pemboikotan - tarbawiyah.files.wordpress.com fileyang sudah beriman—selain abu lahab, tetap...

18
Page 1 of 18 PEMBOIKOTAN Cara-cara halus dan kasar telah dilakukan kaum musyrikin Quraisy untuk menghambat dakwah Islam; namun semuanya selalu kandas. Cahaya Islam terus memancar. Hal ini membuat mereka semakin risau dan murka. Terlebih lagi, Bani Hasyim dan Bani ‗Abdul Muththalib bersikeras untuk melindungi Nabi shallallahu „alaihi wasallam apapun resikonya. Kaum Quraisy kemudian berkumpul di kampung Bani Kinanah yang terletak di lembah al- Mahshib untuk membuat kesepakatan berisi tekanan kepada Bani Hasyim dan Bani al- Muththalib. Mereka bersepakat untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam untuk dibunuh. Kesepakatan itu ditulis oleh Baghidl bin ‗Amir bin Hasyim di atas sebuah shahifah yang kemudian digantungkan di dinding Ka‘bah. Mengetahui hal itu, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalibbaik yang masih kafir maupun yang sudah berimanselain Abu Lahab, tetap bersikukuh untuk melindungi Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi‘tsah (diutusnya beliau sebagai Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut. Sesuai kesepakatan pemboikotan itu, maka kaum musyrikin selalu berupaya menahan makanan agar tidak sampai kepada Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib sehingga kondisi mereka semakin payah. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit atau memakan makanan yang didatangkan secara sembunyi-sembunyi. Merekapun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya. Selama masa pemboikotan, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan beliau untuk berbaring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Dan manakala orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera- putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam, sementara beliau diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka. Pada masa itu, Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam dan kaum muslimin tetap keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam. Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut. Diantara tokoh yang kontra terhadap kesepakatan itu adalah Hisyam bin ‗Amru dari suku Bani ‗Amir bin Lu-ay. Dialah yang secara sembunyi-sembunyi sering menyuplai bahan makanan kepada Bani Hasyim.

Upload: haanh

Post on 15-May-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1 of 18

PEMBOIKOTAN

Cara-cara halus dan kasar telah dilakukan kaum musyrikin Quraisy untuk menghambat

dakwah Islam; namun semuanya selalu kandas. Cahaya Islam terus memancar. Hal ini

membuat mereka semakin risau dan murka. Terlebih lagi, Bani Hasyim dan Bani ‗Abdul

Muththalib bersikeras untuk melindungi Nabi shallallahu „alaihi wasallam apapun resikonya.

Kaum Quraisy kemudian berkumpul di kampung Bani Kinanah yang terletak di lembah al-

Mahshib untuk membuat kesepakatan berisi tekanan kepada Bani Hasyim dan Bani al-

Muththalib. Mereka bersepakat untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib,

tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun

berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah shallallahu „alaihi

wasallam untuk dibunuh. Kesepakatan itu ditulis oleh Baghidl bin ‗Amir bin Hasyim di atas

sebuah shahifah yang kemudian digantungkan di dinding Ka‘bah.

Mengetahui hal itu, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib—baik yang masih kafir maupun

yang sudah beriman—selain Abu Lahab, tetap bersikukuh untuk melindungi

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib

pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi‘tsah (diutusnya beliau sebagai Rasul)

sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut.

Sesuai kesepakatan pemboikotan itu, maka kaum musyrikin selalu berupaya menahan

makanan agar tidak sampai kepada Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib sehingga kondisi

mereka semakin payah. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit atau memakan

makanan yang didatangkan secara sembunyi-sembunyi. Merekapun tidak keluar rumah untuk

membeli keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang

diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Mekkah

akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali

lipat agar mereka tidak mampu membelinya.

Selama masa pemboikotan, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan beliau untuk

berbaring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Dan

manakala orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera-

putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam, sementara beliau diperintahkan untuk tidur di

tempat tidur mereka.

Pada masa itu, Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam dan kaum muslimin tetap keluar pada

musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam.

Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Barulah pada bulan

Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan

perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui

perjanjian tersebut. Diantara tokoh yang kontra terhadap kesepakatan itu adalah Hisyam bin

‗Amru dari suku Bani ‗Amir bin Lu-ay. Dialah yang secara sembunyi-sembunyi sering

menyuplai bahan makanan kepada Bani Hasyim.

Page 2 of 18

Suatu saat Hisyam menemui Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzumiy yang merupakan anak

dari ‗Atikah binti ‗Abdul Muththalib, untuk mengajaknya melakukan upaya pembatalan

pemboikotan. Ditemuinya pula Muth‘im bin ‗Adiy yang menyepakati pula hal itu, namun ia

meminta tambahan orang, maka Hisyam menemui Abu al-Bukhturiy bin Hisyam. Ia pun

meminta tambahan orang, maka Hisyam menemui Zam‘ah bin al-Aswad bin al-Muththalib

bin Asad dan mengajaknya pula untuk melakukan pembatalan pemboikotan. Mereka semua

kemudian bersepakat untuk berkumpul esok hari di pintu Hujun dan berjanji akan melakukan

pembatalan terhadap shahifah.

Ketika paginya, mereka pergi ke tempat perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan

pakaian kebesaran lalu mengelilingi ka‘bah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak

seraya berkata: ―Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan

memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi menjual kepada

mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga

shahifah yang telah memutuskan rahim dan zhalim ini dirobek!‖.

Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut: ―Demi Allah! engkau telah berbohong!

Jangan lakukan itu!‖.

Lalu Zam‘ah bin al-Aswad memotongnya: ‖Demi Allah! justru engkaulah yang paling

pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika ditulis waktu itu‖.

Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: ―Benar apa yang dikatakan Zam‘ah ini, kami tidak

pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya‖.

Berikutnya, giliran al-Muth‘im yang menambahkan: ―Mereka berdua ini memang benar dan

sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada

Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis didalamnya‖.

Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‗Amru yang menimpali seperti itu pula.

Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal: ‖Urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini

pada malam dimusyawarahkannya saat itu!‖.

Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut Masjidil Haram. Dia datang ke tempat itu atas

dasar pemberitahuan Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam kepadanya bahwa

Allah Ta‟ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan semua tulisan shahifah yang berisi

pemboikotan kecuali tulisan nama Allah Ta‘ala di dalamnya. Abu Thâlib datang kepada

kaum Quraisy dan memberitahukan hal ini. Dia berkata: ―Ini untuk membuktikan apakah dia

berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya,

demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim

dan kezhaliman terhadap kami‖.

Orang-orang Quraisy berkata kepadanya: ―Kalau begitu, engkau telah berbuat benar‖.

Setelah itu berdirilah al-Muth‘im bin Adiy menuju shahifah untuk merobeknya. Ternyata dia

menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan ―Bismikallah‖ (dengan namaMu

Page 3 of 18

ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya dimana rayap-rayap tersebut tidak

memakannya.

Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda

kenabian beliau shallallahu ‗alaihi wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang

difirmankan oleh Allah: “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda

(mu‟jizat), mereka berpaling dan berkata:”(Ini adalah) sihir yang terus menerus”. (Q.S.

54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari

kekufuran ke kekufuran yang lebih lagi.

Ibrah:

1. Allah Ta‟ala akan selalu menguji kesabaran dan daya tahan hamba-hamba-Nya di

medan perjuangan. Sehingga mereka semakin kuat dan lebih tangguh.

2. Diperbolehkannya memanfaatkan perlindungan non muslim yang tidak memusuhi

dakwah dan memanfaatkan semangat kesukuan mereka untuk menjauhkan rintangan

yang menghalangi jalan dakwah.

3. Setiap muslim harus selalu menanamkan tsiqah (kepercayaan) yang utuh kepada

Allah Ta‟ala. Pertolongan-Nya pasti datang jika sifat-sifat kelayakan untuk

mendapatkan pertolongan itu telah terpenuhi. Allah Ta‟ala berkuasa menggerakkan

hati siapapun untuk menjaga kaum muslimin. Dia pun memiliki junud (pasukan),

yang tidak diketahui dan disadari oleh siapa pun yang bekerja untuk membantu kaum

muslimin, seperti yang dilakukan rayap terhadap shahifah pemboikotan.

4. Secara tersirat, lintasan sirah ini menggambarkan bahwa ahlul batil harus dihadapi

dengan argumentasi dan bukti, tidak boleh menyikapi siksaan dengan siksaan, makian

dengan makian.

Wallahu A‘lam.

Page 4 of 18

KAIDAH 3: PAHALA DIDAPAT KARENA MELAKSANAKAN DAKWAH,

BUKAN TERGANTUNG KEPADA PENERIMAANNYA

“ ألاجس لع بمجسد الدعىة وال خىكف على الاطخجابت ”

“Pahala didapat karena melaksanakan dakwah, bukan tergantung kepada penerimaannya”

Kaidah ini meluruskan pemahaman yang sering disalahartikan oleh banyak orang, bahwa

pahala haruslah berbanding lurus dengan hasil yang didapat secara zahir, sehingga

penilaiannya dapat dihitung secara matematis seperti umumnya pekerjaan duniawi. Apabila

cara pandang seperti ini yang dijadikan acuan, maka para nabi bisa dikategorikan gagal dalam

mengembankan amanah dakwah, karena dakwah mereka hanya menghasilkan pengikut yang

jumlahnya sedikit.

Kita bisa mengambil contoh kisah Nuh „alaihis salam yang mendakwahi kaumnya siang dan

malam hingga memakan waktu beratus-ratus tahun lamanya. Allah Ta‟ala berfirman dalam

Al Quran,

ان و ىف

هم الط

رخ

أمظين عاما ف

خ

ا طىت إال

ف

ل فيهم أ

بث

لىمه ف

ى ك

ىحا إل

ىا ه

زطل

د أ

لىن ول

اهم

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara

mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan

mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ankabut: 14)

Inti dari ayat ini sebagaimana yang termaktub dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa

nabi Nuh „alaihis salam mendakwahi kaumnya untuk beriman kepada Allah Ta‟ala selama

seribu kurang lima puluh tahun (950 tahun) lamanya, dan dalam kurun waktu itu, nabi

Nuh „alaihis salam hanya mendapatkan sedikit sekali pengikut, dan itu termaktub di dalam

Al Quran,

من ط حتا ا

إالهل

ىين وأ

ل شوجين از

ىا احمل فيها من و

لىز ك ى از الخا

ا وف

مسه

ا جاء أ

ومن ى إذ ى

ليه ال

بم عل

ليل ك

ا آمن وما آمن معه إال

“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman:

„Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan

betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan

(muatkan pula) orang-orang yang beriman.‟ dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu

kecuali sedikit.” (QS. Huud: 40)

Perhatikan akhir dari ayat di atas secara seksama, bagaimana Allah menjelaskan, “dan tidak

beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit” (QS. Huud: 40), kalau kemudian takaran

kesuksesan dakwah diukur dari kuantitas hasil, maka pastilah Nabi Nuh „alaihis salam telah

gagal mengemban misinya, namun pada hakekatnya tidaklah demikian, karena para Nabi dan

Rasul merupakan hamba pilihan yang mendapatkan tempat mulia di sisi Allah Ta‟ala.

Page 5 of 18

Jumlah pengikut yang sedikit juga didapat oleh para nabi lainnya. Ketika pada hari kiamat

nanti, para Nabi dan Rasul dikumpulkan dan mereka datang dengan umatnya masing-masing,

dari mereka ada yang membawa satu, dua, tiga, bahkan ada yang sama sekali tidak membawa

pengikut seorangpun.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi

wa sallam bersabda,

بيا و جالن، والىا جل والسا بيا ومعه السا والىاهيط بيا ومعه الس ذ الىا سأ

يع عسضذ عليا ألامم، ف

معه أحد ل

―Beberapa umat diperlihatkan kepadaku. Aku melihat seorang nabi bersama satu golongan

kecil, seorang nabi bersama satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak mempunyai

pengikut.‖ (Muttafaq ‗Alaih)

Oleh karena itulah Allah Ta‟ala kemudian mengarahkan kepada Rasulullah shallallahu

„alaihi wa sallam agar setelah berdakwah secara optimal, janganlah sekali-kali menakar

kesuksesannya melalui jumlah yang didapat. Allah Ta‟ala sendiri telah berfirman,

يه ىان عل

زطل

ما أ

عسضىا ف

ئن أ

ف

غ

بال

ال

ا إال ي

ا إن عل

م حفيظ

“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi

mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).” (QS. As-Syura‘ :48)

Dan dalam ayat lainnya,

بين ا

غ

بال

ال

اطل إال ى الس

هل عل

ف

“Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah)

dengan terang.” (QS. An nahl :35)

Dan dalam ayat,

بين ا

غ

بال

ال

ا إال طى ى السا

وما عل

“Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan

terang.” (An nur: 54)

Adapun terkait dengan hal hidayah, sesungguhnya itu semua adalah urusan Allah untuk

memberikannya.

هخدن م با

عل

اء وهى أ

ش يهدي من

اىنا الل

حببذ ول

تهدي من أ

ال إها

Page 6 of 18

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,

tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih

mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash: 56)

Oleh karenanya, barang siapa yang memahami kaidah ini secara baik, maka ia akan

berdakwah tanpa beban, tidak merasa kecewa ataupun stress hanya dikarenakan dakwah yang

siang malam ia lakukan berakhir dengan penolakan dan jumlah pengikut yang sedikit.

Allah Ta‟ala melalui firman-firman-Nya kerap menghibur Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam dalam hal ini, karena tidaklah Allah Ta‟ala memberi sebuah tanggungjawab,

melainkan sesuai dengan kadar kemampuan yang telah Allah Ta‟ala berikan kepada beliau.

Allah Ta‟ala berfirman,

اء ش يهدي من

اىنا الل

هداهم ول ي

يع عل

ل

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang

memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah: 272)

يهم حظساث عل فظ

هب ه

ر ج

ال

ف

“Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.” (QS. Faathir: 8)

ا

باللا

سون واصبر وما صبرن إالمى ا ي ضيم مما

ج

يهم وال

صن عل ج

وال

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan

pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan

janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl :

127)

Ayat-ayat di atas menjadi hiburan tersendiri bagi Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,

menghilangkan kesedihannya selama ini, dikarenakan kesungguhan beliau dalam berdakwah

untuk menuntun kaumnya beriman kepada Allah Ta‟ala ditanggapi dengan sikap ―buta dan

tuli.‖

Para da‘i pada hakekatnya adalah mereka yang memiliki hati-hati yang lembut, penuh cinta,

perasa sehingga itu semua menjadi tenaga bagi mereka dalam menunaikan dakwah. Ia merasa

sedih ketika melihat hamba Allah Ta‟ala yang lebih memilih berada dalam kesesatannya,

mengabaikan ajakan kebaikan yang selama ini ia serukan. Kesedihan seperti ini pulalah yang

dirasakan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam ketika melihat kaumnya, maka

Allah Ta‟ala kemudian berfirman,

طفاحدث أ

ا ال

ر مىىا به

ؤ م

ازهم إن ل

ى آز

عل فظ

باخع ه

اعل

ل ف

Page 7 of 18

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah

mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS.

Al Kahfi: 6)

Dengan kata lain, ayat ini menanyakan kepada Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa

sallam, apakah dengan kehancuran kaum yang tidak mau diajak beriman itu, telah

membuatnya menjadi putus asa dan merasa kasihan karena pengingkaran mereka terhadap Al

Quran?

Imam Qatadah, sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Tafsir Ibn Katsir menjelaskan ayat

ini: “Seolah-olah engkau ingin bunuh diri sebagai ekspresi kemarahan dan kesedihan

terhadap perilaku mereka.” Sedangkan Mujahid mengatakan, sebuah kegelisahan, dan

artinya tak jauh beda yakni jangan bersedih atas mereka, namun teruslah sampaikan risalah

Allah Ta‟ala ini, barang siapa yang mendapatkan hidayah maka itu untuk dirinya, dan barang

siapa yang sesat sesungguhnya ia telah menyesatkan dirinya sendiri.

Dengan demikian, sesungguhnya Allah Ta‟ala pun telah mencabut dosa bagi para da‘i

apabila orang yang mereka dakwahi tidak mendapat petunjuk dan merespon dakwah yang

mereka lakukan, tentunya setelah mereka berusaha dengan penuh optimal, hal itu

dikarenakan Allah Ta‟ala tidak akan memberikan beban kepada seorang hamba melainkan

sesuai dengan batas kemampuan yang telah Ia berikan.

Kaidah ini juga menjadi obat bagi mereka yang tergesa-gesa memetik hasil dari dakwah yang

selama ini mereka kerjakan. Yaitu mereka yang menunggu hasil yang nampak secara kasat

mata duniawi, dan kemudian menjadikannya syarat dan takaran pilihan, antara melanjutkan

perjuangan di jalan dakwah ini atau tidak. Cara pandang seperti ini sebenarnya cara pandang

yang salah, sehingga bertolak belakang dengan kaidah dakwah yang diajarkan dalam Al

Quran dan As Sunnah.

Al Quran telah menekankan, bahwa tidak ada kemestian seiringnya antara dakwah yang

dijalankan dengan respon yang di dapat (Istijabah). Seorang dai, bisa saja telah berjuang

mati-matian hingga titik darah penghabisan dalam berdakwah, namun sang mad‟u tetap pula

dengan sikap kerasnya, menolak segala bentuk ajakan kebaikan kepada dirinya. Namun

demikian, pada fase seperti inilah sebenarnya akhir dari segalanya itu ditentukan. Tahapan-

tahapannya dijelaskan oleh Allah Ta‟ala dalam firman-Nya,

س

اء والش

ي من و ىج

ا ف

صسه

ربىا جاءهم ه

د ه

هم ك نا

ىا أ ى

طل و ض الس

يأا اطد

ى إذ طىا عن حتا

ىم د بأ

لال

جسمين ال

“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka)

dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu

pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. dan tidak dapat

ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.” (QS. Yusuf: 110)

Fase pertama adalah pada masa dakwah itu dirasa tidak mempunyai harapan lagi untuk

mengarahkan mereka kepada keimanan, sehingga mereka merasa telah didustai, maka

Page 8 of 18

berakhirlah fase dakwah yang kemudian ditutup dengan pertolongan dari Allah Ta‟ala. Ibnu

Katsir dalam tafsirnya kemudian menjelaskan, bahwa pertolongan dari Allah akan diturunkan

kepada para Rasul-Nya ketika mereka berada dalam kondisi genting dan dalam masa

pengharapan akan hadirnya kemenangan, dan itu terjadi di masa yang sangat kritis.

Sebagaimana diterangkan oleh Allah Ta‟ala dalam firman-Nya,

م مظا بلى

ىا من ك

لرن خ

ال ال

م مث

جى

أ ا

ا و

ت جىا

ىا ال

لدخ

ن ج

م حظبخم أ

ى أ ىا حتا

صلاء وشل سا طاء والضا

بأتهم ال

سب ك

اصس الل

إنا ه

ال أ

اصس الل

رن آمىىا معه متى ه

ا وال طى السا لى

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu

(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh

malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)

sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya

pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-

Baqarah : 214)

Wallahu a‟lam bishowab

Page 9 of 18

TARBIYAH ISLAMIYAH

Suatu persoalan besar yang kini dihadapi oleh setiap juru dakwah di seluruh dunia Islam,

dimana persoalan ini harus dihadapi oleh mereka dengan segenap potensi dan kemampuan

mereka, suatu persoalan besar yang merupakan kelemahan yang menjadi pangkal tercabik-

cabiknya umat Islam dari gelanggang dunia, itulah persoalan kelemahan tarbiyah Islamiyah.

Ia seakan-akan hilang dari peradaban umat Islam. Tenggelam di lautan kejahilan dan

kelalaian.

Lemahnya sektor tarbiyah berarti hilangnya ruh Islam itu sendiri. Karena Islam adalah sistem

Rabbani yang hanya dapat tegak dengan tarbiyah Islamiyah yang sahih. Islam itu Rabbani

kaena ia bersandar pada Allah Ar-Rabb, Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pendidik, Penguasa

Alam Semesta. Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana itulah yang menjadi sumber

Islam, menjadi pemilik dan pendidik mereka yang hidup dalam naungan Islam.

Generasi Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah contoh

kongkrit hidupnya ruh tarbiyah dalam suatu masyarakat. Allah Ta‟ala membimbing dan

memimpin mereka menjadi umat terbaik yang ditampilkan ditengah-tengah manusia. Umat

pilihan ini hidup dibawah naungan hidayah Allah (Al Qur‘an), gerak aktivitas mereka tidak

lain adalah penghayatan dan pengamalan Al Qur‘an. Inilah generasi Qur‘ani yang unik, yang

patut diteladani sepanjang masa oleh setiap generasi.

Generasi Qur‘ani yang Rabbani ini telah melaksanakan suatu pola pendidikan yang paling

benar dan tepat, tidak mungkin tertandingi pola-pola lain yang datang belakangan, apalagi

yang datang dari sistem jahili. Pola ini dapat digali dari sirah perjuangan

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, namun intinya telah dinyatakan oleh Allah Ta‟ala,

دزطىن ىخم ج

ىخاب وبما ه

مىن ال

عل

ىخم ح

ين بما ه اهي

ىا زباىه

ىن و

ول

“Tetapi jadilah kalian orang-orang Rabbani, disebabkan kamu selalu mengajarkan Al

Qur‟an dan disebabkan kamu senantiasa mempelajarinya”. (QS. Ali Imran, 3 : 79)

Hidup dalam Qur‘an berarti belajar, mengajar, menghayati, mengamalkan, memperjuangkan

petunjuk Allah ini. Allah akan menjadi pembimbing suatu masyarakat yang melaksanakan

sistem ini sepanjang mereka memiliki motivasi yang benar.

هه ويه يه ىز بئذ ى الى

ماث إل

لسجهم من الظ

خ م و

ال ه طبل الظا

بع زضىاه

من اجاا

ى صسا دي به اللديهم إل

مظخليم

“Dengan Kitab (Al Qur‟an) itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaanNya

ke jalan-jalan keselamatan. Dan dengan (Al Qur‟an) itu Allah mengeluarkan mereka dari

gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin–Nya, dan menunjuki

mereka kejalan yang lurus”. (QS. Al-Maidah, 5 : 16)

Ironisnya kaum muslimin dewasa ini semakin jauh dari pola ini. Hal ini menyebabkan

mereka terlepas dari pertolongan Allah Ta‟ala. Hilangnya interaksi kaum muslimin dengan

Page 10 of 18

Al Qur‘an menyebabkan mereka kehilangan imunitas untuk menolak konsepsi lain. Maka

merasuklah pemikiran-pemikiran jahiliyyah pada diri mereka. Allah Ta‟ala memperingatkan,

عمى ليامت أ

ىم ال سه

ش ا وه

ضىي

ت

ه معيش

ئنا ل

سي ف

عسض عن ذه

ومن أ

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan–Ku (Al Qur‟an) maka baginya sungguh ada

kehidupan yang sempit”. (QS. Thaha, 20 : 124)

Hilangnya ruh dan cahaya Qur‘an adalah penyakit kronis di tubuh umat. Ia menggerogoti

segenap potensi dan kekuatan mereka serta menggelincirkannya pada lumpur-lumpur

kesesatan. Hanya dengan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam dalam mentarbiyah para sahabatnya, cahaya yang hampir padam itu akan dapat

dikobarkan kembali. Tradisi Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pun akan memberi

kekebalan terhadap masuknya paham jahiliyyah dari luar Islam. Ia merupakan sistem yang

khas Rabbani dan tidak akan cocok untuk sistem lain.

Tarbiyah Islamiyah yang sahih meliputi tiga unsur :

1. Tarbiyah Ruhiyah

2. Tarbiyah Aqliyah

3. Tarbiyah Amaliyah

Ketiga unsur tersebut hanya akan dapat tumbuh dalam suasana harakah (gerakan) dalam

rangka memperjuangkan kalimat Allah Ta‟ala. Ia bukan diajarkan di sekolah-sekolah

sebagaimana umumnya pola pendidikan sekarang, namun ia dihidupkan di rimba jihad untuk

menghancurkan kekufuran dan menegakkan keimanan.

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menerima Qur‘an dan mendidik sahabatnya selama

kurang lebih 23 tahun. Selama masa itu beliau berjihad menegakkan aturan hidup Allah ini.

(iqomatu diin). Setiap peristiwa, kesukaran, maupun penderitaan yang diderita oleh beliau

dan para sahabatnya merupakan proses interaksi mereka dengan Qur‘an. Ruh, akal dan

aktivitas mereka terus berkembang menuju kesempurnaan kualitas dengan bimbingan dan

petujuk Allah Ta‟ala. Tanpa perjuangan dan jihad Qur‘ani, masyarakat Islam ini tidak akan

tegak.

بيراافسن وجاهدهم به جهادا ه

يطع ال

ج

ال

ف

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka

dengan Al Qur‟an dengan jihad yang besar”. (QS. Al-Furqan, 25 : 52)

Tarbiyah Ruhiyah

Tarbiyah ruhiyah mengorientasikan pendidikan pada peningkatan mutu iman dan kesucian

jiwa. Dengan tarbiyah ini seoang muslim didekatkan pada Pencipta alam semesta dan

Pencipta dirinya. Ruhnya membubung naik menghadap dan beraudiensi dengan Allah Ta‟ala.

Sasaran utamanya adalah membentuk pribadi yang muttaqin yang senantiasa takut, cinta dan

Page 11 of 18

berharap kepada Allah Ta‟ala. Ia merupakan syarat utama penerimaan total kepada konsepsi

Rabbani dalam pembinaan Al Qur‘an.

Untuk mempersiapkan jiwa yang mau menerima Al Qur‘an, Allah Ta‟ala menuntun jiwa

orang yang beriman dengan shalatu lail dan dzikir. Bangun diwaktu malam di kala manusia

lain sedang tidur mendengkur, berudiensi dengan Allah Ta‟ala, menerima limpahan cahaya

dari-Nya. Semuanya merupakan bekal memikul al qauluth-tsaqil (Al Qur‘an), beban berat

dan pahit yang menanti siapa saja yang mewarisi perjuangan da‘wah Rasulullah shallallahu

„alaihi wa sallam.

Shalat malam dan dzikrullah merupakan obor penerang hati dalam menempuh perjuangan

yang panjang penuh ranjau, merupakan benteng pendinding yang ampuh dari godaan pesona

syaitan. Permohonan ampun, pengakuan dosa, dan puja-puji pada Pencipta menghaluskan

dan melembutkan hati oang yang beriman. Hati yang khusyu‘ dan tunduk inilah tempat

persemaian yang subur bagi tumbuhnya ruh Qur‘an dalam diri manusia.

ليال ز

ىال

ك ي

لي عل

ا طىل إها

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat (berbobot)”. (QS.

Al-Muzammil, 73 : 5)

عا اشعا مخصدخه خ

سأى جبل ل

لسآن عل

ا ال

رىا ه

صلهى أ

هم ل

اعل

اض ل ضسبها للىا

ه ا

مث ألا

وجل

ايت الل

ش

من خ

سون اىخف

“Seandainya Kami turunkan Al Qur‟an ini kepada sebuah gunung, niscaya kamu lihat

gunung itu tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah”. (QS. Al-Hasyr, 59 : 21)

Tarbiyah Ruhiyah melahirkan akhlaq kepibadian yang Qur‘ani. Pribadi yang memancarkan

iman dan taqwa dalam tiap langkah aktivitas hidupnya. Inilah karakteristik Ibadur-

Rahman sebagaimana diterangkan Al-Qur‘an,

ىن مش رن

ان ال حم هم وعباد السا بيخىن لسب

رن اما وال

ىا طال

الىن ك

جاهل

بهم ال

اط

ا خ

زض هىها وإذ

ى ألا

عل

دا وكياما سجا

“Dan hamba-hamba Allah yang Maha pemurah itu adalah mereka yang berjalan di muka

bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa, mereka mengucapkan

kata-kata yang mengandung keselamatan. Mereka yang melewatkan waktu malamnya

dengan sujud dan shalat dihadapan Rabbnya”. (QS. Al-Furqan, 25 : 63 – 64)

Tarbiyah Aqliyah

Tarbiyah ruhiyah diimbangi dengan tarbiyah aqliyah, yang berorientasi pada peningkatan

kapasitas intelektual dan meluaskan wawasan pengetahuan. Tarbiyah aqliyah meliputi tiga

hal pokok:

Page 12 of 18

1. Pemahaman pengetahuan Islam yang sempurna dan Integral.

2. Pemahaman pengetahuan modern.

3. Pemahaman hubungan antara pengetahuan Islam dan pengetahuan modern

(pengetahuan persiapan).

Dengan ketiganya, dibentuklah pribadi muslim yang berpengetahuan dan sanggup

mengamalkan ilmunya.

Kaum muslimin sangat membutuhkan pakar-pakar pengetahuan di berbagai bidang untuk

mengejar ketinggalan dalam teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sarana untuk

tegaknya masyarakat Islam. Namun ini tidak berarti seorang muslim harus membebek pada

sistem dan budaya mereka yang telah maju di bidang ini. Sistem Islam yang sempurna

sesungguhnya telah memberi kerangka landasan untuk menegakkan ilmu pengetahuan dan

teknologi itu.

يل والنا اف الل

خال

زض واخ

ماواث وألا م الظا

لي خ

باب إنال ولي ألا

اث ل

هاز ل

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang

terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mempunyai pikiran”. (QS. Ali Imran, 3 : 190)

Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan milik manusia yang bersifat

universal. Ia adalah suatu karunia Allah Ta‟ala yang secara konseptual telah dipersiapkan

pada diri manusia. Orang beriman bahkan yang paling berhak dengan ilmu itu. Mereka

berkewajiban mengarahkan ilmu dan teknologi agar dipergunakan sepenuhnya dalam ibadah

menaati Allah Ta‟ala.

Tarbiyah harakiyah harus dapat memanfaatkan seluruh potensi yang disediakan

Allah Ta‟ala di alam semesta ini untuk menegakkan Islam. Potensi ini telah dirampas dan

disalah gunakan oleh musuh-musuh Allah Ta‟ala karena keunggulan mereka di bidang

teknologi. Orang beriman hendaklah mampu mengambil alih kendali teknologi yang

memang miliknya itu. Karena itu tarbiyah aqliyah diarahkan untuk mewujudkan orang-oang

mu‘min yang mutsaqaf, berpengetahuan di berbagai bidang. Mereka berjuang dijalan

Allah Ta‟ala dengan menyumbang keahlian masing-masing, bahu membahu dan saling

melengkapi dalam beramal jama‘i.

Ruh dan akal yang sempurna hanya dapat diwujudkan setelah melalui rintangan, cobaan, dan

ujian di arena aktivitas. Persiapan jiwa dan kematangan intelektual tidak berarti apa-apa

sebelum teruji di medan jihad. Karena itu tarbiyah Islamiah Harakiyah sesuai dengan nama

dan karakteristiknya harus langsung dilaksanakan dalam amal dan gerak, tidak boleh berhenti

sedetikpun. Disinilah tarbiyah amaliah mengambil peranannya.

Setiap pribadi muslim mesti dididik untuk bergerak teratur dan berdisiplin tinggi di setiap

langkah. Gerak ini laksana seoang jundi yang mematuhi komandannya. Ia adalah tentara

Allah Ta‟ala yang taat pada perintah-perintah-Nya, siap melaksanaan instruksi yang

diberikan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dan gerakan Islam.

ه م وزطىل

ى عمل

اظيري الل

ىا ف

ل اعمل

وك

Page 13 of 18

“Maka katakanlah : “Beramallah kamu, maka Alah dan RasulNya akan melihat aktivitas-

akivitasmu”. (QS. At-Taubah, 9 : 105)

Tarbiyah Amaliyah

Tarbiyah amaliyah meliputi pembinaan jasmani agar siap melasanakan da‘wah dan latihan–

latihan, berdisiplin dengan perintah, kesediaan untuk berkorban agar terlaksana amal Islami.

Page 14 of 18

CINTA KARENA ALLAH

Diantara ciri-ciri pengikut Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam adalah ruhama

bainahum (saling menyayangi di antara mereka), sebagaimana difirmankan oleh

Allah Ta‟ala,

از زحمافاىى ال

اء عل شدا

رن معه أ

ا وال

ا الل طى د زا ما ء بينهم م

“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah

keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…..” (QS. Al-Fath,

48: 29)

Sementara itu di dalam hadits, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menyebutkan bahwa

diantara wujud ikatan iman yang kokoh adalah mencintai karena Allah. Rasulullah shalallahu

„alaihi wa sallam bersabda,

حب ي هللا، وال

عاداة

ي هللا، وا

ةىالا

مان:ا

م عسي لاوزي هللا أ ض

ي هللا، والبؼ

“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah,

mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu‟jamul

Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])

Oleh karena itu, diantara tuntutan iman yang harus kita tumbuhkan dalam jiwa adalah

perasaan al-hubbu fillah ini. Ada beberapa hadits lain yang berbicara tentang keutamaannya,

Manisnya Iman

Anas radhiyallahu „anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bahwa beliau

bersabda,

ا طىاهما وأ يه مما

حبا إل

ه أ

وزطىل

اىن الل

ي ن

مان أ

لا

وة

نا فيه وجد حال

من ه

ر

اله ز ب

سء ال با ا

ن

وأ

ا لل

ااز إال ي الىا

ف

لر ن

سه أ

ى ما

فس ه

ىي ال عىد

ن سه أ

ى ن

“Ada tiga perkara yang barangsiapa berada di dalamnya akan mendapatkan manisnya

keimanan: menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain

keduanya; tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah; benci kembali kepada kekafiran

sebagaimana benci dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq Alaihi).

Perlindungan Allah

Abu Hurairah radhiyallahu „anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu „alaihi wa

sallam, bahwa beliau bersabda,

Page 15 of 18

ي عبادة أش

اب و

وش ه إمام عد

ل

الا إال

ىم ال ه

ل ي ى

عال

ح

اهم الل

ظل

ي طبعت

م ابه معل

ل وزجل ك

ا الل

ي ا عل

ك سا

فيه وج

اجخمعا عل

اي الل ا

ابا ن ج

ظاجد وزجال

ي ا

إو ا

ل ف اث مىصب وجما

ذ

ةه وزجل دعخه امسأ

هميىه وزجل ذ ىفم

ه ما ج

م شمال

عل

ح

ى ال اها حتا

فخ

أت ف

ق بصدك صدا

وزجل ج

ا الل

اف

خ

اليا أ

خ

اس الل

اضذ عيىاه ف ف

“Ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah di hari yang tiada perlindungan selain

perlindungan Allah: Pemimpin adil, pemuda yang tumbuh besar dalam ibadah kepada Allah,

seseorang yang hatinya terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena

Allah, bertemu dan berpisah karena Allah, seseorang yang dipanggil seorang wanita (untuk

berzina) yang mempunyai kedudukan dan kecantikan, ia mengatakan: „Aku takut kepada

Allah‟, seseorang yang bersedekah lalu menyembunyikan sedekahnya sampai tangan kirinya

tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah di

kala sepi lalu berlinang air matanya.” (Muttafaq Alaihi).

Ciri Ahli Surga

Abu Hurairah radhiyallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam bersabda,

دخ

ج

ال

خمىه ج

عل

ا ف

يء إذ

ى ش

م عل

ىدل

أ

وال

ىا أ اب

ى ج مىىا حتا

ؤ ج

مىىا وال

ؤى ج حتا

ت جىا

ىن ال

ىا ل

ش

فاببخم أ

م م بيىى

ال الظا

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman

sampai kalian saling mencinta. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada sesuatu yang

jika kalian lakukan akan saling mencinta; sebarkan salam di antara kalian.” (Muslim).

Dicintai Allah

Abu Hurairah radhiyallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam bersabda,

يه ى عل

حا أ ما

لا ف

يى مدزجخه مل

ه عل

ل

ازصد الل

أسي ف

خ

ت أ س

ي ك ه

ا ل

خ

شاز أ

نا زجال

ن أ أ ا

ا ك

خ

زد أ

أ ا

سد ك

ج

ا

ي الل حببخه ي أ

وير أ

ػ

ال ا

ها ك سب

يه من وعمت ج

عل

هل ل ا

ت ك س

لي هره ال لي ي زطى

ئو ف ا

عصا وجلا ك

حببخ ما أ

ه حبا

د أ

ك

انا الل

بأ ي

إل

اه فيه الل

“Bahwa seseorang sedang mengunjungi saudaranya di sebuah desa dan Allah mengutus

seorang malaikat untuk memantau jalannya. Sesampainya di tempat itu ia berkata, „Hendak

ke mana kamu?‟ Ia menjawab, „Aku hendak menemui seorang saudara di negeri ini.‟ Ia

bertanya, „Apakah ada kenikmatan yang kamu inginkan darinya?‟ Ia menjawab, „Tidak,

hanya karena aku mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.‟ Ia (malaikat) berkata,

Page 16 of 18

„Ketahuilah bahwa aku ini utusan Allah, (untuk memberitakan kepadamu) bahwa Allah telah

mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.”

Abu Idris Al-Khaulani radhiyallahu „anhu bercerita,

ط يء أ

ي ش فىا

خل

ا اخ

اض معه إذ ا الىا

ا وإذ ىا

ااق الث اب بسا

تى ش

ا ف

ئذ

م ف

ذ مسجد دمش

ليه دخ

ىدوا إل

د طب وصد ه ك

ىجدج

سث ف د هجا

ؼان ال

ا و ما

ل بن جبل ف

ا معاذ

ليل هر

ذ عىه ف

لظأ

ىله ف

ي زوا عن ك

ل

اظل

خه من كبل وجهه ف

ما جئ

ه ز

ج

ى صال ض

ى ك ه حتا

سجخظ

اه ف ا

ي ك

صل ه

هجير ووجدج ذ بالخا

لما ك

يه ز

مذ عل

ف

الل

أ ا

ل ف

الل

ذ أ

لل

ف

الل

أ ا

ل ف

الل

ذ أ

لل

ف

الل

أ ا

ل ف

ا لل حب

ي ل

إو

اي والل بىة زدا

برخ

أ ف ا

ك

الل

ذ أ

لل

ي طم ئوبشس ف

أ ا

يه وك

وي إل

جبر

ى وجبذ ف

عال

بازن وح

ج

ا الل ا

ك لى م

ايه وطل

عل

اى الل

ا صل

ا الل عذ زطى

يا خباذلين يا وا زاوزن

ت يا وا خجالظين

يا وا ين اب

مختي لل با م

“Aku pernah memasuki masjid Damaskus, ternyata di sana terdapat seorang pemuda dengan

gigi yang putih dan orang-orang bersamanya. Jika mereka memperselisihkan sesuatu mereka

mengandalkannya dan mengembalikannya kepada pendapatnya. Aku pun bertanya

tentangnya dan dijawabnya bahwa dia Muadz bin Jabal. Esok harinya aku berangkat (ke

masjid) pagi-pagi, ternyata ia telah mendahuluiku. Aku mendapatinya melakukan shalat. Ia

mengatakan, aku pun menunggunya sampai ia menyelesaikan shalatnya. Setelah itu aku

menemuinya dari depannya dan aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan, „Demi

Allah, aku mencintaimu karena Allah‟ Ia mengatakan, „Allah.‟ Aku katakan, „Allah.‟ Ia

katakan, „Allah?‟ Aku katakan, „Allah,‟ Lalu ia memegang dada jubahku dan menarikku

kepadanya dan berkata, „Berbahagialah, karena aku pernah mendengar Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, „Alah Tabaraka wa Ta‟ala berfirman, „Orang-orang

yang saling mencinta karena-Ku pasti mendapatkan kecintaan-Ku, yang bergaul karena-Ku,

yang saling mengunjungi karena-Ku, dan yang saling bekorban karena-Ku.” (Hadits shahih

riwayat Malik di Al-Muwattha‘ dengan sanad shahih).

Kedudukan Mulia di Akhirat

Muadz meriwayatkan, aku mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ل

ي جال ىن اب خ

عصا وجلا ا

ا الل ا

هداء ك

ىن والش بي هم الىا

بط

ؼ ىز

هم مىابس من ه

ي ل

“Allah Azza wa Jalla berfirman, „Bagi orang-orang yang saling mencintai karena

keagungan-Ku mimbar-mimbar dari cahaya dari cahaya yang membuat iri para nabi dan

syuhada.” (Tirmidzi, hadits hasan).

***

Page 17 of 18

Perintah untuk Menyatakan Cinta

Agar cinta dan kasih sayang terjalin erat, Islam memerintahkan kepada umatnya untuk

menampakkan rasa cinta yaitu dengan menyatakan cinta dengan lisan kepada orang orang

yang kita cintai.

Abu Karimah Al-Miqdad bin Ma‘di Karib radhiyallahu „anhu meriwayatkan bahwa

nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ه ب ه ها

بره أ

يخ

لاه ف

خ

جل أ حبا السا

ا أ

إذ

“Jika seseorang mencintai saudaranya hendaknya ia memberitahukan kepadanya bahwa dia

mencintainya.”(Tirmidzi dan Abu Dawud, hadits hasan shahih).

Muadz radhiyallahu „anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam memegang tangannya seraya bersabda,

ي ل

إو

ا والل حب

ي ل

إو

ا والل

ا معاذ ي

عهما أ

ا الل لى

ة ج

ل صال

ي دبس و

دعنا ج

ال

ا معاذ وصي

أ ا

ل ف حب

سن وحظن عبادجى

سن وش

ى ذه

عل

“Hai Muadz, demi Allah, aku mencintaimu karena Allah. Lalu aku berwasiat kepadamu, ya

Muadz, jangan sampai –setiap kali usai shalat- kamu tidak mengucapkan, „Ya Allah,

tolonglah aku untuk berzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik

kepada-Mu.” (Abu Dawud dan Nasa‘i dengan sanad shahih).

Anas radhiyallahu „anhu meriwayatkan,

نا زج حب أ

ي ل

إو

ا الل ا زطى ا

لمسا به زجل ف

م ف

ايه وطل

عل

اى الل

ابي صل

ان عىد الىا و

اال

لا ف

هر

اله ف

حل

ل ف ا

علمه ك

أ ا

ك

ال ا

مخه ك

عل

م أ

ايه وطل

عل

اى الل

ابي صل ه الىا

ل حبا

أ ا

ل ف

اي الل

حبي أ

إو

ه ي ل حببخ

ري أ

ا ال

“Seseorang berada di samping nabi shallallahu „alaihi wa sallam, kemudian ada seseorang

lewat, maka (laki-laki yang berada di samping nabi itu) berkata, „Ya Rasulullah, aku

mencintai orang ini.‟ Nabi bersabda kepadanya, „Apakah kamu sudah memberitahukan

kepadanya?‟ (Anas) berkata, lalu laki-laki itu menyusulnya dan mengatakan, „Aku

mencintaimu karena Allah.‟ Orang itu menjawab, „Mudah-mudahan Allah mencintaimu

sebagaimana kamu mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud dengan sanad shahih).

Page 18 of 18