pelaksana tugas: aristiono nugroho suharno nuraini aisiyah

96
i LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur) Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA 2019H A L A M A N P E N G E S A H A N

Upload: others

Post on 02-Jun-2022

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

i

LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS

REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL

(Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)

Pelaksana Tugas:

Aristiono Nugroho

Suharno

Nuraini Aisiyah

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA – 2019H A L A M A N P E N G E S A H A N

Page 2: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

ii

LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS

REFORMA AGRARIA: THREAT DAN TREATMENT UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL

(Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)

Pelaksana Tugas:

Aristiono Nugroho

Suharno

Nuraini Aisiyah

Laporan penelitian ini telah diseminarkan di hadapan

Steering Committee Penelitian STPN pada tanggal ...............................

Mengetahui

Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Bambang Suyudi, S.T., M.T. NIP. 19710624 199603 1 002

Page 3: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

iii

D A F T A R I S I

Halaman Halaman Judul i Halaman Pengesahan ii Daftar Isi iii Daftar Tabel v BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4

1. Tujuan Penelitian 4 2. Manfaat Penelitian 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 6 A. Penelitian Terdahulu 6 B. Kerangka Teoritis 9

1. Threat dan Treatment 9 a. Threat 9 b. Treatment 10

2. Hak Bangsa 10 3. Hak Menguasai Negara 11 4. Reforma Agraria 12

a. Reforma Regulasi 13 b. Reforma Asset 14

(1) Landreform 14 (2) Redistribusi Tanah 15 (3) Legalisasi Asset 16

c. Reforma Akses 17 5. Kesejahteraan Sosial 17 6. Keadilan Sosial 18

C. Kerangka Konseptual 20

BAB III : METODE PENELITIAN 22 A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 22 B. Langkah Kerja Operasional 22

1. Subyek Penelitian 22 2. Penetapan Informan 22 3. Jumlah Informan 23 4. Pemilihan Informan 23 5. Data yang Diperoleh 23 6. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data 24 7. Teknik Analisis Data 24

Page 4: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

iv

BAB IV : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA REGULASI 26

A. Threat Dalam Regulasi 27 B. Treatment Bagi Regulasi 29

BAB V : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA ASSET 32

A. Threat Dalam Reforma Asset 32 1. Threat Dalam Landreform 32 2. Threat Dalam Redistribusi Tanah 37 3. Threat Dalam Legalisasi Asset 41

B. Treatment Dalam Reforma Asset 43 1. Treatment Dalam Landreform 43 2. Treatment Dalam Redistribusi Tanah 50 3. Treatment Dalam Legalisasi Asset 56

BAB VI : THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA AKSES 60

A. Threat Dalam Reforma Akses 60 B. Treatment Dalam Reforma Akses 64

BAB VII : KONSTRUKSI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL 69

A. Konstruksi Kesejahteraan Sosial 69 B. Konstruksi Keadilan Sosial 75

BAB VIII : PENUTUP 81

A. Kesimpulan 81 B. Rekomendasi 89

Daftar Pustaka 90 Lampiran: 92 Policy Brief 92 A. Ringkasan Eksekutif 92

1. Deskripsi Masalah 92 2. Cara Mengatasi Masalah 92 3. Urgensi Cara Terpilih 93

B. Urgensi Masalah 93 1. Issue Penting 93 2. Akar Masalah 93 3. Implikasi Penyelesaian Akar Masalah 94

C. Pilihan Kebijakan 94 1. Kendala Kebijakan Saat Ini 94 2. Pilihan Kebijakan Alternatif 94

D. Rekomendasi Kebijakan 94 1. Kebijakan Terpilih 94 2. Implementasi Kebijakan Terpilih 95

Page 5: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

v

D A F T A R T A B E L

Tabel: Halaman:

1. Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat Ini 8

2. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Regulasi Reforma Agraria 31

3. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Landreform 49

4. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Redistribusi Tanah 55

5. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Legalisasi Asset 58

6. Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Reforma Akses 65

7. Kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar Dalam Pelaksanaan

Redistribusi Tanah Tahun 2007 – 2017 75

8. Kinerja Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur Dalam

Pelaksanaan Redistribusi Tanah Tahun 2007 – 2017 76

Page 6: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

1

B A B I

P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang

Rehman Sobhan dalam “Agrarian Reform and Social Transformation:

Preconditions for Development” (1993) menyatakan, bahwa bila suatu negara

ingin menghapuskan kemiskinan (meningkatkan kesejahteraan) di pedesaan, dan

ingin pula mengakselerasi pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif atau

pilihan lain selain melakukan reforma agraria yang radikal. Alternatif ini penting,

karena reforma agraria akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara adil,

bagi sebagian rakyat yang tidak memiliki tanah atau kekurangan pemilikan

tanah.

Pernyataan Rehman Sobhan ini relevan dengan pelaksanaan reforma

agraria di Kabupaten Blitar yang relatif radikal, karena selalu didahului dengan

reklaiming (reclaiming), kemudian dilanjutkan dengan konflik, perdamaian,

redistribusi tanah, dan akhirnya legalisasi asset. Hal ini antara lain terjadi pada

konflik antara masyarakat Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan

Doko, Kabupaten Blitar dengan PT. Sari Bumi Kawi pada tahun 1998.

Konflik diawali dengan upaya masyarakat melakukan reklaiming atas tanah

seluas 280 Ha, setelah eskalasi meningkat dan berlarut-larut akhirnya dilakukan

perdamaian, redistribusi tanah, dan legalisasi asset. Puncak penyelesaian di

bidang pertanahan ditandai dengan penyerahan sertipikat hak atas tanah kepada

masyarakat yang melakukan reklaiming pada tanggal 4 April 2012. Walaupun

sudah dilakukan penyerahan sertipikat hak atas tanah, reforma agraria di Dusun

Kulonbambang belumlah selesai, karena seperti dikatakan Rehman Sobhan,

masih diperlukan adanya tahapan lanjutan yang wajib memperlihatkan hadirnya

kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian reforma agraria di

Kabupaten Blitar cenderung diawali dengan konflik yang berlangsung antara

masyarakat dengan pihak lain.

Page 7: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

2

Sementara itu, pada tahun 1974 di Perkebunan Nyunyur terjadi konflik

antara masyarakat Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar melawan

PT. Kismo Handayani (dahulu: PT. Nyunyur Baru). Konflik diawali tindakan

Pemerintah Kabupaten Blitar membatalkan redistribusi tanah yang diperoleh

masyarakat pada tahun 1963, seluas 100 Ha. Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten

Blitar menyerahkan tanah tersebut kepada PT. Nyunyur Baru, yang telah

menguasai tanah seluas 374 Ha, sehingga akhirnya PT. Nyunyur Baru berhasil

menguasai tanah seluas 474 Ha.

Sesungguhnya, sebagai bagian dari Provinsi Jawa Timur, maka pola konflik

pertanahan yang terjadi di Kabupaten Blitar merupakan bagian dari pola konflik

di Provinsi Jawa Timur. Sebagaimana diketahui ada lima pola konflik di Provinsi

Jawa Timur, yaitu: Pertama, konflik di area hutan, terutama yang terkait dengan

wilayah hutan dan akses pengelolaannya di wilayah Kabupaten Probolinggo,

Kabupaten Jember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabupaten

Bondowoso, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Banyuwangi. Kedua, konflik

yang terkait dengan ekspansi wilayah industri dan kawasan industri di

Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten

Pasuruan, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Nganjuk. Ketiga, konflik yang

terkait dengan proyek infra struktur, seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga

Uap) di Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik,

Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten

Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi,

serta PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Kabupaten Ponorogo,

Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Banyuwangi. Keempat, konflik yang

terkait dengan perampasan ruang kelola rakyat untuk industri ekstraktif di

Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten

Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi.

Kelima, konflik di area perkebunan yang melibatkan masyarakat (petani) dengan

pihak perusahaan perkebunan di Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Jember

(sumber: Islambergerak.com, 2018 dan KPA, 2018).

Page 8: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

3

Ida Nurlinda dalam disertasinya (2008) mengungkapkan, bahwa ada enam

fakta penyebab terjadinya konflik agraria, yang melibatkan PTPN (PT.

Perkebunan Nusantara), sebagai berikut: Pertama, masyarakat menyerobot

tanah PTPN, padahal tanah tersebut merupakan asset negara (BUMN). Kedua,

PTPN memperoleh tanah hasil nasionalisasi perkebunan milik asing, padahal

perkebunan asing tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas

tanah rakyat. Ketiga, PTPN memperoleh tanah hasil pelepasan kawasan hutan,

yang ternyata tumpang-tindih dengan tanah ulayat. Keempat, penguasaan tanah

oleh PTPN melampaui luas tanah yang mendapat hak guna usaha, sehingga

tumpang tindih dengan tanah rakyat. Kelima, tanah PTPN terlantar, karena telah

habis hak guna usahanya. Keenam, sengketa antara inti (PTPN) dengan plasma

(rakyat), yaitu ketika inti mengambil-alih tanah plasma.

Sementara itu, konflik pertanahan di Kabupaten Blitar pada umumnya

terjadi antara petani (masyarakat) dengan perusahaan perkebunan, yang

kemudian diselesaikan dengan menggunakan format reforma agraria. Format ini

menekankan pada berbagai upaya untuk mengkonstruksi kesejahteraan sosial

dan keadilan sosial di kalangan petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian dengan judul “Reforma Agraria: Threat Dan Treatment Untuk

Kesejahteraan dan Keadilan Sosial (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa

Timur).”

B. Rumusan Masalah

Pada 8 Oktober 2018, Aliansi Tani Jawa Timur dalam “Wujudkan Keadilan

Agraria dan Kedaulatan Petani di Jawa Timur” (www.api.or.id) menyatakan,

bahwa konflik agraria di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 mencapai 59

kasus, yang tersebar di berbagai kabupaten, dan meliputi areal seluas 9.421,37

Ha di luar kawasan hutan (perkebunan, pertambangan, property, dan

infrastruktur), serta areal seluas 18.521 Ha di dalam kawasan hutan. Selain itu,

Aliansi Tani Jawa Timur menjelaskan bahwa meskipun telah tertuang dalam

point ke-5 Nawacita, reforma agraria belum berhasil dilaksanakan di Jawa Timur.

Demikian pula keberadaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang

Page 9: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

4

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang ternyata juga belum mampu

mengatasi persoalan: penguasaan tanah, proses budidaya, pemasaran produk,

disparitas harga pangan di kalangan petani, dan permodalan.

Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Blitar, ketika terjadi konflik di

areal perkebunan antara petani (masyarakat) dengan perusahaan perkebunan.

Ada beberapa kasus konflik agraria yang berhasil diselesaikan melalui format

reforma agraria, tetapi ada pula beberapa kasus yang belum berhasil diselesaikan

hingga saat ini. Oleh karena itu, reforma agraria menjadi instrumen penting

dalam menyelesaikan konflik agraria, yang sekaligus juga berfungsi sebagai

instrumen dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial di

kalangan petani.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditetapkan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di

Kabupaten Blitar?

2. Bagaimana threat dan treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di

Kabupaten Blitar?

3. Bagaimana threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil

redistribusi tanah di Kabupaten Blitar?

4. Bagaimana threat dan treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para

penerima redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi?

5. Bagaimana konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun melalui

reforma agraria di Kabupaten Blitar?

6. Bagaimana konstruksi keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma

agraria di Kabupaten Blitar?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Untuk mendorong penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten

Blitar, serta mendorong pelaksanaan redistribusi tanah, legalisasi asset, dan

Page 10: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

5

pemberian akses yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial

di Kabupaten Blitar.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi STPN, sebagai reservoir pengetahuan tentang reforma agraria.

b. Bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,

sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan agraria/pertanahan yang

berkaitan dengan reforma agraria.

Page 11: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

6

B A B II

T I N J A U A N P U S T A K A D. Penelitian Terdahulu

Sesungguhnya reforma agraria bukanlah merupakan issue yang baru di

Indonesia, melainkan issue lama yang telah ada sejak tahun 1960-an. Para pakar

agraria di masa itu menyatakan bahwa reforma agraria merupakan landreform

dalam arti yang lebih luas. Reforma agraria meliputi reforma regulasi, reforma

asset (landreform/redistribusi tanah serta legalisasi asset), dan reforma akses

yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa penelitian yang membahas

reforma agraria dari berbagai perspektif yang diminati, seperti: Pertama,

penelitian Nobuhiko Fuwa berjudul “Politics And Economics Of Landreform In The

Philippines” (2000:73). Penelitian ini berhasil mengungkap fakta, bahwa

meskipun pembuat kebijakan terlibat dalam landreform, tetapi kontribusi

mereka relatif sedikit terhadap program ini. Hal ini disebabkan regulasi yang

mereka buat justru menjadikan landreform tidak efisien, bahkan memberi

konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.

Kedua, penelitian Jason Heit yang berjudul “Rural Development And

Agrarian Reform Process in Chile” (2005:81). Penelitian ini berhasil mengungkap

fakta, bahwa regulasi dapat mempercepat reforma agraria, terutama dalam

mendapatkan keuntungan komparatif, berupa penguatan sektor pertanian.

Ketiga, penelitian Ronaldo F. Frufonga, Vilma S. Sulleza, dan Roel A. Alli

yang berjudul “The Impact Of Comprehensive Agrarian Reform Program On

Farmer Beneficiaries In The 3rd Congressional District Of Iloilo, Philippines”

(2016:88). Penelitian ini berhasil mengungkap fakta, bahwa reforma agraria

memberi dampak positif bagi petani, melalui peningkatan pendapatan petani dan

penurunan angka kemiskinan di kalangan petani.

Pada tiga penelitian terdahulu tersebut terdapat simpul-simpul penting,

yang dapat digunakan sebagai sumber inspirasi bagi penelitian saat ini, dengan

Page 12: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

7

tetap memperlihatkan perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian

saat ini. Pada penelitian pertama (tahun 2000), diperlihatkan tentang peran

pembuat kebijakan. Selanjutnya pada penelitian kedua (tahun 2005),

diperlihatkan tentang regulasi yang dapat mempercepat reforma agraria.

Kemudian pada penelitian ketiga (tahun 2016), diperlihatkan dampak positif

reforma agraria bagi para petani.

Penelitian yang telah dilakukan tersebut memperlihatkan perhatian para

pakar terhadap peran pembuat kebijakan, manfaat regulasi, dan dampak positif

reforma agraria bagi peningkatan pendapatan petani dan penurunan angka

kemiskinan di kalangan petani. Sementara itu, penelitian ini mengungkapkan

fakta-fakta yang berkaitan dengan: Pertama, threat dan treatment dalam

penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar. Kedua, threat dan

treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar. Ketiga,

threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah

di Kabupaten Blitar. Keempat, threat dan treatment dalam mewujudkan reforma

akses bagi para penerima redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah

dilegalisasi. Kelima, konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun

melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar. Keenam, konstruksi keadilan sosial

yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar.

Ketika enam hal yang ingin diungkapkan tersebut diringkas, maka dapat

dirumuskan dua hal yang ingin diungkap, yaitu: Pertama, threat dan treatment

dalam penerapan regulasi reforma agraria, redistribusi tanah, legalisasi asset

hasil redistribusi tanah, dan reforma akses terhadap tanah hasil redistribusi yang

telah dilegalisasi di Kabupaten Blitar. Kedua, konstruksi kesejahteraan dan

keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten

Blitar.

Page 13: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

8

Tabel: 1 Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat Ini

P E N E L I T I A N S E B E L U M N Y A

NO. PENELITI (TAHUN) JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN 1. Nobuhiko Fuwa

(2000) Politics And Economics Of Landreform In The Philippines

Meskipun para pembuat kebijakan terlibat dalam landreform, tetapi kontribusi mereka hanya sedikit terhadap program ini. Hal ini disebabkan regulasi yang mereka buat justru menjadikan landreform tidak efisien, bahkan memberi konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.

2. Jason Heit (2005)

Rural Development And Agrarian Reform Process in Chile

Regulasi dapat mempercepat reforma agraria, terutama dalam mendapatkan keuntungan komparatif, berupa penguatan sektor pertanian.

3. Ronaldo F. Frufonga Vilma S. Sulleza Roel A. Alli (2016)

The Impact Of Comprehensive Agrarian Reform Program On Farmer Beneficiaries In The 3rd Congressional District Of Iloilo, Philippines.

Reforma agraria memberi dampak positif bagi petani, melalui peningkatan pendapatan petani dan penurunan angka kemiskinan di kalangan petani. (88)

P E N E L I T I A N S A A T I N I

PENELITI (TAHUN) JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN YANG DIHARAPKAN

Aristiono Nugroho, Suharno, Nuraini Aisiyah (2019)

Reforma Agraria: Threat Dan Treatment Untuk Kesejahteraan dan Keadilan Sosial (Studi di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur)

1. Threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria, redistribusi tanah, legalisasi asset hasil redistribusi tanah, dan reforma akses terhadap tanah hasil redistribusi yang telah dilegalisasi di Kabupaten Blitar.

2. Konstruksi kesejahteraan dan keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di Kabupaten Blitar.

Page 14: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

9

E. Kerangka Teoritis

1. Threat dan Treatment

a. Threat

Sondang P. Siagian dalam “Manajemen Strategik” (2000:173)

menjelaskan, bahwa threat dapat dimaknai sebagai ancaman, yang dihadapi

suatu program tertentu. Tepatnya, threat meliputi beberapa faktor yang

tidak menguntungkan bagi pelaksanaan suatu kegiatan atau program.

Oleh karena itu, Freddy Rangkuti (2004:20) menyatakan, bahwa

setiap kegiatan atau program harus mampu memanfaatkan berbagai

peluang dengan memperhatikan threat, dengan cara sebagai berikut:

Pertama, bila peluang akan digunakan untuk memanfaatkan adanya

kekuatan internal, maka kegiatan harus dilaksanakan secara agresif. Kedua,

bila kekuatan internal akan digunakan untuk menghadapi threat, maka

kegiatan harus dilaksanakan secara diversifikatif. Ketiga, bila peluang akan

digunakan untuk mengatasi kelemahan internal, maka kegiatan harus

dilaksanakan secara reduktif. Keempat, bila kegiatan memiliki kelemahan

internal, tetapi harus dilaksanakan dengan menghadapi threat, maka

kegiatan harus dilaksanakan secara defensif.

Sementara itu, Collins Dictionary (2019a) menjelaskan, bahwa threat

dimaknai sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan masalah (keburukan).

Selain itu, threat juga dapat dimaknai sebagai sesuatu (keburukan) yang

akan terjadi, bila tindakan suatu pihak tidak sesuai dengan yang seharusnya

dilakukan.

Berdasarkan berbagai pemahaman tersebut, maka dalam konteks

reforma agraria, threat dapat dimaknai sebagai ancaman, tantangan,

hambatan, gangguan, dan kendala yang dihadapi kantor pertanahan dalam

pelaksanaan reforma agraria. Threat perlu mendapat perhatian, karena ia

dapat menggagalkan pelaksanaan reforma agraria. Bila kantor pertanahan

ingin memanfaatkan kekuatan internal para pihak untuk menghadapi

threat, maka kegiatan reforma agraria harus dilaksanakan secara

Page 15: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

10

diversifikatif, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan peran dan

fungsi para pihak. Selain itu, bila kegiatan reforma agraria memiliki

kelemahan internal, padahal kegiatan tersebut menghadapi threat, maka

reforma agraria harus dilaksanakan secara defensif, terutama dalam hal-hal

yang berkaitan dengan upaya berpegang atau berpedoman pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Treatment

Treatment berkaitan dengan upaya pihak tertentu mengarahkan

tindakan atau perilaku pihak lain, agar sesuai dengan yang diharapkan

pihak tersebut. Selain itu, treatment juga berkaitan dengan pelibatan pihak

tertentu pada suatu kegiatan, yang dimaksudkan untuk memberi

perlindungan atau pelayanan tertentu pada pihak lain (Collins Dictionary,

2019b)

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam konteks reforma

agraria, treatment dapat dimaknai sebagai upaya kantor pertanahan dalam

mengarahkan tindakan para pihak, agar sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, treatment juga dapat

dimaknai sebagai pelibatan kantor pertanahan pada kegiatan reforma

agraria, yang dimaksudkan untuk memberi pelayanan pada para pihak yang

terkait dengan kegiatan tersebut.

2. Hak Bangsa

Bangsa Indonesia beruntung, karena para pendiri Negara Kesatuan

Republik Indonesia telah mempersiapkan infrastruktur ideologi dan konstitusi

dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana diketahui, Bangsa Indonesia memiliki

ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia juga memiliki

konstitusi negara, yaitu UUD (Undang-Undang Dasar) Tahun 1945. Ideologi

dan konstitusi tersebut memberi ruang yang sangat memadai bagi Bangsa

Indonesia untuk menjalankan hak-haknya sebagai bangsa.

Page 16: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

11

Ketika menjelaskan tentang UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Budi

Harsono (2003:267-270) menyatakan, bahwa Hak Bangsa merupakan Hak

Penguasaan Tanah tertinggi sebagaimana tersusun dalam hirarkhi, sebagai

berikut: Pertama, Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA). Kedua, Hak

Menguasai oleh Negara (Pasal 2 UUPA). Ketiga, Hak Ulayat masyarakat adat

(Pasal 3 UUPA). Keempat, hak perorangan (Pasal 4, 16, 37, 41, dan 53 UUPA).

Hak Bangsa mengandung unsur, sebagai berikut: Pertama, unsur

kepunyaan. Kedua, unsur tugas dan kewenangan, untuk mengatur dan

memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya,

yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara. Dengan demikian

kekuasaan negara atas sumberdaya alam bersumber pada hak yang dimiliki

oleh suatu bangsa (Hak Bangsa). Negara dalam hal ini dipandang sebagai

lembaga masyarakat umum, sehingga memiliki wewenang dan kekuasaan

untuk mengatur, mengurus, memelihara, dan mengawasi pemanfaatan seluruh

potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif

(Arisaputra, 2015:98).

Sementara itu, Muhammad Bakri (2011:17) menjelaskan, bahwa Hak

Bangsa Indonesia atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya bukanlah Hak Milik, melainkan hak bersama yang

diangkat pada tingkatan tertinggi pada seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena

itu, Hak Bangsa memiliki dua aspek, yaitu: Pertama, aspek keperdataan, yang

memiliki makna bahwa seluruh sumberdaya alam di wilayah Indonesia

merupakan kepunyaan Bangsa Indonesia secara bersama-sama. Kedua, aspek

publik, yang memiliki makna bahwa Bangsa Indonesia mempunyai kewajiban

untuk mengelola, mengatur, dan memimpin penguasaan, peruntukan, dan

penggunaan sumberdaya alam tersebut.

3. Hak Menguasai Negara

Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan Pasal 1 UUPA memberi arahan,

bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai

Page 17: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

12

organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak untuk menjalankan kewenangan ini

disebut Hak Menguasai oleh Negara, atau biasa diringkas menjadi Hak

Menguasai Negara.

Hak Menguasai Negara memberi wewenang pada negara, untuk:

Pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. Kedua,

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Ketiga, menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan

hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (sumber: Pasal 2 ayat (2)

UUPA).

Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai Negara tersebut

digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti

kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara

hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Hak Menguasai

Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat

sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

(sumber: Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUPA).

4. Reforma Agraria

Ide reforma agraria telah dimuat dalam UUPA, khususnya pada Pasal 7,

10, dan 17. Meskipun cakupan ide tersebut hanyalah terbatas pada konsep

landreform (bagian dari reforma agraria). Bernhard Limbong (2012a:171)

menjelaskan, bahwa UUPA telah memuat program agrarian reform, sebagai

berikut: Pertama, pembaharuan hukum agraria nasional melalui unifikasi

hukum. Kedua, penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah.

Ketiga, mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. Keempat,

perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah untuk mewujudkan

pemerataan kemakmuran dan keadilan. Kelima, perencanaan persediaan,

peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa, dan

Page 18: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

13

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan daya dukung dan

kemampuannya.

Berbekal semangat agrarian reform tersebut dan sesuai dengan

perkembangan zaman, maka dilaksanakanlah reforma agraria, yang meliputi:

reforma regulasi, reforma asset, dan reforma akses, yang perinciannya sebagai

berikut:

a. Reforma Regulasi

Adakalanya regulasi tidak mendukung atau gagal mendukung reforma

agraria, atau menghambat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial.

Maria S.W. Soemardjono dalam “Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi

Kebijakan” yang dimuat Kompas.com pada 9 Oktober 2012 menyatakan,

bahwa ada lima karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral,

yaitu: Pertama, berorientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan

keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, serta hanya digunakan sebagai alat

pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan

devisa negara. Kedua, lebih berpihak pada pemodal besar. Ketiga, ideologi

penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam terpusat pada negara

sehingga bercorak sentralistik. Keempat, pada saat koordinasi antar sektor

lemah, justru sumberdaya dikelola secara sektoral. Kelima, tidak memberi

perlindungan hak asasi manusia secara proporsional.

Sementara itu dalam konteks reforma agraria, Muhammad Ilham

Arisaputra (2015:18-19) menjelaskan, bahwa reforma agraria selalu

berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan politik, serta hubungan antara

keduanya. Oleh karena itu, reforma agraria harus mencakup: Pertama,

instrumen kebijakan agraria yang mengacu pada perubahan yang relatif

kecil, seperti: subsidi dan tarif pajak. Kedua, perubahan struktural yang

mampu mengubah struktur pertanian, seperti: program kredit, dan

investasi di bidang infrastruktur. Ketiga, reformasi kelembagaan yang

mampu mengubah dasar ekonomi pedesaan dan masyarakat, seperti:

redistribusi tanah dan perubahan sistem penyewaan tanah secara kolektif.

Page 19: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

14

Untuk itu, reforma agraria wajib meliputi tiga konsep utama, yaitu:

Pertama, landreform, yang merupakan program penataan kembali struktur

pemilikan dan penguasaan tanah agar lebih adil. Kedua, accessreform, yang

merupakan program penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah agar

lebih produktif, melalui pemberian fasilitas kredit modal usaha tani, dan

bantuan pemasaran produk pertanian. Ketiga, regulation reform, yang

merupakan program penataan dan pengaturan kebijakan dan hukum yang

berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil (peasant).

Regulation reform atau reforma regulasi inilah yang menjadi unsur

penting dalam pelaksanaan reforma agraria. Penataan dan pengaturan

kebijakan dan hukum yang berpihak pada rakyat, khususnya petani kecil,

perlu diimplementasikan melalui pelaksanaan reforma asset (assetreform)

dan reforma akses (accessreform).

b. Reforma Asset

Bagi petani dan sebagian besar masyarakat Indonesia, tanah

merupakan asset berharga yang akan dijaganya dengan sepenuh hati.

Sebagai asset, maka penguasaan dan pemilikan tanah serta tindakan

pengadministrasiannya merupakan sesuatu yang penting, serta perlu

direformasi. Reforma asset dapat menjadi dasar bagi pembangunan sosial

dan ekonomi, dalam kehidupan masyarakat yang semakin maju dan

demokratis. Sebagaimana diketahui reforma asset terdiri dari tiga konsepsi

utama, yang perlu dilaksanakan secara terpadu. Konsepsi utama tersebut

terdiri dari landreform, redistribusi tanah, dan legalisasi asset, yang

princiannya sebagai berikut:

(1) Landreform

Boedi Harsono (dalam Santoso, 2012:207) menjelaskan, bahwa

landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian

reform, yang meliputi perombakan struktur penguasaan dan pemilikan

tanah, serta hubungan hukum yang terkait dengan penguasaan tanah.

Page 20: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

15

Oleh karena itu, menurut Lipton (dalam Limbong, 2012b:48)

dalam landreform perlu dilakukan pengambil-alihan tanah yang

sifatnya wajib oleh negara dari pemilik tanah luas, dengan memberi

kompensasi agar pengambil-alihan tersebut memberi manfaat optimal

bagi semua pihak.

Senada dengan pandangan Lipton, maka A.P. Parlindungan

(1983:4) mengungkapkan adanya aspek politik dalam landreform. Ia

menjelaskan, bahwa landreform memiliki adagium “land to the tiller”,

yang berguna untuk menyemangati para petani penggarap dalam

menghadapi landlord.

Pandangan Boedi Harsono, Lipton, dan A.P. Parlindungan

memperlihatkan relasi antara landreform dengan pengambil-alihan

tanah oleh negara dari pemilik tanah luas atau landlord, untuk

kemudian dibagikan kepada para pemilik tanah sempit atau petani

penggarap (tiller). Hal inilah yang mendasari kegiatan redistribusi

tanah dalam pelaksanaan landreform atau reforma asset (asset reform).

(2) Redistribusi Tanah

Russet King (dalam Hutagalung, 1985) menyatakan, bahwa

redistribusi tanah merupakan pengambil-alihan sebagian tanah, atau

seluruh tanah milik tuan tanah, yang kemudian diserahkan kepada

petani yang bertanah sempit atau petani yang tidak mempunyai tanah.

Untuk melengkapi keterangan Russet King, maka E. Jacoby (dalam

Hutagalung, 1985) menjelaskan bahwa landreform memiliki tiga

tahapan, yaitu: pengambil-alihan tanah, redistribusi tanah, dan

penyesuaian unit-unit pertanian baru.

Pandangan Russet King dan E. Jacoby selanjutnya dilengkapi oleh

Diyan Isnaeni (2017: 310) dengan mengungkapkan tujuan redistribusi

tanah, yaitu: Pertama, untuk mengadakan pembagian yang adil atas

sumber kehidupan rakyat, yang berupa tanah. Kedua, untuk

melaksanakan prinsip “tanah untuk petani”, agar tanah tidak lagi

Page 21: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

16

dijadikan ajang spekulasi. Ketiga, untuk mengakhiri sistem tuan tanah

dan menghapuskan penguasaan dan pemilikan tanah secara besar-

besaran. Keempat, untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas

tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Kelima, untuk mempertinggi

produksi nasional, dan mendorong terselenggaranya yang intensif.

Keenam, untuk mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan

kerja bagi masyarakat miskin.

Dengan demikian ketika dalam rangka landreform, telah

dilakukan pengambil-alihan tanah oleh negara dari pemilik tanah luas

dengan memberi kompensasi, maka redistribusi tanah merupakan

tahapan selanjutnya yang sangat penting. Urgensi tahapan ini nampak,

ketika berupaya membumikan adagium “land to the tiller”.

(3) Legalisasi Asset

Legalisasi asset adalah proses administrasi pertanahan, yang

meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta penerbitan

sertipikat hak atas tanah (Mediatataruang.com, 2016). Sementara itu

diketahui, bahwa adjudikasi merupakan serangkaian kegiatan, yang

terdiri dari: Pertama, pengumpulan data fisik dan data yuridis. Kedua,

pengumuman data fisik dan data yuridis. Ketiga, penetapan dan/atau

penerbitan surat keputusan pengakuan atau pemberian hak atas tanah.

Pasca legalisasi asset, maka para peserta reforma agraria atau

penerima redistribusi tanah telah mempunyai bukti yang kuat atas

kepemilikan tanahnya. Oleh karena itu, beberapa pihak menyebut

kegiatan ini (legalisasi asset) sebagai “penguatan asset”. Tetapi ada pula

beberapa pihak tertentu yang memberi sebutan lebih teknis, yaitu

“pendaftaran tanah”. Bagi mereka sebutan ini lebih tepat secara yuridis,

karena sesuai dengan terminologi yang digunakan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Page 22: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

17

c. Reforma Akses

Bernhard Limbong (2012b:299) menjelaskan, bahwa access-reform

(reforma akses) merupakan penyediaan sarana bagi masyarakat (penerima

redistribusi tanah), untuk mengembangkan tanah pertanian sebagai

sumber kehidupan petani, yang meliputi partisipasi ekonomi politik, modal,

pasar, teknologi, pendampingan, serta peningkatan kapasitas dan

kemampuan.

Dalam konteks reforma akses, pemerintah memberikan fasilitasi

akses kepada masyarakat, baik akses masyarakat ke tanahnya itu sendiri,

maupun akses masyarakat ke instrumen penunjang agar mereka dapat

mengelola tanahnya dengan baik (optimal), seperti: akses permodalan.

Tepatnya, pemerintah terlibat dalam semua mekanisme reforma agraria,

dalam bingkai tanggungjawab dan pengawasan (Arisaputra, 2015:142).

Dengan demikian reforma akses merupakan suatu upaya untuk

memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, guna

mengelola tanahnya atas dukungan dari pemerintah, berupa sarana dan

prasarana produksi. Kondisi ini juga menunjukkan urgensi penataan dan

pemanfaatan tanah yang lebih produktif, agar petani semakin dekat dengan

sumber-sumber ekonomi.

5. Kesejahteraan Sosial

R. Krenenburg (Limbong 2012c:75) menyatakan, bahwa negara harus

secara aktif mengupayakan kesejahteraan dan bertindak adil, sehingga dapat

dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata dan seimbang. Negara

dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah

ekonomi yang dihadapi rakyatnya.

Pendapat yang senada dengan pandangan R. Krenenburg disampaikan

oleh Darmawan T. dan Sugeng B. (2006:21), yang menyatakan bahwa fungsi

dasar negara adalah mengatur untuk menciptakan law and order, serta

mengurusnya untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu menurut Joseph

Agassi (1990:2) ada empat tipe negara dalam konteks kesejahteraan, yaitu

Page 23: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

18

negara tradisional, negara kolektif, negara individualis, dan negara

kesejahteraan.

Sementara itu, Bernhard Limbong (2012c:27) menyatakan, bahwa

kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya atau terjangkaunya

pelayanan kebutuhan masyarakat. Penjelasan Bernhard Limbong kemudian

dilengkapi oleh Muhammad Ilham Arisaputra (2015:36) dengan berkata,

bahwa kesejahteraan sosial merupakan fungsi terorganisir sekumpulan

kegiatan untuk memberi kemungkinan bagi individu-individu, keluarga-

keluarga, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas menanggulangi

masalah yang dihadapi.

Dalam konteks reforma agraria, kesejahteraan sosial dimaknai sebagai

kondisi terpenuhi atau terjangkaunya pelayanan kebutuhan masyarakat

reforma agraria. Selain itu, kesejahteraan sosial juga dimaknai sebagai fungsi

terorganisir kegiatan reforma agraria, untuk memberi kemungkinan bagi

masyarakat (penerima redistribusi tanah) menanggulangi masalah yang

dihadapi.

6. Keadilan Sosial

Michael Slote dalam “Justica as a Virtue” (2010) yang dimuat dalam The

Stanford Encyclopedia of Philosophy menyatakan tentang adanya tiga

pandangan filosofis tentang keadilan, yaitu: Pertama, pandangan Plato, bahwa

keadilan merupakan keutamaan (virtue), yang muncul dari upaya reflektif

individu mengenai cara hidup yang baik, dan sesuai dengan etika. Kedua,

pandangan Aristoteles, bahwa keadilan yang merupakan keutamaan tidak

hanya muncul dari individu, melainkan juga muncul dalam lingkup yang lebih

luas pada komunitas.

Sementara itu, John Rawls (2011:13) menyatakan, bahwa keadilan yang

baik adalah keadilan yang bersifat kontrak, yang menjamin kepentingan

semua pihak secara fair. Dalam keadilan sebagai fairness, terdapat dua prinsip

yang penting, yaitu: Pertama, prinsip kebebasan, yakni setiap orang harus

memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas

Page 24: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

19

kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, prinsip ketidak-samaan,

yakni ketidak-samaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, agar

dapat memberi keuntungan pada setiap orang, dan semua jabatan dan posisi

harus terbuka bagi semua orang.

Ketika keadilan disentuhkan dengan aspek sosial (kemasyarakatan),

maka muncul terminologi “keadilan sosial”. Sebagaimana diketahui, keadilan

sosial merupakan keadilan yang berkaitan dengan moral sosial atau moral

masyarakat. Friedrich von Hayek (dalam Swift, 2006:9) menjelaskan, bahwa

terdapat perbedaan istilah antara individu dengan masyarakat dalam konteks

keadilan sosial. Ia menyatakan, bahwa individu disebut “agent”, sedangkan

masyarakat disebut “society”.

Keadilan sosial berkaitan erat dengan hak-hak manusia terhadap segala

sesuatu yang dapat menunjang kehidupannya. Sumberdaya agraria

merupakan sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia, sehingga

pengelolaannya perlu memenuhi asas-asas keadilan sosial, yang ternyata

relevan dengan tujuan akhir reforma agraria.

BAGAN ALIR KERANGKA TEORITIK:

BANGSA INDONESIA

PANCASILA UUD 1945

HAK BANGSA

HAK

MENGUASAI

NEGARA

REFORMA AGRARIA

REFORMA REGULASI REFORMA AKSESREFORMA ASSET

KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL

Page 25: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

20

F. Kerangka Konseptual

Bangsa Indonesia memiliki Pancasila dan UUD Tahun 1945, yang

selanjutnya melegitimasi penerapan Hak Bangsa. Hak Bangsa Indonesia atas

bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

bukanlah Hak Milik, melainkan hak bersama yang diangkat pada tingkatan

tertinggi pada seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, UUD Tahun 1945 juga memberi dasar bagi diterapkannya Hak

Menguasai Negara, yang bersumber dari Hak Bangsa. Berdasarkan Hak Bangsa

dan Hak Menguasai Negara inilah, maka pemerintah sebagai personifikasi negara

melaksanakan reforma agraria. Wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai

Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam

masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan

makmur.

Berdasarkan Hak Bangsa dan Hak Menguasai Negara, maka pemerintah

sebagai personifikasi negara berupaya melakukan kegiatan, yang dapat

mewujudkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Sementara itu,

kesejahteraan sosial dan keadilan sosial dapat tercapai bila anggota masyarakat

yang tidak memiliki tanah dapat memiliki tanah. Untuk itu, pemerintah

menetapkan pelaksanaan reforma agraria.

Reforma agraria dilaksanakan dengan melakukan reforma regulasi, yang

selanjutnya memberi dorongan bagi dilaksanakannya reforma asset dan reforma

akses. Penataan dan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada

rakyat, khususnya petani kecil, diimplementasikan melalui pelaksanaan reforma

asset dan reforma akses.

Pada reforma asset dilaksanakan redistribusi tanah (sebagai bagian dari

kegiatan landreform), yang kemudian dilanjutkan dengan legalisasi asset.

Redistribusi tanah merupakan tahapan lanjutan dari pengambil-alihan tanah oleh

negara. Tahapan ini merupakan penanda keberhasilan penerapan adagium “land

to the tiller”. Sementara itu, legalisasi asset adalah proses administrasi

Page 26: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

21

pertanahan, yang meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta

penerbitan sertipikat hak atas tanah

Pasca legalisasi asset dilakukanlan reforma akses, agar mereka yang

menerima redistribusi tanah dapat memperoleh kesejahteraan sosial.

Sebagaimana diketahui kesejahteraan sosial dimaknai sebagai fungsi terorganisir

kegiatan reforma agraria, untuk memberi kemungkinan bagi masyarakat

(penerima redistribusi tanah) menanggulangi masalah yang dihadapi.

Akhirnya, seluruh kegiatan tersebut bermuara pada pencapaian keadilan

sosial, yang berkaitan erat dengan hak-hak manusia dan segala sesuatu yang

menunjang kehidupannya. Ada dua prinsip yang penting dalam konsep keadilan

(termasuk keadilan sosial), yaitu: Pertama, prinsip kebebasan, yakni setiap

orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,

seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, prinsip ketidak-samaan,

yakni ketidak-samaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, agar

dapat memberi keuntungan pada setiap orang, dan semua jabatan dan posisi

harus terbuka bagi semua orang.

BAGAN ALIR KERANGKA KONSEPTUAL:

R E F O R M A

A G R A R I A

REFORMA

ASSET

REFORMA

REGULASI

REFORMA

AKSES

REDISTRIBUSI

TANAH

LEGALISASI

ASSET

KESEJAHTERAAN

SOSIAL

KEADILAN

SOSIAL

Page 27: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

22

B A B III

M E T O D E P E N E L I T I A N G. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini tergolong Jenis Penelitian Kualitatif, yang memusatkan

perhatian atau kajiannya pada keunikan fenomena yang ada, dengan

menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1998:5). Sementara itu, Pendekatan

Rasionalistik digunakan pada penelitian ini, karena merupakan pendekatan

penelitian yang dibangun berdasarkan Filsafat Rasional, yang menyatakan bahwa

ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang mampu dikonstruksi melalui

kemampuan berargumen secara logik (lihat Muhajir, 1998: 55). Jenis Penelitian

Kualitatif dengan Pendekatan Rasionalisitik yang digunakan pada penelitian ini

memberi kesempatan pada peneliti untuk memperoleh data kualitatif dari para

informan (Moleong, 2007:4).

H. Langkah Kerja Operasional

1. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini, terdiri dari: (1) Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar, (2) Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara beserta staf,

(3) Kepala Seksi Penataan Penguasaan Tanah dan staf, (4) Kepala Seksi

Infrastruktur Pertanahan dan staf, (5) Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan staf,

serta (6) tokoh masyarakat setempat.

2. Penetapan Informan

Pada penelitian ini informan ditetapkan dengan memperhatikan

pengertian, bahwa informan terdiri dari subyek penelitian yang

berkesempatan memberi informasi (Moleong, 2007:224). Oleh karena itu,

informan pada penelitian ini adalah individu yang mampu memberi informasi

tentang tantangan (threat) dan treatment pada pelaksanaan reforma agraria.

Page 28: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

23

3. Jumlah Informan

Jumlah informan pada penelitian ini bersifat situasional dan kondisional.

Moleong (2007:224) telah menjelaskan, bahwa jumlah informan tidaklah

mengikat, sebab jumlah ini ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan

informasi yang diperlukan. Jika tidak ada lagi informasi yang diperlukan

penggalian informasi dari informan berikutnya dapat dihentikan. Secara real

pada penelitian ini telah dilakukan wawancara terhadap 9 orang informan.

4. Pemilihan Informan

Informan pada penelitian ini dipilih secara purposive, agar peneliti dapat

memperoleh informasi secara akumulatif dari orang yang tepat (Moleong,

2007:224). Selanjutnya, setelah memperhatikan situasi dan kondisi, serta

mempertimbangkan informasi yang diperlukan, maka secara purposive telah

dipilih informan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Masduki (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar);

b. Budi (Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara);

c. Fathoni (Kepala Seksi Infrastruktur Pertanahan);

d. Misbachu Surur (Kepala Sub Bagian Tata Usaha);

e. Ulyan Khalif (Staf Seksi Penataan Penguasaan Tanah);

f. Erza (Staf Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara);

g. Harsono (Staf Seksi Penataan Penguasaan Tanah);

h. Wira (Staf Sub Bagian Tata Usaha);

i. Kinan (Tokoh Paguyuban Warga Tani Kulonbambang).

5. Data Yang Diperoleh

Berdasarkan sumbernya, data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri

dari:

a. Data Primer, diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan, yang

substansinya tercantum dalam interview guide, seperti:

(1) Threat dan treatment pelaksanaan kebijakan reforma agraria.

Page 29: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

24

(2) Threat dan treatment pelaksanaan reforma asset, yaitu landreform,

redistribusi tanah, dan legalisasi asset.

(3) Threat dan treatment pelaksanaan reforma akses

(4) Wujud kesejahteraan dan keadilan sosial di kalangan peserta reforma

agraria.

b. Data Sekunder, diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, seperti:

(1) Realisasi redistribusi tanah di Provinsi Jawa Timur, tahun 2007 – 2017.

(2) Realisasi redistribusi tanah di Kabupaten Blitar, tahun 2007 – 2017.

6. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data

a. Pengambilan data primer dari informan dilakukan dengan menggunakan

teknik wawancara, serta memanfaatkan instrumen panduan wawancara

(interview guide) dan alat pencatat.

b. Pengambilan data sekunder dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

dilakukan dengan teknik dokumentasi, serta menggunakan instrumen alat

pencatat.

7. Teknik Analisis Data

Pada penelitian kualitatif digunakan suatu teknik analisis data yang khas

kualitatif, yang tahapannya sebagai berikut:

a. Telaah Awal Seluruh Data

Tahap ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data secara cermat, yang

bersumber dari para informan, yang materinya relevan dengan pertanyaan

penelitian;

b. Reduksi dan Abstraksi Data

Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan penghapusan sebagian data

yang meskipun relevan tetapi tidak diperlukan dalam menyusun abstraksi;

c. Penyusunan Satuan Informasi Terkecil

Tahap ini dilakukan dengan cara menyusun abstraksi data dalam satuan-

satuan informasi terkecil yang mengandung makna, dan dapat berdiri

Page 30: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

25

sendiri. Satuan-satuan informasi ini harus memiliki makna yang terkait

dengan pertanyaan penelitian, yang keberadaan maknanya tidak

tergantung pada keberadaan makna-makna lainnya. Tepatnya, saat makna

ini secara tunggal diungkapkan, maka makna ini dapat difahami;

d. Pengelompokan Satuan Informasi Terkecil

Tahap ini dilakukan dengan cara mengelompokan satuan-satuan informasi

terkecil yang berhasil diperoleh dari penelitian ke dalam kategori-kategori,

yang disusun berdasarkan substansi yang terkait dengan pertanyaan

penelitian;

e. Penyusunan Pernyataan Proposisional

Tahap ini dilakukan dengan menyusun pernyataan logis, yang diperoleh

dari masing-masing kategori. Pernyataan ini (pernyataan proposisional)

merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian, yang sekaligus merupakan

penjelasan atas fenomena yang sedang diteliti.

(Sumber: Moleong, 2007:248-277).

Page 31: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

26

B A B IV

THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA REGULASI

Pelaksanaan reforma agraria di wilayah Kabupaten Blitar, dilakukan dengan

memperhatikan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan reforma agraria,

dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan reforma agraria, antara

lain: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2)

Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumberdaya Alam; (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria; (4) Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan; (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; (7) Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (8) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009

tentang Perlindungan Tanah Pertanian Pangan Berkelanjutan; (9) Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; (10)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (11) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (12) Peraturan Pemerintah Nomor

224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti

Kerugian; (13) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan

dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; (14) Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai

Atas Tanah; (15) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (16) Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun

2018 tentang Reforma Agraria;

Page 32: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

27

Peraturan terbaru, yang sekaligus merupakan kebijakan terbaru reforma

agraria adalah Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria,

yang memiliki sistematika sebagai berikut: Pertama, Ketentuan Umum (Bab I: Pasal

1); Kedua, Tujuan (Bab II: Pasal 2); Ketiga, Penyelenggaraan Reforma Agraria (Bab

III: Pasal 3-16), terdiri dari: (1) Umum (Bagian Kesatu: Pasal 3); (2) Perencanaan

Reforma Agraria (Bagian Kedua: Pasal 4); (3) Pelaksanaan Reforma Agraria (Bagian

Ketiga: Pasal 5-16), yang terdiri dari: (a) Pelaksanaan Reforma Agraria (Pasal 5); (b)

Penataan Asset (Paragraf 1: Pasal 6-14); (c) Penataan Akses (Paragraf 2: Pasal 15-

16); Keempat, Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria (Bab IV: Pasal 17);

Kelima, Kelembagaan Reforma Agraria (Bab V: Pasal: 18-23); Keenam, Kewajiban

dan Larangan Penerima Tanah Obyek Reforma Agraria (Bab VI: Pasal 24-26);

Ketujuh, Pendanaan (Bab VII: Pasal 27); Kedelapan, Pelaporan (Bab VIII: Pasal 28-

29); Kesembilan, Peran Serta Masyarakat (Bab IX: Pasal 30); Kesepuluh,

Ketentuan Penutup (Bab X: Pasal 31-33).

Sesungguhnya peraturan perundang-undangan reforma agraria sudah relatif

lengkap, meskipun adakalanya terdapat threat regulasi reforma agraria. Oleh karena

itu, hal yang mendesak dalam reforma regulasi bukanlah menciptakan regulasi baru

atau mengganti secara total regulasi yang ada, melainkan mencermati threat dalam

regulasi dan menyiapkan treatmentnya, terutama regulasi yang menjadi acuan

utama pelaksanaan reforma agraria, yaitu Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun

2018 tentang Reforma Agraria.

I. Threat Dalam Regulasi

Regulasi reforma agraria (agrarian reform regulation) yang meliputi

regulasi reforma asset (asset reform regulation) dan regulasi reforma akses

(access reform regulation) ternyata juga membutuhkan reformasi, yang lebih

dikenal dengan sebutan “reforma regulasi” atau “regulation reform”. Pada

akhirnya reforma regulasi inilah yang menjadi unsur penting dalam pelaksanaan

reforma agraria, karena berisi perbaikan (reforma) atas kebijakan yang berpihak

pada rakyat, masyarakat, petani kecil, atau petani penggarap.

Page 33: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

28

Reforma regulasi diwujudkan dalam bentuk perbaikan kebijakan yang

terkait dengan pengelolaan sumberdaya agraria/tanah, agar tidak menghambat

reforma agraria. Tepatnya, diperlukan perbaikan terjadap beberapa kebijakan

yang bersifat eksploitatif, sentralistik, sektoral, berpihak pada pemodal besar,

dan mengabaikan hak asasi manusia. Selain itu, reforma regulasi juga perlu

menjangkau perubahan kebijakan yang terkait dengan subsidi dan tarif pajak,

agar perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah semakin adil.

Sementara itu, dalam konteks pedesaan reforma regulasi perlu menjangkau

kebijakan yang terkait dengan redistribusi tanah, program kredit, dan investasi di

bidang infrastruktur.

Tetapi reforma regulasi dalam pelaksanaannya berpeluang mengalami

threat atau ancaman, tantangan, hambatan, dan kendala, sehingga gagal memberi

manfaat bagi pelaksanaan reforma agraria. Oleh karena itu, reforma regulasi

perlu dilakukan secara agresif-diversifikatif, agar dapat memanfaatkan kekuatan

internal untuk menghadapi threat yang ada, terutama dalam hal-hal yang

berkaitan dengan peran dan fungsi para pihak. Selain itu, reforma regulasi juga

perlu dilakukan secara reduktif-defensif, untuk mengatasi kelemahan internal,

agar mampu menghadapi threat yang ada, terutama dalam hal-hal yang berkaitan

dengan upaya untuk berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Uniknya, setelah memperhatikan Perpres 86 Tahun 2018 sebagai kebijakan

bagi pelaksanaan reforma agraria, maka diketahui adanya beberapa threat dalam

regulasi tersebut, yang dapat disarikan sebagai berikut:

1. Regulasi landreform yang ada justru menjadi threat, ketika upaya mengatasi

ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2 Perpres 86 Tahun

2018) mengalami kesulitan, karena pemerintah masih terus mengandalkan

kemajuan pertanian pada pengelolaan tanah berskala besar, terutama yang

dikelola oleh perusahaan besar atau korporasi.

2. Regulasi redistribusi tanah yang ada justru menjadi threat, ketika subyek

reforma agraria (Pasal 12 Perpres 86 Tahun 2018) terlalu luas, sehingga sulit

Page 34: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

29

mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani gurem, penggarap, dan

buruh tani.

3. Regulasi legalisasi asset justru menjadi threat, ketika penanganan sengketa

dan konflik agraria difasilitasi oleh GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria).

Sementara itu diketahui, bahwa GTRA berjenjang dari Pusat hingga Provinsi

dan Kabupaten (Pasal 18-23 Perpres 86 Tahun 2018), sehingga memberi

peluang bagi terjadinya intervensi dari GTRA level atas terhadap GTRA level di

bawahnya. Hal ini akan menyulitkan GTRA di level terbawah dalam mengambil

keputusan, padahal GTRA pada level inilah yang paling mengetahui konflik

agraria yang terjadi.

4. Regulasi reforma akses justru menjadi threat, ketika penataan akses (Pasal 15-

16 Perpres 86 Tahun 2018) memposisikan masyarakat hanya sebagai obyek,

dan belum bersedia memposisikan masyarakat sebagai subyek (pihak yang

menentukan kebutuhannya sendiri).

J. Treatment Bagi Regulasi

Sebagaimana diketahui reforma agraria memiliki dua elemen penting, yang

menentukan keberhasilannya, yaitu:

1. Akses ke pengelolaan tanah, yang diatasi dengan reforma asset atau asset

reform (terdiri dari: landreform, redistribusi tanah, dan legalisasi asset).

2. Akses ke instrumen penunjang pengelolaan tanah, yang diatasi dengan

reforma akses atau access reform.

Reforma asset dan reforma akses memerlukan regulasi pendukung, agar

keduanya dapat dilaksanakan dengan baik, dan dampak reforma agraria dapat

dirasakan oleh masyarakat (petani penggarap). Tetapi ada kalanya regulasi yang

ada tidak mampu mewujudkan dampak tersebut, sehingga akhirnya diperlukan

reforma regulasi. Uniknya, reforma regulasi juga mengalami threat, sehingga

memerlukan treatment.

Treatment mendorong semua pihak yang terkait dengan reforma agraria,

untuk bertindak relevan dengan kebutuhan reforma asset dan reforma akses.

Untuk itu, semua pihak yang terkait perlu memberi perlindungan atau pelayanan

Page 35: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

30

reforma agraria kepada masyarakat. Secara real, hal tersebut menuntut upaya

kantor pertanahan dalam mengarahkan tindakan para pihak, agar sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, pelibatan kantor

pertanahan pada kegiatan reforma agraria, harus memiliki dampak optimal bagi

kemanfaatannya di masyarakat.

Uniknya, kantor pertanahan dan pihak-pihak terkait harus tunduk pada

kebijakan reforma agraria yang ditetapkan oleh pemerintah, yang tertuang dalam

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Padahal

terdapat threat pada Perpres 86 Tahun 2018 sebagai kebijakan pelaksanaan

reforma agraria, sehingga diperlukan treatment, sebagai berikut:

1. Regulasi landreform membutuhkan treatment untuk mengatasi ketimpangan

penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2 Perpres 86 Tahun 2018). Oleh

karena itu, pemerintah perlu mengubah paradigma kemajuan pertanian dari

sebelumnya kemajuan berbasis pengelolaan tanah berskala besar (perusahaan

besar atau korporasi), menjadi berbasis pada pengelolaan tanah berskala kecil

(petani, kelompok tani, dan koperasi tani).

2. Regulasi redistribusi tanah, membutuhkan treatment untuk dapat fokus pada

upaya mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani gurem,

penggarap, dan buruh tani. Oleh karena itu, subyek reforma agraria (Pasal 12

Perpres 86 Tahun 2018) yang terlalu luas perlu dipersempit.

3. Regulasi legalisasi asset, membutuhkan treatment dalam hal penanganan

sengketa dan konflik agraria yang difasilitasi oleh GTRA. Oleh karena itu, GTRA

yang berjenjang dari Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten (Pasal 18-23

Perpres 86 Tahun 2018) perlu diantisipasi dengan menciptakan efektivitas

kerja, melalui pemberian kewenangan pada GTRA di level paling bawah atau

GTRA Kabupaten, untuk mengambil keputusan sesuai dengan situasi dan

kondisi setempat.

4. Regulasi reforma akses, membutuhkan treatment berupa penguatan peran

serta masyarakat (petani penggarap) setempat sebagai subyek atau pihak

yang paling mengetahui kebutuhannya, karena regulasi hanya memberi posisi

Page 36: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

31

masyarakat sebatas obyek dalam penataan akses (Pasal 15-16 Perpres 86

Tahun 2018).

Untuk lebih mudah memahami beberapa treatment yang dapat dilakukan

agar mampu mengatasi threat pada regulasi reforma agraria, maka dapat

diperhatikan tabel berikut ini:

Tabel 2: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Regulasi Reforma Agraria

NO. R E G U L A S I R E F O R M A A G R A R I A

T H R E A T T R E A T M E N T

1.

Regulasi Landreform:

Paradigma kemajuan pertanian

berbasis pada pengelolaan tanah

berskala besar (perusahaan besar

atau korporasi), untuk mengatasi

ketimpangan penguasaan dan

pemilikan tanah (Pasal 2 Perpres

86 Tahun 2018).

Regulasi Landreform:

Paradigma kemajuan pertanian berbasis

pada pengelolaan tanah berskala kecil

(petani, kelompok tani, dan koperasi

tani), untuk mengatasi ketimpangan

penguasaan dan pemilikan tanah.

2. Regulasi Redistribusi Tanah:

Subyek reforma agraria terlalu

luas (Pasal 12 Perpres 86 Tahun

2018), sehingga tidak fokus pada

upaya pengentasan kemiskinan

yang menimpa para petani gurem,

penggarap, dan buruh tani.

Regulasi Redistribusi Tanah:

Subyek reforma agraria perlu

dipersempit, agar fokus pada upaya

pengentasan kemiskinan yang menimpa

para petani gurem, penggarap, dan

buruh tani.

3. Regulasi Legalisasi Asset:

GTRA berjenjang dari Pusat

hingga Provinsi dan Kabupaten

(Pasal 18-23 Perpres 86 Tahun

2018),

Regulasi Legalisasi Asset:

GTRA di level paling bawah atau

GTRA Kabupaten perlu diberi

kewenangan untuk mengambil

keputusan, sesuai dengan situasi dan

kondisi setempat.

4. Regulasi Reforma Akses:

Posisi masyarakat hanya sebatas

obyek dalam penataan akses

(Pasal 15-16 Perpres 86 Tahun

2018),

Regulasi Reforma Akses:

Penguatan peran serta masyarakat

setempat (petani penggarap) sebagai

pihak yang paling mengetahui

kebutuhannya.

Sumber: Data Primer, 2019

Page 37: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

32

B A B V

THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA ASSET K. Threat Dalam Reforma Asset

1. Threat Dalam Landreform

Pelaksanaan landreform cenderung top down, dan kurang memberi

peluang bagi terselenggaranya landreform yang bersifat bottom up. Akibatnya

banyak konflik agraria yang berlatar belakang landreform (ketimpangan

penguasaan dan pemilikan tanah) belum dapat ditangani. Dalam konteks ini,

Kabupaten Blitar memiliki wilayah konflik, yang meliputi 7 lokasi, dengan

perincian sebagai berikut:

a. Dusun Gondang Tapen, Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, seluas 854 Ha

(Perkebunan Gondang Tapen);

b. Dusun Penataran, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, seluas 400 Ha

(Perkebunan Nusantara XII);

c. Dusun Karangnongko, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, seluas 224 Ha

(Perkebunan Karangnongko);

d. Dusun Nyunyur, Desa Soso, Kecamatan Gandusari, seluas 368 Ha

(Perkebunan Nyunyur);

e. Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan dan Dusun Rejokaton, Desa

Sumberagung, Kecamatan Gandusari, seluas 558 Ha (Perkebunan Rotorejo

Kruwuk);

f. Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, seluas 504 Ha (Perkebunan Swaru

Buluroto) dan 434 Ha (Perkebunan Petung Ombo);

g. Desa Ngeni dan Desa Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto, serta Desa Serang,

Kecamatan Wonotirto, yang luas seluruhnya mencapai 2.117 Ha

(Perkebunan Gunung Nyamil).

Tetapi landreform yang cenderung top down atau landreform by grace,

tidak menyurutkan semangat para petani penggarap yang tidak memiliki

tanah untuk mendesakkan pelaksanaan landreform yang bersifat bottom up

Page 38: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

33

atau landreform by leverage. Situasi ini berpeluang mempengaruhi struktur

agraria, yang meliputi:

a. Land tenure, yaitu hak atas tanah atau penguasaan tanah; dan

b. Land tenancy, yaitu orang yang memiliki, menempati, menyewa, atau

menguasai sebidang tanah tertentu.

Desakan bagi pelaksanaan landreform nampak pada hadirnya berbagai

konflik agraria atau pertanahan di tanah perkebunan. Hal ini mempertegas

situasi, bahwa konflik agraria yang terjadi di suatu wilayah merupakan

penanda adanya threat dalam landreform. Situasi ini dapat dilihat di

Kabupaten Blitar, tepatnya di lokasi Perkebunan Nyunyur. Tindakan

Pemerintah Kabupaten Blitar memasukkan tanah seluas 100 Ha yang telah

diredistribusikan kepada petani (masyarakat) ke dalam hak guna usaha PT.

Nyunyur Baru, menimbulkan protes para petani yang berhak atas tanah

tersebut. Protes dikarenakan sesungguhnya tanah tersebut telah selesai

diredistribusikan kepada 185 rumah tangga petani tahun 1964 berdasarkan

SK (Surat Keputusan) Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964.

Oleh karena itu, masyarakat menuntut Pemerintah Kabupaten Blitar pada

tahun 1980. Masyarakat menuntut agar Pemerintah Kabupaten Blitar bersedia

mengembalikan tanah mereka yang berada dalam Perkebunan Nyunyur, yang

merupakan tanah obyek landreform tahun 1964.

Setelah melalui berbagai proses sejak dari Pemerintah Kabupaten Blitar

hingga Kementerian Dalam Negeri, maka tuntutan masyarakat dikabulkan

dengan diterbitkannya SK. Menteri Dalam Negeri Nomor 92/DJA/1981 tanggal

11 Agustus 1981, yang menyatakan bahwa hak guna usaha PT. Nyunyur Baru

telah dibatalkan, dan Pemerintah Kabupaten Blitar harus menyerahkan 100

Ha tanah Perkebunan Nyunyur yang menjadi hak masyarakat berdasarkan SK.

Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964.

Tetapi menurut masyarakat, tanah perkebunan yang diserahkan kepada

masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Blitar, merupakan tanah perkebunan

yang terjal dan berbatu, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian

dan permukiman. Padahal tanah yang dikuasai oleh masyarakat pada tahun

Page 39: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

34

1964 adalah tanah yang subur, tetapi telah dimasukkan oleh Pemerintah

Kabupaten Blitar ke dalam hak guna usaha PT. Kismo Handayani. Sebagaimana

diketahui, PT. Kismo Handayani merupakan nama baru PT. Nyunyur Baru,

yang kembali mengajukan hak guna usaha atas sisa tanah Perkebunan

Nyunyur, seluas 368 Ha. Perusahaan ini telah mengantongi hak guna usaha

untuk jangka waktu 25 tahun, terhitung 1985-2010.

Selain di Perkebunan Nyunyur, threat dalam landreform juga nampak

pada situasi di Perkebunan Petung Ombo. Konflik pertanahan di Perkebunan

Petung Ombo melibatkan petani, militer, dan penegak hukum. Konflik ini telah

berlangsung sejak tahun 1960, yang memiliki akar masalah berupa pengambil-

alihan tanah rakyat secara represif (repressive approach).

Perkebunan Petung Ombo terdiri dari tanaman karet, kopi, kelapa,

cengkeh, tebu, dan beberapa tanaman palawija, peternakan ayam, dan kolam

ikan. Di lokasi perkebunan juga terdapat perkampungan yang terpencil yang

terdiri dari beberapa bangunan rumah yang saling bersambungan, yang sudah

ada sejak zaman Kolonial Belanda, dan sampai tahun 2010 masih dihuni oleh

petani.

Tanah perkebunan Petung Ombo yang subur, ternyata bertolak belakang

dengan kondisi masyarakat (petani) yang miskin. Hubungan petani di wilayah

Petung Ombo dengan Perkebunan Petung Ombo bersifat magersari, yaitu

mereka hanya dipekerjakan sebagai buruh perkebunan dengan upah

Rp.9.000,- per hari (pada tahun 2010). Sementara itu, sebagai buruh

perkebunan mereka (petani) hanya diberi kesempatan menyadap getah karet

dan memanjat pohon kelapa. Uniknya, seluruh tanaman (perkebunan) dan

permukiman tersebut dianggap milik Puskopad Kodam V/Brawijaya, yang

sampai dengan tahun 2010 belum memiliki sertipikat HGU atas tanah.

Konflik pertanahan muncul, ketika petani setempat (masyarakat)

melakukan perlawanan terhadap Puskopad Kodam V/Brawijaya, dengan cara

sebagai berikut:

Page 40: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

35

a. Untuk melakukan perlawanan di Pengadilan, petani memberi kuasa kepada

LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Surabaya dan Komnas HAM (Hak Asasi

Manusia).

b. Untuk aksi lokal mempertahankan tanah yang menjadi haknya, para petani

mencabut tanda larangan dan bertempat tinggal di lokasi konflik.

c. Para petani juga melakukan aksi unjuk rasa dan penyampaian masalah di

Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).

Threat dalam landreform sebagaimana yang terlihat pada Perkebunan

Petung Ombo merupakan tantangan dan sekaligus desakan bagi pelaksanaan

landreform. Petani atau masyarakat setempat menuntut dilaksanakannya

landreform, yang oleh para ilmuwan agraria disebut sebagai landreform by

leverage. Situasi ini juga terjadi di Perkebunan Kulonbambang, yang

wilayahnya berbatasan:

a. di sebelah Utara dan Timur dengan Perkebunan Sirah Kencong yang

dikuasai dan dikelola PTP XXIII Bantaran.

b. di sebelah Selatan dengan Perkebunan Pidjiombo yang dikuasai dan

dikelola oleh Perhutani.

c. di sebelah Barat dan Utara berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Kawi

dan Gunung Batok.

Perkebunan Kulonbambang merupakan bekas hak erfpacht verponding:

(1) Nomor 71, seluas 204,97 Ha; (2) Nomor 232, seluas 629,54 Ha; (3) Nomor

236, seluas 63,14 Ha; (4) Nomor 311, seluas 34,11 Ha, dan (5) Nomor 327,

seluas 4,31 Ha. Berdasarkan erfpacht verponding tersebut, maka secara

keseluruhan perkebunan ini luasnya mencapai 936,07 Ha. Pada masa itu

pemegang hak erfpacht Perkebunan Kulonbambang adalah NV. Cultuur

Maatschappy Ardirejo te Soerabaja. Uniknya, pada tahun 1949 masyarakat

telah memiliki pemukiman di lokasi Perkebunan Kulonbambang dan secara

administrasi diakui sebagai Desa Bangunsari. Tetapi pada tahun 1966,

masyarakat Desa Bangunsari hanya diizinkan menggarap tanah, dan tidak

diakui kepemilikan atas tanahnya di lokasi Perkebunan Kulonbambang.

Page 41: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

36

Pada tahun 1973, hak guna usaha diberikan kepada PT. Sari Bumi Kawi

dengan SK Menteri Dalam Negeri Nomor SK.77/HGU/DA/1973 tanggal 20

Oktober 1973. Pada tahun itu (1973), Desa Bangunsari dihapuskan, dan

masyarakat yang berada di desa ini menjadi warga perkebunan, yang secara

administratif masuk dalam wilayah Desa Sumberurip. Hal ini menjadikan

wilayah Desa Sumberurip memiliki dua kategori, yaitu: Desa Sumberurip yang

berada di wilayah perkebunan, dan Desa Sumberurip yang berada di luar

wilayah perkebunan. Ketika menjadi warga perkebunan inilah, petani

Kulonbambang disebut sebagai orang persil, yaitu kelas rendah di kalangan

masyarakat yang mengalami kemiskinan akut. Peristiwa tahun 1973 di

Perkebunan Kulonbambang inilah yang kelak menjadi pemicu terjadinya

konflik antara pihak perkebunan melawan para petani (penggarap) setempat

di masa yang akan datang.

Realitas ini dan berbagai realitas sejenisnya menjadi penanda, bahwa

threat dalam landreform terlihat ketika Pemerintah Indonesia ternyata lebih

fokus pada pelaksanaan landreform yang bersifat top down (landreform by

grace). Sementara itu, masyarakat atau para petani penggarap (petani yang

tidak memiliki tanah) justru melakukan gerakan yang dapat dikategori sebagai

landreform yang bersifat bottom up atau landreform by leverage.

Landreform by leverage ditandai oleh banyaknya terjadi konflik dan

sengketa pertanahan, yang dilatar-belakangi oleh ketimpangan penguasaan

dan pemilikan tanah di suatu wilayah. Konflik dan sengketa pertanahan di

Kabupaten Blitar terutama terjadi di wilayah perkebunan, yang melibatkan

multi pihak, seperti petani, militer, perkebunan dan penegak hukum. Hal ini

telah berlangsung sejak lama (tahun 1960), dan memiliki akar masalah berupa

pengambil-alihan tanah rakyat secara represif (repressive approach) di masa

lalu. Oleh karena itu, masyarakat atau para petani penggarap melakukan

reclaiming tanah sebagai wujud perjuangan landreform by leverage.

Page 42: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

37

2. Threat Dalam Redistribusi Tanah

Threat dalam redistribusi tanah ditandai berbagai tantangan, hambatan,

gangguan, dan kendala dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten

Blitar. Sebagai contoh dapat dilihat pada situasi yang terjadi di Perkebunan

Nyunyur, ketika pada tahun 1974 tanah perkebunan seluas 100 Ha yang oleh

Panitia Landreform diperuntukkan bagi 185 rumah tangga petani dari Desa

Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, ternyata oleh Pemerintah

Kabupaten Blitar dimasukkan ke dalam hak guna usaha PT. Nyunyur Baru.

Padahal pada tahun 1964, berdasarkan SK (Surat Keputusan) Menteri

Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964, tanah seluas 100 Ha telah

diredistribusikan kepada 185 rumah tangga petani.

Masyarakat atau petani penggarap yang menduduki tanah hasil

redistribusi tersebut dijanjikan akan dipindahkan ke perkampungan di Desa

Soso. Kepada masing-masing rumah tangga petani (total: 185 rumah tangga

petani) juga dijanjikan diberi ganti rugi tanah dalam perkebunan seluas 0,03

Ha, serta diakui sebagai karyawan kebun. Pada awalnya petani (masyarakat)

menolak rencana tersebut, tetapi akhirnya tunduk karena bila tidak segera

pindah akan diusir oleh oknum tertentu. Selanjutnya proses pemindahan

ternyata tidak berjalan lancar, karena dari 185 rumah tangga petani, ternyata

yang mendapat ganti rugi hanya 50 rumah tangga petani.

Masyarakat merasa sangat dirugikan oleh tindakan Pemerintah

Kabupaten Blitar, sehingga mereka kemudian menuntut Pemerintah

Kabupaten Blitar, untuk melakukan redistribusi tanah ulang. Tetapi

Pemerintah Kabupaten Blitar tidak dapat mengabulkan permintaan tersebut,

karena PT. Kismo Handayani tidak bersedia melepaskan sebagian tanah hak

guna usahanya. Oleh karena itu, masyarakat kemudian melakukan demontrasi,

hearing dengan pihak terkait, dan mediasi. Tetapi PT. Kismo Handayani tetap

tidak bersedia melepaskan sebagian tanah hak guna usahanya.

Akhirnya pada 10 Juli 2008, masyarakat melakukan reclaiming tanah,

yaitu perebutan tanah secara paksa, untuk mengambil kembali bidang tanah

yang telah dikuasai pihak lain. Selanjutnya pada 25 Oktober 2010, masyarakat

Page 43: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

38

mengajak PT. Kismo Handayani melakukan mediasi, tetapi kegiatan ini tidak

memberi hasil yang memuaskan masyarakat. Kemudian masyarakat Desa Soso

berjalan kaki ke Kantor Ombudsman di Jakarta, untuk mengadukan nasibnya,

dan diterima oleh Ombusdman pada 11 Januari 2012.

Karena tidak kunjung menemukan solusi, masyarakat Desa Soso

berjumlah 1.500 orang petani kembali melakukan reclaiming tanah pada 1 Juli

2012, dengan membabati seluruh tanaman perkebunan seluas 368 Ha, dan

menggantinya dengan tanaman masyarakat. Pada tanggal 16 Juli 2012 datang

Tim Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden), untuk menyelesaikan

masalah tersebut, karena Pemerintah Kabupaten Blitar tidak lagi mampu

menyelesaikannya. Namun hingga saat ini konflik tersebut belum dapat

diselesaikan.

Peristiwa di Perkebunan Nyunyur, Kabupaten Blitar menunjukkan,

bahwa threat dalam redistribusi tanah terjadi ketika keputusan panitia

landreform tidak dilaksanakan, dan diganti dengan keputusan lain yang

bertentangan. Keputusan yang bertentangan tersebut, pada akhirnya

menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan antara masyarakat dengan

pemerintah (pemerintah kabupaten) dan pihak perkebunan.

Situasi yang mirip juga terjadi di Perkebunan Kulonbambang di masa

awal reformasi. Sebagaimana diketahui reformasi tahun 1998, dimanfaatkan

oleh petani Kulonbambang, untuk berupaya merebut kembali tanahnya, yang

disebut dengan istilah reclaiming. Masyarakat tergabung dalam organisasi

Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang), yang (organisasi ini) juga

merupakan anggota organisasi Paguyuban Petani Aryo Blitar.

Luas Perkebunan Kulonbambang sebelum diredistribusikan mencapai

936 Ha, yang terdiri dari teh dan kopi seluas 420 Ha, dan cengkeh seluas 328

Ha. Konflik Kulonbambang mulai berlangsung pada tahun 1998, dan berakhir

pada tahun 2002, setelah Bupati Blitar mengeluarkan keputusan yang isinya,

sebagai berikut:

Page 44: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

39

a. melepaskan sebagian dari wilayah hak guna usaha seluas 255 Ha, untuk

dijadikan obyek landreform, dan akan diredistribusikan kepada masyarakat

yang telah berhak menerimanya, sesuai dengan tuntutan masyarakat;

b. mengajukan perpanjangan hak guna usaha Perkebunan Kulonbambang

kepada instansi yang berwenang.

Sebagai tindak lanjut Keputusan Bupati Blitar tersebut, maka pada

tanggal 1 Mei 2003, Direktur PT. Sari Bumi Kawi mewakili pihak Direksi PT.

Sari Bumi Kawi melepaskan hak atas tanah seluas 255 Ha dengan akta notaris,

untuk diredistribusikan kepada masyarakat (para petani penggarap) Dusun

Kulonbambang. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannya PT. Sari Bumi Kawi

tidak segera melakukan pelepasan hak atas tanah, sehingga masyarakat

Kulonbambang kembali melakukan perlawanan.

Situasi yang telah memanas ini, kemudian mendorong Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar berinisiatif melakukan mediasi, untuk

mempertemukan PT. Sari Bumi Kawi dengan masyarakat Kulonbambang.

Hasilnya disepakati luas tanah yang akan diredistribusikan bukanlah 255 Ha,

melainkan 280 Ha. Akhirnya, pada tahun 2010, PT. Sari Bumi Kawi membuat

Akta Pelepasan Hak. Hal ini direspon oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

dengan membentuk Panitia Landreform, yang terdiri dari:

a. Bupati Blitar;

b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar;

c. Kepala Kepolisian Resort Kabupaten Blitar;

d. Ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Kabupaten Blitar;

e. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Blitar;

f. Camat Doko; dan

g. Kepala Desa Sumberurip.

Berdasarkan situasi di Perkebunan Nyunyur dan situasi di Perkebunan

Kulonbambang nampaklah, bahwa threat dalam redistribusi tanah terjadi

ketika keputusan panitia landreform tidak dilaksanakan, dan diganti dengan

keputusan lain yang bertentangan. Keputusan yang bertentangan tersebut,

akhirnya menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan antara masyarakat

Page 45: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

40

(petani penggarap) dengan pihak perkebunan, pengambil keputusan dan

pihak terkait lainnya.

Konflik dan sengketa pertanahan antara masyarakat dengan pihak

perkebunan mewujud dalam bentuk reclaiming dan penguasaan tanah oleh

masyarakat. Konflik dan sengketa pertanahan mereda saat reclaiming dan

penguasaan tanah oleh masyarakat diakui oleh pihak perkebunan. Setelah

konflik dan sengketa pertanahan dapat diselesaikan, maka Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar dapat melakukan redistribusi tanah.

Sebagaimana diketahui, ada 7 lokasi perkebunan di wilayah Kabupaten

Blitar yang dapat menyediakan tanah untuk diredistribusikan kepada

masyarakat atau petani penggarap. Keyakinan ini muncul, ketika 7 pengelola

perkebunan tersebut bersedia melepaskan sebagian tanah perkebunan yang

dikuasainya kepada masyarakat. Walaupun kemudian kesediaan ini belum

disetujui masyarakat, karena mereka menuntut areal yang lebih luas.

Meskipun belum disepakati, kesediaan pengelola perkebunan tersebut

dapat dikatakan sebagai threat (tantangan) dalam redistribusi tanah. Bila

dapat ditreatment dengan baik, maka threat ini akan berguna bagi masyarakat,

karena dapat menyediakan 882 Ha tanah untuk diredistribusikan, yang

tersebar di 7 lokasi perkebunan, sebagai berikut:

a. Perkebunan Gondang Tapen, seluas 50 Ha, setelah PT. Semen Bima Agung

bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada Masyarakat Desa Ringinrejo

pada tahun 2009. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana, karena Masyarakat

Desa Ringinrejo menuntut penyerahan tanah seluas 854 Ha (seluruh areal

Perkebunan Gondang Tapen)

b. Perkebunan Nusantara XII, seluas 70 Ha, setelah PT. Perkebunan Nusantara

XII bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada Masyarakat Desa

Penataran pada tahun 2017. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana, karena

masih menunggu rekomendasi Menteri BUMN dan Menteri Keuangan.

c. Perkebunan Nyunyur, seluas 74 Ha, setelah PT. Kismo Handayani bersedia

menyerahkan tanah sengketa tersebut kepada Masyarakat Dusun Nyunyur

Page 46: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

41

pada tahun 2012. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana, karena Masyarakat

Dusun Nyunyur tetap menuntut penyerahan tanah seluas 100 Ha.

d. Perkebunan Rotorejo Kruwuk, seluas 24 Ha, setelah PT. Perkebunan

Rotorejo Kruwuk bersedia melepaskan tanah tersebut pada Masyarakat

Desa Gadungan pada tahun 2017. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana,

karena Masyarakat Desa Gadungan menuntut penyerahan tanah seluas 150

Ha.

e. Perkebunan Swaru Buluroto, seluas 100 Ha, setelah PT. Kemakmuran

Swaru Buluroto bersedia melepaskan tanah tersebut kepada Masyarakat

Desa Karangrejo pada tahun 2016. Tetapi kesediaan ini belum terlaksana,

karena Masyarakat Desa Karangrejo menuntut penyerahan tanah seluas

412 Ha.

f. Perkebunan Gunung Nyamil di Desa Ngeni dan Desa Ngadipuro, Kecamatan

Wonotirto, serta Desa Serang, Kecamatan Wonotirto: Puskopad Kodam

V/Brawijaya bersedia melepaskan tanahnya, seluas 426 Ha kepada petani

penggarap dari Desa Ngeni, Desa Ngadipuro, dan Desa Serang.

g. Perkebunan Petung Ombo di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum:

Berdasarkan SK. Panglima Kodam V/Brawijaya Nomor SKEP/135/X/2001,

tanggal 16 Oktober 2001, akhirnya pada tahun yang sama Puskopad Kodam

V/Brawijaya bersedia melepaskan tanah seluas 138 Ha, kepada petani

penggarap dari Desa Karangrejo.

3. Threat Dalam Legalisasi Asset

Threat dalam legalisasi asset dapat berupa tantangan, hambatan,

gangguan, dan kendala dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, yang

meliputi adjudikasi, pendaftaran hak atas tanah, serta penerbitan sertipikat

hak atas tanah. Tantangan, hambatan, gangguan, dan kendala juga dapat

dialami saat pengumpulan data fisik dan data yuridis, pengumuman data fisik

dan data yuridis, dan penetapan dan/atau penerbitan surat keputusan

pengakuan atau pemberian hak atas tanah.

Page 47: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

42

Pada konteks Kabupaten Blitar, threat dalam legalisasi asset berupa

tantangan dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, yang dialami karena

legalisasi asset barulah dapat dilakukan ketika redistribusi tanah telah

dilakukan. Sebagaimana diketahui pada kurun waktu tahun 2007 – 2017 telah

diredistribusikan tanah seluas 3.326 Ha, maka sesungguhnya itulah luasan

tanah yang menjadi threat (tantangan) dalam legalisasi asset pada kurun

waktu tersebut.

Hal lain yang juga menjadi threat dalam legalisasi asset adalah kesediaan

pihak perkebunan untuk menyerahkan sebagian tanah yang dikuasainya

kepada masyarakat. Ketika kesediaan pihak perkebunan diterima oleh

masyarakat, maka tanah-tanah tersebut siap untuk diredistribusikan, yang

selanjutnya siap untuk dilakukan legalisasi asset. Sebagaimana diketahui saat

ini tersedia 882 Ha tanah untuk diredistribusikan, yang tersebar di 7 lokasi

perkebunan.

Pada kenyataannya redistribusi tanah di perkebunan-perkebunan

tersebut mengalami kendala, karena kesediaan pihak perkebunan untuk

melepaskan tanah dengan luasan tertentu, ternyata belum bersedia diterima

oleh masyarakat, karena masyarakat justru menuntut areal yang lebih luas.

Hal ini pada gilirannya selain akan dapat menghambat redistribusi tanah juga

akan menghambat legalisasi asset, karena setelah masyarakat memperoleh

tanah (melalui redistribusi tanah) barulah bidang tanahnya tersebut dapat

diikut-sertakan dalam legalisasi asset.

Berdasarkan realita yang terjadi di wilayah Kabupaten Blitar diketahui,

bahwa terdapat threat dalam legalisasi asset, yaitu ketika legalisasi asset

barulah dapat dilakukan setelah redistribusi tanah dilakukan. Sebagaimana

diketahui Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar telah melakukan redistribusi

tanah seluas 3.326 Ha pada kurun waktu tahun 2007 – 2017, yang secara

bertahap juga telah melakukan legalisasi asset.

Redistribusi tanah dapat semakin cepat terwujud, ketika pihak

perkebunan bersedia untuk menyerahkan sebagian tanah yang dikuasainya

kepada masyarakat. Percepatan redistribusi ini pada akhirnya harus direspon

Page 48: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

43

dengan percepatan legalisasi asset. Tetapi percepatan legalisasi asset akan

terhambat, ketika percepatan redistribusi tanah telah lebih dahulu terhambat,

oleh ketidak-sediaan masayarakat menerima tanah yang dilepaskan pihak

perkebunan, karena masyarakat menuntut tanah yang lebih luas.

L. Treatment Dalam Reforma Asset

1. Treatment Dalam Landreform

Treatment dalam landreform di Kabupaten Blitar berkaitan dengan

upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk mengarahkan tindakan atau

perilaku para pihak, agar sesuai dengan prinsip-prinsip landreform, seperti:

tanah untuk petani (penggarap) serta keadilan penguasaan dan pemilikan

tanah. Selain itu, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar juga terlibat dalam

upaya perlindungan dan pelayanan kepada petani penggarap, agar tercipta

keadilan penguasaan dan pemilikan tanah di Kabupaten Blitar. Oleh karena

pelaksanaan dan prinsip landreform selalu berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, sehingga treatment dalam landreform berupa upaya

Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dalam mengarahkan tindakan para pihak,

agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, kesadaran tentang pentingnya keadilan penguasaan dan

pemilikan tanah di Kabupaten Blitar telah tumbuh sejak sebelum Indonesia

merdeka. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1942 ada beberapa perkebunan

di wilayah Kabupaten Blitar yang diduduki oleh masyarakat, karena mereka

lapar tanah dan merasa diperlakukan tidak adil dalam hal penguasaan dan

pemilikan tanah.

Oleh karena itu, pada tahun 1963 Pemerintah Kabupaten Blitar

mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan Agraria, agar tanah-

tanah perkebunan yang telah dikuasai masyarakat tersebut dijadikan sebagai

tanah obyek landreform. Permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar tersebut

akhirnya dikabulkan Menteri Pertanian dan Agraria pada masa itu, dengan

cara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964.

Page 49: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

44

Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964

itulah yang selanjutnya digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar untuk

menyelesaikan konflik dan sengketa penguasaan dan pemilikan tanah di

beberapa perkebunan, sebagai berikut:

a. Perkebunan Gondang Tapen, yang berlokasi di Dusun Gondang Tapen, Desa

Ringinrejo, Kecamatan Wates, seluas 854 Ha;

b. Perkebunan Nusantara XII, yang berlokasi di Dusun Penataran, Desa

Penataran, Kecamatan Nglegok, seluas 400 Ha;

c. Perkebunan Karangnongko, yang berlokasi di Dusun Karangnongko, Desa

Modangan, Kecamatan Nglegok, seluas 224 Ha

d. Perkebunan Nyunyur, yang berlokasi di Dusun Nyunyur, Desa Soso,

Kecamatan Gandusari, seluas 368 Ha;

e. Perkebunan Rotorejo Kruwuk, yang berlokasi di Dusun Sukomulyo (Desa

Gadungan) dan Dusun Rejokaton (Desa Sumberagung), Kecamatan

Gandusari, seluas 558 Ha;

f. Perkebunan Swaru Buluroto, yang berlokasi di Desa Karangrejo, Kecamatan

Garum, seluas 504 Ha;

g. Perkebunan Gunung Nyamil, yang berlokasi di Desa Ngeni dan Desa

Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto, serta Desa Serang, Kecamatan

Wonotirto, yang luas seluruhnya mencapai 2.117 Ha;

h. Perkebunan Petung Ombo, yang berlokasi di Desa Karangrejo, Kecamatan

Garum, seluas 434 Ha;

i. Perkebunan Kulonbambang, yang berlokasi di Dusun Kulonbambang, Desa

Sumberurip, Kecamatan Doko, seluas 936 Ha.

Tidak seluruh konflik dan sengketa pertanahan di perkebunan-

perkebunan tersebut dapat diselesaikan, karena membutuhkan waktu dan

kesabaran dalam merumuskan solusi yang tepat dan dapat diterima para

pihak. Meskipun demikian ada konflik dan sengketa pertanahan, yang dapat

diselesaikan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar dan Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar bekerjasama dengan pihak perkebunan dan masyarakat yang

Page 50: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

45

melakukan reclaiming tanah, yaitu konflik dan sengketa pertanahan di

Perkebunan Kulonbambang.

Perkebunan Kulonbambang merupakan bekas hak erfpacht verponding

yang keseluruhan luasnya mencapai 936,07 Ha, dengan perincian sebagai

berikut:

a. Nomor 71 seluas 204,97 Ha

b. Nomor 232 seluas 629,54 Ha

c. Nomor 236 seluas 63,14 Ha

d. Nomor 311 seluas 34,11 Ha

e. Nomor 327 seluas 4,31 Ha

Pada masa itu pemegang hak erfpacht Perkebunan Kulonbambang

adalah NV. Cultuur Maatschappy Ardirejo te Soerabaja. Tahun 1949

masyarakat telah memiliki pemukiman di lokasi Perkebunan Kulonbambang

dan secara administrasi diakui sebagai Desa Bangunsari. Pada tahun 1963

Pemerintah Kabupaten Blitar mengajukan permohonan kepada Menteri

Pertanian dan Agraria, agar tanah-tanah perkebunan yang dikuasai

masyarakat tersebut dijadikan sebagai obyek landreform. Permohonan

Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya dikabulkan oleh Menteri Pertanian dan

Agraria dengan cara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964.

Tetapi dalam perkembangannya, pada tahun 1966, ternyata masyarakat

Desa Bangunsari hanya diizinkan menggarap tanah, dan tidak diakui

kepemilikannya atas tanah di lokasi Perkebunan Kulonbambang. Tahun 1973,

hak guna usaha diberikan kepada PT. Sari Bumi Kawi dengan SK Menteri

Dalam Negeri Nomor SK.77/HGU/DA/1973 tanggal 20 Oktober 1973. Tahun

1973, Desa Bangunsari dihapuskan, dan masyarakat yang berada di desa ini

menjadi warga perkebunan, dan secara administratif masuk dalam Desa

Sumberurip. Hal ini menjadikan wilayah Desa Sumberurip memiliki dua

kategori, yaitu: Desa Sumberurip yang berada di wilayah perkebunan, dan

Desa Sumberurip yang berada di luar wilayah perkebunan.

Ketika menjadi warga perkebunan inilah, petani Kulonbambang disebut

sebagai orang persil, yaitu kelas rendah di kalangan masyarakat yang

Page 51: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

46

mengalami kemiskinan akut. Reformasi tahun 1998, dimanfaatkan oleh petani

Kulonbambang, untuk berupaya merebut kembali tanahnya, yang disebut

dengan istilah reclaiming. Masyarakat tergabung dalam Pawartaku

(Paguyuban Warga Tani Kulonbambang). Pawartaku merupakan anggota

organisasi Paguyuban Petani Aryo Blitar.

Luas Perkebunan Kulonbambang sebelum diredistribusikan mencapai

936 Ha, yang terdiri dari teh dan kopi seluas 420 Ha, dan cengkeh seluas 328

Ha. Konflik Kulonbambang mulai berlangsung pada tahun 1998, dan berakhir

pada tahun 2002, setelah Bupati Blitar mengeluarkan keputusan yang isinya,

sebagai berikut:

a. Menyelesaikan semua kewajiban Perkebunan Kulonbambang;

b. Melepaskan sebagian dari wilayah HGU dengan luas 255 Ha, untuk

dijadikan obyek landreform, dan akan diredistribusikan kepada masyarakat

yang berhak menerima, sesuai dengan tuntutan masyarakat;

c. Mengajukan perpanjangan HGU kepada instansi yang berwenang.

Sebagai tindak lanjut SK. Bupati Blitar tersebut, maka pada tanggal 1 Mei

2003, Direktur PT. Sari Bumi Kawi mewakili pihak Direksi PT. Sari Bumi Kawi

melepaskan hak atas tanah seluas 255 Ha dengan akta notaris, untuk

diredistribusikan kepada masyarakat Kulonbambang. Tetapi dalam

realisasinya, pelepasan hak atas tanah tidak dilakukan oleh PT. Sari Bumi

Kawi, sedangkan masyarakat Kulonbambang terus menerus melakukan

perlawanan. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar berinisiatif

melakukan mediasi, untuk mempertemukan PT. Sari Bumi Kawi dengan

masyarakat Kulonbambang. Hasilnya disepakati luas tanah yang akan

diredistribusikan bukanlah 255 Ha, melainkan 280 Ha. Pada tahun 2010, PT.

Sari Bumi Kawi membuat Akta Pelepasan Hak. Hal ini direspon oleh Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar dengan membentuk Panitia Landreform, yang

terdiri dari:

a. Bupati Blitar;

b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar;

c. Kepala Kepolisian Resort Kabupaten Blitar;

Page 52: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

47

d. Ketua HKTI Kabupaten Blitar;

e. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Blitar;

f. Camat Doko

g. Kepala Desa Sumberurip

Kemudian Panitia Landreform menyelenggarakan Sidang Landreform,

yang hasilnya berupa keputusan, untuk meredistribusikan tanah eks HGU PT.

Sari Bumi Kawi seluas 280 Ha kepada masyarakat Kulonbambang yang

berhak. Pada tahun 2011 tanah yang direklaim oleh petani Kulonbambang

mendapat pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform), seluas 280 Ha.

Pada tahun 2011, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK

tentang Pelaksanaan Landreform dan SK Pelaksanaan Konsolidasi Tanah. SK

Pelaksanaan Konsolidasi Tanah berisi ketentuan pelaksanaan konsolidasi

tanah eks HGU PT. Sari Bumi Kawi seluas 25 Ha. Sementara itu, SK. tentang

Pelaksanaan Landreform berisi bidang tanah yang luasnya 255 Ha, dan akan

diredistribusikan kepada masyarakat Dusun Kulonbambang yang berhak.

Berdasarkan realitas tersebut diketahui, bahwa treatment dalam

landreform dilakukan sejak tahun 1963. Saat itu, Pemerintah Kabupaten Blitar

mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan Agraria, agar tanah-

tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat dijadikan obyek landreform.

Permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar dikabulkan oleh Menteri Pertanian

dan Agraria dengan cara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964.

Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964

itulah yang selanjutnya digunakan Pemerintah Kabupaten Blitar untuk

menyelesaikan konflik dan sengketa penguasaan dan pemilikan tanah di

beberapa perkebunan. Sebagai treatment landreform, maka Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar melakukan mediasi, untuk mempertemukan para pihak yang

bersengketa. Selanjutnya, setelah berhasil menyepakati luas tanah yang akan

diredistribusikan, pihak pemegang hak membuat Akta Pelepasan Hak, yang

kemudian direspon Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dengan membentuk

Panitia Landreform.

Page 53: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

48

Kemudian Panitia Landreform menyelenggarakan Sidang Landreform,

yang hasilnya berupa keputusan, untuk meredistribusikan tanah kepada yang

berhak. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK

Pelaksanaan Landreform. Bahkan pada situasi tertentu, Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar juga menerbitkan SK Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, untuk

mengkonsolidasi bidang tanah hasil redistribusi di areal permukiman.

Selain berdasarkan realita penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan

di Perkebunan Kulonbambang, treatment dalam landreform tersebut juga

harus disandingkan dengan threat dalam landreform, sebagaimana terlihat

pada Tabel: 3. Tabel ini mengungkapkan, bahwa persoalan kunci yang menjadi

threat dalam landreform adalah landreform yang memiliki sifat top down

(landreform by grace). Threat ini kemudian direspon dengan treatment yang

mengakomodir landreform yang memiliki sifat bottom up atau landreform by

leverage. Caranya dengan menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan di

Kabupaten Blitar, terutama yang terjadi di wilayah perkebunan, serta

melibatkan multi pihak, seperti petani penggarap, militer, perkebunan dan

penegak hukum.

Konflik dan sengketa pertanahan di Kabupaten Blitar telah berlangsung

sejak lama (tahun 1960), yang memiliki akar masalah berupa pengambil-

alihan tanah rakyat secara represif (repressive approach) di masa lalu. Oleh

karena itu, para petani penggarap berupaya melakukan reclaiming tanah

sebagai wujud perjuangan landreform by leverage. Sebagai respon, atas

tindakan para petani penggarap, maka pada tahun 1963 Pemerintah

Kabupaten Blitar mengajukan permohonan kepada Menteri Pertanian dan

Agraria, agar tanah-tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat dijadikan

sebagai obyek landreform. Ternyata, permohonan Pemerintah Kabupaten

Blitar dikabulkan oleh Menteri Pertanian dan Agraria dengan cara

mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 49/Ka./1964. Selanjutnya Surat

Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964 digunakan

oleh Pemerintah Kabupaten Blitar untuk menyelesaikan konflik dan sengketa

penguasaan dan pemilikan tanah di beberapa perkebunan.

Page 54: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

49

Tabel 3: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Landreform

L A N D R E F O R M

T H R E A T T R E A T M E N T

a. Pemerintah Indonesia lebih

fokus pada pelaksanaan

landreform yang bersifat top

down (landreform by grace).

b. Tetapi ternyata masyarakat atau

para petani penggarap (petani

yang tidak memiliki tanah)

justru memberi perhatian yang

kuat bagi terselenggaranya

landreform yang bersifat bottom

up atau landreform by leverage.

c. Landreform by leverage ditandai

oleh banyaknya terjadi konflik

dan sengketa pertanahan, yang

dilatar-belakangi oleh

ketimpangan penguasaan dan

pemilikan tanah di suatu

wilayah.

d. Konflik dan sengketa

pertanahan di Kabupaten Blitar

terutama terjadi di wilayah

perkebunan, yang melibatkan

multi pihak, seperti petani,

militer, perkebunan dan penegak

hukum.

e. Konflik dan sengketa

pertanahan telah berlangsung

sejak lama (tahun 1960), dan

memiliki akar masalah berupa

pengambil-alihan tanah rakyat

secara represif (repressive

approach) di masa lalu.

f. Oleh karena itu, masyarakat atau

para petani penggarap

melakukan reclaiming tanah

sebagai wujud perjuangan

landreform by leverage.

a. Pada tahun 1963 Pemerintah Kabupaten

Blitar mengajukan permohonan kepada

Menteri Pertanian dan Agraria, agar tanah-

tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat

dijadikan sebagai obyek landreform.

b. Permohonan Pemerintah Kabupaten Blitar

dikabulkan oleh Menteri Pertanian dan

Agraria dengan cara mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor 49/Ka./1964.

c. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan

Agraria Nomor 49/Ka./1964 itulah yang

selanjutnya digunakan Pemerintah Kabupaten

Blitar untuk menyelesaikan konflik dan

sengketa penguasaan dan pemilikan tanah di

beberapa perkebunan.

d. Sebagai treatment landreform, maka

Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

melakukan mediasi, untuk mempertemukan

para pihak yang bersengketa. Setelah

berhasil disepakati luas tanah yang akan

diredistribusikan, pihak pemegang hak

membuat Akta Pelepasan Hak, yang

selanjutnya direspon oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar dengan membentuk Panitia

Landreform.

e. Kemudian Panitia Landreform

menyelenggarakan Sidang Landreform, yang

hasilnya berupa keputusan, untuk

meredistribusikan tanah kepada yang berhak.

f. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar menerbitkan SK Pelaksanaan

Landreform. Pada situasi tertentu, Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar juga

menerbitkan SK Pelaksanaan Konsolidasi

Tanah, untuk mengkonsolidasi bidang tanah

hasil redistribusi di areal permukiman.

Sumber: Data Primer, 2019

Page 55: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

50

Tabel: 3 juga memperlihatkan, bahwa Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar melakukan mediasi sebagai treatment dalam landreform. Mediasi ini

dilakukan untuk mempertemukan para pihak yang sedang bersengketa, agar

menyepakati luas tanah yang akan diredistribusikan. Setelah luas tanah yang

akan diredistribusikan berhasil disepakati, maka pihak pemegang hak

membuat Akta Pelepasan Hak. Tindakan ini dilanjutkan dengan respon Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar, yang segera membentuk Panitia Landreform.

Kemudian Panitia Landreform menyelenggarakan Sidang Landreform, yang

hasilnya berupa keputusan, untuk meredistribusikan tanah kepada yang

berhak. Setelah itu, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK

tentang Pelaksanaan Landreform. Pada situasi tertentu, Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar juga menerbitkan SK tentang Pelaksanaan Konsolidasi

Tanah, untuk mengkonsolidasi bidang tanah hasil redistribusi di areal

permukiman.

2. Treatment Dalam Redistribusi Tanah

Pada konteks reforma agraria, treatment dalam redistribusi tanah dapat

dimaknai sebagai upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar mengarahkan

tindakan para pihak, agar redistribusi tanah dapat terlaksana dengan baik.

Perlu diketahui, bahwa treatment redistribusi tanah dapat dilakukan setelah

sebelumnya atau terlebih dahulu dilakukan treatment dalam landreform. Hal

inilah yang terjadi pada beberapa perkebunan yang arealnya menjadi tanah

obyek landreform di Kabupaten Blitar.

Sebagai contoh dapat diperhatikan proses redistribusi tanah di

Perkebunan Nyunyur, yang memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Pertanian

dan Agraria Nomor 49/Ka./1964. Sebagaimana diketahui, permohonan

Pemerintah Kabupaten Blitar kepada kepada Menteri Pertanian dan Agraria

pada tahun 1963, agar tanah perkebunan yang dikuasai masyarakat dijadikan

sebagai obyek landreform, telah dikabulkan Menteri Pertanian dan Agraria

melalui SK (Surat Keputusan) Nomor 49/Ka./1964.

Page 56: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

51

SK Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964 selanjutnya

digunakan sebagai treatment redistribusi tanah di sebagian areal perkebunan,

termasuk di Perkebunan Nyunyur yang berada di Desa Soso, Kecamatan

Gandusari, Kabupaten Blitar. Redistribusi tanah dilakukan terhadap areal

seluas 100 Ha tanah Perkebunan Nyunyur, yang telah diduduki masyarakat.

Sementara itu diketahui, bahwa secara keseluruhan luas tanah Perkebunan

Nyunyur sebesar 474 Ha.

Selanjutnya berdasarkan hasil survai Panitia Landreform yang dibentuk

oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, tanah tersebut diperuntukkan bagi

185 rumah tangga petani Desa Soso. Selain itu, Panitia Landreform juga telah

merekomendasikan, bahwa sisa tanah Perkebunan Nyunyur yang luasnya

mencapai 374 Ha dapat dikelola badan usaha dengan mengajukan hak guna

usaha.

Hal yang sama (treatment dalam redistribusi tanah) juga dilakukan di

Perkebunan Kulonbambang, dengan memanfaatkan SK Menteri Pertanian dan

Agraria Nomor 49/Ka./1964. Berdasarkan SK tersebut dan setelah melalui

mediasi yang intens akhirnya dilakukan perdamaian antara Masyarakat Dusun

Kulonbambang dengan PT. Sari Bumi Kawi yang mengelola Perkebunan

Kulonbambang. Kemudian dibentuklah Panitia Landreform pada tahun 2010,

yang segera menyelenggarakan Sidang Landreform. Hasil sidang berupa

keputusan, untuk meredistribusikan tanah eks HGU PT. Sari Bumi Kawi seluas

280 Ha kepada masyarakat Dusun Kulonbambang yang berhak.

Selanjutnya tanah yang direklaim oleh petani Kulonbambang mendapat

pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform) pada tahun 2011, seluas

280 Ha. Pada tahun itu juga (2011), Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

menerbitkan SK (Surat Keputusan) tentang Pelaksanaan Landreform dan SK

Pelaksanaan Konsolidasi Tanah. Khusus mengenai SK Pelaksanaan Konsolidasi

Tanah berisi ketentuan pelaksanaan konsolidasi tanah eks hak guna usaha PT.

Sari Bumi Kawi seluas 25 Ha.

Sementara itu, SK. Pelaksanaan Landreform berisi kebijakan terhadap

tanah seluas 255 Ha yang akan diredistribusikan kepada masyarakat

Page 57: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

52

Kulonbambang yang berhak, serta permintaan agar segera dibuatkan SK

Redistribusi Tanah-nya. Permintaan ini dilakukan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar kepada Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), melalui

Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur.

Redistribusi tanah seluas 255 Ha tersebut diberikan kepada 350 rumah

tangga petani, yang terdiri dari:

a. Masyarakat Dusun Kulonbambang, sebanyak 60 rumah tangga petani;

b. Masyarakat Dusun Tlogorejo, sebanyak 100 rumah tangga petani;

c. Masyarakat Dusun Anyar, sebanyak 140 rumah tangga petani;

d. Masyarakat Dusun Tlogosari, sebanyak 50 rumah tangga petani.

Selanjutnya redistribusi tanah yang luasnya 255 Ha tersebut diperinci

berdasarkan penggunaan tanah, sebagai berikut:

a. Untuk permukiman, yang meliputi rumah tinggal dan kandang ternak,

seluas 700 meter persegi atau 0,07 Ha per rumah tangga petani.

b. Untuk budidaya, yang meliputi kebun dan pertanian pangan, luasnya

ditentukan oleh organisasi Pawartaku.

c. Untuk tanah kolektif organisasi Pawartaku, yang meliputi bangunan untuk

pendidikan warga, demplot pertanian, balai pertemuan, lapangan terbuka,

dan lain-lain untuk kepentingan organisasi, seluas 46 Ha, yang tersebar di

tiga dusun (blok), yaitu: Dusun Kulonbambang seluas 15 Ha, Dusun Anyar

dan Dusun Tlogorejo seluas 21 Ha, serta Dusun Tlogosari seluas 10 Ha.

d. Untuk sosial dan infrastruktur, yang meliputi tempat ibadah, jalan, lapangan

terbuka (sepakbola/olahraga), dan lain-lain.

Sementara itu, dalam rangka menegakkan rasa keadilan berdasarkan

kontribusi dalam memperjuangkan redistribusi tanah di areal Perkebunan

Kulonbambang, maka Pawartaku menetapkan klasifikasi pembagian tanah,

sebagai berikut:

a. Klasifikasi A, yaitu pimpinan atau anggota organisasi yang dianggap banyak

berjasa dan menentukan kemenangan, mendapat tanah pertanian untuk

digarap seluas 4,9 Ha, dan tanah permukiman seluas 0,07 Ha.

Page 58: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

53

b. Klasifikasi B, yaitu pimpinan atau tokoh di organisasi yang aktif dalam

perjuangan, mendapat tanah pertanian untuk digarap seluas 2 Ha, dan

tanah permukiman seluas 0,07 Ha.

c. Klasifikasi C, yaitu anggota organisasi yang turut berjuang, mendapat tanah

pertanian untuk digarap seluas 1,2 Ha, dan tanah permukiman seluas 0,07

Ha.

d. Klasifikasi D, yaitu pemuda atau kader-kader muda organisasi yang terlibat

aktif dalam proses advokasi, serta pemetaan dan pengukuran, mendapat

tanah pertanian untuk digarap seluas 0,3 Ha.

e. Klasifikasi E, yaitu organisasi yang mendampingi petani saat

memperjuangkan hak atas tanah, mendapat tanah pertanian untuk digarap

seluas 1 Ha, dan tanah permukiman seluas 1 Ha.

Redistribusi tanah eks HGU PT. Sari Bumi Kawi seluas 255 Ha tidak

dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961,

melainkan berdasarkan kearifan lokal, yaitu kesepakatan yang diperoleh saat

Rapat Presidium Tanah Perjuangan Kulonbambang. Pada rapat tersebut

dibuat klasifikasi penerima redistribusi tanah, dengan tolok ukur sebagai

berikut:

a. Militansi, yaitu ketangguhan yang dimiliki saat berjuang;

b. Penggarapan, yaitu mereka yang secara terus menerus melakukan

penggarapan tanah;

c. Iuran, yaitu mereka yang secara aktif mendanai perjuangan;

d. Perjuangan; yaitu mereka yang berpartisipasi dalam melakukan

perjuangan;

e. Kepedulian, yaitu mereka yang berperan aktif dalam kegiatan sosial dan

kegiatan kemasyarakatan.

Sementara itu, tanah kolektif seluas 46 Ha yang diperuntukkan bagi

organisasi Pawartaku didaftarkan atas nama 90 orang Pengurus Pawartaku,

dan dibuatkan Akta Perjanjian di hadapan Notaris. Tujuannya agar tanah tidak

disalah-gunakan, sehingga tanah dapat dimanfaatkan bagi seluruh anggota

Pawartaku, guna meningkatkan kondisi sosial ekonominya.

Page 59: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

54

Berdasarkan uraian tersebut diketahui, bahwa Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar melakukan treatment dalam redistribusi tanah, dengan

memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor

49/Ka./1964. Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar membentuk

Panitia Landreform yang bertugas menetapkan peruntukan tanah dan

rekomendasi yang relevan dengan peruntukan tanah.

Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar segera menerbitkan SK

tentang Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang direklaim masyarakat

mendapat pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform). Kemudian

menerbitkan SK tentang Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, untuk melakukan

penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah, terutama di areal permukiman.

Sementara itu, penetapan luas bidang tanah yang diperoleh rumah tangga

petani dilakukan oleh organisasi tani setempat berdasarkan kearifan lokal,

misalnya kriteria sebagai berikut: militansi saat berjuang, penggarapan tanah

yang berhasil dilakukan saat berjuang, iuran yang diberikan dan aktivitas saat

berjuang, serta kepedulian sosial saat berjuang.

Selain berdasarkan realita redistribusi tanah di areal Perkebunan

Kulonbambang, treatment dalam redistribusi tanah tersebut juga harus

disandingkan dengan threat dalam redistribusi tanah, sebagaimana terlihat

pada Tabel: 4. Tabel ini mengungkapkan, bahwa persoalan kunci yang menjadi

threat dalam redistribusi tanah adalah ketika keputusan Panitia Landreform

tidak dilaksanakan, dan diganti dengan keputusan lain yang bertentangan.

Keputusan tersebut pada akhirnya segera menimbulkan konflik dan sengketa

pertanahan antara masyarakat (petani penggarap) dengan pihak perkebunan,

para pengambil keputusan dan pihak terkait lainnya. Konflik dan sengketa

pertanahan antara masyarakat dengan pihak perkebunan mewujud dalam

bentuk reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat. Sebagai treatment

dalam redistribusi tanah, Pemerintah Kabupaten Blitar segera memanfaatkan

Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 49/Ka./1964.

Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar membentuk Panitia

Page 60: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

55

Landreform yang bertugas menetapkan peruntukan tanah dan rekomendasi

yang relevan dengan peruntukan tanah.

Tabel 4: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Redistribusi Tanah

R E D I S T R I B U S I T A N A H

T H R E A T T R E A T M E N T

a. Ketika keputusan panitia landreform

tidak dilaksanakan, dan diganti dengan

keputusan lain yang bertentangan.

b. Keputusan yang bertentangan tersebut,

pada akhirnya menimbulkan konflik

dan sengketa pertanahan antara

masyarakat (petani penggarap) dengan

pihak perkebunan, pengambil

keputusan dan pihak terkait lainnya.

c. Konflik dan sengketa pertanahan

antara masyarakat dengan pihak

perkebunan mewujud dalam bentuk

reclaiming dan penguasaan tanah oleh

masyarakat.

d. Konflik dan sengketa pertanahan

mereda saat reclaiming dan

penguasaan tanah oleh masyarakat

diakui oleh pihak perkebunan.

e. Setelah konflik dan sengketa

pertanahan dapat diselesaikan, maka

Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

dapat melakukan redistribusi tanah.

a. Memanfaatkan secara optimal Surat

Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria

Nomor 49/Ka./1964.

b. Membentuk Panitia Landreform yang bertugas

menetapkan peruntukan tanah dan

rekomendasi yang relevan dengan peruntukan

tanah. c. Menerbitkan SK (Surat Keputusan) tentang

Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang

direklaim oleh masyarakat mendapat

pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek

Landreform). d. Menerbitkan SK tentang Pelaksanaan

Konsolidasi Tanah, untuk melakukan penataan

penggunaan dan pemanfaatan tanah, terutama

di areal permukiman. e. Penetapan luas bidang tanah yang diperoleh

rumah tangga petani dilakukan organisasi tani

setempat berdasarkan kearifan lokal, misalnya

kriteria sebagai berikut: militansi saat

berjuang, penggarapan tanah yang berhasil

dilakukan saat berjuang, iuran yang diberikan

saat berjuang, aktivitas saat berjuang, dan

kepedulian sosial saat berjuang.

Sumber: Data Primer, 2019

Tabel: 4 juga memperlihatkan, bahwa konflik dan sengketa pertanahan

mereda saat reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat diakui oleh

pihak perkebunan. Setelah konflik dan sengketa pertanahan dapat

diselesaikan, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar melakukan redistribusi

tanah.

Page 61: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

56

Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar kemudian menerbitkan SK tentang

Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang direklaim masyarakat mendapat

pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform). Selain itu, Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar juga menerbitkan SK Pelaksanaan Konsolidasi

Tanah, untuk melakukan penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah di

areal permukiman.

Sementara itu, penetapan luas bidang tanah yang akan diperoleh rumah

tangga petani dilakukan organisasi tani setempat berdasarkan kearifan lokal,

dengan kriteria sebagai berikut: militansi saat berjuang, penggarapan tanah

yang berhasil dilakukan saat berjuang, iuran yang diberikan saat berjuang,

aktivitas saat berjuang, dan kepedulian sosial saat berjuang.

3. Treatment Dalam Legalisasi Asset

Setelah treatment dalam landreform dan redistribusi tanah, langkah

selanjutnya yang bermanfaat bagi para petani (masyarakat), berupa treatment

dalam legalisasi asset. Treatment ini dilakukan, agar petani memperoleh

penguatan hak atas tanahnya, sehingga yang bersangkutan merasa aman, dan

dapat mendorong dirinya bekerja lebih produktif.

Penguatan hak atas tanah juga terjadi di bidang-bidang tanah eks

Perkebunan Kulonbambang yang dikuasai oleh petani. Kegiatan ini dilakukan

oleh Kantor Pertanahan, yang disebut legalisasi asset dalam bingkai reforma

agraria. Bidang-bidang tanah eks Perkebunan Kulonbambang yang dikuasai

oleh para petani dan telah menjadi TOL, selanjutnya disertipikasi oleh Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar pada tahun 2012, termasuk bidang tanah kolektif

dan perumahan, sebagai berikut:

a. 35 Ha untuk tanah kolektif, yaitu untuk tanah garapan bersama, Pusat

Pendidikan dan Pelatihan Petani, serta fasilitas umum lainnya. Kepemilikan

tanah secara kolektif, serta adanya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Petani

dimaksudkan untuk mempertahankan solidaritas dan semangat juang para

petani Kulonbambang.

Page 62: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

57

b. 25 Ha untuk perumahan, jalan, sungai, dan lain-lain yang diproses melalui

konsolidasi tanah (land consolidation).

Bidang tanah hasil redistribusi (yang dilaksanakan tahun 2011)

kemudian didaftarkan, untuk mendapatkan sertipikat hak milik atas tanah,

hingga akhirnya sertipikat tersebut terbit, dan dibagikan pada 4 April 2012.

Saat penyerahan sertipikat tanggal 4 April 2012 dilakukan pula penanaman

secara simbolis bibit pohon, yang merupakan hasil sumbangan Djarum

Foundation yang jumlahnya mencapai 5.000 bibit pohon, dan ditanam di tanah

kolektif.

Sementara itu, sertipikat hak atas tanah yang diserahkan pada petani

penerima redistribusi tanah tersebut berbeda dengan sertipikat hak milik

pada umumnya, karena ada keterangan bahwa tanah hak milik ini merupakan

hasil pelepasan dari hak guna usaha PT. Sari Bumi Kawi, dan tidak dapat

dipindahtangankan baik sebagian maupun keseluruhannya selama 10 tahun.

Pembatasan ini dilakukan sebagai upaya, untuk mencegah pemindahtanganan

hak atas tanah, sehingga:

a. tidak terjadi rekonsentrasi kepemilikan tanah;

b. tidak terjadi penyitaan asset (tanah), saat penerima redistribusi tanah

mengagunkan tanahnya dan wanprestasi atas kewajibannya;

c. tanah digarap sendiri oleh penerima redistribusi tanah;

d. terbangun hubungan batin yang kuat antara penerima redistribusi tanah

dengan tanahnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka diketahui bahwa treatment legalisasi

asset di Kabupaten Blitar dilakukan sesuai dengan maksud pelaksanaan

legalisasi asset, yaitu memberi penguatan hak atas tanah pada bidang-bidang

tanah eks perkebunan yang telah dikuasai oleh para petani. Oleh karena itu,

legalisasi asset dilakukan dengan menghormati kebutuhan para petani bagi

pengembangan pertanian di masa depan, termasuk adanya tanah kolektif serta

penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya, legalisasi asset

dilakukan dengan membubuhkan suatu catatan pada sertipikat, bahwa tanah

hak milik pada sertipikat tersebut merupakan pelepasan dari hak guna usaha

Page 63: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

58

perusahaan perkebunan, dan tidak dapat dipindahtangankan baik sebagian

maupun keseluruhannya selama 10 tahun.

Selain berdasarkan realita legalisasi asset di Kabupaten Blitar, treatment

dalam legalisasi asset tersebut juga harus disandingkan dengan threat dalam

legalisasi asset, sebagaimana terlihat pada Tabel: 5.

Tabel 5: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Legalisasi Asset

L E G A L I S A S I A S S E T

T H R E A T T R E A T M E N T

a. Legalisasi asset barulah dapat dilakukan

ketika redistribusi tanah telah dilakukan.

Sebagaimana diketahui Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar telah

melakukan redistribusikan tanah seluas

3.326 Ha pada kurun waktu tahun 2007 –

2017, yang secara bertahap juga telah

melakukan legalisasi asset.

b. Redistribusi tanah dapat semakin cepat

terwujud, ketika pihak perkebunan

bersedia untuk menyerahkan sebagian

tanah yang dikuasainya kepada

masyarakat. Percepatan redistribusi ini

pada akhirnya harus direspon dengan

percepatan legalisasi asset.

c. Tetapi percepatan legalisasi asset akan

terhambat, ketika percepatan redistribusi

tanah telah lebih dahulu terhambat, oleh

ketidak-sediaan masayarakat menerima

tanah yang dilepaskan pihak perkebunan,

karena masyarakat menuntut tanah yang

lebih luas.

a. Maksud pelaksanaan legalisasi asset,

adalah untuk memberi penguatan

hak atas tanah pada bidang-bidang

tanah eks perkebunan yang telah

dikuasai oleh petani.

b. Oleh karena itu, legalisasi asset

dilakukan dengan menghormati

kebutuhan petani bagi

pengembangan pertanian di masa

depan, termasuk adanya tanah

kolektif serta penataan penggunaan

dan pemanfaatan tanah.

c. Selanjutnya, legalisasi asset

dilakukan dengan membubuhkan

catatan pada sertipikat hak atas

tanahnya, bahwa tanah hak milik

pada sertipikat tersebut merupakan

hasil pelepasan dari hak guna usaha

perusahaan perkebunan, dan tidak

dapat dipindahtangankan baik

sebagian maupun keseluruhan

selama 10 tahun.

Sumber: Data Primer, 2019

Tabel: 8 memperlihatkan, bahwa persoalan kunci yang menjadi threat

dalam legalisasi asset adalah pencapaian redistribusi tanah. Legalisasi asset

hanya dapat dilakukan ketika redistribusi tanah telah selesai dilaksanakan.

Sebagaimana diketahui Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar telah berhasil

Page 64: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

59

melaksanakan redistribusi tanah seluas 3.326 Ha pada kurun waktu tahun

2007 – 2017, yang secara bertahap juga telah dilegalisasi.

Sementara itu, redistribusi tanah dapat terwujud, ketika pihak pengelola

perkebunan bersedia menyerahkan sebagian tanah yang dikuasainya kepada

masyarakat. Redistribusi ini kemudian direspon dengan legalisasi asset. Tetapi

legalisasi asset akan terhambat, ketika redistribusi tanah telah lebih dahulu

terhambat, oleh ketidak-sediaan masyarakat menerima tanah yang dilepaskan

pihak perkebunan, karena masyarakat menuntut tanah yang lebih luas. Bila

redistribusi tanah dapat dilaksanakan dengan baik, maka legalisasi asset dapat

dilaksanakan dengan baik pula. Hal ini perlu diperhatikan, karena maksud

pelaksanaan legalisasi asset, adalah untuk memberi penguatan hak atas tanah

pada bidang-bidang tanah eks perkebunan yang telah dikuasai oleh petani.

Legalisasi asset dilakukan dengan cara menghormati kebutuhan petani

bagi pengembangan pertanian di masa depan, termasuk adanya tanah kolektif

serta penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya, legalisasi

asset juga disertai dengan tindakan membubuhkan catatan pada sertipikat hak

atas tanahnya, bahwa tanah hak milik pada sertipikat tersebut merupakan

hasil pelepasan dari hak guna usaha perusahaan perkebunan, dan tidak dapat

dipindahtangankan baik sebagian maupun keseluruhan selama 10 tahun.

Page 65: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

60

B A B VI

THREAT DAN TREATMENT DALAM REFORMA AKSES M. Threat Dalam Reforma Akses

Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 tentang

Organisasi dan Tatakerja Penyelenggaraan Landreform menyebutkan, bahwa

peningkatan sosial ekonomi dilakukan dengan cara:

1. memperkuat hak milik dan memberi isi pada fungsi hak milik;

2. memperbaiki produktivitas nasional, guna mempertinggi penghasilan dan

taraf hidup rakyat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55

Tahun 1980, maka memperkuat hak milik adalah tantangan bagi reforma akses,

yang bermuara pada peningkatan sosial ekonomi masyarakat atau para petani

penggarap. Legalisasi asset memberi jaminan kepastian hukum kepada petani

penggarap yang telah mempunyai hak milik atas tanah. Hal ini dapat memberi

ketenangan kepada mereka untuk memfungsikan hak milik dengan sebaik-

baiknya, terutama dalam peningkatan produktivitas, guna terus mempertinggi

penghasilan dan taraf hidup.

Oleh karena itu threat dengan makna tantangan pada reforma agraria

adalah legalisasi asset. Tepatnya, ketika Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

melaksanakan penguatan hak atau legalisasi asset, maka kegiatan ini merupakan

tantangan bagi terselenggaranya reforma akses, atau tantangan bagi hadirnya

kemampuan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dalam melakukan reforma

akses.

Threat dalam reforma akses atau penataan akses tidak hanya dapat

dilakukan oleh pemerintah, yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dan SKPD,

melainkan juga dapat dilakukan oleh masyarakat. Situasi ini terlihat di Dusun

Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, ketika

Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang) selalu berkontribusi dalam

mendukung reforma akses. Hal ini dilakukan Pawartaku, untuk menghadapi

Page 66: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

61

threat dalam reforma akses, terutama yang berkaitan dengan mental dan psiko-

sosial masyarakat atau para petani penerima redistribusi tanah eks Perkebunan

Kulonbambang.

Kinan (tokoh Pawartaku) menjelaskan, bahwa ada persoalan mental dan

psiko-sosial yang dialami petani Dusun Kulonbambang, yaitu kecenderungan

untuk mengalihkan tanah mereka secara di bawah tangan, ketika memiliki

kebutuhan dana yang mendesak. Persoalan makin berat karena ada perbedaan

karakter, antara ketika mereka masih sebagai buruh perkebunan dengan setelah

mereka menjadi petani. Saat bekerja sebagai buruh perkebunan, mereka tidak

memiliki ikatan batin dengan tanahnya, dan terbiasa dengan rutinitas dibayar

setelah bekerja. Kesemua ini ditambah lagi dengan rendahnya pendapatan,

sehingga berdampak pada lemahnya permodalan mereka saat akan melakukan

usaha tani.

Pandangan Kinan tersebut seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang ingin

membantu petani (yaitu petani penggarap yang kemudian beralih menjadi petani

pemilik tanah). Pihak-pihak tersebut cenderung memberi bantuan yang bersifat

fisik dan berbagai pelatihan teknis, tetapi mengabaikan pelatihan penataan

mental dan psiko-sosial.

Oleh karena itu, perlu ada perubahan format bantuan kepada petani, yaitu

bantuan yang selain bersifat fisik dan teknis, juga bantuan yang memiliki sifat

dan berdampak motivasional. Bantuan ini akan memberi dorongan pada petani,

untuk bersegera mengubah mental dan psiko-sosialnya agar sesuai dengan

kebutuhannya.

Sementara itu, dalam konteks yang lebih luas (Kabupaten Blitar) diketahui,

bahwa berdasarkan kebijakan yang diterbitkan dan harus dilaksanakan dalam

reforma akses, maka ada 3 (tiga) threat yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

1. Pelaksanaan Kebijakan:

Ada threat dalam pelaksanaan kebijakan yang terlalu ideal, terutama

ketika peluang pelaksanaan dikaitkan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 86

Page 67: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

62

Tahun 2018 tentang Reforma Agraria). Berdasarkan peraturan perundang-

undangan tersebut, maka:

a. Penataan akses dilaksanakan dengan berbasis klaster (cluster) dalam

rangka meningkatkan skala ekonomi, nilai tambah, dan mendorong inovasi

di bidang kewirausahaan subyek reforma agraria (misal: penerima

redistribusi tanah).

b. Penataan akses, meliputi:

(1) Pemetaan sosial, untuk mengetahui potensi, peluang, dan kendala

yang dihadapi oleh subyek reforma agraria sebagai kelompok sasaran

penataan akses.

(2) Peningkatan kapasitas kelembagaan, yang dilakukan melalui

pembentukan kelompok sasaran penataan akses berdasarkan jenis

usaha.

(3) Pendampingan usaha, yang dilakukan melalui kemitraan yang

berkeadilan.

(4) Peningkatan keterampilan, yang dilakukan melalui kegiatan:

penyuluhan, pendidikan, pelatihan, dan bimbingan teknis.

(5) Penggunaan teknologi tepat guna, yang perlu dilakukan melalui

kerjasama dengan suatu perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga

penelitian, serta kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.

(6) Diversifikasi usaha, yang perlu dilakukan dengan penganeka-ragaman

jenis usaha, untuk memaksimalkan upaya peningkatan kesejahteraan.

(7) Fasilitasi akses permodalan, yang dilakukan oleh lembaga keuangan,

koperasi, dan badan usaha melalui dana tanggungjawab sosial

perusahaan (corporate social responsibility). Selain itu, fasilitasi akses

permodalan dilakukan melalui penetapan kebijakan pemberian

pinjaman kepada kelompok sasaran penataan akses dengan bunga

rendah dalam jangka panjang.

(8) Fasilitasi akses pemasaran (offtaker), yang dilakukan dengan

menampung dan menyalurkan hasil usaha kelompok sasaran

penataan akses.

Page 68: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

63

(9) Penguatan basis data dan informasi komoditas, yang dilakukan

dengan menyusun basis data penataan akses yang digunakan sebagai

dasar pengawasan.

(10) Penyediaan infrastruktur pendukung.

c. Penataan akses dilaksanakan dengan pola:

(1) Pemberian langsung oleh pemerintah.

(2) Kerjasama antara masyarakat yang memiliki sertipikat hak milik

dengan badan hukum melalui kemitraan yang berkeadilan.

(3) Kerjasama antara kelompok yang memiliki hak kepemilikan bersama

dengan badan hukum melalui program tanah sebagai penyertaan

modal.

d. Penataan akses dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait yang

dikoordina-sikan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria.

e. Dalam rangka mengkoordinasikan pelaksanaan penataan akses, Gugus

Tugas Reforma Agraria dapat menunjuk pendamping dan mitrakerja

subyek reforma agraria.

2. Dukungan SKPD:

Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait dengan dukungan

SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Hal ini dikarenakan masing-masing

SKPD telah memiliki tugas yang relatif berat dalam tugas pokok dan fungsinya

masing-masing, sehingga berpeluang overload (kelebihan beban) ketika diberi

tambahan tugas reforma akses.

3. Kewenangan Kantor Pertanahan:

Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait kewenangan

Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk mendukung pelaksanaan reforma

akses. Sebagaimana diketahui kewenangan menggerakkan SKPD yang terkait

dengan reforma akses tidak ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar,

melainkan berada pada Pemerintah Kabupaten Blitar (dalam hal ini: Bupati

Blitar). Oleh karena itu, kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

hanya sebatas mengusulkan dan mengingatkan, agar Bupati Blitar berkenan

menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses.

Page 69: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

64

Secara ringkas dapat dinyatakan, bahwa threat dalam reforma akses

Kabupaten Blitar meliputi pelaksanaan kebijakan yang relatif lebih sederhana,

bila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang terlalu ideal dan

normatif. Selain itu dukungan SKPD relatif lemah, karena masing-masing SKPD

telah memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing yang relatif berat,

sehingga berpeluang overload ketika diberi tambahan tugas. Sementara itu,

kewenangan yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar relatif

terbatas, yaitu hanya sebatas mengusulkan dan mengingatkan, agar Bupati Blitar

berkenan menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses.

Pada sisi lain, Pawartaku berpandangan bahwa kendala petani Dusun

Kulonbambang Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar dalam

mengakses tanahnya cenderung berkaitan dengan peralihan tanah, karakter, dan

permodalan. Penjelasan Kinan tersebut identik dengan threat dalam reforma

akses dari sisi OTL (Organisasi Tani Lokal), yang dalam hal ini Pawartaku.

Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan Kinan (tokoh Pawartaku) diketahui,

bahwa threat dalam reforma akses, yaitu:

1. Terjadinya peralihan tanah dari petani penerima redistribusi tanah kepada

pihak lain.

2. Terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil redistribusi oleh

petani penerima redistribusi tanah.

3. Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi

tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan tanah.

4. Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi

tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian dibayar.

5. Lemahnya permodalan petani penerima redistribusi tanah.

N. Treatment Dalam Reforma Akses

Treatment reforma akses diwujudkan dalam bentuk arahan tindakan atau

perilaku, agar petani penerima redistribusi tanah dapat mempertahankan dan

memanfaatkan tanahnya dengan baik (menguntungkan). Untuk itu ada pelibatan

Page 70: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

65

pihak-pihak tertentu dalam pelaksanaan kegiatan pasca legalisasi asset, misal:

pembuatan jalan desa, dan dukungan permodalan usaha tani.

Dalam konteks Kabupaten Blitar, maka treatment dalam reforma akses

diwujudkan dalam bentuk dukungan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

terhadap tindakan petani penerima redistribusi tanah, dalam mengembangkan

tanah pertanian sebagai sumber kehidupan mereka, baik dari aspek ekonomi,

permodalan, pasar, teknologi, serta peningkatan kapasitas dan kemampuan.

Sebagai contoh, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar memberi dukungan

dengan memberikan fasilitasi akses, baik akses masyarakat ke tanahnya itu

sendiri, maupun akses masyarakat ke instrumen penunjang agar mereka dapat

mengelola tanahnya dengan baik (optimal), seperti: akses permodalan.

Sebagaimana diketahui Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menggandeng BRI

(Bank Rakyat Indonesia) untuk membantu permodalan para petani penerima

redistribusi tanah.

Keterlibatan pihak bank dalam membantu permodalan petani penerima

redistribusi tanah, ternyata mendapat kritik dari Kinan (tokoh Pawartaku) yang

melihat dinamika sosial dan ekonomi petani penerima redistribusi tanah di

Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.

Tepatnya Kinan memberi kritik terhadap tindakan Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar, yang telah “membawa” pihak bank, untuk membantu permodalan petani

penerima redistribusi tanah.

Kritik diberikan oleh Kinan, karena tidak ada perlakuan khusus pihak bank

terhadap petani penerima redistribusi tanah. Kinan menyatakan, bahwa:

1. Besaran bunga bank yang diterapkan pada petani Dusun Kulonbambang sama

dengan nasabah pada umumnya, padahal petani Dusun Kulonbambang

memiliki tingkat kesulitan finansial yang lebih berat dari nasabah pada

umumnya.

2. Pemberian kredit kepada petani Dusun Kulonbambang tidak selektif, sehingga

potensi kredit macet relatif besar.

Page 71: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

66

3. Pihak bank tidak melakukan pendampingan, sehingga kemampuan berusaha

petani Dusun Kulonbambang tidak meningkat, dan beresiko pada terjadinya

kredit macet.

4. Bila petani Dusun Kulonbambang gagal melunasi kreditnya atau mengalami

kredit macet, maka tanah yang dimilikinya berpeluang akan dijual oleh yang

bersangkutan atau oleh pihak bank.

Pernyataan Kinan tersebut merupakan ekspresi atas situasi penataan akses

(reforma akses) di Dusun Kulonbambang. Sebagaimana diketahui treatment

dalam reforma akses dilakukan oleh pemerintah (Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar dan SKPD Pemerintah Kabupaten Blitar) dan masyarakat. Sebagai contoh

treatment dalam reforma akses yang dilakukan Pawartaku (Paguyuban Warga

Tani Kulonbambang) di Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kecamatan

Doko, Kabupaten Blitar, sebagai berikut:

1. Mencegah terjadinya peralihan tanah dari petani penerima redistribusi tanah

kepada pihak lain, melalui penyegaran dan penguatan semangat juang petani

anggota Pawartaku.

2. Mencegah terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil

redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah, melalui penguatan etos

kerja petani anggota Pawartaku.

3. Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi

tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan tanah; dan

menggantinya dengan karakter “petani”, yang kuat ikatan batinnya dengan

tanah.

4. Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi

tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian dibayar; dan

menggantinya dengan karakter “petani”, yang tekun dan sabar dalam

mengelola tanah pertanian, hingga mendapat hasil saat panen.

5. Meningkatkan permodalan petani penerima redistribusi tanah melalui skema

credit union.

Selain treatment yang telah diperlihatkan oleh Pawartaku sebagai OTL

(Organisasi Tani Lokal) di Dusun Kulonbambang, perlu diperhatikan treatment

Page 72: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

67

yang diperlihatkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk mengatasi

threat dalam reforma akses. Dalam konteks ini, Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar mengungkapkan treatment-nya dengan menjelaskan, bahwa pelaksanaan

kebijakan yang relatif lebih sederhana merupakan solusi, karena bila terpaku

pada peraturan perundang-undangan yang terlalu ideal dan normatif, maka sulit

menghadapi dinamika lapangan. Sementara itu, dukungan dari SKPD yang relatif

lemah, direspon dengan melakukan komunikasi yang intens dengan Bupati Blitar

dan pimpinan SKPD terkait. Treatment ini sekaligus sebagai respon atas

keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar, agar reforma akses dapat terlaksana dengan baik.

Untuk melihat ketepatan treatment yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar dan Pawartaku terhadap threat dalam reforma akses, maka

perlu diperhatikan substansi Tabel: 6. Tabel ini mengungkapkan, bahwa

treatment tidak dimonopoli oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar. Bila

monopoli treatment dipaksakan, maka Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar tidak

akan mampu memberi hasil optimal bagi masyarakat.

Tabel: 6 mengungkapkan, bahwa bila monopoli treatment dipaksakan,

maka Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar tidak akan mampu memberi optimal.

Akibatnya banyak persoalan terkait akses yang ada di masyarakat atau petani

penerima tanah hasil redistribusi, tidak akan dapat diselesaikan dengan sebaik-

baiknya. Persoalan-persoalan yang tidak mampu ditangani oleh Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar, antara lain yang berhubungan dengan karakter

masyarakat (petani). Sebagai contoh, karakter “buruh perkebunan” lebih tepat

ditangani OTL (Organisasi Tani Lokal), yaitu Pawartaku (Paguyuban Warga Tani

Kulonbambang). OTL atau dalam hal ini Pawartaku memiliki keahlian, untuk

melakukan pendekatan personal kepada anggota masyarakat (petani), sehingga

mampu merubah karakter “buruh perkebunan” menjadi karakter “petani”.

Misalnya mengubah dari karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima

redistribusi tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan tanah; dan

menggantinya dengan karakter “petani”, yang kuat ikatan batinnya dengan tanah.

Page 73: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

68

Tabel 6: Treatment Untuk Mengatasi Threat Dalam Reforma Akses

NO. R E F O R M A A K S E S

T H R E A T T R E A T M E N T Oleh Pawartaku:

1. Terjadinya peralihan tanah dari

petani penerima redistribusi tanah

kepada pihak lain.

Mencegah terjadinya peralihan tanah dari

petani penerima redistribusi tanah kepada

pihak lain, melalui penyegaran dan penguatan

semangat juang petani anggota Pawartaku.

2. Terjadinya penyewaan atau

penjualan bidang tanah hasil

redistribusi oleh petani penerima

redistribusi tanah.

Mencegah terjadinya penyewaan atau

penjualan bidang tanah hasil redistribusi oleh

petani penerima redistribusi tanah, melalui

penguatan etos kerja petani anggota

Pawartaku.

3. Kuatnya karakter “buruh

perkebunan” pada petani

penerima redistribusi tanah, yang

cenderung lemah ikatan batinnya

dengan tanah.

Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada

petani penerima redistribusi tanah, yang

cenderung lemah ikatan batinnya dengan

tanah; dan menggantinya dengan karakter

“petani”, yang kuat ikatan batinnya dengan

tanah.

4. Kuatnya karakter “buruh

perkebunan” pada petani

penerima redistribusi tanah, yang

memiliki mindset setelah kerja

kemudian dibayar.

Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada

petani penerima redistribusi tanah, yang

memiliki mindset setelah kerja kemudian

dibayar; dan menggantinya dengan karakter

“petani”, yang tekun dan sabar dalam

mengelola tanah pertanian, hingga mendapat

hasil saat panen.

5. Lemahnya permodalan petani

penerima redistribusi tanah.

Meningkatkan permodalan petani penerima

redistribusi tanah, melalui skema credit union.

Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar:

1. Peraturan perundang-undangan

ideal dan normatif, sehingga sulit

menghadapi dinamika lapangan.

Pelaksanaan kebijakan disederhanakan, agar

mampu menghadapi dinamika lapangan.

2. Lemahnya dukungan SKPD

terhadap pelaksanaan reforma

agraria.

Melakukan komunikasi yang intens dengan

Bupati Blitar dan pimpinan SKPD terkait.

3. Keterbatasan kewenangan yang

dimiliki oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar, agar reforma

akses dapat terlaksana dengan

baik.

Melakukan komunikasi yang intens dengan

Bupati Blitar dan pimpinan SKPD terkait,

bersedia mendukung reforma akses.

Sumber: Data Primer, 2019

Page 74: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

69

B A B VII

KONSTRUKSI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SOSIAL O. Konstruksi Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial sebagai dampak reforma agraria, nampak pada

kehidupan para petani di Dusun Kulon Bambang, Desa Sumberurip Kecamatan

Doko. Pihak yang paling aktif melakukan konstruksi kesejahteraan sosial adalah

Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang). Sebagaimana diketahui

Pawartaku telah melakukan upaya, untuk mencegah terjadinya peralihan tanah

dari petani penerima redistribusi tanah kepada pihak lain, melalui penyegaran

dan penguatan semangat juang petani anggota Pawartaku. Selain itu, Pawartaku

juga mencegah terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil

redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah, melalui penguatan etos

kerja petani anggota Pawartaku.

Sementara itu, berkaitan dengan karakter “buruh perkebunan” pada petani

penerima redistribusi tanah yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan

tanah, maka Pawartaku telah berupaya menggantinya dengan karakter “petani”,

yang kuat ikatan batinnya dengan tanah. Selain itu, masih dalam kaitannya

dengan karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima redistribusi tanah

yang memiliki mindset setelah kerja kemudian dibayar, maka Pawartaku

berupaya menggantinya dengan karakter “petani”, yang tekun dan sabar dalam

mengelola tanah pertanian, hingga mendapat hasil pada saat panen. Akhirnya,

Pawartaku juga berupaya membantu permodalan petani Dusun Kulonbambang

dengan caranya yang unik.

Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial di Dusun Kulonbambang,

Pawartaku menyiapkan fasilitas umum, fasilitas sosial, serta pendidikan dan

pelatihan bagi petani. Kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi petani

diselenggarakan oleh Pawartaku dengan memanfaatkan tanah kolektif yang ada,

sebagai tempat demplot (demonstration plot). Sementara itu, berkaitan dengan

peningkatkan modal usaha petani penerima redistribusi tanah, maka Pawartaku

Page 75: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

70

tidak menyerahkannya pada pihak bank. Pawartaku melakukan upaya tersendiri

agar lebih sesuai dengan situasi yang dialami petani penggarap (eks penerima

redistribusi tanah) di Dusun Kulonbambang. Sikap kritis terhadap perbankan ini,

kemudian mendorong Pawartaku untuk belajar pada Yayasan Cindelaras di

Yogyakarta, tentang pengelolaan koperasi yang mampu memberdayakan petani.

Selanjutnya hasil belajar inilah yang memunculkan ide untuk mendirikan Credit

Union berbadan hukum koperasi di Dusun Kulonbambang.

Credit Union Pawartaku merupakan upaya untuk mendukung para petani

Dusun Kulonbambang di bidang sosial, finansial, dan gerakan petani. Sebagai

modal awal pendirian Credit Union Pawartaku, digunakanlah hasil dari

pengerjaan tanah kolektif. Selanjutnya petani Dusun Kulonbambang diwajibkan

menabung, sebesar Rp. 1.650.000,- dengan perincian:

1. Uang sebesar Rp. 800.000,- ditabung untuk hari tua yang bersangkutan atau

pensiun yang bersangkutan.

2. Uang sebesar Rp. 450.000,- dapat diambil bila diperlukan oleh yang

bersangkutan.

3. Uang sebesar Rp. 400.000,- merupakan asuransi kesehatan dan asuransi jiwa

(kematian) bagi yang bersangkutan.

Setiap bulan petani Dusun Kulonbambang wajib menabung di Credit Union

Pawartaku, sebesar Rp. 50.000,-. Bila yang bersangkutan tidak sanggup, petugas

Credit Union Pawartaku akan memberi botol air mineral kosong yang telah

dimodifikasi, untuk menyimpan uang receh (kecil). Kemudian kepada yang

bersangkutan diminta setiap harinya untuk mengisi botol kosong tersebut

dengan uang receh sesuai kemampuannya, dan bila botol telah penuh, maka

isinya diserahkan kepada petugas Credit Union Pawartaku, untuk disimpan

sebagai tabungan atas nama yang bersangkutan.

Besaran bunga pada Credit Union Pawartaku tidaklah flat, melainkan

menurun. Selain itu, cicilan setiap bulannya juga menurun. Contoh, seseorang

yang berpenghasilan Rp. 1.500.000,- per bulan mendapat kredit sebesar Rp.

18.000.000,- yang harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Maka cicilannya

per bulan berubah-ubah semakin menurun, seperti: diawal cicilannya Rp.

Page 76: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

71

750.000 per bulan, kemudian berubah-ubah semakin menurun hingga cicilannya

hanya Rp. 300.000,- per bulan.

Sebagai usaha yang berbadan hukum koperasi, Credit Union Pawartaku

tidak mengutamakan pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha), melainkan

mengutamakan kemanfaatkan kredit yang diberikan oleh Credit Union

Pawartaku kepada anggotanya. Karena bila Credit Union Pawartaku

mengutamakan SHU, maka ia akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari

anggota. Akibatnya beban anggota terasa berat, sehingga Credit Union Pawartaku

tidak terlalu bermanfaat buat anggotanya.

Credit Union Pawartaku berupaya membantu anggotanya seoptimal

mungkin. Contoh, ada suami istri yang mengambil kredit senilai Rp. 18.000.000,-.

Suami memiliki usaha berjualan bakso, sedangkan istrinya memiliki usaha

menjahit pakaian (konveksi). Kredit tersebut digunakan untuk kebutuhan

tertentu yang langsung habis terpakai, sehingga yang bersangkutan berpeluang

kesulitan dalam mengembalikan kredit tersebut. Oleh karena itu, petugas Credit

Union Pawartaku menawarkan kredit tambahan sebagai modal usaha. Kemudian

disepakati, yang bersangkutan akan mendapat kredit tambahan sebesar Rp.

4.000.000,- dengan perincian:

1. Rp. 2.000.000,- untuk tambahan modal usaha suami berjualan bakso, dan

2. Rp. 2.000.000,- untuk tambahan modal usaha istri menjahit pakaian

(konveksi).

Credit Union Pawartaku juga berkomitmen, untuk tidak membuka usaha

penyaluran atau retail (pedagang eceran) bahan pokok, seperti: beras, gula,

minyak goreng, dan lain-lain. Komitmen ini dibuat dan dilaksanakan, agar Credit

Union Pawartaku tidak bersaing dengan usaha anggotanya yang membuka

warung kecil-kecilan. Contoh lainnya, Credit Union Pawartaku hanya menangani

pengemasan kopi bubuk, kemudian memasarkannya, sedangkan yang menanam,

memanen, dan mengolah hingga dihasilkan bubuk kopi (dalam hal ini “Kopi

Doko”) dilakukan oleh petani yang menjadi anggota Credit Union Pawartaku.

Pada Bulan April 2019, Credit Union Pawartaku telah beranggotakan 800

orang, dengan omset mencapai: Rp. 3,5 milyar. Sesuai komitmennya, Credit Union

Page 77: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

72

Pawartaku berupaya mengatasi kredit macet petani Dusun Kulonbambang di

bank (BRI) yang mencapai 81 sertipikat hak atas tanah atau 81 bidang tanah.

Fenomena kredit macet ini merupakan dampak masuknya perbankan di Dusun

Kulonbambang.

Awalnya perbankan masuk ke Dusun Kulonbambang, untuk mendukung

reforma agraria, khususnya reforma akses, yaitu untuk membantu permodalan

bagi petani Dusun Kulonbambang. Tetapi karena situasi unik yang dialami petani

Dusun Kulonbambang, maka bantuan tersebut justru membebani. Salah satu

penyebabnya adalah tidak adanya pembinaan dan arahan pada petani yang

mengambil kredit di bank.

Oleh karena itu, langkah pertama yang dilakukan Pawartaku dalam

membantu petani Dusun Kulonbambang adalah dengan menyelamatkan bidang

tanah yang dimiliki petani. Caranya dengan menyelesaikan kewajiban petani

terhadap bank, kemudian memindahkannya menjadi kewajiban petani terhadap

Pawartaku. Untuk itu Pawartaku melunasi kredit yang diambil petani,

selanjutnya petani yang bersangkutan dicatat sebagai penerima kredit dari Credit

Union Pawartaku, yang nilainya setara dengan nilai pelunasan kreditnya di bank.

Tetapi Pawartaku melakukan hal ini secara bertahap, karena kemampuan

Pawartaku melalui Credit Union Pawartaku memiliki keterbatasan finansial.

Sampai dengan April 2019, upaya Credit Union Pawartaku ini telah berhasil

menebus 57 sertipikat hak atas tanah yang ada di BRI, dan upaya akan terus

dilanjutkan hingga seluruh kredit macet di BRI tersebut dapat diselesaikan atau

dilunasi oleh Credit Union Pawartaku.

Permodalan merupakan sesuatu yang penting bagi petani Dusun

Kulonbambang, tetapi hal ini tidak boleh menyebabkan petani kehilangan

tanahnya, karena disita atau dijual pihak bank saat kreditnya tak mampu

dilunasi. Modal usaha mampu memberi kesempatan pada petani untuk

memproduksi komoditas pertanian yang disukai pasar. Sebagai contoh, petani

Dusun Kulonbambang telah berhasil memproduksi kopi, yang kemudian dikenal

sebagai Kopi Doko (nama kecamatan). Kopi Doko mendapat predikat “excellent”

dari Panitia Festival Kopi Jawa Timur tahun 2018, dan saat ini para petani Dusun

Page 78: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

73

Kulonbambang sedang berjuang agar suatu saat Kopi Doko berhasil mendapat

predikat “premium”.

Untuk mendukung dinamika kehidupan petani Dusun Kulonbambang,

Credit Union Pawartaku menyediakan fasilitas kredit, sebagai berikut:

1. Griyo, adalah kredit untuk membangun rumah, caranya sebagai berikut:

a. Satu tahun sebelum membangun rumah, yang bersangkutan harus

mengajukan Griyo, misalnya sebesar Rp. 100.000.000,-.

b. Untuk itu, yang bersangkutan harus menabung sebesar 10% dari nilai

Griyo, misalnya: 10% dari Rp. 100.000.000,- yaitu sebesar Rp. 10.000.000,-.

c. Selanjutnya Griyo dapat dicicil secara berkala sesuai kesepakatan (seperti:

bulanan atau triwulanan) selama 20 tahun.

2. Kismo, adalah kredit untuk membeli tanah, caranya sebagai berikut:

a. Satu tahun sebelum membeli tanah, yang bersangkutan harus mengajukan

Kismo, yang nilainya sebesar harga tanah yang akan dibeli.

d. Untuk itu, yang bersangkutan harus menabung sebesar 10% dari nilai

Kismo.

b. Selanjutnya Kismo dapat dicicil secara berkala sesuai kesepakatan (seperti:

bulanan atau triwulanan) untuk selama waktu yang disepakati (seperti: 5

tahun).

3. Kreto, adalah kredit untuk membeli kendaraan roda dua atau roda empat,

caranya dengan terlebih dahulu membayar uang muka, seperti untuk uang

muka kendaraan roda dua sebesar Rp. 2.000.000,- dan diangsur setiap

bulannya sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu yang disepakati

(seperti: 5 tahun).

4. Kromo, adalah kredit untuk biaya pernikahan, yang pelunasannya dapat

diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu yang

disepakati (seperti: 5 tahun).

5. Babaran, adalah kredit untuk biaya melahirkan, yang besarannya adalah Rp.

2.000.000,- per anak, dan pelunasannya dapat diangsur setiap bulan sesuai

dengan kesepakatan untuk selama waktu yang disepakati.

Page 79: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

74

6. Tanen, adalah kredit untuk bertani tanaman perkebunan, yang pelunasannya

dapat diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu

yang disepakati.

7. Parisuko, adalah kredit untuk membeli barang-barang elektronik, yang

pelunasannya dapat diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk

selama waktu yang disepakati.

8. Parimulyo, adalah kredit untuk bertani tanaman pangan, yang pelunasannya

dapat diangsur setiap bulan sesuai dengan kesepakatan untuk selama waktu

yang disepakati.

Setelah berjuang relatif lama, yaitu sejak legalisasi asset atau sejak tahun

2012, akhirnya reforma agraria di Dusun Kulonbambang, Desa Sumberurip,

Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar berhasil memberi dampak berupa

kesejahteraan sosial bagi petani. Tepatnya reforma agraria di Dusun

Kulonbambang yang meliputi wilayah seluas 280 Ha, dan melibatkan 130 rumah

tangga petani, berhasil mengkonstruksi kesejahteraan sosial petani Dusun

Kulonbambang, sebagai berikut:

1. Mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga berpendidikan Sekolah

Menengah Atas. Padahal sebelum reforma agraria (sebelum memiliki bidang

tanah), mereka bekerja sebagai buruh perkebunan, sehingga hanya mampu

menyekolahkan anak-anaknya pada tingkat Sekolah Dasar.

2. Tidak lagi disebut “wong persil”. Padahal sebelum reforma agraria, mereka

diberi panggilan “wong persil” yang bermakna penghinaan.

3. Diperkenankan mengikuti seluruh kegiatan sosial yang ada di Desa

Sumberurip. Padahal sebelum reforma agraria, masyarakat dan Pemerintah

Desa Sumberurip membatasi kegiatan sosial Desa Sumberurip yang dapat

diikuti oleh mereka (para petani Dusun Kulonbambang), karena khawatir

membebani finansial dan psikis mereka.

4. Didengar pendapatnya saat Pertemuan Desa. Padahal sebelum reforma

agraria, masyarakat dan Pemerintah Desa Sumberurip kurang memperhatikan

pendapat yang diajukan oleh mereka (para petani Dusun Kulonbambang),

karena khawatir mereka tidak memahami persoalan yang sedang dibahas.

Page 80: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

75

5. Diperkenankan mendirikan organisasi dan kegiatan yang menyertainya,

seperti Credit Union Pawartaku. Padahal sebelum reforma agraria, masyarakat

dan Pemerintah Desa Sumberurip membatasi mereka (petani Dusun

Kulonbambang) membatasi mereka dalam berorganisasi.

6. Mampu memiliki ternak (unggas, kambing, dan sapi) serta kendaraan

bermotor (roda dua). Padahal sebelum reforma agraria, mereka tidak memiliki

ternak dan kendaraan bermotor.

7. Mampu memiliki rumah permanen. Padahal sebelum reforma agraria, mereka

tinggal di rumah yang tidak permanen, dan bukan milik sendiri.

P. Konstruksi Keadilan Sosial

Keadilan sosial terlihat pada hubungan yang baik antara pihak yang satu

dengan pihak yang lain. Selain itu, keadilan berada di tengah-tengah titik ekstrim,

yang pada hakekatnya tidak boleh mengutamakan kepentingan diri sendiri, dan

juga tidak boleh mengutamakan kepentingan orang lain. Kerjasama juga

merupakan unsur penting dalam penerapan keadilan sosial, karena ia

menekankan pada pemenuhan hak dan kewajiban para pihak. Untuk itu

perjanjian atau kontrak sosial yang telah disepakati para pihak menjadi dasar

bagi pelaksanaan keadilan. Dengan demikian keadilan sosial dibangun atau

dikonstruksi oleh beberapa unsur sebagai berikut: equal opportunity,

egalitarianisme, partisipatoris, terjadi proses sosial, demokratis, penghormatan

terhadap hak asasi manusia, pembangunan yang berguna bagi masyarakat,

kegiatan yang mampu mereduksi ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan

harmoni sosial.

Ketika keadilan sosial diletakkan pada pengelolaan sumberdaya agraria/

tanah, maka dalam pengelolaan sumberdaya agraria/tanah terlihat hubungan

yang baik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Meskipun sebelumnya

terjadi konflik atau sengketa pertanahan, karena adanya reclaiming tanah oleh

suatu pihak (yaitu: masyarakat atau petani penggarap) terhadap pihak yang lain

(yaitu: pengelola perkebunan). Tetapi akhirnya konflik atau sengketa pertanahan

tersebut dapat diselesaikan secara damai.

Page 81: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

76

Pengelolaan sumberdaya agraria/tanah tidak hanya mengutamakan

kepentingan suatu pihak (misal: pengelola perkebunan), dan juga tidak hanya

mengutamakan kepentingan pihak yang lain (misal: masyarakat atau petani

penggarap). Sumberdaya agraria/tanah dikelola dalam bingkai berbagi dan

bekerjasama antara pihak yang satu (misal: pengelola perkebunan) dengan pihak

yang lain (misal: masyarakat atau petani penggarap). Kedua pihak berdampingan

secara damai dalam mengelola sumberdaya agraria/tanah, dan perlahan-lahan

melupakan serta menghapus dari ingatan konflik atau sengketa pertanahan yang

pernah terjadi. Untuk itu, kedua pihak perlu memenuhi hak dan kewajiban

masing-masing, berdasarkan perjanjian atau kontrak sosial yang telah disepakati.

Secara faktual keadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya

agraria/tanah merupakan dampak reforma agraria, yang dibangun melalui

penghormatan terhadap hak-hak petani penggarap, untuk memperoleh tanah.

Slogan “tanah untuk petani” menjiwai penghormatan ini, sehingga ketika petani

penggarap melakukan reclaiming tanah, maka solusinya bukanlah siapa yang

paling kuat pembuktian hukumnya, melainkan bagaimana caranya agar diperoleh

konstruksi keadilan yang baru, sehingga perkebunan (termasuk tanah

perkebunan) dapat berdampingan dengan petani (termasuk tanah petani).

Semangat ini berpeluang menciptakan kehidupan sosial yang lebih adil dan

demokratis di beberapa perkebunan di Kabupaten Blitar. Sebagaimana diketahui

pada beberapa perkebunan tersebut, keadilan sosial sedang dikonstruksi Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar dan semua pihak yang terkait, melalui

penghormatan terhadap petani penggarap, terutama yang melakukan reclaiming

tanah. Timbul kesadaran di kalangan pengelola perkebunan, untuk bersedia

menyerahkan sebagian tanahnya kepada petani penggarap, seperti:

1. Perkebunan Gondang Tapen di Dusun Gondang Tapen, Desa Ringinrejo,

Kecamatan Wates: PT. Semen Bima Agung bersedia melepaskankan tanahnya

seluas 50 Ha, kepada petani penggarap dari Desa Ringinrejo.

2. Perkebunan Nusantara XII di Dusun Penataran, Desa Penataran, Kecamatan

Nglegok: PT. Perkebunan Nusantara XII bersedia melepaskan tanahnya seluas

70 Ha, kepada petani penggarap dari Desa Penataran.

Page 82: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

77

3. Perkebunan Nyunyur di Dusun Nyunyur, Desa Soso, Kecamatan Gandusari: PT.

Kismo Handayani bersedia melepaskan tanahnya seluas 74 Ha, kepada petani

penggarap dari Dusun Nyunyur.

4. Perkebunan Rotorejo Kruwuk di Dusun Sukomulyo (Desa Gadungan) dan

Dusun Rejokaton (Desa Sumberagung), Kecamatan Gandusari: PT. Perkebunan

Rotorejo Kruwuk bersedia melepaskan tanahnya seluas 24 Ha, kepada petani

penggarap dari Desa Gadungan.

5. Perkebunan Swaru Buluroto di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum: PT.

Kemakmuran Swaru Buluroto bersedia melepaskan tanahnya seluas 100 Ha,

kepada petani penggarap dari Desa Karangrejo.

6. Perkebunan Gunung Nyamil di Desa Ngeni dan Desa Ngadipuro, Kecamatan

Wonotirto, serta Desa Serang, Kecamatan Wonotirto: Puskopad Kodam

V/Brawijaya bersedia melepaskan tanahnya, seluas 426 Ha kepada petani

penggarap dari Desa Ngeni, Desa Ngadipuro, dan Desa Serang.

7. Perkebunan Petung Ombo di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum:

Berdasarkan SK. Panglima Kodam V/Brawijaya Nomor SKEP/135/X/2001,

tanggal 16 Oktober 2001, akhirnya pada tahun yang sama Puskopad Kodam

V/Brawijaya bersedia melepaskan tanah seluas 138 Ha, kepada petani

penggarap dari Desa Karangrejo.

Keadilan sosial sebagai dampak reforma agraria semakin faktual, ketika

dilihat kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dalam pelaksanaan

redistribusi tanah pada kurun waktu tahun 2007 – 2017. Kinerja ini

memperlihatkan besarnya manfaat reforma agraria bagi petani penggarap

(rumah tangga petani). Pada kurun waktu 2007 – 2017, Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar telah melaksanakan redistribusi tanah sebanyak 20.075 bidang,

seluas 3.326 Ha, bagi 13.502 rumah tangga petani, yang tersebar di 60 desa.

Inilah bentuk keadilan sosial, yang berhasil diwujudkan dari aspek penguasaan

dan pemilikan tanah. Hal ini menjadi bukti keadilan sosial, karena jumlah rumah

tangga petani yang menguasai dan memiliki bidang tanah semakin banyak,

sehingga ketimpangan atau kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah

Page 83: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

78

(pertanian) dapat direduksi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel: 7

berikut ini:

Tabel 7: Kinerja Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

Dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah

Tahun 2007 – 2017

No. Tahun Luas (Ha) Jumlah RTP Jumlah Bidang Jumlah Desa

1. 2007 1.894,9007 7.419 11.321 18

2. 2008 640,9591 3.316 4.571 14

3. 2009 206,1856 817 1.402 10

4. 2010 0 0 0 0

5. 2011 255,0000 489 751 1

6. 2012 0 0 0 0

7. 2013 149, 6578 683 1.080 8

8. 2014 25,7573 212 250 3

9. 2015 71,3343 266 350 4

10. 2016 82,4277 300 350 2

11. 2017 0 0 0 0

Jumlah 3.326,2225 13.502 20.075 60

Keterangan: RTP = Rumah Tangga Petani

Sumber: Kantah Kab. Blitar, 2019

Ketika cakupan wilayah diperluas pada Provinsi Jawa Timur, keadilan sosial

sebagai dampak reforma agraria semakin faktual, terutama ketika

memperhatikan kinerja Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional)

Provinsi Jawa Timur. Pada kurun waktu 2007 – 2017 diketahui, bahwa Kantor

Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan redistribusi tanah

sebanyak 95.588 bidang, seluas 17.158 Ha, bagi 73.658 rumah tangga petani,

yang tersebar di lebih dari 15 kabupaten. Hal ini memperlihatkan keadilan sosial,

yang berhasil diwujudkan dari aspek penguasaan dan pemilikan tanah di

Provinsi Jawa Timur. Jumlah rumah tangga petani yang menguasai dan memiliki

bidang tanah semakin banyak, sehingga ketimpangan atau kesenjangan

penguasaan dan pemilikan tanah (pertanian) dapat direduksi. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Tabel: 8 berikut ini:

Page 84: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

79

Tabel 8: Kinerja Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur

Dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah

Tahun 2007 – 2017

No. Tahun Luas (Ha) Jumlah RTP Jumlah Bidang Jumlah Kab.

1. 2007 2.166,9742 8.436 12.400 8

2. 2008 3.325,2513 15.239 19.458 11

3. 2009 2.556,2513 9.704 12.932 7

4. 2010 1.983,1388 11.689 15.005 9

5. 2011 2.163,4660 6.971 9.001 7

6. 2012 712,0983 3.632 4.583 4

7. 2013 1.012,5850 4.582 6.000 7

8. 2014 1.211,4186 4.643 5.861 10

9. 2015 539,3963 2.524 3.000 0

10. 2016 1.175,8843 5.109 6.000 10

11. 2017 312,1269 1.129 1.348 4

Jumlah 17.158,5910 73.658 95.588 -

Keterangan: RTP = Rumah Tangga Petani

Sumber: Kanwil BPN Prov. Jawa Timur melalui Kantah Kab. Blitar, 2019

Untuk mengetahui kontribusi Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar ketika

memperjuangkan keadilan sosial melalui redistribusi tanah pada konteks

Provinsi Jawa Timur, maka perlu dibandingkan dua data, sebagai berikut:

1. Pada kurun waktu 2007 – 2017, Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur

telah melaksanakan redistribusi tanah sebanyak 95.588 bidang, seluas 17.158

Ha, bagi 73.658 rumah tangga petani.

2. Pada kurun waktu 2007 – 2017, Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar telah

melaksanakan redistribusi tanah sebanyak 20.075 bidang, seluas 3.326 Ha,

bagi 13.502 rumah tangga petani.

Berdasarkan kedua data tersebut diketahui, bahwa Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar berkontribusi, sebagai berikut:

1. Dalam hal jumlah bidang tanah yang diredistribusikan, telah berkontribusi

sebesar 21%.

2. Dalam hal luas areal yang diredistribusikan, telah berkontribusi sebesar 19%.

3. Dalam hal jumlah rumah tangga petani yang memperoleh bidang tanah hasil

redistribusi, telah berkontribusi sebesar 18%.

Page 85: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

80

Berdasarkan seluruh uraian tersebut diketahui, bahwa ketika keadilan

sosial diletakkan dalam konteks reforma agraria di Kabupaten Blitar, maka:

1. Keadilan sosial merupakan dampak reforma agraria, terutama terlihat pada

luas areal (3.326 Ha) dan jumlah bidang tanah yang diredistribusikan (20.075

bidang), serta rumah tangga petani yang memperoleh manfaat berupa tanah

hasil redistribusi (13.502 rumah tangga petani) pada kurun waktu tahun

2007 - 2017. Situasi ini sekaligus menjadi bukti adanya elemen keadilan

sosial, seperti: equal opportunity, egalitarianisme, dan partisipatoris.

2. Keadilan sosial juga nampak pada penghormatan terhadap petani penggarap

oleh pihak pengelola perkebunan, terutama pada petani penggarap yang

melakukan reclaiming tanah. Kesediaan pihak pengelola perkebunan untuk

bernegosiasi dengan para petani penggarap melalui mekanisme mediasi, yang

diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar merupakan

penanda penghormatan terhadap petani penggarap. Situasi ini sekaligus

menjadi bukti keberadaan elemen keadilan sosial, seperti: proses sosial,

demokratis, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

3. Penghormatan ditunjukkan pula oleh adanya kesadaran dan kesediaan

pengelola perkebunan, untuk menyerahkan sebagian tanahnya kepada para

petani penggarap, yang untuk 7 lokasi konflik luasnya mencapai 882 Ha.

Situasi ini merupakan bukti adanya elemen-elemen keadilan sosial, seperti:

pembangunan yang berguna bagi masyarakat, kegiatan yang mereduksi

ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan peluang harmoni sosial.

Page 86: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

81

B A B VIII

P E N U T U P Q. Kesimpulan

Reforma agraria menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan konflik

agraria, yang sekaligus juga berfungsi sebagai instrumen dalam mewujudkan

kesejahteraan dan keadilan sosial. Sementara itu, dalam konteks threat dan

treatment-nya di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur diketahui, bahwa:

7. Threat dan treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten

Blitar, sebagai berikut:

a. Threat dalam penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar,

antara lain:

(1) Regulasi landreform yang ada justru menjadi threat, ketika upaya

mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2

Perpres 86 Tahun 2018) mengalami kesulitan, karena pemerintah

masih terus mengandalkan kemajuan pertanian pada pengelolaan

tanah berskala besar, terutama yang dikelola oleh perusahaan besar

atau korporasi.

(2) Regulasi redistribusi tanah yang ada justru menjadi threat, ketika

subyek reforma agraria (Pasal 12 Perpres 86 Tahun 2018) terlalu luas,

sehingga sulit mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani

gurem, penggarap, dan buruh tani.

(3) Regulasi legalisasi asset justru menjadi threat, ketika penanganan

sengketa dan konflik agraria difasilitasi oleh GTRA (Gugus Tugas

Reforma Agraria). Sementara itu diketahui, bahwa GTRA berjenjang

dari Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten (Pasal 18-23 Perpres 86

Tahun 2018), sehingga memberi peluang bagi terjadinya intervensi dari

GTRA level atas terhadap GTRA level di bawahnya. Hal ini akan

menyulitkan GTRA di level terbawah dalam mengambil keputusan,

Page 87: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

82

padahal GTRA pada level inilah yang paling mengetahui konflik agraria

yang terjadi.

(4) Regulasi reforma akses justru menjadi threat, ketika penataan akses

(Pasal 15-16 Perpres 86 Tahun 2018) memposisikan masyarakat hanya

sebagai obyek, dan belum bersedia memposisikan masyarakat sebagai

subyek (pihak yang menentukan kebutuhannya sendiri).

b. Treatment dalam penerapan regulasi reforma agraria di Kabupaten Blitar,

antara lain:

(1) Regulasi landreform membutuhkan treatment untuk mengatasi

ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (lihat Pasal 2 Perpres 86

Tahun 2018). Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah paradigma

kemajuan pertanian dari sebelumnya kemajuan berbasis pengelolaan

tanah berskala besar (perusahaan besar atau korporasi), menjadi

berbasis pada pengelolaan tanah berskala kecil (petani, kelompok tani,

dan koperasi tani).

(2) Regulasi redistribusi tanah, membutuhkan treatment untuk dapat fokus

pada upaya mengentaskan kemiskinan yang menimpa para petani

gurem, penggarap, dan buruh tani. Oleh karena itu, subyek reforma

agraria (Pasal 12 Perpres 86 Tahun 2018) yang terlalu luas perlu

dipersempit.

(3) Regulasi legalisasi asset, membutuhkan treatment dalam penanganan

sengketa dan konflik agraria yang difasilitasi oleh GTRA. Oleh karena

itu, GTRA yang berjenjang dari Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten

(Pasal 18-23 Perpres 86 Tahun 2018) perlu diantisipasi dengan

menciptakan efektivitas kerja, melalui pemberian kewenangan pada

GTRA di level paling bawah atau GTRA Kabupaten, untuk mengambil

keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

(4) Regulasi reforma akses, membutuhkan treatment berupa penguatan

peran serta masyarakat (petani penggarap) setempat sebagai subyek

atau pihak yang paling mengetahui kebutuhannya, karena regulasi

Page 88: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

83

hanya memberi posisi masyarakat sebatas obyek dalam penataan akses

(Pasal 15-16 Perpres 86 Tahun 2018).

8. Threat dan treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten

Blitar, sebagai berikut:

a. Threat dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar terjadi

ketika keputusan Panitia Landreform tidak dilaksanakan, dan diganti

dengan keputusan lain yang bertentangan. Keputusan yang bertentangan

tersebut, akhirnya menimbulkan konflik dan sengketa pertanahan antara

masyarakat (petani penggarap) dengan pihak perkebunan, pengambil

keputusan dan pihak terkait lainnya. Konflik dan sengketa pertanahan

antara masyarakat dengan pihak perkebunan mewujud dalam bentuk

reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat. Konflik dan sengketa

pertanahan mereda saat reclaiming dan penguasaan tanah oleh masyarakat

diakui oleh pihak perkebunan. Setelah konflik dan sengketa pertanahan

dapat diselesaikan, maka Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dapat

melakukan redistribusi tanah.

b. Treatment dalam pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Blitar

dilakukan dengan memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan

Agraria Nomor 49/Ka./1964. Kemudian Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar membentuk Panitia Landreform yang bertugas menetapkan

peruntukan tanah dan rekomendasi yang relevan dengan peruntukan

tanah. Selanjutnya Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar menerbitkan SK

tentang Pelaksanaan Landreform, setelah tanah yang direklaim oleh

masyarakat mendapat pengesahan sebagai TOL (Tanah Obyek Landreform).

Kemudian menerbitkan SK tentang Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, untuk

melakukan penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah, terutama di areal

permukiman. Sementara itu, penetapan luas bidang tanah yang diperoleh

rumah tangga petani dilakukan organisasi tani setempat berdasarkan

kearifan lokal, misalnya kriteria sebagai berikut: militansi saat berjuang,

Page 89: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

84

penggarapan tanah yang berhasil dilakukan saat berjuang, iuran yang

diberikan dan aktivitas saat berjuang, serta kepedulian sosial saat berjuang.

9. Threat dan treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi

tanah di Kabupaten Blitar, sebagai berikut:

a. Threat dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah di

Kabupaten Blitar terjadi karena legalisasi asset barulah dapat dilakukan

setelah redistribusi tanah dilakukan. Sebagaimana diketahui Kantor

Pertanahan Kabupaten Blitar telah meredistribusikan tanah seluas 3.326

Ha pada kurun waktu tahun 2007 – 2017, yang secara bertahap juga telah

melakukan legalisasi asset. Redistribusi tanah dapat semakin cepat

terwujud, ketika pihak perkebunan bersedia untuk menyerahkan sebagian

tanah yang dikuasainya kepada masyarakat. Percepatan redistribusi ini

pada akhirnya harus direspon dengan percepatan legalisasi asset. Tetapi

percepatan legalisasi asset akan terhambat, ketika percepatan redistribusi

tanah telah lebih dahulu terhambat, oleh ketidak-sediaan masayarakat

menerima tanah yang dilepaskan pihak perkebunan, karena masyarakat

menuntut tanah yang lebih luas.

b. Treatment dalam pelaksanaan legalisasi asset hasil redistribusi tanah di

Kabupaten Blitar dilakukan sesuai dengan maksud pelaksanaan legalisasi

asset, yaitu memberi penguatan hak atas tanah pada bidang-bidang tanah

eks perkebunan yang telah dikuasai oleh petani. Oleh karena itu, legalisasi

asset dilakukan dengan cara memperhatikan kebutuhan para petani bagi

pengembangan pertanian di masa depan, termasuk adanya tanah kolektif

serta penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya, legalisasi

asset dilakukan dengan membubuhkan suatu catatan pada sertipikat,

bahwa tanah hak milik pada sertipikat tersebut merupakan pelepasan dari

hak guna usaha perusahaan perkebunan, dan tidak dapat dipindah-

tangankan baik sebagian maupun keseluruhan selama 10 tahun.

Page 90: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

85

10. Threat dan treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para penerima

redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi, sebagai

berikut:

a. Threat dalam mewujudkan reforma akses bagi para penerima redistribusi

tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi, antara lain:

(1) Threat yang terkait dengan tugas Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar,

seperti:

(a) Ada threat dalam pelaksanaan kebijakan yang terlalu ideal,

terutama ketika peluang pelaksanaan dikaitkan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan (Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan

Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria).

(b) Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait dengan

dukungan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Hal ini

dikarenakan masing-masing SKPD telah memiliki tugas yang relatif

berat dalam tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga

berpeluang overload (kelebihan beban) ketika diberi tambahan

tugas reforma akses.

(c) Ada threat dalam reforma akses, terutama yang terkait dengan

kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, untuk

mendukung reforma akses. Sebagaimana diketahui kewenangan

menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses tidak ada

pada Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, melainkan berada pada

Pemerintah Kabupaten Blitar (dalam hal ini: Bupati Blitar). Oleh

karena itu, kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar hanya

sebatas mengusulkan dan mengingatkan, agar Bupati Blitar

berkenan menggerakkan SKPD yang terkait dengan reforma akses.

(2) Threat yang terkait dengan fungsi OTL (Organisasi Tani Lokal), seperti:

(a) Terjadinya peralihan tanah dari petani penerima redistribusi tanah

kepada pihak lain.

Page 91: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

86

(b) Terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil

redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah.

(c) Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima

redistribusi tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan

tanah.

(d) Adanya karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima

redistribusi tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian

dibayar.

(e) Lemahnya permodalan petani penerima redistribusi tanah.

b. Treatment dalam mewujudkan reforma akses bagi para penerima

redistribusi tanah yang yang bidang tanahnya telah dilegalisasi, sebagai

berikut:

(1) Treatment yang terkait dengan tugas Kantor Pertanahan Kabupaten

Blitar, seperti:

(a) Pelaksanaan kebijakan yang relatif lebih sederhana merupakan

solusi, karena bila terpaku pada peraturan perundang-undangan

yang terlalu ideal dan normatif, maka sulit menghadapi dinamika

lapangan.

(b) Dukungan dari SKPD yang relatif lemah, direspon dengan

melakukan komunikasi yang intens dengan Bupati Blitar dan

pimpinan SKPD terkait.

(c) Treatment ini sekaligus juga merupakan respon atas keterbatasan

kewenangan yang dimiliki Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar,

agar reforma akses dapat terlaksana dengan baik.

(2) Treatment yang terkait dengan fungsi OTL (Organisasi Tani Lokal),

seperti:

(a) Mencegah terjadinya peralihan tanah dari petani penerima

redistribusi tanah kepada pihak lain, melalui penyegaran dan

penguatan semangat juang petani anggota Pawartaku.

Page 92: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

87

(b) Mencegah terjadinya penyewaan atau penjualan bidang tanah hasil

redistribusi oleh petani penerima redistribusi tanah, melalui

penguatan etos kerja petani anggota Pawartaku.

(c) Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima

redistribusi tanah, yang cenderung lemah ikatan batinnya dengan

tanah; dan menggantinya dengan karakter “petani”, yang kuat

ikatan batinnya dengan tanah.

(d) Mengubah karakter “buruh perkebunan” pada petani penerima

redistribusi tanah, yang memiliki mindset setelah kerja kemudian

dibayar; dan menggantinya dengan karakter “petani”, yang tekun

dan sabar dalam mengelola tanah pertanian, hingga mendapat hasil

saat panen.

(e) Meningkatkan permodalan petani penerima redistribusi tanah

melalui skema credit union.

11. Konstruksi kesejahteraan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma

agraria di Kabupaten Blitar, berupa kesejahteraan bagi petani eks penerima

redistribusi tanah, sebagai berikut:

a. Mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga berpendidikan Sekolah

Menengah Atas. Padahal sebelum reforma agraria (sebelum memiliki

bidang tanah), mereka bekerja sebagai buruh perkebunan, sehingga hanya

mampu menyekolahkan anak-anaknya pada tingkat Sekolah Dasar.

b. Tidak lagi disebut “wong persil”. Padahal sebelum reforma agraria, mereka

diberi panggilan “wong persil” yang bermakna penghinaan.

c. Diperkenankan mengikuti seluruh kegiatan sosial yang ada di Desa

Sumberurip. Padahal sebelum reforma agraria, masyarakat dan Pemerintah

Desa Sumberurip membatasi kegiatan sosial Desa Sumberurip yang dapat

diikuti oleh mereka (para petani Dusun Kulonbambang), karena khawatir

membebani finansial dan psikis mereka.

d. Didengar pendapatnya saat Pertemuan Desa. Padahal sebelum reforma

agraria, masyarakat dan Pemerintah Desa Sumberurip kurang

Page 93: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

88

memperhatikan pendapat yang diajukan oleh mereka (para petani Dusun

Kulonbambang), karena khawatir mereka tidak memahami persoalan yang

sedang dibahas.

e. Diperkenankan mendirikan organisasi dan kegiatan yang menyertainya,

seperti Credit Union Pawartaku. Padahal sebelum reforma agraria,

masyarakat dan Pemerintah Desa Sumberurip membatasi mereka (petani

Dusun Kulonbambang) membatasi mereka dalam berorganisasi.

f. Mampu memiliki ternak (unggas, kambing, dan sapi) serta kendaraan

bermotor (roda dua). Padahal sebelum reforma agraria, mereka tidak

memiliki ternak dan kendaraan bermotor.

g. Mampu memiliki rumah permanen. Padahal sebelum reforma agraria,

mereka tinggal di rumah yang tidak permanen, dan bukan milik sendiri.

12. Konstruksi keadilan sosial yang berhasil dibangun melalui reforma agraria di

Kabupaten Blitar, sebagai berikut:

a. Keadilan sosial merupakan dampak reforma agraria, terutama terlihat pada

luas areal (3.326 Ha) dan jumlah bidang tanah yang diredistribusikan

(20.075 bidang), serta rumah tangga petani yang memperoleh manfaat

berupa tanah hasil redistribusi (13.502 rumah tangga petani) pada kurun

waktu tahun 2007 - 2017. Situasi ini sekaligus menjadi bukti adanya

elemen-elemen keadilan sosial, seperti: equal opportunity, egalitarianisme,

dan partisipatoris.

b. Keadilan sosial juga nampak pada penghormatan terhadap petani

penggarap oleh pihak pengelola perkebunan, terutama pada petani

penggarap yang melakukan reclaiming tanah. Kesediaan pihak pengelola

perkebunan untuk bernegosiasi dengan para petani penggarap melalui

mekanisme mediasi, yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Blitar merupakan penanda penghormatan terhadap petani

penggarap. Situasi ini sekaligus menjadi bukti keberadaan elemen keadilan

sosial, seperti: proses sosial, demokratis, dan penghormatan terhadap hak

asasi manusia.

Page 94: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

89

c. Penghormatan ditunjukkan pula oleh adanya kesadaran dan kesediaan

pengelola perkebunan, untuk menyerahkan sebagian tanahnya kepada para

petani penggarap, yang untuk 7 lokasi konflik luasnya mencapai 882 Ha.

Situasi ini merupakan bukti adanya elemen-elemen keadilan sosial, seperti:

pembangunan yang berguna bagi masyarakat, kegiatan yang mereduksi

ketimpangan, distribusi yang proporsional, dan peluang harmoni sosial.

R. Rekomendasi

Regulasi reforma agraria perlu terus dilaksanakan sebaik-baiknya dengan

memperhatikan situasi setempat, seraya terus menerus dilakukan perbaikan

terhadap substansi regulasi tersebut. Selain itu, pelaksanaan redistribusi tanah,

legalisasi asset, dan pemberian akses juga perlu terus menerus dilakukan dan

diperjuangkan pelaksanaannya, karena mampu mewujudkan kesejahteraan dan

keadilan sosial.

Perlu memberi perhatian yang lebih besar pada landreform by leverage,

dengan menempatkan penyelesaian konflik dan sengketa penguasaan dan

pemilikan tanah sebagai bagian dari program nasional reforma agraria. Hal ini

penting dilakukan, karena akan berdampak pada adanya dorongan untuk

memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang kompeten, dan pendanaan yang

memadai, sehingga lebih cepat diperoleh kesepakatan antara pihak pengelola

perkebunan dengan masyarakat. Hal ini akan mempercepat redistribusi tanah, untuk

kemudian dilanjutkan dengan legalisasi asset dan access reform.

Page 95: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

90

DAFTAR PUSTAKA

Agassi, Joseph. 1990. “The Theory and Practice of The Welfare State.” Toronto, York University.

Aliansi Tani Jawa Timur. 2018. “Wujudkan Keadilan Agraria Dan Kedaulatan Petani di Jawa Timur.” www.api.or.id tanggal 8 Oktober 2018

Arisaputra, Muhammad Ilham. 2015. “Accessreform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.” (Disertasi). Surabaya, Universitas Airlangga.

Azwar, Saifuddin. 1998. “Metode Penelitian.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Bakri, Muhammad. 2011. “Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru

Untuk Reforma Agraria.” Malang, Universitas Brawijaya Press. Collins Dictionary. 2019a. “Threat.” www.collinsdictionary.com tanggal 25 Maret

2019. Collins Dictionary. 2019b. “Treatment.” www.collinsdictionary.com tanggal 25 Maret

2019. Darmawan T. dan Sugeng B. 2006. “Memahami Negara Kesejahteraan: Beberapa

Catatan Bagi Indonesia.” Jakarta, Jurnal Politika. Frufonga, Ronaldo F., Vilma S. Sulleza dan Roel A. Alli. 2016. “The Impact of

Comprehensive Agrarian Reform Program on Farmer Beneficiaries in The 3rd Congressional District of Iloilo, Philippines.” Asia Pacific Journal of Multidisciplinary Research, Vol.4, No,1, February 2016. Halaman 81-90.

Fuwa, Nobuhiko. 2000. “Politics And Economics Of Landreform In The Philippines.” Matsudo, Chiba University.

Harsono, Boedi. 2003. “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, Dan Pelaksanaannya.” Jakarta, Djambatan.

Heit, Jason. 2005. “Rural Development And The Agrarian Reform Process in Chile.” Saskatchewan Economics Journal. Halaman 71-82. Canada, University of Saskatchewan.

Hutagalung, Arie Sukanti. 1985. “Program Reditribusi Tanah di Indonesia.” Jakarta, Rajawali Press.

Islambergerak.com. 2018. “Pengantar Memahami Problem dan Konflik Agraria di Jawa Timur.” 24 November 2018.

Isnaeni, Diyan. 2017. “Kebijakan Program Redistribusi Tanah Bekas Perkebunan Dalam Menunjang Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat.” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, Nomor 4, Oktober 2017, halaman 308-317.

KPA. 2018. “KPA Jawa Timur Tindaklanjuti Konsolidasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria.” www.kpa.or.id tanggal 12 April 2018.

Limbong, Bernhard. 2012a. “Konflik Pertanahan.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Limbong, Bernhard. 2012b. “Reforma Agraria.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Limbong, Bernhard. 2012c. “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Regulasi,

Kompensasi, dan Penegakan Hukum.” Jakarta, Margaretha Pustaka. Mediatataruang.com. 2016. “Program Legalisasi Asset BPN-RI.” www.mediatata

ruang.com tanggal 10 September 2016.

Page 96: Pelaksana Tugas: Aristiono Nugroho Suharno Nuraini Aisiyah

91

Moleong, Lexy J. 2007. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Bandung, Remaja Rosdakarya.

Muhajir, Noeng. 1998. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Yogyakarta, Rake Sarasin. Nurlinda, Ida. 2008. “Penerapan Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Menurut

Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang ‘Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam’ Dalam Kebijakan Pertanahan Nasional.” (Disertasi). Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.

Parlindungan, A.P. 1983. “Landreform di Indonesia.” Ujungpandang, STIKI. Rangkuti, Freddy. 2004. “Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.” Jakarta,

Gramedia Pustaka Utama. Rawls, John. 2011. “A Theory of Justice.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Santoso, Urip. 2012. “Hukum Agraria: Kajian Komprehensif.” Jakarta, Kencana

Penada Media Group. Siagian, Sondang P. 2000. “Manajemen Strategik.” Jakarta, Bumi Aksara. Sitasdesablitar. 2019. “Kulonbambang.” http://sitasdesablitar.com 22 Maret 2019. Slote, Michael. 2010. “Justica as a Virtue”. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Sobhan, Rehman. 1993. “Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions

for Development.” Oxford University Press. Soemardjono, Maria S.W. 2012. “Penyempurnaan UUPA Dan Sinkronisasi

Kebijakan.” Kompas.com tanggal 9 Oktober 2012. Swift, Adam. 2006. “Political Philosophy: A Beginner’s Guide for Student and

Politician.” Cambridge, Polity.