pemeriksaan lab lupus

Upload: aduhbingung

Post on 08-Jul-2015

580 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama. Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit. Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.

Epidemiologi Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1 karena wanita punya respon antibodi yang lebih cepat, , umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun. Seelain itu, wanita yang mengonsumsi estrogen oral / hormon pengganti estrogen punya risiko 1,2-2 kali lebih tinggi untuk terkena SLE Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya. Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih. SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras AfrikaAmerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh. Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata lupus dalam bahasa Latin berarti serigala, erythro berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly shaped malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan Loup,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau wolf dalam bahasa Inggris. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Etiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia termal). reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001) Ultraviolet B light Hormon sex rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1 Faktor diet Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats. Faktor Infeksi DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;

Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a; Interferon-a.

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: Infeksi Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin) Sinar ultraviolet Stres yang berlebihan Obat-obatan tertentu Hormon.

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui. Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu : 1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. 2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. Faktor Resiko terjadinya SLE 1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. 3. Sinar UV Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah 4. Imunitas Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T 5. Obat Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat: dilantin, penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin 6. Infeksi Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadangkadang penyakit ini kambuh setelah infeksi 7. Stres Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.

Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. 1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun. 2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis. Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus. Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. 2,4 Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

Diagnosis Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA, 1997). Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria dibawah ini :

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology). (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005) No 1 Kriteria Bercak malar Definisi Eritema datar atau menimbul yang menetap berbatas tegas di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar) 2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut

(butterfly rash)

atrofi 3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau

pemeriksaan fisik 4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri. Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan 5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi 6 Serositif a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik. atau b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik 7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan. atau b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran 8 Gangguan saraf Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit) 9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat 10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema 11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% spesifisitas

Gejala Gejala dari penyakit lupus: - demam - lelah - merasa tidak enak badan - penurunan berat badan

- ruam kulit - ruam kupu-kupu - ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari - sensitif terhadap sinar matahari - pembengkakan dan nyeri persendian - pembengkakan kelenjar - nyeri otot - mual dan muntah - nyeri dada pleuritik - kejang - psikosa. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - hematuria (air kemih mengandung darah) - batuk darah - mimisan - gangguan menelan - bercak kulit - bintik merah di kulit - perubahan warna jari tangan bila ditekan - mati rasa dan kesemutan - luka di mulut - kerontokan rambut - nyeri perut - gangguan penglihatan.

Manifestasi Klinis Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan

remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. A. Gejala Konstitusional Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. B. Gejala Muskuloskeletal Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

C. Gejala Mukokutan Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE. 1). Lesi Kulit Akut Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

2).

Lesi Kulit Sub Akut Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3).

Lesi Diskoid Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.

4). Livido Retikularis Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. 5). Urtikaria Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. D. Kelainan pada Ginjal Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah : (1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis (2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis (3) Kelas III: focal lupus nephritis (4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis (5) Kelas V: membranous lupus nephritis (6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang

sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. E. Serositis (pleuritis dan perikarditis) Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. F. Pneuminitis Interstitial Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut. G. Gastrointestinal Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat. H. Hati dan Limpa Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal. I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. J. Susunan Saraf Tepi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara. K. Susunan Saraf Pusat Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk

mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus. L. Hematologi Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis

trombositopenia, dan lekopenia. M. Fenomena Raynaud Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan. Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi

antinuclear (ANA), Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid, antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada. Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA 1. Pemeriksaan Autoantibodi Prevalensi, Antigen yang % Antinuclear antibodies (ANA) 98 Dikenali Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE Anti-dsDNA 70 DNA (doublestranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis. Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American Clinical Utility

Antibody

dan Asia dibanding Kaukasia. Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNA Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE. Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis. Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin) Antiphospholipid 50 Phospholipids,2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2G1, sensitive Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia. Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis. Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet. Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE Antineuronal (termasuk antiglutamate receptor) Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS Tabel : Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzymelinked immunosorbent assay. 60 Neuronal dan Pada beberapa hasil

permukaan antigen positif terkait dengan limfosit lupus CNS aktif.

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk antidsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis 2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. Ruam kulit atau lesi yang khas Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein

Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah Biopsi ginjal Pemeriksaan saraf.

Komplikasi Komplikasi LES pada anak meliputi:

Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru kronik (31%) Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen (25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeleta (9%) Gangguan fungsi gonad (3%).

Penatalaksanaan Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi penyakit menahun, atau kematian yang cepat. Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi: Kelompok Ringan Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan, dan sakit kepala Kelompok Berat Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.

Penatalaksanaan Umum : Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup Hindari Merokok Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi Hindari stres dan trauma fisik Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00 Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. 1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. 2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB. 3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.

Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ; 1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial 2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi, 3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.

Lupus diskoid Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.

Serositis lupus (pleuritis, perikarditis) Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.

Arthritis lupus Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin).

Miositis lupus Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 23 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang

digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.

Fenomena Raynaud Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

Lupus nefritis Kelas I Kelas II : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan necrotizing. Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison. Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml). Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. DPGN, khususnya bila ada lesi focal

Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.

Gangguan hematologis Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.

Pneumonitis interstitialis lupus Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.

Penatalaksanaan Medikamentosa : Untuk SLE derajat Ringan; Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan. Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid. Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan

Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata Untuk SLE derajat berat; Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena. Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada

kortikosteroid dosis tinggi. Pengobatan Pada Keadaan Khusus Anemia Hemolitik Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan Trombositopenia autoimun Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut Perikarditis Ringan Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari Perkarditis Berat Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari Miokarditis Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan siklofosfamid

Efusi Pleura Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase Lupus Pneunomitis Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu Lupus serebral Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturutturut

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES 1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat (maksimal 400 mg/hari) 2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu. 3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari. 4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs) Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari Diclofenac < 12 tahun : tak dianjurkan > 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari 6-12 bulan : 540 mg/hari 1-10 bulan : 800 mg/hari 11-18 bulan : 1200 mg/hari Calcifediol < 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu 6. Anti-hipertensi Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam. Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4

PROGNOSIS Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.

Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat. Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat

administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit kompleks. LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

BAB III KASUS

1. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Pendidikan Agama Tgl masuk RSMS Tgl pemeriksaan : Ny. W : 34 tahun : Perempuan : Sawangan 3/1, Kebasen : buruh : SMP : Islam : 7 April 2011 : 14 April 2011

2. ANAMNESIS (Autoanamnesis) a. Keluhan utama b. Keluhan tambahan : Badan pegal-pegal : lemas, nafsu makan menurun, mual, BB menurun,

sariawan di mulut, rambut rontok. c. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Poliklinik penyakit dalam RSMS dengan keluhan badan terasa pegal-pegal sejak 1 tahun yang lalu. Pegal-pegal yang dirasakan pasien terutama pada sendi-sendi lutut, pergelangan tangan, siku dan telapak kaki. Keluhan tersebut dirasakan semakin lama semakin memberat terutama 6 bulan terakhir ini dan mengganggu aktivitas. Beberapa kali pasien mengkonsumsi obat pegal linu yang dibeli diwarung untuk mengurangi pegal-pegal tersebut. Pasien juga mengeluh badan menjadi sangat lemas, badan lemas dirasakan di seluruh badan secara tiba-tiba oleh pasien sampai mengganggu aktivitas dan diikuti dengan sakit kepala, mual, dan tidak ada nafsu makan, sehingga berat badan pasien semaki hari semakin menurun. Berat badan pasien menurun 18kg selama 1 tahun terakhir.

Pasien juga mengeluhkan sariawan yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sariawan semakin banyak dan tidak sembuh-sembuh. Keluhan tersebut disertai dengan nyeri telan dan mual. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam naik turun. Demam dengan suhu yang tidak begitu tinggi dan tidak menggigil. Demam dirasa berkurang jika minum obat penurun panas. Pasien mengeluh rambut rontok, setiap harinya sekitar 300 helai rambut pasien rontok. Selain itu pasien juga merasa bahwa rambutnya mudah dicabut. Kurang lebih, 6 bulan yang lalu pasien pernah mengalami bercak bercak kemerahan yang timbul di wajah terutama sekitar hidung dan pipi serta di badan yang didominasi di daerah siku dan lutut yg sekarang masih berbekas berupa bercak kehitaman. d. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat kencing manis Riwayat hipertensi Riwayat penyakit hati Riwayat penyakit jantung Riwayat penyakit ginjal Riwayat penyakit paru Riwayat alergi Riwayat penggunaan obat-obatan : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat kencing manis Riwayat hipertensi Riwayat penyakit ginjal Riwayat penyakit hati Riwayat penyakit jantung Riwayat penyakit paru : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

f. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien dan suami sudah lama tinggal di kebasen. Pasien tinggal di rumahnya sendiri di daerah pemukiman padat penduduk, yang mana terdapat ruang tamu, dapur, kamar mandi dan 3 buah kamar. Rumah pasien terbuat dari batu bata, lantai rumah pasien belum dikeramik hanya diplester dengan semen. Disekitar tempat tinggal pasien tidak terdapat pabrik maupun tempat pembuangan limbah.. Ventilasi rumah pasien kurang dan pencahayaannya kurang. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan pasien bahwa rumahnya terlihat gelap walaupun di siang hari. Pasien bekerja sebagai buruh. Pasien sudah menikah selama 15 tahun dan mempunyai 2 orang anak. Pasien mengaku hubungan antara pasien dan suaminya harmonis. Suami pasien bekerja sebagai tukang ojek. Ekonomi keluarga tergolong menengah kebawah yang mana pendapatan sehari-hari hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya. Sehingga dalam masalah kesehatan pasien tidak terlalu memperhatikan karena biaya yang tidak ada.

3. PEMERIKSAAN FISIK. Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Sedang, kooperatif : Compos Mentis : T : 120/80 mmHg R : 20 x/menit N : 78 x/menit S : 36,5 O C BB : 40kg TB : 160 cm IMT = 40/ (1,60)2kg/m2 = 15,6kg/m2

Status Generalis 1. Pemeriksaan Kepala Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris.

-

Rambut

:

Warna hitam, jarang/sedikit, mudah rontok, mudah dicabut

-

Nyeri Tekan Muka

: :

Tidak ada Bintik-bintik disekitar pipi (tinggal bercakbercak kehitaman)

2. Pemeriksaan Mata Palpebra Konjunctiva Sklera Pupil : : : : : : Edema (-/-), ptosis (-/-) Anemis (-/-) Ikterik (-/-) Reflek cahaya (+/+) N, Isokor, diameter 3mm Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-) Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-) 5. Pemeriksaan dan Faring Mulut : Bibir terlihat kering, sianosis (-), tampak plak putih yang meluas mengenai mukosa bukal, tepi hiperemis (-), sariawan (+) 6. Pemeriksaan Leher Trakea Kelenjar Tiroid Kelenjar limfe JVP : : : : Deviasi trakea (-), Struma (-). Tidak membesar Tidak Membesar, nyeri (-) JVP normal 5+1cm

3. Pemeriksaan Telinga 4. Pemeriksaan Hidung

7. Pemeriksaan Dada Paru-paru Paru bagian Depan : Inspeksi Palpasi : Dada simetris, Ketinggalan gerak (-), Retraksi (-) :Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri Perkusi : Sonor pada semua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler Suara tambahan: Ronkhi basah kasar (-/-), Ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-)

Paru bagian belakang : Inspeksi Palpasi : Simetris : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri Perkusi : Sonor pada kedua paru

Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler Suara tambahan : Ronkhi basah kasar (-/-), Ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-) Jantung Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMC sinistra Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMC sinsitra, kuat angkat (-) Perkusi : Batas jantung Kanan atas Kanan bawah Kiri atas Kiri bawah Auskultasi : SIC II LPSD SIC IV LPSD SIC II LPSS SIC V 2 jari medial LMCS

S1 > S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

8. Pemeriksaan Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : : : : Datar Peristaltik usus (+) normal timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-) supel, undulasi (-), nyeri tekan(-), hepar dan lien tak teraba besar 9 Pemeriksaan Ekstremitas Superior : Deformitas (-), jari tabuh (-), ikterik (-), sianosis (-),edema (-) Inferior : Deformitas (-), ikterik (-), sianosis (-), edema (-)

Pemeriksaan penunjang Hasil laboratorium tanggal 7 April 2011 Darah lengkap (nilai normal) 1. Hb 2. Leukosit 3. Hematokrit 4. Eritrosit 5. Trombosit 6. MCV 7. MCH 8. MCHC 9. RDW 10.MPV Hitung Jenis a. Eosinofil b. Basofil c. Batang d. Segmen e. Limfosit f. Monosit Kimia Darah BUN GDS Seroimunologi RF : negative : 19,8 : 75 0,65mg/dl (200) : 1,4 : 4,1 : 0,00 : 10,7 : 58,1 : 25,7 0-1 % 1-3 % 2-6 % 50-70 % 20-40 % 2-8 % : 9,3 gr/dl : 740 /ul : 29 % : 3,6 juta /ul : 97.000/ul : 80,1 : 28,1% : 32,6 gr/dl : 13,5 % : 10,1 13-16 gr/dl 5000 10.000 /ul L 40 48, p 37 43 % L 4,5 5,5 , p 4 5 juta /ul 150.000 400.000 /ul 82 92 pg 31 37 % 32 36 gr/dl 11,5-14,5 % (7,2-11,1fl)

Tanggal 9 April 2011 S : badan pegal-pegal, sariawan, batuk berdahak sudah 2 hari, mata sakit, mual, muntah, BB menurun, Pusing, BAB tidak lancar, kadang sesak. VS : TD : 90/70mmHg N : 60x/menit RR : 22x/menit s : 37,1C

Belum cek lab ulang

Tanggal 10 April 2011 S : lemas, pusing, kaki kesemutan, batuk, sulit makan, bibir dan mulut sariawan VS : TD : 110/70mmHg N : 68x/menit -diberikan leukokin 2x1 -belum cek lab ulang RR : 18x/menit s : 36,5C

Tanggal 11 April 2011 S : lemas, pusing, kaki kesemutan, batuk, sulit makan, bibir dan mulut sariawan VS : TD : 110/70mmHg N : 70x/menit -diberikan leukokin 2x1 belum cek lab ulang RR : 18x/menit s : 36,5C

Tangga 12 April 2011 S : batuk, telapak kaki kanan dan kriri terasa senut-senut. VS : TD : 110/70mmHg N : 76x/menit RR : 18x/menit s : 36,5C

Hasil lab tanggal 12 April 2011 Darah lengkap 1. Hb 2. Leukosit 3. Hematokrit 4. Eritrosit 5. Trombosit 6. MCV 7. MCH 8. MCHC 9. RDW 10.MPV : 9,2 gr/dl : 2060 /ul : 29 % : 3,5 juta /ul : 69.000/ul : 81 : 26,1% : 32,3 gr/dl : 13,4 % : 13-16 gr/dl 5000 10.000 /ul L 40 48, p 37 43 % L 4,5 5,5 , p 4 5 juta /ul 150.000 400.000 /ul 82 92 pg 31 37 % 32 36 gr/dl 11,5-14,5 % (7,2-11,1fl)

Hitung Jenis a. Eosinofil b. Basofil c. Batang d. Segmen e. Limfosit f. Monosit : 0,0 :1 : 0,00 : 43,1 : 20,9 : 35,0 0-1 % 1-3 % 2-6 % 50-70 % 20-40 % 2-8 %

Tanggal 13 April 2011 S : batuk, telapak kaki kanan dan kiri terasa senur-senut VS : TD : 110/70mmHg N : 76x/menit RR : 20x/menit s : 36,5C

diberikan leukokin 2x1, belum cek lab ulang

Tanggal 14 April 2011 S : Keluhan sudah mulai berkurang VS : TD : 120/80mmHg N : 78x/menit RR : 20x/menit s : 36,5C

Hasil laboratorium tanggal 14 Maret 2011 Darah lengkap 1. Hb 2. Leukosit 3. Hematokrit 4. Eritrosit 5. Trombosit 6. MCV 7. MCH 8. MCHC 9. RDW 10.MPV Hitung Jenis a. Eosinofil : 1,4 0-1 % : 10 gr/dl : 2190 /ul : 31 % : 3,9 juta /ul : 113.000/ul : 80,1 : 25,5% : 31,8 gr/dl : 13,3 % : 13-16 gr/dl 5000 10.000 /ul L 40 48, p 37 43 % L 4,5 5,5 , p 4 5 juta /ul 150.000 400.000 /ul 82 92 pg 31 37 % 32 36 gr/dl 11,5-14,5 % (7,2-11,1fl)

b. Basofil c. Batang d. Segmen e. Limfosit f. Monosit

: 2,7 : 0,00 : 51 : 39,7 : 51,1

1-3 % 2-6 % 50-70 % 20-40 % 2-8 %

DIAGNOSIS SLE

PENATALAKSANAAN Non Medikamentosa

Medikamentosa : IVFD KAEN 3B+sohobion inj Metilprednisolon 2 x 125 mg (iv) inj rantin 2 x 50 mg (iv) inj Panso 1 x 1 vial (iv) inj cefotaxim 2 x 1 gram ondansetron 1x1 leukokin 2x1 ciprofloxasin 2x1

BAB V KESIMPULAN

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak discoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuclear. Komplikasi LES pada anak meliputi: hipertensi, gangguan pertumbuhan, gangguan paru-paru kronik, abnormalitas mata, kerusakan ginjal permanen, gejala neuropsikiatri, kerusakan muskuloskeleta dan gangguan fungsi gonad. Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update: 1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org 2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009. Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com. 3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com. 4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia. 2003. p810-813. 5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007. Available at htttp://www.emedicine.com. 6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.