pemandangan umum fraksi karyapembangunan...
TRANSCRIPT
PEMANDANGAN UMUM
FRAKSI KARYAPEMBANGUNAN DPR-RI
TERHADAP
1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH
DAN RETRIBUSI DAERAH,
2. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BEA BALIK
NAMA TANAH DAN BANGUNAN,
3. RANCANGAN UNDANG':'UNDANG TENTANG PENAGflIAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DAN
4. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN
PERADILAN PAJAK.
Disampaikan Oleh
Drs. Simon Patrice Morin
Anggota DPR-RI No. : 342
Jakarta, 12 Desember 1996
361
PEMANDANGAN UMUM
FRAKSI KARYA PEMBANGUNAN DPR-RI
TERHADAP
1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH
DAN RETRlBUSI DAERAH,
2. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BEA BALIK
NAMA TANAH DAN BANGUNAN,
3. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENAGfl-IAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DAN
4. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN
PERADILAN PAJAK.
Disampaikan Oleh : Drs .. Simon Patrice Anggota DPR-RI No. : 342
Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Yth. SaudaraKetualPimlPinan Rapat Paripurna,
363
Yth. Saudara Menteri Keuangan yang mewakili Pemerintah,
Yth. Ibu, Bapak Anggota Dewan serta Hadirin yang kami muliakan,
Tanpa terasa waktu bedalu demikian cepatnya sehingga tahun
1996 abn segera berakhir dan tercatat sebagai masa laiunya perjalanan
kenegaraan kita. Telah tercapai banyak kemajuan dalam berbagai aspek
kehfdopan rakyat berkat keberhasilan pembangunan nasional tahun
demi tahun. Namun sebagai bangsa yang cukup berpengalaman, dalam
perjalanan pembangunan selama kurang lebih tiga dekade kitapun seialu
sadnr bahwa pcrjalanan pembangunan itu tiidak akan pcrnah sepi dari
tantangan dan hambatan. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah pada
kesempatan yang berbabagia int Fraksi Karya Pembangllnan mengajak
seluruh hadirin untllk bersama-sama memmdllkkan kepala memanjatkan
puji, dan syukur kehadirat TlIhan Yang MaIm Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya atas perjalanan bangsa kita selama tahun 1996,
seraya memohon petllnjllk dan tllntllnan-Nya dalam memasllki tahlln 1997
dengan segala harapan dan tantangannya.
Khusus pad a hari ini, tanggal 12 Desember 1996, patut kita bersyukur
karena masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk mcnghadiri rapat
Paripurna DPR-RI dalam rangka meiaksanakan tllgas konstitusional yang
berkaitan dengan pembahasan 4 Rancangan Undang-lIndang di bidang
Perpajakan.
Semoga tallfik dan hidayah-Nyaselalll mengiringi keseillruhan
rangkaian acara persidangan Dewan yang mulia ini, schingga hasifnya
benar-benar dapat memenuhi aspirasi dan menyentuh kepentingan bangsa,
negara dan selain rakyat Indonesia.
Saudara Pimpinan, para hadirin yang terhormat,
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Presiden Republik Indonesia
364
denganamanatnyaNomor R.IIIPUIXII1996 tertanggal12 Nopember 1996,
telah menyampaikan 4 Rancangan Undang-undang bidang Perpajakan kepada Dewan yaitu:
I. Rancangan Undang-undang tentang Pajak. Daerah dan Retribusi Daerah,
2. Rancangan Undang-undang tentang Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan,
3. Rancangan Undang-undang tantang Penagihan Pajak. Dengan Surat Paksa,
4. Rancangan Undang-undang tentang Badan Peradilan Pajak.
Selanjutnya pada hari Sen in tanggal 25 Nopember 1996 yang lalu Saudara Menteri Keuangan Republik Indonesia mewakili Pemerintab telah menyampaikan Keterangan Pemerintah terhadap keempat Rancangan Undang-undang bidang perpajakan tersebut.
Dalam keterangannya pemerintah menyampaikan antara lain:
I. Bahwa keempat Rancangan Undang-undang bidang perpajakan tersebut mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam upaya meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional maupun dalam memberikan landasan hukum yang adil, tegas,jelas dan kokoh dalam pemungutan pajak bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
2. Bahwa RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diajukan kepada Dewan sejalan dengan amanat Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerilitahan di Daerah dan sekaligus untuk menggantikan Undang-undangNo. 11 Drt. Tabun
365
366
1957 tentang Peraturan Umum Pltiak Daerah dan Undang-undang
No. 12 Dli. Tahun 11957 tentang Peratul"all Umum Retribusi Daerah
yang sudah tidak lagi dapat menampung kebutuhan pembangunan,
khususnya bagi daerah.
3. Bahwa landasan hukum sumber-sumber penerimaan daerah akan
makin bertambah kuat, dengall diajllkannya kepada Dewan RUU
ten tang Bea Balik Nama Tanah dan Bangllnan Pengenaan Bea
Balik Nama Tanah dan Bangunan akan membeTikan tambahan
penerimaan negara yang sebagian besar hasilnya akan diserahkan
kepada Pemerintah Daerah disamping merupakan rangsangan untuk
mengurangi spekulasi atas tanah.
4. Sahwa Rancangan Undang-undang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa yang telah disampaikan kepada Dewan, dimaksudkan
llntuk mengatasi berbagai kelemahan penagihan pajak berdasarkan
Undang-undang No. 13 Tahun 1 S53 tentang Penagihan Pajak
Negara dengan Surat Paksa. RUU in:i dimaksudkan pula sebagai
landasan hukum dalam pelaksanaan penagihan pajak yang meliputi
pajak pusat (termasuk Bea masuk, Cllkai, Bea Balik Nama Tanah
dan Bangunan) maupllln pajak-pajak daerah.
5. Bahwa RUU Badan Peradilan Pajak dimakslldkan untuk mengganti
Majelis Pertimbangan Pajak yang dibentuk berdasarkan Regeling
Ti:tn het Seroep ill Selasting Zaken Staatblad Tahun 1927. No. 29
dengan segal a perubahan dan kendalanya. Selanjutnya ditegaskan,
bahwa Badan Peradilan Pajak pada hakekatnya merupakan salah
satu pelaksana kekua:saan kehakiman. Dalam kaitan itll, badan
peradilan yang dipedukan adalah Badan Peraban Khusus yang
berwewenang memherikan putusan atas sengketa di bidang
perpajakan dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah.
Yth. Saudara Ketua, Pimpinan Rapat Paripurna,
Yth. Saudara Menteri Keuangan,
Yth. Ibu, Bapak para Anggota Dewan, serta hadirin yang kami muliakan.
Fraksi Karya Pembangunan menyambut baik atas disampaikannya4
RUU di bidang perpajakan ini, karena sesuai dengan harapan dan kehendak
fraksi kami, sebagaimana telah disampaikan dalam Pendapat Akhir fraksi
tanggal 9 Nopember 1994 yang lalu, pada saat pengesahan perubahan 4
RUU perpajakan.
Dcngan disampaikannya 4 RUU di bidang perpajakan ini, yang
pembahasannya Insya Allah akan kita lakukan secara saksama melalui
pengkajian yang mendalam dan dalam suasana penuh musyawarah untuk
mufakat, sehingga segera dapat disetujui, disahkan dan diundangkan.
Dengan demikian akan semakin lengkaplah landasan hukum perpajakan kita
untuk memenuhi tuntutan kehutuhan Undang-undang Perpajakan Nasional
yang scsuai dengan perkembangan masyarakat dan dunia dewasa ini.
Seiring dengan tingkat perkcmbangan dan tuntutan pembangunan
bangsa dan negara maka peran penerimaan pajak untuk pembiayaan
tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dari waktu kewaktu menjadi
sumber penerimaan negara yang sangat penting. Oleh karena itu sejak
tallUn 1983 pemerintah secara terencana telah melakukan berbagai
langkah reformasi perpajakan terutama terhadap berbagai Undang
Undang di bidang Perpajakan Nasional yang dinilai masih berbau kolonial
dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan keblltuhan zaman.
Fraksi Karya Pembangunan mencatat bahwa sejak talmn 1983 tclah
dilakukan pcmbaharuan di bidang Undang-undang Perpajakan yang
melahirkan:
367
1. Undang-undang Nomor .. Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan,
2. Undang-undang Nomor 7 Tahaun 1983 tentang PajakPenghasilan,
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah .
Kemudian pad a Tahun 1985 diikuti dengan 2 Undang-undang, yaitu:
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, dan
5. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Sejak berlakunya ke lima Undang-unclang Perpajakan yang bam
tersebut beserta dukungan peraturan-paaturan pclaksanaannya, sumbangan
penerimaan pajak terhadap penerimaan negara semakin meningkat. Hal ini
dapat kita lihat dari perkembangan penerimaan perpajakan.
Dalam tahun anggaran 1983/1984 yang merupakan awal reformasi
perpajakan, .......... penerimaan perpajakan hanya menyumbang sekitar
27,5% dari keseluruhan penerimaan dalam negeri. Dengan reformasi
perpajakan yang didukung oleh usaha dan upaya intensifikasi pemungutan
pajak dan ekstensifikasi obyek pajak telah berhasil meningkatkan
peran penerimaan perpajakan, sehingga dalam tahun terakhir Repelita V
penerimaan pajak mencapai 65,3% dari kesleluruhan penerimaan dalam
negeri .. Kemlldian dalam tahun anggaran 1994/1995 p,eranannya tetap
me:ningkat, yaitu menjadi 66,3% dari seluruh.penerimaan dalam negeri.
Jelaslah bahwa Undang-undang Perpajakan Nasionall kita yang baru
tersebllttelah mampu mewujudkan tekad kita untllk menjadikan penerimaan
pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara, dan sekaligus sebagai
instrumen pemerataan pembangunan demi terciptanya keadaan.
368
Walaupun pertimbangan utama dalam melaksanakan reformasi
perpajakan tahun 1983 adalah peningkatan peran penerimaan pajak
terhadap penerimaan dalam negeri' namun dengan adanya berbagaj
perkembangan baru dibidang ekonomi secara global masih saja terdapat
beberapa kelemahan bila dikaitkan dengan kebijaksallaan perpajakan dalam
perdagangan internasional dan investasisesuai komitmon kita pada GAIT
(GENERAL AGREEMENT ON TRADE AND·TARIFF) dan WTO (TVORLD
TRADE ORGANIZATION) maupun kesepakatall AFTA (ASEAN FREE
TRADE AREA) pada tahun 2003 dan APEC (ASIA PAEIFIE ECONOMIE
COOPERATIOA) tahun 2020. Dengan perkembangan ekonomi global
tersebut maka negara-Ilegara yang tidak memiliki ketinggulan bersaing
dan keunggulan komparatif dalam memasarkan produk-produknya akan
tesisih dalam persaingan global dan bahkan kemungkinan akan dijadikan
pasar oleh negara-negara yang produknya memil ikidaya saing yang tinggi. '
Oleh karena itu tuntutan peningkatanefisiensi dalam arti pembenahan
berbagai pungutan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia
terus dilakukan sebagai upaya untuk memaeu sektor ekonomi produktif.
Perkembangan ini mendorong dilakukannyapengkajian secara terus
menerus terhadap Undang-undang perpajakan dan melakukan penyesuaian
yang diperlukan. Disatu sisi pajak diandalkan sebagai sumberutama
penerimaan negara atau yang dikenal dengan fungsi budgeter namun
disisi lain pajak berfungsi pula sebagai instrumen yang mengatur kegiatan
ekonomi didalam suatu negara seperti misalnya insentif pajak untuk
mendorong investasi.
Untuk itu maim pada tahun 1991, ielah di lakukan beberapa perubahan
atas Undang-undang Pcrpajakan kita yaitu perubahan beberapa pasal atas .
Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan untuklebih
mendorong terima usaha, yang antara lain mengatur mengenai perlakuan
PPh terhadap dividen atau bagian keuntungan yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas dalam negeri, koperasi ataubadan-badan usahamilik
negara dan Daerah dari penyertaan modal pada usaha lainnya yang didirikan
369
di Indonesia, dan terhadap perusahaan "Reksadana dan perusahaan modal
Ventura. Kemudian diikuti dengan perubahan yang lebih mendasar atas ke
empat Undang-undang Perpajakan kita, yaitu :
1. Undang-undang Nomor 9 Talmn 1994 tentang Perubahan atas Undang
undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentllan Umllm dan Tata Cara
Perpajakan,
2. Undang-undangNomor 10 Tahun 1994tentangPerubahanatasUndang
llndang Nomor 7 Tahun ] 983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994'tentang "Perubahan atas
Undang-undang Nomor 8 Tahl1l1 ) 983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjl1alan atas Barang Mewah,
4. Undang-undang Nomor 12 Talmn 1994 tentang Perubahan atas Undang
undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang
disahkan 9 Nopember 1994 dan mulai berlaku 1 Januari 1995.
Masih segar dalam ingatan kita, bab perobahan tersebut dimaksudkan
untuk lebih memantapkan asas perpajakan nasional agar lebih berkeadilan,
berkepastian hukum, mendorong peningkatalll pemerataaltl, sehingga akan
lebih mampu berfungsi untuk pengamanan dan peningkatan penerimaan
pajak,yangmenjaditumpuanutamadalampembiayaanpembangunan.Selain
itu perobahan tersebut dimaksud puia untuk menampung perkembangan
ekonomi dan giobalisasi di berbagai bidang. Fraksi Karya Pembangunan
yakin bahwa dengan berbagai langkah pembaharuan tersebut kita akan
lebih mampu untuk memantapkan kemandirian kita dalam membiayai
pembangunan nasional yang setiap talmn terus bertambah luas eakupan
dan jangkauannya, serta (ebih meningkatkan hasilnya. Dengan demikian
sistem perpajakan kita benar-benar merupak:an perwujudan dari amanat
370
rakyat dan menjadi tiang topang bagi terus berlanjutnya pembangunan
nasional, yang merupakan tugas terbesar bangsa Indonesia untuk mencapai
cita-cita kemerdekaan seperti yang tersuratdaam Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945. :. ".:'
Fraksi Karya Pembangunan betpendapat bahwa dengan majukannya4.
RUU di bidang Perpajakan yang riantinya sctelah dibahas dan disyahkan,
akan semakin lcngkaplah Undallg-undang' Perpajakan Nasional leila:
Semakin terciptalah landasanhukUln yang lebib kuat sestiaidengail pasal
23 Undang-undang Dasar 1945, untuk surilber-sumber penerin~aan neganl
tennasuk penerimaan daerah, dalalTI rangka membangunbailgsadan negara
yang menuju pada peningkatall kesejabteraan rakyat dan masyarakat
banyak. Disamping itu akan 'semakin dirasakan terperiullinya 'asas '
keadilan (Filosofis), azas yuridis (hukum), dan asas sosiologiS'dalairi'arti
terpenubinya pertimbangan ekononlis dan finansial baik olehjiseus 11laupun
para wajib pajak, sebagaimana lazimnya dalam menerapkan Undang-
undang Pcrpajakan beserta dengan segala peraturan perundangannya. '
Vth. "Saudara Ketua/Pimpinan Rapat Paripurna
Yth. Saudara Menteri Keuangan, Ibu~ibu, Bapak-bapak anggota Dewan
serta Hadirin yang kami muliakan,
Sebelum Fraksi Karya Pembangunan menanggapi ke-4 RJJU Perpajakan
ini, pcrkenankanlah kami menyampaikan landasan pola pikir fraksi kami,
yakni senantiasa dilandasi oleh falsafahPancasila,' Undang-undang Dasar
1945 dan GBHN beserta dengan Tap-Tap MPR yang berkaitan serta
I
. ~~gram ubemu'~kGOIOnglandKaryaITadhun 19k93, S~hin~gaIPedmbahasan~Ruul ' Inl tetap rplJa • atas an asan- an . asan onstltuslona an operaslona .
Dalam membahas 4 Rancangan Undang-undang ini, fraksi kami akan
menekankan pokok-pokok pemikiran, sebagai berikut: "
371
372
------------------
J. Rancangan Undang-undang tentang Pajak Daeran dan Retribusi Daerah.
1. Bahwa RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang akan dibahas
ini telah sejalan dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang melandasi sumber
pendapatan daerah agar daerah dapat melaksanakan otonominya, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Fraksi Karya Pembangunan sependapat dengan pemerintah dalam hal ini, tetapi disamping itu ingin lebih menjalankan
lagi prinsip-prinsip otonomi daerah, karena nanti akan banyak
mendasari hubungan keuangan, pajak, retribusi, antara pusat dan daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Bila kita dalami prinsip otonomi daerah menurut Ketetapan MPR
No. IVIMPRl1973 tentang GBHN -dapatdisimpulkan antara lain:
a. prinsip otonomi daerah bukan lagi otonomi yang ini dan seluasluasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
b. maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah
berorientasi pada pembangunan dalam hal ini pembangunan dalam arti luas dengan arahan antara lain:
hams serasi dengan pembinaan politik dan persatuan bangsa,
hams dapat menjamin hubungan yang serasi antara
pemerintah pusat dengan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan,
hams dapat menjamin perkembangan dan pembangunan
daerah,
pelaksanaan pember ian otonomi bersama-sama dengan
dekonseirtrasi.
e. titik berat pelaksanaan otonomi daorah diletakkan pada
Daerah Tingkat II, yang pad a saat ini sedang diujicobakan di
seluruh Indonesia.
Dari arahan-arahan tersebut diatas, tampak denganjelas wujud dari
prinsip otonomi daernh yang NYATA dan BERTANGGUNG JAWAB
NYATA:
Mengandung m1i b~hwa pemberian otonom i kepada Daerah
haruslah didasarkan pada faktor-faktor perhitungan-perhitungah
dan tindakan-tindakan atau kebijakan yang benar-benar dapat
menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu
menguras rumah tangganya sendiri.
BERTANGGUNGJAWAB
Mengandungarti bahwapemberian otonomi itu benar-benarscjalan
dengan tujuannya, yakni melancarkan pembangunan keseluruh
Indonesia dan serasi, atau tidak bertentangan dengan arahan
arahan yang telah diberikan, serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan pembangunan daerah.
2. Didalam RUU tentang Pajak Daerah dan Retsibusi Daerab yang
sekaligus sebagai pengganti Ulldang-ulldang Darurat No. II dan No.12 Tahun 1957,hendaknya dapatdengan jelas dan tcgas
mengatur hal-hal apayang menjadi wewenang dan tanggungjawab
pemerintah plisat, dan hal-hal apa pula yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah daerah dengan mengingat penerapan
otonomi daerah dalam negarakesatuan Republik Indonesia,sehingga
373
tidak terdapat kewenangan dan tanggungjawab yang tumpang
tindih.Diharapkan pula agar substansi daJam RUU ini tidak
menimbulkan penafsiran bahwa dalam peiaksanaan kewenangan
dan tanggungjawab dimaksud, pemerintah pusat seolah-olah
berniat menarik kewenangan otonomii daerah menjadi wewenang
pemerintah pusat atau dengan kata lain terjadi pergeseran dari asas
desentrafisasi ke sentralisasi untuk pajak daerah dan retribusi
daerah. Hal ini hendaknya dihindari dalam perutmisan substansi
RUUini. Hendaknya pembagian fungsi fiskal dan pembagian
wewenang perpajakan antera pusat dan daerah benar-benar
mernpertimbangkan kawenangan otonomi daerah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Dalam perumusan substansi RUU ini hendaknya dapat dihindari
penerapan akan pengertian pajak, retribusi bahkan pungutan,
demikian pula harus dihindari kermungkinan terjadinya pungutan
retribusi daerah diklasifikasikan sebagai izin atau lisensi, sedangkan
bila dikaitkan dengan hukum fiskal dia merupakan pajak, dengan
kata lain ia merupakan pajak semu atau quasi tax. Penyederhanaan
Pajak-pajak Daerah Tingkat I, Pajak Daerah Tingkat II, beserta
dengan tarifnya, demikian pula dengan Retribusi Tingkat I sebanyak
± 57 jenis retribusi, Tingkat II sebanyak ±137 jenis retribusi, Adalah
suatu hal yang pedu dilakukan.
374
Namun demikian dengan penyederhanaan ini perJu diperhatikan
agar Pendapatan Asli Daerah yang pada saat ini relatif masih
kecil jumlahnya tetapi merupakan kemponen kedua dari sumber
penerimaan APBD haik Tingkat I maupun Tingkat II tidak
menjadi berkurang, tetapi lebih mellingkat untuk itu, porlu adanya
pengaturan yang tebih jelas dan tepat dalam penerapan prinsip
prmslp pemungutan, pengadministrasian serta peningkatan
pengawasan yang lebih ketat sehingga target penerimaan negara
lebih diamankan.
4. Lebih lanjut bila dite:laah secara mendalam dapat kami simpulkan
bahwa sasaran strategis yangingin dieapai an tara lain adalah:
I). Sinkronisasisistem perpajakan daerah dengan sistem perpajakan
nasional akan berdampakpositif karena rnenjamin kepastian
hukum dan terpenllhinya asas keadilan bagi Wajib Pajak,
mendorong terwlIjlld otonomi daerah yang nyata dan bertanggung
jawab sejalan dengan prinsip negara kesatuan.
2). Penyederhanaan berbagai pungutan daerah, baik pajak
daerah mallplln retribusidaerah, bertujuan menghilangkan
atau paling tidak mengurangi ekonomi lainnya tinggi dan
diharapkan berdampak positif dalam konteks politik dan
menggairahkan semangat produktivitas yang berdampak positif
bagi perekonomian Indonesia dalam persaingan global serta
merangsang investasi dari dalam dan luar negeri.
3). Penguatnn landasan·penerimaan daerah khususnya Dati II yang
berdampak positifbagi upaya pereepatan dan penerapan otonomi
Dati II yang nyata dan bertanggungjawab. Penetapan 9 jenis
dan tarif pajak daerah Tingkat I dan Tingkat II cukup rasional
dan realistik, dengan tetap memberi peluang bagi kemllngkinan
adanyajenis pajak lain yang dianggap potensial dan layak untuk
dipungut pad a rnasa-masa mendatang demi menjamin kepastian
hukum dan meneegah upaya mengada-ada dalam penetapan
jenis pajak daerah lainnya, dalam PP harus dengan tegas dan
jelas dilelapkan· kriteria yang mempunyai daya ikat bagi Pemda
Tingkat I dan Tingkat II.
Dengan akan ditetapkannya tiga golongan dan tarif retribusi daerah berupa retribusi dan tarif retribusi jasa umum, jasa usaha dan perizinan
tertentu, hendaknya dalam pelaksanaannya benar-benar dapat dicegah
375
kemungkinan teljadinya pembebanan pajak daerah dan retribusi daerah yang bersifat ganda yang terkaitan dengan pembebanan yang tidak wajar
atau tidak rasional bagi Wajib Pajak serta berdampak kembalinya kemhaii
ekonomi biaya tinggi.
376
II. RUU ten tang BEA Balik Nama Tanah dan Sangunan:
I. Hukum Agraria kolonial dengan sifat dualismenya, yang membedakan antara hak atas tanah menurut hukum Barat dan hak atas tanah menurut hukum adat mempunyai konsekwensi
dimana dengan ordpnansi Bea Balik Nama menurut staatblad
Talmn 1924 No.1 dikenal adanya Bea Balik Nama (BBN) atas perolehan hak atas tanah-tanah hak Barat, sedangkan terfiadap
tanah-tanah hak milik adat dikenakan Pajak flasil Bumi.
2. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih
dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sifat dualisme atas hak tak tanah diadakan, maka hak atas tanah
menurut Hukum Bara berlaku lagi yang mengakibatkan Bea Balik Nama dengan landasan ordonansi Bea Balik Nama juga
dengan sendirinya tak berlaku lagi.
3. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa UUPA merupakan hukum agraria nasional yang bermaksud menghilangkan
sifat dualisme tersebut dalam rangka tegaknya hukum agraria nasional sebagai peiaksanaan Pancasila sebagaimana dapat
kita bea dalam rumusannya yang berbunyi UUPA merupakan
hukum agraria nasional yang hams mewujudkan penjelmaan
dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai asas
kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945".
4. Prinsip keamanan dan perlindungan terhadap rakyat kecill
golongan ekonomi lemah mendapat tempat yang layak dalam
UUPA sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 ayat (2) yang selcngkapnya berbunyi:
"Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperlllan
hukum golongan rakyatdimana perlu dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin
perliindllngan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah"
Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat(l) UUPA dikemukakan:
"Pemerintah berusahaagar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedomikian rupa, sehingga memungkinkan
peningkatan produksi dan kcmakmuran rakyat.
Sebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (3) yallg menjamin
bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai
dengan martabat-manusia baik bagi diri sendiri maupun kelllarganya".
5. BahwaBea BalikNamaTanah dan Bangunan padahakckatnya
adalah pajak yang dikenakan atas perolehanhak atas tanah dan atall bangunan.
Bagi Subyek pajak yang terkena Bea Balik NamaTanah dan Bangunan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dapat memenuhi
pajaknya sebagai perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya
377
yang merupakan sarana peranserta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Pokok-pokok landasan pikiran yang kami uraikan tersebut diatas kiranya dapat dijadikan kajian dalam pembahasan RUU tentang Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan.
378
III. RUU tentang Badan Peradilan Pajak:
1. Sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum PajakIFiskal salah
satu perbedaannya dikenal dengan Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Fonnil. Hukum Pajak materiil memuat normanorma yang menerangkan ke:adaan-kendaan, perbuatanperbuatnn dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan
pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya
pajak, dengan kata lain segala sesuatu, besarnya dan hapusnya
hutang pajak dan juga bubungan hukum antara fiskus dan wajib pajak.
Juga termasuk di dalamnya perat1llfan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan dan denda.;.denda, sanksi-sanksi serta cara
cara tentang pembebasan-pembebasan dan pengembalian pajak, juga ketentuan-ketentuan dan bantuan yang memberi
bak tagihan utama kepada lain.
Hukum Pajak cara untuk suatu penyelenggaraan pemerintah pajak,
pemungutannya maksud Hukum matipun wajib Materiilnya
akan peraturan-peraturan mengenai cara menjelmakan Hukum "Materiil tersebut diatas menjadi bagian hukum ini memuat
cara-cara mengenai penetapan suatu hutang pajak, kontrol terhadap penyelenggaraan, kewajiban para wajib bantu pihak
ketiga dan juga prosedur dalam Formil ini adalah untuk
melindungi, baik fiseus pajak, jadi untuk memberi jaminan
bahwa Hukum dapat diselenggarakan dengan tepat dan jelas.
2. Dalam pelaksanaan Undang-undang Perpajakan bukan tidak
mungkin bahkan sering terjadi konflik atau sengketa antara
fiseus dan wajib pajak dengan pcrpajakan dapat timbul sejak diterbitkannya olch Kantor Pelayanan Pajak, bilamana wajib
pajak, ketetapan pajak Apabila permohonan merasa besamya
pajak yang dikenakan kepadanya, tidak sebagaimana mestinya
atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dari hasil wajib
pajak. Sehubungan dengan itu wajib pajak berhak mengajukan
keberatan. Atas surat keberatan tersebut KPP OJP wajib menerbitkan keputusan. Keputusan O.J.P. tersebut tak sesuai dengan wajib pajak bersangkutan dapat naik keberatan dari
wajib pajak, bandiing ke Badan Peradilan.
2 Aspek,wajib pajak, sekaligus kata lain spesialis dirinya minimal
mempun aspek ekonomis.terhadap seorang dan masalah juridis
tetapi dengan dan akutansi dengan mmusan yang bersifat lex
dan
3. Sengketa perpajakan pada yaitu aspek juridis fiseal Penetapan
pajak yang terhitang tidak semata-mata mempakan mengandung masalah mengandung beberapa Untuk dapat mengartikan pajak secara tepat kita hams menguasai aspek tersebut diatas. Penetapan pajak yang terhutang ,cukup mmit, karena konsep
penghasilan dan konsep biaya dari kaca mata fiskal dapat berbeda dari kaca mata komersiial. Oleh karena itu untuk
menangani peradaan pajak secara e:fisien dari efektif diperlukan
tenaga-tenaga ahli/spesialis, yang khusus menguasai dan mendalami Undang-undang Perpajakan dengan segala peraturan
pelaksanaannya dalam menangani sengketa perpajakan. Dalam
379
380
hal ini ekslstetisi dan Peradilan Pajak untuk menangani "khusus"
sengketa perpajalkan di bidang penagiban sangat diperlukan.
2. Sehubungan dengan uraian diatas, mengingat kekhususan
Hukum Fiskal, bahkan soal lama Hukum Fiskal ini dianggap
sebagai cabang Hukum lPublik tersendiri, serta mengingat pula
perkembangan reformasi hlUkum perpajakan nasional sejak
tabun 1983 hingga perubahannya pada tahun 1994, maka
kehadiran Badan Peradi~an Pajak sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman sudah mendesak. Hal mana diamanatkan
dengan tegas oldl Pasal 27 Undang-undang Nomor 9 Tahun
1994 ten tang Perubahan atas Undang-undang Nomor 9 Tahun
1983 tentang Kctl:!ntuan Umum datn Tata Cara Perpajakan, dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
dan Undang-undang Nomor 11 tcntang Cukai. Demikian juga
dicantumkan dalam RUU tentang Pajak dan retribusi Daerah.
3. Guna mendapat pemahaman yang tepat mengenai kedudukan
Badan Peradilan Pajak dalam kerangka sistem kekuasaan
kehakiman di negara kita dan guna terjalin tegaknya hukum
dan kcadaan dalam proses penyelesaian scngkcta perpajakan
di tangan Badan Peradilan Pajak, Fraksi Karya Pembangunan
berpcndapat perlu pembahasan dan pengkajian yang mendalam,
antara lain tentang susunan, kekuasaan dan hukum acara bagi
Badan Peradilan Pajak, hak dan kewajiban yang seimbang
antara aparat dan wajib pajak. Untuk itu dalam merumuskan
subsiansi RUU Badan Peradilan Pajak ini harus diperhatikan
segala sesuatu yang berpokok pangkai pada "keadaan".
rv. RUU tcntang Penagihan Pajakdengan Surat Paksa:
Fraksi Karya Pembangunan memabami bahwa tujuan utama
diajukannya RUU ini adalah untuk membangun kepatuhan wajib
pajak sehingga melaksanakan kewajibannya dengan penuh rasa
tanggung jawab, namun tidak dapat dihindari bahwa masyarakat
awam dapat menafsirkan istilah "paksa" sebagai sesuatu yang
manusiawi. Oleh karena itu, perkenankanlah fraksi kami
memberikan pandangannya sebagai berikut:
Sebagaimana halnya dengan setiap kewajiban, maka kewajiban
yang timbul dalam Hukum Pajak pun harus dipenuhi oleh yang berkeharusan membayar pajak sesuai dengan peraturan
perundangannya. Tetapi sebaliknya bahwa tidak senantiasa
kewajiban-kewajiban itu akan diperlukan oleh yang bersangkutan
dengan sukarela.
Dengan demikian perlu ada Undang-undang, peraturan perundangan
tentang tindakan-tindakan yang dapat diambil fiseus, bilamana diperlukan untuk memaksa para wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya yang timbul dari peraturan perundangan
perpajakan.
2. Adapun maksud yang dikandung dalam tindakan untuk memaksa
ini adatah untuk mengusahakan terpenuhinya suatu kewajiban
yang sementara itu telah ada tanda-tanda dan gejala-gejalanya,
bahwa kewajiban tersebut'tampaknya dilaksanakan"dipenuhi atau terpenuhi oleh yang berkeharusan. Disamping itu agar dapat terjamin pemasukan uang ke dalam kas negara sesuai dengan Undang
undang Perpajakan, maka dalam hal ini diadakanlah paksaan yang
bersifat langsung, yaitu dengan penyitaan dan pelelangan barangbarang orang yang berhutang pajak (eksekusi).
3. Pada saat ini penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan
berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1359. Undang-undang
381
382
ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Undang-undang No. 27
Tahun 1957 tentang PenagihanPajakdengan SuratPaksa, yang hanya
berlaku untuk pajak yang berakhir. Sedangkan Un dang-Un dang No.
19 Tahun 1959 sepe11i yang berlaku sekarang berlaku pula untuk
Pajak Negara, tambahan-tambahan dan denda Bahkan berlalu pula
untuk Pajak Daerah. Adalah tepat RUU yang kita bahas ini adalah
sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1959 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa karena Undang-undang No.
19 Tahun 1959 ini dilbuat dengan landasan 350 yang tentu Undang
Undang lagi dengan Penagihan Pajak dalam masyarakat dapat
dilaksanakan istilah ini adalah surat sarna dengan perdata yang
memintakan Peradilan" karenakekuatan kekuatan ini semata-mata
kepada wajib pajak bam akanoleh pihak ini hanya dari menumt
tatanan hukumnya Fraksi hanya surat hukumnya lPaksa dapal.
4" Mengingat akan judul dari RUU inii adalah Dengan Surat Paksa
yang walaupun lazim dtaunak bahasa hukum, disementara
kalangan Undang-undang Dasar sementara Tahun I saja tak sesuai
dengan filosofi Pancasila dan Dasar 1945 serta sudah tidak sesuai
perkembangan hukum nasional kita. "paksa" atau "surat paksa". I
dilihat dari bahasa hukum "Surat Paksa" untuk keputusan yang
mempunyai kekuatan yang "grosse" (asli) keputusan hakim dalam
perkarja tidak dapat diganggu gugat lagi dengan banding kepada
hakim yang lebih Atas.
5. Surat Paksa hams menggunakan "Atas Mama K perkataan
perkataan ini lah "S urat •. Paksa" mendapat eksekutorial. (kekuatan
untuk dijalankan) dan didapatkannya, karen a "keadaan"lah yang
memerintahkan pelaksanaannya. Demikian pula "Surat Paksa"
memuat perintah pajak untuk ............... pajaknya, yang tentu
dikeluarkansetelah dipandang cukup alasannya Fiseus. Kebanyakan
orang menafsirkan "Sural Paksa" sudut bahasa. hukumnya saja
(menafsirkan bahasa) tetapi kurang meilhatnya dari sudutnya. Dari
paparan ringkas diatas menurut Pembangunan pengertian "Surat
Paksa keputusan pelaksanaan langsung (parate eksekusi)Untuk itu
bila kita tinjau dari segi tujuan Penagihan Pajak dengan Sifat pula kita namakan"
Penagihan Pajak dengan Eksekusi Langsung"
Sdr. Ketua/F'impinan Rapat Paripuma,
Sdr. Menteri Keuangan yang mewakili Pemerintah,
Sdr. Anggota Dewan serta Hadirin yang kami muliakan,
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran di atas, selanjutnya perkenankan
Fraksi Karya Pembangunan, mengajukan beberapa pertanyaan dan usulan
untuk kita bersama nanti dalam rangka perampungan pembahasan RUU
ini, sebagai berikut:
I. KONSIDERANS MENIMBANG DAN MENGINGAT:
Sependapatkah Pemerintah dengan Fraksi Karya Pembangunan
terhadap Konsiderans "Menimbang" dan "Mengingat" dari keempat
Rancangan Undaag-undang Bidang Perpajakan ini, kita lakukan
pengkajian atau penelaahan kembali, sehiangga untuk Konsiderans
"Menimbang" akan le'bih dapat disempumakan dengan menampung saran Fraksi-Fraksi. Untuk Konsiderans "Mengingat", keempat
Rancangan Undang-undang ini dapat ditelaah landasan-landasan
hukumnya yang benar-benar relevan dicamtumkan sesuai dengan' teknik perkembangan pembuatan perundang-undangan.
II. PAJAK DAERAH DAN RETSIBUSI DAERAH:
Pajak Daerah
383
384
1. Sesuai dengan Keterangan Pemerintah bahwa dengan
diajukannya RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah akan
berarti betiambah kuatnya iandasan hukum bagisumber-sumber
penerimaan daerah, sehingga nantinya pendapatan daerah
diharapkan akan lebih meningkat dari pada yang sekarang.
Fraksi Karya Pembangunan mengharapkan Penjelasan
Pemerintah atas argumen-argumen yang mendasari pemikiran
ini. Dengan adanya Penjelasan Pemerintah yang tuntas atas hal
ini akan dapat dihindari anggapan sementara masyarakat, bahwa
RUU ini nantinya apabila diulldangkan dan dilaksanakan, akan
memberatkan masyarakat. Dalam hubungan ini Fraksi Katya·
Pembangunan meminakan penjelasan Pemerintah mengenai
pajak Bahan BakerKendaraan BetIDotor. Kita sarna mengetahui
bahwa setiap peningkatan harga bahan bakar selalu berdarnpak
Juas terhadap perekonomian rakyat Dikhawatirkan adanya
jenis pajak ini akan mempengaruhi tarif angkutan umum yang
dapat memberatkan rakyat kecil. Atas hal ini mohon penjelasan
pemerintah.
2. Apakah dapat kiranya pengenaan tarif Pajak bagi PKB (Pajak
Kendaraan Bermotor) sebesar 5% diberlakukan secara umum di
seluruh Indonesia karena kenikmatan langsung yang dinikmati·
oleh wajib pajak bagi masing-masing daerah tidak sarna.
Retribusi Daerah
3. Sesuai dengan Keterangan Pemerintah mengenai Perizinan
tetientu masih dipungllt retrilmsi yang didasarkan pada tlUllan
llntuk mcnutup sebagian biaya penyclcnggaraan pcmberian izin
yang bersangkutan. Karena hal ini berdasarkan Pasal. 18ayat(3)
akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, kiranya dalam
Peraturan Pemeflintah dapat dicantumkan rambu-rambll dan
kriteria-kriteria yangjelas dan t,egas agar tidak menimbulkan
ketidak pastian tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
III. BEA BALIK NAIv1A TANAH DAN BANGUNAN:
1. Didalam Pasal 2 ayat (2) "hibah merupakan salah satu obyek
pajak yang dikenakan Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan.
Dalam hal ini sependapatkah Pemerintah dengan Fraksi Karya
Pembangunan bahwa khusus "hibah" berdasarkan garis lurus
keatas dan kebawah tegasnya untuk orangtua dan anak kiranya
dapat diperkembangkan untuk tidak menjadi obyek pajak yang
dikenakan Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan. Demikianjuga
halnya dengan "hibah wasiat".
2. Adanya status WN{.\ yang diperbolehkan untuk mempunyai hak
atas tanah dan bangunan,bagaimana pengaturannya bila mereka
ingin menggunakan lembaga hibah, khususnya bagi mereka
yang melakukan perkawinan eampuran dengan WNI ?
3. Dalam Bab V diatur pelaksanaan pengenaan dan dasar
penghitungan pajak antara lain Nilai Pengenaan Dasar Nilai
Prolehan Obyek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah dari nilai
obyek pajak, untuk dasar pajak yang dikenakan adalah Nilai Jual
ObyekPBB.
Untuk hal-hal ini Fraksi Karya Pembangunan menyarankan supaya
dipertimbangkan segi keadilan dan kemampuan wajib pajak, karena
pada dasarnya penentuan ini didasarkan pada sistem Blok disuatu
daerah, sedangkan orang-orang yang berada di dalam blok tersebut
kemampuan ekonominya sangat berbeda.
385
386
Dalam Pasal 7 ayat (l) dinyatakan bahwa nilai perolehan obyek
pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,-. Apa
tolak ukur yang dipakai Pemerintah mengingat perbedaan dan standar harga "dibeberapa daerah berbeda-beda. Harap penjelasan
Pemerintah.
IV. PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA:
1. Sependapatkan Pemerintah dengan Fraksi Karya Pembangunan
bahwa judul RUU ini yaitu. "Penagihan Pajak dengan Sural
Paksa" tiapat mengandung konotasi negatif akan istilah "Paksal
Surat Paksa".
Untuk hal ini Fraksi Karya Pembangunan mengusuikan untuk
dikaji kembali mengenai istilah "Paksa" ini dan mencari
kemungkinan istilah lain sesuai dengan jiwa masyarakat
Pancasila. Sejalah dengan hal ini sekaligus lkami kemukakan
dengan pertanyaan yang sama untuk pengganti istilah I
"penyanderaan", mohon penjelasan.
2. Sehubungan dengan rumusan Pasal 14 khuslIsnya mengenai
penyitaan, deposito berjangka tabungan, rekening koran, giro,
obligasi, saham atau surat berharga lainnya penyet1aan modal
pada perusahaan lain pelaksanaannya bila dikaitkan dengan
antar Undang Perbankan, Undang-undang Pasar Modal dan
Undang-undang tentang Perseroal!1 Terbatas~' seh'ingga berituran
kepentingan dalam pelaksanaannya. Mohon penjelasan dari
Pemerintah.
V. BADAN PERADILAN PAJAK:
1. Berdasarkan Pasal 4 RUU Badan Peradilan Pajak dinyatakan,
bahwa pembinaan teknis peradilan dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan pembinaan organisasil administratif dan keuangan
dilakukan oleh Depat1emen Keuangan, tidak mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus jsengketa
dibidang perpajakan dengan perkataan lain iBadan Peradilan
Pajak itu hams independen. Untuk hal ini sependapatkah
Pemerintah dengan Fraksi Karya Pembangunanuntuk menelaah
kembali beberapa pasal yang tercantum dalam RUU ini antara
lain Pasal3, Pasal 10, Pasal 15 dan lain-lain. Mohon penjelasan
Pemerintah.
2. Di dalam Pasal 9 salah satu syarat untuk calon Hakim Badan
Peradilan Pajak yaitu berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain,
dan mempllnyaikeahlian di bidang perpajakan. Apakah yang
dimahsud keahlian dibidang perpajakan ini dapat ditafsirkan
adalah orang-orang yang berasal dari Direktorat lenderal Pajak
saja. Mohon PenjeMasan
3. Di dalam Pasal 14 RUU Badan Peradilan Pajak diatur bahwa
Hakim BPP tidak boleh merangkap beberapa jabatan, seperti
yang tercantllmdalam blltir a sampai dengan. Didalam ayat
(2) dinyatakan bahwa jabatan lain yang tidak boleh dirangkap
sebagaimana yang tercantum dalam butir a sampai dengan e akan
diatllr oleh Peratllr.an Pemerintah. Fraksi Karya Pembangunan
rnengharapkan supaya di dalam PP nantinya pegawai-pegawai Direktorat lenderal Pajak dan Departemen Keuangan bila
menjadi HakimBPP tidak boleh merangkap tugas-tugas asalnya.
Bagaimana pertimbangan Pemerintah. Mohon Penjelasan.
4. Pasal 36 RUU ayat (I) mengatakan bahwa untuk keperluan
peradilan BPP dapat memanggil, meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan sengketa di bidang perpajakan dari pihak
ketiga, termasuk Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang
387
388
Oalam pada itu PasaI41 Undang··undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan menegaskan bahwa untuk kepentingan
perpajakan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan
memperihatikan Ibukti-bukti tertulis selia surat-surat mengenai
kcadaan kellangan nasabah tertentu kepada Pejabat Pajak.
Selanjutnya dalam Pasa142 diatur tentang kewenangan Menteri
Keuangan untuk memberikan izin kepada polisi, jaksa atau
Hakim lIntuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan
kellangan tersangkalterdakwa pad a bank untllk kepentingan
Peradilan dalam perkara pidana.
Oalam hubllgan ini Fraksi Karya Pembangunan ingin memperoleh
penjelasan bagaimana mensinkronkan RUU bidang Pcrpajakan
dengan lIndang-Undang tentang Perbankan terutama yang
berkaitan dengan Pasal 42. Undang-undang tentang Perbankan,
yang menetapkansecara kctat bahwa rahasia ban k boleh ditiadakan
hanya untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
5. Sesllai dengan ditentuan dalam Undang-lIndang Nomor 9 Tahun
1994 tentang Perubahan. Undang.-undang Nomor 6 Tahun 1983
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka '
putusan Badan Peradilan Pajak merupakan putusan akhir dan
bersifat tetap, dan bukan merupakan keputllsan Tata Usaha
Negara. Konsekuensi yuridisnya ialah bahwa ketentllan tersebut
bagi wajib pajak peneari keadilan merupakan llpaya terakhir
dan plltusannya dapat langsung dilaksanakan. Fraksi Karya
Pembangllnan dapat memahami ketentuan yang demikian itu
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
1). Badan Peradilan Pajak sebagai Badan Peradilan khusus
di bidang perpajakan lingkup kewenangan dan tanggung
jawabnya di bidang Perpajakan berkaitan langsung
dengan kepentingan penerimaan negara yang memerlukan
"keeepatan, kecelmatan dan pengamanan yang optimal.
2). Tanpa mengurangi pclaksanaan as as keadilan di bidang
perpajakan kepada wajib pajak deh undang-undang telah
diberikan dua tahapan upaya hukum yaitu pengajuan
permohonan keberatan atas besarnya penetapan pajak
kepada Direktur Jenderal dan permohonan banding kcpada
BPP.
3). Undang-undang Badan Peradjlan Pajak merupakan satu
kesatuan uluh dengan berbagai peraturan perundang
undangan perpajakan Iainnya, yang mempunyai posisi
dan peran strategis untuk kepentingan negara di satu pihak
dan wajib pajak peneari keadilan di lain pihak.
Namun menurut bunyi penjdasan Pasal 81 RUU terhadap putusan
BPP tidak dapat diajukan kasasi maupun PK, kecuali demi kepcntingan
hukum JaksaAgung dapat mengajukan kasasi. Dalam hllbllngan ini kiranya
Pemerintah dapat memberikan dasar pertimbangan dicantumkannya
I ketentuan terse but dalam penjelasan RUU ini.
Demikianlah beberapa tanggapan, pandangan, pe11anyaan serta saran
atas ke cmpat RUU bidang Perpajakan yang selanjutnya secara lebih rinei
akan kami sampaikan Ilallti di dalam pembicaraan Tillgkat III, melalui
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), untuk dapat dibahas bersama dami
penyempurnaan ke empat RUU ini.
Rapat Paripurna Dewan yang kami muliakan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, sebelum mellgakhiri Pemandangan
389
Umum perkenankanlah FraksiKarya Pembangunan mengueapkan selamat
merayakan hari Nataltanggal25 Desember 1996 bagi ummat Kristiani di
seluruh tanah air dan Selamat memasuki Talmn Baru 1997 bagi bangsa
Indonesia disel1ai harapan semoga kedamaian, kebabagiaan dan terima
kasih yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memperkokoh
persaudaraan dan persatuan bangsa menuju masyarakat Indonesia yang
maju, makmur dan adil.
Dem ikianlah Pemandangan U mum F raksi KaryaPembangunan terhadap
em pat RUU tentang Perpajakan yang kiranya perlu kami sampaikan.
Selanjutnya Fraksi Karya Pembangunan menyatakan siap melakukan Pembicaraan Tingkat III bersama Pemerintah dan rckan Fraksi-fraksi
lainnya. Atas nama Fraksi Karya Pembangunan kami menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas perhatian seluruh hadirin
terhadap penyampaian Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan.
Semoga Allah Subhanahu Wa Taala Tuhan Yang Maha Esa, selalu
memberikan petunjuk dan ridho-Nya kcpada kita bersama dalam
menunaikan tugas pcngabdian kepada bangsa dan negara. Sekian terima
kasih.
Wassalamu 'alaik1l111 Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 12 Desember 1996
FRAKSI KARYA PEMBANGUNAN DPR-RI
390
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT R.I.
FRAKSIABRI
PEMANDANGAN UMUM FRAKSI ABRI
ATAS
RUU TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRmUSI DAERAH
RUU TENTANG BEA BALIK NAMATANAHDAN BANGUNAN
ROO TENTANG BADAN PERADILAN PAJAK DAN
ROO TENTANG PENANGGUHAN PAJAKDENGAN SURAT PAKSA
Assalamualaikum Wr. Wh.
Salam Sejahtera dan selamat siang
Yang terhormat saudara Pimpinan Rapat
Yang terhormat saudara Menteri Keuangan selaku ~emerintah beserta staf
Para anggota Dewan, Undangan dan Hadirin yang kami hormati
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur.kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas ral1mat dan hidayah-Nya pada hari ini kita
berada dalam keadaan sehat wal'afiat, mengikuti Rapat Paripurna DPR
RI dengan acara Pemandangan Umum Fraksi-Fraksiterhadap em pat
Rancangan Undang-undang di bidang Perpajakan ..
391
Perkenankan kami atas nama Fraksi ABRI, menyampaikan terima
kasih kepada Saudara Pimpinan rapat atas kesempatan yang diberikan,
untuk menyampaikan Pemandangan Umum Fraksi ABRI terhadap Empat
Rancangan Undang-undang ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah melalui
Menteri Keuangan atas Penjelasan mengenai tatar belakang pokok -pokok
muatan dan penckanan-penekanan yang pentiing dari Rancangan Undang
undang tersebut yang disampaikan melalui Keterangan Pemerintah tanggal
24 Nopember 1996 yang lalu
Pada hari ini kita memasuki Pembicaraan Tingkat II yaitli Pemandangan
Umum Fraksi-fraksi. Pemandangan Umum ini mempunyai arti yang penting
dalam Proses pembahasan RUU di DPR, karena masing-masing Fraksi
akan menyampaikan, pillldangan, pendapat dan saran-saran baik terhadap
materi RUU yang diajukan, maupun terhadap Keterangan Pemerintah
yang mengantar RUU tersebut. Sikap dan pandangan dari Fraksi-Fraksi ini
pcnting sebagai bahan untllk bermusyawarah dalam membahas RUU pada
tingkat pembahasan selanjutnya.
lIadirin yang tCl"homat.
Pembangunan nasional padadasarnyadisclenggarakan oleh masyarakat
bcrsama Pemerintah. Oleh karena itu peranan masyarakat dalam
pembiayaan Pelllhangllnan harus terus ditumbuhkan dengan lllendorong
kesadaran. pClllahaman, dan penghayatan bahwa pembangunan adalah hak.
kewajiban, dan tanggung jawab seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan .
dalam GBHN. Selanjutnya dana untuk pembiayaan pcmbangunan terutama
digali dari .sumber kemampuan sendiri. Tabungan Pemerintah dan tabungan
masyarakat perlu ditingkatkan. Tabungan Pemerintah ditingkatkan terlalui
peningkatan penerimaan negara terutama yang berasal dari sumber non
migas. Sedang untuk mcmacupemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
392
dalam rangka mewujudkan kesejahteraanrakyat, maka pembangunan
daerah periu digalakkan dengan eara meningkatkan pendayagunaan
potensi daerah seeara optimal dan tepadu, serta meningkatkan serta aktif
masyarakat melalui kesadarannya sebagai wajib pajak untuk memenuhi
kewaj ibannya dalam membayar pajak maupun retribusi, sesuai perundang
undangan yang berlaku.
Dari perkembangan penerimaan pajak sejak reformasi perpajakan
tahun 1983 melalui Undang-undang Bidang Perpajakan, dan setelah
mengalami perubahau terhadap beberapa Undang-undang pada tahun 1992
dan 1994 yang lain. Pemerintah telah berhasil meningkatkan penerimaan
yang bersumber dari sektor pajak. Peningkatan penerimaan pajak ini dapat
dieapai karena struktur dan sistemnya makin sederhana dan ini makiIi
mudah dilaksanakan, tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat juga
telah meningkat.
Namun peningkatan itu belumlah sesuai dengan harapan, karena belum
mampu mencapai tax coverage yang ideal. Hal ini terbukti dari tax rasio
kita bam mencapai 11,8 %, tax eoverage untuk PPh mencapai 5.5%. PPn
mencapai 70%, PBn sudah 90%.
Demikian pula Pendapatan Asli Daerah pada masing-masing Tingkat
I'dan Tingkat II berupa penerimaan pajak daerah dan retsibusi daerah
masih sangat keeil peranannya dalam APBD tingkat I dan APBD tingkat
II. Peran PAD dalam APBD tingkat I rata-rata baru sekitar 30%, dan PAD
dalam APHD Tk.1I baru memeapai angka rata-rata sekitar 10%~
KeciJnya peran PAD terhadapAPBD Tingkat I dan TingkatIl tersebut
mendorong Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Tingkat II untuk
meningkatkan PAD-nya antara lain dengan menetapkan pajak atau retribusi
daerah yang barn. Namun terhadap beberapajenis pajak dan retribusi daerah
malah menjadi beban Jagi daerah karena biaya pungutannya lebih besar dari
393
hasilnya. Disamping itu jumlah dan jenis dari Tingkat II berbeda antara
daerah yang satu dengan Jainnya. Dan hasilnya tergantung pada potensi
sumber pajak dan retribusi di daerah itu. serta kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memenuhinya ada.
Dari catatan yang ada hasil pantauan Fraksi ABRI, jumlah seluruh
pajak dan retribusi daerah dewasa ini adalah :
- Pajak Daerah Tingkat I sebanyak 5 jenis
- Retribusi Daerah Tingkat I sebanyak 58 jenis
- Pajak Daerah Tingkat II sebanyak 36 jenis
- Retribusi Daerah Tingkat II sebanyak 134 jenis
Tatar belakang dan dasar pertimbangan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi di tiap-tiap daerah tingkat I dan daerah Tingkat II
tentu berbeda-beda. Namun penetapan pajak daerah haruslah berkaitan dengan peJaksanaan fungsi Pemerintah daerah dan penetapan retribusi daerah adaJah sebagai imbalan terhadap jasa pelayanan dan fasilitas yang
diberikan oleh pemda.Oleh karena itujumlah darijenis serta struktur pajak
daerah dan retribusi dacrah sudah saatnya untuk disederhanakan dan diberi
landasan hukum yang kuat, namun tidak mengurangi penerimaan daerah dan dellgan tetap lllelllperhatikan tingkat kemampuan rnasyarakat.
Hadirin yang tcrhormat
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok
pokok Pernerintahan di daerah menyatkan bahwa titik berat otonom i daerah
diletakkan di Daerah Tingkat H.
Pclaksanaan otonollli daerah yang nyata dinamis .. serasi dan bertanggullg
394
jawab. Agar daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri,
maka perlu dukungan dana baik yang berasal dari Pemerintah pusat,
maupun dari Pemerintah daerah melalui penrimaan pajak dan retribusi
daerah yang merupakan sumber pendapatan asli daerah, sebagai-mana
diatur dalam Pasal 55 Undalllg-undang Nomor 5 tahun 1974. Oleh kal"ena
itu, untuk memberikan kepastian hukum dan keseragaman jenis pajak
daerah dan retribusi daerah, kiranyaperlu adanya Undang-undang yang
mendukung hal ini.
Dengan demikian. RUU Pajak Daerah dan Retribusi Oaerah adalah
sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dan sekaligus
sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Drt TallOn 1957 tentang
peraturan UI1lUlm Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 12 Ort
Tahun 1957 tentang Umum Retribusi Oaerah yang sudah tidak lagi dapat
menampung kebutuhan pembangunan.
Hadirin yang terhormat.
Sesuai dcngan Pasal33 UUO 1945, dinyatakan bahwa bumi, air, dan
kckayaan alam yang, terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tanah sebagai bagian dari bumi, disamping memcnuhi kebutuban
dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan sarana investasidan
alat produksi, sehingga bagi mereka yang nlemperoleh hak abs tariah
adalah wajar kalau harus menyerahkan sebagaian (Jan nilai ekonoinis yang
diperolelmya kepada negara melalui pajak.
Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya
dalam hal membayar pajak perlu terus dipacli secara nyata dan intensif.
Namun dalam kenyataannya masyarakat Wajib Pajak masih banyak yang
mempunyai tunggakan pajak, sehingga perlu dilakukan tindakan penagihan .
395
yang mempunyai kekuatan Hukum yang memaksa. Oleh karena itu, RUU tentang Panagihan Pajak dengan Surat Paksa sangat diperlukan untuk
memberikan kepastian hukum dan untuk meugantisipasi tindakan yang
perlu untuk penagihan pajak.
Hadirin yang tcrhormat
Perkembangan perekonomiall sebagai hasil pembangunan telah
meningkatkan jumJah Wajib. Pajak dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Keadaan ini dapat merupakan potensi timbulnya sengketa di
bidang perpajakan. Lembaga Pajak yang ada selama ini adalah Majelis.
Pertimbangan. Pajak yang dibentuk berdasarkan Regeling Van het Beroep in Belastingzakel1 staat blad tahun 1927 Nomor· 29 dengan beberapa
perubahannya. Maka untuk lebih dapat menjamin hak dan kewajiban serta
untuk lebih memberikan pelayanan terhadap masyarakat sebagai Wajib
Pajak, maka Majelis Pertimbangan Pajak perlu diganti dengan lembaga
peradilan khusus dibidang perpajakan, yaitu BadanPeradilan. Pajak sesuai
dengan Undang-undang PerjJajakan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, Fraksi ABRI menilai bahwa pengajuan
RUU tentang Pajak dan retribusi daerah. RUU tentang Bea Balik Nama
Tanah dan bangunan, RUU" tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,
dan RUU tentang Badan Peradilan Pajak adalah tepat dansesuai kebutuhan tahapan pembangunan saat ini.
Hadirin yang terhormat
Dengal1 berpedoman pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Undang-undang 19945 dan Pancasila serta arahan GBHN, Fraksi ABRI
dalam membahas keempat RUU ini menggunakan pendekatan pokok
pokok pikiran sebagai berikut :
396
Pertama:
Kedua:
Ketiga:
Bahwa RUU ;di bidang Perpajakan akan mendorong dan
memacu pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
pembangunah maupun memberikan landasan hukum yang
tegas, jelas danadil dalam Pemungutan pajak.
Bahwa RUU dibidang Perpajakan, bertujuan milik menyederhanakan dan memperbaiki sistim. struktur dan
administrasi pajak dan retribusi di daerah agar terintergrasi
dengan sistem perpajakan nasional dan prinsip otonomi
daerah.
Bahwa RUU dibidang Perpajakan diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dengan cara
meningkatkan peran serta masyarakatdalam pembangunan
melalui kewajiban membayar pajak, menjamin keadilan
dan pemerataan' dengan tetap memperhatikan kemapuan masyarakat .
Keempat: Masalilya RUU di bidang ·Perpajakan, diharapkan dapat
membentuk dan menjamin adanya aparatur yang jujur dan berdedikasi, serta dapat memberikan sistem dan mekanisme
pcngawasan yang efektif dan efisien terhadap pelaksanaan
perpajakan.
Berdasarkanpokok-pokokpikirandiatas,sertamemperbatikanperatural\ perundang-undangan yang berlaku. Fraksi ABRI ingin menanggapi empat RUU bidang perpajakan ini . serta yang ingin mendapat kejelasan lebib
lanjut sebagai berikut
TERHADAP RUU TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETSmUSI DAERAH.
Pertama: Konsiderans Mengingat.
397
I 1
; I
I
1
. 'I I
, " ," . 1
I I
1
Kedua:
Ketiga:
- --------
Fraksi ABRJ berpendapat bahwa Konsiderans Mengingat
mengandung landasan idiil dan konsitusional, maka cukup
meneantumkan Pasal 23 ayat (2) Vndang-Vndang Dasar 19-15 dan Pasal 58 Vndang-undang Nomor 5 Tahun 1974, yang menjadi dasar hukum dibentuknya Vndang-undang ini.
Sedangkan Vndang-undang lain yang erat kaitannya dengan
V ndang - undang in i seyogianya dicantumkan dalam penjelasan Vmum dan penjelasan pasal yang bersangkutan.
Tentang Kepentingan Vmum
Pasal2 ayat (3) hurnfb tercantum kalimat "Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
Vmum".
Fraksi ABRI mengharapkan penjelasan lebih lanjut tentang
apa yang dimaksud dengan kepentingan Vmum serta apa
yang digunakan sebagai kriterianya.
Pasal 3 ayal (2) hurnf i menentukau tarif pajak atas
pengambHan dan pemanfaatan air bawab tanah dan air
permukaan maksimal 20% dua puluh persen. Fraksi ABRI
mengharapkan penjelasan lebih Ian jut bagaimana sistim . Penghitul1gan tarif penggunaan air bawah tanah maupun air
di permukaan, selanjutnya menentukan pajaknya maksimal . 20%. Kepada siapa saja pajak tersebut dikenakan.
Keempat: Tentanglangka waktu mengajukan keberatan.
398
Pasal 13 ayat (4) terdapat kalimat "Keberatan harns diajukan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan Sebagai mana
Kclima:
Ke enam
dimaksud dalam ayat (I), kecuali apabila wajib pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu UU tidak dapatdipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya Pasal 28, ayat (3)
keberatan hams diajukan dalam jangka waklu paling lama
2 (dua) bulan sejak " tanggal surat, kecuali apabila wajib
retribusi waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaannya.
Fraksi ABRI mengharapkan penjelasan lebih lanjut apa yang
menjadi dasar penentuan jangka waktu tersebut, sehingga
adanya perbedaan antara pajak daerah danretsibusi daerah.
Tel1tang BAB VI Ketentuan Pidana.
Fraksi ABRI niengharapkan penjelasan lebih lanjut tentang
penenepatan Bab tersebut, karena setelah Bab VI Ketentuan
Pidaisa, masih ada Bab yang mengatur apa yang dilarang dan
tidak boleh dilanggar, misalnya Bab IX Ketentuan Khusus,
sebaiknya Bab IX Kdentuan Pidana diletakkan setelah Bab
IX.
Pasal 5 ayat (I ]I Fraksi ABRI sependapatbahwapengesahan
atau penolakan Perda oleh Medagri perlu terlebih dahulu
minta pertimbangan kepada Menteri Keuangan.
Namun dengan ini Memperhatikan Pertimbangan Menteri
Keuangan Subtansinya menjadi tidak jelas karena hanya
"Memperhatikan "saja Fraksi ABRI berpendapat dengan
Pertimbangan Menteri Keuangan lah yang dijadikan dasar
Pertimbangan untuk Memperhatiakn atau Menolak Perda
terscbut Harap tanggapan Pemerintah.
399
TERHADAP RUU BEA BALIK NAMA TANAH DAN BANGUNAN
Pertama:
Kedua:
Ketiga
Konsideran Mengingat
Fraksi ABRI Berpendapat mengandung landasan idiil dan
konstitusional maka cukup meneantumkan Pasal 23 ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945 dan pasal 58 Undang-undang
Nomor 5 talllln 1974 yang menjadi dasarhukum undang-undang
ini. Sedang kan Undang-undang lain yang erat kaitannya
dengan undang-undang ini seyogiyannya dicantumkan dalam
penjelasan umum dan penjelasan pasal yang bersangkutan,
karen a bukan merupakan dasar hukum dibentuknya llndang
undang ini
Tentang Pembangunan Guna Kepentingan Umum.
Pada Pasal 3 ayat (1) diseblltkan bahwa obyek Pajak yang
tidak dikenakan Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan adalah
obyek Pajak yang dipero]eh Negara untuk penyelenggaraan
Pemerintahan Umum danatau untuk pe laksanaan Pembangunan
guna kepentingan umllm. Fraksi ABRI mengharapkan
penjelasan kretiria kepentingan umllm.
Tentang Hibah Wasiat
Pada Pasal 3 ayat ( 2 ) dikatakan bahwa objek pajak yang
diperolch karena Hibah Wasiat pengenaan Pajaknya diatur
dengan peraturan Pemerintah mengapa dalam pasal 2 tidak
digabungkan dengan obyek pajak kena pajak.
Keempat Tentang Penerimaan Tarif Pajak dan penerimaan Nilai
peroJehan Objek Pajak tidak kena Pajak.
400
Kelima
Pada Pasal 5· menyebutkan tarif pajak ditetapkan sebesar 5%
pada pasal7 ayat (I) dinyatakan bahwaNilai perolehan obyek
tidak kena pajak (NPOPTKP)sebesar Rp.20.000.000. Fraksi
ABRI Menanyakan dasar pertimbangan penentuan NPOPTKP·
tersebut.
Tentang PembagianHasil Penerimaan Pajak.
Pada Pasal21- disebutkan bahwa hasil penerimaan pajak
merupakan penerimaan Negara yang dibagiantara pemerintah
Pusat Pemerintah Daerah dengan imbangpembagian sekurangkurangnya 80% untuk PemdaTingkat II dan Pemda Tingkat
1. Dalam hal ini Fraksi ADRI menanyakan, mengapa tidak
langsung ditentukanpembagian untuk Pemda Tingkat I dan
Pemda Tingkat II
TERHADAP RUU TENTANG BADAN PERADILAN PAJAK
Pertama
Kedua
Tentangjudul Rancangan Undang-Undang
Pengadilan khusus pajak yang dibentuk duberi nama Badan
Peradilan Pajak. Fraksi ADRI berpendapat bahwa sesuai
Undang-undang Nomor 14 Talmn 1970 tentang ketentua
ketentuan pokok kekuasan kehakiman paSat 11 pasal 12, pasal
13 menunjukan bahwa badan-badan yang dimaksud adalah organisasi dan kelengkapannya, sedangkan instansi yang
menyelenggarakan peradilan sebagai salah satu bag ian dari Badan Peradilan tidak'dibed prcdiketBadan. Mohon pendapat
Pemerinfuh
Masalah Tempat Kedudukan
Mengingat luas wilayah dan untuk mengantisipasi keadaan
401
Ketiga
dimasa mendatang yang memungkinkan pemohon banding atau gugat berasal dari daerah yang jauh dari Ibu Kota disamping itu terjadi penumpukan perkara di pusat. Fraksi ABRI ingin mendapatkan penjelasan Pemerintah, mengapa peradilan yang
sarna tingkatnya didaerah hanya akan dibentuk bila dipandang
perlu saja
Tentang Majelis Kehormatan BPP
Dalam Pasal 18 menentukan bahwa Majelis Kehormatan Badan Pentdilan Pajak ditetapkan degan ketua BPP mengapa menggunakan kata "dengan" tidak menggunakan kata "Oleh "misalnya Fraksi ABRI ingin memperoleh penjelasan tentang siapa, ,sajaanggota MajeJis Kehomatan BPP tersebut dan
kemudian apatugas dan kewajibannya ? Mengapa ditemukan oleh Ketua' BPP, apakah tidak lebih baik di'tentukan oleh pejabat lain, misalnya Menteri Keuangan.
Keempat: Tentang Persyaratan Hakim.
Dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa persyaratan Hakim BPP
diantar;:anya,adalahsarjana hukum atausarjana lain. Fraksi ABRI dalam hal ini menilai persyaratan tersebut terlalu luas. Disarankaq perlu dibatasi hanya .. Sarjana hukum dan yang mempuuy~i keahlian dibidang perpajakan.
Kelima : Tentang Jaba,tan. Rangkap.Dalam Pasal 29 keteantuan jabatan rangkap yaitu sekretaris dirangkap oleh Panitera dan jabatan wakil sekretaris dirangkap olehWakii panitera dan masingmasing,. disumpah dua kali dengan sumpah yang berbeda. Fraksi. ABRI menanyakan pertimbangan mengapa jabatan tersebut perlu. dirangkap.
402
Keenam
Ketujuh
Tentang Biaya Pendaftaran.
Dicantumkan dalam Pasal 47. besarnya· Biaya pendaftaran
untuk gugatan di badan Peradilan Pajak sebesar Rp 1.000.000,
(satujuta).
Fraksi ABRI menanyakan apa dasar·, pertimbangannya
menemukan Rp 1.000.000.(satujuta).FraksiABRIMenanyakan bagaimana dengan Wajib Pajak yang berpenghasilanrendah
dan tidak mampu menggunakan fasilitas ini
Tentang Masalah Putusan Badan Peradilan Pajak.
Terrnuat dalam Pasal 84 ayat (d). putusan BPP, dapatberupa
"tidak dapat dipertimbangkan". Fraksi. ABRIberpendapat
bahwa putusan ini tidak tegas dan tidakjelas., Bagaimana penyelesaian sengketa tersebut selanjutnya,jika dirumuskan
tidak dapat dipertimbangkan
Kedelapan: Tentang Wewenang Jaksa Agung. ;,.-
Pada RUU ini tereatuulll bahwa Iaksa Agung mengajukan
kasasi terhadap putusan. Badan PeradilanPajak. Pada Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menentukan wewenang Jaksa Agung dalam
hal mengajukan hak asasi hanya pada perkara pidana perdata
dan tata usaha negara. Mohon penjelasah tentanghal ini. : :.;;,:,
TERHADAP RUU TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT
PAKSA.
Pertama: Tentangjudul Rancangan Undang-undang~";
403
Kedua:
404
Melihat substansi dari RUU ilni; terdapal kesan bahwa
disamping dengan sural paksa. tetah disiapkan pula berbagai
upaya agar pajak dapat ditarik dari wajib pajak. antara lain dengan penyitaan. menyanderaan dan lain-lain. Surat
Paksa merupakan salah satu mekanisme pungutan pajak.
Pertanyaannya adalah mengapa ditekankan pada surat paksa
saja tidak pada ILlpaya paksa. Apakah tidak lebih tepat bila
Rancangan Undang-undang ini adalah Penagihan Pajak
dengan Upaya Paksa.
Tentang penyitaan.
Pasal 14 berbunyi : Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap
milik penanggung Pajak berupa : Barang bergerak antara lain,
deposito berjangka, tabungan sal do rekening koran giro, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham
atau surat berharga lainnya.
Demikian pula dalam Pasal25 ayat (3) angka 2) menentukan
bahwa deposito berjangka tabungan, saldo rekening koran,
giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan ini dapat
dipindah bukukan ke rekening kas negara atau kas daerah atas
permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan.
Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Talmn 1992 tentang Perbankan. Pasal 41 berbunyi : Untuk
kepentingan perpajakan Menteri berwenang mengeluarkan
perintah tertulis kepada Bank agarmemberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak".
Demikian pula halnya mengenai saham, obligasi atau surat
berharga lainnya untuk dijual di bursa efek atas permintaan
Ketiga
pc:jahat. Mohon penjelasan bagaimanapelaksanaan Pasal 14
dan Pasal 25 RUU ini dikaitkan dengan UU No.7 Tahun 1992
tel!1tang Perbankan dan UUNomor .8 Talmn 1995 tentangPasar
Modal, apakah sudah cukup efektif dan tidak menimbulkan
permasalahan kelak ?
Tentang Penyanderaan
Menurut Ketentuan Umum pasa\ I butir 19. Penyanderaan
adalah pengekangan semen tara waktu kelbebasan
Penanggung P;tiak dengan menciptakannya ditempat tertentu.
Memperhatikan pelaksanaan lPenyanderaan terhadap wajib
pajak pada hakt!kalnya sarna dengan penahanan yang diIakukan
oleh Pejabat Kcjaksaan dan Polri dalam pcrkara pidana.
1110hon penjclasan mengcnai pelaksanaan penyanderaan
yang dimaksud dalam RUU ini. demikian pula mengenai
pertimbangan menentukan batas wakiu maksimall (satu) talmn
Keempat: Tentang Pasal3 ayat (1) memuat: bahwa J urusita Pajak diangkat
dan diberhentikan oleh Pejabat. sedang pada ayat (2) disebut
tclltang syarat-syarat sebagai Jurusita P~jak ditctapkan dengan
keputusan mcntcri. Bagaimana jurusita pajak diberhentlikan
apakah syarat-syrat nya dan di mana hal tersebut diatur ?
Saudara Pimpinan Rapat Saudara Menteri Keuangan, dan badirin
yang kami hormati
Dengan disampaikannya berbagai tatar belakang pola pikir dan
tanggapan terhadap4 Rancangan Undang-undang ini diharapkanakanmakin
melengkapi dan Memperjelas berbagai impJi'lkasi dan permasalahannya.
Pada kesempatan ini Fraksi ABRJ menyatakan sependapat dengan
405
- ------------
Pemerintah akan pentingnya ke 4 Rancangan Undang-undang ini dan
menyetujui untuk dibahas Iebih lanjut antara Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah.Untuk itu Fraksi ABRI pada kesempatan ini mengajak
Fraksi Kalya Pembangunan. Fraksi Persatuan Pembangunan. Fraksi Partai Partai Demokrasi Indonesia untuk sarna-sarna memahami Rancangan
Undang-undang dan pada saatnya akan kita bahas bersama. Dengan disertai rasa penuh tanggung jawab dan dijiwai semangat kebersamaan
dan kekeluargaan dalam musyawarah untuk mencapai mufakat dan dengan
senantiasa terorientasi kepada kepentigan negara bangsa dan rakyat. Kita
yakin akan dapat melahirkan Undang-undang yang memenuhi tuntutan pembangunan dan dapat menjarnin kepastian hukum dan rasa keadilan.
Akhiinya Fraksi ABRI mengueapkan terima kasih kepada Saudara
Pimpinan Rapat. Saudara Menteri Keuangan beserta staf, kepada Saudara
saudara para anggota Dewan, kepada para undangan dan wartawan atas kehadiran dan perhatiannya untuk mengikuti Pemandangan Umum Fraksi
ABRI terhadap 4 Rancangan Undang-undang bidang perpajakan ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan berkat-Nya
pada kita semua dalam upaya kita berbakti pada Negara dan Bangsa.
406
Wassalamualaikum Wr. Wh.
Jakarta, 12 Desember 1996
A.n. FRAKSI ABRI DPR-RI
Jurn Bicara,
ttd,
TEDYYUSOF
A-414
DI!'WAN PERWAKll.ANRAKYAT REPUBUK INDONESIA FRAKSI PARTAI PmsAlUAN PEIIBANGUNAN MPRIDPR - Rio NUSANTARA I. JL. JEND. GATOT SUBROTO. JAKARTA 10270
Telp.(021)5715 428-5715 447-5715 430 Fax 5734460 [II
PEMANDANGAN UMUM
FRAKSI PERSATUAN PEMBANGUNAN DPR-RI
TERHADAP
EMPA:r RANCANGAN UNDANG-UNDANG BIDANG
PERPAJAKAN
Disampaikan Oleh Jubir F-PP DPR-RI : DRS. H.M. MUKROM AS' AD
Anggota DPR-RINomor: 10
Bismillahirrahinanirahiin.
Assalamu 'alaikum Wr. Wh.
Yang terkonnat Saudara Pimpinan Sidang,
Yang terhormat Saudara Menteri Kcuangan besertajajarannya,Serta hadirin
yang berbahagia.
Marilah kita bersama memanjatkan puji dan rasa syukur kehadirat
Allah Yang Maha Esa atau segala uikmat dan karunia-Nya, sehingga pagi
ini kita dapat menghadiri Sidang Paripurna Dewan yang terhormat dalam
407
rahgka penyampaian pemandangan Umum Dewan terhadap Empat RUU
Bidang Perpajakan yang telah diusulkan oleh pemerintah kepada Dewan.
Sholawat serta salam kita anugerahkan kepada Junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW kepada sahabat dan keluargannya, serta para pengikut
beliau yang telah mengikuti keteladanannya.
Inisiatif pengusulan RUU Perpajakan yang sedang Dewan bahas
ini, telah disampaikan Presiden RI melalui Surat Presiden RI tertanggal
12 Nopember 1996, yang dilanjutkan dengan penyampaian Keterangan
Pemerintah yang disampaikan oleh Saudara Menteri Keuangan RI
tertanggal 25 Nopember 1996.
Dalam kesempatan ini Fraksi Persatuan pembangunan akan
menyampaikan Pemandangan Umum terhadap keempat RUU bidang
Perpajakan tersebut yaitu RUU tentang Pajak dan Retribusi Daerah, RUU
tentang Bea Batik Nama Tanah Dan Bangunan, RUU tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa, dan RUU tentang Badan Peradilan Pajak
GBHN tahun 1993 dalam pembangunan sektor Keuangan Pelita
Keenam menggariskan kebijaksanaan sbb: "Pembangunan keuangan
diarabkan pada peningkatan kemampuan dan dayaguna kesejurusan
tatanan, perangkat, kelembagaan, dan kebijaksanaan keuangan dalam
menunjang kesinambungan pembangunan dan peningkatan kemandirian
bangsa melalui peningkatan keuangan yang makin andal, efisien dan
mampu memenubi tuntutan pembangunan, peneiptaan suasana yang
mendorong tumbuhllya inisiatif dan kreatifitas masyarakat, serta meluasnya
peran serta masyarakat dalam pembangunan dan tnelailli llpaya untuk terus
meningkatkan tabllngall nasional sebagai suniber pembiayaan pembagunan
Dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah GBHN tho 1993
sbb : "Kebijaksanaan keuangan arus mendukung dan mengembangkan
408
hubungan keuangan antarapusat dan daerah yang serasi dalam mencapai
keseimbangan pembangunan an tar daerah yang mantap dan dinamis".
Dalam pembangunan perpajakan GBHN tho 1993 menggariskan
haluannya sbb : "Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur
dan bCl1anggung jawab terus ditingkatkan melalui motivasi, penerangan,
penyuluhan, pendidikan sejak dini, serta langkah keteladanan. Peningkatan
kesadaran masyarkat untuk membayar pajak sebagai kewajiban
warganegara perlu diimbangi dengan peningkatan pelayanau aparatur
negara kepada pembayar pajak, disertai, penerapan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku ".
Bcrpedoman kepada GBHN pcmbauguuan sektor keuangan Pel ita
Kecnam yang kami kutipkan diatas, pengajuan RUU bidang Perpajakan
yang terdiri dari RUU tentang Pajak dall Retribllsi Daerah, RUU tentang
Penagihan Pejak Dengan Surat Paksa, RUU tentang Bea Balik Kama Tanah
Dan Banguanan, dan RUU ten tang Badan Peradilan Pajak, merupakan
perwujudan pelaksanaan GBHN sektor Keuangan Pelita Keenam oleh
Prcsidenlmandataris, dan oleh karenanya Fraksi Persatuan Pembangunan
mcmandang positifinisiatiftersebut, dan bertipaya melakllkan pembahasan
secara eennat dan mendalam sebelum sampai kepada pemberian
keputusannya.
I. RUU TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
Sejak awal Pelita Kelima kita bertekad untuk mengisi pelaksanaan
otonomi daerah sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
yang semakin luas dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan
nasional dan untuk terlaksananya pemerataan pembangunan dan hasil
hasilnya, kita juga bertekad untuk lebih meningkatkan pelaksanaan
desclltralisasi pembangunan nasional baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
maupun pengawasannya.
409
Prinsip otonomi daerah yang diatur dalam UU No.5 Th. 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, menjadikan dan menetapltan
pclaksanaan otonomi daerah dititik beratkan pada Daerah Tingkat
U. Kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya, yaitu
kemampuannya dalam meugatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang pemhiayaannya bersumber pada pajak dan retribusi daerah disamping
peneriimaan yang berasal dad pemerintah pusat.
Ulkuran kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya
adalah sampai dimana kemampuan dalam meningkatkan penerimaan
daerah sendiri sehingga perannya semakin penting da!lam pembiayaan
pengurusan dan pengaturan rumah tangga daerah. Oleh karen a itu menjadi
sangat penting kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Pendapatan asli daerah
(PAD) meliputi pajak daerah, retrihus daerah, bagian lalba Badan Usaba
Milik Daerah (BUMD), penerimaan dinas-dinas daerah, dan penerimaan
lain-lain.
Perkembangan laju peningkatan Peneriinaan Daerah Sendiri (PDS)
dari tahun ke tahul1, terhadap PDRB, ternyata lebih lambat dibandingkan
dengan lain penerimaan negara dari pajak, dan rasionya terbadap PDRB
masih sangat keeil dibandingkan dengan tax rasio pajak pusat.
Kalau tax rasio sudah meneapai ± 12,8%, maka tax rasio PDS Tk. I
terhadap PDRB hanya 1 % pada tahun 1994/95 dan PDS Tk. II hanya 0,9%.
Kalau laju peningkatan pajak pusat selama Repelita V p,ertahun rata-eata
26%, laju peningkatan PDS Tk. II banya 21,3% dan Tb. I 23,5%. Adapaun
laju peningkatan Pajab Tk. I dan Tk. II selama Repel ita V pertahun sebesar
23,9% dan 21 %, sedangkan Illntuk retribusi Tk. I dan T. II masing-masing
sebesar 26% dan 17,8%.
Kalau kita coba menghitung jumlah penerimaan pajak pusat dan
410
daerah yang dibelanjakan untuk belanja rutine dan·pembangunan APBN dibandingkan dengan selurub penerimaan pajak pusat dan daerah yang dibelanjakan oleh Pemerintah Daerah Tk.· I dan Tk. II dalam APBD yang
meliputi Subsidi Daerah Otonom,Pembiayaan Pembangunan daerah, penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah, berimbang pada 8,41 % : 6,29%.
Dengan perbandingan 8,41%·: 6,2%, maka jelas penerimaan pajak lebih banyak dibelanjakan oleh Pemerintah Pusat dibandingkan dengan
I yang dibelanjakan untuk penyelenggaraan pemerintahdan pembangunan , daerah.
Fraksi Persatuan Pembangunan minta penjelasan Pemerintah, berapa rasio yang ideal antara biaya penyelt';riggar~'pemeriritahdan pe.:nbangunan nasional oleb Pemerintah Pusat dengan Daerah ?
. .",. "'" . : ' .. .. ~'. i .
Sampai sekarang ini pajak. yang ,~enjadi pellerimaan Pemerintah Daerah dalam rangka perimbangankeuang8l1 anu,rra:Pem~rintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta dalalJl rangka otonolJlida~rah berdasarkan Pasal ..
60 ayat (I) Undang-undang No .. 5 th~ ~ ~74tentang P9~ok-:pokok Penterintah di Daerah meliputi tiga model paj,*. .
PBB dan Bea Balik Nama l'an~b dan B8I1guf,18n ~ang sekal~ang sedang dibahas oleb Dewan, tergolong pajak pusat yang dibagi hasilkan kepada
Pemerintah Daerah. Pajak Bangs~ Asing, Pajak ~di~ dal'l Bea B.aUk Nama • . "'.; "'" .•.. , ,", .....•. ', .. ", -:. : .. , 'i.'
Kendaraan Bermotor dan lain-lain lagi, tergolong pajak pusat (Negara)
yang diserahkan kepadadaC!rah~aik. pungutannya maupun penggunaan I hasilnya. Kemudian ada pajak-pajak daerah yang didasarkan· kepada I Peraturan Daerah yang dilandasi oleh Pasal60 ayat(1) Undang-undang
NO.5 Th. 1974 tentang Pokok-PokokPemerintakan di Daerah.
Dengan dimajukannya RUU tentang Pajak dan Retribusi Daerah ini rnaka sernua pajak berpedoman kepada Undang-undang tentang serta
411
peraturan memberikan penjl;:lasan, tentang Pajak dan banya mengenal dua
Pajak Pusat atau Pajak daerah yang ditetapkan Undang-undang tentang
daerah Undang-undang pellaksanaannya atau, Retribusi golongan Pajak
RUU tentang Pajak dan Retribusi Daerah ini, akan diatur dengan peraturan
daerah, harus Undang-undang tentangPajak dan Retribusi Daerah Dengan
dl~mikian kiranya pemerintah dapat apakah nantinya dengan berlakunya
Undang-undang Daerah ini didaerah atau Pemerintah daerah pajak yang
rnenjadi penerimaan daerah" yaitu yang dibagi hasilkan kepada daerah dan
pajak dengan peraturan daerah yang berdasarkan pad a dan Retribusi daerah,
sehingga tidak dikenal lagi !pajak negara yang diserahkan pemungutan dan
penggunaannya kepada daerah, dan pajak daerah yang ditetapkan dengan
peraturan daerah berdasarkan Pasal 60 ayat (l) Undang-undang No. 5
lh. 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Menurut Fraksi
Persatuan Pembangunan kalaupun ada kewenangan Pemerintah Daerah
UllltUk: menetapkan peraturan daerah herdasarkan Undang-undang No.5 tho
1974, hanya meliputi keweillangan untuk mengeluarkan peraturan daerah,
selain peraturan daerah yang meneiptakan kewenangan l11enetapkan jenis
pajak daerah yang baru sebagai perwujudan otonol11i daerah.
Denganjudul RUU Pajak dan Retribusi Daerah, dan tidak menggunakan
judul RUU ten tang Ketentuan Umum atau Ketentuan Pokok Pajak dan
Retri,busi Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 58 aya! (T) UU No.5 Th.
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, serta adanya ketentuan
Pasal2 ayat (3) RUU yang berbunyi : "Dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan jenis pajak lainnya selain yang ditetapkan dalam ayat (1) dan
ayat (2) yang memenuhi Ikriteria sebagai berikut : "dst... tidak memberikan
danipak ekanol11i yang negatif", apakah l11asih l11ungkin ada undang
ulildang lain yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mohan
pamerintah menjelaskannya.
Dengan akan ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang menetapkan
jenis pajak lainnya selain jenis pajak yang dimuat dalam Pasal 2 ayat
412
(1) dan (2), apakah masih mungkin Pemerintah Daerah Tingkat I dan II
menetapkan Peraturan daerah yang menetapkan jenis pajak diluar yang
ditetapkan daJam Undang-undang tentang-'Pajak dan Retribusi Daerah
I dan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 2 ayat (3)
Undang-undang tentang Pajak dan Retribusi Daerah, kiranya pemerintah
dapat menjelaskalf1nya.
Dalam kesempatan ini Fraksi Persatuan Pembangunan minta pejelasan
pemerintah tentang kriteria jenis pajak daerah yang akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah yang potensinya memadai dan tidak memberikan
danipak ekonomi negatif sebagaimana hendak diatur dalam Pasal 2 ayat
I (3) RUU.
Fraksi Persatuan Pembangunanjuga minta penjelsan kepada pemerintah
apakah dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan
Pasal 2 ayat (3) RUU yaitu yang menetapkan jenis pajak sekaligus juga
akan mengatur tentang objek, subjefe, dan dasar pengenaan pajaknya, atau
dengan akan dikeluarkan Peraturan Pemetintah tersendiri sebagai peraturan
pelaksana Pasal3 ayat (I) RUU, apakah mungkin Peraturan Daerah tentang
Pajak yang hams mengatur ketentuan nama, objek, dan subjek Pajak seperti
yang ditentukan daJam Pasal4 ayat (3) butir a berbeda dengan nama, objek
dan subjek pajak yang diatur oleh Peraturan Pemerintah menumt Pasal 3
ayat (1 )tersebut, kiranya pemerintah dapat menjelaskannya. Dengan akan
diaturnya pungutan terhadap konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor
dalam RUU sebesar 5% sebagai penerimaan daerah, Fraksi Persatuan
Pembangunan lebih dulu akan melihatnya dari sisi upaya pemanfaatan yang
optimal atas minyak bum i sebagai kekayaan alam yang penting bagi negara
dan hams dimanfaatkan/digunakan untuk sebesar-besaraya kemakmuran
rakyat, termasuk untuk pembiayaan pembangunan.
SeJama ini kita telah berhasil memanfaatkan MIGAS untuk penerimaan
negara baik dari hasil penjualan ekspor maupun penjualan dalam negeri.
413
Dari hasH penjualan ekspor minyak rnentah kita peroleh penerirnaan MIGAS daiamAPBN atau dalam bentuk devisa dalarn Neraea Perdagangan.
Hasil penjualan minyak dipasar dalam negeri disamping menghasilkan
PEN (pajak penjualan) juga menghasilkan penerimaan negara berupa
LBM bila harga minyak mentah yang diolah untuk menproduksi BBM'
untuk konsumsi dalam negeri lebih rendah dari patokan harga minyak yang
ditetapkan dalam APBN, walaupun dapat terjadi sebaliknya yairu subsidi
BBM.
Sekarang dalanl RUU tentang Pajak dan Retribusi Daerah, milt yak akan dimanfaatkan lagi bagi penerimaali daerah dari hasil penjualan dalam negeri yang konsurnennya kendaraan bermotor. Bahkan Fraksi Persaruali
Pernbangunan melihat bahwa pemanlaatan prodl1ksi minyak bUllli kitabagi
penerirnaan dalam negeri ·APBSN dan penerirnaan devisa akan berakhir'
bila kita pad a suaru saat diillasa datang menjadi negara penginlpor netto
minyak burni. Sedangkan pajak bahaD. bakar kendaraan bermotor ini akan
berlangsung terus menerus selama undang-undangnya tidak dicabu4 karena tidak tergantung kepada BBM impor atau produksi dalam negeri.
Dari sisi lain kendaraan bermot()r'~ebagai objek pajak akan dibe~ani dengan 3 jenis pajak, yaitl! B BMKB, PKB dan Pajak bahan Bakar Kendaraan '
Bermotor, dan dengan demikian pada Kendaraan Bermotor sl1dah dibebani pajak yang cukup pad at, walaupun nantinya llntuk kendaraan bermotor lllTIUm beban paJak xang terakhir ini' akan dibebankan kembali, kepada
konsumen Jasa Angku~n.
Fraksi Persatuan Pembangunan rnintapenjelasan pemerintah apa ada
perbedaan dasar pemikiran pengenaan pajak sebesar 5% dari konsumsi
bahan bakar minyak kendaraan bermotor bagikendaraan pribadidan kendaraan umum ?
414
Ditetapkan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagai Pajak
Tingkat I menurut Fraksi Persatuan Pembangunan sudahlah tepat, karen a
sebagai objek pajaknya adalah melekat pada Kendaraan Bermotor, yaitu
sarna dengan PKB dan BBNKB duajenis pajak daerah tingkat I yang telah
ada dan sangat potensi, walaupun pengadministrasian untuk pungutan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor tidak diperlukan dukungan dari
data administrate yang ada pada PKB dan BBNKB. Tapi data-data kuantitif
kendaraan bermotor didaerah Tk. I dan masing-masing daerah Tk. II dalam
Wilayah Daerah Tingkat J tersebut sangat diperlukan gun a dapat diketahui
perk iraan jumlah pemakaian bahan bakar kendaraan bermotor du Daerah
Tk. I dan Tk. II masing-masing.
Oleh karena itu" Fraksi Persatuan P,embangunan minta penjelasan
pemerintah berapa jumlah kendaraan bermotor untuk masing-masing
Daerah Tk. J di Indonesia dan berapa jumlah pemakaian bahan bakarnya.
Apakah dalam pembagian hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
kepada Daerah Tk. I dan Daerah Tk. II didasarkan pada pemakaian riil
bahan bakar kendaraan bermotor di masing-masing Daerah TK. I dan
Daerah Tk' II atau dilakukan dengan cara lain guna tereapainya tujuan
pemerataan ?
Dimungkinkannya diberlakukan besar tarif yang berbeda terhadap
pajak Daerah Tk. II melalui penetapannya dalam Peraturan Daerah,
apakah juga dimungkinkan diantara Daerah Tk. II dalam satu daerah
Tk. I , ataukah hanya diantara Tk. 11 yang tidak dalam satu Daerah Tk. I.
Pajak yang dipungut dari pemakaian bahan bakar kendaraan bermotor
disamping Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, juga PPN. Oleh
karena itu Fraksi Persatuan pembangunan minta penjelasan pemerintah
apakah pungutan atas PPJN Bahan Bakar Minyak dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bennotor dilakukan bersama dan oleh satu kesatuan administrasi.
415
Mengenai tata cara pengesahan, penolakan atau memerintahkan peuyeinpuwiaan atas Peraturan Daerah tentang Perpajakan Daerah
oleh Menteri Dalam Negeri sebagainama hendak di atur dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu diperlukan adanya pertimbangan dari Menteri Keuangan
adalah berbeda dengan pengesalian dan penolakazi atas Peraturan Daerah sebagai imam yang diatur dalam UU No.5 Th. 1974 tentang Pokok-pokok
pemerintahan di daerah. Apakah demikiau akan teijadi perbedaan terhadap
pengaturan hal yangsama oleh kedua undang-undang ini. Adanya perbedaan
ini dimungkinkan hila salah satu dari undang-undang tersebut inerupakan
lex special is dari undang-undang lainnya. Mohon penjelasan Pemerintah.
Ditetapkanjiya jenis objek retibusi terdiri dari 3 golongan yaitu JasaUmum, Jasa Usaha dan Perizinan Umum, dan ditentukannya
jasa yang diselenggarakan oleh BUMD bukan inerupakan objek retribusi,
mengundang beberapa pertanyaan Fraksi Persatuan Pemfoangunan yang
perlu penjelasan Pemerintah.
Disamping adanya pandangandalam RUU tentang Pajak dan Retribusi
Daerah bahwa beberapa pungutan jenis retribusi dirubah menjadi pungllt
jenis pajak, tapi juga ada keeenderungan pengelolaan pemanfaatan jasa khususnya jasa usaha yang hendak dikelola secara bisnis dengan
menyerahkan pengelolaannya kepada BUMD, misalnya pengelolaan Air
Minum, Parkir, Bengkel Kendaraan, dan Terminal Bus. Dengan ditetapkan
jenis-jenis jasa umum dan jasa usaha sebagai objek retribusi dalam
RUU ini, ap~kah dengan demikian jasa-jasa usaha dan umum tersebut tidak mllngkin lagi pengelolaannya diserahkan kepada BUMD, mohon
penjelasan pemerintah.
Tidak digolongkan jasa umum pemerintahan sebagai jenis jasa UI11UI11
objek retribllsi l11enurut Fraksi Persatuan Pel11bangunan sangatlah perlu
dijelaskan secara gamblang del11ikian artinya semua pihak tidak berhak
memungllt il11balan atas jasa ulUum pemerintah yang diberikan kepada
416
masyarakat. Tapi yang dirasakal1 selama ini adanya retribusi tidak resmi
yang dipungut oleh oknum-oknum yang terkait dengan pemberian izin
maupun pelayanan jasa-jasa umum objek retribusi, yang dalam kenyataan
jenis pungli ini jauh lebih besar jumlahnya dari pungutan retribusi resmi.
Kenyataan ini pula yang menyebabkan masalah pajak dan retribusi daerah
menjadi masalah nasional dalam bidang ekonoini yaitu sebagai penyebab
ekonomi biaya tinggi.
Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 26 RUU yang tidak memperbolehkan
pemungutan pajak dan retribusi daerah dilaksanakan dengan cara
diborongkan, menu rut Fraksi Persatuan Pembangunan sangatIah baik
walaupun dalam kenyataanya banyak terjadi terutama dalam pelaksanaan
pemungutan retribusi dengan cara diborongkan. Ada pula kenyataan bahwa
pemungutan retribusi dengan diborongkan tdah menghasilkan penerimaan
yang lebih besar lebih menguntungkan bagi pemerintah daerak, karena itu
Fraksi Persatuan Pembangllnan minta penjelasan dari pemerintah apa dasar
pikiran dimuatnya ketentuan tersebut.
Fraksi Fersatuan Femballgunan juga minta penjelasan pemerintah
terhadap beberapa ketentllan yang dimuat dalam RUU tentang Pajak
dan Retribusi daerah yang mengandung kewajiban, tapi tidak ada sanksi
, administrasi dan Pelaksanaannya bagi yang tidak "melaksanakannya,
misalnya kewajiban bagi Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimuat dalam Pasal 39 BAD VII. Demikian juga beberapa
ketentuan yang dimuat dalam BAB· IX Ketentuan Khusus. Mohon
penjelasan Pemerintah.
II.RUU TENTANG BEA BALIK NAMA TANAH DAN
BANGUNAN
Pemungutan oleh negara terhadap perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan ini sudah dilakukan dan sudah berjalan dengan menggunakan PP
417
No, 48 Th. 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan atau Bangunan. Dalam PP No. 48
Th. 1994 ini ditetapkan bahwa besarnya PPH yang wajib dibayar atas
penghasilan yang diterima atau diperolehi dari pengalihan hak atas tanah
dan atau bangunan adalah 5% dari juinlak bruto nilai pengalihan hak atas
atas tanah dan atau bangunan.
Digolongkannya punglltan ini sebagai jenis PPH, sejak semula Fraksi
Persktuan Pembangunan merasakan kekurang tepatan. Batasan pengenaan
pajak penghasilan (PPH) terhadap setiap kapital gain, yang menjadi dasar
pikiran dikenakannya PPH terhadap setiap penghasilan pengalihan hak dan
atau bangunan menllrut Fraksi Persatuan Pembangunan kuranglah tepat
Kila tabu bahwa tanah dan bangunan pada dasarnya bukan merupakan
barang dagangan, tapi merllpakan kekayaan (assets), k,ecuali bagi suatu
Badan Usalia atau orang perseorangan yang kegiatan bisnisnya memang
dagang tanai dan bangllnan. Kendaraan bermotor saja sebagai jenis
kekayaan barang bergirak, tidak dikenakan PPH atas perolehan hak, tapi
dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tiap tahunnya dan dikenakan
Bca Balik Naina Kent Laraan Bermotor (BBNKB) untuk tiap peralihan
hak milik.
Menurut Fraksi Persatuan Pembangunan antara pengenaan PKB dan I
DDNIED, dan antara PBB dan BBNTB nantinya juga berbeda, yaitu
walaupllll dan PBB adalah jenis pajak-pajak objektif tapi dipungut
karena milikilmempergunakan bcnda yang kena pajak,sedangkan BBNKD
dan PKB dan BBNTB dilakukan punglltan karena perbuatan. Oleh karena
itu terhadap jllal beli kendaraan bermotor, terhadap jual beli tanah dan atau
bangllnan yang dikenakan pungutannya bukan keuntungan, bukan kapital
lainnya, tapi perbuatan mengalihkan haknya itu.
Dengan demikian tidaklah perlu ada perhitungan kellntungan yang
diperoleh sebagai selisih antara harga pembelian dan penjualannya dengan
418
dikurang biaya renovasi dan penghapusan, tapi dipungut dengan prosentase
yang ditetapkan dengan undang-undang atas harga transaksi atau nilai pasar
objek pajaknya saja.
Tidak heran bila ada pandangan dari semen tara orang untuk mengenakan pajak penghasilan atas agio yang dihasilkan dari kapital
again penjualan saham pada penjualan perdana di pasar modal, bila prinsip
setiap diperolehnya kapital gain dipungut PPH, tapi sampai sekarang ini
tidak dilakukan pemungutan PPH. Jual beli saham di Bursa Efek hanya
perpindahan pemilikan assets, perpindahan tangan subjek yang melakukan investasi (investor) saja. Sedangkan untuk PPH sudah ada objek pajaknya
yaitu deviden: Adapaa mengenai /capital gala yang diperoleh dari tanah dan bangunan serta saham, barangkali akan menjadi objek pajak penghasilan
bila dilakukan revaluasi (penilaian kembali) seperti yang diatur dengan SK.
Menteri Keuangan No. 5071KMK 0411996, yaitu dipungutPPH sebesar 10%.
Oleh karena itu Fraksi Persatuan Pembangunan minta penjelasa pemerintah apakah SK. Menteri Keuangan No. 248 tho 1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak yang melakukan
kerjasama dalam bentuk perjanjian bangunan gana serah (Built operate and TransferlBot) juga akan ditinjau kembali dan akan dikelompokan sebagai
jenis Pajak Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan juga. Adanya ketentuan
dalam I PP No. 48 tho 1994 yang menetapkan batas nilai penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak dikenakan pajak yaitu sebesar Rp 60 juta, sedangkan didalam RUU tentang Bea Balik
Nama Tanah dan Bangunan ditetapkan Rp 20 juta . apakah dasar pemikiran perbedaan tersebut?, kiranya pemerintah dapat menjelaskannya.
Denda sebesar Rp 10 juta kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala Kantoi Lelang Negara, dan Pejabat Umum lainnya sebagaimana hendak diatur dalam Pasal27 ayat (I) RUU Tentang Bea Balik Nama Tanah dan
Bangunan, apakah tidak terlalu ringan ?, mengingat ada kemungkinan
419
terjadi kerjasama antara Waj ib Pajak dengan Pejabat-pejabat tersebut dalam
menggelapkan Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan yang nilai transaksi pengalihan hak sangat besar dan bea yang akan digelapan juga besar jauh
melampaui denda Rp 10 juta.
Fraksi Persatuan Pembangunanjuga ingin minta penjelasan pemerintah
atas kesiapanadministrasi perpajakan pemerintah, yaitu fiseus, khususnya
dalam kemampuan penguasaandata-data, Nilai Jual Objek Pajak yang
digunakan dalam pengenaan pajak burni dan bangunan, walaupun dalam
Pasal 6 ayat (4) RUUada ketentuan yang dimaksud sebaga i antisipasi bila tidak tersedianya data NJOP Bumi dan Bangunan bagi tanah dan bangunan
yang dipindahkan/dialihkan haknya tersebut. Namun keadaan tersebut menjadi eiri adanya kelemahan administrasi perpajakan pemerintah,
khususnya fiskus yang tidak mustahil akan memberikan peluang bagi pihakpihak tertentu mengambil keuntungan pribadi dari kelemahan tersebut. .
Fraksi Persatuan Pembangunan juga minta penjelasan pemerintah,
sampai sejauh mana koordinasi diantara instansi pemerintah sendiri atas
kepatuhan masing-masing instansi dalam menggunakan NJOP Bumi dan
Bangunan sebagai dasar penerapan harga bagi pcmbebasan tanah-tanah milik
masyarakat bagi kepentingan proyck-proyek pemerintah, dan juga dalam
penetapan ganti rug;' tanah-tanah negara yang dialihkan· haknya kepada
swasta. Fraksi Persatuan Pembangunan banyak mendengar dan bahkan menyaksikan keresahan masyarakat yangtanah dan banganannya digusur oleh pemerintah dengan ganti rugijauh dibawah NJOP Bumi dan Bangunan.
Pembagian hasil. penerimaan pajak Bea Balik Nama Tanali dan. Bangunan sebagaimana hendakdiatur dalamBAB XI, 'Pasal 24 RUU
ten tang Bea Balik Nama Ta'nah dan Bangunan yang menegaskan bahwa
hasil penerimaanpajak 'tersebut merupakan penerimaan negara yang dibagi hasilkan antaraPemerintah· Pusat· dan pemerintah· Daerah dengan
imbangan pembagian sekurangkurangnya 80% untukPemerintah Daerah
420
Tk. II dan Pemerintah Daerah Tk. I. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
Bea Balik Narna Tanah dan Bangunan adalah pajak pusat yang dibagi
hasilkan kepada daerah Tk. II dan Tk. I. Dengan demikian Bea Balik Nama
Tanah dan Bangunan diperlakukan seperti Pajak Bumi dan Bangunan,
yaitu sarna-sarna tergolong jenis pajak yang secara langsung dikaitkan.
dengan pengisianlpelaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat, dan '
Daerah. Kalau hasil penerimaan PBB sekarang ini setelah dipotong upah
pungut seluruhnya diserahkan kepada Daerah, walaupun dalam undangundangnya tetap menentukan bagian pemerintah pusat 10%. Apakah untuk
Bea Balik Nama Tanah dan Bangu~an inijuga ditetapkan ;10~ saja untuk bagian pemerintah pusat ?, minta penjelasan pemerintah.,
. .' . . ... . Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) RUU ditentukan bahwa bag ian
penierimaan Pemerintah daerah' yang 80% itu sebagian besar diberikan
kepada Pemerintah Daerah Tk. II: Fraksi Persatuan Peinbangunan' sa~gat mendukungnya karena sangat sejalan dengan prinsip pelaksanaan otonoini daeah yang dititikberatkan pada daerah Tk. II, dan juga konsisten dengan
pen bagian hasil PBB sebagian besar untuk Pemerintah Daerah, itu sebesar
10% pemerintah pusat 16,2% dan 64,8% untuk Daerah Tk. I dan Daerah Tk. II, serta 9% upah pungut, walaupun dalarn praktek pelaksanaannya
akhirnya bagian pemerintah pusat 10% itu juga diserahkan kepada Daerah
Tk. II, sehingga Daerah Tk. IT menerima bagianPBB 74,8%. Fraksi Persatuan Pembangunan minta penjelasan pemerintah apakah pembagian hasil Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan antara Daerah Tk. Idan Tk. II
konkordan dengan pembagianhasil PBB ?
Fraksi Persatuan Pembang~,~an juga minta tanggapan pemerintah apakah tidak ada pemikiran untuk dalam waktu dekat, misalnyaawal
,i' "':" 'J ," .. '
Repelita VII yang akan datang akan menjadikan PBB dan BB~TB sebagai, golongan Pajak pusat yang diserahkan pemungutan dan penggunaannya kepada daerah yang untuk selanjutnya menjadi pajak daerah ?, apalagi
bila diliat yang menjadi objek Pajak PBB dan BBNTB ada di daerah yaitti
421
------ -
adanya rencananya Tata Ruang Daerah, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
juga di angkat oleh Menteri Dalam Negeri.
llI.Roo TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
Laju peningkatan penerimaan perpajakan kita dari tahun ketahun up,
tinggi ·scjak reformasi perpajakan tah. 1983. Namun demikian tax rosio
kita baru mencapai 12,8%i dan masihjauh berada dibawah negara-negara
ASEAN, apalagi negara-negara maju. Disamping itu laju peningkatan
ini semakin mer-urun, misalnya selama, Repelita IV laju peningkatannya
pcitahun rata-rata 31,5% dan selamaRepelitaV menurun menjadi 26%, dan
dua tahun pertama Repelita VI hanya.± 11,4 % saja sehingga diperlukan
penyempurnaan Undang-undang bidang ,Perpajakan pada tal1Un 1994.
Dipihak laju pertumbuhan ekonomi kita dua tahun terakhir cukup tinggi
yaitu 7,5 % pada talmn 1994, 8,1% tho 1995, dan sasaran pertumbuhan
ekonomi Repelita Vlkita juga tinggi yaitu 7,1 %, dan tax rosio kita masih
rendah. Melihat kepada pertumbuhan ekonomi kita yang terus tinggi dan
tax rasio yang masih rendah, mestinya laju peningkatan penerimaan pajak
masih terus meningkat.
Bila pada saat ini kita aaampu nieneapai tax rasio sebesar 16,5% saja
yaita tingkat rasio yang paling rendah dari negara-negara ASEAN, maka
berarti penerimaan pajak kita akan meningkat +. Rp J 6,2 Trilyun, yaitu
suatu jumlahcukup berarti untuk meningkatkan Volume APBN kita, atau
mencapai hampir 60% dari belanja pegawai Dengan demikian biIasaja
tax rasio kitasudah, mencapaiI6,5% saja, maka kitadapat meningkatkan
gaji pegawai ±75% sehingga cukup berati bagi peningkatan kesejahteraan pegawai negeri ABRI. Oleh karena upaya ektensiftkasi dan internsifikasi;
dalam bidang perpajakan sudahpula kita lakukan meialuipellyempurnaan
undang.;undangperpajakan pada tho 1994, dan Sudilh mulai diberlakukan
dalam tho '1995, tentu saja upaya intensifikasi masih harus terus ditingkatkan
422
terutama guna meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggungjawab baik melalui penyuluhau dan penerapan sanksi
termasuk tatacara penagihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaati penerapan' sailksisesuai d€mgan perafuran
perundang- undangan yang berlaku, meinerlukan penyempurnaan prangkat peraturaa perundang-undangan agar tidak 'te~j~di Penerapan sanksi y~ng
Iii.::, ;, . : " .: ,". . .
sewenang-wenang, dan penerapan sanksi yang memiliki kelemahan-kelamahan dalam penegakannya, sehingg;l mengundang banyaknya, gugatan dari penailggung pajak.
Tunggakkan pajak secara akumulatif",cukup besar jumlahny~, Yl:lng
penyelesaiannya memerlukan prosedur" p~nagihan "dan penye'esaian tunggakan pajak yang tangguh dan handal. Fraksi J:>ersatuan Pembapgunan dalam kesempatan ini minta penjelasan pemerintah berapa. besarnya tunggakan pajak negara sampai dengan tahuntakwim 1995.
Penagihan dengan Surat Paksa ada lab bagian dari upaya meningkatkan , kesadaran masyarakat terhdap pemenuhankewajiban perpajakan dan,
sekaligus merupakan bagian yang terpenti~g dalam upaya pelaksanaan intensifikasi pemungutan pajak negara dan daerah. Disamping diperlukannya perangkat peraturan perundang-undangan, juga sangat diperlukan dukungan aparatur perpajakan Yl:lng juga siap, agarpenagihan pajak dengan Surat Paksa tidak menjadi bumerang karena dipergunakan .. dengan rasa kurang bertanggungjawab serta tidak didukung oleh data-data administrasi perpajakan dari pihak fiskus, yang akurat. Fraksi P~rsatuan Pembangunan minta penjelasan sampai dimana kesiapan sumb,er daya manusianya?
Penagihan Pajak dengan Surat Paksaperlu didukung pula dengan dimilikinya hak mendahulu (hak utama) tagihan pajak atau pajak yang terhutang. Fraksi Persatuan Pembangunan, ,1110hon penjelasan, pemerintah , apakah hak mendahulu sudah ada pengatl,lrannya pada semua undang-
423
un dang perpajakan yang berlaku, dan juga diatur dalam semua Peraturan
Daerah tentang pajak-pajak daerah yang berlaku, sehingga hak mendahulu
yang diatur dalam Pasal 19 ayat (5/ dan ayat (6) RUU sudah didukung oleh
Hak dahulu tagihan pajak dan pajak daerah dalam Undang-undang dan
Peraturan Daerah masing-masing Pajak dan Pajak Daerah terse but.
Saudar-a Ketua;
Saudam Meute."i Keuangan;
Dan hadirin Sidang Dewan yang kami hormati.
Rancangan Undang-undang ten tang Penagihan Pajak Dengan Surat
Pakasa yang Dewan bahas sekarang ini, dimaksudkan untuk menggantikan
UU No. 19 Th. 1959 tentang Penagihan pajak Negara Dengan Surat Paksa.
Dengan demikian artinya Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sudah
dilaksanakan sejak dahulu, karena UUNo- 19 tho ] 959 tersebutjuga sebagai
pengganti dari beberapa peraturan perundang-undangan sebelumnya lagi
antara lain: Lambaran Negara No. 84 tho 1957 dan Stbl 1917 No. 171.
Oleh karenauya Fraksi Persatuan Pembangunan tidak perlu lagi was-was
memasuki pembahasan RUU yang berjudul cukup seram yaitu Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa.
Landasan philosofts dimuatkannya tindakan-tindakan untuk memaksa
dalampenagihan pajak karena didorong oleh cita-cita agar pcmenuhan
kewajiban perpajakan ditaati oleh semua Wajib Pajak yang berkeharusan
membayar pajak. Pemenuhan kewajiban perpajakan. tidak hanya oleh
orang-orang yang beritikad baiksaja, tapi juga bagi orang-orang yang·
diragukan kejujuran dan iktikad baiknya. Jadi maksud yang dikandung
dalam tindakan untuk memaksa ini tidak lain ialah untuk mengusahakan
terpenuhinya suatu kewajiban pepajakan oleh Penanggung Pajak yang sudah
menampakan tanda-tanda dan gejala-gejala bahwa yang bersangkutan
memperlihatkan bahwa k,e\vajiban perpajakannya tidak akan terpenuhi.
424
Fraksi Persatuan Pembangunan dapat memehamiperludiganti dan
diperbaharuinya undang-undang yang mengatur Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa, karen a kita telah melakukan reformasi undang-undang
perpajakan pada tahun 1984 yang lalu dan bahkan sudah kita sempurnakan
lagi pada tahun 1995. Kita sudah merubah sistem Official Assesment
dengan Self assesment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Kedua
sistem ini mengandung implikasi yang berbeda dalamhal pengertian kapan
terjadinya pajak terhutang,jatuh tempo dan tunggakanpajak.
Oleh karena itll dari tttiuan tagihan pajak dengan SuratPaksaadalah untuk memaksa wajib pajak yang terhutang pajak tanpa kecuali memenuhi.
kewajiban membayar pajak dan wajib pajak yang tertunggak pajak
segera melunasi, maka dalam penerapan sistem penagihan pajak dengan Surat Paksa dalam sistem Self assesme111 sangat berbeda dengan sistem
Official Assesmenl. Dalam sistem Self Assesment yang tidak lagi menganut Reelstelsal, pajak terhutang terjadi pada saat kewajiban timbul karena
ketentuan undang-lIndang, sedangkan dalam Official. Assesment hutang pajak timbul seteJah terbitnya Surat Ketetapan Pajak, dan tunggakan
hutang pajak dalam suistem Self Assesment timbul setelah lampau waktu
penyampaian laporan pelunasan pajak terhutang, sedangkan dalam Official
Assesmel1t setelah lewat tanggal jatuh tempo.
Pemberian wewenang kepada Pejabat untuk penagihan pajak pusat
dan Pejabat untuk penagihan pajak daerah dalam pelaksanaan penagihan
dengan Surat Paksa yang meliputi wewenang tagihan seketika dan sckaligus,penerbitan Surat Paksa,Penyitaan, Pencegahan dan Penyenderaan,
menu rut
Fraksi Persatuan Pembangunan sudah sepadan dengan sa saran yang ingin dicapai daJam pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa yaitu pemasukan pungutan pajak yang optimal Fraksi Persatuan
Pembangunan minta penjelasan pemerintahapakah kriteria bagi
425
Fenanggung Pajak yang patut diberi Surat Periatah Penagihan Seketika
daa Sckaligus seperti yang dimuat dalam RUU sudah merasa cukup
dan Lerbatas hanya itu saja, mengingat semakin canggih dan ban yak
ragamnya kcgiatan-kegiatan yang muagkin dilakukan oleb. Penanggung
Pajak untuk mengelabuhi pihak fiskus dalam mengelakkan kewajiban
pajaknya. Fraksi Persatuan juga minta penjelasan pemerintah, yaitu
bagaimana pemerintah khususnya pihak fiseas untuk mendapatkan
informasi mengenai prilaku Penanggung Pajak yang seperti demikian itu.
Adanya tiga kriteria sebagai syarat untuk dapat diterbitkannya Surat Paksa
sebagaimana dimuat dalam BABIIL Pasal 8, menurut Fraksi Persatuan
Pembangunan sudah dipcnuhinya cara-cara penagihan yang bersifat pasif
dan persuasif selama belum sampa~ dengan jatuh tempo dan dilanjutkan
dengan penagihan melalui Surat Paksa setelah lewat tanggaljatuh tempo.
Demikian juga dcngan pcmbcrian kcscmpatan keputusan untuk
mengangsur atau penundaan pembayaran terltibih dahulu oleb fiseus
kepada Pcnanggung Pajak sebelum diterbitkan pcnagihan pajak dengan
Surat Paksa, mcnurllt Fraksi PersaLuan Pembangunan slldah memenuhi
salah satu eara pcnagihan yang bcrsifat pasif scbclum mcmasuki cara
pangihan yang bcrsifat exeeuliv melalui pangihan dcngan Surat Paksa.
Fraksi Perasatuan Pembangunan milllta pcnjelasan pemerintah
apakah pemberian keputusan untuk melakukan pembayaran dengan cara
mengangsur dan atau penundaan pembayaran tcrsebut diberikan sebelum
tanggal jatuh tempo dan pelaksanaan pengangsuran dan pelunasannya juga
scbelum jatuh tempo atau setelahjatuh tempo?
Fraksi Pcrsatuan Pembanguan minta pcnjelasan mengenai batas waktu
antara pcnerbitan Surat Penagihan seketika dan Sekaligus yang harus
dilanjuti dengan penerbitan Surat Paksa terhadap Penanggung Pajak yang
telah dilaksanakan penagihan Seketika dan Sekaligus, mengingat bahwa
tagihan dengan Surat Paksa terhadap ~enanggung Pajak tersebut merupakan
426
follow lip (kelanjutan). Kalau antara pemberitahuan Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak dengan pelaksanaan penyitaan diperlukan waktu 24 jam,
Fraksi Persatuan Pembangunan berpendapat antara pelaksanaan Penagihan
Seketika dan Sekaligus dcngan penerbitan Surat Paksa juga perlu batas
waktu agar ada kepastian gllna menghindari kerugian negara dan Fraksi
Persatuan Pembangllnan berpendapat batas waktu yang dimakslld paling
lama 24 jam, dan bahkan Fraksi Persatuan Pcmbangunan Icbih cenderung
bila pelaksanaan penerbitan dan penyampaian Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus dengan penerbitan dan penyampaian Surat Paksa
dilakukan dalam waktu bersamaan. Fraksi Persatuan Pembangllnan minta
tanggapan pemerintah.
Penyitaan terh:ldap deposito berjangka, tabungan, saldo R ekennng
Koran, Giro, atau belltuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu, sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 RUU, Fraksi Persatuan Pembangunan minta penjelasan
kemungkinan bentllran dengan kepentingan Rahasia Bank ? Demikian
juga dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 25 ayat en ayat (3), dan
ayat (4) RUU, apakah juga tidak berbenturan dengan kepcntil1g;m rah~i i"
B:ll1k. Fraksi Pcrsatuan Pembangunan juga minta pcnjelas<J1I Pcmcrinl;lh
tentang sanksi pidana sesuai dengan Ketentuan perundang-llndangan yang
berlaku yang dimaksud dalam Pasa125 ayat (4) RUU.
Penyitaan yang dimuat dalam BAB IV RUU adalah pemberian
wewenang oleh undang-undang ini nantinya kepada pihak fiskus untuk
melakukan penyitaan tanpakeputusan hakim atau execulive Iangsung
(pm'ale executive) berdasarkan Surat Paksa yang diatur dalam BAB TIl,
Pasal 7 RUU. Fraksi Persatuan sepelldapalt diberikannya wewenang oleh
undang-undang kepada fiskus untuk melakukan penyitaan tanpa keputusan
hakim atau eksekutif langsung, karena dengan sistem Self Assesment
bila terjadinya kelalaian cia lam mambayar hutang pajak, bukan karena
tidak setuju dengan besarnya ketetapan pajak, tapi karena kealpaan atau
427
kcengganan, dan bahkan memang enggan memennlti kewajiban/ketaatan
atas undang-undang perpajakan. Selain dari itu besarnya hutang pajak
yang diharuskan dibayar tidaklah perlu untuk diajukanoleh hakim, karena
mempunyai kedudukan dan sifat yang berbeda dengan hutang piutang
antm·a seseorang dengan seorang lainnya (Perdata), apalagi terhadap
besarnya hutang pajak yang timbul karena sistem Self Assesment.
Selanjutllya upaya penagihan pajak dengan Paksa dalam bentuk
tindakan Pencegahan dan Penyanderaan hendak diatur dalam BAB
V Pasal 29, 30, 3 t, 32, 33, 34, 35, dan 36. Kriteria Penanggung Pajak
yang dikenakan 'Penyanderaan selain diragukan iktikad baiknya dalam
melunasi utang pajak dan mempunyai hutang pajak sekurang-kurangnya
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), juga sudah diberikan Surat
Penagihan Seketika dan Sekaligus, dan juga sudah dilakukan penyitaan,
tapi masih belumjuga dapat melunasi hutangnya. Dengan kriteria tersebut,
maka tindakan Pencegahan adalah tindakan pemaksaan yang bersifat tidak
langsung, karena penanggung pajak tidak ada iktikad baik dan bahkan sudah
melakukan tipu muslihat untuk menyelamatkan harta kekayaannya dari
tuntutan yang mengancamnya. Menurut Fraksi Persatuan Pembangunan
terhadap Penanggung Pajak yang disatu pihak dapat memperoleh laba
usaha sebelumpajak paling kurang Rp 350 juta, dan barangkali mempunyai
Modal usaha paling kurang Rp 3,5 milyar, tapi setelah dilakukan penyitaan
atau bila hendak disita tidak menghasilkan jumlah uang untuk pelunasan
hutang pajaknya karena tipu muslihatnya, maka sebagai pengganti sita
hartanya wajar dan adiluntuk dilakukan penyitaan atas badan orang atau
diri orangnya dalam bentuk Pcncegahan dan sampai kepada penyanderaan.
Dengan pengaturan pelaksanaan pencegahan harus berdasarkan
keputusan Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri atau atasan pejabat,
yang bersangkutan, dan dengan pelaksanaan penyanderaan hams mendapat
terlebih dahulu ijin dari Menteri atau Kepala Daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 33 ayat (2), menurut Fraksi Persatuan
428
Pembangunan sudah mencerm inkan prinsip kehati-hatian agar pengambilan
tindakan tersebut tidak tergelincir kepada memperkosa hak asasi manusia
dan azaz keadilan.
Fraksi Persatuan Pembangunan mengingatkan pemerintah untuk dieatat
bahwa tindakan Pencegahan dan penyandeman, khususnya penyanderaan
hams mempakan tindakanterkhirdan bila tidak ada jalan lain lagi.
Disamping itu sebenarnya Fraksi Persatuan Pembangunan menginginkan
agar ada batas waktu tertell1tu diberikan kepada Penanggung Pajak yang
akan dikenakan penyanderaan misalnya satu minggu untuk terhadap
tindakan penyanderaan yang akan dikenakan kepadanya, Tapi keinginan
itu ami urungkan, bila kami menoieh kepada banyaknya kasus-kasus yan
ktu·ang bermoral muncul di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini dalam
memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang bertlljllan menjunjung tinggi hak
dan kehormatan, tapi justeru dipergunakan sebagai kelemahan hukum.
Iv. ROT TENTANG-BADAN PERADILAN PAJAK
Secara singkat dalam Penjelasan Pemerintah telah dikemukakan
hal-hal yang menyangkllt RUU Peradilan Pajak sebagaimana yang
dikchcndaki dalam VV No.6 Talmn 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Gara Pcrpajakan scbagaimana telah diuhah dengan VU NO.9 Tahun
1994. Dari keterangan Pemerintah tersebut ternyata landasan hukum yang
dipakai dalam pembentukan Badan Perdilan Pajak dimaksud adalah Pasal
13 VU No. 14 Th. 1970 lentang Ketentuall-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi sbb : "Badan-hadan Peradilan KhuSllS disamping
Badaa-badan Peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan
Undang-undang". Apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 10
VV Kekuasaan Kehakiman dimaksud yang hanya mengenal 4 (empat)
lingkungan Peradilan yang melaksanakan kekuasaan Kahakiman, yaitu:
Peradilan Umum, Peradilan Agama, PeradilanMiliter, dan Peradi!an Tata
Vsaha Negara, maka timbul pertanyaan, apakah benar ketentuan Pasa! 13
429
dimaksud membuka kemungkinan dibentuk lingkungan Peradilan lainnya
disamping empat lingkungan Peradilan yang secara tegas disebutkan
dalam Pasal 10 dimaksud? Pertanyaan ini timbul apabila kita membaca
Penjelasan Pasal 10 tersebut yang menyebutkan : "UU ini membedakan.
antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai
lingkungan weweang mengadili perkara tertentu dan meliputi Badan
bad an Peradilan tingkat pertamadan tingkat banding. Peradilan Agama,
Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena
mengadil i perkara-perkaratertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu,
sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya
mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan dalam
empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan diferensiasil spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan
misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa
Pengadilan Lalu Lintas.
Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagaimanya
dengan Undang-undang".Penjelasan Pasal 10 dimaksud menyebutkan
pengkhususan tersebut diatur dengan lIndang-undang. Tentu saja perintah
mengatur dengan undang-undang itu tidak mungkin hanya dieantumkan
pada Penjelasan pasal dan bukan pada batang tubuh dari undang-undang
bersangkutan. Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 13 tersebllt
bukankah hams dibaca sebagai perintah dalam kaitannya dengan ketentllan
Pasal 10 dan Penjelasannya dimaksud ? Penggunaan kata-kata "BAD AN
PERADILAN" pada Pasal 13 tersebut apakah berbeda dengan yang
dimaksud istilah lingkungan Peradilan dalam Pasal 10 yang menunjuk
pada pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia? Hal ini jelas dapat
pula dibaca dari Penjelasan Pasal 10 tersebut yang menyebutkan "Undang
undang ini membedakan antara em pat lingkungan peradilan yang masing
masing mempunyai Iingkungan wewenangmengadili tertentu dan meliplIti
BADAN-BADAN PERADILAN TINGKAT PERTAMA DAN TINGKAT
430
BANDING". Dengandemikian kata"BADANPERADILAN" itumenunjuk
pada PENGADILAN tingkat pertama dan PENGADILAN tingkat banding
sebagai lembaga yang ada pada setiap Iingkungan Peradilan. Misalnya
Pengadilan Negeri dan lPengadilan Tinggi pada lingkungan Peradilan
Umum. Pemakaian kata "Badan Peradilan" pada Pasnl 13 apakah benar
dimaksud untukdapat meuambali empat lingkuugan Peradilan yang
melaksanakan kekuasaan Kehakiman ataukah menunjuk pada badan-badan
Peradilan khusus yang diinaksudberada pada lingkungan Peradilan yang
empat itu?
Sedangkan RUU Badan Peradilan Pajak ini meletakkan dirinya diluar
empat lingkungan Peradilan diinaksud pada Pasal 10 tersebut. Hal ini
dapat dibaca dari Pasal 2 RUU yang menyatakan "Badan Peradilan Pajak
adalah badan peradilan khusus dibidang perpajakansebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman". Bunyi yangsama dapat kita temukan
pula pada Pasal 2 UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama. Baru
baru ini Pemerintah telahmengajukan kepada DPR-RI dan sudah dalam
tahap penyclesaian akhir. yaitu RUU tentang Peradilan Anak yang juga
mendasarkan dirinya pada ketentllan PasallO dan Pasal 13 UU Kekuasaan
Kehakiman. Namun Peradilan Anak dimaksud merupakan pellgkhususan
dari Peradilan Umum saja. Mohon penjelasan Pemerintah.
Mahkamah Aguhg meriurut Pasal 3 (l-).-RUU ini ditempatkan
scbagai pembina teknis peradilan, maka Fraksi Persatuan Pembangunan
mengharapkan penjelasan, apakah Pemerintah telah meminta pel1imbangan
Mahkamah Agung sehubllngan dengan diajukannya RUU tentang Badan
Peradilan Pajak ini ? Mohon penjelasan Pemerintah.
Menurut ketentuan cia I a III Pasal 37 UU No. 14 Th. 1985 tentang
Mahkamah Agung, bahwa '. Mahkamah Agung dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan . dalam bidang hukum baik dim inta maupun
tidak kepada Lembaga Tinggi'Negara yang ini' . Datam rangka pembahasan
431
RUU tentang Peradi Ian Anak, walaupun agak terlambat ternyata Mahkamah
Agung telah mengirim pertimbangannya kepada DPR-RI tanpa diminta.
Pimpinan Sidang yang kami hormati;
Ada beberapa hal dalam RUU Badan Peradilan Pajak ini yang perlu
mendapatkan sorotan khusus yang antara lain :
432
1. Badan Peradilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara apabila
perlu dapat dibentuk pula di tempat lain (Pasal 5 ayat 1). Ketentuan
ini sangat berbeda dengan Pengadilan dilingkungan empat Peradilan
lainnya. Sekaligus ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Badan
Peradilan Pajak hanya terdiri dari satu tingkat karena tidak mengenal
Pengadilan Tinggi Peradilan. Pajak Mohon penjelasan Pemerintah.
2. Walaupun tidak ada Pengadilan Tinggi Peradilan Pajak, yang untuk
em pat lingkungan Peradilan lainnya dikenal sebagai Pengadilan
banding, akan tetapi RUU ini menyebutkan dalam BAB tentang
Hukum Acara adanya "Gugatan" dan "permohonan banding"
sekaligus mengintrodusir istilah "permohonan banding/ penggugat"
yang berbeda dengan yang dipergunakan oleh empat lingkungan
Peradilan. Penggunaan istilah-istilah tersebut olch RUU ini
sebaiknya dicarikan ist.i1ah yang lebih tepat tanpa mengaburkan
istilah yang sudah umum dipakai dilingkungan Peradilan selama
ini agar tidak menganggap, bahwa "keputusan pejabat yang
wewenang" yang akan dimohonkan banding disamakan dengan
putusan PengadiJan tingkat pertama (vide Pasal 1 butir 4,5, dan 6,
Pasal37, Pasal38 dst RUU).
Perkataan banding dalam UU NO. 9/1994 maupun UU No.1 011995
(Kepabeanan) dan UU No. 11/1995 (Cukai) lebih ditujukan pada
istilah "banding administratif, bukan dalam hukum acara peradilan.
Mohon penjelasan Pemerintah.
3. Putusan Badan Peradilan Pajak merupakan putusan akhir dan
bersifat tetap (Pasal 81). Apa yang dimaksud dengan itu? Andaikata
maksudnya putusan akhir itu karena tidak ada Pengadilan tingkat
banding lagi, tentu saja ketentuan ini tidak dapat menganulir
ketentuun Pasal 10 ayat (3) UU No. 14 Th. 1970 yang menyatakan
Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh
Pengadilan-pengadilan lain dad pada Mahkamah Agung kasasi
dapat diminta kepada Mahkamah Agung (baca pula Pasal 29 dan
30 UU No. 14 Th.1985). Sedangkan yang dimaksud "putusan
bersifat letap" adalah "putusan Pcngadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap" .......................... yang lazim dikenal oleh
dunia peradilan. Apabila hal itu yang dimaksud, maka berbagai
aspek Imkum dari putusan yang demikian, terhadap anlara lain
putusan kasasi nantinya periu dicermati lebih lanjut. Semen tara
itu pada Penjelasan Umum dan penjelasan Pasal 81 RUU dibuka
kemungkinan adanya kasasi oleh laksa Agung asasi seperti ini di
kenaI sebagai upaya hukum luar biasa. Mengapa masih dibuka
kemungkinan kasasi tcrsebut walaupun mengenai putllsan yang
telah memperoleh pllltllsan yang berk,ekuatan hukum tetap? Mohon
penjelasan Pemerintah.
4. Saksi dapat dipaksa datang kepersidangan dengan menggunakan
Polisi Pasal 60 RUU). Pemaksaan terhadap saksi hanya dikenal
dalam perkara pidanadan mempunyai sanksi pidana pula (Pasal
522 KUHP). Bentuk pemaksaan sepe:rti ini sudah akan menyentuh
hak asasi manusia. Apakah demikian yang dimaksud RUU ini ?
5. Biaya perkara langsung ditetapkan Rp. 1 .. 000.000,- (satujllta rupiah)
pada Pasal 47 RUU. Hal sepe11i ini tlldak dikenal pada lingkungan
Peradilan yang sudah ada. Sedangkan dalam pemeriksaan dengan
secara cepat pada Pasal 70 RUU ditentukan perkara yang dipesiksa
memakai acara tepat tersebut an tara lain sengketa perpajakan yang
433
jumlah pajaknya tidak melebihi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Artinya wajib Pajak yang akan menuntut pajak yang dikenakan
secara tidak adil terse but sampai jumlah dimaksud sudah harus
menyetor uang pendaftaran Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah) pula.
Apa dasar Pemerintah menetapkan jumlah biaya dan batas jumlah
pajak tersebut sampai Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) itu ?
Dengan mengemukakan beberapa pandangan terhadap RUU tentang
Badaa Peradilan Pajak ini tentu saja tidak berarti Fraksi Persatuan menolak
terhadap hal yang sudah diamanatkan dalam UU No. 9 Th. 1995 yang
menyempurnakan UU No.6 Th. 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata
cara Perpajakan. Hanya saja masalahnya adadali, bagaimana menempatkan
kedudukan Badan Peradilan Pajak sesuai dengan maksud UU No. 14 Th.
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
acuan pokok kekuasaan kehakimam di Indonesia apabila RUU ini hendak
mengacu kesitu.
Demikian Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan
terhadap RUU ten tang Pajak dan Retribusi Daerah, RUU ten tang Bea Balik
Kama Tauah dan Banguaan, RUU tentang Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa, dan RUU tentang Badan Peradilan Pajak,
Fraksi Persatuan Pembangunan mengharapkan penjelasan, tanggapan
Pemerintah dalam Jawaban Pemerintah yang akan datang. Atas perhatian
dan kesediaan para Anggota Dewan yang terhormat, Saudara Ketua dan
Saudara Menteri Keuangan beserta stafyang terhomlat dan hadirin sekalian
yang telah dengan tekun dan sabar mendengarkan pemandangan umum ini,
kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besamya.
Wabillahit laufiq wal hidayah Wassalamu 'alaikllm Wr. Who
434
Jakarta, 12 Desember 1996
PlMPINAN
FRAKSI PERSATUAN PEMBANGUNAN DPR-RI
Ketua Sekretaris,
ttd, ttd,
H. HAMZAH HAZ. . MUHAMMAD D.JA'FAR SIDDIQ
435
FRAKSII'ARTAI DEMOKRASI INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Sekrctariat: /11PRlDPR·RINusantara I,Lanla; JL"I,JlJend.Gatot Submto Jakarta 10270 TelJl.575 5908,575 5858,575 5857, Fax 575 5905
PEMANDANGAN UMUM
FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA DPR-RI
TERHADAP
RUU TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
RUU TENTANG BEA HAL NAMA TANAH DAN BANGUNAN
RUU TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
RUU TENTANG BADAN PERADILAN PAJAK
Disampaikan oleh : Setyadji Lawi
AnggotCl Nomor: A-378
Merdeka I!!
Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat SCludara
Menteri Kellangan beserta Jajarannya yang terhormat, Hadirin yang
berbabagia, dan Sidang yang kami muliakan.
Mengawali Pemandangan Umllm Fraksi POI terhadap Rancangall
Undang-lIndang tentang Pajak dan retribusi lDaerah, Rancangall Undallg
lIndang tentang Bca Balik Narna Tanah dan Bangunan, Rancangan Undang
lIndang ten tang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Rancangan
437
Undang-undang tentang Badan Peradilan Pajak perkenankan kami
mengajak Bapak, Ibu Saudara sekalian, untuk memanjatkan Puji Syukur
Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Maha P1engasih dan Penyayang atas
segala Rakhmat dan Ridhonya yang telah dilimpahkan pada bangsa dan
negara kita, selia anugerah keselamatan dan kesehatan kepada kita sekalian
sehingga kita maih dapat mellljalankan tugas Ikonstitusional kita memasuki
tahap-tahap pembahasan 4 yang telah disampaikan oleh Pemerintah oleh
lalu.4( empat) Rancangan Undang-undang dibidang Perpajakan Pemerintah
kepada DPR-PI tanggal25 Nopember 1996 yang lalu.
PENDAHULUAN:
Fraksi PDI menyambut kepada DPR yang pada intinya berkepastian
hukum dalam melalui perangkat 11l1kum ini kekelllargaan, kebersamaan,
keadilan dan penyelenggaraan nanti dalal11 disampaikannya keempat RUU
dibidang Perpajakan bertujuan meletaklkan dasar-dasar yang lebih kuat
dan perpajakan. Hal ini juga dimaksudkan dengan akan dapat memperkuat
perwujudan asas kekeluar-penyelenggaraan perpajakan.
GBHN? Tahul1 1993 MengamanatkaI1l bahwa membiayai pembangunan
nasioanl hendaknya bertumpll kepada kemanpuan sendiri dengan sunggllh
sungguh mengerahkall dana masyarakat yang bersumber pada kekuatall
sendiri. Berbicara tentang membangun dengan kemampuan diri sendiri perlu
kiranyaPemerilltahmeneiptakankondisiyangkondusifyangdapatmenjaring
partisipasi seluruh potensi .. Dari hal terse but diatas,penyelenggaraan pajak
yang lebih progresif ,lebih dinamis namun tetap melldasarkan kepada
empat asas yaitu asas keadilan ,asas pemerataan asas manfaat, dan asas
kemampuan masyarakat perlu senantiasa dillpayakall.
Pcmungutan pajak merupakan perwujudan dari Ipengabdian dan
peranserta wajib pajak dan bersama-sama melaksanaan kewajiball
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan Nasional
438
J
yang pelaksanaannya dip~~reayakan kepadla masyarakat untuk menghitung
sendiri (self assessmant)sedang Pemerintah bekewajiban melakukan
pembiayaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
perpajakan terse but .
Seperti kami sebut diatas bahwa Raneangan Undang-undang di bidang
perpajakan pada intinya lIntuk memberikan landasan atau dasar-dasar yang
lebin kokoh dan berkc-pastian hukum dalam penyelenggaraan perpajakan.
Dalam GBHN 1993 disebutkan pembangu-nan hukum dan perundang
lIndangan hendaknya meneiptakan sistem hukum dan produk hukum yaiiy
mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat
dan pembangunan. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
pembaharuan hukum yang dengan tetap memperhatikan kemajemllkan
tatanan hukum yang berlaku yang mencakup upaya meningkatkan
kesadaran hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum, penegakan
hukull1, dan pelayanan hukum selalu harus berintifean keadilan dan
kebenaran dallam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan
teratur serta p1enyelenggaraan pembangunan nasional yang makin lanear.
Pembangunan otonomi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan
amanat UUD 1945 diarahkan untuk Icbih mengembangkan dan memaeu
pembangunan daerah, meanerluas peran serta masyarakat, serta lebih
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan
memperliatikan kemllngkinan pengembangan dan pemanfaatan potensi
daerah dan seem·a saling mendukung dengan kemampuan nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah ditll-jllkan pada.perwujudan otonomi daerah,
yang nyata, dinamis, serasii, dan bertallggungjawab.
Ketentllan perpajakan padadasarnya berinduk kepada undang-undang
Nomor 9 Talmn 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Pada Pasal
22 ayat (1) dan ayat (2) merumuskan tentang hak fiskus untuk melakllkan
penagihan Pajak termasllk bunga, denda, kenalkan, dan biaya penagihan.
439
Hal ini diterapkan untuk memberikan kepastian hllkllm kapan 1Iiang pe~jak
dapat ditagih dan kapan lItang pajak tidak dapat ditagih lagi.
Guna menegakkan kepastian hllkwn dibidang perpajakan, khusllsnya
mengenai sengketa perpajakan, dalam undang-undang KUP 1994 Pasal27
dirumllskan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada Badan peradilan pajak. Badan ini dapat dibentuk dibeberapa
daerah, sehingga penyelesaian sengketa perpajakan dapat diberikan
dengan cepat dan murah Saat ini badan dimaksud belum dibentuk. Untuk
itu permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak
(MET) yang hanya ada di Jakarta. Keputusan dari MPP bukan merupakan
keputusan Tata Usaha Negara (TUN), melainkan putusan Badan Peradilan
Pajak yang merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Namun sejak
dikeluarkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) khususnya Pasal 48, wajib pajak memperoleh
pe]uang untuk mengajukan gugatan kepada PTUIT. Didalam praktekhya,
peluang tersebut menimbulkan efisiensi dalam penyelesaian sengketa
sengketa perpajakan, karena membingungkan wajib pajak dalam meneari
keadilan serta aparat pajak dalam menegakkan keadilan dan memberikan
kepastian hllkull1. Disamping itu pehlJang ters,ebut juga sangat mungkin
disalahgunakan oleh wajib pajak yang kurang bertanggungjawab.
Saudara Pimpinan dan Sidang y:ang kami muliakan.
Sekarang perkenankan kami memasuki materi undang··undang yang
diajukan dan kita bahas sekarang ini.
J. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAN
RETRIBUSI DAERAH.
Keterangan Pemerintah yang disampaikan pada tanggal 25 Nopember
1996 mengatakan, bahwa berbagai langkah guna men ingkatkan penerimaan
daerah perlu diteruskan dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap
440
masyarakat dan dunia usaha. Secara nasional berbagai jenis pungutan
tersebutbelum mem berikan sum bangan yang diharapkan bagiAPBD Tingkat
I, apalagi bagi APBD Tingkat H. Beberapa pungutan" yang dilaksana-kan
Pemerintah Dalerah masih kurang seimbangjika dibandingkan antara hasil
yang diperoleh dengan biaya pemungutannya. Oleh karena itu diperlukan
psnyederhanaall dan perbaikan jenis maupun struktur perpajakan daerah,
sistem administrasi pajak dan retribusi daerah sejalan dengan sistem perpajakan nasional. Selain menyedcrhanakan berbagai pungutan daerah
yang ada Rancangan Undang-undang inijuga dimaksudkan untuk menata kembali berbagai jenis retribusi·· yang pada hakekatnya bersifat pajak.
Fraksi PDI sudah lama meJigharapkan diterbitkannya undang-undang yang secara kllmsus mengatur pajak dan retribusi daerah. Masyarakat
pengguna jasa Pemerintah Daerah, khususnya masyanikat dunia usalla
sering dibuat bingung adanya berbagai jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak jelas kriterianya. Yang dirasakan oleh masyarakat ialah
bahwa setiap pelayanan yang diberikan oleh aparat Pemerintah Daerah
harus dibayar, tidak perduli apakah itu pungutall liar, iuran, rctribusi, atau pajak, tidak jelas lagi batasannya. Dalam ijallyak hal kalau kita bicara
tcntang ekonomi biaya tinggi, maka disektor ptmgutan daerah baik yang
berupa pajak daerah, retribusi daerah, maupun pungutan-pungutan lain inilah antara lain yang menjadi penyebabllya. lumlah pungutan termasuk retribusi daerah dan pajak daerah saat ini diperkirakan ribuanjenis, padahal
pungutall ini kecil prosentasenya yang masukke Kas Daerah menjadi Pendapatan Aslii Daerah.
Dalam kaitan tersebut, d1engan dibahasllya Rancangan Undang-undang
tentang Pajak dan Retribusi Daerah oleh Dewan sekarang ini, Fraksi
PDI mengharapkan akan Tahir penjelasan tentang apa saja yang menjadi
katagori pajak daerah dan apa saja juga yang msnjadi katagori retribusi daerah agar tidak saling tum pang tindih. Demikian juga ada ketegasan
441
jenis pajak apa saja yang dipungut di Daerah Tingkat I dan jenis pajak apa
saja yang dipungut di Daerah Tingkat II. Demikian juga halnya dengan
pengaturan retribusi daerah ..
Fraksi PDI juga menyoroti tataeara dan mekaniswe pungutan retribusi
dan pajak daerah terse but. Adapun yang berlaku selaroa ini terkesan tidak
berpola dan di baku-kan, sehingga memungkinkan pungutan tersebut
"boeor" dan terjadi kolusi antara pemungut dan wajib pajaklretribusi.
Misalnya pemungutan terhadap Pajak PI!mbangunan I yang dalam
Raneangan Undang-undang ini disebut sebagai Pajak Hotel dan Restoran.
Pemungutannya tidak berdasarkan penghitungan dan pembayaran
pelanggan, akan tetapi sering dengan main te:inbak saja, artinya pemilik
hotel atau restoran eukup menyetor jumlah tertentu saja berkolusi dengan
pihak pemungut.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas Fraksi PDI perlu
mendapatkan penjelasan dan gambaran tentang :
442
1. Apabila penyederhanaan dan penataan kebali pungutan-pungutan
didaerah juga berarti merampingkan pungutan-pungutan di
daerah, apakah tidak akan mengurangi pendapatan asli daerah.
Dan kaJau itu terjadi bagaimana langkah-Iangkah untuk menutupi
kekurangan pendapatan yang ditimbulkan oleh penyederhanaan
dan penataan ulang pungutan-pungutan daerah tersebut.
2. Keeuali pungutan yang dilakukan oleh daerah melalui peraturan
daerah, juga terdapat pungutan-pungutan yang dilakukan oleh
DepartemenfInstansii vertikal. Misalnya Retribusi luran Air yaitu
pungutan yang dikenakan kepada petani yang menggunakanair
dari irigasi teknis. Juga pungutan k1epada perahu/kapal nelayan
yang menambat kapalnya ditepi· sungai yang dikenal dengan
Retribusi Tambat Labuh. Disamping itujuga ada pungutan daerah
yang sifat pajak yang dikenal dengan pajak kendaraan diatas air.
3. Pengenaan pajak terhadap pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan. Bagaimana pengenaan terhadap
sumur-sumur pompa yang pada umumnya dimiliki oleh rakyat
kecil karena tidak mampu berlangganan Air PAM.
4. Kiranya Pemerintah sepereepat dengan Fraksi PDI tentang
perlunya pengaturan tatacara dan mekanisme pemungutan pajak
dan retribusi daerah didalam Rancaltlgan undang-undang ini.
5. Salah satu sumber baru penerimaan daerah adalah pajak bah an
bakar kendaraan bermotor, yang dianggap cukup potensial, karena
konsumsi bahan bakar cukup besar dan setiap tahun meningkat.
Hasil pungutan pajak terse,but akan dibagikan antara Daerah
Tingkat I dan Daerah Tingkat II, dengan membangan sebagian
besar untuk Daerah Tingkat II. Dalam Penjelasan Pemerintah
bahwa penyesuaian seluruh Peraturan Daerah dengan Undang
undang yang baru nanti memerlulkan Haktu sekitar 5 (lima)
tahun. Dan Menteri Keuangan meltlekankan bahwa pengenaan
pajak bahan bakar kendaraan bermotor belum akan diperlakukan
dalam ··vaktu dekat ini. Jib pajak yang dimaksud dianggap
sangat potensial, (llpa alasan Pemerintah untuk tidak segera
mempedakukannya. Jika Peraturan Daerah lainnya membutuhkan
penyesuaian sekitar 5 (lima) tahun, apakah ituberarti pengenaan
pajak bahan bakar kendaraan bermotor baru akan diberlakukan
setelah lewat 5 (lima) tahun pula.
6.. Pasal2 ayat (4) Rancangan Undang·-undang Pajak dan Retribusi
Daerah menyebutkan bahwa hasil penerimaan pajak bahan bakar
kendaraan bermotor diserahkan kepada Daerah Tingkat II setelah
443
dikurangi 10 % (sepuluh persen) untuk Daerah Tingkat I yang
bersangkutan. Apakah dengan demikian berarti hasil penerimaan
pajak kendaraan bemlotor dan Dea Balik Nama Kendaraan
Bermotor hanya untuk Daerah Tingkat I saja dan tidak ada yang
diserahkan kepada Daerah Tingkat II.
H. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BEA BALIK
NAMA TANAH DAN BANGUNAN.
Pemerintah menyatakan didalam keterangannya bahwa Hak atas Tanah
yang dimaksudkan dalam Rancangan Undang-undang ini adalah hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak milik atas satuan
rumah SUSUIl. Sedangkan batas harga atau perolehan hak dengan n ilai sampai
dengan 20 juta tidak diksnakan Bea Balik Kama Tanah dan Bangunan.
Kewajiban membayar Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan ditanggung
oleh pembeli atau yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Fraksi
PDT ingin mendapatkan penjelasan tentang :
444
1.. Apabila kewajiban pembayaran bea balik nama tanah dan bangunan
dibebankan kepada pihak yang merapcroleh hak atau pembeli,
bagaimana nasib kreditor perusahan tipe kecil yang harganya
berkisar antara 20-25 juta rupiah. Golongan ini pada umumnya
adalah pegawai golongan rendalh atau masyarakat berpenghasilan
kecil. BlIkankah hal terse but akan menambah harga atau menjadikan
lebih mahal. Kiranya Pemerintah sependapat dengan Fraksi PDI
bahwa batas besaran harga diuaikan menjadi 30 juta (tiga pllillh)
juta rupiah.
2. Bagaimana pengatllmnnya bea balik nama tanah dan bangunan
terhadap pemindahan hak atas rumah-nlluah kredit yang dipindah
tangankan.
3. Bagaimana sikap terhadap pungatan-pllngutan lain yang
menyangkut pemind21han hak tersebut, misalnya pologoro sebagai
peneritn21an desa, biaya saksi sebesal\" 2,5%(dua setengah persen)
dan biaya PPAT sebesar 2,5% (dua setengah persen).
4. Bagaimana sikap terhadap Pllngutan-pungutan lain akibat dari
tanah yang bel urn bersertifikat, antara lain perubahan leter E dan
biaya lIkur dari kelurahan ..
5. Pasal 21 ayat (1) mengatakan atas permohonan wajib pajak
Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang
terutang Ikarena hal-hal tertentu. Minta penjelasan atas kriteria dan
keobjektipan wewenang Menteri Keuangan terse but.
6. Pada Pasal 27 ayat (3) disebutkan : "Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya yang melanggar ketentuan sebagainiana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dikenakan sanksi menumt
Perkiraan Perundang··undangan yang berlaku". Harap dijelaskan
dan mengapa dibedakan dengan Pejabat Penibuat Akta Tanah,
Kepala Kantor Lelang Kegara dan Pejabat Umum lainnya.
III.RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENAGIHAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.
Tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan apabila pajak
yang terutang sebagaimana yang tercantum clallam surat ketetapan pajak
tidak atau kurang dibayar st::telah lewat jatuh tempo pembayaran pajak
yang bersangkutan. Hal ini meneerminkan bahwa pada kenyataannya
kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan masih perlu
ditingkatkan. Ditagih dengan surat paksa berkonotasi bahwa wajib pajak dengan sengaja untllk tidak membayar kewajiiban pajaknya sesuai dengan
ketetapannya. Didalam Undang-undang KUP Pasal14 ayat (2) menyatakan
445
bahwa surat" tagihan pajak mempunyai kekuatan hukum yang sarna
dengan surat ketetapan pajak. Sedangkan didalam Rancangan Undangundallg ini Pasal 7 ayat (l) inenyatakan bahwa surat paksa mempunyai
kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukurn yang sarna dengan putusan
hakim yang telah mernpunyai kekuatan hukurn tetap lain dari pada itu di
dalarn undang-undang KUP Pasal 21 dinyatakan negara mempunyai hak
mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-bararig milik penanggung
pajak. Dalam hubungannya dengan rnasalah penagihan pajak dengan surat
paksa Fraksi PDI ingin rnendapatkan penjelesan lebih Ianjut tentang hal
hal sebagai berikut :
446
li. Bagairnana status penagihan dengan surat paksa yang rnempunyai
kekuatan eksekutorial terhadap sengketa pajak yang sedang
diproses di badan peradilan pajak.
2. Eksekusi oleh juru sita atas barang-barang rnilik penanggung
pajak yang disita sebagai pelaksanaan tagihan dengan surat paksa
sedangkan wajibpajak sudah mengajukan banding.
3. Sesuatu jenis pungutan yang dinyatakan sebagai pajak I1ll'll1pul1yai
dan kewajiban administrasi dan dampak audit. Bagaimana
mcngaudit untuk menetapkan pajak terhadap pengambilan dan
pernanfaatan air tanah dan air permukaan yang dilakukan oleh
masyarakat umum dengan pompa tangan atau sumur tangan.
4. Bagaimana melaksanakan penagihan dengan surat paksa terhadap
retribusi, sedangkan retsibusi adalah pungutan sebagai pembayaran
jasa atau pemberian izin tertentu yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah sebagai imbalan langsung.
5. Penyanderaansebagaimana disebut pada Pasal 33 ayat (1) hanya
dapat dilaksanakan b~rdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Kepala Daerah Tingkat I. Harap dijelaskan didalam
pelaksanaannya dan bagaimana koordinasinya dengan pihak-pihak/
instansi-instansi atau aparat yang berwenang atas penahanan atau
penyanderaan seseorang.
6. Apakah sekiranya Pemerintah sependapat dengan Fraksi POI bahwa penyanderaan pada hakekatnya merupakan tindakan
penahanan terhadap seseorang tanpa diikuti proses peradilan yang
ad il dan pasti menurut hukum serta bertentangan dengan peri kema
nusiaan. Karena itu apakah Pemerintah setuju atas usul Fraksi PDI untlLlk mengha-JPuskan Pasal 33 Raneangan Undang-undang
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Terlebih-Iebih Surat
Edaran Mahkamah Agung (S.E.M.A.) Nomor 02 Tahun 1964 telah
menghapuskan Lembaga Sandera.
7. Dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan Surat Paksa diterbitkan apabila
penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran dankepadanya telah diterbitkan
surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
Harap dijelaskan proses diterbitkannya surat-surat tersebut diatas dan berapa lama sampai dikeluarkan Surat Paksa.
8. Pada Pasal 14 ayat (1) butir 2 disebutkan Penyitaan dapat
dilaksanakan terhadap milik penanggung pajak berupa barang tak
bergerak termasuk tanah, bangunan, kapal dengan bobot tertentu.
Harap dijelaskan lebih lanjut mengenai kapal dengan bobot tertentu
dikatagorikan sebagai barang tak bergerak .
9. Dalam Pasal 25 ayat (3 )butir 2 disebutkan : " Barang yang dis ita sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) (ligunakan untuk membayar
utang pajak dengan eara deposito berjangka, tabungan, saldo
447
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang disama-kan dengan
itu,. dipindah bukukan ke rekening Kas Negara atau Kas Daerah
atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan. Harap
penjelasan pelaksanaan di lapangan dan bagaimana kaitannya
dengan Undang-undang Pelrbantuan (Undang-undang Nomor 7
Tahun 1995).
IV. RANCANGAN VNDANG-UNDANG TENTANG BADAN
PENGADILAN PAJAK.
Sebagaimana disampaikan dalam Penjelasan Pemerintah Rancangan
Undang-undang dimaksudkan sebagai landasan hukum pembentukan
badan peradilan pajak sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
khusus dibidang perpajakan. Badan peradilan pajak tersebut dibentuk
untuk menyelesaikan sengketa dibidang perpajakan sehubungan dengan
permohonan banding wajib pajak atas keputusan keberatan yang ditetapkan
pejabat yang berwenang atau gugatan wajib pajak terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan perpajakan dibidang penagihan Fraksi PDI
mengamati bahwa pada saat ini :
448
a. Semakin meningkat kesadaran hukum masyarakat, serta semakin
meningkat pula jumlah wajib pajak, maka potensi timbulnya
sengketa dibidang perpajakan semakin besar;
b. Majelis Pertimbangan Pajak yang selama ini menangani sengketa
pcrpajakan sudah kurang dapat mengantisipasi belrbagai perkenaan
tersebut, sehingga diperlukan peradilan khusus dibidang perpajakan
yang lebih konprehensif serta menangani volume sengketa yang
terus meningkat untuk itu dibentuknya Undang-undallg tentang
Badan Peradilan Pajak dimaksudkan agar dapat menjamin hak dan
kewajiban wajib pajak maul'un Negara sesuai dengan Undang
undang Perpajakan yang baru.
Oalam hubungan dengan hal tersebut diatas, Fraksi POI mgm
mendapatkan penjelasan hal-hal sebagai berikut :
I. Sebagaimana diketahui bahwa Rancangan Undang-undang Badan
Peradilan Pajak dipersiapkan berdasarkan Pasal 13 Undang
lIndang Nomor 14 Tahlln 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Badan
badan Peradilan Khusus disamping badan-badan Peradilan yang
sudah ada hanya dapat dibentllk dengan Undaag-undang. Oalam
hllbllngan ini Fraksi POI minta penegasan dari Pemerintah
apakah Badan Peradilan Pajak ini dipersiapkan sebagaimana
Undang-undang Nonor 5 Talmn 1989 tentang Peradilan Agasaa
dan Undang-undang Nomor 7 Tahun1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Apabila demikian, maka Badan Peradilan Pajak ini
tentunya dibawah naungau Mahkamah Agung.
2. Oalam Rancangan Undang-undang tentang Badan Peradilan Pajak
ditegaskan bahwa Putusan Sadan Peradilan Pajak merupakan
plItusan akhir dan bersifat tetap dan bukan merupakan putusan Tata
Usaha Negara, oleh karena itll terhadap putusan Badan Peradilan
Pajak tidak dapat diajukan feasasi mauplln peninjauan kembali,
kecuali demi kepentingan hukul11 laksa Agung dapat mengajukan
kasasi. Oalam hubungan ini Fraksi PDI minta penjelasan tentang
peranan laksa Agung dalam proses kasasi yang sejak semula tidak
dilibatkan dalam proses Badan Peradillan Pajak ini apakah dalam
hal ini mewakili Pemerintah atau mewakili siapa. Bagaimana
halnya dengan hak-hak yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
3. Sejauh mana pengertian tentangPembinaan Teknis seperti yang
dinyatakan dalam PasaI3RUU.
4. Bagaimana dan kiat apa saja yang dapat menjamin terlaksananya
449
Pasal4 RUU yang menyatakan bahwahakim akan bebas dalam
memeriksa dan memutus sengketa di bidang perpajakan mengingat
hakim ada keterikatan dengan instansi-instansi seperti bunyi Pasal 3. yang harus dipenuhi bagi
5. Dalam Pasal 37 ayat (3) meniadakan syarat-syarat pendamping
atau yang mewakili J?ihak yang bersengketa. Harap dijelaskan bagaimana pembuktuan tentang hubungan keluarga sedarah atau semenda atau faktor-faktor yang menyebabkan dibebasleannya
pihak yang, bersangkutan dari persyaratan sebagaimana disebut
dalam ayat (2).
6. Harap dijelaskan bahwa saksi dalam sengketa tidak bolell ditunjuk sebagai penerjemah dalam sengketa tersebut seperti bunyi Pasal66 ayat (3). '
Saudara Kctua dan Sidang yang mulia,
Sebelum kami sampai pada bagian akhir dari Pemandangan Umum ini
Fraksi PDI dengan ini ingin menyampaikan beberapa pellekanan kembali terhadap substansi-substansi yang telah kami kemukakan didepan tadi.
Keempat Rancangan Undang-undang dibidang Perpajakan ini
sebagai salah satu subsistem dari sistem perekonomian nasional kita, harus secaranyata merupakan penjabaran dan aletualisi dari nilai-nilai
amanat Pancasila, UUD 1945 sertaGBHN 1993. Ini berarti apabila kelak keenpat Rancangan Undang-undang illi disahkan menjadi Undang-undang
diharapkan akan Illeningkatlankemandirian bangsa Indonesia dalam pembiayaan Pembangunan Naslonall sedang smber dana luar negeri betul
betlll hanya sebagai pelengkap saja.
Dalam kesempatall ini Fraksi POI mengharapkan perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah atas asas keadilan, pemerataan,
450
manfaat, dan kemampuan masyarakat menjadi pegangan utama dalam
menyempurnakan dan penyederhanaan sistem dan prosedur perpiijakan
melalui peningkatan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercemin
dalam peningkatan kejujuran, tanggung jawab dan dedikasi serta melalui
penyempurnaan dan penyederhanaan administrasi sebagai yang diamanatkan
GGHN 1993. Sumber daya manusia hendaknya merupakan salah satu
prioritas pembangunan disektor perpajakan Untuk menempatkan tenaga
tenaga trampil, jujur, profesional didalam mengemban tugas-nya. Kita
semua mengetahui bahwa dengandiundangkarmya keempat Rancangan
Undang-undang bidang pe:rpajakan yang dimaksud, tidaklah dengan
sendirinya berhasil dilaksanakan, jika tidak didukung aparat pelaksana
yang penuh dedurasi dan profesional disarnping adanya kesadaran dan
rasa tanggungjawab dari masyarakat sebagai perwujudan dari pengabdian
untuk pembiayaan Negara dan Pembangunan Nasional.
Agar supaya kesadaran masyarakat meinbayar pajak secara jujur dan
belianggung jawab dapat ditingkatkan, maka Pemerintah perlu terus
menerus menyelenggaraan penyuluah pendidikan mengenai perpajakan
dengan memberi motivasi serta kepastian , baik kepada wajib Pajak maupun
aparatur pajak.
Kepada Pemerintah, rekan-rekan F-KP,F-ABRI, dan F-PP dengan
segaJa kerendahan hati kami mengajak, marilah kitamemasuki Pembicaraan
Tingkat III nanti atas keempat Rancangan Undang-undang dibidang
perpajakan ini dengan semangat danjiwa nanti mencapai mufakat.
Demikian Pemandangan Umum Fraksi PDI yang bersifat materi-materi
pokok terhadap keempat Rancangan Undang-undang yang dimakslJd,
sedangkan pendapat-pendapat kami secara rinci akan kami sampaikan
pada pembicaraan tahap-tahap berikutnya.
Akhirnya perkenankan kami mengaturkan banyak terima kasih kcpada
451
Ibi-ibu, Bapak-bapak dan Saudara-saudara serta hadirin sekalian atas
perhatiannya terhadap Pemandangan Umum Fraksi PDI
Sekian dan terima kasih
MERDEKA !!!
Jakarta, 12 Desember 1996.
FRAKSI
PARTAI DEMOKRASI INDONESIA DPR-RI
Ketua, Se~kretaris,
ttd, ttd,
FATIMAH AEHMAD. SH DRS. MARKUS WAURAN
i.' '
452