pelaksanaan peran dan fungsi lembaga saksi dan … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di...

28
Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 18 PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Fachri Bey 1 , Dian 2 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2 Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424 [email protected] Abstract In the process of disclosure of a criminal case from evidentiary court stage, the existence and role of the witness is expected. Even be the deciding factor and success in uncovering the criminal case. Without the presence and role of the witness or victim, you can bet a case would be a dark number of the crime. Indonesia despite having the Witness Protection Act and the Victims was enacted on August 11, 2006. But formally, this law is still considered to be maximal in regulating the protection of witnesses and Victims? How the position and role of statutory Act No.13 year 2006 about Protection of Witnesses and Victims? Are the barriers of protection of witnesses and crime victims in Indonesia according to Law 13 Year 2006 about Protection of Witnesses and Victims? In writing this research methode, the authors use the methode of empirical legal research and normative legal research methodes. The end result of this research was the discovery of the fact that the provision of witness protection and victim assistance crime by police and prosecutors are still lacking in practice. This is caused by several factors such as the protection is not known specifically in these two institutions. The absence of the unit that works specifically to provide protection to witnesses and victims in the structure in the structure of the Police and Prosecutor’s so protective measures undertaken by these two institutions is not optimal. Keywords: Witness, Protection, Victims Pendahuluan Fakta mengenai perlindungan saksi dan kor- ban di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa perhatian dan perlindungan yang diberikan terhadap hak-hak saksi dan korban sangat kecil dibandingkan dengan perhatian yang dicurahkan terhadap perlin- dungan hak dari tersangka/terdakwa. Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri ber- dasarkan apa yang dialami, dilihatnya dan/atau di- dengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya sua- tu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut tidak mustahil, saksi juga korban pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat men- jelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi obyek pemeriksaan dimuka persidangaan. Saksi bersama alat bukti lain, akan membantu hakim untuk menjatuhkan pu-tusan yang adil dan obyektif berdasarkan fakta-fakta hu- kum yang diungkapkan. Rumusan dalam kitab un- dang-undang hukum pidana (KUHP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta jumlah peraturan perundang-undangan lainnya dalam proses penanganan kejahatan mulai dari pe- nyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukum, hak-hak saksi dan korban ham- pir tidak mendapatkan per-hatian secara propsional (Syahrial, 2005). Dalam Penjelasan umum Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa KUHAP Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 hanya mengatur perlin-dungan ter- hadap tersangka atau terdakwa terhadap kemung- kinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka (Syahrial, 2005). Maka berdasarkan asas kesamaan

Upload: phungtu

Post on 03-Jul-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201018

PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN KORBANDI INDONESIA SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Fachri Bey1, Dian2

1Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta2Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta

Kampus Universitas Indonesia, Depok [email protected]

AbstractIn the process of disclosure of a criminal case from evidentiary court stage, the existence and role ofthe witness is expected. Even be the deciding factor and success in uncovering the criminal case.Without the presence and role of the witness or victim, you can bet a case would be a dark numberof the crime. Indonesia despite having the Witness Protection Act and the Victims was enacted onAugust 11, 2006. But formally, this law is still considered to be maximal in regulating the protectionof witnesses and Victims? How the position and role of statutory Act No.13 year 2006 aboutProtection of Witnesses and Victims? Are the barriers of protection of witnesses and crime victims inIndonesia according to Law 13 Year 2006 about Protection of Witnesses and Victims? In writingthis research methode, the authors use the methode of empirical legal research and normative legalresearch methodes. The end result of this research was the discovery of the fact that the provision ofwitness protection and victim assistance crime by police and prosecutors are still lacking inpractice. This is caused by several factors such as the protection is not known specifically in thesetwo institutions. The absence of the unit that works specifically to provide protection to witnessesand victims in the structure in the structure of the Police and Prosecutor’s so protective measuresundertaken by these two institutions is not optimal.

Keywords: Witness, Protection, Victims

Pendahuluan

Fakta mengenai perlindungan saksi dan kor-

ban di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa

perhatian dan perlindungan yang diberikan terhadap

hak-hak saksi dan korban sangat kecil dibandingkan

dengan perhatian yang dicurahkan terhadap perlin-

dungan hak dari tersangka/terdakwa. Saksi adalah

mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri ber-

dasarkan apa yang dialami, dilihatnya dan/atau di-

dengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya sua-

tu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut tidak

mustahil, saksi juga korban pihak yang dirugikan

dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat men-

jelaskan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan

sebuah peristiwa yang menjadi obyek pemeriksaan

dimuka persidangaan. Saksi bersama alat bukti lain,

akan membantu hakim untuk menjatuhkan pu-tusan

yang adil dan obyektif berdasarkan fakta-fakta hu-

kum yang diungkapkan. Rumusan dalam kitab un-

dang-undang hukum pidana (KUHP), dan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

serta jumlah peraturan perundang-undangan lainnya

dalam proses penanganan kejahatan mulai dari pe-

nyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan dan

pelaksanaan hukum, hak-hak saksi dan korban ham-

pir tidak mendapatkan per-hatian secara propsional

(Syahrial, 2005).

Dalam Penjelasan umum Undang-Undang

No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban dikatakan bahwa KUHAP Pasal 50 sampai

dengan Pasal 68 hanya mengatur perlin-dungan ter-

hadap tersangka atau terdakwa terhadap kemung-

kinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka

(Syahrial, 2005). Maka berdasarkan asas kesamaan

Page 2: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 19

di depan hukum (equality before law) dalam penje-

lasan umum itu saksi dan korban dalam proses pe-

radilan pidana harus diberikan jaminan perlindu-

ngan hukum. Dalam proses pengungkapan suatu ka-

sus pidana mulai dari tahap pembuktian dipersi-

dangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah diha-

rapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan keber-

hasilan dalam mengungkap kasus pidana tersebut.

Tanpa kehadiran dan peran saksi maupun korban,

dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi Dark

Number of the Crime. (Sahetapy, 1982). Dark Num-

ber of the Crime atau disebut juga kriminalitas yang

tersembunyi, dalam statik kriminil disusun berda-

sarkan kriminalitas yang tercatat ini terdiri dari ke-

jahatan yang sampai pada petugas yang berwenang,

baik karena laporan masyarakat maupun karena

diketahui dicatat oleh petugas-petugas tersebut. Kri-

minalitas yang tercatat ini hanya merupakan suatu

contoh dari seluruh kriminalitas yang ada. Jumlah

kriminalitas ini tidak pernah diketahui. Bagian kri-

minalitas yang tidak diketahui (baik karena korban

tidak mengetahui ataupun ia mengetahui tetapi se-

gan untuk melaporkan) disebut kriminalitas yang

tersembunyi (Dark Number of the Crime). Meng-

ingat sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang

menjadi referensi dari para penegak hukum adalah

Testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi

atau ahli hal tersebut berbeda dengan sistem hukum

yang berlaku di Amerika yang lebih mengedepan-

kan Silent Evidence (Barang Bukti). Memahami

akan pentingnya posisi seorang saksi (termasuk juga

ahli), Pembuat undang-undang sesungguhnya telah

memikirkan tentang perlunya memberikan perlindu-

ngan terhadap saksi, misalnya dalam pasal 34 Un-

dang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang Penga-

dilan HAM, disebutkan sebagai berikut:

Pasal 34 :

Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak

azasi manusia yang berat berhak mendapatkan per-

lindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan,

terror dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindu-

ngan sebagiamana dimaksud dalam ayat (1) wajib

dilaksanakan oleh penegak hukum dan aparat kea-

manan secara cuma-cuma. Ketentuan- ketentuan

mengenai tata cara perlindungan terhadap korban

dan saksi diatur lebih lanjut dengan peraturan peme-

rintah.

Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 Ten-

tang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan

Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat, yaitu sebagai

berikut :

Pasal 4 :

Perlindungan terhadap korban atau saksi dalam Pe-

langgaran HAM yang berat, meliputi:

a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban

atau saksi dari ancaman Fisik dan Mental;

b. Perahasiaan identitas korban atau saksi

c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan

disidang pengadilan tanpa bertatap muka de-

ngan tersangka.

Dalam sebuah proses peradilan pidana, sak-

si adalah kunci untuk memperoleh kebenaran mate-

riil. Ini terdapat teorinya di dalam pasal 184-185

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KU-

HAP) UU No. 8 Tahun 1981, Secara tegas meng-

gambarkan hal tersebut. Pasal 184 KUHAP menem-

patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas

Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-

tunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Pasal 185 ayat

(2) menyatakan bahwa “keterangan seorang saksi

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa

bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepa-

Page 3: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201020

danya.” Pasal 185 ayat (3) berbunyi: “ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku

apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.”

hal ini dapat dibuktikan bahwa keterangan lebih dari

1 (satu) orang saksi dan disertai alat bukti lain, di-

anggap tidak cukup untuk membuktikan apakah se-

seorang terdakwa bersalah atau tidak.

Terhadap saksi dan korban tersebut dilak-

sanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat hu-

kum. Berdasarkan uraian dari beberapa pasal ter-

sebut, sepertinya sudah menjadi karakter dari pera-

turan perundang-undangan yang dikeluarkan peme-

rintah dan DPR untuk memuat pasal-pasal yang ti-

dak implementatif. Dalam peraturan mengenai per-

lindungan terhadap saksi dan korban ini tidak diatur

tentang bagaimana cara penegak hukum, khususnya

jaksa dalam memberikan perlindungan terhadap

saksi dan korban, mengingat jaksa sendiripun dalam

kenyataannya juga mengalami kesulitan untuk me-

ngamankan dirinya sendiri dan keluarganya, apalagi

untuk memberikan perlindungan terhadap orang

lain.

Indonesia walaupun telah memiliki Un-

dang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang

diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006. Namun

secara formal, Undang-undang ini masih dinilai ti-

dak maksimal dalam mengatur perlindungan terha-

dap saksi dan korban. Hal tersebut disebabkan oleh

sempat terhentinya proses pembahasan Undang-un-

dang Perlindungan Saksi dan Korban di DPR sekitar

5 (Lima) tahun dan hanya terkesan untuk memenuhi

tuntutan masayarakat. (Supriyadi, 2007).

Salah satu amanat dari undang-undang Per-

lindungan Saksi dan Korban adalah Pembentukan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pengaturan lembaga ini dalam Undang-undang Per-

lindungan Saksi dan Korban juga terdapat

persoalan. Persoalan hanya terdapat dalam

ketentuan umum Undang-undang Perlindungan

Saksi dan Korban (pasal 1) menyebutkan bahwa

LPSK, adalah Lem-baga yang bertugas dan

berwenang untuk membe-rikan perlindungan dan

hak-hak lain kepada saksi dan korban sebagaimana

diatur dalam undang-undang, sedangkan pasal 12

menyebutkan LPSK bertanggung jawab untuk

menangani pemberian per-lindungan dan bantuan

pada saksi dan korban berda-sarkan tugas dan

kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-

undang Perlindungan Saksi dan Kor-ban. Namun

jika ditelusuri kembali, kenyataannya tugas dan

kewenangan LPSK dalam undang-undang ini tidak

diatur secara spesifik dalam ketentuan atau Bab

sendiri, serta apa yang dimaksud dengan tugas dan

kewenangan LPSK terbatas dan tersebar di beberapa

Pasal. (Supriyadi, 2007)

Dengan adanya Undang-undang Perlindu-

ngan Saksi dan Korban, timbul begitu banyak per-

tentangan pendapat antara para ahli hukum me-

ngenai batas ruang lingkup saksi dan korban yang

nantinya akan berada dibawah Perlindungan LPSK,

karena dengan melihat ketentuan pasal 1 ayat (1)

dan (2) Undang-undang Perlindungan Saksi dan

Korban tidak disebutkan secara spesifik saksi dan

korban dalam tindak pidana apa yang nantinya akan

dicakup LPSK.

Apabila Saksi dan Korban yang dimaksud-

kan adalah seluruh saksi dan korban pada semua

tindak pidana umum maupun khusus. Maka LPSK

sebagai lembaga baru sudah diberikan tugas yang

sangat berat bahkan sebelum lembaga ini dibentuk.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah keefektivitasan

dari LPSK sebagai lembaga baru yang independen

menangani saksi dan korban dari seluruh tindak pi-

dana yang ada di Indonesia karena sebagi lembaga

Page 4: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 21

baru, LPSK masih harus banyak belajar dan ber-

benah baik dalam urusan intern maupun ekstern. Ji-

ka yang dimaksudkan oleh Undang-undang Perlin-

dungan Saksi dan Korban hanya saksi dan korban

tindak pidana khusus saja, maka bagaimana dengan

perlindungan saksi dan korban tindak pidana umum,

Mengingat perlindungan saksi dan korban tindak pi-

dana umum pada saat ini sangatlah tidak memadai.

Dari hal-hal tersebut di atas, beberapa po-

kok permasalahan yang akan dibahas pada peneli-

tian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan dan peranan LPSK

sesuai undang-undang no.13 Tahun 2006 Ten-

tang Perlindungan Saksi dan Korban?

2. Apakah hambatan-hambatan perlindungan sak-

si dan korban tindak pidana di Indonesia sesuai

Undang-undang No.13 tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban?

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk

memberikan gambaran yang jelas dari lembaga pe-

negak hukum di Indonesia yang berkaitan erat hu-

bungannya dengan perlindungan hak-hak saksi dan

korban dalam tindak pidan umum baik yang sudah

ada saat ini maupun LPSK yang sudah dibentuk. Se-

lain itu, tujuan khusus yang ingin dicapai adalah :

1.Mengetahui kedudukan dan peran LPSK di

Indonesia sesuai UU No.13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi Dan Korban.

2.Mengetahui Hambatan - Hambatan perlindungan

saksi dan korban dalam tindak pidana di

Indonesia sesuai Undang-undang No.13 Tahun

2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Dalam penulisan metode penelitian ini, pe-

nulis menggunakan metode penelitian hukum empi-

ris dan metode penelitian hukum normatif. Metode

penelitian empiris adalah metode yang dilakukan

dengan cara meneliti langsung kelapangan yang da-

lam hal ini penulis akan melakukan penelitian ke

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

serta instansi-instansi terkait dalam penelitian ini.

Sedangkan metode penelitian hukum normatif yaitu

dengan mengkaji dan meneliti kaidah-kaidah hukum

yang ada didalam kedudukannya sebagai hal yang

otonom (menggunakan pendekatan-pendekatan nor-

matif) dan deskriptif yaitu penulisan yang bersifat

menggambarkan (mendeskripsikan) suatu fenomena

utama tertentu.

Jenis data yang digunakan yaitu data sekun-

der yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan,

dengan menggunakan 3 (tiga) bahan hukum yang

meliputi (Seorjono, 1985):

a. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hu-

kum yang mengikat seperti peraturan perun-

dang-undangan, hal ini penulis akan meng-

gunakan Undang-Undang no.13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan hu-

kum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, dalam hal ini penulis

memperoleh data dari buku-buku yang berkai-

tan dengan ini yaitu buku-buku tentang hukum

pidana serta saksi dan korban, artikel lain yang

berkaitan dengan penelitian yang terdapat da-

lam jurnal, majalah dan internet.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang

memberikan petunjuk melalui internet, seperti

wikipedia yang berhubungan dengan penelitian

ini.

Pembahasan

Untuk lebih memahami definisi perlindu-

ngan, maka dibawah ini ada beberapa unsur yang

perlu diperhatikan. Diantaranya adalah:

Page 5: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201022

a. Memberikan rasa aman

Dalam hal terjadinya suatu pelanggaran hu-

kum, maka si korban maupun saksi diharapkan

mendapatkan perlindungan dari pemerintah

sehingga korban dan saksi mendapatkan kenya-

manan dalam memberikan informasi kepada

pihak-pihak yang berwenang tanpa adanya in-

terfensi dari pihak manapun.

b. Memberikan kebutuhannya

Untuk melanjutkan kehidupannya, maka kebu-

tuhan si korban maupun sakis perlu diperha-

tikan, karena kebutuhan tersebut tidak mungkin

didapatkan lagi tanpa campur tangan pemerin-

tah.

c. Memberikan hak-haknya

Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban,

dimana saksi ataupun korban memiliki hak-hak

yang sudah diatur dalam perundang-undangan

sehingga hak-hak tersebut haruslah terpenuhi

dan diberikan kepada yang membutuhkan.

d. Memberitahukan kewajibannya

Saksi dan korban belum tentu mengerti apa

yang menjadi kewajibannya, sehingga mereka

perlu diberitahukan apa yang harus diperbuat

dalam pemenuhan kewajibannya dan diberita-

hukan oleh pejabat yang berwenang.

e. Memberikan naungan hukum/ bantuan hukum

Untuk menjamin kenyamanan dan keamanan

saksi dan korban, maka pemerintah diharapkan

memberikan naungan hukum bagi mereka pada

saat yang dibutuhkan.

f. Memberikan rasa percaya diri

Untuk menumbuhkan mental yang kuat dan

rasa percaya diri dalam menghadapi masyara-

kat dan proses hukum ditingkat manapun,

maka pemerintah dan keluarga diharapkan ikut

serta dalam penyembuhan psikis bagi si korban.

g. Memberikan keberanian

Untuk menghindari Korban ataupun Saksi tidak

bisa memberikan keterangan yang diperlukan

karena tidak memiliki keberanian atau merasa

takut terhadap dampak yang akan dialaminya

nantinya, maka pemerintah harus menjamin ke-

amanan supaya korban dan saksi memiliki ke-

beranian dalam setiap proses hukum dan meng-

hadapi masayarakat.

h. Melindungi diri sendiri

Saksi maupun korban harus bisa melindungi

diri, mesipun mereka mendapatkan perlindu-

ngan dari pemerintah. Karena merekalah yang

paling mengetahui kapan mereka terasa teran-

cam ataupun mendapatkan gangguan dari pihak

lain.

i. Tidak menelantarkan

Setiap aduan yang diberikan oleh masyarakat

secepatnya harus direspon dan ditangani oleh

pejabat yang berwenang, sehingga demikian

masyarakat, merasa diperhatikan dan tidak di-

telantarkan.

j. Tidak menyalahgunakan

Ketika seseorang mendapatkan kesulitan atau-

pun pelanggaran terhadap hak-haknya, seharus-

nya pemerintah, keluarganya maupun masyara-

kat tidak ikut serta merta menyalahkan dia dan

menuduh dialah penyebab kejadian tersebut,

karena hal tersebut bisa mengganggu kejiwaan

dan rasa tidak percaya diri.

k. Tidak menjadikan korban

Apapun yang menjadi permasalahannya, sese-

orang tidak bisa dijadikan korban karena terse-

but adalah pelanggaran dan ada aturan yang je-

las atas perbuatan tersebut.

Page 6: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 23

Pengertian Saksi diatur di dalam Pasal 1

Angka 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Ten-

tang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan

bahwa:

”Saksi adalah orang yang dapat memberikan ke-terangan guna penyelidikan, Penyidikan, penuntu-tan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentangsuatu Perkara pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri,dan/atau ia alami sendiri”.

Pengertian saksi sebagaimana yang diatur

oleh Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan

Saksi dan Korban pada dasarnya sama dengan pe-

ngertian saksi pada Pasal 1 Angka 26 Undang-Un-

dang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pi-

dana. Hal ini yang membedakannya hanyalah di da-

lam rumusan KUHAP, status saksi dimulai dari ta-

hap penyidikan dalam KUHAP sedangkan Undang

undang Perlindungan Saksi dan Korban status saksi

sudah dimulai ditahap penyelidikan.

Berdasarkan penjabaran tersebut, maka ke-

terangan seseorang yang hanya merupakan pendapat

ataupun rekaan yang diperolehnya dari hasil pe-

mikirannya maupun keterangan yang diperolehnya

dari orang yang melihat, mendengar, atau meng-

alami suatu tindak pidana tidak dapat digolongkan

kedalam alat bukti keterangan saksi.

Di dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan :

“Korban adalah seseorang yang mengalami pen-

deritaan fisik, mental dan/atau Kerugian ekonomi

yang dilakukan oleh suatu tindak pidana.”

Menurut “The Declaration of Basic

Principlea of Justice for Victims of crime and

abuse of Power”, Perserikatan bangsa-bangsa tahun

1985, yang dimaksud dengan korban adalah orang-

orang yang secara individual ataupun kolektif, telah

meng-alami penderitaan, meliputi penderitaan fisik

atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis

atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui

per-buatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran

(omis-sions) yang melanggar hukum pidana yang

berlaku di negara-negara anggota, yang meliputi

juga pera-turan hukum yang melarang

penyalahgunaan kekua-saan yang bisa dikenai

pidana. (Wiryawan, 2007).

Sedangkan pengertian korban menurut Arif

Gosita adalah orang yang mengalami penderitaan

baik secara jasmaniah maupun rohaniah sebagai aki-

bat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang ber-

tentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita (Arif, 1993).

Ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa korban pada dasarnya:

a. Korban dari suatu tindak pidana tidak hanya se-

orang tapi bisa juga secara kolektif atau ber-

sama-sama,

b. Mengalami penderitaan jasmaniah, rohaniah,

fisik, mental, penderitaan emosi, kerugian emo-

si, dan/atau pengurangan substansial hak-hak

asasi.

c. Penderitaan yang dialami oleh korban diakibat-

kan oleh perbuatan-perbuatan atau pembiaran-

pembiaran (omissions) yang melanggar hukum

pidana dan/atau penyalahgunaan kekuasaan, di-

mana tindakan tersebut dilakukan oleh pelaku

tindak pidana untuk kepentingan dirinya sendiri

atau orang lain.

Istilah korban (victim) disini meliputi juga keluarga

langsung korban, orang yang menderita akibat me-

lakukan intervensi untuk membantu korban yang

dalam kesulitan atau mencegah viktimasi. Untuk le-

bih memahami pengertian korban maka penulis

mengutip dari berbagai undang-undang ataupun dari

Page 7: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201024

berbagai peraturan perundang-undangan, diantara-

nya adalah:

1. Korban adalah seseorang yang mengalami pen-

deritaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi

dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana

perdagangan orang.

2. Korban adalah orang yang mengalami kekera-

san dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup

rumah tangga.

3. Korban adalah seseorang yang mengalami pen-

deritaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekono-

mi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

4. Korban bencana adalah orang atau sekelompok

orang yang menderita atau meninggal dunia ka-

rena bencana.

5. Korban adalah orang perseorangan atau kelom-

pok orang yang mengalami penderitaan baik fi-

sik, mental maupun emosional, kerugian eko-

nomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan

atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai aki-

bat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

termasuk korban adalah ahli warisnya.

6. Korban adalah orang perseorangan atau ke-

lompok orang yang mengalami penderitaan

sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat memerlukan perlindungan fisik dan

mental dari ancaman, gangguan, terror, dan ke-

kerasan dari pihak manapun.

7. Pengertian korban deklarasi PBB: “victims”

means persons who, individually or collectively,

have suffered harm, including physical or men-

tal injury, emotional suffering, economic loss,

or substansial impairment of their fundamental

rights, through acts or omissions that are viola-

tion of criminal laws proscribing criminal

abuse of power.

Penggolongan Saksi

1. Saksi Korban

Saksi Korban adalah saksi yang dimintai ketera-

ngannya dalam perkara pidana karena ia menjadi

korban langsung dari tindak pidana tersebut. Saksi

korban pada dasarnya sama dengan korban di-

mana ia mengalami penderitaan fisik atau mental,

dan/atau kerugian ekonomi yang mengakibatkan

oleh suatu tindakan pidana yang dilakukan oleh

tersangka/terdakwa. Kesaksian dari saksi korban

sangat dibutuhkan oleh pengadilan dalam hal-hal

yang berhubungan dengan keadaan yang dialami

dan diderita oleh korban, latar belakang, serta ter-

jadinya suatu pidana tersebut, dengan adanya ke-

terangan dari saksi ini dapat diperoleh pemahaman

yang lebih mendalam tentang posisi kasus yang

sebenarnya.

2. Saksi Pelapor

Seorang digolongkan sebagai saksi pelapor apa-

bila dia yang melaporkan terjadinya suatu peris-

tiwa pidana baik yang ia lihat atau alami sendiri,

namun ia tidak harus menjadi korban dari peris-

tiwa pidana tersebut. Pengertian laporan diatur di

dalam pasal 1 angka 24 KUHAP yaitu:

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan

oleh seseorang karena hak dan kewajiban berda-

sarkan undang-undang kepada pejabat yang ber-

wenang tentang telah atau sedang atau di duga

akan terjadinya peristiwa pidana tersebut.

3. Saksi A Charge

Saksi A Charge adalah saksi yang memberi kete-

rangan di dalam persidangan, di mana keterangan

yang diberikannya mendukung surat dakwaan dari

jaksa penuntut umum (selanjutnya disingkat JPU)

atau memberatkan terdakwa atau penasehat hu-

kumnya (Darwin, 1998). Berdasarkan pengertian

tersebut maka dapatlah diketahui bahwa saksi ini

Page 8: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 25

di hadirkan kepersidangan oleh JPU. Saksi A

Charge diatur dalam pasal 160 ayat (1) huruf c

KUHAP. Contoh saksi a charge adalah A meru-

pakan terdakwa dalam kasus tindak pidana peng-

aniayaan kepada B yang menjadi korban. C me-

lihat kejadian penganiayaan ini secara langsung.

Dalam persidangan, JPu dapat menghadirkan B

dan C sebagai saksi yang memberatkan bagi ter-

dakwa A.

4. Saksi A de Charge

Saksi a de charge adalah saksi yang memberi ke-

terangan di dalam persidangan, dimana kete-

rangan yang diberikannya meringankan terdakwa

atau dapat dijadikan dasar bagi nota pembelaan

(pledoi) dalam praktek adalah surat resmi yang di-

buat, dibacakan, dan disampaikan oleh terdakwa

atau penasehat hukumnya dalam persidangan ke-

pada hakim.isinya mengenai apakah pernyataan

fakta itu telah memenuhi semua unsure delik,

menghilangkan sifat pidana, dan faktor-faktor

yang meringankan dari terdakwa atau penasehat

hukumnya. Saksi a de charge dihadirkan ke persi-

dangan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya.

Ketentuan mengenai saksi ini diatur dalam pasal

yang sama dengan a charge, yaitu pasal 160 ayat

(1) huruf c KUHAP (Luhut, 2005:67).

Contoh saksi a de charge adalah A terdakwa da-

lam kasus tindak pidana pembunuhan kepada B

dengan menggunakan sebuah pisau. C sebagai

keluarga dari B melaporkan A ke pihak kepoli-

sian. D melihat awal kejadian pembunuhan terse-

but, dari keterangannya diketahui bahwa pada

awalnya B yang memegang pisau tersebut dan

hendak membunuh A, sehingga A membela diri

dan tidak sengaja membunuh B. Dalam persi-

dangan terdakwa atau Penasehat Hukumnya dapat

menghadirkan D sebagai saksi yang meringankan

bagi terdakwa.

Saksi a de charge yang tercantum dalam Surat pe-

limpahan perkara pemanggilannya dilakukan oleh

Penuntut Umum. Akan tetapi saksi a de charge

yang dimintakan oleh terdakwa atau Penasehat

Hukumnya, pemanggilannya dilakukan oleh ter-

dakwa atau Penasehat Hukum itu sendiri (Luhut,

2005).

5. Saksi Mahkota

Saksi Mahkota adalah terdakwa dari suatu tindak

pidana dimana pelakunya lebih dari satu orang

dan kesaksiannya dipakai untuk memberatkan pe-

laku lainnya. Dalam KUHAP tidak terdapat pe-

ngertian dari saksi mahkota ini.

Saksi Mahkota muncul karena tidak adanya saksi

yang dapat dijadikan untuk memeriksa suatu per-

kara pidana. Sesuai penjelasan yang dikemukakan

Yahya Harahap, adanya saksi Mahkota agar ke-

terangan seorang terdakwa dapat dipergunakan se-

bagai alat bukti yang sah terhadap lainnya. Cara-

nya dengan menempatkan terdakwa yang lain itu

dalam kedudukan sebagai saksi (Harahap, 2000).

Syarat utama diajukan saksi mahkota adalah harus

dalam tindak pidana yang ada unsur penyerta-

annya seperti pada pasal 55 KUHP menerangkan

bahwa yang dihukum sebagai pelaku penyertaan /

Deelneming dalam arti sempit dibagi atas 4 ma-

cam, yaitu orang yang melakukan (Pleger), orang

yang menyuruh melakukan (doen plegen), orang

yang turut melakukan (medepleger),dan orang

yang dengan pemberian salah memakai kekua-

saan, atau memakai kekerasan dengan sengaja

membujuk melakukan perbuatan pidana tersebut

(uitlokker) dan berkas perkaranya harus dipisah

(split/splitzing) (Harahap, 2000). Split/ splitzing

merupakan suatu pemisahan suatu berkas perkara

Page 9: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201026

menjadi dua atau lebih. Splitzing hanya bisa di-

lakukan apabila pelaku tindak pidana lebih dari

satu orang. Dengan dilakukannya Splitzing, maka

setiap pelaku tindak pidana akan diperiksa oleh

pengadilan secara terpisah.

Menurut doktrin orang yang dapat menjadi saksi

mahkota adalah terdakwa yang peranannya paling

kecil di dalam suatu tindak pidana. Contohnya

adalah A, B, dan C melakukan tindak pidana pen-

curian. A berperan masuk ke dalam rumah dan

mengambil harta benda korban, B membuka pintu

rumah secara paksa sehingga A bisa masuk, dan C

berjaga-jaga di luar rumah untuk melihat-lihat

keadaan. Berdasarkan contoh diatas maka me-

nurut doktrin, C sebagai pelaku dengan peran pa-

ling kecil yang dapat di jadikan saksi mahkota un-

tuk kasus ini. Atas kesediaan C untuk menjadi

saksi maka negara memberikan kompensasi ke-

pada yang bersangkutan untuk tidak dapat ditun-

tut dalam kasus tersebut Akan tetapi di dalam

praktek, mereka bertiga saling memberikan ke-

saksian untuk memberatkan terdakwa lainnya.

6. Testimonium de Auditu

Di dalam KUHAP tidak disebutkan pengertian

dari testimonium de auditu atau hearsay evidence,

begitu juga dengan peraturan-peraturan lainnya.

Satu-satunya peraturan tentang testimonium de

auditu ada di dalam penjelasan pasal 185 ayat (1)

KUHAP.

Untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti

testimonium de auditu maka ahli hukum

memberi-kan definisi tentang hal tersebut. S.M.

Amin me-nyebutkan bahwa kesaksian de auditu

adalah:

Keterangan-keterangan tentang kenyataan-kenya-

taan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau di-

alami bukan oleh saksi sendiri yang disampaikan

oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-

kenyataan dan hal-hal yang di dengar, dilihat atau

dialami sendiri oleh orang lain tersebut.

Contoh : A mendengar keterangan dari B yang

menjadi korban dari suatu tindak pidana.

Dalam hal ini, A adalah testimonium de auditu.

Dengan demikian A tidak memenuhi persyaratan

untuk dapat digolongkan sebagai saksi yaitu harus

melihat, mendengar, dan/atau mengalami sendiri

suatu tindak pidana. Keterangan saksi seperti ini

tidak bernilai sebagai alat pembuktian yang sah

dan tidak berkekuatan pembuktian. Oleh karena

itu di dalam sistem peradilan pidana Indonesia,

testimonium de auditu tidak digolongkan sebagai

alat bukti.

Prinsip Umum tentang testimonium de au-

ditu:

a. Oleh karena keterangan yang berbentuk testi-

monium de auditu, bukan keterangan tentang

apa yang diketahuinya secara personal, tapi me-

ngenai apa yang diceritakan orang lain kepa-

danya, atau apa yang didengarnya dari orang

lain:

1. Lebih besar kemungkinan tidak benarnya.

2. Alasannya, keterangan yang diberikannya

tidak berasal dari orang yang pertama.

b. Sehubungan dengan itu, testimonium de auditu

berada di luar alat bukti, karena isi keterangan

hanyalah repetisi atau penanggulangan dari apa

yang di dengarnya dari orang lain.

c. Termasuk juga keterangan yang dibuat atau

diberikan di luar proses persidangan. (Harahap,

2000)

Sebagai bahan perbandingan testimonium de

auditu juga diatur di dalam Common Law Sys-tem.

Di dalam sistem hukum ini testimonium de au-ditu

Page 10: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 27

juga dikeluarkan dari alat bukti karena kemung-

kinan besar mengandung ketidakbenaran. Dalam hal

ini terdapat kesamaan anatar sistem hukum di

Indonesia dengan Common Law System. Akan tetapi

di dalam Common Law System terdapat penge-

cualian terhadap prinsip testimonium de auditu

yaitu:

a. Testimonium de auditu tersebut diakui oleh ter-

dakwa.

b. Pernyataan yang dibuat diluar sidang oleh se-

seorang dapat diterima sebagai alat bukti, apa-

bila hal itu merupakan dokumen tentang peta

potograf, disket, tape, dan film.

c. Pernyataan tertulis yang di buat saksi mata

dapat diterima sebagai bukti apabila ketidak-

hadirannya di persidangan disebabkan :

1. Pembuat pernyataan meninggal atau karena

kondisi jasmani dan mental menyebabkan

meninggal dan ia tidak dapat hadir,

2. Pembuat pernyataan berada di luar negeri.

3. Pembuat pernyataan tidak dijumpai, meski-

pun telah dilakukan daya upaya untuk me-

nemukannya.

4. Tidak terjamin keselamatan pembuat per-

nyataan untuk hadir di persidangan.

5. Pernyataan telah dibuat kepada pejabat pe-

nyidik yang bertugas melakukan penyidi-

kan.

Pengecualian diatas hanyalah sebagian kecil

dari yang diatur sebenarnya di dalam Common Law

System tentang testimonium de auditu. Pengecua-

lian-pengecualian ini sangatlah penting mengingat

terkadang tidak terdapat saksi lain di dalam suatu

kasus kecuali testimonium de auditu tersebut.

Dalam hal ini, Indonesia masih harus

belajar banyak dari negara-negara lain mengingat

bahwa di dalam KUHAP sendiri tidak diatur tentang

penger-tian dari testimonium de auditu. Tentunya

hal inin sangatlah menyulitkan bagi setiap aparat

hukum de-ngan sebaik-baiknya di Indonesia di

karenakan tidak adanya pegangan yang kokoh

tentang hal tersebut.

Mengenai keabsahan dari testimonium de

auditu di dalam hukum Acara Pidana di Indonesia

dapat dilihat di dalam pasal 185 ayat (5) KUHAP

dimana dinyatakan bahwa baik pendapat maupun

rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,

bukan merupakan keterangan saksi. Hal ini dikuat-

kan kembali dengan rumusan di dalam penjelasan

pasal 185 ayat (5) dikatakan:

“Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan

yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de

auditu “.

Dengan demikian, terjawablah dengan tegas

bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang

lain bukanlah alat bukti yang sah (Andi, 2001).

Memberikan daya bukti kepada kesaksian de auditu

berarti bahwa terjadi pelanggaran terhadap syarat-

syarat dimana saksi diharuskan untuk mendengar,

melihat, dan/atau mengalami sendiri suatu kejadian

pidana. (Djoko, 1998)

Akan tetapi, kesaksian dari testimonium de

auditu perlu juga didengar oleh hakim, walaupun ti-

dak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksiaan, te-

tapi dapat memperkuat keyakinan Hakim yang ber-

sumber kepada dua alat bukti yang lain. Berhubung

dengan tidak dicantumkannya pengamatan hakim

sebagai alat bukti dalam pasal 184 KUHAP, maka

kesaksiaan de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti

melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat

bukti petunjuk, yang penilaian dan pertimbangan-

nya diserahkan kepada Hakim (Andi, 2001).

Page 11: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201028

Tidak diakui sebagai Hearsay misalnya ke-

terangan terdakwa bahwa seseorang telah mengaku

kepadanya bahwa orang itulah yang melakukan ke-

jahatan tersebut. Misalnya Mr.George didakwa telah

membakar rumahnya sendiri untuk mendapatkan

asuransi. Dalam hal ini pegawai asuransi menga-

takan bahwa sheriff telah mengatakan kepadanya

bahwa Mr.George mengakui perbuatan tersebut.

(Alan, 1971).

Pengecualian Menjadi Saksi

Secara umum, undang-undang menganut

bahwa menjadi saksi dalam perkara pidana meru-

pakan kewajiban hukum bagi setiap orang, akan te-

tapi KUHAP sendiri memberikan beberapa penge-

cualian. Ada beberapa orang yang dibebaskan dari

kewajiban tersebut. Pada dasarnya pengecualian ini

dikaitkan dengan faktor hubungan kekeluargaan (se-

darah ataupun terjadi krena adanya perkawinan), ja-

batan, inkompetensi seseorang untuk bertindak

menjadi saksi. (Darwan, 1998)

Pengecualian Relatif

Pengecualian yang relatif di dalam KUHAP

dapat dilihat pada rumusan Pasal 168 jo.169 yaitu

tentang orang yang dapat mengundurkan diri se-

bagai saksi dan Pasal 170 yaitu tentang orang yang

dapat minta dibebaskan menjadi saksi.

a. orang yang dapat mengundurkan diri sebagai

saksi.

Mengenai orang yang dapat mengundurkan diri se-

bagai saksi, diatur di dalam pasal 168 jo. Pasal 169

KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini, pada prinsip-

nya mereka tidak dapat didengar keterangannya dan

dapat mengundurkan diri sebagai saksi. akan tetapi

jika melihat ketentuan pelarangan yang diatur di

dalam Pasal 168 dan dikaitkan dengan ketentuan pa-

da Pasal 169 Ayat (1), maka dapat dilihat bahwa la-

rangan untuk menjadi saksi tersebut tidak mutlak

sifatnya, melainkan lebih tepat jika disebut fakul-

tatif. Pada satu pihak mereka tidak diperkenankan

didengar keterangannya sebagai saksi, tetapi pada

sisi lain dapat mengundurkan diri sebagai saksi, te-

tapi pada sisi lain dapat mengundurkan diri.

Berdasarkan uraian dari ketentuan Pasal 168

dan Pasal 169 KUHAP dapatlah sebagai berikut:

1. Mereka tidak dapat dipaksa untuk bersumpah

atau memberi keterangan sebagai saksi, tetapi

mereka harus hadir, kalau dipanggil menghadap

di pengadilan.

2. Jika mereka tidak bersedia untuk memberi ke-

saksiaan, maka hakim tidak boleh mendengar

mereka ditas sumpah, tetapi hanya memberi ke-

terangan.

3. Jika mereka mendengar terdakwa serta Jaksa

sama-sama menyetujui, maka didengar sebagai

saksi diatas sumpah, persetujuan mereka terse-

but harus dinyatakan dalam berita acara persi-

dangan.

4. Tanpa persetujuan dari mereka, terdakwa, dan

jaksa, maka hakim dapat memerintahkan untuk

mendengarkan keterangan mereka tanpa disum-

pah. Orang yang dapat Minta Dibebaskan Men-

jadi Saksi

Berdasarkan rumusan didalam Pasal 170

Ayat (1) KUHAP, terdapat sekelompok orang yang

dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk mem-

beri keterangan sebagai saksi. Mengenai hal pembe-

basan diri menjadi saksi, tidak mutlak sifatnya, hal

ini terlihat pada rumusan kalimat “dapat minta di-

bebaskan dari kewajiban untuk memberikan ketera-

ngan sebagai saksi”. Oleh karena itu, Pasal 170 Ayat

(1) KUHAP digolongkan kedalam pengecua-lian

Page 12: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 29

menjadi saksi yang relatif. Pada diri mereka tetap

melekat kewajiban untuk menjadi saksi, na-mun

undang-undang memberikan hak kepada mere-ka

untuk mengajukan permintaan kepada Hakim agar

dibebaskan dari kewajiban tersebut. (Harahap,

2000).

Adapun alasan-alasan yang dicantumkan di

dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHAP adalah sebagai

berikut:

1. Karena pekerjaan,

2. Karena martabat, dan

3. Jabatannya dijawibkan menyimpan rahasia.

Mengenai rumusan dari Pasal 170 Ayat

(1) KUHAP tersebut, A. Karim Nasution membe-

rikan contoh tentang orang-orang yang masuk da-

lam kriteria tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Orang yang akan martabatnya dapat meminta

untuk mengundurkan diri sebagai saksi, misal-

nya Pastor Katolik Roma. Dalam Agama

Katholik dikenal adanya pengakuan dosa yang

dilakukan jemaat kepada Pastor dan Pastor itu

harus menyimpan rahasia jemaat yang telah di-

percayakan kepadanya.

2. Orang yang karena pekerjaannya dapat meminta

untuk mengundurkan diri sebagai saksi, mi-

salnya pengacara, penasehat hukum, advokat,

notaris, akuntan, dokter, tentara, apoteker, bidan

dan dokter.

3. Orang yang karena jabatannya dapat meminta

untuk mengundurkan diri sebagai saksi, misal-

nya banker terhadap keuangan nasabahnya.

Jika yang hendak diterangkan oleh mereka

sebagai saksi tidak berhubungan dengan harkat mar-

tabat, pekerjaan maupun jabatannya, maka alasan

untuk membebaskan diri sebagai saksi karena

harkat martabat, pekerjaan, maupun jabatan adalah

alasan yang tidak relevan sehingga ia tetap

berkewajiban untuk memberi keterangan sebagai

saksi.

Kewajiban menyimpan rahasia yang dimak-

sud dalam pasal 170 ayat (1) KUHAP ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak ada

ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut, maka

diserahkan kepada Hakim untuk menentukan sah

atau tidaknya alasan yang dikemukakan saksi untuk

membebaskan diri dari kewajiban memberikan ke-

terangan saksi (Pasal 170 Ayat (2) KUHAP).

(Ramelan, 2006)

Pengecualian Absolut

Kelompok yang termasuk dalam pengecua-

lian absolut adalah mereka yang termasuk didalm

rumusan Pasal 171 KUHAP yaitu:

a. Anak yang belum berumur 15 tahun dan belum

pernah menikah.

b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meski-

pun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Hak-Hak Saksi Dan Korban

Menjadi saksi yang memberi keterangan di

persidangan merupakan hal yang berbeda dengan

menjadi saksi pada tingkat penyidikan, karena men-

jadi saksi dipersidangan keterangan tersebut diambil

dalam sidang terbuka untuk umum (kecuali dalam

perkara-perkara tertentu sidang tetutup untuk umum,

yakni terdakwa masih anak dibawah umur dan

dalam perkara kesusilaan), tetapi intinya mem-beri

keterangan dipersidangan diberikan dihadapan

banyak pihak sehingga hal ini memerlukan penge-

tahuan yuridis yang cukup. Dan dengan demikian

maka si saksi memiliki hak yang tidak dapat di-

Page 13: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201030

ganggu gugat, hak-hak saksi tersebut di dalam

KUHAP antara lain:

1. Berhak untuk mengajukan laporan kepada pe-

nyelidik dan/atau penyidik baik lisan maupun

tertulis. (pasal 108 ayat (1))

2. Berhak memperoleh surat tanda penerimaan la-

poran atau pengaduan dari penyelidik atau pe-

nyidik. (pasal 108 ayat (6))

3. Berhak dipanggil dengan surat panggilan yang

sah dengan memperhatikan tenggang waktu

yang wajar antara penerimaan panggilan dan

pemenuhan panggilan tersebut. (pasal 112 ayat

(1))

4. Berhak untuk tidak memenuhi surat panggilan

menjadi saksi apabila ada alasan yang patut dan

wajar yang menyebabkan saksi tidak datang

menghadiri pemeriksaan tersebut. (pasal 113)

5. Berhak memberikan keterangan kepada penyi-

dik tanpa tekanan dari siapapun dan atau bentuk

apapun. (pasal 117 ayat (1))

Yang menjadi pertimbangan penentuan hak korban

adalah taraf keterlibatan dan tanggung jawab fung-

sional pihak korban dalam tindak pidana itu. Demi

keadilan dan kepastian hukum, perumusan me-

ngenai hak dalam suatu peraturan perundang-unda-

ngan harus mudah, dapat dimengerti oleh banyak

orang, tetapi dapat dipertanggungjawabkan secara

yuridis ilmiah, dimana hak-hak korban diantaranya

adalah:

1. Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaan-

nya, pemberian ganti kerugian tersebut harus

se-suai dengan kemampuan memberi ganti

keru-gian pihak pelaku dan taraf keterlibatan

pihak korban dalam terjadinya kejahatan.

2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku

(tidak mau diberi restitusi karena tidak memer-

lukannya).

3. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli

warisnya bila pihak korban meniggal dunia ka-

rena tindakan tersebut.

4. Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.

5. Mendapatkan hak miliknya kembali.

6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak

pelaku bila melapor dan menjadi saksi.

7. Mendapat bantuan penasihat hukum.

8. Mempergunakan upaya hukum. (Arif,1993:53)

Di bawah ini hak-hak korban menurut UU

No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Keke-

rasan dalam Rumah Tangga Pasal 10 korban berhak

mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial

atau pihak lainnya baik sementara maupun ber-

dasarkan penetapan perintah perlindungan dari

pengadilan.

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan

medis.

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan

kerahasian korban.

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan

hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

e. Pelayanan bimbingan rohani.

Untuk melengkapi hak-hak saksi dan korban, maka

didalam UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindu-

ngan Saksi dan Korban telah mengatur hak-hak

saksi dan korban. Dimana pasal 5 ayat (1) me-

ngatakan, seorang saksi berhak:

Page 14: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 31

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pri-

badi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas

dari ancaman yang berkenaan dengan kesak-

siaan yang akan, sedang, atau telah diberikan-

nya.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menen-

tukan bentuk perlindungan dan dukungan kea-

manan.

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

d. Mendapat penterjemah

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

f. Mendapatkan informasi mengenai perkemba-

ngan kasus.

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pe-

ngadilan.

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

i. Mendapatkan identitas baru.

j. Mendapatkan tempat kediaman baru.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi se-

suai dengan kebutuhan.

l. Mendapatkan nasihat hukum, dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara

sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Pasal 6 mengatur hak lain diluar pasal 5

ayat (1), yaitu kepada korban pelanggaran hak asasi

yang berat. Hak-hak tersebut adalah:

a. bantuan medis, dan

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Perlindungan Saksi dan Korban Menurut

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi Dan korban

Kurangnya perlindungan terhadap saksi dan

korban di Indonesia menjadi dasar adanya undang-

undang no.13 tahun 2006 tentang perlindungan

saksi dan korban. Diharapkan dengan

diresmikannya un-dang-undang perlindungan saksi

dan korban maka partisipasi dari masyarakat dalam

membantu aparat penegak hukum untuk

membongkar tindak-tindak pidana di Indonesia akan

semakin meningkat. Adapun hak-hak saksi dan

korban di dalam undang-undang perlindungan saksi

dan korban adalah se-bagai berikut:

1. Pasal 5 mengatur tentang hak-hak saksi dan

korban dalam tipikor, narkotika atau psikotro-

pika, terorisme, dan tindak pidana lain yang

mengakibatkan posisi mereka dihadapkan pada

situasi yang sangat membahayakan jiwanya,

hak-hak tersebut yaitu :

a. Mendapatkan perlindungan atas keamanan

pribadi, keluarga, harta bendanya, serta dari

ancaman yang berkenaan dengan yang akan,

sedang, atau yang telah diberikan. Perlindu-

ngan terhadap saksi dan korban diberikan

sebelum, selama, dan sesudah pemikiran

perkara.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan

menentukan bentuk perlindungan dan duku-

ngan keamanan. Dasar pemikiran pemberian

hak ini adalah fakta bahwa subjek dari se-

buah perlindungan adalah saksi dan korban

itu sendiri. Oleh karena itu sudah selayak-

nya mereka diberikan peran untuk menen-

tukan bentuk perlindungan dan dukungan

keamanan yang akan mereka terima.

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

Tekanan psikologis tersebut bisa datang da-

ri berbagai pihak dan kondisi. Contoh yang

sangat nyata terjadi di dalam kasus Persida-

ngan pelanggaran HAM di Timor-Timur

yang dilangsungkan di pengadilan HAM Ad

Hoc Jakarta. Saksi dan korban yang dihadir-

kan kedalam ruang sidang mengalami te-

Page 15: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201032

kanan oleh penasehat hukum terdakwa

maupun para pendukung terdakwa yang bi-

sa dengan bebas mencemooh saksi selama

saksi memberikan keterangan.

d. Mendapat penterjemah, karena tidak semua

saksi di Indonesia mengerti Bahasa

Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini

disebabkan oleh keadaan Indonesia yang

terdiri dari bermacam-macam kebudayaan

dan tidak semua penduduk negara kita

menggunakan bahasa Indonesia di dalam

kehidupan sehari-harinya (kebanyakan

menggunakan bahasa daerah masing-ma-

sing).

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat. Per-

tanyaan menyertai ini bisa diberikan oleh

JPU maupun terdakwa atau penasehat hu-

kumnya untuk menjamin pelaksanaan hak

ini, diperlukan peran dari hakim secara aktif

untuk menilai pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan oleh kedua pihak kepada saksi

(termasuk korban). Apabila ada pertanyaan

yang menjerat yang diajukan kepada saksi,

maka hakim harus memerintahkan pihak

yang memberi pertanyaan tersebut untuk

menggantinya.

f. Mendapatkan informasi mengenai perkem-

bangan kasus, saksi (termasuk korban) se-

bagai pihak yang berperan penting didalam

pengungkapan suatu kasus haruslah di-

berikan informasi tentang perkembangan

kasus yang diikutinya. Praktek hukum di

Indonesia sering memperlakukan saksi se-

bagai sebuah alat dan bukan sebagai manu-

sia yang membantu pengungkapan sebuah

kasus. Hal inilah yang harus diubah dalam

praktek hukum Indonesia, terutama dalam

lingkup pidana.

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan

pidana pengadilan. Sebagai pihak yang ber-

partisipasi di dalam sebuah kasus maka su-

dah selayaknya saksi dan korban menge-

tahui hasil akhir dari kasus yang mereka

ikuti. Hal ini merupakan sebuah bentuk

penghargaan terhadap peran aktif saksi da-

lam upaya penegakan hukum.

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebas-

kan. Hal ini sangatlah penting karena dikha-

watirkan terpidana akan membalaskan den-

damnya kepada saksi (termasuk korban).

Tindakan balas dendam tersebut dapat

membahayakan keselamatan mereka (terma-

suk keluarganya) apabila saksi tidak menge-

tahui tentang bebasnya seorang pelaku tin-

dak pidana. Dengan adanya informasi be-

basnya terpidana, diharapkan dapat berhati-

hati dalam melakukan sesuatu.

i. Mendapat indentitas baru. Hak saksi dan

korban untuk mendapatkan identitas baru

merupakan adopsi dari bentuk perlindungan

yang diberlakukan di negara-negara lainnya.

Identitas baru dibutuhkan, terutama bagi

saksi kunci dari sebuah kasus pidana yang

terorganisasi, dimana hukuman pidana ter-

hadap seorang pelaku tidak dapat menjamin

bahwa keselamatan saksi bisa terjamin, ka-

rena mungkin masih ada pihak-pihak yang

ingin mencelakai saksi. Oleh karena itu di-

harapkan dengan adanya identitas baru,

Akan sulit bagi pihak yang ingin mence-

lakai saksi untuk mengenali saksi tersebut.

j. Mendapatkan tempat kediaman yang baru.

Saksi (termasuk korban) yang terancam ke-

Page 16: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 33

amanan berhak untuk dipindahkan keling-

kungan yang baru. Tidak hanya sampai

disitu, saksi juga harus diberikan suatu tem-

pat tinggal yang layak (seperti tempat ting-

gal saksi dilingkungan rumahnya).

k. Memperoleh penggantian biaya transaksi

sesuai dengan kebutuhan. Begitu banyak

saksi (termasuk korban) yang mengeluhkan

tentang tidak adanya penggantian biaya dari

aparat penegak hukum. Penggantian biaya

yang diberikan kepada saksi ini sangatlah

penting, mengingat saksi tidak dipanggil

sekali atau dua kali untuk memberikan kete-

rangan disemua tingkat pemeriksaan. Seba-

gai contoh apabila saksi didalam tingkat

penyidikan dan pemeriksaan dipengadilan

dipanggil sebanyak 15 kali, maka biaya

yang harus dikeluarkan saksi untuk sekali

memenuhi panggilan sebesar Rp.20.000,-.

Maka total biaya yang harus dikeluarkan

saksi adalah Rp. 300.000,-. Jika saksi hanya

berprofesi sebagi pedagang keliling, maka

Rp. 300.000,- bukanlah biaya yang kecil

bagi mereka. Permasalahan biaya merupa-

kan suatu hal yang sensitif terutama dalam

kondisi ekonomi negara kita saat ini. Oleh

karena itu, sangatlah penting bagi aparat

penegak hukum untuk menjamin terlaksa-

nanya hak saksi ini.

l. Mendapatkan nasihat hukum. Saksi dan

kor-ban berhak untuk mendapatkan nasehat

hu-kum yang pantas dalam mengatasi suatu

keadaan yang dialaminya (terutama bagi

saksi dan korban yang awam hukum).

m.Memperoleh bantuan biaya hidup

sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir. Dengan masuknya seorang saksi

(termasuk korban) kedalam perlindungan,

secara oto-matis kehidupannya tidak akan

seperti dulu. Dalam artian dia bisa saja

kehilangan mata pencahariannya. Oleh

karena itu, penting bagi pemerintah untuk

memberikan bnatuan biaya hidup selama

saksi berada di dalam perlindungan atau

sampai dengan saksi ber-hasil mendapatkan

pekerjaan baru.

2. Pasal 9 mengatur hak saksi dan korban untuk

tidak hadir langsung didepan pengadilan tempat

perkara tersebut sedang diperiksa apabila ia

merasa dirinya berada dalam ancaman yang

sangat besar jika mereka tetap menghadirinya.

Untuk mendapatkan hak ini, hakim harus ter-

lebih dahulu memberikan persetujuannya.

3. Pasal 10 ayat (1) dan (3) tentang hak saksi, kor-

ban dan pelapor untuk tidak dapt dituntut se-

cara hukum baik pidana maupun perdata atas

pelaporan, kesaksian yang akan, sedang atau te-

lah dilakukannya. Tuntutan pidana yang sering

digunakan oleh pelaku adalah dengan menggu-

nakan pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), pasal 311

ayat (1), pasal 317 ayat (1) KUHP. Akan tetapi

hak ini tidak diperoleh oleh saksi yang mem-

berikan keterangan dengan itikad baik.

4. Pasal 10 ayat (2) mengatur tentang hak saksi

yang merupakan tersangka dalam kasus yang

sama (saksi mahkota) dimana keterangannya

dapat meringankan pidana yang akan dijatuh-

kan kepadanya. Perlu diingat bahwa ketera-

ngan tersebut tidak dapat membebaskannya

dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara

sah dan menyakinkan bersalah.

Hak-hak yang hanya bisa diperoleh oleh

korban diatur secara khusus dalam pasal 6 dan pasal

Page 17: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201034

7. Terjadi pembedaan antara korban tindak pidana

pelanggaran HAM berat dan korban dalam tindak

pidana lainnya. Korban dalam tindak pidana HAM

berat berhak untuk mendapatkan:

1. Bantuan medis, dalam hal korban mengalami

luka-luka baik ringan maupun berat akibat tin-

dak pidana HAM yang menimpanya. Bantuan

medis harus diberikan kepada korban secara

Cuma-cuma (biaya ditanggung oleh LPSK).

2. Bantuan Rehabilitasi psiko-sosial. Tindak pida-

na yang terjadi tidak jarang menimbulkan trau-

ma atau masalah kejiwaan lainnya terhadap kor-

ban dari tindak pidana tersebut. Korban yang

mengalami trauma atau masalah kejiwaan lain-

nya akan sangat sulit untuk diminta bekerja sa-

ma dalam membongkar suatu kejahatan. Untuk

mengatasi hal ini, maka pemerintah wajib mem-

berikan fasilitas konsultasi kepada psikolog

yang dapat membantu untuk memulihkan kea-

daan jiwa korban tersebut. Biaya yang dikeluar-

kan selama kosultasi haruslah ditanggung oleh

LPSK.

3. Mendapatkan kompensasi yang diberikan oleh

negara. Adapun korban dalam tindak pidana

HAM berat hanya berhak untuk mendapatkan

restitusi.

Bentuk-bentuk perlindungan saksi dan kor-

ban yang diatur didalam undang-undang perlindu-

ngan saksi dan korban adalah:

1. Perlindungan dalam semua tahap proses per-

adilan pidana dalam lingkungan pengadilan (pa-

sal 2).

2. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesak-

sian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat

perkara tersebut sedang diperiksa. Saksi dapat

memberikan keterangan secara tertulis yang di-

sampaikan dihadapan pejabat yang berwenang

dan membubuhkan tanda tangannya pada berita

acara yang memuat tentang kesaksiaan tersebut

atau bisa juga memberikan keterangan melalui

sarana elektronik (pasal 9)

3. Penggantian identitas saksi (pasal 5 ayat (1) hu-

ruf i)

4. Dipindahkan kelingkungan baru (pasal 5 ayat

(1) huruf j)

5. Diberikan bantuan biaya hidup sementara sam-

pai dengan berakhirnya perlindungan (pasal 5

ayat (1) huruf m).

Syarat yang harus dipenuhi oleh saksi dan

korban untuk mendapatkan perlindungan diatur di

dalam pasal 28 yaitu sebagai berikut:

1. Sifat pentingnya keterangan saksi. Sebelum

memasukan saksi kedalam perlindungan harus-

lah diteliti terlebih dahulu tentang nilai kete-

rangan saksi tersebut dan dilakukan evaluasi

terhadap kemungkinan ada atau tidaknya saksi

lain dalam kasus yang sama.

2. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi.

Saksi yang diberikan perlindungan haruslah be-

nar-benar merupakan saksi yang terancam ke-

selamatannya. Oleh karena itu, LPSK haruslah

menilai tingkat ancaman yang diterima saksi

tersebut.

3. Hasil analisis Tim medis atau Psikolog terha-

dap saksi. Haruslah dilakukan sebuah tes terha-

dap saksi yang akan dilindungi. Tes tersebut

meliputi tes medis dan psikolog. Tujuan dari

tes medis adalah untuk melihat kejahatan saksi

pada saat ini, sedangkan tes psikologis dapat

digunakan untuk melihat apakah saksi dapat

menimbulkan bahaya atau tidak bagi komuni-

tas keamanan mereka akan dipindahkan kelak.

Page 18: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 35

4. Rekam jejak kejahatan (criminal records) yang

pernah dilakukan oleh saksi. Ada kalanya se-

orang saksi dan atau korban merupakan mantan

terpidana. Oleh karena itu perlu dilihat rekam

jeja kejahatan saksi selama hidupnya, dengan

diperolehnya data tersebut, maka LPSK dapat

menilai apakah ada kemungkinan saksi menja-

di residis atau tidak.

Cara yang harus dilakukan untuk seseorang

yang menjadi saksi dan korban agar mendapatkan

perlindungan menurut pasal 29 huruf a yaitu sebagai

berikut:

1. Saksi dan korban mengajukan permohonan

kepada LPSK

2. Inisiatif pembuatan permohonan dapat datang

dari saksi dan/atau korban, maupun atas per-

mintaan pejabat yang berwenang.

3. Permohonan tersebut haruslah dibuat secara ter-

tulis.

Permohonan perlindungan yang diterima

oleh LPSK harus segera diperiksa, dipertimbang-

kan, dan diputuskan apakah perlindungan terhadap

permohonan dapat diberikan atau tidak. Keputusan

LPSK (baik menerima atau tidak) mengenai per-

mohonan tersebut disampaikan kepada pemohon pa-

ling lambat 7 hari sesudah permohonan tersebut di-

terima oleh LPSK. Menurut hasil wawancara penu-

lis dengan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai pada

tanggal 1 September 2009 menerangkan bahwa:

”Sebelum Undang-Undang No 13 Tahun 2006 ituada korban Pelanggaran HAM tidak terungkap,korban juga tidak mendapatkan hak-haknya sebagaikorban. Tidak hanya mendapatkan hak-haknyaseba-gai korban, tetapi hak-haknya sendiripun tidakdi-akui di dalam hukum kita. Mengenai saksikadang-kadang dijadikan menjadi korban oleh pihakpe-nyidik dan tidak menutup kemungkinan bahwa

saksi-saksi tersebut juga mengalami kekerasan, an-caman dalam suatu tindak pidana, hal ini meng-akibatkan kasus-kasus yang mereka alami itu tidaktertangani dengan baik ataupun tidak terselesaikan.Karena kasus-kasus tersebut tidak dapat terselesai-kan mengakibatkan korban-korban merasa dirugikankarena mereka adalah korban kejahatan, dimana pa-ra pelakunya tidak di proses sehingga keadilan bagikorban tidak terpenuhi dengan baik, termasuk ke-rugian-kerugian materil yang tidak dapat diambilkembali oleh para korban tersebut”.

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Sak-

si dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai

dengan adanya Undang-Undang No. 13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka ma-

syarakat sangat merespon ataupun berdampak posi-

tif bagi kelangsungan peradilan di Indonesia. Karena

keberadaan Undang-Undang tersebut tidak hanya di-

inginkan oleh masyarakat tapi pemerintah juga sa-

ngat menginginkan terbentuknya Undang-Undang

tersebut. Karena apabila kita lihat dalam kenyata-

annya bahwa pembentukan undang-undang tersebut

tidak terlepas dari kerja sama antara Masyarakat,

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dimana

masing-masing pihak memiliki Draf pembentukan

undang-undang perlindungan saksi dan korban ter-

sebut.

Apabila LPSK memutuskan untuk mem-

berikan perlindungan maka saksi dan/atau korban

diwajibkan untuk menandatangani pernyataan kese-

diaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan

saksi dan korban. Kemudian dibuatlah suatu perjan-

jian antara LPSK dengan saksi tersebut. Syarat per-

nyataan tersebut berisi tentang:

1. Kesediaan saksi (termasuk korban) untuk mem-

berikan kesaksiaan dalam proses pengadilan, in-

ti dari sebuah perlindungan adalah agar saksi

dapat memberikan kesaksiaan dipersidangan.

Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa dengan

adanya perlindungan yang diberikan terhadap

Page 19: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201036

saksi, maka mereka akan bersedia untuk mem-

bantu pengungkapan sebuah kasus, yaitu de-

ngan cara memberikan keterangan dipersida-

ngan.

2. Kesediaan saksi (termasuk korban) untuk mena-

ati aturan yang berkenaan dengan keselamatan-

nya. LPSK akan memberikan sejumlah aturan

yang diperlukan untuk menjamin keselamatan

saksi dan peraturan tersebut. Haruslah dipatuhi

oleh saksi. Tanpa adanya kepatuhan dari saksi

untuk mengikuti peraturan yang telah diberikan

oleh LPSK, maka perlindungan terhadapnya ju-

ga akan sia-sia.

3. Kesediaan saksi (termasuk korban) untuk tidak

berhubungan dengan Cara apapun dengan orang

lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia be-

rada dalam perlindungan LPSK. Rumusan ini

memberikan batasan kepada saksi dalam meng-

gunakan media komunikasi yang dapat diguna-

kannya untuk berhubungan dengan orang lain.

4. Kewajiban saksi (termasuk korban) untuk tidak

memberitahukan kepada siapapun mengenai

keberadaannya dibawah perlindungan LPSK.

Keberadaan saksi selama dalam perlindungan

akan sangat dirahasiakan, oleh karena itu saksi

harus berperan aktif untuk menjaga kerahasiaan

tersebut. Salah satunya dengan tidak membe-

ritahukan tentang perlindungan yang sedang di-

jalaninya kepada orang-orang yang telah atau-

pun tidak dikenal oleh saksi sebelumnya.

5. Hal-hal yang dianggap perlu oleh LPSK.

Setelah saksi dan/atau korban menandatangani

perjanjian tersebut, maka LPSK secara penuh

berkewajiban untuk memberikan perlindungan.

Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau

korban dapat dihentikan berdasarkan alasan:

1. Apabila permohonan perlindungan atas inisiatif

saksi dan/atau korban, maka perlindungan da-

pat dihentikan atas permintaan mereka

2. Apabila permohonan perlindungan diajukan

atas inisiatif pejabat yang berwenang, maka

atas permintaan pejabat yang berwenang terse-

but, perlindungan dihentikan.

3. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan se-

bagaimana tertulis dalam perjanjian.

4. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau kor-

ban tidak lagi memerlukan perlindungan berda-

sarkan bukti-bukti yang menyakinkan.

Beberapa kelemahan perlindungan saksi da-

lam rumusan undang-undang perlindungan saksi dan

korban:

1. Rumusan pasal 6 dan 7 ayat (1) hanya mem-

bereskan hak kepada korban dalam tindak pida-

na pelanggaran HAM berat. Ketentuan dalam

kedua pasal ini terkesan sangat diskriminatif,

mengingat korban dari tindak-tindak pidana

lainnya juga terkadang mengalami luka fisik

maupun trauma, seperti korban dari tindak pi-

dana percobaan pembunuhan, penganiayaan,

kejahatan terhadap kesusilaan dan tindak-tin-

dak pidana lainnya yang diikuti dengan kekera-

saan.

2. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Kor-

ban membedakan pengertian antara saksi dan

korban dengan pelapor (whistleblower). Hal ini

terlihat dari rumusan pasal 1 angka 1 dan pen-

jelasan pasal 10 ayat (1). Dengan adanya pem-

bedaan ini, maka setiap kata “saksi” di dalam

rumusan undang-undang perlindungan saksi

dan korban tidak dapat diartikan mencakup

“saksi dan whistleblower”. Beberapa anggota

PANJA menyatakan kepada beberapa media

Page 20: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 37

nasional ketika pengajuan Rancangan undang-

undang perlindungan saksi dan korban, bahwa

walaupun tidak secara tegas dinyatakan, tetapi

pelapor juga telah dilindungi yaitu terlihat dari

adanya perkataan kepentingan penyelidikan “di

dalam pasal 1 angka 1, sehingga para perumus

berkeyakinan bahwa pelapor sudah tercakup

dalam wilayah penyelidikan. Jika memang be-

nar adanya maka seharusnya perumus undang-

undang tidak mencantumkan pengertian pela-

por atau whistleblower didalam penjelasan pa-

sal 10 ayat (1). Oleh karena itu penulis tetap

berpendapat bahwa undang-undang perlindu-

ngan saksi dan korban membedakan pengertian

“saksi” dan “pelapor” atau whistleblower yaitu

sebagai berikut:

a. Tidak adanya perlindungan yang diberikan

terhadap whistleblower hal ini terlihat dari

rumusan Pasal 1 Angka 6 tentang definisi

dari “perlindungan “menurut Pasal 1 Ang-

ka 6 hanya memuat saksi dan/atau korban

sebagai subjek hukumnya. Dengan demi-

kian dapat diartikan LPSK tidak mempu-

nyai kewajiban untuk memberikan perlin-

dungan terhadap whistleblower.

b. Satu-satunya pasal yang mengatur tentang

hak whistleblower adalah Pasal 10 Ayat (1),

dimana mereka berhak untuk tidak dapat di-

tuntut baik secara pidana maupun perdata

atas laporan yang mereka berikan. Jika kita

bandingkan Undang-Undang perlindungan

saksi dan korban dengan Undang-Undang

No.15 tahun 2002, maka terlihat ada suatu

kemunduran yang terjadi dalam pemberian

perlindungan terhadap whistleblower, pada-

hal peran seorang whistleblower dalam pe-

ngungkapan kasus dewasa ini sangatlah

penting. Seharusnya whistleblower mem-

peroleh perlindungan dan hak yang berim-

bang dengan saksi dan/atau korban.

3. Rumusan didalam Pasal 29 Ayat (1) mewajib-

kan saksi dan/atau korban untuk mengajukan

permohonan perlindungan secara tertulis, dan

Pasal 29 Ayat (3) menyatakan bahwa permoho-

nan tersebut diputuskan oleh LPSK paling lam-

bat 7 hari. Rumusan dalam undang-undang ini

mempunyai satu kekurangan fatal yaitu tidak

adanya ketentuan perlindungan terhadap saksi

dalam situasi yang sangat mendesak. Ada kala-

nya dalam situasi yang darurat, tidak dimung-

kinkan bagi saksi untuk membuat permohonan

tertulis atau menunggu keputusan perlindungan

dari LPSK selama 7 hari. Oleh karena itu, perlu

diatur sebuah ketentuan pengecualian tentang

pemberian perlindungan terhadap saksi dan/

atau korban yang berada dalam situasi seperti

ini.

4. Tidak diaturnya tentang Perlindungan terhadap

saksi ahli, padahal keterangan seorang ahli juga

merupakan suatu alat bukti yang sering diguna-

kan dalam praktek peradilan pidana di

Indonesia. Seorang ahli juga tidak jarang men-

dapatkan tekanan, ancaman dan/atau kekerasan

dari pihak-pihak yang tidak menginginkannya

memberikan kesaksian dipersidangan.

Perlindungan Saksi Dan Korban Oleh Lem-

baga- Lembaga Negara di Indonesia

Kepolisian Republik Indonesia

Sebelum diresmikannya Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban oleh pemerintah,

perlindungan saksi dan/atau korban di Indonesia di-

lakukan oleh POLRI didasari oleh beberapa pera-

turan perundang-undangan seperti:

Page 21: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201038

a. Pasal 117 jo pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP

didalam pasal 117 dinyatakan bahwa “ketera-

ngan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik

diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau

dalam bentuk apapun “dan didalam pasal 6 ayat

(1) huruf a dinyatakan bahwa Pejabat Polisi me-

rupakan penyidik. Jika kita hubungkan dan ana-

lisa kedua rumusan pasal tersebut maka dapat

dilihat bahwa POLRI diwajibkan untuk melin-

dungi hak saksi dalam dalam memberikan kete-

rangan tanpa tekanan. Tindakan menjamin ter-

laksananya hak saksi merupakan salah satu ben-

tuk perlindungan.

b. Pasal 13 huruf c Undang-undang no.2 tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia didalam struktur organisasi Polri ti-

dak dikenal Perlindungan Saksi dan Korban se-

cara khusus Perlindungan terhadap Saksi dan

Korban didasari pada ketentuan pasal ini, bah-

wa salah pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat dalam arti luas. Dari pasal ini dapat

dilihat bahwa Polri bertugas memberikan per-

lindungan, dalam arti luas perlindungan tersebut

diberikan untuk semua orang yang ada dimasya-

rakat termasuk orang yang menjadi saksi.

c. Pasal 2 ayat (2) PP No.57 tahun 2003 dan

ditegaskan kembali oleh Perkapolri No. Pol: 17

tahun 2005.

d. Pasal 6 PP No. 71 Tahun 2000, yaitu dalam Ti-

pikor

e. Pasal 2 PP No. 2 Tahun 2002, yaitu dalam Tin-

dak Pidana Pelanggaran HAM Berat.

f. Pasal 4 PP No. 24 Tahun 2003, yaitu dalam

Tin-dak Pidana Terorisme.

Bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan

oleh POLRI terhadap Saksi menurut Peraturan Pe-

rundang-undangan:

a. Perlindungan dilakukan sebelum, pada saat, dan

sesudah proses pemeriksaan (pasal 2 ayat (1) PP

No.57 tahun 2003 Jo. Pasal 2 ayat (2) PP No. 2

tahun 2002 Jo. Pasal 5 PP No.24 tahun 2003 Jo.

Pasal 4 ayat (4) Perkapolri No. Pol: 17 tahun

2005.

b. Perlindungan atas keamanan pribadi saksi, kor-

ban dan pelapor (mencakup keluarganya) dari

ancaman fisik dan mental. Ancaman fisik meli-

puti: unjuk penghadangan, perampokan, pencu-

likan, penganiayaan, dan pembunuhan; gang-

guan kendaraan serta sabotase. Ancaman mental

meliputi: terror dan/atau intimidasi. Hal ini se-

suai dengan ketentuan di dalam pasal 5 huruf a

PP No. 7 Tahun 2000 Jo. Pasal 4 huruf a PP

No.2 tahun 2002 Jo. Pasal 3 huruf a PP No. 24

tahun 2003 Jo. Pasal 5 Perkapolri No. Pol: 17

tahun 2005.

c. Perlindungan terhadap harta saksi, korban dan

pelapor yang meliputi benda bergerak maupun

tidak bergerak, terutama yang paling memung-

kinkan menjadi sasaran gangguan pihak-pihak

tertentu (pasal 5 huruf b PP No. 57 tahun 2003

jo. Pasal 2 PP No.24 tahun 2003 Jo. Pasal 7

Perkapolri No. Pol 17 tahun 2005).

d. Merahasiakan atau menyamarkan identitas sak-

si, korban dan pelapor (pasal 5 huruf c PP No.

57 tahun 2003 Jo. Pasal 6 ayat (1) PP No.71 ta-

hun 2000 jo. Pasal 4 huruf b PP No. 2 tahun

2002 Jo. Pasal 3 huruf b PP No. 24 tahun 2003

Jo. Pasal 7 Perkapolri No. Pol: 17 tahun 2005).

e. Menjamin bahwa saksi dan korban dapat mem-

berikan keterangan tanpa harus bertatap muka

dengan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat

Page 22: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 39

pemeriksaan (pasal 5 huruf d PP No. 57 tahun

2003 Jo. Pasal 4 huruf c PP No. 2 tahun 2002

Jo. Pasal 3 huruf c PP No. 24 tahun 2003 Jo.

Pasal 2 huruf d Perkapolri No. Pol: 17 tahun

2005).

f. Melakukan pengamanan terhadap tempat atau

lokasi saksi, korban dan pelapor yang meliputi :

1. Rumah / tempat tinggal / penginapan ;

2. Tempat kerja / kantor / tempat persidangan ;

3. Rute / sarana transportasi ; dan

4. Tempat-tempat kegiatan lainnya. (Pasal 4

ayat (3) Perkapolri No. POL: 17 tahun

2005).

g. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan evakuasi

terhadap saksi, korban dan pelapor ketempat

yang aman (pasal 11 ayat (1) huruf e Perkapolri

No. Pol: 17 tahun 2005).

Akan tetapi, rumusan didalam Peraturan

Undang-undang belum sepenuhnya dijalankan oleh

POLRI dalam praktek adalah:

a. Mengetahui alamat rumah saksi

b. Memonitor rumah saksi

c. Menempatkan petugas untuk berjaga-jaga di-

luar rumah dalam batas tertentu.

Tidak maksimalnya perlindungan terha-

dap saksi, korban dan pelapor ini menyebabkan ku-

rangnya rasa percaya dari para saksi, korban dan

pelapor untuk masuk kedalam perlindungan yang

di-sediakan oleh POLRI. Kekerasan ini semakin

diper-parah dengan fakta seringnya kekerasan dan

anca-man oleh aparat penegak hukum.

Kejaksaan Republik Indonesia

Kejaksaan diwajibkan untuk memberikan

perlindungan terhadap saksi, hal ini terlihat dari be-

berapa perturan perundang-undangan yang meru-

muskan mengenai hal tersebut, diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Pasal 30 ayat (3) huruf b dan pasal 35 huruf c

undang-undang no.16 tahun 2004 tentang Ke-

jaksaan Republik Indonesia didalam pasal 30

ayat (3) huruf b dirumuskan tentang partisipasi

kejaksaan dalam bidang ketertiban dan keten-

traman umum untuk menyelenggarakan kegia-

tan pengamanan kebijakan penegakan hukum.

Berpijak pada ketentuan pasal ini, seorang JPU

dapat memintakan atau memberikan status sak-

si kepada seseorang sesuai dengan petunjuk da-

ri penyidik. JPU juga dapat digolongkan keda-

lam kebijakan untuk memanggil saksi. Hal ini-

lah yang dapat digolongkan kedalam kebijakan

untuk memanggil saksi. Hal inilah yang dapat

digolongkan kedalam kebijakan demi penega-

kan hukum. Sedangkan didalam pasal 35 huruf

c dinyatkan tentang tugas dan wewenang Jaksa

Agung untuk mengesampingkan perkara demi

kepentingan hukum (hak oportunitas). Hal yang

dimaksudkan oleh pasal ini baik (sebagai tuntu-

tan balik dari terdakwa atau tersangka kepada

saksi dan/atau pelapor) karena alasan untuk ke-

pentingan umum atau kasus yang menyangkut

hajat hidup orang banyak seperti korupsi. De-

ngan kata lain, JPU diharuskan untuk mem-

prioritaskan penanganan perkara korupsi yang

dilaporkan oleh saksi dan/atau pelapor dari pa-

da penanganan kasus pencemaran nama baik

yang dilaporkan oleh terlapor.

b. Pasal 6 PP No. 71 tahun 2000 sekarang No.

KEP-1 11212005, No. KEP-IAIJ. A11212005

tahun 2005, yaitu dalam tipikor.

c. Pasal 5 PP No. 24 tahun 2003, yaitu dalam Tin-

dak Pidana Terorisme.

Page 23: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201040

d. Pasal 3 PP No.2 tahun 2002 yaitu dalam Tin-

dak Pidana Pelanggaran HAM Berat.

Bentuk-bentuk perlindungan saksi yang

dilakukan oleh kejaksaan menurut peraturan perun-

dang-undangan:

a. Perlindungan diberikan sebelum, selama, dan

sesudah proses pemeriksaan perkara (Pasal 2

ayat (1) PP No. 57 tahun 2003 Jo. Pasal 2 ayat

(2) PP No.2 tahun 2002 Jo. Pasal 5 PP No. 24

tahun 2003).

b. Perlindungan atas keamanan pribadi saksi, kor-

ban dan pelapor (mencakup keluarganya) dari

ancaman fisik dan mental (pasal 5 huruf a PP

No.71 tahun 2000 Jo pasal 4 huruf a PP No.24

tahun 2003).

c. Perlindungan atas harta benda saksi, korban

dan pelapor (pasal 5 huruf b PP No.57 tahun

2003 jo. Pasal 2 PP No. 24 tahun 2003).

d. Perahasiaan dan penyamaran identitas saksi

dan/atau pelapor (pasal 5 huruf c PP No.57

tahun 2003 jo. Pasal 3 huruf b PP No.24 tahun

2003).

e. Pemberian keterangan disetiap tingkat pe-

meriksaan tanpa harus berhadapan dengan ter-

sangka/terdakwa (pasal 5 huruf d PP No.2 ta-

hun 2002 jo. Pasal 3 huruf c PP No. 24 tahun

2003).

f. Seorang saksi dan/atau pelapor yang dituntut

oleh terlapor dikesampingkan perkaranya (pa-

sal 35 huruf c undang-undang no.16 tahun

2004).

Bentuk perlindungan saksi, korban dan pe-

lapor oleh kejaksaan didalam praktek adalah:

a. Mengantar saksi dari dan kepengadilan.

b. Meminta kepolisian menempatkan anggotanya

dirumah saksi.

c. Melindungi saksi dengan cara Perlindungan

Hukum, seperti kompensasi tidak dijadikan

tersangka.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Sesuai dengan amanat Undang-undang Per-

lindungan Saksi dan Korban, dibentuklah sebuah

lembaga khusus yang bertugas dan berwenang untuk

memberikan perlindungan terhadap saksi dan

korban yaitu LPSK.

LPSK merupakan sebuah lembaga mandiri,

dalam artian lembaga ini independen dimana dia ti-

dak berada dibawah lembaga negara lainnya sehing-

ga tidak dimungkinkan intervensi (campur tangan)

dari pihak manapun. Sampai dengan saat ini, di

Indonesia sendiri sudah begitu banyak lembaga

yang bersifat independen terbentuk dan banyak dari

lembaga-lembaga tersebut tidak efektif atau mem-

punyai tugas yang tumpang tindih dengan lainnya.

Lembaga-lembaga yang tidak efektif tersebut kini

terancam dilikuidasi. Oleh karena itu, Pemerintah

sebaiknya memberikan suatu pondasi dasar yang ku-

at untuk pembentukan LPSK agar lembaga ini ter-

hindar dari ketidakefektifan seperti yang sudah me-

nimpa lembaga-lembaga sebelumnya.

Sebelum diresmikannya Undang-undang Perlindu-

ngan Saksi dan Korban, begitu banyak perdebatan

yang muncul mengenai kemandirian yang dianut

oleh LPSK, ada pendapat yang mendukung dengan

sifat mandiri LPSK dan ada juga yang menentang.

Beberapa pendapat dari ahli hukum sebelum disah-

kannya Undang-undang Perlindungan Saksi dan

Korban, diantaranya menyebutkan:

1. LPSK sebagai lembaga yang mandiri

Page 24: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 41

2. LPSK mandiri selama 10 (sepuluh) tahun, ke-

mudian dipindahkan dibawah kepolisian

3. LPSK berada dibawah kepolisian

4. LPSK berada dibawah kejaksaan

Pendapat yang tidak setuju dengan keman-

dirian LPSK pada dasarnya mempunyai alasan yang

sama. Salah satunya sesuai dengan pendapat dari

Rudy Satriyo yaitu:

1. Kemandirian LPSK akan membebani keuangan

negara, mengingat begitu banyak lembaga-lem-

baga negara yang sudah terbentuk sebelum

LPSK. Keberadaan LPSK dikhawatirkan negara

mengingat biaya operasional yang akan dike-

luarkan oleh LPSK dalam menjalankan tugas-

nya tidaklah sedikit. Masalah biaya operasional

merupakan hal yang sangat sensitif, karena sa-

lah satu yang menunjang keefektifan sebuah

lembaga yang independen adalah masalah Da-

na. Apabila LPSK berada dibawah lembaga

yang sudah ada, maka biaya operasional dari

LPSK akan ditanggung oleh lembaga yang me-

naunginya tersebut.

2. LPSK sebagi sebuah lembaga yang baru diang-

gap belum mempunyai struktur dan infrastruk-

tur yang jelas, sehingga dikhawatirkan akan me-

nyebabkan ketidakefektifan lembaga ini. Hal ini

bisa diatasi, apabila LPSK berada dibawah lem-

baga negara yang sudah ada.

Walaupun alasan-alasan diatas bisa diterima

oleh logika, Akan tetapi perlu didasari bahwa Kepo-

lisian dan Kejaksaan di Indonesia pada saat ini me-

rupakan lembaga negara yang bisa disebut “ber-

masalah”. Dikhawatirkan, apabila LPSK berada di

bawah Kepolisian dan Kejaksaan, maka saksi akan

tetap takut untuk memberikan kesaksian, karena su-

dah berkurangnya rasa percaya dari masyarakat ter-

hadap kedua lembaga neagara tersebut. Oleh karena

itu, Pembuat undang-undang memutuskan untuk

merumuskan LPSK sebagai sebuah lembaga negara

yang mandiri (independen).

Di dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban dinyatkan bahwa

LPSK berkedudukan di Ibukota Negara Republik

Indonesia. Mengingat keadaan geografis Indonesia

yang cukup luas dan terdiri dari kepulauan, maka

pembuat undang-undang memberikan kewenangan

kepada LPSK untuk membentuk perwakilannya

didaerah. Hal ini bertujuan untuk memudahkan

pemberian bantuan perlindungan terhadap saksi dan

korban yang berada jauh dari ibukota negara.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan

Korban tidak membatasi banyaknya perwakilan

LPSK didaerah. Banyaknya cabang tersebut di-

sesuaikan dengan kebutuhan. Oleh karena itu, LPSK

berhak untuk membuat perwakilan di setiap propinsi

ataupun kabupaten. Mengingat tidak adanya batasan

perwakilan yang diberikan oleh Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban, Ada baiknya jika

LPSK melakukan penelitian (survey) terlebih dahulu

tentang tingkat pelanggaran hak saksi dan korban di

setiap wilayah negara Indonesia. Dengan adanya pe-

nelitian tersebut, LPSK akan bisa mengambil

kebijakan yang tepat tentang pendirian suatu perwa-

kilan di daerah (disesuaikan dengan tingkat kerawa-

nannya).

Hak dari LPSK untuk mendirikan perwa-

kilan didaerah memberikan suatu masalah baru, yai-

tu dibutuhkannya sumber daya manusia yang ba-

nyak dan pembiayaan yang besar dari Pemerintah

baik untuk penyiapan infrasruktur maupun pengga-

jian sumber daya manusia yang ada. Untuk menga-

tasi hal tersebut, Maka LPSK haruslah menyiapkan

Page 25: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201042

sebuah rencana kerja jangka panjang, standar kerja,

indikator kebutuhan dan standar prioritas pendirian

perwakilan. Disamping itu, Pemerintah juga harus

menyiapkan Dana yang cukup untuk pendirian per-

wakilan LPSK tersebut sehingga masalah adminis-

trasi tidak akan membebani kinerja LPSK di kemu-

dian hari.

Di dalam Undang-undang Perlindungan

Saksi dan Korban, tugas dan kewenangan dari

LPSK tidak diatur di dalam suatu bagian atau bab

tersendiri, melainkan tersebar di beberapa pasal.

Adapun tugas dan kewenangan dari LPSK adalah:

1. Memberikan perlindungan dan hal-hal lain ke-

pada saksi dan/atau korban (pasal 1 angka 1)

2. Mengajukan tuntutan kompensasi (bagi korban

dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat)

dan restitusi (ganti kerugian yang menjadi tang-

gung jawab pelaku tindak pidana) ke Penga-

dilan. Tuntutan ini harus didasarkan pada ke-

inginan dari korban (pasal 7)

3. Menerima dan melakukan pemeriksaan terha-

dap permohonan perlindungan yang diajukan

saksi dan/atau korban dalam bentuk tertulis (pa-

sal 29 ayat (2))

4. Memberikan keputusan tertulis tentang pem-

berian perlindungan kepada saksi dan/atau kor-

ban (pasal 29 ayat (3).

5. Menghentikan perlindungan terhadap saksi

dan/atau korban (pasal 32)

6. Menerima permintaan bantuan tertulis yang di-

ajukan oleh korban atau orang yang mewaki-

linya (pasal 33)

7. Menentukan kelayakan, jangka waktu, dan be-

saran biaya yang diperlukan dalam rangka

pemberian bantuan terhadp korban yang me-

mintanya (pasal 34)

8. Memberikan keputusan terhadap permintaan

bantuan yang diajukan korban (pasal 35)

9. Bekerjasama dengan instansi terkait yang ber-

wenang dalam melaksanakan pemberian perlin-

dungan dan bantuan (pasal 39)

Di dalam pasal 13 ayat (1) Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan bahwa

LPSK bertanggungjawab kepada presiden. Dalam

hal ini, maka dapat dikatakan bahwa Presiden ber-

tanggungjawab kepada masyarakat Indonesia terha-

dap kinerja dari LPSK maka Presiden harus mela-

kukan pengawasan terhadap lembaga ini. Selain itu,

Presiden juga perlu untuk memberi dukungan secara

penuh terhadap LPSK, baik dari segi penyediaan fa-

silitas maupun biaya operasional. Hal ini bertujuan

untuk menghindari ketidakefektifan LPSK sebagai

sebuah lembaga baru yang independen.

LPSK juga diwajibkan untuk membuat la-

poran secara berkala tentang pelaksanaan tugasnya

kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) paling

sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun, hal ini diatur di

dalam pasal 13 ayat (2) Undang-undang Perlin-

dungan Saksi dan Korban. Dari ketentuan ini dapat

dilihat bahwa DPR sebagai perwakilan rakyat

Indonesia memiliki fungsi kontrol dan pengawasan

terhadap LPSK. Peran aktif DPR juga sangat dibu-

tuhkan dalam memberikan rekomendasi kepada

LPSK, karena sebagai pengawas maka DPR dapat

menganalisa dan mengetahui kelemahan-kelemahan

LPSK dalam pelaksanaan tugasnya. Diharapkan de-

ngan adanya peran aktif dari Presiden dan DPR ma-

ka LPSK dapat mengembangkan program perlindu-

ngan saksi dan/atau korban di masa mendatang.

Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang

yang berasal dari unsur profesional yang mempu-

nyai pengalaman di bidang Pemajuan, Pemenuhan,

Page 26: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 43

Perlindungan, Penegakan Hukum dan HAM. Repre-

sentasi yang berhak menjadi anggota dari lembaga

ini yaitu dari Kepolisian, Kejaksaan, Departemen

Hukum dan HAM, Akademisi, Advokat, atau LSM.

Diharapkan dengan adanya representasi tersebut

maka LPSK dapat lebih mudah berkoordinasi de-

ngan lembaga negara, penegak hukum maupun ma-

syarakat sipil.

Representasi anggota LPSK tersebut ma-

sihlah belum berimbang mengingat unsur yang ber-

asal dari lembaga negara masih menjadi mayoritas,

sehingga terkesan bahwa anggota LPSK hanyalah

merupakan perwakilan dari institusi yang ada. Se-

baiknya pemilihan anggota LPSK didasarkan pada

latar belakang keahlian anggotanya yang dilihat dari

kepentingan atau kinerja kerja LPSK kedepannya.

Program perlindungan terhadap saksi dan/atau kor-

ban memerlukan biaya operasional yang tidak se-

dikit, karena mencakup perubahan identitas saksi,

pemindahan ke lingkungan baru, bantuan biaya hi-

dup sementara, dll. Oleh karena itu perlu penanga-

nan yang serius dari pemerintah mengenai hal itu.

Jangan sampai masalah Dana menjadi penyebab ti-

dak berjalannya program perlindungan, seperti yang

sudah terjadi terhadap beberapa lembaga indepen-

den lainnya. Peran pemerintah, terutama pihak-pi-

hak yang terkait dengan anggaran juga harus men-

dukung penjadwalan anggaran dari LPSK terkait

dengan waktu penjadwalan pengajuannya dan

harus-lah dihindari suatu keadaan dimana LPSK

sudah berdiri namun anggaran belum turun.

Kesimpulan

Atas segala uraian sebelumnya kedudukan

dan peran saksi dan korban yang telah dijabarkan

sesuai dengan Undang-undang No.13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dapat di-

ambil kesimpulan sebagai berikut bahwa Pemberian

bantuan perlindungan saksi dan korban tindak pi-

dana oleh kepolisian dan kejaksaan masih kurang di

dalam praktek. Hal ini disebabkan oleh beberapa

faktor seperti: Tidak dikenalnya perlindungan se-

cara khusus di dalam kedua lembaga ini. Perlin-

dungan terhadap saksi dan korban yang dilakukan

oleh kedua lembaga ini hanya sebatas karena adanya

tugas untuk menegakkan hukum dan memberikan

perlindungan kepada warga masyarakat dalam arti

yang sangat luas. Hal ini terlihat dari tidak adanya

bagian dari Polri atau Kejaksaan yang secara khusus

bertugas untuk memberikan perlindungan kepada

saksi. Tidak adanya unit yang bekerja secara khusus

untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan

korban di dalam struktur Polri dan Kejaksaan

sehingga tindakan perlindungan yang dilakukan oleh

kedua lembaga ini sangatlah tidak maksimal. Per-

lindungan saksi dan korban yang dilakukan oleh

Polri biasanya ditangani oleh Bareskim, sedangkan

Kejaksaan perlindungan dilakukan oleh JPU yang

menangani kasus tersebut. Pada dasarnya PP tentang

Tindak pidana khusus yang telah diresmikan sebe-

lum adanya UU Perlindungan saksi dan korban se-

erti Tipikor, Terorisme, Pelanggaran HAM Berat te-

ah mengamanatkan kepada Polri dan Kejaksaan

untuk melakukan perlindungan terhadap saksi, akan

tetapi tindak lanjut dari Polri dan Kejaksaan itu

sendiri tidak maksimal. Hal ini terlihat di dalam

prakek perlindungan terhadap saksi dan korban yang

sangat kurang pada saat ini. Banyaknya kasus

ancaman dan kekerasaan yang dilakukan oleh ok-

num-oknum yang tidak bertanggung jawab dari

Polri dan Kejaksaan.

Di lain pihak, pemberian bantuan perlin-

dungan saksi dan korban oleh LPSK berdasarkan

UU Perlindungan saksi dan korban belumlah berada

Page 27: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 201044

dalam tahap pembentukan. Oleh karena itu, perlin-

dungan saksi dan korban oleh LPSK hanya dapat di-

lihat dari isi UU Perlindungan saksi dan korban.

Apabila ditinjau dari ketentuan UU Perlindungan

saksi dan korban, maka dapatlah disimpulkan bah-

wa LPSK menghadapi kesulitan pada awal terben-

tuknya. Mengingat kurangnya ketentuan di dalam

UU Perlindungan saksi dan korban tentang kewe-

nangan dari lembaga ini. Sebuah lembaga yang in-

dependen, LPSK dikhawatirkan akan mengalami

masalah yang sama dengan lembaga-lembaga inde-

penden lainnya seperti masalah SDM (sumber daya

manusia) dan financial (keuangan) serta masalah

lain yang sulit dipecahkan yaitu benturan antara ke-

wenangan LPSK dengan lembaga-lembaga negara

lainnya yang menyangkut kepada eksistensi lem-

baga.

Perlindungan saksi dan korban tindak pi-

dana di Indonesia pada saat ini tidak maksimal kare-

na disebabkan oleh beberapa kelemahan seperti: ti-

dak adanya perlindungan terhadap whistleblower.

Hak-hak saksi sebagaimana yang diatur di dalam

peraturan perundang-undangan tidak dijamin oleh

aparat penegak hukum, hal ini dapat dilihat perumu-

san tentang hak saksi untuk memperoleh penggan-

tian biaya pada saat dia dipanggil disetiap tingkat

pemeriksaan dimana dalam penerapannya hal ini

tidak pernah dilaksanakan. Tidak detailnya keten-

tuan tentang bentuk dan tata cara perlindungan yang

dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan da-

pat menyebabkan tidak maksimalnya penjamin ke-

selamatan saksi dan korban (termasuk keluarga).

Hal-hal yang harus menjadi pokok perhatian untuk

suksesnya perlindungan saksi dan korban di

Indonesia adalah Faktor perundang-undangan, Pe-

merintah harus dengan segera membuat perubahan

terhadap UU Perlindungan saksi dan korban yang

bertujuan melengkapi kekurangan yang ada di da-

lam ketentuannya, atau membuat peraturan pemerin-

tah yang mengatur secara detail tentang perlindu-

ngan saksi dan korban. Hal ini bertujuan untuk me-

mudahkan LPSK dalam melaksanakan tugasnya dan

memperluas cakupan saksi dan korban yang berhak

atas perlindungan. Faktor LPSK dan lembaga lain-

nya. Sebagai sebuah lembaga independen yang be-

lum lama, LPSK harus mampu berkoordinasi de-

ngan lembaga lainnya yang sudah ada sebelumnya.

LPSK juga harus menjadi sebuah lembaga baru

yang mampu menerima kritik dan saran dari lemba-

ga lain atau warga masayarakat yang bersifat mem-

bangun.

Daftar Pustaka

Adami Chaazawi, “Pelajaran Hukum Pidana 1”,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Andi Hamzah, “Hukum Acara Pidana Indonesia“,

Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Arif Gosita Arif. Masalah Korban Kejahatan.

Jakarta: Akademika Pressindo, 1993.

Djoko Prakoso, ”Alat Bukti dan Kekuasaan

Pembuktian di Dalam Proses Pidana”,

Liberty, Yogyakarta, 1998.

E.Y Kanter dan Sianturi S.R, ”Asas-Asas Hukum

Pidana di Indonesia dan Penerapannya”,

Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Eddyono,Widodo Supriyadi, “Sebuah Pemetaan

Awal“, Cet.1, Indonesia Corruption

Watch, Jakarta, 2007.

Indonesia, “Undang-Undang Tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia”, UU No 26 Tahun

2000, LN No. 208,TLN No.4026.

________, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana

Page 28: PELAKSANAAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA SAKSI DAN … · patkan keterangan saksi diurutan pertama di atas Alat Bukti lain berupa Keterangan Ahli, Surat, Pe-tunjuk, dan Keterangan Terdakwa

Pelaksanaan Peran dan Fungsi embaga Saksi dan Korban di Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 1, Desember 2010 45

________, ”Undang-Undang Tentang Penanggula-

ngan Bencana”, UU No.24 Tahun 2007,

LN No. 66 Tahun 2007, TLN No. 4723.

________, “Undang-Undang Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, UU No

23 Tahun 2004, LN No. 95 Tahun 2004,

TLN No. 4419

________, “Undang-Undang Tentang Saksi Dan

Korban”, UU No 13 Tahun 2006, LN No.

64 Tahun 2006, TLN No. 4635

________, “Undang-Undang Tentang Tindak

Pidana Perdagangan Orang”, UU No 21

Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN

No. 4720.

Leden Marpaung, ”Asas-Teori-Praktek Hukum

Pidana”, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

------------, ”Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat

Dihukum (Delik)”, Sinar Grafika, Jakarta,

1991.

Luhut M.Pangaribuan, ”Hukum Acara Pidana”,

Surat-surat Resmi di Pengadilan Oleh

Advokat, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori

Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali. Cet.

Ke-2, Ed. Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005.

Moeljatno, ”Hukum Pidana Delik-Delik Penyer-

taan”, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.

Peraturan Pemerintah Tentang Kompensasi, Resti-

tusi dan rehabilitasi Terhadap Korban Pe-

langgaran Hak Asasi Yang Berat. PP. No.3

Tahun 2002, LN No. 7 Tahun 2002, TLN

No. 4172.

Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Perlindu-

ngan Terhadap Korban dan Saksi dalam

Pe-langgaran HAM Berat. PP. No.2 Tahun

2002, LN No. 5 Tahun 2002, TLN No.

4171.

Prinst Darwan, “Hukum Acara Pidana Dalam

Praktik”, Cet 2, Djambatan, Jakarta, 2008.

Question Dempster, « Whistleblower Para

Pengungkap Fakta », (Whistleblower).

diterjemahkan oleh Tim penerjemah EL

SAM, Jakarta, 2006.

R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHP). Bogor: Politeia, 1996.

------------. ”Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan

Umum dan Delik-Delik Khusus”, Politeta,

Bogor, 1984.

Sahetapi dan Reksodiputro Mardjono, “Parados

dalam Kriminologi”, Ed. 1, Rajawali,

Jakarta, 1982.

------------. ”Pidana Mati Dalam Negara Pancasila”,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Soekanto Soerjono, ”Pengantar Penelitian Hukum”,

Rajawali Press, Jakarta, 1985.

Wiryawan Martanto Syahrial dan Melly Setyoeati,

”Perlindungan Saksi dan Korban: sebuah

Observasi”, Awal Cet. 1. Indonesia

Corruption Watch, Jakarta, 2007.