danau, dan sungai. Sebetulnya Fish

Finder merupakan alat bantu nelayan untuk mencari ikan. Alat ini terdiri dari display

berupa monitor dan transducer yang ditenggelamkan ke laut, transducer digunakan

untuk mendeteksi kedalaman dan juga keberadaan ikan di laut dan hasilnya akan

ditampilkan ke layar. Dengan alat ini diharapkan nelayan lebih mudah dalam

mencari ikan sehingga bisa meningkatkan hasil penangkapan ikan. Ternyata

disamping digunakan untuk mencari ikan, alat ini seringkali digunakan untuk

mengukur kedalaman dan mengetahui kondisi topografi dasar laut dengan

menampilkan kontur kedalaman secara rinci. Selama ini alat Fish Finder GARMIN

MAP Sounder 178 C tersebut diasumsikan menghasilkan data kedalaman dengan

3

ketelitian rendah dibandingkan alat Singlebeam Echosounder ODOM Hydrotrac II.

Meskipun demikian perlu untuk dibandingkan data hasil pengukuran batimetri

menggunakan ke dua alat tersebut. Harapannya perbandingan tersebut dapat

memberikan gambaran apakah kualitas data yang dihasilkan oleh alat Fish Finder

GARMIN MAP Sounder 178 C dan Singlebeam Echosounder ODOM Hydrotrac II

memang berbeda secara signifikan atau tidak. Pembuktian secara ilmiah mengenai

perbedaan kualitas data pengukuran menggunakan Fish Finder GARMIN MAP

Sounder 178 C dan Singlebeam Echosounder ODOM Hydrotrac II belum banyak

dilakukan.

Pengujian bukan hanya sebatas pada pengujian signifikansi perbedaan antara

kedua alat, tetapi perlu juga dilakukan pengujian yang merujuk pada standardisasi

yang berlaku. Dalam hal ini standardisasi pengukuran kedalaman yang digunakan

merujuk kepada IHO SP-44 dan SNI 7646-2010.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yaitu :

1. Bagaimana hasil perbandingan data pengukuran batimetri menggunakan

alat Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178 C dan Singlebeam

Echosounder ODOM Hydrotrac II ?

2. Bagaimana kualitas data hasil pengukuran batimetri menggunakan alat Fish

Finder GARMIN MAP Sounder 178 C dan Singlebeam Echosounder

ODOM Hydrotrac II ?

I.3 Tujuan Penelitian

Pelaksanaan dari penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis perbandingan data hasil pengukuran batimetri menggunakan

alat Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178 C dan Singlebeam

Echosounder ODOM Hydrotrac II.

4

2. Menganalisis ketelitian data hasil pengukuran batimetri menggunakan alat

Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178 C dan Singlebeam Echosounder

ODOM Hydrotrac II.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Diharapkan alat Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178 C dapat menjadi

alternatif untuk membantu pekerjaan survei batimetri yang mengacu pada

standardisasi SNI 7646-2010 dan IHO SP-44 tahun 2008.

2. Memberikan gambaran tentang perbedaan kualitas data pengukuran

kedalaman yang dihasilkan oleh alat Fish Finder GARMIN MAP Sounder

178 C dan Singlebeam Echosounder ODOM Hydrotrac II.

I.5 Batasan Masalah

Batasan masalah untuk penelitian ini adalah :

1. Alat Singlebeam Echosounder yang digunakan adalah Echosounder Odom

Hydrotrac II, sedangkan Fish Finder yang digunakan adalah GARMIN

MAP Sounder 178 C. Kondisi kedalaman area yang diukur oleh ke dua alat

tersebut adalah 1 – 40 meter.

2. Lokasi penelitian adalah Waduk Sermo di Dusun Sermo, Desa Hargowilis,

Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

3. Orde ketelitian yang digunakan merujuk kepada SNI 7646-2010 tentang

survei hidrografi menggunakan Singlebeam Echosounder dan IHO

Standards Of Hydrographic Surveys SP-44 tahun 2008 adalah level 1b.

4. Data yang digunakan untuk penelitian adalah data hasil pengukuran

batimetri menggunakan alat Singlebeam Echosounder Odom Hydrotrac II

dan Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178 C. Pemasangan transducer

dilakukan pada posisi berdampingan dan berseberangan sehingga berada di

posisi horizontal (X,Y) yang sama.

5

5. Metode penentuan posisi horizontal (X,Y) yang digunakan adalah metode

penentuan posisi secara absolut dengan memanfaatkan GPS internal dari

Fish Finder.

6. Ke dua alat ukur kedalaman yang digunakan (Singlebeam Echosounder dan

Fish Finder) menggunakan sebuah GPS yang saling terintegrasi dengan

baik.

7. Software yang digunakan untuk perencanaan, akusisi data, dan navigasi

dalam pemeruman serta editing adalah Hydropro Version 2.40.

8. Analisis ketelitian dan kualitas data hasil pengukuran batimetri mengacu

pada SNI 7646:2010 dan IHO SP-44 tahun 2008.

9. Analisis perbandingan hasil dilakukan dengan cara mencari beda

kedalaman dari keseluruhan hasil pengukuran batimetri pada titik yang

sama antara alat Echosounder Odom Hydrotrac II dan Fish Finder

GARMIN MAP Sounder 178C. Kemudian dilakukan uji statistik dengan T-

student test untuk tingkat kepercayaan 95%.

10. Uji kualitas data yang digunakan merujuk kepada IHO SP-44 tahun 2008

dengan memperbandingkan data hasil pengukuran titik pemeruman yang

saling berpotongan pada lajur utama dan lajur silang.

I.6 Tinjauan Pustaka

Penentuan posisi pada survei batimetri dapat menggunakan prinsip optik yaitu

dapat menggunakan teodolit dengan cara melakukan pemotongan ke muka ataupun

pemotongan kebelakang, dimana berkas cahaya pada garis bidik instrumen

menggantikan garis-garis pengamatan. Penggunaan metode optik ini menuntut target

yang di bidik harus terlihat oleh pengamat. Faktor-faktor dominan yang dapat

mempengaruhi kemampuan pengamat untuk melihat target adalah kelengkungan

bumi dan refraksi, sehingga umumnya instrumen optik memiliki keterbatasan

jangkauan pandang. Berdasarkan hal tersebut maka metode ini hanya dapat

digunakan untuk daerah yang sempit pada permukaan bumi yang dapat dinggap

bidang datar. Metode penentuan posisi yang lain yaitu dengan memanfaatkan

6

gelombang elektromagnetik. Metode pengukuran jarak ini tidak dilakukan secara

langsung, melainkan didapatkan dengan mengenali laju gelombang elektromagnetik

pada medium atmosfer dan selang waktu saat gelombang tersebut dipancarkan

sampai dengan di terima oleh target. Instrumen yang mengunakan prinsip kerja ini

adalah sistem satelit navigasi GPS. GPS dalam survei batimetri digunakan untuk

penentuan posisi titik pemeruman (Poerbandono, dkk., 2005).

Penentuan posisi secara absolut merupakan metode yang paling mendasar dari

GPS. Pada metode ini hanya diperlukan satu buah receiver GPS. Dalam penentuan

posisi secara metode absolut ini menggunakan data pseudorange pada suatu epok,

dimana ada 4 parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat ( X,Y,Z )

dan parameter kesalahan jam receiver GPS, sehingga diperlukan minimal 4 buah

satelit yang harus ditangkap oleh receiver. Data yang dihasilkan secara absolut pada

satu epok menghasilkan data yang masih kecil ketelitiannya. Hal ini disebabkan data

hasil pengamatan masih mengandung kesalahan akibat ionosfer dan troposfer.

Pereduksian kesalahan akibat ionosfer dan troposfer dapat dilakukan dengan

penentuan posisi secara differential. Dalam penentuan posisi secara differential,ada

beberapa aplikasi yang menuntut informasi posisi secara real-time. Untuk melayani

aplikasi-aplikasi tersebut, saat ini tersedia sistem yang dikenal dengan DGPS

(Differential GPS). Sistem ini umumnya digunakan untuk penentuan posisi obyek

yang bergerak seperti kapal saat melakukan survei batimetri. Untuk merealisasikan

tuntunan real timenya,maka monitor station harus mengirimkan koreksi differential

ke pengguna secara real time dengan menggunakan sistem komunikasi data tertentu.

Koreksi differential ini dapat berupa koreksi pseudorange (seperti RTCM SC-104)

maupun koreksi koordinat. Dengan adanya koreksi differential maka koordinat yang

didapatkan memiliki ketelitian posisi horizontal yang relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan metode absolut (Abidin, 2000).

Penelitian mengenai penentuan posisi horizontal pada alat Echosounder tipe

Fishfinder GARMIN MAP Sounder 178C telah dilakukan oleh Mahbub (2011).

Penelitiannya telah mencoba memodifikasi Fish Finder yang awalnya menggunakan

metode absolut dirubah menjadi differential dengan data yang dikoreksikan dengan

menggunakan NTRIP (Networked Transport of RTCM via Internet Protocol), yang

mana NTRIP tersebut terhubung dengan stasiun GNSS CORS. Kemudian dilakukan

7

perbandingan seberapa besar pergeseran koordinat titik-titik sampel pemeruman

antara metode absolut dan differential. Dampak yang ditimbulkan dari adanya

perbedaan metode pengukuran tersebut adalah perbedaan bentuk dari permukaan

waduk sermo. Hal ini dapat terlihat pada hasil cut and fill antara DTM (Digital

Terrain Model) yang terbentuk dengan menggunakan metode differential dengan

DTM yang terbentuk dengan menggunakan metode absolute yang memiliki

perbedaan yang cukup signifikan.

Penelitian penggunaan alat Odom Hydrotrac II telah dilakukan oleh Septiyadi

(2013). Penelitian tersebut berhasil mengkombinasikan alat Odom Hydrotrac II

dengan Software Hydropro version 2.40 menjadi satu unit sistem untuk pengukuran

survei batimetri. Kemudian dari data hasil pengukuran tersebut dilakukan uji statistik

untuk tingkat kepercayaan 95% dan diperoleh nilai mean error sebesar 0,036 m, nilai

standard deviation sebesar ±0,195 m dan nilai to sebesar 1,16, sehingga dapat

dinyatakan bahwa data kedalaman yang diperoleh masuk toleransi dengan tingkat

kepercayaan 95% (-1,96 < to < 1,96).

Berdasarkan uraian dan penelitian yang telah dilakukan tersebut, penulis

mencoba untuk mengkoneksikan alat Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178C

dengan Software Hydropro. Selama ini software Hydropro hanya diketahui dapat

dikoneksikan dengan alat Odom Hydrotrac II saja. Hal ini dimaksudkan agar data

kedalaman dan posisi horizontal (X,Y) dari alat Fish Finder dalam format NMEA

secara real time terkirim ke software Hydropro. Dari proses ini akan didapatkan data

kedalaman dari alat Odom Hydrotrac II dan Fishfinder GARMIN MAP Sounder 178

C dalam posisi yang sama. Kemudian dilakukan uji kualitas data dan analisis

perbandingan data hasil pengukuran batimetri menggunakan alat Odom Hydrotrac II

dan Fishfinder GARMIN MAP Sounder 178 C yang merujuk kepada SNI 7646:2010

dan IHO SP-44 tahun 2008.

8

I.7 Landasan Teori

1.7.1 Orde Ketelitian Survei Hidrografi

Menurut standar teknis pelaksanaan survei hidrografi terdapat klasifikasi

derajat ketelitian yang dibedakan menjadi beberapa orde ketelitian sebagai berikut

(SNI 74646:2010) :

a. Orde khusus

Orde khusus survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei rekayasa dan

digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis dimana kedalaman di bawah laut

sangat minim dan di dalam hal ini karakteristik dasar airnya berpotensi

membahayakan kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh

instansi yang bertanggung jawab di dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh

ialah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya. Semua sumber

kesalahan harus dibuat minimal.

Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan side scan sonar,

multi transducer arrays atau multibeam echosounder dengan resolusi tinggi dengan

jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%.

Harus pula diyakinkan bahwa setiap benda dengan ukuran lebih besar dari 1 meter

persegi dapat terlihat oleh peralatan perum yang digunakan. Penggunaan side scan

sonar dan multibeam echosounder mungkin diperlukan di daerah-daerah di dalam

hal ini benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin ditemukan atau survei

untuk keperluan investigasi.

b. Orde satu

Orde satu survei hidrografi diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur

pendekat, haluan yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas

komersial yang padat di dalam hal ini kedalaman di bawah laut memiliki luas cukup

memadai dan kondisi geofisik dasar lautnya tidak begitu membahayakan kapal

(misalnya lumpur atau pasir). Survei orde satu berlaku batas di daerah dengan

kedalaman kurang dari 100 meter. Meskipun persyaratan pemeriksaan dasar laut

tidak begitu ketat jika dibandingkan orde khusus, namun pemeriksaan dasar laut

secara menyeluruh tetap diperlukan di daerah-daerah di dalam hal ini karakteristik

dasar laut dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal. Pada

9

daerah-daerah yang diteliti tersebut, harus diyakinkan bahwa untuk kedalaman

sampai dengan 40 meter benda-benda dengan ukuran lebih besar dari 2 meter

persegi, atau pada kedalaman lebih dari 40 meter, benda-benda dengan ukuran 10%

dari kedalaman harus dapat digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan.

c. Orde dua

Orde dua survei hidrografi diperuntukkan di daerah dengan kedalaman kurang

dari 200 meter yang tidak termasuk di dalam orde khusus maupun orde satu, dan di

dalam hal ini gambaran batimetri secara umum sudah mencukupi untuk meyakinkan

bahwa tidak terdapat rintangan di dasar laut yang akan membahayakan tipe kapal

yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Hal ini merupakan kriteria yang

penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam, di dalam hal ini orde

hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut

mungkin diperlukan pada daerah-daerah di dalam hal ini karakteristik dasar air dan

resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal.

d. Orde tiga

Orde tiga survei hidrografi diperuntukkan untuk semua area yang tidak

tercakup oleh orde khusus, orde satu dan dua pada kedalaman lebih besar dari 200

meter.

Orde ketelitian survei di atas merupakan rujukan dari SNI 7646:2010 yang

mengacu pada IHO SP-44 edisi ke 4 tahun 1998 dan IHO SP-32 edisi ke 5 tahun

1994. Sedangkan IHO telah menerbitkan IHO Standards Of Hydrographics Surveys

terbaru yaitu IHO SP-44 edisi ke 5 tahun 2008. IHO SP-44 tahun 2008 diterbitkan

karena munculnya teknologi multibeam dan LIDAR (Anonim, 2008). Oleh karena itu

terdapat pembaharuan pada pembagian orde ketelitian survei yaitu menjadi orde

khusus, 1a, 1b, dan 2.

Perubahan mendasar yang terdapat pada IHO edisi ke 5 tahun 2008 adalah pada

orde 1a pencarian dasar laut secara penuh diperlukan dan pada orde 1b tidak

diperlukan. Kemudian terjadi penghapusan orde 3 karena dianggap sama dengan

orde 2 (IHO SP-44 edisi ke 5 tahun 2008).

10

1.7.2 Lajur Pemeruman

Berdasarkan fungsinya lajur pemeruman dapat diklasifikasikan menjadi tiga

macam (Soeprapto, 2001) yaitu lajur utama, lajur silang, lajur tambahan/investigasi.

I.7.2.1 Lajur perum utama

Lajur perum utama adalah lajur perum yang direncanakan sedemikian rupa

sehingga seluruh daerah survei dapat tercakup dan dapat tergambarkan dasar

perairannya (Soeprapto, 2001). Ketentuan untuk pembuatan lajur perum utama telah

diatur pada IHO (International Hydrography Organization) dalam IHO Standards Of

Hydrographic Surveys. Standardisasi terbaru yang telah diterbitkan oleh IHO adalah

IHO SP-44 tahun 2008 seperti yang terlampir pada tabel 1.1.

Tabel 1.1. Standar kerapatan data, deteksi fitur bawah laut dan lajur

maksimum

Orde Spesial 1a 1b 2

Cakupan Dasar

Laut (Batimetri)

100%

Diperlukan

Diperlukan

Tidak

Diperlukan

Tidak

Diperlukan

Kemampuan

Deteksi Sistem

Cubic Feature

> 1 m

Cubic Feature > 2

m pada kedalaman

hingga 40 m dan

10 % dari

kedalaman jika

kedalaman lebih

dari 40 m

Tidak

digunakan

Tidak

digunakan

Lebar Lajur

Maksimum

Tidak

Digunakan

Tidak Digunakan

3 x kedalaman

rata-rata atau

25 (mana yang

lebih besar),

dan spasi spot

LIDAR 5 m x

5 m

4 x kedalaman

rata-rata

(Sumber: IHO SP-44 Tahun 2008)

11

Cara penentuan lajur utama menurut IHO SP-44 tahun 2008 dapat dilihat pada

Gambar 1.1.

1.7.2.2 Lajur perum silang

Lajur perum silang adalah lajur perum yang dibuat memotong lajur perum

utama. Tujuan pembuatan lajur perum silang adalah mendeteksi ada tidaknya

kesalahan hasil pengukuran baik posisi horizontal maupun kedalaman pada sistem

lajur utama. Cara penentuan lajur perum silang yaitu lajur perum silang harus

memotong lajur perum utama dengan sudut lebih besar dari 45o

diusahan mendekati

tegak lurus. Pada umumnya jarak antara lajur perum silang tidak lebih dari 10 kali

jarak antara lajur perum utama (Anonim, 2010).

Cara penentuan lajur perum silang menurut IHO SP-44 tahun 2008 dapat dilihat pada

Gambar 1.2.

Gambar I.1. Penentuan lajur perum utama

Sumber : Anonim, 2010

12

1.7.2.3 Lajur perum tambahan/investigasi

Lajur perum tambahan/investigasi dibuat jika terjadi hal-hal diluar perencanaan

misalnya adanya perubahan kedalaman yang terlalu signifikan, pusaran arus atau

mengisi gap akibat penyimpangan pengambilan data pada lajur utama yang terdapat

antara dua lajur yang bersebelahan pada sistem lajur perum utama (Soeprapto, 2001).

I.7.3 Kalibrasi Alat Perum

Kecepatan gelombang suara merupakan faktor yang sangat penting dalam

survei pemeruman. Koreksi kecepatan gelombang suara merupakan koreksi yang

disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan gelombang suara pada echosounder

dengan kecepatan gelombang suara yang sebenarnya di dalam air laut. Perbedaan ini

terjadi karena adanya ketidaksamaan antara kecepatan standar yang diset pada alat

dengan kecepatan perambatan suara pada medium air yang sebenarnya. Seperti

diketahui bahwa kecepatan perambatan gelombang suara di dalam air memiliki nilai

yang tidak selalu sama untuk setiap wilayah. Hal ini disebabkan oleh perubahan sifat

fisik air yang meliputi salinitas, suhu, dan tekanan serta lintasan gelombang pulsa

tersebut (Hermawan, 2007). Untuk perairan dangkal, koreksi kecepatan gelombang

suara menggunakan barcheck.

Gambar I.2. Penentuan lajur perum silang

Sumber : Anonim, 2010

13

Barcheck terbuat dari lempeng logam berbentuk lingkaran atau segi empat yang

digantungkan pada tali atau rantai berskala dan diletakkan dibawah transducer. Tali

atau rantai berskala digunakan sebagai pembanding hasil ukuran dengan hasil yang

terbaca oleh alat perum gema. Pembandingan pengukuran kedalaman dilakukan

untuk setiap perubahan kedalaman, mulai dari 0 meter hingga kedalaman maksimum

yang akan diperum dengan interval 1 meter (Poerbandono, dkk., 2005). Agar mudah

dinaik-turunkan dalam air, maka dibuatkan beberapa lubang pada lempeng logam

tersebut untuk mengurangi tekanan air pada saat dinaikkan/diturunkan. Fungsi

lempeng logam ini adalah sebagai reflektor gelombang yang dipancarkan transducer.

Data pengukuran barcheck yang diperoleh digunakan untuk mencari hubungan

antara kedalaman sebenarnya dengan kedalaman hasil ukuran menggunakan

echosounder dalam bentuk persamaan linear. Persamaan linear yang dibentuk dapat

dilihat pada rumus I.1 (Anonim,2002) :

dc = [[ ( bari – bari+1 ) ÷ ( reci - reci+1) ] . (do – reci ) ] + bari......................( I.1 )

Keterangan:

dc : kedalaman sebenarnya

do : kedalaman hasil observasi

bari : kedalaman barcheck pada check point i

bari+1 : kedalaman barcheck pada check point i+1

reci : kedalaman bacaan alat pada barcheck point i

reci+1 : kedalaman bacaan alat pada barcheck point i+1

i,i+1 : urutan point kalibrasi kedalaman dan reci < do < reci+1

Pada perairan dalam koreksi dengan barcheck tidak dianjurkan karena

pengaruh arus bawah permukaan dan ombak di permukaan mengakibatkan rantai

barcheck melengkung sehingga ukuran data bacheck yang didapat tidak sesuai

dengan yang sebenarnya. Oleh karena itu untuk menganalisis kecepatan gelombang

suara dengan menggunakan sifat fisik air laut dengan rumus (I.2) yang diturunkan

oleh Wood sebagai berikut (Adil dan Windupranata, 1998) :

V = 1410 + 4.21 T – 0.037 D2 + 1.14 S + 0.018……………………......…(I.2)

Keterangan :

V : kecepatan suara pada temeperatur (T), salinitas (S) dan

kedalaman (D)

14

S : salinitas air laut (%)

T : temperature (oC)

D : kedalaman laut (meter)

I.7.4 Penentuan kedalaman titik pemeruman (h)

Penentuan kedalaman titik pemeruman merupakan suatu proses pengukuran

untuk memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan

gambaran bentuk topografi dasar perairan (Poerbandono, dkk., 2005). Seiring dengan

kemajuan teknologi, penerapan teknologi akustik dasar laut terus berkembang untuk

tujuan ilimiah antara lain digunakan untuk mempelajari proses perambatan suara

pada medium air yang mampu memberikan informasi karakteristik dasar perairan,

komunikasi dan penentuan posisi di kolom perairan. Hydro-acoustic merupakan

suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan gelombang akustik.

Alat survei batimetri yang menggunakan metode gelombang akustik ini adalah

echosounder (alat perum gema).

Sistem echosounder biasanya terdiri dari atas catu daya, seperangkat perekam

data, transducer (pemancar) dan hidrofon (penerima). Prinsip kerja dari sistem ini

adalah transducer memancarkan gelombang akustik dengan frekuensi tertentu

menuju ke dasar perairan secara tegak lurus, kemudian gelombang tersebut

dipantulkan kembali dan diterima oleh hidrofon. Umumnya semakin rendah

frekuensinya, kedalaman perairan yang dicapai juga semakin tinggi. Data yang

diperoleh dari proses itu adalah selang waktu gelombang mulai dipancarkan dan

gelombang kembali diterima, sehingga diperoleh data kedalaman yang dicatat alat

perekam yang merupakan fungsi dari selang waktu. Sebagaimana yang diuraikan

pada rumus (I.3) (Poerbandono, dkk., 2005) :

Dasar hitungan yang digunakan untuk menentukan kedalaman laut ialah

sebagai berikut (Poerbandono, dkk., 2005) :

d= 1

2 𝑣

𝑡1

𝑡2 𝑡 . 𝑑𝑡…………...................................................................( I.3 )

Keterangan :

d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,

15

v(t) : cepat rambat gelombang suara di air,

t1 & t2 : waktu pada saat gelombang suara dipancarkan dan saat

penerimaan gelombang pantulnya.

Nilai kecepatan rambat gelombang di air adalah 1500 m/detik, maka nilai

kedalaman perairan dapat di tentukan berdasarkan persamaan (I.4) berikut ini

(Poerbandono, dkk., 2005):

d= 1

2 (𝑣. 𝛥𝑡) ...........................................................................................( I.4 )

Keterangan :

d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran

v : cepat rambat gelombang akustik di medium air (meter/detik)

Δt : selang waktu antara saat gelombang akustik dipancarkan dan saat

gelombang kembali diterima (detik)

Berdasarkan teknik pemasangan alat echosounder pada gambar I.3 maka hal

tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya draft transducer pada data pemeruman

selain koreksi pasang surut dan barcheck. Koreksi ini diperlukan karena posisi

transducer terletak bukan di permukaan air, melainkan tergantung di bawah

permukaan air. Untuk itu kedalaman dari permukaan air perlu ditambah beberapa cm

sesuai dengan jarak transducer di bawah permukaan air sampai permukaan air.

Cara penentuan nilai koreksi draft transducer dilakukan dengan cara

pengukuran jarak antara bagian bawah transducer tegak lurus terhadap permukaan

Gambar I.3. Teknik Pemasangan alat echosounder

DASAR AIR

Draft

transducer

Kedalaman terkoreksi

Koreksi

Barcheck

Antena GPS

PERMUKAAN AIR

Kadalaman

hasil pengukuran

16

air di atasnya pada saat kapal dalam keadaan berhenti terapung. Pengukuran koreksi

draft transducer sebaiknya dilakukan di daerah perairan yang tenang serta diukur

beberapa kali untuk mendapatkan harga rata-ratanya.

I.7.5 Penentuan Posisi Horizontal Titik-Titik Pemeruman (X,Y)

Penentuan posisi titik pemeruman dalam survei hidrografi khususnya untuk

pekerjaan pemetaan laut merupakan peran yang sangat penting. Penentuan koordinat

horizontal titik di laut untuk keperluan survei hidrografi pada dasarnya sama saja

dengan survei topografi di darat. Perbedaan yang nyata adalah titik yang diamat di

laut tidak dapat diam, tetapi target selalu dalam keadaan bergerak.

Ada beberapa metode dalam penentuan posisi horizontal (X,Y) titik-titik

pemeruman. Salah satunya dengan gelombang elektromagnetik (Satellite Receiver)

yaitu dengan menggunakan satelit GPS yang dipasang pada kapal survei. Metode

yang digunakan dapat berupa metode GPS absolut maupun metode differential GPS

(Poerbandono, dkk., 2005). Penentuan posisi secara absolut dapat dilihat pada

Gambar I.4.

Gambar I.4. Penentuan posisi secara absolut

P2

P3

P4

Ionosfer

S4 (X4,Y4,Z4)

S2 (X2,Y2,Z2)

S1 (X1,Y1,Z1)

S3 (X3,Y3,Z3)

Troposfer

DARATAN

PERMUKAAN AIR

P1

17

Penentuan posisi secara absolut merupakan metode yang paling mendasar dari

GPS (Abidin, 2000). Metode ini hanya diperlukan satu buah receiver GPS.

Penentuan posisi secara absolut menggunakan data pseudorange yang berisi 4

parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat (X,Y,Z) dan parameter

kesalahan jam receiver GPS. Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan minimal

4 buah satelit yangh harus ditangkap oleh receiver (Abidin, 2000). Tetapi metode

absolut sebenarnya belumlah cukup teliti dalam penentuan posisi karena hanya

mengeliminasi kesalahan karena bias jam satelit saja , melainkan masih dihinggapi

bias lain seperti bias karena troposfer, ionosfer, multipath dan bias karena epoch.

Berdasarkan alasan tersebut, maka penentuan posisi secara differential sangatlah

diperlukan. Penentuan posisi secara differential dapat dilihat pada Gambar I.5.

Metode pengamatan Differential Global Positioning System (DGPS) diperlukan

minimum dua receiver GPS yaitu di stasiun acuan (titik A) dan lainnya di stasiun

Gambar I.5. Penentuan posisi secara differential

S2 (X2,Y2,Z2)

S1 (X1,Y1,Z1)

PERMUKAAN AIR

DARATAN

B (XB,YB,ZB)

A (XA,YA,ZA)

P2A

P1A

Ionosfer

S4 (X4,Y4,Z4)

Troposfer

S3 (X3,Y3,Z3)

P3A

P4A

P1B

P2B P3B

P4B

18

pengamat (titik B). Stasiun acuan adalah yang telah diketahui koordinatnya

sedangkan stasiun pengamat adalah stasiun yang akan ditentukan posisinya dengan

DGPS. Standardisasi yang dijadikan acuan terbaru dalam penentuan posisi telah

diterbitkan oleh IHO yaitu IHO SP-44 tahun 2008, seperti yang terlampir pada tabel

I.2.

Tabel I.2 Standard ketelitian posisi

Orde

Spesial

1a

1b

2

Posisi titik kedalaman

2 m

5 m + 5%

kedalaman

5 m + 5%

kedalaman

20 m + 10%

kedalaman

Orde

Spesial

1a

1b

2

Posisi alat bantu

navigasi tetap dan

fitur penting bagi

navigasi

2 m

2 m

2 m

2 m

Posisi garis pantai

dan fitur yang kurang

penting bagi navigasi

10 m

20 m

20 m

20 m

Posisi alat bantu

navigasi apung

10 m

10 m

10 m

20

1.7.6 Pengolahan Data Batimetri

Hasil dari pengukuran batimetri adalah data kedalaman (h) dan data posisi

(x,y). Untuk mendapatkan data kedalaman yang terkoreksi maka perlu

mempertimbangkan koreksi tinggi muka air saat dilakukan pemeruman, koreksi draft

transducer dan koreksi barcheck. (Septiyadi, 2013). Seperti dijelaskan pada rumus

(I.5) dan seperti yang terlihat pada gambar I.8 :

Hterkoreksi = Hechosounder + draft transducer + koreksi barcheck……...……..…...….(I.5)

(Sumber: IHO SP-44 Tahun 2008)

19

Pada gambar I.6 dapat terlihat bahwa untuk memperoleh angka kedalaman

yang terkoreksi ke bidang acuan (Chart Datum). Untuk membedakan dengan angka

ketinggian maka angka kedalaman harus bernilai negatif. Hal ini dikarenakan bahwa

angka ketinggian yang ada pada palem pasut merupakan angka ketinggian di atas

muka air laut, maka nilai ketinggian titik-titik pemeruman dapat diketahui dengan

mengacu pada rumus (I.6) dan (I.7) :

Hreduksi = (hmuka air – hchart datum) - Hterkoreksi……...………………………..…..…….(I.6)

Untuk menunjukkan nilai kedalaman maka Hreduksi bernilai negatif. Selanjutnya

Hreduksi digunakan untuk keperluan pembuatan garis kontur kedalaman, sedangkan

untuk pembuatan DTM (Digital Terrain Model) digunakan nilai Z (angka

ketinggian). Nilai Z ini diperoleh dengan rumus :

Z = hchart datum + Hreduksi……...………………………….………………………….(I.7)

Pengolahan data posisi titik pemeruman diperlukan untuk memperoleh angka

posisi horizontal yang sesuai dengan bidang datum dan sistem proyeksi yang

digunakan.

DASAR AIR

Draft

transducer

Kedalaman

terkoreksi

Koreksi

Barcheck

Antena GPS

Kadalaman

hasil pengukuran Kedalaman

pada bidang

acuan

PERMUKAAN AIR

PALEM PASUT

Chart datum

Gambar I.6. Penentuan kedalaman yang tereduksi terhadap bidang acuan

20

1.7.7 Standardisasi Survei Hidrografi

Perkembangan teknologi pengukuran batimetri diikuti pula dengan

perkembangan standardisasi atau acuan teknis yang digunakan. Standardisasi ini

menjadi acuan agar data yang didapatkan terjamin kualitasnya. Dalam pelaksanaan

survei hidrografi untuk keperluan pemetaan di Indonesia, pedoman yang digunakan

sebagai standardisasi adalah IHO Standards Of Hydrographic Surveys dan SNI

(Standar Nasional Indonesia).

1.7.7.1 IHO Standards Of Hydrographic Surveys

IHO Standards Of Hydrographic Surveys merupakan standardisasi yang

dikeluarkan oleh IHO (International Hydrography Organization). IHO adalah

organisasi teknis internasional yang bertugas untuk mengkoordinir aktifitas-aktifitas

Dinas Hidrografi Nasional negara-negara anggotanya. IHO pada awalnya didirikan

pada 1921 sebagai Biro Hidrografi Internasional (IHB). IHO telah menerbitkan

serangkaian standardisasi yang telah dikembangkan, salah satunya IHO Standards Of

Hidrographic Surveys SP-44. Standardisasi ini digunakan membantu meningkatkan

keselamatan navigasi.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, maka dilakukan

beberapa revisi terhadap IHO SP-44 sehingga IHO sendiri telah menerbitkan 5 edisi

yaitu pada tahun 1968, 1982, 1987, 1998, daan 2008. IHO Standards Of

Hydrographic Surveys SP-44 tahun 2008 adalah standardisasi terbaru yang telah

diperbaharui terkait dengan membuat panduan yang lebih jelas mengenai fitur dasar

laut yang cukup mengkahawatirkan, termasuk kemampuan sistem untuk mendeteksi

fitur dan karakteristik fitur untuk dideteksi seperti teknologi multibeam dan LIDAR

(Anonim, 2008).

1.7.7.2 SNI (Standar Nasional Indonesia)

Indonesia sebagai negara kepulauan yang mayoritas wilayahnya terdiri dari

perairan memiliki suatu acuan atau pedoman bagi seluruh pelaksana survei hidrografi

untuk pemetaan dasar laut. Acuan tersebut adalah SNI 7646-2010 untuk bidang

survei hidrografi. SNI 7646-2010 dikeluarkan oleh BSNI (Badan Standardisasi

21

Nasional Indonesia) yaitu lembaga yang bertugas membuat standardisasi nasional di

Indonesia.

SNI 7646-2010 merujuk pada IHO Standards Of Hydrographic Surveys karena

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi anggota dari IHO. Dalam SNI

ini hanya dibahas mengenai SNI survei hidrografi dengan menggunakan peralatan

singlebeam echosounder. Pemilihan metode singlebeam echosounder karena metode

ini paling banyak digunakan di Indonesia pada saat ini. SNI 7646-2010 menetapkan

ketentuan dan prosedur survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder

yang meliputi ketentuan-ketentuan, prosedur pelaksanaan survei hidrografi,

pengolahan data, penyimpanan dan penyajian data, dan pelaporan hasil survei

hidrografi.

1.7.8 Uji Kualitas Hasil Data Pemeruman

Acuan yang digunakan untuk menentukan batas toleransi kesalahan nilai beda

kedalaman yaitu IHO SP 44 tahun 2008 dan SNI 7646-2010 dengan tingkat

kepercayaan 95%. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung batas toleransi

tersebut dapat dilihat pada rumus I.8 :

± 𝑎2 + (𝑏 𝑥 𝑑)2……...…………………...……………...……………………(I.8)

Keterangan :

a : kesalahan independen

b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen

d : kedalaman rata-rata

(bxd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan

kedalaman yang dependen).

Nilai a dan b dalam persamaan I.8 tersebut disesuaikan dengan orde survei

yang dilakukan seperti yang tercantum pada tabel I.3.

Tabel I.3. Standard ketelitian kedalaman

Orde Spesial 1a 1b 2

Konstanta a=0.025 m a=0,5 m a=0,5 m a=1,0 m

b=0,075 b=0,013 b=0,013 b=0,023

(Sumber: IHO SP-44 Tahun 2008)

22

Uji ini dilakukan dengan mengansumsikan bahwa Hlu (kedalaman lajur utama)

nilainya sama dengan Hls (kedalaman lajur silang) yang saling berpotongan. Adapun

lebih lanjut disajikan pada persamaan (I.9) sampai dengan persamaan (I.13)

(Widjajanti, 2011) seperti berikut :

a. Hlu = Hls = H……...………………………………………..….….…….(I.9)

b. µU – µS = δ……...………………...……….…………………………..(I.10)

c. Mean error :

H = 1

𝑛 (𝐻𝑙𝑢 − 𝐻𝑙𝑠)……...………...……….…………...…………....(I.11)

d. Standard deviation :

Sh = ±

(𝐻𝑖−𝐻)23 0𝑖=1

𝑛−1……...……...……..…………...…………....(I.12)

Keterangan :

Hlu : kedalaman lajur utama

Hls : kedalaman lajur silang

H : Nilai true value (beda kedalaman yang sebenarnya = 0)

Hi : Beda nilai kedalaman lajur utama dan lajur silang

Sh : Standar deviasi

δ : Selisih kedalaman

Uji kualitas ini dilanjutkan dengan menghitung nilai kesalahan data beda

kedalaman dengan tingkat kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP-44 tahun

2008 yaitu sebesar 1,96xσ. Jika nilai kesalahan data beda kedalaman masih dalam

batas toleransi kedalaman yang diperoleh dengan rumus I.8, maka kualitas sampel

data kedalaman masuk dalam toleransi yang merujuk pada IHO SP-44 tahun 2008.

Sedangkan jika nilai kesalahan data beda kedalaman diluar batas toleransi

kedalaman, maka kualitas sampel data kedalaman tidak masuk dalam toleransi.

1.7.9 Uji Perbandingan Hasil Data Pemeruman

Pada tahap ini yaitu membandingkan data hasil pengukuran batimetri

menggunakan alat Echosounder ODOM Hydrotrac II dan Fish Finder GARMIN

MapSounder 178 C dengan cara melihat nilai mean error, standard deviation, dan

23

nilai to dari keseluruhan sampel data kedalaman. Adapun rumus untuk menghitung

nilai mean error, standard deviation, dan nilai to terdapat pada persamaan (I.11),

(I.12), dan (I.13) (Widjajanti, 2011).

Uji perbandingan data kedalaman ini menggunakan uji statisitik sampling kecil

dengan sampel berpasangan dengan menggunakan tabel T-student test. Berdasarkan

hasil to dapat diketahui apakah data kedalaman hasil pengukuran masuk dalam

toleransi atau tidak dengan tingkat kepercayaan 95% (±1,96).

to = (𝐻𝑖−𝐻)

𝑆ℎ/√𝑛……...………………….………………...…………....(I.13)

Hipotesis :

a. Ho ; µ1 = µ2 atau µ1 - µ2 = δ

b. HI ; µ1 ≠ µ2 atau µ1 - µ2 ≠ δ

Sehingga :

a. Ho ditolak, jika to > +1,96 atau to < -1,96

b. Ho diterima, jika to -1,96 < to < +1,96

Keterangan :

H : Nilai true value (beda kedalaman = 0)

Hi : Beda nilai kedalaman hasil pengukuran ODOM dan Fish Finder

δ : Selisih kedalaman

1.7.10 Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178C

Fish Finder Garmin MAP Sounder 178 C adalah alat jenis fish finder yang

dipadukan dengan teknologi GPS sehingga posisi suatu objek yang direkam dapat

diketahui. Biasanya Fish Finder Garmin MAP Sounder 178 C digunakan untuk

mencari posisi ikan dan mengukur kedalaman dalam rangka mengetahui kondisi

topografi dasar laut dengan menampilkan kontur kedalaman secara rinci. Alat ini

dirancang khususnya untuk perairan dangkal dan tidak terlalu luas seperti waduk,

danau, dan sungai. Biaya yang dikeluarkan untuk alat ini pun cenderung lebih murah.

Fish Finder Garmin MAP Sounder 178 C sendiri mengkombinasikan antara sistem

echosounder dan sistem sonar aktif sehingga posisi ikan dapat ditampilkan pada

media layar berupa Liquid Crystal Display maupun layar Cathode Ray Tube

(Mahbub, 2011).

24

Dalam pendeteksian ikan digunakan sistem hidroakustik yang memancarkan

sinyal akustik secara vertikal yang disebut Fish Finder (Burczynski, 1986). Pulsa

gelombang yang dipancarkan dari transmitter diubah menjadi gelombang suara oleh

transducer dan kemudian dipancarkan ke dalam air. Ketika gelombang suara

mengenai obyek di dalam air seperti ikan, maka gelombang tersebut dipantulkan

kembali menurut komposisi, ukuran, dan bentuk obyek tersebut. Obyek yang terkena

gelombang suara tersebut dapat terlihat di layar karena gelombang suara yang

dipantulkan ditangkap kembali oleh transducer yang diubah menjadi sinyal elektrik

dan diperjelas pada receiver, diolah dan ditampilkan ke dalam layar. Kedalaman

obyek yang dikenai gelombang suara dapat ditentukan dengan adanya nilai

kecepatan gelombang suara pada medium air yang berkisar 1500 m/dt dan waktu

tempuh antara gelombang dipancarkan dan diterima kembali oleh receiver.

Keakuratan hasil yang muncul pada layar tampilan tergantung kepada frekuensi dan

kekuatan transmisi (Poerbandono, dkk., 2005).

Teknologi GPS yang terdapat pada alat ini merupakan receiver tipe navigasi

dengan penentuan posisi secara absolut, tetapi alat ini dilengkapi dengan fasilitas

RTCM 104 DGPS sebagai koreksi dan output. Fasilitas ini berguna untuk melakukan

koneksi terhadap stasiun atau satelit yang dapat mengirimkan koreksi, misalnya

CORS dan OMNISTAR sehingga proses penentuan posisi selanjutnya tidak lagi

secara absolut melainkan secara differential. Gambar Fish Finder GARMIN

MapSounder 178 C dapat dilihat pada Gambar I.7.

Gambar I.7. Fish Finder GARMIN MapSounder 178 C

Sumber : http://www.indonetwork.co.id

25

Manfaat dari alat Fish Finder adalah (Anonim, 2013) :

a. Dapat mengetahui daerah diduga mempunyai kelimpahan/kepadatan ikan

yang tinggi.

b. Memberikan informasi kepada nelayan setempat sekaligus mengevaluasi

kinerja unit penangkapan yang digunakan sehingga dapat dihasilkan hasil

tangkapan yang optimum.

c. Memberikan informasi kepada pelayaran agar terhindar dari bahaya-bahaya

kapal kandas dikarenakan dangkalnya suatu perairan.

d. Dapat mempermudah unit penelitian laut beserta sumberdaya laut tersebut.

1.7.11 Echosounder ODOM Hydrotrac II

Echosounder Odom Hydrotrac II khusus dirancang untuk wahana kapal yang

berukuran kecil dan kondisi kapal yang keras. Alat ini digunakan untuk mendapatkan

profil kedalaman yang kontinyu sepanjang lajur perum dengan ketelitian yang cukup

baik. Sistem Echosounder ODOM Hydrotrac II biasanya terdiri dari catu daya,

seperangkat perekam data, transducer (pemancar) dan hidrofon (penerima).

Transducer memancarkan pulsa akustik dengan frekuensi tertentu menuju ke dasar

perairan secara tegak lurus, kemudian pulsa tersebut dipantulkan kembali dan

diterima oleh hidrofon. Alat ini khusus dirancang untuk wahana kapal yang

berukuran kecil dan kondisi kapal yang keras. Echosounder ODOM Hydrotrac II

juga dilengkapi dengan GPS internal yang digunakan untuk penentuan posisi dan

display yang menampilkan printer chart paper. Paper yang digunakan adalah thermal

paper, dimana display chart paper ini menampilkan gambaran profil dasar perairan

yang dikonversi dari data kedalaman (Septiyadi, 2013).

Echosounder ODOM Hydrotrack II dilengkapi dengan GPS (Global

Positioning System), sehingga posisi titik fix perum dapat diketahui. Odom

Hydrotrack II menggunakan metode gelombang akustik dalam melakukan akuisisi

data. (Septiyadi, 2013). Untuk prinsip kerja alat ini sama dengan Fish Finder

GARMIN MAP Sounder 178 C. Gambar Echosounder ODOM Hydrotrack II dapat

dilihat pada Gambar I.8.

26

I.8 Hipotesis

Hipotesis berdasarkan penelitian yang akan dilakukan adalah secara statistik

alat Fish Finder GARMIN MAP Sounder 178C dan Echosounder ODOM Hydrotrac

II akan memberikan ketelitian (presisi) yang berbeda.

Gambar I.8. Echosounder Odom Hydrotrack II

Sumber : http://www.hydro-international.com