pembagian hak waris 1:1 bagi ahli waris laki-laki...
TRANSCRIPT
PEMBAGIAN HAK WARIS 1:1 BAGI AHLI WARIS LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN (Analisis Putusan Pengadilan Agama Medan
No. 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
MUHAMAD FAUDZAN
NIM.1110044100013
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Muhamad Faudzan. NIM 1110044100013. PEMBAGIAN HAK WARIS 1:1 BAGI
AHLI WARIS LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN (ANALISIS PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN NO. 92/PDT. G/2009 PAMDN).
Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 /
2014. xi + 70 halaman + 94 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan hak waris bagian laki-laki dan
perempuan dua berbanding satu yang telah digariskan oleh al-Qur’an. Dengan
menganalisis putusan Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.G/2009 PAMdn yang
memberikan bagian hak waris laki-laki dan perempuan dengan perimbangan satu
berbanding satu. Kemudian lebih menggali pendapat ulama tentang tafsir ketentuan
ayat al-Qur’an, qat’iy zanniy ayat tersebut dan hikmah hak waris laki-laki dan
perempuan dua berbanding satu.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan dengan pendekatan
kualitatif. Sumber data primer berupa putusan Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.
G/2009 PAMdn. Menggunakan metode analisis data kualitatif. Dan teknik
penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kesimpulan bahwa hakim membagi harta waris
kepada ahli waris dengan perimbangan 1:1 dengan mengganggap ketentuan tersebut
bukan sesuatu yang qath’i dan dapat dilakukan ijtihad yang terhadapnya dengan
segala pertimbangan dari proses diperiksanya perkara tersebut.
Kata kunci: Kewarisan Anak Laki-Laki dan Perempuan, Dua berbanding Satu,
Putusan Pengadilan Agama.
Pembimbing : Sri Hidayati, M. Ag.
Daftar puskata : Tahun 1973 s.d Tahun 2013
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Almarhum Ayahanda Muhammad
Sujudi Gufran dan Ibunda Drs. Hj. Sisva Yetti, SH., MH. Yang selalu memberikan
dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga
Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., Ketua
Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Segenap Hakim dan staf Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai
bahan rujukan skripsi.
7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta Fauziatul
Mardhiyah, Akhmad Doddy Rasyidi, Muhammad Khaerul Luthfi, Arinie Zidna
dan juga seluruh Keluarga Besar uwa Bahrin Lubis dan Efrizaidar Harahap,
yang senantiasa memberikan dukungan sejak awal perkuliahan sampai penulis
dapat menyelesaikan skripsi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu Rusdi Rizki Lubis, Arif Rahman
Hakim, M. Putra Fajar, Caryono, Rifki Abdurrahman, Ircham Mahaputra, Irfan
viii
Zidny, Irfan Nur Hasan, M. Zaky Ahla, M. Ulil Azmi, Fajrul Islamy, Syahbana
Arif, Sopriyanto, Erwin Hikmatiar, Nisa Oktafiani, Wardatul Jannah, Dede
Ummu Kulsum, Defi Uswatun Hasanah, Inayah Maily, Khoirun Nisa, Sainah,
Azizah, Rena Soraya dan semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman
seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.
9. Semua Keluarga Besar Federasi Olahraga Mahasiswa (FORSA), Persatuan
Tenis Meja UIN Jakarta, dan Anggota KKN Youth 2013 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 28 April 2014
Muhamad Faudzan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... iv
ABSTRAK..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................
D. Metode Penelitian.................................................................
E. Review Studi Terdahulu.......................................................
F. Sistematika Penulisan...........................................................
1
6
7
8
10
12
BAB II KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK
PEREMPUAN............................................................................
14
A. Menurut Al-Qur’an, Ulama, dan Intelektual Islam..............
1. Menurut Al-Qur’an........................................................
14
14
x
2. Menurut Ulama dan Intelektual Islam...........................
B. Qat’iy dan Zanniy Ketentuan 2:1 dalam Al-Qur’ȃn.............
C. Hikmah Ketentuan 2:1 dalam Al-Qur’ȃn.............................
18
26
36
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR
92/PDT.G/2009/PA.MDN DAN ANALISA..............................
45
A. Kronologi Hukum................................................................
B. Tuntutan Penggugat..............................................................
C. Pertimbangan Majelis Hakim...............................................
D. Putusan Majelis Hakim........................................................
E. Analisis Penulis....................................................................
45
47
48
59
61
BAB IV PENUTUP................................................................................... 66
A. Kesimpulan...........................................................................
B. Saran.....................................................................................
66
67
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
LAMPIRAN
68
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi.
2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara.
3. Surat Jawaban Pengadilan Agama Medan.
4. Salinan Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat dikelompokkan kepada
dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia
dengan Allah penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah. Tujuannya
untuk menjaga hubungan antara Allah dan penciptanya, yang disebut hablun min
Allah. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan
manusia yang lainnya dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut hukum
mu’ȃmalȃt.1
Di antara aturan yang hubungan antar sesama manusia yang ditetapkan oleh
Allah adalah aturan harta warisan. Tata aturan membagi harta peninggalan antara
para ahli waris merupakan bentuk manifestasi dari pengakuan Islam tentang adanya
hak milik perseorangan, baik terhadap harta yang bergerak, maupun terhadap harta
yang tidak bergerak, dan juga manifestasi bahwa harta milik seseorang, setelah
matinya, berpindah kepada ahli waris dan harus dibagi secara adil antara ahli
warisnya, baik kepada perempuan maupun laki-laki, baik kecil maupun besar apabila
telah terpenuhi syarat-syarat menerima harta warisan.2 Ia manifes dari rangkaian teks
1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media Grup,2004), h.3. 2 Hasbi al-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-Hukum Warisan dalam Syari’at Islam,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1973), h.19.
2
dokumen suci dan telah memperoleh prioritas yang tinggi dalam keterlibatannya
sebagai fenomena prinsip yang fundamental dalam ajaran Islam.3 Dan menurut Imam
al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ali al-
Sabouni, berkata bahwa ayat-ayat mawaris tersebut merupakan salah satu tiang
agama, tonggak hukum Islam, serta induk ayat-ayat al-Qur’an karena farȃid
merupakan ilmu yang sangat tinggi derajatnya dan bahkan merupakan separuh dari
ilmu keislaman.4
Dasar aturan penyelesaian warisan yang disebut farȃid atau hukum kewarisan
Islam adalah beberapa ayat al-Qur’an dan sedikit tambahan dari hadits Nabi.5
Muhammad Amin Suma memilah ayat-ayat mawaris ini ke dalam tiga kelompok
besar yakni: Pertama, kelompok ayat induk inti yang terdiri dari surat al-Nisa`, ayat
7, 11, 12, 33, dan 176, Kedua, kelompok ayat pendukung yang terdiri dari surat al-
Nisa`, ayat 9, 10, 13, 14, dan 32-34, Ketiga, kelompok ayat terkait yang terdiri dari
al-Baqarah, ayat 228, al-Nisa`, ayat 19, dan al-Ahzab, ayat 4.6 Dalam Kompilasi
Hukum Islam, yang dianggap sebagai fiqh orang Indonesia7 juga mengatur tentang
hukum kewarisan Islam terdapat pada Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan dari
3 Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
(Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1997), h.1. 4 Muhammad Ali al-Sabouni, al-Mawȃrits fi al-Syarȋ’ah al-Islȃmiyyah, Penerjemah Hamdan
Rasyid, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005), h.17-18. 5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.36. 6 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam:Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, (Jakarta:Rajawali Pers,2013), h.24. 7 Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas
Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Jakarta, 2009), h.80.
3
Pasal 171 sampai dengan 193. Terkait dengan tema penulisan skripsi ini, maka yang
akan dibahas tentang redaksi ayat للذكر مثل حظ األنثيني yakni bagi anak laki-laki itu sama
bagiannya dengan bagian dua orang anak perempuan dan kalimat ini di ulang dua
kali, yakni dalam surat an-Nisa`, ayat 11 dan ayat 176.8
Sekalipun hukum kewarisan itu dari sisi normatif merupakan salah satu ayat
qauliyah yang dipandang qat’iy al-dalȃlah, tetapi secara kontekstual, perjalanannya
ayat-ayat tentang kewarisan terutama yang terkait dengan bagian anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan atau yang dikenal dengan formula 2:1 masih
banyak diperbincangkan terutama setelah maraknya isu gender yang menuntut
kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam pembagian harta
waris.9 Isu ini selalu menjadi isu kontroversial disebabkan oleh doktrin yang sudah
diterima tanpa dipertanyakan lagi bahwa hak waris perempuan setengah dari hak
waris laki-laki. Karenanya, setiap upaya penerapan hukum yang berbeda dari doktrin
ini secara normatif dipandang sebagai langkah yang bertentangan dengan ketentuan
hukum Islam.10
8 Suma, Keadilan Hukum Waris, h. 62. 9 Maskufa,”Kewarisan Laki-Laki dan Perempuan: Perspektif Fiqih, KHI dan Praktek di
Pengadilan Serta di Masyarakat.” Dalam Makalah Workshop Penyusunan Naskah Akademik Undang-
Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan, di Hotel Horison Bekasi, 12-13 Juli
2011, h. 1. 10 Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, h.80.
4
Hal ini juga dikemukakan oleh Munawir Sjadzali11
yang mengomentari bahwa
dalam pembagian harta warisan, al-Qur’an surat al-Nisa’, ayat 11, dengan jelas
menyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada anak
perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat
Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di berbagai daerah
yang terkenal kuat Islamnya seperti Sulawesi Selatan12
dan Kalimantan Selatan
tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan al-Qur’an tersebut. Para ahli waris
dari seorang yang meninggal dunia meminta fatwa waris sesuai dengan hukum waris
Islam kepada Pengadilan Agama, akan tetapi para ahli waris kerapkali tidak
melaksanakan fatwa waris tersebut dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri untuk
meminta agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai
dengan farȃ’id. Dengan melihat secara kontekstual di masyarakat maka beliau
kemudian melontarkan gagasan untuk menyamakan bagian kali-laki dan perempuan
dengan formula 1:1. Gagasan ini menimbulkan pro dan kontra dan memasuki wilayah
qat’iy dan zanniy dalam kajian ushul fiqh. Sebagian kritik terhadap gagasannya
11 Dikemukakan dalam Gagasan Reaktualisasi Ajaran Islam yang dilemparkan ke masyarakat
pada tahun 1985 ketika beliau menjabat Menteri Agama Republik Indonesia dan gagasan ini
disampaikan juga dalam forum Paramadina, Lihat Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan,
dalam Muhamad Wahyuni Nafis, ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sjadzali, MA, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 87. 12 Di Sulawesi Selatan, para hakim Pengadilan Agama biasanya menjadi mediator, para hakim
sering menerapkan prinsip perdamaian atau pembagian harta warisan secara kekeluargaan. Pihak-pihak
yang bertikai oleh hakim diajak untuk bermusyawarah membicarakan masalah pembagian harta
warisan secara merata (mengajak pihak laki-laki untuk mengalah dan kemudian mau merelakan
bagiannya menajdi sama rata dengan saudari perempuannya) atau paling tidak memperhatikan aspek
kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Lebih lanjut lihat Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan
Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta:
PUSKUMHAM UIN Jakarta, 2009), h.82.
5
mengemukakan argumen klasik bahwa formula anak laki-laki berhak menerima dua
kali lebih besar dari anak perempuan, itu tercantum dalam ayat al-Qur’an, nas sarȋh
yang dalam istilah ushul fiqh termasuk dalil qat’iy dan yang tidak boleh diubah.13
Terhadap gagasan ini pula, Ibrahim Hosen menawarkan suatu konsep dalam langkah-
langkah pembaharu hukum Islam yaitu memfiqihkan hukum qat’iy.14
Selain kasus di atas terdapat beberapa kasus putusan Mahkamah Agung
memang telah ada yang memberikan bagian sama atau sama bagian antara laki-laki
dengan bagian perempuan.15
Salah satunya di Pengadilan Agama Medan yang
memutuskan pembagian harta waris dengan formula 1:1 bagi ahli waris laki-laki dan
perempuan yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Medan No.
92/Pdt.G/2009/PA.Mdn.
Berdasarkan perbedaan antara tekstual al-Qur’an dengan kontekstual yang
terjadi di Pengadilan Agama Medan maupun di masyarakat terkait masalah formula
2:1 bagian laki-laki dan perempuan dan masuk juga ke dalam persoalan kajian ushul
fiqh apakah ayat al-Qur’an للذكر مثل حظ األنثيني termasuk ayat qat’iy atau zanniy,
maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam skripsi yang berjudul
13 Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, ed.,
Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), h.88-93. 14 Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Muhamad
Wahyuni Nafis, ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA,
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h.273. 15 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.62.
6
Pembagian Hak Waris 1:1 Bagi Ahli Waris Laki-Laki dan Perempuan (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.G/2009/PA.MDN).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan luasnya pembicaraan tentang kewarisan Islam, maka
penulis membatasi pada masalah porsi bagian waris bagi ahli waris laki-laki dan ahli
waris perempuan dan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Pembatasan masalah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pembagian waris dalam skripsi ini dibatasi pada pembagian waris dalam
ketentuan Hukum Kewarisan Islam.
b. Ahli waris dibatasi pada anak laki-laki dan perempuan pewaris.
c. Putusan Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.G/2009/PaMdn dibatasi
tentang sengketa kewarisan antara penggugat I-IX dengan tergugat I-III.
2. Perumusan Masalah
Pada surat al-Nisȃ’, ayat 11, dan ayat 176, mengatur hak waris laki-laki dua
berbanding satu dengan anak perempuan. Dalam kenyataannya, Majelis Hakim
Pengadilan Agama Medan dalam putusannya memutuskan tentang bagian ahli waris
laki-laki bersama dengan ahli waris perempuan adalah satu berbanding satu (1:1).
Rumusan masalah di atas penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
7
a. Bagaimana keputusan hakim Pengadilan Agama Medan dalam memutus
perkara sengketa kewarisan tentang porsi ahli waris laki-laki dan porsi
ahli waris perempuan?
b. Bagaimana pertimbangan dan dasar hakim Pengadilan Agama Medan
dalam putusan tersebut yang memutuskan bahwa bagian ahli waris laki-
laki dan perempuan adalah satu berbanding satu (1:1) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka
tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:
a. Untuk menjelaskan keputusan hakim Pengadilan Agama Medan dalam
memutus perkara sengketa kewarisan tentang porsi hak waris ahli waris
laki-laki dan porsi untuk ahli waris perempuan.
b. Untuk mengidentifikasi pertimbangan dan dasar hakim Pengadilan
Agama Medan dalam putusan tersebut yang memutuskan bahwa bagian
ahli waris laki-laki dan perempuan adalah satu berbanding satu (1:1).
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya adalah:
8
a. Secara teoritis-akademis, skripsi ini sebagai wujud kontribusi positif
penulis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada
bidang hukum kewarisan Islam yang mengatur pembagian hak waris dua
berbanding satu bagi ahli waris laki-laki dan perempuan.
b. Secara praktis, diharapkan skripsi ini dapat dijadikan sebagai sebuah
masukan yang positif bagi kelansungan hidup umat manusia yang
mendatang baik kepada masyarakat, civitas akademika Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
maupun Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di
Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata
atau gambar daripada angka-angka.16
Dan secara khusus dalam skripsi ini,
menganalisa isi putusan Pengadilan Agama, untuk melihat sejauh mana proses
penyelesaian para hakim menyelesaikan perkara sengketa kewarisan dalam
pembagian hak waris bagi ahli waris laki-laki dan perempuan.
2. Pendekatan
16 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif:Analisis Data,(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h.3.
9
Dalam penulisannya memakai metode pendekatan yuridis-empiris, mempunyai
ciri khas bertitik tolak pada data primer dan umumnya mencari tahu jawaban terhadap
kesenjangan antara hukum yang seharusnya (das sollen) dengan hukum kenyataanya
(das sein).17
3. Sumber Data Penelitian
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer berbentuk putusan Pengadilan Agama Medan No.
92/Pdt.G/2009/PA.Mdn yang didapatkan dari Pengadilan Agama Medan.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari al-Qur’an, kitab-
kitab tafsir al-Qur’an, kitab-kitab hadits, Kompilasi Hukum Islam, buku-buku,
dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan pembagian porsi hak
waris bagi laki-laki dan perempuan.
4. Teknik Pengumpul Data
Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul
data sebagai berikut:
a. Observasi dilakukan di Pengadilan Agama Medan untuk mendapatkan
putusan Pengadilan Agama Medan terkait dengan sengketa hukum
kewarisan Islam.
17 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: t.p., 2010), h.32.
10
b. Studi dokumentasi, yaitu mengkaji dan meneliti putusan hakim
Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.G/2009 PaMdn yang sudah
berkekuatan hukum tetap (BHT) terkait masalah bagian ahli waris laki-
laki dan perempuan.
c. Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan
teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, dimana penelitian
yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah, artikel
maupun website.18
5. Analisis Data
Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara analisis data kualitatif, yakni
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.19
6. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam penyusunan proposal ini berpedoman pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
18 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h.141. 19Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2012), h. 248.
11
E. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa
skripsi yang membahas tentang waris. Berikut skripsi yang penulis temukan:
No. Identitas Substansi Pembeda
1. Neneng Fatimah,PAI-
FITK 2011
“Konsep Waris dalam
Perspektif Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali,
MA.”
Menyajikan analisis
konsep pembagian
warisan bagi ahli waris
laki-laki dan perempuan
yakni dua berbanding
satu dalam pandangan
Prof. Dr. H. Munawir
Sjadzali, MA.
Pada skripsi ini
menganalisa
pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama
Medan dalam
menyelesaikan
masalah pembagian
warisan bagi ahli
waris laki-laki dan
perempuan yakni dua
berbanding satu.
2. Eva Nurmala, PMH-
FSH, 2010
“Efektifitas
Pelaksanaan Pasal 176
Skripsi ini menyajikan
metode penelitian
kuantitatif dengan
menyebarkan questioner
Skripsi ini
menggunakan metode
kualitatif yakni
menganalisa putusan
12
KHI Tentang
Pembagian Laki-Laki
dan Perempuan
Hukum Waris KHI
(Studi Kasus
Masyarakat Kel.
Ciganjur Kec.
Jagakarsa, Jakarta
Selatan).”
kepada masyarakat
tentang pembagian hak
waris laki-laki dan
perempuan.
terhadap perkara yang
terkait dengan
pembagian hak waris
kepada ahli waris
laki-laki dan
perempuan.
3 Firman Abdurrahman,
SAS-FSH, 2013
“ Penyamaan Bagian
Anak Laki-Laki dan
Perempuan Melalui
Praktek Hibah di
Masyarakat Kelurahan
Nyomplong
Sukabumi.”
Skripsi ini menyajikan
penelitian lapangan
terhadap kasus
penyamaan bagian anak
laki-laki dan perempuan
di daerah tertentu dan
menemukan bahwa
penyamaan bagian
tersebut melalui hibah.
Dalam skripsi penulis
tidak mengambil
objek penelitian pada
suatu daerah tertentu
akan tetapi
mengambil dokumen-
dokumen untuk
dijadikan objek
penelitiannya.
13
Dengan demikian, yang membedakan skripsi penulis adalah skripsi
menganalisa dokumen dalam bentuk putusan hakim Pengadilan Agama Medan
dengan menggunakan metode kualitatif sebagai jenis penelitiannya.
F. Sistematika Penulisan
Proposal ini terdiri dari empat (IV) bab dan tiap-tiap bab terdiri beberapa sub
bab sebagai berikut:
Bab I. Merupakan bab pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II. Bab ini berisi tinjauan kewarisan anak laki-laki dan perempuan menurut al-
Qur’an, ulama dan intelektual Islam, konsep qat’iy dan zanniy ketentuan 2:1 dalam
al-Qur’an dan hikmah ketentuan 2:1 dalam al-Qur’an.
Bab III. Bab ini berisikan putusan Pengadilan Agama Medan Nomor
92/Pdt.G/2009/PA.MDN yang terdiri dari kronologi hukum, tuntutan penggugat,
pertimbangan dan putusan majelis hakim serta analisa penulis.
Bab IV. Bab ini merupakan bab penutupan yang berisi kesimpulan, saran dan daftar
pustaka.
14
BAB II
KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN
A. Menurut Al-Qur’ȃn, Ulama, dan Intelektual Islam
1. Menurut Al-Qur’ȃn
Dasar aturan penyelesaian warisan yang disebut farȃ‟id1 atau hukum kewarisan
Islam adalah beberapa ayat al-Qur‟an dan sedikit tambahan dari hadits Nabi.2
Para ahli berbeda pendapat tentang jumlah ayat waris. Ada yang menyebutkan
hanya sekitar 5-6 ayat saja dan ada juga yang menyebutkannya lebih dari itu.
Perbedaan ini berpangkal pada ketidaksamaan pendirian mereka dalam menyikapi
ayat-ayat yang pada satu sisi tidak tegas-tegas berisikan ihwal penentuan ahli waris
masing-masing, sementara ada sisi lain, ayat-ayat itu tetap memiliki keterkaitan
(munȃsabah) yang langsung dengan ayat-ayat induk mawaris itu sendiri. Kemudian
di luar perbedaan pendapat di kalangan para ahli, dalam bukunya, Muhammad Amin
Suma memilah ayat-ayat mawaris ini ke dalam tiga kelompok besar yakni: Pertama,
kelompok ayat induk inti yang terdiri dari surat al-Nisȃ`, ayat 7, 11, 12, 33, dan 176,
Kedua, kelompok ayat pendukung yang terdiri dari surat al-Nisȃ`, ayat 9, 10, 13, 14,
1 Secara etimologi farȃ‟id berasal dari kata فريضة ج فرائض -يفرض -فرض yang berarti menduga,
mengira-ngirakan menentukan, menetapakan, mewajibkan. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-
Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Progressif, 2002), h.1046. Sedangkan secara
terminologi farȃid adalah ilmu yang membahas tentang peralihan hak milik terhadap harta kekayaan
dalam hal ini penentuan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing
ahli waris, kapan harta peninggalan itu bisa dibagi dan bagaimana pembagiannya. Lihat juga
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam:Dalam Pendekatan Teks dan Konteks,
(Jakarta:Rajawali Pers,2013), h.11. 2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.36.
15
dan 32-34, Ketiga, kelompok ayat terkait yang terdiri dari al-Baqarah, ayat 228, al-
Nisȃ`, ayat 19, dan al-Ahzȃb, ayat 4.3 Terkait dengan tema penulisan skripsi ini maka
yang akan dibahas tentang redaksi ayat للذكر مثل حظ األنثيني yakni bagi anak laki-laki itu
sama bagiannya dengan bagian dua orang anak perempuan dalam QS. al-Nisȃ` (4): 11
dan kalimat ini di ulang dua kali, yakni dalam surat al-Nisȃ‟, ayat 176 4.5
11:4))النساء/
3 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.23-24.
4
176:4))النساء/
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 5 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.62.
16
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Adapun asbȃbu al-nuzȗl dari surat al-Nisȃ, ayat 11 adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir 6, adalah sebagai berikut:
ي ض ر ر اب ج ن ع ر د ك املن ن اب ن ر ب خ : أ ال ق م ى ر ب خ أ ج ي ر ج ن اب ن أ ام ش ا ى ن ر ب خ ى: أ س و م ن ب م ي اى ر ب ن ث د ح ب الن ن د ج و ف ني ي اش م ة م ل س ن ب ف ر ك ب و ب أ و م ل س و و ي ل ع الل ل ص ب الن ن اد : ع ال ق و ن ع ال ع ت الل ع ن ص أ ن أ ن ر م أ ا ت : م ت ل ق ، ف ت ق ف أ ف ي ل ع ش ر ، ث و ن م أ ض و ت ف اء ا ب ع د ، ف ل ق ع أ ل م ل س و و ي ل ع الل ل ص .)رواه البخاري((...م ك د ل و أ ف الل م ك ي ص و )ي ت ل ز ن ؟ ف الل ل و س ا ر ي ال م ف
Artinya: “Ibrahim bin Musa menyampaikan kepadaku dari Hisyam, dari Ibnu Juraij
yang berkata, Ibnu al-Munkadir mengabarkan kepadaku bahwa Jabir berkata,” Nabi
SAW bersama Abu Bakar menjengukku di bani Salamah dengan berjalan kaki. Beliau
mendapatiku dalam keadaan tidak sadar. Beliau minta diambilkan air, kemudian
beliau berwudu dengannya, lalu memercikku hingga aku sadar kembali. Lalu
berkata,” Wahai Rasulullah, apa yang kau perintahkan kepadaku mengenai
hartaku?” Untuk itu, turunlah ayat,”Allah mewasiatkan kalian mengenai anak-anak
kalian....”(HR. al- Bukhȃri)7
6 Jalaludin al-Suyuthi, Asbabu al- Nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟ȃn, Penerjemah Abdul
Hayyie, dkk, (Jakarta:Gema Insani, 2008), h.153-154. 7 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2: Shahȋh al-Bukhȃri
2, Penerjemah Subhan Abdullah, dkk, (Jakarta:Almahira, 2012), h.155-156.
17
بن د م م بن الل د ب ع ن و ع ر م بن ع الل د ي ب ا ع ن ر ب خ : أ ي د ع ا بن ي ر كك ن ث د : ح د ي ح بن د ب ا ع ن ث د ح الل ل ص الل ل و س ر ل د ع س ن ا م ه ي ت ن اب ب ع ي ب الر بن د ع س ة أ ر ام ت اء : ج ال ق الل د ب ع ن ب ر اب ج ن ، ع ل ي ق ع ن ا، و د ي ه ش د ح أ م و ي ك ع ا م ه و ب أ ل ت ق ع ي ب الر بن د ع ا س ت ن اب ان ات ! ى الل ل و س ا ر : ي ت ال ق ف م ل س و و ي ل ع ((. ك لل ف ي الل ض ق : )) ي ال . ق ال ا م م ل و ل ان ح ك ن ت ل ، و ال ا م م ل ع د ي م ل ا ف م ال م ذ خ ا أ م ه م ع ني ث ل الث د ع س ت ن اب ط ع :))أ ال ق ا ف م ه م ع ل م ل س و و ي ل ع الل ل ص الل ل و س ر ث ع ب ، ف اث ر ي امل ة آي ت ل ز ن ف ((.)رواه الرتميذ(ك ل و ه ف ي ق ا ب م و ن م ا الث م ه م أ ط ع أ و
Artinya: “Abd bin Humaid menyampaikan kepda kami dari Zakaria bin Adi, dari
Ubaidullah bin Amr yang mengabarkan dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil
bahwa Jabir bin Abdullah berkata,” Istri beserta kedua anak perempuan Sa‟ad
datang mengadu kepada Nabi SAW seraya berkata,‟Wahai Rasulullah, ini adalah
dua anak perempuan Sa‟ad bin al-Rabi‟ yang telah syahid saat ikut perang Uhud
bersamamu. Paman kedua anak ini telah mengambil seluruh hak mereka tanpa sisa
padahal keduanya tidak dapat dinikahkan, kecuali jika memiliki uang.‟Beliau
menjawab,‟Allah yang akan memutuskan perkara ini.‟ Setelah itu turunlah ayat waris
dan Rasulullah SAW mengutus seseorang kepada paman keduanya dengan membawa
perintah,‟Berikan dua pertiga harta warisan untuk kedua putri Sa‟ad dan untuk ibu
mereka seperdelapan. Adapun sisanya menjadi hak milikmu.‟”(HR. al- Tarmidzi).8
Dan juga dalam hadits riwayat Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi al-
Sijistani:
الل د ب ع ن ع م ل الع ل ى أ ن م ه ر ي غ و س ي ق بن د او د ن ر ب خ : أ ال ق ب ى و ا ابن ن ث د : ح ال ق ح ر الس ا ابن ن ث د ح ك ل ى اد ع س ن ! الل ل و س ا ر : ي ت ال ق ع ي ب الر بن د ع س ة أ ر ام ن : أ الل د ب ع بن ر اب ج ن ، ع ل ي ق ع بن د م م بن ا ى ي ر ا ت م ، ف ه ذ خ أ ل ال ا م م ل ع د ي ل و و ل ا ك م ه اث ر ي م ا و م ال ا م م ه م ع اء ف ت اس د ق و ني ت ن اب ك ر ت و ي الل ض ق :)) ي م ل س و و ي ل ع الل ل ص الل ل و س ر ال ق .ف ال ا م م ل و ل ا د ب أ ان ح ك ن ت ! ل االل و ؟ ف الل ل و س ر
الل ل و س ر ال ق (. ف 11ة )النساء: اآلي ( م ك د ل و أ ف الل م ك ي ص و اء:)ي س الن ة ر و س ت ل ز ن و ال ((. ق ك لل ف ا م ه م أ ط ع أ و ني ث ل ا الث م ه ط ع ا: أ م ه م ع ل ال ق ا((، ف ه ب اح ص و ة أ املر ا ل و ع د ))ا م ل س و و ي ل ع الل ل ص . )رواه أبو داود(ح ص أ و ا ى : ىذ د او د و ب أ ال ((. ق ك ل ف ي ق ا ب م و ن م الث
8 Abu Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Ensiklopedia Hadits 6: Jami‟ al-Tirmidzi,
Penerjemah Idris, dkk, (Jakarta:Almahira, 2012), h.700.
18
Artinya: “ Ibnu al-Sarh menyampaikan kepda kami dari Ibnu Wahb, dari Dawud bin
Qais dan beberapa orang ulama yang mengabarkan dari Abdullah bin Muhammad
bin Aqil, dari Jabir bin Abdullah bahwa istri Sa‟ad bin al-Rabi‟ berkata,” Wahai
Rasulullah, Sa‟ad telah gugur dalam peperangan dan dia meninggalkan dua anak
perempuan. Pamannya mengambil seluruh harta peninggalan Tsabit dan tidak
memberikan sedikit untuk kedua anak ini. Bagaimana pendapatmu, wahai
Rasulullah? Demi Allah, keduanya tidak dapat menikah jika tiak memiliki harta sama
sekali.‟ Rasulullah SAW berkat,‟Allah akan menjelaskan bagian warisan mereka.‟
Lalu turunlah ayat, „Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anak kalian,‟ (QS. 4:11).‟ Kemudian Rasulullah SAW berkata,‟
Panggilkan wanita tadi beserta paman dari kedua anakny.!‟ Beliau berkata kepada
paman kedua anak itu,‟Berikanlah dua pertiga harta warisan (Tsabit) kepada kedua
anaknya, seperdelapan kepda istrinya dan sisanya untukmu!.‟” (HR. Abu Dȃwud)9
2. Menurut Ulama dan Intelektual Islam
Surat al-Nisȃ‟, ayat 11 ini merupakan perincian dari ayat-ayat sebelumnya yang
menjelaskan tentang ketentuan memberi kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka
dan menegaskan bahwa ada hak untuk laki-laki dan perempuan berupa bagian
tertentu dari warisan ibu bapak dan kaum kerabat. Ayat tersebut mendahulukan hak
atas anak-anak karena mereka umumnya lebih lemah dari orang tua dan mempunyai
hubungan kekerabatan yang paling dekat.10
Menurut Abu Ja‟far, disebutkan bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW
sebagai sebuah penjelasan dari Allah tentang ketentuan yang diwajibkan ketika
seseorang mewarisi orang yang meninggal dunia, juga tentang hak untuk mewarisi
yang dimiliki ahli waris, sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, sebab orang-orang
9 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi al-Sijistani, Ensiklopedian Hadits 5: Sunan
Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali, dkk, (Jakarta:Almahira, 2013), h.611. 10 Maskufa,”Kewarisan Laki-Laki dan Perempuan: Perspektif Fiqih, KHI dan Praktek di
Pengadilan Serta di Masyarakat.” Dalam makalah workshop penyusunan naskah akademik Undang-
Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan, di Hotel Horison Bekasi, 12-13 Juli
2011, h.3.
19
jahiliyah dahulu tidak memberikan harta warisan mereka kepada seorang ahli waris
pun yang tidak turut menghalau musuh dan berperang, yaitu anak-anak mereka yang
masih kecil dan istri-istri mereka. Mereka mengkhususkan harta warisan mereka
kepada orang-orang yang ikut berperang, bukan kepada keturunan mereka.
Selanjutnya Allah SWT memberitahukan bahwa warisan yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia itu berhak diwarisi oleh orang-orang yang disebutkan
dan wajib menerima warisan dalam ayat ini, juga pada akhir surat ini. Allah
berfirman tentang anak yang masih kecil dan sudah dewasa, yang laki-laki dan yang
perempuan bahwa mereka berhak mewarisi harta ayah mereka jika tidak ada ahli
waris selain mereka bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak
perempuan.11
Dalam al-Nisȃ‟, ayat 11 ini menyebutkan bahwa pembagian harta warisan bagi
ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian dari ahli waris perempuan. Menurut Abu
Ja‟far dalam Tafsir al-Tabari, berkata bahwa makna firman-Nya, Allah“ يوصيكم الل
mensyariatkan bagimu” maksudnya adalah “Allah mensyariatkan kepada kalian, ىف
,adalah tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu حظ األنثيني أولدكم للذكر مثل
yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan. Allah
berfirman, “Allah mensyariatkan kepada kalian jika salah seorang di antara kalian
11 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Penerjemah Akhmad
Affandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Jilid 6, h.533.
20
meninggal dunia dan meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, maka semua anak
laki-laki dan perempuan berhak atas harta warisan. bagian laki-laki sama dengan
bagian dua bagian anak perempuan.” Kata “mitslu” di-rafa‟-kan karena ia menjadi
sifat, yaitu bagi huruf lam pada firman Allah Bagian anak laki-laki.” Kata“ للذكر
“mistlu” tidak dinasab oleh firman Allah, يوصيكم الل “Allah mensyariatkan bagimu,‟
sebab wasiat dalam firman Allah ini merupakan sebuah pemberitahuan, yang berarti
“perkataan” (Allah berfirman kepada kalian). sedangkan perkataan itu tidak “jatuh”
pada nama-nama yang diberitakan tersebut. Jadi, dalam hal ini seakan-akan Allah
berfirman, “ Hak kamu dalam pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak lelaki di antara mereka, sama dengan bagian dua orang anak
perempuan.”12
Menurut Quraish Shihab, potongan ayat li al-dzakari mitslu hazzi al-untsayaini,
ini mengandung penekanan pada bagian anak perempuan karena dengan dijadikannya
bagian anak perempuan sebagai ukuran buat bagian anak laki-laki, maka itu berarti,
sejak semula – seakan-akan sebelum ditetapkannya hak laki-laki – hak anak
perempuan telah terlebih dahulu ada. Bukankah jika anda akan mengukur sesuatu,
terlebih dahulu anda harus memiliki alat ukur, baru kemudian menetapkan kadar
12 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir Al-Tabari, Penerjemah Akhmad Affandi,
h.532.
21
ukuran sesuatu itu. Penggunaan redaksi ini adalah untuk menjelaskan hak perempuan
memperoleh warisan, bukan seperti yang diberlakukan pada masa Jahiliyah.13
Terhadap surat al-Nisa‟ ayat 11 yang terkait bagian kewarisan laki-laki dan
perempuan, Muhammad Syahrur14
memperkenalkan inti dari teorinya, yang oleh
Hallaq diterjemahkan sebagai “Teori Limit” atau “Teori Batas”(hudȗd). Yang
menyatakan bahwa batas minimal bagian anak kelompok wanita sebesar 33,33% atau
satu bagian dan batas maksimal bagian kelompok anak laki-laki memperoleh dua kali
lipat bagian wanita 66,66% atau dua bagian kelompok wanita.15
Ayat ini merupakan prinsip pertama dalam pembagian harta warisan. Dalam
prinsip ini terdapat indikasi bahwa pihak perempuan adalah dasar atau titik tolak
dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Menurut beliau, seakan-akan Allah
menyatakan: “perhatikan bagian yang telah kalian tentukan untuk dua perempuan,
lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-laki”, karena dilihat dari logika teoritis
dan aplikasi ilmiah manapun, sangat tidak masuk akal mengetahui dan menentukan
13 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,( Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. II, h.361. 14 Nama lengkap Muhammad Syahrur bin Daib lahir di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938.
Ia merupakan anak kelima dari seorang ayah yang bekerja sebagai tukang celup. Pendidikannya
dimulai dari sekolah Ibtidaiyah dan tsanawiyah di Damaskus. Syahrur memperoleh ijazah Tsanawiyah
dari sekolah „Abd al-Rahman al-Kawakib pada tahun 1957. Pada 1957 juga, ia dikirim ke Saratow,
dekat Moskow, utntuk belajar Teknik Sipil dan memperoleh gelar MA danPh.D di bidang mekanika
tanah dan Teknik Pondasi dan diangkat sebagai Professor jurusan Teknik Sipil di Universitas
Damaskus.lebih lanjut lihat Faisar Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeunatika Muhammad
Syahrur dan implikasinya terhadap Istinbȃt al-Ahkȃm dalam Persoalan Wanita, Ahkam XIII, no. 1
(Januari 2013), h. 109-110. Dan lihat juga Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer,
Penerjemah Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), h.i. 15 Faisar Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeunatika Muhammad Syahrur dan
implikasinya terhadap Istinbȃt al-Ahkȃm dalam Persoalan Wanita, Ahkam XIII, no. 1 (Januari 2013), h.
121.
22
hal semisal sesuatu sebelum mengetahui dan menentukan batasan sesuatu yang
dimisalkan tersebut.16
Selanjutnya mari perhatikan redaksi akhir ayat wasiat dalam firman-Nya: fa in
kunna nisȃ‟an fawqa al-itsnatayni fa lahunna tsulusa mȃ taraka; wa in kȃnat
wȃhidatan fa lahȃ al-nisfu (...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta). Ayat ini merupakan nas wasiat yang
mengcakup seluruh prinsip-prinsip waris secara terperinci. Redaksi ayat yang datang
setelah ayat ini merupakan penjelasan kasus-kasus spesifik dari ketiga kasus waris
yang menggambarkan hudȗd Allah (batas-batas hukum Allah) ini. Hal ini
berdasarkan atas kenyataan bahwa setelah Allah menjelaskan wasiat-Nya tentang
prinsip-prinsip waris dalam surat al-Nisa‟ ayat 11 dan 12, Allah mengawali ayat 13
dengan redaksi tilka hudȗda Allah (demikian adalah batas-batas hukum Allah).
Untuk memahami hukum dan aturan pembagian harta warisan, menurut
Muhammad Syahrur diperlukan ilmu bantu, antara lain: teknik analisis, analisis
matematis, teori himpunan dan konsep variabel pengikut dan variabel pengubah, yang
dalam ilmu matematika dapat digambarkan dengan rumusan persamaan fungsi
berikut: Y= f (x). Dalam hukum waris, laki-laki disimbolkan dengan (y) sebagai
variabel pengikut dan perempuan dengan simbol (x) sebagai variabel pengubah.
16 Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), h.340.
23
Dalam hal ini, perempuan adalah dasar dalam penghitungan waris dan bagian laki-
laki ditetapkan batasannya setelah bagian perempuan ditetapkan, karena sebagai
variabel pengikut (y) yang nilainya berubah dan bergerak sesuai dengan perubahan
bagian perempuan.17
Muhammad Syahrur mendapati bahwa mayoritas ahli fiqh membaca ayat li al-
dzakari mitslu hazzi al-untsayaini (bagi anak laki-laki semisal dua anak perempuan),
tetapi mereka mengaplikasikan seakan-akan Allah berfirman: li al-dzakari mitsla
hazzi al-untsa (bagi anak laki-laki sama dengan dua kali bagian seorang anak
perempuan). Menurut Syahrur, pendapat ini adalah kesalahan pertama dalam aturan-
aturan pembagian harta warisan yang selama ini berlaku. Ada perbedaan besar antara
penggandaan jumlah perempuan (al-untsayaini) seperti dalam firman Allah: li al-
dzakari mitslu hazzi al-untsayaini dan penggandaan prosentase (mitsla) seperti dalam
pendapat para ahli fikih: li al-dzakari mitslu hazzi al-untsa. Pada kondisi pertama
terdapat variabel pengikut dan variabel pengubah, juga terdapat variabel pengubah
tertentu, yaitu jumlah perempuan yang terkadang bernilai satu, dua atau lebih. Laki-
laki adalah variabel yang mengikuti perubahan variabel perempuan.
Oleh karena itu, jumlah laki-laki disebut hanya sekali dalam ayat, sedangkan
jumlah perempuan memiliki kemungkinan nilai yang sangat beragam, sejak dari
angka satu hingga tak terbatas. Pada kondisi dua yang diterapkan oleh ahli fikih, tidak
17 Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin,
h.340-341.
24
ada variabel pengubah, variabel pengikut maupun dasar perhitungan. Laki-laki
mendapatkan dua kali bagian perempuan berapa pun jumlah perempuannya. Dan
pada firman-Nya: li al-dzakari mitslu hazzi al-untsayaini, Allah menunjukkan bahwa
jatah laki-laki menjadi dua kali lipat jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu
ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki dalam pengertian
bahwa terdapat jumlah objektif bukan jumlah hipotesis untuk menyatakan jumlah
satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah himpunan
jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan ketika jumlah perempuan dua
kali lipat jumlah laki-laki. 18
Kemudian Muhammad Syahrur juga menjelaskan penyelesaian matematis jika
jumlah perempuan lebih besar dari dua kali jumlah laki-laki atau dalam kasus satu
laki-laki dengan 3, 4, atau 5 perempuan dan seterusnya. Dalam hal ini disebutkan
jawaban Allah dalam firman-Nya: fa in kunna nisȃ‟an fawqa al-itsnatayni fa lahunna
tsulusa mȃ taraka (...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan). Dalam hal ini memperhatikan
dua hal. Pertama, jumlah perempuan berubah dan berganti. Kedua, jatah laki-laki
tidak mencapai dua kali lipat jatah perempuan, karena jika kita tentukan harta warisan
bagi empat anak, misalnya, yang terdiri dari satu anak laki-laki dan tiga perempuan,
tentulah jatah laki-laki mencapai 33,33% dari harta peninggalan, dan jatah
perempuan, masing-masing adalah 66,66% : 3 = 22,22%. Jika kita tentukan,
18 Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin,
h.341-342.
25
misalnya, harta waris bagi enam anak yang terdiri dari satu laki-laki dan lima
perempuan, tentulah laki-laki akan mendapat jatah sebesar 33,33%, sedangkan jatah
perempuan masing-masing, sebesar 66,66% : 5 = 13,33%. Kenyataan ini memperkuat
pendapat bahwa jatah laki-laki sebesar dua kali jatah perempuan hanya pada satu
kasus saja, bukan pada seluruh kasus sebagaimana yang dianggap oleh para ahli fikih
dalam aplikasi hukum fikih selama ini.19
Dari penjelasan di atas, batas minimal kelompok wanita sebesar 1/3 dari harta
warisan berdasarkan firman Allah: li al-dzakari mitslu hazzi al-untsayaini yang
dipahami Syahrur bahwa jumlah ahli warisnya terdiri dari satu anak laki-laki dan dua
anak perempuan. Batas minimal bagi kelompok wanita sebesar 2/3 atau 66,66% dari
harta peninggalan, ini landasannya firman Allah: fa in kunna nisȃ‟an fawqa al-
itsnatayni fa lahunna tsulusa mȃ taraka.20
Syahrur berpendapat juga bahwa hukum waris yang telah ditetapkan Allah
dalam wasiat-Nya adalah hukum umum (universal). Oleh karena itu, keadilan dengan
cara sama rata tidak diwujudkan pada level individu, tetapi hanya dapat diwujudkan
dalam level kolektif.21
Ia beranggapan bahwa dasar perhitungan dalam hukum
warisan adalah kelompok wanita sedangkan kelompok laki-laki hanya sebagai
variabel pengikut yang bagiannya dapat berubah-ubah sesuai dengan jumlah
19 Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin,
h.342. 20 Faisar Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeunatika Muhammad Syahrur dan
implikasinya terhadap Istinbȃt al-Ahkȃm dalam Persoalan Wanita, h. 122. 21 Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin,
h.344.
26
kelompok wanita yang mewarisi bersamanya. Maksudnya, apabila variabel wanita itu
seorang sendiri maka variabel seorang laki-laki mendapat separoh, begitu juga
variabel wanita. Apabila variabel wanita terdiri dari dua orang, maka variabel seorang
laki-laki maka sebanding dengan variabel dua orang perempuan. Kemudian apabila
variabel wanita lebh dari dua orang, maka variabel laki-laki mendapat 1/3 dan
variabel wanita mendapat 2/3 berapa pun jumlah mereka.22
B. Qat’iy dan Zanniy Ketentuan 2:1 dalam Al-Qur’ȃn
Istilah qat‟iy dan zanniy sebagaimana lazim diketahui masing-masing terdiri
atas dua bagian, yaitu yang menyangkut al-tsubȗt (kebenaran sumber) dan al-dalȃlah
(kandungan makna).23
Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut
kebenaran sumber al-Qur‟an. Semua bersepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-
ayat al-Qur‟an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum Muslim di
seluruh penjuru dunia dewasa ini adalah sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan
yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril.
Al-Qur‟ȃn jelas qat‟iy al-tsubȗt. Hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang
dikenal dengan istilah ma‟lȗm min al-dȋn bi al-darȗrah (sesuatu yang sudah sangat
jelas, aksiomatik dalam ajaran agama). karena itu, di sini tidak akan dibicarakan
22 Faisar Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeunatika Muhammad Syahrur dan
implikasinya terhadap Istinbȃt al-Ahkȃm dalam Persoalan Wanita, h. 123. 23 Berasal dari kata ثبوتا -يثبت -ثبت yang memiliki arti tetap, kekal dan abadi. Sedangkan al-
dalȃlah berasal dari kata لةدال و دالال و دال –يدل –دل yang memiliki arti menunjukkan, menuntun. Lihat
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Progressif,
2002), h.145 dan h.417.
27
masalah qat‟iy al-tsubȗt tersebut. Yang menjadi persoalan adalah bagian kedua, yakni
yang menyangkut kandungan makna redaksi ayat-ayat al-Qur‟ȃn.24
Menurut Quraish Shihab yang menyatakan bahwa masalah ini tidak menjadi
salah satu pokok bahasan ulama-ulama tafsir tetapi persoalan ini dibahas oleh ulama-
ulama usȗl al-fiqh. Secara mudah hal tersebut dapat dibuktikan dengan membuka
lembaran kitab-kitab „ulȗm al-Qur‟ȃn. Lihat misalnya al-Burhan karangan al-
Zarkasyi atau al-Itqan oleh al-Sayuti. Walaupun tidak menjadi pokok bahasan ulama
tafsir, namun mereka menekankan perlunya seorang mufassir untuk mengetahui usȗl
al-fiqh, khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat hukum.25
Masalah ini juga merupakan salah satu gagasan pembaruan dalam lapangan
usȗl al-fiqh yang selalu hangat diperbincangkan setiap zaman adalah konsep qat‟iy
dan zanniy. Konsep ini merupakan satu pembahasan yang paling sensitif dibicarakan
dan selalu menimbulkan perdebatan panjang. Perdebatan mengenai qat‟iy dan zanniy
juga merambah ke Indonesia. Materi-materi usul al-fiqh yang semula diterima apa
adanya, kini oleh beberapa pihak mulai dipersoalkan.26
Perdebatan ini bermula ketika Munawir Sjadzali yang menyuarakan gagasan
reaktualisasi ajaran Islam pada tahun 1985 ketika beliau menjabat Menteri Agama RI.
Berangkat dari pandangannya tentang masalah kewarisan yang terjadi di masyarakat,
24 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ȃn: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Mizan), h.212. Lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Usȗl al-Fiqh, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2003), h.35. 25 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ȃn, h.212-214. 26 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟i dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, dalam Jaenal
Aripin, ed., Filasafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.17.
28
kemudian memasuki wilayah kaidah qat‟iy dan zanniy. Menurutnya ayat-ayat
kewarisan tidak qat‟iy sebagaimana yang dipahami oleh ulama Islam. Gagasannya
disampaikan juga dalam forum Paramadina mendapatkan tanggapan yang beragam
ada yang pro dan ada juga yang kontra dari masyarakat luas.27
Setelah terlontarnya gagasan Munawir Sjadzali ini, beberapa pihak sibuk
menganggarap masalah qat‟iy dan zanniy.28
Salah satunya adalah Prof. Ibrahim
Husen, LML, yang menawarkan gagasan memfikihkan hukum qat‟iy sebagai salah
satu metode reaktualisasi hukum Islam.29
Disusul Masdar Farid Mas‟udi yang dikutip
dari Ali Rifuan, yang mencoba merasionalisasi konsep qat‟iy dan zanniy.30
Menurutnya yang qat‟iy adalah prinsip-prinsip fundamental agama seperti ke-
maslahat-an dan keadilan. Di samping itu, M. Quraish Shihab mengatakan,
menyinggung gagasan al-Syatibi, yang menyatakan bahwa kepastian makna
(qat‟iyyah al-dalȃlah) suatu nash yang muncul dari sekumpulan dalil zanniy yang
kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama.31
Secara teoritik, dalam literatur-literatur usȗl al-fiqh, klasik maupun modern
istilah qat‟iy dan zanniy didefinisikan dari kaca literalnya. Dalam etimologi qat‟iy
27 Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, ed.,
Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), h.87. 28 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟i dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, Filasafat
Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, h.17. 29 Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam”, dalam Muhamad
Wahyuni Nafis, ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA,
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h.253. 30 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟i dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, h.18. 31 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ȃn, h.216.
29
berasal dari kata قطعا -يقطع –قطع yang berarti memotong, mencegah, menyatakan
dengan pasti, membatalkan, menghadang32
atau bisa juga berarti الشيء بانة yang
artinya memisahkan sesuatu.33
Sedangkan zanniy berasal dari kata ظنا –يظن –ظن
yang berarti mengerti, meyakini, menduga, mengira, keraguan, kebimbangan.34
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, qat‟iy adalah nas yang menunjukkan makna yang
dipahami secara tertentu, tidak memerlukan takwil dan tidak mungkin dipahami
dengan makna yang lain. Sebalikya zanniy dipahami sebagai nas yang menunjukkan
makna tetapi dimungkinkan adanya takwil dan mungkin untuk dipalingkan dari
makna asal kepada makna lain.35
Dalam karya-karya klasik, istilah qat‟iy sering disamakan dengan kata „ilm dan
al-yaqin. Istilah „ilm yang banyak dikaji dalam ilmu kalam merupakan kata yang
sering menggantikan istilah qat‟iy, meskipun dalam studi yang lebih lanjut istilah
qat‟iy ternyata lebih umum dari „ilm. Menurut Imam al-Syȃfi‟i sebagaimana yang
dikutip oleh Ali Rifuan dari kitab al-Risȃlah, „ilm dapat dibagi menjadi dua, Pertama,
„ilmu al-„ammah atau pengetahuan yang pasti diketahui oleh orang Islam berakal
sehat, seperti kewajiban salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadan, haji dan zakat
serta keharaman zina, mencuri, membunuh dan meminum khamar. Kedua, „ilmu al-
32 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h.1133. 33 Sa‟ad bin Nasir bin „Abdul „Azȋz al-Syatsuriy, al-Qat‟u wa al-Zannu „Inda al-Usȗliyyȋn,
(Riyȃd: Dȃr al-Habȋb, 1997), h.12-14. 34Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 883. 35 Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Usȗl al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h.36-37.
30
khassah, yaitu pengetahuan tentang masalah yang tidak fundamental, tidak ada nas
dalam al-Qur‟an dan juga dalam sunnah, serta memungkinkan ta‟wil dan analogi.36
Adapun istilah zanniy dalam literatur usȗl al-fiqh mempunyai keterkaitan
dengan istilah syakk dan wahm. Baik zanniy , syakk, dan wahm mempunyai kesamaan
dari segi bahwa ketiganya menafikkan kepastian dan ketidakyakinan. Wahm adalah
pemberlakuan salah satu dari dua hal yang mempunyai tingkat kemungkinan yang
lemah (marjȗh). Syakk adalah pemberlakuan dua hal yang mempunyai kekuatan
sama. Adapun zanniy adalah pemberlakuan salah satu dari dua hal yang mempunyai
kemugkinan yang lebih kuat (rȃjih). Zanniy memiliki tingkatan-tingkatan yang
memberi ruang bertambah atau berkurang sampai tak terbatas. Secara statistik dapat
dirumuskan bahwa tingkatan paling rendah dari zanniy adalah lebih besar dari 0,5.
Angka ini adalah ukuran statistik untuk syakk. Tingkatan yang lebih rendah dari 0,5
ditempati oleh wahm. Adapun tingkatan yang lebih tinggi dari 0,5 tetapi di bawah 1,0
adalah zanniy yang disebut juga ghalabat al- zann, al- zann al-qawiy, atau al- zann
al-muttakhim li al-yaqin.37
Istilah qat‟iy dan zanniy yang hingga saat ini dianggap sebagai istilah yang
maklum, tanpa ada masalah, dan dianggap sudah final. Pada dasarnya belum
memiliki landasan yang jelas. Terkait hal ini Ali Rifuan mengutip pendapat Masdar
Farid Mas‟udi yang menjelaskan bahwa kategori qat‟iy dan zanniy sebagai istilah
36 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟iy dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, h.20. 37 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟iy dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, h.21.
31
tidak terdapat baik dalam al-Qur‟an maupun hadits Nabi. Bahwa ada ayat masuk
kategori zanniy adalah teori ulama sendiri, khususnya ulama fikih. Belum jelas benar
siapa pertama kali mengintrodusir kategori ini. Tetapi teori ini hampir tidak pernah
digugat, menurutnya adalah karena keserupaannya yang kuat dengan kategori
muhkȃm dam mutasyȃbih yang diintrodusir sendiri oleh al-Qur‟an. Keduanya sama-
sama berangkat dari pemahaman terhadap teks ajaran (ayat) dari sudut semantik,
bahasa, bukan dari sudut idea yang dipesankan oleh teks ajaran itu. Bedanya hanya
dalam hal penggunaannya. Qat‟iy dan zanniy dikenakan untuk memahami ayat-ayat
hukum (al-ahkȃm), sedangkan muhkȃm dam mutasyȃbih untuk ayat-ayat lain (yang
non hukum).38
Selajutnya mengutip pendapat al-Syatibi, yang dikutip oleh Quraish Shihab,
bagaimana penetapan status qat‟iy atau bagaimana proses yang dilalui oleh suatu
hukum yang diangkat dari nas sehingga ia pada akhirnya dinamai qat‟iy. Menurut al-
Syatibi qat‟iy al-dalalah (kepastian makna) suatu nas muncul dari sekumpulan dalil
zanniy yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama.
Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu
memberikan “kekuatan” tersendiri. Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-
masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut
menjadikannya tidak bersifat zanniy lagi. Ia telah meningkat menjadi semacam
38 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟iy dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, h.22-22.
32
mutawatir ma‟nawiy, dan dengan demikian dinamalah ia sebagai qat‟iy al-dalalah.39
Metode ini disebut juga istiqara‟ ma‟nawiy, yaitu penyimpulan secara induktif dari
sejumlah dalil-dalil zanniy yang mempunyai tujuan berbeda tetapi menunjuk kepada
satu pengertian secara pasti (qat‟iy), baik melalui pengulangan, penguatan maupun
penyebaran dalil-dalil tersebut. Konsep istiqara‟ ma‟nawiy
oleh al-Syatibi
selanjutnya digunakan sebagai dasar dari seluruh atau kebanyakan teori-teorinya.
Dinilai oleh beberapa kalangan sebagai pendekatan baru bahkan unik dalam teori
hukum atau usul al- fiqh sunni.40
Untuk memperjelas metodenya al-Syatibi memberikan beberapa contoh salah
satunya yang menyangkut tentang ke-hujjah-an shalat dan ditunjukkan oleh lafaz و
maka nas ini tidak menunjukkan kepada kewajiban shalat, walaupun , أقيموا الصالة
redaksinya perintah. Sebab, banyak ayat al-Qur‟an yang menggunakan redaksi
perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. Berdasarkan argumen istiqara‟
ma‟nawiy, kepastian tersebut datang dari pemahaman terhadap nas-nas lain yang,
walaupun dengan redaksi atau berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya
mengandung makna yang sama. Seperti adanya perintah Allah aqȋmȗ al-salȃh dalam
contoh di atas dengan variasi dan turunannya, adanya pujian bagi orang yang
mengerjakan dan celaan bagi yang meninggalkannya, adanya paksaan terhadap
39 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ȃn: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h.216-217. 40 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟iy dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, h.27.
33
mukallaf melaksanakannya, baik dengan berdiri, duduk maupun berbaring, adanya
perintah memerangi orang yang sengaja meninggalkannya, juga dihubungkannya
shalat dengan iman dan kewajiban zakat.41
Kumpulan nas yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian
disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqȋmȗ al-salȃh
secara pasti atau qat‟iy mengandung makna wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa
tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya.42
Kemudian bagaimana Abdul Wahhab Khallaf berbicara tentang penetapan
kasus qat‟iy yang berbeda dengan pendapat al-Syatibi. Menurut Abdul Wahhab
Khallaf, nas yang qat‟iy al-dalalah adalah nas yang menunjukkan kepada makna
yang pemahaman makna itu dari nas tersebut telah tertentu dan tidak mengandung
takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nas tersebut.
Misalnya dalam QS. al-Nisȃ` (4): 11.
11:4))النساء/
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak.”
41 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ȃn: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h.217. 42 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ȃn: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h.217-218.
34
Ayat ini menunjukkan secara pasti dan demikian pula setiap nas yang
menunjukkan bagian dalam harta waris yang telah ditentukan jumlahnya.43
Dengan
demikian menurut Ali Rifuan, setiap nas yang menunjukkan bagian dalam hal waris,
had atau sanksi hukuman yang telah ditentukan atau yang menunjukkan bilangan-
bilangan yang telah ditentukan, semua itu bernilai qat‟iy. Sebaliknya nas-nas yang
berbentuk lafaz musytarak, lafaz „ȃm, lafaz mutlȃq, dan sejenisnya bernilai zanniy,
karena seluruh lafaz-lafaz tersebut yang menunjukkan sebuah arti, tetapi dapat
menunjukkan makna lain.44
Namun ketika memahami ketentuan ayat-ayat kewarisan terkait bagian-bagian
ahli waris sebagai ayat yang qat‟iy al-dalalah, sebagaimana Abdul Wahhab Khallaf
kemukakan di atas, ternyata ketika dalam penerapannya terdapat konsep „aul. Adanya
konsep „aul45
dalam sistem waris kaum Sunni merupakan salah satu perubahan dalam
pelaksanaan hukum kewarisan yang diakibatkan oleh perubahan struktur keluarga.46
Kita mengetahui bahwa dengan sistem „aul, seorang ahli waris misalnya yang
dalam al-Qur‟an secara eksplisit ditetapkan memperoleh seperdelapan tetapi dalam
kenyataannya mungkin hanya memperoleh sepersembilan dari harta warisan.
43 Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Usȗl al-Fiqh, h.36-37. 44 Ali Rifuan, “Konsep Qat‟iy dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, h.23. 45 Berasal dari kata kerja عول –يعول –عال yang berarti lalim, tidak adil, berkurang. Lihat
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h.987. Secara terminologi berarti
bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Lihat
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Farȃid, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005), h.98. 46 M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia
Islam, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 313
35
Contohnya pada masalah ini47
, seorang meninggal dunia dengan meninggalkan
seorang istri, dua ibu bapak, dan dua orang anak perempuan yang menurut al-Qur‟an
pembagiannya adalah 1/8 untuk istri, masing-masing 1/6 untuk ibu dan bapak, dan
2/3 untuk kedua anak perempuan, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 27/24.
Karena penyebutnya lebih kecil dari pembilang maka untuk melaksanakan pembagian
itu diterapkan konsep „aul, caranya penyebut disamakan dengan pembilang yaitu
27/27. Dengan demikian maka istri yang dalam al-Qur‟an ditetapkan secara eksplisit
memperoleh 1/8 atau 3/24 dalam kenyataan hanya akan memperoleh 3/27 atau 1/9,
kemudian ibu bapak yang seharusnya memperoleh 4/24 menjadi 4/27 masing-
masingnya dan dua anak perempuan yang seharusnya memperoleh 16/24 menjadi
hanya 16/27. Perlu diingat bahwa dasar penerapan sistem „aul itu adalah ijtihad.48
Di
dalam sejarah dijelaskan, bahwa orang yang pertama kali yang melakukan „aul adalah
Umar bin Khattab.49
47 Masalah ini dinamakan minbarriyah, sebab Ali bin Abi Talib tengah berada di atas mimbar
di Kufah dan dia mengatakan di dalam khutbahnya:”Segala puji bagi Allah yang telah memutuskan
dengan kebenaran secara pasti, dan membalas setiap orang dengan apa yang dia usahakan dan kepada-
Nya tempat berpulang dan kembali,” lalu dia ditanya tentang masalah itu, maka dia menjawab di
tengah-tengah khutbahnya:” dan istri itu, seperdelapannya menjadi sepersembilan,” kemudian dia
melanjutkan khutbahnya. Lebih lanjut lihat Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma‟arif, 1981),
h.410 dan lihat juga Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.123-124. 48 Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam,
dalam, h. 313-314. 49 Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khattab didatangi oleh seorang sahabat yang
menanyakan tentang masalah kematian seseorang, di mana ada seorang wanita meninggal dunia
dengan meninggalkan seorang suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Menurut ketentuan
berlaku, seorang suami mendapat bagian 1/2 dan dua saudara perempuan sekandung mendapat 2/3.
Dengan demikian, jumlah bagian masing-masing melebihi harta peninggalan. Umar semula bimbang,
tidak mengetahui siapakah yang berhak didahulukan dan siapakah yang harus diakhirkan menurut
ketentuan hukum Allah SWT. Kemudian Abbas bin Abdul Muthalib pun memberikan pertimbangan
kepadanya. Dalam riwayat lain yang memberikan pertimbangan kepadanya itu adalah Zaid bin Tsabit
36
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendapat Abdul Wahhab
Khallaf sebagaimana yang menerangkan bahwa ayat tentang bagian ahli waris
merupakan ayat yang qat‟iy, yang sudah jelas tanpa tidak membutuhkan ta‟wil
maupun interpretasi yang lainnya, akan tetapi dalam konteks pelaksanaan bagian
waris tersebut didapati konsep „aul yang merupakan salah satu ijtihad yang dapat
mengubah hitungan bagian ahli waris yang telah ditentukan al-Qur‟an.
C. Hikmah Ketentuan 2:1 dalam Al-Qur’ȃn
Para ulama klasik maupun kontemporer, sesungguhnya telah lama bersuara dan
mencoba berusaha bahkan lebih dari itu pula bekerja keras untuk mencari tahu
jawaban tentang rahasia apa atau apa rahasia dibalik kebijakan Allah SWT
meipatgandakan bagian kewarisan kaum laki-laki terutama anak dan suami daripada
anak perempuan dan istri. Sesekali antara ayah dan ibu atau antara saudara laki-laki
dengan saudara perempuan.50
1. Menurut Muhammad Ali al-Sabouni berpendapat tentang hikmah mengapa
bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Menurut beliau bahwa syariat
Islam membedakan pembagian harta warisan antara perempuan dengan laki-
laki, karena terdapat hikmah yang banyak sekali, di antaranya ialah:
a. Segala kebutuhan dan biaya hidup perempuan menjadi tanggung jawab
laki-laki. Karena itu, semua kebutuhan dan biaya hidup perempuan wajib
dengan cara „aul. Lebih lanjut lihat Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam:
Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.122-123. 50 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.109.
37
dipenuhi oleh laki-laki, baik anaknya, ayahnya, saudara laki-lakinya, atau
kerabat yang lain.
b. Perempuan tidak dibebani kewajiban memberi nafkah kepada siapapun.
Berbeda dengan laki-laki, mereka dibebani kewajiban memberi nafkah
kepada keluarga, kaum kerabat dan orang lain yang menjadi tanggung
jawabnya.
c. Biaya hidup yang dikeluarkan oleh laki-laki, demikian juga kewajiban-
kewajiban finansial mereka jauh lebih besar. Oleh karena itu, kebutuhan
laki-laki terhadap harta jauh lebih banyak dibandingkan dengan
kebutuhan perempuan.
d. Laki-laki, ketika akan menikah harus membayar mahar kepada calon
istrinya, dan sesudah berkeluarga dibebani kewajiban memberikan nafkah
kepada istri dan anak-anaknya, baik untuk keperluan pangan, sandang
maupun papan.
e. Laki-laki juga wajib membiayai pendidikan anak-anaknya, dan
pengobatan istri serta anak-anaknya, di mana hal ini tidak dibebankan
kepada perempuan.51
Masih banyak lagi anggaran pembiayaan yang dibebankan kepada laki-
laki berdasarkan syariat Islam dan perintah Allah. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. al-Talȃq (65): 7.52
51 Muhammad Ali al-Sabouni, al-Mawȃrits fi al-Syarȋ‟ah al-Islȃmiyyah, Penerjemah Hamdan
Rasyid, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005), h.21-22.
38
)/56:7الطالق)
Artinya: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendakalah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”
2. Al-Syanqiti yang menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa pada ayat ini Allah
tidak menjelaskan tentang hikmah dari pengunggulan laki-laki atas perempuan
dalam masalah pembagian harta waris, padahal mereka berdua memiliki
kedudukan yang sama dalam hal kekerabatan. Akan tetapi, Allah telah
mengisyaratkan hal itu di tempat lain, yaitu dalam surat al-Nisȃ`, ayat 34. Sebab
orang yang menjadi pemimpin bagi orang lain dan berkewajiban untuk
menafkahinya akan selalu dibayang-bayangi oleh kekurangan, sedangkan orang
yang dipimpin oleh orang lain dan diberi nafkah olehnya selalu dibayang-
bayangi oleh kelebihan (dalam hartanya). Adapun hikmah diutamakannya
orang yang selalu dibayang-bayangi oleh kekurangan di atas orang selalu
dibayang-bayangi oleh kelebihan adalah karena kekurangan yang dialami oleh
orang pertama sangatlah jelas.53
52 al-Sabouni, al-Mawȃrits fi al-Syarȋ‟ah al-Islȃmiyyah, Penerjemah Hamdan Rasyid, h.22. 53 Al-Syanqiti, Tafsir Adwa al-Bayan, Penerjemah Fathurazi, ( Jakarta: Pustaka Azzam,
2006), Jilid 1, h.620-621.
39
3. Pendapat lain dari Muhammad Abduh dan al-Sayyid Rasyid Rida54
sebagaimana dikutip oleh Amin Suma, yang menegaskan bahwa di antara
hikmah penetapan bagian ahli waris laki-laki itu sama dengan bagian dua orang
perempuan adalah karena laki-laki selain memerlukan nafkah untuk dirinya
sendiri, juga memerlukan nafkah untuk istri dan anak-anaknya (keluarganya).
Di sinilah terletak alasannya mengapa laki-laki harus mendapatkan dua bagian.
Sedangkan perempuan, paling sedikit dia hanya akan menafkahi dirinya sendiri
dan kalau dia menikah maka nafkah kehidupannya akan dijamin oleh suaminya.
Itulah pula maka ada ungkapan yang mengatakan bahwa bagian kewarisan
perempuan akan tetap saja lebih banyak dibandingkan dengan bagian laki-laki
tatkala dihubungkan dengan ihwal pernafkahan.55
4. Dan dalam bukunya juga, Amin Suma mengutip pendapat seorang Grand
Syaikh al-Azhar, Mahmud Syaltut yang menyebutkan bahwa pembinaan hukum
kewarisan dalam Islam, itu didasarkan selain didasarkan pada asas, juga
mempertimbangkan hikmah hukum yang memang mengehendaki keharusan
adanya penentuan bagian ahli waris yang berhubungan dengan kehidupan laki-
laki dan perempuan (suami dan istri), kehidupan keluarga/rumah tangga dan
kehidupan sosial kemasyarakatan sekaligus. Pasalnya dalam kehidupan
komunitas laki-laki dan perempuan, Islam memandang bahwa pembebanan
54 Dua orang „alim yang berkebangsaan Mesir yang masyhur disebut-sebut sebagai pelopor
pembaharuan hukum Islam, mujaddid atau mujtahid. Lihat Suma, Keadilan Hukum Waris Islam,
h.109. 55 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.109-110.
40
hidup kaum perempuan itu dalam kehidupan dirinya dan pembiayaan anak-
anaknya serta jaminan kesejahteraannya dan pembiayaan lain-lainnya
dibebankan ke atas pundak kaum laki-laki. Itulah di antara rahasia dari makna
keadilan (kesebandingan) antara bagian laki-laki yang lebih besar daripada
bagian perempuan, supaya kaum laki-laki itu memiliki percaya diri dalam
memikul beban pembiayaan kehidupan istri dan kehidupan diri serta kehidupan
anak-anaknya.56
5. Menurut Muhammad Amin Suma, mengaitkan surat al-Nisȃ‟, ayat 19, yang
mengingatkan jangan sampai meninggalkan keturunan yang lemah materi
sebagai salah satu rahasia pembagian harta warisan yang menganut
perimbangan 2:1 bagi laki-laki. Bagi anak laki-laki telah dipersiapkan sama
dengan bagian dua orang anak perempuan, itu mengingat anak laki-laki yang
masih kecil, sesungguhnya sudah dibayang-bayangi beban keluarga kelak
begitu dia dewasa yang ditandai dengan pintu gerbang perkawinan. Sementara
anak-anak yang perempuan, sama sekali tidak digelayuti oleh beban kewajiban
untuk menafkahi keluarga.57
Dan juga beliau mengaitkan penggalan surat al-
Baqarah, ayat 228, و للرجال عليهن درجة و الل عليم حكيم, yang menyatakan bahwa
56 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.119. 57 Muhammad Amin Suma, “Menakar Keadilan Hukum Warisan Islam Melalui Pendekatan
Teks dan Konteks al-Nusȗs, Ahkam XII, no. 1 (Juli 2012), h.210
41
para lelaki (suami/ayah) ada satu tingkatan kelebihan daripada perempuan
(istri-istrinya), termasuk juga sebagai hikmah perimbangan 2:1.58
Kalau hendak dihitung-hitung, jenis kewajiban suami dalam konteks
material semisal kewajiban memberikan nafkah dan perlindungan fisik memang
lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan jenis-jenis kewajiban istri
yang lebih fokus kepada hal-hal yang bersifat immaterial semisal pengasuhan
dan pemberian/pelayanan rasa kasih sayang. Sedangkan waris adalah terkait
dengan keduanya material dan immaterial dalam hal ini memelihara
keberlangsungan keluarga dan kekeluargaan.59
6. Menurut Amir Syarifuddin, tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki
dan perempuan terdapat dua bentuk. Pertama, laki-laki mendapat jumlah yang
sama banyak dengan perempuan; seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat
seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, sebagaimana
yang dinyatakan dalam ayat 11 surat al-Nisȃ‟. Begitu pula saudara laki-laki dan
saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus pewaris
adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung sebagaimana tersebut
dalam ayat 12 surah al-Nisȃ‟. Kedua, laki-laki yang memperoleh bagian lebih
banyak atau dua kali lipat dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang
sama yaitu anak laki-laki dengan anak perempuan dan saudara laki-laki dengan
saudara perempuan. Dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian
58 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.35-37. 59 Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, h.38.
42
yang diperoleh oleh janda yaitu setengah banding seperempat bila pewaris tidak
ada meninggalkan anak dan seperempat banding seperdelapan bila pewaris ada
meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam surat al-Nisȃ, ayat 12.60
Dari penjelasan di atas bahwa ditinjau dari segi jumlah memang terdapat
ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena
keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang
didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan
kebutuhan.61
Secara umum dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak materi
dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria – dalam ajaran Islam –
memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya
termasuk para wanita, sebagaimana dijelaskan Allah dalam QS. Al-Nisȃ` (4):
34.
34:4))النساء/
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagiandari harta mereka.”
Bila dihubungkan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung
jawab seperti disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang
60 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.24-25. 61 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.25.
43
dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun
pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian
dari yang diterima akan diberikannya kepada wanita dalam kapasitasnya
sebagai pembimbing yang bertanggung jawab. Inilah konsep keadilan dalam
konsep Islam.62
7. Menurut Fachtur Rahman, syariat bagian kepada orang laki-laki lebih banyak
daripada orang perempuan adalah sebagai imbalan atas tanggung jawab orang
perempuan. Ia sebagai pemimpin atau calon pemimpin rumah tangga yang
bertanggung jawab harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah dan
mencukupi kebutuhan keluarganya dan orang-orang yang berada dibawah
tanggungannya. Untuk mensejahterakan hidup keluarganya, tidak mustahil, ia
harus menjelajahi daratan, mengarungi lautan, dan menyeberangi angkasa untuk
berniaga. Berlainan dengan orang perempuan yang boleh dikatakan tanggung
jawabnya tidak seberat dan seluas laki-laki dalam bidang kelangsungan hidup
keluarga dan pengabdian kepada negara dan masyarakat. Kendatipun pada
beberapa orang perempuan terdapat bakat dan keahlian dalam mencari nafkah
dan bahkan ada yang sanggup mencukupi kelansungan hidup keluarganya,
namun secara syariat dan tabiat tetap membebankan pertangung jawab yang
seberat itu kepada orang laki-laki.63
62 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.25-26. 63 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h.410
44
Dalam mencari hikmah ketentuan porsi dua berbanding satu, pendapat para
ulama yang disebutkan di atas untuk mencari tahu jawaban tentang rahasia apa atau
apa rahasia dibalik kebijakan Allah SWT melipatgandakan bagian kewarisan kaum
laki-laki terutama anak dan suami daripada anak perempuan dan istri, singkatnya
bahwa menyatakan bahwa laki-laki berhak menerima porsi pembagian tersebut
karena segala kebutuhan dan biaya hidup perempuan menjadi tanggung jawab laki-
laki. Karena itu, semua kebutuhan dan biaya hidup perempuan wajib dipenuhi oleh
laki-laki, baik anaknya, ayahnya, saudara laki-lakinya, atau kerabat yang lain. Biaya
hidup yang dikeluarkan oleh laki-laki, demikian juga kewajiban-kewajiban finansial
mereka jauh lebih besar. Oleh karena itu, kebutuhan laki-laki terhadap harta jauh
lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan perempuan.
45
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR
92/PDT.G/2009/PA.MDN DAN ANALISA
A. Kronologi Hukum
Pewaris meninggal dunia di Medan dan dikebumikan pada tanggal 29 April
2005 dikarenakan sakit dan almarhumah istri pewaris meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris yaitu tanggal 16 Oktober 1997 dikarenakan sakit juga.
Selama masa perkawinan pewaris bersama dengan istrinya telah dikaruniai 10
orang anak kandung, terdiri dari 6 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan.
Akan tetapi anak kedua dan yang kedelapan (keduanya laki-laki) dari pewaris
meninggal dunia, anak kedua pewaris meninggal pada tanggal 15 Juni 2005 dan anak
kedelapan meninggal pada tahun 1980.
Almarhum anak kedelapan dari pewaris selama masa hidupnya belum menikah,
sedangkan almarhum anak kedua selama masa hidupnya sudah menikah dan
mempunyai empat orang anak kandung, yang terdiri dari 3 anak perempuan dan 1
anak laki-laki.
Struktur keluarga dari pewaris dapat dilihat lebih lanjut pada gambar di bawah
ini.
46
P
Keterangan:
: Pewaris (meninggal pada 29 April 2005)
: Ahli waris laki-laki
: Ahli waris perempuan
A : Anak ke-1 laki-laki (penggugat I)
B : Anak ke-2 laki-laki (meninggal pada 15 Juni 2005)
C : Anak ke-3 perempuan (penggugat II)
D : Anak ke-4 laki-laki (penggugat III)
E : Anak ke-5 perempuan (tergugat I)
F : Anak ke-6 laki-laki (tergugat II)
G : Anak ke-7 perempuan (tergugat III)
H : Anak ke-8 laki-laki (meninggal pada tahun 1980 dan belum menikah)
I : Anak ke-9 laki-laki
J : Anak ke-10 perempuan
B1 : Anak ke-1 perempuan dari almarhum anak ke-2 pewaris
B2 : Anak ke-2 perempuan dari almarhum anak ke-2 pewaris
B3 : Anak ke-3 laki-laki dari almarhum anak ke-2 pewaris
B4 : Anak ke-4 perempuan dari almarhum anak ke-2 pewaris
47
Pewaris meninggalkan harta warisan yaitu berupa sebidang tanah seluas 255 m2
berikut bangunan rumah semi permanen yang berdiri di atasnya berukuran ± 8,5
meter x 20 meter beratap seng, lantai semen, setempat dikenal terletak di Jalan Sei
Deli No. 119 A, Kelurahan Silalas, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan. Maka
harta tersebut menjadi harta warisan dari pewaris yang harus dibagi kepada ahli
warisnya. Demikian pula oleh karena anak kedua pewaris meninggal dunia, maka
bagian warisnya dari harta pewaris jatuh ke ahli warisnya empat orang anaknya.
Terhadap harta peninggalan pewaris, para penggugat telah berusaha untuk
bermusyawarah kepada para tergugat agar dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah kekeluargaan, akan tetapi tidak mendapat tanggapan yang positif dari
pihak tergugat.
Maka dari itu, pada tanggal 21 Januari 2009 mengajukan perkara kepada
Pengadilan Agama Medan dan diharapakan Pengadilan Agama Medan dapat
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi antara para Penggugat dengan para
Tergugat. Penggugat I sampai Penggugat V dan Tergugat I sampai Tergugat III
adalah anak kandung pewaris. Bahwa Penggugat VI adalah istri almarhum anak
kedua dari pewaris, adapun Penggugat VII,VIII, dan IX adalah anak-anak kandung
dari perkawinan Penggugat VI dengan almarhum anak kedua pewaris.
B. Tuntutan Penggugat
48
Dalam gugatan yang diajukan oleh para penggugat, penggugat meminta Majelis
Hakim Pengadilan Agama Medan untuk:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya.
2. Menetapkan ahli waris yang berhak atas harta peninggalan pewaris.
3. Menetapkan istri dan anak dari almarhum anak kedua pewaris sebagai ahli
waris yang berhak atas harta peninggalan almarhum anak kedua tersebut yang
diperolehnya dari pewaris.
4. Menetapkan harta berupa: Sebidang tanah seluas 255 m2 berikut bangunan
rumah semi permanen yang berdiri di atasnya berukuran ± 8,5 meter x 20 meter
beratap seng, lantai semen, setempat dikenal terletak di Jalan Sei Deli No. 119
A, Kelurahan Silalas, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan; adalah harta
peninggalan/warisan pewaris.
5. Menetapkan bagian/porsi masing-masing ahli waris pewaris dan almarhum
anak kedua pewaris dan menghukum para Penggugat dan para Tergugat untuk
membagi harta peninggalan pewaris secara riil dan apabila tidak dapat
dilakukan secara riil, maka dilakukan dengan cara lelang dan hasilnya dibagi
kepada ahli warisnya sesuai dengan bagian/porsi masing-masing ahli waris.
C. Pertimbangan Majelis Hakim
Tentang hal pewaris telah meninggal dunia tidak terdapat perbedaan dalil antara
penggugat dan tergugat. Adapun tergugat-tergugat hanya mempersoalkan hanya
tentang saat yang pasti dan tegas meninggalnya kedua orang pewaris tersebut.
49
Meskipun tergugat-tergugat menyatakan dalil penggugat mengenai saat
meninggalnya pewaris tidak tegas, tetapi majelis hakim menganggap dalil penggugat
tersebut sudah dapat dipahami, apalagi jika dihubungkan dengan surat-surat bukti
penggugat yaitu bukti P-3 berupa surat kematian pewaris yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Tentang ahli waris, bahwa tergugat-tergugat tidak membantah susunan ahli
waris yang disebutkan di dalam surat gugatan, akan tetapi ada penyebutan yang tidak
benar yaitu nama istri dari almarhum anak kedua pewaris, karena menurut tergugat-
tergugat, istri dari almarhum anak kedua pewaris tersebut bukan boru atau bukan
marga lubis. Dan penggugat mengakui penyebutan marga pada istri almarhum anak
kedua pewaris di dalam surat gugatan karena terbawa-bawa oleh nama suaminya.
Dengan berdasarkan bukti P-7, P-8, pengakuan tergugat-tergugat, dan kesaksian
saksi-saksi, tersebut ahli waris pewaris ialah:1
1. ASL, anak ke-1 laki-laki;
2. AL, anak ke-3 perempuan;
3. KL, anak ke-4 laki-laki;
4. YL, anak ke-5 perempuan;
5. BL, anak ke-6 laki-laki;
6. NL, anak ke-7 perempuan;
7. ZL, anak ke-9 laki-laki;
1 Untuk ahli waris menggunakan inisial nama ahli waris.
50
8. SML, anak ke-10 perempuan.
9. As binti almarhum anak kedua pewaris,cucu perempuan;
10. Cha binti almarhum anak kedua pewaris,cucu perempuan;
11. MZ bin almarhum anak kedua pewaris,cucu laki-laki;
12. Ram binti almarhum anak kedua pewaris,cucu perempuan.
Dengan berdasarkan ketentuan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, anak-anak
dari pasangan suami istri almarhum anak kedua pewaris dengan istrinya menjadi ahli
waris pewaris dalam kedudukannya sebagai ahli waris pengganti almarhum anak
kedua pewaris.
Sedangkan dalil-dalil tergugat-tergugat di dalam dupliknya yang menyatakan
kedudukan ahli waris pengganti adalah tidak mempunyai dasar hukum dan
seharusnya ditolak, adalah dalil yang tidak tepat, karena Kompilasi Hukum Islam
menerapakan asas penggantian ahli waris.
Terbukti pewaris dan semua ahli warisnya sebagaimana tersebut adalah masing-
masing beragama Islam dan terbukti juga kedua orang tua yakni pewaris bersama
dengan istrinya, masing-masing telah meninggal lebih duluan.
Bahwa menurut saksi penggugat yang berada di dekat pewaris sewaktu akan
meninggal, tidak meninggalkan wasiat tertentu, sedang untuk hutang pewaris akan
dipertimbangkan kemudian di bawah ini.
51
Selanjutnya tentang harta peninggalan (tirkah), bahwa tidak ada perbedaan dalil
antara penggugat dan tergugat, yaitu objek sengketa yang dimaksud penggugat adalah
objek sengketa itu juga yang dimaksud oleh tergugat-tergugat. Hanya saja tergugat-
tergugat mempersoalkan mengenai:
1. Alas hak pewaris, dan
2. Tata cara pembagiannya kepada para ahli waris.
Bahwa tentang alas hak pewaris atas objek sengketa sehingga menjadi harta
peninggalannya ialah surat-surat bukti P-1 dan P-2, kesaksian saksi-saksi, baik saksi
penggugat maupun saksi-saksi tergugat, dan juga pengakuan tergugat-tergugat sendiri
dan terbukti objek sengketa berupa: sebidang tanah seluas 255 meter2 berikut
bangunan rumah semi permanen yang berdiri di atasnya berukuran ± 8,5 meter x 20
meter beratap seng, lantai semen, setempat dikenal terletak di Jalan Sei Deli No. 119
A, Kelurahan Silalas, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan adalah harta peninggalan
pewaris dan objek sengketa tersebut belum pernah dibagi kepada ahli waris pewaris
dan atas dasar gugatan penggugat telah terbukti quod non tentang pewaris, ahli waris,
dan harta peninggalan yang belum terbagi, maka menurut hukum harta peninggalan
pewaris tersebut harus dibagi kepada semua ahli warisnya.
Dan pembagian sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara riil atau dengan
melalui kesepakatan penjualan oleh kedua belah pihak, atau penjualan lelang oleh
52
instansi yang berwenang kemudian hasil penjualannya dibagikan kepada semua ahli
waris sesuai bagian yang ditentukan dalam putusan ini.
Di dalam pemeriksaan persidangan terjadi perbedaan dalil antara penggugat dan
tergugat-tergugat yaitu penggugat menghendaki pembagian berdasarkan hukum
farȃid, yaitu anak laki-laki memperoleh dua bagian dan anak perempuan memperoleh
satu bagian, sedang tergugat-tergugat menghendaki pembagian atas dasar persamaan
perolehan antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Bahwa dalil tergugat-tergugat yang menghendaki pembagian objek sengketa
sama untuk semua ahli waris tanpa membedakan jenis kelamin ialah karena yang
merawat dan memenuhi segala kepentingan pewaris semasa hidupnya ialah anak-
anaknya yang perempuan dan yang menonjol adalah tergugat I dan penggugat V,
sedang penggugat I sendiri tidak peduli terhadap almarhum pewaris.
Atas dalil tergugat-tergugat tersebut penggugat membuktikan kepeduliannya
terhadap pewaris, dengan mengajukan bukti P-6 berupa pelunasan hutang pewaris
oleh penggugat I kepada Nurhayati Lubis (bukan tergugat dalam perkara ini)
tertanggal 9 Mei 2001.
Selain bukti tertulis, penggugat juga mengajukan saksi-saksi, akan tetapi saksi
II penggugat justru menyaksikan tiga orang anak yang merawat almarhum pewaris
ialah tergugat I, II, dan penggugat V. Dan penggugat I menyatakan keberatan atas
kesaksian saksi II dari penggugat tersebut, dengan mendalilkan sebaliknya yaitu
53
antara tergugat I pernah terlibat perselisihan dengan pewaris, karena semasa hidup
pewaris dihalang-halangi untuk kawin lagi sepeninggal almarhumah istri pewaris.
Akan tetapi menurut majelis hakim bukanlah perselisihan yang sungguh-sungguh,
karena dalam praktek memang sering terjadi seorang anak perempuan yang ditinggal
mati ibunya kemuadian melarang ayahnya untuk kawin lagi, karena anak perempuan
tersebut merasa sanggup untuk mengurusi kepentingan ayahnya, sebagaimana halnya
dalam perkara ini.
Tergugat-tergugat juga telah membuktikan dalil-dalilnya dengan mengajukan
saksi-saki yang mana pokoknya bermaskud untuk memberikan keyakinan tentang
kepedulian tergugat-tergugat kepada almarhum pewaris, sebagaimana kesaksian yang
diajukan oleh pasangan suami istri Kasmariyos bin Tokoh dan Lisna Murni Nasution.
Dari keterangan saksi Rudi Iskandar bin Usman Istambul, yang istrinya
paramedis dan sering merawat pewaris, mengalami sendiri kalau diperlukan
pembayaran atas pengobatan pewaris, yang membayar kadang tergugat I, tergugat II
dan kadang juga tergugat III. Saksi menyatakan tidak melihat anak-anak pewaris
lainnya melakukan hal-hal seperti itu.
Majelis hakim menimbang atas dalil-dalil kedua belah pihak dan saksi-saksi
yang diajukan, majelis hakim memandang perlu untuk mempertimbangkan aspek-
aspek normatif mengenai ketentuan pembagian harta peninggalan dan mengkaitkan
dengan fakta kejadian perkara.
54
Majelis hakim menimbang terlebih dahulu bahwa dalam QS. al-Nisȃ` (4): 11,
Allah berfirman:
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan...”.
Bahwa Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan:” Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua atau lebih
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan.”
Dan selain ketentuan-ketentuan tersebut sudah menjadi ketentuan adat di
sebagian wilayah di Indonesia yakni dalam hal pembagian harta peninggalan pewaris
berlaku asas “laki-laki memikul, dan perempuan menjunjung”, artinya anak laki-laki
memperoleh dua bagian, sedang anak perempuan memperoleh satu bagian.
Terhadap atas ketentuan ayat al-Qur‟an tersebut, majelis hakim tidak pada
tempatnya untuk melakukan uji materil apapun metodenya, karena persoalannya
menyangkut keyakian agama yang dianut, akan tetapi menafsirkan ayat tersebut
sesuai dengan fakta kejadian perkara adalah tetap dalam wilayah diskresi hakim, akan
tetapi yang menjadi permasalahan ialah apakah ayat tentang pembagian harta
peninggalan tersebut digeneralisasikan untuk semua keadaan tanpa harus
55
memperhitungkan seberapa besar pengabdian atau jasa ahli waris terhadap
pewarisnya.
Bahwa juga menjadi permasalahan ialah hutang pewaris yang dimaksud dalam
QS. al-Nisȃ` (4): 11 tersebut yakni:
... ... 11:4))النساء/
Artinya: “(harta peninggalan hanya boleh dibagi waris kepada setiap ahli waris)
setelah menunaikan wasiat atasnya atau hutang pewaris.”
Apakah semata-mata yang dimaksud adalah hutang riil atau boleh ditafsirkan
termasuk hutang jasa pewaris.
Menurut ijtihad majelis hakim, pembagian harta warisan sebagaimana tersebut,
baik dalam ayat al-Qur‟an maupun Kompilasi Hukum Islam bukanlah sebuah harga
mati dari suatu ketentuan yang sama sekali tidak dapat berubah lagi, terutama ketika
permasalahannya terkait dengan rasa keadilan para ahli waris, dan rasa keadilan itu
sendiri merupakan suatu illat hukum (penyebab yang dapat mengakibatkan tejadinya
perubahan hukum).
Pendekatan alur pikir pertimbangan tersebut ialah tidak mungkin kitab suci al-
Qur‟an membuat suatu diskriminasi kategoris berdasarkan jenis kelamin dalam hal
pembagian harta peninggalan seseorang kalau bukan didasari pertimbangan tertentu,
atau karena kondisi masyarakat sewaktu turunnya ayat, karena al-Qur‟an
56
mengajarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, adapun yang
membedakannya antara lain ialah kualitas amal perbuatannya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengutip pendapat Syaikh Ali Ahmad
al-Jurjawi dalam Kitab Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu (terjemahan dengan judul
Hikmah di Balik Hukum Islam) Buku 2 Bidang Muamalah, halaman 267 untuk
selanjutnya diambil alih sebagai pertimbangan hukum, bahwa “Sebab lain mengapa
laki-laki lebih besar dari perempuan ialah karena laki-laki itu dibebani dengan
masalah hidup yang tidak mampu dijalankan oleh kaum wanita.” Mafhȗm
mukhallafah dari pendapat tersebut ialah apabila perempuan yang dibebani masalah
hidup, maka perempuan tersebut juga dapat memperoleh bagian yang lebih besar.
Bahwa tentang asas persamaan tersebut disebutkan di dalam QS. al-Nahl (16):
97.
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik.”
Dengan nas al-Qur‟an surat al-Nahl, ayat 97 tersebut memberikan sesuatu
gambaran tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan, adapun perbedaannya
terletak antara lain pada prestasi atau pengabdian, yang dalam hal ini ialah
pengabdian ahli waris terhadap pewaris semasa hidupnya.
57
Maka dari itu majelis hakim tetap menentukan asas pembagian harta
peninggalan antara laki-laki dengan perempuan adalah dua berbanding satu, akan
tetapi fakta kejadian menghendaki maka porsi dua bagian laki-laki dan porsi satu
bagian perempuan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perubahan illat
hukum.
Porsi dua bagian untuk anak laki-laki adalah porsi maksimal yang dapat
dikurangi, sedang porsi satu bagian untuk anak perempuan adalah porsi minimal yang
sewaktu-waktu apabila persyaratan menghendaki dapat meningkat sama dengan porsi
perolehan anak laki-laki.
Dengan berdasarkan kesaksian saksi-saksi, majelis hakim berpendapat adalah
dipandang tidak memenuhi rasa keadilan apabila ketentuan normatif pembagian waris
sebagaimana tersebut dalam al-Qur‟an langsung diterapkan untuk semua keadaan
tanpa memperhatikan fakta kejadian perkara, antara lain sejauh mana bakti ahli waris
terhadap pewaris semasa hidupnya.
Ketentuan dalam al-Qur‟an surat al-Nisa‟, ayat 11 tentang pembagian harta
warisan tersebut tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang berdiri sendiri,
melainkan saling terkait dan berhubungan dengan ayat-ayat lainnya sebagai satu
kesatuan sistem hukum yang tidak terpisah.
Bahwa dari kesaksian saksi-saksi, baik saksi penggugat maupun tergugat
menyatakan anak-anak perempuan pewarislah yang banyak merawat, menemani
58
berkomunikasi, mengurusi kepentingan-kepentingan, termasuk membayar biaya-
biaya perawatan pewaris dan fakta kejadian tersebut sama sekali tidak dapat
diabaikan begitu saja, karena perintah berbuat baik dan wajar kepada orang tua juga
merupakan perintah al-Qur‟an. Prestasi-prestasi tersebut adalah merupakan hutang
jasa pewaris terhadap sebagian ahli warisnya dan adalah patut apabila dihargai
dengan pembagian harta peninggalan pewaris.
Bahwa penggugat juga mengajukan bukti P-6 berupa pembayaran hutang
pewaris oleh penggugat I, tetapi surat bukti seperti itu bersifat multitafsir, yakni bisa
saja penggugat memang benar membayar hutang pewaris tetapi didahului oleh tawar
menawar prestasi, atau justru uang yang dipergunakan membayar adalah uang
pewaris sendiri sedang penggugat hanya sebagai perantara, juga bisa terjadi adanya
kaitan yang erat antara pelunasan hutang pewaris tersebut dengan surat-surat objek
sengketa oleh penggugat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dengan tetap memperhatikan
nas ayat al-Qur‟an dan ketentuan Kompilasi Hukum Islam, majelis hakim – atas dasar
fakta kejadian perkara – menetukan, bahwa pembagian objek sengketa harta
peninggalan pewaris kepada ahli warisnya adalah sama antara laki-laki dengan anak
perempuan, yakni masing-masing anak memperoleh 1/9 (sepersembilan) dari harta
peninggalan pewaris.
59
Oleh karena itu maka gugatan penggugat dapat dikabulkan sebagian dan
tuntutan penggugat dalam gugatan yang menuntut pembagian perolehan almarhum
anak kedua pewaris kepada istri dan anak-anaknya dipandang sebagai perkara
voluntair dan seharusnya diajukan dalam perkara tersendiri, lagi pula untuk anak-
anak dari perkawinan almarhumah anak kedua pewaris dan istrinya telah dinyatakan
sebagai ahli waris pengganti.
Di dalam perkara ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, maka
biaya perkara ditanggung bersama oleh penggugat dan tergugat-tergugat masing-
masing untuk separohnya.
Mengingat kaidah ushul fiqh:
ة ال و ح ال و ة ن ك م ال و ة ن م ز ال ي غ ت ب ام ك ح ال ر ي غ ت ر ك ن ل Artinya: “Tidak dapat diingkari terjadinya perubahan hukum karena perubahan
waktu, tempat dan kondisi tertentu.”
Mengingat kaidah ushul fiqh:
ام د ع و ا أ د و ج و ة ل الع ع م ر و د م ك ال Artinya: “Penerapan hukum (harus) memperhatikan ada atau tidaknya illat hukum.”
Mengingat Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam dan memperhatikan segala
ketentuan hukum syarak dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
bersangkutan dengan perkara ini.
D. Putusan Majelis Hakim
60
Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan menjatuhkan putusan terhadap
perkara ini, sebagaimana tersebut dengan amar berbunyi di bawah ini:
1. Menetapkan ahli waris yang berhak atas harta peninggalan pewaris yakni
delapan anak dari pewaris diluar almarhum anak kedua dan kedelapan pewaris
beserta pembagiannya yang masing-masing memperoleh 1/9 (sepersembilan)
bagian dari harta peninggalan pewaris.
2. Menyatakan bahwa anak-anak dari perkawinan almarhum anak kedua pewaris
dengan istrinya adalah ahli waris pengganti dengan memperoleh 1/9 bagian
yaitu bagian almarhum anak kedua pewaris tersebut. Untuk lebih menjelaskan
lagi, lihat gambar bagan ahli waris di bawah ini.
3. Menyatakan objek sengketa berupa: Sebidang tanah seluas 255 m2 berikut
bangunan rumah semi permanen yang berdiri di atasnya berukuran ± 8,5 meter
x 20 meter beratap seng, lantai semen, setempat dikenal terletak di Jalan Sei
Deli No. 119 A, Kelurahan Silalas, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan
61
adalah harta peninggalan almarhum pewaris yang harus dibagi kepada para ahli
warisnya dengan pembagian sebagaimana yang telah disebutkan.
4. Menghukum Penggugat dan para Tergugat untuk membagi harta peninggalan
almarhum pewaris secara riil dam apabila tidak dapat dilakukan secaara riil,
maka dilakukan dengan cara penjualan lelang dan hasilnya dibagi kepada ahli
warisnya sesuai dengan bagian/porsi masing-masing ahli waris.
E. Analisis Penulis
1. Porsi Bagian Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan
Dalam pertimbangan majelis hakim menyebutkan porsi dua bagian untuk anak
laki-laki adalah porsi maksimal yang dapat dikurangi, sedang porsi satu bagian untuk
anak perempuan adalah porsi minimal yang sewaktu-waktu apabila persyaratan
menghendaki dapat meningkat sama dengan porsi perolehan anak laki-laki.
Pertimbangan majelis hakim ini selaras dengan implikasi teori batas atau teori hudȗd
yang disampaikan oleh Muhammad Syahrur terhadap surat al-Nisa‟, ayat 11. Yang
menyatakan bahwa batas minimal bagian anak kelompok wanita sebesar 33,33% atau
satu bagian dan batas maksimal bagian kelompok anak laki-laki memperoleh dua kali
lipat bagian wanita 66,66% atau dua bagian kelompok wanita.2
Menurut ijtihad majelis hakim, pembagian harta warisan baik dalam ayat al-
Qur‟an maupun Kompilasi Hukum Islam bukanlah sebuah harga mati dari suatu
ketentuan yang sama sekali tidak dapat berubah lagi, terutama ketika
2 Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), h.341-342.
62
permasalahannya terkait dengan rasa keadilan para ahli waris, dan rasa keadilan itu
sendiri merupakan suatu illat hukum (penyebab yang dapat mengakibatkan tejadinya
perubahan hukum). Dengan menggarisbawahi pertimbangan majelis hakim di atas,
penulis berpendapat bahwa hakim beranggapan ayat kewarisan tentang porsi waris
dua berbanding satu dapat disimpulkan bahwa ketentuan tersebut adalah zanniy
karena hakim menyatakan aturan tersebut bukan harga mati dengan adanya suatu illat
hukum. Dan jika ayat tersebut merupakan qat’iy seharusnya hakim tidak melakukan
ijtihad terhadap masalah tersebut, karena para ulama ushul bersepakat bahwa ruang
lingkup ijtihad hanya pada ayat-ayat yang bersifat zanniy.3 Hal ini juga bertentangan
dengan pendapat Abdul Wahhab Khallaf tentang ayat qat’iy yang tidak membutuhkan
interpretasi atau menutup kemungkinan ada makna lain selain dari yang disebutkan
oleh nas tersebut.4 Pertimbangan majelis hakim ini mengingatkan pendapat Masdar
Farid Mas‟udi, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Rifuan, tentang ayat yang masuk
ke dalam kategori zanniy, yang menerangkan bahwa suatu nushush yang berbicara
tentang wasilah yakni prosedur, tentang aturan-aturan teknis instrumental yang
dimaksudkan untuk mencapai cita kemashlahatan universal yang berbasis tujuan
syariah.5
Berbicara juga tentang ijtihad yang dilakukan oleh majelis hakim, menurut
penulis ijtihad yang dilakukan oleh majelis hakim merupakan gabungan ijtihad
3 Ali Rifuan, “Konsep Qat’i dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, dalam Jaenal
Aripin, ed., Filasafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.35. 4 Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Usȗl al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h.36-37 5 Ali Rifuan, “Konsep Qat’i dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, dalam Jaenal
Aripin, ed., Filasafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, h.32.
63
istinbȃtiy dengan ijtihad tatbȋqiy. Apabila seorang mujtahid berhadapan dengan
nushush al- syariah dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung
dalam nushush, maka ijtihad yang dilakukannya disebut ijtihad istinbatiy. Apabila
seorang mujtahid telah menemukan ide atau substansi hukum, untuk menerapkannya
pada suatu yang kongkret, diperlukan pula satu bentuk ijtihad yang disebut ijtihad
tatbȋqiy. Dan dalam hal ini seorang mujtahid harus memiliki pemahaman yang
mendalam tentang maqȃsid al-syari’ah, sehingga dengan tepat ia menentukan ide
hukum yang telah dihasilkannya akan mencapai tujuan-tujuan syar‟i atau tidak.
Ijtihad inilah yang diperlukan dalam menghadapi berbagai berubahan sosial.6
Model ijtihad ini dapat kita lihat dalam pertimbangan hakim yang paling
pertama melihat nushush syariah yakni teks al-Qur‟an dari surat al-Nisa‟, ayat 11,
kemudian menyimpulkan ide hukum yang terkandung dalam ayat tersebut dan dalam
penerapannya pada sesuatu kasus yang konkret dengan mempertimbangkan maqȃsid
al-syarȋ’ah sehingga jiwa putusan yang ditetapkan oleh hakim akan mencapai tujuan-
tujuan syar‟i, yang dalam pertimbangan hakim mempertimbangkan jasa dari tergugat
I dalam merawat pewaris dari masa hidupnya ketika pewaris sakit sampai pewaris
meninggal dunia dan tentunya dilengkapi dengan keterangan-keterangan saksi yang
diajukan oleh para pihak. Maka dari itu majelis hakim memutuskan bagian bagi ahli
waris laki-laki dan perempuan adalah sama rata atau satu berbanding satu.
6 Ijtihad ini merupakan pendapat Imam al-Syathibi, yang dikutip oleh Ali Rifuan, yang
menbagi ijtihad berdasarkan segi kajian objeknya. Lebih lanjut lihat Ali Rifuan, “Konsep Qat’i dan
Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, dalam Jaenal Aripin, ed., Filasafat Hukum Islam Dalam
Dua Pertanyaan, h.38.
64
2. Ahli Waris Pengganti
Pada pertimbangan majelis hakim dengan berdasarkan ketentuan Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam, anak-anak dari pasangan suami istri almarhum anak kedua
pewaris dengan istrinya menjadi ahli waris pewaris dalam kedudukannya sebagai ahli
waris pengganti almarhum anak kedua pewaris. Menurut penulis majelis hakim
kurang tepat dalam penerapan hukum terkait penetapan bahwa anak-anak dari
pasangan suami istri almarhum anak kedua pewaris dengan istrinya sebagai ahli
waris. Menurut penulis masalah pembagian waris tersebut bukanlah ahli waris
pengganti7 tetapi lebih tepatnya dikenakan masalah munȃsakhah
8. Kembali melihat
kronologi hukum yang menyebutkan bahwa pewaris meninggal pada tanggal 29 April
2005 sedangkan almarhum anak kedua pewaris meninggal pada tanggal 15 Juni 2005.
Waktu kematian pewaris dan almarhum anak kedua pewaris ini tidak sesuai dengan
ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam
pasal 185 bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris,
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya dengan catatan bahwa bagian ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.9
Sedangkan munȃsakhah menurut Ibnu Umar al-Baqry sebagaimana dikutip oleh
Fatchur Rahman ialah kematian seseorang sampai seseorang atau beberapa orang
7 Di Indonesia masalah ahli waris pengganti merupakan penyelesaian masalah tentang bagian
cucu yatim dan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 185. Di Mesir, masalah cucu yatim
diselesaikan dengan aturan wasiat wajibah. Lebih lanjut lihat Moh. Ja‟far, Polemik Hukum Waris,
(Jakarta: Kencana Mas, 2007), h.137-138. 8 Berasal dari kata kerja ناسخ –ناسخ yang berarti menggantikan. Lihat Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Progressif, 2002), h.1412 9 Kompilasi Hukum Islam: Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, (Jakarta: Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001), h.86.
65
yang mewarisinya menyusul meninggal dunia sebelum harta peninggalan
dibagikan.10
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa unsur-unsur munasakhah
adalah sebagai berikut:
1. Harta pusaka pewaris belum dibagi-bagikan kepada para ahli waris menurut
ketentuan pembagian harta pusaka.
2. Adanya kematian dari seorang atau beberapa orang ahli warisnya setelah
pewaris meninggal.
3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian
kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli waris yang semula belum menjadi
ahli waris terhadap orang yang mati pertama-tama.
4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah mati kepada ahli waris harus dengan
jalan waris mewarisi.11
Maka dari itu munȃsakhah lebih tepat dari pada ahli waris pengganti untuk
permasalahan tersebut dan ketika munȃsakhah diterapkan, bukan hanya anak dari
almarhum anak kedua pewaris yang mendapatkan bagian waris akan tetapi istri dari
almarhum juga mendapatkan bagian harta peninggalan. Maka dari itu, ahli waris dari
almarhum anak ke-2 pewaris adalah istri dan keempat anaknya dan mendapat 1/9
bagian yaitu bagian almarhum anak kedua pewaris tersebut.
10 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma‟arif, 1981), h.460 11 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h.460-461.
66
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Dalam putusan Pengadilan Agama Medan No. 92/Pdt.G/2009 Pa Mdn membagi
bagian hak waris ahli waris laki-laki dan perempuan yaitu kesemuanya adalah
anak dari pewaris adalah masing-masing 1/9 bagian dari harta warisan yang
ditinggalkan (porsi perbandingan bagian anak laki dan perempuan satu
berbading satu (1:1)).
2. Pertimbangan majelis hakim atas putusannya tersebut adalah majelis hakim
tetap menentukan asas pembagian harta peninggalan antara laki-laki dengan
perempuan adalah dua berbanding satu sesuai dengan surat al-Nisa’, ayat 11
dan Pasal 176 KHI, akan tetapi ketentuan terebut bukan sebuah harga mati
karena fakta kejadian menghendaki maka porsi dua bagian laki-laki dan porsi
satu bagian perempuan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perubahan
illat hukum. Dari kesaksian saksi-saksi, baik saksi penggugat maupun tergugat
menyatakan anak-anak perempuan pewarislah yang banyak merawat,
menemani berkomunikasi, mengurusi kepentingan-kepentingan, termasuk
membayar biaya-biaya perawatan pewaris dan fakta kejadian tersebut sama
sekali tidak dapat diabaikan begitu saja, karena perintah berbuat baik dan wajar
67
kepada orang tua juga merupakan perintah al-Qur’an. Prestasi-prestasi tersebut
adalah merupakan hutang jasa pewaris terhadap sebagian ahli warisnya dan
adalah patut apabila dihargai dengan pembagian harta peninggalan pewaris. Hal
ini majelis hakim mengaitkan dengan surat al-Nahl, ayat 97 yang memberikan
sesuatu gambaran tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan, adapun
perbedaannya terletak antara lain pada prestasi atau pengabdian, yang dalam hal
ini ialah pengabdian ahli waris terhadap pewaris semasa hidupnya.
Maka dari itu, majelis hakim berpendapat adalah dipandang tidak
memenuhi rasa keadilan apabila ketentuan normatif pembagian waris
sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an langsung diterapkan untuk semua
keadaan tanpa memperhatikan fakta kejadian perkara, antara lain sejauh mana
bakti ahli waris terhadap pewaris semasa hidupnya
B. Saran
1. Untuk Hakim Pengadilan Agama agar mempertimbangkan fakta-fakta hukum
di saat pemeriksaan suatu perkara kewarisan apalagi yang menyangkut
tentang keadilan untuk para pihaknya.
2. Dengan banyaknya konsentrasi keilmuan di zaman ini, semoga civitas
akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lebih mengkaji kembali masalah tentang porsi hak waris dua berbanding satu
kepada ahli waris laki-laki dam perempuan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur. Ilmu Waris Al-Farȃid. Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, 2005.
Ali al-Sabouni, Muhammad. al-Mawȃrits fi al-Syarȋ’ah al-Islȃmiyyah. Penerjemah
Hamdan Rasyid. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005.
Arfa, Faisar Ananda dan Muhammad Syahrial, “Hermeunatika Muhammad Syahrur
dan implikasinya terhadap Istinbȃt al-Ahkȃm dalam Persoalan Wanita, Ahkam
XIII, no. 1 (Januari 2013).
Atho Mudzhar, Muhammad. “Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir
Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, ed.,
Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
al-Bukhari, Abu Abdullah Ismail ibn Muhammad, Ensiklopedia Hadits 2: Shahȋh al-
Bukhȃri 2. Penerjemah Subhan Abdullah, dkk. Jakarta: Almahira, 2012.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Hosen, Ibrahim. “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam
Muhamad Wahyuni Nafis, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
__________. Kompilasi Hukum Islam: Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen
Agama RI, 2001.
Ja‟far, Mohammad. Polemik Hukum Waris. Jakarta: Kencana Mas, 2007.
Khallaf, Abdul Wahhab. „Ilmu Usȗl al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008.
Maskufa,”Kewarisan Laki-Laki dan Perempuan: Perspektif Fiqih, KHI dan Praktek di
Pengadilan Serta di Masyarakat.” dalam Makalah Workshop Penyusunan
Naskah Akademik Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang
Kewarisan, Hotel Horison Bekasi, 12-13 Juli 2011.
69
Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012.
Muhibbin, Mohammad dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam: Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.
Yogyakarta:Pustaka Progressif, 2002.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: al-Ma‟arif, 1981.
Rifuan, Ali. “Konsep Qat’i dan Zanniy dan Sikap Keberagaman Masyarakat”, dalam
Jaenal Aripin, ed. Filasafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan. Jakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008.
al-Sabouni, Muhammad Ali. al-Mawȃrits fi al-Syarȋ’ah al-Islȃmiyyah. Penerjemah
Hamdan Rasyid. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005.
Salim, Arskal, dkk. Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program
Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia. Jakarta: PUSKUMHAM UIN
Jakarta, 2009.
Sarmadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1997.
al-Shiddieqy, Hasbi. Fiqhul Mawaris: Hukum-Hukum Warisan dalam Syari’at Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’ȃn: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan, 2007.
__________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Vol. II.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
al-Sijistani, Abu Dawud al-Asy‟ats al-Azdi ibn Sulaiman, Ensiklopedian Hadits 5:
Sunan Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali, dkk. Jakarta:Almahira,
2013.
Sjadzali, Munawir. “Dari Lembah Kemiskinan, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, ed.
Kontekstualisasi Ajaran Islam:70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
70
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: t.p., 2010.
Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Waris Islam:Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks. Jakarta: Rajawali Pers,2013.
__________. “Menakar Keadilan Hukum Warisan Islam Melalui Pendekatan Teks
dan Konteks al-Nusȗs. Ahkam XII, no. 1 (Juli 2012).
al-Suyuti, Jalaludin. Asbabu al- Nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Qur’ȃn. Penerjemah
Abdul Hayyie, dkk. Jakarta:Gema Insani, 2008.
Syahrur, Muhammad. Metodologi Fikih Kontemporer. Penerjemah Sahiron
Syamsuddin. Yogyakarta: Elsaq Press, 2004.
al-Syanqiti. Tafsir Adwa al-Bayan. Penerjemah Fathurazi. Jilid 1. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media Grup,2004.
al-Syatsuriy, Nasir ibn Sa‟ad. al-Qat’u wa al-Zannu ‘Inda al-Usȗliyyȋn. Riyȃd: Dȃr
al-Habȋb, 1997.
al-Tabari, Abu Ja‟far Jarir ibn Muhammad, Tafsir al-Tabari. Penerjemah Akhmad
Affandi. Jilid 6. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
al-Tirmidzi, Abu Isa Isa ibn Muhammad, Ensiklopedia Hadits 6: Jami’ al-Tirmidzi,
Penerjemah Idris, dkk. Jakarta:Almahira, 2012.