pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

27
1 PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF U N I V E R S I T A S P E N D I D I K A N G A N E S H A U N D I K S H A D E P A R T E M E N P E ND I DI K A N N A S I O N A L OLEH A.A. ISTRI N. MARHAENI Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar tanggal 8-9 Desember 2007 UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2007

Upload: vancong

Post on 13-Jan-2017

249 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

1

PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN

OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN

PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF

UN

IVERS

ITAS PENDIDIKAN G

ANESH

A

UNDIKSHA

DE

PA

R

TEMEN PENDIDIKAN NASIO

NA

L

OLEH

A.A. ISTRI N. MARHAENI

Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum dan Pembelajaran

Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar tanggal 8-9

Desember 2007

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA

2007

Page 2: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

2

PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM

RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN

PRODUKTIF

Oleh

A.A.I.N. Marhaeni1

1. PENDAHULUAN

Laporan UNESCO (Delors, dkk. 1996) telah menetapkan empat pilar pendidikan

sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik

mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan

pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta

didik menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to

live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga

diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia.

Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa

depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based

tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai

kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,

dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh

dengan saling ketergantungan.

Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada

pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi

pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat

berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti

disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang

diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini

adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan

oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan

konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran

1 Dosen S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja

Page 3: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

3

mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan

menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000).

Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada

kurikulum; dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju

kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka

pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model

pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang

punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.

2. PEMBELAJARAN YANG BERPUSAT PADA PESERTA DIDIK

Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (untuk

selanjutnya, dalam makalah ini akan digunakan istilah asingnya yaitu Student-Centered

Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada saat orang-orang mulai

meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif

dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri.

Dibawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di

Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Para

pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa

peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula

rasa). Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah

peserta didik.

John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas

adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak guru untuk

menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh peserta didik, sebagai bahan

pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah

pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang

hal-hal yang abstrak bagi peserta didik. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan

learning by doing.

SCL dilandasi oleh paham konstruktivisme. Konstruktivisme berarti bahwa peserta

didik membangun (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai

konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran,

melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua

Page 4: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

4

kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk,

2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut:

“Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan

mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan,

memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan

yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya tidak

selalu dari materi yang disediakan guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena peserta didik harus

melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi

dirinya “(p. 15, terjemahan oleh penulis makalah).

Belakangan, berbagai interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan

itu terwujud pada peserta didik; ada yang mengatakan bahwa peserta didik itu sendiri

mampu membangunnya, tapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan

terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili

oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi

dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai dengan yang telah ada

sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada

dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak,

Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi

sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals).

Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan

dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Berdasarkan hakikat SCL tersebut di atas, maka dapat dilihat perbedaan antara SCL

dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi

(Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:

Teacher Centered Student-Centered Learning

Pengetahuan ditransfer dari guru ke

peserta didik

Peserta didik secara aktif mengembangkan

pengetahuan dan keterampilan yang

dipelajarinya

Peserta didik menerima pengetahuan

secara pasif

Peserta didik secara aktif terlibat didalam

mengelola pengetahuannya

Lebih menekankan pada penguasaan

materi

Penguasaan materi dan juga mengembangkan

karakter peserta didik (life-long learning)

Biasanya memanfaatkan media tunggal Multimedia

Fungsi guru sebagai pensuplai

informasi utama dan evaluator

Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan

bersama dengan peserta didik

Proses pembelajaran dan asesmen

dilakukan secara terpisah

Terpadu dan berkesinambungan

Menekankan pada jawaban yang benar

saja

Menekankan pada pengembangan pengethuan.

Kesalahan menunjukkan proses belajar dan

dapat digunakan sebagai salahsatu sumber

belajar

Page 5: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

5

Cocok untuk pengembangan ilmu

dalam satu disiplin saja

Untuk pengembangan ilmu interdisipliner

Iklim belajar lebih individual dan

kompetitif

Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif,

suportif, dan kooperatif

Proses pembelajaran hanya terjadi pada

peserta didik

Peserta didik dan guru belajar bersama dalam

mengembangkan, konsep, dan keterampilan

Perkuliahan mengambil porsi waktu

terbanyak

Perkuliahan dan berbagai kegiatan lain dalam

proses belajar

Penekanan pada ketuntasan materi Penekanan pada pencapaian target kompetensi

Penekanan pada cara pembelajaran

yang dilakukan oleh guru

Penekanan pada bagaimana cara peserta didik

belajar. Penekanan pada problem-based learning

dan skill competency

Sumber: Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi,

Ditjen Dikti Depdiknas, 2005.

3. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Contextual Teaching and Learning)

Dibawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat

menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan

pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang bersifat kontektual (dikenal

dengan istilah Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL).

CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran

dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara

pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai

anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja.

CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat

menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran

demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan

peserta didik untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang

terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan

tersebut.

Bagi peserta didik, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada

pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada

proses pembelajaran tradisional tersebut, peserta didik diharapkan untuk memahami dan

menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca

materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada

guru. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara

abstrak, oleh karena itu banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar.

Page 6: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

6

Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota

yang bermutu.

Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis’ masih tetap

diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu

lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada peserta

didik hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat

nanti diperlukan.

Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu

metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Dalam

CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip

apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan

dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan

cognitive apprenticeship.

Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih peserta didik dalam

menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum

pembelajaran dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus

dicapai peserta didik, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3)

memberi peluang untuk keberagaman cara belajar peserta didik.

Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak,

memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified

learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi

namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan, tetapi

metode-metode yang berpusat pada peserta didik (student-centered) seperti metode

inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu peserta didik mengembangkan

kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching

strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana peserta didik mendapat

peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang

dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence

dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang

dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja)

besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut

untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Page 7: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

7

Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005).

Pemberdayaan peserta didik dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara

pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya peserta

didik dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian),

yaitu kesempatan untuk peserta didik terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai

pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat

kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana peserta didik dapat membandingkan kemampuan

dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi,

berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong peserta didik untuk mencoba

menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.

Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi

dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT,

yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring.

a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari

dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian peserta didik

pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal

itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.

b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan

sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan

bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi

demikian merupakan strategi pasif, artinya, peserta didik tidak secara

aktif/langsung mengalaminya.

c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks

yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali

dapat membuat peserta didik mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu

tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh

yang sangat kontekstual dimana peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya

seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung

(firsthand experience) seperti magang.

d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana peserta didik belajar berbagi (sharing)

dan berkomunikasi dengan peserta didik lain. Pembelajaran kooperatif merupakan

salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil

Page 8: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

8

adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik

dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah

kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap

anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa

teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini.

e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya

adalah, peserta didik belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk

menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara

lain adalah pemecahan masalah (problem solving).

4. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF

Secara praktis dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pembelajaran

inovatif adalah pembelajaran yang memiliki perspektif berpusat pada peserta didik.

Dengan demikian, pembelajaran inovatif bukanlah sesuatu yang sifatnya baru, yang

berbeda betul dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dilakukan. Sepanjang

pembelajaran yang dilakukan tersebut menganut prinsip-prinsip berpusat pada peserta

didik, maka pembelajaran tersebut dapat disebut pembelajaran inovatif tidak peduli apakah

pembelajaran tersebut telah dilakukan secara konvensional. Dengan demikian, sangat

mungkin kita memiliki pengajar yang sesungguhnya telah inovatif sejak lama.

Beberapa model pembelajaran yang relevan dengan SCL adalah cooperative

learning, problem-based learning, project-based learning, group discussion, contextual

learning, role play and simulation, discovery learning, self-directed learning, dan

collaborative learning. Namun, perlu dicatat disini bahwa model-model pembelajaran di

atas seringkali overlap satu sama lain, baik dari segi istilah yang digunakan maupun dalam

praktek pelaksanaan pembelajarannya. Istilah contextual learning sebagai suatu model

pembelajaran disini disejajarkan dengan problem-based learning, padahal di dalam CTL

itu sendiri, problem-based learning yang intinya adalah problem solving merupakan

bagian penting dari CTL. Kadangkala penggunaan istilah juga menunjukkan penekanan

dari model dimaksud. Misalnya, dalam problem-based learning penekanannya adalah

problem atau masalah. Dalam model ini pembelajaran dimulai dengan menampilkan

masalah dihadapan peserta didik, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran berikutnya

diarahkan untuk memecahkan masalah tersebut. Sementara itu dalam CTL, penekanan ada

pada otentisitas pembelajaran, yaitu bahwa pembelajaran itu harus nyata sesuai dengan

Page 9: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

9

apa yang terjadi sehari-hari, dimana didalamnya sangat mungkin ada kegiatan pemecahan

masalah. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, sangat mungkin dilakukan secara

berkelompok, thus dengan demikian, berarti juga dilakukan pembelajaran kooperatif.

Contoh lain, dalam model kooperatif, yang ditonjolkan adalah kegiatan kerja

kelompoknya, yang diharapkan berdampak pada pengembangan pilar learning to live

together secara optimal. Oleh sebab itu, meskipun nama tetap diperlukan, namun dalam

pemilihan model yang akan digunakan, guru perlu mendasarkan pada tujuan pembelajaran

(kompetensi dasar dan indikator) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

a. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL)

Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan

pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan

pengembangan pemahaman tentang topik-topik, peserta didik belajar bagaimana

mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah,

mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi

mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam

pemecahan masalah.

Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends,

1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang

berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu,

dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi peserta

didik), (2) guru membantu peserta didik mengklarifikasi masalah dan menentukan

bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar,

informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu

peserta didik menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan

dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4)

pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-

lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua peserta didik, guru, bila perlu

melibatkan administrator dan anggota masyarakat).

Page 10: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

10

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan peserta

didik dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter

pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing

dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses

pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja peserta didik,

bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping,

peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang

sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan

dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah

kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated

learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi

keragaman peserta didik.

Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:

Fase 1. Orientasi pada masalah

Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang

diperlukan, dan mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan

masalah yang dipilihnya sendiri.

Fase 2. Perencanaan dan Pengorganisasian

Pengajar membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan

tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.

Fase 3. Investigasi mandiri dan berkelompok

Pengajar mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi, melakukan

eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4. Pengembangan dan Penampilan artefak/karya

Pengajar membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak

yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Pengajar juga membantu peserta didik

untuk saling menginformasikan pekerjaan mereka

Fase 5. Analisis dan evaluasi proses penyelesaian masalah

Page 11: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

11

Pengajar membantu peserta didik untuk merefleksikan investigasi dan proses-

proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.

b. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan model-

model lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas

dan struktur penghargaan (reward) yang lain dari yang lain. Peserta didik diharapkan

bekerja dalam kelompok, dan penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun

individual.

Munculnya pembelajaran kooperatif didasari oleh konsep-konsep belajar

demokratis, aktif, kooperatif, dan penghargaan terhadap perbedaan (karena itu sering

dipakai dalam pembelajaran multikultural).

Tujuan pembelajaran kooperatif adalah timbulnya efek akademik yang dibarengi

oleh efek pengiring seperti kemampuan bekerjasama, penghargaan terhadap eksistensi

orang lain, dan lain-lain.

Sintaks pembelajaran kooperatif adalah tugas dalam kelompok-kelompok kecil,

dan terdiri dari enam fase:

(1) menetapkan tujuan pembelajaran,

(2) transfer informasi melalui presentasi atau pemberian bahan bacaan,

(3) pembentukan kelompok,

(4) pelaksanaan tugas dan pemberian bimbingan,

(5) evaluasi hasil kerja kelompok, dan

(6) menentukan hasil belajar individu maupun kelompok.

Beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang sering digunakan adalah STAD

(Student Team Achievement Division), Jigsaw, Think-Pair-Share, dan Group

Investigation. Dalam Jigsaw, misalnya, peserta didik dibagi menjadi 5-6 kelompok

heterogen. Materi diberikan dalam bentuk teks, dan setiap anggota suatu kelompok

bertugas mempelajari sebagian dari keseluruhan materi. Pada saat dilakukan jigsaw,

anggota dari semua tim yang membaca materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi

tentang materi tersebut. Setelah itu, setiap orang kembali ke kelompok/timnya semula.

Mereka ini menjadi expert dalam materi yang dipelajari, dan bertugas mengajari anggota

timnya. Ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep Jigsaw di atas (sumber: Arends, 1997).

Page 12: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

12

5. ASESMEN OTENTIK/ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI

Asesmen yang relevan adalah jenis-jenis asesmen yang gayut dengan ciri peserta

didik aktif membangun pengetahuan, hingga terbentuk kompetensi seperti yang ditetapkan

dalam setiap mata kuliah. Jenis-jenis asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen

portofolio, kinerja, esai, projek, dan evaluasi diri. Tes-tes objektif sebaiknya dihindari

karena jenis tes tersebut merupakan imposed target by the tester with only one single

answer. Tes objektif tidak memberi kesempatan peserta didik menemukan jawaban atas

persoalan yang dihadapi dengan caranya sendiri, tetapi dipaksa dengan hanya sedikit

pilihan tanpa boleh mengambil pilihan diluar pilihan yang diberikan.

Secara garis besar, asesmen otentik memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu

asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang. Asesmen otentik pada dasarnya

adalah asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu

proses belajar yang komprehensif. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh

karena itu asesmen berbasis kompetensi bersifat (2) individual. Kompetensi tidak dapat

JIGSAW

X X X

X X X X X

X X

X X X

X X

X X X

X X

X X X

X X

HOME TEAMS

(5 atau 6 peserta didik heterogen dikelompokkan)

EXPERT

TEAMS

Page 13: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

13

disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Karena itu, asesmen cara-cara

yang untuk memantau kemampuan peserta didik cenderung tidak dapat secara akurat

mengukur kompetensi setiap individu; (3) berpusat pada peserta didik karena

direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh peserta didik sendiri; mengungkapkan seoptimal

mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan

perbaikan). Asesmen otentik bersifat tak terstruktur dan open-ended, dalam arti,

percepatan penyelesaian tugas-tugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga

kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok. Untuk

memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu

(peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara (4) otentik (nyata, riil

seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan,

sehingga asesmen otentik berlangsung secara (5) terintegrasi dengan proses

pembelajaran. Asesmen otentik bersifat (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena

itu asesmen harus dilakukan secara langsung pada saat proses dan produk belajar. Dengan

demikian, asesmen otentik memiliki sifat berpusat pada peserta didik, terintegrasi dengan

pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individual.

Sifat asesmen otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur

metakognisi dalam diri peserta didik seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan

kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya,

dan rasa kepemilikan (ownership).

a. Asesmen Kinerja

Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugas-

tugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dilakukan

dalam suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang

ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil

yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut.

Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil

kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan program itu digunakan sebagai basis

untuk dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian program

tersebut.

Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja

(performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring

Page 14: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

14

guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas,

dan kondisi penyelesaian tugas. Rubrik performansi merupakan suatu rubrik yang berisi

komponen-komponen suatu performansi ideal, dan deskriptor dari setiap komponen

tersebut. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1) holistic scoring, yaitu pemberian skor

berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap kualitas performansi; (2) analytic

scoring, yaitu pemberian skor terhadap aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu

performansi; dan (3) primary traits scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa

unsur dominan dari suatu performansi.

b. Evaluasi Diri

Menurut Rolheiser dan Ross (2005) evaluasi diri adalah suatu cara untuk melihat

kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun

kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement

goal). Dengan demikian, peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses dan

pencapaian tujuan belajarnya.

Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan evaluasi diri

merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu

pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan peserta didik tersebut memang

merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya.

Rolheiser dan Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan

kontribusi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa,

ketika mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk menetapkan

tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, peserta didik harus melakukan usaha yang

lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi

(achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada penilaian terhadap diri (self-

judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’?

Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’

Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction dapat terpadu untuk

membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan

bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment dan

self-reaction dalam model di atas. Model tersebut digambarkan dalam bagan berikut.

Page 15: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

15

Evaluasi diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses

belajar. Oleh karena itu, agar evaluasi dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross

menyarankan agar peserta didik dilatih untuk melakukannya. Kedua peneliti mengajukan

empat langkah dalam berlatih melakukan evaluasi diri, yaitu: (1) libatkan semua

komponen dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua peserta didik tahu

bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya, (3) berikan

umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan mereka

untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya.

Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Pengajar mengajak

peserta didik bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan dalam bentuk

sosialisasi tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat tepat dilakukan. Kriteria ini

dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian

adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan

menggunakan ceklis evaluasi diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan

mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis evaluasi diri

dikembangkan berdasarkan hakikat tujuan tersebut dan bagaimana mencapainya.

(1)

Goals (2)

Effort

(3)

Achievement

Self-se S Self-evaluation

Self-evaluation

elf-evaluation

Self-evaluation

seseevaluation

(4)

Self-judgment

(5)

Self-reaction

(6)

Self-confidence

Page 16: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

16

c. Esai

(Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan

mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti peserta didik tidak memilih jawaban, akan

tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas.

Tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka

(extended-response) dan jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung

pada kebebasan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengorganisasikan atau

menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka

atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1)

menyebutkan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ide-

idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai

jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan ruang

lingkup jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus

diberikan oleh peserta didik. Esai terbuka/tak terstruktur merupakan bentuk asesmen

otentik.

Tes esai memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih

tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ide, dan peserta didik harus

mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya dalam bentuk yang tersusun

atau terorganisasi. Kelemahan esai adalah berkaitan dengan penskoran.

Ketidakkonsistenan pembaca merupakan penyebab kurang objektifnya dalam memberikan

skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui

penggunaan rubrik penilaian, dan penilai ganda (inter-rater).

d. Asesmen Portofolio

Portofolio adalah sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data) sebagai bukti

(evidence) yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan

portofolio dalam kegiatan evaluasi sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama dalam

pendidikan bahasa. Belakangan ini, dengan adanya orientasi kurikulum yang berbasis

kompetensi, asesmen portofolio menjadi primadona dalam asesmen berbasis kelas.

Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (biasanya ditaruh dalam folder) bukan

semata-mata kumpulan bukti yang tidak bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan

Page 17: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

17

tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah

portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase

portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sesuai dengan langkah-langkah

kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan mengenai kapan suatu

artefak dihasilkan menjadi sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut dapat

dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik

diseleksi sendiri oleh pemilik portofolio dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat

lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan

pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu.

Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target

kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yang komprehensif

karena: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara bersama-sama,

(2) berorientasi baik pada proses maupun produk belajar, dan (3) dapat memfasilitasi

kepentingan dan kemajuan peserta didik secara individual. Dengan demikian, asesmen

portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat tepat untuk menjawab

tantangan KBK.

Asesmen portofolio mengandung tiga elemen pokok yaitu: (1) sampel karya

peserta didik, (2) evaluasi diri, dan (3) kriteria penilaian yang jelas dan terbuka.

(1) Karya

Karya peserta didik menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu.

Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem

matematika, maupun eksperimen. Isi dari sampel tersebut disusun secara sistematis

tergantung pada tujuan pembelajaran, preferensi pengajar, maupun preferensi peserta

didik. Asesmen portoflolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena itu proses dan hasil

sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yang berarti proses

mendapatkan porsi penilaian yang besar (bandingkan dengan asesmen konvensional yang

hanya menilai hasil belajar) tetapi kualitas hasil sangat penting. Dan memang, penilaian

proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan peserta didik

mencapai produk yang sebaik-baiknya.

Isi folder adalah berbagai produk yang dihasilkan oleh peserta didik, baik yang

berupa bahan/draf maupun karya (terbaik), dan disebut entri (entry). Sumber informasi

dapat diperoleh dari tes maupun non-tes (dengan tes objektif diupayakan minimal). Bahan

non-tes antara lain karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yang dapat

Page 18: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

18

menunjukkan perkembangan peserta didik sebagai peserta didik. Catatan dan bahan

evaluasi-diri juga merupakan bagian dalam folder.

(2) Evaluasi Diri dalam Asesmen Portofolio

O’Malley dan Valdez Pierce (1994) bahkan mengatakan bahwa ‘self-assessment is

the key to portfolio’. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri peserta didik dapat

membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya

apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat

melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi

tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian peserta didik lebih

bertanggungjawab terhadap proses belajarnya dan pencapaian tujuan belajarnya.

Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama dengan evaluasi diri yang

dibahas dalam bagian b. di atas. Memang, asesmen portofolio adalah asesmen otentik yang

paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis

asesmen yang lain seperti asesmen kinerja dan esai (lihat lampiran: contoh implementasi

asesmen portofolio).

(3) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka

Bila pada jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘rahasia’

pengajar atau pun tester, dalam asesmen portofolio justru harus disosialisasikan kepada

peserta didik secara jelas. Kriteria tersebut dalam hal ini mencakup prosedur dan standar

penilaian. Para ahli menganjurkan bahwa sistem dan standar asesmen tersebut ditetapkan

bersama-sama dengan peserta didik, atau paling tidak diumumkan secara jelas. Rubrik

penilaian yang digunakan pengajar untuk menilai kinerja peserta didik.

6. Masalah Subjektivitas Penilaian

Isu subjektivitas terutama dalam penilaian pembelajaran yang bersifat terbuka dan

berpusat pada peserta didik seperti CTL yang menggunakan asesmen otentik seringkali

menjadi perdebatan. Ada pihak yang mengatakan bahwa hasil penilaian terhadap tugas,

projek, portofolio, dan sebagainya, rentan dari segi validitas dan reliabilitas penilaian.

Bagaimana mungkin, menurut pendapat ini, membandingkan dua peserta didik dari

portofolio masing-masing, sementara portofolio mereka berisi hal-hal yang berbeda.

Page 19: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

19

CTL adalah upaya untuk meningkatkan kinerja dan pemberdayaan peserta didik.

Untuk tujuan ini, sangatlah sulit bila dilakukan dengan menggunakan tes-tes objektif

(yang sama untuk semua peserta didik). Dan, perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah

untuk membandingkan satu peserta didik dengan yang lainnya, melainkan bertujuan untuk

menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, dengan kata lain, seorang peserta didik yang

berhasil bukanlah karena dia mampu ‘mengalahkan’ saingan-saingannya, melainkan

karena dia memiliki kompetensi yang tinggi dan dapat diandalkannya untuk menyongsong

masa depannya.

Namun demikian, subjektivitas dalam diri penilai sendiri tidak dapat dihindarkan

dalam asesmen non-tes. Suatu contoh, seorang guru yang terlalu banyak mengoreksi

karangan cepat merasa lelah sehingga tidak cermat lagi dalam membaca tulisan peserta

didik, akibatnya, tidak terjadi konsistensi penilaian. Hal-hal lain seperti impresi awal dapat

pula menyebabkan penilaian tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi

peserta didik.

Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi subjektivitas penilaian.

Pertama, penilaian inter-rater, yaitu lebih dari satu orang memberikan penilaian terhadap

naskah yang sama. Kedua, adalah dengan menetapkan benchmark, yaitu sampel kinerja

yang berfungsi sebagai standar yang dipakai untuk menilai sampel kinerja lainnya

7. Penutup

Pembelajaran dan asesmen berbasis kompetensi sudah menjadi keharusan bagi kita

untuk melakukannya mengingat kelebihan-kelebihan yang dimiliki, yang jauh

meninggalkan pembelajaran tradisional yang lebih berpusat pada guru. Untuk itu,

kesediaan untuk mencoba sambil melakukan inovasi terhadap praktik pembelajaran yang

kita lakukan perlu terus dipupuk. Sekalian kita berbicara evaluasi diri, mari kita mulai

mencoba mengevaluasi praktik pembelajaran yang kita anut selama ini, melihat kelebihan

dan kekurangannya; dan daripadanya kita melakukan perbaikan-perbaikan. Semoga

makalah singkat ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu meningkatkan

kualitas pembelajaran yang kita lakukan, dalam rangka ikut mendukung upaya-upaya

peningkatkan kualitas pendidikan kita.

Page 20: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

20

REFERENSI

Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill

Companies Inc.

Bond, L. P. (2005). Using Contextual Instruction to Make Abstract Learning Concrete.

Copyright 2005. Association for Career and Technical Education, printed on 15th

July 2005.

Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences:

Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December

2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy.

Printed on 15th

July 2005.

Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing.

Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005).

Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di

Perguruan Tinggi. Jakarta.

Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning.

Boston: Mc.Graw Hill.

Marhaeni, A.A.I.N. (2005). Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi

terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi tak dipublikasikan),

Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Marhaeni, A. A. I. N. (2006). Menggunakan Pembelajaran Kontekstual di SMP. Makalah

disampaikan dalam workshop tentang pembelajaran di SMP Negeri 1 Negara,

tanggal 31 Juli 2006. Nitko, A.J. (1996). Educational Assessment of Students. 2nd

Edition. New Jersey: Merrill.

O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language

Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Paris, S. G. & Winograd, P. (2005). The Role of Self-Regulated Learning in Contextual

Teaching: Principles and Practices for Teacher Preparation (artikel

download).

Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th

Edition. Boston: Houghton Mifflin

Company.

Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What

Practice Shows. Internet download.

Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s

Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.

Page 21: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

21

Tentang Pembicara:

Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah dosen pada Jurusan

Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja sejak tahun 1990. Lulus S1 bidang

Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan

Dasar dengan spesialisasi Pengajaran Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika

Serikat tahun 1996; dan S3 bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas

Negeri Jakarta tahun 2005. Mengajar pada Program D2 PGSD, S1 Pendidikan Bahasa

Inggris, dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja. Meneliti dan

menulis artikel ilmiah bidang pendidikan, serta menjadi pembicara dalam seminar dan

workshop bidang Pembelajaran, Metodologi Penelitian, dan Evaluasi Pendidikan.

Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Blok C No. 3 Desa Kerobokan, Singaraja

81171; Tlp. 0362-7000162, Hp. 0817567427.

Page 22: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

22

Skenario Perkuliahan

Pembelajaran berbasis pemecahan masalah dengan asesmen portofolio

A. Topik:

Bagaimanakah ekonomi Indonesia dapat survived tanpa IMF?

B. Kompetensi Dasar : memiliki analisis yang baik tentang pengaruh lembaga keuangan

internasional seperti IMF terhadap ekonomi Indonesia

C. Indikator:

1. dapat merumuskan peran IMF dalam ekonomi dunia.

2. dapat merumuskan peran IMF dalam ekonomi Indonesia selama 3 dekade terakhir

3. dapat merumuskan suatu strategi ekonomi yang tepat dimana Indonesia dapat

tumbuh tanpa harus tergantung pada pinjaman.

D. Materi:

Bacaan wajib:

(referensi dari guru)

Bahan dan bacaan pendukung:

Seperti download internet, dokumen, rekaman berita, dan lain-lain

E. Strategi Pembelajaran dan asesmen: PBL dan portofolio

1. Sintaks PBL

2. Asesmen Portofolio

a. Topic-based portfolio

b. Folder Contents: 3 esai (sesuai dengan indicator), draf terseleksi, materi dan

bahan yang digunakan, evaluasi diri, refleksi (cover letter)

F. Langkah-langkah Pembelajaran

Persiapan

1. merancang kompetensi dasar dan indikator kompetensi

2. merancang langkah-langkah umum pemecahan masalah

Page 23: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

23

3. merancang cara pelaksanaan asesmen portofolio

4. merancang isi folder dan kriteria penilaian

5. merancang instrumen evaluasi diri

Pelaksanaan:

Pertemuan I:

a. Guru menyampaikan topik pembelajaran dan rancangan 1-5 kepada peserta

didik dan mendiskusikannya dengan peserta didik

b. Guru-peserta didik menyepakati 1-5 (berdasarkan hasil diskusi)

c. Guru memberi wawasan umum tentang topic (bila perlu)

d. Peserta didik berbagi kelompok

Pertemuan II

Work in progress: group work, self-evaluation in group, teacher-student conferences,

portfolio development (catatan: banyak hal-hal yang harus disiapkan dan dilakukan

peserta didik diluar sesi perkuliahan untuk kegiatan ini. Disinilah antara lain terlihat

nuansa SCL secara jelas).

Pertemuan III

Portfolio presentation (dalam bentuk seminar, workshop, atau pameran)

Monitoring dan Evaluasi

a. Portfolio presentation ( kualitas presentasi/4, kemampuan menjawab

pertanyaan/4, etika presentasi/2)

b. Portfolio folder (kelengkapan isi folder/2, relevansi data/2, ketajaman

analisis terhadap masalah/4, evaluasi diri dan refleksi/2)

Page 24: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

24

Rubrik Penilaian

Portfolio Presentation

No. Dimensi Deskriptor Skor

(1-10)

Bobot SxB

1. Kualitas presentasi Paparan sistematis,

dukungan visual

tepat, bahasa baik

4

2. Kemampuan menjawab

pertanyaan

Menjawab

pertanyaan, isi

jawaban tepat dan

lugas

4

3. Etika presentasi Tegas dan luwes,

mengikuti tatatertib,

mengikuti tatakrama

kegiatan ilmiah

2

Ceklis Evaluasi Diri

Presentation Checklist

No. Dimensi Deskriptor Cek

1. Kualitas presentasi paparan sistematis

dukungan visual tepat

bahasa baik

2. Kemampuan menjawab

pertanyaan

menjawab pertanyaan

isi jawaban tepat dan lugas

3. Etika presentasi tegas dan luwes

mengikuti tatatertib

mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah

Page 25: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

25

Rubrik Penilaian

Portfolio Folder Assessment

No. Dimensi Deskriptor Skor Bobot SxB

1. Kelengkapan entri Cover letter, table of

contents, final works,

draf dan bahan, self-

evaluation

2

2. Relevansi data menunjang

penyelesaian tugas,

isi komprehensif,

volume memadai

2

3. Ketajaman analisis latar belakang logis,

fokus masalah jelas,

dukungan teori dan

fakta tepat, solusi

tajam dan

komprehensif

4

4. Evaluasi diri dan Refleksi Kualitas dan

kuantitas self-

evaluation, kualitas

isi cover letter

2

Ceklis Evaluasi Diri

Portfolio Folder Checklist

No. Dimensi Deskriptor Cek

1. Kelengkapan entri Cover letter

table of contents

final works

Draf dan bahan

self-evaluation

Page 26: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

26

2. Relevansi data menunjang penyelesaian tugas

isi komprehensif

volume memadai

3. Ketajaman analisis latar belakang logis

fokus masalah jelas

dukungan teori dan fakta tepat

solusi tajam dan komprehensif

4. Evaluasi diri dan Refleksi kualitas self-evaluation

kuantitas self-evaluation

kualitas isi cover letter

TUGAS LOKAKARYA

Dengan menggunakan contoh di atas sebagai pegangan dan inspirasi, masing-

masing peserta diminta membuat satu skenario pembelajaran yang berpusat pada

peserta didik, untuk suatu topik atau pokok bahasan dalam salahsatu matakuliah yang

diampu. Skenario tersebut akan dipresentasikan untuk mendapat umpan balik.

Page 27: pembelajaran inovatif dan asesmen otentik dalam rangka

27

Referensi

Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill

Companies Inc.

Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences:

Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000.

Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy. Printed on

15th

July 2005.

Direktorat Pembinaan Akademik dan Kepeserta didikan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005).

Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di

Perguruan Tinggi. Jakarta.

Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning.

Boston: Mc.Graw Hill.

Moore, K. D. (2005). Effective Instructional Strategies From Theory to Practice.

California: Sage Publications Inc.

Tentang Pembicara:

Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah guru pada S1 Jurusan

Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program

Pascasarjana Undiksha Singaraja. Lulus S1 bidang Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP

UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan Dasar dengan spesialisasi Pengajaran

Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika Serikat tahun 1996; dan S3 bidang

Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta tahun 2005. Selain

mengajar, juga meneliti dan menulis naskah dan artikel ilmiah bidang pendidikan, serta

menjadi narasumber dalam seminar dan workshop bidang pembelajaran, metodologi

penelitian, dan evaluasi pendidikan. Anggota tim kurikulum PGSD Ditjen Dikti (1997-

1998), penatar PTK Proyek PGSM Ditjen Dikti (1998-2001). Anggota tim Standar

Penilaian pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2005). Konsultan Penelitian

Guru di Jembrana, Ditjen PMPTK Dikti (2005). Reviewer penelitian dan hibah kompetisi

Undiksha (2004-sekarang). Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Desa Kerobokan,

Kabupaten Buleleng. Tlp. 0362-7000162; Hp. 0817567427.