pemeriksaan telinga
DESCRIPTION
PEMERIKSAAN TELINGATRANSCRIPT
1. PEMERIKSAAN TELINGA
Lakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada kelainan bentuk telinga,
tanda-tanda peradangan, tumor, dan sekret yang keluar dari liang telinga.
Pengamatan dilakukan pada daun telinga bagian depan dan belakang. Setelah
mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi pada telinga, apakah ada nyeri
tekan pada anak telinga/tragus, nyeri tarik aurikula/daun telinga, atau tanda-tanda
pembesaran kelenjar pre- dan post-aurikuler.
Pemeriksaan liang telinga dan membran timpani/gendang telinga dilakukan
dengan memposisikan liang telinga sedemikian rupa agar diperoleh aksis liang
telinga yang sejajar dengan arah pandang mata, sehingga keseluruhan liang telinga
sampai permukaan membran timpani dapat terlihat. Posisi ini dapat diperoleh
dengan menjepit daun telinga dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah dan
menariknya ke arah superior-dorso-lateral dan mendorong tragus ke anterior
dengan menggunakan jari telunjuk. Cara ini dilakukan dengan tangan kanan bila
akan memeriksa telinga kiri dan sebaliknya digunakan tangan kiri bila akan
memeriksa telinga kanan.
Gambar 35. Otoskop
Pada kasus-kasus di mana kartilago daun telinga agak kaku atau kemiringan liang
telinga terlalu ekstrim, dapat digunakan bantuan spekulum telinga yang
disesuaikan dengan besarnya diameter liang telinga. Spekulum telinga dipegang
dengan menggunakan tangan yang bebas.
Amati liang telinga dengan seksama apakah ada stenosis atau atresia meatal,
obstruksi yang disebabkan oleh sekret, jaringan ikat, benda asing, serumen
obsturan, polip, jaringan granulasi, edema, atau furunkel. Semua sumbatan ini
sebaiknya disingkirkan/dibersihkan terlebih dulu jika memungkinkan agar
membran timpani dapat terlihat jelas. Amati pula dinding liang telinga untuk
menilai ada atau tidaknya laserasi. Liang telinga dibersihkan dari sekret dengan
menggunakan aplikator kapas, bilas telinga, atau dengan mesin penghisap/suction
pump.
Gambar 36. Penggunaan otoskop
Pengamatan terhadap membran timpani dilakukan dengan memperhatikan
permukaan membran timpani, warna, ada tidaknya perforasi, refleks cahaya,
struktur telinga tengah yang terlihat pada permukaan membran seperti manubrium
mallei, prosesus brevis, serta plika maleolaris anterior dan posterior. Untuk
mengetahui mobilitas membran timpani digunakan oto-pneumoskop.
PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN
Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi pendengaran. Salah
satu tes yang biasa digunakan di klinik adalah tes bisik dan tes garpu tala. Tes ini
selain mudah dilakukan, tidak rumit, cepat, alat yang dibutuhkan sederhana, juga
memberikan informasi yang cukup mengenai jenis dan derajat kurangnya
pendengaran.
Tes Bisik
Tes ini amat penting bagi dokter umum, terutama yang bertugas di Puskesmas,
karena peralatan untuk keperluan tes fungsi pendengaran masih sangat terbatas.
Persyaratan yang perlu diingat dalam melakukan tes ini ialah:
a. Ruangan untuk tes
Salah satu sisi atau sudut-menyudut ruangan harus ada jarak sebesar 6 meter.
Ruangan harus bebas dari kebisingan. Untuk menghindari gema di ruangan
dapat ditaruh kayu di dalamnya.
b. Pemeriksa
Sebagai sumber bunyi harus diucapkan kata-kata dengan menggunakan
ucapan kata-kata sesudah ekspirasi normal. Kata-kata yang dibisikkan terdiri
dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri dari kata-kata sehari-hari yang mudah
dikenal, seperti nama benda dan nama kota. Setiap suku kata diucapkan
dengan tekanan yang sama. Untuk memeriksa nada rendah dipakai kata yang
mengandung huruf vokal, sedangkan untuk nada tinggi digunakan konsonan
suara berdesis. Di pusat pendidikan sudah tersedia daftar kata untuk
pemeriksaan fungsi pendengaran.
a. Pasien
Telinga yang akan diperiksa dihadapkan kepada pemeriksa dan telinga yang
tidak diperiksa harus ditutup rapat dengan kapas yang dipadatkan atau oleh
jari tangan si pasien sendiri. Pasien tidak boleh melihat gerakan mulut
pemeriksa.
Cara Pemeriksaan:
Sebelum melakukan pemeriksaan, pasien harus diberi instruksi yang jelas,
misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus diulangi
dengan suara yang jelas dan cukup keras. Kemudian dilakukan tes sebagai berikut:
Mula-mula pasien pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic. Bila tidak
menyahut, pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari pasien) dan tes ini dimulai lagi.
Bila masih belum menyahut, pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai pasien dapat mengulangi 8 kata dari 10 kata yang dibisikkan. Jarak di
mana pasien dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan disebut jarak pendengaran.
Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan
satu jarak pendengaran.
Evaluasi tes:
a. 6 meter – normal
b. 5 meter – dalam batas normal
c. 4 meter – tuli ringan
d. 2-3 meter – tuli sedang
e. ≤1 meter – tuli berat
Tes bisik ini dapat digunakan untuk memeriksa secara kasar derajat kurangnya
pendengaran (kuantitas). Bila sudah berpengalaman, tes bisik dapat pula secara
kasar memeriksa tipe ketulian, misalnya:
a. Tuli konduktif sukar mendengar bunyi huruf lunak seperti n, m, w (meja
dikatakan becak, gajah dikatakan kaca, dan lain-lain).
b. Tuli sensorineural sukar mendengar bunyi huruf tajam yang umumnya
berfrekuensi tinggi seperti s, sy, c, dan lain-lain (cicak dikatakan tidak, kaca
dikatakan gajah, dan lain-lain).
Tes Garpu Tala
Tes ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala dengan
frekuensi 2048 Hz,1024 Hz, 512 Hz, 256 Hz, dan 128 Hz. Keuntungan tes garpu
tala ialah dapat diperoleh dengan cepat gambaran fungsi pendengaran pasien.
Kekurangannya ialah tidak dapat ditentukan besarnya intensitas bunyi karena
tergantung cara menggetarkan garpu tala yaitu makin keras tempat untuk
menggetarkan garpu tala makin keras pula intensitas suara yang didengar. Getaran
garpu tala dapat dilakukan dengan cara memukulkan ujung garpu tala pada telapak
tangan kita atau dengan cara menekan kedua ujung garpu tala ke arah dalam
kemudian dilepaskan.
Terdapat tiga macam tes garpu tala, yaitu: (1) tes Weber; (2) tes Rinne; dan (3) tes
Schwabach.
Tes Weber
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan.
Pada telinga normal, hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
Cara Pemeriksaan:
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah digetarkan diletakkan pangkalnya
pada dahi atau vertex. Pasien ditanya apakah mendengar suara dengung garpu
tala atau tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana suara
didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di telinga kanan disebut
lateralisasi ke kanan.
Interpretasi Hasil Tes Weber:
Bila terjadi lateralisasi ke kanan, maka ada beberapa kemungkinan:
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensorineural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensorineural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensorineural, kiri lebih berat
Dengan kata lain, tes Weber tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena tidak dapat
menegakkan diagnosis secara pasti.
Gambar 38. Tes Weber
Tes Rinne
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara
pada satu telinga. Pada telinga normal, hantaran udara lebih panjang daripada
hantaran tulang, juga pada tuli sensorineural hantaran udara lebih panjang
daripada hantaran tulang. Di lain pihak, pada tuli konduktif hantaran tulang
lebih panjang daripada hantaran udara.
Cara Pemeriksaan:
Ujung garpu tala 256 Hz atau 512 Hz digetarkan pada telapak tangan kemudian
pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum telinga yang akan diperiksa.
Kepada pasien ditanyakan apakah mendengar suara garpu tala, kemudian
diinstruksikan agar mengangkat tangan bila suara sudah tidak terdengar. Segera
setelah pasien mengangkat tangan, garpu tala dipindahkan hingga ujung
bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga
yang diperiksa. Bila pasien masih mendengar, dikatakan tes Rinne (+). Bila
tidak mendengar, dikatakan tes Rinne (-).
Interpretasi Hasil Tes Rinne:
Tes Rinne (+) berarti normal atau tuli sensorineural. Tes Rinne (-) berarti tuli
konduktif.
Tes Rinne (-) Palsu
Dalam melakukan tes Rinne, harus selalu hati-hati dengan apa yang dikatakan
tes Rinne (-) palsu. Hal ini terjadi pada tuli sensorineural yang unilateral dan
berat. Pada waktu meletakkan garpu tala di planum mastoideum getarannya
ditangkap oleh telinga yang baik dari sisi yang tidak diperiksa (cross hearing).
Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan meatus akustikus eksternus
getaran tidak terdengar lagi sehingga dikatakan tes Rinne (-).
Gambar 39. Tes Rinne
Tes Schwabach
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari pasien dengan
hantaran tulang pemeriksa, dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus
normal.
Cara Pemeriksaan:
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah digetarkan pada telapak tangan,
kemudian pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum pasien. Kemudian
kepada pasien ditanyakan apakah mendengar dengungan garpu tala, sesudah itu
diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar
dengungan. Bila pasien mengangkat tangan, garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan, apakah pemeriksa masih mendengar (dikatakan tes
Schwabach memendek) atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila
pemeriksa tidak mendengar, harus dilakukan cross-check, yaitu garpu tala
digetarkan lagi, mula-mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa
kemudian bila pemeriksa sudah tidak mendengar barulah garpu tala segera
dipindahkan ke planum mastoideum pasien dan ditanyakan apakah pasien
masih mendengar dengungan. Bila pasien tidak mendengar lagi, dikatakan tes
Schwabach normal dan bila masih mendengar dikatakan tes Schwabach
memanjang.
Interpretasi Hasil Tes Schwabach:
1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli sensorineural.
2. Schwabach memanjang berarti pasien masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif.
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan pasien sama-sama tidak
mendengar dengungan, karena telinga pemeriksa normal berarti telinga
pasien normal juga.
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan
pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan
terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada
membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu
ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di
telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan
di belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang
purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah,
seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada
membrane timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan
ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat
sedang sampai berat.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,
status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula,lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas,
disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada
bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang
atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status
imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-
laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native
American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi
dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi
juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang
terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan
tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita
OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA
juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah
terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi
akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus
(Kerschner, 2007).