pembuatan tepung tapioka dengan pengering semprot dan ... · mas ashof dan segenap staff pt...

42
PEMBUATAN TEPUNG TAPIOKA DENGAN PENGERING SEMPROT DAN PENGERING KABINET SERTA APLIKASINYA PADA PRODUK PILUS DI PT GARUDAFOOD PUTRA-PUTRI JAYA ASTRI RORO KUSUMAWARDHANI F24090096 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: trantuyen

Post on 02-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

PEMBUATAN TEPUNG TAPIOKA DENGAN PENGERING

SEMPROT DAN PENGERING KABINET SERTA

APLIKASINYA PADA PRODUK PILUS DI PT GARUDAFOOD

PUTRA-PUTRI JAYA

ASTRI RORO KUSUMAWARDHANI

F24090096

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Tepung

Tapioka dengan Pengering Semprot dan Pengering Kabinet serta Aplikasinya

pada Produk Pilus di PT Garudafood Putra Putri Jaya adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Astri Roro Kusumawardhani

NIM F24090096

ABSTRAK

ASTRI RORO KUSUMAWARDHANI. Pembuatan Tepung Tapioka dengan

Pengering Semprot dan Pengering Kabinet serta Aplikasinya pada Produk Pilus di

PT Garudafood Putra Putri Jaya. Dibimbing oleh YADI HARYADI dan WATI.

Tepung tapioka yang dibuat secara modern tidak cocok untuk digunakan

dalam pembuatan pilus karena pilus yang dihasilkan tidak renyah dan tidak

mengembang. Tepung tapioka yang cocok untuk pangan adalah tapioka

tradisional yang dibuat dengan waktu yang lama. Proses tradisional ini dapat

menghambat produksi tapioka dalam skala industri yang besar. Oleh karena itu,

perlu dilakukan kajian pembuatan pati tapioka skala industri dengan pengering

semprot dan pengering kabinet untuk menghasilkan tepung tapioka berkualitas

tinggi secara efisien, tanpa meninggalkan rasa khas tepung tapioka tradisional.

Dalam pengeringan semprot dikaji tiga perlakuan suhu inlet dengan kisaran suhu

140-160 oC, 170-190

oC, dan 200-220

oC, sedangkan pada pengering kabinet

dikaji tiga perlakuan suhu dengan kisaran suhu 40-60 oC, 60-70

oC, dan 70-90

oC

serta tiga perlakuan waktu pengeringan, yaitu 0.75 jam, 1.5 jam dan 2.5 jam. Sifat

pati yang dianalisis adalah rendemen, kadar air, derajat putih, kehalusan, dan pola

gelatinisasi. Tepung tapioka yang dihasilkan selanjutnya diaplikasikan dalam

pembuatan produk pilus. Karakteristik pilus yang dievaluasi adalah kerenyahan.

Kata kunci: tapioka, pengering kabinet, pengering semprot, pilus

ABSTRACT

ASTRI RORO KUSUMAWARDHANI. Tapioca Production by means of Spray

Drying and Cabinet Drying and The Application of Tapioca Starch Obtained in

Pilus Production at PT Garudafood Putra Putri Jaya. Supervised by YADI

HARYADI and WATI.

Tapioca produced by means of modern method is not suitable for making of

pilus. Pilus which is produced by using the so called “modern tapioca” will have

a hard texture and not fluffy. Traditional tapioca flour is made with a long time to

get a distinctive taste. However, traditional process of tapioca production could

not be applied in large production scale. Therefore, experiments were conducted

to produce tapioca starch of industrial scale by means of spray drying and

cabinet drying process. During drying with spray dryer, three inlet temperature

levels in range 140-160 °C, 170-190 °C, 200-220 °C were applied, whereas

during drying with cabinet dryer, three levels of temperature in range 40-60 °C,

60-70 °C, 70-90 °C and three levels of drying time 0.75 hour, 1.5 hours, 2.5 hours

were applied. The starch properties analysed were tapioca starch yield, moisture

content, whiteness, fineness and gelatinization pattern of starch. The tapioca

starch obtained will be applied in manufacturing of “pilus”. The characteristics

of “pilus” evaluated is crispiness.

Keywords: tapioca, spray drying, cabinet drying, pilus.

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

PEMBUATAN TEPUNG TAPIOKA DENGAN PENGERING

SEMPROT DAN PENGERING KABINET SERTA

APLIKASINYA PADA PRODUK PILUS DI PT GARUDAFOOD

PUTRA PUTRI JAYA

ASTRI RORO KUSUMAWARDHANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi : Pembuatan Tepung Tapioka dengan Pengering Semprot dan

Pengering Kabinet serta Aplikasinya pada Produk Pilus di PT

Garudafood Putra Putri Jaya

Nama : Astri Roro Kusumawardhani

NIM : F24090096

Disetujui oleh

Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc.

Pembimbing I

Wati, S.TP.

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, M.Sc.

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Pembuatan Tepung Tapioka dengan Pengering Semprot dan Pengering Kabinet serta Aplikasinya pada Produk Pilus di PT Garudafood Putra Putri Jaya

Nama : Astri Roro Kusumawardhani NIM : F24090096

Disetujui oleh

Wati, S.TP. Pembimbing II

Tanggal Lulus:

_II'JJIIIIII

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan

rahmatNya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini mengenai

proses pembuatan tepung tapioka dengan secara modern untuk menghasilkan

tapioka khas tradisional serta aplikasinya pada produk pilus. Pada kesempatan ini,

saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Alm. Papa, Mama, Mbak Dewi, Mbak Dini dan semua keluarga yang telah

membantu dan memberikan dukungan baik itu moril maupun materiil kepada

penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan baik.

2. Bapak Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. yang telah membimbing saya selama masa

studi hingga skripsi ini selesai. Terimakasih atas bimbingan dan masukan

yang telah Bapak berikan selama ini.

3. Ibu Wati selaku pembimbing lapang yang telah memberikan kesempatan,

kepercayaan, nasehat, bimbingan dan masukan yang berarti bagi saya selama

kegiatan magang berlangsung.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. selaku penguji yang sudah banyak

memberikan saran dan masukan.

5. Pak Jun, Pak Wi, Mbak Ocit, Mas Danur, Mbak Anita, Mbak Uti, Mbak Eni,

Mas Ashof dan segenap staff PT Garudafood yang telah memberikan saran,

nasehat, dan ilmu yang bermanfaat selama kegiatan magang berlangsung.

Terimakasih atas waktunya membantu saya selama kegiatan magang dan

masukannya, mohon maaf kalau saya banyak merepotkan sewaktu magang.

6. Pak Junaedi, Pak Denny, Pak Yaris, Pak Iyas, dan Pak Nurwanto selaku

teknisi SEAFAST Center yang membantu saya selama proses penelitian ini.

Terimakasih atas bantuannya, tanpa Bapak sekalian saya belum tentu dapat

melakukan penelitian ini.

7. Kepada teman-teman yang banyak memberikan dukungan moril kepada saya

selama penelitian ini. Sarah Lubna, teman sekamar yang selalu ada di saat

saya butuhkan, Nurul Hadiyana dan Erydhatirti yang siap sedia jadi tempat

curahan hati, Beber dan Dini Fitria yang selalu siap menyemangati saya.

Terima kasih banyak

8. Trini Nuresa, teman satu bimbingan dan satu magang yang siap diajak

melepaskan penat, kemanapun dan kapanpun. Grace Mutiara, Christian

Arianto, dan Dennis. Teman-teman satu magang yang selalu memberikan

semangat dan canda tawa selama di kantor.

9. Fita Rahmawati dan Astrid Damayanti yang selalu menghibur saya setiap saat

dan setiap waktu dengan berita-berita kpop-nya. Suciwati dan Dinary

Rahmaningsih yang selalu jadi tempat berbagi dan semua teman-teman yang

tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Love you

Saya menyadari skripsi yang ditulis masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu saya meminta maaf apabila hanya dapat memberikan sedikit ilmu bagi

yang membaca skripsi ini. Namun saya ucapkan terimakasih karena sudah

menyempatkan waktu untuk membaca skripsi saya ini. Semoga skripsi ini

bermanfaat.

Bogor, November 2013

Astri Roro Kusumawardhani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Tepung Tapioka 2

Pilus 3

Analisis Tekstur 4

Analisis Uji Sensori 4

METODE PENELITIAN 5

Bahan 5

Alat 5

Penelitian Pendahuluan 5

Penelitian Utama 7

Analisis Produk Tepung Tapioka 9

Analisis Produk Pilus 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Penelitian Pendahuluan Pembuatan Tepung Tapioka Skala Lab 11

Karakteristik Tepung Tapioka 12

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 23

RIWAYAT HIDUP 28

DAFTAR TABEL

1. Syarat tepung tapioka menurut SNI 1994 3 2. Standar kehalusan tepung tapioka 3 3. Data tekstur produk pilus uji coba skala lab 6 4. Hasil uji coba I pembuatan tapioka skala lab 11

5. Hasil uji coba II pembuatan tapioka skala lab 11 6. Hasil uji coba III pembuatan tapioka skala lab 12

7. Data analisis tekstur produk pilus hasil uji coba skala laboratorium 12 8. Data rendemen tapioka 13

9. Data kadar air metode oven 13 10. Nilai derajat putih tapioka 14

11. Hasil analisis kehalusan tepung 15

12. Sifat amilografi sampel tapioka 16 13. Data analisis tekstur produk pilus 18

14. Skor nilai tekstur produk pilus 19

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka secara tradisional 5

2. Diagram alir pembuatan tepung tapioka pada penelitian utama 7

3. Grafik pola gelatinisasi tapioka pengeringan semprot 17

4. Grafik pola gelatinisasi tapioka pengeringan kabinet 17

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil rendemen sampel tepung tapioka 23

2. Hasil analisis kadar air metode oven sampel tepung tapioka 23 3. Hasil analisis derajat putih sampel tepung tapioka 24

4. Hasil analisis kehalusan tepung sampel tepung tapioka 24 5. Hasil analisis sensori uji rating produk pilus 25

6. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan rendemen 26

7. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan analisis kadar air 26

8. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan analisis derajat putih 27

9. Hasil Analisis ragam dan uji Duncan analisis kehalusan tepung 27

Pendahuluan

Industri makanan olahan siap konsumsi semakin berkembang di Indonesia.

Industri ini berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

makanan olahan yang praktis dan siap untuk dikonsumsi dimana saja. Makanan

olahan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia salah satunya adalah

snack atau makanan ringan.

PT Garudafood adalah salah satu produsen makanan ringan terbesar di

Indonesia dengan berbagai produk unggulan yang sudah terkenal di pasaran. Salah

satu produk unggulannya adalah pilus. Pilus dibuat dari tepung tapioka dengan

campuran bumbu lain yang kemudian digoreng agar dapat dikonsumsi secara

langsung sebagai makanan ringan dan makanan pendamping lauk.

Saat ini, untuk memproduksi pilus, PT Garudafood membutuhkan sekitar

2000 ton tapioka untuk sekali produksi. Sayangnya, kebutuhan yang sangat besar

ini tidak diikuti dengan kualitas tapioka yang ada. Tapioka yang dipakai sebagai

bahan baku pembuatan pilus biasa diperoleh dari pabrik tapioka modern yang ada

di Indonesia. Tapioka yang diproduksi dari pabrik modern ini biasanya lebih

cocok digunakan untuk industri petrokimia, bahan lem, gula cair (HFS), asam

sitrat, dan sebagainya. Tapioka yang cocok untuk industri makanan dan

menghasilkan pilus yang baik biasanya diperoleh dari tapioka yang dibuat secara

tradisional yang berasal dari industri kecil ataupun industri rumah tangga. Dengan

adanya permintaan sebanyak 2000 ton untuk sekali produksi pilus, tentu tidak

mungkin bila PT Garudafood mengandalkan suplai tepung tapioka dari industri

kecil dan industri rumah tangga sehingga sampai saat ini PT Garudafood

mengambil bahan baku tepung tapioka dari industri tapioka modern. Oleh karena

itu, dilakukan kajian produksi tapioka secara modern, yaitu dengan menerapkan

teknik pengeringan semprot. Tapioka yang diproduksi secara modern ini perlu

diuji kelayakannya terlebih dahulu dengan cara melakukan uji coba pembuatan

pilus sebelum diproduksi dalam skala besar. Uji coba ini dilakukan untuk menguji

apakah pilus yang dihasilkan memiliki karakteristik produk yang diinginkan, yaitu

mengembang dan renyah.

Perumusan Masalah

Tapioka modern hasil industri besar yang digunakan untuk pembuatan

produk pilus tidak menghasilkan karakteristik produk pilus yang diinginkan.

Karakteristik yang diinginkan tersebut didapatkan dari tapioka yang dibuat secara

tradisional. Tapioka tradisional ini dibuat dalam jangka waktu yang lama sehingga

tidak efisien bila digunakan pada industri besar yang membutuhkan kurang lebih

2000 ton untuk sekali produksi pilus.Tantangan yang timbul adalah bagaimana

cara memproduksi tapioka secara industrial tetapi dapat menghasilkan tapioka

dengan cita rasa khas tradisional. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk

mengetahui alur proses produksi tapioka secara industrial yang menghasilkan

tapioka dengan cita rasa khas tradisional.

2

Tujuan Penelitian

Program magang penelitian ini bertujuan: (1) untuk melatih mahasiswa

terjun ke dalam dunia kerja dan diharapkan mampu menerapkan ilmu

pengetahuan yang telah didapat selama kuliah dan (2) melakukan pembuatan

tepung tapioka berkualitas agar dihasilkan pilus dengan karakteristik yang renyah

dan mengembang sesuai dengan yang diinginkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu industri makanan berbahan dasar

tapioka, khususnya PT Garudafood untuk memperoleh tapioka berkualitas yang

nantinya akan digunakan di dalam pembuatan produk pilus dengan alur proses

yang modern dan efisien.

Selain itu, diharapkan pula dapat dihasilkan produk pilus dengan

karakteristik yang diinginkan, yaitu mengembang dan renyah.

Tinjauan Pustaka

Tepung Tapioka

Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari umbi singkong. Dalam

memperoleh pati dari umbi singkong, usia atau kematangan singkong menjadi

pertimbangan dalam pembuatannya. Usia optimum singkong untuk dipanen

adalah sekitar 7-10 bulan dengan kadar pati mencapai 20-25%. Jika kadar pati

sudah terlalu tinggi, maka singkong akan sulit untuk diolah menjadi produk

olahan lain karena produk akan menjadi lebih mudah gosong.

Tepung tapioka memiliki komposisi kimia berupa serat 0.5%, air 15%,

karbohidrat 85%, protein 0.5-0.7%, lemak 0.2%, dan energi 307 kalori/100g

(Grace 1977).

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tepung tapioka tidak

dipersyaratkan. Namun demikian, ada beberapa institusi yang mensyaratkan nilai

pH untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan.

Salah satu proses pengolahan yang berkaitan dengan pH adalah proses pembuatan

pasta. Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

3

Tabel 1. Syarat tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 (DSN, 1994)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III

1 Kadar air % Maks. 15.0 Maks. 15.0 Maks. 15.0

2 Kadar abu % Maks. 0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60

3 Serat dan benda asing % Maks. 0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60

4 Derajat putih

(BaSO4 = 100%) % Min. 94.5 Min. 92.0 < 92.0

5 Derajat asam

Volume

NaOH

1N/100

g

Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3

6 Cemaran logam

● Timbal mg/kg Maks. 1.0 Maks. 1.0 Maks. 1.0

● Tembaga mg/kg Maks. 10.0 Maks. 10.0 Maks. 10.0

● Seng mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0 Maks. 40.0

● Raksa mg/kg Maks. 0.05 Maks. 0.05 Maks. 0.05

● Arsen mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 Maks. 0.5

7 Cemaran mikroba

● Angka lempeng total koloni/g Maks. 1.0 x 10

6 Maks. 1.0 x 10

6 Maks. 1.0 x 10

6

● E.coli koloni/g - - -

● Kapang koloni/g Maks. 1.0 x 104 Maks. 1.0 x 10

4 Maks. 1.0 x 10

4

Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka.

Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki

tingkat kehalusan yang tinggi. Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai

kehalusan tepung tapioka, tetapi The Tapioca Institute of America (TIA)

mensyaratkan kehalusan sebagai syarat mutu tepung tapioka. TIA membagi

tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan kehalusannya. Standar

kehalusan tepung tapioka menurut TIA disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Standar kehalusan tepung tapioka

Grade % Lolos ayak Ukuran ayakan (mesh)

A 99 140

B 99 80

C 95 60

Sumber : Radley (1976)

Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak umbi singkong. Proses ekstraksi

umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah.

Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan

berwarna putih bersih (Moorthy 2004). Semakin putih tepung tapioka, mutunya

juga akan semakin baik. Tepung tapioka yang lebih putih biasanya lebih

diharapkan sebagai bahan baku. Contohnya, digunakan pada penyalut produk

kacang salut yang diharapkan dapat menghasilkan warna yang putih yang baik

(tidak kusam), sehingga produk akan lebih diterima konsumen secara organoleptik.

4

Tepung tapioka biasa dibuat melalui cara tradisional ataupun skala industrial.

Pada industri besar, proses pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan dengan

menggunakan alat-alat atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan untuk industri

rumah tangga atau secara tradisional biasa dilakukan proses pembuatan

menggunakan alat-alat yang sederhana dan dalam waktu yang cukup lama.

Pilus

Pilus merupakan salah satu jenis snack tradisional. Pilus banyak ditemui di

daerah Jawa Tengah, khususnya di daerah Brebes, Tegal, Pekalongan, Purwokerto,

dan Kebumen. Pilus adalah makanan ringan berbentuk bulat yang terbuat dari

tepung singkong/tapioka dengan campuran bahan atau pati lain dan bumbu

rempah yang diproses dengan atau tanpa menggunakan ekstrusi kemudian

dipotong menjadi ukuran kecil dan digoreng (Direktorat Standardisasi Produk

Pangan 2006). Bahan baku utama di dalam pembuatan pilus adalah tapioka. Jenis

tapioka yang digunakan akan menjadi penentu karakteristik produk pilus yang

dihasilkan sehingga perlu dilakukan pemilihan tapioka yang tepat agar dihasilkan

pilus yang baik.

Pilus biasa dikonsumsi secara langsung ataupun dijadikan sebagai teman

lauk-pauk untuk makan besar. Saat ini, pilus sudah banyak diproduksi sebagai

cemilan karena rasanya yang enak dan gurih. Pilus merupakan salah satu produk

fried snack yang digemari. Penentu mutu snack berdasarkan permintaan

konsumen dibagi menjadi tiga yaitu rasa, tekstur, dan ukuran (Dunn 2001). Rasa

dan ukuran fried snack sangat beragam, sedangkan bagian tekstur yang menjadi

rejection point utama bagi konsumen adalah kerenyahan.

Analisis Tekstur

Tekstur suatu produk pangan berkaitan erat dengan persepsi dan penerimaan

seseorang terhadap produk tersebut. Tekstur produk pangan dapat dibagi menjadi

tiga istilah, yaitu viskositas untuk produk cairan newtonian, konsistensi untuk

cairan dan semi solid non-newtonian, serta tekstur untuk produk solid dan

semisolid. Tekstur untuk produk solid dan semi solid merupakan parameter yang

kompleks karena merupakan hasil dari reaksi terhadap penekanan atau stress yang

diukur berbagai sifat mekanis (firmness/hardness, sifat adhesif, kohesif,

kekenyalan) oleh indra kinestetik di tangan, jari, lidah, geraham, dan bibir. Selain

secara organoleptik, pengukuran tekstur juga dapat dilakukan secara objektif

menggunakan teksturometer.

Prinsip analisis tekstur adalah dengan memberikan gaya tekan pada sampel,

yang menghasilkan profil tekstur berupa grafik yang menghubungkan antara gaya

(force) dengan jarak (distance). Sebelum pengukuran dilakukan, setting alat sesuai

dengan sampel yang akan dianalisis.

Analisis Uji Sensori

Evaluasi sensori didefinisikan sebagai salah satu disiplin ilmu yang

digunakan untuk mengukur, menganalisis karakteristik suatu bahan pangan dan

material lain serta menginterpretasikan reaksi yang diterima oleh panca indra

manusia (penglihatan, pencicipan, penciuman, perabaan, dan pendengaran)

5

(Adawiyah dan Waysima 2009). Evaluasi sensori digunakan untuk melihat adanya

perbedaan, melakukan karakterisasi, dan mengukur atribut sensori dari produk

atau untuk melihat faktor atribut sensori yang mempengaruhi penerimaan

konsumen. Atribut sensori yang diujikan antara lain warna, aroma, tekstur, dan

rasa.

Metode

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong Manggu

untuk pembuatan tepung tapioka dan air.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, baskom,

timbangan, gelas ukur plastik, penggiling, penyaring cairan, toples besar,

saringan, Cabinet Drier, Spray Drier, cawan porselen, gegep, Rapid Visco

Analyzer, Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter, Stable Micro System

TAXT2 Texture Analyzer, Digital Sieve Shaker, serta alat-alat gelas lainnya.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan skala lab yang dilakukan di laboratorium

pengolahan PT Garudafood Putra-Putri Jaya bertujuan untuk mendapatkan acuan

rancangan penelitian yang akan dilakukan pada penelitian utama dalam skala pilot

plan. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan percobaan perlakuan suhu

pengeringan untuk menghasilkan produk pilus yang diinginkan. Percobaan

pembuatan tapioka skala laboratorium dilakukan sebanyak tiga kali secara

tradisional, dengan skema seperti terlihat pada Gambar 1:

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka skala laboratorium

6

Tahapan pembuatan tapioka skala laboratorium terdiri dari beberapa tahap,

yaitu:

1. Pengupasan

Singkong dikupas untuk dibuang tanah dan kulit luarnya menggunakan

pisau hingga bersih.

2. Pencucian

Singkong yang sudah dikupas kemudian dicuci menggunakan air

mengalir hingga bersih, lalu ditimbang untuk mengetahui berat bersihnya.

3. Pemarutan

Singkong yang sudah bersih selanjutnya diparut menjadi parutan

singkong yang halus.

4. Penyaringan dan Pemerasan

Parutan singkong kemudian dicampur dengan air, lalu disaring dan

diperas hingga ampasnya keluar, kemudian didapatkan “santan” singkong.

5. Pengendapan

Pengendapan dilakukan selama 24 jam untuk mendapatkan endapan pati

singkong.

6. Pengeringan

Endapan yang telah didapat kemudian dikeringkan menggunakan oven

dengan suhu yang berbeda-beda. Pada percobaan I, digunakan suhu oven

30 oC, percobaan II digunakan suhu oven 55-65

oC, dan pada percobaan

III dilakukan suhu oven 55-65 oC, 65-75

oC, dan 75-85

oC.

Dari penelitian pendahuluan ini didapat tiga jenis tapioka dari perlakuan suhu

pengeringan yang berbeda-beda. Selanjutnya dilakukan pembuatan pilus dari

masing-masing tapioka tersebut dan diukur kekerasan tekstur pilus dengan

Texture Analyzer. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data tekstur pilus

Dari data tekstur pilus yang diperoleh, dapat disimpulkan sementara bahwa

pilus yang dibuat dari tapioka dengan suhu pengeringan di kisaran 75-85 oC

memiliki tekstur yang hampir setara dengan tekstur pilus kontrol (berdasarkan

nilai gaya), sehingga suhu tersebut dijadikan acuan untuk melakukan uji coba

lanjut skala pilot plan.

Suhu pengeringan ( oC ) Gaya (kgf)

55-65 16.18 65-75 11.82 75-85 17.71

Pilus kontrol 10.73

7

Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan di pilot plan SEAFAST Center IPB dengan

skema proses seperti disajikan pada Gambar 2:

Gambar 2. Pembuatan tepung tapioka dalam penelitian utama

Tahap pembuatan tapioka terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengupasan,

pencucian, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dan pengeringan dengan dua

cara berbeda.

8

1. Pengupasan

Singkong Manggu yang dipakai, didapat dari petani singkong di sekitar

kampus IPB Dramaga. Singkong yang sudah didapat kemudian ditimbang

lalu dikupas untuk dibuang tanah dan kulit luarnya secara manual

menggunakan pisau. Singkong dikupas hingga bersih.

2. Pencucian

Singkong yang telah dihilangkan tanah dan kulitnya, kemudian dicuci

hingga bersih menggunakan air mengalir secara manual. Setelah dicuci,

singkong kembali ditimbang untuk mengetahui bobot bersih singkong

setelah dikupas dan dicuci.

3. Penggilingan

Singkong yang sudah dicuci bersih kemudian digiling menggunakan alat

penggiling hingga menjadi hancuran yang halus. Singkong yang telah

hancur tersebut langsung ditampung ke dalam wadah yang telah berisi air

untuk merendam hancuran singkong yang selanjutnya akan disaring.

4. Penyaringan

Campuran air dan hancuran singkong kemudian disaring dengan alat

penyaring cairan untuk memisahkan ampas dan cairan pati singkong.

5. Pengendapan

Cairan pati singkong yang telah selesai disaring kemudian ditampung di

dalam wadah berupa toples besar untuk selanjutnya dilakukan pengendapan

untuk proses pengeringan kabinet.

6. Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan dua cara yang berbeda yaitu dengan

menggunakan pengering semprot dan pengering kabinet. Untuk pengering

kabinet dilakukan perlakuan pada tiga kisaran suhu dan waktu pengeringan

yang berbeda. Kisaran suhu yang digunakan adalah suhu 40-60 oC, 60-70

oC,

dan 70-90 oC. Pada proses pengeringan semprot, cairan pati yang telah

disaring sebelumnya akan langsung dikeringkan dengan pengering semprot

(tanpa proses pengendapan) sambil terus diaduk pada saat penyemprotan

sampel berlangsung. Untuk pengering semprot digunakan tiga perlakuan

kisaran suhu yang berbeda, yaitu 140-160 oC, 170-190

oC dan 200-220

oC.

7. Penggilingan

Proses penggilingan hanya dilakukan pada tepung tapioka hasil

pengeringan menggunakan pengering kabinet. Hal ini dilakukan karena

tapioka hasil pengeringan tersebut masih berupa butiran kasar sehingga

harus dihaluskan agar menjadi sebuah tepung melalui proses penggilingan.

Penggilingan ini dilakukan menggunakan blender.

Tepung tapioka yang sudah jadi kemudian dianalisis lebih lanjut untuk

mengetahui karakteristik masing-masing tepung tapioka tersebut. Selain dianalisis,

tepung tapioka yang dihasilkan juga diaplikasikan di dalam pembuatan produk

pilus yang nantinya akan dianalisis kerenyahannya dan analisis sensori.

9

Analisis Produk Tepung Tapioka

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengukuran rendemen,

analisis kadar air, analisis derajat putih, analisis kehalusan tepung, analisis profil

gelatinisasi pati, analisis tekstur produk pilus, dan analisis sensori menggunakan

uji rating.

1. Pengukuran rendemen

Tepung tapioka yang telah jadi kemudian akan dihitung nilai

rendemennya dengan cara sebagai berikut:

Rendemen = bobot singkong sebelum dikupas g

bobot tepung tapioka kering g

2. Kadar Air (AOAC 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15

menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.Cawan

ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 2 gram (W)

dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang

dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada

suhu 105 oC selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan

dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan berisi sampel

dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang

kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih

bobot ≤ 0.0003 gram). Kadar air diukur dengan cara sebagai berikut:

Kadar air = - -A

Keterangan :

W = bobot sampel awal (g)

Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)

A = bobot cawan kosong (g)

3. Analisis Derajat Putih

Derajat putih tepung tapioka diukur dengan menggunakan alat Kett

Electric Laboratory Whitenessmeter C-100-3. Sebelum digunakan, alat

dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki derajat

putih 100% (110.8). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapat diukur

dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang tersedia

sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang telah

berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat

putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih diukur dengan cara sebagai

berikut:

DP (%) =

x 100%

Keterangan :

DP = derajat putih (%)

A = nilai yang terbaca pada alat

10

4. Analisis Kehalusan Tepung Kehalusan tepung diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve

Shaker. Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan

atau saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan

amplitude.

Pengukuran dilakukan dengan menimbang sejumlah sampel lalu

ditaburkan secara merata pada ayakan paling atas. Kemudian ayakan ditutup

dan alat dihidupkan. Lalu kehalusan diketahui dengan menghitung

persentase jumlah sampel yang lolos ayakan.

5. Analisis Profil Gelatinisasi Pati

Analisis profil gelatinisasi pati dilakukan dengan instrumen Rapid Visco

Analyzer. Sampel sebanyak 3-4 gram (kadar air diketahui) disuspensikan

dalam 25 ml air destilata. Suspensi dipanaskan hingga suhu 50 oC dan

dipertahankan selama 1 menit, kemudian dipanaskan lebih lanjut hingga

mencapai suhu 95 oC dengan kecepatan pemanasan 6

oC/menit dan

dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu dilakukan

pendinginan hingga mencapai suhu 50 oC dengan kecepatan pendinginan 6

oC/menit dan dipertahankan suhu tersebut selama 5 menit.

Informasi yang dapat diperoleh dari kurva viskograf adalah parameter

profil gelatinisasi pati, antara lain: viskositas maksimum (viskositas

tertinggi selama proses pemanasan), suhu awal gelatinisasi, waktu untuk

mencapai viskositas maksimum, viskositas terendah yang teramati setelah

mencapai viskositas maksimum, viskositas akhir, dan viskositas setback.

Seluruh nilai dilaporkan dalam menit, oC atau Brabender Unit (BU).

Analisis Produk Pilus

1. Analisis Kerenyahan Pilus dengen Texture Analyzer

Tekstur produk pilus akan dianalisis dengan menggunakan Texture

Analyzer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tekan pada sampel,

kemudian akan dihasilkan profil tekstur berupa grafik yang menghubungkan

antara gaya (force) dengan jarak (distance). Sebelum dilakukan pengukuran,

alat harus di-setting sesuai dengan sampel yang akan dianalisis.

Sampel akan diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian

pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel.

Nantinya pada layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel

yang dianalisis.

2. Analisis Sensori

Uji organoleptik dilakukan terhadap panelis menggunakan uji rating

terhadap atribut kerenyahan pada produk pilus. Skala kerenyahan yang

digunakan untuk uji rating yaitu pada skala 1 sampai dengan 7, dengan 1

sangat tidak renyah hingga 7 sangat renyah.

11

Hasil dan Pembahasan

Penelitian Pendahuluan Pembuatan Tepung Tapioka Skala Lab

Pada penelitian pendahuluan ini, dilakukan beberapa tahapan, yaitu

pengupasan, pencucian, pemarutan, pengendapan selama 24 jam, dan pengeringan

dengan menggunakan oven. Penelitian pendahuluan ini dilakukan percobaan

sebanyak 3 kali dengan beberapa perlakuan yang berbeda untuk mendapatkan

acuan pembuatan tapioka dalam skala yang lebih besar.

Penelitian pendahuluan ini digunakan varietas singkong yang tidak spesifik.

Singkong diperoleh dari pasar tradisional yang menyediakan singkong dalam

jumlah yang banyak. Pada Percobaan I, dilakukan pembuatan tapioka dengan

perbandingan air pengendapan 1:2 dan 1:4. Waktu pengeringan yang digunakan

adalah 30 oC. Hasil yang diperoleh pada percobaan I disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil percobaan I pembuatan tapioka skala laboratorium Bobot

singkong

parut (g)

Bobot

air (g)

Waktu

pengendapan

Suhu

pengeringan

Waktu

pengeringan

KA

(%bb)

Rendemen

(%)

800 1600 24 jam 30 oC > 3 jam 11.98 11.35

800 3200 24 jam 30 oC > 3jam 11.10 12.05

Dari hasil percobaan I, didapatkan waktu pengeringan yang cukup lama (> 3

jam) sehingga tidak efisien untuk diterapkan pada skala besar atau skala industri.

Oleh sebab itu, dilakukan percobaan II untuk memperoleh suhu pengeringan yang

lebih efisien.

Pada percobaan II, dilakukan seperti pada percobaan I, namun dipilih

kisaran suhu pengeringan 55-65 oC. Hasil yang diperoleh pada percobaan II

disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil percobaan II pembuatan tapioka skala laboratorium Bobot

singkong

parut (g)

Bobot

air (g)

Waktu

pengendapan

Suhu

pengeringan

Waktu

pengeringan

KA

(%bb)

Rendemen

(%)

845 1690 24 jam 55-65 oC 1.5 jam 11.67 8.29

845 3380 24 jam 55-65 oC 1.5 jam 12.10 11.07

Dari hasil percobaan II, diperoleh waktu pengeringan yang lebih singkat

yaitu 1.5 jam tetapi dengan nilai rendemen yang lebih sedikit dibandingkan

dengan percobaan I. Faktor ini dapat disebabkan oleh jenis singkong yang

digunakan. Oleh karena itu, kisaran suhu 55-65 oC tetap akan digunakan sebagai

salah satu acuan suhu pengeringan yang akan digunakan selanjutnya. Setelah

dilakukan percobaan II, selanjutnya ingin dilihat penggunaan suhu yang lebih

tinggi untuk pembuatan tapioka dengan harapan proses pengeringan akan lebih

efisien dari sebelumnya. Selain itu, dari hasil percobaan II, dipilih rasio

air:singkong dengan perbandingan yang lebih efisien.

Pada percobaan III, dilakukan pembuatan tapioka dengan perlakuan tiga

kisaran suhu yang berbeda, yaitu suhu 55-65 oC, 65-75

oC, dan 75-85

oC untuk

12

mengetahui waktu pengeringan yang paling efisien diantara ketiganya. Hasil yang

diperoleh pada percobaan III disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil percobaan III pembuatan tapioka skala laboratorium Bobot

singkong

parut (g)

Bobot

air (g)

Waktu

pengendapan

Suhu

pengeringan

Waktu

pengeringan

KA

(%bb)

Rendemen

(%)

692.15 1385 24 jam 55-65 oC 1.5 jam 9.15 12.07

692.15 1385 24 jam 65-75 oC 1 jam 10.15 11.60

692.15 1385 24 jam 75-85 oC 35 menit 9.00 11.82

Dari hasil percobaan III, didapatkan bahwa pada kisaran suhu 75-85 oC,

waktu pengeringan yang dibutuhkan adalah 35 menit. Waktu ini dianggap paling

efisien dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Selain itu, nilai kadar air yang

didapatkan juga masih memenuhi syarat tepung tapioka menurut SNI 1994,

sehingga untuk penelitian utama skala pilot plan akan digunakan tiga perlakuan

kisaran suhu tersebut.

Tapioka hasil percobaan tersebut kemudian dibuat menjadi produk pilus

untuk diukur kerenyahannya menggunakan alat Texture Analyzer. Pilus dari

ketiga tapioka perlakuan tersebut dibandingkan dengan pilus kontrol yang dibuat

dari premix pilus yang sudah biasa digunakan di pabrik. Hasil pengukuran dengan

Texture Analyzer dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Data analisis teksturproduk pilus hasil uji coba skala laboratorium Suhu Pengeringan Tepung Tapioka (

oC) Rata-rata Gaya (kgf)

55-65 16.18

65-75 11.82

75-85 17.71

Pilus Kontrol 10.73

Dari hasil analisis tekstur produk pilus, didapatkan bahwa pilus yang dibuat

dari tapioka dengan kisaran suhu pengeringan 65-75 oC memiliki nilai gaya yang

tidak berbeda jauh dari pilus kontrol. Berdasarkan hal tersebut, diambil

kesimpulan sementara bahwa tapioka dengan kisaran suhu pengeringan 65-75 oC

memiliki nilai gaya yang paling rendah dan bertekstur renyah sehingga akan

dijadikan acuan untuk pembuatan tapioka skala pilot plan selanjutnya.

Karakteristik Tepung Tapioka

Rendemen

Tapioka yang dihasilkan kemudian dianalisis untuk mengetahui

karakteristikmya. Hasil pengukuran rendemen disajikan pada Tabel 8.

13

Tabel 8. Data rendemen tapioka

Metode Pengeringan Kisaran Suhu ( oC ) Rendemen (%)

Semprot 140-160 14.69a

Semprot 170-190 14.68a

Semprot 200-220 14.65b

Kabinet 40-60 15.88c

Kabinet 60-70 16.83d

Kabinet 70-90 16.77e

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata (P> 0.05)

Dari data rendemen yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa tapioka yang

dibuat melalui proses pengeringan semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC tidak

berbeda nyata (P> 0.05) dengan tapioka yang dibuat melalui proses pengeringan

semprot dengan kisaran suhu 170-190 oC. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa

rendemen tapioka pengeringan semprot lebih kecil dibandingkan dengan

rendemen tapioka pengeringan kabinet. Hal ini dapat terjadi karena pada

pengeringan semprot banyak tepung yang tertinggal di alat karena alat pengering

semprot yang digunakan merupakan mini spray dryer. Selain itu, selang inlet yang

dipakai juga berukuran kecil sehingga banyak tapioka yang tertinggal selama

proses perjalanan tapioka melewati selang inlet sampai ke vessel pengering. Hal

ini berbeda dengan pengeringan kabinet karena tapioka hanya dikeringkan di atas

loyang dan kemungkinan produk banyak tertinggal di alat sangat kecil.

Kadar Air

Selain rendemen, tapioka yang dihasilkan juga diukur kadar airnya.

Pengukuran kadar air ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar air tepung

yang dihasilkan sesuai dengan SNI 1994 yang telah ditetapkan. Kadar air diukur

dengan metode oven dan dibandingkan dengan pengukuran kadar air

menggunakan moisture balance. Kadar air tapioka yang dikeringkan dengan

metode oven dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Data kadar air metode oven

Metode Pengeringan Kisaran Suhu ( oC ) Kadar Air (%)

Semprot 140-160 8.50a

Semprot 170-190 7.80b

Semprot 200-220 6.40c

Kabinet 40-60 9.31d

Kabinet 60-70 8.39a

Kabinet 70-90 8.08e

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata (P> 0.05)

Dari data kadar air di atas, dapat dilihat bahwa kadar air tapioka

pengeringan kabinet lebih besar dibandingkan dengan kadar air tapioka

pengeringan semprot. Nilai kadar air untuk beberapa sampel tidak berbeda nyata

(P> 0.05) yaitu antara tapioka yang dibuat melalui proses pengeringan semprot

14

dengan kisaran suhu 140-160 oC dan tapioka yang dibuat melalui proses

pengeringan kabinet dengan kisaran suhu 60-70 oC.

Perbedaan kadar air sampel dapat disebabkan oleh tingginya suhu pengering

semprot yang digunakan yaitu diatas 100 oC sehingga uap air yang dikeluarkan

dari tapioka akan lebih besar dan menyebabkan rendahnya kadar air yang

dihasilkan. Selain itu, pada pengering kabinet masih ditemukan gumpalan-

gumpalan tapioka pada loyang pengeringan yang menyebabkan tidak semua uap

air pada endapan tapioka terbebas keluar sehingga kadar airnya pun akan lebih

besar jika dibandingkan dengan tapioka pengering semprot.

Derajat Putih

Analisis derajat putih juga dilakukan pada penelitian ini yang bertujuan

untuk mengetahui kategori mutu tepung yang dihasilkan menurut SNI 1994. Pada

Tabel 10 disajikan nilai derajat putih dari masing-masing tapioka.

Tabel 10. Nilai derajat putih tapioka

Metode Pengeringan Kisaran Suhu ( oC ) Derajat Putih (%)

Semprot 140-160 89.56a

Semprot 170-190 89.24b

Semprot 200-220 87.75c

Kabinet 40-60 96.01d

Kabinet 60-70 94.86e

Kabinet 70-90 92.76f

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata (P> 0.05)

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa secara umum nilai derajat putih semua

sampel tepung tapioka telah memenuhi SNI 01-3451-94 baik pada kategori mutu I,

yaitu minimal 94.5%, maupun mutu II, yaitu minimal 92%, dan mutu III yaitu

kurang dari 92%. Nilai derajat putih keenam sampel tapioka berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 ( P< 0.05 ).

Semua sampel tapioka pengeringan semprot masuk ke dalam kategori III

karena nilai derajat putih dibawah 92%. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya

suhu yang digunakan sehingga telah terjadi sedikit browning pada sampel tepung.

Selain itu, dapat pula disebabkan oleh faktor alat yang kotor karena sebelumnya

alat pengering semprot telah dipakai untuk mengeringkan sampel lain yang

berwarna sehingga warna coklat menempel pada sampel tepung tapioka.

Untuk sampel pengeringan kabinet semuanya masuk ke dalam kategori I,

kecuali tapioka yang dikeringkan dengan kisaran suhu 70-90 oC. Hal ini juga

dapat terjadi karena tingginya suhu yang digunakan sehingga telah terjadi

browning pada sampel tepung.

Kehalusan Tepung

Kehalusan tepung menunjukkan seberapa banyak tepung yang lolos ayakan

dengan mesh tertentu. Pada analisis kehalusan tepung yang dilakukan, digunakan

ayakan dengan ukuran mesh 50 dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 11.

15

Tabel 11. Hasil analisis kehalusan tepung

Metode Pengeringan Kisaran Suhu ( oC ) Kehalusan Tepung (%)

Semprot 140-160 94.80a

Semprot 170-190 95.97b

Semprot 200-220 94.90a

Kabinet 40-60 89.85c

Kabinet 60-70 89.75c

Kabinet 70-90 89.86c

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata (P> 0.05)

Nilai kehalusan tapioka yang diuji ternyata menghasilkan nilai yang

bervariasi. Kehalusan tapioka semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC dan

tapioka semprot dengan kisaran suhu 200-220 oC tidak berbeda nyata, begitu pula

dengan ketiga sampel yang dibuat melalui proses pengeringan kabinet.

Analisis kehalusan tepung menghasilkan nilai bahwa tapioka pengeringan

semprot memiliki partikel tepung yang lebih halus dibandingkan tapioka

pengeringan kabinet. Tapioka pengeringan kabinet harus melewati proses

penggilingan dengan cara diblender setelah tepung kering. Penggilingan yang

tidak merata ini dapat menyebabkan kehalusan tepung menjadi menurun sehingga

kualitas tepung pengeringan semprot akan lebih baik.

Profil Gelatinisasi Pati

Analisis profil gelatinisasi pati juga dilakukan pada penelitian ini. Pola

gelatinisasi tapioka dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel

dengan menggunakan alat Rotovisco Analyzer. Parameter yang dilihat dari hasil

analisis ini adalah suhu gelatinisasi, viskositas maksimum, viskositas breakdown,

dan viskositas akhir yang nantinya akan dikorelasikan terhadap kerenyahan

tekstur pilus yang dihasilkan dari sampel tepung tapioka yang ada.

Pola gelatinisasi yang berbeda antar masing-masing sampel dapat terjadi

karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati

yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional

yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi dan viskositas. Hasil analisis profil

gelatinisasi pati disajikan pada Tabel 12. Sementara itu, grafik pola gelatinisasi

pati disajikan pada Gambar 3 (pati hasil pengering semprot) dan Gambar 4 (pati

hasil pengering kabinet).

16

Tabel 12. Sifat amilografi sampel tapioka

Metode

Pengeringan

Kisaran

Suhu ( oC )

Suhu

Gelatinisasi

(oC)

Viskositas

Maksimum

(BU)

Breakdown

(BU)

Setback

(BU)

Viskositas setelah

pendinginan pada

50 0C (BU)

Semprot 140-160 67,85 8061 7038 2563 3586

Semprot 140-160 67,65 3898 2729 971 2140

Semprot 170-190 69,25 6712 4906 1413 3219

Semprot 170-190 68,45 7910 6702 2624 3832

Semprot 200-220 67,65 7071 5406 1350 3015

Semprot 200-220 67,25 8234 7395 2925 3764

Kabinet 40-60 68,00 7619 5470 1716 3865

Kabinet 40-60 70,05 3295 2051 1018 2262

Kabinet 60-70 68,45 7600 6500 2590 3690

Kabinet 60-70 68,40 7285 5727 1925 3483

Kabinet 70-90 68,40 3931 2677 1055 2309

Kabinet 70-90 68,45 8035 6270 1973 3738

Keterangan: a= ulangan 1 ; b= ulangan 2

Pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa tapioka yang diperoleh dengan

pengeringan semprot pada kisaran suhu 200-220 oC(b) memiliki suhu gelatinisasi

terendah yaitu 67.25 oC, sedangkan suhu gelatinisasi tertinggi dimiliki oleh

tapioka yang diperoleh dengan pengeringan kabinet pada kisaran suhu 40-60oC(b)

yaitu 70.05 oC. Suhu gelatinisasi yang lebih rendah menunjukkan bahwa hidrasi

atau pengikatan air pada tapioka yang diperoleh dengan pengeringan semprot

pada kisaran suhu 200-220 oC(b) lebih mudah terjadi, sehingga pada suhu yang

lebih rendah, granula pati sudah mulai tergelatinisasi. Menurut Winarno (2002),

suhu gelatinisasi tapioka berada pada kisaran 52-64 oC. Perbedaan suhu

gelatinisasi antar sampel tapioka dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa.

Menurut Charles et al. (2005), suhu gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kadar

amilosa.

Selain suhu gelatinisasi, parameter berikutnya yang dapat dilihat adalah nilai

viskositas maksimum. Viskositas maksimum tertinggi dari semua sampel yang

ada dimiliki oleh tapioka yang diperoleh dengan pengeringan semprot pada

kisaran suhu 200-220 oC(b) yaitu 8234 BU, sedangkan viskositas maksimum

terendah dimiliki oleh tapioka yang diperoleh dengan pengeringan kabinet pada

kisaran suhu 40-60 oC(b) yaitu 3295 BU. Nilai viskositas maksimum yang

tertinggi menunjukkan bahwa kemampuan granula pati dalam menghidrasi air

lebih besar dibandingkan sampel lainnya.

17

Gambar 3. Grafik pola gelatinisasi tapioka pengeringan semprot

Gambar 4. Grafik pola gelatinisasi tapioka pengeringan kabinet

Stabilitas panas atau breakdown diukur berdasarkan perubahan viskositas

dari viskositas maksimum sampai viskositas selama pemanasan pada suhu

konstan (95 oC). Nilai breakdown tertinggi dimiliki oleh sampel tapioka yang

diperoleh dengan pengeringan semprot pada kisaran suhu 200-220 oC(b) yaitu

7395 BU, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh tapioka yang diperoleh dengan

pengeringan kabinet pada kisaran suhu 40-60 oC(b) yaitu 2051 BU. Nilai

breakdown yang besar selama pemasakan menunjukkan bahwa granula pati yang

telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Peningkatan

18

nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati semakin tidak tahan terhadap

pemanasan dan pengadukan (Lee et al. 2002).

Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas pada akhir

pemasakan pada suhu konstan (95 oC) dengan viskositas pada akhir pendinginan

(50 oC). Nilai setback ini menunjukkan kecenderungan pati dalam beretrogradasi.

Semakin tinggi viskositas setback, maka semakin tinggi pula kemampuan

pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh 2001). Berdasarkan Tabel 12, tapioka yang

diperoleh dengan pengeringan semprot pada kisaran suhu 200-220 oC (b)

memiliki nilai setback yang tertinggi yaitu 2925 BU. Hal ini menunjukkan bahwa

molekul-molekul amilosa dalam tapioka yang diperoleh dengan pengeringan

semprot pada kisaran suhu 200-220 oC (b) memiliki kecenderungan yang besar

untuk kembali berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling).

Analisis Kerenyahan Produk Pilus

Pilus yang dibuat dari sampel tapioka yang ada, kemudian diukur tingkat

kerenyahannya secara obyektif menggunakan alat Stable Micro System TAXT2

Texture Analyzer. Kerenyahan dinyatakan dengan besarnya gaya pada puncak

pertama saat sampel mulai mengalami perubahan bentuk (deformasi), dengan

satuan kilogram force (kgf). Berdasarkan hasil analisis, didapatkan gaya (kgf)

yang berbeda-beda untuk masing-masing produk pilus.

Tabel 13. Data analisis tekstur produk pilus

Metode Pengeringan Kisaran Suhu ( oC ) Rata-rata Gaya (kgf)

Semprot 140-160 11.38a

Semprot 170-190 15.86b

Semprot 200-220 17.09b

Kabinet 40-60 9.02c

Kabinet 60-70 7.93c

Kabinet 70-90 17.04b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata (P> 0.05)

Berdasarkan analisis kerenyahan, dapat dilihat bahwa sampel tapioka

semprot dengan kisaran suhu 200-220 oC memiliki nilai gaya tertinggi yaitu

17.093 kgf, sedangkan gaya terendah dimiliki oleh sampel tapioka kabinet dengan

kisaran suhu 60-70 oC yaitu 7.927 kgf. Nilai kerenyahan pilus yang diuji ternyata

menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai kerenyahan pilus yang dibuat dari

tapioka semprot dengan kisaran suhu 170-190 oC, 200-220

oC, dan tapioka

kabinet dengan kisaran suhu 70-90 oC tidak berbeda nyata (P> 0.05), begitu pula

dengan pilus yang dibuat dari tapioka kabinet dengan kisaran suhu 40-60 oC dan

60-70 oC.

Nilai gaya ini menunjukkan bahwa semakin besar nilainya, maka tingkat

kerenyahan tekstur akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya. Dapat disimpulkan

bahwa pilus yang dibuat dari tapioka pengeringan semprot dengan kisaran suhu

200-220 oC memiliki tingkat kerenyahan yang paling rendah, sedangkan pilus dari

tapioka pengeringan kabinet dengan kisaran suhu 60-70 oC memiliki tingkat

kerenyahan yang paling tinggi.

19

Namun, jika dilihat berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan, didapat

bahwa nilai gaya dari pilus kontrol sebesar 10.7317 kgf. Nilai gaya yang

mendekati nilai tersebut adalah produk pilus yang dibuat dari tapioka pengeringan

semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC dengan nilai sebesar 11.377 kgf dan

produk pilus yang dibuat dari tapioka pengeringan kabinet dengan kisaran suhu

40-60 oC dengan nilai sebesar 9.021 kgf, sehingga dapat disimpulkan bahwa

produk pilus yang memiliki kerenyahan tekstur seperti pilus kontrol adalah pilus

yang dibuat dari tapioka pengeringan semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC

dan pilus yang dibuat dari tapioka pengeringan kabinet dengan kisaran suhu 40-60 oC.

Uji Sensori

Uji sensori berupa uji rating dilakukan terhadap 30 panelis tidak terlatih.

Dari hasil uji sensori, rata-rata panelis menyatakan pilus tapioka pengering

semprot dengan kisaran suhu 200-220 oC dan pilus pengeringan kabinet dengan

kisaran suhu 70-90 oC memiliki kerenyahan dengan skor 3-5 (agak tidak renyah -

agak renyah), sedangkan untuk pilus tapioka pengering semprot dengan kisaran

suhu 140-160 oC dan pilus pengering kabinet dengan kisaran suhu 40-60

oC, rata-

rata panelis menyatakan kerenyahannya dengan skor 5-6 (agak renyah - renyah).

Tabel 14. Skor nilai tekstur produk pilus

Metode Pengeringan Kisaran Suhu ( oC ) Skor Tingkat Kerenyahan

Semprot 140-160 5.33a

Semprot 170-190 6.00b

Semprot 200-220 3.87c

Kabinet 40-60 5.03a

Kabinet 60-70 3.23d

Kabinet 70-90 4.00c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata (P> 0.05)

Berdasarkan uji lanjut Duncan, dapat disimpulkan bahwa kerenyahan pilus

tapioka pengeringan semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC tidak berbeda nyata

dengan kerenyahan pilus tapioka pengeringan kabinet kisaran suhu 40-60 oC,

begitu pula dengan kerenyahan pilus tapioka pengeringan semprot kisaran suhu

200-220 oC yang tidak berbeda nyata dengan kerenyahan pilus tapioka

pengeringan kabinet kisaran suhu 70-90 oC. Skor kerenyahan yang paling baik

dimiliki oleh pilus tapioka semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC, semprot 170-

190 oC dan tapioka kabinet 40-60

oC sehingga dapat disimpullkan bahwa pilus

yang dibuat dari tapioka tersebut akan menghasilkan tekstur snack (makanan

ringan) yang paling baik secara subyektif.

Korelasi kerenyahan pilus secara obyektif dan subyektif

Berdasarkan analisis kerenyahan pilus, dapat dilihat bahwa terdapat

korelasi positif pada sampel pilus yang dibuat dari pengeringan semprot dengan

kisaran suhu 140-160 oC dan pilus yang dibuat dari pengeringan kabinet dengan

kisaran suhu 40-60 oC secara obyektif dan subyektif. Pada Tabel 13 dan 14, dapat

20

dibandingkan antara nilai kekerasan tekstur pilus dengan skor kerenyahan pilus

secara sensori. Dari Tabel 13 (Data analisis tekstur produk pilus dengan Texture

Analyzer), dapat dilihat bahwa pilus yang dibuat dari pengeringan semprot suhu

140-160 oC memiliki nilai kekerasan tekstur terendah untuk pengeringan semprot

yaitu sebesar 11.38 kgf, sedangkan pilus yang dibuat dari pengeringan kabinet

suhu 40-60 oC juga memiliki nilai kekerasan tekstur terendah untuk pengeringan

kabinet yaitu sebesar 9.02 kgf.

Pada Tabel 14 (Skor nilai tekstur produk pilus dengan uji sensori), dapat

dilihat bahwa pilus yang memiliki skor kerenyahan tertinggi adalah pilus yang

dibuat dari tapioka pengeringan semprot suhu 140-160 oC dengan skor

kerenyahan sebesar 5.33 dan pilus yang dibuat dari tapioka pengeringan kabinet

suhu 40-60 oC dengan skor kerenyahan sebesar 5.03 yang artinya memiliki tingkat

kerenyahan cukup renyah.

Dari dua analisis ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif pada

pilus tapioka pengeringan semprot 140-160 oC dan pilus tapioka pengeringan

kabinet 40-60 oC secara obyektif dan subyektif sehingga dapat disimpulkan bahwa

pilus dengan kerenyahan tertinggi adalah pilus yang dibuat dari tapioka

pengeringan semprot dengan kisaran suhu 140-160 oC dan pengeringan kabinet

dengan kisaran suhu 40-60 oC.

Korelasi kerenyahan pilus terhadap pola gelatinisasi pati

Kerenyahan pilus juga dapat dikorelasikan dengan pola gelatinisasi pati dari

tapioka hasil penelitian yang ada. Gambar 3 merupakan pola gelatinisasi dari

tapioka pengeringan semprot. Dari pola tersebut, dapat dilihat bahwa tapioka hasil

pengeringan semprot suhu 140-160 oC memiliki pola gelatinisasi yang landai

dengan nilai viskositas maksimum terendah sebesar 3898 BU.

Pola yang landai tersebut juga diikuti dengan nilai breakdown dan nilai

setback terendah di antara semua sampel pengeringan semprot, yaitu sebesar 2729

BU dan 971 BU. Nilai viskositas maksimum, viskositas breakdown dan viskositas

setback yang rendah ini menunjukkan bahwa kemampuan pati dalam menghidrasi

air lebih kecil dibandingkan sampel yang lain serta menunjukkan bahwa rasio

amilosa-amilopektin yang dimiliki pati tersebut lebih rendah, yang nantinya akan

mempengaruhi kerenyahan sampel pilus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Supriyadi (2012), yang mengatakan bahwa snack yang mengandung rasio

amilosa-amilopektin yang rendah akan menghasilkan tekstur snack yang renyah.

Selain itu, nilai setback yang rendah juga menunjukkan kemampuan pati dalam

beretrogradasi yang sangat rendah, sehingga molekul-molekul amilosa dalam

tapioka tersebut akan memiliki kecenderungan yang rendah untuk kembali

berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling). Kemampuan

retrogradasi yang rendah ini akan mempengaruhi tekstur pilus yang dihasilkan.

Pilus yang dihasilkan akan menjadi lebih renyah dibandingkan sampel pilus dari

tepung tapioka yang lain. Hal ini terbukti dari hasil uji tekstur dan sensori yang

ada bahwa pilus dari tapioka pengeringan semprot suhu 140-160 oC memiliki

tingkat kerenyahan yang tertinggi dibanding pilus dari tapioka pengeringan

semprot lain dengan suhu yang berbeda.

Pada Gambar 4, tapioka pengeringan kabinet suhu 40-60 oC juga

menunjukkan pola gelatinisasi yang paling landai dengan nilai viskositas

maksimum, viskositas breakdown, dan viskositas setback terendah, yaitu 3295 BU,

2051 BU, dan 1018 BU. Nilai viskositas yang rendah ini menunjukkan bahwa

21

kemampuan pati dalam menghidrasi air lebih kecil dibandingkan sampel yang lain

serta menunjukkan bahwa rasio amilosa-amilopektin yang dikandungnya lebih

rendah. Rasio amilosa-amilopektin yang rendah ini akan mempengaruhi

kerenyahan snack yang dihasilkan menjadi lebih tinggi (Supriyadi 2012). Selain

itu, nilai setback yang rendah juga menunjukkan bahwa kemampuan pati dalam

beretrogradasi sangat rendah, sehingga molekul-molekul amilosa dalam tapioka

tersebut akan memiliki kecenderungan yang rendah untuk kembali berikatan satu

sama lain saat proses pendinginan (cooling). Kemampuan retrogradasi yang

rendah ini akan mempengaruhi tekstur pilus yang dihasilkan. Pilus yang

dihasilkan akan menjadi lebih renyah dibandingkan sampel pilus dari tepung

tapioka yang lain. Dari hasil uji tekstur dan sensori dapat dilihat bahwa pilus dari

tapioka pengeringan kabinet suhu 40-60 oC menghasilkan kerenyahan yang

tertinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara

pola gelatinisasi dan kerenyahan pilus secara obyektif dan subyektif.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan perlakuan pembuatan tepung tapioka dan produk pilus yang

telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pembuatan tapioka yang paling baik

untuk menghasilkan produk pilus yang diharapkan adalah pembuatan tapioka

dengan menggunakan pengering semprot pada kisaran suhu 140-160 oC dan

pengering kabinet pada kisaran suhu 40-60 oC. Hal ini berdasarkan nilai

kerenyahan secara obyektif dan subyektif, serta korelasinya terhadap pola

gelatinisasi tepung tapioka yang digunakan bahwa pilus yang dihasilkan dari

tapioka pengeringan semprot suhu 140-160 oC dan pengeringan kabinet suhu 40-

60 oC memiliki nilai kerenyahan tertinggi dibandingkan sampel produk pilus yang

lain. Selain itu, kerenyahan dari kedua sampel pilus tersebut juga memiliki

kerenyahan yang paling mendekati pilus komersial PT Garudafood yang sudah

ada.

Saran

Penelitian ini disarankan untuk dilanjutkan dengan melakukan proses

pengendapan yang lebih cepat dan efisien, misalnya dengan proses sentrifugasi.

Diperlukan pula penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang

mempengaruhi kerenyahan tekstur pilus yang dihasilkan, seperti varietas singkong

yang dipakai. Selain itu, perlu dilakukan analisis RVA dengan pengulangan

sebanyak tiga kali/lebih untuk mendapatkan pola gelatinisasi yang lebih konsisten.

Daftar Pustaka

Adawiyah DR, Waysima. 2009. Evaluasi Sensori Produk Pangan. Edisi 1.

Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods

ofAnalysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.

22

Charles, A.L., Chang, Y.H, Ko, W.C., Sriroth, K., dan Huang, T.C. 2005.

Influence of amylopectin structure and amylose content on gelling properties of

five cultivars of cassava starches. J. Agric. Food Chemistry 53 : 2717-2725.

[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka (SNI 01-3451-

1994). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Direktorat Standardisasi Produk Pangan. 2006. SK Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan Republik Indonesia No HK. 00.05.52.4040 tentang Kategori

Pangan. Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI. Jakarta.

Dunn, T. 2001. Product Protection and Packaging Materials. Di dalam: Snack

Food Processing. CRC Press. New York.

Grace MR. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of

United Nations, Roma.

Lee MH, Baek MH, Cha DS, Park HJ, Lim ST. 2002. Freeze-thaw stabilization of

sweet potato starch gel by polysaccharide gums. Food Hydrocol 16: 345-352.

Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between thermal,

rheologicalcharacteristics, and swelling power for various starches. J.

FoodEngineering. 50 : 141-148.

Moorthy SN. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann Charlotte Eliasson

(ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRC Press, Boca

Raton, Florida.

Radley JA. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers,

London.

Supriyadi, D. 2012. Studi Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air

Terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Model Produk Gorengan. [skripsi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia, Jakarta.

.

23

LAMPIRAN

24

Lampiran 1.Hasil rendemen sampel tepung tapioka

Sampel Ulangan Berat awal (kg) Berat kering (kg) Rendemen (%) Rata-rata (%)

Semprot 140-160 1 6,40 0,94 14,69

14,69 2 6,67 0,98 14,69

Semprot 170-190 1 6,40 0,94 14,69

14,68 2 6,54 0,96 14,68

Semprot 200-220 1 6,28 0,92 14,65

14,65 2 6,55 0,96 14,66

Kabinet 40-60 1 6,04 0,96 15,89

15,88 2 6,05 0,96 15,87

Kabinet 60-70 1 6,18 1,04 16,83

16,83 2 6,30 1,06 16,83

Kabinet 70-90 1 6,32 1,06 16,77

16,77 2 6,20 1,04 16,77

Lampiran 2.Hasil analisis kadar air metode oven sampel tepung tapioka

Sampel Replikasi

Kadar Air

g/100g Rata-rata SD RSDa RSDh

Basis Kering

(%)

Basis Kering

(%)

Basis

Kering (%)

Basis Kering

(%)

Basis

Kering (%)

Semprot 140-160 (1) 1 9,36

9,35 0.01 0.10 2.86 2 9,35

Semprot 140-160 (2) 1 9,20

9,22 0.02 0.21 2.86 2 9,23

Semprot 170-190 (1) 1 8,23

8,25 0.02 0.25 2.91 2 8,26

Semprot 170-190 (2) 1 8,65

8,66 0.02 0.25 2.89 2 8,68

Semprot 200-220 (1) 1 6,71

6,70 0.01 0.13 3.00 2 6,69

Semprot 200-220 (2) 1 6,97

6,97 0.00 0.01 2.99 2 6,97

Kabinet 40-60 (1) 1 10,22

10,22 0.00 0.04 2.82 2 10,22

Kabinet 40-60 (2) 1 10,29

10,30 0.02 0.17 2.82 2 10,32

Kabinet 60-70 (1) 1 9,19

9,19 0.00 0.02 2.86 2 9,18

Kabinet 60-70 (2) 1 9,13

9,13 0.01 0.11 2.87 2 9,12

Kabinet 70-90 (1) 1 8,79

8,78 0.00 0.04 2.88 2 8,78

Kabinet 70-90 (2) 1 8,78

8,78 0.01 0.10 2.88 2 8,79

25

Lampiran 3.Hasil analisis derajat putih sampel tepung tapioka

Sampel Replikasi Nilai Derajat Putih Sampel % Derajat putih Rata-rata derajat putih (%)

Semprot 140-160 (1) 1 99,4 89,71

89,71 2 99,4 89,71

Semprot 140-160 (2) 1 99,0 89,35

89,40 2 99,1 89,44

Semprot 170-190 (1) 1 98,8 89,17

89,21 2 98,9 89,26

Semprot 170-190 (2) 1 98,9 89,26

89,26 2 98,9 89,26

Semprot 200-220 (1) 1 97,2 87,73

87,68 2 97,1 87,64

Semprot 200-220 (2) 1 97,3 87,82

87,82 2 97,3 87,82

Kabinet 40-60 (1) 1 106,4 96,03

96,03 2 106,4 96,03

Kabinet 40-60 (2) 1 106,3 95,94

95,98 2 106,4 96,03

Kabinet 60-70 (1) 1 105,0 94,77

94,81 2 105,1 94,86

Kabinet 60-70 (2) 1 105,2 94,95

94,90 2 105,1 94,86

Kabinet 70-90 (1) 1 102,6 92,60

92,64 2 102,7 92,69

Kabinet 70-90 (2) 1 102,9 92,87

92,87 2 102,9 92,87

Lampiran 4. Hasil analisis kehalusan tepung sampel tepung tapioka

Sampel Replikasi W sampel (g) W tidak lolos

ayakan (g)

W lolos ayakan

(g)

% Kehalusan tepung

(%)

Semprot 140-160 (1) 1 100,06 5,21 94,85 94,79

2 100,10 5,17 94,84 94,75

Semprot 140-160 (2) 1 100,04 5,15 94,89 94,85

2 100,05 5,19 94,86 94,81

Semprot 170-190 (1) 1 100,65 4,23 96,42 95,80

2 100,21 5,52 96,69 96,49

Semprot 170-190 (2) 1 100,10 4,25 95,85 95,75

2 100,11 4,17 95,94 95,83

Semprot 200-220 (1) 1 100,69 5,14 95,55 94,90

2 100,72 5,11 95,61 94,93

Semprot 200-220 (2) 1 100,73 5,18 95,55 94,86 2 100,68 5,13 95,55 94,90

Kabinet 40-60 (1) 1 100,80 10,22 90,58 89,86

2 100,94 10,24 90,70 89,86

Kabinet 40-60 (2) 1 100,73 10,22 90,51 89,85

2 100,75 10,25 90,50 89,83

Kabinet 60-70 (1) 1 100,89 10,31 90,58 89,78 2 100,72 10,41 90,31 89,66

Kabinet 60-70 (2) 1 100,82 10,29 90,53 89,79

2 100,80 10,32 90,48 89,76

Kabinet 70-90 (1) 1 100,69 10,17 90,52 89,90

2 100,58 10,26 90,32 89,80

Kabinet 70-90 (2) 1 100,74 10,19 90,55 89,88

2 100,73 10,23 90,50 89,84

26

Lampiran 5. Hasil analisis sensori uji rating produk pilus

Panelis Kode Sampel

926 543 294 477 161 782

1 5 6 3 5 2 3

2 6 6 5 5 5 3

3 5 6 3 5 3 3 4 6 6 5 5 3 2

5 6 7 5 2 1 2

6 6 6 5 1 3 2 7 6 6 3 6 5 5

8 5 6 3 4 3 2

9 5 5 3 5 4 4 10 5 6 5 5 5 3

11 6 5 5 6 3 5 12 6 5 5 5 3 3

13 5 5 3 5 5 3

14 5 5 3 5 3 5 15 5 6 2 6 4 5

16 3 5 3 5 3 3

17 5 6 2 2 1 3 18 6 7 5 6 4 6

19 6 7 6 6 5 6

20 3 6 2 6 4 5 21 6 6 5 6 2 5

22 5 6 3 5 3 4

23 5 6 3 6 3 6 24 6 7 3 5 3 5

25 3 6 3 5 3 5

26 6 6 5 6 3 5 27 6 6 5 6 3 4

28 6 6 3 6 2 5

29 6 7 5 6 4 5 30 6 7 3 5 2 3

Lampiran 5a. Hasil Analisis Ragam dan Uji Duncan analisis sensori

27

Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan rendemen

Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan analisis kadar air

28

Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan analisis derajat putih

Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam dan uji Duncan analisis kehalusan tepung

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 September 1991

sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara pasangan Alm. Titut

Soediarno dan Tuti Haryati. Penulis mengawali pendidikannya

pada tahun 1997 di SD Kartika XI-1 Cijantung Jakarta Timur

hingga tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan

menengah pertama di SMP Negeri 102 Jakarta hingga tahun

2006, dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU

Negeri 14 Jakarta hingga tahun 2009. Pada tahun yang sama,

penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui

jalur UTM.

Selama masa kuliah, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Ilmu dan

Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan ikut serta dalam kepanitiaan Masa

Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR 2011). Selain itu,

penulis juga pernah ikut serta dalam kepanitiaan Kajian Pangan Halal (KAPAL

2012) yang diadakan oleh Forum Bina Islami BEM Fateta. Penulis juga sering

mengikuti berbagai seminar lokal maupun nasional.

Sebagai tugas akhir, penulis melakukan kegiatan magang di PT Garudafood

Putra Putri Jaya. Penulis mengambil penelitian dengan judul Pembuatan Tapioka

dengan Pengering Semprot dan Pengering Kabinet serta Aplikasinya pada Produk

Pilus di PT Garudafood Putra-Putri Jaya dibawah bimbingan Bapak Yadi Haryadi

sebagai dosen pembimbing dan Ibu Wati sebagai pembimbing lapang yang

membantu pengerjaan tugas akhir ini dari awal hingga akhir.