pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin...
TRANSCRIPT
i
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA
IZIN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyarat
Memperolehi Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
AHMAD KHAIRUL UMAM
NIM. 1110043100016
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
v
ABSTRAK
Penulis Skripsi Ahmad Khairul Umam (1110043100016), dengan judul
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA IZIN
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Putusan
Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks). Program Studi Perbandingan Madzhab
dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah (UIN) Jakarta 1438 H/2017 M.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari
proses penyelesaian perkara terhadap pembatalan perkawinan karena tidak
adanya izin poligami dalam perspektif hukum Islam serta mempelajari dan
menganalisis pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan sesuai
dengan putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks.
Penelitian dilaksanakan di Instansi Pengadilan Agama Makassar. Selain
itu, penulis juga melakukan penelitian menggunakan teknik pengumpulan data
berupa penelitian pustaka, penelitian lapangan dengan melakukan wawancara
langsung terhadap narasumber dari instansi terkait dan dengan pihak yang dapat
memberikan informasi dalam penelitian ini.
Berdasarkan analisa, maka penulis menyimpulkan beberapa hal, antara
lain: Izin poligami pada hakekatnya merupakan izin seorang laki-laki kepada
hakim. Bukan izin kepada istri, karena dalam nash syariat tidak ada, serta pada
dasarnya poligami hukumnya mubah. Batalnya suatu pembatalan perkawinan
hanya bisa diputuskan oleh hakim. Dalam proses pembatalan perkawinan bila
didapati salah satu syarat atau rukun sahnya pernikahan tidak terpenuhi hal
demikian batal demi hukum. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks tentang pembatalan perkawinan sudah sesuai
dengan ajaran agama Islam, dimana perkara ini unsur-unsur yang menjadi pokok
permasalahan terletak pada tidak terpenuhinya syarat dan rukun sahnya suatu
perkawinan.
Kata Kunci : Pembatalan Perkawinan, Izin Poligami, Putusan Pengadilan
Pembimbing : 1. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA
2. Dr. Afidah Wahyuni, M. Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1961 s.d Tahun 2012
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
yang berjudul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK
ADANYA IZIN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks)” ini. Al-hamdulillah telah
selsai ditulis untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat memperoleh gelar
sarjana Strata Satu (S1) dalam Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(UIN) Jakarta.
Shalawat serta salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para umatnya yang setia terhadap
ajarannya sampai akhir zaman. Amin.
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menyadari bahwa tersusunnya
skripsi ini tidak lepas dari ridha dan limpahan rahmatn-Nya, serta bimbingan dan
bantuan dan juga dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan kerendahan hati
penyusun mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum
vii
3. Ibu Siti Hana Lc, MA Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan
Hukum
4. Bapak Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, serta Ibu Dr. Afidah
Wahyuni, M.Ag, dosen pembimbing skripsi ini yang telah meluangkan
waktu, memberikan masukan dan ilmunya selama penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah membantu penulis selama menjalani perkuliahan.
6. Bapak, Ibu dan Ketua serta Jajaran Pengadilan Agama Makassar yang
telah meluangkan waktu dan memberikan kemudahan pada peneliti
dalam penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang
tua penulis yang tercinta, Ayahanda Bapak Jubaedi Ahyani dan Ibunda
Marwiyah yang selalu memberikan do’a dan memberikan kasih
sayangnya pada penulis, sehingga penulis menjadi semangat untuk
mencoba memberikan yang terbaik untuk mereka.
8. Dan juga untuk my sister (Ria Nahriatu Sifa, Yuyun Jahriyatul Uyun,
Novie Nur Kholisah, dan Iis Muizatul Hayat) yang selalu memberikan
yang terbaik untuk penulis.
9. Tak luput pula teman-teman kosan (Kang Tofik, Kang Mustar, Kang
Acang, Miftah, Burhan, dan Kholis) yang selalu mensuport penulis.
10. Dan tak lupa pula besar terimakasih khususnya untuk (Pangidona
Nasution, Encep Thurmudzi, Muhammad Aqid, Imam Mufakir,
viii
Muhtadin Khoirudin, Lusiana, dan Vika) atas kebersamaannya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Untuk seluruh kawanku khususnya anak-anak A Perbandingan Mazhab
Fikih angkatan 2010 yang telah banyak mengisi kehidupanku
dikampus yang akan menjadi bagian yang tidak akan terlupakan yang
lebih khususnya lagi buat orang-orang yang selalu memberikan
dukungan (Shalahudin Al-Faruqi, Januri, Nur Muhammad Maftuh,
Sigit Ilham Purwanto, Lia, Anis) trimakasih kawan. Serta kawan-
kawan yang saya tidak bias sebutkan satu persatu atas do’a dan
semangat yang diberikan kepadaku. Banyak kebahagian yang didapat
bersama kawan-kawan yang akan menjadi cerita yang menyenangkan
untuk masa depan nanti. Tidak ada yang bias penulis lakukan untuk
membalas budi baik kawan-kawan selain do’a, semoga Allah SWT
memberikan balasan kebaikan untuk kalian semua. Amin.
Akhirnya atas jasa dan batuan semua pihak baik berupa moril maupun
materil, penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT, membalasnya berkali-kali
lipat. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Jakarta, 31 Juli 2017
(Ahmad Khairul Umam)
ix
DAFTAR ISI
COVER DEPAN ............................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJIAN ................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BABA I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 8
1. Pembatsan Masalah ..................................................... 8
2. Perumusan Masalah ..................................................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 9
1. Tujuan Penelitian ......................................................... 9
2. Manfaat Penelitian ....................................................... 10
E. Review Studi Terdahulu .................................................... 10
F. Kerangka Teoritis .............................................................. 13
G. Kerangka Konseptual ........................................................ 15
x
H. Metode Penelitian .............................................................. 16
1. Metode Penelitian ........................................................ 16
2. Jenis dan Sumber Data ................................................ 17
3. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 17
4. Metode Analisis ........................................................... 18
5. Teknik Analisis dan Interpretasi Data ......................... 18
6. Teknik Penulisan Skripsi ............................................. 19
I. Sistematika Penulisan ........................................................ 19
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Perkawinan ........................................................................ 21
1. Pengertian Perkawinan ................................................ 21
2. Dasar Hukum Perkawinan ........................................... 23
a. Dalil Al-Qur’an ..................................................... 23
b. Dalil As-Sunnah .................................................... 24
3. Rukun dan Syarat Perkawinan .................................... 25
4. Tujuan Perkawinan ...................................................... 31
B. Poligami ............................................................................. 33
1. Pengertian Poligami .................................................... 33
2. Dasar Hukum Poligami ............................................... 36
a. Dasar Hukum Poligami dalam Islam.................... 36
b. Dasar Hukum Poligami dalam Undang-Undang di
Indonesia .............................................................. 38
3. Syarat Poligami ........................................................... 39
xi
C. Izin Nikah dan Izin Poligami ............................................. 43
1. Izin Nikah .................................................................... 43
2. Izin Poligami ............................................................... 44
D. Pembatalan Perkawinan dan Sebab Akibat Terjadinya
Pembatalan Perkawinan .................................................... 45
BAB III PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA
IZIN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
NOMOR 461/Pdt.G/2016/PA Mks
A. Profil Pengadilan Agama Makassar .................................. 51
B. Gambaran Umum Perkara Pembatalan Perkawinan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks ................................................... 55
C. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hukum Terhadap Pembatalan
Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks ................................................... 56
1. Duduk Perkara ............................................................. 56
2. Pertimbangan Hukum .................................................. 57
D. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Putusan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks ................................................... 62
xii
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP DASAR DAN
PERTIMBANGAN PADA PUTUSAN NOMOR
461/Pdt.G/2016/PA Mks
A. Analisis Hukum Islam Melihat Kedudukan Izin Poligami di
Hukum Perkawinan Indonesia ........................................... 63
B. Proses Penyelesaian Perkara Pembatalan Perkawinan Putusan
Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks ....................................... 68
C. Analisis Hukum Islam Terhadap Dasar dan Pertimbangan
Hakim Pada Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks..... 70
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 74
B. Saran .................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuhan menciptakan segala makhluk yang ada dimuka bumi ini
dengan berpasang-pasangan. Manusia sebagai salah satu dari makhluk
ciptaan-Nya diperintahkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi,
pemimpin di antara sesama. Namun, dalam hakikatnya manusia akan
mengalami fase dimana dia akan meninggalkan dunia. Maka tuhan (Allah)
memerintahkan kepada manusia untuk melakukan pernikahan dan
perkawinan yang mana tujuannya adalah sebagai bentuk dari menyambung
dan meneruskan cita-cita generasi sebelumnya.1
Perkawinan adalah suatu perjanjian suci, luas dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara laki-laki dengan perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun menyantun, kasih mengasihi, tentram dan
bahagia.2
Menurut hukum perdata, perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama.3
1 Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta: Jamunu, 1969), Cet. Ke-1,
h. 40
2 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.
2
3 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1982), h. 23
2
Tujuan perkawinan dalam Islam yaitu:
1. Supaya umat manusia hidup dalam masyarakat yang teratur dan
tentram, baik lahir maupu batin.
2. Supaya kehidupan dalam suatu rumah tangga teratur dan tertib,
menuju kerukunan anak-anak shaleh yang berjasa dan berguna
kepada kedua orang tua, agama, masyarakat, bangsa dan negara.
3. Supaya terjalin hubungan yang harmonis antara suami dan istri,
hubungan keluarga, sehingga akan terbentuk ukhuwah yang
mendalam yang diridhoi Allah SWT.
Adapun tujuan perkawinan berdasarkan Undang-undang No. 1
tahun 1974 adalah membentuk keluarga (rumag tangga) yang bahagia dan
kekal (mendapatkan keturunan) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan dalam aspek kerohanian, yaitu ketenangan hati
yang dapat menumbuhkan ikatan rasa Mawaddah dan Rahmah (cinta dan
kasih sayang) diantara para anggota keluarga.4
Manusia sebagai makhluk yang berakal, perkawinan merupakan
salah satu budaya beraturan yang mengikuti perkembangan budaya
manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku di dalamnya, tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu
berada serta pengetahuan, pengalaman dan kepercayaan yang dianut
4 Ahmad Azhar Basyri, Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1994), h. 11
3
masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa
Indonesia, bukan saja dipengaruhi adat dan budaya masyarakat setempat
tetapi juga dipengaruhi ajaran agama. Sebagai contoh, masyarakat
Minangkabau dengan tata tertib perkawinannya yang bersendikan ke-
Ibuan, lalu masyarakat Batak yang tata tertib perkawinannya bersendikan
ke-Bapakan, dan masyarakat jawa yang tata tertib perkawinannya
bersendikan ke-Bapak-Ibuan yang di dalamnya memiliki suatu upacara
adata perkawinan yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Hukum perkawinan yang berlaku menurut Undang-undang
Perkawinan pertama-tama adalah Hukum masing-masing agama dan
kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Bagi orang Islam tidak ada
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri. Demikian
juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu Buddha seperti
yang dijumpai di Indonesia.5
Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, akan tetapi perjanjian
ini memiliki arti yang berbeda dengan perjanjian biasa yang diatur dalam
Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada perjanjian biasa,
para pihak yang berjanji bebas untuk memutuskan isi dan bentuk
perjanjian, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak dapat
5 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
(Jakarta: Tintamas, 1975), h. 5-6
4
memutuskan/menutukan isi dan bentuk perjanjian selain yang sudah
ditetapkan oleh hukum yang berlaku.6
Perbedaan lainnya adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa
dalam perjanjian biasa, ditetapkan oleh kedua belah pihak, semisal karena
telah tercapai apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu
yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus.
Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batas waktu, perkawinan harus
kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak. Barulah
perkawinan bisa diputuskan, misalnya dengan cerai talak, cerai gugat,
fasid nikah, fasakh nikah, atau pembatalan sebuah perkawinan.
Pemutusan pernikahan tidak sesederhana seperti pemutusan
perjanjian biasa, dimana telah ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjian,
seperti sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedur maupun akibat
pemutusannya. Hal ini tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan
hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai
karakter khusus, antara lain kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan)
yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-
hukumya.7
6 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
(Jakarta: Tintamas, 1975), h. 11 7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1982), h. 10
5
Penyelenggaraan perkawinan di beberapa daerah, komunitas
masyarakan berbeda-beda cara pelaksanaannya, ada kala dalam
pelaksanaannya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang
hendak menikah, bahkan dalam bentuk kasus, si laki-laki atau si
perempuan baru mengetahui dengan siapa dia hendak dinikahkan pada
saat perkawinan akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa
perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang
melangsungkan perkawinan. Tetapi bertentangan dengan kehendak pihak
lain, semisal dari pihak keluarga, baik itu keluarga laki-laki maupun
keluarga permpuan. Konsekuensi dari keadaan seperti itu menyebabkan
terjadinya dua faktor, yaitu: (1) Kebahagian dalam rumah tangga, (2)
Tidak adanya kebahagian dalam rumah tangga, serta faktor terbesar yang
tumbuh dalam masyarakat faktor nomor dua yang akhirnya dengan
terpaksa ikan pernikahan tersebut putus.
Adapun pembatalan perkawinan yang diputus batal oleh hakim
karena pihak yang bersangkutan tidak melengkapi syarat atau rukun sah
suatu pernikahan/perkawinan, dengan kata lain syarat tidak terpenuhi.
Sehingga dengan tidak terlengkapinya syarat atau sahnya suatu
perkawinan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum sesuai dengan
ketentuan yang ada.8
8 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih dan Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 26
6
Undang-undang mendapat pengaruh besar dari berbagai agama,
sebagaimana pada Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
ditegasakan bahwanya sahnya suatu perkawinan apabila dilaksanakan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari orang yang
melangsungkan perkawinan. Konsekuensi dari Pasal 2 Ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan ini, bagi orang yang melangsungkan pernikahan ada
dua aturan hukum yang sekaligus menjadi pedoman, yaitu Undang-undang
Perkawinan pada satu sisi dan Hukum Agama pada sisi lainnya.
Pada Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang
pembatalan perkawinan: “perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Persoalannya
adalah banyak orang melakukan poligami tanpa adanya izin poligami dari
Pengadilan Agama setempat. Perkawinan yang dilakukan karena tidak
adanya izin poligami, bukan hanya berakibat pernikahan dapat dibatalkan
oleh pihak tertentu, tetapi juga berakibat buruk pada hubungan silaturahmi
antar dua belahpihak baik itu penggugat maupun tergugat yang
melangsungkannya, serta berdampak kepada keluarga kedua belahpihak.
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
menjadi dasar hukum mengenai hal-hal yang menyangkut tentang
perkawinan. Perlunya ada pengawasan yang serius oleh pihak yang
berwenang mengenai syarat atau rukun sahnya suatu perkawinan agar
masyarakat dapat terhindar dari permasalahan yang menyangkut
7
pernikahan. Agar tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan dari suatu
perkawinan, khusus perkawinan poligami.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diketahui
permasalah mengenai perkawin sangatlah banyak mulai dari perceraian
antara suami dan isti yang dimana pikah salah satu diantaranya menggugat
cerai dan ada juga pembatalan pernikahan yang diajukan oleh keluarga,
baik itu pihak keluarga perempuan maupun pihak keluarga laki-laki. Yang
mana di dalamnya tidak menginginkan pernikahan diantara keduanya
berlanjut.
Permasalahan tersebut jika diidentifikasi sebagai masalah
pernikahan yang ada ditubuh masyarakat maka perlu di cari solusinya agar
menjadi pelajara bagi laki-laki atau wanita ketika hendak melangsungkan
pernikahan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan pernikahan
yang akan mengakibatkan terjadinya pembatalan pernikahan di kemudian
hari maka perlu dilakukan penelitian-penelitian. Kemudian dari hasil
penelitian tersebut bisa menjadi acuan dan pengambilan keputusan untuk
meningkatkan mutu pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam.
8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian skripsi ini tidak meluas dan dapat
menjaga agar tidak ada penyimpangan, maka penulis hanya membatasi
pembahasan ini sebagai berikut:
a. Pembatalan Perkawinan adalah pembatalan hubungan suami isteri
sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji
mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan
dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak
terpenuhi menurut pasal 22 undang-undang perkawinan. Namun,
bila rukun yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak
sah.9
b. Izin Poligami merupakan bentuk dari persyaratan pernikahan yang
dikeluarkan oleh pengadilan agama yang bentuknya menyatakan
seorang laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu orang.
c. Adapun data yang akan diteliti mengenai Pembatalan Perkawinan
tanpa adanya izin poligami adalah Putusan Nomor 461/Pdt.G/
2016/PA Mks, yang keluar pada tahun 2016, tempat Pengadilan
Agama Makassar.
9 Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 37
9
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar berlakang tersebut, dan agar penelitian yang
dilakukan lebih terarah dan spesifik maka penulis merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana hukum Islam melihat kedudukan izin poligami
perkawinan?
2) Bagaimana proses penyelesaian perkara pembatalan perkawinan
tidak adanya izin poligami?
3) Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam perkara
pembatalan perkawinan sesuai dengan putusan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan merujuk pada pembahasan di atas maka hasil penelitian
bertujuan sebagai berikut:
a. Menjelaskan perspektif Hukum Islam melihat kedudukan izin
poligami terhadap laki-laki yang akan melakukan perkawinan.
b. Untuk mengetahui dan mempelajari proses penyelesaian perkara
terhadap pembatalan perkawinan karena tidak ada izin poligami.
c. Mengidentifikasi alasan hakim dalam mengambil keputusan
pembatalan pernikahan.
10
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang bisa diambil dan ditimbulkan dari penelitian
ini adalah:
a. Untuk menambah wawasan tingkat pemahaman dan pengetahuan
bagi penulis sendiri khususnya, dan bagi para praktisi maupun
akademisi pada umumnya dalam memahami arti pentingnya izin
poligami dalam melakukan perkawinan di dalam hukum Islam.
b. Sebagai khazanah ilmu pengetahuan untuk menambah refrensi
terkait dengan izin poligami dalam pernikahan.
c. Menjadi masukan dan saran bagi para praktisi, akademisi dalam
penelitian selanjutnya, sehingga bias menjadi perbandingan bagi
peneliti yang lain.
E. Review Studi Terdahulu
Untuk menemukan pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis
menelaah litelatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis
kemukakan dalam penulisan skripsi, antara lain:
1. Muhamad Muslih (107044100491) “Pemalsuan Identitas Sebagai
Penyebab Pembatalan Perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama
Jakarta Timur Perkara Nomor: 1852/Pdt.G 2009/PAJT)”, Konsentrasi
Peradilan Agama, Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
11
Dalam penelitian ini dibahas tentang pemalsuan identitas yang
mengakibatkan istrinya tidak menerima tunjangan gaji dari pemerintah
sehingga istrinya meminta pernikahan kedua dan akad nikah keduanya
diajukan agar mendapatkan gaji. Adapun penghulu yang membuat
akad nikah kedua mengajukan pembatalan pernikahan kepada majlis
hakim karena dia terancam hukuman pidana. Majlis hakim mengambil
ijtihad, membatalkan pernikahan kedua dan akad nikah kedua menjadi
tidak berkekuatan hukum, karena tidak boleh ada dua pernikahan dan
dua akad nikah bagi sepasang suami isteri.
2. Prihati Yuniarlin “Perlindungan Hakim Terhadap Hak-Hak Isteri
dalam Hal Suami Berpoligami di Kota Yogyakarta”, Fakultas Hukum,
Universitas Muhammadiah Yogyakarta.
Dalam jurnal ini, Hakim Pengadilan Agama selaku narasumber: (1)
Upaya-upaya yang dilakukan hakim untuk melindungi hak isteri dalam
hal suaminya akan berpoligami, yaitu: a. Hakim memanggil isteri
maupun calon isteri untuk dimintai pernyataan tentang kesediannya
untuk dimadu dan memberikan penjelasan mengenai resiko suami
berpoligami, selanjutnya pernyataan tesebut dituangkan dalam bentuk
tertulis; b. Hakim akan meminta saudara kandung isteri yang akan
dimadu agar hadir dalam persidangan untuk memberikan keterangan
dalam hal isteri sakit ingatan dan tidak dapat hadir dalam persidangan;
c. Hakim meminta suami membuat pernyataan secara tertulis yang
isinya menyatakan kesediaan akan berlaku adil dan mampu menjamin
12
kehidupan isteri-isterinya dan anak-anaknya. (2) Upaya isteri untuk
mempertahankan hak-hak yang tidak terpenuhi oleh suami yang
berpoligami adalah isteri dapat megajukan tuntutan hak ke pengadilan
agama jika para pihak beragama Islam, dan ke pengadilan negeri jika
para pihak non muslim.
3. Hendra Perwira (1120115049) “Permohonan Izin Perkawinan
Poligami di Pengadilan Agama Kota Padang” Program Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2014
Dalam hal ini, mengenai Izin Poligama bagi seseorang harus sesuai
dengan Pasal 4 Ayat 1, yang menyatakan bahwa seorang suami yang
akan memiliki isteri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan poligami kepada Pengadilan Agama setempat. Adapun
Pegawai Negeri Sipil tercantum dalam Peraturan Pemerintahan No. 10
Tahun 1983 tentang izin pernikahan dan perceraian. Bagi pegawai
Negeri Sipil pada Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Izin
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, apabila seorang
Pegawai Negeri Sipil Pria akan beristeri lebih dari seorang, maka
wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari pejabat (pimpinan/atasan
dari Pegawai Negeri Tersebut) yang berwenang. Setelah itu Pegawai
Negeri Sipil harus mengajukan permohonan izin poligami secara
tertulis kepada Pengadilan. Di dalamnya harus disertai bukti-bukti dan
alasan-alasan yang mendasari permintaan izin poligami, serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan Undang-undang yang
13
berlaku. Pelaksanaan perkawinan Poligami setelah mendapatkan izin
Poligami dari Pengadilan Agama Kota Padang dari putusan Nomor
02XX/Pdt.G/2013/PA. Pdg berjalan dengan baik. Dikarenakan ketika
pelaku poligami menikah untuk kedua kalinya berdasarkan atas
persetujuan isteri yang pertama.
F. Kerangka Teoritis
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum dapat berjalan
efektif apabila komponen-komponen penting di dalamnya berjalan sesuai
dengan yang seharusnya. Komponen-komponen tersebut terdiri dari tiga,
yaitu:10
1. Struktur Hukum (Structur of Law)
Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem
Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8
Tahun1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).
2. Substansi Hukum (Substance of Law)
Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem
substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang
10
https://www.scribd.com/doc/132230281/Teori-Sistem-Hukum-Friedman diakses pada
tanggal 29 Juli 2017
14
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga
mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang
ada dalam kitab undang-undang (law books).
3. Budaya Hukum
Budaya hukum menurut Lawrence M. Friedman (2001:8) adalah sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalah gunakan. Budaya hukum erat
kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi
kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang
baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum
selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
15
G. Kerangka Konseptual
Gambar 1. Kerangka Konseptual
PERKAWINAN -Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
-INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Rukun dan Syarat-
syarat Perkawinan
Terpenuhi
Perkawinan Sah
Rukun dan Syarat-Syarat
Perkawinan Tidak Terpenuhi
Perkawinan Tidak Sah
Dapat Dibatalkan (Poligami
Tanpa Izin Pengadilan)
Batal Demi Hukum
Akibat Hukum Pembatalan
Perkawinan
Suami Isteri, Anak Hasil
Perkawinan, Harta Bersama, Pihak
Ketiga
16
H. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, penulis
menggunakan metode Deskiriptif Analysis yang digunakan dalam
pendekatan Kualitatif. Deskiriptif Analysis adalah metode yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan.
Sedangkan yang dimaksud pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian
yang menghasilkan data dalam bentuk kata-kata tertulis dan lisan dari
orang atau prilaku yang diamati.11
Adapun jenis penelitian yang
digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:
a. Studi Lapangan (Field Research) untuk memperoleh informasi
yang akurat dan objektif dari tempat penelitian baik dengan
obserfasi langsung maupun dengan menggunakan data-data dalam
bentuk resmi dari lembaga.
b. Studi Pustaka (Library Research) yaitu metode pengumpulan data
yang digunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara,
pengamatan (observasi) dan kuesioner.12
11
Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000), Cet. K3-11, h. 3 12
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), Cet. Ke-6, h. 113
17
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan, antara lain:
a. Data primer, yaitu Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks,
tentang pembatalan pernikahan dan wawancara dengan ketua
majelis serta hakim anggota.
b. Data sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer.13
Dengan jalan mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Studi kepustakaan, yakni dilakukan dengan cara mengumpulkan
data-data berdasarkan data dilapangan yang didapat dari putusan
Pengadilan Agama Makasar.
b. Wawancara yaitu percakapan langsung dan tatap muka (face to
face) dengan maksud tertentu.14
Percakapan ini dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang memberikan
pertanyaan dan yang diwawancara (interviewee) yang memberikan
pernyataan atas jawaban pertanyaan itu.15
Dalam hal ini penulis
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peran dan Penggunan Perpustakaan Di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986), h.
35 14
Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1985), h. 129
18
melakukan wawancara secara terstruktur dengan memberikan
daftar pertanyaan yang telah ditentukan dengan menggunakan
pedoman wawancara.
c. Studi Dokumentasi yakni, metode pengumpulan data kualitatif
dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat
oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek yang diteliti.
4. Metode Analisa
Metode analisa dalam penelitian ini penulis menganalisis data
menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode analisis data dimana
penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.
Sehingga didapatkan suatu kesimpulan objektif, logis, konsisten, dan
sistematis sesuai dengan tujuan dilakukan penulis dalam penelitian ini.16
5. Teknik Analisis
Analisi data adalah proses pencarian data secara sistematis yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain
sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain.17
Dalam menganalisis data, penulis menguraikan
dengan deskriptif kualitatif, ialah suatu teknik analisa data dimana data
15
Imam Prayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2003), h. 129
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2007), Cet. Ke-3, h. 224 17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 88
19
yang diperoleh kemudian diuraikan dan selanjutnya dianalisa dengan
berpedoman dalam bentuk kalimat-kalimat.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang
diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2017.
I. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN, dalam bab ini menjelaskan seputar latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, review studi
terdahulu, kerangka teoritis, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS, dalam bab ini penulis akan
memuat tentang tinjauan teoritis yang di dalamnya terdiri
dari: Pengertian Perkawinan, Pengertian Poligami, Izin
Kawin dan Izin Poligami, Pembatalan Perkawinan dan
sebab akibat terjadinya pembatalan perkawinan.
20
BAB III PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK
ADANYA IZIN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM, dalam bab ini penulis akan
mendeskripsikan Profil Pengadilan Agama Makassar,
gambaran umum Putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks,
Dasar Hukum dan Pertimbangan hakim dalam pengambilan
putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA.Mks, tentang pembatalan
pernikahan tanpa adanya izin poligami serta Akibat
Hukumnya.
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP DASAR DAN
PERTIMBANGAN PADA PUTUSAN NOMOR
461/Pdt.G/2016/PA Mks, dalam bab ini penulis
menjelaskan mengenai Analisis putusan hakim tentang
perkara Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks, mengenai
Pembatalan Perkawinan karena tidak adanya izin poligami
serta pandangan hukum Islam di dalamnya.
BAB V PENUTUP, dalam bab terakhir ini memuat kesimpulan dan
saran.
21
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-
tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT., sebagai
jalan makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.2
Nikah, menurut bahasa: al-jam‟u dan al-dhamu yang artinya
kumpul. Makna nikah (Zawaj) bias diartikan dengan aqdu al-tazwij yang
artinya akad nikah. Juga bias diartikan (wath‟u al-zaujah) yang bermakna
menyetubuhi isteri.3
Menurut Rahman Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa
Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi‟il
1 Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-
3, Edisi. Ke-2, h. 456
2 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 9
3 Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,
Wasiat, Kata Mutiara, Ahli Bahasa, Kuis Mandiri Cipta Persada, (Jakarta: Qisthi Press, 2003), h.
5
22
madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.4
Perkawinan atau nikah secara bahasa berarti mengumpulkan, atau
sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus,
yang di dalam syariat dikenal dengan akad nikah. sedangkan secara syariat
berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang
dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium,
memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk
mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.5
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, tetapi
menurut arti majazi (mathaporic) atau arti Hukum ialah aqad (perjanjian)
yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami isteri antara
seorang pria dan seorang wanita.6
4 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 11
5 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid. Ke-
9, h. 38-39 6 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hillco, 1990), h. 1
23
2. Dasar Hukum Perkawinan
a. Dalil Al-Quran
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa Ayat 3 sebagai
berikut:7
“Dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua,
tiga, atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup
satu orang” (An – Nisa : 3)
Ayat ini memerintahkan kepada laki-laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah
adil dalam memberikan kepada isteri berupa pakaian, tempat, giliran dan
lain-lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa Islam
memperboleh poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam Al-Quran, surat Al A‟raaf Ayat 189 berbunyi:
7 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarata: Kencana, 2009), h. 35
24
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya
dia menciptakan isterinya agar dia merasa senang” (Al A‟raaf :
189).
Perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antar suami
isteri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang
aman dan tentram (sakinan), pergaulan yang saling mencintai
(mawaddah), dan saling menyantuni (rahmah).
b. Dalil As–Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‟ud r.a dari Rasulullah
bersabda:8
“wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki
kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak
memiliki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab
puasa itu merupakan kendali baginya’’ (H.R. Bukhari-Muslim).
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh syariat
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32: “Dan kawinilah
orang-orang yang sendirian diantara kamu dari hamba sahaya laki-laki dan
perempuan yang patut...” dan Rasulullah pun memerintahkan kepada
setiap pemuda yang telah cukup untuk segera menikah, karena dengan
8 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarata: Kencana, 2009), h. 35
25
menikah itu akan lebih kuasa menahan mata dan hasrat. Namun bila tidak
kuasa maka hendaklah berpuasa karena itu akan menjadi penjaga baginya.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan
kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi, dan
sebagainya.9 Tanpa adanya hakikat dari pernikahan semisal laki-laki atau
perempuan, suatu pernikahan tidak bisa dilaksanakan.
Rukun nikah menurut jumhur ulama adalah hal yang menyebabkan
berdiri dan keberadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan terwujud
melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus
ada. Para ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul adalah rukun. Karena
dengan keduanya salah satu dari kedua mempelai mengikat diri dengan
yang lain, sedangankan keridhaan adalah syarat.10
Adapun rukun nikah adalah:11
a. Mempelai laki-laki;
b. Mempelai perempuan;
c. Wali;
d. Dua orang saksi;
9 Mohammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h. 50 10
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid. Ke-
9, h. 45
11 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 12
26
e. Sigat ijab Kabul.
Dari lima rukun tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul
antara yang mengadakan dengan menerima akad.
Adapun rukun-rukun nikah, sebagai berikut:
a. Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti
kata wali, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama…”12
jawaban mempelai laki-laki, “Saya terima nikahnya…”
b. Wali (wali si perempuan)
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
االربعتاالانىسأ( اخرج) نيافىكاحاباطم بغيراذن وكحت ايماامرآة
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan
izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat empat orang
ahli hadis, kecuali Nasai)
c. Dua orang saksi
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
(أحمد راي) عدل شاد االبن الوكاح
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”
(Riwayat Ahmad).13
12
Hendaklah disebutkan nama pengantin perempuan itu
27
Adapun syarat-syarat setiap akad, termasuk akad nikah ada empat
macam:14
1) Syarat in‟iqaad, syarat ini harus dipenuhi di dalam rukun-rukun
akad atau di dalam asasnya. Jika satu syarat darinya tidak ada maka
menurut kesepakatan para ulama akadnya menjadi batal (tidak
sah).
2) Syarat shihhah, syarat ini harus dipenuhi karena mempunyai
konsekuensi syar‟i terhadap akad. Jika satu dari syarat tersebut
tidak ada maka menurut jumhur ulama akad tersebut menjadi batal.
3) Syarat nafaadz, yaitu syarat yang menentukan konsekuensi akad
jika dilaksanakan, setelah syarat pelaksanaan dan sahnya terpenuhi.
Jika satu syarat dari syarat nafaadz ini tidak ada maka menurut
ulama Hanafiah dan Malikiah akadnya mauquf (ditangguhkan).
4) Syarat luzuum, yaitu syarat yang menentukan kesinambungan dan
kelanggengan akad. Jika satu dari syarat ini tidak ada maka akad
menjadi jaiz (boleh) atau tidak lazim. Maksudnya, salah satu dari
kedua pihak atau selain keduanya boleh membatalkan akad
tersebut.
13
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), Cet. Ke-34, h.
383 14
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid. Ke-
9, h. 54
28
Syarat-syarat perkawinan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974
pasal 6 sampai 12:
Pasal 6
1) Perkawinan harus dilandaskan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
29
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
perempuan.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan sah seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang
ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6
ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas;
30
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
keponakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan
pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
31
Pasal 11
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.15
4. Tujuan Perkawinan
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung
seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena
sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat.
Sehingga pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merusak jalan
terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.16
Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam
Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan
dengan laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
15
Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM., Himpunan Undang-undang
Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2008), Edisi. Ke-2, h. 523-525 16
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 1976), h. 15
32
keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.17
Tujuan perkawinan dalam
pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (keluarga yang
tentram penuh kasih sayang).
Soemiyati menjelaskan, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan berhubungan
dengan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga
yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dan mengikuti ketentuan-ketentuan
yang telah diatur oleh Syariah.18
Tujuan-tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai
harapan, adakalanya dalam kehidupan rumah tagga terjadi salah paham,
perselisihan, pertengkaran, yang berkepanjangan sehingga memicu
putusnya hubungan antara suami isteri. Penipuan yang dilakukan salah
satu pihak sebelum perkawinan dilangsungkan dan dikemudian hari
setelah perkawinan dilangsungkan diketahui oleh pihak lain dapat
dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan.
17
Azhar Basyir Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UI Pres, 2000), h. 86 18
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), h. 8
33
B. Poligami
1. Pengertian Poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai
antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan isteri tunggal yang
artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja,
sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan
atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini
mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah
dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan
kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.
Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa Inggris adalah
“Poligamy” dan disebut ددعت تاجزال dalam hukum Islam, yang berarti
beristeri lebih dari seorang wanita. Begitu pula dengan istilah poliandri
berasal dari bahasa Inggris “poliandry” dan disebut ددعت جزألا atau
dalam hukum Islam, yang berarti bersuami lebih dari seorang ددعتهعبال
pria. Maka poligami adalah seorang pria yang memiliki isteri lebih dari
seorang wanita, sedangkan poliandri adalah seorang wanita yang bersuami
lebih dari seorang pria.19
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami
diartikan sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai
19
Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 59-60
34
isteri atau suami lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi
seseorang sebagai istri atau suami kedua, ketiga dan seterusnya.20
Hanya saja yang perkembang pengertian itu mengalami pergeseran
sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristeri banyak,
sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.21
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa lebih dari satu isteri dalam waktu yang bersamaan,
bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga,
sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan
suami mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu.22
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-
raja pembesar negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa
wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk
melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang
diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan
sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin
banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-
20
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT. Gramedia, 2008), Edisi. Ke-4, h. 1089 21
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), h. 159 22
Al-Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer,
(Jakarta: Restu Ilahi, 2005), h. 19
35
sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah
ada dan jauh sebelum masehi.23
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh
orang-orang yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan
semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu
merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam
masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam kesulitan, karena
tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami
itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli
atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti
kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti
kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah
perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat
wanita saja.24
23
Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta: Jamunu, 1969), Cet. Ke-1,
h. 69
24
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan
Academia, 1996), h. 84
36
2. Dasar Hukum Poligami
a. Dasar Hukum Poligami dalam Islam
Banyak sekali pendapat para fuqoha dan ulama moderen yang
menafsirkan hukum poligami. Diantara isu-isu hukum shari‟at yang
ditentang dan dibicarakan oleh mereka adalah apa yang berkaitan dengan
poligami di dalam Islam. Terutama surat An-Nisa ayat 3, menurut
pandangan Jumhur Ulama ayat tersebut turun setelah perang Uhud, ketika
para pejuang Islam (mujahidin) yang gugur dimedan perang. Sebagai
konsekuensi, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah
dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang terabaikan dalam
kehidupan, pendidikan, dan masa depannya.25
Muhammad Baqir Al-Habsyi berpendapat bahwa di dalam Al-
Qur‟an tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan
poligami, sebutan tentang hal itu dalam Qs. An-Nisa ayat 3 hanyalah
sebagai informasi sampingan dalam kerangka perintah Allah agar
memperlakukan sanak keluarga terutama anak-anak yatim dan harta
mereka dengan perlakuan yang adil.26
Walaupun dengan alasan yang berbeda-beda, Islam moderat
termasuk Muhammad Abduh, berpendapat bahwa tujuan ideal Islam
dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami, yang
25
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan ,
1996), h. 85
26
Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat Para Ulama), (Bandung: Mizan, 2002), h. 91
37
jelas-jelas tertulis dalam Al-Qur‟an, menurut sebagian dari mereka
hanyalah karena tuntutan pada zaman Nabi yang pada saat itu banyak anak
yatim dan janda, yang ditinggal bapaknya atau suaminya saat berperang,
sedangkan sebagian yang lain berpendapat, kebolehan berpoligami
hanyalah bersifat darurat.27
Bagi Abduh poligami merupakan sesuatu perbuatan yang haram
kalau tujuannya hanyalah kesenangan. Akan tetapi jika alasannya karena
tuntutan zaman atau darurat, maka kemungkinan dibolehkan untuk
melakukannya tetap saja ada. Abduh juga menyinggung prilaku poligami
pra-islam, yang menurutnya lebih sering dilakukan sebagai simbol
kekuatan atau kejantanan.28
Latar belakang inilah yang membuat
Muhammad Abduh bersikap sangat ketat terhadap hukum poligami.
Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami suatu perbuatan
Rukhsah. Karena rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan
darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan
berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Keadilan yang dituntut di sini dalam
bidang nafkah, mu‟amalah, pergaulan, serta pembagian malam. Sedangkan
bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu
saja.29
27
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 1996), h. 83 28
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 1996), h. 101
29
Sayyid Qutub, Fi Dhilah Al-Qur’an, (Dar Al-Kutub: Al-Ilmiyah, 1961), h. 236
38
Sedangkan, menurut Al-Jashshash poligami bersifat Mubah,
kebolehan ini disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil di antara
para isteri. Untuk ukuran keadilan disini menurut Al-Jashshash, termasuk
materil, seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya.
Kedua kebutuhan non materil, seperti kasis sayang, kecendrungan hati dan
semacamnya. Namun dia mencatat, bahwa kemampuan berbuat adil
dibidang non materil ini sangat berat hal ini disebutkan sendiri oleh Allah
pada surat An-Nisa ayat 129.30
b. Dasar Hukum Poligami dalam Undang-undang di Indonesia
Dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya
menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
untuk melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang
bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristeri lebih dari seorang,
yang demikian ini, perkawinanya hanya dapat dilakukan apabila telah
memenuhi berbagai syarat yang telah ditentukan dan diputuskan oleh
pengadilan.31
Dalam hal ini ada beberapa aturan atau Undang-undang yang
merupakan dasar dalam menentukan hukum poligami antara lain:
1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada
pasal 3,4, dan 5.32
30
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 1996), h. 86
31
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 226
32
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 289
39
2) Kompilasi Hukum Islam
Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah
pasal 55, 56, 57, dan 58.
3) Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975
Adapun pasal-pasal pada PP No. 9, yaitu: Pasal 40, 41, 42, dan 43.
Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat
dipahami bahwa azas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat
mutlak, tetapi monogami terbuka.33
Oleh karena itu tidak tertutup
kemungkinan dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan poligami
yang tentunya dengan pengawasan pengadilan.
3. Syarat Poligami
Dalam ayat Al- Qur‟an juga menerangkan tentang syarat-syarat
melakukan poligami yaitu:
a. Mampu berbuat adil kepada semua isterinya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT. Surat An-Nisa Ayat 3, yang
artinya: “Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil,maka
kawinilah seorang saja.”
b. Mampu menjaga diri untuk tidak terperdaya dengan isteri-isterinya
itu dan tidak meninggalkan hak-hak Allah karena keberadaan
mereka.
33
Saleh Ridwan, “Poligami di Indonesia”, (No. 2, Vol. 10, 2010), h. 372
40
c. Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
lahiriah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan agar
isteri-isterinya itu terhindar dari kenistaan dan kerusakan, karena
Allah tidak menyukai kerusakan. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW.
Bersabda:
ج انباءة مىكم استطع مه يامعشرانشباب فهيتس
“Hai segenap pemuda, siapa diantara kalian sanggup menikah,
maka menikahlah.” (Muttafaq „alaih)
d. Memiliki kesanggupan untuk member nafkah kepada mereka.
Selain alasan-alasan diatas, syarat-syarat untuk berpoligami
menurut ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-undang Perkawinan juga harus
dipenuhi, yaitu:
Pasal 4
1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila
41
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
d. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.34
Untuk melihat perbedaan antara Pasal 4 dan Pasal 5 adalah, pada
Pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Cet.
Ke-3, h. 172
42
ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5
adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi
suami yang akan melakukan poligami.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat poligami dijelaskan dalam
pasal 55 yang berbunyi:
a. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanya sampai empat orang isteri.
b. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
c. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Syarat yang lain disebutkan dalam pasal 58 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam: Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka
untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-
syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
yaitu:
a. Adanya persetujuan isteri,
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
Isteri-isteri dan anak-anak mereka.35
35
Syamsul Ma‟arif, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nuansa Aulia, 2012), h. 196-197
43
C. Izin Nikah dan Izin Poligami
1. Izin Nikah
Yaitu permohonan izin yang diperuntukan bagi pernikahan yang
calon suami atau calon isteri belum berusia 21 tahun dan tidak
memperoleh izin dari orangtuanya.
Sebaimana UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 5: “Dalam hal ada
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapanya, maka pengadilan dalam daerah hukum yang
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam Ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.”
Adapun prosedurnya sebagai berikut:
a. Calon mempelai laki-laki/perempuan yang umurnya belum 21
tahun dan tidak mendapat izin dari orangtuanya, mengajukan
permohonan tertulis ke pengadilan;
b. Permohonan diajukan ke pengadilan agama ditempat tinggal
pemohon;
c. Permohonan harus memuat:
1) Identitas pihak (calon suami/isteri yang belum umur 21 tahun
sebagai pemohon);
44
2) Posita (alasan/dalil yang mendasari diajukannya permohonan,
serta identitas orangtua pemohon dan calon suami/isteri);
3) Petitum (hal yang dimohon putusannya dari pengadilan).36
2. Izin Poligami
Yaitu permohonan izin yang diajukan untuk beristeri lebih dari
seorang yang diajukan oleh suami.
Adapun prosedurnya sebagai berikut:
a. Suami yang telah beristeri satu atau tiga orang yang menghendaki
nikah lagi (pemohon), mengajukan permohonan tertulis ke
pengadilan;
b. Permohonan diajukan ke pengadilan agama ditempat tinggal
pemohon;
c. Permohonan harus memuat:
1) Identitas para pihak (pemohon dan termohon);
2) Posita (alasan/dalil yang mendasari diajukannya permohonan,
serta identitas orangtua pemohon dan calon suami/isteri);
3) Petitum (hal yang dimohon putusannya dari pengadilan);
4) Alasan izin poligami harus harus mencakup salah satu dari
alasan-alasan yang tercantum pada Pasal 4 Ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974, jo. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
36
http:///www.perbedaan.ijin/izin.kawin.id.com, Diakses Pada tanggal 28 November
2016
45
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.
5) Harus memenuhi syarat sebagaimana tercantum pada Pasal 5
Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, yaitu:
a) Adanya persetujuan isteri;
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka;
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak.37
D. Pembatalan Perkawinan dan Sebab Akibat Terjadinya Pembatalan
Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya
hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam
pemutusan permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu
memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya
perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan
perkawinan.38
Dalam Hukum Islam suatu pernikahan dianggap sah jika
37
http:///www.perbedaan.ijin/izin.kawin.id.com, Diakses Pada tanggal 28 November
2016 38
Lilis Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), h. 83
46
dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya.
Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka
akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya
salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak
terpenuhi adalah salah satu dari syarat maka akad nikah tersebut dianggap
fasid.39
Dalam Pasal 22 Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak
terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat
dibatalkan berdasarkan Undang-undang Perkawinan Pasal 22, 24, 26 dan
27 serta berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 dan 71.
1. Perkawinan batal demi hukum
Pasal 70 KHI
Perkawinan batal apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
isteri, sekalipun dari keempat isterinya itu dalam iddah talak
raji‟.
b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili‟annya.
39
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana
Permada Media Group, 2008), h. 123
47
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali
talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah
menikah dengan peria lain yang kemudia bercerai lagi ba‟da
dukuhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.40
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu
yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a) Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke
atas;
b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c) Berhubungan semeda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu atau ayah tiri;
d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
susuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau keponakan
dari isteri atau isteri-isterinya.
2. Perkawinan yang dapat dibatalkan
a. UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 22
40
Drs. H. Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum. dan Drs. M. Fauzanm SH., Pokok-pokok
Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 16
48
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 24
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
Undang-undang ini.
Pasal 26
1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri,
jaksa dan suami atau istri.
2) Hak untuk membatalkan oleh suami dan isteri berdasarkan
alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah
hidup bersama suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya
sah.
49
Pasal 27
1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
b. Kompilasi Hukum Islam
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui
masih menjadi isteri pria yang mufqud;
3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain;
4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan,
sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang No. 1
Tahun 1974;
5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan
oleh wali yang tidak berhak;
6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
50
Pasal 72
1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai
diri suami atau isteri.
c. BW pada bagian 6 Buku 1 tentang Batalnya Pernikahan,
dengna alasan-alasan sebagai bertikut:41
1) Karena adanya perkawinan rangkap (poligami);
2) Karena tidak adanya persetujuan yang bebas diantara para
pihak;
3) Karena salah satu pihak dianggap tidak cakap melakukan
perbuatan hukum;
4) Karena adanya larangan perkawinan;
5) Karena perkawinan yang dilangsungkan akibat dari suatu
hubungan zina (overspell);
6) Karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan,
antara lain orang tua dan wali;
41
Kama Rusdiana, MH dan Jaenal Aripin, MA, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007), h. 13
51
BAB III
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA IZIN
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM NOMOR 461/Pdt.G/
2016/PA Mks
A. Profil Pengadilan Agama Makassar
Kewenangan Hakim diminimalisir dan diserahkan kepada Qadhi
atau hal-hal yang menyangkut perkara Syariah agama Islam. Wewenang
Qadhi ketika itu termasuk Cakkara atau Pembagian harta gono-gini karena
cakkara berkaitan dengan perkara nikah.
Pada zaman penjajahan Belanda, sudah terbagi yuridiksi Qadhi,
yakni Makassar, Gowa dan lain-lain. Qadhi Pertama di Makassar adalah
Maknun Dg. Manranoka, bertempat tinggal dikampung laras, Qadhi lain
yang dikenal ialah K.H. Abd. Haq dan Ince Moh. Sholeh, dan Ince Moh.
Sholeh adalah Qadhi terakhir, jabatan Ince Moh. Sholeh disebut Acting
Qadhi. Qadhi dahulu berwenang dan berhak mengangkat sendiri para
pembantu-pembantunya guna menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi
dan tugasnya, dan pada zaman pemerintahan Belanda saat itu dipimpin
oleh Hamente.
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Makassar terbentuk pada
tahun 1960, yang meliputi wilayah Maros, Takalar dan Gowa, karena pada
waktu itu belum ada dan belum dibentuk di ketiga daerah tersebut, jadi
masih disatukan dengan wilayah Makassar.
52
Sebelum terbentuknya Mahkamah Syariah yang kemudian
berkembang menjadi Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, maka dahulu
yang mengerjakan kewenangan Pengadilan Agama adalah Qadhi yang
pada saat itu berkantor dirumah tinggalnya sendiri. Pada masa itu ada dua
kerajaan yang berkuasa di Makassar yaitu kerajaan Gowa dan Kerajaan
Tallo dan dahulu Qadhi diberi gelar Daengta Syeh kemudian gelar itu
berganti menjadi Daengta Kalia.
Setelah keluarnya PP. No. 45 Tahun 1957, maka pada tahun 1960
terbentuklah Pengadilan Agama Makassar yang waktu itu disebut
“Pengadilan Mahkamah Syariah” adapun wilayah Yurisdiksinya dan
keadaan gedungnya seperti diuraikan pada penjelasan berikut:
1. Sebelah Barat berbatasan dengan selat Makassar;
2. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros;
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone;
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa.
Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah
Makassar dahulu hanya terdiri 9 (Sembilan) Kecamatan selanjutnya
berkembang menjadi 14 (Empat Belas) Kecamatan.
Semenjak dari awal berdirinya hingga sampai tahun 1999
Pengadilan Agama Klas 1 A Makassar telah mengalami perpindahan
gedung kantor sebanyak enam kali. Pada tahun 1976 telah memperoleh
gedung permanen seluas 150 m2 untuk Rencana Pembangunan Lima
Tahun, akan tetapi sejalan dengan perkembangan jaman dimana
53
peningkatan jumlah perkara yang meningkat dan memerlukan jumlah
personil dan SDM yang memadai maka turut andil mempengaruhi keadaan
kantor yang butuh perluasan serta perbaikan sarana dan prasarana yang
menunjang dan memadai, maka pada tahun 1999 Pengadilan Agama
Makassar merelokasi lagi gedung baru dan pindah tempat ke Gedung baru
yang bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan Km.14 Daya Makassar
dengan luas lahan (Tanah) 2.297 M2 dan Luas Bangunan 1.887,5 M2.
Awal mula terbentuknya Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah
Makassar dengan wilayah Yurisdiksi Makassar, Gowa, Takalar dan Maros
jumlah pegawai (SDM) sebanyak 9 orang yang waktu itu diketuai oleh
K.H. Chalid Husain dengan susunan personil Muh. Alwi, K.H. Ahmad
Ismail, M. Sholeha Matta, M. Jusuf Dg. Sitaba, Mansyur Surulle, Abd.
Rahman Baluku, M. Haya dan Nisma.
Hakim Ketua Honorer yaitu H. Kallasi Dg. Mallaga, K.H.M. Syarif
Andi Rukka, Syarid Soleh Al Habayi, H. Abd. Dg. Mai, Daeng Takadi (H.
Andi Mansyur) dan Daeng Mannu. Pada masa K. H. Harun Rasyid
menjadi Ketua, hanya memiliki 7 orang pegawai (personil), sedangkan
sekarang ini jumlahnya telah bertambah karena berdasarkan pelaksanaan
UU Nomor 1 Tahun 1974, maka penambahan jumlah pegawai (personil)
sudah dinyatakan perlu guna untuk mengimbangi melonjaknya jumlah
Volume perkara. Berikut ini adalah susunan Ketua Pengadilan Agama
Makassar berdasarkan periode kepemimpinan dari masa ke masa:
54
1. Ketua Pertama: K.H. Chalid Husain: Periode Tahun 1960 s/d
Tahun 1962;
2. Ketua Kedua: K.H. Syekh Alwi Al Ahdal: Periode Tahun 1962 s/d
Tahun 1964;
3. Ketua Ketiga: K.H. Haruna Rasyid: Periode Tahun 1964 s/d Tahun
1976;
4. Ketua Keempat: K.H. Chalid Husain: Periode Tahun 1976 s/d
Tahun 1986;
5. Ketua Kelima: Drs. H. Jusmi Hakim, S.H: Periode Tahun 1986 s/d
Tahun 1996;
6. Ketua Keenam: Drs. H. Abd. Razak Ahmad, S.H., M.H: Periode
Tahun 1996 s/d Tahun 1998;
7. Ketua Ketujuh: Drs. H. M. Djufri Ahmad, S.H., M.H: Periode
Tahun 1998 s/d Tahun 2004;
8. Ketua Kedelapan: Drs. H. M. Tahir R, S.H.: Periode Tahun 2004
s/d Tahun 2005;
9. Ketua Kesembilan: Drs. Anwar Rahmad, M.H.: Periode Tahun
2005 s/d Tahun 2008;
10. Ketua Kesepuluh: Drs. Khaeril R, M.H.: Periode Tahun 2008 s/d
Tahun 2010;
11. Ketua Kesebelas: Drs. H. M. Nahiruddin Malle, S.H., M.H:
Periode Tahun 2010 s/d 2013;
55
12. Ketua Duabelas: Drs. H. Usman S,SH: Periode Tahun 2013 s/d
2014.
13. Ketua Tigabelas: Drs. Moh. Yasya', SH.,MH.: Priode Tahun 2014
s/d sekarang.1
B. Gambaran Umum Perkara Pembatalan Perkawinan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks
Perkara Pembatalan Perkawinan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA MKs,
merupakan gugatan dari Penggugat seorang wanita (isteri) terhadap
Tergugat satu (suami) dan Tergugat dua (isteri) ke dua dari tergugat
pertama. Dimana Tergugat pertama (suami) melangsungkan
pernikahan/perkawinan dengan Tergugat ke dua tanpa sepengetahuan serta
izin dari isteri pertama (Penggugat) serta tidak ada putusan Pengadilan
Agama yang memberikan izin kepada Penggugat satu (suami) untuk
menikah lagi, yang dimana pernikahan/perkawinan antara tergugat satu
(suami) dan tergugat dua dilangsungkan pada tanggal 26 April 2013,
bertempat di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Propinsi
Banten. Dimana status tergugat pertama (suami) masih terikat
Pernikahan/perkawinan dengan Penggugat (isteri). Inilah yang menjadi
landasan dari gugatan penggugat (isteri) terhadap tergugat satu (suami)
dan tergugat dua untuk, pernikahan/perkawinan antara tergugat satu
(suami) dengan tergugat dua dibatalkan.
1 http:///pa-makassar.go.id, Diakses pada tanggal 29 November 2016
56
C. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakum Terhadap Pembatalan
Perkawinan Karena Tidak Ada Izin Poligami Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks
1. Duduk Perkara
Primer:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
b. Membatalkan Perkawinan antara Tergugat I (TERGUGAT I) dan
Tergugat II (TERGUGAT II).
c. Menyatakan perkawinan antara Tergugat I (TERGUGAT I) dan
Tergugat II (TERGUGAT II), yang dilaksanakan pada tanggal 26
April 2013, di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan,
Propinsi Banten, tidak berkekuatan hukum dan batal demi hukum.
d. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Makassar untuk
mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama (KUA) yang wilayahnya meliputi tempat
perkawinan Tergugat I dan Tergugat II dilangsungkan, setelah
mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dicatatkan dalam daftar
untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Membebankan biaya perkara sesuai dengan peraturan parundang-
undangan yang berlaku
Subsider:
Apabila majelis hakim berpendapat lain dalam kaitannya dengan
perkara ini mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
57
2. Pertimbangan Hukum
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu. Pengadilan Agama Makassar memiliki wewenang
memeriksa perkara sesuai kewenangan absolut yang berdasarkan Pasal 2
dan 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang 50
Tahun 2009 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dalam Pasal 2 ini Pengadilan Agama terkait dengan
asas Personalitas KeIslaman dan memeriksa, memutus, menyelesaikan
perkara diantara orang-orang yang beragama Islam.
Penulis melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama
Makassar yaitu: Drs. Muhammad Arief Musi, S.H (selaku Ketu Majelis)
pada hari Rabu 28 September 2016 di Pengadilan Agama Makassar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Drs. Muhammad Arief Musi,
S.H yang dilakukan penulis, tentang perkara Putusan Nomor
461/Pdt.G/2016/ PA Mks.
Perkawinan merupakan sutau peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat dan bagi umat Islam merupakan fitroh setiap
manusia. Perkawinan yang dilangsungkan harus sesuai dengan peraturan
Perundang-undangan yang berlaku, yaitu: Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Dalam suatu perkawinan ada Rukun dan Syarat,
yang dimana harus dipenuhi. Apabila Rukun dan Syarat terpenuhi maka
58
pernikahan tersebut sah namun, apabila Rukun dan Syarat tidak terpenuhi
maka perkawinan tersebut bisa dibatalkan.2
Putusnya perkawinan bukan hanya disebabkan oleh perceraian dan
kematian saja melainkan termasuk putusan perkawinan disebabkan oleh
putusan hakim. Putusan perkawinan atas putusan pengadilan dapat terjadi
karena pembatalan suatu perkawinan. Berdasarkan Pasal 22 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawina dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan.
Pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi
batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan.
Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam pembatalan perkawinan
diatur dalam Pasal 26 sampai Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Adapun alasan-alasannya sebagai burikut:
a. Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat
Perkawinan yang tidak berwenang;
b. Wali nikah yang melakukan perkawinan ini tidak sah;
c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi;
d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum;
2 Drs. Muhammad Arief Musi, S.H, Ketu Majelis, Pengadilan Agama Makassar, Rabu 28
September 2016
59
e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 71 dan 72
Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan-alasan pengajuan pembatalan
perkawinan yaitu:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi isteri pria yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami
lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;
g. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum;
h. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau isteri.
Salah satu permohonan Pembatalan Perkawinan yang diajukan di
Pengadilan Agama Makassar adalah Putusan Nomor 461/Pdt.G/20016/PA
60
Mks, dimana Pemohon menerangkan dalam surat permohonannya adalah
sebagai berikut:3
a. Bahwa Penggugat dan Tergugat I adalah pasangan suami isteri
yang menikah pada tanggal 30 Desember 1997 dan tercatat pada
PPN KUA Kecamatan T. Betung Selatan, Kota Bandar Lampung,
Propinsi Lampung, dengan Kutipan Akta Nikah Nomor:
556/13/I/1998, tanggal 30 Desember 1997;
b. Bahwa Penggugat dan Tergugat I pernah hudup rukun dan
dikaruniai 3 orang anak yang masing-masing bernama:
1) Anak, Lahir tanggal 15 April 1998
2) Anak, Lahir tanggal 7 Maret 2002
3) Anak, Lahir tanggal 1 Juli 2011
c. Bahwa pada tanggal 26 April 2013 Tergugat I telah menikah
dengan Tergugat II, di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan, Propinsi Banten;
d. Bahwa saat Tergugat I dan Tergugat II menikah, Tergugat I masih
terikat perkawinan dengan Penggugat;
e. Bahwa perkawinan Tergugat I dengan Tergugat II dilakukan tanpa
sepengetahuan Penggugat selaku isteri dan tidak ada putusan
Pengadilan Agama yang memberikan izin kepada Tergugat I untuk
menikah lagi (poligami liar);
3 Putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks
61
f. Bahawa turut Tergugat menikahkan Tergugat I dengan Terggugat
II tudak melalui proses verifikasi/penelitian yang valid mengenai
status perkawinan Tergugat I, oleh karenanya perkawinan antara
Tergugat I dengan Tergugat II dinilai cacat prosedur dan
administrasi.
Menurut Drs. Muhammad Arief Musi, S.H, perkawinan yang
dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat sah perkawinan karena,
Tergugat I bersetatus masih atau telah beristeri, sehingga perkawinan
antara Tergutat I dengan Tergugat II tersebut merupakan poligami yang
seharusnya memenuhi ketentuan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 40, 41 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, serta Pasal 55 dan 56 Kompilasi Hukum Islam.
Selain itu permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai
dengan ketentuan Pasal 22, 23, dan 24 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 jo Pasal 37 dan 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo
Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.4
Perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama
karena alasan-alasan pembatalan perkawinan terpenuhi yaitu, seorang
suami melakukan poligami tanpa ada izin Pengadilan Agama. Selain itu,
yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Makassar
dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut adalah perkawinan
4 Drs. Muhammad Arief Musi, S.H, Ketu Majelis, Pengadilan Agama Makassar, Rabu 28
September 2016
62
yang dilangsungkan tersebut melanggar syarat administratif yaitu
pemalsuan identitas yang berupa pemalsuan status calon suami yang
mengaku perjaka serta menyangkut legalitas hukum perkawinan
berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor
KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006.
D. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Putusan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks
Adapun akibat hukum dari Pembatalan Perkawinan dalam putusan
No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks, dimana Hakim memutuskan:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Membatalkan Perkawinan antara Tergugat I (TERGUGAT I)
dengan Tergugat II (TERGUGAT II).
3. Menyatakan Akta Nikah No. 0692/154/IV/2013 yang diterbitkan
oleh KUA Kecamatan Ciputat, kota Tangerang Selatan, Banten;
tidak mempunyai kekuatan hukum.
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 561.000 (lima ratus enam puluh satu ribu rupiah)
63
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP DASAR DAN
PERTIMBANGAN PADA PUTUSAN NOMOR 461/Pdt.G/2016/PA Mks
A. Analisis Hukum Islam Melihat Kedudukan Izin Poligami di Hukum
Perkawinan Indonesia
Dr. Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa tidak ada nash
syariat yang menyebutkan bahwa seorang suami harus meminta izin
kepada seorang isteri untuk berpoligami. Dalam Muktamar Majma‟ al-
Buhuts al-Islamiyah ke-2 yang diadakan di Kairo pada tahun 1385 H atau
1965 M menyebutkan bahwa hukum poligami adalah mubah dan tidak
perlu izin kepada seorang hakim, selain itu tidak terdapat ijma‟ (konsesus)
dari ulama semenjak masa nabi Muhammmad saw dan setelahnya bahwa
seorang lelaki yang mau berpoligami harus meminta izin kepada seorang
hakim.1
Dalam perspektif lain, kebolehan poligami dewasa ini yang diatur
dalam peraturan perkawinan di beberapa negara Islam, memang tidak
hanya dikaitkan dengan keadilan ataupun kemampuan nafkah dalam
ketetapan fiqih klasik, tetapi semata-mata karena adanya halangan2 untuk
melangsungkan perkawinan yang sehat. Pemikiran seperti ini tidak ada
1 Al-Mufashal fil Ahkam al-Mar‟ah: 6/294
2 Hal ini bisa dipahami dalam kerangka dar’u al-marasid dan juga konsep sadd az-
Dzari‟ah
64
rujukannya secara material dalam fiqih, meskipun secara filosofis dapat
dipahami dalam kerangka konsep istislah yang lebih banyak
dikembangkan di lingkungan madzhab Maliki.3
Maka seorang suami yang ingin melakukan poligami tidak perlu
meminta izin kepada istrinya. Meski demikian hendaknya seorang suami
jangan terlalu terburu-buru melakukan poligami tanpa mengamati lebih
jauh siapa wanita yang ia nikahi. Sehingga akhirnya ia terseret dalam
kesalahan yang fatal dan dapat merusak kebahagiaan rumah tangganya.
Dan bagi seorang istri hendaknya menyadari sepenuhnya masalah
poligami ini. Seperti apa pun beratnya bila sang suami harus membagi
cinta dengan wanita lain, ia harus tetap tabah dan mampu mengendalikan
diri menghadapi ketentuan syariat ini. Sebab bagaimana pun juga poligami
mengandung berbagai manfaat yang tidak mungkin dipungkiri.4
Ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada
bab IX KHI, ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat
substansial tetapi juga syarat-syarat formal.
Pasal 55 yang memuat syarat substansial dari pendapat poligami
yang melekat pada seorang suami yaitu terpenuhinya keadilan yang telah
ditetapkan, bunyi dalam pasal 55:
3 Mudzhar, Atho dan Khairuddin, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), Cet. 1, h. 75
4 Dr. Nashir bin Sulaiman al-„Umr, Muqawamatus Sa’adati az-Zaujiyyah (Sendi-sendi
Kebahagian Suami Isteri), Terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), Cet. Ke-5, h.
77
65
1. Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Syarat ini adalah inti dari poligami, sebab dari sinilah munculnya
ketidak sepakatan dalam hukum akan adanya poligami. Dan dipertegas
pula didalamnya bahwa apabila keadilan tidak dapat dipenuhi maka
seorang suami dilarang berpoligami.
Pasal 56 yang berbunyi:
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII
Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Pasal 56 diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang
harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan
hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia adalah negara hukum
66
sehingga segala urusan hubungan manusia maka pelaksanaannya harus
diketahui oleh instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama (PA).
Pasal 57, yang berbunyi:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 57 diatas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat
pada seorang isteri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya
sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami.
Pasal 58 yang berbunyi:
1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-
syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 yaitu :
a. Adanya pesetujuan isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
67
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri
dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan
persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-
isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 58 diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan
seorang isteri sebagai respon terhadap suami yang hendak memadu dirinya
yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai
antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah
berjalannya keluarga poligami.
Pasal 59 yang berbunyi:
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas
salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
68
dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding
atau kasasi.
Bunyi pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk
bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari isteri yang saling
mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami
dalam KHI tidak bertentangan dengan ruh nash.
B. Proses Penyelesaian Perkara Pembatalan Perkawinan Putusan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks.
Pembatalan perkawinan dapat diputuskan oleh hakim bila mana
salah satu syarat atau rukun sah perkawinan tidak terpenuhi dan hal
demikian batal oleh hukum. Undang-undang No 1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang perkawinan, selain itu di dalam
Al-Qur‟an mempertegas adanya rukun dan syarat nikah yang wajib
dipenuhi dalam melangsungkan pernikahan.
Perkara yang diteliti adalah putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA
Mks, dimana isteri pertama (penggugat) menggugat suaminya (tergugat I)
untuk melakukan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan suami
(tergugat I) dan isteri keduanya (tergugat II). Dimana perkawinan antara
suami dan isteri keduannya adalah tidak sah, baik secara hukum Nasional
maupun hukum Islam.
69
Menurut Drs. Muhammad Arief Musi, S.H (selaku Ketu Majelis)
di Pengadilan Agama Makassar yang mengadili perkara ini, perkawinan
tersebut dibatalkan karena salah satu rukun atau syarat sah nikah tidak
terpenuhi. Dalam perkara ini yang menjadi dasar dari pembatalan
perkawinan yang diputuskan oleh hakim yaitu pasal 71 (a), (e) dan (h)
Kompilasi Hukum Islam.5
Suami (tergugat I) melakukan perkawinan tanpa adanya izin
poligami dari Pengadilan Agama (pasal 71 (a) KHI), dalam perkawinan ini
yang bertindak sebagai wali nikah isteri ke dua (tergugat II) dalah suami
saudara permpuan (ipar), dengan kata lain wali nikahnya tidak sah karena
tidak ada hubungan darah (71 (e) KHI). Dalam perkara ini juga diduga ada
unsur penipuan karena tergugat I mengungkapkan kepada tergugat II
bahwa dirinya masih lajang (71 (h) KHI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hal ini dapat batal demi hukum
karena beberapa alasan sebagaimana telah dipaparkan. Sebagaimana
hukum yang berlaku hakim dapat memberi putusan pembatalan
perkawinan terhadap perkawinan tergugat I dan tegugat II, dengan
demikian perkawinan tersebut diputus batal demi hukum oleh hakim.
5 Drs. Muhammad Arief Musi, S.H, Ketu Majelis, Pengadilan Agama Makassar, Rabu 28
September 2016
70
C. Analisis Hukum Islam Terhadap Dasar dan Pertimbangan Hakim
Pada Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks
Pertimbangan hakim mengenai pembatalan perkawinan dalam
putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks, dimana dalam memutuskan
perkara ini hakim tidak melakukan mediasi, berdasarkan putusan
Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal
4 April 2006. Tentang legalitas hukum perkawinan, dimana yang menjadi
pokok sengketa dalam perkara ini ialah Penggugat mengajukan gugatan
pembatalan perkawinan antara Tergugat I dengan Tergugat II dengan dalil
perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan, yaitu adanya
halangan perkawinan karena Tergugat I masih terikat oleh perkawinan
yang sah dengan Penggugat kemudian kawin dengan Tergugat II tanpa
melalui prosedur yang sah menurut Undang-Undang.
Tergugat I dalam jawabannya mengakui secara murni dalil-dalil
gugatan Penggugat aquo perkawinan antara Tergugat I dengan Tergugat II
dilaksanakan dengan melanggar Undang-Undang Perkawinan. Maka,
berdasarkan Pasal 311 R.Bg, pengakuan tersebut merupakan bukti yang
sempurna.
Tergugat I juga mengakui perkawinannya dengan Tergugat harus
dibatalkan karena waktu itu Tergugat I dalam keadaan khilaf.
71
Serta tidak sesuai dengan pasal 71 (a) Kompilasi Hukum Islam dan
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan
pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
Kekhilafan Tergugat I sebagaimana dimaksud, baik dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang melakukan poligami
tanpa izin, maupun dalam kaitannya dengan pengajuan dokumen
perkawinan, dimana Tergugat I menyatakan status diri sebagai jejaka.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan
Penggugat agar perkawinan antara Tergugat I dengan Tergugat II
dibatalkan, dapat dikabulkan.
Melihat dari putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks di mana
hakim mengabulkan semua gugatan Penggugat karena sudah sejaln dengan
UU yang berlaku, dimana Tergugat melanggar beberapa pasal dimana kita
bisa mengelompokannya pada pasal 71 (a,e dan h) Kompilasi Hukum
Islam yang mana salah satunya berbunyai: a. Seorang suami melakukan
poligami tanpa izin Pengadilan Agama; e. Perkawinan dilangsungkan
tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; dan h. Pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau isteri.
Serta ketentuan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”
72
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
(االربعةاالالنسأى اخرجه) ليهافنكاحهاباطل بغيراذن نكحت ايماامرآة
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan
izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat empat orang
ahli hadis, kecuali Nasai).
Dalam pasal 21 Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan urutan-
urutan wali, sehingga perkawinan yang dilangsungkan oleh wali yang
tidak sah dan tidak berhak menyebabkan perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
Serta Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa
perkawina dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melakukan perkawinan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, ada beberapa syarat-syarat yang
dipenuhi atau pelanggaran dalam pelaksanaannya, serta bedasarkan
pertimbangan-pertimbangan majelis hakim berpendapat bahwa,
perkawinan termohon I dengan termohon II terbukti menyalai peraturan 4
dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
kentuan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam.
Adapun yang menjadi inti dari pertimbangan terhadap pembatalan
pernikahan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks adalah Pasal 71 (a) INPRES
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yaitu “Suatu
73
perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami
tanpa izin Pengadilan Agama”, Pasal 71 (e) INPRES Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, yaitu “Suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak”, Pasal 71 (h) INPRES Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yaitu “Suatu perkawinan
dapat dibatalkan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai bagian akhir dari penyusunan skripsi yang berjudul
“Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami dalam
Persfektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA
Mks)”, penyusun mencoba menyimpulkan kesimpulan dan saran yang
dihasilkan dari proses penelitian yang telah dilakukan. Diharapkan
kesimpulan dan saran dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
hukum pada umumnya dan masyarakat pada khususnya.
1. Poligami dalam pandangan pada dasarnya adalah mubah dan
izin poligami hakekatnya tidak ada izin kepada istri, dalam
hukum Islam.
2. Proses Pembatalan perkawinan sama dengan tata cara gugatan
perceraian, baik itu pemanggilan, pemeriksaan dan putusan
pembatalan perkawinan poligami, sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 tahun 1975
3. Hakim melihat rukun dan syarat sah suatu perkawinan baik
yang tertera dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
maupun Kompilasi Hukum Islam yang rujuknya sendiri dari
Al-Qur’an dan As-Sunah tidak terpenuhi.
75
B. Saran
Adapun saran yang dapat penyusun sampaikan setelah melakukan
penelitian dan pembahasan atas perkara Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks,
di Pengadilan Agama Makassar adalah sebagai berikut:
1. Kiranya dalam pelaksanaan perkawinan perlu diperhatikan
mengenai identitas calon. Pengecekan identitas tidak hanya
mengutamakan kebenaran secara administratif saja, namun
diupayakan dapat dengan dilakukan pengecekan lapangan.
Sehingga tidak mudah tertipu dan tidak menyesal dikemudian
hari.
2. Terhadap pejabat yang berwenang yang mengawasi
pelaksanaan perkawinan dalam melaksanakan tugasnya agar
lebih teliti dan lebih cermat. Untuk menghindari adanya kasus
penipuan identitas. Melakukan pemeriksaan mengenai
kebenaran status mempelai dan surat-surat sebelum perkawinan
dilangsungkan. Agar tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan
dalam perkawinan poligami, dengan demikian secara tidak
langsung dapat mencegah penganiayaan terhadap wanita.
3. Usaha-usaha maksimal dari penegak hukum, belum dapat
menyadarkan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum. Untuk itu serangkai kegiatan yang
bersifat pembelajaran dan penyuluhan hukum dibidang hukum
perkawinan husunya pada masyarakat perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an dan Tarjemahnya
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya,
Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1990
B. Buku Referensi
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, Bandung: Pustaka
Setia, 1999
Ahmad, Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UI Pres,
2000
Al-‘Umr, Nashir bin Sulaiman, Muqawamatus Sa’adati az-Zaujiyyah
(Sendi-sendi Kebahagian Suami Isteri), Cet. Ke-5, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1995
Al-Habsyi, Muhammad Baqir, Fiqih Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-
Sunnah, dan Pendapat Para Ulama), Bandung: Mizan, 2002
Al-Mufarraj, Sulaiman, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah,
Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara, Ahli Bahasa, Kuis Mandiri
Cipta Persada, Jakarta: Qisthi Press, 2003
Amir, Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih dan
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,
2009
Asnawi, Mohammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan,
Yogyakarta: Darussalam, 2004
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid. Ke-9, Jakarta:
Gema Insani, 2011
Basyri, Ahmad Azhar, Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1994
Dahlan, Aisjah, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet. Ke-1, Jakarta:
Jamunu, 1969
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. Ke-3, Edisi. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi. Ke-4, Jakarta: PT. Gramedia, 2008
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Hamid, Al-Qamar, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh
Kontemporer, Jakarta: Restu Ilahi, 2005
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Jakarta: Tintamas, 1975
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1985
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
1995
Ma’arif, Syamsul, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Nuansa Aulia, 2012
Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Manan, Abdul dan M. Fauzanm, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Moleong, Lexi J., Metode Penelitian Kualitatif, Cet. K3-11, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2000
Mudzhar, Atho dan Khairuddin, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
Cet. 1, Jakarta: Ciputat Press, 2003
Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Academia, 1996
Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dengan, 1996
Prayogo, Imam dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2003
Qutub, Sayyid, Fi Dhilah Al-Qur’an, Dar Al-Kutub: Al-Ilmiyah, 1961
Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind
Hillco, 1990
Ramulyo, Mohammad Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1996
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet. Ke-34, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011
Rasjidi, Lilis, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di
Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. Ke-3, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998
Rusdiana, Kama, MH dan Jaenal Aripin, MA, Perbandingan Hukum
Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007)
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1976
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peran dan Penggunan
Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat
Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 1982
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 1986
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1982
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Bandung: Alfabeta, 2009
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Cet. Ke-3,
Bandung: Alfabeta, 2007
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,
Edisi. Ke-2, Jakarta: Rajawali Pers, 2008
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. Ke-6, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003
Tihami, M. A dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2010
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana Permada Media Group, 2008
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2007
C. Jurnal
Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah : 6/294
Saleh Ridwan, Poligami di Indonesia, No. 2, Vol. 10, 2010
D. Lain-Lain
http://pamakassar.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=67&Itemid=115
http.///www.perbedaan.ijin/izin.kawin.http
http.///www.perbedaan.ijin/izin.kawin.id.com
https://www.scribd.com/doc/132230281/Teori-Sistem-Hukum-Friedman
Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks
DAFTAR PERTANYAAN
Wawancara Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami
Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks)
1. Nama Responden?
2. Jabatan Responden?
3. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu bekerja di Peradilan Agama Makassar?
4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui perkara persidangan Pembatalan
Perkawinan dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui siapa saja yang menjadi Hakim dalam
persidangan Pembatalan Perkawinan dalam putusan No.
461/Pdt.G/2016/PA Mks?
6. Apakah Bapak/Ibu yang menjadi Hakim dalam Persidangan Pembatalan
Perkawinan dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui siapa saja yang menjadi Penggugat dan
Tergugat dalam perkara persidangan Pembatalan Perkawinan dalam
putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
8. Apakah Bapak/Ibu mengetahui Duduk Perkara dalam persidangan
Pembatalan Perkawinan dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
9. Bisakah Bapak/Ibu jelaskan?
10. Apa pertimbangan hukum dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
11. Apa yang menjadi landasan Bapak/Ibu mengambil putusan tersebut?
12. Bagaimana Bapak/Ibu mengambil keputusan dalam persidangan dalam
putusan Pembatalan Perkawinan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
DAFTAR PERTANYAAN
Wawancara Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami
Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Putusan Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks)
1. Nama Responden?
Jawab: Drs. Muhammad Arief Musi, S.H
2. Jabatan Responden?
Jawab: Hakim Peradilan Agama Makassar
3. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu bekerja di Peradilan Agama Makassar?
Jawab: Ya, saya mengetahui
4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui perkara persidangan Pembatalan
Perkawinan dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Kira-kira sudah 20 tahun lebih
5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui siapa saja yang menjadi Hakim dalam
persidangan Pembatalan Perkawinan dalam putusan No.
461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Ya, Drs. Muhammad Arief Musi, S.H (Ketua Majelis), Dra. Hj.
Mardianah R, S.H (Hakim Anggota), Drs. H. Muhammad Anwar Saleh,
S.H, M.H (Hakim Anggota)
6. Apakah Bapak/Ibu yang menjadi Hakim dalam Persidangan Pembatalan
Perkawinan dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Ya
7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui siapa saja yang menjadi Penggugat dan
Tergugat dalam perkara persidangan Pembatalan Perkawinan dalam
putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Ya, tapi mohon maaf mas saya tidak bisa menyebutkan nama-nama
yang berkara tersebut
8. Apakah Bapak/Ibu mengetahui Duduk Perkara dalam persidangan
Pembatalan Perkawinan dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Ya
9. Bisakah Bapak/Ibu jelaskan?
Jawab: Dalam duduk perkara putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks, terdiri
dari enam poin diantaranya: Penggugat dan Tergugat I adalah pasangan
suami isteri yang menikah pada tanggal 30 Desember 1997 dan tercatat
pada PPN KUA Kecamatan T. Betung Selatan, Kota Bandar Lampung,
Propinsi Lampung, dengan kutipan Akta Nikah Nomor: 556/13/I/1998,
tanggal 30 Desember 1997. Penggugat dan Tergugat I pernah hidup rukun
dan dikarunia 3 orang anak. Pada tanggal 26 April 2013 Tergugat I telah
menikah dengan Tergugat II, di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan, Propinsi Banten. Tergugat I dan Tergugat II menikah, Tergugat I
masih terikat perkawinan dengan Penggugat. Perkawinan Tergugat I
dengan Tergugat II dilakukan tanpa sepengetahuan Penggugat selaku isteri
dan tidak ada putusan Pengadilan Agama yang memberikan izin kepada
Tergugat I untuk menikah lagi (poligami liar). Turut Tergugat I menikah
dengan Tergugat II tidak melalui proses verifikasi/penelitian yang valid
mengenai status perkawinan Tergugat I, oleh karenanya perkawinan antara
Tergugat I dan Tergugat II dinilai cacat prosedur dan administrasi
10. Apa pertimbangan hukum dalam putusan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Dalam perkara ini menyangkut legalitas hukum perkawinan bagi
Tergugat I dan Tergugat II, tidak perlu adanya mediasi berdasarkan
Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal
4 April 2006. Dalam pemeriksaan persidangan, harus dipenuhi oleh
Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II turut Tergugat tidak datang
menghadap, medki demikian tidak menjadi halangan bagi Majelis Hakim
untuk melanjutkan persidangan kemudian menjatuhkan putusan atas
perkara ini. Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara ini ialah
Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan antara Tergugat I
dengan Tergugat II dengan dalil perkawinan tersebut tidak memenuhi
syarat perkawinan, yaitu adanya halangan perkawinan karena Tergugat I
masih terikat oleh perkawinan yang sah dengan Penggugat kemudian
kawin dengan Tergugat II tanpa melalui prosedur yang sah menurut
Undang-undang. Bahwa Tergugat I dalam jawabannya mengakui secara
murni dalil-dalil gugatan Penggugat aquo perkawinan antara tergugat I
dengan Tergugat II dilaksanakan dengan melanggar Undang-undang
Perkawinan. Bahwa Tergugat I juga mengakui perkawinannya dengan
Tergugat II harus dibatalkan karena waktu itu Terguagat I dalam keadaan
khilaf. Kehilafan Tergugat I sebagimana dikasud, baik dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang melakukan poligami
tanpa izin, maupun dalam kaitannya dengan pengajuan dokumen
perkawinan, dimana Tergugat I menyatakan status dirinya sebagai jejaka,
oleh karen Tergugat I memberikan pengakuan murni, maka berdasarkan
Pasal 311 R.Bg., pengakuan tersebut merupakan bukti yang sempurna.
Bahwa dalil-dalil Penggugat sebagaimana tertuang di dalam surat gugatan
harus dinyatakan terbukti secara sah. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut, maka gugatan Penggugat agar perkawinan antara
Tergugat I dengan Terguagat II dibatalkan, dapat dikabulkan
11. Apa yang menjadi landasan Bapak/Ibu mengambil putusan tersebut?
Jawab: Yang menjadi landasan pembatalan pernikahan tersebut karena,
Tergugat I berstatus masih atau telah beristeri, sehingga perkawinan antara
Tergugat I dengan Tergugat II tersebut merupakan poligami yang
seharusnya dimana memenuhi ketentuan Pasal 3,4 dan 5 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 40, 41 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta Pasal 55 dan 56 Kompilasi Hukum
Islam. Selain itu permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum
sesuai dengan ketentuan Pasal 22,23, dan 24 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo Pasal 37 dan 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan tersebut
dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama karena alasan-alasan pembatalan
perkawinan terpenuhi yaitu, sorang suami melkukan poligami tanpa da
izin Pengadilan Agama. Selain itu, yang menjadi dasar hukum bagi hakim
Pengadila Agama Makassar dalm memutuska pembatalan perkawinan
tersebut adalah perkawina yang dilangsungkan tersebut melanggar syarat
administrasi yaitu pemelsuan identitas yang berupa pemlsuan status calon
suami yang mengaku perjaka
12. Bagaimana Bapak/Ibu mengambil keputusan dalam persidangan dalam
putusan Pembatalan Perkawinan No. 461/Pdt.G/2016/PA Mks?
Jawab: Dengan cara melihat Duduk Perkara, dalil-dalil yang dipaparkan
oleh tergugat, mengdengarkan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan dalam
persidangan, melihat bukti-bukti yang ada dan terakhir mendiskusikan
dengan para anggota hakim yang ada, kurang lebih seperti itu
Hal 1 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
P U T U S A N
Nomor 461/Pdt.G/2016/PA Mks
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Makssar yang memeriksa dan mengadili
perkara tentang pada tingkat pertama dalam sidang majelis telah
menjatuhkan putusan perkara Pembatalan Nikah, antara:
PENGGUGAT, umur 39 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA,
pekerjaan tidak ada, tempat tinggal di Kelurahan Kassi-
Kassi, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, selanjutnya
disebutkan sebagai Penggugat;
melawan
TERGUGAT I, umur 42 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir S-1,
pekerjaan PNS, tempat tinggal di Kelurahan Kassi-Kassi,
Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, selanjutnya disebut
sebagai Tergugat I.
TERGUGAT II, umur 35 tahun, agama Islam, pendidikan terarakhir SMA,
pekerjaan Karyawan Swasta, Tempat tinggal di Kelurahan
Pondok Ranji, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang
Selatan, Propinsi Banten, selanjutnya disebut sebagai
Tergugat II.
TURUT TERGUGAT, Kota Tangerang Selatan, yang beralamat di
Kelurahan kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan, Propinsi Banten, selanjutnya disebut
sebagai Turut Tergugat.
Pengadilan Agama tersebut;
Telah mempelajari surat-surat yang berkaitan dengan perkara ini;
Telah mendengar keterangan Penggugat dan Tergugat I di muka sidang;
Hal 2 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tanggal 01
Maret 2016 telah mengajukan gugatan, yang telah didaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Makassar dengan Nomor
461/Pdt.G/2016/PA Mks, tanggal 01 Maret 2016, dengan dalil-dalil
sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat I adalah pasangan suami isteri yang
menikah pada tanggal 30 Desember 1997 dan tercatat pada PPN KUA
Kecamatan T. Betung Selatan, Kota Bandar Lampung, Propinsi
Lampung, dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 566/13/I/1998, tanggal
30 Desember 1997.
2. Bahwa Penggugat dan Tergugat I pernah hidup rukun dan dikaruniai 3
orang anak yang masing-masing bernama:
a. ANAK, Lahir tanggal 15 April 1998;
b. ANAK, Lahir tanggal 7 Maret 2002;
c. ANAK, Lahir tanggal 1 Juli 2011;
3. Bahwa pada tanggal 26 April 2013 Tergugat I telah menikah dengan
Tergugat II, di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Propinsi
Banten.
4. Bahwa saat Tergugat I dan Tergugat II menikah, Tergugat I masih
terikat perkawinan dengan Penggugat.
5. Bahwa perkawinan Tergugat I dengan Tergugat II dilakukan tanpa
sepengetahuan Penggugat selaku isteri dan tidak ada putusan
Pengadilan Agama yang memberikan izin kepada Penggugat I untuk
menikah lagi (poligami liar).
6. Bahwa Turut Tergugat menikahkan Tergugat I dengan Tergugat II tidak
melalui proses verifikasi/ penelitian yang valid mengenai status
perkawinan Tergugat I, oleh karenanya perkawinan antara Tergugat I
dan Tergugat II dinilai cacat prosedural dan administrasi.
Hal 3 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, maka
Penggugat mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama
Makassar dengan perantaraan majelis hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini, agar kiranya berkenan menjatuhkan putusan
yang amarnya adalah sebagai berikut:
Primer:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Membatalkan Perkawinan antara Tergugat I (TERGUGAT I) dan
Tergugat II (TERGUGAT II).
3. Menyatakan perkawinan antara Tergugat I (TERGUGAT I) dan
Tergugat II (TERGUGAT II), yang dilaksanakan pada tanggal 26
April 2013, di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan,
Propinsi Banten, tidak berkekuatan hukum dan batal demi demi
hukum.
4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Makassar untuk
mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatatan
Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) yang wilayahnya meliputi
tempat perkawinan Tergugat I dan Tergugat II dilangsungkan,
setelah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dicatatkan dalam
daftar untuk dicatat dalam daftar yang disebutkan untuk itu.
5. Membebankan biaya perkara sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Subsider :
Apabila majelis hakim berpendapat lain dalam kaitannya dengan perkara
ini mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa pada hari-hari persidangan perkara ini
Penggugat dan Tergugat I datang menghadap, sedang Tergugat II dan
turut Tergugat tidak datang meskipun telah dipanggil secara resmi dan
patut. Majelis hakim kemudian melanjutkan pemeriksaan dengan
membacakan surat gugatan Penggugat, dan atas pertanyaan Ketua,
Hal 4 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
Penggugat menyatakan berkeberatan pada gugatan untuk menuntut
pembatalan perkawinan antara Tergugat I dengan Tergugat II.
Menimbang, bahwa atas gugatan tersebut, Tergugat I memberikan
jawaban sebagai berikut
- Bahwa Tergugat I mengakui Penggugat sebagai isterinya yang sah.
- Bahwa Tergugat I hidup rukun bersama Penggugat sebagaimana
layaknya suami isteri, dan telah dikaruniai 3 orang anak yang
masing-masing bernama : 1. ANAK, perempuan, berumur 18
tahun, 2. ANAk, laki-laki, berumur 14 tahun; 3. ANAK, perempuan,
berumur 4 tahun, yang masih dalam asuhan Penggugat dan
Tergugat;
- Bahwa Tergugat I mengakui kebenaran gugatan Penggugat yang
mengajukan gugatan pembatalan perkawinan, karena perkawinan
antara Tergugat I dengan II dilaksanakan tanpa melalui prosedur
hukum yang sah menurut hukum.
- Bahwa Tergugat I melangsungkan akad nikah dengan tergugat II
tanggal 26 April 2013 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang.
- Bahwa atas perkawinan dengan Tergugat II tersebut, Tergugat I
menyatakan telah melakukan kesalahan.
- Bahwa yang melatarbelakangi sehingga Tergugat I dan Tergugat II
menikah ialah sering bertemu dengan Tergugat II di Jakarta, karena
selalu bertemu dan jalan berdua sehingga benih-benih cinta
bersemi diantara kami, dan kami memutuskan agar mengukuhkan
hubungan kami dengan jalan menikah, untuk menghindari hal-hal
yang dilarang oleh agama;
- Bahwa penulisan status diri Tergugat I sebagai jejaka di dalam
Daftar Pemeriksaan Nikah (DPN) adalah merupakan kesalahan
Tergugat I.
Hal 5 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
- Bahwa selain karena memanipulasi status diri, dalam hal Tergugat I
melakukan poligami tanpa prosedur hukum yang sah, juga
merupakan kesalahan Tergugat I.
- Bahwa Tergugat I saat ini tetap dalam keadaan rukun dengan
Penggugat dan Tergugat I.
- Bahwa Tergugat I sudah tidak menjalin komunikasi lagi dengan
Tergugat II.
Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat I keudian
menyatakan tidak akan memberikan keterangan lagi
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatan
Penggugat telah mengajukan alat-alat bukti berupa :
Fotokopi Daftar Pemeriksaan Nikah (DPN) yang oleh Tergugat I
dinyatakan diterbitkan oleh KUA Ciputat No. 0692/154/IV/2013 telah
memperlihatkan aslinya dan telah dimaterai cukup, selanjutnya diberi
tanda P.
Selanjutnya untuk singkatnya uraian putusan ini, maka semua hal
yang termuat dalam berita acara sidang ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah
sebagaimana diuraikan di atas.
Menimbang, bahwa perkara ini menyangkut legalitas hukum
perkawinan bagi Tergugat I dan Tergugat II, maka berdasarkan
Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal
4 April 2006, tidak perlu dilakukan mediasi.
Menimbang, bahwa dalam pemeriksaan persidangan, hanya
dihadiri oleh Penggugat dengan Tergugat I, adapun Tergugat II dan Turut
Tergugat tidak datang menghadap, meski demikian ketidakdatangan
Hal 6 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
Tergugat II dan turut Tergugat tersebut tidak menjadi halangan bagi
Majelis Hakim untuk melanjutkan persidangan kemudian menjatuhkan
putusan atas perkara ini.
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara
ini ialah Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan antara
Tergugat I dengan Tergugat II dengan dalil perkawinan tersebut tidak
memenuhi syarat perkawinan, yaitu adanya halangan perkawinan karena
Tergugat I masih terikat oleh perkawinan yang sah dengan Penggugat
kemudian kawin dengan Tergugat II tanpa melalui prosedur yang sah
menurut Undang-Undang.
Menimbang, bahwa Tergugat I dalam jawabannya mengakui
secara murni dalil-dalil gugatan Penggugat aquo perkawinan antara
Tergugat I dengan Tergugat II dilaksanakan dengan melanggar Undang-
Undang Perkawinan.
Menimbang, bahwa Tergugat I juga mengakui perkawinannya
dengan Tergugat harus dibatalkan karena waktu itu Tergugat I dalam
keadaan khilaf.
Menimbang, bahwa kekhilafan Tergugat I sebagaimana dimaksud,
baik dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang melakukan
poligami tanpa izin, maupun dalam kaitannya dengan pengajuan dokumen
perkawinan, dimana Tergugat I menyatakan status diri sebagai jejaka.
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat I memberikan
pengakuan murni, maka berdasarkan Pasal 311 R.Bg., pengakuan
tersebut merupakan bukti yang sempurna.
Menimbang, bahwa meskipun demikian, Penggugat tetap
mengajukan surat bukti berupa Bukti P.
Menimbang, bahwa atas Bukti P tersebut Tergugat I menyatakan
menerima.
Menimbang, bahwa dalil-dalil Penggugat sebagimana tertuang di
dalam surat gugatan harus dinyatakan terbukti secara sah.
Hal 7 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, maka gugatan Penggugat agar perkawinan antara Tergugat I
dengan Tergugat II dibatalkan, dapat dikabulkan
Menimbang, bahwa petitum gugatan Penggugat agar salinan
putusan ini disampaikan kepada KUA yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal Tergugat I dan Tergugat II dilangsungkan, juga tidak dapat
diterima, karena aturan mengenai penyampaikan salinan putusan hanya
berlaku khusus untuk putusan perceraian.
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara perkawinan, maka
berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, biaya perkara
dibebankan kepada Penggugat.
Mengingat, Pasal 24 Nomor 1 Tahun 1974.
Mengingat, Pasal 71 (a) Kompilasi Hukum Islam.
Memperhatikan segala Ketentuan hukum Syariat dan Peraturan
perundang-undangan lainnya yang bersangkutan dengan perkara ini.
M E N G A D I L I
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Membatalkan Perkawinan antara Tergugat I (TERGUGAT I) dengan
Tergugat II (TERGUGAT II).
3. Menyatakan Akta Nikah No. 0692/154/IV/2013 yang diterbitkan oleh
KUA Kecamatan Ciputat, kota Tangerang Selatn, Banten; tidak
mempunyai kekuatan hukum.
4. Membebenkan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 561.000 (lima ratus enam puluh satu ribu rupiah)
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 14 April
2016 Masehi, bertepatan dengan tanggal 6 Rajab 1437 Hijriyah, oleh kami
Drs. Muh. Arief Musi, S.H. sebagai Ketua Majelis, Dra. Hj. Mardianah
R, S.H dan Drs. H. Muh. Anwar Saleh, S.H., M.H. masing-masing sebagai
Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk
Hal 8 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
umum oleh Ketua Majelis tersebut dengan didampingi oleh Hakim
Anggota dan dibantu oleh Hariyati, S.H. sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat I tanpa hadirnya Tergugat II dan
turut Tergugat.
Hakim Anggota, Ketua Majelis,
Dra. Hj. Mardianah R, S.H Drs. Muh. Arief Musi, S.H.
Drs. H. Muh. Anwar Saleh, S.H., M.H.
Panitera Pengadilan,
Hariyati, S.H
Hal 9 Dari 9 Put. Nomor 461 /Pdt.G/2016/PA Mks
Perincian Biaya Perkara :
1. Pendaftaran : Rp. 30.000,00
2. Proses : Rp. 50.000,00
3. Panggilan : Rp 470.000,00
4. Redaksi : Rp. 5.000,00
5. Meterai : Rp. 6.000,00
Jumlah : Rp 561.000,00