pemba has an
DESCRIPTION
koasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan yang dapat
menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).1 Diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan
ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia.2 Kasus TB di
Indonesia masih terhitung sangat banyak, hal ini dibuktikan pada data yang dikemukakan WHO
pada tahun 2013 bahwa laporan kasus TB di Indonesia baik kasus baru maupun kasus kambuh
sebanyak 325.582 jiwa dimana 26.054 (8%) diantaranya adalah anak anak usia di bawah 15
tahun.3
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 1990 dan
International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases (IUATLD) yang dikenal sebagai
strategi Directly observed Treatment Short-course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-
efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS
diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam
bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh.
Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang
dapat timbul antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai
rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan fungsi hati
(hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa nekrosis jaringan hati. Obat anti
tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas
1
mengakibatkan peningkatan kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis
fulminan, akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin.1,2
Beberapa keadaan pada kasus TB memerlukan penanganan khusus seperti komplikasi
dari TB itu sendiri maupun efek samping obat yang diberikan. Pembahasan lebih lanjut
mengenai komplikasi TB dan efek samping obat beserta penangannya akan coba penulis
paparkan pada referat kali ini.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.4
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) yang menyerang jaringan (parenkim) paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.4,5
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis menular dimana
biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan.6
B. Klasifikasi
Menurut PDPI (2006), terdapat beberapa klasifikasi tuberkulosis, yaitu :5
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
3
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu:
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis
aktif.
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus Baru
Yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kasus Kambuh (Relaps)
Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
c. Kasus Defaulted atau Drop Out
Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
4
d. Kasus Gagal (Failure)
Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan.
e. Kasus Kronik
Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi.
3. Pembagiaan Secara Patologi
a. Tuberkulosis Primer (Childhood Tuberculosis).
b. Tuberculosis Sekunder (Adult Tuberculosis).
4. Berdasarkan Aktifitas Radiologi
a. Lesi TB aktif dicurigai bila:
Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas
paru dan segmen posterior lobus bawah
5
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
b. Lesi TB inaktif dicurigai bila:
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
c. Lesi TB Aktif Yang Mulai Menyembuh (Quiescent)
5. Berdasarkan Luas Lesi Yang Tampak Pada Foto Thorax
a. Tuberkulosis Minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun kedua
paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
b. Moderadately Advance Tuberculosis
Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. jumlah infiltrat
bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. bila banyangannya kasar
tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
c. Far Advance Tuberculosis
Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately
advance tuberculosis.
6. Di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis,
radiologis dan mikrobiologis.
6
a. TB Paru
b. Bekas TB Paru
c. TB Paru Tersangka, yang terbagi dalam:
TB Paru Tersangka Yang Diobati.
Dengan sputum BTA negatif, tetapi tanda – tanda lain positif.
TB Paru Tersangka Yang Tidak Diobati.
Dengan sputum BTA negatif dan tanda – tanda lain juga
meragukan. Dalam 2 – 3 bulan, TB tersangka ini sudah harus
dipastikan apakah termasuk
TB Paru ( Aktif ) Atau Bekas TB Paru.
Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan:
o Status Bakteriologi
o Mikroskopik Sputum BTA ( Langsung )
o Biakan Sputum BTA
o Status Radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis
paru.
o Status Kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT.
C. Manifestasi Klinik
Gejala klinis dari tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik.5,7
7
1. Gejala Respiratorik
a. Batuk >2 Minggu
Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk – produk radang.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni
setelah berminggu – minggu atau berbulan – bulan sejak awal peradangan.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ).
b. Batuk Darah
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak Nafas
Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru.
d. Nyeri dada.
Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.
8
2. Gejala Sistemik
a. Demam
Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang – kadang
panas badan dapat mencapai 40 – 41o C. Serangan demam pertama dapat
sembuh sementara, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi
terus menerus, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan
demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang masuk
b. Gejala sistemik lain, seperti :
o Malaise
o Keringat malam
o Anoreksia
o Berat badan menurun.
D. Diagnosis
1. Anamnesis8
Anamnesis disesuaikan dengan gambaran klinis yang didapatkan pada pasien.
Perjalanan penyakit, kontak TB, dan riwayat psikososial harus digali untuk
menentukan klasifikasi TB. Riwayat pengobatan dapat membantu untuk
menentukan terapi yang akan diberikan pada pasien.
9
2. Pemeriksaan Fisik7,8
Pada pemeriksaan pertama dilihat pertama kali adalah keadaan umum dari pasien.
Pemeriksaan tanda vital untuk menilai suhu pasien dan keadaan pasien jika
terdapat kegawatan pada kasus TB yang berat. Pemeriksaan status gizi untuk
melihat apakah terdapat kasus kekurangan gizi pada pasien sesuai dengan gejala
TB.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan gejala klinis yang berarti
terutama pada pasien kasus dini ataupun yang sudah terinfiltrasi secara
asimptomatik. Baik secara anamnesis maupun pemeriksaan fisik, pada keadaan
dini sulit dibedakan antara TB dan pneumonia. Tempat kelainan lesi TB paru
yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai infiltrate yang luas
maka dapat didapatkan perkusi redup dan suara napas bronkial. Akan didapatkan
juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Bila infiltrate
diliputi penebalan pleura, maka suara napasnya akan menjadi vesikuler melemah.
Pada kasus tertentu seperti fibrosis paru, sering ditemukan adanya retraksi dan
atrofi otot intercostal.
3. Pemeriksaan Penunjang7,8
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan LED yang normal atau
meningkat dan limfositosis.
10
b. Pemeriksaan serologi :
o Tes PAP (peroksidase anti peroksida)
Prinsip dasar uji PAP adalah menemukan adanya antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen M.tuberculosae . hasil uji PAP
dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji
PAP positif.
o Uji Mycodot
Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang
direkatkan pada alat yang berbentuk sisir kemudian dicelupkan
dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah
memadai maka warna sisir akan berubah.
o ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Deteksi respon humoral, berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi.
o PCR (Polymerase Chain Reaction)
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam
berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1
mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya
resistensi.
11
c. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan sputum untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Interpretasi hasil pemeriksaan sputum :
Mikroskopik positif
3 x positif
2 x positif, 1 x negative
1 x positif, 2 x negatifà ulang BTA 3 x, bila hasil 1
x positif, 2 x negatif
Mikroskopik negatif
3 x negative
1 x positif, 2 x negatifà ulang BTA 3 x, bila hasil 3
x negatif
Pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara BACTEC (Becton
Dickinson Diagnostic Instrument System), dengan cara mendeteksi growth
index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh
M.tuberculosis. kuman sudah dapat terdeteksi dalam 7-10 hari.
12
d. Tes tuberculin
Tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D.
(Purified Protein Derivative) intrakutan dengan kekuatan 5 T.U. tes
tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah
mengalami infeksi M.tuberculosis, vaksinasi BCG atau Mycobacteria
lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan, interpretasi hasilnya :
- Indurasi 0-5 mm àMantoux negatif = golongan no sensitivity
- Indurasi 6-9 mmà meragukan = golongan low sensitivity
- Indurasi 10-15 mm àMantoux positif = golongan normal sensitivity
- Indurasi >15 mm àMantoux positif kuat = golongan hypersensitivity
e. Pemeriksaan radiologi
Standar pemeriksaan radiologi pada tuberkulosis adalah foto toraks PA
dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB yaitu :
Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apikal lobus
bawah
Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular)
Adanya kavitas, tunggal atau ganda
Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru
Adanya kalsifikasi
Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
13
Bayangan milier
Tabel 1. Alur diagnosis TB.2,4,5
14
Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik, alur diagnosis ini dapat digunakan secara fleksibel yaitu pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan bersamaan dengan foto thoraks dan pemeriksaan yang diperlukan.
Suspek TB paru adalah seseorang dengan batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.
Antibiotik non OAT adalah antibiotik spektrum luas yang tidak memilki efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).
E. Penatalaksanaan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.5
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275
mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
15
c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat.
Derivat rifampisin dan INH.
2. Dosis OAT5,8,9
a. Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali.
b. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15
mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten :
600 mg / kali.
c. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu,
50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
d. Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
16
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
e. Streptomisin: 15 mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
f. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya
minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan
dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang
selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang
mampu menanganinya.
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3xseminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide(Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
17
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
Tabel 2. Jenis, sifat, dan dosis OAT2
Berat Badan
Tahap Intensif
Tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16
minggu RH (150/150)
30-37 Kg 2 Tablet 4KDT 2 Tablet 2KDT
38-54 Kg 3 Tablet 4KDT 3 Tablet 2KDT
55-70 Kg 4 Tablet 4KDT 4 Tablet 2KDT
>71 Kg 5 Tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT
Tabel 3. Fixed Dose Combination (FDC)8
Tahap
Pengobata
n
Lama
Pemgobatan
Dosis Perhari/Kali Jumlah
Hari/Kali
Menelan
Obat
Tablet
Isoniazid
@ 300 mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet
Etambutol
@ 250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Table 4. dosis kombipak golongan 1
3. Multi Drug Resistance5
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosisresisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya
18
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah
mendapat pengobatan TB.
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada penderitaTB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70%
– 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. “WHO Report on Tuberculosis
Epidemic 1995” menyatakan bahwa resitensi ganda kini menyebar di berbagai
belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksioleh kuman
tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususnya
rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat antituberkulosis yang
lainnya. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR Ada beberapa penyebab
terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan
etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensiyang tinggi terhadap obat yang
19
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah
dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah
dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop
lagi, demikian seterusnya.
Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.
Bila kegagalan itu terjadi karenakuman TB telah resisten pada paduan
yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya
akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat.
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu
daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang
menimbulkan kebosanan.
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
Belum menggunakan strategi DOTS
Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasiuntuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya
“tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal
20
2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu
golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida
(amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin,
amoksilin+ as.klavulanat. Saat ini paduan yang dianjurkan OAT yang masih
sensitif minimal 2 –3 OAT dari obat lini 1ditambah dengan obat lain (lini 2)
golongan kuinolon, yaitu Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1 x 400
mg.
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24
bulan. Hasil pengobatan terhadap resistenganda tuberkulosis ini kurang
menggembirakan. Pada penderita non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar
50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan
pada 56% kasus. Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan terawasi secara
baik merupakan salah satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah
resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat
penderita dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda
Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-
TB.Pencegahan resistensi dengan cara pemberian OAT yang tepat dan
pengawasan yang baik.
21
Tabel 5. Ringkasan Paduan Pengobatan TB
4. Efek Samping OAT dan Penanganannya5,8,9
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
22
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, rasaterbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra)
Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare.
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus
23
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan
dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena
proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu
khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau
30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan
24
akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur penderita.
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan
fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.
Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin.
25
Tabel 6. Efek samping ringan OAT dan penangannya.
Tabel 7. Efek samping berat OAT dan penangannya.
Penanganan efek samping obat:
Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik.
Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat
/ allopurinol.
26
Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti
tertulis di atas
Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rashpada kulit yang
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian
dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan
perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa
dilakukan terhadap obat lainnya Kelainan yang harus dihentikan
pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena
rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena
thiacetazon. Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah
hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan
baik.
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan
control seperti :
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang menggunakan etambutol.
Audiometri bagi yang memakai streptomisin.
Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (pemakai pirazinamid).
27
6. Pengobatan Tuberkulosis Dalam Keadaan Khusus
a. TB Milier
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik,
radiologik dan evaluasi pengobatan , maka pengobatan lanjutan
dapat diperpanjang sampai dengan 7 bulan 2RHZE/ 7 RH
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada
keadaan :
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 - 6 minggu.
b. Pleuritis Eksudatif TB (Efusi Pleura TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan
penderita dan berikan kortikosteroid
Dosis steroid : prednison 30-40 mg/hari, diturunkan 5-10 mg setiap
5-7 hari, pemberian selama 3-4 minggu.
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan
DM. Ulangan evakuasicairan bila diperlukan
28
c. TB Ekstra Paru
Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.
Prinsip pengobatan sama dengan TBparu menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis
pada bayi dan anak lama pengobatan 12 bulan. Pada Obat suntik
kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS
(mis INH, rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius
pada hati
INH diberikan terus menerus seumur hidup.
Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi.
d. TB paru Pada Kehamilan dan Menyusui
Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan
kehamilan.
OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek
samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin (Eropa)
Di Amerika OAT tetap diberikan kecuali streptomisin dan
pirazinamid untuk wanita hamil .
Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat
diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI,
akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik
pada bayi
29
Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya
juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui
bayinya, agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan
Pada wanita usia produktifyang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi
hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan
efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
e. TB paru dengan Gagal Ginjal
Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan
capreomycin.
Sebaiknya hindari penggunaanetambutol karena waktu paruhnya
memanjang dan terjadi akumulasi etambutol.
Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan
dengan pengawasan kreatinin.
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT,
Ureum, Kreatnin).
Rujuk ke ahli Paru.
f. TB paru Dengan Kelainan Hati
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan
faal hati sebelum pengobatan.
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
Paduan Obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO: 2 SHRE/6
RHatau 2 SHE/10 HE.
30
Pada penderita hepatitis akutdan atau klinik ikterik , sebaiknya
OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal
3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6
RH.
Sebaiknya rujuk ke ahli Paru.
g. Hepatitis Drug Induce
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat - obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan :
Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala / mual, muntah [+]) → OAT
Stop.
Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
o Bilirubin > 2 →OAT Stop
o SGOT, SGPT >5 kali : OAT stop
o SGOT, SGPT >3 kali, gejala (+) : OAT stop
o SGOT, SGPT >3 kali, gejala (-) →teruskan pengobatan,
dengan pengawasan.
Paduan OAT yang dianjurkan :
o Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
o Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik
dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT,
SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai
31
dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan
klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh ,
bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan
rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi
RHES.
o Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.
h. Pasien Dengan Infeksi HIV/AIDS
Prinsip pengobatannya adalah mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai Standar WHO.
Pasien TB dengan resiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke
pelayanan VCT (Voluntary Counseling and Testing).
1) Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Pengobatan TB segera dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB
maka teruskan pengobatan TB sampai dapat ditoleransi dan setelah
itu diberikan pengobatan ARV. Keputusan untuk memulai
pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya
dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksan
pasien TB-HIV. (untuk pelayanan di puskesmas, berikan
pengobatan TB lalu rujuk pasien ke RS yang dapat memberikan
layanan ARV).
2) Pengobatan TB pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV
sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal di RS yang petugasnya
32
terlatih guna diatur rencana pengobatan TB bersama dengan ARV.
(untuk pelayanan di Puskesmas, rujuk pasien ke RS yang dapat
memberikan layanan ARV untuk pengobatan koinfeksi TB-HIV).
33
BAB III
KESIMPULAN
Kasus TB di Indonesia masih cukup tinggi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat
serta pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kasus TB amat diperlukan untuk terapi pasien.
Terdapat beberapa kategori pengobatan TB sesuai kebutuhan pasien. Dari sekian banyak OAT
yang diberikan masing – masing obat memiliki efek samping yang tidak diharapkan. Penanganan
dari efek samping dan edukasi yang tepat dapat membantu penanganan TB. Selain itu, ada
beberapa keadaan tertentu yang membutuhkan strategi lain dalam pemberian OAT. Oleh karena
itu, evaluasi yang tepat dan cermat pada keadaan khusus penderita TB dapat membantu
memberikan prognosis yang baik dan kesembuhan bagi penderita TB.
34