pemanfaatan limbah tempurung kelapa
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN LIMBAH TEMPURUNG KELAPA
(Cocos nucifera L.) SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENURUNKAN
CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) DAN TOTAL SUSPENDED
SOLIDS (TSS) PADA AIR LIMBAH
INDUSTRI FARMASI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Jurusan Farmasi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari
OLEH :
LINDA SARI SUHANA
D1A151159
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FARMASI
2019
Pembimbing I Pembimbing 11
Gina anti Hadisoebroto M.Si. Ant. Eki Al hifari. S.Si.
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : PEMANFAATAN LIMBAH TEMPURUNG KELAPA (Cocos riac i fera L.) SEBAGAI ADSORBEN UNTUK
xaunnuxuxu cozaacm oxrczN azwuvzi (con) nzn rorxz svsrzxozz› aozrna prss) rnoa zm LIMBAH INDUSTRY FARMASI
PENYUSUN : LINDA SARI SU£tANA
NIM : D1A151159
Setelah membaca skripsi ini dengan seksama, menurut pertimbangan kami telah memenuhi
persyaratan ilmiah sebagai suatu skripsi
Bandung, Januari 2020
ABSTRAK
Limbah yang dihasilkan dari suatu proses pengolahan dalam industri membawa
efek buruk bagi lingkungan. Beban limbah yang berasal dari industri Kota Cimahi
terlapor dengan parameter COD sebesar 269,82 ton/tahun sedangkan TSS sebesar
100,49 ton/tahun. Oleh sebab itu diperlukan suatu tindakan pengendalian untuk
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah cair
industri. Salah satu metode untuk menurunkan COD dan TSS adalah adsorpsi
yang dapat dilakukan dengan menggunakan karbon aktif sebagai adsorben yang
berasal dari limbah tempurung kelapa. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui manfaat tempurung, mengetahui waktu kontak optimum dan
mengetahui kualitas air limbah setelah penambahan adsorben tempurung kelapa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempurung kelapa dapat dijadikan sebagai
adsorben, waktu kontak optimum karbon aktif tempurung kelapa untuk
mengadsorpsi COD selama 40 menit didapatkan penurunan kadar COD sebesar
73,03% (1.030 mg/L dari 3.386 mg/L) dan waktu kontak optimum karbon aktif
tempurung kelapa untuk mengadsorpsi TSS selama 45 menit didapatkan
penurunan kadar TSS sebesar 92.43% (5 mg/L dari 66 mg/L).
Kata kunci : limbah cair, COD, TSS, karbon aktif, tempurung kelapa, adsorpsi,
adsorben.
i
ABSTRACT
The waste from a process in the industry has a bad effect for the environment. It
was reported that liquid waste from industry in Cimahi contains 269.82 tons/year
for COD parameter and 100,49ton/year for TSS parameter based on these data,
An action is needed to prevent environmental pollution that caused by liquid
waster. One of the method that we can use is from the waste of coconut shell. The
other wise it can be used as a raw material for making the active carbon. The
objective of this research is to out whether coconut shell, the optimum contact
time and know the quality of waste water after the addition of an adsorbent. The
result of studies show that coconut shell can be used as an adsorbent, the
optimum contact time for adsorbing COD is 40 minutes the COD value was
decreased 73,03% (1.030 mg/L from 3.386 mg/L) and 45 minutes for TSS value
was decreased 92.43% (5 mg/L dari 66 mg/L).
Keywords: liquid waste, COD, TSS, activated carbon, coconut shell, adsorption,
adsorbent.
ii
KATA PENGANTAR
Assalam’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul PEMANFAATAN LIMBAH TEMPURUNG KELAPA (Cocos
nucifera L.) SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENURUNKAN CHEMICAL
OXYGEN DEMAND (COD) DAN TOTAL SUSPENDED SOLIDS (TSS)
PADA AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI. Tak lupa pula shalawat serta
salam senantiasa tercurah kepada tauladan kebaikan kita, junjungan Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan umat pengikutnya sampai
akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat Ibu Ginayanti Hadisoebroto, M.Si., Apt. selaku
pembimbing utama yang telah banyak membantu, membimbing dan memberikan
arahan serta motivasi selama bimbingan sampai terselesaikannya skripsi
penelitian tugas akhir ini. Kemudian juga Bapak Eki Alghifari, S.Si. selaku
pembimbing pendamping yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
saran dan pengarahan selama penyusunan skripsi penelitian tugas akhir ini.
iii
Penyusunan skripsi ini tentunya tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa
adanya dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Didin Muhafidin, S.I.P., M.Si selaku Rektor Universitas Al-
Ghifari Bandung.
2. Bapak Ardian Baitariza, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Al-Ghifari.
3. Ibu Ginayanti Hadisoebroto, M.Si., Apt selaku Ketua Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Fakultas Farmasi Universitas Al-Ghifari.
5. Insan yang teramat sangat berharga (Bapak dan Ibu tercinta) yang tiada
hentinya memberikan dorongan lahir dan batin, baik kasih sayang dan
perhatian yang luar biasa, do’a, serta pengorbanan yang penuh dengan
kesabaran dan ketulusan untuk penulis, terimakasih atas dukungan dan
motivasinya.
6. Teman-teman Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari khususnya angkatan 2015, terima
kasih untuk kebersamaannya, motivasi, dan semangat selama ini.
7. Kawan-kawan dari keluarga besar PT. Holi Pharma, staff Quality Control,
grup oronggoh, dan staff Quality Assurance yg selama ini telah menjadi
keluarga kedua dan membesarkan kualitas pribadi penulis.
iv
8. Ibu Dwi Hartati, S.Si., Apt dan Clara Panjaitan, S.Farm., Apt, kepala Quality
Assurance dan kepala Quality Control yang telah memberikan izin
mengunakan laboratorium di PT. Holi Pharma dan memberikan motivasi pada
penulis.
9. Staff Perum Jasa Tirta II yang telah membimbing dan memberikan
kesempatan untuk mempelajari cara pengujian pada air limbah.
10. Tiar Isnani Amanah, S.Si, Fransiska Nurma Citra, S.Si dan Dresta Abigail,
S.Farm., Apt. Kakak yang telah memberikan bimbingan, kritik dan saran,
meneladankan sikap terbaik serta memberi motivasi yang tiada hentinya pada
penulis.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari banyak sekali kekurangan
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Cimahi, Desember 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................viii
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian....................................................................... 5
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
2.1 Air .................................................................................................. 6
2.2 Kualitas Air ..................................................................................... 7
2.3 Parameter Air Limbah .................................................................... 8
2.3.1 Total Suspended Solid (TSS) .............................................. 8
2.3.2 Chemical Oxygen Demand (COD) ..................................... 8
2.3.3 Derajat Keasaman ............................................................... 9
2.3.4 Biochemical Oxygen Demand (BOD) ................................. 9
2.5 Baku Mutu Limbah Farmasi .......................................................... 10
2.6 Dampak Air Limbah ...................................................................... 10
2.7 Tempurung Kelapa .......................................................................... 13
2.8 Karbon Aktif .................................................................................. 13
2.8.1 Syarat Mutu Karbon Aktif .................................................. 16
2.8.2 Kualitas Karbon Aktif ......................................................... 16
2.8.3 Proses Pembuatan Karbon Aktif ......................................... 18
2.8.4 Proses Adsorpsi ................................................................... 22
2.9 Titrasi ............................................................................................. 25
2.10 Gravimetri .................................................................................... 26
2.11 Spektrofotometri .......................................................................... 28
2.11.1 Spektrofotometer UV-Vis ................................................. 29
2.11.2 Prinsip Pengukuran Spektrofotometer .............................. 30
vi
BAB III METODE PENELITIAN ...........................................................
3.1 Alat ................................................................................................. 31
3.2 Bahan .............................................................................................. 31
3.3 Prosedur Penelitian ........................................................................ 31
3.3.1 Pembuatan Karbon Aktif.................................................... 31
3.3.2 Karakteristik Karbon Aktif ................................................ 32
3.3.3 Pengambilan Air Limbah ................................................... 34
3.3.4 Proses Adsorpsi .................................................................. 35
3.3.5 Pengujian Chemical Oxygen Deman (COD)...................... 35
3.3.6 Pengujian Total Suspended Solids(TSS) ............................ 36
3.3.7 Pengujian pH ...................................................................... 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................
4.1 Pembuatan Karbon ......................................................................... 38
4.2 Karakteristik Karbon Aktif............................................................. 41
4.2.1 Kadar Air ............................................................................ 41
4.2.2 Kadar Abu .......................................................................... 41
4.2.3 Adsorpsi Metilen Blue ........................................................ 42
4.3 Pengambilan Sampel Air Limbah .................................................. 44
4.4 Proses Adsorpsi pada Air Limbah ................................................. 45
4.5 Analisa Chemical Oxygen Demand (COD) ................................... 45
4.6 Analisia Total Suspended Solids (TSS) ......................................... 47
4.7 pH ................................................................................................... 49
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
5.1 Simpulan......................................................................................... 51
5.2 Saran ............................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 53
LAMPIRAN ....................................................................................................... 57
vii
Gambar
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Morfologi Permukaan Karbon Aktif Pada Pembesaran 4000x ............................ 14
2.2 Struktur Grafit dari Arang Aktif ................................................................ 15
2.3 Karbon Aktif dengan Aktivator KOH ........................................................ 21
4.1 Hasil Kabonisasi Tempurung Kelapa ........................................................ 39
4.2 Hasil Aktivasi Tempurung Kelapa ............................................................. 40
viii
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
4.1 Kurva Kalibrasi Metilen Blue .................................................................... 43
4.2 Grafik Hasil Pemeriksaan COD ................................................................. 47
4.3 Grafik Hasil Pemeriksaan TSS ................................................................... 49
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Farmasi ...................................... 10
2.2 Syarat Mutu Karbon Aktif (SII.0258-88) .................................................. 16
4.1 Hasil Uji Kadar Air .................................................................................... 41
4.2 Hasil Uji Kadar Abu .................................................................................. 42
4.3 Hasil Serapan Larutan Standar Metilen Blue ............................................. 42
4.4 Hasil Pemeriksaan COD pada Air Sampel Limbah ................................... 46
4.5 Hasil Pemeriksaan TSS pada Sampel Air Limbah ..................................... 48
4.6 Hasil Pemeriksaan pH pada Sampel Air Limbah ...................................... 50
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1.1 Tempurung Kelapa Sebelum dan Sesudah Proses Kabonisasi ................... 57
1.2 Proses Aktivasi Karbon Tempurung dengan Larutan KOH ...................... 57
1.3 Karakteristik Karbon Aktif Tempurung Kelapa ........................................ 58
1.4 Analisis Total Suspended Solids ................................................................ 59
1.5 Analisis pH ................................................................................................. 59
1.6 Alat Yang Digunakan untuk Pengujian COD ............................................ 60
1.7 Alat Yang Digunakan untuk Pengujian TSS .............................................. 60
1.8 Alat Yang Digunakan untuk Pengujian Kadar Air .................................... 61
1.9 Alat Yang Digunakan untuk Pembuatan Karbon ....................................... 61
2.1 Kurva Kalibrasi Metilen Blue .................................................................... 62
3.1 Perhitungan Penimbangan KOH ................................................................ 63
3.2 Perhitungan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metilen Blue ............................. 63
3.3 Perhitungan Adsorpsi Metilen Blue ........................................................... 64
3.4 Kadar Abu .................................................................................................. 64
3.5 Perhitungan Kadar Chemical Oxygen Demand.......................................... 65
3.6 Perhitungan Kadar Total Suspended solids ................................................ 66
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbuh dan berkembangnya industri–industri di Indonesia membantu
peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, tetapi disisi lain
menimbulkan dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Limbah yang dihasilkan
dari suatu proses pengolahan dalam industri membawa efek buruk bagi lingkungan
jika tidak diperhatikan oleh pengelola industri (Widayatno dan sriyani, 2008).
Setiap industri yang beroperasi wajib memiliki izin untuk membuang limbahnya
dengan beberapa syarat salah satunya harus sesuai dengan batas kadar yang
diperkenankan atau baku mutu. Dengan adanya standar baku mutu serta penggunaan
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) pada industri ditujukan agar keberadaan
industri dan lingkungan tetap harmonis. Terdapat kurang lebih 34 industri di Kota
Cimahi yang berkontribusi terhadap kualitas air sungai. Beban limbah yang berasal
dari industri di Kota Cimahi dilaporkan memiliki nilai COD (Chemical Oxygen
Demand) sebesar 269,82 ton/tahun dan TSS (Total Suspended Solids) sebesar 100,49
ton/tahun. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa industri menjadi faktor utama
dalam pencemaran lingkungan (Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, 2018).
1
2
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor :
5 Tahun 2014 lampiran 39, Tentang Baku Mutu air limbah bagi industri Farmasi
mengunakan beberapa parameter di antaranya Biochemical Oxygen Demand (BOD),
Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), Total-N, Fenol dan
pH.
Industri farmasi dapat menghasilkan limbah cair yang bersumber dari proses sisa
produksi, proses pencucian alat produksi, kegiatan laboratorium dan sisa cairan hasil
produksi yang tidak memiliki spesifikasi. Limbah cair yang dihasilkan bersifat
beracun, serta mengandung senyawa organik dan anorganik terlarut. Oleh karena itu,
limbah industri farmasi memiliki nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD
(Chemical Oxygen Demand) dan TSS (Total Suspended Solids) yang tinggi (Farida
dan Hanny, 2016).
Dampak dari limbah cair yang memiliki nilai konsentrasi TSS dan COD yang
tinggi dapat membahayakan sekaligus mematikan bagi ekosistem di perairan, TSS
bila dibuang langsung akan menimbulkan kekeruhan air yang menyebabkan
menurunnya laju fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Sehingga
produktivitas perairan menurun (Iwan S dkk, 2015), sedangkan angka COD yang
tinggi mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air (Hutami D dkk, 2016).
Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pengendalian untuk mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh air limbah cair industri salah satu
metode adsorpsi dapat dilakukan dengan menggunakan arang aktif sebagai adsorben
(Rita dkk, 2015). Salah satu adsorben yang dapat digunakan adalah
3
tempurung kelapa (Cocos nucifera L.). seperti yang telah dilakukan oleh Nihla dkk
(2017) dan Erlina dkk (2015).
Nihla dkk (2017) melakukan penelitian Karbon Tempurung Kelapa (Cocos
nucifera L.) Dengan Perekat PV Ac Sebagai Penjernih Limbah Batik Di Kota
Pekalongan menunjukkan hasil limbah cair batik menjadi jernih setelah melewati
proses perendaman bulatan karbon tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) selama 24
jam.
Erlina dkk (2015) melakukan penelitian pengaruh konsentrasi larutan KOH pada
karbon aktif tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) untuk adsorpsi logam Cu
menunjukkan hasil karbon aktif dengan konsentrasi KOH sebesar 50% mampu
menurunkan kadar logam Cu sampai 0,6 ppm (mg/L) di bawah nilai baku mutu.
Limbah tempurung kelapa yang ada di masyarakat sering hanya digunakan
sebagai bahan bakar atau kayu bakar. Beberapa industri meubel kecil ada yang sudah
memanfaatkan sebagai alat peraga edukatif ataupun cindra mata. Manfaat lain yang
dapat digunakan dari tempurung kelapa ini adalah untuk bahan baku pembuatan arang
aktif. Kandungan kimia arang aktif adalah senyawa karbon, yang sangat berguna
untuk proses penjernihan material cair, baik material organik maupun anorganik.
Berdasarkan uraian tentang tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) sebagai
adsorben maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemanfaatan limbah
tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) sebagai adsorben air limbah industri farmasi
dengan parameter COD dan TSS dengan menggunakan metode Titrimetri dan
Gravimetri.
4
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut :
1. Apakah tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) dapat dijadikan sebagai adsorben
air limbah industri farmasi ?
2. Berapakah waktu optimum yang digunakan untuk adsorpsi COD dan TSS ?
3. Berapakah penurunan kadar COD dan TSS setelah penambahan tempurung
kelapa (Cocos nucifera L.) sebagai adsorben ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) dapat dijadikan sebagai
adsorben yang diaplikasikan pada air limbah industri farmasi.
2. Mengetahui waktu kontak optimum dalam menurunkan kandungan COD dan
TSS pada air limbah industri farmasi setelah penambahan adsorben.
3. Mengetahui kualitas air limbah cair industri farmasi setelah penambahan karbon
aktif berdasarkan parameter COD dan TSS.
5
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini antara lain :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan
arang tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) yang saat ini belum diolah secara
maksimal menjadi karbon aktif.
2. Memberikan informasi tentang persentase efektivitas penurunan COD dan TSS
pada perlakuan menggunakan karbon aktif tempurung kelapa (Cocos nucifera
L.).
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2019, yang
bertempat di Laboratorium Pengawasan Mutu PT. Holi Pharma Jalan Mahar
Martanegara No 100 Cimindi – Cimahi dan Laboratorium Air Perum Jasa Tirta II
Unit Wilayah II Jalan Curug Klari Karawang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air
Air merupakan penentu kesinambungan hidup di bumi karena air selain
dikonsumsi juga digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan seperti memasak,
mandi, mencuci dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh
bahan-bahan pencemar sehingga dapat mengganggu kesehatan makhluk hidup
(Darmono, 2001).
Makhluk hidup di dunia ini tanpa terkecuali sangat membutuhkan air untuk
kehidupannya. Namun dengan perkembangan peradaban serta semakin
bertambahnya jumlah penduduk maka dapat meningkatkan pencemaran air
(Kusnoputranto, 1996).
Air yang terdapat di alam mengandung bahan-bahan terlarut maupun bahan-
bahan tersuspensi Air menutupi hampir 71% permukaan bumi, yang menempati
1.4 triliun km3 (330 juta mil³) tersedia di bumi. Air sebagian besar terdapat
di laut sebagai air asin dan pada lapisan-lapisan es (di kutub dan puncak-puncak
gunung), akan tetapi dapat hadir sebagai awan, hujan, sungai, mata air, danau, uap
air dan gunung es. Air dalam obyek-obyek tersebut bergerak mengikuti
suatu siklus air, yaitu: melalui penguapan, hujan, dan aliran air di atas permukaan
tanah (meliputi mata air, sungai, muara).
6
7
Air yang terdapat di alam umumnya bukanlah air yang murni, tetapi di
dalamnya terkandung berbagai macam zat terlarut atau tercampur. Ini disebabkan
karena air bersifat polar dan akan melarutkan zat-zat mineral misalnya zat besi,
mangan, magnesium, kalsium, dan lain-lain. Jenis-jenis zat terlarut serta
komposisinya akan berbeda-beda, hal ini menyebabkan sifatnya berbeda pula.
Walaupun demikian, dengan komposisi yang berbeda memungkinkan adanya
mahluk hidup yang dapat hidup di dalamnya atau diperlukan untuk kehidupan. Air
merupakan habitat hidup jasad renik seperti bakteri yang beraneka ragam bentuk
dan kemanfaatannya (Suprihatin, 2002).
2.2 Kualitas Air
Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air
didefinisikan sebagai :“Masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat
diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kejadian,
aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Warlina, 2004).
8
2.3 Parameter Air Limbah
Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH
atau konsentrasi ion hidrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO) dan
kebutuhan oksigen biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD), kebutuhan
oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD). Beberapa pengukuran
parameter fisika dan kimia uji kualitas air di antaranya :
2.3.1 Total Suspended Solid (TSS)
Residu tersuspensi dalam suatu perairan menggambarkan sifat optik dari
suatu perairan yang ditentukan dari jumlah cahaya yang dipancarkan dan diserap
oleh partikel-partikel yang berada di dalam air. Pada perairan dengan tingkat
residu tersuspensi yang tinggi dapat menghalangi cahaya matahari yang masuk ke
dalam perairan sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis organisme autotrof
(Widyastuti, 2010).
2.3.2 Chemical Oxygen Demand (COD)
COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal
ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan
menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas
dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik yang
mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan
demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya
9
bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama
dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD
menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada (Boyd, 1990).
2.3.3 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH merupakan suatu indeks kadar ion hidrogen (H+)
yang mencirikan keseimbangan asam dan basa. Tujuan metode pengujian ini
adalah untuk mengetahui nilai pH air. pH menunjukkan derajat keasaman suatu
larutan. Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktifitas ion hidrogen
secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter (SNI, 2004).
Tinggi rendahnya pH juga dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O2 maupun
CO2. Tidak semua makhluk bisa bertahan terhadap perubahan nilai pH, untuk itu
alam telah menyediakan mekanisme yang unik agar perubahan tidak terjadi atau
terjadi tetapi dengan cara perlahan. Tingkat pH lebih kecil dari 4,8 dan lebih besar
dari 9,2 sudah dapat dianggap tercemar ( Rukminasari, dkk 2014).
2.3.4 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme
(biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam
kondisi aerobik. Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang
terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi
(readily decomposable organic matter). BOD sebagai suatu ukuran jumlah
10
oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan
sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai (Boyd, 1990).
2.5 Baku Mutu Limbah Farmasi
Berdasarkan Keputusan Mentri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2014, jika air limbah yang berasal dari industri farmasi akan dibuang ke
badan sungai maka kegiatan usaha tersebut mengikuti baku mutu air limbah. Pada
Lampiran XXXIX Baku Mutu Limbah Cair Industri Farmasi.
Tabel 2.1 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Farmasi
Parameter Proses Pembuatan Bahan Formula (mg/L)
Formulasi – Formulasi Pencampuran (mg/L)
BOD 150 100
COD 500 300
TSS 130 100
Total N 45 30
Fenol 5 1,0
pH 6.0 – 9.0 6.0 – 9.0
2.6 Dampak Air Limbah
Air limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak buruk
bagi makhluk hidup dan lingkungannya. Beberapa dampak buruk terebut sebagai
berikut :
1. Gangguan Kesehatan
Air limbah dapat mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan
penyakit bawaan air (water borne diseases). Selain itu di dalam air limbah
mungkin juga terdapat zat-zat berbahaya dan beracun yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan bagi makhluk hidup yang mengkonsumsinya. Air limbah
11
yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menjadi sarang vektor penyakit
(misalnya nyamuk, lalat, kecoa dan lain-lain). Selain resiko yang disebabkan oleh
mikroba, senyawa toksikpun dapat menyebabkan kematian dan penderitaan
manusia seperti kematian akibat keracunan pestisida dalam air minum atau
keracunan akibat logam berat.
2. Penurunan Kualitas Lingkungan
Air limbah yang dibuang langsung ke air permukaan (misalnya : sungai dan
danau) dapat mengakibatkan pencemaran air permukaan tersebut. Sebagai contoh,
bahan organik yang terdapat dalam air limbah bila dibuang langsung ke sungai
dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen yang terlarut (Dissolved Oxygen) di
dalam sungai tersebut. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam
air yang membutuhkan oksigen akan terganggu, dalam hal ini mengurangi
perkembangannya. Air limbah juga dapat merembes ke dalam air tanah, sehingga
menyebabkan pencemaran air tanah. Bila air tanah tercemar maka kualitasnya
akan menurun sehingga tidak dapat lagi digunakan sesuai peruntukannya.
3. Gangguan Terhadap Keindahan
Air limbah mengandung polutan yang tidak mengganggu kesehatan dan
ekosistem, tetapi mengganggu keindahan. Contoh yang sederhana adalah air
limbah yang mengandung pigmen warna yang dapat menimbulkan perubahan
warna pada badan air penerima. Walaupun pigmen tersebut tidak menimbulkan
gangguan terhadap kesehatan, tetapi terjadi gangguan keindahan terhadap badan
12
air. Kadang-kadang air limbah dapat juga mengandung bahan-bahan yang bila
terurai menghasilkan gas-gas yang berbau. Bila air limbah jenis ini mencemari
badan air, maka dapat menimbulkan gangguan keindahan pada badan air tersebut.
Air yang tercemar seringkali mengeluarkan bau yang sangat menusuk hidung atau
berubah warna menjadi hitam, coklat atau merah tergantung dari jenis pencemaran
yang ada. Keadaan ini akan mengganggu segi keindahan yang dipunyai air.
4. Gangguan Terhadap Kerusakan Benda
Air limbah mengandung zat-zat yang dapat dikonversi oleh bakteri anaerob
menjadi gas yang agresif seperti H2S. Gas ini dapat mempercepat proses
perkaratan pada benda yang terbuat dari besi (misalnya pipa saluran air limbah)
dan buangan air kotor lainnya. Dengan cepat rusaknya air tersebut maka biaya
pemeliharaannya akan semakin besar juga, yang akan menimbulkan kerugian
material. Lemak yang merupakan sebagian dari komponen air limbah mempunyai
sifat yang menggumpal pada suhu air normal, dan akan berubah menjadi cair
apabila berada pada suhu yang lebih panas. Lemak yang berubah benda cair pada
saat dibuang ke saluran air limbah akan menumpuk secara kumulatif pada saluran
air limbah karena mengalami pendinginan dan lemak ini akan menempel pada
dinding saluran air limbah yang pada akhirnya akan menyumbat aliran air limbah.
Selain penyumbatan dapat juga terjadi kerusakan pada tempat dimana lemak
tersebut menempel yang biasanya berakibat timbulnya kebocoran (Rahmat dan
Anwar, 2018).
13
2.7 Tempurung Kelapa
Buah kelapa terdiri dari sabut kelapa, tempurung kelapa, daging kelapa dan air
kelapa. Sabut kelapa merupakan bahan berserat dengan ketebalan sekitar 5 cm dan
merupakan bagian terluar dari buah kelapa. Tempurung kelapa terletak di sebelah
dalam sabut, ketebalannya berkisar 3-5mm. Ukuran buah kelapa dipengaruhi oleh
ukuran tempurung kelapa yang sangat dipengaruhi oleh usia dan perkembangan
tumbuhan kelapa. Tempurung kelapa beratnya antara 15 – 19% berat kelapa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dilakukan oleh (Sembiring, 2003),
komposisi kimia tempurung kelapa adalah seperti berikut: Sellulosa 26,60 %, Lignin
29,40 %, Pentosan 27,70 %, Solvent ekstraktif 4,20 %, Uronat anhidrid 3,50 %, Abu
0,62 %, Nitrogen 0,11 %, dan Air 8,01%.
2.8 Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan suatu padatan berpori yang mengadung 85-95%
karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan
pada suhu tinggi. (Kvech dkk, 1998), menyatakan bahwa karbon aktif adalah
suatu bahan padat yang berpori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang
mengandung karbon melalui proses pirolisis. Sebagian dari pori-porinya masih
tertutup hidrokarbon, tar, dan senyawa organik lain. Komponennya terdiri dari
karbon terikat (fixed carbon), abu, air, nitrogen, dan sulfur.
14
Gambar 2.1. Morfologi permukaan karbon aktif pada pembesaran 4000x
(Kvech dkk, 1998)
Karbon aktif merupakan padatan amorf berbentuk heksagonal datar dengan
sebuah atom C pada setiap sudutnya serta mempunyai permukaan yang luas dan
jumlah pori yang sangat banyak. Karbon aktif adalah bentuk umum dari berbagai
macam produk yang mengandung karbon yang telah diaktifkan untuk
meningkatkan luas permukaannya. Karbon aktif berbentuk kristal mikro karbon
grafit dengan pori-pori yang telah berkembang kemampuannya dalam
mengadsorpsi gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang tidak larut atau
yang terdispersi dalam cairan.
Hartanto 2010, melaporkan bahwa karbon aktif merupakan karbon amorf dari
pelat-pelat datar tersusun oleh atom-atom C yang terikat secara kovalen dalam
suatu kisi heksagonal datar dengan satu atom C pada setiap sudutnya seperti yang
terlihat pada Gambar 2.2.
15
Gambar 2.2. Struktur grafit dari arang aktif
Secara umum, ada dua jenis karbon aktif yaitu karbon aktif fasa cair dan
karbon aktif fasa gas. Karbon aktif fasa cair dihasilkan dari material dengan berat
jenis rendah, seperti arang dari bambu kuning yang mempunyai bentuk butiran
(powder), rapuh (mudah hancur), mempunyai kadar abu yang tinggi berupa silika
dan biasanya digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, warna, dan kontaminan
organik lainnya (Hartanto dan Ratnawati, 2010).
Keaktifan daya menyerap dari karbon aktif tergantung dari jumlah senyawa
karbonnya. Daya serap karbon aktif ditentukan oleh luas permukaan partikel. Dan
kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi, jika karbon aktif tersebut telah
dilakukan aktivasi dengan faktor bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan
pada temperatur tinggi. Dengan demikian, karbon akan mengalami perubahan
sifat-sifat fisika dan kimia. Karbon aktif yang berwarna hitam, tidak berbau, dan
mempunyai daya serap yang jauh lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif
yang belum menjalani proses aktivasi, serta mempunyai permukaan yang luas,
yaitu memiliki luas antara 300 – 200 m2/gram. Luas permukaan yang luas
disebabkan karbon mempunyai permukaan dalam (internal surface) yang
16
berongga, sehingga mempunyai kemampuan menyerap gas dan uap atau zat yang
berada di dalam suatu larutan (Maulinda, 2015).
Pada pembuatan karbon aktif menggunakan berbagai reagen kimia seperti
ZnCl2, H2SO4, H3PO4, HCl. Saat ini, alkali hidroksida seperti KOH, NaOH dan
alkali karbonat seperti K2CO3 dan Na2CO3 telah banyak digunakan sebagai
aktivator menghasilkan luas permukaan yang tinggi dari karbon aktif (Gilar dkk,
2013).
2.8.1 Syarat Mutu Karbon Aktif
Menurut Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-88), yang dikeluarkan
oleh Departemen Perindustrian, persyaratan karbon aktif adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Syarat Mutu Karbon Aktif (SII. 0258-88)
Jenis Uji Persyaratan
Butiran Padatan
Bagian yang hilang pada pemanasan 950oC Max. 15% Max.25%
Kadar Air Max.4,4% Max. 15%
Kadar Abu Max.2,5% Max.10%
Fixed Karbon (%) Min. 80% Min 65%
Daya serap terhadap I2 Min. 750 mg/g Min. 750 mg/g
Daya serap terhadap Metilen Blue Min. 60 mg/g Min. 120 mg/g Sumber : Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI 1997
2.8.2 Kualitas Karbon Aktif
1. Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu karakterisasi karbon aktif yang sangat
penting terhadap mutu karbon aktif. Kadar air pada karbon aktif mampu
mempengaruhi daya serap terhadap cairan. Penentuan kadar air bertujuan untuk
17
mengetahui sifat higroskopis dari karbon aktif dimana umumnya karbon aktif
memiliki sifat afinitas yang sangat besar terhadap air. Semakin tinggi temperatur
pengeringan makin sedikit kadar air yang terkandung dalam karbon aktif sehingga
dapat menghasilkan pori yang semakin besar. Semakin besar pori-pori maka luas
permukaan karbon aktif semakin bertambah. Sehingga mengakibatkan
meningkatnya kemampuan adsorpsi dari karbon aktif.
2. Kadar Abu
Kadar abu merupakan komponen anorganik bahan yang tertinggal pada
pemanasan 700°C. Penentuan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan
sisa mineral seperti kalsium, kalium, magnesium dan natrium. Keberadaan abu
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori karbon
aktif, sehingga luas permukaan karbon aktif menjadi berkurang.
3. Adsorpsi Metilen Blue
Uji adsorpsi metilen blue bertujuan untuk mengetahui kemampuan karbon
aktif untuk menyerap larutan berwarna, mengadsorpsi zat-zat yang berukuran
besar kisaran 15-25 angstrom atau 1,5-2,5 nm dan menentukan luas permukaan
pori karbon aktif. Oleh karena itu metilen blue menjadi salah satu ukuran kualitas
dari karbon aktif.
18
2.8.3 Proses Pembuatan Karbon Aktif
Menurut Ramdja (2008), secara garis besar, ada 3 tahap pembuatan karbon
aktif, yaitu:
1. Proses Dehidrasi
Adalah proses penghilangan air pada bahan baku. Bahan baku dipanaskan
sampai temperatur 170°C.
2. Proses Karbonisasi
Adalah proses pembakaran bahan baku dengan menggunakan udara terbatas
dengan temperatur udara antara 300oC sampai 900
oC sesuai dengan kekerasan
bahan baku yang digunakan biasanya dilakukan dalam furnace. Tujuan
karbonisasi adalah untuk menghilangkan zat-zat yang mudah menguap (volatile
matter) yang terkandung pada bahan dasar. Proses ini menyebabkan terjadinya
penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk air, uap
asam asetat, tar-tar, dan hidrokarbon. Material padat yang tinggal setelah
karbonisasi adalah karbon dalam bentuk arang dengan pori-pori yang sempit.
Pada saat karbonisasi terjadi beberapa tahap yang meliputi penghilangan air atau
dehidrasi, penguapan selulosa, penguapan lignin, dan pemurnian karbon. Pada
suhu pemanasan sampai 400°C terjadi penghilangan air, penguapan selulosa, dan
penguapan lignin, sedangkan untuk proses pemurnian karbon terjadi pada suhu
500-800oC. Hampir 80% unsur karbon yang diperoleh pada suhu 500-800
oC
(Sudrajat, 1994).
19
3. Proses Aktivasi
Aktivasi adalah perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk
memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau
mengoksidasi molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat,
baik fisika atau kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh
terhadap daya adsorpsi. Tujuan utama dari proses aktivasi adalah menambah atau
mengembangkan volume pori dan memperbesar diameter pori yang telah
terbentuk pada proses karbonisasi serta untuk membuat beberapa pori baru.
Selama aktivasi, karbon dibakar pada suasana oksidasi yang akan menambah
jumlah atau volume pori dan luas permukaan produk melalui proses eliminasi atau
penghilangan volatil produk pirolisis (Triyana, 2003). Proses aktivasi dibedakan
menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Proses Aktivasi Fisika
Pada proses aktivasi fisika, biasanya karbon dipanaskan di dalam furnace
pada temperatur 800-900°C. Beberapa bahan baku lebih mudah untuk diaktivasi
jika diklorinasi terlebih dahulu. Selanjutnya dikarbonisasi untuk menghilangkan
hidrokarbon yang terklorinasi dan diaktivasi dengan uap.
b. Proses Aktivasi Kimia
Proses aktivasi kimia merujuk pada pelibatan bahan-bahan kimia atau
reagen pengaktif. Menurut (Kirk Othmer, 1993), bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai pengaktif diantaranya CaCl2, Ca(OH)2, NaCl, MgCl2, HNO3,
HCl, Ca3(PO4)2, H3PO4, ZnCl2, dan sebagainya. Sahir, 2013, menyatakan bahwa
unsur-unsur mineral aktivator masuk di antara plat heksagon dari kristalit dan
20
memisahkan permukaan yang mula-mula tertutup. Dengan demikian, saat
pemanasan dilakukan, senyawa kontaminan yang berada dalam pori menjadi lebih
mudah terlepas. Hal ini menyebabkan luas permukaan yang aktif bertambah besar
dan meningkatkan daya serap karbon aktif.
Aktivator dapat meningkatkan keaktifan adsorben melalui mekanisme
sebagai berikut :
1. Aktivator menembus celah atau pori-pori di antara pelat-pelat kristalit
karbon (pada karbon aktif) yang berbentuk heksagonal dan menyebar di dalam
celah atau pori-pori tersebut, sehingga terjadi pengikisan pada permukaan kristalit
karbon.
2. Aktivator mencegah senyawa organik bereaksi dengan oksigen yang akan
bereaksi dengan kristalit oksigen.
3. Aktivasi dapat berupa aktivasi fisik dimana digunakan gas-gas inert seperti
uap air (steam), CO2 dan N2. Sedangkan pada aktivasi kimia, digunakan aktivator
yang berperan penting untuk meningkatkan luas permukaan adsorben dengan cara
mengusir senyawa non karbon dari pori-pori. (Sahir, 2013).
Sahir, 2013 telah melakukan penelitian mengenai pengaruh aktivator pada
luas permukaan dan porositas karbon aktif yang dihasilkan. Pada penelitiannya,
karbon aktif dibuat dari biji Lapsi dengan aktivasi kimia menggunakan aktivator
yang berbeda yaitu KOH, H2SO4, FeCl3, MgCl2, dan CaCl2. Morfologi permukaan
dikarakterisasi dengan Scanning Elexctron Micropores (SEM). Hasil karakterisasi
karbon aktif biji Lapsi menggunakan SEM, dapat dilihat pada gambar di bawah
berikut :
21
Gambar 2.3. Karbon Aktif dengan Aktivator KOH
Gambar SEM karbon aktif menunjukkan adanya rongga, pori dan
permukaan yang kasar. Hal ini menunjukkan bahwa, aktivator mempengaruhi
karakteristik permukaan karbon aktif. Di antara semua hasil gambar, karbon aktif
dengan aktivator CaCl2 dan KOH menunjukkan adanya pori. KOH mengaktivasi
karbon aktif menunjukkan pembentukan pori dan rongga yang jelas. Sama halnya
dengan karbon aktif yang teraktivasi CaCl2 dipenuhi dengan banyak pori kecil.
Selain itu, karbon aktif yang teraktivasi MgCl2 dan FeCl3 dan H2SO4 pekat tidak
menunjukkan pembentukan struktur pori.
Struktur pori-pori karbon aktif dengan aktivator yang berbeda menyebabkan
mekanisme reaksi yang berbeda. Mekanisme dengan aktivator KOH adalah
mengaktifkan karbon komplek yang sudah ada dan melibatkan disintegrasi
struktur setelah interkalasi serta beberapa gasifikasi oleh molekul oksigen pada
hidroksida sedangkan aktivasi dengan logam klorida mendorong ekstraksi
molekul air dari bahan ligniselulogik yang mengarah pada pembentukan pori.
Hasil SEM menunjukkan bahwa permukaan karbon aktif teraktivasi KOH
22
mengandung pori yang berkembang dengan baik dimana memiliki kemungkinan
lebih baik dalam adsorpsi ke dalam permukaan pori.
KOH akan bereaksi dengan karbon aktif sehingga membentuk pori-pori baru
serta menghasilkan karbon dioksida yang berdifusi ke permukaan karbon
(Pujiyanto, 2010). Reaksi kimia yang terjadi sebagai berikut (Sudibandriyo, 2008)
: 4KOH + C ↔ CO2 + 2 H2O
6KOH + 2 C ↔ 2 K + 2 H2 + 2 K2CO3
4KOH + 2 CO2 ↔ 2 K2CO3 + 2 H2O
2.8.4 Proses Adsorpsi
Adsorpsi adalah peristiwa pengambilan zat yang berbentuk gas, uap dan
cairan oleh permukaan atau antarmuka tanpa penetrasi. Faktor terpenting dalam
proses adsorpsi adalah luas permukaan. Suatu molekul pada antarmuka
mengalami ketidakseimbangan gaya. Akibatnya, molekul-molekul pada
permukaan ini mudah sekali menarik molekul lain, sehingga keseimbangan gaya
akan tercapai. Dari proses adsorpsi ini, dikenal istilah adsorbat untuk zat yang
diadsorpsi dan adsorben untuk zat yang mengadsorpsi (Ramdja, 2008).
Adsorpsi adalah teknik penting yang digunakan dalam pemisahan dan
pemurnian gas dan cairan. Di antara banyak jenis adsorben, karbon aktif yang
paling banyak digunakan, karena kapasitas serap tinggi dan murah. Sifat serap
karbon aktif terkait dengan luas permukaan besar, tinggi mikroporositas dan
kehadiran permukaan gugus-gugus fungsi. Karena itu, karbon aktif digunakan
untuk menghilangkan polutan organik dan polutan anorganik dari air dan limbah
23
air sungai. Permintaan karbon aktif telah meningkat secara signifikan sebagai
agen pemurni air untuk mengurangi risiko lingkungan disebabkan oleh
pencemaran air (Sahir, 2013).
Adsorpsi merupakan suatu fenomena permukaan dengan terjadinya
akumulasi suatu spesies pada batas permukaan padatan-fluida. Adsorpsi dapat
terjadi karena gaya tarik menarik secara elektrostatis maupun gaya tarik menarik
yang diperbesar dengan ikatan koordinasi hidrogen atau ikatan Van der Waals.
Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Adsorpsi fisik
Adsorpsi fisik merupakan suatu proses bolak-balik apabila daya tarik
menarik antara zat terlarut dan adsorben lebih besar daya tarik menarik antara zat
terlarut dengan pelarutnya maka zat yang terlarut akan diadsorpsi pada permukaan
adsorben. Adsorpsi secara fisika (physorption) terjadi jika adsorbat dan
permukaan adsorben berikatan hanya dengan ikatan Van der Waals. Molekul
adsorbat terikat lemah dan panas adsorpsinya rendah (Treybal, 1981).
2. Adsorpsi kimia
Adsorpsi kimia partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan
kimia (biasanya ikatan kovalen), gaya pengikatannya merupakan interaksi
kimiawi artinya adanya transfer elektron antara adsorbat dengan adsorben.
Adsorpsi secara kimiawi (chemisorption) terjadi jika molekul adsorbat terikat
dengan suatu reaksi kimia dengan permukaan adsorben. Karena adanya ikatan
kimia yang terputus dan terbentuk selama proses, maka panas adsorpsinya hampir
24
sama dengan panas reaksi kimia (Treybal, 1981). Faktor yang mempengaruhi
daya serap arang aktif adalah:
1. Sifat fisika dan kimia dari arang antara lain luas permukaannya dan ukuran
lubang
2. Sifat fisika dan kimia dari adsorbant (gas/larutan yang akan diberi arang
aktif) antara lain ukuran molekul, muatan molekul susunan komposisi kimia
3. Konsentrasi adsorben dalam fasa cair.
4. Sifat karakteristik dalam keadaan liquid antara lain pH dan temperatur.
5. Waktu tinggal
Faktor-faktor yang mempengaruhi Proses Adsorpsi
1. Proses pengadukan
Kecepatan adsorpsi selain dipengaruhi oleh film diffusion dan pore diffusion
juga dipengaruhi oleh pengadukan. Jika proses pengadukan relatif kecil maka
adsorben sukar menembus lapisan film antara permukaan adsorben dan film
diffusion yang merupakan faktor pembatas yang memperkecil kecepatan
penyerapan. Dan jika pengadukan sesuai maka akan menaikkan film diffusion
sampai titik pore diffusion yang merupakan factor pembatas dalam sistem batch
dilakukan pengadukan yang tinggi.
2. Karakteristik adsorben
Adsorpsi dipengaruhi oleh dua sifat permukaan yaitu energi permukaan dan
gaya tarik permukaan, oleh karena itu sifat fisik yaitu ukuran partikel dan luas
permukaan merupakan sifat yang terpenting dari bahan yang akan digunakan
sebagai adsorben.
25
3. Kelarutan adsorben
Proses adsorpsi terjadi pada molekul-molekul yang ada dalam larutan harus
dapat berpisah dari cairannya dan dapat berikatan dengan permukaan adsorben.
Sifat unsur yang terlarut mempunyai gaya tarik-menarik terhadap cairannya yang
lebih kuat bila dibandingkan dengan unsur yang sukar larut. Dengan demikian
unsur yang terlarut akan lebih sulit terserap pada adsorben bila dibandingkan
dengan unsur yang tidak larut (Asip, 2008).
2.9 Titrasi
Titrasi merupakan suatu proses analisis dimana suatu volume larutan standar
ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan mengetahui komponen yang tidak
dikenal. Larutan standar adalah larutan yang konsentrasinya sudah diketahui
secara pasti (Day Underwood, 1999).
Standarisasi larutan merupakan proses saat konsentrasi larutan standar
sekunder ditentukan dengan tepat dengan cara mentitrasi dengan larutan standar
primer. Titran atau titer adalah larutan yang digunakan untuk mentitrasi (biasanya
sudah diketahui secara pasti konsentrasinya). Dalam proses titrasi suatu zat
berfungsi sebagai titran dan yang lain sebagai titrat. Titrat adalah larutan yang
dititrasi untuk diketahui konsentrasi komponen tertentu. Titik ekivalen adalah titik
yg menyatakan banyaknya titran secara kimia setara dengan banyaknya analit.
Analit adalah spesies (atom, unsur, ion, gugus, molekul) yang dianalisis atau
ditentukan konsentrasinya atau strukturnya (Day Underwood, 1999).
26
Titik akhir titrasi adalah titik pada saat titrasi diakhiri/dihentikan. Dalam titrasi
biasanya diambil sejumlah alikuot tertentu yaitu bagian dari keseluruhan larutan
yang dititrasi kemudian dilakukan proses pengenceran. Pengenceran adalah proses
penambahan pelarut yg tidak diikuti terjadinya reaksi kimia sehingga berlaku
hukum kekekalan mol (Day Underwood, 1999).
Prinsip analisa dengan metode titrasi didasarkan pada reaksi kimia seperti :
α A + t T Produk
di mana molekul α analit A, bereaksi dengan t molekul pereaksi. T yang di sebut
dengan titran, ditambahkan secara kontinu dari sebuah buret dalam wujud larutan
yang konsentrasinya telah diketahui. Larutan ini disebut larutan standar. Agar
diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, larutan harus ditambahkan
suatu indikator. Titik dalam titrasi dimana indkator berubah warnanya disebut
dengan titik akhir.
2.10 Gravimetri
Analisis Gravimetri adalah suatu bentuk analisis kuantitatif yang berupa
penimbangan, yaitu suatu proses pemisahan dan penimbangan suatu komponen
dalam suatu zat dengan jumlah tertentu dan dalam keadaan sempurna mungkin.
Analisis gravimetri dapat dilakukan dengan beberapa tahap dalam analisa
gravimetri adalah sebagai berikut :
27
1. Pengendapan analit
Pengendapan analit dilakukan dengan memisahkan analit dari larutan yang
mengandungnya dengan membuat kelarutan analit semakin kecil, dan
pengendapan ini dilakukan dengan sempurna.
2. Pengeringan endapan
Pengeringan yang dilakukan dengan panas yang disesuaikan dengan analitnya
dan dilakukan dengan sempurna. Disini kita menentukan apakah analit dibuat
dalam bentuk oksida atau biasa pada karbon dinamakan pengabuan.
3. Menimbang endapan
Zat yang ditimbang haruslah memiliki rumus molekul yang jelas. Biasanya
reagen R ditambahkan secara berlebih untuk menekan kelarutan endapan.
Dalam menentukan keberhasilan metode gravimetri ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Proses pemisahan hendaknya cukup sempurna sehingga kuantitas analit
yang tak terendapkan secara analitis tak dapat dideteksi (biasanya 0,1 mg
atau kurang dalam menentukan penyusunan utama dalam suatu makro).
b. Zat yang ditimbang hendaknya mempunyai susunan yang pasti dan
hendaknya murni, atau sangat hampir murni. Bila tidak akan diperoleh
hasil yang galat
Prinsip Gravimetri Suatu metode analisa gravimetri biasanya didasarkan pada
reaksi kimia seperti :
α A + rR A α Rr
28
yang mana sejumlah α analit A akan bereaksi dengan sejumlah r pereaksi R
membentuk produk AaRr yang biasanya merupakan suatu senyawa yang sangat
sedikt larut dan dapat ditimbang setelah pengeringan atau produk tersebut dapat
dibakar menjadi senyawa lain yang komposisinya diketahui untuk kemudian
ditimbang (Day Underwood, 1999).
2.11 Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang
digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif
maupun kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya.
Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah,
sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan
adalah elektron valensi. Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut
spektrofotometer. Sebuah spektrofotometer adalah suatu instrumen yang
mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang
gelombang. Instrumen semacam itu dapat dikelompokkan secara manual atau
merekam atau sebagai berkas-tunggal atau berkas-rangkap (Day dan Underwood,
1998).
Sinar atau cahaya yang berasal dari sumber tertentu disebut juga sebagai
radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari adalah cahaya matahari. Dalam interaksi materi dengan cahaya atau
radiasi elektromagnetik, radiasi elektromagnetik kemungkinanan dihamburkan,
29
diabsorbsi atau dihamburkan sehingga dikenal adanya spektroskopi hamburan,
spektroskopi absorbsi ataupun spektroskopi emisi (Day and Underwood, 1998).
2.11.1 Spektrofotometer UV-Vis
Penyerapan sinar ultraviolet dan tampak sering juga disebut
spektrofotometri elektronik, karena pada suatu molekul organik akan
menghasilkan transisi di antara tingkat energi elektronik. Transisi umumnya
terjadi antara orbital pasangan elektron bebas ke orbital anti ikatan. Dengan energi
yang tinggi, elektron dalam ikatan sigma akan tereksitasi dan memberikan serapan
pada panjang gelombang 120 - 200 nm. Spektrofotometri UV-Vis biasa dilakukan
pada panjang gelombang di atas 200 nm karena pengukurannya relatif mudah dan
spektrumnya memberikan banyak keterangan (Supratman, 2010).
Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri UV ialah etanol
95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol
absolut komersial harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat
menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan ialah air,
etanol, metanol, heksana, minyak bumi dan eter (Harbone, 1987).
Kegunaan spektrofotometri elektronik ini terletak pada kemampuannya
mengukur jumlah ikatan rangkap atau konjugasi aromatik. Panjang gelombang
cahaya ultraviolet dan tampak jauh lebih pendek daripada panjang gelombang
inframerah. Spektrum tampak terentang dari 400 nm (ungu) ke 750 nm (merah),
sedangkan ultraviolet berjangka dari 200 - 400 nm (Supratman, 2010).
30
2.11.2 Prinsip Pengukuran Spektrofotometer
Bila suatu sinar monokromatis dilewatkan sampel maka sebagian dari
sinar tersebut terserap oleh sampel dan sebagian lagi akan diteruskan.
Perbandingan antara intensitas sinar setelah melalui sampel dan intensitas sinar
mula – mula disebut transmitan (T) dengan persamaan :
� = �
Io
Dimana :
T = Transmitan
I = Intensitas sinar yang diteruskan
Io = Intensitas sinar awal
Hubungan antara absorban dengan trasmitan adalah
� = ��� 1
�
Fraksi sinar yang diabsorbsi sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu
absorbtivitas, tebal kuvet, dan konsentrasi. Hukum Lambert’s menyatakan bahwa
fraksi sinar yang diserap tidak tergantung kepada intensitas sumber sinar. Hukum
Beer’s menyatakan bahwa serapan tergantung jumlah molekul yang diserap. Dari
kedua hukum tersebut dapat disajikan ke dalam persamaan :
A= ɛ b c
Dimana :
A = fraksi sinar yang diabsorbsi
b = tebal kuvet
ɛ = absorbtivitas molar
c = konsentrasi larutan
(Supratman, 2010)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Alat-alat gelas laboratorium,
GPS (Global Positioning System), Gayung, Botol sempel, Penyaring mesh no 40,
Desikator, Hot plate, Statif , Buret, Magnetic stirrer, Moisture balance. Timbangan
analitik, Oven, Furnace, Spektrofotometer UV-VIS, mortir, stemper, Kertas saring
whatman 40 dengan ukuran pori θ 0.42 μm, cuvet dan Thermoreactor.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Tempurung kelapa,
Aquadest, Kalium Hidroksida (KOH), Metilen biru, Kalium dikromat (K2Cr2O7),
Perak sulfat (Ag2SO4), Ferro Ammonium Sulfat ((NH4)2FeSO4), Indikator Ferroin
dan merkuri.
3.3 Prosedur
3.3.1 Pembuatan Karbon Aktif
1. Tahap Dehidrasi (Sudrajat, 1994)
a. Tempurung kelapa dibersihkan dari serabutnya dan sisa daging kelapa.
31
32
b. Kemudian dipanaskan dengan oven pada suhu 105°C selama 3 jam
hingga hilang kadar airnya.
2. Tahap Karbonisasi (Sudrajat, 1994)
a. Tempurung kelapa dalam keadaan kering dibakar di dalam furnace
selama 60 menit pada suhu 500°C.
b. Arang yang dihasilkan dihancurkan mengunakan mortir dan stemper.
c. Kemudian dilakukan pengayakan dengan ukuran 100 mesh.
d. Didapatkan sampel karbon aktif tanpa aktivator.
3. Tahap Aktivasi (Rakhmawati, 2017)
a. Arang direndam di dalam larutan KOH 2 M selama 24 jam.
b. Sampel arang yang sudah dilakukan aktivasi, kemudian dicuci dengan
aquadest hingga mendekati pH netral (pH 7).
c. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 110°C selama 3 jam.
d. Didapatkan sampel dengan karbon aktif dengan aktivator.
3.3.2 Karakterisasi Karbon Aktif
1. Kadar Air (Prosedur Tetap Pengunaan Moisture balance PT. Holi Pharma)
a. Karbon aktif ditimbang sebanyak 1 g dimasukan ke dalam moisture
balance selama 10 menit hitung kadar air dengan menggunakan rumus :
33
Kadar Air % = a - b
b
X - 100
Dimana : a = masa awal karbon aktif (g)
b = masa akhir karbon aktif (g)
2. Kadar Abu (SNI-06-4253-1996)
a. Karbon aktif ditimbang sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam cawan krus
yang telah diketahui bobotnya
b. Kemudian dimasukkan ke dalam furnace pada suhu 750°C selama 6 jam
c. Abu didinginkan dalam desikator selama 15 menit timbang beratnya
Kadar Abu % = Berat abu total
Berat Contoh Awal
X 100 %
3. Adsorpsi Sampel Terhadap Larutan Metilen Biru (SNI-06-4253-1996)
a. Karbon aktif dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam.
b. Kemudian diambil masing-masing karbon aktif sebanyak 0,5 g
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
c. Pada sampel ditambahkan metilen biru 75 mg/L sebanyak 50 mL
d. Sampel dikocok menggunakan magnetic stirer selama 15 menit dengan
kecepatan 100 rpm.
e. Pipet larutan sampel pada bagian yang bening dan diukur absorbansi
menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang yang
telah ditentukan sebelumnya.
34
Wads = C1 – C2
W
. V . 1
B
Keterangan :
Wads = Berat metilen blue yang terjerap (mg/g)
B = Berat sampel yang digunakan (g)
C1 = Konsentrasi larutan metilen blue awal (ppm)
C2 = Konsentrasi larutan metilen blue akhir (ppm)
V = Volume larutan metilen blue yang digunakan (mL)
3.3.3 Pengambilan Air Limbah (SNI 6989.58:2008)
a. Pengambilan titik koordinat dilakukan menggunakan alat GPS bila
diperlukan
b. Disiapkan alat pengambilan sampel sesuai dengan saluran pembuangan
c. Dilakukan pembilasan pada alat dengan sampel yang akan diambil
sebanyak 3 kali
d. Dilakukan pengujian untuk parameter lapangan yang dapat berubah
dengan cepat seperti temperatur dan pH lalu rekam hasil pengukuran
yang didapat.
e. Sampel dimasukkan ke dalam wadah sampel sesuai dengan persyaratan
parameter uji.
35
3.3.4 Proses Adsorpsi (Rita et al 2015)
a. Karbon aktif yang telah di preparasi sebelumnya ditimbang sebanyak
6g.
b. Adsorben yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam gelas ukur yang
berisi air limbah sebanyak 100 mL.
c. Kemudian dilakukan pengadukan mengunakan strirer selama 35 menit,
40 menit dan 45 menit
d. Sampel dianalisis dengan parameter COD, TSS dan pH.
3.3.5 Pengujian Chemical Oxygen Demand (COD) (APHA 23rd
ED. 5220 C)
a. Diambil sampel 2,5 mL sampel ke dalam tabung COD.
b. Ditambahkan 1,5 mL larutan K2Cr2O7 0,1 N.
c. Ditambahkan 3,5 mL larutan Ag2SO4.
d. Dipanaskan tabung COD pada thermoreaktor dengan suhu 1500C selama
2 jam.
e. Dinginkan hingga suhu ruang.
f. Dipindahkan secara kuantitatif zat uji dari tabung COD ke dalam
erlenmeyer.
g. Ditambahkan indikator Ferroin 0,05 mL-0,1 mL atau 1-2 tetes.
h. Dilakukan titrasi dengan larutan baku Ferro Ammonium Sulfat 0,025 N
hingga terjadi perubahan warna dari hijau-biru menjadi coklat
kemerahan.
36
i. didokumentasikan volume titran yang digunakan.
j. Dilakukan langkah diatas terhadap aqua DM sebagai blanko, dan
Certified reference material (CRM), standar sebagai larutan baku
(Kalium Hydroge Ftalat) ~ COD 500 mg/L, sebagai pengendali mutu
kinerja pengukuran, penyimpangan yang diperbolehkan ± 15%.
Perhitungan :
COD (mgO2/L) =
(A – B) . N Fast
. 8000
mL
Keterangan :
A = Volume larutan peniter untuk blanko (mL)
B = Volume larutan penitar untuk zat uji (mL)
M = Molaritas larutan peniter
3.3.6 Pengujian Total Suspended Solid (TSS) (APHA 23rd
ED. 2540 D)
a. Diletakan kertas saring pada peralatan filtrasi. Pasang vakum dan wadah
pencuci dengan aquadest 20 mL. dilakukan penyedotan untuk
menghilangkan semua sisa air, matikan vakum dan hentikan pencucian.
b. Dipindahkan kertas sari dari peralatan filtrasi ke wadah timbang
alumunium dan dikeringkan.
c. Dikeringkan dalam oven pada suhu 103°C sampai dengan 105°C selama
1 jam, didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang.
37
=
d. Dilakukan pengulangan pada langkah 3 sampai diperoleh berat konstan
atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% terhadap penimbangan
sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5 mg.
TSS (mg/L)
Keterangan :
A = berat kertas saring + residu
B = berat kertas saring
3.3.7 pH (SNI 06-6989.11-2004)
a. Dilakukan kalibrasi alat pH-meter dengan larutan penyangga sesuai
instruksi kerja alat setiap kali akan melakukan pengukuran.
b. Untuk sampel yang mempunyai suhu tinggi kondisikan contoh uji sampai
suhu kamar.
c. Dilakukan pembilasan pada elektroda dengan air suling
d. Dicelupkan elektroda ke dalam sampel sampai pH meter menunjukan
pembacaan yang tetap.
e. Dicatat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.
A . B
. 1000
Vol Uji (mL)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Karbon Aktif
Pembuatan karbon aktif tempurung kelapa sebagai adsorben dilakukan melalui
dua tahap yaitu pengarangan dan pengaktifan. Tempurung kelapa dipilih sebagai
bahan dasar karbon aktif karena berdasarkan hasil Energy Dispersive Spectroscopy
(EDS) menunjukkan bahwa unsur utama arang dari tempurung kelapa adalah karbon
dengan persentase kandungan sebesar 82,92%, memiliki kadar abu yang rendah dan
reaktivitas yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian terhadap
arang kelapa sebagai dasar pembuatan karbon aktif untuk penurunan kadar Chemical
Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended Solids (TSS) dalam air limbah.
Pembentukan arang diawali dengan pengumpulan bahan baku tempurung kelapa
muda kemudian serat dibersihkan dari tempurung kelapa. Tempurung kelapa dioven
pada suhu 150°C selama ± 3 jam untuk mengurangi kadar air pada tempurung kelapa.
Proses ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pembentukan abu dan
mempercepat proses karbonisasi dalam tanur. Tempurung kelapa yang telah kering
dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu ±500°C selama 30 menit, karena pada suhu
±500°C merupakan tahap proses pemurnian dan meningkatkan kadar karbon. Arang
yang dihasilkan kemudian digerus dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel
dan memperbesar luar permukaan arang karena semakin besar luas
38
39
permukaan bidang sentuh antar partikel, maka frekuensi tumbukan yang terjadi
semakin besar sehingga laju reaksi semakin cepat. Selanjutnya dilakukan pengayakan
mengunakan mesh 40 dengan tujuan untuk menyeragamkan ukuran partikel arang.
Hasil dari karbonisasi arang tempurung kelapa seperti pada gambar 4.1
Gambar 4.1 Hasil Karbonisasi Tempurung Kelapa
Proses karbonisasi dilakukan untuk mengurai selulosa, pentose, lignin, selulosa
dan protein, menjadi unsur karbon dan mengeluarkan unsur nonkarbon dari dalam
material dasar. Hasil karbonisasi pada tempurung kelapa didapatkan warna hitam
kecoklatan. Sebelum dikarbonisasi berat tempurung kelapa yang didapat sebanyak 3,2
kg dan setelah proses karbonisasi dan pengayakan diperoleh sebanyak 307,224 g.
Proses aktivasi dilakukan untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi
permukaan arang. Adapun aktivator yang digunakan dalam proses aktivasi adalah
KOH dengan konsentrasi 2M. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa
karakteristik karbon aktif dengan konsentrasi 2M memiliki kandungan karbon sebesar
40
68,47%, dan luas permukaan karbon aktif sebesar 340,005 m2/g. Arang tempurung
kelapa direndam mengunakan KOH selama 24 jam. Pemilihan KOH sebagai aktivator
karena KOH mempunyai sifat yang korosif sehingga mampu menghilangkan zat-zat
pengotor dalam karbon sehingga membuat karbon lebih berpori dan warna karbon
menjadi berwarna hitam pekat seperti pada gambar 4.2. Hasil aktvasi kemudian
dibilas dengan purified water hingga pH netral, tujuan dilakukan pembilasan pada
karbon aktif agar tidak mempengaruhi pada saat proses adsorpsi pada air limbah. Dari
hasil bilasan karbon didapatkan pH 7. Karbon kemudian ditiriskan dan dimasukkan
ke dalam tanur dengan suhu ±500°C selama 30 menit dengan tujuan untuk
menghilangkan sisa air dari proses pembilasan. Proses pemanasan karbon aktif
setelah perendaman melibatkan reaksi kimia di dalamnya. Reaksi kimia yang terjadi
adalah :
4KOH + C K2CO3 + K2O + 2 H2
KOH bereaksi dengan karbon pada suhu tinggi untuk membentuk K2CO3 serta K2O.
Gambar 4.2 Hasil Aktivasi Tempurung Kelapa
41
Hasil arang yang telah diaktivasi berwarna hitam pekat. Perbedaan warna pada saat
proses karbonisasi dengan aktivasi, karena pada saat proses karbonisasi masih
terdapat kandungan zat pengotor dalam karbon seperti logam (magnesium, besi,
alumunium dan kalsium) volatil dan tar sehingga dengan proses aktivasi zat tersebut
dapat dihilangkan. Dari hasil aktivasi diperoleh karbon aktif sebanyak 167,484 g.
4.2 Karakterisasi Karbon Aktif
4.2.1 Kadar Air
Dari hasil penelitian didapatkan nilai kadar air yang diperoleh sebesar 1.09%.
Hal ini disebabkan karena tingginya suhu, lamanya waktu aktivasi dan KOH yang
merupakan dehydrating agent menyebabkan kadar air arang aktif akan semakin
rendah. Nilai kadar air karbon aktif yang diperoleh telah memenuhi syarat Standar
Industri Indonesia (SII No. 0258-88). SII menetapkan kadar air karbon aktif
maksimal 15%.
Tabel 4.1 Hasil Uji Kadar Air
Konsentrasi KOH Hasil Kadar Air Syarat Kualitas
2M 1.09% 15%
4.2.2 Kadar abu
Pada penelitian ini kadar abu yang diperoleh 8,48%. Kadar abu arang aktif
diuji untuk mengetahui kandungan sisa mineral seperti kalsium, kalium, magnesium
dan natrium dalam karbon aktif. Nilai kadar abu yang didapatkan masih di bawah
42
nilai yang ditetapkan oleh Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-88). Nilai kadar
abu maksimal menurut SII adalah sebesar 10%.
Tabel 4.2 Hasil Uji Kadar Abu
Konsentrasi KOH Hasil Kadar Abu Syarat Kualitas
2M 8,48% 10%
4.2.3 Adsorpsi Metilen Blue
Standar kualitas dari karbon aktif yang dihasilkan dapat dilihat dari
kemampuan karbon aktif dalam menyerap zat warna metilen blue.
1. Kurva Kalibrasi Metilen Blue
Linieritas adalah kemampuan metode analisa yang memberikan respon yang
secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional
terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Kurva kalibrasi standar metilen blue dibuat
6 variasi konsentrasi dengan rentang konsentrasi 0 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4
ppm, dan 5 ppm, diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 664 nm. Dari
hasil pengukuran diperoleh absorbansi sebagai berikut :
Tabel 4.3 Hasil serapan larutan standar metilen blue
pada berbagai konsentrasi
No Konsentrasi Standar Metilen blue (ppm)
Absorbansi
1 0 0
2 1 0,218
3 2 0,424
4 3 0,661
5 4 0,896
6 5 1,082
43
Grafik 4.1 Kurva kalibrasi metilen blue
Berdasarkan Grafik 4.1 di atas, maka diperoleh persamaan regresi linear pada
standar metilen blue adalah y = 0,219x – 0,001 dengan koefisien korelasi 0,999. Pada
kurva kalibrasi absorbansi dan pada kondisi tersebut hukum Lambert Beer akan
terpenuhi, dimana nilai absorbansi akan semakin besar jika konsentrasi semakin
tinggi. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai r mendekati 1.
2. Daya Adsorpsi Metilen Blue
Adsorpsi metilen blue dibagi menjadi 2, yaitu adsorpsi kimia dan fisika.
Adsorpsi fisika terjadi gaya tarik menarik antar molekul zat terlarut dengan adsorben
lebih besar dari pada daya tarik antar molekul dengan pelarut (gaya Van der Walls),
maka zat terlarut akan teradsorpsi. Sedangkan adsorpsi kimia terjadi karena ikatan
sangat kuat antara adsorbat dengan adsorben sehingga sulit untuk dilepaskan.
Adsorpsi sebagai proses sebagai proses molekul meninggalkan larutan dan menempel
pada permukaan zat adsorben akibat kimia dan fisika.
Daya adsorpsi dipengaruhi waktu kontak dan kecepatan pengadukan antara
karbon aktif dengan adsorbat. Waktu kontak dan kecepatan pengadukan merupakan
Kurva Kalibrasi Metilen Blue
1.5
1
0.5
y = 0.2195x - 0.0018 0
R² = 0.9991 0 1 2 3 4 5 6
-0.5
Konsentrasi (ppm)
Ab
so
rban
si
(A)
44
faktor yang dapat mempengaruhi nilai daya adsorpsi, hal ini disebabkan karena
semakin lama waktu kontak dan kecepatan pengadukan maka semakin banyak
partikel-partikel adsorben yang bertumbukan dan berinteraksi dengan larutan sampel
sehingga kemampuan adsorpsinya semakin baik. Dari hasil penelitian ini diperoleh
daya adsorpsi sebesar 74,38 mg/g. Nilai daya serap metilen blue yang didapatkan
masih dibawah nilai yang ditetapkan oleh Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-
88). Nilai daya serap metilen blue maksimal menurut SII adalah Min. 60 mg/g.
4.3 Pengambilan Sampel Air Limbah
Lokasi pengambilan sampel air limbah yaitu di salah satu industri farmasi daerah
Cimahi. Pangambilan sampel air limbah pada tanggal 9 Mei 2019 waktu pengambilan
sampel pukul 14.00 WIB. Sampel air limbah diambil pada satu titik dari lokasi IPAL
dengan titik kordinat 6⁰ 53.9010’S dan 107⁰ 33.2010’S, dengan tujuan air limbah
yang diambil dapat memberikan nilai yang representatif. Sampel air limbah yang
diambil sebanyak 1 liter. Karakteristik dari air limbah berwarna putih keruh dan
berbau. Sampel air limbah dicek pH terlebih dahulu, kemudian sampel air limbah
dikirim ke Perum Jasa Tirta II untuk dilakukan pengecekan awal untuk mengetahui
kadar COD dan TSS.
45
4.4 Proses Adsorpsi Pada Air Limbah
Proses adsorpsi karbon aktif pada air limbah menggunakan sampel sebanyak 100
mL air limbah farmasi ke dalam gelas ukur kemudian ditambahkan karbon aktif ±6 gr
dan diaduk mengunakan magnetik stirer. Penentuan waktu kontak dilakukan dengan
variasi waktu 35 menit, 40 menit dan 45 menit. Tujuan dari pengadukan adalah untuk
mempercepat proses adsorpsi air limbah dengan adsorben. Sampel dianalisa dengan
parameter COD, TSS dan pH. Kemudian, hasil analisa sampel dibandingkan dengan
analisa sampel air limbah yang tidak mengalami proses adsorpsi.
4.5 Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)
Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) pada penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Perum Jasa Tirta II. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
perubahan pencemaran kimia organik pada air limbah Industri Farmasi. Pertama-tama
sampel air limbah diambil 2,5 mL dimasukan kedalam tabung COD, ditambahkan
larutan oksidator sebanyak 1,5 mL K2Cr2O7 dan ditambahkan 3,5 mL larutan Ag2SO4
sebagai katalisator. Kemudian sampel dipanaskan dengan thermoreactor pada suhu
150°C selama 2 jam. Tujuan pemanasan untuk mempercepat reaksi antara K2Cr2O7
dan bahan-bahan organik. Prinsip kerja reaktor COD sama dengan prinsip kerja
refluks. Dalam reaktor COD berfungsi memutuskan ikatan Cr-O sehingga
memudahkan oksigen untuk mengoksidasi bahan organik. Setelah dipanaskan pada
suhu 150°C kemudian didinginkan pada suhu ruang, sampel kemudian dititrasi
dengan larutan baku Ferro Amonium Sulfat (FAS). Indikator yang digunakan adalah
46
feroin sehingga terjadi perubahan warna dari kuning ke hijau, kemudian merah saat
mencapai titik akhir. Fungsi dari larutan indikator ini yaitu sebagai penentu
terjadinya titik akhir titrasi. Sebelum dititrasi sampel ditambahkan 2 tetes larutan
merkuri untuk mengetahui kehadiran garam-garam halogen sehingga dapat
mempengaruhi nilai COD yang dihasilkan, hal ini dilakukan karena larutan merkuri
dapat mengikat ion-ion halogen menjadi HgCI2. Volume larutan FAS sebanding
dengan jumlah oksigen dalam mg/L. Reaksi secara lengkap dapat dilihat di bawah ini
:
CaHbOc + Cr2O7-2
+ AgSO4 CO2 + H2O + Cr3+
Kuning Hijau
6Fe2+
+ Cr2O7-2
+ 14H+ 6Fe3+ 2Cr3+ + 7H2O
Merah
Hasil pengujian pada sampel air limbah sebelum serta sesudah penambahan
karbon aktif tempurung kelapa sebagai adsorben dapat dilihat pada Tabel 4.4 :
Tabel 4.4 Hasil pemeriksaan COD pada sampel limbah
No.
Sampel
Limbah
Waktu
Pengadukan
Nilai COD (mg/L) %
Penurunan
COD
Baku Mutu
Air
Limbah
(mg/L)
Sebelum
penambahan
adsorben
Setelah
penambahan
adsorben
1.
Farmasi
35 menit 3.386
1.030 69,58% 150,00
40 menit 913 73,03% 150,00
45 menit 1.306 61,60% 150,00
47
Grafik 4.2 Hasil pemeriksaan COD pada sampel air limbah
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa penurunan nilai COD paling optimum
terdapat pada waktu 40 menit, sedangkan pada waktu 45 menit terjadi penurunan
adsorpsi karena pori-pori pada permukaan karbon aktif telah jenuh sehingga kurang
mengadsorpsi senyawa organik yang terdapat pada limbah cair industri Farmasi. Pada
air limbah farmasi meskipun mengalami perubahan masih belum memenuhi standar
baku mutu air limbah, hal ini dikarenakan sampel yang diambil dari air limbah murni
yang belum masuk dalam pengolahan limbah, oleh karena itu kandungan COD dalam
air limbah masih tinggi.
4.6 Analisis Total Suspended Solid (TSS)
Total Solid Suspended (TSS) yaitu jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang
ada dalam air limbah setelah mengalami proses penyaringan. Pada penentuan kadar
padatan tersuspensi di dalam sampel air limbah mengunakan metode gravimetrik.
Hasil Pemeriksaan COD Pada Sampel Air
Limbah
75.00% 73.03%
69.58% 70.00%
65.00% 61.60% 35 Menit
40 Menit 60.00%
45 Menit
55.00% 35 Menit 40 Menit
Waktu
Pengadukan
45 Menit
Pessen
tasi
pen
uru
nan
C
OD
48
Padatan suspensi mempunyai ukuran molekul yang lebih besar dari pada padatan
terlarut sehingga keduanya menjadi terpisah, sehingga padatan tersuspensi ini akan
tertinggal pada kertas saring saat penyaringan dilakukan. Sebelum disaring, sampel
air terlebih dahulu diaduk agar zat-zat yang terkandung dapat tersebar merata dan
homogen. Untuk pengujian sampel air limbah kertas saring whatman 0,42μm dibilas
dengan aquadest untuk menghilangkan filtrat, kemudian sampel air limbah diambil
20 mL dimasukan ke dalam vacum filtration. Residu yang tertahan pada kertas saring
kemudian dikeringkan mengunakan oven pada suhu 103°C - 105°C selama 1 jam
sampai mencapai berat yang konstan. Hasil TSS untuk sampel air limbah dapat
dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan TSS
No.
Sampel
Limbah
Waktu
Pengadukan
Nilai TSS (mg/L) %
penurunan
TSS
Baku Mutu
Air Limbah
(mg/L)
Sebelum
penambahan
adsorben
Setelah
penambahan
adsorben
1.
Farmasi
35 menit 66
18 72,73% 100,00
40 menit 18 72,73% 100,00
45 menit 5 92,43% 100,00
49
Grafik 4.3 Hasil pemeriksaan TSS pada sampel air limbah
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa penurunan nilai TSS optimum terdapat
pada waktu 45 menit dengan persentasi penurunan 92,43%, sedangkan pada waktu
40-45 menit terjadi penurunan adsorpsi karena pori-pori pada permukaan karbon aktif
telah jenuh sehingga kurang mengadsorpsi senyawa organik yang terdapat pada
limbah cair industri Farmasi.
4.7 pH
pH merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam pengolahan air secara
biologis. pH adalah faktor pembatas dari kehidupan mikroorganisme air yang
memerlukan pH tertentu untuk dapat hidup. Selain mikroorganisme karbon aktif juga
memiliki batasan toleransi terhadap air limbah. Hasil pH untuk sampel air limbah
dapat dilihat pada tabel 4.6 terdapat perubahan pH.
Hasil Pemeriksaan TSS Pada Sampel Air
Limbah
100.00% 92.43%
80.00% 72.73% 72.73%
35 Menit 60.00%
40 Menit 40.00%
45 Menit
20.00%
0.00%
35 Menit 40 Menit
Waktu
Pengadukan
45 Menit
Pers
en
tasi P
en
uru
na
n
TS
S
50
Tabel 4.6 Hasil Pemeriksaan pH
No.
Sampel
Limbah
Waktu
Pengadukan
Sebelum
penambahan
adsorben
Setelah
penambahan
adsorben
Baku Mutu
Air Limbah
1.
Farmasi
35 menit 5,23
7,70 6 – 9
40 menit 7,30 6 – 9
45 menit 7,19 6 – 9
Berdasarkan tabel 4.7 hasil sampel air limbah setelah penambahan adsorben
terjadi perubahan pH kemungkinan karena pada saat proses adsorpsi air limbah masih
terdapat sisa KOH pada karbon aktif sehingga mempengaruhi pH pada air limbah.
Hasil pH sesuai dengan standar baku mutu air limbah.
51
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil simpulan
sebagai berikut:
1. Tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) dapat dijadikan sebagai karbon aktif
yang berfungsi untuk mengadsorpsi Chemical Oxygen Demand (COD) dan
Total Suspended Solids (TSS) pada air limbah industri farmasi.
2. Waktu kontak optimum karbon aktif Tempurung kelapa (Cocos nucifera L.)
untuk mengadsorpsi COD adalah 40 menit, sedangkan waktu kontak optimum
karbon aktif Tempurung kelapa (Cocos nucifera L.) untuk mengadsorpsi TSS
adalah 45 menit.
3. Berdasarkan hasil perhitungan nilai COD dan TSS, pada waktu kontak
optimum karbon aktif tempurung kelapa untuk mengadsorpsi COD selama 40
menit didapatkan penurunan kadar COD sebesar 73,03% (1.030 mg/L dari
3.386 mg/L) dan waktu kontak optimum karbon aktif tempurung kelapa untuk
mengadsorpsi TSS selama 45 menit didapatkan penurunan kadar TSS sebesar
92.43% (5 mg/L dari 66 mg/L).
51
52
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang harus
dilakukan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini, antara lain:
1. Perlunya kaji ulang untuk penambahan pengukuran parameter kualitas air
seperti penambahan parameter biological oxygen demand (BOD), phenolic
compound dan total nitrogen. Parameter ini akan menambah data pendukung.
2. Perlu dilakukanya variasi jumlah karbon aktif yang digunakan sebagai
adsorben agar mengetahui jumlah optimum pengunaan karbon aktif.
3. Perlu dilakukan uji stabilitas pada karbon aktif untuk mengetahui berapa lama
shelf life karbon aktif
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 1995. Standar Methods For Chemical Oxygen Demand. American Water
Works Association, Water Pollution Control Federation. Washington D.C
APHA. 1995. Standar Methods For Total Suspended Solids. American Water Works
Association, Water Pollution Control Federation. Washington D.C
Asip, F., Mardhiah, R., dan Husna, 2008. Uji Efektivitas Cangkang Telur dalam
Mengadsorpsi Ion Fe dengan Proses Batch. Jurnal Teknik Kimia, Volume
15(2), pp 22-26.
Boyd, C.E., 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Publishing
Co. Birmingham, Alabama
Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta; UI Press.
Day R, A. and Underwood A, L. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif edisi 6.
Diterjemahkan oleh Iis Sopiyan. Penerbit Airlangga, Jakarta, pp 396-403,
148-151
Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi. 2018. Dokumen Informasi Kinerja
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kota Cimahi Tahun 2018.
Cimahi. 2018, pp 34 – 44
Erlina dan Umiatin. 2015. Pengaruh Konsentrasi Larutan KOH Pada Karbon
Aktif Tempurung Kelapa Untuk Adsorpsi Logam Cu. Jurnal Jurusan
Fiska MIPA. Volume IV. Universitas Negeri Jakarta
Farida, C. dan dan Hanny, V. 2016. Pengolahan Limbah Cair Industri Farmasi
Formulasi Dengan Metode Anaerob-Aerob dan Anaerob-Koagulasi.
Fuadi Ramdja. 2008. Pembuatan Karbon Aktif Dari Pelepah Kelapa (Cocus
nucifera L.). Jurnal Teknik Kimia, Volume 15, Jurusan Teknik Kimia.
Universitas Sriwijaya
Gilar, S . 2013. Pembuatan Karbon Aktif Dari Tempurung Kelapa Dengan
Aktivator ZnCl2 Dan Na2CO3 Sebagai Adsorben Untuk Mengurangi
Kadar Fenol Dala Air Limbah. Jurnal Teknik Kimia. Institut Sepuluh
Nopember. Volume 2, No 1, pp 116 – 120
53
54
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Jilid II, Diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawita & Sudiro, ITB, Bandung.
Hartanto, Singgih dan Ratnawati, (2010), Pembuatan Karbon aktif dari
Tempurung Kelapa Sawit dengan Metode Aktivasi Kimia, Jurnal Sains
Materi Indonesia, Vol. 12, No. 1, pp 12 – 16. ISSN : 1411-1098.
Hutami, D. Mochtar, H. dan Veny, L. 2010. Penurunan Kadar COD Dan TSS
Pada Limbah Tekstil Dengan Metode Ozonisasi. Jurnal Teknik
Lingkungan. Volume 5. Universitas Diponegoro, pp 2
Iwan,S. Siti, V. dan Dyah, I. 2015. Pemanfaatan Kiambang (Salvinia molesta D.
Mitch). Jurnal Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Bina Widya Pekanbaru.
Volume 2, No 1, pp 131 – 132
Kvech, S. and Tull, E., 1998, Activated Carbon in Water Treatment Primer,
Environmental Information Management Civil Engineering Dept, Virginia
Tech, http://wtprimer/carbon/sketcarb.html.
Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup.1995. KEP 51/MENLH/10/1995. Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, Jakarta
Kirk, R.E. and Othmer, V.R., 1993, Encyclopedia of Chemical Technology Carbon
& Graphite Fibers to C1-Chlorocarbons, 4th ed., John Wiley & Sons Inc.,
New York.
Kusnoputranto, H. 1986. Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia
Maulinda, L. Nasrul ZA. Sari, D.N. 2015. Pemanfaatan Kulit Singkong sebagai
Bahan Baku Karbon Aktif. Jurnal Teknologi Kimia Unimal, pp 11-19.
Nihla, N, L. Ian, Y. Sujarwata. dan Noor, H. 2017. Karbon Tempurung Kelapa
Dengan Perekat PVAc Sebagai Penjernih Limbah Cair Batik Di Kota
Pekalongan. Unnes Physics Journal 6, pp 42 – 44
Oktem, Y.A.et al.,2008.Anaerobic Treatment of a Chemicals Synthesis-based
Pharmaceutical Wastewater in Hybrid Upflow Anaerobic Sludge Blanket
Reactor. Bioresouce technology, 99 (5), pp 1089 – 1096
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2014. Baku Mutu Air
Limbah. Nomor 5 Tahun 2014. Republik Indonesia
PT. Holi Pharma. Prosedur Tetap Pengunaan Alat Moisture Balance.
55
Rahmat dan Anwar. 2018. Studi Karakteristik dan Kualitas BOD dan COD
Limbah Cair Rumah Sakit Umum Daerah Lanto DG. Kabupaten
Jeneponto. Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan. Volume 1
Rakhmawati, F. dan Nurul, T. 2017. A.F. Pengaruhan konsentrasi Kalium
Hidroksida dan Iridiasi Gelombang Mikro Terhadap Kualitas Karbon
Aktif dari Serabut Tandan Kelapa Sawit. Jurusan Fisika. Universitas Riau
Bina Widya
Ramdja, A.F. Halim, M. Handim, J. 2008. Pembuatan Karbon Aktif Dari Pelepah
Kelapa (Cocus nucifera). Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik.
Universitas Sriwijaya
Rita, D, S. Titin, A, Z. dan Nelly, W. 2015. Penurunan Kadar COD (Chemical
Oxygen Demand) Limbah Cair Industri Kelapa Sawit Mengunakan Arang
Aktif Biji Kapuk (Ceiba petandra). Universitas Tanjungpura. Volume 4(2), pp
62 – 66
Riyanto. 2014. Validasi dan Verifikasi Metode Uji. Edisi 1. Yogyakarta, pp 21, 23,
39
Rukminasari, N, Nadiarti, dan Awaludin, K. 2014. Pengaruh Derajat Keasaman
Air Laut Terhadap Konsentrasi Kalsium dan Laju Pertumbuhan
Halimeda SP. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Vol 24, No 1, April 2014
Sahira, J. Mandira, A. Prasad, P.B. and Ram, P.R. 2013. Effects of Activating Agents
on the Activated Carbons Prepared from Lapsi Seed Stone. Research
Journal of Chemical Sciences. Vol. 3(5), pp 19-24
Sigid, H. 2004 BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku
Mutu Air Limbah. Institut Pertanian Bogor
Sembiring, Meilita T., Sinaga, Tuti S., 2003, Arang Aktif Pengenalan dan Proses
Pembuatannya, Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik. Universitas Sumatera
Utara. Medan
Suprihatin, 2002. Air Minum Isi Ulang. Institut Pertanian Bogor: Bogor
Sudibandriyo, Mahmut., Lydia,(2011), Karakteristik Luas Permukaan Karbon
Aktif Dari Ampas Tebu Dengan Aktivasi Kimia, Penerbit FT Kimia UI,
Jakarta
Sudradjat, R dan Salim, S. 1994. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif, pp 4 –
25
56
Supratman, U. 2010. Elusidasi Struktur Organik. Widya Pajajaran, UNPAD,
Bandung. pp 9 - 25, 66 - 103, 260 - 302.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 06 – 6989.11 – 2004. Cara Uji Derajat
Keasaman (pH) Air dengan Menggunakan Alat pH Meter
[SNI] Standar Nasioal Indonesia 6989.59:2008. Air dan air limbah – Bagian 59:
Metode pengambilan contoh air limbah
[SNI] Standar Nasioal Indonesia 06-4253-1996. Arang Aktif Untuk Air Minum
Triyana, M. dan Tuti, S. 2003. Arang Aktif (Pengenalan dan Proses
Pembuatanya), Jurusan Teknik Industri. Universitas Sumatra Utara.
Treybal, Robert E. (1981),”Mass-Transfer Operasions”,3th
Edition, Mc Graw Hill,
Tri, W. dan Sriyani. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Dengan
Menggunakan Metode Elektroflokulasi. Jurnal Teknik Kimia. Universitas Muhammadiyah Surakarta. pp 84
Vogel . Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Edisi 5.
Bagian 1, G.Svehla diterjemahkan oleh Setiono dan Hadyana Pudjaatmaka.
PT. Kalman Media Pustaka. Jakarta, pp 27 – 107
Warlina, L. 2004. Pencemaran Air Sumber, Dampak dan Penanggulangannya.
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Widdyastuti, R. 2010. Produktivitas Primer Perifiton di Sungai Ciampea, Desa
Ciampea Udik, Bogor Pada Musim Kemarau 2010. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
LAMPIRAN I
PROSES PENGOLAHAN TEMPURUNG KELAPA
1. Hasil Penelitian
Tempurung Kelapa Sesudah
Di Oven
Tempurung Kelapa Hasil
Karbonisasi (Tanur)
Lampiran I.1 Tempurung Kelapa Sebelum Proses Karbonisasi dan Sesudah
Proses Karbonisasi
( Sumber : Data penelitian, 2019)
Perendaman Tempurung Kelapa
Dengan Larutan KOH
Tempurung Kelapa
Hasil Aktivasi dengan KOH
Lampiran I.2 Proses Aktivasi Karbon Tempurung dengan Larutan KOH
( Sumber : Data penelitian, 2019)
57
58
Karakterisasi Karbon Aktif
(Kadar Air)
Karakterisasi Karbon Aktif
(Uji Daya Serap Metilen Blue)
Pengadukan Metilen Blue
Mengunakan Stirer
Hasil Adsorpsi Karbon Aktif
Terhadap Metilen Blue
Lampiran I.3 Karakteristik Karbon Aktif Tempurung Kelapa (Kadar Air,
Kadar Abu dan Daya Serap Terhadap Metilen Blue)
( Sumber : Data penelitian, 2019)
59
Hasil Uji
Total Suspended Solids
Lampiran I.4 Analisis Total Suspended Solids
( Sumber : Data penelitian, 2019)
Hasil Uji pH
sebelum pebambahan karbon aktif
Hasil Uji pH
sesudah pebambahan karbon aktif
Lampiran I.5 Analisis pH
( Sumber : Data penelitian, 2019)
60
Termoreactor COD Alat Titrasi
Lampiran I.6 Alat Yang Digunakan untuk Pengujian COD
( Sumber : Data penelitian, 2019)
Vacum
Lampiran I.7 Alat Yang Digunakan untuk Pengujian TSS
( Sumber : Data penelitian, 2019)
61
Moisture Balance
Lampiran I.8 Alat Yang Digunakan untuk Pengujian Kadar Air
( Sumber : Data penelitian, 2019)
Tanur
Lampiran I.9 Alat Yang Digunakan untuk Pembuatan Karbon
( Sumber : Data penelitian, 2019)
62
LAMPIRAN II
2. Hasil Spektogram Metilen Blue
Lampiran 2.1. Kurva Kalibrasi Metilen Blue
63
LAMPIRAN III
HASIL PERHITUNGAN
3.1 Perhitungan Penimbangan KOH 2M
mol M = =
V (L)
% =
g 1000 X
Mr mL
x x
1000
56 1000
% = 112 g dalam 1 L Aquadest
3.2 Perhitungan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metilen Blue
V1 x M1 = V2 x M2
Dimana :
V1= Volume awal
M1= Konsentrasi awal
V2= Volume akhir
M2= Konsentrasi akhir
0 mg/L =
1 mg/L =
10 . 0
100 = 0.0 mL
10 . 1
100 = 0.1 mL
2 mg/L =
3 mg/L =
10 . 2
100 = 0.2 mL
10 . 3
100 = 0.3 mL
64
4 mg/L =
5 mg/L =
10 . 4
100 = 0.4 mL
10 . 5
100 = 0.5 mL
3.3 Perhitungan Adsorpsi Metilen Blue
Wads =
C1 – C2
W
1 . V .
B
Keterangan :
Wads = Berat metilen blue yang terjerap (mg/g)
B = Berat sampel yang digunakan (g) = 0,5 g
C1 = Konsentrasi larutan metilen blue awal (mg/L) = 75 mg/L
C2 = Konsentrasi larutan metilen blue akhir (mg/L) = 0, 596
V = Volume larutan metilen blue yang dugunakan (mL) = 50 mL
Wads = 75 – 0,595
0,5 X 50 mL
= 74,38 mg
3.4 Kadar Abu
Kadar Abu % =
Berat Abu Total X 100%
Berat Abu Total
Kadar Abu % =
84,80 mg X 100%
1000 mg
= 8,48%
65
3.5 Contoh Perhitungan Kadar Chemical Oxygen Demand
COD (mg/L) =
(A – B) . N Fast
. 8000
mL
Keterangan :
A = Volume larutan peniter untuk blanko (mL).
B = Volume larutan peniter untuk zat uji (mL).
M = Molaritas larutan peniter.
a. Pencampuran Karbon Aktif 35 menit
(5,85 mL – 3,24 mL)
. 0,025
. 8000
COD (mg /L) =
= 208,8
. 5
2,5 mL
= 1.030 mg/L
b. Pencampuran Karbon Aktif 40 menit
COD (mg/L) =
(5,85 mL – 3,53 mL) . 0,025
. 8000
2,5 mL
= 185,6 . 5
= 913 mg/L
c. Pencampuran Karbon Aktif 45 menit
(5,85 mL – 2,56 mL) . 0,025
. 8000
COD (mg/L) =
= 263,2
. 5
2,5 mL
= 1306 mg/L
66
3.6 Kadar Total Suspended Solids
TSS (mg/L) =
A X B X 1000
Volume uji (mL)
Keterangan :
A = Berat kertas saring + residu
B = Berat kertas saring
a. Pencampuran Karbon Aktif 35 menit
0,11395 – 0,11360
mg/L = 20 mL
X 1000.000
= 17,5 mg/L 18
b. Pencampuran Karbon Aktif 40 menit
0,11395 – 0,11360
mg/L = 20 mL
X 1000.000
= 17,5 mg/L 18
c. Pencampuran Karbon Aktif 45 menit
0,11275 – 0,11265
mg/L =
20 mL
X 1000.000
= 5 mg/L
67
LAMPIRAN IV
SURAT HASIL PENGUJIAN PADA LIMBAH
68
69
70