peb lapsusku revisi
DESCRIPTION
hgjgTRANSCRIPT
Laporan Kasus Obstetri dan Gynekologi
Laporan Kasus
PREEKLAMPSIA BERAT
Oleh :
Ingkan Wandanarini 0610710066
Zahrah Febianti 0610710142
Anandarajah A/L Shanmugham 0610714005
Pendamping:
dr. Efilda Silfiyana
Pembimbing:
dr. Bambang Rahardjo, Sp. OG
Laboratorium/ SMF Ilmu Kandungan dan Kebidanan
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Rumah Sakit dr. Saiful Anwar
Malang
2011
i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul............................................................................................... i
Daftar Isi ........................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 2
1.3 Tujuan.................................................................................. 2
1.4 Manfaat ............................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
2.1 Definisi Preeklampsia Berat ................................................ 3
2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat....................................... 4
2.3 Etiologi Preeklampsia Berat ................................................ 4
2.3.1 Invasi Trofoblas Abnormal .......................................... 5
2.3.2 Teori Intoleransi Imunologik Ibu dan Janin ................ 7
2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel ............... 8
2.4 Tata Laksana Preeklampsia Berat ......................................
2.6 Komplikasi Preeklampsia Berat ...........................................
2.4.1 Identifikasi Mayat yang Tidak Dikenal ........................ 8
BAB 3 Laporan Kasus .......................................................................... 20
3.1 Identitas Pasien ................................................................... 20
3.2 Subyektif .............................................................................. 20
3.3 Obyektif ............................................................................... 21
3.3.1 Pemeriksaan Fisik ...................................................... 21
3.3.2 Pemeriksaan Penunjang ............................................ 21
3.4 Assesment ........................................................................... 22
3.5 Planning .............................................................................. 22
BAB 4 Permasalahan ............................................................................ 27
iii
BAB 5 Pembahasan .............................................................................. 25
BAB 6 PENUTUP ...................................................................................
Daftar Pustaka .............................................................................................
iv
Lembar Pengesahan
Laporan Kasus Obstetri dan Gynekologi
PREEKLAMPSIA BERAT
Oleh :
Ingkan Wandanarini 0610710066
Zahrah Febianti 0610710142
Anandarajah A/L Shanmugham 0610714005
Pembimbing
dr. Bambang Rahardjo, Sp. OG
Pendamping
dr. Efilda Silfiyana
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang
sebelumnya tidak mengalami hipertensi (Wang, Y, et al, 2000). Biasanya
sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan
(Cunningham, et al, 2007). Gejalanya berkurang atau menghilang setelah
melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri kehamilan (Roberts, et al,
1993).
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan,
solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa
kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal
death (IUFD) (Isler, et al, 1999).
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh
kehamilan di seluruh dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi
kehamilan lainnya merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab
kematian dan kesakitan terbanyak pada ibu hamil dan melahirkan di samping
infeksi dan perdarahan (Chunningham, et al, 2007). Sampai saat ini etiologi
preeklampsia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai etiologi preeklampsia antara lain iskemik plasenta, maladaptasi imun
dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel dianggap berperan dalam
patogenesis preeclampsia (Wibowo N, 2001).
Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas
tersebut disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini
preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak sempat mendapat
penanganan yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai
ke rumah sakit rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah
sakit rujukan memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk
1
2
menangani kasus eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai
pengenalan faktor resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia
sangat diperlukan agar tidak terjadi keterlambatan penanganan pertama dan
rujukan (Prasetyorini, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil tema
preeklampsia dengan fokus bahasan pada preeclampsia berat sebagai judul
referat ini.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui faktor resiko terjadinya preeklampsi berat pada kasus yang
sedang dibahas.
2. Membandingkan penegakan diagnosis preeklampsi berat pada kasus yang
sedang dibahas dengan teori.
3. Membandingkan tata laksana preeclampsia berat pada pasien yang sedang
dibahas dengan teori.
4. Mengetahui upaya pencegahan preeclampsia berat pada kasus preeclampsia
berat, khususnya pada pasien yang sedang dibahas.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman dokter muda mengenai preeklampsia berat dalam hal
pengenalan faktor resiko, penegakkan diagnosis dini, dan penatalaksanaan
kasus preeclampsia berat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang
ditandai dengan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah
≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya
dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg
protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam
kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia
dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang
berat (George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥
160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24
jam atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami
preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008).
Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia
berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative
singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al,
2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala
subjektif berupa :
Muntah-muntah
Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau
oedema, atau sakit karena perubahan pada lambung
3
4
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang
buta. Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae.
Perubahan – perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).
2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, termasuk preeclampsia berat, yaitu:
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
Umur yang ekstrim.
Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
(Angsar, 2008)
Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI
kurang dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari
35 kg/m2
Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden
preeclampsia yang tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada
kehamilan secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko
hipertensi kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko
hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007).
2.3 Etiologi Preeklampsia Berat
Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada
kehamilan kembar atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi
selama kehamilan.
5
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di
dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk
terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade
peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah
kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,
transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon
inflamasi dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).
2.3.1 Invasi trofoblas abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami
remodelling akibat invasi endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot
arteri spiralis. Hal ini menimbulkan degenerasi lapisan otot arteri spiralis
sehingga terjadi dilatasi dan distensi (Gambar 2.1). Pada preeclampsia,
terjadi invasi trofoblas namun tidak sempurna dan tidak terjadi invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis. Dalam hal ini, hanya pembuluh
darah desidua (bukan pembuluh darah miometrium) yang dilapisi oleh
endovaskuler trofoblas. Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan
keras serta tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan dilatasi. Ini
menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis mengalami vasokonstriksi
relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan bahwa keparahan
defek invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan
hipertensi (Cunningham, et al, 2007).
6
Gambar 2.1Implantasi plasenta yang normal menunjukkan adanya proliferasi trofoblas extravili,
membentuk saluran di bawah villi yang melekat. Trofoblas extravillous menginvasi desidua dan masuk ke dalam artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan pada endotel dan
dinding otot pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar (Cunningham, et al, 2007)
Gambar 2.2Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan preeclampsia. Tampak pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri spiralis
relative menjadi lebih konstriksi.(Cunningham, et al, 2007)
7
De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil
dari sisi implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron.
Mereka menemukan bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal
termasuk kerusakan endotel, insudasi plasma ke dalam pembuluh darah,
proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial. Mereka menemukan
adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima kemudian di
dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel
inflamasi lainnya di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya,
pembuluh darah yang terkena atherosis akan berkembang menjadi
aneurisma dan seringkali berkaitan dengan arteriola spiralis yang gagal
untuk melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh
atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang
membuat perfusi plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom
preeklampsi (Cunningham, et al, 2007)
Gambar 2.3Atherosis dalam pembuluh darah ini diambil dari anyaman plasenta (sebelah kiri,
menunjukkan gambaran fotomikrograf; sebelah kanan, menunjukkan diagram skematik dari pembuluh darah). Kerusakan endotel menyebabkan penyempitan pada lumen
pembuluh darah akibat akumulasi protein plasma dan foamy makrofag di bawah endotel. Foamy makrofag ditunjukkan oleh anak panah yang melengkung, sedangkan anak panah
yang lurus menunjukkan kerusakan endotel.
2.3.2 Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut;
Primigravida mempunyai faktor risiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida
8
Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih
besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
suami yang sebelumnya.
Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan
ialah makin lama periode ini makin kecil terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.
Pada perempuan hamil normal respon imun tidak menolak adanya
“hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human
Leucocyte Antigen Protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam
modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel
trofoblas ke dalam jaringan decidua ibu (Angsar, 2008).
Plasenta pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan
ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G menghambat invasi trofoblas
kedalam decidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan decidua
menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri
spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan
terjadinya reaksi inflamasi. Selain itu, pada awal trimester kedua kehamilan,
perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata
mempunyai proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding pada
normotensive (Angsar, 2008)
2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel
Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia
disebabkan oleh gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan
sehingga memicu proses inflamasi intravaskuler sistemik (Gambar 2.4).
Dalam teori ini dinyatakan bahwa preeclampsia timbul akibat adanya
leukosit aktif dengan jumlah yang ekstrem dalam sirkulasi ibu. Singkatnya,
sitokin-sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL)
dapat memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan preeklampsia. Stres
oksidatif ini ditandai oleh spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang
memicu terbentuknya peroksida lipid. Proses ini selanjutnya menghasilkan
9
radikal beracun yang merusak sel-sel endotel, mengacaukan produksi nitrit
oksida, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat lainnya
adalah terbentuknya sel makrofag yang mengandung lipid (sel foam) di
dalam atherosis; aktivasi proses koagulasi mikrovaskuler menyebabkan
trombositopenia; dan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
terjadinya edema dan proteinuria (Cunningham, 2007).
Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini
menimbulkan ketertarikan untuk memberikan antioksidan sebagai
pencegahan preeclampsia. Antioksidan merupakan kelompok senyawa
yang berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat produksi radikal bebas
yang berlebihan. Contoh antioksidan antara lain, vitamin E atau tokoferol,
vitamin C (asam askorbat), dan karoten (Angsar, 2008).
Gambar 2.4Patofisiologi hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)
10
2.3.4 Faktor Defisiensi Nutrisi
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk hati halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba
melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak ikan atau bahan yang
mengandung asam lemak tak jenuh dapat digunakan untuk mencegah
preeclampsia (Angsar, 2008).
Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya
buah-buahan dan sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan
dengan penurunan tekanan darah. Studi ini berkaitan dengan penelitian
Zhang bahwa resiko preeklampsi menjadi dua kali lipat pada wanita yang
mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive Protein
(CRP) yang merupakan marker inflamasi, juga meningkat pada obesitas.
Hal ini selanjutnya juga berkaitan dengan preeclampsia karena obesitas
pada orang tidak hamil pun dapat menyebabkan aktivasi endotel dan
respon inflamasi sistemik akibat atherosklerosis (Cunningham, et al, 2007).
2.3.5 Faktor genetik
Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam
review komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan
insiden risiko preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita
ibu preeklampsia; 11 sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia
dan 22-47 persen dalam studi kembar.
Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang
mencakup hampir 1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan
komponen genetik untuk hipertensi kehamilan serta preeklampsia. Mereka
juga melaporkan konkordansi 60 persen di monozigotik pasangan kembar
wanita.
Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil
interaksi dari ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol
fungsi metabolik enzimatik dan banyak sekali setiap seluruh sistem organ.
Dengan demikian, manifestasi klinis pada wanita diberikan dengan sindrom
11
preeklampsia akan menempati spektrum sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi, fenotipik akan berbeda antara
genotipe yang sama tergantung pada interaksi dengan faktor lingkungan
(Cunningham, et al, 2007).
2.4 Patogenesis Preeklampsia Berat
2.4.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan
pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan
conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat
dalam berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi
dan hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel
menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen,
termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein
endothel junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan
resistensi ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita
preeklampsia. Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi,
iskemia jaringan sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan
lain organ akhir gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et
al, 2007).
2.4.2 Aktivasi sel endotel
Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang
dalam pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam
skema ini, faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam
plasenta - juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan
disfungsi vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan
merupakan hasil dari perubahan sel endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan
bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat
dalam darah perifer wanita preeklampsia.
12
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan
oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi
oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan
meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan
disfungsi sel endotel akan terjadi:
Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2),
suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin
lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi
sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit
(vasodilator).
Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan
karakteristik morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler
meningkat, dan meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk
menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari
wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk
memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
serum wanita hamil normal (Cunningham, et al, 2007).
2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia Berat
Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110
mmHg. Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di
rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
13
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma,
dan pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia,
dan edema).
Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
Edema paru-paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
Sindrom HELLP.
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang
tergantung pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
2.7.1 Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat
pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang
14
perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai
berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia
berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit,
bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im
pada glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg
dalam 500 c RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat
asam.
2.7.2 Penanganan di rumah sakit
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah
pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap
kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap,
yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
15
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan
selama 5 menit
- SM 40 % 10 g im, terbagi pada
glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30
menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
16
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah <
160/105 mmHg atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien
PEB dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan
yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa
mempengaruhi keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose
( loading dose tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat
deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau
betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
17
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari
sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,
Albumin serum dan faktor koagulasi
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk
kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru
diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1
minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai
aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan
indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa
terjadi kenaikan tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa
terjadi kenaikan tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi oligohidramnion
18
(iii). Indikasi Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel
1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,
mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan
sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor
pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan
misoprostol 25 μg intravaginal tiap 6 jam. Induksi
persalinan harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya
induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan gagal
dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti
partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,
persalinan dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan
operasi sesar
2.8 Komplikasi Preeklampsia Berat
2.8.1 Penyulit Ibu
a. SSP : Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
19
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal : Gagal ginjal akut
Nekrosis Tubular Akuta
d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)
2.8.2 Penyulit Janin
a. PJT
b. Solusio plasenta
c. IUFD
d. Kematian neonatal
e. Prematuritas
f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Reg : 11088xx
Nama : Ny. D
Umur : 31 tahun
Status : Menikah 1x, 1 tahun
Pekerjaan : Petani (buruh)
Pendidikan : 6 tahun
Suami : Muhammad Ali
Umur : 36 tahun
Pekerjaan : Petani (buruh)
Alamat : Ds. Balerejo RT 09/ RW 03 Dampit Malang
Tgl MRS : 10/04/2011
3.2 Subyektif
Pasien rujukan a/n SpOG RS Manu Husada dengan G1P0Abx PEB
Tanggal 10/04/2011 pukul 09.00 pasien mengeluh pusing dan mata
kabur ke bidan periksa TD 180/120 rujuk Manu Husada pasien
tidak segera berangkat karena masih rundingan dengan keluarga
Pukul 11.30 pasien tiba di RS Manu Husada periksa TD 190/130 ,
tidak ada tanda – tanda in partu disertai mata kabur c/ SpOG via telfon
direncanakan SC konfirmasi Sp.An oleh karena tidak ada ICU
disarankan rujuk RSSA
Riwayat hipertensi sebelum hamil (-)
Pasien tahu tekanan darahnya tinggi sejak 03/04/2011 Rujuk a/n bidan
ke RS Bokor, pasien dirawat per poliklinis
Riwayat mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
RPL: Hamil ini
ANC: bidan 5 x, terakhir kontrol tanggal 03/04/2011 TD 160/…
HPHT: 37-38 mg
KB (-)
20
21
3.3 Obyektif
3.3.1 Pemeriksaan Fisik
KU : baik, CM
TB : 143 cm
BB : 61 kg
VS : TD : 170/120 mmHg
N : 90x /menit
RR : 20x /menit
Tax/trec: 37.000 C / 37.200 C
K/L : an -, ict -
Tho : c/ S1,S2 single bising (-), p/ Rh -/- Wh -/-
Abd : TFU 29 cm, Letak bujur
BJA :12.11.12
TBJ : 2635 gr
HIS : (+) jarang
VT : ǿ 0-1 cm, eff 25%, H 1, ket (+), pres kepala, denom: sde, CPD ~
PSR
3.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
DL : 12000/12,6/38,6/311000
FH : PPT/APTT 10,3 (11,3) / 29,2 (28,3)
Ur/Cr : 33,9/1,02
GDA : 89
LDH :455
OT/PT : 19/7
Alb : 2,48
SE : 138/5,3/101
UL : Alb +4
Non Stressed Test
Hasil patologis
Baseline rate 120 bpm
Variability < 5 bpm
22
Acceleration : (-)
Ecceleration : (-)
3.4 Assessment
G1 P0000 Ab000 gr 27-28 mgg T/H
+ pre eklampsia berat
+ impending eklampsia
+ panggul sempit relatif
+ fetal compromised
3.5 Planning
Planning Diagnosis: -
Planning Terapi:
Inj. SM full dose
SM 20% 4 g iv pelan
SM 40% 10 g im, glut dex/sin masing-masing 5 g
Lajut SM maintenance
SM 40% 5 g dalam 500 cc RD5%/ 6 jam ~ jadwal, jika syarat terpenuhi.
Resusitasi intra uterine:
Tidur miring ke lateral kiri
O2 3-4 l/m, nasal canul
IVFD RD 5% 18 tpm
Pasang kateter
Usul terminasi kehamilan dengan SC CITO
Persiapan operasi:
Daftar OK, SP, sedia darah
Inj ampicillin 1 g iv (skin test)
c/ anestesi
PMO: observasi VS, keluhan, his, DJJ, produksi urine, balance cairan / 6 jam,
reflex patella, tanda – tanda impending eclampsia.
KIE
Laporan Tindakan Persalinan Kala II
Pasien tidur terlentang di atas meja operasi dengan GA
23
Antisepsi lap operasi dengan savlon dan betadine. Demarkan lap operasi
dengan doex steril
Dilakukan incisi dinding abdomen pada linea mediana dari
suprasymphisis sampai dengan dibawah umbilicus + 10 cm. Incisi
diperdalam secara tajam kecuali oto secara tumpul sampai cavum
abdomen terrbuka.
Tampak uterus gravidarum. Dipasang kassa laparotomi
Dibuat bladder flap dngan mengincisi peritonium visceralw + 2 cm diatas
plica vesico uterina. Dilebarkan ke lateral, dijauhkan ke kcaudal dengan
hook besar untuk melindungi VU
Incisi SBR + 1 cm dibawah bladder flap, dilebarkan ke lateral secara
tumpul, keluar cairan ketuban warna kehijauan jumlah cukup.
Janin dilahirkan dengan meluksir kepala. Lahir bayi laki – laki/ 2150 gr /
45 cm / AS: 6-8 jam 18.55, kemudian tali pusat diklem didua tempat
dipotong ditengah-tengahnya bayi dirawat.
Placenta dilahirkan dengan tarikan ringan ukuran 15 x 15 x 2 cm dengan
panjang tali pusat + 40 cm
Eksplorasi ke dalam cavum uteri, sisa placenta (-), perdarahan aktif (-)
Dibuat jahitan sudut pada kanan dan kiri SBR, dilanjutkan jahitan jelujur
feston 2 lapis.
Reperitonialisasi
Kassa laparotomi dikeluarkan.
Evaluasi perdarahan, perdarahan aktif (-), kontraksi uterus baik, adnexa
D/S dalam batas normal
Darah dibersihkan. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
Operasi selesai
BAB 4
PERMASALAHAN
Berdasarkan laporan kasus pada bab 3, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Apakah kemungkinan faktor resiko terjadinya preeklampsi berat pada kasus
ini?
2. Kendala apa yang menyebabkan pasien tidak dirujuk dengan rujukan tepat
waktu sehingga bisa dilakukan SC elektif, bukan SC cito?
3. Upaya apa yang sebaiknya dilakukan supaya rujukan bisa dilakukan tepat
waktu?
4. Mengapa pada pasien ini sampai terjadi fetal compromised?
5. Apakah preeclampsia berat pada kasus ini dapat dicegah?
24
BAB 5
PEMBAHASAN
4.1 Faktor Risiko Preeklampsia pada Kasus Ini
Faktor risiko preeklampsia pada pasien ini yang paling memungkinkan
adalah kehamilan pertama (primigravida). Hal ini sesuai dengan teori intoleransi
imunologik antara ibu dan janin (Cunningham, et al, 2007) yang menyatakan bahwa
hasil konsepsi yang memapar ibu untuk pertama kali cenderung menimbulkan reaksi
penolakan dari ibu sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeclampsia.
Selain itu, teori defisiensi nutrisi juga tidak dapat disingkirkan sebagai faktor
resiko terjadinya preeclampsia pada pasien ini. Rendahnya faktor ekonomi (di mana
pasien dan suaminya berprofesi sebagai buruh tani) dan faktor pendidikan (pasien
adalah lulusan sekolah dasar) dapat menjadi penyebab tidak langsung terjadinya
defisiensi nutrisi. Upah buruh tani yang kecil ditambah dengan tingkat pengetahuan
ibu menyebabkan ibu tidak memperhatikan kualitas gizi makanan yang
dikonsumsinya selama hamil.
Faktor lingkungan juga belum dapat disingkirkan sebagai faktor resiko
terjadinya preeclampsia pada kasus ini. Disebutkan bahwa pasien bekerja sebagai
buruh tani yang tentunya tidak bisa lepas dari paparan pestisida, insektisida,
maupun herbisida. Bagi orang-orang yang tidak hamil saja, paparan pestisida,
insektisida, dan herbisida dalam kadar tertentu dapat menyebabkan gejala
keracunan. Lalu bagaimana dengan efek paparan langsung zat-zat tersebut pada
wanita hamil? Tentunya hal ini juga perlu diperhatikan dan diteliti lebih lanjut.
4.2 Kendala yang Menyebabkan Pasien tidak Dirujuk Tepat Waktu
Telah kita ketahui bahwa ibu hamil dengan preeclampsia berat seharusnya
dirujuk dengan rujukan terencana yang tepat waktu. Ibu hamil dengan preeclampsia
berat seharusnya sudah dirujuk ke rumah sakit pada usia kehamilan akhir trimester
kedua atau awal trimester ketiga. Dengan rujukan terencana yang tepat waktu
diharapkan dapat mencegah terjadinya fetal distress dan komplikasi lain pada ibu
24
25
seperti impending eclampsia (seperti yang terjadi pada kasus ini) dan HELLP
syndrom.
Pada kasus ini, rujukan dari bidan ke RS. Manu Husada bersifat mendadak.
Hal ini dikarenakan rujukan dari bidan juga terlambat. Bidan merujuk terlambat
karena pasien tidak melakukan ANC rutin sehingga deteksi awalnya juga terlambat.
Selama awal kehamilan hingga umur kehamilan 36 minggu, pasien hanya
melakukan ANC ke bidan lima kali. Padahal seharusnya pasien sudah melakukan
kunjungan 11 kali. Ketika ditanya penyebabnya apa, ternyata pasien malas untuk
kontrol karena merasa tidak ada keluhan selama hamil, hanya bengkak di kaki yang
tidak mengganggu aktifitas. Lagi pula, setiap kali kontrol kehamilan ke bidan praktik
swasta, pasien membayar uang administrasi sebesar Rp 10.000,00. Pasien merasa
sayang dengan uang yang harus dikeluarkan untuk periksa sedangkan dia tidak
merasa ada keluhan. Oleh karena itu, pasien baru diketahui punya tekanan darah
tinggi (160/ …) saat kunjungan ANC ke-5 (03/04/2011) setelah sebelumnya sempat
vakum 3 bulan tidak kontrol hamil dengan alasan seperti yang tersebut di atas.
Selain itu, setelah bidan menyarankan pasien untuk dirujuk ke rumah Sakit
karena pasien menderita hipertensi gestasional, pasien tidak segera memenuhi
anjuran bidan dengan alasan biaya dan masih menunggu persetujuan keluarga yang
lain. Oleh karena itu, rujukan sempat tertunda beberapa hari, hingga pada tanggal
10/04/2011 pasien mengeluh pusing dan mata kabur. Hal ini membuat pasien
periksa kembali ke bidan. Ketika diukur, tekanan darahnya 180/120, setelah
mendapat penjelasan dari bidan bahwa pasien bisa kejang jika tidak segera dirujuk,
maka keluarga segera setuju untuk dirujuk ke RS. Sesampainya di RS. MANU
Husada, ternyata pasien diindikasikan untuk SC cito karena impending eklampsia
dan tidak ada tanda-tanda inpartu. Oleh karena dokter anestesi tidak siap, maka
pasien dirujuk ke RSSA.
Berdasarkan kronologi di atas, maka hal-hal yang dimungkinkan dapat
menghambat proses perujukan antara lain:
1. Keterlambatan screening dan diagnosis awal karena ANC tidak teratur
terkendala biaya.
26
2. Komunikasi dan edukasi yang kurang efektif antara bidan dan pasien dan
atau keluarga pasien sehingga perujukan ke Rumah sakit tidak dapat segera
dilakukan.
3. Oleh karena perujukan terlambat, maka rumah Sakit rujukan tidak sempat
mempersiapkan segalanya dengan optimal dan tidak siap, akibatnya pasien
dirujuk lagi ke Rumah Sakit yang lebih siap. Proses ini tentunya memakan waktu
dan akan berbeda ceritanya bila dilakukan rujukan yang terencana dan tepat
waktu.
4.3 Upaya yang Dapat Dilakukan Supaya Rujukan Bisa Tepat Waktu
Setelah menganalisis sebab-sebab terjadinya keterlambatan rujukan pada
kasus ini, maka upaya yang kami usulkan supaya rujukan pasien bisa dilakukan
tepat waktu adalah:
1. Menyediakan pelayanan antenatal care yang bersubsidi
2. Mensosialisasikan layanan jampersal pada para bidan. Dengan hal ini
diharapkan para bidan dapat menginformasikan layanan ini kepada masyarakat
yang tidak mampu sehingga tidak ada lagi rujukan terlambat dengan alasan
biaya.
3. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai resiko dan
komplikasi preeclampsia dan eklampsia sehingga mereka tetap rutin kontrol
meskipun tanpa ada keluhan.
4.4 Faktor Resiko terjadinya fetal compromised pada Kasus ini
Proses perujukan yang lama menyebabkan penundaan pada tatalaksana.
Hal ini menyebabkan terjadinya komplikasi pada ibu atau janin. Komplikasi pada
janin antara lain berupa gawat janin.
Pada preeklampsi terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan
akibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai
akibat tuanya kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menbealnya dinsing
pembuluh darah dalam villi karena fibrosis, dan konversi mesoderm menjadi jaringan
fibrotic, dipercepat prosesnya pada preeklampsi dan hipertensi. Menurunnya aliran
27
darah ke plasenta inilah yang mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada
hipertensi yang singkat akan menyebabkan terjadinya kegawatdaruratan janin
sampai kematian janin karena kekurangan oksigenasi.
4.5 Upaya Pencegahan Preeklampsia Berat
Secara umum terdapat tiga bentuk pencegahan, yaitu:
Pencegahan primer: meliputi upaya promosi kesehatan.
Pencegahan sekunder: meliputi deteksi dini adanya penyakit dan kelainan.
Pencegahan tersier: pencegahan komplikasi dan restorasi.
Untuk masing-masing level pencegahan tersebut, maka berikut adalah upaya
pencegahan yang dapat dilakukan pada kasus preeclampsia berat yang sedang
dibahas:
a. Pencegahan primer:
Memberi penyuluhan tentang pentingnya melakukan antenatal care rutin
pada setiap ibu hamil.
Memberi penyuluhan tentang preeklampsi beserta komplikasinya jika
diagnosis dan tatalaksananya terlambat
Penyediaan antenatal care bersubsidi.
Penyediaan suplementasi gizi dan suplemen antioksidan pada ibu hamil.
Memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara memproteksi diri dari
paparan radikal bebas dan zat beracun di lingkungan kerja (missal dengan
memakai masker tebal, sarung tangan, dan sepatu boot), khusunya
paparan insektisida, pestisida, maupun herbisida pada wanita hamil.
Dianjurkan pada ibu hamil untuk tidak melakukan penyemprotan insektisida
dulu selama hamil.
Para suami juga perlu diberi pengertian dan pengetahuan mengenai
preeclampsia sehingga mereka dapat diajak kerjasama untuk melakukan
deteksi dini terhadap faktor resiko dan gejala preeclampsia yang dialami
istrinya.
b. Pencegahan sekunder:
28
Mengenali faktor resiko preeclampsia pada ibu hamil
Melakukan pemeriksaan screening preeclampsia secara berkala pada ibu
hamil, yang meliputi pemeriksaan tekanan darah dan urinalisis dipstick.
Melakukan intervensi yang cepat dan tepat (seperti yang disebutkan pada
sub bab 2.7 mengenai tatalaksana preeclampsia) bila terdapat kasus ibu
hamil dengan preeclampsia.
c. Pencegahan tersier:
Mencegah terjadinya komplikasi progresi preeclampsia berat supaya tidak
berlanjut menjadi eklampsia dengan memberikan obat antikejang.
Pada kasus preeclampsia berat yang sedang dibahas, di mana terdapat
faktor resiko primigravida, maka untuk faktor resiko ini hanya dapat diterapkan level
pencegahan sekunder dan tersier.
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kasus Ny. D, usia 31 tahun, datang berobat dengan keluhan utama
kepala pusing disertai nyeri kepala, mual dan muntah. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengarahkan pada suatu
diagnosis Preeklampsi berat dengan impending eklampsi, panggul sempit
relative, dan fetal compromised. Persalinannya dipilih secara perabdominal
karena bayi dalam kondisi fetal compromissed harus segera dilahirkan untuk
menghindarkan kematian dalam persalinan. Persalinan perabdominal juga
dilakukan kerana belum ada tanda–tanda inpartu dan panggul sempit relatif.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Faktor resiko terjadinya preeklampsi berat pada kasus ini adalah
primigravida. Kontribusi faktor defisiensi nutrisi dan faktor lingkungan
tidak dapat disingkirkan.
2.
6.2 Saran
Diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam melakukan anamnesa dan
pemeriksaan fisik, terutama dalam mendiagnosis preeklampsia berat, mengingat
banyaknya diagnosis banding dari keluhan tersebut. Diperlukan KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) yang baik pada pasien dan keluarga untuk
mengoptimalkan kesejahteraan pasien baik sebelum, selama maupun setelah
pengobatan.
29
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi
keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD
et al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th
ed. London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.
Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current
Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.
Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding
Seminar Konsep Mutakhir Preeklampsia.
Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal
Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low
Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.
Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI
Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang
Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced
Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.
Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin.
Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989;
161: 1200-1204.
Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia.
Pathophysiology 2000; 6: 261-270.
30
31
Follow Up Post Operasi
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning
10/04/201
1
P1001 Ab000
post SCTP
dengan GA
hari ke 0
PEB,
impending
eclampsia +
fetal
compromised
+PSR
PDx: DL post op, Alb
PTx:
puasa s/d flatus (+) / BU (=)
MSS
IVFD = drip oxytocin 20 iv
dalam RD 5% 500 cc 28 tpm
SM maintenance: SM 40% 5
g / 6 jam jika syarat (+) ~
jadwal
Tx Injeksi:
Ceftriaxone 2x1 gr iv
Alinamine F 3x1 amp iv
Ketorolac 3x1 amp iv
Ulsikur 3x1 amp iv
Kalnex 3x1 amp iv
Extrace 3x1 amp iv
PMO: observasi VS,
keluhan, flux, kontraksi
uterus, luka op, produksi
urine, balance cairan / 6 jam,
reflex patella
KIE c/ senior
10/04/201
1 pukul
22.00
Jawaban c/
anestesi:
B1: Airway
patent RR
14x/menit,Rh
-/-, Wh -/-,
SpO2 96%
32
B2: aktif
HKM
T:150/90,
N:90x/menit
B3: GCS
456, sadar
penuh
B4: PU 500~
B5: BU (+)
B6: - -
+ +
11/04/201
1
PTx:
Diet MPB III/IV
Tx inj: Inj ceftriaxone 2 x 1 g
iv
Tx oral:
As.mefenamat 3 x 500 mg
Glisodin 3 x 1
Kalk 1 x 1
Vit E 2 x 200 mg
Nifedipin 2 x 10 mg
PMO: observasi VS,
keluhan, flux, kontraksi
uterus, luka op, produksi
urine, balance cairan / 6 jam,
reflex patella
12/04/201
1
PDx: Cek UL, DL
PTx:
Diet TKTP
Mobillisasi
Tx inj: ceftriaxone 2 x 1 g iv
Tx oral lanjut
PMO: observasi VS,
33
keluhan, flux, kontraksi
uterus luka op
KIE
13/04/201
1
PDx: UL, DL, Lipid profile
PTx:
Diet TKTP
Mobilisasi aktif
Tx oral:
1. Amoxiclav 3 x 625 mg
2. Glisodin 3 x 1
3. Kalk 1 x 1
4. Vit E 2 x 20 mg
5. Nifedipin 3 x 10 mg
6. As.Mefenamat 3 x 500 mg
Rawat luka
PMO: observasi VS,
keluhan, flux, kontraksi
uterus luka op
KIE
14/04/201
1
PDx: UL, Lipid profile
PTx:
Diet TKTP
Mobilisasi aktif
Tx oral lanjut
PMO: observasi VS,
keluhan, flux, kontraksi
uterus luka op
KIE