pembuatan komposit matrik logam berpenguat …
TRANSCRIPT
PEMBUATAN KOMPOSIT MATRIK LOGAM BERPENGUAT KERAMIK (Al/SiCP) DAN KARAKTERISASINYA MELALUI
METODE METALURGI SERBUK
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
JEPRIANDI GINTING 040801044
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBUATAN KOMPOSIT MATRIK LOGAM BERPENGUAT KERAMIK (Al/SiCP) DAN KARAKTERISASINYA MELALUI
METODE METALURGI SERBUK
Oleh:
NIM: 040801044 Jepriandi Ginting
Disetujui Oleh:
NIP: 320 004 614 Ir. Muljadi M.Si
Diketahui Oleh: Kepala Pusat Penelitian Fisika
PPF-LIPI
NIP: 320 002 584 Dr. Ing. Priyo Sardjono
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBUATAN KOMPOSIT MATRIKS LOGAM BERPENGUAT KERAMIK (Al/SiCP) DAN KARAKTERISASINYA MELALUI
METODE METALURGI SERBUK
Pembimbing
NIP: 130 427 444 Dra. Ratna A. Simatupang, M.Si
Diketahui Oleh:
Departemen Fisika FMIPA USU
Ketua
NIP: 320 002 584 DR. Marhaposan Situmorang
Universitas Sumatera Utara
PERSETUJUAN
Judul : PEMBUATAN KOMPOSIT MATRIK LOGAM BERPENGUAT KERAMIK (Al/SiCP) DAN KARAKTERISASINYA MELALUI METODE METALURGI SERBUK Kategori : SKRIPSI Nama : JEPRIANDI GINTING Nomor Induk Mahasiswa : 040801044 Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA Departemen : FISIKA Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
Diluluskan di Medan, Februari 2009
Diketahui Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing Ketua Dr. Marhaposan Situmorang NIP: 130 810 771 NIP: 131 945 363
Dra. Ratna A. Simatupang, M.Si
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
PEMBUATAN KOMPOSIT MATRIK LOGAM BERPENGUAT KERAMIK (Al/SiCP) DAN KARAKTERISASINYA MELALUI
METODE METALURGI SERBUK
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya
Medan, Februari 2009
JEPRIANDI GINTING 040801044
Universitas Sumatera Utara
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang yang telah memberikan Rahmat, Karunia dan Bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul Pembuatan Komposit Matrik Logam Berpenguat Keramik (Al/SiCp) dan Karakterisasinya Melalui Metode Metalurgi Serbuk. Yang dilaksanakan di Laboratorium Keramik dan Gelas P2F LIPI Serpong Tangerang sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dra. Hj. Ratna A. Simatupang. M.Si selaku Dosen Pembimbing penulis serta Ir. Muljadi. M.Si, Deni S Khaerudini. S.Si, Drs. Pardamean Sebayang, M.Sc., APU, Angito P Tetuko. ST selaku pembimbing di lapangan yang telah memberikan bimbingan, waktu dan tenaga kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepala Laboratorium Pusat Penelitian Fisika PPF-LIPI Serpong Dr. Ing. Priyo Sardjono, kepada Drs. Krista Sebayang. M.Si selaku Dosen Wali penulis selama mengikuti perkuliahan, kepada Ketua dan Sekretaris Jurusan Departemen Fisika DR. Marhaposan Situmorang dan Dra. Justinon. M.Si, Dekan FMIPA USU Prof. Eddy Marlianto, M.Sc serta semua Staf Pengajar dan Pegawai Departemen Fisika FMIPA USU. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan ITI (Institut Teknologi Indonesia), Serpong Tangerang, semua mahasiswa Fisika khususnya stambuk 2004. Kepada rekan-rekan asisten dan Staf Laboratorium Fisika Dasar. Kepada teman-teman kost Saymara Tower. Akhirnya tidak terlupakan ucapan terima kasih kepada yang paling kucintai dan kusayangi Ayahanda B. Ginting dan Ibunda R. Surbakti yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril selama mengikuti perkuliahan, kepada kakakku tersayang Lili P Ginting, Amd, Merlina dan keluarga, Adekku Syahrialsyah, Adinda tersayang Triya Sulasih, S.Si Pamanku R. Surbakti dan keluarga, Bibik Inem dan keluarga, Pak Uda Nasib dan seluruh keluarga serta yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih.
Universitas Sumatera Utara
PEMBUATAN KOMPOSIT MATRIK LOGAM BERPENGUAT KERAMIK (Al/SiCP) DAN KARAKTERISASINYA MELALUI
METODE METALURGI SERBUK
Abstrak
Komposit matriks logam (Metal Matrix Composites, MMC’s) adalah kombinasi dua material atau lebih dengan logam aluminium sebagai matrik dan dikembangkan untuk memperbaiki sifat logam, kekuatan, kesetabilan panas yang tinggi, dan kekerasan. Komposit matrik aluminium sudah banyak dikembangkan karena memiliki densitas yang rendah, tahan korosi, murah dan mudah dipabrikasi. Teknik metalurgi serbuk adalah salah satu proses pabrikasi komposit matrik logam dalam kondisi padat yang masih dikembangkan karena lebih ekonomis, tidak memerlukan peralatan yang rumit Aluminium yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al alloy jenis 2124. Kemudian dilakukan variasi penambahan penguat (reinforcement) keramik SiCp sebesar 20 dan 30 %wt. Pada proses pembuatan komposit dengan metode metalurgi serbuk, dilakukan proses coating oksida metal pada permukaan penguat SiCp dengan metode electroless platting dengan menggunakan larutan Al(NO3)3. Proses coating dilakukan untuk meningkatkan kebasahan (wettability) yang rendah antara matrik Al dengan penguat SiCp. Proses pembuatan komposit matrik logam dengan metode metalurgi serbuk menggunakan campuran basah (wet mixing) dengan medium ethanol, cold compaction 300 MPa dan innert gas atmosper menggunakan gas Nitrogen (N2) pada proses sintering. Variasi suhu sintering yang digunakan adalah 450, 500, 550, dan 600 oC dengan rata-rata kenaikan suhu 5 oC/min dan ditahan selama 1 jam dan dengan laju aliran gas Nitrogen (N2) 5 lt/min dengan tekanan 1000 kgf/cm2. Pengujian meliputi sifat fisis (seperti: densitas, porositas, koefisien ekspansi termal, dan ketahanan korosi), sifal mekanik (seperti: kuat tekan, kekerasan, dan ketahanan erosi), dan analisa mikrostruktur dengan menggunakan SEM dan XRD. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sifat mekanis dan sifat fisis dari komposit matrik logam berpenguat keramik Al/SiCp meningkat dengan kenaikan suhu sintering dan dengan penambahan komposisi partikel penguat SiC dapat meningkatkan sifat mekanis dan sifat fisis seperti: kekerasan, ketahanan erosi, ketahanan korosi, koefisien ekspansi termal, dan ketahanan korosi.Dari pengujian mikrostruktur partikel SiC pada sampel uji tersebar secara homogen (merata) berdasarkan pengujian SEM, dan hasil uji analisa struktur kristal dengan XRD menunjukkan bahwa fase dominan yang muncul adalah Al dan SiC meskipun muncul fase baru yang bersifat degradasi yaitu Al4C3 tetapi masih dalam jumlah yang sangat kecil yang dipengaruhi oleh proses pre-treatmnet tingkat kebasahan (wettability) keramik SiCp.
Universitas Sumatera Utara
FABICATION OF METAL MATRIX COMPOSITESREINFORCED BY CERAMIC (Al/SiCp) AND ITS CHARACTERISTIC
WITH POWDER METALLURGY METHOD
Abstract
Metal Matrix Composites is two or more combination material with aluminum metal as matrix and devolved to fix metal act, strength, high temperature stability and hardness. Metal matrix composites have been developed so many because it has low density, corrosion proof, cheap and easy fabrication. Powder metallurgy technique is one of metal matrix composites fabrication process in solid state that still developed because more economic, doesn’t need difficult equipment. Aluminum that use in this research is Al alloy type 2124. Then it is done added variation reinforcement ceramics SiCp amount 20 and 30 %wt. in composites fabrication process with powder metallurgy method, it’s done coating oxide metal process at reinforcement surface SiCp with electroless platting method with using addition Al(NO3)3. Coating process is done for increase low wettability between matrix Al and reinforcement SiCp. Metal matrix composites fabrication process with powder metallurgy method using wet mixing with pure ethanol, cold compaction 300 MPa and inert gas atmospheric using Nitrogen gas (N2) at sintering process. Variation of sinter temperature that used is 450, 500, 550, and 600 oC with highly temperature average 5 oC/min and holding time for 1 hour and with speed flow Nitrogen gas (N2) 5 lt/min with pressure 1000 kgf/cm2. The testing include physical act (example: density, porosity, coefficient of thermal expansion, and resistance corrosion), mechanical properties (example: compressive strength, hardness, wear resistance), microstructure analysis with using SEM, and structure crystal analysis with using XRD. From research result can be conclude the mechanical properties and physical properties from metal matrix composites reinforced ceramics Al/SiCp increase with sinter temperature highly and with reinforcement particle addition SiC can increase mechanical properties and physical properties such as: hardness, wear resistance, coefficient of thermal expansion and resistance corrosion. From microstructure analysis, particle Sic distributed homogently at test specimen based on SEM analysis, and structure crystal analysis test result XRD show that dominant phase appear is Al, and Sic, eventhough it appear new phase that have characteristic degradation namely Al4C3 but it still in small amount influenced by wettability state pre-treatment ceramics SiCp process.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstrack Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Batasan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.4 Tempat Penelitian 1.5 Sistematika Penelitian Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Pengertian Komposit 2.1.1 Sifat dan Karateristik Komposit 2.1.2 Klasifikasi Komposit 2.2 Komposit Matriks Logam 2.3 Aluminium 2.4 Silicon Carbida (SiC) 2.5 Tipe Material Penyusun 2.5.1 Matriks (Matrix) 2.5.2 Penguat (Reinforcement) 2.6 Mekanisme Penguatan Komposit 2.6.1 Modulus Elastistas Komposit 2.7 Kebasahan (Wettability) 2.8 Pelapisan pada Partikel Penguat 2.9 Proses Pembuatan Komposit Matriks Logam 2.9.1 Proses Fase Cair (Liquid State Processing) 2.8.2 Proses Fase Uap (Physical Pavor Deposition, PVD) 2.9.3 Proses Fase Padat (Solid State Processing) 2.9.3.1 Pencampuran (Blending or Mixing) 2.9.3.2 Penekanan (kompaksi) 2.9.3.3 Proses Sintering 2.9.3.3.1 Prinsip Dasar Proses Sintering 2.9.3.3.2 Mekanisme Transport Proses Sintering
Universitas Sumatera Utara
2.9.3.3.3 Tahapan Sintering 2.9.3.3.4 Klasifikasi Sintering 2.9.3.3.5 Efek Sintering Terhadap Sifat sampel 2.10 Karakterisasi Material Komposit 2.10.1 Sifat Fisis 2.10.1.1 Densitas 2.10.1.2 Porositas 2.10.1.3 Koefisien Ekspansi Termal 2.10.1.4 Korosi 2.10.1.4.1 Pengujian Korosi Dengan Tekanan 2.10.2 Sifat Mekanik 2.10.2.1 Kuat Tekan 2.10.2.2 Kekerasan (Vickers Hardness Test) 2.10.2.3 Ketahanan Erosi (Wear Resistance) 2.10.3 Analisa Mikrostruktur 2.10.3.1 SEM (Scanning Electron Microscope) 2.10.4 Analisa Struktur Kristal 2.10.4.1 XRD (X-Ray Diffraction) Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat 3.1.2 Bahan 3.2 Diagram Alir Penelitian 3.2.1 Diagram Electroless Coating SiC 3.2.2 Skema Diagram Alir Pembuatan Komposit Matriks Logam Al/SiCp 3.3 Variabel Eksperimen 3.3.1 Variabel Penelitian 3.3.2 Variabel Percobaan yang Diuji 3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Preparasi Serbuk 3.4.2 Pencampuran (Mixing) 3.4.3 Pembuatan Sampel Uji 3.4.4 Proses Sintering 3.5 Pengujian 3.5.1 Sifat Fisis 3.5.1.1 Densitas 3.5.1.2 Porositas 3.5.1.3 Koefisien Ekspansi Termal 3.5.1.4 Pengujian Ketanan Korosi 3.5.2 Sifat Mekanik 3.5.2.1 Kuat Tekan (Compressive Strenght) 3.5.2.2 Kekerasan (Vickers Hardness Test) 3.5.2.3 Ketahanan Erosi (Wear Resistance) 3.5.3 Analisa Mikrostruktur 3.5.3.1 SEM (Scanning Electron Microscope) 3.5.4 Analisa Struktur Kristal
Universitas Sumatera Utara
3.5.4.1 Difraksi Sinar-X (X-Ray Diffraction) Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sifat Fisis 4.1.1 Densitas dan Porositas 4.1.1.1 Densitas dan Porositas Pra Sintering 4.1.1.2 Densitas dan Porositas Pasca Sintering 4.1.2 Koefisien Ekspansi Termal 4.1.3 Ketahanan Korosi 4.2 Sifat Mekanis 4.2.1 Kuat Tekan 4.2.2 Kekerasan (Vickers Hardness) 4.2.3 Ketahanan Erosi (Wear Resistance) 4.3 Analisa Mikrostruktur 4.3.1 Scanning Electron Microscope) 4.4 Analisa Struktur Kristal 4.4.1 X-Ray Diffraction) Bab V Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN A LAMPIRAN B LAMPIRAN C LAMPIRAN D LAMPIRAN E LAMPIRAN F
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat Mekanis Beberapa Komposit Matriks Logam (f = filament, w = whisker) Tabel 2.2 Serat, Matriks, Teknik Pabrikasi dan Penerapan Komposit Matriks Logam. Tabel 2.3 Beberapa Sifat Mekanis dan Sifat Fisis Komposit Matriks Aluminium Berpenguat Keramik SiCp Tabel 2.4 Data Sheet Material Aluminium 2124 Tabel 2.5 Komposisi Kimia Aluminium 2124 Tabel 2.6 Data Sheet Material Silicon Carbide Tabel 2.7 Komposisi Kimia Penguat SiCp Tabel 2.8 Tekanan Berbagai Serbuk Logam Tabel 4.1 Pengukuran Densitas dan Porositas Pra Sintering Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.2 Pengukuran Densitas dan Porositas Pra Sintering Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Tabel 4.3 Pengukuran Densitas dan Porositas Pasca Sintering Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.4 Pengukuran Densitas dan Porositas Pasca Sintering Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Tabel 4.5 Slope Grafik Hubungan Antara Perubahan Temperatur Terhadap Perubahan Panjang Sampel Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.6 Slope Grafik Hubungan Antara Perubahan Temperatur Terhadap Perubahan Panjang Sampel Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Tabel 4.7 Pengukuran Ketahanan Korosi Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.8 Pengukuran Ketahanan Korosi Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Tabel 4.9 Pengukuran Kuat Tekan Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.10 Pengukuran Kuat Tekan Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Tabel 4.11 Pengujian Kekerasan (Hardness Test) Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.12 Pengujian Kekerasan (Hardness Test) Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Tabel 4.13 Pengujian Ketahanan Erosi (Wear Resistance) Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Tabel 4.14 Pengujian Ketahanan Erosi (Wear Resistance) Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pembagian Komposit Berdasarkan Jenis Penguat Yang Digunakan Gambar 2.2 Ilustrasi Komposit Berdasarkan Penguat Yang Digunakan Gambar 2.3 Rentang Kekuatan Tarik Spesifik Longitudinal Dan Modulus Spesifik Yang Dapat Dicapai Oleh Komposit Matriks Logam Gambar 2.4 Beberapa Contoh Aplikasi Komposit Matriks Logam Dalam Dunia Industri Gambar 2.5 SEM Struktur Mikro Aluminium 2124 Gambar 2.6 Struktur Kubus β-SiC dan Struktur Heksagonal α-SiC Gambar 2.7 SEM Struktur Mikro Penguat SiCp Gambar 2.8 Jenis Penguat Keramik Gambar 2.9 SEM Struktur Mikro Penguat SiCp Setelah Dilapisi Dengan Al(NO3)3 Gambar 2.10 Flowchart Proses MMC Secara Umum Gambar 2.11 Diagram Proses Pembuatan Komposit Matriks Logam Dengan Metalurgi Serbuk (Komposit DWA) Gambar 2.12 Laju Massa Sebagai Respon Gaya Penggerak Pada Mekanisme Transport Gambar 2.13 Skema Pembentukan dan Pertumbuhan Leher Pada Molekul Dua Partikel Gambar 2.14 Proses Sinter Padat Gambar 2.15 Pengaruh Suhu Sintering Pada: Porositas, Densitas Tahanan Listrik, Kekuatan, dan Ukuran Butiran Gambar 2.16 Perambatan Stress Corrosion Crack Terhadap Fungsi Intensitas Keretakan Gambar 2.17 Pengujian Kuat Tekan Dengan Menggunakan UTM Gambar 2.18 Pengujian Kuat Tekan Sebelum dan Setelah Uji Pada Beberapa Material Logam Gambar 2.19 Pengujian Kuat Tekan Sebelum dan Sesudah Pada Beton Dengan Diameter 150 mm Gambar 2.20 Vickers Hardness Indentation Gambar 2.21 Difraksi Bidang Kristal Gambar 2.22 Kristal Rotasi dan Metode Serbuk Difraksi Gambar 2.23 Skema Prinsip Dasar SEM Gambar 3.1 Skema Proses Electroless Coating SiCp Untuk Meningkatkan Tingkat Kebasahan Keramik (Wettability) Gambar 3.2 Skema Diagram Alir Pabrikasi Alloy Aluminium 2124-SiCp Komposit Matriks Logam Melalui Proses Metalurgi Serbuk Gambar 3.3 Skema Proses Sintering Gambar 3.4 Sampel Uji Kuat Tekan Komposit Matriks Logam Al/SiCp
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.5 Sampel Uji Kuat Tekan yang Diletakkan Antara Lempeng Penekanan Gambar 3.6 Sampel Yang Hancur Setelah Pengujian Kuat Tekan Gambar 3.7 Daerah Uji Kekerasan dari Sampel Secara Acak Gambar 3.8 Hasil Pengujian Vickers Hardness Gambar 3.9 Skema Alat Uji XRD Gambar 4.1 Kemungkinan Bentuk Serbuk Al dan SiC Pada Saat Proses Kompaksi (a) Bola-Bola, (b) Bola-Bidang dan (c) Bidang-Bidang Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Densitas Terhadap Perubahan Suhu Sintering untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Dan 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.3 Grafik Hubungan Antara Porositas Terhadap Perubahan Suhu Sintering untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Dan 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 450 oC Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Gambar 4.5 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 500 oC Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Gambar 4.6 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 550 oC Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Gambar 4.7 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 600 oC Untuk Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Gambar 4.8 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 450 oC Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.9 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 500 oC Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.10 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 550 oC Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.11 Grafik Hubungan Antara Koefisien Ekspansi Termal Dengan Suhu Pengukuran Pada Suhu Sintering 600 oC Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.12 Grafik Hubungan Antara Perubahan Massa Terhadap Waktu Pada Pengujian Korosi Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp Gambar 4.13 Grafik Hubungan Antara Perubahan Massa Terhadap Waktu Pada Pengujian Korosi Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.14 Grafik Hubungan Antara Kuat Tekan Dengan Perubahan Suhu Sintering pada Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.15 Grhuafik Hubungan Antara Kekerasan Terhadap Perubahan Suhu Sintering Pada Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp Gambar 4.16 Grafik Hubungan Antara Ketahanan Erosi (Wear Resistance)
Terhadap Perubahan Suhu Sintering Pada Komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A Contoh Perhitungan LAMPIRAN B Data-Data Hasil Pengukuran LAMPIRAN C Gambar Bahan Penelitian LAMPIRAN D Gambar Alat Penelitian LAMPIRAN E Gambar Grafik Koefisien Ekspansi Termal Plotter Alat Dilatometer Harrop T-70 LAMPIRAN F Annual Book Standard Test Methods for Material ASTM
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Material yang murah dan mudah didapat tentu akan dapat mengurangi harga
jual dan mengurangi biaya pembuatannya (manufacturing). Industri yang berbasis
logam (seperti: velg kendaraan bermotor, turbin pembangkit tenaga listrik, piston
untuk industri otomotif, peralatan mekanik, dll) di Indonesia pada umumnya masih
meng-impor dari luar negeri, selain itu harga bahan baku yang relatif mahal. Pada
umumnya material penyusun pada piston, velg, dan aplikasi lainnya pada kendaraan
bermotor terbuat dari material casting (cor-an) berbasis besi (ferro). Namun untuk
aplikasi material komposit logam pada dunia industri di Indonesia belum signifikan,
mungkin karena hambatan teknik fabrikasi atau kendala teknis lainnya. Tetapi
keunggulan dari material komposit bila diaplikasikan dalam dunia industri secara
jangka panjang akan memberikan beragam keuntungan, seperti: reduksi berat
komponen, anti korosi, tahan gesek (friction material), konduktifitas panas yang
rendah, dan keunggulan mekanis dan fisis lainnya. Komposit logam yang sering
digunakan saat ini yaitu komposit matrik logam berbasis aluminium karena
merupakan salah satu bahan mineral yang paling melimpah dan murah di dunia.
Sedangkan penguat yang digunakan biasanya berbasis keramik dari beragam golongan
(karbida, nitrida, dan oksida), seperti: SiC, B4C, TiC, berupa partikel, whisker,
maupun berbentuk serat pendek Al2O3. (Zainuri, 2007)
Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan teknik fabrikasi yang sangat
luas penerapannya dalam berbagai inovasi teknologi material dewasa ini. Dalam dunia
industri, teknologi ini dapat diaplikasikan untuk berbagai karakteristik material,
seperti sifat fisis yang meliputi sifat listrik, magnet, optik atau sifat mekanik.
Keunggulan penerapan dari teknologi berbasis serbuk antara lain dapat
menggabungkan berbagai sifat material yang berbeda karakteristik, sehingga menjadi
sifat yang baru sesuai dengan yang direncanakan (design). Material komposit dengan
material dasar pembentuk berupa matrik dan penguat berbentuk serbuk, termasuk
Universitas Sumatera Utara
golongan komposit isotropik dimana semua arah penguat (reinforce) mempunyai
besar yang sama.
Komposit Matrik Logam (Metal Matrix Composites, MMC’s) dengan matrik
alumunium dan penguat SiC berbasis serbuk atau juga dikenal dengan komposit
isotropik Al/SiC merupakan material yang berperan potensial dengan aplikasi serta
pengembangan yang luas. Komposit ini mempunyai keunggulan dalam kekuatan dan
ketahanan terhadap aus. Komposit ini juga banyak digunakan sebagai material dasar
komponen produk otomotif seperti gear, piston, disc brake (rem cakram) dan
komponen produk otomotif lainnya.
Komposit merupakan salah satu bahan alternatif yang banyak digunakan untuk
menggantikan bahan-bahan konvensional yang dari segi kuantitas dan kualitasnya
semakin menurun. Salah satu dari bahan konvensional tersebut adalah alumunium
(Al), yang selama ini dikenal sebagai bahan yang mempunyai sifat fisika ringan,
plastis, dan tahan terhadap korosi dengan memanfaatkan sistem proses pembuatan
komposit serbuk metalurgi (composite of powder metallurgy). Dengan cara sistem
pembuatan tersebut bahan Alumunium yang mempunyai sifat plastis, bila diberi
penguat bahan keramik SiC dengan sifat yang keras, akan mempunyai sifat baru yaitu
diantara plastis dan keras. Hal ini dapat terjadi apabila ada keterikatan antar
permukaan serbuk Alumunium dan serbuk SiC. Kualitas ikatan antar permukaan yang
terjadi antara Al dan SiC dipengaruhi oleh besarnya tekanan (kompaksi) pada saat
proses pembuatan bahan komposit. Tekanan yang terlalu kecil akan menyebabkan
ikatan awal antara permukaan Al dan SiC lemah, oleh karena itu pada saat proses
sintering akan mengalami pelepasan ikatan. Untuk ikatan yang terlalu besar jauh di
atas yield strength (titik luluh) dari matrik akan menyebabkan terjebaknya gas
(traping gas) atau pelupas padat setelah proses penekanan, maka pada saat sintering
hal tersebut menyebabkan keretakan pada komposit. Untuk menghindari peristiwa
yang tidak diharapkan, maka diperlukan pemberian tekanan yang tepat agar ikatan
antar permukaan tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat, dengan demikian proses
difusi yang terjadi antar permukaan matrik dan penguat dapat terjadi dengan
sempurna. Disamping itu, permasalahan yang sering dihadapi dalam pembuatan
komposit matrik aluminium dengan metalurgi serbuk adalah masalah kebasahan
Universitas Sumatera Utara
(wettability), karena kebasahan partikel penguat (reinforce) terhadap matrik
merupakan faktor utama terbentuknya ikatan (difusi). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebasahan, antara lain: keseragaman (homogenitas) pada saat mixing
serbuk matrik dan penguat, proses sintering, waktu, dan lingkungan atmosfer. Semua
faktor tersebut sangat menentukan kualitas dari proses pembuatan komposit tersebut.
(Khaerudini, 2008)
Dalam pembuatan komposit dengan proses metalurgi serbuk, serbuk matrik Al
dan partikel penguat SiC dicampur (wet mixing) kemudian dimasukkan kedalam
cetakan (mould) dan dikompaksi dengan menggunakan hidraulic press dengan
tekanan 300 MPa dan ditahan selama 5 menit untuk mendapatkan green body dengan
densitas sampel berkisar 80%. Setelah proses tersebut kemudian dilakukan proses
sintering, proses sintering dilakukan dalam lingkuangan atmosfer Nitrogen (innert
gas) dan suhu sintering divariasi sampai batas 600 oC (dibawah titik leleh aluminium)
dan ditahan selama 1 jam. Pada penelitian ini partikel keramik SiC dibasahi
(wetttability) dengan menggunakan Al(NO3)3.
1.2 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini batasan masalah yang dibahas meliputi:
1 Variasi suhu sintering mulai dari 450, 500, 550, dan 600 0C dengan waktu
tahan (holding time) selama 1 jam.
2 Pengaruh komposisi dari Al/SiC terhadap sifat mekanis dan fisis komposit
matrik logam, dalam penelitian ini perbandingan komposisi matrik Al dan
penguat SiC adalah 70 : 30 dan 80 : 20 %wt.
3 Pengujian sifat-sifat fisis meliputi:
a. Densitas.
b. Porositas.
c. Koefisien Ekspansi Termal.
d. Korosi.
4 Sifat Mekanik
a. Kuat tekan (compressive strength).
b. Kekerasan (hardness vicker).
Universitas Sumatera Utara
c. Ketahanan erosi (wear resistance).
5 Analisa Mikrostruktur
a. SEM (Scanning Electron Microscope)
6. Analisa Struktur Kristal
a. XRD (X-Ray Difraction)
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakterisasi dari komposit matrik logam berpenguat
keramik Al/SiCp.
2. Untuk mengetahui sifat mekanik dan fisis dari komposit matrik logam Al/SiCp
untuk bermacam-macam parameter pengujian.
3. Untuk memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia sebagai
pengembangan industri khususnya dalam pembuatan komposit matrik logam.
4. Untuk mengetahui aplikasi dari komposit matrik logam berpenguat keramik
Al/SiCp dalam berbagai industri maupun dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan, diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan tentang proses pembuatan (manufacturing) dan
karakterisasi dari komposit matrik logam berpenguat keramik Al/SiCp untuk
bermacam-macam aplikasi dalam sektor industri seperti: industri otomotif,
penerbangan (aerospace), rumah tangga, dan lain-lain dengan memanfaatkan sumber
daya alam lokal yang melimpah di Indonesia seperti logam aluminium dan silicon
carbida.
1.5 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Uji Material Keramik dan Gelas, Pusat
Penelitian Fisika LIPI Gd. 440 Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Desa Setu,
Kecamatan Setu, Kabupaten Tangerang, Kode Pos 15310, Provinsi Banten, Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada masing-masing bab adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini mencakup latar belakang penelitian, batasan masalah yang akan
diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tempat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas tentang landasan teori yang menjadi acuan untuk
proses pengambilan data, analisa data serta pembahasan.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini membahas tentang peralatan dan bahan penelitian, diagram alir
penelitian, prosedur penelitian, pengujian sampel.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa data yang
diperoleh dari penelitian.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian
dan memberikan saran untuk penelitian yang lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Komposit
Material komposit didefinisikan sebagai campuran makroskopik antara serat
dan matrik yang bertujuan untuk menghasilkan suatu material baru yang memiliki
sifat dan karakteristik yang berbeda dari unsur penyusunnya. Dengan perbedaan
material penyusun komposit, maka antara matrik dan penguat harus saling berinteraksi
antar muka (interface), sehingga perlu ada penambahan material katalis berupa
wetting agent. Pada material komposit serat berfungsi untuk memperkuat matrik
karena pada umumnya serat jauh lebih kuat dibandingkan dengan matrik, sedangkan
matrik berfungsi untuk melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan akibat
benturan (impact).
Beberapa defenisi dasar dari komposit sebagai berikut:
a. Sub-Mikro (nano) yang artinya molekul tunggal dan kisi kristal, bila material yang
disusun dari dua atom atau lebih disebut komposit (contoh: senyawa, paduan (alloy),
polimer, dan keramik).
b. Mikrostruktur yang artinya pada kristal, fase, dan senyawa, bila material disusun dari
dua fase atau senyawa atau lebih disebut komposit (contoh: paduan Fe dan C).
c. Makrostruktur yang artinya material yang disusun dari campuran dua atau lebih
penyusun makro yang berbeda dalam bentuk dan/atau komposisi dan tidak larut
satu dengan yang lain disebut material komposit (definisi secara makro ini yang biasa
dipakai dalam mendefinisikan komposit).
Secara umum, penyusun komposit terdiri dari dua atau lebih material yang
menimbulkan beberapa istilah dalam komposit, seperti: matrik (penyusun dengan
fraksi volume terbesar), penguat (penahan beban utama), interphase (pelekat antara
matrik dan penguat), dan interface (permukaan fase yang berbatasan dengan fase
lain).
2.1.1 Sifat dan Karakteristik Komposit
Universitas Sumatera Utara
Sifat maupun karakteristik dari komposit ditentukan oleh beberapa faktor:
a. Material yang menjadi penyusun komposit.
Karakteristik komposit ditentukan berdasarkan karakteristik material penyusun dan
dapat ditentukan secara teoretis dengan pendekatan metode rule of mixture (ROM),
sehingga akan berbanding secara proporsional.
b. Bentuk dan struktur penyusun dari komposit.
Bentuk (dimensi) dan struktur (ikatan) penyusunan komposit akan mempengaruhi
karakteristik komposit.
c. Interaksi antar penyusun.
Bila terjadi interaksi antar penyusun akan meningkatkan sifat dari komposit.
2.1.2 Klasifikasi Komposit
Pada umumnya komposit dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain:
1. Komposit Matrik Polimer (Polymer Matrix Composites – PMC). Bahan ini
merupakan bahan yang paling sering digunakan atau sering disebut dengan
Polimer Berpenguatan Serat (Fibre Rainforced Polymers or Plastics –
FRP). Komposit ini menggunakan suatu polimer berbasis resin sebagai
matriknya, dan jenis serat tertentu sebagai penguat, seperti: serat kaca,
karbon, dan aramid (kevlar).
2. Kompsit Matrik Keramik (Ceramic Matrix Composites – CMC). Material
komposit ini biasanya digunakan pada lingkungan bertemperatur sangat
tinggi, bahan ini menggunakan keramik sebagai matrik dan diperkuat
dengan serat pendek, atau serabut-serabut (whiskers) yang terbuat dari
silikon karbida atau boron nitrida.
3. Komposit Matrik Logam (Metal Matrix Composites – MMC). Ditemukan
berkembang pada industri otomotif, bahan ini pada umumnya
menggunakan suatu logam seperti aluminium (Al) sebagai matrik dan
penguatnya dengan serat silicon carbida (SiC).
Adapun pembagian komposit berdasarkan jenis penguat yang digunakan
seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Pembagian komposit berdasarkan jenis penguat yang digunakan (Pramono, 2008)
Berdasarkan Gambar 2.1, dapat diketahui bahwa, berdasakan jenis penguat
yang digunakan komposit dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Particulate composite, penguatnya berbentuk partikel.
b. Fibre composite, penguatnya berbentuk serat.
c. Structural composite, cara penggabungan material komposit berbentuk laminat atau
panel. (Pramono, 2008)
Ilustrasi komposit berdasarkan penguat yang digunakan dapat dilihat pada
gambar 2.2 dibawah ini.
Gambar 2.2 Ilustrasi komposit berdasarkan penguat yang digunakan (Pramono, 2008)
a. Partikel b. Fiber c. Struktur
Universitas Sumatera Utara
2.2 Komposit Matrik Logam
Komposit Matrik Logam (KML) adalah kombinasi rekayasa material yang
terdiri dari dua atau lebih bahan material (salah satunya logam), dengan berbagai
bentuk dan sifat yang dilakukan secara kombinasi dan sistematik pada kandungan-
kandungan yang berbeda pada material tersebut sehingga menghasilkan suatu material
baru yang memiliki sifat dan karakteristik yang lebih baik dari bahan dasar
penyusunnya.
Penelitian dan pengembangan mengenai komposit matrik logam (KML) sudah
mulai dilakukan pada tahun 1960-an, akan tetapi masih banyak mengalami kendala
karena pembuatan komposit matrik logam memerlukan biaya yang relatif tinggi,
minimnya pengembangan tentang pengetahuan tentang komposit matrik logam dan
lain-lain. Namun dewasa ini, karena kebutuhan akan suatu material yang memiliki
karakteristik yang lebih baik dari bahan konvensional serta perkembangan teknologi
rekayasa material yang berkembang sangat pesat, sehingga kendala-kendala yang
selama ini ditemukan dalam proses pembuatan komposit matrik logam dapat diatasi
terlebih karena didukung oleh ketersedian bahan baku seperti: serat karbon dan boron,
kristal whisker dan secara tak langsung oleh keberhasilan komposit matrik polimer.
Industri ruang angkasa (aerospace) dan teknologi pertahanan tertarik dengan prospek
material konstruksi jenis komposit matrik logam tersebut, karena memiliki kekuatan,
kekakuan, dan spesifik yang tinggi. Berbeda dengan material matrik tanpa penguat
dan bahan konvensional, komposit matrik logam diharapkan menjadi suatu material
yang tahan terhadap temperatur yang relatif tinggi. Selain itu, dalam konsep
pembuatan komposit matrik logam mempunyai prospek yang lebih menjanjikan
karena karakteristik bahan yang tahan terhadap suhu tinggi, memiliki batas kelelahan
yang baik (fatigue), sifat redaman, daya hantar listrik, kondiktivitas termal, ketahanan
terhadap korosi, kekerasan yang cukup baik, memiliki bobot yang ringan, ketahanan
aus (wear resistance), dan koefisien muai termal yang lebih baik.
Dewasa ini, pembuatan komposit matrik logam telah dikembangkan dengan
menggunakan penguat partikel, dan yang dapat diaplikasikan untuk berbagai industri
karena penguat partikel merupakan komposit jenis Discontinous Metal Matrix
Universitas Sumatera Utara
Composite’s (DMMC), dan komposit jenis ini sering disebut dengan komposit
isotropik yang artinya semua arah penguat memiliki nilai yang sama dan komposit
dengan penguat jenis partikel juga mudah diproses. Matrik berbasis logam dengan
kerapatan (densitas) yang rendah secara bertahap telah banyak dikembangkan.
Material utama matrik yang umum dikembangkan adalah aluminium, titanium, dan
magnesium. Dalam pembuatan komposit matrik logam, yang paling banyak
dikembangkan adalah komposit matrik logam berbasis aluminium, dan penguat yang
digunakan adalah partikel SiC karena disamping harga bahan baku yang relatif murah
juga mudah didapat, sehingga partikel SiC banyak digunakan untuk penguat dalam
pembuatan komposit matrik logam. Disamping itu, pembuatan komposit matrik logam
juga sering menggunakan penguat alumina.
Padu
an A
l
A
CB
Mempunyai arah
Lebih m
urah
Isotro
pik
Komposit berbasis Al
0,1
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
50 100 150
A = Partikel S0.2778iC WhiskerB = Monofilament SiC atau BC = Serat Karbon Mutu Tinggi
Kek
uata
n sp
esifi
k (M
Pa)
Modulus spesifik (MPa) Gambar 2.3 Rentang kekuatan tarik spesifik longitudinal dan modulus spesifik yang dapat dicapai oleh komposit berbasis Aluminium
(Smallman, 1995)
Dari gambar 2.3 dapat dilihat bahwa peningkatan kekuatan tarik spesifik
longitudinal dan modulus spesifik yang dialami paduan aluminium yang diperkuat
dengan serat, whisker, atau partikel. Perubahan sifat sebesar ini tidak akan mungkin
dicapai dengan cara konvensional melalui proses pengembangan paduan. Pada
keadaan yang sama seperti terlihat pada gambar 2.3, perubahan tersebut diikuti
dengan penambahan biaya dan menonjolnya anisotropi. Pada komposit matrik logam
Universitas Sumatera Utara
dengan perbandingan kekuatan secara longitudinal terhadap kekuatan transversal
adalah 15 : 1 atau lebih. Meskipun penguatan dengan serat kontiniu dapat
meningkatkan kekuatan maksimum satu arah, tetapi kondisi pemakaian sering kali
mengikuti tegangan multi-aksial (acak).
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa dalam proses pabrikasi (manufacturing)
komposit matrik logam, matrik yang paling banyak digunakan adalah logam
aluminium karena logam aluminium merupakan suatu material yang memiliki
beberapa sifat yang menarik untuk dikembangkan sebagai matrik dalam proses
pembuatan komposit matrik logam antara lain: memiliki densitas yang rendah, tahan
terhadap korosi, memiliki sifat panas, dan sifat listrik yang baik. Logam aluminium
yang biasa digunakan sebagai matrik adalah paduan Al-Si, Al-Cu, 2XXX, dan 6XXX.
Komposit matrik aluminium biasanya menggunakan penguat Al2O3, SiC, C akan
tetapi SiO2, B, BN, B4C, AlN masih dalam tahap pengembangan dan penelitian, akan
tetapi dalam pengembangan dan penelitian penguat yang umumnya digunakan adalah
penguat partikel SiC. Pemilihan partikel penguat SiC sebagai bahan pengisi (filler)
banyak dikembangkan karena material SiC memiliki beberapa sifat mekanik dan fisis
yang baik seperti: memiliki nilai modulus elastistas yang tinggi, kekerasan, ketahanan
erosi (wear resistance), dan memiliki nilai koefisien ekspansi termal yang rendah. Jadi
dengan menggunakan material aluminium sebagai matrik dan partikel SiC sebagai
bahan penguat maka akan mendapatkan suatu material komposit yang memiliki sifat
antara getas dan liat, disamping itu juga dihasilkan suatu material komposit yang
memiliki sifat mekanik, sifat fisis, dan sifat termal yang baik, serta menghasilkan
material yang memiliki bobot rendah dan memiliki umur pemakaian yang lebih lama
karena memiliki ketahanan korosi yang baik. Dari tabel 2.1 dapat dilihat beberapa
sifat mekanik, fisis, dan termal komposit matrik aluminium.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Beberapa sifat mekanis dan sifat fisis komposit matrik aluminium berpenguat keramik SiCp. (Olivier Beffort, 2002)
Sifat Fisis Satuan
Densitas 2.6 - 3.2 g/cm3
Sifat Mekanik Satuan
Kuat Tarik 300 - 450 MPa
Modulus Elastisitas 180 - 200 Gpa
Ketahanan Lelah 10.0 - 25.0 MPa-m½
Sifat Panas Satuan
Koefisien Ekspansi Termal 7 – 20 x 10-6/°C
Konduktivitas Panas 220 W/mK
Dibandingkan dengan logam monolitik, komposit matrik aluminium
berpenguat partikel SiC memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a) Memiliki kekuatan yang lebih tinggi.
b) Memiliki sifat kekakuan yang lebih tinggi.
c) Memiliki ketahanan lelah yang baik.
d) Lebih tahan terhadap suhu yang relatif tinggi.
e) Memiliki koefisien ekspansi termal dan konduktivitas termal yang baik.
f) Umur pemakain lebih lama karena tahan terhadap korosi.
Kelebihan komposit matrik aluminium berpenguat partikel SiC dibandingkan
dengan komposit matrik polimer:
a) Ketahanan terhadap suhu yang tinggi.
b) Tahan terhadap api.
c) Memiliki tingkat kekakuan dan kekuatan yang lebih tinggi.
d) Tahan terhadap suhu yang lembab.
e) Memiliki sifat listrik dan sifat termal yang baik.
f) Ketahanan terhadap radiasi.
g) Pembuatan komposit matrik logam yang menggunakan penguat whisker maupun
partikel dapat dibuat dengan cara konvensional.
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan matrik
Al dan penguat SiCp, telah dilakukan dan dikembangkan dengan beragam metode,
baik untuk komponen siap pakai maupun setengah jadi untuk pemerosesan lebih lanjut
(seperti bilet untuk ekstrusi, pengerolan, dan pengempaan) berbagai metode proses
pembuatan (manufacturing) komposit matrik logam masih terus dilakukan dalam
tahap penelitian di laboratorium atau skala pengembangan industri. Secara umum,
metode proses pembuatan komposit matrik logam, meliputi: peleburan logam matrik
(proses liquid), pencampuran serbuk (metalurgi serbuk atau solid), atau deposisi uap
(vapor deposition). Komposit matrik aluminium berpenguat keramik SiC umumnya
diproses dengan metode metalurgi serbuk (Powder Metallurgy), proses pembuatan
komposit dengan metode serbuk memiliki tiga tahapan yaitu pencampuran (mixing),
penekanan (compaction), dan proses pensinteran (akan dibahas secara rinci pada sub
berikutnya, pada proses pabrikasi. komposit logam Al/SiCp). Campuran serbuk matrik
logam aluminium dan partikel penguat SiC juga dapat dilakukan dengan cara:
pencampuran mekanik (mechanical alloying), pencampuran partikel dengan logam
cair (pengadukan lelehan), pencoran kempa (compachasting), rheocasting, dan spray
deposition. (Smallman, 1995)
Pada era 1980-an, komposit matrik aluminium dengan menggunakan penguat
tak kontinu telah dikembangakan dan diaplikasikan dibidang transportasi. Komposit
matrik logam dengan menggunakan penguat tak kontinu merupakan jenis komposit
yang isotropik dan memiliki sifat mekanik yang lebih baik (dibandingkan dengan
logam tanpa penguat) dan memiliki harga yang relatif murah (proses pembuatan
murah karena penguat tak kontiniu banyak tersedia di alam seperti partikel SiC dan
Al2O3).
Gambar 2.4 Beberapa contoh aplikasi komposit matrik logam dalam dunia industri (a) brake rotors for high speed train, (b) automotive breaking systems, (c)
automotive pushrods, and (d) cor for HV electrical wires (Smallman, 1995)
(a) (c) (b) (d)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4, memperlihatkan beberapa aplikasi dari pengembangan komposit
matrik aluminium dengan menggunakan partikel penguat SiC, gambar brake rotors
ICE-1 dan ICE-2 dikembangkan oleh Knorr Bremse AG - Jerman dengan
menggunakan matrik aluminium (Al) dengan menggunakan partikel penguat
(AlSi7Mg + SiCp) yang disuplay oleh Duraclan Inc (USA). Breaking systems yang
diproduksi oleh New Lupo from Volkswagen (VW) dengan menggunakan matrik
aluminium dengan menggunakan partikel penguat yang disupaly oleh Duraclan.
Komposit matrik aluminium dengan penguat serat kontinu yang dibuat untuk
pushrods 3M untuk mesin balap. Pushrods yang dibuat dengan menggunkan komposit
aluminium mempunyai bobot yang lebih ringan 40 % bila dibandingkan dengan
menggunakan baja, memiliki kekuatan dan kekakuan yang lebih baik, dan ketahanan
terhadap suhu yang lembab dan juga pada kabel tegangan tinggi (HV elctrical wires)
yang dibuat dengan menggunakan komposit aluminium daripada baja.
2.3 Aluminium
Aluminium merupakan material mineral yang melimpah di permukaan bumi,
yaitu sekitar 7,6 %. Dengan jumlah sebesar itu, aluminium merupakan unsur ketiga
terbanyak setelah oksigen dan silikon, serta merupakan unsur logam yang paling
melimpah. Namun, Aluminium tetap merupakan logam yang mahal karena
pengolahannya sukar. Mineral aluminium yang bernilai ekonomis adalah bauksit yang
merupakan satu-satunya sumber aluminium. Kriloit digunakan pada peleburan
aluminium, sedangkan tanah liat banyak digunakan untuk membuat batu bata dan
keramik. Beberapa penggunaan aluminium, antara lain:
a. Sektor industri otomotif, untuk membuat bak truk dan komponen kendaraan
bermotor.
b. Untuk membuat badan pesawat terbang.
c. Sektor pembangunan perumahan; untuk kusen pintu dan jendela.
d. Sektor industri makanan, untuk kemasan berbagai jenis produk.
e. Sektor lain, misal untuk kabel listrik, perabotan rumah tangga dan barang
kerajinan.
Universitas Sumatera Utara
f. Membuat termit, yaitu campuran serbuk aluminium dengan serbuk besi oksida,
digunakan untuk mengelas baja in-situ, misalnya untuk menyambung rel
kereta api.
Logam aluminium tergolong logam yang ringan dan memiliki massa jenis
2,78 gr/cm3. Sifat-sifat fisis yang dimilki aluminium, antara lain :
a. Ringan, tahan korosi dan tidak beracun maka banyak digunakan untuk alat
rumah tangga seperti panci, wajan dan lain-lain.
b. Reflektif, dalam bentuk aluminium foil digunakan sebagai pembungkus
makanan, obat, dan rokok.
c. Daya hantar listrik dua kali lebih besar dari Cu, maka Al digunakan sebagai
kabel tiang listrik.
d. Paduan Al dengan logam lainnya menghasilkan logam yang kuat seperti
duralium (campuran Al, Cu, Mg) untuk pembuatan badan peswat.
e. Al sebagai zat reduktor untuk oksida MnO2 dan Cr2O3
Struktur kristal aluminium murni adalah FCC (Face Centered Cubic). dan
aluminium memiliki titik leleh sampai 660 oC (1220 oF). Beberapa sifat mekanis dan
sifat fisis dari logam aluminium dapat dilihat pada tabel 2.2 dan pada tabel 2.3
menunjukkan komposisi kimia dari logam aluminium.
Tabel 2.2 Data sheet material Aluminium 2124 (Sumber, up-date Desember 2008, http://www.matweb.com)
Sifat Fisis Satuan Inggris Penjelasan
Densitas 2.78 g/cm3 0.100 lb/in³ Tipe; AA
Sifat Mekanik Satuan Inggris Penjelasan
Modulus Elastisitas 73.0 Gpa 10600 ksi
Rata-rata tegangan
dan tekanan. Dalam
logam Aluminium,
secara umum kuat
tekan lebih besar 2%
dibandingkan dengan
kuat tarik
Poissons Ratio 0.330 0.330 Jarak rata-rata logam
Al Alloy.
Universitas Sumatera Utara
Modulus Geser 27.0 GPa 3920 ksi Pendekatan dari
logam Al Alloy
Sifat Elektrik Satuan Inggris Penjelasan
Resistivitas Listrik 0.00000420 ohm-cm 0.00000420 ohm-cm
Sifat Termal Satuan Inggris Penjelasan
CTE, linear 22.9 µm/m-°C
@Temperatur20.0 - 100 °C 12.7 µin/in-°F
@Temperatur 68.0 - 212 °F
AA; Typical;
Jarak rata-rata akhir
24.7 µm/m-°C
@Temperatur 20.0 - 300 °C 13.7 µin/in-°F
@Temperatur 68.0 - 572 °F Rata-rata
Kapasitas Panas 0.882 J/g-°C 0.211 BTU/lb-°F
Konduktivitas Panas 193 W/m-K 1340 BTU-in/hr-ft²-°F
Titik Leleh 502 - 638 °C 935 - 1180 °F
AA; Batas khusus
untuk komposisi
pembuatan dengan
metode tempa
dengan ketebalan ¼
inci atau lebih besar.
Eutektik titik leleh
diabaikan pada
keseragaman.
Solidus 502 °C 935 °F AA; Typical
Liquidus 638 °C 1180 °F AA; Typical
Table 2.3 Komposisi kimia Aluminium 2124
Element Al Si Fe Cu Mn Mg Zn Cr Ti Other
Wt % 92,54 0.2 0.3 4.4 0.6 1.5 0.01 0.1 0.15 0.2
2.4 Silicon Carbida (SiC)
Silicon Carbida (SiC) adalah material keramik non oksida yang dibuat dengan
memanaskan karbon dengan silika di dalam tungku listrik. Politipe silicon carbida
yang paling sederhana adalah struktur intan. Dikenal beberapa fase dalam dari SiC,
antara lain: fase kristalin yang terdiri dari α-SiC dengan truktur heksagonal dan β-SiC
dengan struktur kubus.
Universitas Sumatera Utara
Dalam β-SiC atom Si dan C teletak pada posisi berselang-seling dari tipe intan
kubus, sedangkan α-SiC mempunyai susunan heksagonal dan rhombohedral dan
mempunyai tetrahedral seperti ditunjukkan pada gambar 2.5. Pada suhu 2700 oC SiC
terdekomposisi menjadi gas Si dan grafit. Pada temperatur oksidatif SiC cenderung
membentuk lapisan oksida SiO2, sehingga pada atmosfer oksidatif SiC tahan hingga
suhu 1500-1699 oC, serta tahan hingga suhu 2200 oC pada temperatur inert. Sifat SiC
yang istimewa, antara lain: memiliki densitas 3,22 g/cm3, memiliki hantaran panas
yang tinggi, tahan pada temperatur yang tinggi, nilai kekerasan yang tinggi, tahan
kejutan termal yang baik karena merupakan kombinasi dari hantaran panas yang
tinggi dan koefisien muai panas yang rendah, serta tahan korosi seperti diperlihatkan
pada tabel 2.4 dan komposisi kimia dari SiC ditunjukkan pada tabel 2.5.
(a) (b)x
y
z
y
z
x
Gambar 2.5 (a) Struktur kubus β-SiC, (b) Struktur heksagonal α-SiC
(Surdia dan Saito, 1985)
Sifat tahan korosi SiC ditunjukkan dengan ketahanan SiC terhadap abu
batubara, slag asam, dan slag netral. Ketahanan panas SiC ditunjukkan dari suhu
uraian yang mencapai 2200 - 2700 oC. Pada 1000 oC terbentuk lapisan oksidasi berupa
SiO2. Dan kelemahan SiC adalah ketahanan oksidasi di udara hanya mampu mencapai
1700 oC. (Potter, 1990)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Data sheet material silicon carbide (Sumber, up-date Desember 2008, http://www.matweb.com)
Sifat Fisis Satuan Inggris
Densitas 3.22 g/cc 0.112 lb/in³
Sifat Mekanik Satuan Inggris
Modulus Elastisitas 410 GPa 59500 ksi
Kuat Tekan 4600 MPa 667000 psi
Poissons Ratio 0.140 0.140
Kuat Patah 4.60 MPa-m½ 4.19 ksi-in½
Sifat Termal Satuan Inggris
Kapasitas Panas 0.670 J/g-°C 0.160 BTU/lb-°F
Konduktivitas termal 77.5 W/m-K
@Temperature 400 °C
538 BTU-in/hr-ft²-°F
@Temperature 752 °F
125.6 W/m-K
@Temperature 200 °C
871.7 BTU-in/hr-ft²-°F
@Temperature 392 °F
CTE, linear 20°C 4.51 - 4.73 μm/m-°C 2.51 - 2.63 μin/in-°F
Tabel 2.5 Komposisi kimia penguat SiCp
Element %SiC %Al2O3 %SiO2 %Fe2O3
Wt % 94,7 0.3 4.4 0.6
2.5 Tipe Material Penyusun Komposit
2.5.1 Matrik (Matrix)
Matrik adalah pengisi ruang komposit dan memegang peranan penting dalam
mentransfer tegangan antar matrik. Selain itu, matrik juga berfungsi melindungi
penguat dari kondisi lingkungan luar dan menjaga permukaan partikel dari pengikisan.
Matrik memiliki kelemahan dalam menahan beban dalam struktur komposit, akan
tetapi ada beberapa jenis komposit memiliki kelebihan dalam pembebanan geser.
Material matrik mempunyai peranan penting pada fungsi dari komposit secara
keseluruhan. Material dari matrik ini harus memenuhi standar dari kekuatan,
Universitas Sumatera Utara
kekakuan, kelembaman dan ketahanan terhadap lingkungan, ketahanan terhadap
temperatur tinggi, serta biaya sehingga menghasilkan performance yang baik.
Dalam pembuatan komposit matrik logam yang menggunakan penguat kontinu
maupun tak kontinu, beberapa pertimbangan yang harus dilakukan untuk menentukan
pilihan terhadap material penguat. Penggunaan serat kontiniu sebagai penguat untuk
pembuatan komposit matrik logam dapat menghasilkan transfer pembebanan yang
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan serat monofilamen. Matrik logam yang
menggunakan penguat serat kontinu pada pembuatan komposit matrik logam memiliki
sifat mekanik yang cenderung pada kelelahan dibandingkan dengan kekuatan.
Pembuatan komposit matrik logam dengan serat kontinu memiliki kekuatan yang
rendah dan rapuh. Dalam pembuatan komposit matrik logam menggunakan penguat
tak kontiniu dapat meningkatkan sifat mekanik dari material komposit tersebut karena
merupakan penguat yang isotropik dimana semua arah pengutannya mempunyai besar
yang sama.
Dewasa ini, penelitian dan pengembangan dalam pembuatan komposit matrik
logam lebih mengacu pada logam yang memiliki bobot yang ringan (densitas rendah)
dan mudah dibentuk seperti Al, Ti, Mg, Cu, dan super alloy. Pemilihan material
logam tersebut dilakukan atas pertimbangan umur pemakaian, sifat mekanis, dan sifat
fisis. Diantara semua jenis logam tersebut yang paling bayak dikembangkan secara
luas saat ini adalah matrik logam aluminium, dibawah ini akan dijabarkan beberapa
matrik yang digunakan dalam pembuatan komposit matrik logam beserta penguat
yang digunakan.
1. Komposit matrik aluminum
a. Serat kontinu: boron, silicon carbida (SiC), serat alumina, dan grafit.
b. Serat tak kontinu: alumina dan serat alumina silika.
c. Whisker : Silicon carbida (SiC).
d. Partikel : Silicon carbida (SiC) dan boron carbida.
2. Komposit matrik magnesium
a. Serat kontinu: grafit dan serat alumina.
b. Whisker: Silicon carbida (SiC).
c. Partikel : Silicon carbida (SiC) dan boron carbida.
Universitas Sumatera Utara
3. Komposit matrik titanium
a. Serat kontinu: Silicon carbida (SiC) dan boron yang dilapisi.
b. Partikel : titanium carbida.
4. Komposit matrik tembaga
a. Serat kontinu: grafit dan silicon carbida (SiC)
b. Wires: niobium-titanium, niobium-tin.
c. Particulates: Silicon carbida (SiC) , boron carbida, dan titanium
carbida.
5. Komposit matrik superalloy
a. Wires : tungsten wires.
2.5.2 Penguat (Reinforcement)
Dalam pembuatan komposit penguat yang digunakan baik berupa serat,
partikel dan monofilamen berfungsi untuk menguatkan material komposit tersebut.
Disamping itu partikel penguat juga berfungsi untuk menahan beban yang diterima
oleh komposit, mempengaruhi ke-elastis-an dan meningkatkan kekuatan dari
komposit tersebut.
Dalam pemilihan jenis penguat untuk pembuatan komposit matrik logam harus
memenuhi beberapa sifat, dimana sifat tersebut sangat menentukan karakteristik dari
material komposit yang dihasilkan. Bebrapa sifat yang harus dimiliki oleh partikel
penguat adalah sebagai berikut:
a. Memiliki densitas yang rendah (low density)
b. Memiliki modulus Young dan Elastisitas yang tinggi
c. Kesetabilan panas.
d. Koefisien ekpansi termal yang rendah.
e. Sifat listrik yang baik.
f. Memiliki kuat tekan dan kuat tarik yang tinggi.
g. Mudah dalam pemerosesan.
h. Tahan terhadap abrasi dan korosi.
i. Biaya
Universitas Sumatera Utara
Penguat yang digunakan dalam proses pembuatan komposit matrik logam
dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: whisker, partikel (particulates), dan serat
pendek, dan penguat serat kontinu, seperti pada gambar 2.6, penguat yang umum
digunakan dalam pembuatan komposit matrik logam adalah penguat yang terbuat dari
keramik. (Karl U. K, 2006)
Gambar 2.6 (a) Penguat Mono filaments, (b) Whiskers/Short fiber, dan (c) Partikel (Karl U. K, 2006)
a. Penguat whisker
Pada akhir tahun 1970-an mulai dikembangkan penelitian dan pengembangan
proses pembuatan penguat SiC whisker. Pembuatan penguat SiCw berpotensi
menurunkan harga dari partikel penguat dan dapat meningkatkan penelitian
dibidang komposit matrik logam. Penguat SiCw memiliki diameter sekitar 0,1 mikron
dan perbandingan diameter dengan panjang penguat SiCw pada proses produksi
adalah 100 : 1. Pembuatan penguat SiCw setiap tahun terus meningkat dan produk
utama adalah dalam berbagai perbandingan panjang dan diameter.
b. Penguat Particulates
Pada tahun 1978 DWA Composite Specialties Inc (USA). Memperkenalkan satu
alternatif dalam pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan penguat
particulates silikon karbida (SiC). Penguat particulates secara komersial tersedia
dengan ukuran kira-kira 0,5 micron sampai dengan 100 micron. Penguat particulates
dapat diaduk (blending), lebih efesien dan memiliki persen volume yang tinggi bila
dibandingkan dengan penguat whisker. Penguat particulates saat ini banyak
dikembangkan dalam jumlah besar untuk industri yang memproduksi bahan yang
tahan terhadap gesekan (friction material).
(a) (b) (c)
Universitas Sumatera Utara
c. Penguat serat pendek (short fiber reinforcement)
Pada awal 1980-an, komposit dibuat dengan menggunakan serat pendek dan
serat aluminium oksida polycrystalline. Serat aluminium oksida ini pertama
digunakan untuk pembuatan ring piston mesin diesel. Pengembangan ini
bertujuan untuk menyempurnakan dan meningkatkan produksi komposit
disamping harga yang relatif murah dan ketersediaan volume yang tinggi.
Secara umum serat pendek tidak meningkatkan kekuatan akhir dari komposit
matrik logam di dalam temperatur ruang. Akan tetapi, ketahanan suhu
komposit logam dengan mengguankan serat pendek dapat mencapai 573 K
dibandingkan dengan campuran logam biasa yang hanya sampai 473 K.
d. Penguatan serat Kontinu
Dari tahun 1960-an sampai dengan 1970-an, telah dilakukan pengembangan
satu usaha besar membuat untuk mengembangkan penguat serat kontinu untuk
pembuatan komposit logam. Jenis serat kontinu, antara lain: boron pada
tungsten, silicon carbida pada tungsten, dan kristal tunggal alumina.
Pengembangan komposit dengan menggunakan serat kontiniu memiliki
beberapa kendala yaitu biaya pembautan relatif mahal dan hal ini dapat ditekan
apabila ada suatu perusahaan yang memproduksi serat kontiniu dalam skala
besar.
2.6 Mekanisme Penguatan Komposit
Karaktristik material komposit dengan menggunakan matrik logam sangat
ditentukan oleh mikrostruktur dan interfarsial internal. Dengan demikian
mikrostruktur dan interfarsial internal serta fase-fase yang terbentuk mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan sebagai matrik pada komposit. Komposisi kimia,
ukuran butiran bentuk, dan cacat kisi merupakan masalah yang cukup menonjol dalam
mempengaruhi sifat mekanik matrik. Penguat dalam material komposit dikenal
sebagai fase kedua (secondary phase) atau fase diskontiniu yang dikarakterisasi
berdasarkan persentase fraksi volume, jenis, ukuran distribusi, dan orientasi. Berbagai
variasi tegangan dalam internal tension yang mengakibatkan adanya perbedaan
koefisien muai panjang (thermal expansion) dari material pembentuk komposit
matrik, penguat, dan juga merupakan faktor tambahan yang sangat berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
terhadap material komposit. Dengan mengetahui karakteristik komponen-komponen
material pembentuk komposit, persentase volum penguat, distribusi, dan orientasi
dapat mengestimasi karakteristik material komposit berbasil matrik logam.
Pendekatan-pendekatan kondisi ideal merupakan suatu cara untuk memudahkan
menganalisa material komposit, seperti optimalisasi batas interaksi interfarsial,
distribusi penguat yang homogen, dan fase atau pengendapan, analisa tegangan pada
material komposit dapat disederhanakan dengan model penguat partikel.
Ketergantungan pada arah beban dan perbedaan konstanta elastisitas pada komposit
logam sangat menentukan dalam menganalisa tegangan-tegangan yang terjadi pada
komposisit saat menerima beban dari luar. Konstanta-konstanta elastisitas seperti E
modulus elastis dan G modulus geser, merupakan hal yang paling berperan dalam
menganalisa tegangan komposit. Hal sederhana dapat digunakan untuk mengestmasi
kekuatan komposit yang diperkuat oleh partikel atau komposit dengan tegangan
anisotropik dan isotropik. (Zainuri, 2007)
2.6.1 Modulus Elastisitas Komposit
Nilai modulus elastisitas komposit matrik logam dapat dihitung secara teori
menggunakan pendekatan dengan rumus ROM (Rule of Mixtures) dan rumus ini dapat
menentukan nilai strength-strain yang belum diketahui. Dari rumus pendekatan ROM
batas antara modulus elastisitas dapat dicari dengan persamaan dibawah ini
Untuk upper limit.
EC = Ep Vp + Em Vm (2.1)
Untuk lower limit.
EC = Em Ep
EpVm + Em Vp (2.2)
Dimana Vp dan Vm adalah persentase volume penguat dan matrik. EC, Ep, dan Em
merupakan modulus elastik dari komposit, partikel penguat dan matrik. (Khaerudini,
2008)
Universitas Sumatera Utara
2.7 Aspek Kebasahan (Wettability)
Aspek kebasahan (wettability) material penguat terhadap matrik metalik cair
merupakan faktor utama kaidah terbentuknya ikatan. Variabel kebasahan antara
matrik dan penguat sangat bergantung kepada temperatur pemanasan, struktur
elektrolit pada penguat dan matrik, waktu, lingkungan atmosfir, ukuran partikel dan
kristalografi. Penguat dengan ikatan atom metalik dan kovalen seperti pada material
padat (solid) TiC dan SiC lebih mudah dibasahi dibandingkan dengan material ikatan
ionic seperti pada material alumina. Kekasaran permukaan penguat akan
meningkatnkan interlocking mekanik interfarsial antara keramik dan penguat hal ini
akan berdistribusi terhadap kekuatan geser interfarsialnya disamping ikatan secara
kimiawi. Perbedaan koefisien ekspansi termal antara antara matrik dan penguat akan
mengakibatkan tegangan internal pada matrik dan akan meningkatkan kegagalan pada
daerah interfarcial. Pada material komposit matrik logam reaksi interfarsial yang
dilakukan dengan variabel temperatur, di dalam metal matrik cair cenderung terbentuk
material oksida atau carbida. Dalam beberapa kasus pada kompsoit Al/SiC, reaksi
interfarsial terjadi dibawah garis solidusnya. Reaksi oksidasi yang yang terjadi pada
matrik dapat mereduksi sifat kebasahan dengan material penguat. Rekasi kimiawi
pada daerah interfarsial dapat menyebabkan terlepasnya (debonding) penguat terhadap
matrik. Hal tersebut merupakan fenomena kegagalan dalam proses pembuatan
material komposit. Terbentuknya material yang bersifat getas pada daerah interfarsial
dapat menyebabkan material penguat kurang terdistribusi sebagai pentransmisi
tegangan dari matrik.
Hubungan antara reaksi interfarsial terhadap kekuatan material komposit
sangat bergantung kepada jenis material-material pembentuk komposit. Selama sistem
tidak reaktif seperti terbentuknya material karbida yang bersifat memperlemah
interfarsial yang bersifat destruktif, pada prinsipnya reaksi kimia pada daerah
interfarsial sekecil mungkin dapat dihindari apabila hasil reaksinya akan bersifat
dekstruktif. Salah cara untuk mendapatkan ikatan yang baik antara matrik dan
penguat pada matrik komposit matrik logam, mempercepat proses solidifikasi untuk
menghindari reaksi interfarsial yang berlebihan pada saat proses pendinginan.
Perbedaan kapasitas dan konduktivitas panas antar apenguat dengan matrik akan
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan terjadinya lokalisasi gradien temperatur, hal tersebut dikarenakan
proses solidifikasi pada komposit dengan matrik metal, kecendrungan mempunyai
arah pembekuan dari dalam matrik dan diakhiri pada daerah interfarsial penguat.
Dibandingkan dengan material paduan logam, material komposit partikel
keramik dengan matrik logam (Metal Matrix Composites, MMC’s) mempunyai
kekuatan dan kekakuan yang tinggi, mempunyai sifat panas dan pemuluran yang baik,
dan mempunyai kesetabilan dimensi yang tinggi. Salah satu material komposit yang
paling banyak digunakan dalam pembuatan komposit matrik logam adalah sistem
Al/SiC, yang telah dikarakterisasi mempunyai ketahanan aus, kekuatan yang tinggi,
densitas yang rendah dan konduktivitas yang tinggi. Komposit Al/SiC biasanya dibuat
dengan menggunakan matrik Al-7Si atau Al-7Si-0,3Mg, dengan penambahan elemen
pemandu Si yang bertujuan untuk menekan terbentuknya fase Al4C3. Reaksi
terbentuknya Al4C3 pada daerah antar permukaan Al/SiC dapat dinyatakan dari reaksi
kimia heterogen, sebagai berikut:
4 Al (l, alloy) + 3 SiC (s, pure) Al4C3 (s, pure) + 3 Si (l, alloy) (2.3)
Aluminium karbida mempunyai efek negatif terhadap kemampuan sistem
Al/SiC, meyebabkan material komposit menjadi getas, ketahanan kelelahan, dan
stabilitas panas yang rendah. Salah satu kelemahan yang paling menonjol dengan
terbentuknya fase aluminium karbida adalah menjadikan material pada komposit
Al/SiC menjadi reaktif terhadap air yang menyebabkan material mudah mengalami
korosi atau oksidatif. (Zainuri, 2007)
2.8 Pelapisan (Coating) pada Partikel Penguat
Proses pelapisan pada partikel penguat (electroless plating) yang digunakan
pada komponen-konponen teknik atau pada elektronika biasanya bertujuan untuk
meningkatkan ketahanan aus dan korosif pada suatu material. Proses pelapisan
partikel penguat mempunyai keuntungan karena tidak bergantung kepada bentuk
geometri material yang dilakukan pada proses pelapisan. Kebersihan permukaan
material sebelum dilapisi merupakan persyaratan mutlak yang harus dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
sebelum proses pelapisan. Seperti pada electroless plating seperti yang dilakukan pada
proses pembuatan hard disc, dimana metal nikel yang dikombinasi dengan bahan
magnetik Cobalt (Co) digunakan sebagai material pelapis. Dengan metode ini
diperoleh ketebalan dan presisi dimensi yang tinggi pada produk yang dibuat.
Komposit dengan electroless plating dengan material nikel yang mengandung SiC
atau teflon dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan aus dan menurunkan gaya
gesek seperti gambar berikut.
Gambar 2.7 SEM struktur mikro penguat SiCp setelah dilapisi dengan Al(NO3)3
Dari gambar 2.7, dapat dilihat hasil analisa mikrostruktur partikel SiC yang
telah dilapisi dengan menggunakan ion logam Al(NO3)3, dengan menggunakan alat uji
SEM (Scanning Electron Microscope). Dalam proses pelapisan partikel SiC dengan
menggunakan ion logam Al(NO3)3 diharapkan ion logam Al(NO3)3 terdistribusi secara
merata pada permukaan partikel SiC, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kebasahan
(wettability) antara partikel penguat SiC dengan matrik Al. Disamping itu apabila
proses pelapisan terdistribusi secara merata dapat meningkatkan ikatan antar muka
(interface) antara partikel penguat dengan matrik dan dapat meningkatkan sifat
mekanik serta sifat fisis dari material komposit tersebut.
Proses pelapisan partikel penguat (electroless platting) dalam proses
pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan metode metalurgi serbuk
berdasarkan mekanisme pelapisan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Ion-exchange plating
Proses ini berdasarkan pada proses oksidasi pada material, yaitu ion-ion yang
dibebaskan oleh metal mereduksi ke material yang dideposit melalui larutan
elektrolit. Lapisan deposit akan berhenti apabila seluruh permukaan telah
terlapisi dengan sempurna.
(NO3)3
Universitas Sumatera Utara
b. Autocatalytic plating
Proses pelapisan dimana pelapisan sangat ditentukan oleh elektron yang
ditimbulkan oleh proses reduksi atau reducing agent (RA). Elektron yang
dibebaskan oleh RA akan bergabung dengan ion metal di dalam larutan
membentuk fase solid di permukaan substrat yang dilapisi.
2.9 Proses Pembuatan Komposit Matrik Logam
Secara umum, proses pembuatan (manufacturing) komposit matrik logam
dapat diklasifikasikan menjadi tiga klasifikasi yaitu, proses fase cair (liquid state
processing), proses fase padat (solid state processing), dan proses PVD (Physical
Vapor Deposition), seperti ditunjukkan pada gambar 2.8.
Stir Casting Infiltration Spray Casting
Liquid Phase
Sintering
HIPing Hot Pressing Sintering Extrusion
RollingDiffusion Bonding
Deposition
Machining and/or Joining
Casting InsertionCasting
ExtrusionForgingRolling
ExtrusionForgingRolling
Preform Preparation Milling, Blending
Foil-fiber-foilPreparation
Fiber layup
(P, SF) (P, SF, CF ) (P ) Metal Powder (P, SF) Metal Foil (CF, MF) (CF, MF)(P, SF)
Seco
ndar
y P
roce
ssin
gP
rim
ary
Pro
cess
ing
Pre
- Pro
cess
ing
Fin
al
Com
pone
nSh
arpi
ng &
For
min
gC
ompo
site
Pro
duct
ion
Pre
- Pro
cess
ing
Liquid-State Processing Solid-State Processing Vapor-State Processing
P = Particle reinforced MMC, SF = Short-fiber reinforced MMC, CF = Continuous fiber reinforced MMC, MF = Monofilamen MMC
Gambar 2.8 Flowchart Proses MMC Secara Umum (Clyne, 2001)
Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Proses Fase Cair (Liquid State Processing)
Salah satu yang membedakan proses pembuatan komposit matrik logam
dengan fasa cair adalah proses infiltrasi, dimana penguat yang telah dibentuk terlebih
dahulu diinfiltrasi (disuntikkan) dengan matrik logam yang telah dicairkan kemudian
dilakukan penekanan dengan menggunakan alat berupa piston (biasa digunakan pada
proses Squeeze Casting), atau dengan cara mengalirkan gas inert (N2 atau Ar) pada
proses pembentukan dan pada proses ini tanpa dilakukan penekanan. Permasalahan
yang sering dihadapi pada saat proses pembuatan komposit matrik logam dengan
metode infiltrasi cair adalah adanya reaksi antar muka partikel dengan penguat, aspek
kebasahan partikel penguat, memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan pada proses
pembuatan komposit matrik logam dengan fasa cair sering menimbulkan proses
degassing (udara terperangkap dalam material sehingga menimbulkan void).
2.9.2 Proses Fase Uap (Physical State Processing)
Proses pembuatan komposit matrik logam dengan proses PVD (Physical
Vapor Deposition) relatif lambat, akan tetapi proses penguapan dapat dipercepat
apabila dilakukan dalam tabung vakum dan diberikan tegangan yang tinggi, dengan
demikian matrik akan menguap dan uap akan melapisi permukaan substrat penguat.
Dalam proses pembuatan, laju penguapan pada proses PVD umumnya dilakukan
dengan kecepatan 5 – 10 m/menit. Proses akhir pembuatan komposit matrik logam
dengan menggunakan metode PVD adalah apabila seluruh permukaan substrat
penguat terlapisi secara merata, kemudian dilakukan proses HIP (Hot Isocasting
Pressing) dengan tekanan panas yang tinggi, hal ini bertujuan untuk meningkatkan
keseragaman antara penguat dengan matrik. Pada proses PVD distribusi keseragaman
antara penguat dan matrik dapat mencapai mencapai 80%. (Surrapa, 2003)
2.9.3 Proses Fase Padat (Solid State Processing)
Proses pembuatan komposit matrik dalam keadaan padat (solid state
processing) lebih cenderung menggunakan proses metalurgi serbuk (Powder
Metallurgy, PM). Proses pembuatan komposit dengan metode metalurgi serbuk
Universitas Sumatera Utara
memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan proses fase cair maupun
pada proses deposisi uap. Suhu yang digunakan pada proses pembuatan komposit
dengan menggunakan metalurgi serbuk juga relatif rendah (dibawah titik leleh
matrik), hal ini bertujuan untuk mengurangi reaksi antara muka (interface) antara
matrik dengan penguat. Dengan memperkecil reaksi antara partikel penguat dan
matrik yang tidak dikehendaki, maka akan menghasilkan produk komposit matrik
logam yang memiliki sifat mekanis yang lebih baik.
Dalam proses tertentu, pembuatan komposit matrik logam dapat dilakukan
dengan proses metalurgi serbuk apabila tidak dapat dilakukan dengan metode
metalurgi cair. Seperti contoh, serat atau partikel silikon carbida akan larut kedalam
lelehan logam titanium, sehingga tidak akan menghasilkan sifat mekanik komposit
yang sempurna. Meskipun karakteristik komposit yang diproses dengan metalurgi
serbuk lebih baik dari pada metalurgi cair, akan tetapi pada pada proses metalurgi
serbuk memiliki beberapa kekurangan, antara lain: biaya yang dibutuhkan pada proses
pembuatan memerlukan biaya yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan proses
metalurgi cair dan produk yang dihasilkan juga masih terbatas dan sederhana,
disamping itu aspek kebasahan (wettability) antara partikel penguat dan matrik juga
sering menjadi permasalahan dalam pembuatan komposit matrik logam dengan
metode metalurgi serbuk.
Teknik pembuatan komposit dengan metalurgi serbuk secara konvensional
ialah dengan mencampurkan (blend) bubuk logam dengan bubuk keramik, setelah
tercampur secara homogen kemudian serbuk dikompaksi (press) dan disintering.
Terkadang proses sintering dilakukan dengan tekanan tinggi pada suhu dibawah titik
leleh matrik untuk mendapatkan ikatan yang lebih baik antara partikel penguat dengan
matrik. Komposit matrik logam yang dihasilkan kemudian ditempa (forging) dan dirol
(rolling), sesuai dengan dimensi yang diinginkan. (Hartomo, 1992)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Diagram proses pembuatan komposit matrik logam dengan metalurgi serbuk ”Komposit DWA” (Hartomo, 1992)
Dari gambar 2.9, dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan komposit matrik
logam dengan menggunakan teknik metalurgi serbuk, secara umum dapat dibagi
menjadi tiga proses utama yaitu proses pencampuran (mixing or blending), proses
penekanan (kompaksi), dan proses sintering.
2.9.3.1 Pencampuran (Blending or Mixing)
Blending dan mixing merupakan istilah yang biasa digunakan dalam proses
pembuatan material dengan menggunakan metode serbuk akan tetapi kedua proses
tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut standar ISO, blending didefenisikan
sebagai proses penggilingan suatu material tertentu hingga menjadi serbuk yang
merata pada beberapa komposisi nominal. Proses blending dilakukan untuk
menghasilkan serbuk yang sesuai dengan komposisi dan ukuran yang diinginkan.
Sedangkan mixing didefenisikan sebagai pencampuran dua atau lebih serbuk yang
berbeda (Downson , 1990)
Aditif dispersi
Serbuk Matrik Partikel Penguat
Blending
Kompaksi
Hilangkan Aditif
Konsolidasi
Pengerjaan
Universitas Sumatera Utara
Proses pembuatan komposit dengan metalurgi serbuk, pencampuran antara
material penguat dengan matrik dikategorikan sebagai proses mixing. Pencampuran
partikel penguat dengan matrik dapat dilakukan dengan cara pencampuran dengan
menggunakan medium cairan (wet mixing) dan pencampuran tanpa menggunakan
cairan (dry mixing), proses pencampuran antara partikel penguat dengan bertujuan
agar partikel penguat dan matrik tercampur secara homogen dan diharapkan tidak
terjadi penggumpalan (aglomerisasi) kedua material tersebut.
2.9.3.2 Penekanan (Kompaksi)
Dalam proses pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan
metode metalurgi serbuk yang paling menentukan adalah terjadinya ikatan permukaan
antar matrik dengan penguat. Ikatan antar penguat terjadi akibat proses difusi antar
permukaan matrik dengan penguat atau antar matrik dengan matrik. Salah satu yang
mempengaruhi ikatan permukaan antara matrik dengan penguat setelah proses
pencampuran adalah proses kompaksi. Dalam penelitian bahwa gaya adhesi dan
kohesi yang terjadi apabila penekanan telah dilakukan dan jarak antara partikel serbuk
diharapkan mencapai 4 �̇�𝐴. Oleh karena itu, dalam proses kompaksi dilakukan diantara
yield streght antara partiekel penguat dengan matrik atau pada proses kompaksi
kerapatan (densitas) yang diperoleh diharapkan mencapai 80%, hal tersebut dilakukan
karena proses kompaksi dapat meningkatkan ikatan partikel bola bidang sebelum
sintering. Proses kompaksi juga bertujuan untuk menghidari gas yang terjebak di
dalam spesimen, apabila ada gas yang terjebak didalam spesimen maka akan
menimbulkan porositas yang cukup besar, dan hal ini merupakan kegagalan dalam
proses pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan metode metalurgi
serbuk.
Pada proses pengkompaksian besar gaya gesekan antara serbuk komposit
dengan cetakan juga harus diperhatikan karena arah gaya gesekan berlawanan dengan
gaya yang diberikan. Oleh karena, itu cetakan sampel harus diolesi dengan pelumas
asam stearat (stearat acid) hal ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara serbuk
dengan cetakan sehingga diprosleh nilai kompaktibilitas yang optimum. Disamping
itu, kecepatan tekanan juga mempengaruhi ikatan antar muka yang terjadi, secara
Universitas Sumatera Utara
umum kecepatan kompaksi yang digunakan dalam pembuatan komposit matrik logam
dengan menggunakan metode metalurgi serbuk adalah 10 cm/menit. Gaya adhesi dan
kohesi antara matrik dan penguat terjadi akibat adanya gaya Van der Walls.
Tabel 2.6 Tekanan berbagai serbuk logam (Widyastuti, 2007)
Metal Takanan (MPa) Aluminium 70-275
Brass 400-700 Bronse 200-275
Iron 350-800 Tantalum 70-140 Tungsten 70-140
Material Lain Aluminium Oxide 110-140
Carbon 140-165 Cermented
140-400 Carbides Ferrites 110-165
Dari tabel 2.6 dapat dilihat besar tekanan yang dilakukan terhadap beberapa
serbuk material logam dan non logam. Dalam proses pembuatan (manufacturing)
pemberian beban tekanan yang terlalalu besar pada proses kompaksi dapat
mengakibatkan ikatan model bidang-bidang, hal ini disebabkan karena penguat dan
matrik mengalami deformasi plastis. Hal tersebut akan menyebabkan pengembangan
(bloating) pada komposit sehingga sehingga terjadi perubahan dimensi luar batas
toleransi. Untuk tekanan yang terlalu rendah akan menyebabkan ikatan model bola-
bola, dimana ikatan pada model ini porositas terlalu tinggi dan kualitas ikatan antar
muka awal rendah. Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya oksidasi pada
permukaan matrik Al, lapisan oksida yang terjadi akan menghalangi ikatan permukaan
partikel penguat dengan matrik. (Heny Faisal dkk, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.9.3.3 Proses Sintering
2.9.3.3.1 Prinsip Dasar Proses Sintering
Komposit mempunyai bermacam-macam karakteristik, salah satunya adalah
struktur polykristal yang pembentukannya dilakukan dengan cara perlakuan panas
atau sering disebut dengan proses sintering dengan temperatur sedikit dibawah titik
lelehnya (melting point). Dalam proses sintering terjadi gaya tarik-menarik antar
molekul atau atom yang menyebabkan terjadinya bentuk padatan dengan masa yang
koheren dari komposit yang dihasilkan. Beberapa variabel yang dapat mempercepat
proses sintering yaitu: densitas awal, ukuran partikel, atmosfer sintering, suhu, waktu
dan kecepatan pemanasan.
Serbuk yang belum disintering memiliki energi permukaan yang tinggi.
Sintering menyebabkan pergerakan atom yang meng-eliminasi energi permukaan.
Energi permukaan per unit volume berbanding terbalik dengan diameter partikel. Jadi
partikel yang kecil mempunyai energi yang lebih sehingga proses sintering lebih cepat
dibandingkan dengan partikel yang besar. Bagaimanapun, tidak seluruhnya energi
permukaan yang dibutuhkan tersedia sebagai gaya penggerak untuk sintering. Untuk
padatan kristal, hampir setiap kontak partikel akan mengembangkan batas butiran
dengan adanya energi batas butiran.
Fase aditif memperbaiki laju difusi selama proses sintering sehingga sering
digunakan dalam banyak material komposit. Fase ini dapat digunakan untuk
menstabilkan struktur ksirtal atau mendapatkan tipikal komposit yang diinginkan.
2.9.3.3.2 Mekanisme Trasnport Pada Proses Sintering
Mekanisme transport adalah suatu metode dimana laju massa terjadi akibat
respon gaya penggerak. Dua jenis mekanisme transport adalah transport permukaan
dan bulk transport. Kedua jenis mekanisme ini, disebut sebagai kontributor laju massa
seperti pada gambar 2.10.
Universitas Sumatera Utara
difusi permukaan
difusi volume
aliran plastis
difusi batas butiran
evaporasi- kondensasi
adesidifusi
Gambar 2.10. Laju massa sebagai respon gaya penggerak pada metoda
mekanisme transport (Randall M.German, 1991)
2.9.3.3.3 Tahapan Sintering
Tahapan sintering menurut Hirschorn, pada sampel yang telah mengalami
konpaksi sebelumya, akan mengalami beberapa tahapan sintering sebagai berikut:
1. Ikatan mula antar partikel serbuk.
Saat sampel mengalami proses sinter, maka akan terjadi pengikatan diri.
Proses ini meliputi difusi atom-atom yang mengarah kepada pergerakan dari
batas butir. Ikatan ini terjadi pada tempat dimana terdapat kontak fisik antar
partikel-partikel yang berdekatan. Tahapan ikatan mula ini tidak menyebabkan
terjadinya suatu perubahan dimensi sampel. Semakin tinggi berat jenis sampel,
maka akan banyak bidang kontak antar partikel, sehingga proses pengikatan
yang terjadi dalam proses sinter juga semakin besar.
Elemen-elemen pengotor yang masih terdapat, berupa serbuk akan
menghalangi terjadinya proses pengikatan ini. Hal ini sisebabkan elemen
pengotor akan berkumpul dipermukaan batas butir, sehingga akan mengurangi
jumlah bidang kontak antar partikel.
2. Tahap pertumbuhan leher.
Tahapan kedua yang tejadi pada proses sintering adalah pertumbuhan leher.
Hal ini berhubungan dengan tahap pertama, yaitu pengikatan mula antar
Universitas Sumatera Utara
partikel yang menyebabkan terbentuknya daerah yang disebut dengan leher
(neck) dan leher ini akan terus berkembang menjadi besar selama proses
sintering berlangsung.
Pertumbuhan leher tersebut terjadi karena adanya perpindahan massa, tetapi
tidak mempengaruhi jumlah porositas yang ada dan juga tidak menyebabkan
terjadinya penyusutan. Proses pertumbuhan leher ini akan menuju kepada
tahap penyusutan. Proses pertumbuhan leher ini akan menuju kepada tahap
penghalusan dari saluran-saluran pori antar partikel serbuk yang berhubungan,
dan proses ini secara bertahap.
Model sederhana sintering terfokus pada pertumbuhan leher isotermal sebagai
perbandingan ukuran leher dan partikel, X/D:
(𝑋𝑋 𝐷𝐷⁄ )𝑛𝑛 = 𝐵𝐵𝐵𝐵 𝐷𝐷𝑚𝑚⁄ (2.4)
Dengan :
X = Diameter leher
D = Diameter partikel
t = Isothermal waktu sintering
B = Konstanta geometri
Nilai n, m, dan B bergantung kepada mekanisme transport massa. Umumnya
model persamaan 2.4 terbatas untuk X/D < 0,3. (Randall M. German, 1991)
Persamaan diatas menjelaskan beberapa proses yaitu:
a. Sensitivitasnya yang tinggi berbanding terbalik dengan ukuran
partikel, semakin kecil ukuran partikel meyebabkan proses sintering
menjadi cepat.
b. Dalam semua kasus, termperatur memperlihatkan keadaan
eksponensial, yang berarti perubahan suhu yang kecil dapat
memberikan efek besar.
c. Waktu mempunyai efek yang relatif rendah dibandingkan dengan suhu
dan ukuran partikel. Proses ini ditunjukkan pada gambar 2.11.
Universitas Sumatera Utara
leher
xD
Gambar 2.11. Skema pembentukan dan pertumbuhan leher
pada model dua partikel (Randall M. German, 1991)
3. Tahap penutupan saluran pori.
Merupakan suatu perubahan yang utama dari salam proses sinter. Penutupan
saluran pori yang saling berhubungan akan menyebabkan perkembangan dan
pori yang tertutup. Hal ini merupakan suatu perubahan yang penting secara
khusus untuk pori yang saling berhubungan untuk pengangkutan cairan, seperti
pada saringan-saringan dan bantalan yang dapat melumas sendiri. Salah satu
penyebab terjadinya proses ini adalah pertumbuhan butiran.
Proses penutupan saluran ini dapat juga terjadi oleh penyusutan pori (tahap
kelima dari proses sinter), yang menyebabkan kontak baru yang akan
terbentuk di antara permukaan-permukaan pori.
4. Tahapan pembulatan pori.
Setelah tahap pertumbuhan leher, material dipindahkan di permukaan pori dan
pori tersebut akan menuju kedaerah leher yang mengakibatkan permukaan
dinding tersebut menjadi halus. Bila perpindahan massa terjadi terus-menerus
melalui daerah leher, maka pori disekitar permukaan leher akan mengalami
proses pembulatan. Dengan temperatur dan waktu yang cukup pada saat proses
sinter maka pembulatan pori akan lebih sempurna.
5. Tahap penyusutan
Merupakan tahap yang terjadi dalam proses sinter. Hal ini berhubungan
dengan proses densifikasi (pemadatan) yang terjadi. Tahap penyusutan ini
akan menyebabkan terjadinya penurunan volume, disisi lain sampel yang telah
disinter akan mejadi lebih padat. Dengan adanya penyusutan ini kepadatan
pori akan meningkat dan dengan sendirinya sifat mekanis dari bahan tersebut
juga akan meningkat, khususnya kekuatan dari sampel setelah sinter.
Universitas Sumatera Utara
Tahap penyusutan pori ini terjadi akibat pergerakan gas-gas yang terdapat di
daerah pori keluar menuju permukaan. Dengan demikian tahap ini akan
meningkatkan berat jenis yang telah disinter. Secara keseluruhan laju
penyusutan selama sintering terjadi pada sampel, mengikuti hukum kinetika:
(∆L Lo⁄ )n2 = Bt (2nDm )⁄ (2.5)
Dengan n/2 berkisar antara 2,5 dan 3, D adalah diameter partikel, dan t adalah
waktu isotermal. Parameter B adalah eksponensial yang bergantung pada suhu:
B = Bo exp(−Q kT⁄ ) (2.6)
Dengan k adalah konstanta Boltzman, T adalah suhu mutlak dan Bo adalah
konstanta yang bergantung pada energi permukaan, ukuran atom, frekuensi
vibrasi atom, dan system geometri. Energi aktivasi Q merupakan ukuran pada
energi yang medekati untuk merangsang pergerakan atom. (Randall M.
German, 1991)
6. Tahap pengkasaran pori
Proses ini akan terjadi apabila kelima tahap sebelumnya terjadi dengan
sempurna. Pengkasaran pori akan terjadi akibat adanya proses bersatunya
lubang-lubang kecil dari pori sisa akan menjadi besar dan kasar. Jumlah total
dari pori adalah tetap, tetapi volume pori berkurang dengan diimbangi oleh
pembesaran pori tersebut. (Randall M. German, 1991)
2.9.3.3.4 Klasifikasi Sintering
Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering dalam
keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fasa cair (liquid phase sintering).
Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan komposit yang diberi tekanan
diasumsikan sebagai fasa tunggal oleh karena tingkat pegotornya rendah. Sedangkan
sintering pada fasa cair adalah sinering untuk serbuk yang disertai terbentuknya fase
liquid selama proses sinering berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
(a) (b)
Gambar 2.12 Proses sinter padat (a) Sebelum sinter partikel mempunyai permukaan masing-masing.
(b) Setelah sinter hanya mempunyai satu permukaan (Van Vlack, 1989)
Dari gambar 2.12, menunjukkan proses sintering dalam keadaan padat, selama
sintering penyusutan serbuk, kekuatan dari material komposit akan bertambah, pori-
pori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh sifat dasar dari serbuk
itu sendiri, kondisi tekanan, aditif, waktu sintering dan suhu. Proses sintering
memerlukan waktu dan suhu pemanasan yang cukup agar partikel halus dapat menjadi
padat. Sinter tanpa cairan memerlukan difusi dalam bahan padat itu sendiri, sehingga
diperlukan suhu tinggi dalam proses sintering.
2.9.3.3.5 Efek Sintering Terhadap Sifat Sampel
Efek suhu sintering terhadap sifat fisik dan listrik dari pemadatan serbut
selama proses sintering ditunjukkan pada gambar 2.13.
Temperatur
Sifa
t bah
an
3 4
5
2
1 T1
Gambar 2.13. Pengaruh suhu sintering pada (1) Porositas, (2) Densitas, (3) Tahanan listrik, (4) Kekuatan, dan (5) Ukuran butir (M M. Ristic, 1979)
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar 2.13, dapat diketahui bahwa proses sintering yang dimulai dari
suhu T1 dapat meningkatkan tahanan listrik dan nilai porositas menurun dengan
kenaikan suhu sintering, sedangkan densitas, kekuatan dan ukuran butir bertambah
besar secara eksponensial seiring dengan kenaikan suhu sintering. (M M. Ristic,
1979)
2.10 Karakterisasi Material Komposit.
Untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan suatu material maka perlu
dilakukan pengujian dan analisis. Beberapa jenis pengujian dan analisis yang dibahas
untuk keperluan penelitian ini antara lain: pengujian sifat fisis (densitas, porositas
koefisien ekspansi termal, dan korosi), pengujian sifat mekanis (kuat tekan, kekerasan,
dan ketahana erosi), analisa struktur dengan menggunakan alat uji SEM (Scanning
Electron Microscope), dan untuk menganalisa struktur kristal dengan menggunakan
alat uji XRD (X-Ray Diffraction).
2.10.1 Sifat Fisis
2.10.1.1 Densitas
Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau sering
didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam
hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut:
ρ = mv
(2.7)
Dimana:
ρ = Densitas (gram/cm3)
m = Massa sampel (gram)
v = Volume sampel (cm3)
(M M. Ristic, 1979)
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaannya kadang-kadang sampel yang diukur mempunyai
ukuran bentuk yang tidak teratur sehingga untuk menentukan volumenya menjadi
sulit, akibatnya nilai kerapatan yang diperoleh tidak akurat. Oleh karena itu untuk
menghitung nilai densitas suatu material yang memiliki bentuk yang tidak teratur
(bulk density) digunakan metode Archimedes yang persamaannya sebagai berikut:
ρ = mo
mo − (mA + mK) x ρH2O (2.8)
Dimana:
ρ = Densitas bulk sampel (gram/cm3).
mo = Massa awal sampel setelah dikeringkan di dalam oven (gram).
mA = Massa sampel yang ditimbang digantung didalam (gram).
mK = Massa kawat yang digunakan untuk menggantungkan sampel (gram).
ρ H2O = Massa jenis air = 1 gram/cm3.
(ASTM C 373)
2.10.1.2 Porositas
Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume
lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan jumlah
dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat.
Porositas pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi
volume dari suatu rongga yang ada dalam material tersebut. Besarnya porositas pada
suatu material bervariasi mulai dari 0 % sampai dengan 90 % tergantung dari jenis dan
aplikasi material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan
porositas tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan
karena pori tersebut merupakan rongga yang terjebak didalam padatan dan serta tidak
ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan
luar, walaupun ronga tersebut ada ditengah-tengah padatan. Porositas suatu bahan
pada umumnya dinyatakan sebagai porositas terbuka atau apparent porosity, dan
dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
P = mU − mo
mo − (mA + mK ) x 100 % (2.9)
Dimana:
P = Porositas (%)
mo = Massa awal sampel setelah dikeringkan di dalam oven (gram).
mU = Massa di udara setelah direbus dalam air mendidih (gram).
mA = Massa sampel di air setelah direbus dalam air mendidih lalu ditimbang
dengan digantung di dalam air (gram).
mK = Massa kawat yang digunakan untuk menggantungkan sampel (gram).
(ASTM C 373)
2.10.1.3 Koefisien Ekspansi Termal
Pada umumnya material apabila dipanaskan atau didinginkan akan mengalami
perubahan panjang dan volume secara bolak-balik (reversible), sepanjang material
tersebut tidak mengalami kerusakan (distorsi) yang permanen.
Sifat ekspansi termal suatu bahan material komposit sangat penting karena ada
kaitannya dengan aplikasi komposit tersebut. Perubahan panjang relatif terhadap
panjang awal sampel yang berhubungan dengan suhu (T) disebut sebgagai koefisien
ekspansi termal. Koefisien ekspansi termal dapat ditentukan melalui persamaan
berikut:
αm = [(L2 − L1) Lo (T2 – T1)⁄ ]
= ∆L Lo⁄
(T2 – T1) (2.10)
Dimana:
ΔL/Lo = Perubahan panjang terhadap panjang awal
T2 – T2 = Temperatur akhir – Temperatur awal (oC)
(ASTM E 228)
Universitas Sumatera Utara
2.10.1.4 Korosi
Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi dengan
lingkungan yang korosif. Korosi dapat juga diartikan sebagai serangan yang merusak
logam karena logam bereaksi secara kimia atau elektrokimia dengan lingkungan. Ada
definisi lain yang mengatakan bahwa korosi adalah kebalikan dari proses ekstraksi
logam dari bijih mineralnya. Dampak yang diakibatkan oleh korosi tehadap logam
biasanya mengurangi kekuatan mekanis dan fisis dari metrial tersebut terlebih pada
umur penggunaan material logam.
Secara umum logam aluminium merupakan logam yang lebih reaktif
dinadingkan dengan besi akan tetapi logam aluminium yang mengalami karat akan
cepat membentuk oksida aluminium (Al2O3) sehingga menyebabkan aluminium lebih
awet bila dibandingkan dengan besi. Hal ini disebabkan karena apabila lapisan tipis
oksida terbentuk, maka peroses karata akan terhenti karena lapisan oksida tersebut
melekat kuat pada permukaan logam sehingg melindungi logam yang dibawahnya.
2.10.1.4.1 Pengujian Korosi Dengan Tekanan
Pengujian korosi dengan memberikan tekanan terlebih dahulu dilakukan
dengan mengkombinasikan tegangan tarik elastik dan dilakukan dalam lingkungan
yang dapat menyebabkan korosi pada logam. Ketahanan yang kecil untuk pengujian
korosi dengan cara memberikan tekanan dilakukan pada logam Aluminium yang
dibatasi pada logam yang mengandung beberpa elemen logam seperti paduan Al-Cu,
Al-Si, 2XXX, Cu 7XXX dan 8XXX. Pada logam aluminium, pengujian korosi dengan
tekanan akan membentuk fase anoda pada batas butir.
Karakteristik efek dari intensitas penekanan terhadap keretakan dapat dilihat
pada gambar 2.14. Paduan logam aluminium memiliki ketahan yang tinggi terhadap
korosi walaupun diuji dengan memberikan tekanan sebelum pengujian, hal ini
disebabkan karena mikrostruktur pada paduan logam aluminium adalah isotropik.
Kebalikannya, struktur yang tidak isotropik seperti logam yang ditempa memberikan
hasil yang sangat bergantung kepada orientsi sampel.
Universitas Sumatera Utara
Region
I
Region II
Gambar 2.14 Perambatan stress corrosion crack terhadap fungsi intensitas
keretakan (K A. Lukas, 1993)
2.10.2 Sifat Mekanik
2.10.2.1 Kuat Tekan
Kuat tekan suatu material didefinisikan sebagai kemampuan material dalam
menahan beban atau gaya mekanis sampai terjadinya kegagalan (failure).
Pengujian kuat tekan dapat dilihat pada gambar 2.15 bentuk sampel uji
biasanya berbentuk silinder dengan perbandingan panjang dan diameter, (L/d) adalah
1 banding 3. Akan tetapi, nilai perbandingan antara panjang dan tinggi bisa sampai 10
pada saat pengujiaan sampel untuk menentukan nilai dari modulus elastik.
Dalam melakukan pengujian kuat tekan, panjang sampel harus sesuai dengan
yang telah ditetapkan. Apabila perbandingan panjang dan diameter terlalu besar maka
akan terjadi buckling. Jika hal ini terjadi, maka hasil dari uji kuat tekan tidak akan
menghasilkan nilai yang berarti artinya kuat tekan dari sampel sangat kecil. Buckling
merupakan nilai yang sangat kecil dalam pengujian kuat tekan dan tidak perlu
dimasukkan kedalam perhitungan tes hasil uji dan perlu di lakukan pengujian kembali.
Universitas Sumatera Utara
Seperti contoh pengujian kuat tekan dapat dibuat secara paralel tetapi tidak akan
menghasilkan nilai yang sempurna untuk pengujian tersebut.
Bearing Block
Gambar 2.15 Pengujian kuat tekan dengan menggunakan
Universal Testing Machine-UTM (Norman E. Dawling, 1999)
Apabila perbandingan antara panjang dan diameter terlalu kecil, maka hasil
dari pengujian dapat dilihat secara detail pada kondisi akhir pengujian. Secara umum
apabila sampel ditekan, maka diameter dari sampel akan semakin bertambah karena
keseimbangan dari sampel, tetapi gerakan tersebut diperlambat akibat adanya
pergeseran yang berlawanan pada sampel dan hasil perubahan bentuk berupa silinder.
Perbandingan kedua panjang dengan diameter dimana apabila pangjang jauh
lebuh besar dari pada diameter akan menimbulkan bulcking dan apabila perbandingan
panjang dengan diameter terlalu kecil juga perlu dihindari, jadi perbandingan panjang
dengan diameter yang ideal untuk pengujian kuat tekan adalah L/d = 3 untuk material
yang liat. Nilai pada L/d 1,5 atau 2 untuk material yang rapuh.
Beberapa contoh pengujian kuat tekan terhadap sampel uji sebelum dan
sesudah ditekan dapat dilihat pada gambar 2.16 dan 2.17. Pada logam lemah yang
mudah dibentuk secara umum perubahan bentuknya lebih besar tetapi tidak terjadi
keretakan pada benda uji. Pada logam paduan dan beton dilakukan dengan pengujian
perbandingan panjang dan diameter untuk benda yang rapuh, dan pengujian kuat tekan
Universitas Sumatera Utara
pada logam aluminium umumnya akan tejadi perubahan bentuk dan keretakan.
Keretakan pada pengujian kuat tekan biasanya terjadi ditengah-tengah sampel (sejajar
panjang) atau pada permukaan sampel.
Persamaan untuk pengujian kuat tekan dengan menggunakan Universal
Testing Machine adalah sebagai berikut:
Kuat Tekan (τ)
= FA
(2.11)
Dimana :
F = Beban maksimum (lbf).
A = Luas bidang permukaan (mm2).
= (d)2
d = diameter silinder (mm).
(Norman E. Dawling, 1999)
Persamaan untuk menguji kuat tekan dengan menggunakan hydraulic press
secara umum menggunakan hukum Pascal, dimana persamaannya adalah sebagai
berikut:
P1 A1 = P2 A2 (2.12)
Dimana:
P1 = Beban maksimum yang diberikan terhadap benda uji (N/mm2).
P2 = Beban maksimum yang diterima benda uji (N/cm2).
A1 = Luas permukaan silinder piston hydraulic press (mm2).
A2 = Luas permukaan benda uji (mm2).
(Norman E. Dawling, 1999)
4π
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.16 Pengujian kuat tekan sebelum dan sesudah uji (kiri ke kanan) pada
logam paduan, logam Aluminium 7075-T651 dan hot rolled AISI 1020 Steel dengan diameter 25 mm dan panjang 76 mm (Norman E. Dawling, 1999)
Gambar 2.17 Pengujian kuat tekan sebelum dan sesudah pada beton dengan
diameter 150 mm (Norman E. Dawling, 1999)
2.10.2.2 Kekerasan (Vickers Hardness Test)
Kekerasan didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi atau
terhadap deformasi dari permukaan bahan. Ada tiga tipe pengujian terhadap ketahanan
yaitu cara tekukan, pantulan (rebound), dan goresan (scratch). Untuk pengujian bahan
dengan cara tekukan biasanya digunkan adalah Brinell, Rockwell dan Vickers.
Pengujian kekerasan dengan menggunakan vickers hardness, umumnya
menggunakan alat microhardness tester yang meiliki identer yang terbuat dari intan
(diamond) dan memiliki bentuk berupa pyramid. Sudut antara permukaan pyramid
adalah α = 136o seperti pada gambar 2.18.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.18 Vickers Hardness Indentation
(Norman E. Dawling, 1999)
Hasil dari kedalaman penekanan adalah h dan ukuran kedalam dari penekanan
adalah d dengan ukuran dalam bentuk diagonal. sehingga diperoleh HVN (Vickers
Hardness Number) adalah sebagai berikut:
VHN = 2Pd2 sin
∝2
= 1,854 P
d2 (2.13)
Dimana:
P = Beban penekanan (N).
d = rata-rata panjang diagonal (mm).
α = Sudut antara permukaan diamond (136o).
(Norman E. Dawling, 1999)
Universitas Sumatera Utara
Dapat diketahui bahwa bentuk standar pyramid disebabkan oleh penekanan
secara geometris yang mirip dengan pyramid tanpa mempehatikan ukuran dari bentuk
tersebut. Bentuk geometri yang mendekati diharapkan dapat menjadi nilai vickers
hardness yang diperoleh dari nilai kuat tekan yang digunakan. Karena, besar
penekanan standar yang digunakan untuk mengetahui lebar jarak d adalah 1 dan 120
kg, jadi pengujian kekerasan lebih diutamakan pada material padat yang memiliki
skala kekerasan yang tinggi.
2.10.2.3 Ketahanan Erosi (Wear Resistance)
Dalam ilmu material wear resistance adalah ketahanan erosi suatu material
padat terhadap material lainnya akibat gesekan yang berulang-ulang dengan kekasaran
dan periode tertentu.
Dalam aplikasi tribologi, logam aluminium termasuk logam yang keras karena
memiliki nilai densitas yang rendah dan mudah didapat, akan tetapi, logam aliminium
sangat lemah terhadap ketahanan erosi (wear resistance) dan proses ini sudah
dilakukan secara langsung. Walaupun demikian, dengan perkembangan pada
komposit matrik logam dengan menggunakan bahan baku logam aluminium
berpenguat keramik, secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan erosi material
tersebut, komposit dengan menggunakan matrik komposit saat ini sudah banyak
diaplikasikan dalam berbagai industri.
Sifat mekanik pada partikel pengisi (penguat) komposit matrik logam tidak
berarti meningkatkan ketahanan erosi, akan tetapi dapat memperbaiki sifat ketahanan
gesek material tersebut. Partikel yang licin seperti grafit dan mika dapat memperbaiki
sifat antisizing logam aliminium. Proses yang biasa digunakan untuk pembuatan
komposit logam aluminium dengan menggunakan penguat grafik dan mika adalah
dengan cara tempa dan secara umum diaplikasikan untuk bantalan poros, bantalan
poros yang menggunakan komposit matrik aluminium juga memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan menggunakan matrik Cu, Pd, Sn dan Cd yaitu murah
dan lebih ringan. Komposit matrik logam dengan menggunakan penguat grafit yang
Universitas Sumatera Utara
diaplikasikan untuk piston mesin otomotif dapat mengurangi gesekan dan juga
meningkatkan efesiensi bahan bakar.
Partikel keras seperti SiC, Al2O3, WC, TiC, ZrO, dan BC lebih besar
memperbaiki sifat pengikisan pada matrik aluminium, terlebih pada temperatur tinggi.
Komposit matrik logam aluminium yang menggunakan penguat seperti yang telah
disebutkan tersebut banyak diaplikasikan pada: including impeller, piston, cincin
piston, cylinder linear, conecting rods (batang penggerak), machine shrouds, cakram,
dan beberapa sistem yang digunakan pada temperatur yang relatif tinggi. Dan
umumnya, penguat SiC yang banyak digunakan sebagai penguat dalam pembuatan
komposit matrik aluminium karena memiliki densitas yang rendah, memiliki nilai
modulus elastisitas dan kekuatan yang tinggi, murah, dan mudah didapat.
Alat yang yang biasa digunakan dalam pengujian wear resistance adalah pin
on disc, pin on disc merupakan alat yang terdiri dari piringan yang dapat berputar dan
permukaannya dilapisi dengan menggunakan kertas abrasive SiC dengan grit tertentu,
beban penekanan, kecepatan putaran, dan waktu yang dapat diatur
Dari besaran-besaran yang diperoleh dari alat tersebut maka wear rate dari
sampel yang diuji dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan 2.14 sebagai
berikut:
Wear Rate = ∆W
S (2.14)
Dimana:
ΔW = Perubahan massa (kg).
S = Perubahan panjang (m).
(Al-Haydary, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.10.3 Analisa Mikrostruktur
2.10.3.1 SEM (Scanning Electron Microscope)
Scanning Electron Microscope atau SEM merupakan mikroskop elekteron
yang banyak digunakan dalam ilmu pengetahuan material. SEM banyak digunakan
karena memiliki kombinasi yang unik, mulai dari persiapan spesimen yang simpel dan
mudah, kapabilitas tampilan yang bagus serta fleksibel.
SEM digunakan pada sampel yang tebal dan memungkinkan untuk analisis
permukaan. Pancaran berkas yang jatuh pada sampel akan dipantulkan dan
didifraksikan. Adanya elektron yang terdifraksi dapat diamati dalam bentuk pola-pola
difraksi. Pola-pola difraksi yang tampak sangat bergantung pada bentuk dan ukuran
sel satuan dari sampel. Sem juga dapat digunakan untuk menyimpulkan data-data
kristalografi, sehingga hal ini dapat dikembangkan untuk menentukan elemen atau
senyawa.
Prinsip kerja SEM dapat dilihat pada gambar 2.19. Dua sinar elektron
digunakan secara simultan. Satu strike specimen digunakan untuk menguji dan strike
yang lain adalah CRT (Cathode Ray Tube) memberi tampilan yang dapat dilihat oleh
operator. Akibat tumbukan pada spesimen dihasilkan satu jenis elektron dan emisi
foton. Sinyal yang terpilih dikoleksi, dideteksi dan dikuatkan untuk memodulasi
tinmgkat keterangan dari sinar elektron yang kedua, maka sejumlah besar sinar akan
menghasilkan bintik gelap.
SEM menggunakan prinsip scanning, maksudnya berkas elektron di arahkan
dari titik ke titik pada objek. Gerakan berkas elektron dari satu titik ke titik yang lain
pada suatu daerah objek menyerupai gerakan membaca. Gerakan membaca ini disebut
dengan scanning.
Universitas Sumatera Utara
A
B
B
Scan Generator
Detector
Scan Deflector
Signal Amp
Incident Beam
Scan Detector
A
Gambar 2.19 Skema Prinsip Dasar SEM (Cahn, 1993)
Komponen utama SEM terdiri dari dua unit, electron column dan display
console. Electron column merupakan model electron beam scanning. Sedangkan
display console merupakan elektron skunder yang didalamnya terdapat CRT.
Pancaran elektron energi tinggi dihasilkan oleh electron gun yang kedua tipenya
berdasar pada pemanfaatan arus. Yang pertama pistol termionik dimana pancaran
elektron tercapai dengan pemanasan tungsten atau filamen katoda lantanumksaborid
pada suhu 1500 K sampai 3000 K. Katoda adalah kutub negatif yang dibutuhkan
untuk mempercepat tegangan Eo ke anoda yang di groundkan, sehingga elektron yang
bermuatan negatif dipercepat dari katoda dan meninggalkan anoda dengan energi Eo
kali elektron volt (KeV). Pistol termionik sangat luas penggunaannya karena relatif
aman untuk digunakan dalam tabung vakum 10-9 Torr, atau lebih kecil dari itu.
Sumber alternatif lain dari pistol field emission dimana ujung kawat wolfram
yang tajam dihubungkan tertutup dengan anoda ekstraksi dan diterapkan potensional
sampai beberapa ribu volts. Elektron yang keluar dari kawat wolfram tidak
membutuhkan pemanasan yang dapat dilakukan pada suhu kamar, menuju tabung
vakum yang dipercepat seperti pada pistol termionik kearah anoda. Pistol field
emission tergantung dari permukaan emitter yang secara otomatis bersih, sehingga
harus bekerja pada operasi kevakuman yang ultra tinggi kira-kira 10-9 Torr, namun
jika lebih besar maka akan lebih baik. Jarak panjang dari emiter electron column.
Pemancaran elektron dari electron column pada chamber harus dipompa cukup vakum
menggunakan oil-diffusion, turbo molecular, atau pompa ion. (Chan, 1993)
Universitas Sumatera Utara
2.10.4 Analisa Sruktur Kristal
2.10.4.1 XRD (X-Ray Diffraction)
Fenomena interaksi dan difraksi sudah di kenal pada ilmu optik. Standart
pengujian di laboratorium fisika adalah untuk menentukan jarak antara dua gelombang
dengan mengetahui panjang gelombang sinar, dengan mengukur sudut berkas sinar
yang terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar X
untuk menentukan jarak antara kristal dan jarak antara atom dalam kristal.
Sinar Datang Sinar Pantul
N
P
O
Q
Gambar 2.20 Difraksi bidang kristal
(Smallman, 1991)
Gambar 2.20, menunjukkan suatu berkas sinar X dengan panjang gelombang
λ, jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang kristal berjarak d. Sinar yang
dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap bidang yang
berdekatan saling menguatkan. Oleh sebab itu, jarak tambahan satu berkas
dihambumburkan dari setiap bidang yang berdekatan, dan menempuh jarak sesuai
dengan perbedan kisi yaitu sama dengan panjang gelombang n λ. Sebagai contoh,
berkas kedua yang ditunjukkan gambar 2.20 harus menempuh jarak lebih jauh dari
berkas pertama sebanyak PO + OQ. Syarat pemantulan dan saling menguatkan
dinyatakan oleh:
nλ = PO + OQ = 2ON sinθ = 2d sinθ (2.15)
Universitas Sumatera Utara
persamaan 2.15 tersebut terkenal dengan hukum Bragg dan harga sudut kritis θ untuk
memenuhi hukum tersebut dikenal dengan sudut Bragg.
Arah berkas sinar yang dipantulkan sepenuhnya oleh geometri kisi, dimana
sebaliknya geometri kisi diatur oleh orientasi dan jarak antara bidang-bidang kristal.
Jika untuk suatu kristal kubus simetri, diberikan ukuran struktur sel a, sudut-sudut
dimana berkas sinar didifraksikan oleh bidang-bidang kristal (hkl) dapat dihitung
dengan mudah dari rumus jarak antar bidang:
d(hkl) = a / √(h2 + k2 + l2) (2.16)
Untuk memastikan bahwa hukum Bragg dapat terpenuhi dan pemantulan dari
berbagai bidang kristal dapat terjadi, maka penting untuk memberikan batas ambang
pada harga θ atau λ. Berbagai cara dimana hal tersebut mengawali metode standart
difraksi sinar X yang dinamakan dengan metode Laue, metode perputaran kristal dan
metode serbuk. (Smallman, 1991)
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat-alat yang dipergunakan dalam pembuatan komposit matrik logam adalah:
a. Universal Testing Machine (UTM COMTEK Model SPG4000).
Alat ini berfungsi untuk menguji kuat tekan (compressive) sampel.
b. Hydraulic press (Hydraulic Jack).
Berfungsi untuk menekan pada proses cold compaction sampel yang telah
dimasukan kedalam cetakan dengan kekuatan tekanan tertentu dengan
kapasitas tekanan sampai dengan 100 ton (700 kg/cm2).
c. Cylindrical furnace (Stanton Rendcroft max temp 1500 oC).
Berfungsi untuk tempat pembakaran sampel dalam proses sintering, dengan
kapasitas sintering sampai dengan 1200 oC.
d. Ayakan < 50 𝜇𝜇𝑚𝑚.
Berfungsi sebagai untuk memisahkan butiran sesuai dengan yang dibutuhkan.
e. Cetakan sampel.
Berfungsi sebagai tempat untuk mencetak berupa sampel uji silinder, dengan
dimensi diameter x tinggi = 1,5 cm x 5 cm.
f. Neraca digital (Sartorius Analytic Digital AC210P)
Berfungsi untuk menimbang massa sampel dengan ketelitian 0,0000001 g.
g. Gelas ukur (Pyrex 1000 ml).
Berfungsi untuk mengukur volume dari bahan baku.
h. Magnetic stirrer (Thermolyne Cimarec 2).
Berfungsi sebagai alat untuk mengaduk sampel agar serbuk logam Al dan
partikel SiC tercampur secara homogen atau bahan baku lainnya.
i. Pengaduk magnet bar.
Berfungsi sebagai mixer atau pengaduk bahan baku dalam bentuk larutan.
j. Dilatometer Harrop T-70.
Universitas Sumatera Utara
Berfungsi untuk mengukur koefisien ekspansi termal (Coefecient of Thermal
Expansion, CTE).
k. Microhardness Tester, tipe MXT-50 (Matsuzawa).
Berfungsi sebagai alat untuk menguji kekerasan sampel.
l. Pin On Disc Tester.
Berfungsi sebagai alat untuk menguji ketahanan erosi (Wear Resistance) pada
sampel uji.
m. Autoclave + Kompor gas.
Berfungsi sebagai tempat merebus sampel pada saat pengujian densitas
porositas.
n. Vernier Calipper.
Berfungsi untuk mengukur dimensi dari sampel uji dengan ketelitian 0,001
mm.
o. Refluks + labu.
Berfungsi untuk menguji ketahan korosi sampel uji dan menjaga kondisi
sirkulasi penguapan selama proses berlangsung.
p. XRD (X-Ray Diffraction).
Berfungsi untuk mengetahui komposisi kimia dari sampel.
q. SEM (Scanning Electron Microscop).
Berfungsi untuk mengetahui struktur mikro sampel.
r. Abrasive paper SiC 800 grit.
Berfungisi untuk melapisi piringan alat uji pin on disc.
Universitas Sumatera Utara
3.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Al alloy powder type 2124, ukuran butiran serbuk < 50 𝜇𝜇𝑚𝑚.
Berfungsi sebagai matrik.
b. SiC Partikel, ukuran butiran serbuk < 50 𝜇𝜇𝑚𝑚.
Berfungsi sebagai penguat (rainforce).
c. Larutan Aseton (CH3COCH3).
Berfungsi sebagai pembersih kotoran yang terdapat di dalam serbuk SiC.
d. Asam Stearat (Stearat Acid).
Berfungsi sebagai pelumas (lubricant) agar memudahkan proses kompaksi dan
mereduksi gesekan antara serbuk Al 2124 terhadap dinding mold (cetakan)
serta menghindari spesimen Al/SiC melekat pada dinding cetakan.
e. Larutan HNO3 + Al2O3 atau Al(NO3)3, 5 % wt.
Berfungsi untuk meningkatkan wettability (tingkat kebasahan) pada partikel
SiC, yang mempengaruhi daya ikat SiC terhadap matrik Al alloy
f. Ethanol (C2H5OH).
Berfungsi sebagai mixing agent.
g. Gas Nitrogen (N2)
Berfungsi sebagai gas innert untuk menghindari proses terjadinya oksidasi
(degradasi) terhadap spesimen komposit Al/SiC yang dialirkan kedalam
tungku selama proses sintering berlangsung.
h. Natrium Chloride (NaCl).
Berfungsi sebagai larutan untuk menguji sifat korosi sampel uji.
i. Air (H2O).
Berfungsi sebagai medium pencampur larutan dengan kualitas standar air
minum.
Universitas Sumatera Utara
SiCp serbuk + Al(NO3)3
Drying
Kalsinasi di dalam furnace (kenaikan suhu bertahap, 200 0C – HT 2 jam dan
400 0C – HT 2 jam)
Mixing dalam media pure ethanol
SiCp coated (Bahan baku)
3.2 Diagram Alir Penelitian 3.2.1 Diagram Pre Treatment Electroless Coating SiC
Gambar 3.1 Skema proses electroless coating SiCp untuk meningkatkan kebasahan keramik (wettability)
Universitas Sumatera Utara
3.2.2 Skema Diagram Alir Pembuatan Komposit Matrik Al/SiCp
Gambar 3.2 Skema diagram alir pabrikasi alloy aluminum 2124-SiCp komposit
matrik logam melalui proses metalurgi serbuk
Wet-mixing (80:20, 70:30 %wt)
Compacting (CIP), uniaxial 300 MPa
Sintering dalam atmosfir gas Nitrogen, HT 1 jam (450, 500, 550, 600 0C)
Spesimen Uji
Pure ethanol slurry
Magnetic stirring
Dry & degassing
Alloy Al serbuk SiCp serbuk
Heat treatment Processing
Aditif lubricant (serbuk asam stearat)
0.2 – 1 wt.%
Uji dan Analisis
Laporan Penelitian (Skripsi)
Universitas Sumatera Utara
3.3 Variabel Eksperimen
3.3.1 Variabel Penelitian
a. Variasi suhu sintering dimulai dari 450, 500, 550, sampai dengan 600 0C.
b. Perbandingan komposisi berat antara matrik Al alloy dan penguat SiCp yaitu
70 : 30 %wt dan 80 : 20 %wt.
3.3.2 Variabel Percobaan yang Diuji
a. Sifat Fisis
- Porositas (Porosity).
- Densitas (Density).
- Koefisien Ekspansi Termal (Coeffecient of Thermal Expansions).
- Korosi (Corrosion).
b. Sifat Mekanik
- Kuat Tekan (Compressive).
- Kekerasan (Hardness).
- Ketahanan Erosi (Wear Resistance).
c. Analisa Mikrostruktur
- XRD (X-Ray Diffraction.)
- SEM (Scanning Electron Microscope).
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Preparasi Serbuk
Partikel SiC diayak dengan lolos ayakan berukuran < 50 µm (200 mesh),
kemudian dicuci dengan menggunakan larutan aseton untuk membersihkan kotoran
yang terdapat di dalam serbuk. Setelah dicuci, partikel SiC dievaporasikan (pre-heat)
pada suhu 100 0C selama 4 jam di dalam dry oven untuk menghindari terjadinya reaksi
oksidasi.
Universitas Sumatera Utara
Proses selanjutnya, dilakukan pre-treatmernt terhadap partikel SiC untuk
meningkatkan wettability dengan menggunakan larutan Al(NO3)3 dengan konsentrasi
tertentu. Kemudian larutan Al(NO3)3 dicampurkan dengan serbuk SiC dan diaduk
selama ±30 menit di dalam magnetic stearerm dengan medium larutan ethanol
(larutan organik). Setelah tercampur secara homogen kemudian dikeringkan dan
dipanaskan (dikalsinasi) secara bertahap yaitu pada tahap pertama pada suhu 200 oC
selama 2 jam dan tahap kedua pada suhu 400 oC selama 2 jam di dalam tungku
(furnace).
3.4.2 Pencampuran (mixing)
Proses selanjutnya adalah proses pencampuran (mixing) antara bahan baku
matriks (serbuk aluminium alloy ) yang berukuran 38 – 50 µm (200 mesh) dan bahan
penguat (reinforce) partikel SiCp sampai merata (homogen). Pencampuran dilakukan
di dalam beaker glass dengan menggunakan magnetic stirrer sebagai media
pengaduknya. Pencampuran dilakukan dengan cara wet mixing artinya pada saat
pencapuran digunakan larutan ethanol sebagai mixing agent agar serbuk matrik Al
alloy dan penguat partikel SiCp tercampur homogen. Perbandingan volume antara
serbuk Al/SiCp terhadap larutan ethanol adalah 1 : 2, proses pengadukan dilakukan
selama ±30 menit. Setelah tercampur secara homogen kemudian dikeringkan dalam
oven selam 2 jam dengan suhu 100 0C. Variasi persentase berat partikel SiCp yang
dilakukan adalah 20 dan 30 %wt terhadap matrik Al alloy.
3.4.3 Pembuatan Sampel Uji
Pembuatan sampel uji dilakukan dengan cara cold compaction dengan
menggunakan hydraulic press kapasitas 100 ton. Sebelum sampel dimasukkan
kedalam cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dilapisi (diolesi) dengan asam
stearat (stearat acid) agar mempermudah proses kompaksi (penekanan), mereduksi
gesekan antara serbuk logam (aluminium alloy 2124) terhadap dinding cetakan, dan
menghindari spesimen Al/SiCp melekat pada dinding cetakan. Penambahan jumlah
asam stearat (bahan pelicin) adalah sekitar 0,2 – 1 %wt. Campuran bahan baku matrik
(serbuk Al alloy 2124) dan penguat (partikel SiC) dengan berat 10 g dimasukkan ke
Universitas Sumatera Utara
dalam cetakan (moulding) dan dilakukan penekanan (kompaksi) sebesar 300 MPa
dengan kecepatan tekanan 10 cm/menit. Proses kompaksi ditahan selama 5 menit
untuk memperoleh spesimen dengan kekuatan yang mencukupi agar mudah
dikeluarkan dari cetakan dan tidak hancur pada saat dipegang.
3.4.4 Proses Sintering
Sintering merupakan suatu proses pembakaran bahan komposit agar butiran-
butiran saling mengikat (difusi) dan terjadi penurunan nilai porositas. Pada penelitian
ini variasi suhu sintering adalah 450, 500, 550, dan 600 0C.
Proses sintering dilakukan dengan menggunakan tungku listrik tabung
(furnace) yang dapat diatur sesuai dengan suhu pembakaran yang telah ditentukan
dengan waktu penahanan selama 1 jam. Selama proses pembakaran berlangsung gas
Nitrogen (N2) dialirkan kedalam tungku untuk menghindari terjadinya proses oksidasi
terhadap spesimen komposit Al/SiCp dan jumlah gas Nitrogen (N2) yang dialirkan
selama proses sintering adalah 5 lt/menit dengan tekanan aliran gas 1000 kgf/cm2.
Gambar 3.3 Skema Proses Sintering: (1) Gas Nitrogen (N2), (2) Manometer (regulator), (3) Tungku, dan (4) Kontrol Temperatur
Universitas Sumatera Utara
3.5 Pengujian
Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: porositas, densitas,
koefisien ekspansi termal, ketahanan korosi, kuat tekan, kekerasan (vickers hardness),
ketahanan erosi (wear rasistance), pengujian mikrostruktur dan analisa striktur kristal.
3.5.1 Sifat Fisis
3.5.1.1 Densitas
Tujuan dari pengukuran densitas adalah untuk mendapatkan hasil komposit
matrik logam yang memiliki densitas yang sesuai dengan densitas teori yaitu 2,6 – 3,1
g/cm3 dan pengujian densitas mengacu kepada standard ASTM C 373.
Pengukuran densitas pada pembuatan komposit matrik logam dilakukan
dengan menggunakan prinsip Archimedes. Pengukuran dilakukan dengan dua tahapan
yaitu: pengukuran densitas prasintering dan pasca sintering.
1. Pengukuran densitas prasintering.
a. Sampel yang telah dikompaksi dikeringkan di dalam oven dengan suhu 100 oC
dengan waktu pengeringan selama 2 jam.
b. Sampel yang telah di oven kemudian di timbang dengan menggunakan neraca
digital (m0).
c. Ditimbang massa sampel dengan digantung dalam air (mA).
d. Kemudian ditimbang massa kawat penggantung (mK).
2. Pengukuran densitas pasca sintering
a. Sampel yang telah disintering dikeringkan didalam oven dengan suhu 100 oC
dengan waktu pengeringan selama 2 jam.
b. Sampel yang telah di oven kemudian di timbang dengan menggunakan neraca
digital (m0).
c. Ditimbang massa sampel dengan digantung dalam air (mA).
d. Kemudian ditimbang massa kawat penggantung (mK).
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengetahui besaran-besaran tersebut, maka densitas prasintering dan
pasca sintering dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.8).
3.5.1.2 Porositas
Tujuan dari pengukuran porositas adalah untuk mengetahui hasil apakah
komposit matrik logam yang memiliki porositas sesuai dengan yang diharapkan dan
pengujian porositas mengacu kepada standard ASTM C 373.
Dalam pembuatan komposit matrik logam,pengukuran porositas dilakukan
dengan dua tahapan yaitu: pengukuran porositas prasintering dan pasca sintering.
1. Pengukuran porositas prasintering.
a. Sampel yang telah dikompaksi dikeringkan di dalam oven dengan suhu 100 oC
dengan waktu pengeringan selama 2 jam.
b. Sampel yang telah di oven kemudian di timbang dengan menggunakan neraca
digital (m0).
c. Sampel yang telah ditimbang kemudin direndam di dalam air selama 1 jam,
bertujuan untuk mengoptimalkan penetrasi air terhadap sampel uji.
d. Sampel yang telah direndam didalam air selama 1 jam tersebut dilap terlebih
dahulu dengan kain halus, kemudian ditimbang massanya. (mU).
e. Sampel yang telah direndam didalam air selama 1 jam kemudian ditimbang
dengan digantung di dalam air (mA).
f. Ditimbang massa kawat penggantung (mK).
2. Pengukuran porositas pasca sintering.
a. Sampel yang telah dikompaksi dikeringkan di dalam oven dengan suhu 100 oC
dengan waktu pengeringan selama 2 jam.
b. Sampel yang telah di oven kemudian di timbang dengan menggunakan neraca
digital (m0).
c. Sampel yang telah ditimbang kemudin direbus didalam air mendidih dengan
menggunakan kompor gas selama 2 jam yang bertujuan untuk
mengoptimalkan penetrasi air terhadap sampel uji.
Universitas Sumatera Utara
d. Sampel yang telah direbus didalam air mendidih selama 2 jam terlebih dahulu
dilap dengan kain halus, kemudian ditimbang massanya (mU).
e. Sampel yang telah direbus didalam air mendidih selam 2 jam kemudian
ditimbang dengan digantung di dalam air (mA).
f. Ditimbang massa kawat penggantung (mK).
Dengan mengetahui besaran-besaran tersebut, maka porositas prasintering dan
pasca disintering dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.9).
3.5.1.3 Koefisien Ekspansi Termal
Pengukuran koefisien termal ekspansi dilakukan dengan menggunakan alat
Dilatometer Harrop Laboratories T-70 dengan rentang suhu pengukuran diatur mulai
dari 30 – 300 oC dan mengacu kepada standard ASTM E 228.
Prosedur pengukuran koefisien ekspansi termal adalah sebagai berikut:
a. Diukur panjang sampel dengan menggunakan jangka sorong (vernier calliper).
b. Kemudian sampel diletakkan pada tempat sampel (sampel hoder)
c. Ditentukan nilai Gain (A), kemudian hitung nilai corection (C) dengan rumus
C = A.L/2,54 dimana L = panjang sampel (cm)
d. Tekan tombol power kemudian tekan tombol hold hingga lampu hold menyala.
e. Tetapkan Upper Temp dengan menggunakan tombol Upper
f. Tetapkan rate kenaikan suhu dengan mengatur tombol rate
g. Diatur posisi suhu pembacaan dengan mengatur tombol meter ke posisi temp.
Apabila suhu yang terbaca belum mencapai 30oC, maka perlu diturunkan
suhunya hingga mencapai 30oC dengan menekan tombol down dan slew
sehingga lampu slew dan down menyala.
h. Tentukan skala T range yang diinginkan dengan memilih skala S1 dan S2.
i. Letakkan Pen Recorder dan kertas Recorder ke posisinya.
j. Arahkan tuas pen ke posisi Up dan diatur posisi pen dengan mengatur tombol
X dan Y, kemudian tekan tombol INST.POWER ke posisi ON dan diatur
kembali posisi pen hingga posisi pen dalam keadaan stabil.
Universitas Sumatera Utara
k. Bila posisi pen belum stabil, atur kembali dengan memutar skala micrometer
sampai posisi berada paling bawah kemudian di atur lagi ke posisi yang
diinginkan dengan mengatur tombol X dan Y.
l. Apabila posisi pen sudah tepat dan stabil kemudian arahkan tuas Pen Recorder
ke posisi ON.
m. Nyalakan tungku furnace dengan mengarahkan tombol furnace ke posisi ON.
n. Amati dan catat suhu yang ditunjukkan pada display layar suhu setiap
kenaikan skala X yang diinginkan.
3.5.1.4 Pengujian Ketahanan Korosi
Tujuan dari pengujian korosi adalah untuk mengetahui sifat korosif dari
sampel uji, pengujian korosi mengacu pada standard ASTM G103.
Prosedur pengukuran ketahan korosi sampel uji adalah sebagai berikut:
a. Dihitung seluruh luas permukaan sampel yang akan diuji.
b. Diukur volume air da NaCl dengan perbandingan 6 % NaCl dan 96 % air dari
jumlah volume keseluruhan, kemudian NaCl dimasukkan kedalam air dan
diaduk hingga merata.
c. Larutan yang telah diaduk kemudian dimasukkan kedalam refluks kemudian
dipanaskan dengan menggunakan kompor listrik.
d. Setelah larutan NaCl mendidih, dibiarkan terlebih dahulu selam 10 menit
kemudian sampel dimasukkan (ditenggelamkan).
e. Tenggelamkan sampel secepat mungkin setelah dilakukan penekanan
(setengah dari maksimum kuat tekan sampel) sehingga terjadi retakan awal,
kemudian sampel dimasukkan kedalam sealed kantong plastik yang tertutup
rapat.
f. Lakukan pengamatan visual dalam periode tertentu, jika sampel harus
dikeluarkan untuk ditimbang, maka pengeluaran sampai dengan sampel
dimasukkan kembali kedalam larutan ≤ 5 menit.
g. Dicatat pertama kali terjadinya korosi pada sampel.
h. Durasi total pengujian adalah 168 jam (7 hari) dengan waktu penimbangan
setiap 24 jam (1 hari) sekali.
Universitas Sumatera Utara
3.5.2 Sifat Mekanik
3.5.2.1 Kuat Tekan(Compressive Strength)
Pengujian kekuatan tekan adalah untuk mengukur kekutan tekan bahan
(sampel uji) terhadap tekanan mekanis. Alat yang digunakan untuk menguji kuat tekan
adalah Universal Testing Mechinen (UTM) dan Hydraulic press. ASTM C-773.
Gambar 3.4 Gambar sampel uji kuat tekan komposit matrik logam Al/SiCp
a. Sampel yang akan diuji, diukur luas permukaannya yang dinyatakan dengan A.
b. Sampel diletakkan diantara tumpuan ( lempengan ) penekan (gambar 3.5).
Gambar 3.5 Sampel uji kuat tekan yang diletakkan diantara lempengan
penekan
c. Sebelum pengujian berlangsung, alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan jarum
penunjuk tepat pada angka nol.
d. Dihidupkan alat, kemudian dicatat angka yang ditunjukkan oleh skala
pengukuran pada alat sebagai nilai P, setelah sampel menjadi hancur (gambar
3.6).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.6 Sampel yang hancur setelah pengujian kuat tekan
e. Apabila kuat tekan sampel melebihi batas ukur pada Universal Testing
Machine, maka sampel diuji dengan menggunakan hydraulic press, maka
untuk sampel uji yang memiliki kuat tekan diatas 4000 lbf diuji dengan
menggunakan hydraulic press.
Dengan mengetahui besaran tersebut, maka nilai kekuatan tekan dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.12).
3.5.2.2 Kekerasan (Vickers Hardness Test)
Alat untuk menguji kekerasan dengan menggunakan Microhardness Tester,
Merek Matsuzawa tipe MXT-50, dengan penumpu berupa diamond pyramid dan
pengujian ini mengacu pada standard ASTM E 18-02
Prosedur uji kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Pastikan permukaan benda uji benar-benar halus dan rata.
b. Atur posisi pembebanan yang diinginkan (1 kg) dan set waktu identifikasi
secukupnya (5 detik).
c. Pilih permukaan yang akan diamati benar-benar baik dan dalam kondisi fokus
dalam pengujian ini dilakukan pengujian sebanyak lima kali pada permukaan
atas dan bawah sampel uji, seperti pada gambar 3.7.
Universitas Sumatera Utara
Permukaan I
Gambar 3.7 Daerah uji kekerasan dari sampel secara acak
d. Ukur panjang masing-masing diagonal dari hasil penekanan tersebut
(berbentuk diamond), sehingga nilai kekerasan yang terukur dapat terbaca di
dalam monitor microhardness tester.
Gambar 3.8 Hasil pengujan vickers hardness
Dengan mengetahui besaran tersebut maka kekerasan dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan (2.13).
3.5.2.3. Pengujian Ketahanan Erosi (Wear Resistance)
Tujuan dilakukan pengujian ketahanan erosi adalah untuk mengetahui
ketahanan sampel uji terhadap gesekan yang berulang-ulang pada permukaan suatu
material dengan grit (kekasaran) dan periode tertentu. Pengujian ketahanan erosi pada
penelitian ini mengacu kepada Standar ASTM G-99
Universitas Sumatera Utara
Prosedur pengujian ketahan erosi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Sebelum dilakukan percobaan terlebih dahulu diukur dimensi sampel uji, yaitu:
diameter, tinggi, dan massa awal.
b. Setelah dimensi diketahui, sampel diletakkan (dijepit) dengan menggunakan statif
kemudian diletakkan di atas permukaa pin on disc (piringan yang berputar) yang
terdapat abrasive paper SiC 800 grit pada permukaannya.
c. Sebelum alat dinyalakan, ditentukan terlebih dahulu parameter uji, berupa: beban
penekanan (aplied load), lama pengujian (durasi), dan kecepatan putaran. Dalam
pengujian ini beban penekanan adalah 10 N, lama pengujian 60 detik, dan
kecepatan putaran adalah 80 rpm.
d. Kemudian dinyalakan alat pin on disc tester bersamaan dengan stop watch,
setelah lama pengujian tercapai (60 detik), alat sampel diangkat dan alat uji
dimatikan.
e. Dihitung perubahan massa yaitu massa awal - massa akhir (Δm) dan dihitung
jarak sliding yaitu tinggi awal – tinggi akhir (S).
Dengan mengetahui besaran tersebut, maka dapat dihitung nilai wear rate
dengan menggunakan persamaan (2.14.)
3.5.3 Analisa Mikrostruktur
3.5.3.2 SEM (Scaning Electron Microscope)
Bentuk dan ukuran partikel komposit matrik logam Al/SiC dapat
diidentifikasikan berdasarkan data yang di peroleh dari alat ukur SEM (Scanning
Electron Microscope).
Mekanisme alat ukur SEM dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Sampel diletakkan dalam cawan yang dilapisi emas.
b. Sampel disinari dengan pancaran elektron bertenaga kurang lebih 20 kV
sehingga sampel memancarkan elektron turunan (secondary electron) dan
elektron terpantul (back scattered electron) yang dapat dideteksi dengan
detector scintilator yang diperkuat sehingga timbul gambar pada layar CRT.
Universitas Sumatera Utara
c. Pemotretan dilakukan setelah dilakukan pengesetan pada bagian tertentu, dari
objek dan perbesaran yang diinginkan sehingga diperoleh foto sesuai yang
diinginkan.
d. Gambar yang didapat selanjutnya diidentifikasi.
3.5.4 Analisa Struktur Kristal
3.5.4.1 Difraksi Sinar –X (X-Ray Diffraction)
Dalam penelitian ini, karakterisasi struktur kristal sampel uji dilakukan dengan
menggunakan metode difraksi sinar-x. Tujuan dilakukannya pengujian analisis
struktur kristal adalah untuk mengeahui perubahan fase struktur bahan dan mngetahui
fase-fase apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji.
XRD adalah suatu peralatan yang dapat memberikan data-data difraksi dan
besar kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2θ). Secara umum prinsip
kerja XRD dapat diperluhatkan pada gambar 3.9.
A
B C
D
E
F GH
θ
θ2
Gambar 3.9 Skema alat uji XRD
a. A adalah generator tegangan tinggi yang berfungsi sebagai catu daya sumbu
sinar -X (B)
Universitas Sumatera Utara
b. Sampel (C) diletaakan di atas tatakan (D) yang dapat diatur.
c. Sinar-X dari sumber (B) didifraksi oleh sampel menjadi berkas sinar konfergen
yang terfokus di celah (E), kemudian masuk ke alat pencacah (F).
d. D dan F dihubungkan secara mekanis. Jika (F) berputar 2θ maka D berputar
sebesar θ.
e. Intensitas difraksi sinar-X yang masuk dalam plat pencacah (F), dikonversikan
dengan alat kalibrasi (G) dalam signal tegangan yang disesuaikan dan direkam
oleh recorder (H) dalam bentuk kurva.
f. Dari pengujin ini diperoleh grafik hubungan sudut 2θ dengan intensitas pola
struktur dari berbagai puncak.
g. Dengan persamaan 2.16. dapat ditentukan jarak kekisi (d).
h. Nilai-nilai d yang telah dihitung dicocokan dengan nilai-nilai d pada JCPDS
yang sesuai dengan fase-fase kristal yang terbentuk pda cmpurn bahan yang
dibuat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat Fisis
4.1.1 Densitas dan Porositas
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka nilai densitas dan porositas
pra sintering dan pasca sintering dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
2.8 dan 2.9 yang mengacu pada standart pengujian ASTM C 373 dengan
menggunakan metode Archimedes. Sebuah contoh perhitungan untuk pengujian
densitas dan porositas sebagai berikut:
Kode sampel I Al/SiCp 80 : 20 %wt; pra sintering.
mo = 7,52 g
mU = 7,62 g
mA = 3,99 g
mK = 0,52 g
a. Densitas
ρ = mo
mo − (mA + mK) x ρH2O
ρ = 7,52 g
7,52 g − (3,99 g + 0,52 g) x 1 g cm3⁄
ρ = 7,52 g3,01 g
x 1 g cm3⁄
𝛒𝛒 = 𝟐𝟐,𝟓𝟓𝟓𝟓 𝐠𝐠 𝐜𝐜𝐜𝐜𝟑𝟑⁄
b. Porositas
P = mU − mo
mo − (mA + mK) x 100 %
P = 7,62 g − 7,52 g
7,52 g − (3,99 g + 0,52 g) x 100 %
P = 0,1 g
3,01 g x 100 %
P = 3,43 %
Universitas Sumatera Utara
4.1.1.1 Densitas dan Poroitas Prasintering
Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat table pengukuran nilai densitas dan
porositas pra sintering sebagai berikut:
Tabel 4.1 Pengukuran densitas dan porositas prasintering untuk komposisi
80 : 20 %wt Al/SiCp Kode mo mU mA mK Densitas Porositas
Sampel (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%) I 7.52 7.62 3.99 0.52 2.50 3.43
Tabel 4.2 Pengukuran densitas dan porositas prasintering untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Kode mo mU mA mK Densitas Porositas Sampel (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%)
I 7.86 7.96 4.23 0.52 2.52 3.22
Pengukuran nilai densitas dan porositas sebelum disintering ditentukan dengan
menggunakan metode Archimedes. Nilai densitas yang diperoleh dengan
menggunakan metode Archimedes untuk variasi komposisi dapat dilihat dalam tabel
4.1 dan 4.2, hasil pengukuran yang diperoleh untuk komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
adalah 2,50 g/cm3 dengan nilai porositas 3,43 %, sedangkan pada komposisi
70 : 30 %wt Al/SiCp didapat densitas 2,52 g/cm3 dan nilai porositas yang didapat
adalah 3,22 %, dari nilai yang diperoleh dalam pengukuran densitas dan porositas
sebelum disintering telah menunjukkan bahwa nilai-nilai densitas tersebut diharapkan
mendekati ± 80% dari nilai densitas sintering. Nilai tersebut dapat diperoleh melalui
proses pencetakan (casting) dan penekanan (kompaksi) dengan menggunakan alat
hydraulic press pada nilai beban penekanan sebesar 300 MPa dan waktu tahan
(holding time) selama 5 menit. Nilai densitas setelah proses kompaksi (green density)
terjadi karena adanya ikatan kohesivitas (adhesif-kohesif) bahan komposit. Ikatan
kohesivitas dapat dipengaruhi oleh: ikatan antar muka (interface) partikel penguat SiC
dan matrik Al Alloy, gaya elektrostatik, dan ikatan Van Der Walls.
Ikatan antar muka partikel penguat dan matrik erat kaitannya dengan
kekasaran permukaan partikel, dimana kekasaran partikel yang tinggi menyebabkan
kontak antar pernukaan menjadi lebih luas, sehingga interaksi antar partikel juga
Universitas Sumatera Utara
semakin tingi, sedangkan pengaruh dari ikatan elektrostatik terjadi akibat adanya
penekanan, dengan adanya tekanan, maka permukaan antar partikel akan mengalami
gesekan, sehingga dengan adanya gesekan antar partikel menyebabkan terjadinya
ikatan elektrostatik. (Zainuri, 2007)
Hal lain yang mempengaruhi kohesivitas adalah gaya Van Der Walls. Gaya
Van Der Walls merupakan gaya yang terjadi akibat dari fluktuasi dipol pada partikel
penguat maupun matrik. Besar beban penekanan yang diberikan pada saat proses
pembentukan akan menghasilkan tiga kemungkinan model ikatan yang disebabkan
oleh gaya Van Der Walls pada pertikel serbuk seperti gambar 4.1 dibawah ini.
Gambar 4.1. Kemungkinan bentuk serbuk Al dan SiCp pada saat proses kompaksi (a) bola-bola, (b) bola-bidang, dan (c) bidang-bidang
(Widyastuti dkk, 2007)
a. Bola-bola, apabila gaya tekan yang diberikan berada dibawah yield strenght
dari matrik dan dibawah yield streght penguat. Gaya ini menyebabkan matriks
dan penguat terdeformasil elastis dan hal ini akan mengakibatkan nilai
porositas yang terlalu tinggi dan ikatan antar muka awal juga rendah.
b. Bola-bidang, apabila gaya tekan yang diberikan berada diatas yield strenght
dari matrik dan dibawah yield streght penguat, dan model seperti inilah yang
diharapkan terjadi dalam proses pembuatan komposit dengan menggunakan
metode metalurgi serbuk karena matriks akan terdeformasi plastis dan penguat
terdeformasi elastis.
H H H
(a) (b) (c)
Universitas Sumatera Utara
c. Bidang-bidang, apabila gaya tekan yang diberikan diatas yield strenght dari
matrik dan penguat. Hal ini mengakibatkan pengembangan (bloating) pada
komposit sehingga terjadi perubahan dimensi diluar batas toleransi. (Heny
Faisal, 2007)
Aspek kebasahan (wettability) pada penguat SiCp juga sangat mempengaruhi
nilai densitas sebelum sintering. Oleh karena itu, pada saat proses pelapisan partikel
penguat SiC diharapkan seluruh permukaan partikel penguat dapat terlapisi secara
sempurna seperti terlihat pada gambar (2.7), karena apabila pelapisan penguat SiCp
tidak sempurna dapat mempengaruhi ikatan antar muka penguat SiCp dengan matrik
Al Alloy, apabila hal ini terjadi maka akan menumbulkan porositas yang besar dan
dapat menurunkan sifat mekanik dari komposit matrik logam tersebut.
4.1.1.2 Densitas dan porositas pasca sintering
Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat table pengukuran nilai densitas dan
porositas pasca sintering sebagai berikut:
Tabel 4.3 Pengukuran densitas dan porositas pasca sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Sampel mo mU mA mK Densitas Porositas (oC) (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%) 450 I 8.22 8.28 4.75 0.52 2.79 2.12
II 8.13 8.19 4.69 0.52 2.78 2.09 8.17 8.23 4.72 0.52 2.78 2.11
500 I 8.09 8.14 4.69 0.52 2.81 1.83 II 7.96 8.01 4.61 0.52 2.81 1.71 8.03 8.08 4.65 0.52 2.81 1.77
550 I 8.53 8.56 5.13 0.52 2.97 1.10 II 8.37 8.40 4.99 0.52 2.92 1.01 8.45 8.48 5.06 0.52 2.94 1.05
600 I 8.05 8.07 4.90 0.52 3.06 0.99 II 7.73 7.75 4.65 0.52 3.02 0.97
7.89 7.91 4.78 0.52 3.04 0.98
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.4 Pengukuran densitas dan porositas pasca sintering pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Sampel mo mU mA mK Densitas Porositas (oC) (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%) 450 I 7.66 7.71 4.41 0.52 2.81 2.01
II 7.67 7.72 4.39 0.52 2.78 1.98
7.66 7.72 4.40 0.52 2.79 2.00 500 I 7.68 7.72 4.55 0.52 2.94 1.77
II 7.68 7.73 4.55 0.52 2.94 1.79
7.68 7.72 4.55 0.52 2.94 1.78 550 I 7.52 7.55 4.49 0.52 3.00 1.00
II 7.54 7.57 4.51 0.52 3.00 1.15
7.53 7.56 4.50 0.52 3.00 1.08 600 I 7.62 7.64 4.64 0.52 3.10 0.84
II 7.62 7.65 4.65 0.52 3.11 0.89
7.62 7.64 4.65 0.52 3.10 0.87
Dari tabel 4.3 dan 4.4, maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai densitas
dan porositas terhadap perubahan suhu sinering seperti gambar dibawah ini
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara densitas terhadap perubahan suhu sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara porositas terhadap perubahan suhu
sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp
2,602,702,802,903,003,103,20
450 500 550 600
Den
sita
s (g/
cm3 )
Suhu Sintering (oC)
80 : 20 %wt Al/SiCp70 : 30 %wt Al/SiCp
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
450 500 550 600
Poro
sita
s (%
)
Suhu Sintering (oC)
80 : 20 %wt Al/SiCp70 : 30 %wt Al/SiCp
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, mekanisme proses sintering mengalami tiga tahapan yaitu:
pembentukan leher (necking), pertumbuhan butir baru (seperti diperlihatkan pada
gambar 2.11), dan yang terakhir adalah proses penyusutan atau shringkage (seperti
diperlihatkan pada gambar 2.12). Pada proses awal sintering terjadi difusi atom pada
bagian titik kontak permukaan partikel. Pada saat pemberian energi panas di dalam
furnace sama artinya dengan memberikan energi aktivasi pada atom penyusun bahan
tersebut, sehingga dengan adanya energi aktivasi menyebabkan atom penyusun bahan
akan bervibrasi kemudian melepaskan ikatannya dan bergerak ke posisi baru atau
berpindah ke kisi yang lain, proses tersebut sering disebut dengan proses difusi.
Karena difusi yang terjadi pada proses tersebut hanya berada pada daerah permukaan
kontak partikel, maka difusi tersebut disebut dengan solid sintering. Dari proses
difusi, maka akan terbentuk solid solution yang berada pada daerah kontak antar
partikel yang disebut dengan liquid bridge. Dengan liquid bridge tersebut, maka
bahan akan mengalami kompaktibilitas (densitas semakin meningkat).
Sintering pada proses pembuatan komposit dengan menggunakan metode
metalurgi serbuk merupakan fenomena yang menarik untuk diperhatikan lebih
seksama, karena proses ikatan akhir antar penguat SiCp dengan matrik Al Alloy sangat
menentukan sifat mekanis dan sifat fisis dari bahan komposit yang akan dibuat. Proses
sintering merupakan fenomena difusi antar permukaan partikel dalam skala atomik
yang sangat bergantung kepada kereaktifan permukaan antar partikel yang
berinteraksi, dalam proses pembuatan komposit matrik logam Al/SiCp sangat
diharapkan pada material matrik Al Alloy dan penguat SiCp berinteraksi dengan
sempurna. Oleh sebab itu, dengan pelapisan partikel SiCp dengan oksida logam
Al(NO3)3 diharapkan dapat meningkatkan interaksi penguat SiCp dengan matrik Al
Alloy.
Dari gambar 4.2, dapat dilihat bahwa nilai densitas untuk masing-masing
komposisi meningkat secara linear dengan meningkatnya suhu sintering dan dari
gambar 4.3, nilai porositas untuk masing-masing komposisi semakin kecil dengan
meningkatnya suhu sintering. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu sintering
maka densitas material akan semakin meningkat dan pori-pori yang dihasilkan juga
akan semakin berkurang.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai densitas tertinggi untuk
masing-masing komposisi sampel adalah pada suhu pembakaran 600 oC. Untuk
komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dengan nilai densitas yang diperoleh adalah
3,04 g/cm3, serta nilai porositas yang diperoleh adalah 0,98%. Untuk komposisi
70 : 30 %wt Al/SiCp, nilai densitas yang diperoleh adalah 3,10 g/cm3 dan nilai
porositas yang diperoleh adalah 0,87%.
Dari hasil yang diperoleh, perbedaan nilai densitas untuk masing-masing
komposisi disebabkan oleh densitas masing-masing material penyusun komposit itu
sendiri. Dimana nilai densitas untuk partikel SiC adalah 3,22 g/cm3 dan nilai densitas
matrik Al adalah 2,78 g/cm3. Dengan demikian nilai densitas untuk komposisi
70 : 30 %wt Al/SiCp lebih besar dibandingkan dengan komposisi 80 : 20 %wt
Al/SiCp. Dan dari nilai yang diperoleh pada penelitian ini telah mendekati dengan
nilai literatur dan penelitian yang dilakukan oleh Oliver Beffort (2002) bahwa nilai
densitas untuk komposit matrik logam aluminium dengan penguat SiCp adalah antara
2,60 g/cm3 sampai dengan 3,10 g/cm3.
4.1.2 Koefisien Ekspansi Termal
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka nilai koefisien ekspansi
termal dapat dicari dengan meggunakan persamaan 2.10 dengan menyesuaikan
persamaan yang dihasilkan oleh plotter alat Dilatometer Harrop yang mengacu pada
standart pengujian ASTM E 228 – 95.
C = A lo
2,54
Y = 254A lo
Dimana: C = Faktor koreksi.
A = Faktor penguat alat (Gain).
lo = Panjang awal sampel.
Y = Perubahan panjang dinyatakan dengan Δl/lo (% per inchi).
Universitas Sumatera Utara
Sehingga grafik fungsi perubahan panjang (Δl) terhadap suhu (T) dapat
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
∆l = 254A lo
Karena Y sama dengan Δl dan plotter alat Dilatometer memberikan fungsi
perubahan panjang adalah Δl sedangkan secara teori perubahan panjang
dinyatakan dengan Δl/lo, maka perubahan panjang dari plotter alat sama-sama
dibagi dengan lo, maka didapat persamaan sebagai berikut: ∆llo
= 254
A lo lo
Sehingga;
∆llo
= � 254
A lo lo�
2,54 Y
2,54 diperoleh dari nilai Y, karena Δl/lo (% per inchi).
1 inchi = 2,54 cm
1 inchi = 25,4 mm
Salah satu contoh perhitungan untuk menentukan nilai koefisien ekspansi
termal untuk sampel uji Al/SiCp 80 : 20 %wt dengan suhu sintering 450 oC adalah
sebagai berikut:
Dik: A = 10
Lo= 6,6 cm
Y = 3,7
Maka:
αm = � 254
10 (6,6 . 6,6)�
2,54 . 3,7
αm = 0,084940/ Co
Dari table hasil pengujian nilai koefisien ekspansi termal (Lampiran A), maka
dapat dibuat grafik hubungan antara perubahan panjang sampel terhadap kenaikan
temperature pengujian.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu
pengukuran pada suhu sintering 450 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Gambar 4. 5 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 500 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Gambar 4.6 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu
pengukuran pada suhu sintering 550 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
0,00,10,20,30,40,50,60,70,8
30 91 116
138
153
169
185
199
213
225
237
250
262
276
290
298
297
300
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1 T2
T3
T0
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
30 86 111
131
149
165
180
194
209
221
234
247
259
272
284
294
298
298
300
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
0,00,10,20,30,40,50,60,70,8
30 79 100
115
129
141
154
164
174
184
198
206
215
224
232
240
248
256
264
271
279
287
294
300
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.7 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu
pengukuran pada suhu sintering 600 oC pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Gambar 4.8 Grafik hubungan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu
pengukuran pada suhu sintering 450 oC pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Gambar 4. 9 Grafik hubunguan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 500 oC pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
0,00,10,20,30,40,50,60,70,8
30 91 114
131
146
160
172
184
194
204
214
223
231
239
249
257
265
272
280
287
293
299
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,9
30 87 112
130
149
158
170
183
191
204
212
222
227
235
243
254
261
268
278
285
292
298
300
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,9
30 81 101
115
128
140
153
162
172
182
190
199
207
216
223
231
239
247
255
263
270
279
286
293
298
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. 10 Grafik hubunguan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 550 oC pada komposisi 70 : 30%wt Al/SiCp
Gambar 4. 11 Grafik hubunguan antara koefisien ekspasi termal dengan suhu pengukuran pada suhu sintering 600 oC pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Pengujian sifat ekspansi termal suatu bahan material komposit sangat penting
dilakukan karena ada kaitannya dengan aplikasi komposit tersebut. Tujuan dari
pengujian koefisien ekspansi termal adalah untuk mengetahui perubahan panjang
relatif terhadap panjang awal sampel yang berhubungan dengan suhu (T) .Pengukuran
koefisien ekpansi termal (CTE) dilakukan dengan menggunakan alat ukur Dilatometer
Harrop T-70. Koefisien ekspansi termal diukur mulai dari suhu 30 oC sampai dengan
300 oC. Dari gambar 4.4, 4.5, 4.6, 4.7, 4.8, 4.9, 4.10, dan 4.11, nilai-nilai koefisien
ekspansi termal tersebut ditentukan berdasarkan nilai kemiringan (slope) grafik
hubungan antara kenaikan suhu terhadap pertambahan panjang sampel. Slope
koefisien ekspansi termal dapat dicari dengan persamaan 4.1 dibawah ini.
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,9
30 82 100
116
129
141
153
162
172
182
191
199
207
216
224
231
239
247
255
262
269
277
284
291
298
300
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
00,10,20,30,40,50,60,70,8
30 89 114
134
150
164
176
186
201
216
226
236
245
253
261
266
278
289
295
300
ΔL/L
o (o C
-1)
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
T0
Universitas Sumatera Utara
αm1 = Y1 − Y0
T1 − T0 = Slope (4.1)
αm1 = 13,5 − 0181 − 30
= 0,111111 / Co
Dilihat dari grafik diatas, maka dengan persamaan 4.1 maka nilai slope untuk
memperoleh nilai koefisien ekspansi termal dapat dihitung dengan memanfaatkan
nilai slope yang telah dipartisi menjadi tiga nilai slope, yaitu: T0 - T1, T1 – T2, T2 -T3
kemudian dari ketiga nilai tersebut dirata-ratakan. Dari hasil nilai slope rata-rata maka
diperoleh data seperti tabel 4.5 dan 4.6.
Tabel 4.5 Slope grafik hubungan antara perubahan temperatur terhadap perubahan panjang sampel pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Sintering αm1 αm2 αm3 αmrata-rata (oC) (oC-1) (oC-1) (oC-1) (oC-1) 450 0.14000 0.12267 0.10667 0.12311 500 0.13600 0.13810 0.17222 0.14877 550 0.12014 0.13467 0.15000 0.13494 600 0.10063 0.13889 0.16667 0.13539
Tabel 4.6 Slope grafik hubungan antara perubahan temperatur terhadap perubahan panjang sampel pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Sintering αm1 αm2 αm3 αmrata-rata (oC) (oC-1) (oC-1) (oC-1) (oC-1) 450 0.11111 0.14167 0.14035 0.13104 500 0.14085 0.13433 0.13443 0.13653 550 0.11776 0.12763 0.13810 0.12783 600 0.08940 0.11806 0.15319 0.12022
Dari tabel 4.5 dan 4.6, dapat dilihat bahwa perubahan panjang (dilatasi) yang
terjadi pada saat pengujian menunjukkan nilai yang sesuai dengan nilai koefisien
ekspansi termal secara teoretis. Secara teoretis nilai koefisien ekspansi termal dalam
pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan partikel penguat SiC adalah
7 x 10-6/oC sampai dengan 20 x 10-6/oC (Olivier Beffort, 2002), sedangkan dari tabel
perhitungan untuk nilai slope rata-rata pada sampel uji bahwa nilai koefisien ekspansi
termal tertinggi adalah 14 x 10-6/oC yaitu pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp.
Universitas Sumatera Utara
Faktor utama yang mempengaruhi nilai koefisien ekspansi termal dalam proses
pembuatan komposit matrik logam adalah material penyusun komposit itu sendiri.
Secara teori nilai koefisien termal ekspansi matrik aluminium adalah 22,9 x 10-6/oC
sedangkan nilai koefisien ekspansi termal partikel SiC adalah 4,51 – 4,73 x 10-6/oC.
Jadi, dengan penggabungan meterial aluminium dan partikel SiC, diharapkan
diperoleh nilai koefisien ekspansi termal di antara nilai koefisien ekspansi termal
material penyusun (konstituen) pada komposit matrik aluminium berpenguat partikel
penguat SiCp secara teoretis.
Sedangkan pengaruh lain dari proses pembuatan komposit matrik logam
dengan menggunakan metode metalurgi serbuk yang biasanya menggunakan rekayasa
pelapisan partikel penguat SiC dengan menggunakan ion logam (dalam penelitian ini
digunakan Al(NO3)3) yang akan berpengaruh terhadap nilai koefisien ekspansi termal
sampel uji. Proses pelapisan wettability bertujuan untuk meningkatkan kebasahan
antara partikel penguat SiC dengan matrik aluminium. Menurut penelitian Pay Yih
(1995) dalam Journal of Powder Metallurgy, pembuatan komposit matrik logam
dengan menggunakan metode metalurgi serbuk secar umum dilakukam proses
pelapisan partikel penguat untuk meningkatkan kebasahan (wettability) partikel
penguat dan meningkatkan ikatan antar muka partikel penguat dengan matrik. Apabila
ikatan antar muka matrik dengan penguat saling berikatan secara sempurna,
kemungkinan material terkontaminasi oleh pengotor (seperti oksida) dapat dihindari
pada saat proses sintering berlangsung. Dengan demikian, apabila proses pelapisan
dan ikatan terjadi secara sempurna, maka dapat menurunkan nilai koefisien ekspansi
termal pada material komposit matrik logam tersebut.
Disamping itu, nilai koefisien ekspansi termal yang diperoleh juga dipengaruhi
oleh komposisi partikel penguat SiC. Menurut Al-Haidary (2007) dalam jurnal
Material Scince-Poland, dalam pembuatan komposit matrik logam berpenguat
partikel keramik SiC, dengan penambahan komposisi partikel penguat SiC maka dapat
menurunkan nilai koefisien ekspansi termala material komposit tersebut. Dan dari
hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai koefisien ekspansi termal untuk komposisi
70 : 30 %wt Al/SiCp lebih rendah dibandingkan dengan komposisi 80 : 20 %wt
Al/SiCp seperti yang diperlihatkan dalam tabel 4.5 dan 4.6.
Universitas Sumatera Utara
4.1.3 Ketahanan Korosi
Dari hasil pengujian ketahan korosi pada sampel uji yang dilakukan selama
168 jam (7 hari) dengan menggunakan larutan 6% NaCl, maka dapat dibuat tabel
perubahan massa sampel uji sebagai berikut:
Tabel 4.7 Pengukuran ketahanan korosi pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Waktu (Jam) 0 24 48 72 96 120 144 168
450 oC 7.896 7.879 7.880 7.887 7.894 7.872 7.891 7.897 500 oC 7.791 7.808 7.803 7.777 7.787 7.791 7.791 7.803 550 oC 8.050 8.056 8.027 8.059 8.057 8.070 8.048 8.049 600 oC 7.789 7.798 7.791 7.793 7.787 7.797 7.790 7.793
Tabel 4.8 Pengukuran ketahanan korosi pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Waktu (Jam)
0 24 48 72 96 120 144 168 450 oC 8.290 8.300 8.240 8.181 8.282 8.290 8.271 8.293 500 oC 7.973 8.006 7.999 7.972 7.974 7.974 7.975 7.974 550 oC 8.102 8.195 8.185 8.187 8.186 8.185 8.108 8.103 600 oC 7.707 7.716 7.739 7.740 7.723 7.719 7.709 7.706
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel 4.7 dan 4.8 diatas maka dapat dibuat grafik hubungan antara
perubahan massa terhadap waktu pengujian seperti gsmbsr berikut:
Gambar 4.12 Grafik hubungan antara perubahan massa terhadap waktu
perendaman pada pengujian korosi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Gambar 4.13 Grafik hubungan antara perubahan massa terhadap waktu
perendaman pada pengujian korosi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Dari gambar 4.12 dan 4.13, memperlihatkan grafik hubungan antara perubahan
massa terhadap waktu pengujian korosi untuk masing-masing komposisi. Dalam
proses pengujian korosi yang dilakukan selama 168 jam (7 hari) dengan menggunakan
larutan 6% NaCl. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada material komposit matrik
logam aluminium berpenguat partikel SiC tidak menimbulkan korosi, hal ini
disebabkan oleh faktor tingkat kebasahan (wettability) partikel penguat SiC pada saat
proses pelapisan dengan menggunakan ion metal Al(NO3)3 telah terjadi secara
sempurna seperti ditunjukkan pada gambar 2.9. Dalam hal ini, apabila proses
7,70
7,75
7,80
7,85
7,90
7,95
8,00
8,05
8,10
0 24 48 72 96 120 144 168
Peru
baha
n M
assa
(g)
Waktu (Jam)
450 oC500 oC550 oC600 oC
7,47,57,67,77,87,98,08,18,28,38,4
0 24 48 72 96 120 144 168
Peru
baha
n M
assa
(g)
Waktu (Jam)
450 oC500 oC550 oC600 oC
Universitas Sumatera Utara
pelapisan terjadi dengan sempurna maka akan meningkatkan ikatan antar muka
partikel penguat SiC dengan matrik Al dan akan mereduksi (mengurangi) fase
aluminium carbida (Al4C3). Fase aluminium carbida sangat tidak diharapkan terjadi
pada saat proses pembuatan komposit matrik logam Al/SiCp, karena apabila fase ini
terbentuk pada saat proses pembuatan, maka akan menyebabkan material komposit
Al/SiCp menjadi lebih getas, ketahanan lelah dan stabilitas panas yang rendah, dan
akibat yang paling menonjol dengan terbentuknya fase aluminium carbida adalah
terjadinya korosi pada material komposit logam karena material lebih reaktif terhadap
air.
Disamping itu, ketahanan korosi komposit matrik logam Al/SiCp juga
dipengaruhi oleh unsur kimia material penyusun komposit matrik logam. Dimana
logam aluminium merupakan logam yang memiliki kandungan Mg yang cukup tinggi
(1,5 %wt), sehingga aluminium menjadi material yang memiliki ketahanan korosi
yang baik. Sedangkan SiCp merupakan material keramik yang tahan terhadap korosi.
Dengan demikian, material komposit Al/SiCp merupan material yang memiliki
ketahanan korosi yang baik.
Dari gambar 4.12 dan 4.13, perubahan massa yang tidak konstan disebabkan
oleh terlepasnya sebagian material sampel uji pada saat proses pengujian berlangsung,
hal ini terjadi karena pada saat pengujian, sampel terlebih dahulu diberi tekanan
setengah dari beban maksimum (sesuai dengan ASTM G 103). Kenaikan massa yang
terjadi diakibatkan oleh larutan NaCl yang mengendap pada sampel saat proses
penimbangan dilakukan, dan pengurangan massa sampel uji pada saat ditimbang
bukan akibat dari korosi tetapi terlepasnya sebagaian material pada saat pengujian.
Dan pengamatan secara visul yang dilakukan juga tidak menimbulkan adanya gejala
terjadinya korosi pada sampel.
Universitas Sumatera Utara
4.2 Sifat Mekanis
4.2.1 Kuat Tekan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka nilai kuat tekan dapat dicari
dengan menggunakan persamaan 2.14 yang mengacu pada standart pengujian ASTM
C 773. Salah satu contoh perhitungan untuk menentukan nilai kuat tekan adalah
sebagai berikut:
Sampel uji Al/SiCp 80 : 20 %wt dengan suhu sintering 450 oC.
Dik: P1 = 11,67 kgf/cm2
A1 = 143,108 cm2
A2 = 1,81 cm2
Dit: P2…?
Maka
P1 A1 = P2 A2
12,5 kg cm2⁄ 143,108 cm2 = P2 . 1,81 cm2
P2 = 11,67 kgf cm2⁄ 143,108 cm2
1,81 cm2
P2 = 912,50 kgf cm2⁄
Karena;
1 kgf/cm2 = 0,1 MPa
1 MPa = 10 kgf/cm2
Maka;
P2 = 91,25 MPa
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat tabel pengukuran nilai kuat tekan
sebagai berikut:
Tabel 4.9 Pengukuran kuat tekan pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Diameter Luas Beban Maksimum Kuat Tekan (oC) (cm) (cm2) (kgf/cm2) (MPa) 450 1.53 1.83 11.67 91.25 500 1.53 1.84 13.33 103.84 550 1.53 1.83 18.33 143.40 600 1.53 1.83 19.67 153.83
Tabel 4.10 Pengukuran kuat tekan pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Diameter Luas Beban Maksimum Kuat Tekan (oC) (cm) (cm2) (kgf/cm2) (MPa) 450 1.53 1.84 10.83 84.37 500 1.52 1.81 12.33 97.32 550 1.52 1.81 13.33 105.21 600 1.53 1.83 17.33 135.58
Dari table 4.9 dan 4.10, maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai kuat
tekan terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar berikut:
Gambar 4.14 Grafik hubungan antara kuat tekan dengan perubahan suhu
sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp
Dari gambar 4.14 diatas dapat dilihat bahwa nilai kuat tekan meningkat dengan
kenaikan suhu sintering. Dari data yang diperoleh (Tabel 4.9 dan 4.10), nilai kuat
tekan suhu sintering 600 oC untuk komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp adalah 153,83 MPa
sedangkan untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp adalah 135,58 MPa. Peningkatan
nilai kuat tekan juga dipengaruhi oleh nilai densitas dari sampel uji karena apabila
60
80
100
120
140
160
450 500 550 600
Kua
t Tek
an (M
Pa)
Suhu Sintering (oC)
Al/SiC 80:20 %wtAl/SiC 70:30 %wt
Universitas Sumatera Utara
nilai densitas sampel uji semakin tinggi maka nilai kuat tekan dari sampel juga
meningkat.
Perbedaan nilai kuat tekan untuk masing-masing komposisi disebabkan oleh
faktor penguat partikel SiCp, secara umum partikel SiC memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan matrik logam Al, seperti: kekerasan, ketahanan erosi, modulus
elastisitas, dan lain-lain, disamping itu partikel penguat keramik SiC juga memiliki
kekurangan yaitu dalam hal sifat yang getas. Dengan demikian, penambahan
komposisi partikel SiC dalam proses pembuatan komposit matrik logam aluminium,
dapat menurunkan nilai kuat tekan dari material komposit tersebut, akan tetapi dengan
penambahan komposisi partikel SiC dapat meningkatkan sifat mekanik seperti:
kekerasan dan ketahanan gesek, serta sifat termal material komposit matrik logam.
Oleh karena itu, pada saat proses pabrikasi perlu diperhatikan penambahan komposisi
SiCp yang tepat sehingga sifat-sifat fisis dan mekanis sampel seperti yang diharapkan
(direncanakan).
4.2.2 Kekerasan (Vickers Hardness)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka nilai kekerasan dari sampel uji
dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan 2.13 yang mengacu pada standart
pengujian ASTM E 18-02. Salah satu contoh perhitungan untuk menentukan nilai
kekerasan sampel uji sebagai berikut:
Sampel uji Al/SiCp 80 : 20 %wt dengan suhu sintering 450 oC
Dik: d1 = 139,68 µm
d2 = 137,00 µm
drata-rata = 138,84 µm
= 0,138 mm
Dit: VHN (Vickers Hardness Number)?
VHN = 1,854 . P
d2 dengan P = 1 kgf
VHN = 1,854 . P
(0,138 mm)2
VHN = 99,44 kgf mm2⁄ = 994,4 MPa
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat tabel pengujian kekerasan sebagai
berikut:
Tabel 4.11 Pengujian kekerasan (Hardness Test) pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu d1 d2 drata-rata drata-rata d2 HV VHN (oC) (µm) (µm) (µm) (mm) (mm) (kgf/mm2) (MPa) 450 139.68 137.00 138.34 0.138 0.019 99.42 994.4 500 139.50 121.94 130.72 0.130 0.017 108.74 1087.8 550 127.22 129.34 128.28 0.128 0.016 113.90 1139.3 600 108.44 92.36 100.40 0.100 0.010 186.70 1865.3
Tabel 4.12 Pengujian kekerasan (Hardness Test) pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu d1 d2 drata-rata drata-rata d2 HV VHN (oC) (µm) (µm) (µm) (mm) (mm) (kgf/mm) (MPa) 450 122.64 111.40 117.02 0.117 0.013 136.50 1365.2 500 116.72 114.28 115.50 0.115 0.013 139.20 1391.7 550 106.74 107.40 107.07 0.107 0.011 166.04 1660.4 600 107.50 92.72 101.11 0.101 0.010 187.78 1924.1
Dari tabel 4.11 dan 4.12 diatas, maka dapat dibuat gambar grafik hubungan
antara perubahan nilai kekerasan terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar
berikut:
Gambar 4. 15 Grafik hubungan antara kekerasan terhadap perubahan suhu
sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan70 : 30 %wt Al/SiCp
60,0
80,0
100,0
120,0
140,0
160,0
180,0
200,0
450 500 550 600
Kek
eras
an (M
Pa)
Suhu Sintering (oC)
Al/SiC 80:20 %wtAl/SiC 70:30 %wt
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengukuran kekerasan (vickers hardness) yang dilakukan dengan
menggunakan Vickers Microhardness Tester ditunjukkan pada gambar 4.15.
Pembebanan yang diberikan pada saat dilakukan pengukuran adalah 1 kgf dan dengan
arah pembebanan uniaksial, jejak identor yang dihasilkan dapat terlihat dengan jelas
dan baik. Nilai kekerasan untuk kedua komposisi sampel cenderung naik dengan
kenaikan suhu sintering, hal ini memiliki korelasi terhadap densitas dan porositas
sampel, dimana dengan kenaikan nilai densitas maka nilai porositas akan menurun dan
dengan demikian nilai kekerasan juga akan semakin meningkat.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kekerasan sampel dengan
komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp, nilai kekerasan yang tertinggi
untuk komposisi 80 : 20 %wt adalah 1860,50 MPa, sedangkan untuk komposisi
70 : 30 %wt Al/SiCp adalah 1879.67 MPa. Dari tabel 4.9 dan 4.10 diperoleh nilai
kekerasan untuk variasi komposisi memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Selain
perubahan suhu sintering, densitas, dan porositas, nilai kekerasan juga dipengaruhi
oleh komposisi partikel penguat SiC. Dilihat dari tabel tersebut bahwa nilai kekerasan
untuk 70 : 30 %wt Al/SiCp lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi 80 : 20 %wt
Al/SiCp. Perbedaan nilai kekerasan yang diperoleh memiliki persamaan hasil dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh C.Y Lin (1998), dalam penelitian tersebut,
dengan penambahan komposisi partikel penguat SiC, maka nilai kekerasan yang
dihasilkan akan semakin meningkat.
4.2.3 Ketahanan Erosi (Wear Resistance)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka nilai ketahanan erosi (wear
resistance) dapat dicari dengan menggunakan persamaan 2.14 yang mengacu pada
standart pengujian ASTM G 99 – 95a. Salah satu contoh perhitungan untuk
menentukan nilai ketahanan erosi adalah sebagai berikut:
Sampel uji Al/SiCp 80 : 20 %wt dengan suhu sintering 450 oC.
Wear Rate = ∆W
S [mg cm−1⁄ ]
Wear Rate = ∆W
S
Universitas Sumatera Utara
Dimana ΔW = Perubahan massa sampel sebelum dan sesudah pengujian (mg).
S = Total jarak sliding (cm).
Maka:
ΔW = 5,714 – 5,708 = 0,006 gr = 6 mg
S = 1 mm = 0,1 cm
Wear Rate = 6
0,1= 60,00 mg. cm−1 = 6,00 kg. m−1
Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat tabel pengukuran nilai ketahanan
erosi (wear resistance) sebagai berikut:
Tabel 4.13 Pengujian ketahanan erosi (Wear Resistance) pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Diameter Tinggi mawal makhir Δm Jarak Sliding Wear Rate
(0C) (mm) (mm) (g) (g) (mg) (cm) (kg.m-1) 450 8 10 5.714 5.708 6.0 0.100 6.00 500 8 10 5.720 5.714 5.8 0.098 5.91 550 8 10 5.768 5.762 5.4 0.092 5.86 600 8 10 5.780 5.775 4.9 0.090 5.44
Tabel 4.14 Pengujian ketahanan erosi (Wear Resistance) pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Diameter Tinggi mawal makhir Δm Jarak Sliding Wear Rate
(0C) (mm) (mm) (g) (g) (mg) (cm) (kg.m-1) 450 8 10 6.022 6.018 4.0 0.092 4.34 500 8 10 6.094 6.090 3.9 0.091 4.28 550 8 10 6.130 6.126 3.4 0.087 3.90 600 8 10 6.222 6.219 3.0 0.085 3.52
Dari tabel 4.13 dan 4.14, maka dapat dibuat grafik hubungan antara perubahan
nilai ketahanan erosi (wear rate) terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar
berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.16 Grafik hubungan antara ketahanan erosi (wear resistance)
terhadap perubahan suhu sintering pada komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp dan 70 : 30 %wt Al/SiCp
Dari gambar 4.16, menunjukkan bahwa nilai ketahanan erosi untuk kedua
komposi sampel menurun terhadap kenaikan suhu sintering (apabila nilai wear rate
kecil, maka ketahanan erosi akan menjadi lebih baik), dalam proses sintering, semua
mekanisme yang terjadi pada proses sintering (seperti: proses difusi, liquid bridge,
pertumbuhan butir, dan lain-lain) dapat mempengaruhi terhadap nilai ketahanan erosi
dari sampel karena sampel setelah disintering akan mengalami peningkatan densitas
dan penurunan nilai porositas. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
kekerasan di atas, bahwa proses sintering juga dapat meningkatkan kekerasan dari
sampel, dan secara umum, apabila nilai kekerasan sampel tinggi maka ketahanan
terhadap erosi akan semakin baik (nilai ketahanan erosi semakin kecil), hasil
penelitain sama dengan penelitian yang dilakukan oleh C.Y Lin (1998) dan W. M.
Khairaldien (2008).
Perbedaan nilai ketahanan erosi pada masing-masing sampel uji sangat
dipengaruhi oleh komposisi penguat SiCp. Dalam penelitian ini, nilai ketahanan erosi
yang paling baik adalah pada komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp yaitu 3,52 kg.m-1,
sedangkan untuk komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp adalah 5,44 kg.m-1. Menurut
Al-Haidary (2007), dalam proses pembuatan komposit matrik logam dengan
menggunakan SiCp sebagai penguat, maka sifat mekanik komposit matrik logam
seperti ketahanan erosi dan kekerasan akan meningkat, hal ini disebabkan karena sifat
30
35
40
45
50
55
60
65
450 500 550 600
Wea
r R
ate
(kg.
m-1
)
Suhu Sintering (oC)
Al/SiC 80:20 %wtAl/SiC 70:30 %wt
Universitas Sumatera Utara
mekanis dan fisis dari partikel penguat SiC (seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.5)
itu sendiri.
Dalam penelitian ini, dengan penambahan komposisi penguat SiCp, maka
ketahanan erosi dari sampel akan lebih baik (nilai wear rate semakin kecil), hal ini
dapat dilihat dari grafik hubungan antara pengaruh suhu sintering terhadap wear rate
untuk masing-masing komposisi partikel penguat SiC terhadap komposisi matrik Al
(gambar 4.16).
4.3 Analisa Mikrostruktur
4.3.1 SEM (Scanning Electron Microscope)
Gambar 4.17 SEM Micrograph 80 : 20 %wt Al/SiCp
Gambar 4.18 SEM Micrograph 70 : 30 %wt Al/SiCp
Dari gambar 4.17, menunjukkan hasil pengamatan X1000 dan X1500
perbesaran SEM micrograph pada komposit matrik logam dengan komposisi 20%wt
Universitas Sumatera Utara
dan pada gambar 4.18 menunjukkan hasil pengamatan X1000 dan X3500 perbesaran
pada komposisi 30%wt.
Dalam proses pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan
metalurgi serbuk, sangat diharapkan partikel penguat SiC terdistribusi secara merata
pada matrik Al dan tidak terjadi penggumpalan (aglomerisasi), karena apabila hal ini
terjadi maka dapat mengurangi sifat mekanis dan sifat fisis dari komposit matrik
logam tersebut. Disamping itu, proses pembuatan komposit matrik logam dengan
menggunakan metode metalurgi serbuk umumnya melakukan proses rekayasa
pelapisan partikel penguat SiC dengan menggunakan ion metal Al(NO3)3. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan kebasahan antara partikel penguat dengan matrik yang
rendah. Pada proses pelapisan partikel penguat SiC, diharapkan seluruh permukaan
partikel SiC terlapisi secara sempurna dalam skala orde mikron. Apabila proses
pelapisan partikel penguat SiC tidak sempurna dapat mempengaruhi ikatan antar muka
(Interlocking) partikel penguat SiC dengan matrik Al. Hal ini juga menyebabkan
komposit menjadi getas dan mudah mengalami korosi karena lebih reaktif dengan air.
Jadi, dalam proses pembuatan komposit matrik logam dengan menggunakan metode
metalurgi serbuk, diharapkan semua partikel penguat SiC terdistribusi secara merata
dengan matrik Al dan proses pelapisan pertikel pengaut SiC juga terjadi secara
sempurna untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
Dari hasil pengamatan SEM (gambar 4.18 dan 4.19) untuk masing-masing
komposisi menunjukkan bahwa partikel penguat SiC terdistribusi secara merata
dengan matrik Al dan proses pelapisan partikel penguat dengan ion metal Al(NO3)3
juga terlapisi dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
4.4 Analisa Struktur Kristal
4.4.1 XRD (X- Ray Diffraction)
Pengujian analisa XRD bertujuan untuk mengamati unsur-unsur (fase-fase)
yang terbentuk pada sampel uji setelah proses sintering dalam pembuatan komposit
matrik logam. Hasil pengjian XRD ditunjukkan pada gambar 4.19.
Gambar 4.19 X-Ray Difraktogram komposit matrik logam 70: 30 %wt Al/SiCp
Dari gambar 4.19 diatas, posisi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 merupakan posisi
dimana fase-fase dominan yang muncul dalam proses fabrikasi Al/SiCp pasca
sintering dengan komposisi 70 : 30 %wt. Berdasarkan perhitungan maka tiap – tiap
fase pada sudut 2Ө atau sumbu – x, antara lain: posisi no 1 yaitu 34,1890, no 2 yaitu
35,3750, no 3 yaitu 38,2100, no 4 yaitu 44,6950, no 5 yaitu 59,6750, no 6 yaitu 64,9400,
no 7 yaitu 71,4200, dan no 8 yaitu 77,9000.
Setelah memperoleh atau mendapatkan nilai 2Ө dari fase –fase dominan yang
muncul, maka langkah selanjutnya adalah mencari nilai d atau panjang kisi kristal
SiO2 5
Al4C3 6
Al2O3 7
Al 8
SiC 1
SiC 2
Al 3
Al 4
Universitas Sumatera Utara
yaitu jarak antar atom penyususun suatu fase (senyawa), dengan menggunakan hukum
Bragg:
nλ=2d sinӨ
atau dapat juga menggunakan daftar tabel hanawalt. Setelah dilakukan perhitungan
atau pencarian pada daftar tabel, maka nilai – nilai d dari masing-masing fase, antara
lain: posisi no 1 yaitu 2,6233 Ǻ, no 2 yaitu 2,5370 Ǻ, no 3 yaitu 2,3555 Ǻ, no 4 yaitu
2,0277 Ǻ, no 5 yaitu 1,5493 Ǻ, no 6 yaitu 1,4360 Ǻ, no 7 yaitu 1,3208 Ǻ, dan no 8
yaitu 1,2263 Ǻ.
Berdasarkan nilai – nilai d tersebut, maka fase-fase (senyawa) dominan yang
muncul maka dapat diketahui, antara lain: posisi no 1 yaitu SiC, no 2 yaitu SiC, no 3
yaitu Al, no 4 yaitu Al, no 5 yaitu SiO2, no 6 yaitu Al4C3, no 7 yaitu Al2O3, dan no 8
yaitu Al.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian pembuatan komposit matriks logam berpenguat keramik
Al/SiCp dan karakterisasinya melalui metode metalurgi serbuk, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Dari hasil pengujian sifat fisis untuk komposisi Al/SiCp 80 : 20 %wt diperoleh:
densitas dan porositas pra sintering adalah 2,50 g/cm3 dan 3,43 %, densitas dan
porositas pasca sintering adalah 3,05 g/cm3 dan 0,98 %, dan nilai koefisien
ekspansi termal adalah 13 x 10-6/oC. Untuk komposisi Al/SiCp 70 : 30 %wt
diperoleh: densitas dan porositas pra sintering adalah 2,52 g/cm3 dan 3,22 %,
densitas dan porositas pasca sintering adalah 3,11 g/cm3 dan 0,87 %, dan nilai
koefisien ekspansi termal adalah 12 x 10-6/oC.
2. Dari hasil pengujian sifat mekanik untuk komposisi Al/SiCp 80 : 20 %wt
diperoleh: nilai kuat tekan adalah 153,83 MPa, nilai kekerasan adalah 1865,3
MPa, nilai ketahanan erosi adalah 5,44 kg.m-1. Untuk komposisi Al/SiCp 70 : 30
%wt diperoleh: nilai kuat tekan adalah 135,58 MPa, nilai kekerasan adalah
1924,1 MPa, dan nilai ketahanan erosi adalah 3,52 kg.cm-1.
3. Dari hasil analisa mikrostruktur dengan menggunakan alat uji SEM (Scanning
Electron Microscope) menunjukkan bahwa partikel penguat SiC terdistribusi
secara merata pada saat peruses pencampuran partikel penguat dengan matrik Al.
4. Dari hasil analisa struktur kristal dengan menggunakan alat uji XRD (X-Ray
Diffraction), fase-fase yang terbentuk selama proses pembuatan komposit matrik
logam berpenguat keramik Al/SiCp adalah sebagai berikut: SiC, Al, SiO2, Al4C3,
dan Al2O3.
Universitas Sumatera Utara
4.2 Saran
Untuk proses penelitian lebih lanjut dalam pembuatan komposit matrik logam
aluminium dengan menggunakan penguat Al/SiCp disarankan:
1. Dalam penelitian ini, bahan baku utama dalam pembuatan komposit matriks
logam dalam penelitian ini menggunakan aluminium dan silikon karbida yang
sudah jadi (pabrikan), maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan bahan baku
aluminium dari kaleng minuman dan makan bekas serta silikon karbida disintesa
dari sekam padi dan tempurung kelapa.
2. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dilakukan pengujian sifat mekanik dan
fisis untuk variasi kuat tekan pada saat pencetakan sampel (cold compaction).
3. Untuk penelitian selanjutnya dilakukan pengujian terhadap sifat listrik,
konduktivitas termal, dan modulus elastisitas serta kuat patah dari komposit
matriks logam Al/SiCp.
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN A DATA PERCOBAAN
Tabel 1 Data pengujian densitas dan porositas pasca disintering untuk komposisi
80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Sampel mo mU mA mK Densitas Porositas (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%)
450 oC Sampel I 7.661 7.719 4.416 0.521 7.661 7.716 4.415 0.520 7.661 7.713 4.414 0.520 7.661 7.716 4.415 0.520 2.81069 2.01785
Sampel II 7.672 7.728 4.399 0.521
7.672 7.726 4.397 0.520 7.672 7.726 4.396 0.520 7.672 7.727 4.397 0.520 2.78543 1.98475
500 oC Sampel I 7.680 7.729 4.556 0.521 7.680 7.726 4.554 0.520 7.680 7.724 4.552 0.520 7.680 7.726 4.554 0.520 2.94742 1.77818
Sampel II 7.683 7.730 4.559 0.521
7.683 7.730 4.558 0.520 7.683 7.729 4.556 0.520 7.683 7.730 4.558 0.520 2.94933 1.79143
550 oC Sampel I 7.523 7.554 4.499 0.521 7.533 7.553 4.499 0.520 7.528 7.553 4.496 0.520 7.528 7.553 4.498 0.520 2.9996 1.00943
Sampel II 7.543 7.574 4.514 0.521
7.544 7.573 4.513 0.520 7.544 7.571 4.512 0.520 7.544 7.573 4.513 0.520 3.00505 1.15523
600 oC Sampel I 7.620 7.642 4.641 0.521 7.621 7.642 4.649 0.520 7.620 7.639 4.648 0.520 7.620 7.641 4.646 0.520 3.10527 0.84216
Sampel II 7.629 7.652 4.658 0.521
7.628 7.651 4.657 0.520 7.629 7.649 4.656 0.520 7.629 7.651 4.657 0.520 3.11205 0.89747
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Data pengujian densitas dan porositas pasca disintering untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Sampel mo mU mA mK Densitas Porositas (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (%)
450 oC Sampel I 8.222 8.284 4.759 0.521 8.222 8.285 4.758 0.520 8.222 8.285 4.755 0.520 8.222 8.285 4.757 0.520 2.79248 2.12838
Sampel
II 8.130 8.193 4.693 0.521
8.130 8.191 4.692 0.520 8.130 8.189 4.691 0.520 8.130 8.191 4.692 0.520 2.78647 2.09071
500 oC Sampel I 8.094 8.149 4.696 0.521 8.094 8.146 4.699 0.520 8.094 8.145 4.695 0.520 8.094 8.147 4.697 0.520 2.81335 1.83061
Sampel
II 7.969 8.020 4.615 0.521
7.969 8.017 4.612 0.520 7.969 8.016 4.611 0.520 7.969 8.018 4.613 0.520 2.80994 1.71603
550 oC Sampel I 8.530 8.563 5.139 0.521 8.530 8.562 5.138 0.520 8.529 8.559 5.137 0.520 8.530 8.561 5.138 0.520 2.97063 1.10286
Sampel
II 8.373 8.405 4.989 0.521
8.373 8.401 4.996 0.520 8.373 8.400 4.993 0.520 8.373 8.402 4.993 0.520 2.92762 1.01399
600 oC Sampel I 8.050 8.079 4.908 0.521 8.050 8.076 4.907 0.520 8.050 8.073 4.906 0.520 8.050 8.076 4.907 0.520 3.0694 0.99136
Sampel
II 7.731 7.757 4.654 0.521
7.730 7.755 4.655 0.520 7.730 7.754 4.651 0.520 7.730 7.755 4.653 0.520 3.0236 0.97784
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 450 oC untuk komposisi 80 : 20%wt Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 68 6.0 0.115741 2 81 7.5 0.144676 3 91 9.0 0.173611 4 101 10.0 0.192901 5 108 11.0 0.212191 6 116 12.2 0.235340 7 123 13.5 0.260417 8 130 13.8 0.266204 9 138 14.8 0.285494 10 141 15.9 0.306713 11 148 16.6 0.320216 12 153 17.5 0.337577 13 158 18.2 0.351080 14 164 19.4 0.374228 15 169 20.0 0.385802 16 174 20.8 0.401235 17 180 21.0 0.405093 18 185 22.0 0.424383 19 190 22.8 0.439815 20 194 23.3 0.449460 21 199 24.0 0.462963 22 204 24.0 0.462963 23 208 24.5 0.472608 24 213 25.0 0.482253 25 217 25.4 0.489969 26 221 26.0 0.501543 27 225 26.8 0.516975 28 229 27.5 0.530478 29 234 27.8 0.536265 30 237 28.2 0.543981 31 242 28.8 0.555556 32 246 29.2 0.563272 33 250 29.8 0.574846 34 255 30.2 0.582562 35 259 31.0 0.597994 36 262 31.5 0.607639 37 266 32.0 0.617284 38 275 32.5 0.626929 39 276 33.0 0.636574
Universitas Sumatera Utara
40 282 33.5 0.646219 41 286 34.0 0.655864 42 290 34.5 0.665509 43 295 34.9 0.673225 44 297 35.2 0.679012 45 298 36.0 0.694444 46 298 34.0 0.655864 47 295 35.0 0.675154 48 297 37.0 0.713735 49 298 37.0 0.713735 50 299 35.0 0.675154 51 300 35.0 0.675154
Tabel 4 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 500 oC untuk
komposisi 80 : 20%Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 65 5.0 0.118343 2 77 6.0 0.142012 3 86 8.5 0.201183 4 97 9.5 0.224852 5 105 11.0 0.260355 6 111 12.0 0.284024 7 119 13.0 0.307692 8 126 13.8 0.326627 9 131 14.2 0.336095 10 137 15.0 0.355030 11 143 16.0 0.378698 12 149 16.8 0.397633 13 155 17.5 0.414201 14 160 18.2 0.430769 15 165 19.0 0.449704 16 170 19.4 0.459172 17 175 20.0 0.473373 18 180 20.4 0.482840 19 186 21.5 0.508876 20 189 22.2 0.525444 21 194 23.0 0.544379 22 199 23.4 0.553846 23 204 24.0 0.568047 24 209 24.8 0.586982 25 213 25.5 0.603550 26 217 26.0 0.615385
Universitas Sumatera Utara
27 221 26.7 0.631953 28 225 27.3 0.646154 29 229 28.0 0.662722 30 234 28.6 0.676923 31 238 29.2 0.691124 32 243 30.0 0.710059 33 247 30.4 0.719527 34 251 30.4 0.719527 35 255 31.0 0.733728 36 259 31.5 0.745562 37 264 32.0 0.757396 38 267 32.8 0.776331 39 272 33.0 0.781065 40 277 33.8 0.800000 41 280 34.0 0.804734 42 284 34.7 0.821302 43 287 35.0 0.828402 44 291 35.6 0.842604 45 294 36.5 0.863905 46 298 37.0 0.875740 47 928 37.0 0.875740 48 298 37.0 0.875740 49 298 37.0 0.875740 50 298 37.0 0.875740 51 298 37.5 0.887574 52 299 37.7 0.892308 53 299 38.0 0.899408 54 300 38.2 0.904142
Tabel 5 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 550 oC untuk
komposisi 80 : 20%wt Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 65 3.5 0.069431 2 79 5.5 0.109105 3 90 6.5 0.128943 4 100 8.0 0.158699 5 107 9.0 0.178536 6 115 9.8 0.194406 7 124 10.9 0.216227 8 129 11.6 0.230113 9 136 12.2 0.242015 10 141 13.0 0.257885
Universitas Sumatera Utara
11 147 14.0 0.277723 12 154 14.8 0.293593 13 159 15.2 0.301527 14 164 15.8 0.313430 15 169 16.7 0.331283 16 174 17.0 0.337235 17 179 17.9 0.355088 18 184 18.0 0.357072 19 192 18.5 0.366991 20 198 19.9 0.394763 21 202 20.0 0.396747 22 206 21.0 0.416584 23 211 21.6 0.428486 24 215 22.0 0.436421 25 221 22.6 0.448324 26 224 23.6 0.468161 27 228 24.0 0.476096 28 232 24.5 0.486015 29 236 25.5 0.505852 30 240 26.1 0.517754 31 244 26.8 0.531641 32 248 27.2 0.539575 33 252 27.9 0.553462 34 256 28.2 0.559413 35 260 29.0 0.575283 36 264 29.8 0.591153 37 268 30.0 0.595120 38 271 30.8 0.610990 39 275 31.0 0.614957 40 279 32.0 0.634795 41 283 32.2 0.638762 42 287 33.0 0.654632 43 290 33.7 0.668518 44 294 34.1 0.676453 45 296 34.6 0.686372 46 300 35.2 0.698274
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 600 oC untuk komposisi 80 : 20%wt Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 76 4.0 0.089107 2 91 5.0 0.111383 3 104 6.5 0.144798 4 114 7.2 0.160392 5 123 8.2 0.182669 6 131 9.5 0.211628 7 140 10.2 0.227222 8 146 11.0 0.245043 9 154 11.8 0.262865 10 160 12.8 0.285141 11 166 13.2 0.294052 12 172 14.0 0.311873 13 178 15.0 0.334150 14 184 15.5 0.345288 15 189 16.0 0.356427 16 194 17.0 0.378703 17 199 17.5 0.389842 18 204 18.2 0.405436 19 209 19.0 0.423257 20 214 19.8 0.441078 21 218 20.3 0.452217 22 223 20.0 0.445534 23 227 21.0 0.467810 24 231 22.0 0.490087 25 235 22.8 0.507908 26 239 23.0 0.512364 27 245 23.5 0.523502 28 249 24.2 0.539096 29 253 25.0 0.556917 30 257 25.2 0.561372 31 261 26.0 0.579194 32 265 26.2 0.583649 33 269 27.0 0.601470 34 272 27.7 0.617064 35 277 28.1 0.625975 36 280 29.0 0.646024 37 283 29.0 0.646024 38 287 29.9 0.666073 39 291 30.0 0.668300
Universitas Sumatera Utara
40 293 31.0 0.690577 41 297 31.5 0.701715 42 299 32.0 0.712854 43 300 32.5 0.723992
Tabel 7 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 450 oC untuk
komposisi 70 : 30%wt Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 73 3.7 0.084940 2 87 5.0 0.114784 3 101 7.0 0.160698 4 112 8.1 0.185950 5 120 10.5 0.241047 6 130 10.8 0.247934 7 138 11.2 0.257117 8 149 12.3 0.282369 9 152 12.9 0.296143 10 158 13.4 0.307622 11 165 14.3 0.328283 12 170 15.5 0.355831 13 176 16.5 0.378788 14 183 17.0 0.390266 15 186 18.0 0.413223 16 191 18.2 0.417815 17 198 19.2 0.440771 18 204 19.6 0.449954 19 208 20.9 0.479798 20 212 21.2 0.486685 21 218 21.8 0.500459 22 222 22.1 0.507346 23 226 22.4 0.514233 24 227 23.9 0.548669 25 230 24.0 0.550964 26 235 24.8 0.569330 27 239 24.9 0.571625 28 243 25.5 0.585399 29 248 25.9 0.594582 30 254 26.9 0.617539 31 258 27.2 0.624426 32 261 27.8 0.638200 33 265 28.5 0.654270 34 268 28.7 0.658861
Universitas Sumatera Utara
35 272 29.5 0.677227 36 278 29.9 0.686410 37 282 30.2 0.693297 38 285 31.0 0.711662 39 289 31.2 0.716253 40 292 32.2 0.739210 41 295 32.5 0.746097 42 298 33.0 0.757576 43 298 33.4 0.766758 44 300 33.5 0.769054
Tabel 8 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 500 oC untuk
komposisi 70 : 30%wt Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 70 6.0 0.133660 2 81 7.2 0.160392 3 91 8.7 0.193807 4 101 10.3 0.229450 5 108 11.0 0.245043 6 115 12.0 0.267320 7 123 13.0 0.289597 8 128 14.0 0.311873 9 135 15.0 0.334150 10 140 16.0 0.356427 11 145 16.8 0.374248 12 153 17.2 0.383159 13 156 18.3 0.407663 14 162 19.0 0.423257 15 167 19.5 0.434395 16 172 20.0 0.445534 17 177 21.0 0.467810 18 182 21.5 0.478949 19 186 22.0 0.490087 20 190 22.8 0.507908 21 194 23.5 0.523502 22 199 24.0 0.534640 23 203 24.8 0.552462 24 207 25.3 0.563600 25 211 26.0 0.579194 26 216 26.5 0.590332 27 220 26.5 0.590332 28 223 27.2 0.605926
Universitas Sumatera Utara
29 227 27.9 0.621519 30 231 28.0 0.623747 31 235 28.6 0.637113 32 239 29.0 0.646024 33 243 29.2 0.650479 34 247 30.0 0.668300 35 251 30.5 0.679439 36 255 31.0 0.690577 37 259 31.8 0.708398 38 263 32.0 0.712854 39 267 32.8 0.730675 40 270 33.0 0.735130 41 275 33.8 0.752952 42 279 34.2 0.761862 43 282 34.5 0.768545 44 286 35.0 0.779684 45 289 35.5 0.790822 46 293 36.0 0.801960 47 296 36.5 0.813099 48 298 36.8 0.819782 49 300 37.2 0.828692
Tabel 9 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 550 oC untuk
komposisi 70 : 30%wt Al/SiCp
x Suhu y % Ekspansi (mm) (oC) (mm)
0 30 0.0 0.000000 1 70 3.5 0.082840 2 82 5.0 0.118343 3 92 6.5 0.153846 4 100 7.8 0.184615 5 108 8.5 0.201183 6 116 9.9 0.234320 7 122 10.5 0.248521 8 129 11.6 0.274556 9 135 12.0 0.284024 10 141 12.8 0.302959 11 146 13.9 0.328994 12 153 14.6 0.345562 13 158 15.0 0.355030 14 162 15.9 0.376331 15 167 16.2 0.383432 16 172 16.9 0.400000 17 177 17.0 0.402367
Universitas Sumatera Utara
18 182 17.9 0.423669 19 186 19.3 0.456805 20 191 20.0 0.473373 21 195 20.0 0.473373 22 199 21.0 0.497041 23 203 21.5 0.508876 24 207 22.0 0.520710 25 212 22.5 0.532544 26 216 23.3 0.551479 27 220 23.9 0.565680 28 224 24.0 0.568047 29 228 24.8 0.586982 30 231 25.1 0.594083 31 235 25.8 0.610651 32 239 26.0 0.615385 33 243 27.0 0.639053 34 247 27.2 0.643787 35 251 27.8 0.657988 36 255 28.5 0.674556 37 258 29.0 0.686391 38 262 29.5 0.698225 39 266 30.0 0.710059 40 269 30.2 0.714793 41 273 30.8 0.728994 42 277 31.6 0.747929 43 280 32.0 0.757396 44 284 32.5 0.769231 45 288 33.0 0.781065 46 291 33.5 0.792899 47 295 33.5 0.792899 48 298 34.0 0.804734 49 299 34.8 0.823669 59 300 34.8 0.823669
Tabel 10 Data pengujian koefisien ekspansi termal pada suhu 600 oC untuk
komposisi 70 : 30%wt Al/SiCp X Suhu y % Ekspansi
(mm) (oC) (mm) 0 30 0.0 0.000000
1 72 2.3 0.056152 2 89 3.8 0.092773 3 104 5.1 0.124512 4 114 5.9 0.144043 5 125 6.9 0.168457
Universitas Sumatera Utara
6 134 7.9 0.192871 7 142 8.6 0.209961 8 150 10.8 0.263672 9 157 10.8 0.263672 10 164 11.9 0.290527 11 168 12.6 0.307617 12 176 13.0 0.317383 13 181 13.5 0.329590 14 186 14.5 0.354004 15 192 15.0 0.366211 16 201 15.3 0.373535 17 212 16.0 0.390625 18 216 17.4 0.424805 19 221 17.7 0.432129 20 226 18.2 0.444336 21 230 18.4 0.449219 22 236 18.9 0.461426 23 240 19.7 0.480957 24 245 20.4 0.498047 25 248 21.6 0.527344 26 253 22.0 0.537109 27 257 23.0 0.561523 28 261 23.2 0.566406 29 264 23.3 0.568848 30 266 23.9 0.583496 31 270 24.2 0.590820 32 278 25.5 0.622559 33 285 26.2 0.639648 34 289 26.3 0.642090 35 293 27.2 0.664063 36 295 28.0 0.683594 37 298 28.5 0.695801 38 300 29.2 0.712891
Tabel 11 Data Pengujian Ketahanan Korosi Untuk Komposisi
80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Waktu (Jam)
0 24 48 72 96 120 144 168 450 oC 7.896 7.811 7.901 7.889 7.895 7.908 7.891 7.899
7.896 7.809 7.902 7.887 7.894 7.905 7.892 7.897
7.896 7.808 7.899 7.885 7.893 7.804 7.891 7.894
7.896 7.809 7.901 7.887 7.894 7.872 7.891 7.897 500 oC 7.791 7.803 7.805 7.779 7.789 7.792 7.791 7.803
Universitas Sumatera Utara
7.791 7.802 7.803 7.776 7.788 7.791 7.791 7.805
7.791 7.999 7.801 7.775 7.785 7.789 7.792 7.801
7.791 7.868 7.803 7.777 7.787 7.791 7.791 7.803 550 oC 8.050 8.060 8.028 8.166 8.192 8.110 8.148 8.049
8.050 8.057 8.027 8.139 8.191 8.110 8.148 8.049
8.050 8.052 8.025 8.142 8.191 8.109 8.148 8.050
8.050 8.056 8.027 8.149 8.191 8.110 8.148 8.049 600 oC 7.789 7.884 7.891 7.790 7.789 7.799 7.891 7.790
7.789 7.880 7.890 7.789 7.788 7.796 7.890 7.789
7.789 7.877 7.890 7.800 7.785 7.796 7.890 7.800
7.789 7.880 7.890 7.793 7.787 7.797 7.890 7.793
Tabel 12 Data Pengujian Ketahanan Korosi Untuk Komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Waktu (Jam)
0 24 48 72 96 120 144 168 450 oC 8.290 8.301 8.249 8.182 8.282 8.291 8.272 8.293
8.290 8.299 8.237 8.181 8.283 8.289 8.271 8.294
8.290 8.301 8.234 8.179 8.281 8.290 8.269 8.291
8.290 8.300 8.240 8.181 8.282 8.290 8.271 8.293 500 oC 7.973 8.008 8.000 7.973 7.976 7.976 7.977 7.973
7.973 8.007 7.997 7.972 7.973 7.972 7.976 7.976
7.973 8.004 7.999 7.971 7.973 7.974 7.973 7.973
7.973 8.006 7.999 7.972 7.974 7.974 7.975 7.974 550 oC 8.102 8.197 8.187 8.189 8.189 8.187 8.109 8.106
8.102 8.196 8.186 8.186 8.186 8.186 8.108 8.102
8.102 8.193 8.183 8.185 8.183 8.183 8.106 8.102
8.102 8.195 8.185 8.187 8.186 8.185 8.108 8.103 600 oC 7.707 7.717 7.740 7.740 7.724 7.721 7.711 7.707
7.707 7.715 7.739 7.741 7.723 7.719 7.709 7.706
7.707 7.716 7.738 7.738 7.722 7.716 7.706 7.704
7.707 7.716 7.739 7.740 7.723 7.719 7.709 7.706
Universitas Sumatera Utara
Tabel 13 Data Pengujian kuat tekan dengan komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Sampel Diameter Luas Beban Maksimum Kuat Tekan
(oC) (cm) (cm2) (kgf/cm2) (MPa) 450 I 1.52 1.81
12.5 98.63 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
II 1.53 1.84
12.5 97.35 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
III 1.53 1.84
10 77.88 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.83 11.67 91.25 500 I 1.53 1.84
15 116.82 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
II 1.53 1.84
15 116.82 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
III 1.53 1.84
10 77.88 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84 13.33 103.84 550 I 1.53 1.84
20 155.75 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
II 1.52 1.81
20 157.81 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
III 1.53 1.84
15 116.82 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.83 18.33 143.40 600 I 1.53 1.84
Universitas Sumatera Utara
1.53 1.84
1.53 1.84 17 132.39 1.53 1.84
II 1.52 1.81
22 173.59 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
III 1.53 1.84
20 155.75 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.83 19.67 153.83
Tabel 14 Data Pengujian kuat tekan dengan komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Sampel Diameter Luas Beban Maksimum Kuat Tekan
(oC) (cm) (cm2) (kgf/cm2) (MPa) 450 I 1.53 1.84
10 77.88 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
II 1.53 1.84
12.5 97.35 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
III 1.53 1.84
10 77.88 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84 10.83 84.37 500 I 1.52 1.81
12 94.69 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
II 1.52 1.81
15 118.36 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
III 1.52 1.81
10 78.91 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81 12.33 97.32 550 I 1.52 1.81 15 118.36
Universitas Sumatera Utara
1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
II 1.52 1.81
15 118.36 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
III 1.52 1.81
10 78.91 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81 13.33 105.21 600 I 1.53 1.84
15 116.82 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
II 1.52 1.81
20 157.81 1.52 1.81
1.52 1.81
1.52 1.81
III 1.53 1.84
17 132.39 1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.84
1.53 1.83 17.33 135.58 Tabel 15 Data pengujian vickers hardness dengan komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu d1 d2 drata-rata drata-rata d2 HV VHN (oC) (µm) (µm) (µm) (mm) (mm) (kgf/mm2) (MPa)
450 104.6 129.8 117.20 0.1172 0.0137 135.0 1349.75 156.3 124.9 140.60 0.1406 0.0198 93.8 937.86
147.2 126.2 136.70 0.1367 0.0187 99.2 992.13
139.2 142.8 141.00 0.1410 0.0199 93.2 932.54
151.1 161.3 156.20 0.1562 0.0244 75.9 759.88
139.6 137 138.34 0.13834 0.01929 99.42 99.44377
500 127.3 139.9 133.60 0.1336 0.0178 103.8 1038.71 130.2 120.1 125.15 0.1252 0.0157 118.3 1183.71
160.6 107.1 133.85 0.1339 0.0179 103.5 1034.83
152.7 115.1 133.90 0.1339 0.0179 103.4 1034.06
126.7 127.5 127.10 0.1271 0.0162 114.7 1147.67
139.5 121.94 130.72 0.13072 0.01710 108.74 1087.80
550 120.1 144.9 132.50 0.1325 0.0176 105.5 1056.03 132.7 126.9 129.80 0.1298 0.0168 110.0 1100.42
Universitas Sumatera Utara
115.9 111.6 113.75 0.1138 0.0129 143.3 1432.87
125.1 136.9 131.00 0.1310 0.0172 108.0 1080.35
142.3 126.4 134.35 0.1344 0.0180 102.7 1027.15
127.2 129.34 128.28 0.12828 0.01651 113.9 1139.36
600 100.3 111.9 106.10 0.1061 0.0113 164.7 1646.94 92.6 108.6 100.60 0.1006 0.0101 183.2 1831.95
126.8 83.7 105.25 0.1053 0.0111 167.4 1673.65
105.7 70.3 88.00 0.0880 0.0077 239.4 2394.11
116.8 87.3 102.05 0.1021 0.0104 178.8 1780.26
108.4 92.36 100.4 0.1004 0.01012 186.7 1865.38 Tabel 16 Data pengujian vickers hardness dengan komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu d1 d2 drata-rata drata-rata d2 HV VHN (oC) (µm) (µm) (µm) (mm) (mm) (kgf/mm2) (MPa)
450 148.4 103.8 126.1 0.1261 0.0159 116.6 1165.94 116.2 100.7 108.5 0.1085 0.0118 157.6 1576.34
129.2 113.8 121.5 0.1215 0.0148 125.6 1255.90
117.9 109.0 113.5 0.1135 0.0129 144.0 1440.45
101.5 129.7 115.6 0.1156 0.0134 138.7 1387.37
122.64 111.4 117.0 0.1170 0.0137 136.5 1365.20
500 134.5 92.3 113.4 0.1134 0.0129 144.4 1441.72 115.2 119.5 117.4 0.1174 0.0138 134.5 1346.30
102.9 121.4 112.2 0.1122 0.0126 147.4 1474.04
124.8 106.2 115.5 0.1155 0.0133 139.0 1389.77
106.2 132.0 119.1 0.1191 0.0142 130.7 1307.03
116.72 114.28 115.5 0.1155 0.0133 139.2 1391.77
550 92.3 105.9 99.1 0.0991 0.0098 188.8 1887.82 119.4 129.1 124.3 0.1243 0.0154 120.1 1200.92
100.3 104.7 102.5 0.1025 0.0105 176.5 1764.66
111.9 114.7 113.3 0.1133 0.0128 144.3 1443.25
109.8 82.5 96.2 0.0962 0.0092 200.5 2005.44
106.74 107.39 107.06 0.1070 0.0115 166.04 1660.42
600 111.6 81.7 96.7 0.0967 0.0093 198.4 1984.75 85.9 82.0 84.0 0.0840 0.0070 263.1 2630.68
110.7 104.3 107.5 0.1075 0.0116 160.4 1604.32
110.7 92.3 101.5 0.1015 0.0103 179.1 1799.60
128.6 103.3 116.0 0.1160 0.0134 137.9 1379.01
109.5 92.72 101.11 0.1011 0.0103 187.78 1879.67
Universitas Sumatera Utara
Tabel 17 Data Pengujian ketahanan erosi (wear rate) untuk komposisi 80 : 20 %wt Al/SiCp
Suhu Diameter Tinggi mawal makhir Δm Jarak Sliding Wear Rate
(0C) (mm) (mm) (g) (g) (mg) (cm) (kg.m-1) 450 8 10 5.714 5.708 6.0 0.100 6.00 500 8 10 5.720 5.714 5.8 0.098 5.91 550 8 10 5.768 5.762 5.4 0.092 5.86 600 8 10 5.780 5.775 4.9 0.090 5.44
Tabel 18 Data Pengujian ketahanan erosi (wear rate) untuk komposisi 70 : 30 %wt Al/SiCp
Suhu Diameter Tinggi mawal makhir Δm Jarak Sliding Wear Rate
(0C) (mm) (mm) (g) (g) (mg) (cm) (kg.m-1) 450 8 10 6.022 6.018 4.0 0.092 4.34 500 8 10 6.094 6.090 3.9 0.091 4.28 550 8 10 6.130 6.126 3.4 0.087 3.90 600 8 10 6.222 6.219 3.0 0.085 3.52
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN B
GAMBAR BAHAN PENELITIAN
Serbuk Aluminium (Al 2124) Partikel SiC Larutan Aceton
Asam Stearat Larutan Ethanol
Gas Nitrogen (N2) Aluminium Nitrate Al(NO3)3
Universitas Sumatera Utara
Tabel Spesifikasi Bahan
Nama Bahan Spesifikasi
Serbuk Aluminium Al 2124
Al (Alumunium fine powder bronze) (M = 26,98 gr/mol) Gehalt (Al) : > 90 % Pb : < 0,03 % Arsen (As) : < 0,005% Eisen (Fe) : < 0,05 % Fett : < 1 %
Partikel Silicon Carbida (SiC)
SiC : 98,70% SiO2 : 0,60 % Al2O3 : 0,50 % Fe2O3 :0,20 %
Larutan Aceton
Aceton (CH3COCH3) (M = 58,08 gr/mol) (1 l = 0,79 kg) Purrity : ≥ 99,8%
Larutan Ethanol
Etanol (C2H5OH) (M = 58,08 gr/mol) (1 l = 0,79 kg) Purrity : ≥ 99,9%
Aluminium Nitrate Al(NO3)3
Al(NO3)3 (Alumunium Nitrate) (M = 375,13 gr/mol) Gehalt (Al) : > 98,5 % pH-Wrt : (5%, waster) 2-4 Chlorid (Cl) : < 0,001 % Sulfat (SO4) : < 0,005 % Pb : < 0,001 % Eisen (Fe) : < 0,002 % Kalium (K) : < 0,002 % Amonium (NH4) : < 0,02 % Natrium (Na) : < 0,005 %
Natrium Chlorid (NaCl)
Universitas Sumatera Utara
Asam Stearat (Stearic Acid)
C18H36O2 M = 284,48 g/mol Assay (GC) Area ≥ 97 % Melting range (lower value) ≥ 60 oC Melting range (upper value) ≤ 70 oC Identity (IR) Passes test
Gas Nitrogen (N2)
Pressure 150 Bar Purity > 99,995 % O2 < 10 ppm H2O < 10 ppm H/Cs as CH4 < 1 ppm
Natrium Chlorid
Gehalt (Argentometrich) min 99,5 % pH wwert (5 % Wesser) max 5 – 8 Bromid (Br) max 0,005 % Hexacyraroferrat (Fe(CN)6) max 0,0001% Iodid (I) max 0,001 % Phosphat (PO4) max 0,0005% Sulfat (SO4) max 0,001 % Gesamtstickotoff (N) max 0,001 % Schwemetalle (als Pb) max 0,0005% BariumBr) max 0,002 % Calcium (C) max 0,002 % Kalium (K) max 0,0001% Magnesium (Mg) max 0,0005 % Acs ISO Reagent max 0,001 %
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN C
GAMBAR PERALATAN
Hydraulic press dengan kapasitas 100 ton (700 kg/cm2)
Beaker Glass 1000 ml
Universal Testing Machine (UTM)
Neraca Analitik
Cetakan Sampel (moulding)
Oven(memmert)
Universitas Sumatera Utara
Magnetic Stirrer (Thermolyne) Magnetic bar
Vickers Hardness Tester (Matsuzawa MXT-50)
Tungku listrik (Stanton Redcroff)
Pin On Disc
Ayakan
Autoclave
Universitas Sumatera Utara
Dilatometer Harrop Laboratories T-70
Refluks + Labu
Sampel Uji Komposit Matriks Aluminium Berpenguat Keramik Al/SiCp
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara