pemeriksaan pajak properti

9
Pemeriksaan Pajak Properti Rampung Bulan Depan Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany. TEMPO/Jacky Rachmansyah TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berjanji pemeriksaan pajak sektor properti akan rampung pada Oktober mendatang. Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan pihaknya akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) setelah semua pemeriksaan selesai. Namun, Fuad tidak mau merinci berapa SKP yang akan diterbitkan dan potensi pendapatan dari hasil pemeriksaan tersebut. "Saya tidak mau memprediksi," katanya di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin, 23 September 2013. Fuad mengatakan, pemeriksaan pajak dari sektor properti tersebut dilakukan di seluruh wilayah Indonesia . Sebagian besar, kata dia, terdapat di Pulau Jawa dan Bali. "Semuanya kami periksa. Mereka (para pengembang) dan masyarakat tidak protes saat kami lakukan pemeriksaan," kata Fuad. Sebelumnya, Ditjen Pajak menyatakan akan memeriksa ribuan perusahaan properti karena diduga melakukan praktek nakal karena memperhitungkan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), bukan dari harga jual properti yang sebenarnya. Padahal, sesuai aturan pajak perhitungan pajak penghasilan perusahaan properti, yakni lima persen dari pendapatan kotor

Upload: ukie-sandoro

Post on 21-Feb-2016

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pemeriksaan Pajak

TRANSCRIPT

Page 1: Pemeriksaan Pajak Properti

Pemeriksaan Pajak Properti Rampung Bulan Depan

Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany. TEMPO/Jacky Rachmansyah

TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berjanji pemeriksaan pajak sektor properti akan rampung pada Oktober mendatang. Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan pihaknya akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) setelah semua pemeriksaan selesai.

Namun, Fuad tidak mau merinci berapa SKP yang akan diterbitkan dan potensi pendapatan dari hasil pemeriksaan tersebut. "Saya tidak mau memprediksi," katanya di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin, 23 September 2013.

Fuad mengatakan, pemeriksaan pajak dari sektor properti tersebut dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar, kata dia, terdapat di Pulau Jawa dan Bali. "Semuanya kami periksa. Mereka (para pengembang) dan masyarakat tidak protes saat kami lakukan pemeriksaan," kata Fuad.Sebelumnya, Ditjen Pajak menyatakan akan memeriksa ribuan perusahaan properti karena diduga melakukan praktek nakal karena memperhitungkan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), bukan dari harga jual properti yang sebenarnya.

Padahal, sesuai aturan pajak perhitungan pajak penghasilan perusahaan properti, yakni lima persen dari pendapatan kotor dan pajak pertambahan nilai 10 persen. Pendapatan kotor yang dimaksud adalah harga jual sebenarnya dari tiap unit properti. "Banyak juga Wajib Pajak orang pribadi yang membeli apartemen Rp 800 juta, tapi di aktenya ditulis Rp 300 juta," kata Fuad beberapa waktu lalu.

Dalam perhitungan Ditjen Pajak saat pembahasan APBN Perubahan 2013, potensi dari sektor real estate bisa mencapai Rp 30 triliun. Angka itu didapat dari selisih transaksi penjualan sektor properti rumah mewah yang pada 2012 mencapai Rp 427,5 triliun. Namun, yang dilaporkan oleh pengembang hanya Rp 125 triliun karena menghitung pajak sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP).

Padahal, penghitungan pajak seharusnya dilakukan sesuai dengan transaksi rill penjualan

Page 2: Pemeriksaan Pajak Properti

karena harga NJOP jauh di bawah nilai jual sebenarnya. Sehingga, Direktorat Pajak hanya mendapat Rp 12,5 triliun dari 10 persen PPN yang dikenakan yang seharusnya bisa mencapai Rp 42,7 triliun.

Pemerintah Kaji Aturan Pajak Minuman Beralkohol Rabu, 25 September 2013 | 17:46 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai tengah mengkaji pengenaan aturan pajak baru untuk minuman beralkohol. Pajak minuman beralkohol yang tadinya dikenakan tarif pajak spesifik nantinya dipertimbangkan untuk menggunakan tarif ad volarem.

"Kami sedang diminta pak Menteri Keuangan untuk mengkaji penggunaan tarif ad volarem, supaya lebih adil," ujar Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepeabeanan Cukai Direktorat Jenderal Pajak, Susiwiyono dalam diskusi bertema 'Optimalisasi Penerimaan Negara: Aspek Pajak dan Cukai' di Wisma Kodel, Rabu, 25 September 2013.

Susiwiyono menjelaskan, pengenaan tarif pajak spesifik yang berlaku saat ini dihitung berdasarkan besaran rupiah per satuan unit (liter atau botol). Itu artinya, setiap satu liter minuman beralkohol dengan merek apapun dikenakan tarif pajak yang sama. "Untuk pajak seperti ini dari sisi keadilan memang tidak adil, tapi dari sisi pemungutan lebih mudah,"katanya. Tarif pajak ad volarem dihitung berdasarkan presentase harga jual. Dengan aturan ini pajak yang dikenakan akan bertambah besar untuk minuman yang berharga mahal.

Namun, ia melanjutkan, dengan penerapan tarif tersebut dimungkinkan adanya moral hazard karena setiap petugas harus mengetahui persis harga masing-masing minuman."Bisa-bisa ada korupsi juga di situ, jadi, kita tidak bisa hanya mencari penerimaan tapi juga melihat pemungutan itu efektif atau tidak,"ujar Susiwiyono.

Selain perubahan struktur tarif, Ditjen Pajak dan Cukai juga tengah mengkaji kebijakan pengenaan cukai dari berbentuk pelunasan cukai -pengenaan cukai dihitung dari laporan produksi - ke pelekatan pita pajak seperti di rokok. Dengan begitu, produk rokok yang telah membayar pajak akan lebih mudah terdeteksi.

Page 3: Pemeriksaan Pajak Properti

Menurut Susiwiyono, rencana pengubahan tersebut dapat menambah potensi penerimaan pajak dari minuman beralkohol. Untuk diketahui, saat ini penerimaan pajak minuman beralkohol berada di kisaran Rp 3,5 triliun - Rp 4,5 triliun dari keseluruhan target penerimaan cukai sebesar Rp 104,7 triliun di tahun 2013.

Ia menungkapkan, di negara lain persentase penerimaan cukai minuman beralkohol bisa mencapai 10 persen dari total penerimaan cukai keseluruhan."Konsumsi minuman kita sangat tinggi tapi penerimaannya hanya maksimal 4,5 triliun, jadi, potensinya masih besar,"

Pajak UKM, Pedagang Retail Paling Terdampak   Minggu, 13 Januari 2013 | 20:34 WIB

TEMPO/Arie Basuki

TEMPO.CO, Jakarta - Pemberlakuan pajak bagi Usaha Menegah Kecil paling dirasakan pedagang-pedagang retail. "Kemungkinan mereka yang paling terdampak," ujar Pengamat Pajak, Dani Septriadi, saat dihubungi, Ahad, 13 Januari 2013.

Seperti diketahui, Pemerintah segera merilis Peraturan Pemerintah yang mengatur pajak untuk usaha beromzet Rp 0 - Rp 4,8 miliar. Pengusaha kecil dan menengah akan dikenakan pajak sebesar 1 persen setahun. Seharusnya, sesuai aturan pajak penghasilan, badan usaha kena pajak 25 persen dari profit, namun karena pengusaha kecil menengah belum memiliki pembukuan rinci tentang biaya dan keuntungan bersih, maka Pemerintah menyederhanakan perhitungan.

Tak semua pengusaha beromzet di kisaran itu kena pajak. Hanya yang telah memiliki tempat usaha permanen. Dani menilai tak ada yang salah dengan aturan ini. "Semua harus berkontribusi membayar pajak, jangan sampai ada pembedaan orang yang bisnis dan pegawai," ujarnya. Selama ini, pegawai tak bisa lari dari kewajiban pajaknya lantaran langsung dipotong perusahaan.

Page 4: Pemeriksaan Pajak Properti

Adapun soal kemudahan perhitungan pajak untuk segmen UKM, Dani menjelaskan, hal itu wajar dilakukan. Di negara lain pun ada kebijakan-kebijakan khusus bagi wajib pajak yang sulit untuk dipajaki. "Suatu yang biasa, karena daripada tak bayar sama sekali. Bagi wajib pajak yang bisa lakukan pembukuan silahkan menghitung dengan benar," ujarnya.

Direktorat Jenderal Pajak, menurut Dani, juga bisa mendorong para wajib-wajib pajak dari segmen UKM ini untuk membenahi pembukuan sehingga bisa mengikuti aturan yang normal secara bertahap.

Aturan ini, selain mengenalkan prinsip keadilan dan mendorong penerimaan pajak, juga punya dampak positif lain - memunculkan individu atau kelompok kritis baru yang mengawasi pemanfaatan pajak. "Masyarakat jadi tambah kritis terhadap APBN, ini jadi bagus. Misalnya, buat apa bayar pajak kalau cuma untuk subsidi," katanya.

Pelayanan Pajak Kendaraan Drive Thru Bertambah Senin, 17 Januari 2011 | 06:03 WIB

TEMPO/Panca SyurkaniTEMPO Interaktif, Jakarta - Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta melakukan terobosan untuk mendekatkan pelayanan pajak kepada wajib pajak. Terobosan itu dilakukan dengan membangun dua kantor pajak berkonsep drive thru--yang melayani wajib pajak dengan tetap menunggu di kendaraan.

Dua kantor pajak drive thru ini berada di Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Jakarta Timur, Jalan D.I. Panjaitan, dan Samsat Jakarta Utara, Jalan Gunung Sahari, yang

Page 5: Pemeriksaan Pajak Properti

bisa melayani pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). "Masing-masing di tempat itu ada dua loket, yaitu loket pendaftaran dan loket pembayaran," kata Iwan Setiawandi, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, kemarin.

Total tempat membayar pajak bermodel drive thru di Jakarta saat ini ada empat buah sejak 2009. Dua tempat sebelumnya sudah dibangun pada akhir 2009 di Samsat Jakarta Barat, Jalan Daan Mogot, dan kantor Samsat Jakarta Selatan di kawasan Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Iwan menerangkan, konsep drive thru ini sebenarnya sama saja dengan prosedur membayar pajak kendaraan bermotor biasa. Misalnya, sebelum melakukan pembayaran, warga harus menyiapkan dulu fotokopi buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB), surat tanda nomor kendaraan (STNK), kartu tanda penduduk (KTP), serta slip pajak. Hanya bedanya, prosesnya akan lebih cepat dan sederhana. "Kira-kira 15 menit-lah, tapi kalau tidak antre. Enaknya, pengendara bisa tetap di dalam mobil atau di atas sepeda motor."

Prosedurnya, Iwan melanjutkan, pengemudi kendaraan cukup membuka jendela kaca mobilnya dan mendatangi loket I untuk menyerahkan BPKB, STNK, dan KTP asli kepada petugas untuk melakukan input data. Selanjutnya, wajib pajak akan menuju loket II untuk membayar pajak yang sudah ditetapkan. "Yah, sama kayak McDonald's. Cara membelinya saja kan yang berbeda," tuturnya.

Terobosan ini dilakukan untuk mencapai target pendapatan pajak daerah yang ditetapkan dalam APBD DKI 2011, yaitu sebesar Rp 11,5 triliun, seperti dikutip dari laman Berita Jakarta. Sebelumnya, pada 2010, Dinas Pelayanan Pajak DKI juga telah melampaui target pendapatan sebesar Rp 11,65 triliun atau sekitar 110 persen dari target awal Rp 10,08 triliun.

Dengan konsep ini, wajib pajak tidak perlu datang lagi ke kantor pelayanan pajak untuk membayarkan PKB dan BBNKB. Patut diketahui, buat pemilik kendaraan yang belum balik nama--yang beli mobil bekas, misalnya--mereka harus melakukan balik nama dulu, baru bisa bayar di drive thru. "Tidak bisa langsung di sana," kata Iwan.

Page 6: Pemeriksaan Pajak Properti

Sensus Pajak Badan Usaha Tak Capai Target Rabu, 23 November 2011 | 15:38 WIB

TEMPO/Subekti

TEMPO Interaktif, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Ahmad Fuad Rahmany mengaku pesimistis sensus pajak nasional terhadap tempat-tempat usaha akan mencapai target. Sebelumnya Fuad menargetkan sensus bisa menggaet 1,5 juta wajib pajak baru.

"Banyak yang menolak didata oleh petugas sensus. Alasannya karena telah memiliki nomor pokok wajib pajak," ujar Fuad mengungkapkan perkembangan program sensus pajak kepada wartawan di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa malam, 22 November 2011.

Direktorat Jenderal Pajak akhirnya merevisi target wajib pajak baru dalam sensus yang diluncurkan Oktober lalu menjadi hanya 985 ribu wajib pajak. Namun turunnya target sensus diklaim tidak akan mempengaruhi target pendapatan pajak yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pemerintah menargetkan pendapatan pajak sebesar Rp 1.024 triliun, dengan rasio pajak sebesar 12,6 persen yang sebelumnya hanya dipatok 12,2 persen.

Pada tahun 2011 target pendapatan pajak sebesar Rp 878,685 triliun. "Sensus ini di luar target kami sebenarnya. Mudah-mudahan 2012 penerimaan pajak bisa tercapai," kata Fuad lagi.

Menurut dia, target sensus belum menggambarkan realitas di lapangan. Itu karena aparat pajak belum memiliki pengalaman melakukan sensus serupa sebelumnya.

Selain itu pihaknya juga menghadapi berbagai kendala teknis di lapangan. "Kami akan

Page 7: Pemeriksaan Pajak Properti

perbaiki, pelajari, dan evaluasi sistem serta cara kami kerja untuk perbaikan sensus 2012 mendatang," ujarnya.

Sebelumnya Kementerian Keuangan bersama Badan Pusat Statistik meluncurkan program sensus pajak. Pemerintah ingin meningkatkan jumlah pembayar pajak.

Dari 238 juta penduduk Indonesia, sekitar 44 juta orang dianggap layak membayar pajak. Tapi dari jumlah itu hanya 8,5 juta orang yang memenuhi kewajibannya.

Selain itu, saat ini tercatat ada 22,6 juta badan usaha, baik yang berdomisili tetap maupun tidak. Namun hanya 466 ribu badan usaha yang membayar pajak.

Pemerintah sendiri menargetkan dengan sensus pajak ada kenaikan wajib pajak sampai dua kali lipat. "Ini kan pengalaman pertama. Kami akan lakukan sebaik mungkin di 2012," katanya.