pelanggaran etik

19
Pelanggaran Etika dan Disiplin Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun ada saja oknum dokter yang tega melakukan pelanggaran etik bahakan pelanggaran etik sekaligus hokum (etikolegal), lebih-lebih dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami berbagai krisis akhir0akhir ini, dimana sebagian sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh organisasi profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran itu tidak tegas dan konsisten. Hal ini disebabkan antara lain tidak jelasnya batas-batas antara yang boleh dan tidak boleh, antara yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap pasiennya, teman sejawat atau masyarakat umum lainnya. Inilah bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih obyektif menunjukan hal-hal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran dapat diproses sesuai hukum yang berlaku. 1. Pelanggaran Etik Murni dan Etikolegal

Upload: azaliasw

Post on 24-Nov-2015

46 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pelanggaran Etik

TRANSCRIPT

Pelanggaran Etika dan Disiplin

Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun ada saja oknum dokter yang tega melakukan pelanggaran etik bahakan pelanggaran etik sekaligus hokum (etikolegal), lebih-lebih dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami berbagai krisis akhir0akhir ini, dimana sebagian sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh organisasi profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran itu tidak tegas dan konsisten. Hal ini disebabkan antara lain tidak jelasnya batas-batas antara yang boleh dan tidak boleh, antara yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap pasiennya, teman sejawat atau masyarakat umum lainnya. Inilah bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih obyektif menunjukan hal-hal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga jika terjadi pelanggaran dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.

1. Pelanggaran Etik Murni dan EtikolegalPelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan KODEKI ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut ini diajukan beberapa contoh :1) Pelanggaran Etik Murni:a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.Hidup cenderung materialistis, hedonistis dan bersifat konsumensurisme dapat menyebabkan kecintaan terhadap material yang berlebih-lebihan dan berakibat memancing keserakahan, dengan menarik imbalan jasa yang berlebih-lebihan. Pada hal dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (KODEKI, Pasal 3). Seorang dokter dapat menerima imbalan selain pada layak sesuai dengan jasanya, jika diberikan dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak penderita (KODEKI, Pasal 4 ayat c).a. Mengambil alih pasien tanpa sepengetahuan sejawatnya.Sejawat adalah mitra kerja seorang dokter dan bukan saingan. Pembinaan kerjasama dalam satu tim harus selalu diupayakan guna kepentingan pasien. Anggota suatu tim harus saling hormat menghormati, saling bantu, saling belajar dan saling ingat mengingatkan. Seorang dokter yang baik tidak menyalahkan sejawatnya didepan pasiennya (walaupun itu benar), tetapi secara bijaksana membahas kasusnya dengan sejawatnya dan sebaliknya mengembalikan pasien kepada sejawatnya yang pertama kali dikunjungi pasien tersebut.b. Memuji diri sendiri di depan pasien.Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri dipandang bertentangan denga etik (KODEKI, Pasal 4 ayat a). Termasuk dalam memuji diri sendiri adalah mencantumkan gelar pada papan praktek yang tidak terkait dengan pelayanan jasa kedokteran yang diberikannya, mengadakan wawancara pers untuk mempromosikan cara pengobatan suatu penyakit, ataupun berpartisipasi dalam promosi obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, makanan, minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam deklarasi Muktamar IDI ke-23 di Padang tanggal 12 Desember 1997, dinyatakan bahwa pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri dalam pelbagai kegiatan promosi, karena promosi tersebut selalu terkait kepada kepentingan-kepentigan yang sering kali bertentangan atau tidak menunjang tugas mulia kedokteran. Perbuatan dokter sebagai pemeran langsung suatu iklan promosi komoditi yang dimuat media massa dan/atau elektronik merupakan perbuatan tercela, karena tidak dapat disingkirkan penafsirannya adanya suatu niat lain untuk memuji diri sendiri sebagaimana yang telah ditentukan dalam KODEKI. Kendatipun pemeran langsung promosi komoditi dilakukan dalam wahana ilmiah kedokteran, dianggap juga suatu perbuatan tercela, apalagi jika tidak berlandaskan pengetahuan kedokteran tertinggi dalam bidangnya, sehingga tidak diyakini sebagai produk yang layak diberikan kepada pasien, apalagi untuk dirinya sendiri maupun kepada sanak keluarganya bila mengalami hal yang sama.c. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan.Salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri adalah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur (KODEKI, Pasal 18). Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran berkembang dengan pesat, lebih-lebih dalam tiga decade terakhir ini. Setiap dokter harus mengikuti perkembangan ini baik untuk manfaat diri sendiri dan keluarga, maupun untuk pasien dan masyarakat. Tuntutan masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu dan mutakhir sesuai dengan perkembangan IPTEK DOK global, hendaknya ditanggapi oleh dokter dengan mengadakan konsolidasi diri, yaitu mengikuti kursus-kursus, seminar, loka karya, ataupun mengikuti program pendidikan spesialisasi/subspesialisasi.d. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.Dokter seharusnya member teladan dalam memelihara kesehatan, melakukan pencegahan terhadap penyakit, beprilaku sehat sehingga dapat bekerja dengan baik dan tenang (KODEKI, Pasak 17). Jika dokter jatuh sakit, selayaknya berobat pada sejawatnya dan tidak megobati diri sendiri.

a) Pelanggaran Etikolegal:a. Pelayanan kedokteran dibawah standar.Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi (KODEKI, Pasal 2), memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (KODEKI, Pasal 8) dan mempergunakan segala ilmu keterampilannya untuk kepentingan penderita (KODEKI, Pasal 11). Dengan demikian seorang dokter yang memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar merupakan suatu tindakan malpraktek, dan dapat dikenakan Pasal 350 KUHP, yang berbunyi : Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat atau luka sedemikian, sehingga berakibat penyakit atau halangan sementara untuk menjalankan jabatan atau pekerjaannya, dihukum denga hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun. Padahal seorang dokter senantiasa membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan (LSDI, butir 1), menjalankan tugasnya dan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita (LSDI, butir 7). b. Menerbitkan surat keterangan palsuSeorang dokter hanya member keterangan atau pendapat yang dibuktikan kebenarannya (KODEKI, Pasal 7). Jadi jika seorang dokter menerbitkan surat keterangan cuti sakit berulang kali kepada sorang tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri siding pengadilan perkaranya, maka dalam hal ini dokter telah melanggar etik dan juga KUHP Pasal 267 yang berbunyi : Dokter yang dengan sengaja member surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukaman penjara selama 4 tahun.c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.Sejak zaman Hipokrates rahasia pekerjaan dokter menduduki tempat yang penting dalam hubungan dokter dengan pasien. Apapun yang saya dengan atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya harus merahasiakannya (Sumpah Hipokrates, butir 9). Prinsip ini tercantum pula dalam LSDI, buti 5 yang berbunyi Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter, sedangkan dalam KODEKI Pasal 13 tercantum, bahwa setiap dokter wajib merasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia. Jadi seorang dokter yang menyebarluaskan rahasia pribadi pasiennya di depan orang atau sekelompok orang lain, maka atas pengaduan pasien bersangkutan, dokter dapat dituntut di depan pengadilan. Dokter tersebut yang dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaan baik sekarang maupun dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya RP 600,- (harus disesuaikan dengan moneter saat ini)(KUHP, Pasal 322). Lain halnya jika dokter menjadi saksi ahli di pengadilan, yang mempunyai peraturan tersendiri.d. Abortus provokatusMasalah abortus telah dibahas diberbagai pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3 dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun reginal, namun hingga waktu ini Rancangan Peraturan Pengguguran Berdasarkan Pertimbanagan Kesehatan belum terwujud. Secara umum hal ini tercantum pada UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, namun penjabarannya belum selesai juga. Kehamilan hukum itu menyangkut pula tindakan abortus provokatus para kasus-kasus misalnya perkosaan, kehamilan pada wanita dengan grande multipara (telah banyak anak).Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insane (KODEKI, Pasal 10). UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medic tertentu dan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku-pelaku abortus illegal sebagai berikut :a) Wanita sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain melakukannya (KUHP, Pasal 346, hukum maksimum 4 tahun).b) Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnay (KUHP, Pasal 347, hukum maksimum 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman maksimum 15 tahun).c) Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin wanita tersebut (KUHP, Pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita tersebut meninggal, maksimum 7 tahun).d) Dokter, bidan atau juru obat melakukan kejahatan diatas (KUHP, Pasal 349, hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaan). e. Pelecehan seksualHubungan pasien dengan SpOG merupakan hubungan yang sangat khusus, karena menyangkut pelayanan kesehatan reproduksi. Peluang untuk melakukan pelecehan seksual terbuka lebih lebar dibandingkan dengan pelayanan kesehatan oleh disiplin lain Ilmu kedokteran. Sejak zaman Hipokrates masalah ini telah disorot dengan sumpahnya, Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan saya itu saya tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk atau mencelakakan dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap wanita ataupun pria, baik merdeka maupun hamba sahaya. Selanjutnya dalam LSDI secara umum dicantumkan bahwa seorang dokter senantiasa menjalankan tugasnya dengan cara terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaannya (LSDI, butir 3) dan akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan (LSDI, butir 2).Dari segi hukum, pengertian perbuatan cabul (pelecehan seksual) adalah perbuatan yang sengaja dilakukan untuk membangkitkan nafsu birahi atau nafsu seksual di luar perkawinan termasuk persetubuhan. Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal tentang sanksi terhadap kejahatan kesusilaan, yaitu sebagai berikut:a) Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya, bersetubuh dengan dia (Pasal 285 KUHP), hukuman maksimum 12 tahun.b) Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal diketahui wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP), hukuman maksimum 9 tahun.c) Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal diketahuinya atau patut disangkanya umur wanita itu belum cukup 15 tahun atau belum pantas buat dikawin (Pasal 287 KUHP), hukuman maksimum 9 tahun.d) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya (Pasal 294 KUHP), hukuman maksimum 7 tahun.e) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit jiwa atau lembaga social yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya (Pasal 294 KUHP), hukuman maksimum 7 tahun.

2. Prosedur Penanganan Pelanggaran Etik KedokteranIkatan Dokter Indonesia (IDI) mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dari pusat hingga ke wilayah-wilayah dan cabang-cabangnya. Walaupun demikian, MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter ataupun masyarakat. MKEK tidak mungkin melakukan pengawasan sampai ke ruang praktek dokter-dokter. Masyarakat yang menilai perilaku dokter bertentangan dengan etik kedokteran, seharusnya mengambil prakarsa mengajukan kasus-kasus pelanggaran etik itu kepada IDI setempat, yang nantinya akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK. Namun pengetahuan masyarakat umum tentang etik kedokteran sangat terbatas, sehingga kadang-kadang yang terjadi adalah ada pelanggaran kasus etik murni yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani MKEK.Mengingat belum lancarnyapenatalaksanaan kode etik, maka Departemen Kesehatan (DEPKES) dengan Permenkes Nomor 554/Menkes/PER/XII/1982 membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Di pusat, P3EK terdiri dari unsure-unsur DEPKES, DEPTDIKBUD cq Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Pengurus Besar IDI dan PDGI. Jumlah anggotanya antara 7-9 orang. Tugas P3EK Pusat adalah:1) Memberi pertimbangan tentang etik kedokteran kepada Menteri2) Membina dan mengembangkan secara aktif KODEKI dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI) dengan bekerjasama dengan PDGI.3) Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan.4) Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Prpoinsi.5) Menyelesaikan rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran etik kedokteran atau etik kedokteran gigi.6) Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hokum dan instansi lain yang berkaitan.Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK, dan MKEKG telah menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara lain sebagai berikut:1) Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan terlebih dahulu kepada MKEK.2) Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.3) Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi.\4) Dalam siding MKEK atau P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).5) Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK apabila diperlukan.6) Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran serta penyelesaian oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.

P3EK Propinsi terdiri dari unsur-unsur Kantor Wilayah DEPKES Propinsi, Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi (jika ada), IDI Propinsi dan PDGI Propinsi. Jumlah pengurusnya antara 5-7 orang. Tugas P3EK Propinsi adalah menerima dan member pertimbangan tentang persoalan dalam bidang etik profesi di wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah DEPKES Propinsi, mengawasi pelaksanaan kode etik dalam wilayahnya, mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang berkaitan, memberi nasihat kepada dokter dan dokter gigi, membina dan mengembangkan secara efektif kode etik profesi dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan dalam wilayah propinsi. Jadi dalam pelanggaran kode etik kedokteran, maka Kepala Kantor Wilayah DEPKES Propinsi yang berwenang mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai berat ringannya pelanggaran. Apabila dokter atau dokter gigi bersangkutan berkeberatan terhadap keputusan bersalah yang dinyatakan oleh pihak berwenang, yang bersangkutan dapat mengajukan banding dalam waktu 20 hari ke P3EK Pusat, melalui P3EK Propinsi. Keputusan banding oleh P3EK Pusat disampaikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.Kasus-kasus pelanggaran etik yang tidak murni, yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Propinsi diteruskan ke P3EK Pusat. Dengan demikian kasus-kasus pelanggaran etik tidak murni dibahas lebih dahulu di P3EK sebelum diteruskan kepada penyidik. Jadi pada tahap pertama penanganan kasus-kasus tersebut tidak perlu dicampuri oleh pihak luar. Pembelaan cukup dilakukan oleh kalangan profesi sendiri yaitu Badan Pembela Anggota IDI atau PDGI. Kasus-kasus yang sudah jelas melanggar peraturan perundang-undangan dapat dilaporkan langsung kepada pihak yang berwenang.

3. Pedoman Penilaian Kasus-kasus Pelanggaran Etik KedokteranEtik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para pelakunya dan untuk mengukur hal ini tidaklah mudah, karena itu timbul kesulitan dalam menilai pelanggaran etik, selama pelanggaran itu tidak merupakan kasus-kasus pelanggaran hokum.Dalam penilaian kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran, MKEK berpedoman pada:1) Pancasila2) Prinsip-prinsip dasar moral umumnya3) Cirri dan hakekat pekerjaan profesi4) LSDI5) Tradisi luhur kedokteran6) KODEKI7) Hukum kesehatan terkait8) Hak dan kewajiban dokter9) Hak dan kewajiban penderita10) Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran11) Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran yang senior.

Selanjutnya MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut, yaitu:1) Tujuan spesifik yang ingin dicapai2) Manfaatnya bagi kesembuhan penderita3) Manfaatnya bagi kesejahteraan umum4) Penerimaan penderita terhadap tindakan itu5) Preseden tentang tindakan semacam itu6) Standar pelayanan medik yang berlakuJika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, pelanggaran itu dikategorikan dalam kelas ringan, sedang, atau berat, yang berpedoman pada:1) Akibat terhadap kesehatan penderita2) Akibat bagi masyarakat umum3) Akibat bagi kehormatan profesi4) Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran5) Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka.Dengan adanya pedoman penilaian tersebut di atas diharapkan factor subyektivitas MKEK dapat dibatasi sekecil mungkin. Namun sanksi professional yang diberikan harus benar-benar memegang peranan sentral dan tidak hanya merupakan semboyan yang muluk-muluk atau merupakan lip service saja pada acara-acara akademik atau acara-acara perhimpunan profesi.

4. Bentuk-bentuk SanksiPelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya, sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal mungkin MKEK memberikan usul kepada Kanwil DEPKES Propinsi atau DEPKES untuk memberikan tindakan administrative, sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkinan pengulangan kesalahan yang sama dikemudian hari atau terhadap makin besarnya intensitas pelanggaran tersebut.Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik kedokteran tergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik adalah upaya pencegahan pelanggaran etik yaitu dengan cara terus menerus memberikan penyuluhan kepada anggota IDI maupun PDGI, tentang etika kedokteran dan hokum kesehatan. Namun jika terjadi pelanggaran, maka sanksi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik, sehingga pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan sanksi tersebut menjadi pelajaran bagi dokter lain. Bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa:1) Teguran atau tuntutan secara lisan dan tulisan2) Penundaan kenaikan gaji atau pangkat3) Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah4) Dicabut izin praktek dokter untuk sementara atau selama-lamanya5) Pada kasus pelanggarancetikolegal, diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.