pemanfaatan karet alam sebagai aditif pada … · jakarta dari 1999 – 2002 dan smak 2 penabur...
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN KARET ALAM SEBAGAI ADITIF PADA
MORTAR UNTUK MENINGKATKAN MUTU
JALAN SEMEN BETON
Oleh
NOVI SAPUTRA
F34053444
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Novi Saputra. F34053444. Pemanfaatan Karet Alam Sebagai Aditif Pada Mortar Untuk Meningkatkan Mutu Jalan Semen Beton. Di bawah bimbingan Ono Suparno dan Ary Achyar Alfa. 2010.
RINGKASAN
Pada saat ini, konsumsi karet alam di Indonesia kurang berkembang. Dengan adanya diversifikasi penggunaan karet alam sebagai bahan tambahan pada jalan semen beton diharapkan dapat meningkatkan konsumsi karet alam di Indonesia. Jalan semen beton selama ini tidak menggunakan lateks, sehingga kurang lentur dan rentan terhadap retak. Hal ini juga membuat jalan beton tidak nyaman ketika dilalui kendaraan bermotor. Oleh karena itu, dengan mencampurkan lateks yang memiliki daya elastisitas yang tinggi ke dalam semen beton tersebut diharapkan dapat meningkatkan kelenturannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan dosis bahan penstabil yang sesuai dengan campuran lateks dan semen, serta mengetahui pengaruh penambahan berbagai jenis lateks dan dosis karet terhadap mortar. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan penelitian pendahuluan, yakni penentuan jenis bahan penstabil (Emal, Emulgen dan Kasein) dan dosis bahan penstabil (1, 3, 5 dan 7%) yang sesuai dengan campuran semen lateks. Tahap kedua adalah penelitian utama, yakni penentuan pengaruh lateks terhadap mortar yang dihasilkan. Jenis lateks yang digunakan adalah Lateks Pekat (LP), Lateks Double Centrifuge (LDS) dan Lateks Deproteinized Natural Rubber (LDPNR), sedangkan dosis karet yang digunakan adalah 1, 3, 5, 7 dan 9%, serta dibuat kontrol (0%). Metode pembuatan mortar seperti pada umumnya. Ketika lateks dicampur dengan semen, maka akan langsung terjadi penggumpalan. Oleh karena itu, jenis dan dosis bahan penstabil yang sesuai diperlukan. Dari hasil uji lanjut didapatkan kombinasi yang terbaik adalah Kasein 7% selama 208,67 menit karena dapat mempertahankan waktu setting hampir 210 menit. Kombinasi yang didapat ini akan digunakan pada penelitian utama. Bobot awal yang paling tinggi nilainya terdapat pada LDS sebesar 261,25 g, sedangkan bobot akhir juga sama terdapat pada LDS sebesar 266,70 g. Dosis karet 1% menghasilkan bobot awal tertinggi sebesar 268,70 g dan bobot akhir sebesar 272,83 g. Bobot akhir mortar akan lebih berat dibandingkan dengan bobot awal mortar. Semakin banyak dosis karet yang ditambahkan ke dalam campuran mortar, maka bobot yang dihasilkan akan semakin ringan. Mortar dengan penambahan lateks tersebut akan lebih ringan dibandingkan dengan kontrol. Pada uji kuat tekan, LDS berbeda nyata dengan lateks lainnya, sedangkan LDPNR tidak berbeda nyata dengan LP. LDS memiliki kuat tekan tertinggi sebesar 176,60 kg/cm2. Dosis karet 1% memberikan nilai kuat tekan tertinggi, yaitu sebesar 200,67 kg/cm2. Semakin banyak karet yang ditambahkan ke dalam mortar, maka nilai kuat tekannya semakin kecil.
Pada LDS memiliki nilai kuat lentur tertinggi dibandingkan dengan LP dan LDPNR yaitu sebesar 33,62 kg/cm2. Dosis karet 1% yaitu sebesar 36,77 kg/cm2 memberikan nilai kuat lentur paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Pada LDS memiliki nilai kuat lentur tertinggi terdapat pada dosis 7% tetapi pada dosis tersebut memiliki nilai kuat tekan yang rendah. Oleh karena itu, untuk mendapatkan mortar yang kuat tetapi lentur dapat menggunakan LDS dengan dosis 1%.
Novi Saputra. F34053444. Use of Natural Rubber As Additional Mixture For Mortar To Increase The Quality of Concrete Road. Under Supervision of Ono Suparno and Ary Achyar Alfa. 2010.
SUMMARY
Nowadays, natural rubber consumption in Indonesia is relatively low. By diversification of natural rubber uses as additional mixture for concrete road is expected to increase its consumption. At this time, concrete road doesn’t use latex, so it will less flexible and susceptible to crack. Also this matter can’t make concrete road comfortable to use. Therefore, with admixture of latex to the cement may be able to increase flexural strength. The objectives of this research were to know type and dose of stabilizing agent for suitable admixture of latex and cement, and to know the effect of type of latex and rubber dose as additional mixture for mortar. This research consisted of two steps. First step was preliminary research which used type (Emal, Emulgen and Casein) and dose (1, 3, 5 and 7%) of stabilizing agents to determine a suitable admixture of latex and cement. Second step was main research where the effects of latex on mortar was determined. Types of latex tried were Centrifuge Latex (LP), Double Centrifuge Latex (LDS) and Deproteinized Natural Rubber Latex (LDPNR). Rubber doses of 0 (control), 1, 3, 5, 7 and 9 were used. When latex was mixed with cement, it agglomerated. Therefore, suitable type and dose of stabilizing agent was needed. The best stabilizing agent was Casein of 7% because it could maintain the setting time to almost 210 minutes. This combination was used in main research. The highest initial weight was obtained from LDS, i.e. 261.25 g, whereas final weight, i.e. 266.70 g. Rubber dose of 1% gave the highest initial weight, i.e. 268.70 g and final weight, i.e. 272.83 g. Final weight would be heavier than initial weight. The more rubber dose used in mixture mortar, the less weight of mortar produced. Mortar added by latex showed lighter weight than its control. LDS gave a significant effect on mortar’s compressive strength, whereas LDPNR didn’t have significant effect. LDS gave the highest compressive strength, i.e. 176.60 kg/cm2. Rubber dose of 1% gave the highest compressive strength, i.e. 200.67 kg/cm2. The more rubber dose used, the less compressive strength of mortar produced. LDS gave highest flexural strength than LP and LDPNR, i.e. 33.62 kg/cm2. Rubber dose of 1%, i.e. 36.77 kg/cm2 gave the highest flexural strength. LDS dose of 7% gave the highest flexural strength, but its compressive strength was low. Therefore, to produce strong and flexible mortar could be used LDS with dose of 1%.
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul
“Pemanfaatan Karet Alam Sebagai Aditif Pada Mortar Untuk
Meningkatkan Mutu Jalan Semen Beton” adalah hasil karya saya sendiri
dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya.
Bogor, Januari 2010
NOVI SAPUTRA
F34053444
PEMANFAATAN KARET ALAM SEBAGAI ADITIF PADA
MORTAR UNTUK MENINGKATKAN MUTU
JALAN SEMEN BETON
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Novi Saputra
F34053444
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Pemanfaatan Karet Alam Sebagai Aditif Pada Mortar Untuk
Meningkatkan Mutu Jalan Semen Beton
Nama : Novi Saputra
NRP : F34053444
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
(Dr. Ono Suparno, STP, MT) (Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi)
NIP : 19721203 199702 1 001 NIK : 110 700 308
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)
NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus: 15 Januari 2010
RIWAYAT HIDUP
Novi Saputra dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25
November 1987. Penulis merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara dari ayah Oey Kim An dan ibu Izabel Iim.
Penulis memasuki taman kanak-kanak di TK Bentara Jakarta
dan menyelesaikan pada tahun 1993, sedangkan pendidikan
dasar diselesaikan di SD Tunas Karya, Jakarta pada tahun
1999. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya di SMPK IPEKA Sunter
Jakarta dari 1999 – 2002 dan SMAK 2 Penabur Jakarta dari 2002 – 2005. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di SMA, penulis diterima di Institiut Pertanian
Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan
mendapatkan mayor Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Selama masa kuliah, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia
Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2006 dan asisten praktikum Bioproses
pada tahun ajaran 2007 – 2008. Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi
seperti Pengurus Himalogin (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian)
FATETA IPB pada Departemen Kewirausahaan periode 2006 – 2007 dan
Pengurus Komisi Pelayanan Anak UKM PMK IPB 2007 – 2008. Selain itu,
penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan baik dalam bidang kemahasiswaan
maupun kerohanian dan juga penulis sering mengikuti berbagai kegiatan seminar.
Penulis berkesempatan melakukan praktek lapang di PT. Heinz ABC
Indonesia dengan judul “Aspek Teknologi Proses Produksi Dan Pengawasan
Mutu Produk Kecap di PT. Heinz ABC Indonesia” pada tahun 2008. Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Karet Alam Sebagai Aditif
Pada Mortar Untuk Meningkatkan Mutu Jalan Semen Beton”.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua
limpahan kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini dibuat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari bulan Februari
sampai September 2009 di Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK), Bogor dan
Lab Struktur dan Bahan, Teknik Sipil, ITB, Bandung. Skripsi dengan judul
“Pemanfaatan Karet Alam Sebagai Aditif Pada Mortar Untuk
Meningkatkan Mutu Jalan Semen Beton” ini disusun sebagai salah satu syarat
utnuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan demi perbaikan pada kesempatan
yang akan datang. Akhirnya, Penulis berharap semoga karya yang kecil ini
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2010
Penulis
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas cinta
kasih-Nya yang sungguh sangat besar sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Melalui lembar ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Papa, mama dan adik-adikku (Stevanus dan Stevani) yang sangat saya cintai
serta keluargaku lainnya yang telah memberikan dorongan semangat, materi,
doa dan perhatian yang sangat besar selama ini.
2. Dr. Ono Suparno, STP, MT selaku dosen pembimbing pertama yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan, dan dukungan kepada penulis, serta
nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat.
3. Dr. Ary Achyar Alfa, MSi selaku pembimbing kedua yang telah banyak
memberikan bantuan, bimbingan dan saran selama penelitian berlangsung.
4. Bapak Arief Ramadhan, STP yang telah memberikan bantuan selama penulis
penelitian di BPTK.
5. Bapak Iv Indra Pane, dosen ITB, yang telah membantu dan mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di lab Struktur dan Bahan.
6. Mbak Woro selaku teknisi di BPTK Bogor yang telah banyak memberikan
bantuan, saran, nasehat dan cerita selama penulis melakukan penelitian.
7. Teh Yati, Mbak Trie, Mbak Desi, Pak Aos, Mas Syarief, Pak Yusuf yang
telah membantu penulis selama penelitian.
8. Kiki, Linda, Heni, Ika, Azah yang telah memberikan cerita-cerita selama
penulis melakukan penelitian.
9. Pak Ujang yang telah membantu perijinan penulis melakukan penelitian di
BPTK Bogor.
10. Pak Dedi dan Pak Totong selaku teknisi di ITB Bandung yang telah
memberikan banyak bantuan dan cerita selama penulis melakukan penelitian
disana.
11. Seluruh karyawan BPTK Bogor dan Lab Struktur dan Bahan, Teknik Sipil
ITB Bandung yang telah membantu.
iii
12. Teman-teman seperjuangan di BPTK: Adit, Alfian dan Ami yang telah
memberikan cerita dan bantuan.
13. Teman satu bimbingan Kartika dan Dego yang telah banyak memberikan
semangat dan bantuannya selama ini.
14. Wenny, Adex, Eri, Eka yang telah banyak memberikan nasihat, dorongan,
pengalaman yang seru, cerita dan doa selama ini.
15. Seluruh teman-teman TIN 42 yang telah memberikan semangat dan
pengalaman yang sangat-sangat berharga selama di TIN.
16. Mei Yu, Gebol, Kodel, Wiwi, Nanda, Icha, Lenny, Dewi yang banyak
memberikan bantuan, cerita, nasehat, doa dan pengalaman yang tak
terlupakan selama penulis kuliah di IPB dari awal sampai akhir.
17. Yuli, Sasa, Devi, Tata, Lele, Jane, Tere, Dessy, Caroline, Lulu terima kasih
atas SMS yang selalu memberikan semangat dan dukungannya. I miss u all.
18. Komisi Pelayanan Anak (KPA) yang telah memberikan banyak cerita dan
pengalaman yang sangat-sangat berharga sehingga penulis banyak belajar.
Tetap KPA YES^^.
19. Adik-adikku di Panti Asuhan Bina Harapan (Binhar) dan Candranaya (CN)
yang telah memberikan warna dalam hidupku.
20. Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB yang telah membuat penulis
lebih bertumbuh dalam Tuhan.
21. Teman-teman satu kosan Perwira 45
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 4
1.3 Ruang Lingkup .................................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 Tanaman Karet .................................................................................. 5
2.2 Lateks ................................................................................................. 5
2.3 Karet Alam ........................................................................................ 10
2.4 Lateks Pekat (LP) .............................................................................. 12
2.5 Lateks Double Centrifuge (LP-DS atau LP-KR) ............................... 16
2.6 Lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber) ................................ 17
2.7 Protein dalam Lateks ......................................................................... 18
2.8 Karbohidrat dalam Lateks ................................................................. 20
2.9 Semen ................................................................................................ 20
2.10 Beton Karet ........................................................................................ 30
2.11 Bahan Penstabil ................................................................................. 33
III. METODOLOGI ........................................................................................ 38
3.1 Bahan dan Alat .................................................................................. 38
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 38
3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 38
3.3.1 Penelitian Pendahuluan ............................................................. 39
3.3.2 Penelitian Utama ....................................................................... 41
v
3.4 Rancangan Percobaan ........................................................................ 47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 48
4.1 Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 48
4.2 Analisis Lateks .................................................................................. 54
4.2.1 Lateks Pekat .............................................................................. 55
4.2.2 Lateks Double Centrifuge (Lateks DS) .................................... 57
4.2.3 Lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber) ....................... 60
4.3 Analisis Semen .................................................................................. 62
4.4 Penelitian Utama ................................................................................ 65
4.4.1 Pengaruh Lateks Terhadap Bobot Mortar ................................ 66
4.4.2 Pengaruh Lateks Terhadap Kuat Tekan .................................... 72
4.4.3 Pengaruh Lateks Terhadap Kuat Lentur ................................... 76
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 82
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 82
5.2 Saran .................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84
LAMPIRAN ...................................................................................................... 88
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Luas areal dan produksi karet di Indonesia tahun 2005 – 2007 ........ 1
Tabel 2. Jumlah dan nilai ekspor karet alam ................................................... 2
Tabel 3. Jumlah kerusakan jalan ...................................................................... 3
Tabel 4. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis
(Goutara et al., 1985) ......................................................................... 6
Tabel 5. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis
(Suparto, 2002) .................................................................................. 7
Tabel 6. Komposisi partikel karet alam ........................................................... 11
Tabel 7. Fraksi penyusun lateks segar ............................................................. 14
Tabel 8. Syarat mutu lateks pekat .................................................................... 15
Tabel 9. Kadar senyawa golongan karbohidrat dalam lateks .......................... 17
Tabel 10. Karakteristik lateks alam berprotein rendah ...................................... 18
Tabel 11. Komposisi kasein dari susu sapi ........................................................ 36
Tabel 12. Komposisi kasein komersial .............................................................. 37
Tabel 13. Komposisi dan sifat-sifat komponen kasein ...................................... 37
Tabel 14. Hasil analisis lateks pekat .................................................................. 55
Tabel 15. Hasil analisis lateks DS ..................................................................... 58
Tabel 16. Hasil analisis lateks DPNR ................................................................ 60
Tabel 17. Nilai FAS dan workability pada mortar segar yang dihasilkan ......... 64
Tabel 18. Kecepatan dan faktor pengali pada viskositas brookfield ................. 92
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Partikel karet alam yang dilapisi protein dan lemak ..................... 7
Gambar 2. Skema selubung air di permukaan partikel karet alam ................. 7
Gambar 3. Koloid hidrofilik bermuatan negatif ............................................. 8
Gambar 4. Pengaruh pH terhadap elektrokinetis potensial pada lateks .......... 9
Gambar 5. Monomer isoprena ........................................................................ 10
Gambar 6. Struktur molekul 1,4-cis-poliisoprena .......................................... 10
Gambar 7. Struktur asam α amino .................................................................. 19
Gambar 8. Rantai polipeptida atau protein ..................................................... 19
Gambar 9. Hubungan antara kekuatan tekan beton umur 7 hari dengan
faktor air semen menggunakan semen yang cepat mengeras ....... 26
Gambar 10. Hubungan antara faktor air semen dengan kekuatan tekan
beton selama masa perkembangannya .......................................... 26
Gambar 11. Pengaruh rongga udara terhadap kekuatan tekan beton ............... 29
Gambar 12. Proses terjadinya pengikatan pada beton ...................................... 30
Gambar 13. Tiga dimensi dari beton semen polimer ........................................ 32
Gambar 14. Model sederhana dari pembentukan semen polimer co-matriks .. 33
Gambar 15. Struktur Sodium Dodecyl Sulfate .................................................. 35
Gambar 16. Diagram alir penentuan jenis dan dosis bahan penstabil
terhadap kestabilan campuran lateks pekat dan semen ................. 40
Gambar 17. Diagram alir penentuan kandungan air dalam mortar
terhadap bahan penstabil yang sesuai ........................................... 41
Gambar 18. Diagram alir proses pembuatan lateks pekat ................................ 44
Gambar 19. Diagram alir proses pembuatan lateks double centrifuge ............. 44
Gambar 20. Diagram alir proses pembuatan lateks DPNR .............................. 45
Gambar 21. Diagram alir penelitian utama ....................................................... 46
Gambar 22. Histogram hubungan dosis dan jenis bahan penstabil
terhadap waktu setting .................................................................. 52
Gambar 23. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap
bobot awal mortar ......................................................................... 68
viii
Gambar 24. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap
bobot akhir mortar ........................................................................ 68
Gambar 25. Grafik antara bobot awal mortar (g) dan dosis karet yang
ditambahkan (%) ........................................................................... 71
Gambar 26. Grafik antara bobot akhir mortar (g) dan dosis karet yang
ditambahkan (%)............................................................................ 71
Gambar 27. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap
uji kuat tekan ................................................................................. 74
Gambar 28. Grafik antara kuat tekan (kg/cm2) dan dosis karet yang
ditambahkan (%) ........................................................................... 75
Gambar 29. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap
uji kuat lentur ................................................................................ 77
Gambar 30. Grafik antara kuat lentur (kg/cm2) dan dosis karet yang
ditambahkan (%) ........................................................................... 80
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Metode Analisis Lateks .............................................................. 88
Lampiran 2. Metode Analisis Semen .............................................................. 94
Lampiran 3. Metode Analisis Mortar .............................................................. 96
Lampiran 4. Gambar Prosedur Pembuatan dan Pengujian Mortar ................. 98
Lampiran 5. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Tanpa
Bahan Penstabil .......................................................................... 99
Lampiran 6. Data Pengamatan Penelitian Pendahuluan ................................. 100
Lampiran 7. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Dengan Emal ......... 101
Lampiran 8. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks
Dengan Emulgen ........................................................................ 102
Lampiran 9. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Dengan Kasein ...... 103
Lampiran 10. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Waktu Setting.................... 104
Lampiran 11. Data Pengaruh Lateks Pekat Terhadap
Bobot dan Kuat Tekan beserta Nilai FAS .................................. 105
Lampiran 12. Data Pengaruh Lateks DS Terhadap
Bobot dan Kuat Tekan beserta Nilai FAS .................................. 106
Lampiran 13. Data Pengaruh Lateks DPNR Terhadap
Bobot dan Kuat Tekan beserta Nilai FAS .................................. 107
Lampiran 14. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Bobot Awal....................... 108
Lampiran 15. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Bobot Akhir....................... 110
Lampiran 16. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Kuat Tekan........................ 112
Lampiran 17. Data Pengaruh Lateks Pekat Terhadap
Bobot dan Kuat Lentur beserta Nilai FAS ................................. 113
Lampiran 18. Data Pengaruh Lateks DS Terhadap
Bobot dan KuatLentur beserta Nilai FAS .................................. 114
Lampiran 19. Data Pengaruh Lateks DPNR Terhadap
Bobot dan Kuat Lentur beserta Nilai FAS ................................. 115
Lampiran 20. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Kuat Lentur........................ 116
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karet alam biasanya diperoleh dari penyadapan tanaman karet (Hevea
brasiliensis). Karet alam merupakan salah satu sumber devisa negara yang
penting, sehingga dapat menunjang perekonomian Indonesia. Indonesia
merupakan produsen karet alam terbesar kedua setelah Thailand, tetapi
penggunaan karet alam di Indonesia sendiri kurang begitu berkembang. Hal
ini dapat dilihat dari BPS (2007) yang menyatakan bahwa sekitar 90%
produksi karet alam di Indonesia diekspor ke mancanegara dan hanya
sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri. Dengan adanya diversifikasi
dari karet alam yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pada jalan
beton diharapkan dapat meningkatkan konsumsi karet alam di Indonesia.
Daerah di Indonesia yang memiliki luas area dan produksi karet terbesar
berasal dari Sumatera Selatan dengan luas area 650.426 ha, sedangkan
produksinya sebesar 531.009 ton (Tabel 1).
Tabel 1. Luas areal dan produksi karet di Indonesia tahun 2005 – 2007*)
Status Pengusahaan 2005 2006 2007*)
Luas (Ha)
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
2.767.021
237.612
274.758
2.832.982
238.003
275.442
2.899.680
238.246
275.792
Jumlah/Total 3.279.391 3.346.427 3.413.718
Produksi (Ton)
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
1.838.670
209.837
222.384
2.082.597
265.813
288.821
2.186.209
277.200
301.285
Jumlah/Total 2.270.891 2.637.231 2.764.694
Wujud Produksi: Karet Kering *) Angka Sementara Sumber: BPS (2007)
2
Akhir-akhir ini terjadi penurunan harga komoditas pertanian salah
satunya adalah karet alam. Hal ini disebabkan karena terjadi krisis
perekonomian dunia, sehingga berdampak pada hilangnya permintaan dari
komoditas tersebut. Hal tersebut membuat para petani juga turut merasakan
dampaknya. Harga karet dunia akhir-akhir ini sedang tidak stabil atau
berfluktuasi, dapat naik dan juga secara tiba-tiba dapat mengalami
penurunan yang cukup drastis, sehingga harga olahan karet pun ikut
mengalami penurunan. Hal ini sangat merugikan para petani karet. Untuk
itu, penggunaan karet di Indonesia perlu terus ditingkatkan. Apabila
penggunaan karet di Indonesia meningkat, maka kesejahteraan hidup para
petani juga akan meningkat. Penurunan harga karet alam dapat dilihat pada
perkembangan jumlah dan nilai ekspor dari karet alam pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah dan nilai ekspor karet alam
Januari – Juni 2008 Januari – Juni 2009 Perubahan (%)
Berat Bersih (Ton)
6.049 5.799 0,93
Nilai FOB (Ribu US$)
10.158 7.084 -30,26
Sumber: BPS (2009)
Barang atau peralatan yang dibuat dari bahan baku karet alam
sangatlah banyak, misalnya ban mobil, peralatan kendaraan, pembungkus
kawat listrik dan telepon, sepatu, alat kedokteran, beberapa peralatan rumah
tangga dan kantor, alat-alat olahraga, ebonit dan aspal. Dengan demikian,
karet memiliki pengaruh besar terhadap bidang-bidang tersebut (Nazaruddin
dan Paimin, 1998). Salah satu bidang yang menggunakan karet alam adalah
bidang transportasi, baik jalan aspal maupun beton.
Kerusakan jalan selama ini di Indonesia tergolong tinggi sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 3. Hal ini menyebabkan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk memperbaiki jalan yang rusak. Selain itu, jalan yang
rusak akan menghambat lalu lintas. Maka dari itu, diperlukan jalan yang
3
lebih kuat daripada sebelumnya, sehingga umur pakai jalan lebih lama.
Umur pakai jalan beton lebih lama dibandingkan dengan jalan aspal. Oleh
karena itu, pemakaian jalan beton semakin meningkat di Indonesia karena
umurnya yang panjang dapat meminimalisasi biaya akibat jalan rusak.
Tabel 3. Jumlah kerusakan jalan
Kondisi Jalan Jumlah (km)
Baik
Sedang
Rusak
Rusak Berat
151.489
102.292
80.546
62.035
Jumlah 396.362
Sumber: BPS (2007)
Bukan hanya di Indonesia saja, pemakaian jalan beton di negara lain
juga meningkat, sehingga kebutuhan material beton untuk masa yang akan
datang akan selalu meningkat, seiring dengan laju pertumbuhan penduduk
dunia. Material beton diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan
ketersediaan infrastruktur termasuk pembangunan perumahan. Dengan
meningkatnya pembangunan infrastruktur, dengan sendirinya akan
mendorong kebutuhan material beton dan produktivitas industri semen
(Hidayat, 2009).
Jalan semen beton di Indonesia selama ini tidak menggunakan lateks,
sehingga kurang lentur yang mengakibatkan rentan terhadap retak. Hal ini
juga membuat jalan beton tidak nyaman ketika dilalui oleh pengendara
kendaraan bermotor dan menimbulkan suara yang lebih bising saat dilalui
dibandingkan dengan suara di atas bahan yang lebih lentur. Oleh karena itu,
dengan mencampurkan lateks yang memiliki daya elastisitas yang tinggi ke
dalam semen beton tersebut diharapkan dapat meningkatkan kelenturannya.
Selain itu, karet juga memiliki sifat keliatan, kelekatan dan kepegasan yang
tinggi serta daya pantul yang baik.
4
Apabila produk ini ditingkatkan penggunaannya di Indonesia, maka
akan memberi kontribusi positif terhadap penyerapan hasil produksi karet
nasional. Selain itu, juga terdapat manfaat lainnya, yakni pemanfaatan karet
alam di dalam negeri sendiri meningkat, sehingga tidak kalah dengan karet
sintetis yang sedang mengalami peningkatan.
1.2 Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah memanfaatkan produk agroindustri
yaitu karet alam untuk semen beton, memperbaiki workability dan
kelenturan pada semen beton, diperoleh tingkat kenyamanan berkendara
yang lebih baik di atas perkerasan semen beton dan diperoleh perkerasan
semen beton yang lebih tahan retak sehingga mengurangi biaya
pemeliharaan.
Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui jenis dan dosis bahan
penstabil yang sesuai dengan campuran lateks dan semen, serta mempelajari
pengaruh penambahan berbagai jenis lateks dan dosis karet terhadap mortar.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Penentuan jenis dan dosis bahan penstabil yang sesuai dalam campuran
lateks pekat dan semen, sehingga dapat mempertahankan kestabilan
lateks atau tidak menggumpal ketika dicampurkan dengan semen.
2. Penentuan jenis lateks dan dosis karet yang sesuai terhadap mortar
sehingga didapatkan yang terbaik.
3. Pengujian terhadap lateks dan mortar untuk mendapatkan kemampuan
produk yang baik. Untuk uji lateks yang akan dilakukan adalah
penetapan total alkalinitas (NH3), Kadar Karet Kering (KKK), Kadar
Jumlah Padatan (KJP), waktu kemantapan mekanik, bilangan asam
lemak esteris, bilangan KOH dan pH, kadar nitrogen serta viskositas,
sedangkan untuk pengujian mortar yang akan dilakukan adalah bobot,
uji kuat tekan dan kuat lentur. Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk dalam divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo
Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Hevea dan spesies Hevea
brasiliensis. Tanaman tersebut tumbuh baik di daerah yang berada pada
iklim tropis dengan rentang astronomis 15oLU – 10oLS, suhu harian 25 –
30oC, ketinggian 1 – 600 m dpl, curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun,
intensitas matahari 5 – 7 jam/hari, dan pH tanah 5 – 6 (Nazaruddin dan
Paimin, 1998). Tanaman karet dapat ditanam pada tanah yang kurang subur
untuk menanam tanaman perkebunan yang lain. Pada tanah yang subur,
karet dapat mulai disadap setelah umur 4 – 5 tahun, sedangkan pada tanah
yang kurang subur, tanaman karet baru bisa disadap pada umur 7 tahun
(Goutara et al., 1985).
Pada saat ini, karet alam yang dikenal dalam perdagangan berasal dari
pohon karet Hevea brasiliensis. Menurut Goutara et al. (1985), sumber
penghasil lateks juga dapat dihasilkan oleh tanaman lain yaitu Castilloa
elastica, Ficus elastica, Funtumia elastica, Landolphia, getah perca,
Manihot glaziovii, Achras Zapota. Penggunaan lateks dari tanaman tersebut
kurang berkembang dan tidak menguntungkan, disamping sifatnya yang
kurang baik dibandingkan dengan lateks dari tanaman Hevea brasiliensis.
2.2 Lateks
Hevea brasiliensis menghasilkan karet alam dalam bentuk lateks,
yaitu partikel karet yang terdispersi dalam cairan. Lateks berada dalam
pembuluh lateks dengan tekanan turgor 10 – 14 atm. Lateks diperoleh
melalui penyadapan, yaitu membuat sayatan miring dari kiri atas ke kanan
bawah dengan sudut 30o pada kulit pohon. Sayatan tidak boleh mencapai
kambium yang apabila terpotong, maka jaringan baru tidak dapat terbentuk
kembali (Suparto, 2002).
6
Lateks dari pohon Hevea brasiliensis mengandung 25 – 40 %
hidrokarbon karet serta distabilkan oleh sejumlah kecil protein dan asam
lemak. Diameter partikel karet antara 0,1 – 3,0 mikron dan berat molekul
antara 103 – 106. Ukuran partikel lateks karet alam adalah antara 190 – 234
nm. Lateks karet alam (Hevea brasiliensis) adalah dispersi butir-butir yang
didalamnya terkandung beberapa macam senyawa kimia, yaitu protein,
fosfolipid, loko-trienol, sterol dan esternya, karotenoid, plastokromanol,
lipid, karbohidrat, glutation, asam amino bebas, asam askorbat, basa
nitrogen, asam nukleotida, plastokuinon trigonelein dan argotichin. Bahan-
bahan tersebut berkadar antara 0,02 dan 1,5 berat lateks (Utama, 2007).
Berat jenis lateks 0,945 (pada 70oF), serum 1,02 dan karet 0,91 g/cm3.
Dengan adanya perbedaan berat jenis tersebut, maka menyebabkan
timbulnya cream pada permukaan lateks. Komposisi kimia lateks Hevea
brasiliensis menurut Goutara et al. (1985) dapat dilihat pada Tabel 4,
sedangkan komposisi menurut Suparto (2002) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis
Jenis Komponen Komposisi (%)
1. Bahan karet mentah (crude rubber)
a. Karet murni
b. Protein
c. Asam lemak
d. Gula
e. Garam dari Na, K, Mg, P, Ca, Cu, Mn, dan Fe
2. Serum (air dan zat yang larut)
25 – 40
90 – 95
2 – 3
1 – 2
0,2
0,5
60 – 75
Sumber: Goutara et al. (1985)
7
Tabel 5. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis
Jenis Komponen Komposisi (%)
Karet
Resin
Protein
Abu
Gula
Air
30-35
0,5-1,5
1,5-2,0
0,3-0,7
0,3-0,5
55-60
Sumber: Suparto (2002)
Utama (2007) menyatakan bahwa kemantapan lateks disebabkan
partikel karet dikelilingi oleh lapisan pelindung yang terdiri dari protein dan
fosfolipid. Kedua lapisan ini bersifat hidrofilik, karena mempunyai selubung
air. Dengan adanya selubung air tersebut, maka partikel-partikel karet
tersebut di dalam lateks menjadi stabil. Partikel karet tersebut ditunjukkan
pada Gambar 1 dan 2.
1 = Partikel Karet; 2 = Lapisan protein dan fosfolipid (bermuatan positif);
3 = Lapisan air (bermuatan positif)
Gambar 1. Partikel karet alam yang dilapisi protein dan lemak (Utama, 2007)
Gambar 2. Skema selubung air di permukaan partikel karet alam (Utama, 2007)
8
Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipida ini merupakan
koloid hidrofilik yang artinya dilindungi (diselaputi) oleh muatan listrik
(Gambar 3). Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat
mempertahankan muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.
Gambar 3. Koloid hidrofilik bermuatan negatif (Goutara et al., 1985)
Kestabilan lateks disebabkan adanya gaya tolak-menolak antara
partikel karet yang bermuatan listrik sejenis (listrik negatif), berasal dari
selubung protein. Protein terdiri dari rangkaian asam amino tergantung dari
pH lingkungannya. Di atas pH isoelektrik, asam amino bermuatan negatif.
Sebaliknya bila pH lingkungannya di bawah pH isoelektrik, maka asam
amino bermuatan listrik positif. Pada pH isoelektrik muatan listrik neto
asam amino menjadi nol. Protein pembentuk selubung partikel karet
mempunyai pH isoelektrik pada pH 4,5 – 4,7. Lateks kebun segar
mempunyai pH 6,5 – 6,9, sehingga partikel karet lateks kebun segar dilapisi
selubung protein yang bermuatan listrik negatif (Suparto, 2002). Syarat
kestabilan lateks dipengaruhi muatan listrik dari lateks. Pengaruh pH
terhadap elektrokinetis potensial pada lateks ditunjukkan pada Gambar 4
(Goutara et al., 1985).
9
Elektrokinetis Potensial
Daerah
tidak
stabil
Daerah Daerah
stabil (+) stabil (-)
(cair II) (cair I)
Titik Isoelektrik (0)
0 1 2 3 4 5 6 7 8
pH Lateks
Gambar 4. Pengaruh pH terhadap elektrokinetis potensial pada lateks
(Goutara et al., 1985)
Lateks dapat dipertahankan kestabilannya dengan menambahkan
bahan pengawet. Bahan pengawet yang umum digunakan adalah amonia
yang berfungsi sebagai bakterisida, peningkat pH dan pengikat logam.
Bakterisida berfungsi menurunkan total mikroorganisme, sehingga
penurunan pH akibat jumlah asam organik yang meningkat dapat ditekan
(Suparto, 2002).
Dengan menambahkan bahan pengawet primer yaitu amonia, maka
fosfolipid akan terhidrasi menghasilkan asam lemak dan bereaksi dengan
amonia membentuk sabun amonia. Sabun tersebut diserap oleh partikel
karet, sehingga lateks bertambah mantap selama penyimpanan. Di samping
itu, protein juga terhidrolisasis membentuk polipeptida dan asam amino
yang larut dalam air. Akan tetapi, jalannya reaksi jauh lebih lambat bila
dibandingkan dengan reaksi pertama (Utama, 2007).
Menurut Goutara et al. (1985), bahan pengawet yang sering
digunakan pada lateks kebun adalah amonia. Amonia berfungsi sebagai
bakterisida dan menaikkan pH lateks, sehingga mempertinggi kemantapan
lateks. Amonia dalam lateks akan menaikkan muatan negatif pada setiap
10
permukaan karet di dalam lateks, menimbulkan gaya tolak-menolak antara
partikel dengan demikian sistem koloid akan menjadi mantap.
2.3 Karet Alam
Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makromolekul
poliisoprena (C5H8)n yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai
poliisoprena tersebut membentuk konfigurasi cis dengan susunan ruang
yang teratur, sehingga rumus kimianya adalah 1,4-cis-poliisoprena dengan
monomer isoprena dalam bentuk 2-metil-1,3-butadiena. Struktur monomer
lateks dapat dilihat pada Gambar 5 dan struktur molekulnya dapat dilihat
pada Gambar 6. Karet yang mempunyai susunan ruang tersebut akan
mempunyai sifat kenyal (elastis). Sifat kenyal tersebut berhubungan dengan
viskositas atau plastisitas karet. Partikel karet tersuspensi (tersebar secara
merata) dalam serum lateks dengan ukuran 0,04 – 3 mikron atau 0,2 milyar
partikel karet per mililiter lateks. Bentuk partikel ini lonjong sampai bulat
(Goutara et al., 1985).
CH3
CH2 = C CH = CH2
Gambar 5. Monomer isoprena (Cowd, 1991)
CH3 H CH3 H
C = C C = C
CH2 CH2 CH2 CH2
Gambar 6. Struktur molekul 1,4-cis-poliisoprena (Cowd, 1991)
Karet alam merupakan partikel yang berukuran pada kisaran antara
0,005μm sampai 3μm serta dilapisi oleh dua buah lapisan yang terdiri dari
protein dan fosfolipid. Lapisan protein dan fosfolipid membentuk sistem
kestabilan pada karet. Lapisan dalam merupakan lapisan hidrofobik,
11
sedangkan lapisan luar merupakan lapisan hidrofilik. Lapisan hidrofilik
terdiri atas protein dan sabun. Rantai polipeptida protein memiliki
konfigurasi memanjang dengan sisi non polar yang menghadap ke partikel
karet dan sisi polarnya menghadap ke fase cair (Tangpakdee, 1998).
Menurut Goutara et al. (1985), berat molekul karet alam berkisar
antara 250.000 sampai 300.000. Partikel karet tersebut ditutupi oleh selaput
tipis bahan yang terdiri dari protein dan fosfolipida. Jumlah protein berkisar
0,2 persen dan dengan adanya protein karet akan terdispersi. Partikel karet
tersebut memperlihatkan gerakan brown dan akan terhenti bila diberi larutan
CaCl2. Di samping bahan-bahan tersebut, terdapat pula bahan yang disebut
fraksi kuning (yellow fraction). Komposisi partikel karet alam dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi partikel karet alam
Jenis Komponen Komposisi (%)
Hidrokarbon karet
Lemak
Glikolipida, fosfolipida
Protein
Karbohidrat
Bahan Anorganik
Lain-lain
93,7
2,4
1,0
2,2
0,4
0,2
0,1
Sumber: Tanaka (1998)
Karet alam digolongkan ke dalam elastomer untuk penggunaan umum
karena dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis dan tipe barang
jadi karet. Penggunaannya sebagai bahan baku barang jadi karet sangat
disukai, karena keunggulan sifat-sifatnya, seperti daya pantul, elastisitas,
daya lengket dan daya cengkeram yang baik serta mudah untuk digiling.
Selain itu, karet alam juga mempunyai beberapa sifat mekanik yang baik,
antara lain memiliki tegangan putus, ketahanan sobek, dan kikis yang baik,
sehingga karet alam merupakan elastomer pilihan.
12
2.4 Lateks Pekat (LP)
Lateks pekat diperoleh dengan memekatkan lateks kebun. Pembuatan
lateks pekat bertujuan untuk meningkatkan kadar karet kering (KKK).
Lateks kebun pekat dengan KKK 60% akan lebih seragam mutunya dan
lebih sesuai untuk pengolahan barang jadi karet. Pembuatan lateks pekat
dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu sentrifuse (pemusingan),
pendadihan, penguapan, dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering
digunakan adalah metode sentrifuse (pemusingan), karena menghasilkan
kapasitas produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah (tidak kental)
dan hasil lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran)
(Solichin, 1991).
Untuk mendapatkan lateks pekat, di samping cara pemusingan, masih
ada cara lain yang sering digunakan yaitu cara pendadihan. Dengan
menggunakan cara ini dapat diperoleh lateks dadih dengan kadar padatan
sekitar 68%. Secara umum pendadihan lebih mudah daripada cara
pemusingan, tetapi lateks pekat yang dihasilkan masih banyak mengandung
bahan-bahan bukan karet, misalnya protein dan lemak yang dapat
mengganggu proses berikutnya (Utama, 2007).
Bila lateks disentrifugasi dengan alat “ultra sentrifuge” (dengan
jumlah putaran atau rpm yang sangat tinggi), maka akan terpisah menjadi
tiga bagian (Goutara et al., 1985), yaitu:
1. Fraksi putih (White fraction)
Jumlah fraksi putih adalah 70 – 80% dari isi lateks. Fraksi ini
sangat stabil dan tidak akan menggumpal dalam beberapa hari. Pada
fraksi ini terdapat juga fotofenol, asterol, asam lemak, fesiolipida, dan
resin (damar).
2. Serum C (ambiant cerum)
Serum C mengandung zat yang terlarut seperti asam amino,
karbohidrat, inositol, dan asam organik seperti asam nukleat,
pirofosfat dan askorbat. Karbohidrat terdiri dari glukosa, galaktosa
dan fruktosa. Asam amino bebas terdiri dari alanin, virosin, glutamat,
13
glisin, isoleusin, cistin, fenilalanin, valin dan sistein. Alfa globulin
memegang peranan penting dalam stabilisasi butir karet.
3. Fraksi kuning (Yellow fraction)
Fraksi kuning terdapat pada bagian terbawah dari hasil sentrifugasi
yang terdiri dari lutoid dan serum B (bottom fraction cerum). Jumlah
fraksi tersebut adalah 20% dari seluruh lateks. Fraksi kuning tersebut
tidak stabil dan dalam waktu singkat (1 – 2 jam) dapat menggumpal.
Ketidakstabilan tersebut disebabkan adanya partikel lutoida, ion Cu++,
Mg++, Na+, dan K+ yang akan menurunkan elektrokinetis potensial
lateks.
Pada umumnya, pengolahan lateks pekat di Indonesia menggunakan
cara pemusingan (centrifuse), karena kapasitasnya tinggi dan
pemeliharannya lebih mudah. Lateks kebun dengan KKK 28 – 35%
dipusingkan pada kecepatan 5000 – 7000 rpm, sehingga pada bagian atas
alat akan diperoleh lateks pekat dengan KKK 60% dan berat jenis 0,94,
sedangkan di bagian bawah akan dihasilkan skim yang masih mengandung
4 – 8% karet dengan berat jenis 1,02 (Goutara et al., 1985).
Centrifuged latex tersebut dibuat dengan cara memasukkan lateks ke
dalam alat pemusing atau centrifugal machine setelah dibiarkan selama 24
jam. Mesin pemusing harus dijalankan dengan kecepatan yang sesuai dan
suara mesin harus halus. Kadar karet kering yang diinginkan untuk hasil
lateks pusingan adalah 60%, tetapi kadarnya bisa turun 1 – 2% pada proses
produksi. Penambahan amonia dan penyimpanan sering juga mengakibatkan
terjadinya penurunan kadar karet kering (Nazaruddin dan Paimin, 1998).
Prinsip pembuatan lateks pekat dengan sentrifugasi adalah
berdasarkan perbedaan berat jenis antara partikel karet dan serum. Serum
mempunyai berat jenis lebih besar daripada partikel karet, sehingga partikel
karet cenderung naik ke permukaan, sedangkan serum di bawahnya. Partikel
karet dalam lateks mengalami gerak brown, karena terjadi tolak menolak
antar partikel karet yang bermuatan. Lateks yang dimasukkan ke dalam alat
sentrifugasi akan mengalami gaya sentripetal dan sentrifugal yang mengarah
14
ke luar. Gaya sentrifugal tersebut jauh lebih besar daripada percepatan gaya
berat dan gerak brown, sehingga akan terjadi pemisahan partikel karet
dengan serum. Bagian serum yang mempunyai berat jenis lebih besar akan
terlempar ke bagian luar dan partikel karet akan terkumpul pada bagian
pusat dari poros alat sentrifugasi dan selanjutnya lateks pekat (cream) akan
keluar dari bagian atas dan lateks skim keluar dari bagian bawah (Goutara et
al., 1985).
Selain partikel karet, didalam lateks terdapat bahan-bahan bukan karet
yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun
dalam jumlah yang relatif kecil. Lateks segar yang disentrifuse dengan alat
pemusing ultra dengan kecepatan 18000 rpm akan menyebabkan lateks
terpisah menjadi empat fraksi dengan urutan dari atas ke bawah dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Fraksi penyusun lateks segar
Lateks Kebun Segar
Fraksi Karet (35%)
Karet Protein Lipid IonLogam
Fraksi Frey Wyssling (5%)Karotenoida Lipid
Serum (50%)
Air Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam
Fraksi Dasar (10%) Lutoid (vakuolisosom) Sumber: Suparto (2002)
Pemekatan lateks menyebabkan sebagian bahan bukan karet terlarut
bersama serum, sehingga lateks pekat bersifat lebih stabil dan memiliki
komposisi yang lebih baik daripada komposisi lateks kebun. Menurut SNI
06-3139-1992, syarat mutu lateks pekat dapat dilihat pada Tabel 8.
15
Tabel 8. Syarat mutu lateks pekat
No Jenis Uji Metode
Sentrifugasi Amonia Tinggi
Metode Sentrifugasi
Amonia Rendah 1. Kadar jumlah padatan min, % 61,5 61,5
2. Kadar karet kering min, % 60,0 60,0
3. Selisih kadar jumlah padatan dengan kadar karet kering maks, %
2,0 2,0
4. Total alkalinitas dihitung sebagai amonia (NH3) sebagai % lateks
Min 0,60 Max 0,29
5. Bilangan KOH, maks 0,80 0,80
6. Waktu Kematapan Mekanik min, detik 650 650
7. Bilangan asam lemak, maks 0,2 g KOH/100 g TS
0,2 g KOH/100 g TS
8. Warna secara inspeksi visual Tidak berwarna biru atau abu-abu
9. Warna setelah dinetralisasi dengan asam borat Tidak berbau busuk
Sumber: SNI 06-3139-1992
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lateks pusingan adalah
pengawetan lateks kebun, KKK lateks kebun, pengendapan lateks kebun,
penambahan sabun ammonium laurat sebelum ataupun sesudah
pemusingan, alat dan cara pemusingan, penyimpanan, pengangkutan, dan
cara pengambilan sampel lateks pekat. Lateks pekat bermutu tinggi
diperoleh dengan melakukan pengontrolan dan perlakuan yang baik sejak
dari lateks kebun sampai pada pengambilan sampel lateks pekat (Solichin,
1991).
Menurut Goutara et al. (1985), penentuan mutu lateks pekat dibagi
dalam dua golongan, yaitu sifat yang tidak berubah selama penyimpanan
dan sifat yang dipengaruhi cara penyimpanan serta ion dalam lateks. Sifat
lateks pekat yang tidak dipengaruhi selama penyimpanan adalah kadar karet
kering, alkalinitas, dan kadar jumlah padatan (KJP), sedangkan sifat lateks
yang dipengaruhi oleh cara penyimpanan dan ion dalam lateks adalah asam
lemak menguap (VFA), bilangan KOH, dan waktu kemantapan mekanik
16
(WKM). Kandungan protein total lateks pekat lebih rendah dibandingkan
lateks kebun dan serum skim. Hal ini dikarenakan dalam proses pemekatan
dari lateks kebun menjadi lateks pekat, fraksi-fraksi non karet terpisahkan
dan terbuang sebagai limbah berupa serum dan skim.
2.5 Lateks Double Centrifuge (LP-DS atau LP-KR)
Berkurangnya sifat ketika semen portland digunakan dalam campuran
dengan lateks karet alam dikarenakan oleh bahan non karet dan khususnya
gula yang berada di dalam serum lateks. Bahan non karet tersebut dapat
dikurangi dengan cara sentrifugasi dan lebih lanjut dengan pengenceran
menggunakan air dan sentrifugasi ulang (Nadarajah dan Fernando, 1978).
Cara pembuatan lateks Double Centrifuge sama seperti lateks pekat
tetapi dengan ganda sentrifugasi. Sentrifugasi berulang juga mampu
mengurangi protein yang terdapat dalam lateks sampai 30% (Subramaniam,
1992). Menurut Alfa (2008), lateks pekat yang disentrifugasi berulang akan
menurunkan kandungan karbohidratnya. Lateks tersebut biasanya disebut
lateks DS atau lateks KR. Kadar glukosa atau karbohidrat yang cukup tinggi
dalam lateks akan berpengaruh pada setting semen.
Lateks kebun segar mengandung sekitar 0,4% senyawa golongan
karbohidrat dan penurunan kadarnya dapat dilakukan dengan cara
pemusingan lateks dengan alat sentrifugasi lateks. Selama pemusingan
dengan kecepatan tinggi sekitar 5000 – 7000 rpm, lateks memisah menjadi
bagian serum dan bagian partikel karet yang disebut lateks pekat (Alfa,
2008).
Sebagian besar bahan-bahan non karet ikut terpisah bersama bagian
serum, sehingga jumlahnya dalam lateks pekat menurun. Pemekatan lateks
dengan cara pemusingan menggunakan alat sentrifugasi lateks mampu
menurunkan kadar bahan-bahan non karet menjadi kurang dari setengah
jumlah semula. Penurunan lebih lanjut bahan-bahan non karet dalam lateks
termasuk karbohidrat dapat dilakukan dengan cara sentrifugasi ulang lateks
pekat yang telah diencerkan kembali hingga KKK lateks menjadi 30%. Pada
Tabel 9 terlihat hasil pengukuran kadar karbohidrat dalam lateks kebun,
17
lateks pekat dan lateks pekat sentrifugasi berulang. Dengan kadar
karbohidrat yang rendah, sebesar 0,07%, lateks LP-KR hasil sentrifugasi
ganda relatif tidak menghambat setting semen, sehingga teknologi
pemekatan berulang (double centrifuge) ditetapkan sebagai proses produksi
untuk memperoleh lateks berkarbohidrat rendah (lateks LP-KR) yang akan
diaplikasikan sebagai aditif semen atau beton (Alfa, 2008).
Tabel 9. Kadar senyawa golongan karbohidrat dalam lateks
Jenis Lateks Kadar Karbohidrat Dalam
Lateks (%)
Lateks kebun
Lateks pekat
Lateks pekat sentrifugasi ganda
0,36
0,16
0,07
Sumber: Alfa (2008)
2.6 Lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber)
Lateks alam berprotein rendah adalah lateks alam yang kadar
nitrogennya telah diturunkan semaksimal mungkin melalui proses
deproteinasi. Lateks alam dengan kadar nitrogen rendah ini dikenal dengan
nama lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber). Kadar protein dihitung
sebagai kadar nitrogen yang diperoleh dengan menggunakan metode
Kjeldhal. Untuk menghitung kadar protein, kandungan nitrogen dikalikan
dengan faktor 6,25.
Pada penelitian Alfa (2003), pembuatan lateks DPNR menggunakan
enzim papain. Papain ini berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk
menghidrolisis protein lateks. Dalam pembuatan lateks tersebut tidak
menggunakan amonia, karena aktivitas proteolitik papain berlangsung pada
pH netral. Lateks berpengawet amonia mempunyai pH lebih dari 10,
sehingga aktivitas proteolitik papain tidak sempurna.
Hingga saat ini, belum ada kesamaan persepsi mengenai batasan kadar
nitrogen yang dapat menggolongkan karet sebagai karet DPNR. Batasan
kadar nitrogen lateks DPNR yang digunakan oleh para peneliti bervariasi.
18
Mengacu pada hasil penelitian Alfa (2003) yang dapat dilihat pada Tabel 10,
yaitu lateks DPNR diklasifikasikan sebagai jenis lateks dengan kandungan
nitrogen maksimal 0,08%.
Tabel 10. Karakteristik lateks alam berprotein rendah
Parameter Lateks DPNR
Kadar Nitrogen (%)
Viskositas Mooney, unit
KKK (%)
KJP (%)
Warna
0,08
47,0
59,5
60,5
Putih susu
Sumber: Alfa (2003)
Bersama-sama dengan fosfolipida, protein merupakan pelindung dari
partikel karet, yang menentukan kestabilan dari larutan koloidal lateks
tersebut. Protein bersama dengan lipida akan menyelubungi partikel karet,
sehingga terbentuk lapisan bermuatan negatif, yang kemudian berikatan
dengan air, membentuk lapisan molekul air sebagai lapisan sekunder
(Barney, 1973). Pada proses sentrifugasi, senyawa nitrogen hasil hidrolisis
protein yang larut dalam air akan terbuang bersama serum dan berkurangnya
senyawa nitrogen tersebut semakin besar jika dilakukan sentrifugasi
berulang.
2.7 Protein dalam Lateks
Protein merupakan polimer alami yang tersusun dari asam-asam
amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugusan amino, sebuah
gugusan karboksil, sebuah atom gugus atom H dan gugusan R yang terikat
pada sebuah atom C yang dikenal sebagai α karbon (Gambar 7). Gugus R
merupakan rantai cabang (Winarno, 1980).
19
R
H2N CH COOH
Gambar 7. Struktur asam α amino (Cowd, 1991)
Menurut Winarno (1980), gugus amino –NH2 bersifat basa, sedangkan
gugus karboksil –COOH bersifat asam. Kondisi tersebut memungkinkan
asam amino dapat bereaksi baik dengan asam maupun basa serta pereaksi-
pereaksi lainnya. Asam amino dalam larutan pH netral dalam bentuk ion
dipolar atau ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugusan amino
mendapat tambahan sebuah proton dengan gugusan karboksilnya
terdisosiasi. Dua molekul asam amino bergabung membentuk dipeptida, tiga
asam amino membentuk tripeptida dan seterusnya sampai menghasilkan
polipeptida berpolimer (Gambar 8).
H O H O
H R N C H R N C
C C C C
C H R N C H R N
O H O H
Gambar 8. Rantai polipeptida atau protein (Cowd, 1991)
Lipid dan protein dalam lateks berfungsi sebagai jembatan
penghubung antara rantai-rantai polimer. Lipid dari suatu rantai molekul
karet akan saling berikatan dengan protein maupun lipid dari rantai karet
lainnya, sehingga terbentuk jalinan molekul karet yang mempunyai berat
molekul tinggi. Protein dalam karet sangat berpengaruh terhadap sifat fisik
terutama penggumpalan lateks. Sistem emulsi pada lateks bermuatan negatif
yang distabilkan oleh protein dan sabun alami yang terkonsentrasi pada
lapisan antarmuka antara partikel karet dengan air (Cook, 1992), sehingga
kestabilan emulsi lateks dapat dipertahankan.
20
2.8 Karbohidrat dalam Lateks
Lateks karet alam mengandung protein, asam amino dan karbohidrat
terutama polyhydric alcohols, quebrachitol, myo-inositol dan sukrosa.
Jumlah karbohidratnya adalah 1% quebrachitol, 0,5% 1-inositol, dan 0,4%
sukrosa yang terdapat dalam lateks kebun. Meskipun jumlah secara aktual
sekarang ini mungkin bervariasi, total kandungan karbohidrat minimum
0,5% yang diharapkan dalam lateks kebun (Nadarajah dan Fernando, 1978).
Gugus HO – C – H pada karbohidrat akan menghambat proses setting
semen, yaitu perubahan dari bentuk pasta menjadi material rigid/kaku.
Quebrachitol, 1-inositol, dan sukrosa mengandung paling sedikit lima gugus
per molekul. Larutan gula dan karbohidrat turunannya sebesar 1% hampir
semuanya menghalangi secara nyata setting dan hardening atau dapat
dikatakan terhambat secara sempurna (Nadarajah dan Fernando, 1978).
Penambahan 0,05% gula memberikan akibat yang kecil terhadap laju
hidrasi, tetapi apabila jumlahnya ditingkatkan menjadi 0,2%, maka hidrasi
dapat menjadi terlambat, seperti final setting tidak mungkin selesai dalam
waktu 72 jam atau lebih.
Penambahan quebrachitol tidak mempengaruhi setting semen tetapi
kekuatan semen mortar menjadi rendah dan dapat diremukkan ketika
ditekan dengan tangan. Hasilnya mengindikasikan bahwa setting dari semen
dipengaruhi kurang baik oleh sukrosa yang terdapat dalam lateks karet alam
dan kekuatannya oleh quebrachitol yang terdapat di dalamnya (Nadarajah
dan Fernando, 1978).
2.9 Semen
Menurut Hidayat (2009), semen merupakan material perekat untuk
kerikil (agregrat kasar), pasir, batubara, dan material sejenis lainnya. Bahan
baku utama untuk memproduksi semen adalah bahan-bahan yang
mengandung mineral kapur (CaO), silika (SiO2), alumina (Al2O3), dan besi
oksida (Fe2O3). Standar Nasional Indonesia (SNI) berlaku untuk semen
yang dipasarkan di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa jenis semen yang
banyak beredar di pasaran adalah:
21
1. Semen Portland Putih (SNI 15-0129-2004)
2. Semen Portland (SNI 15-2049-2004)
3. Semen Portland Komposit (SNI 15-7064-2004)
4. Semen Portland Pozolan (SNI 15-0302-2004)
Semen merk Holcim termasuk ke dalam semen portland komposit.
Semen tersebut dapat digunakan untuk konstruksi umum, seperti pekerjaan
beton, pasangan bata, selokan, jalan, pagar dinding, dan pembuatan elemen
bangunan khusus (seperti beton pracetak, beton pratekan, panel beton, dan
bata beton/paving block). Untuk memenuhi standar SNI 15-7064-2004, ke
dalam semen portland komposit telah ditambahkan bahan anorganik
material tertentu atau kombinasinya guna mendapatkan karakteristik semen
seperti yang diinginkan. Berikut pengaruh yang diberikan mineral aditif
terhadap karakteristik semen (Hidayat, 2009):
• Kalsium karbonat, memberikan dampak pada penurunan bleeding pada
sifat campuran segar dan meningkatkan workability, sehingga mudah
dikerjakan, mengurangi kebutuhan air dan pengaruh pada beton keras
(yakni mengurangi retak, memperbaiki homogenitas campuran akibat
turunnya segregasi).
• Abu terbang (fly ash), memberikan pengaruh pada penambahan kuat
tekan akhir (setelah 28 hari) meskipun akan menurunkan laju
perkembangan kuat tekan pada umur awal, memperlambat waktu ikat,
dan memperbaiki ketahanan terhadap sulfat.
• Silica fume, memberikan pengaruh pada penurunan bleeding,
meningkatkan cohessiveness dan relatif tidak berpengaruh terhadap
perkembangan kuat tekan.
Reaksi kimia terjadi antara dua materi yang berwujud padat dan cair
yang dimulai dari permukaan materi yang berwujud padat. Reaksi akan
terus berlanjut dan masuk ke dalam partikel materi. Demikian juga dalam
konteks reaksi hidrasi antara partikel-partikel semen dengan molekul air.
Laju reaksi hidrasi sangat ditentukan oleh tingkat kehalusan partikel semen
22
(Hidayat, 2009). Fungsi utama semen adalah merekatkan atau mengikat
butir-butir agregat agar membentuk suatu massa padat, dan juga untuk
mengisi rongga-rongga udara di antara butir-butir agregat (Mulyono, 2003).
Senyawa kimia utama yang ada di dalam semen portland adalah
Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2; disingkat C3S), Dikalsium Silikat
(2CaO.SiO2; disingkat C2S), Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3; disingkat
C3A), dan Tetrakalsium Aluminoferrit (4CaO.Al2O3.Fe2O3; disingkat
C4AF). C3S dan C2S adalah bagian yang paling menentukan sifat dari semen
dan menyusun 70 – 80% dari bobot total semen (Mulyono, 2003).
Semen dan air saling bereaksi; persenyawaan tersebut dinamakan
proses hidrasi, sedangkan hasilnya dinamakan hidrasi semen. Senyawa C3S
jika terkena air akan cepat bereaksi dan menghasilkan panas, yang
mempengaruhi kecepatan mengeras sebelum 14 hari. Senyawa C2S bereaksi
dengan air lebih lambat dan hanya berpengaruh terhadap semen setelah
umur 7 hari. Unsur C2S memberikan ketahanan terhadap serangan kimia.
Kedua unsur tadi membutuhkan air 21 – 24 % beratnya untuk terjadi reaksi.
Senyawa C3A bereaksi secara eksotermik dan sangat cepat memberikan
kekuatan awal pada 24 jam pertama. Kebutuhan air untuk senyawa C3A
adalah empat puluh persen dari bobotnya. Senyawa C4AF tidak memiliki
pengaruh yang besar terhadap kekerasan semen atau beton, sehingga
kontribusinya dalam peningkatan kekuatan amat kecil (Mulyono, 2003).
Reaksi hidrasi antara semen dengan air terbagi dalam dua tahap, yaitu
dimulai dengan setting dan dilanjutkan proses hardening. Tahap awal akan
terjadi proses pengikatan, yaitu pasta semen yang awalnya bersifat plastis
dan mudah mengalir, lama-kelamaan adonan pasta semen akan berubah
menjadi lebih kental atau kaku (stiff). Setelah itu, pasta semen akan
mengalami proses pengerasan, pasta semen mulai menunjukan kekuatan dan
nilainya akan meningkat terus sejalan dengan bertambahnya umur (Hidayat,
2009).
Waktu ikat adalah lamanya waktu yang diperlukan semen dari saat
mulai bereaksi dengan air menjadi pasta semen sampai dengan pasta semen
cukup kaku menahan tekanan. Waktu ikat semen dibagi menjadi dua, yaitu
23
waktu ikat awal dan waktu ikat akhir. Waktu ikat awal (initial setting time)
adalah waktu dari pencampuran semen dengan air menjadi pasta semen
sampai terjadi kehilangan sifat keplastisan, sedangkan waktu ikat akhir
(final setting time) adalah waktu terjadi pasta semen sampai beton mengeras
atau masa mengeras. Pada semen portland initial setting time berkisar 1 – 2
jam tetapi tidak boleh kurang dari 1 jam, dan final setting time tidak boleh
lebih dari 8 jam. Waktu ikat awal sangat penting dalam kontrol pekerjaan
beton, untuk kasus-kasus tertentu initial setting time kadangkala diperlukan
lebih dari dua jam agar waktu untuk terjadinya ikatan awal lebih panjang.
Waktu yang panjang tersebut diperlukan untuk transportasi, penuangan,
pemadatan, dan penyelesaiannya (Mulyono, 2003).
Konsistensi normal adalah salah satu jenis sifat atau karakter fisik dari
semen portland. Konsistensi yang ada pada semen portland lebih banyak
pengaruhnya pada saat pencampuran awal, yaitu pada saat terjadi
pengikatan sampai pada saat beton mengeras (Mulyono, 2003).
Menurut Hidayat (2009), komposisi untuk beton sederhana sebaiknya
menggunakan komposisi 1 : 2 : 3 (semen : pasir : batu split). Agar lebih
akurat, penimbangan masing-masing material menggunakan perbandingan
berat. Sebaiknya, pencampuran semen dengan pasir dilakukan lebih dahulu
sebelum ditambahkan air. Semen dan pasir yang tidak tercampur merata
dapat mengakibatkan adanya bagian yang terlalu keras, tetapi ada bagian
lain yang lembek atau gampang rontok.
Dalam aplikasi, jika semen hanya dicampur dengan air, maka akan
menghasilkan pasta semen. Namun, jika pasta semen ditambah dengan pasir
akan diperoleh mortar. Mortar (adukan semen) merupakan material pengikat
yang terbuat dari campuran pasir dan semen ditambah air. Mortar dapat
dibuat sederhana atau dengan mesin molen ataupun manual. Mortar dapat
digunakan untuk aplikasi pasangan, plesteran, lantai, dll. Selanjutnya, jika
campuran tersebut ditambah lagi dengan koral atau batu pecah sebagai
agregrat kasar, maka akan menghasilkan material beton (Hidayat, 2009).
Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan adukan
mortar adalah workability dan compactibility. Kedua faktor tersebut akan
24
meningkat jika adukan bersifat homogen (seragam). Compactibility atau
pemadatan akan diperoleh ketika membuat adukan dengan komposisi yang
tepat, yaitu antara material pasir, semen, dan air (Hidayat, 2009).
Hidayat (2009) menyatakan bahwa agregat merupakan bahan yang
bersifat kaku dan memiliki stabilitas volume dan duralitas yang baik
daripada pasta semen. Untuk menghasilkan beton yang baik, agregat halus
maupun agregat kasar harus memiliki gradasi atau komposisi ukuran yang
proporsional. Ukuran pasir yang digunakan sebaiknya berdasarkan
persyaratan (SNI S-02-1994-03) dengan besar butiran maksimum 4,76 mm.
Jika pasir terlalu kasar, mortar akan sulit menempel, sebaliknya jika terlalu
halus kebutuhan air dan konsumsi semen akan meningkat.
Agregat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu agregat halus dan agregat
kasar. Agregat kasar hanya digunakan dalam pembuatan beton, sedangkan
agregat halus digunakan baik pada pembuatan mortar maupun beton.
Agregat halus, berdasarkan ASTM, adalah semua jenis agregat yang
memiliki ukuran kurang dari 4,75 mm, sedangkan agregat kasar adalah
agregat yang memiliki ukuran lebih dari 4,75 mm. Agregat halus biasa
disebut dengan istilah pasir, sedangkan agregat kasar biasa disebut dengan
kerikil (Mulyono, 2003).
Kualitas agregat halus ditentukan dari bentuk, porositas, tekstur, dan
kebersihan agregat tersebut. Bentuk agregat halus yang bulat memiliki
rongga udara yang lebih sedikit dibandingkan agregat halus dengan bentuk
lainnya. Semakin sedikit rongga udara yang ada akan membuat beton yang
dihasilkan semakin kuat. Tekstur permukaan agregat yang halus
membutuhkan air yang lebih sedikit dalam pengerjaan campuran sehingga
kekuatan beton yang dihasilkan akan lebih baik. Kebersihan agregat halus
juga akan menentukan kekuatan beton karena agregat yang bersih akan
menghindarkan beton dari tercampurnya zat–zat yang dapat merusak beton
baik pada saat beton muda maupun ketika sudah mengeras (Mulyono,
2003).
Air sebagai bahan pencampur semen berperan sebagai bahan perekat,
sehingga penambahan air dalam pembuatan spesi beton merupakan unsur
25
yang sangat penting. Peranan air sebagai bahan perekat terjadi melalui
reaksi hidrasi, yaitu semen dan air akan membentuk pasta semen dan
mengikat fragmen-fragmen agregat. Air yang digunakan dalam campuran
beton harus memenuhi persyaratan fisika dan kimiawi. Secara umum, air
yang dapat diminum cocok digunakan sebagai air pencampur, sebab telah
memenuhi persyaratan teknis sebagai air pencampur. Dalam penggunaan,
air tidak boleh berlebihan. Air yang berlebihan selain akan menimbulkan
masalah bleeding, yaitu air akan berada di atas adukan setelah beberapa saat
dan dapat juga meningkatkan penguapan air yang akhirnya dapat
menimbulkan retak-retak (Hidayat, 2009).
Pada dasarnya jumlah air yang dibutuhkan untuk proses hidrasi sekitar
25% dari berat semen. Jika air yang digunakan kurang dari 25% maka akan
terjadi kelecakan dan kemudahan dalam pengerjaan (workability) tidak
dapat tercapai. Workability didefinisikan sebagai beton yang mudah
dikerjakan atau dituangkan ke dalam cetakan, mudah diaduk dan dapat
dengan mudah dibentuk. Banyaknya air yang digunakan dalam campuran
semen sering disebut dengan istilah faktor air semen (FAS). FAS dihitung
dengan cara membagi berat air yang digunakan dengan berat semen:
FAS = berat air / berat semen
Semakin banyak air yang digunakan di dalam campuran, maka akan
berakibat pada menurunnya kekuatan beton yang dihasilkan. FAS yang
rendah akan mengakibatkan air yang berada di antara bagian-bagian semen
sedikit dan jarak antar butiran semen menjadi lebih pendek. Nilai faktor air
semen yang biasa digunakan adalah antara 0,4 – 0,65 (Mulyono, 2003).
26
Gambar 9. Hubungan antara kekuatan tekan beton umur 7 hari dengan
faktor air semen menggunakan semen yang cepat mengeras
(Mulyono, 2003)
Gambar 10. Hubungan antara faktor air semen dengan kekuatan tekan
beton selama masa perkembangannya (Mulyono, 2003)
Kemudahan pengerjaan (workability) berkaitan erat dengan konsumsi
air dan variasi ukuran pasir (gradasi pasir). Begitu pentingnya air dalam
adukan mortar, sehingga untuk mendapatkan workability yang baik,
penggunaan air perlu dijaga sampai diperoleh campuran yang tidak terlalu
kental dan tidak terlalu encer. Selain itu, perlu dihindari penambahan air
pada saat adukan mortar mulai mengering atau setengah kering. Workability
atau kemudahan dalam pengerjaan akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kebutuhan air. Semen portland komposit yang mengandung
fly ash, slag, maupun limestone akan memiliki workability yang lebih baik,
27
sedangkan untuk semen yang mengandung pozzolan alam dan silica fume
cenderung membutuhkan air lebih banyak (Hidayat, 2009).
Menurut Hidayat (2009), keunggulan yang dimiliki beton
dibandingkan dengan material lainnya adalah mempunyai kuat tekan dan
stabilitas volume yang baik dan biaya perawatan relatif lebih murah. Selain
itu, material beton lebih tahan terhadap pengaruh lingkungan, tidak mudah
terbakar, dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Namun, dibalik
keunggulannya, beton mempunyai beberapa kelemahan, yaitu respon
terhadap beban tarik sangat rendah. Nilai kuat tariknya hanya berkisar
sepersepuluh kuat tekan. Menurut Mulyono (2003), keunggulan beton
lainnya adalah dapat dibentuk dengan mudah sesuai dengan kebutuhan
konstruksi dan mampu menahan beban pikul yang berat. Kekurangan dari
beton adalah sulit mengubah bentuk ketika beton sudah mengeras,
pelaksanaan pekerjaan membutuhkan ketelitian yang tinggi, bobot yang
besar, dan memiliki daya pantul suara yang besar.
Kekuatan beton terbentuk akibat terikatnya partikel-partikel agregat
kasar dan halus oleh pasta semen yang berjalan secara gradual dan
berkelanjutan. Kekuatan beton akan semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya umur. Reaksi hidrasi antara semen dan air yang menghasilkan
senyawa calcium silikat hidrat (CSH) sebagai pembentuk kekuatan beton
tidak langsung selesai seketika, tetapi berjalan secara berkelanjutan. Laju
reaksi hidrasi sangat ditentukan oleh derajat kehalusan atau distribusi
ukuran partikel semen.
Kekuatan tekan beton merupakan karakteristik beton yang paling
umum digunakan, terutama dalam perencanaan struktur. Pada umumnya
beton direncanakan hanya untuk menahan gaya tekan. Laju pembebanan
disesuaikan dengan syarat yang ada pada ASTM-C39, yaitu antara 1,43 –
3,47 kg/cm2/detik. Besarnya tegangan tekan adalah besar beban tekan dibagi
dengan luas permukaan tekan. Beban tekan adalah beban tekan maksimum
yang dapat diberikan pada benda uji. Karakteristik penting lain dari beton
semen portland adalah kuat lentur (Adianto dan Basuki, 2006).
28
Kekuatan beton sangat ditentukan oleh umurnya. Berdasarkan standar,
karakteristik kuat tekan beton ditentukan ketika beton telah berumur 28 hari.
Kekuatan tekan beton akan bertambah dengan naiknya umur beton. Selain
itu juga, kekuatan beton sangat dipengaruhi oleh perbandingan jumlah air
terhadap semen, faktor air semen (FAS) atau (w/c-rasio) ketika membuat
rancangan spesi beton (Hidayat, 2009).
Beton termasuk jenis material yang berpori dan mengandung retak-
retak kecil. Ini terjadi karena secara alami, agregat sebagai material pengisi
beton selalu mengandung pori-pori bawaan. Pasta semen sebagai perekat
agregat adalah hasil reaksi hidrasi yang berjalan secara gradual. Oleh karena
itu, dalam pasta semen akan selalu menyimpan air yang berada dalam pori-
pori kapiler. Reaksi hidrasi berlangsung secra terus-menerus, sehingga
lama-kelamaan jumlah air akan menipis. Hal ini mengakibatkan kandungan
pori-pori kapiler akan berkurang sejalan dengan bertambahnya umur beton
(Hidayat, 2009). Selama proses penuangan spesi beton ke dalam bekisting
atau cetakan, udara akan ikut masuk ke dalam ruangan bekisting atau
cetakan. Oleh sebab itu, untuk memperkecil kandungan rongga udara yang
terjebak dalam beton selama proses penuangan, harus disertai proses
pemadatan dengan menggunakan vibrator. Jumlah rongga-rongga udara
dalam beton yang disarankan berada pada kisaran 1 – 1,5% volume beton
(Hidayat, 2009).
Banyaknya rongga udara di dalam beton akan mengakibatkan
penurunan kekuatan tekan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 11. Alat yang
digunakan untuk proses pemadatan dapat berupa tongkat kayu, yang proses
pemadatannya dilakukan secara manual atau dengan menggunakan alat
pemadat mesin berupa vibrator. Penggunaan vibrator biasa dilakukan jika
kapasitas beton yang diproses besar. Proses pemadatan dilakukan sebelum
terjadinya initial setting time.
29
Gambar 11. Pengaruh rongga udara terhadap kekuatan tekan beton
(Mulyono, 2003)
Semen portland akan bereaksi dengan air segera setelah tercampur.
Setelah 24 jam, dengan suhu kamar 30 – 40oC, semen mengalami proses
hidrasi. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan penutup dengan
bertambahnya kepadatan dan ketebalan yang melapisi partikelnya. Proses
pembentukan beton dapat dilihat pada Gambar 12.
(a) (b)
(c) (d)
30
Keterangan:
Material yang belum terhidrasi
Pori-pori yang terisi air
Ikatan C-S-H
Kalsium Hidroksida
(a). Terjadinya pencampuran pertama
(b). Kondisi beton setelah berumur 7 hari
(c). Kondisi beton setelah bermur 28 hari
(d). Kondisi beton setelah berumur 12 bulan
Gambar 12. Proses terjadinya pengikatan pada beton (Mulyono, 2003)
Setelah beton mencapai final setting, maka langkah terakhir dalam
pengerjaan beton adalah perawatan beton (curing). Perawatan dilakukan
agar proses hidrasi tidak mengalami gangguan yang dapat mengakibatkan
kehilangan air yang terlalu cepat sehingga beton mengalami keretakan.
Proses perawatan ini biasanya dilakukan antara tiga sampai tujuh hari
ataupun lebih. Perawatan ini tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan
kekuatan tekan beton yang tinggi tapi juga dimaksudkan untuk memperbaiki
mutu dari keawetan beton, kekedapan terhadap air, ketahanan terhadap aus,
serta stabilitas dari dimensi strukur.
2.10 Beton Karet
Beton karet adalah campuran antara beton yang memiliki sifat dasar
keras dengan karet yang memiliki sifat lentur. Kombinasi dari kedua sifat
tersebut dapat memperbaiki sifat jalanan yang terbuat dari beton sehingga
lebih nyaman ketika dilalui (Roestaman et al., 2007).
Penelitian beton karet ini juga telah dilakukan di luar negeri, seperti
Sukontasukkul dan Chaikaew (2005) menggunakan karet bekas (crumb
rubber) berasal dari ban bekas yang digunakan sebagai bahan untuk
menggantikan sebagian dari agregat kasar dan agregat halus dengan
persentase 10 dan 20% terhadap berat. Dari hasil pengujian didapatkan
31
bahwa kekuatan tekan dan kekakuan dari beton yang dihasilkan menurun
tetapi kemampuan penyerapan energi lebih baik, kelenturan yang dihasilkan
meningkat, memiliki tahanan gelincir lebih baik dan tahanan abrasi yang
lebih rendah.
Penambahan bahan tambahan karet pada beton akan menghasilkan
penurunan pada nilai slump dan kekuatan campuran beton, memiliki
kandungan udara yang lebih tinggi, lebih ringan, lebih tahan terhadap
retakan, dan memiliki nilai keteguhan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan beton biasa (Naik dan Siddique, 2002; Roestaman et al., 2007).
Menurut Roestaman et al. (2007), laju perkembangan kekuatan beton karet
berbeda dengan laju perkembangan kekuatan beton normal tanpa karet. Pada
umur yang sama, beton karet cenderung mencapai kekuatan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pencapaian oleh beton normal.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Roestaman et al. (2007)
terlihat bahwa campuran beton dengan remah karet menghasilkan
kecenderungan penurunan workability, kuat tekan, maupun kuat lentur.
Untuk mengatasi penurunan workability tersebut maka digunakan bahan
tambahan pada semen berupa plasticizer yang dapat memberikan
workability yang lebih baik pada beton segar dengan kandungan air (FAS)
yang lebih rendah.
Dengan menggunakan admixture tipe plasticizer sebagai bahan
tambah dan serbuk karet sebagai bahan campuran di dalam beton,
Roestaman et al. (2007) dapat menghasilkan kuat lentur yang lebih baik
pada penambahan karet sebesar 2,5% dan 5%. dibandingkan dengan beton
yang normal yang tidak menggunakan bahan tambahan karet. Pada
penambahan karet 7,5; 10; 12,5 dan 15% karet, kuat lentur yang dihasilkan
tidak lebih baik jika dibandingkan dengan beton normal yang tidak
menggunakan karet.
Menurut Alfa (2008), penyebaran karet alam dalam bentuk padatan
pada beton relatif lebih sulit homogen bila dibandingkan dengan
penggunaan lateks. Selain itu juga keuntungan lainnya dengan
menggunakan lateks adalah karena lateks mempunyai sifat lengket lebih
32
baik. Haryadi (2005) mengemukakan bahwa semakin tinggi kadar lateks
yang ditambahkan pada campuran beton maka akan menurunkan kuat
tekannya.
Pada penelitian yang telah dilakukan Abdilah (2009) dengan
menggunakan lateks pekat, lateks pekat pravulkanisasi semi EV, dan lateks
pekat pravulkanisasi semi ebonit menghasilkan semakin tinggi dosis karet
yang digunakan maka semakin menurun kuat tekannya begitupula dengan
kuat lenturnya, tetapi semakin lama umur mortar maka semakin meningkat
kuat tekan dan kuat lenturnya. Pada penelitian ini terdapat kekurangan
seperti workability yang rendah dan juga surfaktan yang digunakan belum
sesuai dengan campuran semen dan lateks yang digunakan sehingga
campuran yang dihasilkan agak menggumpal. Terdapat penelitian dengan
menggunakan lateks acrylic untuk membuat beton. Pada Gambar 13
merupakan gambar tiga dimensi yang mengilustrasikan bagaimana sebuah
struktur polimer seperti karet menjembatani kekosongan dalam adonan
semen dari beton semen polimer yang menggunakan lateks acrylic.
Gambar 13. Tiga Dimensi dari Beton Semen Polimer (Belie, 1998)
Ohama (1995) menyatakan bahwa mortar/beton semen yang
dimodifikasi dengan polimer mempunyai monolithic co-matriks di dalam
matriks polimer organik dan matriks gel semen yang telah dihomogenkan.
Modifikasi lateks di dalam mortar dan beton semen diatur oleh hidrasi
semen dan proses pembentukan film polimer. Proses hidrasi secara umum
mendahului proses pembentukan polimer. Fase co-matriks dibentuk oleh
33
proses hidrasi semen dan pembentukan film polimer. Fase co-matriks terdiri
dari gel semen dan film polimer secara umum dibentuk sebagai bahan
pengikat. Agregat akan diikat oleh fase co-matriks ini. Gambar 14 dibawah
ini merupakan model sederhana dari pembentukan semen polimer co-
matriks.
(a) Pembentukan setelah pencampuran
Partikel semen yang belum terhidrasi
Partikel polimer
Agregat (Tempat yang berpori berisi
air)
(b) Langkah Pertama
Campuran diantara partikel semen
yang belum terhidasi dan gel semen
(Dimana partikel polimer
menempatkan secara parsial)
(c) Langkah Kedua
Campuran dari gel semen dan partikel
semen yang belum terhidrasi yang
dibungkus dengan lapisan yang
rapat dari partikel polimer
(d) Langkah Ketiga
Hidrat semen yang dibungkus dengan
film polimer atau membran
Rongga udara
Gambar 14. Model sederhana dari pembentukan semen polimer co-matriks
2.11 Bahan Penstabil
Surfaktan merupakan suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang
dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena
strukturnya yang amphifilik, yaitu adanya dua gugus yang memiliki derajat
34
polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Gugus hidrofilik bersifat
mudah larut dalam air, sedangkan gugus hidrofobik bersifat mudah larut
dalam minyak. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, molekul surfaktan
dibedakan ke dalam empat jenis yaitu surfaktan anionik, kationik, nonionik,
dan amfoterik (Pratomo, 2005).
Molekul surfaktan terdiri dari bagian hidrofilik (suka air) dan
hidrofobik (tidak suka air). Bagian hidrofobik surfaktan akan menyelubungi
partikel-partikel karet yang terdispersi di dalam serum, sedangkan bagian
hidrofilik akan mengarah ke bagian serum. Surfaktan akan menjaga
kestabilan lateks terutama terhadap gerakan mekanis yang timbul karena
guncangan atau pengadukan (Blackley, 1966).
Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian
hidrofiliknya atau aktif permukaannya (surface active). Sifat hidrofiliknya
disebabkan karena keberadaan gugus sulfat atau sulfonat. Salah satu contoh
surfaktan anionik adalah emal. Emal mempunyai kestabilan yang tinggi
pada emulsi polimerisasi, tidak berwarna, larut dalam air panas, stabil dalam
larutan asam, alkali dan air sadah (Huntsman, 2000). Gugus fungsi utama
yang terdapat dalam emal adalah (CH3(CH2)11OSO3)Na. Emal yang
dilarutkan akan mengion membentuk turunan anionnya yaitu ion alkali
sulfat (CH3(CH2)11OSO3).
Emal adalah salah satu surfaktan anionik dengan Sodium Dodecyl
Sulfate (SDS) atau juga disebut Sodium Lauryl Sulfate (SLS) sebagai
komponen utama di dalamnya. Surfaktan ini mempunyai formula kimia
C12H25SO4Na dengan berat molekul 288,5. Sifat yang dimiliki oleh
surfaktan ini adalah larut dalam air, kloroform, metanol, butanol; tidak larut
dalam dietil ether, benzena, dan dioxane (di atas 40oC); CMC (Critical
Micelle Concentration) adalah 8,1 mmol/l, HLB (Hydrophilic-Lipophilic
Balance) adalah 42,0. Secara luas digunakan sebagai pembusa, elmusifier,
solubilizer, wetting agent, dan dispersant. Contoh lainnya adalah Sulfonol.
Surfaktan ini mengandung sodium alkyl benzene sulfonates (45%, C12-C18);
sodium sulfate (10%); nonsulfonated hydrocarbons (diatas 3%); sisanya
35
H2O (Ostroumov, 2006). Struktur surfaktan emal (SDS/SLS) dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar 15. Struktur Sodium Dodecyl Sulfate (Anonima, 2009)
Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang mengandung gugus aktif
permukaan berupa kation-kation. Kation yang banyak berhubungan dalam
bidang teknologi lateks adalah kation yang berasal dari ion ammonium
dimana satu atom hidrogennya telah digantikan oleh senyawa organik,
biasanya halida atau asetat. Garam-garam ammonium ini dapat dibagi atas
garam ammonium kwartener dan garam ammonium non-kwartener yaitu
garam-garam amin primer, sekunder dan tersier.
Surfaktan nonionik adalah tipe surfaktan yang tidak akan membentuk
ion dalam larutannya. Tipe surfaktan nonionik yang banyak digunakan
dalam bidang teknologi lateks adalah hasil kondensasi etilen oksida dengan
asam lemak, lemak alkohol atau fenol umumnya digunakan sebagai
penstabil lateks atau bahan pengemulsi (Huntsman, 2000).
Surfaktan nonionik tidak membawa muatan sehingga sangat
kompatibel dengan bahan kimia yang digunakan dalam berbagai operasi
produksi. Prinsip kerja dari surfaktan nonionik dalam mempertahankan
kestabilan larutan adalah dengan menurunkan gaya Van der Walls (Allen
dan Roberts, 1993). Salah satu jenis surfaktan nonionik adalah emulgen.
Nama lain emulgen adalah Polyethylen Lauryl Ether dengan rumus molekul
C12H25(OCH2CH2)46OH. Emulgen berbentuk padatan lilin putih (white waxy
solid). Sifat emulgen yaitu larut dalam air, etanol, toluen, dapat dicampur
dengan bahan panas, minyak alami dan sintetik, lemak alkohol dan lemak,
tetapi tidak larut dengan minyak mineral dan minyak sayur (Anonimc,
2009). Emulgen 147 yang digunakan pada penelitian ini merupakan
produksi dari KAO Indonesia Chemical dengan nama kimia polyoxyethylene
36
lauryl eter dengan penampilan solid dan dapat diaplikasikan untuk
emulsifier untuk polimerisasi emulsi (Anonimb, 2009).
Selain sebagai penstabil lateks, surfaktan juga dapat digunakan
sebagai jembatan yang mengikat molekul-molekul karet di dalam lateks
dengan semen. Molekul-molekul karet akan berikatan dengan gugus
hidrofobik pada surfaktan dan molekul-molekul semen akan berikatan
dengan gugus hidrofiliknya. Keberadaan gugus hidrofilik dan hidrofobik di
dalam surfaktan membuat surfaktan dapat berada di antara dua fase yang
berbeda derajat kepolarannya seperti semen dan karet (Georgiou et al.,
1992).
Kasein adalah sebuah padatan yang berwarna kuning pucat dan
merupakan protein utama dalam susu. Kasein ini digunakan sebagai bahan
penstabil dalam pencampuran lateks (Craig, 1969). Berat molekul dari
kasein yaitu sebesar 8.888 dan ditetapkan mengandung dua atom fosfor.
Komposisi kasein dari susu sapi dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan
komposisi kasein komersial dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 11. Komposisi kasein dari susu sapi
Jenis Komponen Komposisi (%)
Karbon
Hidrogen
Nitrogen
Oksigen
Sulfur
Fosfor
52,96
7,04 – 7,53
15,60 – 15,91
22,78
0,758 – 0,82
0,8 – 0,847
Sumber: Scherer (1921)
37
Tabel 12. Komposisi kasein komersial
Jenis Komponen Komposisi (%)
Air
Bahan kering
Lemak
Kasein
Abu
10,38
89,32
1,89
79,45
6,51
Sumber: Scherer (1921)
Kasein terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu α-kasein (55%), β-
kasein (25%) dan k-kasein (15%) dan beberapa komponen kecil τ-kasein (5
%) (Fennema, 1976). Alfa-kasein dilindungi oleh k-kasein. Kappa-kasein
bertindak sebagai faktor penstabil (stabilizer) dalam mempertahankan
seluruh kompleks kasein dalam suspensi koloid dalam susu. Partikel kasein
sangat sensitif terhadap perubahan pH.
Kasein merupakan jenis protein terpenting dalam susu dan terdapat
dalam bentuk kalsium kaseinat. Kasein merupakan partikel-partikel halus
berdiameter sekitar 80 µm dan membentuk suspensi koloidal dalam susu.
Titik isoelektrik kasein terdapat pada pH 4,7. Berat molekul kasein berkisar
antara 12.800 – 375.000. Kasein adalah protein yang bermutu tinggi karena
mengandung semua asam-asam amino esensial. Kasein dalam susu terdiri
dari tiga fraksi yang berbeda, yaitu α-kasein, β-kasein dan γ-kasein. Tiap
fraksi mengambil bagian berturut-turut sekitar 75%, 22% dan 3% (Array,
2008). Perbedaan komposisi dari ketiga fraksi disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13. Komposisi dan sifat-sifat komponen kasein
Komposisi α β γ Nitrogen (%) Fosfor (%) Sulfur (%) Titik isoelektrik (pH) Mobilitas (µ) Rotasi spesifik (x ) 025
15,58 0,99 0,75 4,7
-6,75 -90,5
15,53 0,55 0,86 4,9
-3,05 -125,2
15,40 0,11 1,03 5,8
-2,01 -131,9
Sumber: Array (2008)
38
III. METODOLOGI
3.1 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat,
lateks karbohidrat rendah (Double Centrifuge latex/LDS), lateks DPNR
(Deproteinized Natural Rubber), berbagai jenis bahan penstabil, yaitu Emal
10 Needle, Emulgen 147 yang merupakan produksi KAO Indonesia
Chemicals serta Kasein, amonia, semen portland komposit dengan merk
dagang Holcim, agregat halus berupa pasir galunggung, air, beserta bahan-
bahan kimia untuk analisis lateks.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terbagi atas dua bagian,
yaitu peralatan untuk lateks dan semen. Peralatan untuk lateks adalah
sebagai berikut: alat sentrifuse lateks, neraca analitik/kasar, erlenmeyer,
gelas piala, gelas ukur, wadah, pengaduk, saringan untuk lateks, mesin krep,
dan alat untuk analisis lateks. Peralatan untuk semen adalah: neraca
analitik/kasar, sendok semen, mixer, wadah, saringan agregat halus (pasir)
dengan ukuran 4,75 mm, cetakan uji kuat tekan dan kuat lentur, alat
pemadat mortar, alat vicat yang digunakan untuk pengujian konsistensi
normal semen dan waktu pengikatan awal, Universal Testing Machine
untuk menguji kuat tekan, serta strain indicator dan loadcell untuk menguji
kuat lentur dari mortar yang dihasilkan.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari sampai September
2009. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Karet
(BPTK), Bogor serta pengujian mortar dilakukan di Laboratorium Struktur
dan Bahan, Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung.
3.3 Metode Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk
mendapatkan dosis dan jenis bahan penstabil yang sesuai dengan campuran
39
lateks pekat dan semen. Selain itu, untuk mengetahui kandungan air yang
sesuai dengan campuran lateks, semen, dan pasir. Penelitian utama
dilakukan untuk mendapatkan jenis lateks dan dosis karet yang sesuai
terhadap mortar.
3.3.1 Penelitian Pendahuluan
a. Pengaruh dosis dan jenis bahan penstabil terhadap kestabilan
campuran lateks pekat dan semen
Penelitian ini dilakukan untuk melihat kesesuaian jenis
bahan penstabil dengan konsentrasi tertentu pada campuran lateks
pekat dan semen. Jenis bahan penstabil yang digunakan adalah
Emal, Emulgen dan Kasein. Konsentrasi masing-masing bahan
penstabil yang akan diuji adalah 1, 3, 5 dan 7%. Dosis dan jenis
bahan penstabil yang paling efektif adalah dosis yang dapat
mempertahankan kestabilan campuran lateks pekat dan semen
atau dapat mempertahankan waktu setting yang diharapkan
hingga 210 menit. Dosis dan jenis bahan penstabil yang paling
efektif untuk mempertahankan kestabilan campuran lateks dan
semen tersebut digunakan sebagai patokan untuk perlakuan
penelitian utama. Pengamatan pengaruh bahan penstabil ini
dilakukan mulai pada menit ke-0 sampai ke-210 atau sampai
campuran lateks semen sudah tidak stabil. Diagram alir pengaruh
dosis dan jenis bahan penstabil terhadap kestabilan campuran
lateks pekat dan semen dapat dilihat pada Gambar 16.
Uji lateks yang dilakukan adalah uji alkalinitas (NH3),
kadar karet kering, kadar jumlah padatan, waktu kemantapan
mekanik, bilangan asam lemak esteris, bilangan KOH dan pH,
viskositas brookfield dan kadar nitrogen. Prosedur pengujian
lateks tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
40
Gambar 16. Diagram alir penentuan jenis dan dosis bahan penstabil terhadap
kestabilan campuran lateks pekat dan semen
b. Pengaruh kandungan air yang dicampurkan ke dalam mortar
terhadap bahan penstabil yang telah sesuai
Penentuan ini menentukan kandungan air yang sesuai
ketika dicampurkan ke dalam mortar dengan bahan penstabil.
Bahan penstabil yang dicampurkan didapatkan dari penelitian
pendahuluan. Pencampuran dilakukan hanya untuk jenis dan dosis
bahan penstabil yang terbaik. Air yang digunakan antara 35 –
70% terhadap semen. Penggunaan air ditentukan oleh workability
mortar segar yang dihasilkan. Workability adalah beton/mortar
yang mudah dikerjakan atau dituangkan ke dalam cetakan, mudah
diaduk dan dapat dengan mudah dibentuk. Jika workability yang
Lateks Pekat
Sentrifugasi
Semen
Pencampuran
Pembagian ke wadah
Bahan Penstabil (1, 3, 5, dan 7%): Emal, Emulgen
dan Kasein
Pengadukan
Uji: NH3, KKK, KJP, WKM, Bil ALE, Bil KOH dan pH, Kadar Nitrogen dan Viskositas
Lateks Kebun
Penyaringan
Lateks Kebun bebas kotoran
Amonia Uji KKK
Air
Pengamatan
41
dihasilkan masih belum baik, maka air ditambahkan sedikit-
sedikit sampai workability yang baik tercapai. Diagram alir
penentuan kandungan air dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Diagram alir penentuan kandungan air dalam mortar
terhadap bahan penstabil yang sesuai
3.3.2 Penelitian Utama
Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui formula dosis
karet dan jenis lateks terbaik terhadap mortar dengan penambahan
bahan penstabil yang sesuai. Sebelum dilakukan penelitian utama,
terlebih dahulu dilakukan pembuatan lateks yaitu Lateks Pekat,
Lateks Double Centrifuge dan Lateks DPNR yang akan digunakan
sebagai bahan tambahan pada mortar. Ketiga jenis lateks ini
dianalisis terlebih dahulu sebelum digunakan. Setelah ketiga jenis
lateks tersebut siap, maka dapat digunakan untuk penelitian utama.
Diagram alir proses pembuatan lateks pekat, lateks Double
Lateks Pekat
Air: 35-70% terhadap semen
Jenis bahan penstabil yang sesuai dengan dosis
terbaik dari penelitian pendahuluan
Pengadukan
Pencampuran
Uji: NH3, KKK, KJP, WKM, Bil ALE, Bil KOH dan pH, Kadar
Nitrogen dan Viskositas
Campuran Semen dan Pasir
Pengamatan
42
Centrifuge, dan lateks DPNR dapat dilihat secara berturut-turut pada
Gambar 18, 19 dan 20.
Setelah lateks yang akan digunakan siap, maka dilakukan
tahap pembuatan campuran mortar lateks. Sebelum membuat mortar
lateks tersebut, semen yang akan digunakan dianalisis terlebih
dahulu. Analisis terhadap semen meliputi konsistensi normal semen
dan waktu pengikatan awal. Prosedur pengujian dapat dilihat pada
Lampiran 2. Kedua pengujian ini dilakukan dengan alat vicat.
Setelah lateks dan semen dianalisis, mortar siap dibuat. Mortar
adalah campuran antara semen, pasir, dan air. Campuran mortar
dibuat dengan perbandingan 1375 bagian pasir dan 500 bagian
semen (ASTM, 1997). Pasir yang digunakan adalah pasir
galunggung. Pasir ini tidak terlalu banyak menyerap air karena lebih
banyak mengandung silika dibandingkan dengan pasir cimangkok.
Pasir yang terlalu banyak menyerap air akan membuat Faktor Air
Semen (FAS) menjadi besar. Pasir yang digunakan mempunyai
ukuran diameter butiran maksimal 4,75 mm. Hal ini sudah sesuai
dengan ketentuan dari SNI S02-1994-03. Jika pasir yang digunakan
terlalu besar maka mortar sulit menempel. Pasir tersebut juga
berbentuk lebih bulat dibandingkan dengan pasir cimangkok,
sehingga rongga udara yang terdapat dalam pasir sedikit. Semakin
sedikit rongga udara, maka mortar yang dihasilkan semakin kuat.
Selain itu, pasir ini lebih bersih, sehingga mortar yang dihasilkan
terhindar dari zat-zat yang dapat merusak mortar.
Lateks yang digunakan untuk tambahan campuran mortar ini
didasarkan pada jumlah karet. Setelah jumlah karet yang dibutuhkan
sesuai dengan taraf diketahui, maka dapat dihitung jumlah lateks
yang akan ditambahkan. Lateks tersebut kemudian dicampurkan
dengan air yang sesuai dan ditambahkan dengan bahan penstabil
yang sesuai pula dengan dosis yang terbaik dari penelitian
pendahuluan.
43
Pencampuran pertama yang dilakukan adalah mencampurkan
semen dengan pasir. Setelah semen dengan pasir menjadi homogen,
kemudian ditambahkan larutan lateks yang telah ditambahkan air
dan bahan penstabil yang sesuai sambil tetap diaduk sehingga
didapat mortar segar. Mortar segar yang telah terbentuk kemudian
dicetak di dalam cetakan kuat tekan dan kuat lentur yang terbuat dari
kayu sambil dipadatkan agar kandungan udara di dalam mortar
berkurang. Cetakan kuat tekan ini berbentuk kubus dengan ukuran 5
× 5 × 5 cm3, sedangkan cetakan kuat lentur berbentuk balok dengan
ukuran 5 × 5 × 30 cm3. Setelah mortar dituang ke dalam cetakan,
campuran tersebut didiamkan di udara lembab selama 24 jam dengan
tujuan untuk memadatkan sampel uji tersebut. Setelah itu, mortar
dikeluarkan dari cetakan kemudian sampel uji yang sudah mengeras
tersebut direndam dalam air (curing) selama 28 hari. Proses
perendaman ini amat penting untuk menjamin proses hidrasi semen
berjalan dengan baik. Setelah 28 hari, sampel-sampel uji ini
dikeluarkan dari air, kemudian dikeringkan bagian permukaannya.
Setelah itu, sampel uji ditimbang untuk mengetahui bobot akhirnya.
Selanjutnya, sampel uji tersebut diuji kuat tekan dan kuat lentur.
Prosedur pengujian kuat tekan dan kuat lentur ini dapat dilihat pada
Lampiran 3. Pengujian kuat tekan dilakukan dengan menekan
sampel sampai hancur, sedangkan pengujian kuat lentur dilakukan
dengan menggunakan pembebanan pada dua titik. Diagram alir
penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 21, sedangkan gambar
prosedur pembuatan dan pengujian mortar pada Lampiran 4.
44
Gambar 18. Diagram alir proses pembuatan lateks pekat
Gambar 19. Diagram alir proses pembuatan lateks double centrifuge
Lateks Double Centrifuge
Sentrifugasi
Uji: NH3, KKK, KJP, WKM, Bil ALE, Bil KOH dan pH, Kadar Nitrogen dan Viskositas
Lateks Pekat (LP)
Pengenceran (V LP : V air = 1 : 1)
Amonia (Setengah dari
yang awal)
Air
Pengadukan
Lateks Pekat
Sentrifugasi
Uji: NH3, KKK, KJP, WKM, Bil ALE, Bil KOH dan pH, Kadar Nitrogen dan Viskositas
Lateks Kebun
Penyaringan
Lateks Kebun bebas kotoran
Amonia Uji KKK
45
Gambar 20. Diagram alir proses pembuatan lateks DPNR
Lateks DPNR
Pengenceran sampai KKK 10 %
Uji: NH3, KKK, KJP, WKM, Bil ALE, Bil KOH dan pH, Kadar Nitrogen dan Viskositas
Lateks Kebun (LK)
Penyaringan
Lateks Kebun bebas kotoran
Uji KKK
+ 1 bsk emal + 1 bsk emulgen
Peram selama 24 Jam
Sentrifugasi
+ 0,07 bsk enzim papain + NH3 0,2% terhadap LK
46
Gambar 21. Diagram alir penelitian utama
Lateks Pekat, Double Centrifuge dan DPNR
Penambahan jenis bahan penstabil yang sesuai dengan dosis terbaik dari
penelitian pendahuluan
Pengadukan
Dosis karet dari jenis lateks terhadap semen: 1, 3, 5, 7 dan 9 %, serta 0 %
Semen
Pengadukan
Mortar
Pengujian Kuat Tekan, Kuat Lentur dan Bobot Mortar
Uji: NH3, KKK, KJP, WKM, Bil ALE, Bil KOH dan PH, Kadar Nitrogen
dan Viskositas
Penambahan air dari penelitian pendahuluan
Pengadukan
Larutan Lateks
Pasir
Campuran semen dan pasir
Pencampuran
Adonan Semen
Pencetakan
Perendaman selama 28 Hari
Penyaringan
47
3.4 Rancangan Percobaan
Penelitian pendahuluan dan utama dilakukan rancangan percobaan.
Keduanya menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua buah
faktor. Faktor untuk penelitian pendahuluan adalah faktor jenis bahan
penstabil (faktor A) dan faktor dosis bahan penstabil (faktor B), sedangkan
untuk penelitian utama adalah faktor jenis lateks (faktor A) dan faktor dosis
karet (faktor B). Faktor jenis bahan penstabil terdiri dari 3 taraf, yaitu Emal,
Emulgen dan Kasein. Faktor dosis bahan penstabil terdiri dari 4 taraf, yaitu
1, 3, 5 dan 7%. Faktor jenis lateks terdiri dari 3 taraf, yaitu lateks pekat,
lateks double centrifuge dan lateks DPNR, sedangkan faktor dosis karet
terdiri dari 5 taraf, yaitu 1, 3, 5, 7 dan 9 % dengan kontrol 0%.
Model matematika yang berlaku untuk rancangan percobaan ini
adalah sebagai berikut (Sudjana, 1994):
Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εk(ij)
Dengan:
Yijk = Variabel respon yang diukur
μ = Rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan)
Ai = Efek taraf ke-i faktor A
Bj = Efek taraf ke-j faktor B
(AB)ij = Efek interaksi antara taraf ke i faktor A dan taraf ke j faktor B
εk(ij) = Efek kesalahan unit eksperimen pada ulangan ke-k karena
kombinasi perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j.
Data yang didapat akan diolah dengan bantuan software SAS. Jika
hasil analisis keragaman tersebut menunjukkan perbedaan nyata, maka
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan.
48
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Sebelum dibuat mortar yang ditambahkan dengan lateks, maka
dilakukan penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan tersebut
ditetapkan jenis dan dosis bahan penstabil yang sesuai dengan campuran
lateks dan semen. Lateks yang dicampur dengan semen tanpa penambahan
bahan penstabil akan terjadi penggumpalan. Penggumpalan ini terjadi
karena terdapat perbedaan derajat kepolaran antara partikel karet dengan
semen. Molekul karet dalam lateks bersifat non polar, sedangkan molekul
semen bersifat polar. Oleh karena itu, dibutuhkan bahan penstabil yang
sesuai untuk menggabungkan kedua molekul ini. Dengan ditambahkan
bahan penstabil yang sesuai, maka kestabilan lateks akan terjaga terutama
terhadap gerakan mekanis yang timbul akibat pengadukan selama
pencampuran bahan. Gambar campuran semen lateks tanpa bahan penstabil
dapat dilihat pada Lampiran 5.
Jenis dan dosis bahan penstabil yang diinginkan adalah bahan
penstabil yang dapat mempertahankan waktu setting hingga 210 menit.
Waktu setting pada penelitian ini merupakan waktu pengikatan awal (initial
setting time). Setting time dibagi menjadi dua yaitu initial setting time dan
final setting time. Waktu ikat (setting time) merupakan lamanya waktu yang
diperlukan semen dari saat mulai bereaksi dengan air menjadi pasta semen
sampai dengan pasta semen cukup kaku menahan tekanan. Waktu ikat awal
(initial setting time) adalah waktu dari pencampuran semen dengan air
menjadi pasta semen sampai terjadi kehilangan sifat keplastisan, sedangkan
waktu ikat akhir (final setting time) adalah waktu terjadi pasta semen sampai
beton mengeras atau masa mengeras (Mulyono, 2003). Bahan penstabil
yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada ketahanan waktu setting
karena initial setting time sangat penting dalam kontrol pekerjaan jalan
beton. Waktu yang panjang diperlukan untuk transportasi, penuangan,
pemadatan sampai dengan penyelesaiannya.
49
Pada penelitian pendahuluan ini, lateks yang digunakan dalam
campuran semen lateks adalah lateks pekat dengan dosis 5% karet terhadap
semen. Lateks pekat ini digunakan dalam campuran semen lateks sebagai
perwakilan dari jenis lateks lainnya dan juga lateks pekat merupakan prinsip
dasar dari lateks lainnya. Jenis bahan penstabil yang digunakan adalah
Emal, Emulgen dan Kasein, sedangkan dosis yang digunakan adalah 1, 3, 5
dan 7 %. Data hasil pengamatan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6.
Bahan penstabil yang pertama akan dibahas adalah Emal. Emal
termasuk ke dalam golongan surfaktan anionik dan bermuatan negatif pada
bagian hidrofiliknya. Gugus fungsi utama yang terdapat dalam emal adalah
(CH3(CH2)11OSO3)Na. Emal merupakan nama dagang dari surfaktan
anionik yang mempunyai komponen utamanya adalah Sodium Dodecyl
Sulfate (SDS) atau Sodium Lauryl Sulfate (SLS). Pada dosis satu persen
Emal, ketika lateks ditambahkan ke dalam semen, campuran tersebut
langsung menggumpal dan apabila ditarik seperti karet sehingga waktu
settingnya adalah nol menit. Emal pada dosis tiga persen, ketika lateks
ditambahkan pada semen hanya dapat mempertahankan waktu setting
selama 1,16 menit. Lateks dengan dosis Emal lima persen juga tidak dapat
mempertahankan kestabilan campuran semen lateks tersebut dan waktu
setting yang diperoleh hanya 10,62 menit. Pada dosis tujuh persen Emal,
campuran hanya dapat mempertahankan waktu setting selama 19,59 menit.
Gambar campuran semen lateks dengan menggunakan Emal ini dapat dilihat
pada Lampiran 7.
Penambahan surfaktan Emal pada dosis 1, 3, 5 dan 7% tidak dapat
mempertahankan waktu setting yang diinginkan atau tidak mampu
mempertahankan kestabilan lateks di dalam semen. Lateks tersebut tidak
stabil karena surfaktan yang ditambahkan tidak mampu melindungi seluruh
partikel karet yang ada terhadap semen. Dari hasil pengamatan didapatkan
bahwa semakin banyak dosis Emal yang ditambahkan ke dalam lateks,
maka semakin lama waktu setting yang didapatkan walaupun waktu ini
tidak sesuai yang diharapkan.
50
Bahan penstabil kedua yang akan dibahas adalah Emulgen. Emulgen
ini merupakan golongan surfaktan nonionik sehingga surfaktan ini tidak
mempunyai muatan. Nama lain Emulgen adalah Polyethylen Lauryl Ether
dengan rumus molekul C12H25(OCH2CH2)46OH. Ketika lateks dengan
penambahan Emulgen 1% dimasukkan ke dalam semen, campuran semen
lateks tersebut tidak mampu mempertahankan kestabilan, sehingga waktu
setting yang diperoleh hanya 0,46 menit. Dengan penambahan Emulgen 3%
pada lateks, waktu setting hanya 1,72 menit, sedangkan dengan Emulgen
5% hanya 2,20 menit. Dosis Emulgen 7% pun tidak dapat mempertahankan
kestabilan lateks dan hanya mampu mempertahankan waktu setting selama
2,92 menit. Gambar campuran semen lateks dengan penambahan Emulgen
dapat dilihat pada Lampiran 8.
Semakin banyak dosis Emulgen yang digunakan pada lateks untuk
campuran semen lateks, maka semakin lama waktu setting yang dihasilkan
walaupun belum mencapai waktu setting yang diinginkan dan semakin
encer campuran yang dihasilkan. Campuran dengan dosis 7% tidak terlalu
kental dibandingkan dengan dosis 5%. Hal tersebut dikarenakan semakin
banyak partikel karet yang diselubungi oleh surfaktan. Dari semua dosis
Emulgen yang digunakan, tidak ada satu pun dosis yang dapat
mempertahankan waktu setting yang diinginkan atau tidak mampu
mempertahankan kestabilan lateks.
Bahan penstabil terakhir adalah Kasein. Kasein tidak termasuk ke
dalam surfaktan, tetapi merupakan protein utama dalam susu yang berfungsi
sebagai penstabil dalam campuran lateks. Selain digunakan sebagai bahan
penstabil, kasein sering digunakan sebagai pembuatan plastik dan perekat.
Kasein yang digunakan berbentuk bubuk dan berwarna kuning pucat,
sehingga ketika akan dicampurkan ke dalam lateks, kasein ini dilarutkan
terlebih dahulu menggunakan air. Setelah kasein larut, larutan tersebut siap
digunakan sebagai bahan penstabil dalam campuran semen lateks.
Penambahan kasein sebanyak 1% dalam lateks, ketika dicampur
dengan semen, campuran akan menggumpal atau tidak stabil dengan waktu
setting hanya 0,06 menit. Dosis kasein sebesar 3% juga hanya
51
mempertahankan waktu setting selama 19,53 menit. Campuran semen lateks
dengan menggunakan kasein 5% juga tidak stabil dengan waktu setting
hanya 117,67 menit. Dosis kasein 7% merupakan dosis yang paling lama
mempertahankan waktu setting sebesar 208,67 menit. Campuran semen
lateks ini stabil lebih lama dibandingkan dengan yang lainnya. Seperti Emal
dan Emulgen, semakin banyak dosis kasein yang ditambahkan pada lateks,
maka campuran semen lateks lebih encer dibandingkan dengan dosis 1, 3
dan 5% dan semakin lama campuran tersebut mempertahankan waktu
setting. Dengan penambahan kasein ke dalam lateks, maka lateks semakin
lengket, karena kasein juga biasa digunakan sebagai perekat. Gambar
campuran semen lateks yang ditambahkan dengan kasein dapat dilihat pada
Lampiran 9.
Dari ketiga jenis bahan penstabil yang digunakan, maka Kasein
merupakan bahan penstabil yang dapat mempertahankan waktu setting
paling lama dibandingkan dengan bahan penstabil lainnya. Dosis yang
paling bagus mempertahankan waktu setting adalah 7% dibandingkan
dengan dosis 1, 3 dan 5%. Histogram waktu setting dapat dilihat pada
Gambar 22. Nilai yang tertera merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan.
Dari Gambar 22 ini dapat dilihat bahwa yang paling lama waktu
settingnya adalah kasein, yang kedua adalah emal dan yang terakhir adalah
emulgen. Emal lebih lama waktu settingnya dibandingkan dengan emulgen
dikarenakan emal merupakan surfaktan anionik yang mempunyai muatan
negatif yang sama dengan partikel karet yang mempunyai muatan negatif
pula. Hal tersebut mengakibatkan gaya tolak-menolak antar partikel karet.
Emulgen merupakan surfaktan nonionik yang tidak bermuatan, sehingga
kurang mempertahankan kestabilan karet di dalam campuran semen lateks.
Tetapi penambahan emal dan emulgen tersebut tidak mempertahankan
kestabilan campuran semen lateks. Hal tersebut dikarenakan tidak semua
partikel karet dilindungi oleh emal dan emulgen, sehingga terdapat partikel
karet yang bebas dan tidak cocok dengan semen yang berbeda derajat
kepolarannya. Selain itu, juga dapat disebabkan jumlah surfaktan yang
kurang banyak untuk melindungi karet terhadap semen.
52
Gambar 22. Histogram hubungan dosis dan jenis bahan penstabil terhadap
waktu setting
Semula partikel karet dalam keadaan diam, tetapi pada waktu
penambahan surfaktan ke dalam lateks, maka lateks mengalami gangguan
sehingga partikel karet menjadi bergerak saling berikatan dengan surfaktan.
Gugus hidrofobik surfaktan berikatan dengan permukaan partikel karet,
sedangkan gugus hidrofiliknya berikatan dengan air membentuk pelindung
partikel karet. Penambahan surfaktan dalam dosis yang rendah tidak dapat
melindungi seluruh partikel karet yang ada, sehingga masih ada partikel
karet yang bebas bergerak. Ketika lateks ditambahkan ke dalam semen yang
bersifat polar, maka molekul semen berikatan dengan gugus hidrofilik
surfaktan. Oleh karena terdapat partikel karet yang bebas bergerak, maka
akan mengakibatkan adanya tumbukan antar molekul karet dan terjadi
penggumpalan, selain itu juga karena terdapat perbedaan kepolaran antara
karet yang bebas dengan semen.
Kasein paling baik dibandingkan dengan Emal dan Emulgen. Kasein
terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu α-kasein (55%), β-kasein (25%) dan
k-kasein (15%) dan beberapa komponen kecil τ-kasein (5%) (Fennema,
1976). Komponen kasein yang bertindak sebagai penstabil adalah kappa-
kasein. Komponen inilah yang menjaga kestabilan lateks ketika dicampur
dengan semen. Selain itu, kasein merupakan protein yang dapat
terkonsentrasi pada lapisan antar muka antara partikel karet dengan air dan
53
semen sehingga kestabilan dapat bertahan. Dengan penambahan kasein,
protein yang melindungi karet bertambah banyak karena partikel karet juga
mempunyai lapisan protein. Protein merupakan polimer asam amino yang
terdapat gugus amina dan gugus karboksilat sehingga bersifat amfoter dan
merupakan ion dipolar (Goutara et al., 1985). Sifat tersebut membuat
protein mempunyai dua muatan listrik yaitu positif dan negatif serta dapat
bereaksi dengan asam ataupun basa.
Rantai polipeptida protein memiliki konfigurasi memanjang dengan
sisi non polar yang menghadap ke partikel karet dan sisi polarnya
menghadap ke fase cair (Tangpakdee, 1998). Campuran semen lateks
dengan penambahan kasein akan lebih stabil dikarenakan kasein merupakan
protein yang sisi non polarnya menghadap ke partikel karet, sedangkan
polarnya ke fase cair. Molekul semen akan bergabung dengan fase cair yang
sama derajat kepolarannya yaitu bersifat polar.
Titik isoelektrik kasein hampir sama dengan lateks yaitu sekitar pH
4,7 (Array, 2008). Pada lateks pekat mempunyai pH 10,81 sehingga protein
bermuatan negatif. Dengan adanya kasein yang merupakan protein dan
bersifat hidrofilik (menarik air); oleh karena itu, terdapat selubung tambahan
pada bagian luarnya berupa molekul air. Semen yang bersifat hidrofilik
juga, akan bergabung dengan selubung tambahan tersebut dan partikel karet
tetap stabil karena terdapat protein dari lateks sendiri dan kasein, sehingga
campuran semen lateks tersebut akan tetap stabil dan dapat
mempertahankan waktu setting hingga hampir 210 menit.
Berdasarkan analisis ragam, jenis bahan penstabil, dosis, dan interaksi
antara jenis bahan penstabil dan dosisnya berpengaruh nyata terhadap waktu
setting. Hal ini bisa dilihat dari nilai p (< 0,0001) < α 5%. Dikarenakan
interaksi nyata maka pengaruh dari masing-masing faktor utama tidak bisa
dijelaskan secara terpisah. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran
10.1. Interaksi antara bahan penstabil dengan dosisnya berpengaruh nyata
maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan ini dapat dilihat
pada Lampiran 10.1.1.
54
Dari hasil uji lanjut interaksi dapat disimpulkan bahwa kombinasi
bahan penstabil dan dosis yang menghasilkan waktu setting terbaik adalah
kasein dengan dosis 7% sebesar 208,67 menit, karena selain paling beda
nyata juga memiliki rata-rata waktu paling tinggi. Kombinasi kedua
tertinggi adalah kasein 5% sebesar 117,67 menit yang berbeda nyata dengan
semua kombinasi yang ada. Pada emal 7% tidak berbeda nyata dengan
kasein 3% tetapi berbeda nyata dengan semua kombinasi yang ada.
Emulgen 1, 3, 5 dan 7%, Emal 1% dan 3%, serta Kasein 1% saling tidak
berbeda nyata satu dengan yang lainnya tetapi dengan sisa kombinasi
lainnya saling berbeda nyata.
Kombinasi paling rendah terdapat pada emal 1%. Pada emal 1% ini,
campuran lateks dengan semen langsung menggumpal. Hal ini menandakan
bahwa surfaktan belum cukup melindungi semua partikel karet yang ada di
dalam campuran semen lateks. Hasil ini juga dapat menyimpulkan bahwa
semakin banyak dosis bahan penstabil yang digunakan dalam lateks, maka
semakin lama campuran lateks semen dapat mempertahankan waktu setting
tersebut.
Jenis dan dosis bahan penstabil di dalam lateks mempengaruhi waktu
setting sebesar 99,66%, sedangkan sisanya 0,34% dijelaskan oleh faktor lain
diluar model. Dari hasil analisis ragam juga disebutkan nilai CV atau yang
disebut koefisien keragaman. Nilai CV yang ada sebesar 13,84 yang lebih
kecil daripada 30, maka dapat disimpulkan bahwa data relatif homogen.
4.2 Analisis Lateks
Pertama lateks dibuat terlebih dahulu dengan cara yang telah
ditetapkan sebelumnya, setelah lateks tersebut siap, maka lateks perlu
dianalisis terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan tambahan pada
mortar. Analisis lateks tersebut penting dilakukan pada masing-masing jenis
lateks untuk mengetahui sifat dari lateks tersebut. Berikut ini uraian analisis
dari setiap jenis lateks.
55
4.2.1 Lateks Pekat
Lateks pekat yang digunakan pada penelitian ini merupakan lateks
pekat sentrifugasi. Pemilihan proses pemekatan dengan cara sentrifugasi ini
bukan dengan cara pendadihan dikarenakan lateks pekat yang dihasilkan
dengan cara sentrifugasi akan menghasilkan lebih sedikit mengandung
bahan-bahan bukan karet dibandingkan dengan lateks dadih. Selain itu juga,
lateks pekat sentrifugasi menghasilkan lateks lebih murni (tidak tercampur
dengan endapan dan kotoran) dibandingkan dengan cara lainnya. Lateks ini
ditambahkan dengan amonia sebagai penstabil, sehingga dapat disimpan
dalam waktu lama dan dapat mempertahankan kemantapan lateks. Lateks
pekat yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian seperti kadar
alkalinitas, KJP, KKK, pH, bilangan KOH, Waktu Kemantapan Mekanik
(WKM), viskositas brookfield, bilangan ALE dan kadar nitrogen. Hasil
analisis lateks pekat terdapat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil analisis lateks pekat
Pengujian Lateks Pekat
Syarat SNI 06-3139-1992
Kadar Alkalinitas / NH3 (%) 0,82 Min 0,60 KJP (%) 61,46 61,5 KKK (%) 59,98 60 Selisih KKK dengan KJP (%) 1,48 Max 2 pH 10,81 - Bilangan KOH 0,585 Max 0,8 WKM (Detik) 780 Min 650 Viskositas (cp) 97 - Bilangan ALE 0,022 Max 0,2 Kadar Nitrogen 0,1 -
Berdasarkan hasil analisis lateks pekat yang telah dilakukan terlihat
bahwa kadar alkalinitas/amonia adalah sebesar 0,82%. Standar SNI
mensyaratkan kadar alkalinitas minimum 0,60% untuk lateks pekat yang
disentrifugasi dengan amonia tinggi. Hal ini berarti lateks pekat yang
digunakan telah memenuhi standar SNI. Kadar amonia yang tinggi tersebut
akan menyebabkan kestabilan lateks pekat tetap terjaga. Tingginya kadar
56
amonia tersebut disebabkan oleh penambahan amonia ke dalam lateks pada
saat sebelum sentrifugasi. Amonia di dalam lateks akan menyebabkan
peningkatan muatan negatif pada permukaan partikel karet, sehingga
menimbulkan gaya tolak-menolak antar partikel karet yang selanjutnya
sistem koloid menjadi mantap dan tidak terjadi penggumpalan.
KKK yang dihasilkan oleh lateks pekat tersebut sebesar 59,98% dan
KJP yang dihasilkan sebesar 61,46%. Selisih antara KKK dan KJP tersebut
sebesar 1,48%. Hasil ini masih dibawah standar SNI, tetapi perbedaannya
sangat kecil sekali. Lateks pekat ini tetap diperbolehkan digunakan.
Penggunaan lateks didasarkan pada jumlah karet bukan berdasarkan jumlah
lateks.
Jumlah padatan terdiri dari bagian karet kering ditambah dengan
padatan yang terlarut dalam serum, sehingga dengan demikian KJP selalu
lebih besar daripada KKK (Goutara et al., 1985). Dari hasil analisis
memang benar didapatkan KJP lebih besar daripada KKK. Kadar karet
kering menunjukkan persentase jumlah partikel karet yang terkandung
dalam lateks. Jumlah kadar karet kering ini amat berpengaruh terhadap sifat
kelenturan dari produk lateks yang dihasilkan.
Dari hasil ini juga didapatkan nilai pH sebesar 10,81. Nilai pH ini
menandakan bahwa lateks berbentuk cair dan stabil dengan mempunyai
muatan listrik negatif. Dengan adanya amonia yang tinggi dalam lateks,
maka nilai pH semakin meningkat sehingga lateks semakin stabil. Tujuan
penentuan bilangan KOH adalah untuk mengukur kekuatan ion dalam
serumnya dengan adanya larutan mekanik (Goutara et al., 1985). Standar
SNI untuk bilangan KOH adalah maksimum 0,80 g KOH per 100 g padatan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa lateks pekat yang dihasilkan memiliki
bilangan KOH 0,585 g KOH per 100 g padatan, sehingga lateks pekat yang
dihasilkan tersebut telah memenuhi persyaratan SNI.
Uji waktu kemantapan mekanik dilakukan untuk mengetahui
ketahanan karet terhadap gaya sobek. Dari hasil analisis lateks pekat
didapatkan nilai WKM sebesar 780 detik. Hasil ini telah memenuhi standar
SNI, yaitu minimal 650 detik. Pengujian selanjutnya adalah uji viskositas
57
brookfield, dari hasil analisis didapatkan bahwa lateks pekat yang dihasilkan
mempunyai viskositas sebesar 97 cp. Viskositas ini menunjukan kekentalan
dari suatu lateks. Semakin tinggi nilai viskositas, maka lateks semakin
kental.
Bilangan asam lemak eteris diukur untuk melihat jumlah asam lemak
menguap yang dihasilkan dari kerusakan bahan bukan karet oleh
mikroorganisme (Goutara et al.,1985). Bilangan tersebut merupakan uji
khusus yang menggambarkan tingkat pengawetan yang telah dilakukan pada
lateks dan juga mengindikasikan umur dan mutu dari lateks pekat. Hasil
analisis menunjukkan nilai ALE sebesar 0,022 g KOH per 100 g total
padatan. Hasil ini sudah memenuhi standar SNI, yaitu maksimal 0,2 g KOH
per 100 g total padatan. Bilangan ALE ini dihasilkan dari aktivitas
mikroorganisme terhadap bahan bukan karet. Mikroorganisme tersebut akan
menguraikan senyawa karbohidarat atau protein dalam lateks menjadi asam
lemak eteris, seperti asam format, asam asetat dan asam propionat. Asam-
asam ini mengakibatkan penurunan pH, sehingga menganggu kestabilan
lateks dan dapat menggumpalkan lateks.
Pengujian yang terakhir adalah kadar nitrogen. Hasil analisis kadar
nirogen sebesar 0,10%. Dari analisis kadar nitrogen ini, maka dapat
diketahui jumlah protein yang terdapat dalam lateks pekat ini. Kadar protein
dapat dihitung dengan kadar nitrogen dikalikan dengan faktor 6,25. Kadar
nitrogen lateks pekat sentrifugasi ini lebih rendah daripada lateks kebun,
begitu pula dengan kadar proteinnya. Hal ini dikarenakan dalam proses
pemekatan dari lateks kebun menjadi lateks pekat, fraksi-fraksi non karet
terpisahkan dan terbuang sebagai limbah berupa serum dan skim. Selain itu,
penambahan amonia yang tinggi dapat mendegradasi protein dalam lateks,
sehingga akan mengurangi kadar protein dalam lateks tersebut.
4.2.2 Lateks Double Centrifuge (Lateks DS)
Lateks DS ini disebut juga dengan lateks karbohidrat rendah, karena
karbohidrat yang dimiliki lateks DS lebih rendah dibandingkan dengan
lateks pekat. Pembuatan lateks DS ini dengan menggunakan lateks pekat
58
yang sama dari yang sebelumnya. Pembuatan lateks DS dapat dilihat pada
Gambar 19. Lateks DS ini dibuat dengan cara mensentrifugasi ulang lateks
pekat sebelumnya. Dengan sentrifugasi ulang ini bahan-bahan non karet
semakin berkurang dibandingkan dengan lateks pekat karena proses
pemekatan dilakukan sebanyak dua kali sehingga semakin banyak fraksi-
fraksi non karet yang terpisahkan dan terbuang sebagai limbah berupa serum
dan skim. Selain karbohidrat yang berkurang, kadar protein dalam lateks
juga ikut berkurang. Hasil analisis lateks DS dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Analisis Lateks DS
Pengujian Lateks DS
Kadar Alkalinitas / NH3 (%) 0,22 KJP (%) 59,3 KKK (%) 59,3 pH 10,31 Bilangan KOH 0,244 Waktu Kemantapan Mekanik (Detik) 1590 Viskositas (cp) 129,2 Bilangan ALE 0,012 Kadar Nitrogen 0,06
Berdasarkan hasil analisis lateks DS, didapatkan nilai kadar
alkalinitas/amonia sebesar 0,22%. Nilai ini jauh dibawah kadar amonia
lateks pekat. Amonia yang rendah ini dapat dikarenakan terjadinya
pengenceran sebelum dilakukan proses sentrifugasi ulang dan juga terjadi
pengurangan selama proses sentrifugasi. Selain itu, dapat pula dikarenakan
amonia ikut terbawa pada skim yang dihasilkan dari proses sentrifugasi.
Nilai KJP dan KKK yang dihasilkan sama, yaitu sebesar 59,3%. Nilai
ini di bawah nilai KJP dan KKK dari lateks pekat. Hal ini mungkin
diakibatkan dari proses sentrifugasi yang kurang sempurna, karena alat
kurang memberikan kemampuan rotasi yang relatif stabil untuk
memisahkan serum dari partikel lateks atau juga kecepatan dalam
sentrifugasi yang rendah. Walaupun demikian, lateks ini masih tetap
digunakan sebagai bahan tambahan pada mortar, karena dalam
59
pencampuran didasarkan pada jumlah karet bukan jumlah lateks dan yang
terpenting dari lateks DS ini adalah bahan-bahan non karetnya yang semakin
berkurang. Untuk nilai pH yang dihasilkan masih tergolong tinggi dan tidak
jauh berbeda dengan lateks pekat, yaitu sebesar 10,31. Dengan tingginya pH
ini maka lateks dalam keadaan stabil dan bermuatan negatif. Partikel karet
ini saling tolak menolak akibat dari muatan listrik yang sama sehingga
lateks dalam keadaan mantap. Nilai KOH yang dihasilkan lateks DS ini
sebesar 0,244 g KOH per 100 g padatan. Hal ini berarti lateks DS memenuhi
persyaratan SNI lateks pekat yaitu maksimal 0,80 KOH g per 100 g padatan.
Waktu kemantapan mekanik adalah sebesar 1.590 detik. Hal ini
menandakan bahwa ketahanan karet terhadap daya sobek lebih lama bila
dibandingkan dengan lateks pekat. Waktu kemantapan mekanik ini
cenderung menurun jika mendapat perlakukan mekanik seperti pengadukan.
Analisis selanjutnya adalah viskositas. Nilai viskositas yang dihasilkan dari
lateks DS adalah 129,2 cp. Hal ini berarti lateks DS dalam keadaan kental.
Bilangan ALE yang dihasilkan dari lateks DS ini sebesar 0,012 g
KOH per 100 g total padatan. Bilangan ini sudah memenuhi standar SNI
lateks pekat yaitu maksimal sebesar 0,2 g KOH per 100 g total padatan.
Bilangan ALE pada lateks DS lebih rendah dibandingkan dengan lateks
pekat. Hal ini berarti mutu lateks DS lebih bagus dibandingkan dengan
lateks pekat. Bilangan ALE mempengaruhi kemantapan mekanik lateks,
yaitu semakin tinggi bilangan ALE, semakin rendah kemantapan
mekaniknya. Hal ini dapat dilihat pada WKM lateks pekat lebih rendah
dibandingkan dengan WKM lateks DS karena bilangan ALE lateks pekat
lebih tinggi dibandingkan dengan lateks DS. Hal ini berarti lateks pekat
lebih banyak mikroorganisme yang bekerja dalam lateks tersebut
dibandingkan dengan lateks DS.
Kadar nitrogen yang terdapat pada lateks DS adalah sebesar 0,06%.
Jumlah ini lebih rendah bila dibandingkan dengan lateks pekat. Hal ini dapat
disebabkan karena proses sentrifugasi yang berulang sehingga semakin
banyak bahan non karet seperti karbohidrat dan juga protein yang terbuang
bersama serum dan skim.
60
4.2.3 Lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber)
Lateks alam berprotein rendah adalah lateks alam yang kadar
nitrogennya telah diturunkan semaksimal mungkin melalui proses
deproteinasi. Proses pembuatan lateks DPNR ini menggunakan enzim
papain. Menurut Alfa (2003), papain ini berfungsi sebagai enzim proteolitik
untuk menghidrolisis protein lateks, sehingga jumlah protein dalam lateks
akan berkurang. Pada pembuatan lateks DPNR ini dibuat dengan
menggunakan lateks kebun dan terakhir juga mengalami proses sentrifugasi
sama seperti lateks pekat. Hasil analisis dari lateks DPNR ini dapat dilihat
pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Analisis Lateks DPNR
Pengujian Lateks DPNR Alfa (2003)
Kadar Alkalinitas / NH3 (%) Tidak ada
(Sindur/Orange) 0,07 KJP (%) 62,62 60,5 KKK (%) 62,26 59,5 pH 5,99 - Bilangan KOH 0 - WKM (Detik) 30 320 Viskositas (cp) 346 - Bilangan ALE 0,362 0,12 Kadar Nitrogen 0,02 0,08
Dalam pembuatan lateks DPNR ini menggunakan amonia dalam
jumlah yang kecil (0,2%) terhadap lateks kebun untuk menjaga kestabilan
lateks dalam proses pembuatannya. Tetapi pada saat dianalisis, lateks DPNR
tersebut tidak mempunyai kadar amonia (sindur/orange). Hal ini dapat
disebabkan amonia telah menguap selama proses pembuatan lateks DPNR
dan juga dapat hilang pada waktu proses sentrifugasi lateks tersebut.
Kadar karet kering yang dihasilkan pada lateks DPNR tersebut adalah
sebesar 61,92%. Nilai tersebut lebih besar daripada lateks DPNR yang
dihasilkan oleh Alfa (2003) yaitu sebesar 59,5% dan juga nilai KKK ini
lebih tinggi bila dibandingkan dengan lateks pekat dan DS. Hal ini berarti
jumlah karet yang terkandung di dalam suspensi lateks lebih banyak
61
dibandingkan dengan yang lainnya. Kadar jumlah padatan yang dihasilkan
oleh lateks DPNR ini adalah sebesar 62,62% dan juga lebih besar dari lateks
DPNR yang dihasilkan oleh Alfa (2003) yaitu sebesar 60,5%. Nilai KJP ini
juga lebih tinggi dibandingkan dengan lateks pekat dan DS. Nilai KJP lateks
DPNR ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai KKK. Hal ini karena KJP
mengandung padatan yang terdapat dalam lateks termasuk partikel bukan
karet.
Nilai pH yang dihasilkan oleh lateks DPNR adalah sebesar 5,99.
Meskipun nilai pH ini paling rendah dibandingkan dengan lateks pekat dan
DS, namun nilai ini masih di atas pH titik isoelektrik dari karet, sehingga
lateks masih dalam keadaan stabil. Dengan pH masih di atas pH titik
isoelektrik karet, maka lateks bemuatan negatif. Bilangan KOH yang
dihasilkan oleh lateks DPNR adalah nol. Hal ini dikarenakan lateks ini tidak
mempunyai kadar alkalinitas/amonia sehingga nilai bilangan KOH tidak
dapat dihitung.
Waktu kemantapan mekanik yang dimiliki oleh lateks ini sebesar 30
detik. Nilai ini jauh dibawah lateks DPNR yang dihasilkan Alfa (2003) yaitu
sebesar 320 detik. Nilai WKM lateks DPNR lebih rendah dibandingkan
dengan lateks pekat dan DS. Hal ini berarti lateks tidak dapat bertahan lama
untuk ketahanan terhadap daya sobek.
Pada pengujian viskositas, didapatkan viskositas brookfield adalah
sebesar 346 cp. Semakin tinggi KKK di dalam lateks maka kekentalan
lateks akan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat KKK pada lateks
DPNR paling tinggi sehingga mempunyai nilai viskositas paling tinggi pula.
Dengan begitu lateks DPNR paling tinggi kekentalannya dibandingkan
dengan lateks lainnya. Bilangan ALE yang diukur sebesar 0,362 g KOH per
100 g total padatan. Nilai ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan
lateks DPNR yang dihasilkan oleh Alfa (2003) sebesar 0,12. Bilangan ALE
pada lateks DPNR paling tinggi dibandingkan dengan lateks pekat dan DS.
Tingginya bilangan ALE ini menandakan lateks sudah tidak segar dan
banyak mikroorganisme yang terdapat dalam lateks. Hal ini berarti lateks
DPNR paling rendah mutunya dibandingkan dengan lateks lainnya.
62
Semakin tinggi bilangan asam lemak eteris juga semakin rendah waktu
kemantapan mekanisnya. Hal ini terbukti dengan WKM pada lateks DPNR
yang paling rendah dibandingkan dengan lateks pekat dan DS.
Pengujian yang terakhir adalah kadar nitrogen. Kadar nitrogen yang
dihasilkan oleh lateks ini sebesar 0,02% lebih rendah bila dibandingkan
dengan lateks DPNR yang dihasilkan Alfa (2003) sebesar 0,08%.
Rendahnya kadar nitrogen ini disebabkan karena terdapat penambahan
enzim papain yang dapat menghidrolisis protein lateks dan juga karena
terdapat proses sentrifugasi. Pada proses sentrifugasi, senyawa nitrogen
hasil hidrolisis protein yang larut dalam air akan terbuang bersama serum.
Kadar nitrogen lateks DPNR ini paling rendah dibandingkan dengan lateks
pekat dan DS.
4.3 Analisis Semen
Semen amat penting peranannya dalam pembuatan mortar. Fungsi
utama dari semen adalah mengikat agregat-agregat yang ada dan mengisi
rongga-rongga udara yang terdapat dalam agregat tersebut. Semen yang
digunakan pada pembuatan mortar ini adalah semen portland komposit
dengan merk dagang Holcim. Kandungan semen yang ada akan menentukan
sifat dari mortar yang dihasilkan termasuk sifat kekuatannya. Sebelum
digunakan semen ini dianalisis terlebih dahulu. Pengujian yang dilakukan
terhadap semen ini adalah konsistensi normal dan waktu pengikatan awal
(initial setting time).
Konsistensi normal menunjukkan jumlah air yang dibutuhkan semen
untuk melakukan hidrasi dan sedikit sebagai pelumas. Dari analisis, semen
Holcim mempunyai nilai konsistensi normal sebesar 30,4%. Menurut
Mulyono (2003), jumlah air yang dibutuhkan untuk proses hidrasi adalah
sekitar 25% dari bobot semen yang digunakan. Nilai tersebut di atas nilai
yang dinyatakan oleh Mulyono. Hal ini berarti lebih banyak air yang
dibutuhkan oleh semen Holcim tersebut untuk melakukan hidrasi.
Konsistensi normal berpengaruh pada saat pencampuran awal, yaitu ketika
terjadinya pengikatan sampai pada saat mortar mengeras.
63
Pengujian semen selanjutnya adalah uji waktu pengikatan awal.
Pengujian ini menggunakan kebutuhan air sesuai dengan uji konsistensi
normal. Dari analisis yang telah dilakukan, waktu pengikatan awal semen
adalah sebesar 182 menit. Waktu pengikatan awal adalah waktu dari
pencampuran semen dengan air menjadi pasta semen sampai terjadi
kehilangan sifat keplastisan dan biasanya berkisar antara satu sampai dua
jam (Mulyono, 2003). Waktu hasil analisis lebih tinggi daripada Mulyono.
Hal ini berarti waktu yang diperlukan semen sampai hilang sifat
keplastisannya lebih lama dibandingkan dengan biasanya. Hal ini bagus
karena proses pencampuran bahan sampai pencetakan lebih lama daripada
yang biasanya. Waktu yang panjang diperlukan untuk transportasi,
penuangan, pemadatan, dan penyelesaiannya (finishing). Waktu ikat yang
lama ini juga dikarenakan semen yang digunakan merupakan semen
portland komposit. Di dalam semen tersebut mengandung bahan abu
terbang (fly ash) yang dapat memperlambat waktu ikat.
Sebelum dilakukan penelitian utama, maka dilakukan pencarian
kandungan air yang sesuai dengan campuran mortar lateks. Kandungan air
yang terdapat di dalam campuran tersebut dapat dilihat dari workability
yang dihasilkan. Apabila workability yang dihasilkan kurang baik, maka
akan ditambahkan air sedikit demi sedikit sampai workability tercapai.
Workability menunjukkan kemudahan mortar segar untuk diaduk dan
dicetak. Hal ini amat dipengaruhi oleh banyaknya air yang digunakan di
dalam campuran tersebut. Penggunaan air untuk tiap jenis lateks dan dosis
karet berbeda-beda tergantung pada workability dari mortar segar yang
dihasilkan.
Penggunaan air yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan
pengurangan kekuatan, khususnya kuat tekan pada mortar, sedangkan
apabila penggunaan air yang terlalu sedikit, maka akan mengakibatkan
kesulitan dalam pengerjaannya (workability rendah). Menurut Mulyono
(2003), nilai perbandingan air dengan semen yang baik adalah berkisar
antara 40 – 70%. Workability pada penelitian ini hanya dilihat dengan
pengamatan visual saja secara langsung dan dipengaruhi oleh nilai
64
perbandingan air dengan semen (FAS). Nilai FAS dan pengamatan
workability pada mortar segar dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Nilai FAS dan Workability pada mortar segar yang dihasilkan
Jenis Lateks Dosis Karet (%) Nilai FAS (%) Workability Kontrol 0 55 Baik
Lateks Pekat
1 3 5 7 9
60 60 55 55 55
Baik Baik Baik Baik Baik
Lateks DS
1 3 5 7 9
60 55 50 45 45
Baik Baik Baik Baik Baik
Lateks DPNR
1 3 5 7 9
65 65 60 55 55
Baik Baik Baik Baik Baik
Catatan: Workability dikatakan baik ketika nilai FAS antara 40 – 70%
Nilai FAS yang diperlukan untuk mortar yang tidak ditambahkan
lateks sebesar 55%. Mortar segar yang dihasilkan dari penambahan lateks
pekat pada dosis karet 5, 7 dan 9% membutuhkan FAS yang sama dengan
mortar tanpa penambahan lateks, sedangkan pada dosis karet 1 dan 3%
membutuhkan FAS yang lebih tinggi dibandingkan dengan mortar tanpa
penambahan lateks, yaitu sebesar 60%. Pada lateks DS, nilai FAS yang
sama dengan kontrol adalah pada dosis 3%, sedangkan pada dosis 5, 7 dan
9%, nilai FAS yang dibutuhkan di bawah kontrol. Pada dosis 1%, nilai FAS
yang dibutuhkan oleh mortar yang ditambahkan dengan lateks DS sebesar
60%. Pada lateks DPNR, dosis karet 1, 3 dan 5% membutuhkan nilai FAS
lebih tinggi dibandingkan kontrol yaitu sebesar 65% untuk dosis karet 1 dan
3% dan 60% untuk dosis karet 5%. Dosis karet DPNR 7 dan 9%
membutuhkan nilai FAS yang sama dengan kontrol.
65
Workability yang dihasilkan dari semua penambahan jenis lateks dan
dosis karet pada mortar segar dapat tercapai dan tidak melebihi 70% yang
dapat mengakibatkan penurunan kekuatan pada mortar yang dihasilkan. Hal
ini berarti dalam pembuatan mortar terdapat kemudahan dalam
pengerjaannya atau workability tidak rendah. Workability tersebut dapat
tercapai karena semen yang digunakan merupakan semen portland komposit
yang didalamnya mengandung kalsium karbonat yang dapat meningkatkan
workability, menurunkan bleeding dan juga mengurangi kebutuhan air yang
digunakan. Selain itu, juga terdapat bahan silica fume yang juga dapat
mengurangi bleeding. Bleeding adalah air akan berada di atas adukan
setelah beberapa saat dan dapat juga meningkatkan penguapan air yang
akhirnya dapat menimbulkan retak-retak (Hidayat, 2009). Pada mortar ini
tidak terjadi bleeding.
Dari hasil nilai FAS ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi KKK
pada lateks, maka semakin tinggi pula FAS yang dibutuhkan. Nilai FAS ini
juga dipengaruhi oleh tekstur agregat halus yang digunakan. Apabila tekstur
yang digunakan halus maka lebih sedikit air yang digunakan. Dengan
demikian, kekuatan akan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan air
yang banyak.
4.4 Penelitian Utama
Mortar dibuat dengan menggunakan semen, pasir dan air. Pada
penelitian ini, mortar yang dibuat akan ditambahkan lateks ke dalam
campuran tersebut. Bahan-bahan yang akan digunakan disiapkan terlebih
dahulu dan dilakukan penimbangan. Penimbangan bahan-bahan tersebut
berdasarkan perbandingan bobot karena lebih akurat dan spesifik
dibandingkan dengan perbandingan volume. Setelah bahan-bahan tersebut
siap, maka pencampuran semen dan pasir dilakukan terlebih dahulu supaya
lebih homogen. Apabila semen dan pasir tidak tercampur merata, maka
dapat mengakibatkan adanya bagian yang terlalu keras, tetapi ada bagian
lain yang lembek atau mudah rontok (Hidayat, 2009). Setelah semen dan
pasir tercampur merata, maka larutan lateks siap ditambahkan ke dalam
66
campuran tersebut. Campuran tersebut diaduk dan selanjutnya mortar segar
siap untuk dicetak.
Selama penuangan mortar segar ke dalam cetakan, udara akan ikut
masuk ke dalam cetakan tersebut. Oleh sebab itu, untuk memperkecil
kandungan rongga udara yang terjebak dalam mortar, maka selama proses
penuangan harus disertai dengan pemadatan. Banyaknya rongga udara di
dalam mortar akan mengakibatkan penurunan kekuatan tekan. Proses
pemadatan dilakukan sebelum terjadinya initial setting time. Setelah mortar
padat, maka dilakukan pembukaan cetakan. Setelah itu, proses curing
dilakukan selama 28 hari. Proses tersebut bertujuan agar proses hidrasi tidak
mengalami gangguan yang dapat mengakibatkan kehilangan air yang terlalu
cepat, sehingga mortar mengalami keretakan. Proses curing ini dilakukan
setelah terjadinya final setting time.
Pengujian yang dilakukan adalah bobot, kuat tekan dan kuat lentur
mortar yang telah dibuat dari setiap jenis lateks dengan dosis yang berbeda-
beda. Bobot yang ditimbang adalah bobot awal dan bobot akhir mortar
tersebut.
4.4.1 Pengaruh Lateks Terhadap Bobot Mortar
Bobot mortar dipengaruhi oleh susunan dan kandungan zat-zat yang
menyusun di dalamnya. Bahan yang akan mempengaruhi bobot adalah
agregat, semen dan lateks. Agregat itu sendiri disebut juga pasir. Agregat
secara alami mempunyai rongga-rongga udara di dalamnya atau yang
disebut juga pori-pori bawaan. Dengan adanya semen, maka pori-pori
tersebut akan terisi oleh semen. Oleh karena itu, jumlah semen yang
digunakan dalam mortar akan menentukan bobot mortar. Apabila komposisi
perbandingan semen dengan pasir tidak tepat, maka terdapat pori bawaan
yang tidak terisi oleh semen. Hal ini mengakibatkan bobot mortar semakin
ringan karena terdapat banyak rongga-rongga udara di dalam mortar. Selain
itu, banyak tidaknya rongga udara di dalam mortar amat ditentukan oleh
proses pencetakan mortar segar. Dalam proses penuangan mortar segar ke
dalam cetakan, udara akan ikut masuk ke dalam ruangan cetakan tersebut.
67
Oleh sebab itu, untuk memperkecil kandungan udara yang terjebak di dalam
mortar selama proses penuangan maka perlu dilakukan pemadatan. Apabila
pemadatan ini tidak dilakukan ataupun kurang, maka udara yang ada di
dalam mortar akan bertambah dan mengakibatkan bobot mortar menjadi
ringan dan kekuatan menurun. Lateks juga akan mempengaruhi bobot
mortar. Lateks yang mempunyai banyak ikatan silang di dalamya akan
menghasilkan densitas lateks itu sendiri besar. Semakin banyak ikatan
silang di dalam lateks maka, semakin besar densitasnya. Dengan besarnya
densitas di dalam lateks, maka bobot mortar yang dihasilkan semakin berat.
Pada penelitian ini, lateks yang digunakan tidak terdapat ikatan silang
sehingga bobot mortar yang dihasilkan lebih rendah daripada kontrol.
Hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap bobot awal mortar
dapat dilihat pada Gambar 23, sedangkan hubungan dosis karet dan jenis
lateks terhadap bobot akhir dapat dilihat pada Gambar 24. Data lengkap
pengamatan tentang bobot awal dan bobot akhir mortar dapat dilihat pada
Lampiran 11, 12 dan 13. Berdasarkan data pengamatan tersebut, terlihat
bahwa bobot akhir mortar akan lebih berat dibandingkan dengan bobot awal
mortar. Hal ini disebabkan bobot akhir mortar telah mengalami proses
curing selama 28 hari. Selain itu juga, pada bobot akhir telah mengalami
proses hidrasi lebih lama dibandingkan dengan bobot awal. Dengan semakin
lama proses hidrasi maka semakin berat bobot mortar yang dihasilkan. Hal
ini karena semakin banyak ikatan yang terjadi di dalam mortar dan semakin
banyak semen yang mengeras. Pada awalnya, pasta semen akan menyimpan
air yang berada dalam pori-pori kapiler. Reaksi hidrasi berjalan secara terus-
menerus, sehingga lama-kelamaan jumlah air menipis. Hal ini
mengakibatkan kandungan pori-pori kapiler akan berkurang sejalan
bertambahnya umur mortar. Dengan berkurangnya jumlah pori-pori kapiler,
maka bobot yang dihasilkan akan semakin berat.
Penurunan bobot pada lateks pekat lebih banyak dengan semakin
bertambahnya dosis karet dibandingkan dengan lateks DS dan lateks DPNR.
Hal ini mungkin karena lateks pekat tidak dilakukan modifikasi, seperti
lateks DS dan lateks DPNR. Dengan demikian, lateks pekat masih
68
mengandung bahan-bahan non karet yang lebih banyak dibandingkan
dengan lateks lainnya. Seperti yang telah diketahui bahwa lateks DS
mengandung karbohidrat dan protein yang lebih rendah dibandingkan
dengan lateks pekat, sedangkan lateks DPNR mengandung kadar protein
yang lebih rendah pula. Pada bobot mortar lateks DS dan lateks DPNR tidak
terlalu tinggi penurunan terhadap bobot dengan semakin meningkatnya
dosis karet.
Gambar 23. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap
bobot awal mortar
Gambar 24. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap
bobot akhir mortar
69
Lateks yang berada di fase sinambung bersama semen akan memutus
ikatan antar semen. Hal ini mengakibatkan bobot mortar lebih rendah,
karena terdapat lateks yang memiliki densitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan semen. Berat jenis semen berkisar antara 3050 kg/m3
sampai 3250 kg/m3 (Mulyono, 2003), sedangkan berat jenis lateks 0,945
g/cm3 (Gountara et al., 1985). Perbedaan berat jenis tersebut akan
mempengaruhi bobot mortar yang dihasilkan. Berdasarkan data pengamatan
didapatkan bahwa penambahan lateks akan membuat bobot semakin ringan
dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan lateks. Hal tersebut dapat
terjadi karena dengan penambahan lateks, maka terdapat rongga-rongga
udara yang berada di dalam agregat akan terisi oleh lateks yang mempunyai
densitas lebih rendah dibandingkan dengan semen. Dengan demikian, bobot
yang dihasilkan lebih ringan dibandingkan dengan mortar tanpa
penambahan lateks yang mengisi rongga-rongga udara tersebut dengan
semen yang memiliki densitas lebih tinggi.
Untuk mengetahui pengaruh dosis karet dan jenis lateks terhadap
bobot mortar, maka dilakukan analisis keragaman. Hasil analisis keragaman
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 14.1 untuk bobot awal dan Lampiran
15.1 untuk bobot akhir. Berdasarkan analisis ragam, jenis lateks, dosis karet
dan interaksi jenis lateks dengan dosis karet berpengaruh nyata terhadap
bobot awal mortar, begitu pula sama halnya dengan bobot akhir mortar. Hal
ini bisa dilihat dari nilai p < α 5%. Pada bobot awal mortar mempunyai nilai
R2 sebesar 88,49% artinya 88,49% keragaman dari bobot awal mampu
dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model (jenis lateks dan dosis karet),
sedangkan sisanya 11,51% dijelaskan oleh faktor lainnya di luar model.
Nilai koefisien keragaman dari bobot awal mortar sebesar 2,45 yang artinya
data relatif homogen.
Nilai R2 yang dimiliki oleh bobot akhir mortar sebesar 89,32% yang
artinya 89,32% keragaman dari bobot akhir mampu dijelaskan oleh faktor-
faktor dalam model (jenis lateks dan dosis karet), sedangkan sisanya
10,68% dipengaruhi oleh faktor lainnya di luar model tersebut. Untuk nilai
koefisien keragaman dari bobot akhir mortar sebesar 2,43 yang artinya data
70
relatif homogen. Analisis keragaman untuk bobot awal dan bobot akhir
mortar menunjukkan berpengaruh nyata maka dapat dilanjutkan dengan uji
lanjut Duncan.
Hasil uji lanjut Duncan bobot awal mortar dapat dilihat pada
Lampiran 14.1.1 – 14.1.3, sedangkan uji lanjut bobot akhir mortar dapat
dilihat pada Lampiran 15.1.1 – 15.1.3. Berdasarkan uji lanjut bobot awal,
lateks DS tidak berbeda nyata dengan lateks DPNR, sedangkan lateks
DPNR tidak berbeda nyata dengan lateks pekat. Bobot yang paling tinggi
nilainya terdapat pada lateks DS sebesar 261,25 g. Dosis karet 1, 3 dan 5%
saling tidak berbeda nyata, sedangkan dosis karet 7 % dan 9% juga saling
tidak berbeda nyata. Dosis karet 1% menghasilkan bobot tertinggi sebesar
268,70 g. Bobot awal mortar dengan kombinasi lateks DS 3% tidak berbeda
nyata dengan lateks DS 1%, lateks pekat 1% dan lateks DPNR 5% dan
mempunyai nilai bobot hampir sama serta lebih tinggi bobotnya
dibandingkan dengan yang lainnya. Kombinasi lateks DS 7%, lateks pekat
7% dan lateks pekat 9% saling tidak berbeda nyata dan mempunyai nilai
yang hampir sama dengan bobot terendah dibandingkan dengan dosis
lainnya.
Untuk uji lanjut bobot akhir mortar didapatkan bahwa lateks DS
berbeda nyata dengan lateks DPNR dan lateks pekat, lateks pekat tidak
berbeda nyata dengan lateks DPNR. Mortar dengan penambahan lateks DS
mempunyai bobot tertinggi sebesar 266,70 g, sedangkan dosis karet
tertinggi dihasilkan pada dosis karet 1% sebesar 272,83 g. Dosis karet 1%
dan 3% saling tidak berbeda nyata tetapi mempunyai nilai bobot akhir yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Pada dosis karet 3% dan 5%
saling berbeda nyata, sedangkan dosis karet 7% dan 9% juga tidak berbeda
nyata. Nilai bobot akhir mortar paling rendah terdapat pada dosis 9% dan
7% dan mempunyai nilai yang hampir sama.
Berdasarkan hasil yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan
semakin banyak dosis karet yang ditambahkan ke dalam campuran mortar,
maka bobot yang dihasilkan akan semakin ringan (Gambar 25 dan 26).
71
Mortar dengan penambahan lateks tersebut akan lebih ringan bobotnya
dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 25. Grafik antara bobot awal mortar (g) dan dosis karet yang
ditambahkan (%)
Gambar 26. Grafik antara bobot akhir mortar (g) dan dosis karet yang
ditambahkan (%)
Persamaan hubungan antara bobot awal mortar dan dosis karet yang
ditambahkan ke dalam mortar yaitu y = -3,592x + 274,6 dengan nilai R2
sebesar 92%, sedangkan persamaan hubungan antara bobot akhir mortar dan
dosis karet yaitu y = -3,687x + 279,1 dengan nilai R2 sebesar 92,6%.
72
Peningkatan dosis karet yang digunakan sebanyak satu persen akan
menurunkan bobot awal mortar sebesar 3,592 gram dan bobot akhir mortar
sebesar 3,687 gram. Dosis karet di dalam lateks mempengaruhi bobot awal
mortar sebesar 92%, sementara 8% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain,
sedangkan dosis karet mempengaruhi bobot akhir mortar sebesar 92,6% dan
7,4% dipengaruhi faktor lain.
4.4.2 Pengaruh Lateks Terhadap Kuat Tekan
Kuat tekan merupakan sifat mortar yang perlu diperhatikan. Pengujian
terhadap kuat tekan dilakukan pada umur 28 hari. Alasan diuji pada umur
tersebut dikarenakan kuat tekan paling tinggi terdapat pada umur 28 hari
dibandingkan dengan umur 7, 14 dan 21 hari. Semakin lama umur mortar,
semakin tinggi kuat tekannya (Hidayat, 2009). Pori-pori kapiler yang berada
di dalam mortar juga akan mempengaruhi kuat tekan dari mortar tersebut.
Semakin banyak pori-pori kapiler di dalam mortar, maka kuat tekan akan
semakin menurun. Dengan semakin bertambahnya umur mortar, maka
kandungan pori-pori kapiler di dalam mortar berkurang.
Kuat tekan menunjukkan beban maksimum yang dapat diterima oleh
mortar tersebut. Beban maksimum yang didapat kemudian akan dibagi
dengan luas permukaan yang menerima gaya tekan tersebut, sehingga nilai
yang didapat merupakan nilai kuat tekan. Kuat tekan mortar dipengaruhi
oleh nilai FAS, struktur penyusun mortar dan jenis semen yang digunakan.
Semen yang digunakan ini mengandung abu terbang (fly ash) yang
memberikan pengaruh pada penambahan kuat tekan akhir.
Pengaruh jenis lateks dan dosis karet terhadap kuat tekan mortar dapat
diketahui melalui analisis keragaman. Data hasil pengujian kuat tekan dapat
dilihat pada Lampiran 11, 12 dan 13, sedangkan analisis ragam pada
Lampiran 16.1. Berdasarkan analisis keragaman tersebut, jenis lateks dan
dosis karet berpengaruh nyata terhadap kuat tekan mortar. Hal ini bisa
dilihat pada nilai p < α 5%, sedangkan interaksi jenis lateks dan dosis karet
tidak berpengaruh nyata terhadap kuat tekan mortar (nilai p > α 5%).
Keragaman dari kuat tekan mampu dijelaskan oleh faktor jenis lateks dan
73
dosis karet sebesar 89,31%, sedangkan sisanya 10,69% dijelaskan oleh
faktor lain di luar model. Pada analisis ragam ini juga terdapat nilai CV,
yaitu sebesar 12,97 sehingga data dapat dikatakan relatif homogen.
Faktor jenis lateks dan dosis karet masing-masing berbeda nyata,
maka selanjutnya akan dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan
untuk jenis lateks dapat dilihat pada Lampiran 16.1.1, sedangkan untuk
dosis karet pada Lampiran 16.1.2. Berdasarkan dari uji lanjut Duncan jenis
lateks menunjukkan bahwa lateks DS berbeda nyata dengan lateks lainnya,
sedangkan lateks DPNR tidak berbeda nyata dengan lateks pekat. Lateks DS
memiliki kuat tekan tertinggi sebesar 176,60 kg/cm2. Hasil uji lanjut
Duncan dosis karet memperlihatkan bahwa semakin banyak karet yang
ditambahkan ke dalam mortar maka semakin kecil nilai kuat tekannya. Pada
dosis karet 1% tidak berbeda nyata dengan dosis karet 3%, sedangkan dosis
karet 3% tidak berbeda nyata dengan dosis karet 5%. Dosis karet 7% tidak
berbeda nyata dengan dosis karet 9%.
Hubungan antara jenis lateks dan dosis karet terhadap kuat tekan
mortar dapat dilihat pada Gambar 27. Pada lateks pekat, nilai kuat tekan
tertinggi pada dosis 1% sebesar 202 kg/cm2, tetapi nilai ini masih di bawah
kontrol yang nilainya adalah 250,4 kg/cm2, sedangkan nilai kuat tekan yang
paling rendah pada dosis karet 9% sebesar 86 kg/cm2. Pada lateks DS, dosis
karet 1% sebesar 222 kg/cm2 lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 3, 5, 7
dan 9%, tetapi nilai ini juga masih di bawah mortar tanpa penambahan
lateks. Hal yang sama juga terjadi dengan lateks DPNR, pada dosis karet
1% sebesar 178 kg/cm2 lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 3, 5, 7 dan
9%, tetapi nilai ini juga masih di bawah kontrol. Penurunan nilai kuat tekan
pada lateks DS untuk semakin meningkatnya dosis karet lebih kecil
dibandingkan dengan lateks DPNR dan lateks pekat.
74
Gambar 27. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap uji
kuat tekan
Lateks DS memiliki nilai kuat tekan paling tinggi dibandingkan
dengan lateks DPNR dan lateks pekat. Hal ini dikarenakan bahan non karet
di dalam lateks DS lebih kecil dibandingkan dengan lateks lainnya. Lateks
DS telah mengalami dua kali sentrifugasi, sehingga bahan-bahan non karet
banyak yang terbuang bersama serum dan skim. Salah satu bahan non karet
yang memberikan pengaruh terhadap kekuatan adalah karbohidrat. Di dalam
karbohidrat ini terdapat kandungan quebrachitol (Nadarajah dan Fernando,
1978). Kandungan quebrachitol dalam lateks akan mempengaruhi kekuatan
dari mortar yang dihasilkan. Semakin banyak kandungan ini, maka kekuatan
akan semakin menurun. Kandungan quebrachitol pada lateks DS lebih
sedikit dibandingkan dengan lateks pekat dan lateks DPNR, sehingga
kekuatan tekan yang dimiliki lebih tinggi daripada lateks lainnya, tetapi
masih lebih rendah dibandingkan dengan mortar yang tidak ada
penambahan lateks.
Untuk kandungan protein di dalam lateks tidak memberikan pengaruh
terhadap kuat tekan mortar yang dihasilkan. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji
lanjut yang menyatakan bahwa lateks DPNR tidak berpengaruh nyata
dengan lateks pekat padahal lateks DPNR mengandung protein yang lebih
rendah dibandingkan dengan lateks pekat. Kandungan protein ini hanya
75
berpengaruh terhadap nilai FAS saja. Kuat tekan juga dipengaruhi oleh air
yang digunakan di dalam campuran mortar atau biasanya disebut dengan
FAS. Pada lateks DS memiliki nilai FAS lebih rendah dibandingkan dengan
lateks DPNR dan lateks pekat. Rendahnya nilai FAS ini membuat nilai kuat
tekan yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan lateks lainnya.
Gambar 28. Grafik antara kuat tekan (kg/cm2) dan dosis karet yang
ditambahkan (%)
Semakin banyak dosis karet yang ditambahkan ke dalam mortar, maka
nilai kuat tekan mortar akan semakin menurun (Gambar 28). Persamaan
hubungan antara kuat tekan dan dosis karet yang ditambahkan ke dalam
mortar yaitu y = -14,66x + 231 dengan nilai R2 sebesar 94,2%. Penambahan
dosis karet sebanyak satu persen akan menurunkan kuat tekan mortar
sebesar 14,66 kg/cm2. Dosis karet di dalam lateks mempengaruhi kuat tekan
mortar sebesar 94,2%, sementara 5,8% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain.
Ketika semen dicampur dengan air, maka akan terjadi reaksi hidrasi.
Semen dan air tersebut akan membentuk pasta semen dan mengikat
fragmen-fragmen agregat. Air yang ada akan berada di antara bagian-bagian
semen dan diantara semen terjadi ikatan. Pada saat FAS yang digunakan
rendah, maka akan mengakibatkan air yang berada di antara bagian-bagian
semen sedikit dan jarak antar butiran semen menjadi lebih pendek. Hal
tersebut membuat kuat tekan lebih tinggi, karena jarak ikatan antar semen
76
pendek yang menyebabkan ikatan tersebut lebih kuat dibandingkan dengan
jarak yang panjang. Ketika mortar ditambahkan dengan lateks, lateks akan
memutus ikatan antara semen pada banyak tempat sehingga jarak antar
butiran semen menjadi jauh. Selain itu juga, dengan penambahan lateks,
ikatan antar semen menjadi sedikit karena terinterupsi oleh keberadaan
lateks yang mengakibatkan kekuatan semen menjadi semakin menurun.
Kekuatan ikatan antar semen yang menurun tersebut akan mengakibatkan
kuat tekan mortar menurun juga. Dengan demikian, semakin banyak dosis
karet yang ditambahkan ke dalam campuran mortar, maka semakin rendah
kuat tekan mortar yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan semakin banyak
karet yang memutuskan ikatan antar semen, sehingga ikatan menjadi lemah
dan jarak antar ikatan semen menjadi jauh.
4.4.3 Pengaruh Lateks Terhadap Kuat Lentur
Karakteristik mortar yang menjadi perhatian utama dalam penelitian
ini adalah kuat lentur dari mortar yang dihasilkan. Jalan beton yang selama
ini masih terlalu kaku ketika dilalui menyebabkan ketidaknyamanan
pengendara kendaraan bermotor. Selain itu juga, jalan beton menimbulkan
suara bising yang besar ketika dilalui. Hal ini menambah ketidaknyamanan
pengendara ketika melaluinya. Jalan beton juga kurang kuat terhadap tarik
atau lentur, sehingga rentan terhadap retak yang akan mengakibatkan jalan
beton menjadi tidak awet dan mempertinggi biaya perawatan.
Dalam penelitian ini, lateks ditambahkan ke dalam campuran mortar
sehingga diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat tersebut karena lateks
merupakan bahan polimer yang memiliki elastisitas yang baik. Sifat lateks
lainnya yang menguntungkan adalah karet memiliki kelekatan yang tinggi
dan daya pantul yang baik pula. Untuk melihat pengaruh penambahan lateks
tersebut, maka dilakukan pengujian kuat lentur pada mortar.
Data hasil pengujian kuat lentur dapat dilihat pada Lampiran 17, 18
dan 19, sedangkan hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap kuat
lentur dapat dilihat pada Gambar 29. Pada lateks pekat, nilai kuat lentur
paling tinggi terdapat pada dosis 1%, yakni sebesar 37,44 kg/cm2. Nilai
77
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan lateks
(0%), yaitu sebesar 36,38 kg/cm2. Dosis yang memberikan nilai kuat lentur
paling rendah adalah 9% dengan nilai 23,14 kg/cm2. Nilai kuat lentur
tertinggi pada mortar yang telah ditambahkan lateks DS terdapat pada dosis
karet 7%, yakni sebesar 38,98 kg/cm2, sedangkan kontrol hanya 36,38
kg/cm2. Selain itu, dosis karet DS 1% memiliki nilai kuat lentur lebih tinggi
daripada kontrol, yaitu sebesar 38,78 kg/cm2. Pada lateks DPNR, nilai kuat
lentur semakin menurun dengan semakin bertambahnya dosis karet ke
dalam campuran mortar. Nilai kuat lentur tertinggi terdapat pada dosis 1%,
yakni sebesar 34,08 kg/cm2, tetapi nilai ini masih di bawah kontrol.
Gambar 29. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap uji
kuat lentur
Hasil analisis keragaman kuat lentur dapat dilihat pada Lampiran 20.1.
Berdasarkan analisis tersebut didapatkan bahwa jenis lateks dan dosis karet
berpengaruh nyata terhadap kuat lentur dengan nilai p < α (5%), tetapi
interaksi antara jenis lateks dengan dosis karet tidak berpengaruh nyata
terhadap kuat lentur mortar karena nilai p > α (5%). Oleh karena interaksi
jenis lateks dan dosis karet tidak berpengaruh nyata, maka masing-masing
faktor dijelaskan secara terpisah. Pada jenis lateks dan dosis karet akan
dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan, sedangkan interaksi antara keduanya
tidak dapat dilanjutkan dengan uji lanjut ini. Pada model ini terdapat nilai R
kuadrat sebesar 83,37% yang berarti 83,37% keragaman dari uji kuat lentur
78
mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model (jenis lateks dan dosis
karet), sedangkan sisanya sebesar 16,63% dapat dijelaskan oleh faktor lain
di luar model. Dalam model ini juga didapatkan nilai CV sebesar 12,56
yang merupakan koefisien keragaman. Hal ini berarti data relatif homogen.
Hasil uji lanjut Duncan untuk jenis lateks dapat dilihat pada Lampiran
20.1.1. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis lateks DS memiliki nilai kuat
lentur tertinggi dibandingkan dengan lateks pekat dan lateks DPNR, yaitu
sebesar 33,62 kg/cm2. Dari hasil ini juga menyatakan bahwa nilai kuat
lentur untuk lateks DS berbeda nyata dengan lateks pekat dan lateks DPNR,
tetapi lateks pekat tidak berbeda nyata dengan lateks DPNR. Nilai kuat
lentur yang didapat oleh lateks pekat hampir sama dengan lateks DPNR.
Lateks DS ini paling baik, karena lateks tersebut telah mengalami
sentrifugasi ganda yang menyebabkan berkurangnya bahan-bahan non karet
di dalam lateks. Lateks mengandung bahan-bahan non karet, seperti
karbohidrat, protein, asam lemak dan garam-garam. Di dalam karbohidrat
itu sendiri terdapat komponen seperti quebrachitol, 1-inositol, dan sukrosa
(Nadarajah dan Fernando, 1978). Kadar glukosa atau karbohidrat yang
cukup tinggi dalam lateks akan berpengaruh pada setting semen. Dengan
adanya karbohidrat ini, waktu setting yang dimiliki mortar menjadi
terhambat. Komponen yang mempengaruhi kekuatan adalah quebrachitol,
sedangkan sukrosa hanya mempengaruhi setting time saja.
Dengan adaya quebrachitol di dalam lateks maka kekuatan mortar
akan menjadi rendah atau kurang baik. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
lateks pekat sentrifugasi dilakukan sentrifugasi ulang, sehingga komponen
karbohidrat dalam lateks menjadi berkurang. Sebelum melakukan
pemekatan ulang ini maka dilakukan pengenceran terhadap lateks pekat.
Tujuan pengenceran ini untuk mendapatkan penurunan karbohidrat yang
maksimal. Pada waktu proses sentrifugasi, ada bahan-bahan non karet
seperti karbohidrat yang ikut terbuang bersama dengan serum. Menurut Alfa
(2008), kadar karbohidrat di dalam lateks pekat sekitar 0,16%, sedangkan
pada lateks DS yang telah mengalami pemekatan ulang memiliki
karbohidrat sebesar 0,07%. Dengan kadar karbohidrat yang rendah tersebut
79
yaitu sebesar 0,07%, lateks DS hasil sentrifugasi ganda relatif tidak
menghambat setting semen dan kekuatan lebih baik dibandingkan dengan
lateks pekat dan lateks DPNR. Semakin sedikit kandungan karbohidrat di
dalam mortar, maka semakin baik kekuatannya.
Sentrifugasi berulang juga mampu mengurangi protein yang terdapat
dalam lateks sampai 30% (Subramaniam, 1992). Hal ini dapat dilihat pada
analisis lateks terhadap uji kadar nitrogen. Pada Lateks DS didapatkan kadar
nitrogen sebesar 0,06% yang lebih kecil dibandingkan dengan lateks pekat.
Kadar nitrogen ini berkurang sekitar 30% yang sesuai dengan pernyataan
Subramaniam. Kadar protein yang dikandung oleh lateks tidak
mempengaruhi kuat lentur dari mortar. Hal ini dapat dilihat dari uji lanjut
tersebut yang menyatakan bahwa lateks pekat tidak berpengaruh nyata
terhadap lateks DPNR dan menghasilkan nilai kuat lentur yang hampir
sama. Lateks DPNR yang mengandung paling kecil kadar proteinnya
dibandingkan dengan lateks pekat ternyata tidak mempengaruhi nilai kuat
lenturnya.
Uji lanjut Duncan untuk dosis karet terhadap kuat lentur mortar dapat
dilihat pada Lampiran 20.1.2. Uji lanjut ini menunjukkan bahwa dosis karet
1% yaitu sebesar 36,77 kg/cm2 memberikan nilai kuat lentur paling tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya. Pada dosis karet 1% ini, nilai kuat lentur
berbeda nyata dengan dosis karet 3, 5, 7 dan 9%. Nilai kuat lentur pada
dosis 7, 3 dan 5% tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya dan
mempunyai nilai yang relatif hampir sama. Pada dosis karet 9% dengan
nilai kuat lentur sebesar 23,17 kg/cm2 berbeda nyata dengan dosis karet 1, 3,
5 dan 7% dan pada dosis ini pula, nilai kuat lentur yang dimiliki paling
terendah dibandingkan dengan dosis lainnya.
80
Gambar 30. Grafik antara kuat lentur (kg/cm2) dan dosis karet yang
ditambahkan (%)
Persamaan hubungan antara kuat lentur dan dosis karet yang
ditambahkan ke dalam mortar yaitu y = -1,342x + 35,95 dengan nilai R2
sebesar 78,5% (Gambar 30). Penambahan dosis karet sebanyak satu persen
akan menurunkan kuat lentur mortar sebesar 1,342 kg/cm2. Dosis karet di
dalam lateks mempengaruhi kuat lentur mortar sebesar 78,5%, sementara
21,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain.
Dengan penambahan lateks ke dalam campuran mortar maka partikel
karet tersebut akan menjembatani kekosongan atau rongga-rongga udara
yang ada dalam adonan semen tersebut. Dengan begitu kuat lentur yang
dihasilkan akan semakin tinggi. Lateks termasuk ke dalam polimer dan
mempunyai matriks polimer organik. Selain itu, semen mempunyai matriks
gel semen. Apabila keduanya digabungkan akan membentuk monolithic co-
matriks. Semen bila dicampurkan dengan air akan membentuk pasta semen.
Ketika lateks ditambahkan ke dalam adonan ini, maka partikel karet akan
menyebar. Di samping itu, di dalam pasta semen ini akan terjadi proses
hidrasi dan terbentuk matrik gel semen. Selama proses hidrasi ini akan
terbentuk juga senyawa kalsium hidroksida [Ca(OH)2]. Senyawa tersebut
akan bereaksi dengan permukaan agregat yang mengandung silika dan
membentuk lapisan senyawa yang bernama kalsium silikat. Senyawa
81
tersebut akan membentuk kekuatan mortar dan berjalan secara
berkelanjutan. Hal ini berarti semakin lama umur mortar, maka semakin
kuat, karena semakin banyak senyawa kalsium silikat yang terbentuk.
Agregat akan diikat pada fase co-matriks. Fase co-matriks dibentuk oleh
hidrasi semen dan pembentukan film polimer. Pada fase ini sudah terjadi
penggabungan antara matriks polimer dengan matriks gel semen. Polimer
akan membentuk film di daerah sekitar gel semen yang telah terhidrasi dan
berikatan dengan agregat. Hal ini membuat mortar yang dihasilkan akan
lebih lentur karena semen yang telah terhidrasi terbungkus oleh polimer dan
menjembatani antar agregat yang ada sehingga tidak terjadi kekosongan.
Lateks pekat dan lateks DPNR mempunyai kandungan karbohidrat
masih tinggi. Kandungan karbohidrat yang masih tinggi ini akan
menghambat proses hidrasi lebih lama dibandingkan dengan lateks DS. Hal
ini membuat pembentukan kalsium silikat sedikit. Selain itu, polimer yang
membentuk film di sekitar semen yang terhidrasi lebih sedikit, karena semen
belum banyak yang terhidrasi sehingga kuat lentur yang dihasilkan lebih
rendah.
82
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kombinasi bahan
penstabil dan dosis yang menghasilkan waktu setting terbaik adalah Kasein
dengan dosis 7%. Waktu setting yang dihasilkan adalah 208,67 menit
karena mendekati 210 menit.
Semakin banyak dosis karet yang ditambahkan ke dalam campuran
mortar maka bobot yang dihasilkan akan semakin ringan. Mortar dengan
penambahan lateks tersebut akan lebih ringan dibandingkan dengan kontrol.
Selain itu juga, bobot akhir mortar lebih berat dibandingkan dengan bobot
awal mortar.
Lateks DS memiliki nilai kuat tekan paling tinggi dibandingkan
dengan lateks DPNR dan lateks pekat, tetapi lebih rendah dari kontrol.
Dosis karet 1% memberikan nilai kuat tekan tertinggi. Kandungan lateks
yang mempengaruhi kuat tekan adalah karbohidrat, sedangkan protein di
dalam lateks tidak memberikan pengaruh terhadap kuat tekan mortar yang
dihasilkan.
Lateks DS menghasilkan kuat lentur tertinggi dibandingkan dengan
lateks pekat dan lateks DPNR. Dosis karet 1% menghasilkan nilai kuat
lentur tertinggi. Kandungan lateks yaitu karbohidrat akan mempengaruhi
kuat lentur mortar, sedangkan protein di dalam lateks tidak memberikan
pengaruh terhadap kuat lentur mortar yang dihasilkan.
Kuat lentur tertinggi diihasilkan oleh lateks DS dengan dosis karet
7%, yakni sebesar 38,98 kg/cm2. Namun, untuk mendapatkan mortar yang
kuat tetapi lentur dapat menggunakan lateks DS dengan dosis 1%.
5.2 Saran
1. Penelitian selanjutnya dapat mencoba menggunakan lateks
depolimerisasi sebagai bahan tambahan pada mortar, karena lateks
tersebut mempunyai bobot molekul dan viskositas mooney yang lebih
83
rendah dibandingkan dengan lateks lainnya serta mempunyai daya lekat
yang lebih baik.
2. Penggunaan lateks DS yang didepolimerisasi sebagai bahan tambahan
pada mortar diprediksikan akan menghasilkan kuat lentur lebih baik
lagi.
3. Perlu dianalisis lebih lanjut mengenai kuat tekan dan kuat lentur pada
mortar yang berumur lebih dari 28 hari.
4. Penambahan lateks pada dosis karet sampai 20% sebagai bahan
tambahan pada pembuatan mortar perlu diteliti, mungkin dapat
meningkatkan kuat lentur dari mortar yang dihasilkan.
5. Faktor Air Semen (FAS) perlu diteliti lebih lanjut.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abdilah, R. H. 2009. Penggunaan Berbagai Jenis Lateks Sebagai Bahan
Tambahan Pada Mortar Untuk Aplikasi Beton Jalan Raya. Skripsi. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian IPB, Bogor.
Adianto, Y. L. D dan Tri Basuki. 2006. Kekuatan Beton Normal Akibat
Penggunaan Serat Polypropylene. Makalah dalam majalah Potensi Vol. 8,
No.1, Maret 2006: 1-12.
Alfa, A. A. 2003. Pengaruh Kombinasi Surfaktan dan Papain Menurunkan Kadar
Protein Lateks dalam Pengolahan Lateks Alam Berprotein Rendah. Makalah
Pada Konferensi Agribisnis Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu.
Medan: Pusat Penelitian Karet.
Alfa, A. A. 2008. Pemanfaatan Karet Alam Sebagai Bahan Aditif Penguat Aspal
dan Beton. Laporan Akhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian.
Allen, T. O. dan A. P. Roberts. 1993. Production Operation 2: Well Completions,
Workover, and Stimulation, Oil, and Gas Consultants International (OCCL),
Inc., Tulsa, Oklahoma. USA.
Anonima. 2009. Sodium Dodecyl Sulfate. [Online]. Diperoleh dari
http://mpbio.com/product_info/. Diakses pada 2 November 2009.
Anonimb. 2009. Emulgen. [Online]. Diperoleh dari
http://chemical.kao.com/global/products/. Diakses pada 2 November 2009.
Anonimc. 2009. Artikel di dalam Internet. [Online]. Diperoleh dari
http://mpfinechemical.com/pages/. Diakses pada 2 November 2009.
Array. 2008. Susu. [Online]. Diperoleh dari
http://arrayst.wordpress.com/tentang_dunia_susu/. Diakses pada 2
November 2009.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Karet Indonesia. BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Perhubungan. BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor
Menurut Kelompok Komoditi dan Negara. BPS, Jakarta.
85
Barney, N. A. 1973. Natural Rubber Production Lecture Note 3. Balai Penelitian
Perkebunan Bogor. Bogor.
Belie, N. D., R. Verschoore, dan D. V. Nieuwenburg. 1998. Resistance of
Concrete with Limestone Sand or Polymer Addition to Feed Acids. Journal
American Society of Agricultural Engineers. 41(1): 227-233.
Blackley, D. C. 1966. High Polimer Latices. Palmerton Publishing Co. Inc,. New
York.
Cook, P. G. 1992. Latex Natural and Synthetic. Chapman and Hall Ltd., London.
Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan Harry Firman. ITB, Bandung.
Craig, A. S. 1969. Concise Encyclopaedic Dictionary of Rubber Technology.
Elsevier Publishing Company, Amsterdam.
Fennema, O. R. 1976. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York.
Georgiou, G., C. L. Sung, dan M. M. Shara. 1992. Surface Active Compound
from Microorganism. Biotechnology Journal. 10: 60-65.
Goutara, B. Djatmiko, dan W. Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet.
Agroindustri Press, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Haryadi. 2005. Pengaruh Lateks Alam Pekat Terhadap Kuat Tekan Beton.
Skripsi. Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan UPI, Bandung.
Hidayat, S. 2009. Semen: Jenis dan Aplikasinya. Kawan Pustaka, Jakarta.
Huntsman. 2000. Surfactant Handbook. 2nd edition.
Mulyono, T. 2003. Teknologi Beton. Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta,
Jakarta.
Nadarajah, M. dan U. G. Fernando. Development Of Natural Rubber Latex
Portland Cement Mixes For Engineering Applications. J Rubber. Res. Inst.
Desember 1978: 5-12, Sri Lanka.
Naik, T. R. dan R. Siddique. 2002. Blended Fly Ash Cement. Departement of
Civil and Mechanics College of Engineering and Applied Science The
University of Wisconsin, Milwaukee.
Nazaruddin dan F. B. Paimin. 1998. Karet: Strategi Pemasaran Tahun 2000,
Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya, Jakarta.
86
Ohama, Y. 1995. Concrete and Mortars “Properties and Process Technology.
Handbook of Polymer Modified. Nayes Publications, USA.
Ostroumov, S. A. 2006. Biological Effects Of Surfactants. Taylor and Francis
Group, CRC Press, Boca Raton.
Pratomo, A. 2005. Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit Pada Industri
Perminyakan. Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan
Oleokimia Berbasis Minyak Sawit Pada Berbagai Industri Pada tanggal 24
November 2005. Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC),
Bogor.
Roestaman, S., E. Kurniawati, R. Ranastra, H. Gunawan, R. Mastra, dan B.
Subrata. 2007. Penelitian dan Pengembangan Penambahan Bahan Karet
Dalam Campuran Beton Untuk Mendapatkan Beton Karet (Flexible
Concrete). Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Jalan dan Jembatan, Bandung.
Scherer, R. 1921. Casein, Its Preparation And Technical Utilisation. Scott,
Greenwood, & Son, London.
Solichin, M. 1991. Faktor-faktor yang mempengaruhi Viskositas Mooney dalam
pengolahan SIR 3CV. Lateks, 6(2): 67-75.
Subramaniam, A. 1992. Reduction of Extractable Protein Content in Latex
Product. Di dalam Sensitivity to Latex in Medical Devices. Proceeding
International. Latex Conference November 1992. Baltimore, Maryland.
Sudjana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi III. Transito. Bandung.
Sukontasukkul, P dan C. Chaikaew. 2005. Concrete Pedestrian Block Containing
Crumb Rubber from Recycled Tires. Thesis. Departement of Civil
Engineering – King Mongkut’s Institute of Technology, North Bangkok.
Suparto, D. 2002 Pengetahuan tentang Lateks Hevea. Kursus Teknologi Barang
Jadi dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor, 1-9.
Tanaka, Y. 1998. A New Approach to Produce Highly Deproteinized Natural
Rubber. Kuliah Tamu Mengenai Karet Alam, BPTK Bogor, Bogor.
Tangpakdee, J. 1998. Structure Characterization of Natural Rubber – Analysis of
Biosynthesis Mechanism, Branching Formation and Role of Rubber in
87
Hevea Tree. Thesis. Departement of Material Systems Engineering Faculty
of Technology, Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo.
Utama, M. 2007. Teknologi Lateks Alam Iradiasi. Pusat Pengembangan
Informatika Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Batan.
Winarno, F. G. 1980. Enzim Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
88
LAMPIRAN
Lampiran 1. Metode Analisis Lateks
1.1. Penetapan Total Alkalinitas (ASTM D 1076-97)
Pertama masukkan sejumlah ± 5 g lateks ke dalam botol timbang 10
cm3. Setelah itu timbang botol timbang yang telah berisi lateks dengan
ketelitian 1 mg. Lalu tuangkan lateks ke dalam gelas piala yang telah berisi
300 cm3 air suling. Botol timbang ditimbang kembali, perbedaan bobot botol
timbang adalah bobot contoh (W). Kemudian tambahkan 6 tetes indikator
merah methyl 0,1% dalam alkohol. Titrasi dengan HCl 0,1 N sedikit demi
sedikit sambil diaduk (digoyang) sampai tercapai titik equivalen, yaitu
apabila larutan berubah dari kuning menjadi merah jambu (pink). Setelah itu
catat penggunaan HCl 0,1 N (V). Alkalinitas dihitung sebagai garam NH3 per
100 g lateks sebagai berikut:
Total Alkalinitas (% NH3) dalam fasa lateks = (1,7 × V × N) / W
Total Alkalinitas (% NH3) dalam fasa air = (1,7 × V × N) / W (1 – TS/100)
Dimana:
N = Normalitas larutan HCl
V = Volume HCl 0,1 N yang dibutuhkan
W = Bobot contoh, g
TS = Kadar jumlah padatan
1.2. Penetapan Kadar Karet Kering (ASTM D 1076-97)
Pengujian kadar karet kering menggunakan alat antara lain neraca,
batang pengaduk, cawan alumunium, oven, dan mesin giling. Bahan yang
digunakan adalah aseton. Analisis yang dilakukan duplo diawali dengan
menimbang sampel seberat 10 g (W1) di dalam cawan alumunium. Sampel
ditambahkan aseton secukupnya dan digumpalkan dengan bahan pengaduk.
Sampel yang sudah menggumpal dipanaskan sampai serum bening. Sampel
89
digiling sampai berbentuk lembaran tipis (krep) dan dikeringkan pada suhu
70oC selama 1 jam. Sampel didinginkan di dalam desikator dan ditimbang
beratnya (W2). Kadar karet kering dihitung dengan perhitungan sebagai
berikut:
W2
KKK (%) = × 100% W1
Keterangan:
W1 = Bobot sampel awal (gram)
W2 = Bobot sampel kering (gram)
1.3. Penetapan Kadar Jumlah Padatan (ASTM D 1076-97)
Alat yang digunakan adalah pinggan alumunium diameter 60 mm,
oven, desikator, dan neraca dengan ketelitian 0,1 mg. Pertama masukkan
sejumlah lateks ke dalam botol timbang (W1). Setelah itu tuangkan 2,5 ± 0,5
g lateks dari botol timbang ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui
bobotnya (W3). Timbang kembali botol timbang berisi sisa lateks (W2).
Perbedaan bobot kedua penimbangan tersebut adalah merupakan bobot
contoh (W). Sampel dipanaskan di dalam oven bersuhu 100oC selama 2 jam.
hingga terbentuk film kering. Setelah itu, sampel didinginkan di dalam
desikator dan ditimbang (W4). Kadar jumlah padatan dihitung dengan
perhitungan sebagai berikut:
W4 – W3 KJP (%) = × 100% W
Keterangan:
W = Bobot sampel awal (gram)
W3 = Bobot pinggan alumunium (gram)
W4 = Bobot sampel dan pinggan alumunium setelah dipanaskan (gram)
90
1.4. Penetapan Waktu Kemantapan Mekanik (ASTM D 1076-97)
Sampel sebanyak 100 gram ditimbang dan diencerkan hingga KJP 55
± 0,2% dengan penambahan amoniak 0,6%. Sampel dipanaskan di penangas
air hingga suhu 36 – 37oC. Sampel ditimbang seberat 80 gram dan disaring.
Setelah itu, sampel diputar dengan mixer klaxson pada kecepatan 14000 ±
200 rpm dan stopwatch dihidupkan. Sambil tetap diaduk tiap 15 detik sampel
diambil dengan cara menyentuhkan ujung kaca pengaduk ke pada lateks dan
teteskan lateks yang menempel di ujung pengaduk ke dalam pinggan petri
yang telah berisi air, amati keadaan lateks di dalam air tersebut. Pengamatan
diakhiri jika flokulat telah terbentuk, berupa bintik-bintik putih yang tidak
pecah oleh goyangan.
1.5. Penetapan Bilangan Asam Lemak Esteris (ASTM D 1076-97)
Sampel sebanyak 50 gram ditimbang di dalam gelas piala, kemudian
ditambahkan 5 ml amonium sulfat 35% dan diaduk menggunakan batang
pengaduk. Sampel dipanaskan di penangas air bersuhu 70oC selama 3 – 5
menit. Serum sebanyak 25 ml diambil dari sampel dan ditambahkan 5 ml
H2SO4 (2 + 5). Serum tersebut sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung
Markham dan ditambahkan 1 tetes silikon anti busa. Setelah itu didestilasi
hingga volumenya mencapai 100 ml. Hasil destilasi ditambahkan 1 tetes BTB
dan dititrasi dengan barium hidroksida 0,01 N sampai berubah warna menjadi
biru muda dan tidak berubah selama 10 – 20 detik. Standarisasi barium
hidroksida menggunakan KH-phtalat. Aquades sebanyak 20 ml digunakan
sebagai blanko. Bilangan ALE dapat dihitung dengan persamaan berikut:
100 – KKK (50 × 25) S = W = 1,02 × 2 (50 + S) × 3 561 × (Volume titrasi – volume blanko) × N Bilangan ALE = KJP × w
91
Keterangan:
N = Normalitas barium hidroksida
KJP = Kadar Jumlah Padatan
1.6. Penetapan Bilangan KOH dan pH (ASTM D 1076-97)
Pertama yang dilakukan adalah penetapan kadar jumlah padatan.
Setelah itu timbang sejumlah lateks yang setara dengan 50 g padatan di dalam
piala gelas 400 cm3 (W). Kemudian tentukan pH dengan pH-meter sebagai
pH lateks dan catat suhu pengukuran pada 23 ± 1oC (untuk penentuan pH).
Kemudian tambahkan formaldehide 5% hingga kadar amonia menjadi 0,5%
terhadap fasa air (Vf) dan tambahkan air suling hingga KJP menjadi 30%
(Va). Lalu ukur pH dengan pH-meter dan tambahkan perlahan-lahan 5 cm3
larutan KOH sambil diaduk, setelah 10 detik pH diukur. Pengukuran pH
diulang pada setiap penambahan 1 cm3 larutan KOH. Penambahan KOH
diakhiri pada saat perubahan pH mencapai maksimum. Perhitungan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
Penimbangan lateks
100 × 50 W = KJP
Volume formaldehide yang diperlukan
{(0,5 × KJP) + [(100 × %NH3) – 50]} × W Vf = 189
Volume air suling yang diperlukan
100 × 50 Va = - (W + Vf) 30
Bilangan KOH
561 × V × N Bil. KOH = W × KJP
92
1.7. Pengujian Viskositas Brookfield (ASTM D 1084-63)
Pengukuran viskositas brookfield dilakukan dengan viskometer
brookfield dengan satuan cp (centi poise). Spindel dan kecepatan yang
digunakan dalam pengukuran ditentukan oleh kekentalan bahan. Bila spindel
dan kecepatan yang digunakan untuk pengukuran tidak sesuai maka nilai
viskositas tidak terbaca. Besarnya kecepatan dan faktor pengali tiap spindel
pada pengukuran viskositas dapat dilihat pada Tabel. Pengujian dilakukan
dengan cara memasukkan spindel ke dalam contoh sampel (lateks). Langkah
selanjutnya adalah menghidupkan viskometer brookfield.
Tabel 18. Kecepatan dan faktor pengali pada viskositas brookfield
Kecepatan Faktor Finder 1 2 3 4
0,3 200 1 M 4 M 20 M 0,6 100 500 2 M 10 M 1,5 40 200 800 4 M 3 20 100 400 2 M 6 10 50 200 1 M 12 5 25 100 500 30 2 10 40 200 60 1 5 20 100
1.8. Penetapan Kadar Nitrogen (SNI 06-1993-1990)
Contoh uji ditimbang sebanyak ± 0,1 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam labu mikro kjeldahl. Setelah itu ditambahkan ± 0,65 gram katalis
selenmium dan ± 2,5 ml H2SO4 pekat. Contoh didekstruksi sekitar dua jam
atau sampai timbul warna hijau, setelah itu didinginkan dan diencerkan
dengan 10 ml aquades. Larutan dipindahkan ke dalam alat destilasi dan
dibilas dua atau tiga kali dengan 3 ml air suling kemudian ditambahkan 5 ml
NaOH 67%.
Alirkan air melewati alat destilasi dan tampung destilat ke dalam
erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 2% dan dua tetes indikator nitrogen.
Destilat dititrasi dengan larutan H2SO4 0,01 N. Titik akhir titrasi ditandai
dengan perubahan warna dari hijau menjadi ungu muda. Blanko dibuat
93
dengan cara yang sama dengan semua pereaksi tetapi tanpa contoh karet.
Kadar nitrogen dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
(V1 – V2) N × 0,0140 Kadar Nitrogen (%) = × 100% Ws
Keterangan:
V1 = Volume H2SO4 untuk titrasi larutan yang berisi contoh (ml)
V2 = Volume H2SO4 untuk titrasi larutan blanko (ml)
N = Normalitas H2SO4
Ws = Bobot contoh (gram)
94
Lampiran 2. Metode Analisis Semen
2.1. Uji Konsistensi Normal (ASTM C 187 – 68)
Uji ini menggunakan metode trial and error. Sebanyak 140 gram air
(28% dari jumlah semen) dimasukkan ke dalam mixer kemudian dicampur
dengan 500 gram semen lalu diamkan selama 30 detik. Aduk adonan dengan
menggunakan mixer pada kecepatan 140+5 rpm. Diamkan selama 15 detik
dan bersihkan adonan yang menempel di pinggiran cawan mixer. Aduk
kembali dengan kecepatan 285+10 selama 60 detik.
Adonan yang sudah terbentuk kemudian dibentuk menjadi bola
dengan menggunakan tangan. Adonan tersebut kemudian dilempar dari
tangan ke tangan sebanyak enam kali dengan jarak sekitar 6 inchi. Letakkan
adonan ke dalam cincin melalui bagian cincin yang lebar, kemudian ratakan
permukaannya. Balik cincin dan ratakan kembali permukaan cincin. Letakkan
cincin di bawah tongkat flunger. Atur agar tongkat flunger tepat berada di
permukaan adonan. Lepaskan tongkat flunger selama tiga puluh detik lalu
catat penurunan tongkat.
Konsistensi normal didapat apabila penurunan tongkat sebesar 10+1
mm. Apabila penurunan belum memenuhi ketentuan ulangi langkah di atas
dengan jumlah air yang berbeda.
2.2. Uji Penentuan Waktu Pengikatan Awal
Sejumlah air sesuai dengan yang didapatkan dari uji konsistesi normal
dimasukkan ke dalam mixer kemudian dicampur dengan 500 gram semen lalu
diamkan selama 30 detik. Aduk adonan dengan menggunakan mixer pada
kecepatan 140+5 rpm. Diamkan selama 15 detik dan bersihkan adonan yang
menempel di pinggiran cawan mixer. Aduk kembali dengan kecepatan
285+10 selama 60 detik.
Adonan yang sudah terbentuk kemudian dibentuk menjadi bola
dengan menggunakan tangan. Adonan tersebut kemudian dilempar dari
tangan ke tangan sebanyak enam kali dengan jarak sekitar 6 inchi. Letakkan
95
adonan ke dalam cincin melalui bagian cincin yang lebar, kemudian ratakan
permukaannya. Balik cincin dan ratakan kembali permukaan cincin.
Diamkan adonan di dalam cetakan selama tiga puluh menit. Kemudian
letakkan cincin di bawah jarum. Atur agar jarum tepat berada di permukaan
adonan. Lepaskan jarum selama tiga puluh detik lalu catat penurunan tongkat.
Catat penurunan jarum tiap 15 menit sampai jarum mencapai penurunan 25
mm. Buat grafik penurunan jarum, kemudian tentukan waktu penurunan
dengan menggunakan interpolasi.
96
Lampiran 3. Metode Analisis Mortar
3.1. Pengujian Kuat Tekan Mortar Kubus (ASTM 109 - 95)
Sejumlah air (sesuai dengan nilai rasio air : semen yang dibutuhkan)
dimasukkan ke dalam mixer lalu tambahkan 500 g semen. Putar mixer dengan
kecepatan 140+5 rpm selama tiga puluh detik. Dalam keadaan mixer masih
berputar, tambahkan 1375 g pasir ke dalam mixer selama tiga puluh detik.
Ubah kecepatan mixer menjadi 285+10 selama tiga puluh detik. Diamkan
selama sembilan puluh detik dan bersihkan adonan di pinggiran cawan mixer.
Aduk lagi dengan kecepatan 285+10 rpm.
Masukkan semua adonan kembali ke dalam mixer kemudian aduk
kembali dengan kecepatan 285+10 rpm selama lima belas detik. Masukkan
adonan ke dalam cetakan yang berukuran 50 x 50 x 50 mm atau 2 x 2 x 2
inchi sampai terisi setengah. Padatkan adonan di dalam cetakan dengan alat
pemadat dengan 32 kali tekanan. Isi kembali cetakan sampai penuh dan
padatkan kembali dengan 32 kali tekanan. Diamkan di tempat yang lembab
selama 24 jam. Setelah 24 jam keluarkan mortar yang sudah memadat dari
dalam cetakan dan rendam di dalam air bersih.
Pengujian dilakukan pada hari ke-28, lalu angkat contoh dari tempat
perendaman, seka dengan lap sampai kering dan bersih kemudian diangin-
anginkan. Tempatkan mortar di tengah permukaan penahan dari mesin tekan.
Catat beban maksimal yang bisa ditahan lalu hitung kuat tekan dengan rumus:
T = W
A
Keterangan:
T = Kuat tekan (kg/cm2)
W = beban maksimal (kg)
A = Luas permukaan (cm2)
97
3.2. Pengujian Kuat Lentur Mortar Balok dengan Dua Pembebanan
Sejumlah air (sesuai dengan nilai rasio air : semen yang dibutuhkan)
dimasukkan ke dalam mixer lalu tambahkan 500 g semen. Putar mixer dengan
kecepatan 140+5 rpm selama tiga puluh detik. Dalam keadaan mixer masih
berputar, tambahkan 1375 g pasir ke dalam mixer selama tiga puluh detik.
Ubah kecepatan mixer menjadi 285+10 selama tiga puluh detik. Diamkan
selama sembilan puluh detik dan bersihkan adonan di pinggiran cawan mixer.
Aduk lagi dengan kecepatan 285+10 rpm.
Masukkan semua adonan kembali ke dalam mixer kemudian aduk
kembali dengan kecepatan 285+10 rpm selama lima belas detik. Masukkan
adonan ke dalam cetakan yang berukuran 50 x 50 x 250 mm sampai terisi
setengah. Padatkan adonan di dalam cetakan dengan alat pemadat dengan 32
kali tekanan. Isi kembali cetakan sampai penuh dan padatkan kembali dengan
32 kali tekanan. Diamkan di tempat yang lembab selama 24 jam. Setelah 24
jam keluarkan mortar yang sudah memadat dari dalam cetakan dan rendam di
dalam air bersih.
Pengujian dilakukan pada hari ke-28. Lalu angkat contoh dari tempat
perendaman, seka dengan lap sampai kering dan bersih kemudian diangin-
anginkan sampai permukaan benda uji kering. Benda uji balok ditaruh di atas
plat yang bertumpu pada dua garis dan pembebanan di letakan juga pada dua
garis, setelah itu contoh ditekan bagian atasnya. Beban maksimum dicatat
kemudian dihitung dengan rumus:
R= PL/bd2
Keterangan:
R= Kuat Lentur
P= Beban Maksimum
L= Panjang area uji
b= lebar benda uji
d= tebal benda uji
98
Lampiran 4. Gambar Prosedur Pembuatan dan Pengujian Mortar
Latesk Pekat, Lateks DS, Lateks DPNR Larutan Kasein Larutan Lateks
Pasir Galunggung Saringan 4,75 mm Semen Holcim
Hasil Pengadukan Semen, Pasir, Lateks
Hasil Pencetakan Mortar Untuk Uji Kuat Lentur (Kiri) dan Kuat Tekan (kanan)
Perendaman (Proses Curing) Selama 28 Hari
Uji Bobot Uji Kuat Tekan Uji Kuat Lentur
99
Lampiran 5. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Tanpa Bahan
Penstabil
100
Lampiran 6. Data Pengamatan Penelitian Pendahuluan
Lateks Pekat 5% KARET terhadap SEMEN
Air : Semen : Pasir = 17,5 : 50 : 0 Jumlah Air dalam Bahan Penstabil Diperhitungkan
Bahan Penstabil Dosis (%) Pengamatan
Waktu Setting (Menit) Ulangan
1 Ulangan
2 Ulangan
3 Rata-Rata
Emal
1 Langsung Menggumpal, Apabila ditarik seperti karet 0 0 0 0,00 3 Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 1 0,3 2,17 1,16 5 Kental (++) → Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 15,62 7 9,23 10,62 7 Kental (+) → Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 26,05 15 17,72 19,59
Emulgen
1 Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 0,5 0,52 0,35 0,46 3 Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 1,5 1,63 2,02 1,72 5 Kental (++) → Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 2 1,97 2,63 2,20 7 Kental (+) → Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 3 2,03 3,73 2,92
Kasein
1 Langsung Menggumpal/Tidak Menyatu 0 0 0,17 0,06 3 Kental (+++) → Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 17,98 24 16,62 19,53 5 Kental (++) → Kental (+++)→ Tidak Menyatu (Tidak Stabil) 132 108 113 117,67 7 Kental (+) → Kental (++)→ Stabil 210 206 210 208,67
101
Lampiran 7. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Dengan Emal
Emal 1% Emal 3%
Emal 5% Emal 7%
102
Lampiran 8. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Dengan
Emulgen
Emulgen 1% Emulgen 3%
Emulgen 5% Emulgen 7%
103
Lampiran 9. Gambar Hasil Pencampuran Semen Lateks Dengan Kasein
Kasein 1% Kasein 3%
Kasein 5% Awal Kasein 5% Akhir
Kasein 7% Awal Kasein 7% Akhir
104
Lampiran 10. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Waktu Setting
10.1. Hasil Analisis Ragam
Dependent Variable: respon (Waktu Setting), pada α = 5%
Sumber Keragaman
df Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Nilai F
Pr > F
Model 11 137873.7280 12533.9753 637.03 <.0001* Galat 24 472.2180 19.6758 Total 35 138345.9460 R Kuadrat CV Akar dari MSE respon Mean0.996587 13.84073 4.435736 32.04842
Sumber Keragaman Df Tipe I SS Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F
BP 2 53549.22750 26774.61375 1360.79 <.0001*Dosis 3 33995.28214 11331.76071 575.93 <.0001*BP*Dosis 6 50329.21834 8388.20306 426.32 <.0001** Berbeda Nyata
10.1.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Interaksi BP dan Dosis Terhadap Waktu
Setting
Duncan's Multiple Range Test for respon (Uji Lanjut Interaksi)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N PerlakuanA 208.667 3 Kasein7 B 117.667 3 Kasein5 C 19.590 3 Emal7 C 19.533 3 Kasein3 D 10.617 3 Emal5 E 2.920 3 Emulgen7 E 2.200 3 Emulgen5 E 1.718 3 Emulgen3 E 1.157 3 Emal3 E 0.457 3 Emulgen1 E 0.057 3 Kasein1 E 0.000 3 Emal1
Keterangan: Huruf yang beda menyatakan bahwa berbeda nyata, sedangkan huruf
yang sama menyatakan bahwa tidak berbeda nyata.
105
Lampiran 11. Data Pengaruh Lateks Pekat Terhadap Bobot dan Kuat Tekan beserta Nilai FAS
Jenis Lateks Dosis (%) Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Beban Max (kg) Uji Kuat Tekan (kg/cm2) FAS (%)
KONTROL 0
1 280 282 6220 248,8 55 2 273 278 6300 252
Rata-Rata 276,5 280 250,4 1
1 266 272 5000 200 60 2 273,5 278 5100 204
Rata-Rata 269,75 275 202 3
1 263,5 272 3700 148 60 2 251,5 261 4900 196
L P Rata-Rata 257,5 266,5 172 A E 5
1 253,5 259 2700 108 55 T K 2 256 257 3280 131,2
E A Rata-Rata 254,75 258 119,6 K T 7
1 248 250 2450 98 55 S 2 228 230 2500 100
Rata-Rata 238 240,00 99,00 9
1 233 243 2100 84 55 2 236,5 237 2200 88
Rata-Rata 234,75 240,00 86
106
Lampiran 12. Data Pengaruh Lateks DS Terhadap Bobot dan Kuat Tekan beserta Nilai FAS
Jenis Lateks Dosis (%) Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Beban Max (kg) Uji Kuat Tekan (kg/cm2) FAS (%)
KONTROL 0
1 280 282 6220 248,8 55 2 273 278 6300 252
Rata-Rata 276,5 280 250,4 1
1 278 280 6000 240 60 2 280 281 5100 204
Rata-Rata 279,00 280,5 222 3
1 279 287 5200 208 55 2 277 284 5100 204
L Rata-Rata 278,00 285,50 206,00 A 5
1 264 269 4900 196 50 T D 2 258 263 5000 200
E S Rata-Rata 261 266 198 K 7
1 245 247 3250 130 45 S 2 252 253 3300 132
Rata-Rata 248,5 250,00 131,00 9
1 240 247 3050 122 45 2 253 261 3250 130
Rata-Rata 246,50 254,00 126,00
107
Lampiran 13. Data Pengaruh Lateks DPNR Terhadap Bobot dan Kuat Tekan beserta Nilai FAS
Jenis Lateks Dosis (%) Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Beban Max (kg) Uji Kuat Tekan (kg/cm2) FAS (%)
KONTROL 0
1 280 282 6220 248,8 55 2 273 278 6300 252
Rata-Rata 276,5 280 250,4 1
1 259,5 263 5100 204 65 2 264 268 3800 152
Rata-Rata 261,75 265,5 178,00 3
1 252,5 255 4620 184,8 65 L 2 257 261 3500 140
A D Rata-Rata 254,75 258,00 162,40 T P 5
1 248,5 253 4200 168 60 E N 2 259 264 3800 152
K R Rata-Rata 253,75 258,5 160,00 S 7
1 251,5 253 4000 160 55 2 250 251 2700 108
Rata-Rata 250,75 252,00 134,00 9
1 251 252 2800 112 55 2 248,5 250 2750 110
Rata-Rata 249,75 251,00 111,00
108
Lampiran 14. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Bobot Awal
14.1. Hasil Analisis Ragam
Dependent Variable: respon (Bobot Awal), pada α = 5%
Sumber Keragaman
df Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Nilai F
Pr > F
Model 14 4565.800000 326.128571 8.24 0.0001*Galat 15 594.000000 39.600000 Total 29 5159.800000
R Kuadrat CV Akar dari MSE respon Mean
0.884879 2.455268 6.292853 256.3000
Sumber Keragaman
dF Tipe I SS Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F
JL 2 532.850000 266.425000 6.73 0.0082*Dosis 4 3077.300000 769.325000 19.43 <.0001*JL*Dosis 8 955.650000 119.456250 3.02 0.0312** Berbeda Nyata
14.1.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Jenis Lateks Terhadap Bobot Awal
Duncan's Multiple Range Test for respon (Jenis Lateks)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N JL A 261.250 10 LDS
B A 256.700 10 LDPNRB 250.950 10 LP
14.1.2 Hasil Uji Lanjut Duncan Dosis Karet Terhadap Bobot Awal
Duncan's Multiple Range Test for respon (Dosis Karet)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N DosisA 268.750 6 1 A 263.083 6 3 A 261.083 6 5 B 244.833 6 9 B 243.750 6 7
109
14.1.3 Hasil Uji Lanjut Duncan Interaksi Jenis Lateks dan Dosis Karet
Terhadap Bobot Awal
Duncan's Multiple Range Test for respon (Uji Lanjut Interaksi)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N Perlakuan A 278.000 2 LDS3
B A 274.750 2 LDS1 B A C 269.750 2 LP1 B D A C 267.500 2 LDPNR5 B D E C 261.750 2 LDPNR1 B D E C 261.000 2 LDS5 F D E C 257.500 2 LP3 F D E 254.750 2 LP5 F D E 253.750 2 LDPNR3 F E G 250.750 2 LDPNR7 F E G 250.000 2 LDS9 F E G 249.750 2 LDPNR9 F H G 242.500 2 LDS7 H G 238.000 2 LP7 H 234.750 2 LP9
Keterangan: Huruf yang beda menyatakan bahwa berbeda nyata, sedangkan huruf
yang sama menyatakan bahwa tidak berbeda nyata.
110
Lampiran 15. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Bobot Akhir
15.1. Hasil Analisis Ragam
Dependent Variable: respon (Bobot Akhir), pada α = 5%
Sumber Keragaman
df Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F
Model 14 5049.866667 360.704762 8.97 <.0001*Galat 15 603.500000 40.233333 Total 29 5653.366667
R Kuadrat CV Akar dari MSE respon Mean
0.893249 2.434300 6.342975 260.5667
Sumber Keragaman
df Tipe I SS Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F
JL 2 644.266667 322.133333 8.01 0.0043* Dosis 4 3470.533333 867.633333 21.57 <.0001* JL*Dosis 8 935.066667 116.883333 2.91 0.0358* * Berbeda Nyata
15.1.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Jenis Lateks Terhadap Bobot Akhir
Duncan's Multiple Range Test for respon (Jenis Lateks) Pengelompokan Duncan Rata-Rata N JL
A 266.700 10 LDS B 259.500 10 LDPNRB 255.500 10 LP
15.1.2 Hasil Uji Lanjut Duncan Dosis Karet Terhadap Bobot Akhir
Duncan's Multiple Range Test for respon (Dosis Karet)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N DosisA 272.833 6 1
B A 270.000 6 3 B 264.333 6 5
C 248.333 6 9 C 247.333 6 7
111
15.1.3 Hasil Uji Lanjut Duncan Interaksi Jenis Lateks dan Dosis Karet
Terhadap Bobot Akhir
Duncan's Multiple Range Test for respon (Uji Lanjut Interaksi)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N PerlakuanA 285.500 2 LDS3
B A 278.000 2 LDS1 B A 275.000 2 LP1 B A C 271.000 2 LDPNR5 B D C 266.500 2 LP3 B E D C 266.000 2 LDS5 B E D C 265.500 2 LDPNR1 F E D C 258.000 2 LDPNR3 F E D C 256.000 2 LP5 F E D G 254.000 2 LDS9 F E D G 252.000 2 LDPNR7 F E G 251.000 2 LDPNR9 F G 250.000 2 LDS7
G 240.000 2 LP7 G 240.000 2 LP9
Keterangan: Huruf yang beda menyatakan bahwa berbeda nyata, sedangkan huruf
yang sama menyatakan bahwa tidak berbeda nyata.
112
Lampiran 16. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Kuat Tekan
16.1. Hasil Analisis Ragam
Dependent Variable: respon (Kuat Tekan), pada α = 5%
Sumber Keragaman
df Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Nilai F
Pr > F
Model 14 49936.64000 3566.90286 8.96 <.0001*Galat 15 5974.64000 398.30933 Total 29 55911.28000
R Kuadrat CV Akar dari MSE respon Mean
0.893141 12.97639 19.95769 153.8000
Sumber Keragaman
df Tipe I SS Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F
JL 2 8690.04800 4345.02400 10.91 0.0012*Dosis 4 36608.74667 9152.18667 22.98 <.0001*JL*Dosis 8 4637.84533 579.73067 1.46 0.2527 * Berbeda Nyata
16.1.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Jenis Lateks Terhadap Kuat Tekan
Duncan's Multiple Range Test for respon (Jenis Lateks) Pengelompokan Duncan Rata-Rata N JL
A 176.600 10 LDS B 149.080 10 LDPNRB 135.720 10 LP
16.1.2 Hasil Uji Lanjut Duncan Dosis Karet Terhadap Kuat Tekan
Duncan's Multiple Range Test for respon (Dosis Karet) Pengelompokan Duncan Rata-Rata N Dosis
A 200.67 6 1 B A 180.13 6 3 B 159.20 6 5 C 121.33 6 7 C 107.67 6 9
Keterangan: Huruf yang beda menyatakan bahwa berbeda nyata, sedangkan huruf yang sama menyatakan bahwa tidak berbeda nyata.
113
Lampiran 17. Data Pengaruh Lateks Pekat Terhadap Bobot dan Kuat Lentur beserta Nilai FAS
Jenis Lateks Dosis (%) Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Beban Max (kg) Uji Kuat Lentur (kg/cm2) FAS (%)
KONTROL 0
1 1652,5 1679 209 40,13 55 2 1581,5 1605 170 32,64
Rata-Rata 1617 1642 36,38 1
1 1680 1713 191 36,67 60 2 1585 1614 199 38,21
Rata-Rata 1632,5 1663,5 37,44 3
1 1525 1579 147 28,22 60 2 1533,5 1586 115 22,08
L P Rata-Rata 1529,25 1582,5 25,15 A E 5
1 1476,5 1517 134 25,73 55 T K 2 1551 1588 129 24,77
E A Rata-Rata 1513,75 1552,5 25,25 K T 7
1 1459 1514 154 29,57 55 S 2 1394 1396 110 21,12
Rata-Rata 1426,5 1455 25,34 9
1 1472 1480 108 20,74 55 2 1478 1480 133 25,54
Rata-Rata 1475 1480 23,14
114
Lampiran 18. Data Pengaruh Lateks DS Terhadap Bobot dan Kuat Lentur beserta Nilai FAS
Jenis Lateks Dosis (%) Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Beban Max (kg) Uji Kuat Lentur (kg/cm2) FAS (%)
KONTROL 0
1 1652,5 1679 209 40,13 55 2 1581,5 1605 170 32,64
Rata-Rata 1617 1642 36,38 1
1 1667 1685 222 42,62 60 2 1688 1697 182 34,94
Rata-Rata 1677,5 1691,00 38,78 3
1 1641,5 1658 163 31,30 55 2 1598 1624 181 34,75
L Rata-Rata 1619,75 1641 33,02 A 5
1 1523 1529 172 33,02 50 T D 2 1529 1537 170 32,64
E S Rata-Rata 1526,00 1533 32,83 K 7
1 1648,5 1651 229 43,97 45 S 2 1511,5 1520 177 33,98
Rata-Rata 1580 1585,5 38,98 9
1 1429 1430 146 28,03 45 2 1535 1536 109 20,93
Rata-Rata 1482 1483 24,48
115
Lampiran 19. Data Pengaruh Lateks DPNR Terhadap Bobot dan Kuat Lentur beserta Nilai FAS
Jenis Lateks Dosis (%) Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Beban Max (kg) Uji Kuat Lentur (kg/cm2) FAS (%)
KONTROL 0
1 1652,5 1679 209 40,13 55 2 1581,5 1605 170 32,64
Rata-Rata 1617 1642 36,38 1
1 1546,7 1560 184 35,33 65 2 1590 1615 171 32,83
Rata-Rata 1568,35 1587,50 34,08 3
1 1568 1602 142 27,26 65 2 1522 1546 134 25,73
L Rata-Rata 1545 1574 26,50 A D 5
1 1541 1553 149 28,61 60 T P 2 1563,5 1574 122 23,42
E N Rata-Rata 1552,25 1563,5 26,02 K R 7
1 1441,5 1438 122 23,42 55 S 2 1449 1483 134 25,73
Rata-Rata 1445,25 1460,5 24,58 9
1 1481,5 1475 120 23,04 55 2 1404 1441 108 20,74
Rata-Rata 1442,75 1458,00 21,89
116
Lampiran 20. Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Kuat Lentur
20.1. Hasil Analisis Ragam
Dependent Variable: respon (Kuat Lentur), pada α = 5%
Sumber Keragaman
df Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Nilai F
Pr > F
Model 14 1009.967647 72.140546 5.37 0.0013*Galat 15 201.413900 13.427593 Total 29 1211.381547
R Kuadrat CV Akar dari MSE respon Mean
0.833732 12.56441 3.664368 29.16467
Sumber Keragaman
df Tipe I SS Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F
JL 2 299.6212467 149.8106233 11.16 0.0011*Dosis 4 576.6859133 144.1714783 10.74 0.0003*JL*Dosis 8 133.6604867 16.7075608 1.24 0.3401 * Berbeda Nyata
20.1.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Jenis Lateks Terhadap Kuat Lentur
Duncan's Multiple Range Test for respon (Jenis Lateks)
Pengelompokan Duncam Rata-Rata N JL A 33.618 10 LDS B 27.265 10 LP B 26.611 10 LDPNR
20.1.2 Hasil Uji Lanjut Duncan Dosis Karet Terhadap Kuat Lentur
Duncan's Multiple Range Test for respon (Dosis Karet)
Pengelompokan Duncan Rata-Rata N DosisA 36.767 6 1 B 29.632 6 7 B 28.223 6 3 B 28.032 6 5 C 23.170 6 9
Keterangan: Huruf yang beda menyatakan bahwa berbeda nyata, sedangkan huruf
yang sama menyatakan bahwa tidak berbeda nyata.