pemanfaatan blotong pada budidaya tebu

Upload: muhammad-lutfi-almer-hasan

Post on 12-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pemanfaatan Blotong Pada Budidaya Tebu

TRANSCRIPT

  • MAKALAH SEMINAR UMUM

    PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU

    (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING

    Disusun oleh :

    HELENA LEOVICI

    09/281768/PN/11591

    Program Studi : Agronomi

    Hari/Tanggal Presentasi : Rabu/19 Desember 2012

    Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc.

    JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

    FAKULTAS PERTANIAN

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA

    2012

  • HALAMAN PENGESAHAN

    PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU

    (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING

    Disusun oleh:

    Nama : Helena Leovici

    NIM : 09/281768/PN/11591

    Makalah Seminar ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah

    pada semester I tahun ajaran 2012/2013 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

    Menyetujui: Tanda Tangan Tanggal

    Dosen Pembimbing

    Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc. ..

    Mengetahui :

    Komisi Seminar

    Jurusan Budidaya Pertanian

    Ir. Sri Muhartini, M.S. ..

    Mengetahui :

    Ketua Jurusan

    Budidaya Pertanian

    Dr. Ir. Taryono, M. Sc. .. .

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN PENGESAHAN i

    DAFTAR ISI ii

    DAFTAR TABEL iii

    INTISARI 1

    I. PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang 1

    B. Tujuan 2

    II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU 3

    A. Asal dan Penyebaran Tanaman Tebu 3

    B. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman Tebu 4

    C. Syarat Tumbuh Tanaman Tebu 5

    III. BLOTONG DAN PEMANFAATANNYA 7

    A. Pengertian Blotong 7

    B. Blotong sebagai Bahan Baku Kompos 7

    C. Proses Pembuatan Kompos dari Blotong 8

    D. Peranan Unsur-Unsur Penyusun Blotong 10

    E. Manfaat Blotong bagi Pertumbuhan Tanaman Tebu 11

    IV. PENUTUP 15

    A. Kesimpulan 15

    B. Saran 15

    DAFTAR PUSTAKA 16

    LAMPIRAN 19

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros 10

    Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang,

    Panjang Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang

    Dihasilkan 14

  • PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU

    (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING

    INTISARI

    Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan bahan baku industri gula yang merupakan

    komoditas unggulan dan dibudidayakan di Indonesia. Budidaya tebu di lahan kering banyak

    mengalami kendala, terutama dari pasokan air dan ketersediaan hara tanah. Salah satu upaya yang

    dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu di lahan kering adalah dengan

    memanfaatkan blotong sebagai kompos. Unsur-unsur hara yang tersusun dalam blotong dapat secara

    optimal digunakan oleh tanaman tebu di lahan kering. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,

    manfaat blotong nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah

    tanaman/rumpun, jumlah anakan, bobot kering tanaman, luas daun, produksi tebu, rendemen,

    bahkan produksi gula kristal. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan unsur hara, memperbaiki

    drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam

    tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia

    dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan.

    Kata kunci: tebu, lahan kering, blotong

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Menurut Arifin (2008), gula merupakan salah satu komoditas khusus di bidang

    pertanian yang telah ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan Organisasi

    Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan beras, jagung, dan juga kedelai. Bahan

    baku industri gula yang merupakan komoditas unggulan dan dibudidayakan di

    Indonesia yakni tebu (Saccharum officinarum L).

    Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga

    mencapai titik nadir sebesar 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun

    2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional

    mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton (Anonim, 2008).

    Penurunan produksi tesebut dapat disebabkan oleh kurang optimalnya aplikasi teknis

    budidaya tebu yang saat ini berkembang luas di lahan kering. Jika ditelusuri lebih lanjut,

    lahan kering total di Indonesia memiliki luas sekitar 318 495,4 ha atau 74,25 % luas

    areal tebu dengan total produksi gula 2,418 juta ton. Sementara total kebutuhan gula

    dalam negeri tahun 2008 adalah 4.640.407 ton. Dengan demikian, kendala budidaya di

    lahan kering seperti kurangnya kandungan air, bahan organik, dan unsur hara bagi

    tanaman tebu sangat penting untuk diketahui dan ditemukan solusinya.

  • Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi terhadap gula hendaknya

    segera diatasi dengan berbagai upaya yang mendukung. Beberapa upaya tersebut

    meliputi perbaikan terhadap lahan-lahan pertanaman tebu, mulai dari bibit yang

    digunakan, tanah yang dipakai sebagai media tanam, pemeliharaan, hingga penanganan

    pascapanen, sehingga produktivitas tanaman tebu dapat mencapai optimal. Rendemen

    tebu yang dihasilkan sangat dimungkinkan akan meningkat dengan produktivitas tebu

    yang optimal. Hal ini berpengaruh pada kualitas dan kuantitas gula yang diproduksi.

    Dalam proses produksinya, selain gula, industri gula juga menghasilkan buangan

    padat, cair, maupun gas. Buangan padat berupa blotong, abu tungku, abu terbang,

    sedangkan buangan gas adalah gas cerobong yang keluar dari cerobong dan sulfur

    dioksida dari pembakaran belerang dan tangki sulfitasi. Baik buangan padat, cair

    maupun gas apabila tidak dikelola secara benar akan dapat menyebabkan terjadinya

    pencemaran lingkungan (Murtinah, 1990).

    Blotong atau disebut filtermud adalah kotoran nira tebu dari proses pembuatan

    gula yang disebut sebagai byproduct. Persentase blotong yang dihasilkan dari tiap

    hektar pertanaman tebu yaitu sekitar 4-5%. Kotoran nira ini terdiri dari kotoran yang

    dipisahkan dalam proses penggilingan tebu dan pemurnian gula. Persentase kotoran nira

    ini cukup tinggi yaitu 9-18% dari tebu basah, dan sangat cepat terdekomposisi menjadi

    kompos. Pada umumnya blotong ini diakumulasi di lapangan terbuka di sekitar pabrik

    gula, sebelum dimanfaatkan untuk pertanian (Lahuddin, 1996). Limbah pabrik tersebut

    dapat dimanfaatkan menjadi salah satu alternatif solusi sebagai pupuk kompos dalam

    budidaya tanaman tebu di lahan kering guna meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu

    itu sendiri.

    Percobaan penggunaan kompos blotong sebagai pupuk organik telah banyak

    dilakukan dalam mempelajari peranannya pada sifat-sifat tanah maupun efeknya pada

    tanaman. Pemberian blotong dapat meningkatkan kandungan hara dalam tanah terutama

    unsur N, P, dan Ca serta unsur mikro lainnya. Peranan kompos blotong pada tanah dapat

    dipastikan sama dengan peranan kompos atau pupuk organik lainnya dalam

    memperbaiki sifat-sifat kesuburan tanah.

    B. Tujuan

    Mengetahui manfaat blotong pada budidaya tebu di lahan kering.

  • II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU

    A. Asal dan Penyebaran Tanaman Tebu

    Tebu merupakan tanaman yang berasal dari India. Namun, banyak juga literatur

    yang menyatakan bahwa tebu berasal dari Polynesia. Meski demikian, menurut Nikolai

    Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, yang telah melakukan ekspedisi pada

    1887-1942 ke beberapa daerah di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, dan seluruh

    Uni Soviet,memastikan bahwa sentrum utama asal tanaman ini adalah India dan Indo-

    Malaya.

    Hasil ekspedisi Vavilov menyimpulkan bahwa India merupakan daerah asal

    tanaman padi, tebu, dan sejumlah besar Leguminosae serta buah-buahan. Dari sentrum

    utama asal tebu di India dan Indo-Malaya, kemudian ditanam meluas secara komersial

    di berbagai Negara di dunia, baik yang iklimnya tropis maupun yang iklimnya sub-

    tropis. Negara-negara penghasil gula tebu di dunia, antara lain: India, Kuba, Puertorico,

    Brasil, Philipina, Taiwan, Hawai, Argentina, peru, Lusiana, Australia, dan Indonesia.

    Di kawasan Indo-Malaya yang meliputi Indo-China, Malaysia, Philipina, dan

    Indonesia ditemukan juga tanaman tebu. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika

    Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu sentrum asal tebu. Berdasarkan catatan

    sejarah, penduduk Jawa telah menanam tebu sejak 400 masehi. Plasma nutfah tebu

    ditemukan tumbuh liar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sepanjang Sungai Digul,

    Irian Jaya.

    Di Indonesia, komoditas tebu memiliki sejarah panjang dan berubah-ubah.

    Sentrum penanaman tebu di Indonesia mulanya terpusat di Pulau Jawa, yang dirintis

    waktu kolonialisasi Belanda. Pada waktu itu, penanaman tebu diberlakukan secara

    paksa dan perdagangan gulanya dimonopoli oleh Belanda.

    Pascakolonialisasi Belanda, pengembangan tebu pada umumnya dalam bentuk

    perkebunan swasta yang didominasi oleh orang-orang Tionghoa. Dalam beberapa tahun

    terakhir, pengembangan tanaman tebu makin meluas ke berbagai daerah, termasuk

    dikeluarkannya kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri gula di Kawasan

    Timur Indonesia (KTI) (Ahira, 2009).

  • B. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman Tebu

    Berikut merupakan klasifikasi botani tanamaan tebu (Plantamor, 2012) :

    Kingdom : Plantae (tumbuhan)

    Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

    Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

    Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

    Kelas : Liliopsida (berkeping satu/monokotil)

    Sub Kelas : Commelinidae

    Ordo : Poales

    Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

    Genus : Saccharum

    Spesies : Saccharum officinarum L.

    Tanaman tebu memiliki morfologi yang tidak jauh berbeda dengan tumbuhan yang

    berasal dari famili rumput-rumputan. Tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 2-5

    meter. Menurut Nadia (2012), morfologi tanaman tebu secara garis besar dapat

    dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu :

    a. Akar : berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih

    b. Batang : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang melintang

    agak pipih, berwarna hijau kekuningan

    c. Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan

    berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua

    d. Bunga : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.

    Pada bagian pangkal sampai pertengahan batang memiliki ruas yang panjang,

    Sedangkan pada bagian pucuk memiliki ruas yang pendek. Pada bagian pucuk batang

    terdapat titik tumbuh terdapat titik tumbuh yang penting untuk pertumbuhan meninggi.

    Selain itu juga terdapat lapisan berlilin di bagian bawah ruas dan pada ruas di bagian

    pucuk batang. Daun tanaman tebu merupakan jenis daun tidak lengkap, karena terdiri

    dari helai daun dan pelepah daun saja. Sendi segitiga terdapat di antara pelepah daun

    dan helaian daun. Pada bagian sisi dalamnya, terdapat lidah daun yang membatasi

    antara helaian daun dan pelepah daun. dalamnya terdapat lidah daun yang membatasi

    helaian dan pelepah daun. Warna daun tebu bermacam-macam ada yang hijau tua, hijau

    kekuningan, merah keunguan dan lain-lain. Ujung daun tebu meruncing dan tepinya

    bergerigi. Bunga tebu merupakan malai yang berbentuk piramida yang terdiri dari 3

  • helai daun tajuk bunga, 1 bakal buah, dan 3 benang sari. Kepala putiknya berbentuk

    bulu (Putri et al., 2010).

    Menurut James (2004), tanaman tebu memiliki perakaran serabut, yang dapat

    dibedakan menjadi akar primer dan akar sekundar. Akar primer adalah akar yang

    tumbuh dari mata akar buku tunas stek batang bibit. Karakteristik akar primer yaitu

    halus dan bercabang banyak. Sedangkan akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari

    mata akar dalam buku tunas yang tumbuh dari stek bibit, bentuknya lebih besar, lunak,

    dan sedikit bercabang.

    B. Syarat Tumbuh Tanaman Tebu

    Tebu merupakan tanaman asli tropika basah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah

    beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang

    lebih 1 tahun. Tebu tergolong tanaman perkebunan semusim yang memiliki sifat

    tersendiri, yakni terdapat zat gula di dalam batangnya (Supriyadi, 1992).

    Karekteristik agroklimat terdiri dari iklim, kesuburan tanah, dan topografi.

    Budidaya tebu hendaknya menyesuaikan dengan kondisi karakteristik agroklimat di

    lahan tegalan yang umumnya dijumpai untuk tanaman tebu. Produktivitas tebu

    ditentukan oleh karakteristik agroklimat yang paling minimum (Cerianet, 2008).

    Tanaman tebu memerlukan curah hujan yang berkisar antara 1.000-1.300

    mm/tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Curah hujan yang ideal adalah

    selama 5-6 bulan dengan rata-rata curah hujan 200 mm, curah hujan yang tinggi

    diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi perkembangan anakan, tinggi

    dan besar batang. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan

    4-5 bulan berkaitan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang merupakan

    periode kering. Pada periode ini merupakan pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu.

    Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah 24C

    dan maksimum adalah 34C sedangkan temperatur optimum adalah 30C. Pertumbuhan

    tanaman akan terhenti apabila suhu dibawah 15C. Sinar matahari yang mempengaruhi

    pertumbuhan tanaman ditentukan oleh lamanya penyinaran dan intensitas penyinaran.

    Tanaman tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan penyinaran 12-14 jam

    tiap harinya. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam di siang hari berdapak

    positif bagi pertumbuhan tebu. Kelembaban yang rendah (45-65%) sangat baik untuk

  • pemasakan karena tebu sangat cepat kering. Kelembaban tinggi dapat mempengaruhi

    fotosintesis dengan akibat pembentukan gula juga terlambat (Kuntohartono, 1982).

    Menurut Sudiatso (1999), tebu menghendaki tanah yang gembur sehingga aerasi

    udara dan perakaran berkembang sempurna. Tekstur tanah ringan sampai agak berat

    dengan berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30 % merupakan tekstur tanah

    yang ideal bagi pertumbumbuhan tanaman tebu. Kedalaman (solum) tanah untuk

    pertumbuhan tanaman tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan

    permukaan air 40 cm. Tanaman ini membutuhkan banyak nutrisi dan memerlukan tanah

    subur. Tanaman tebu juga mampu tumbuh di pantai sampai dataran tinggi antara 0 -

    1.400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut

    pertumbuhan tanaman relatif lambat. Bentuk lahan sebaiknya bergelombang antara 0-

    15%. Lahan terbaik bagi tanaman tebu di lahan tegalan adalah lahan dengan kemiringan

    kurang dari 8%, kemiringan sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang

    dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2%

    apabila tanahnya ringan dan sampai 5% apabila tanahnya lebih berat.

    Sutardjo (2002) menyatakan bahwa tebu dapat ditanam pada tanah dengan kisaran

    pH 5.5-7.0. Pada pH di bawah 5.5 dapat menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat

    menyerap air sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di atas 7.0 tanaman

    akan sering kekurangan unsur fosfor. Menurut Kuntohartono (1982), tanah dengan

    kapasitas penukaran kation yang tinggi dapat memberikan hara yang baik. Pada pH

    netral efisiensi pemupukan NPK lebih tinggi, sedangkan pada pH kurang dari 5 dapat

    menyebabkan tersedianya unsur P untuk Al dan Fe. Unsur Cl, Fe, dan Al merupakan

    bahan racun utama dalam tanah. Tanah yang airnya buruk dapat menimbulkan

    keracunan Fe, Al, dan sulfat (SO4). Kadar Cl 0,06 0,1% telah bersifat racun bagi akar

    tanaman. Keracunan unsur Fe dan Al dapat dikurangi dengan bantuan kapur fiksasi.

    Oleh karena itu, tanah masam dengan pH di bawah 5 perlu diberikan kapur fiksasi

    (CaCO3).

  • III. BLOTONG DAN PEMANFAATANNYA

    A. Pengertian Blotong

    Blotong adalah hasil endapan dari nira kotor (sebelum dimasak dan dikristalkan

    menjadi gula pasir) yang disaring di rotary vacuum filter. Blotong merupakan limbah

    pabrik gula berbentuk padat seperti tanah berpasir berwarna hitam, mengandung air, dan

    memiliki bau tak sedap jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan

    bau busuk yang menyengat. Blotong masih banyak mengandung bahan organik,

    mineral, serat kasar, protein kasar, dan gula yang masih terserap di dalam kotoran itu

    (Hamawi, 2005; Kurnia, 2010; Purwaningsih, 2011).

    Menurut Kuswurj (2009), di antara limbah pabrik gula yang lain, blotong

    merupakan limbah yang paling tinggi tingkat pencemarannya dan menjadi masalah bagi

    pabrik gula dan masyarakat. Limbah ini biasanya dibuang ke sungai dan menimbulkan

    pencemaran karena di dalam air bahan organik yang ada pada blotong akan mengalami

    penguraian secara alamiah, sehingga mengurangi kadar oksigen dalam air dan

    menyebabkan air berwarna gelap dan berbau busuk. Oleh karena itu, jika blotong dapat

    dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan.

    B. Blotong sebagai Bahan Baku Kompos

    Pada umumnya, komoditi tanaman tebu selain menghasilkan gula (sebagai produk

    utama) juga menghasilkan limbah/hasil ikutan/pendamping baik berupa limbah cair

    maupun limbah padat (Deptan, 2007). Proses pembuatan gula dari tebu menghasilkan

    sejumlah limbah dalam bentuk pucuk (top cane), seresah (trash), ampas (bagasse),

    blotong (filter mud), abu ketel (boiler ash), serta tetes (molasses). Bahan-bahan ini

    sebagian dapat dimanfaatkan kembali sebagai hasil samping dan sisanya dibuang

    sebagai limbah. Pucuk dan seresah merupakan sisa panen tebu. Ampas dikeluarkan pada

    saat ekstraksi tebu, sedangkan blotong dan tetes dihasilkan dari proses pemurnian gula.

    Ampas yang digunakan sebagai bahan bakar mengeluarkan sisa dalam bentuk abu ketel

    (Santoso, 2009).

    Menurut Nahdodin (2008), rata-rata standar produksi blotong pada masing-masing

    pabrik gula umumnya sebesar 2,5% tebu. Pada tahun 2008, lima puluh tujuh pabrik gula

    di Indonesia diperkirakan menghasilkan blotong lebih dari satu juta ton dan abu ketel

    lebih dari tiga puluh empat ribu ton. Berdasarkan jumlah blotong dan abu yang

  • dihasilkan di atas maka dapat diperkirakan bahwa dari kedua jenis limbah tersebut dapat

    dihasilkan kompos sekitar enam ratus ribu ton. Jumlah blotong yang besar tersebut

    berpotensi untuk dijadikan pupuk organik yang potensial. Namun sementara ini,

    pemanfatan blotong sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan penggunanya

    pun terbatas. Hal ini disebabkan karena pengolahan limbah blotong menjadi pupuk

    organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan, masih belum ditangani dengan

    menggunakan satu proses yang baik dan benar sehingga pupuk organik yang dihasilkan,

    masih belum sempurna. Selain itu, juga karena minimnya pengetahuan petani akan

    manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan blotong.

    Blotong harus dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk

    organik tanaman tebu. Pengomposan merupakan suatu metode untuk mengkonversikan

    bahan-bahan organik komplek menjadi bahan yang lebih sederhana dengan

    menggunakan aktivitas mikroba. Pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerobik

    dan anaerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik dengan

    kehadiran oksigen (udara). Produk utama dari metabolis biologi aerobik adalah

    karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan

    organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas. Produk akhir metabolis anaerobik

    adalah metana, karbondioksida, dan senyawa intermediate seperti asam-asam organik

    dengan berat molekul rendah.

    C. Proses Pembuatan Kompos dari Blotong

    Pada dasarnya pembuatan kompos cukup sederhana (berbeda dengan pengelolaan

    limbah cair), dengan menumpuk bahan-bahan organik maka bahan-bahan tersebut akan

    menjadi kompos dengan sendirinya, namun proses tersebut akan berlangsung lama.

    Mengingat adanya perubahan-perubahan yang terjadi saat pembentukan kompos maka

    pembentukan kompos dapat lebih dipercepat, tentunya dengan memperhatikan beberapa

    faktor yang mempengaruhi seperti bahan baku, suhu, nitrogen, dan kelembaban

    (Deptan, 2007).

    Pengomposan adalah dekomposisi dengan menggunakan aktivitas mikroba; oleh

    karena itu kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos tergantung pada keadaan dan

    jenis mikroba yang aktif selama proses pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas

    mikroba perlu diperhatikan selama proses pengomposan, misalnya aerasi, kelembaban,

    media tumbuh dan sumber makanan bagi mikroba.

  • Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku asal limbah

    pabrik gula, antara lain: serasah, blotong dan abu ketel, serta menambahkan bahan

    aktivator berupa mikroorganisme yang terdiri dari: campuran bakteri, fungi,

    aktinomisetes, kotoran ayam, dan kotoran sapi. Proses pengolahan ini dilakukan secara

    biologis karena memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengurai limbah.

    Pembuatan blotong untuk pupuk organik telah banyak dilakukan oleh pabrik gula. Pada

    proses pembuatannya diperlukan kotoran ternak, bioaktovator dan zeolit. Penggunaan

    bioaktivator ini akan menghasilkan kompos yang lebih kaya akan unsur hara (N, P dan

    K) sehingga dapat memperngaruhi produktivitas tanaman. Pada tahapan proses

    pengomposan, pada minggu pertama dilakukan pembalikan pada tumpukan blotong,

    kemudian pada minggu ke-2 dilakukan pembalikan, sampai minggu ke-3. Setiap

    pembalikan dilakukan dengan pengaduk atau aerator selama 3-4 jam.

    Berdasarkan prosedur pembuatan pupuk kompos, bahan pupuk terdiri dari

    tumpukan berisi 60 kg serasah, 300 kg blotong, dan 100 kg abu ketel. Bahan-bahan

    tersebut dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kotak dengan ukuran bawah 1,5 x 1,5

    m; ukuran atas 1 m x 1 m serta tinggi 1,25 m. Sebelum dicetak, daun tebu dipotong-

    potong sehingga panjangnya kurang dari 5 cm. Semua bahan dicampur rata, kemudian

    ditambah 5 kg TSP dan 10 kg Urea. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penambahan

    air.

    Pemberian aktivator pada setiap tumpukan masing-masing sebanyak 10 kg

    campuran mikroorganisme selulolitik, yaitu 5 kg fungi; 2,5 kg bakteri dan 2,5 kg

    aktinomisetes. Aktivator ditabur bersamaan dengan saat memasukkan bahan kompos ke

    dalam cetakan. Setelah tercetak, kemudian di setiap tumpukan diberi lubang aerasi pada

    masing-masing sisi dan bagian atas tumpukan dengan cara menusukkan sebatang

    bambu.

    Pembalikan tumpukan kompos dilakukan dua minggu sekali. Hal ini dimaksudkan

    untuk membantu memperlancar sirkulasi udara ke bagian tengah kompos, sehingga

    dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme selulolitik. Setiap dua minggu

    dengan menganalisa nisbah C/N dan pH sampai diperoleh nisbah C/N sekitar 12-20 dan

    pH mendekati netral. Proses pengomposan harus dikontrol oleh suhu dan kelembaban

    yang tepat. Jika tidak sesuai maka proses pengomposan menjadi tidak sempurna.

    Setelah pengomposan, kompos blotong menjadi lebih kering dan setelah itu dilakukan

    pengayakan.

  • D. Peranan Unsur-Unsur Penyusun Blotong

    Pada dasarnya, pemberian bahan organik ke dalam tanah akan berpengaruh pada

    sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah

    diantaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan

    kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologi tanah adalah

    meningkatkan aktivitas mikrorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer

    hara tertentu seperti N, P, K, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah

    adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga dapat mempengaruhi serapan hara

    oleh tanaman (Gaur, 1981).

    Menurut Sastrosumarjo (1995), karakteristik lahan kering secara umum meliputi

    tingginya kandungan liat dan besi yang disertai rendahnya kandungan bahan organik

    sehingga mengakibatkan tanah menjadi peka terhadap erosi dan pemadatan tanah.

    Kandungan besi yang tinggi mengakibatkan rendahnya kapasitas menyimpan air pada

    akhirnya menghambat penetrasi akar serta pertumbuhan akar. Tanah bersifat masam,

    kesuburan tanah rendah, kandungan bahan organik serta aktivitas liat rendah. Sebagian

    besar areal lahan kering bagian hulu di Indonesia bertopografi bergelombang

    (kemiringan lahan 8-15 %) dan berbukit (15-30 %). Kejenuhan basa dan KTK rendah,

    serta kapasitas fiksasi fosfat tinggi.

    Berikut adalah komposisi kandungan hara yang terdapat dalam blotong yang telah

    mengalami proses pengomposan :

    Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros

    Kandungan Nilai

    Kadar air (%)

    pH

    C organik (%)

    N total (%)

    P2O5 (%)

    K2O (%)

    S (%)

    Ca (%)

    Mg (%)

    Fe (%)

    Mn (%)

    Cu (%)

    Zn (%)

    8,5

    8,53

    1,82

    0,35

    7,04

    7,71

    2,4

    4,49

    0,66

    1,01

    0,14

    0,010

    0,034

    Sumber : BST PG Madukismo

  • Berdasarkan Tabel 1 yang tertera di atas, Nampak bahwa komposisi kimia dari

    pupuk blotong terdiri atas air dan unsur-unsur yang dibutuhkan dalam pertumbuhan

    tanaman tebu. Menurut Soepardi (1983), komposisi tanah ideal untuk media

    pertumbuhan per satuan volume terdiri atas 50% bahan padat mineral, 25% berisi air,

    20% berisi udara, dan sisanya berupa bahan organik. Bahan organik yang dimaksud

    secara kimia harus tidak kurang dari 2% sehingga dikatakan sebagai tanah subur

    (Tisdale et al., 1985). Berdasarkan komposisi tersebut maka pupuk blotong dapat

    menyuplai kebutuhan air pada media pertumbuhan tanaman tebu karena memiliki kadar

    air sebesar 8,5%.

    Nilai pH pupuk blotong yang tampak pada Tabel 1 adalah sebesar 8,53 yang

    berarti bahwa pupuk blotong diduga dapat membantu menstabilkan nilai pH tanah.

    Menurut pustaka Deptan, tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah

    (pH) 5 8. Apabila pH tanah kurang dari 4,5 maka kemasaman tanah menjadi faktor

    pembatas pertumbuhan tanaman yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh

    toksik unsur aluminium (Al) bebas.

    Selain kadar air dan nilai pH, kandungan C dan N pada pupuk blotong

    menunjukkan nilai sebesar 1,82% dan 0,35% yang nilainya meskipun cukup rendah

    namun memberikan kontribusi perbaikan sifat fisika dan biologi tanah serta

    memberikan tambahan unsur hara ke dalam media tanah yang digunakan. Tanah

    pertanian yang baik mengandung perbandingan unsur C dan N yang seimbang dengan

    keseimbangan yang baik mempunyai kandungan C sebesar 10%, sedangkan kandungan

    N sebesar 12%. Semakin rendah nilai C/N maka akan semakin mudah untuk

    melepaskan unsur hara (Anonim, 2008).

    E. Manfaat Blotong pada Budidaya Tanaman Tebu

    Kompos blotong yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk perkebunan

    tebu. Kompos ini dapat memperbaiki fisik tanah di areal perkebunan tebu, khususnya

    meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, memperbaiki

    drainase tanah, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah

    lebih tersedia. Selain itu pemberian ke tanaman tebu sebanyak 100 ton blotong atau

    komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan

    (Nahdodin et al., 2008).

  • Adanya pemanfaatan blotong ini diharapkan mampu membantu mengatasi

    masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran

    lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu langkah awal menuju zero waste

    industry dalam industri gula. Seorang peneliti pupuk mengungkapkan bahwa terdapat

    beberapa mikroba dalam pupuk ini, yaitu Celulotic bacteria, Pseudomonas, Bacyllus,

    dan Lactobacyllus. Bakteri tersebut ada yang berfungsi melarutkan fosfat. Seperti

    diketahui, fosfat jika dipakai untuk pupuk harus dalam keadaan terlarut, dan yang

    melarutkan itu mikroba. Pupuk organik ini mampu memperbaiki tekstur dan mampu

    menyehatkan tanah kritis akibat pupuk kimia (anorganik).

    Pemberian kompos yang berasal dari limbah industri gula ini telah dicoba pada

    tanaman tebu di berbagai wilayah pabrik gula di Indonesia. Secara umum kompos dapat

    meningkatkan produktivitas tebu. Pemberian kompos blotong dan kompos ampas pada

    lahan tebu di pabrik gula Cintamanis Palembang, masing-masing dengan takaran 30

    ton/ha mampu meningkatkan bobot tebu. Bobot tebu yang diberikan pupuk kompos ini

    pada tanaman pertama, berturut-turut lebih tinggi 26,5 dan 8,1 ton/ha dibandingkan

    dengan kontrol (Wargani et al., 1988).

    Blotong sangat berguna dalam usaha memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga daya

    menahan airnya meningkat. Tiap ton blotong berkadar air 70% mengandung hara setara

    dengan 28 kg ZA, 22 kg TSP dan 1 kg KCl (Suhadi et al., 1988). Hara tersebut

    mengandung 5,88 kg N, 9,9 kg P dan 0,6 kg K. Menurut Wargani et al. (1988),

    pemberian kompos pada demplot menghasilkan peningkatan produksi tebu yang

    bervariasi yaitu antara 7,2 ton sampai 16,9 ton/ha akibat pemberian kompos sebanyak

    10 ton/ha. Dosis kompos ini menunjukkan perbaikan sifat fisik tanah terutama di lapisan

    penebaran kompos.

    Menurut Toharisman et al. (1991), pemberian blotong pada tanah Mediteran

    Malang Selatan mampu meningkatkan hasil tebu lebih dari 20% dibanding kontrol.

    Blotong berperan terhadap sifat kimia tanah, yaitu penambahan blotong mampu

    meningkatkan ketersediaan hara P dan basa-basa terutama Ca, sehingga tanaman

    mampu menyerap hara lebih baik. Menurut Suhadi dan Sumojo (1985), blotong juga

    mampu meningkatkan N tanah yang secara relatif mengurangi kebutuhan pupuk ZA.

    Penelitian yang dilakukan Mulyadi (2000) menunjukkan bahwa pemberian

    blotong nyata meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah tanaman/rumpun,

    dan bobot kering kering tebu bagian atas berumur 4 bulan yang ditanam di tanah

  • kandiudoxs. Dosis efektif yang digunakan adalah sekitar 40 ton/ha, ditandai dengan

    peningkatan tinggi tanaman 58%, diameter batang sebesar 31%, jumlah

    tanaman/rumpun sebesar 25%, dan bobot kering tanaman bagian atas sebesar 225%

    dibanding perlakuan tanpa blotong. Sedangkan berdasarkan penelitian Parinduri (2005),

    dosis blotong 20 ton/ha saja dapat meningkatkan jumlah anakan tebu 11,02%, bobot

    kering tajuk 8,43%, bobot kering tanaman 5,33 %, bobot kering dan luas daun 20,43%

    dibandingkan dengan perlakuan pemupukan anorganik N, P, K dan ZA.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kirana (2008), pengaruh pemupukan

    kompos blotong terhadap pertumbuhan tanaman nyata pada jumlah daun 6 MST dan

    diameter batang 12 MST. Pengaruh pemberian kompos blotong terhadap pertumbuhan

    tebu lahan kering terjadi dalam waktu yang tidak secepat penggunaan pemupukan

    anorganik. Pertumbuhan tinggi tanaman dan luas daun tebu berjalan lebih lambat

    daripada tanpa pemberian kompos blotong. Dosis kompos blotong 7,5 ton/ha sampai 10

    ton/ha meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan jumlah anakan (umur

    tiga bulan setelah tanam) daripada kontrol. Pada bobot kering akar dan bobot kering

    tajuk, pemberian kompos blotong yang diberikan masih terlalu rendah untuk

    menghasilkan pertumbuhan yang melebihi pertumbuhan tanaman tanpa kompos

    blotong. Dalam penelitiannya, pemberian kompos blotong tidak meningkatkan sifat

    kimia tanah tetapi meningkatkan unsur N dalam tanah daripada tanpa kompos blotong.

    Dosis 7,5 ton/ha sampai 10 ton/ha kompos blotong menghasilkan sifat kimia tanah

    optimum bagi ketersediaan hara dalam tanah.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwono et al. (2011), dosis blotong

    cukup nyata mempengaruhi rendemen tebu (Tabel 2). Apabila dosis kompos dikaitkan

    dengan frekuensi penyiraman, keduanya saling berinteraksi dalam mempengaruhi

    rendemen tebu. Ada korelasi yang signifikan antara Brix dan hasil gula. Kandungan sari

    tebu memiliki kontribusi yang besar terhadap hasil gula. Berikut adalah data hasil

    penelitian yang diperoleh :

  • Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang, Panjang

    Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang Dihasilkan

    Dosis

    Kompos

    Blotong

    (ton/ha)

    Brix

    (%)

    Rendemen

    (%)

    Jumlah

    Batang

    Panjang

    Batang

    (cm)

    Bobot

    Segar

    (g)

    Hasil

    (kg/ha)

    Gula

    Kristal

    (kg/ha)

    0

    2,5

    5

    7,5

    18,87b

    19,22ab

    19,28a

    18,95ab

    7,68a

    7,70a

    7,73a

    7,16b

    6,5a

    6,6a

    6,6a

    6,6a

    301,06a

    298,78a

    301,50a

    295,39a

    529a

    524a

    559a

    509a

    95,22a

    94,28a

    100,67a

    91,65a

    7,313ab

    7,260a

    7,782a

    6,662b

    Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak

    berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%.

    Aplikasi blotong dengan dosis 5 ton/ha memberikan hasil rendemen tebu tertinggi,

    sedangkan hasil kristal gula tertinggi (7,620 kg ha-1) dicapai pada pemberian dosis

    blotong antara 2,55 ton/ha. Di dalam penelitiannya, aplikasi blotong 5 ton/ha dapat

    mengurangi frekuensi penyiraman setiap dua minggu. Aplikasi blotong dengan dosis 3-5

    ton/ha yang dianjurkan dalam penanaman tebu lahan kering ditujukan untuk mengurangi

    frekuensi penyiraman. Jumlah kompos harus diterapkan dalam jumlah yang dapat

    meningkatkan kandungan organik tanah sekitar 3%, dan kompos harus diterapkan secara

    teratur untuk mempertahankan tingkat 3% dalam tanah. Aplikasi blotong harus

    diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kadar organik tanah

  • IV. PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Blotong dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil, rendemen, bahkan produksi gula

    kristal tebu di lahan kering. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam

    meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan

    unsur hara, memperbaiki drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh

    Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu

    membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi

    masalah pencemaran lingkungan.

    B. Saran

    Prioritas dalam penentuan aplikasi blotong sebaiknya berdasarkan kandungan

    bahan organik tanah. Sebelum aplikasi diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan

    analisis tanah yang dapat mewakili sehingga pemberian blotong dapat lebih tepat

    sasaran. Selain itu, penting bagi blotong untuk melalui proses pengomposan karena

    dengan begitu blotong dapat terdekomposisi dengan baik dan akhirnya mampu

    menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2008. Aspek Manfaat Bahan Organik pada Budidaya Tebu.

    . Diakses pada tanggal 21

    November 2012.

    Anonim. 2008. Konsep Peningkatan Rendeman Tebu untuk Mendukung Proses Akselerasi

    Industri Gula Nasional. . Diakses pada tanggal 21 November 2012.

    Ahira, A. 2009. Berkenalan dengan Tanaman Tebu. . Diakses pada tanggal 22 November 2012.

    Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review.

    Cerianet. 2008. Konsep Budidaya Tebu. . Diakses pada tanggal 22 November 2012.

    Deptan. 2007. Pedoman Teknis Pemanfaatan Limbah Perkebunan Menjadi Pupuk Organik.

    Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

    Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling: A Manual of Rural

    Composting. FAO. The United Nation, Rome.

    Hamawi. 2005. Blotong, Limbah Busuk Berenergi.

    . Diakses pada

    tanggal 22 November 2012.

    James. 2004. Sugarcane Second Edition. Blackwell Publishing Company, Inggris.

    Kirana, K. 2008. Penentuan dosis pemupukan kompos blotong pada tebu lahan kering

    (Saccharum officinarum L.) varietas PS 862 dan PS 864. Skripsi. Program Sarjana,

    Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Kuntohartono, T. 1982. Pedoman Budidaya Tebu Lahan Kering. Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta.

    Kurnia, W. R. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula dalam rangka Zero

    Emission. . Diakses pada tanggal 22

    November 2012.

    Kuswurj, R. 2009. Blotong dan Pemanfaatannya. .

    Diakses pada tanggal 22 November 2012.

    Lahuddin. 1996. Pengaruh kompos blotong terhadap beberapa sifat fisik dan kandungan

    unsur hara tanah serta hasil tanaman jagung. Jurnal Penelitian Pertanian 1 : 13-18.

  • Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan terak baja pada tanah Kandiudoxs

    Pelaihari dalam upaya memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N, Si, P, dan S

    serta pertumbuhan tebu. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,

    Bogor.

    Murtinah, S. 1990. Penelitian air buangan industri gula proses sulfitasi. Buletin Penelitian

    Pengembangan Industri 12 : 7-20.

    Nadia. 2012. Tebu. .

    Diakses pada tanggal 21 November 2012.

    Nahdodin, S. H., I. Ismail, dan J. Rusmanto. 2008. Kiat Mengatasi Kelangkaan Pupuk

    untuk Mempertahankan Produktivitas Tebu dan Produksi Gula Nasional.

    . Diakses pada tanggal 21 November 2012.

    Parinduri, S. 2005. Respon tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap pemberian

    blotong yang diperkaya dengan bakteri pelarut fosfat dan azospirillum. Tesis.

    Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Plantamor. 2012. Informasi Spesies Tomat. . Diakses pada tanggal 21 November 2012.

    Purwaningsih, E. 2011. Pengaruh pemberian kompos blotong, legin, dan mikoriza terhadap

    serapan hara N dan P tanaman kacang tanah. Widya Warta No 02 Tahun XXXV.

    Purwono, D. Sopandie1, S. S. Harjadi1, and B. Mulyanto. 2011. Application of filter cake

    on growth of upland sugarcanes. Journal of Agronomy Indonesia 39 : 79-84.

    Putri, Renata S., Junaidi T. Nurhidayati, Wiwit Budi W. 2010. Uji Ketahanan Tanaman

    Tebu Hasil Persilangan (Saccharum spp. hybrid) Pada Kondisi Lingkungan

    Cekaman Garam (NaCl). Undergraduate Thesis. Institut Teknologi Sepuluh

    Nopember. Surabaya.

    Santoso, B. 2009. Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan, dan Pemanfaatannya

    dalam Upaya Program Langit Biru dan Bumi Hijau.

    . Diakses pada tanggal 22

    November 2012.

    Sastrosumarjo, S. 1995. Sistem Tanah (Cropping System) pada Pertanian Lahan Kering

    Berkelanjutan. Dies Natalis XXXII Institut Pertanian Bogor Diskusi

    Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung

    Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Sudiatso, S. 1983. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian, Institut

    Pertanian Bogor. Bogor.

  • Suhadi dan Sumojo. 1985. Pengaruh blotong terhadap sifat fisik tanah regosol pasir

    lempungan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Buletin No. 111.

    Suhadi, Sumojo, dan Marsadi. 1988. Beberapa Masalah pada Tanah di Perkebunan Tebu

    Lahan Kering di Luar Jawa. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering. P3GI,

    Pasuruan.

    Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu Liku-Liku Permasalahannya. Kanisius, Jakarta.

    Sutardjo, E. R. M. 2002. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta.

    Toharisman, A., Suhadi, dan M. Mulyadi. 1991. Pemakaian Blotong untuk Meningkatkan

    Kualitas Tebu di Lahan Kering. Pertemuan Teknis TT I/1991. P3GI, Pasuruan.

    Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.

    MacMillan Pub. Co., New York.

    Wargani, Supriyanto, dan Samsuri. 1988. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula sebagai Bahan

    Kompos dalam menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Tebu di Pabrik Gula

    Cintamanis. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering P3GI Pasuruan, Pasuruan.

  • LAMPIRAN

    Daftar pertanyaan dan jawaban hasil diskusi seminar kelas Pemanfaatan Blotong

    pada Budidaya Tebu (Saccharum officinarum L.) di Lahan Kering.

    1. Galuh Asrinda Titi M. (11772)

    Pertanyaan:

    Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 5

    ton/ha dapat meningkatkan rendemen tebu dan produksi gula kristal secara signifikan.

    Akan tetapi, pada pemberian kompos blotong sebanyak 7,5 ton/ha justru memberikan

    pengaruh sebaliknya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

    Jawaban:

    Pada dasarnya, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sama halnya dengan

    manusia yang membutuhkan suplai makanan. Ketika dalam kondisi kekurangan makan,

    manusia tersebut akan lemas dan tidak banyak aktivitas yang dapat dikerjakan. Begitu

    juga ketika dalam kondisi kelebihan makan (terlalu kenyang), manusia bukan menjadi

    sangat kuat tetapi justru sulit melakukan aktivitas. Hal inilah yang dialami oleh tebu

    yang diberikan dosis blotong sebanyak 7,5 ton/ha. Kebutuhan yang dikehendakinya

    secara ideal terpenuhi pada dosis blotong 5 ton/ha sehingga apabila dosis ditambah

    (sudah tidak sesuai dengan kebutuhan) maka justru aktivitas metabolismenya

    terganggu/terhambat.

    2. Ellia Habib M. (11873)

    Pertanyaan:

    a. Kapan sebaiknya aplikasi blotong dilakukan?

    b. Kandungan pH pada blotong yakni 8,53 sedangkan pada syarat tumbuh tebu

    dikehendaki pH 5,5-7. Apakah ini berpengaruh?

    Jawaban:

    a. Sebaiknya blotong diaplikasikan di awal masa tanam, lebih tepatnya saat

    dilakukannya pengolahan tanah. Dalam hal ini blotong memiliki fungsi yang sama

    seperti pupuk organik padat lainnya yang juga diaplikasikan di awal masa tanam.

    Apabila ditilik dari fungsinya, blotong dapat dijadikan sebagai bahan pembenah

    tanah, terutama di lahan kering.

  • b. Ya, tentu saja berpengaruh. Seperti yang telah diutarakan dalam seminar, sebelum

    melakukan aplikasi blotong sebaiknya dilakukan analisis tanah. Semua hal harus

    disesuaikan dengan kebutuhan tebu sehingga aplikasi blotong dapat tepat sasaran.

    Jadi sangat baik apabila blotong dengan kondisi tersebut diaplikasikan pada tanah

    yang masam karena kondisi pH tanah tersebut akhirnya dapat menjadi stabil.

    3. Siti Afrohul Qonita (11849)

    Pertanyaan:

    Apakah perusahaan gula sudah memanfaatkan blotong? Apakah ada tambahan pupuk

    lain setelah dilakukannya aplikasi blotong? Bagaimana pemanfaatannya secara

    ekonomis?

    Jawaban:

    Ya, sebagian besar perusahaan gula telah memanfaatkan blotong. Dari beberapa

    perusahaan yang saya ketahui, tambahan pupuk lain masih digunakan walaupun aplikasi

    blotong telah dilakukan. Hal ini dapat dikarenakan areal pertanaman tebu di perusahaan

    sangat luas dan kebutuhan tebu pada umumnya belum dapat tercukupi hanya dengan

    diaplikasikannya blotong sebab umumnya perusahaan tidak melakukan pengomposan

    secara khusus sehingga blotong tidak dapat menyediakan kebutuhan tebu secara baik

    karena proses dekomposisi tidak terjadi secara sempurna. Sejauh ini pemanfaatan

    blotong secara ekonomis dilakukan oleh perusahaan dengan hanya menumpuk blotong

    pada beberapa plot lahan dan menunggu beberapa hari (tidak ada pengomposan secara

    khusus).

    4. Hadianti Deliana R. (11718)

    Pertanyaan:

    Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 7,5

    ton/ha dapat menurunkan rendemen tebu secara signifikan. Akan tetapi, pada pemberian

    kompos blotong sebanyak 100 ton/ha pada penelitian Nahdodin et al. (2008) justru

    memberikan pengaruh sebaliknya. Bagaimana hal terebut dapat terjadi?

    Jawaban:

    Penelitian keduanya dilakukan pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda,

    lingkungan yang berbeda, kebutuhan tebu yang berbeda, dan kondisi tanah yang

    berbeda. Jadi mungkin apabila hasil yang didapat juga berbeda. Menurut saya hal

  • tersebut dapat terjadi karena pada penelitian Purwono kondisinya (khususnya media

    tanam) jauh lebih baik untuk pertanaman tebu, sedangkan pada penelitian Nahdodin

    kondisinya sangat jauh di bawah. Maka itu perlu adanya analisis tanah sebelum

    dilakukan aplikasi kompos.

    5. Anjarini Pranesti (11657)

    Pertanyaan:

    Apakah ada pengaruhnya apabila blotong diaplikasikan di tanah masam?

    Jawaban:

    Ya, jelas ada pengaruhnya. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, pemberian

    blotong dapat menstabilkan pH tanah yang masam. Berdasarkan hasil analisis komposisi

    blotong, pH yang terkandung di dalamnya yaitu sekitar 8,5 yang apabila diaplikasikan

    pada tanah masam tentu akan menaikkan pH tanah yang masam itu sehingga menjadi

    lebih stabil (netral).

    6. Riza Luthfiah (11595)

    Pertanyaan:

    Apakah blotong memiliki kekurangan?

    Jawaban:

    Ya, jelas sekali. Blotong merupakan limbah buangan dari pabrik gula yang memiliki

    bau sangat menyengat terutama dalam keadaan basah. Tingkat pencemaran yang

    ditimbulkan blotong dapat dikatakan tinggi.