peb lapsus

28
LAPORAN KASUS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI PREEKLAMPSIA BERAT Oleh: Zul Fahmy Irawan Nurislami Permana Sari Sismi Yuniarti Tonny Agus Riyadi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Upload: purna-saputra

Post on 11-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

obgyn

TRANSCRIPT

Page 1: PEB Lapsus

LAPORAN KASUS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

PREEKLAMPSIA BERAT

Oleh:

Zul Fahmy Irawan

Nurislami Permana Sari

Sismi Yuniarti

Tonny Agus Riyadi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

SMF. OBSGYN RSUD GAMBIRAN KEDIRI

2015

Page 2: PEB Lapsus

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I LAPORAN KASUS ......................................................................... 2

BAB II DISKUSI ............................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

1

Page 3: PEB Lapsus

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. SB Nama Suami : Tn. EP

Umur : 39 Tahun Umur : 37 Tahun

Suku : Jawa Suku : Jawa

Agama : Islam Agama : Islam

Pendidikan : SD Pendidikan : SD

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Bengkel

Alamat : Sonorojo blok 1/2 Grogol

Periksa poli : 09 Februari 2015 jam 11.30 WIB

II. ANAMNESA

1. Keluhan Utama : Rujukan dari Puskesmas Grogol karena Hamil dengan Tekanan

darah tinggi

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Saat ini penderita merasa hamil 7 bulan. Pasien awalnya datang ke Puskesmas

Grogol karena kepala sering cekot-cekot sudah 1minggu dan sekaligus mengontrolkan

kehamilannya. Saat itu diketahui tekanan darah pasien tinggi hingga 190 kemudian

dirujuk ke Poli BKIA RSU Gambiran. Nyeri kepala dirasakan terutama malam hari,

ringan dan biasanya tidak diberi obat sudah hilang sendiri tetapi makin lama makin berat

dan tidak menghilang dengan obat nyeri kepala. Sebelumnya selama kontrol tekanan

darah tidak pernah tinggi. Pasien tidak merasa pandangan menjadi kabur. Sesak nafas

disangkal.

2

Page 4: PEB Lapsus

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

-

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

-

5. Riwayat Haid

Menarche : 12 Tahun

Siklus : Teratur , 28 Hari

Lama : 7-8 Hari

Jumlah : Biasa, 1 pembalut/ hari

HPHT : 31-7-2014

TP : 07-5-2015

UK : 25-26 minggu

6. Riwayat Perkawinan :

Menikah : 1 x

Lama menikah : 15 Tahun

7. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Hamil I : Immature / SC / Dokter Sp. OG / Rumah Sakit / ♂ / 1600 / usia 9 hari

meninggal. Alasan SC karena Plasenta Previa.

Hamil II : Abortus / Spontan / Bidan / PBM.

Hamil III : Aterm / Spontan / Bidan / PBM / ♂ / 2900 / 10 tahun.

Hamil IV : Abortus / Spontan / Bidan / PBM.

Hamil V : Aterm / Spontan / Bidan / PBM / ♂ / 3300 / 3 tahun.

Hamil VI : Hamil ini

8. Riwayat KB :

Tidak pernah menggunakan KB

3

Page 5: PEB Lapsus

III. PEMERIKSAAN UMUM

Tinggi Badan : 150 cm

Berat Badan : 56 Kg

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 180/110 mmHg

Nadi : 88 x / menit

Suhu (Axila) : 36,3 °C

RR : 24 x / menit

a) Status Generalis

Kepala : Edema Periorbital (+), Anemis -

Leher : dbN

Thorax :

Pulmo : dbN

Cor : dbN

Abdomen : Status Obstetri

Ekstremitas :

Edema + / +

+ / +

Refleks Patela + / +

b) Status Obstetri

I : Scar (+), bekas operasi SC sebelumnya

P : Palpasi LEOPOLD

Leopold I : Kesan bokong. TFU 20 cm.

4

Page 6: PEB Lapsus

Leopold II : Kiri: Kesan ekstremitas

Kanan : Kesan punggung

DJJ (12.13.12) : 148 x/menit

Leopold III : Kepala belum masuk PAP,

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

DL

WBC : 13,84 Neut% : 77,2%

RBC : 4,49 Lymph% : 15,1%

Hb : 13,0 Mono% : 4,8%

HCT : 37,3 Eos% : 2,2%

MCV : 83,1 Baso% : 0,7%

MCH : 29,0

MCHC : 34,9

PLT : 413

UL

WBC : (-) Leuko : (1-2)

KET : (-) Eri : (20-21)

NIT : (-) Cyl : (-)

URO : (-) Epit : (3-4)

BIL : (-) Crys : Amorphic

PRO : (+3)

GLU : (-)

SG : (-)

5

Page 7: PEB Lapsus

BLD : (+3)

pH : (6.0)

LFT RFT

SGOT : 40 BUN : 14

SGPT : 16 Crea : 0,9

GDA : 67 HbsAg : (-)

Faal Hemostasis

CT : 15’09”

BT : 3’00”

VI. DIAGNOSIS

GVI P2122 UK 25-26 Minggu Tunggal / Hidup / Belum Inpartu dengan PEB.

VI. PENATALAKSANAAN

- MRS

- Tirah baring miring ke satu sisi

- Pasang infus RL 15 tpm

- Foley kateter

- SM Konservatif

Dosis Awal: 5 g MgSO4 40% dalam 25 mL, @ IM 12,5 mL boka-boki

Dosis Rumatan: 6 g MgSO4 dalam 500 mL RL selama 6 jam, diulang 24 jam.

- Nifedipine 3 x 10 mg (Jika Sistole >180 mmHg dan Diastole > 120 mmHg)

6

Page 8: PEB Lapsus

- Aspilet 1 – 0 – 0

- Kalk 2 x 500 mg

- Flumucyl 3 x 2 mg

- Vitamin E 1 x 1

VI. MONITORING

- Keluhan subyektif pasien (nyeri kepala, mata kabur, muntah, nyeri epigastrium)

- Vital sign setiap jam + DJJ + Refleks pattela

- Tanda-tanda keracunan MgSO4 (Depresi nafas, Refleks tendon menghilang,

Oliguria)

- Tanda-tanda kejang (Tonic-Clonic)

- Balance Cairan

7

Page 9: PEB Lapsus

BAB II

DISKUSI

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi

organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan

darah dan proteinuria (Cunningham, et al., 2009). Preeklampsia berat adalah suatu

komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi ≥ 160/110 disertai protein

urine dan/atau edema, setelah kehamilan 20 minggu atau lebih (Abdullah, 2008).

Anamnesis dari kasus ini pasien dicurigai mengalami preeklampsia berat karena

pasien mengalami hipertensi yang terjadi selama kehamilannya dan menyangkal pernah

menderita hipertensi sebelum kehamilan ini. Anamnesis yang menunjukkan diagnosis

tersebut yaitu penjelasan pasien yang mengatakan bahwa tekanan darahnya saat

memeriksakan dirinya ke bidan mencapai 190 sehingga akhirnya pasien di rujuk ke Rumah

Sakit Umum Gambiran (RSUG). Keluhan subjektif yang dirasakan pasien adalah nyeri

kepala yang dirasakan sejak satu minggu yang lalu yang tidak berkurang setelah meminum

obat sakit kepala di apotek. Usia kehamilan (UK) yang lebih dari 20 minggu, diketahui dari

hasil anamnesis didapatkan HPHT: 31 – 07 – 2014 sehingga didapatkan UK: 25-26 minggu

dengan taksiran persalinan (TP) yaitu tanggal 07 – 04 – 2015 (Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia, 2013).

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini didadapatkan tekanan darah 180/110 mmhg, hal

ini memenuhi kriteria diagnosis untuk preeklamsia berat yaitu tekanan darah sistolik ≥ 160

mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun

ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring. Namun pengukuran

tekanan darah tersebut harus diulang dalam waktu kurang dari 15 menit (ACOG, 2002).

Pasien tersebut saat datang ke Rumah Sakit Gambiran Kediri tidak didapatkan tanda-tanda

8

Page 10: PEB Lapsus

inpartu yaitu tidak ada tanda keluar darah dan air ketuban (Prawirohardjo, 2009).

Pada pemeriksaan status generalis perlu dipastikan adanya edema, karena pada

preeklamsia berat terjadi edema yang patologik atau edema yang nondependen pada

periorbital, ekstremitas, paru-paru, cerebral, abdomen dan retina akibat dari disfungsi endotel

dan hipoalbuminemia (Prawirohardjo, 2009). Akibat respon terhadap iskemia, beberapa agen

dikeluarkan dari plasenta dan desidua, agen-agen tersebut bekerja sebagai mediator yang

menyebabkan release sitokin seperti TNF alfa dan interleukin sehingga terjadi stress oksidatif

mengakibatkan release reactive oxygen species (ROS) dan peroksidasi lipid. Bahan radikal

tersebut merupakan bahan toksik pada sel endotel sehingga menyebabkan perlukaan pada

endotel. Stress oksidatif menyebabkan pembentukan lipid dalam bentuk makrofag foam cell,

aktivasi koagulasi mikrovaskular dapat dilihat dari pemeriksaan darah lengkap yaitu terjadi

trombositopenia dan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada pemeriksaan pasien dengan

edema paru didapatkan ronchi halus basal. Pasien dengan edema cerebral didapatkan gejala

peningkatan tekanan intrakranial, salah satunya yaitu kejang tonik klonik (eklamsia), pada

abdomen didapatkan ascites yaitu pada perkusi didapatkan suara redup. Pada pemeriksaan

funduskopi retina didapatkan papila edema. Namun gejala edema tidak spesifik untuk

menentukan adanya preeklamsia karena pada kehamilan dengan tekanan darah normal bisa

didapatkan edema ekstremitas (Young, et al., 2010).

Pada pemeriksaan obstetric, Leopold I didapatkan TFU 20 cm dan kesan bokong. Pada

UK 25-26 minggu menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2013) TFU normal

dapat diperkirakan dengan rumus UK+2 dalam cm. Pada pasien ini TFU normal adalah 27-28

cm. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang terhambat yang merupakan

komplikasi dari preeklampsia karena TFU pasien lebih rendah dari 3cm TFU normal

(Prawirohardjo, 2009). Hasil pemeriksaan Leopold II didapatkan sisi kanan pasien adalah

punggung janin dan sisi kiri pasien adalah ekstremitas janin, DJJ (12.13.12): 148 x/menit..

9

Page 11: PEB Lapsus

Hasil pemeriksaan Leopold III didapatkan kepala janin belum masuk p.a.p, bagian terbawah

janin adalah kepala belum memasuki pintu atas panggul karena berdasarkan teori kepala janin

mulai masuk pintu atas panggul pada minggu ke 36 (Prawirohardjo,2007).

Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah berupa pemeriksaan Hb dengan nilai 13,0,

golongan darah, waktu perdarahan, dan waktu pembekuan sebagai bahan rujukan preoperatif.

Pemeriksaan urin juga dilakukan, didapatkan urin dengan tes dipstik mengandung protein +3

dan blood (+3). Disfungsi vaskular, kebocoran kapiler, dan vasospasme menyebabkan

proteinuria (Young, et all.,2010) sedangkan hematuria disebabkan oleh . Dari pemeriksaan

hasil tes fungsi hati yaitu SGOT dan SGPT dalam batas normal. Pemeriksaan ini bertujuan

untuk menyingkirkan komplikasi sindrom HELLP. Pemeriksaan lain yaitu trombosit

menunjukkan nilai 413.000 sel/uL sedangkan pemeriksaan yang belum dilakukan untuk

menyingkirkan komplikasi tersebut adalah hapusan darah tepi untuk menilai adanya

hemolisis dan pemeriksaan Lactate Dehidrogenase (LDH) (Prawirohardjo, 2009).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada kasus ini

adalah GVI P2122 UK 25-26 Minggu Tunggal, Janin hidup, Belum Inpartu dengan preeklamsia

berat. Diagnosis tersebut didasarkan pada buku Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

(2013) dan Prawirohardjo (2009) yang menyebutkan tentang gejala klinis dari preeklampsia

berat antara lain kehamilan 20 minggu atau lebih dengan tanda-tanda :

- Tekanan darah > 160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu.

- Tes celup urine menunjukkan proteinuri ≥ 2+ atau pemeriksaan protein kuantitatif

menunjukkan hasil > 5g/24 jam.

- Nyeri kepala hebat yang tidak berkurang dengan analgesik biasa.

- Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.

Tanda lain dari preeklampsia berat yang tidak dijumpai dalam kasus ini adalah :

- Oliguri (produksi urine ≤ 500cc/24 jam), kadar kreatinin > 1,2 mg/dL.

10

Page 12: PEB Lapsus

- Edema paru yang ditandai nafas pendek, sianosis, ronkhi + dan/atau gagal jantung

kongestif.

- Nyeri daerah epigastrium atau kuadran atas kanan (akibat teregangnya kapsula Glisson)

- Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseular): peningkatan SGOT/SGPT

- Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan

penglihatan berkabut

- Koagulasi : Trombositopenia (<100.000 sel/mm3) koagulasi intravaskuler disseminata,

sindrom HELLP

Pemeriksaan lain yang dapat disarankan adalah USG kandungan dan NST untuk

menilai kesejahteraan janin karena janin masih dalam fase prematur dan mengetahui adanya

pertumbuhan janin terhambat maupun oligohidramnion (Cunningham, et al., 2009 dan

Prawirohardjo, 2009).

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah masuk rumah sakit (MRS) hal

ini sesuai dengan Prawiroharjo (2009) dan Kemenkes (2013) dimana setiap ibu hamil dengan

preeklampsia harus segera dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan ananmnesis, pemeriksaan

fisik dan laboratorium lebih lanjut. Dianjurkan pula ibu untuk tirah baring miring ke satu sisi.

Sikap terhadap kehamilan yang dipilih pada kasus ini adalah perawatan konservatif karena

usia kehamilan dari ibu adalah 25-26 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampisa

dengan kondisi janin baik (Prawirohardjo, 2009). Pemasangan infus dan foley kateter

disarankan karena manajemen yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan

cairan. Hal ini disebabkan penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi

untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input dan output cairan

dengan pemasangan infus dan kateter sangat tepat. Artinya harus dilakukan pengukuran

secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin

(Prawirohardjo, 2009 dan Abdullah, 2008.).

11

Page 13: PEB Lapsus

Pengobatan dari preeclampsia menurut Cunningham, et al., (2009) menyatakan bahwa

“Termination of pregnancy is the only cure for preeclampsia”. Terapi konservatif yang

diberikan hanya untuk mencegah kejang, perdarahan intracranial, mencegah gangguan fungsi

organ vital, pengelolaan cairan dan menentukan saat yang tepat untuk persalinan sehingga

melahirkan bayi sehat (Prawirohardjo, 2009). Obat anti kejang yang diberikan pada kasus ini

adalah MgSO4 (SM) dimana ini sesuai dan tepat. Magnesium sulfat masih merupakan lini

pertama sebagai anti kejang pada preeklampsia dan eklampsia karena efek anti kejang yang

diberikan tidak menyebabkan depresi dari sistem saraf pusat bagi ibu maupun janinnya

(Cunningham, et al., 2009). Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat atau

menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi

neuromuskular. Secara normal, transmisi tersebut membutuhkan kalsium pada sinaps, tetapi

magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi dan kejang pun

tidak terjadi (Prawirohardjo, 2009). Cara pemberian dari MgSO4 telat tepat dan sesuai.

Monitoring yang dilakukan dengan menilai frekuensi pernafasan, refleks tendon pattella dan

oliguria selama pemberian MgSO4 dan tersedianya CaGlukonas 10% juga sesuai

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Pemberian dosis awal dari MgSO4

diberikan secara IM dibandingakn IV juga sudah dilakukan (Prawirohardjo, 2009).

Obat antihipertensi yang diberikan adalah Nifedipin dengan dosis 10 mg diberikan

selama 3x. Hal ini tidak sesuai dengan dosis yang disarankan dan terlalu rendah. Adapun obat

antihipertensi yang disarankan tersaji dalam tabel berikut.

Nama Obat Dosis Keterangan Nifedipin 4 x 10-30 mg per oral (short

acting)1 x 20-30 mg per oral (long acting)

Dapat menyebabkan hipoperfusi dari janin bila diberikan sublingual

Nikardipin 5-10 mg/jam dapat dititrasi 2,5mg/jam tiap 5 menit

Metildopa 2 x 250-500 mg per oralTabel Obat anti hipertensi pada kehamilan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2013).12

Page 14: PEB Lapsus

Obat-obat calcium canal blocker lebih disarankan dan dinilai paling aman

dibandingkan obat anti hipertensi lain. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

seperti Captopril dan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) seperti Valsartan tidak

disarankan karena efek teratogenik yang dimilikinya yang dapat menyebabkan kegagalan

ginjal pada bayi, penurunan osifikasi tempurung kepala, disgenesis tubulus renalis. Kemudian

bila obat tersebut diberikan pada kehamilan setelah trimester kedua akan menimbulkan efek

oligohidramnion, retardasi pertumbuhan, hipoplasi paru dan ginjal, hipokalvaria, hipotensi

dan anuria pada bayi. Cara pemberian dari Nifedipine telah sesuai, dimana obat antihipertensi

diberikan dengan batas tekanan darah yaitu apabila tekanan sistole ≥ 180 mmHg dan/atau

tekanan diastole ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap yaitu 25% dari

Mean Arterial Pressure atau hingga mencapai < 160/105 (Prawirohardjo, 2009).

Pemberian aspirin dalam dosis rendah pada preeklampsia diketahui mempunyai

efektifitas dalam menghambat sintesis dari thromboxane A2 dan efek yang minimal pada

produksi prostacyclin vaskular (Cunningham, et al., 2009). Hal ini dianggap dapat mencegah

preeklampsia karena diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya preeklampsia adalah

akibat vasospasme, disfungsi endotel, dan ketidakseimbangan antara thromboxane dan

prostacyclin yang menyebabkan infark dari placenta dan thrombosis spiral artery (Souza, et

al., 2014). Pada kasus ini pemberian kurang tepat karena seharusnya diberikan sebagai terapi

pencegahan sebelum terjadinya preeklampsia, bukan sebagai terapi saat telah menderita

preeklampsia.

Kalk adalah obat yang mengandung Kalsium Laktat. Pemberian kalsium: 1500-2000

mg/ hari dapat dipakai sebagai suplemen pada ibu hamil yang berisiko tinggi terjadi

preeklampsia (Prawirohardjo, 2009). Pemberian pada kasus ini kurang tepat karena seperti

yang telah diuraikan di atas bahwa penggunaan kalsium disini adalah untuk pencegahan,

bukan sebagai pengobatan dari preeklampsia, selain itu dosis yang diberikan masih terlalu

13

Page 15: PEB Lapsus

rendah. Pemberian Kalsium dalam dosis rendah dapat meningkatkan kenaikan dari tekanan

darah dengan cara merangsang rilis dari hormon paratiroid dan renin angiotensin sistem

sehingga kalsium intrasel otot polos vaskuler meningkat dan mengakibatkan vasokonstriksi.

Sedangkan pemberian dosis tinggi diharapkan dapat terjadi mekanisme negative feedback

dari hormon paratiroid sehingga menurunkan rilis dari hormon paratiroid dan terjadi

penurunan kalsium intrasel mengakibatkan penurunan kontraktilitas dari otot polos vaskular

(Souza, et al., 2014).

Fluimucil adalah mukolitik yang mengandung N-Acetylcysteine. Preeklampsia telah

diketahui secara patogenesis berhubungan dengan ketidakseimbangan antara oksidan dan

antioksidan yang menghasilkan penurunan efek dari Nitric Oxide. N-acetylcysteine

merupakan antioksidan yang dapat menyingkirkan oksigen yang reaktif sehingga terjadi

perbaikan dari fungsi endotel dari sirkulasi fetoplasental (Bisseling, et al., 2004). Vitamin E

merupakan antioksidan lain yang dianggap mempunyai efek dalam pencegahan dari

preeklampsia. Hal ini dikarenakan pada pasien diabetes dengan preeklamspia menunjukkan

angka yang rendah dari vitamin A dan E (Elland, et al., 2012). Penggunanaan N-

Acetylcysteine dan Vitamin E dalam Prawirohardjo (2009) digunakan hanya untuk

pencegahan preeklampsia, bukan terapi saat telah menderita preeklampsia.

Pemberian steroid untuk maturasi dari paru janin tidak diberikan pada kasus ini

dimana usia kehamilan dari janin masih preterm dengan usia kehamilan 25-26 minggu.

Pemberian steroid telah diketahui tidak mempengaruhi hipertensi pada kehamilan dan dapat

menurunkan insiden dari kejadian Respiratory Distress Syndrome sehingga angka harapan

hidup dari janin meningkat (Cunningham, et al., 2009). Pemberian steroid agar terjadi

pematangan surfaktan paru sehingga paru janin dapat mengembang, selain itu steroid dapat

mencegah perdarahan intraventrikular. Steroid diindikasikan untuk kehamilan yang kurang

dari 35 minggu (Prawirohardjo, 2009). Obat pilihan yang diberikan adalah Deksametason 6

14

Page 16: PEB Lapsus

mg IM setiap 12 jam sebanyak 4 kali atau Betametason 12 mg IM setiap 24 jam sebanyak 2

kali. Pemberian steroid ini tidak diulang karena berisiko terjadinya pertumbuhan janin yang

terhambat (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Monitoring yang dilakukan pada pasien ini adalah keluhan subyektif dari pasien (nyeri

kepala, mata kabur, muntah, nyeri epigastrium) yang merupakan tanda impending eklampsia.

Pemeriksaan vital sign setiap jam dan DJJ setiap jam dan mengetahui tanda-tanda keracunan

MgSO4 yang terdiri dari depresi nafas, refleks tendon (patella) yang menghilang, Oliguria.

Bila muncul tanda-tanda tersebut maka dapat diberikan Ca Glukonas 1g IV (10 mL larutan

10%) bolus dalam 10 menit (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Balance cairan pada pasien dengan preeklamsia seperti pasien ini harus dipantau

terutama jumlah urin tiap jam maupun 24 jam karena pada pasien preeklampsia sering

didapatkan gejala oliguria yaitu penurunan jumlah urin output kurang dari 400 ml dalam 24

jam atau urine output kurang dari 20-30 ml dalam 2 jam. Oliguria disebabkan oleh penurunan

perfusi renal dan filtrasi glomerolus yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin pada

hasil laboratorium (Young, et all.,2010).

Monitoring tanda-tanda kejang (Tonic-Clonic) perlu dilakukan sebagai tanda dari

eklampsia. Bila hal ini terjadi maka penatalaksanaan awal kegawatdaruratan yaitu life saving

A-B-C, atasi hipoksemia, academia, dan trauma saat pasien kejang, kemudian berikan

MgSO4 2 g IV pelan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 masih terdapat kejang,

dapat diperimbangkan pemberian Diazepam 10 mg IV selama 2 menit. Bila kejang berulang

segera kirim pasien ke ruang ICU dan dilakkan intubasi dengan ventilator tekanan positif

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Lakukan terminasi persalinan dalam 12

jam sejak terjadinya kejang tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.

Prognosis dari pasien tersebut dubia karena belum terlambat dalam pemberian

pengobatan, maka gejala perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilan diakhiri tetapi masih

15

Page 17: PEB Lapsus

harus dievaluasi 12 jam setelah persalinan. Apabila terjadi diuresis 12 jam setelah persalinan,

kemudian diikuti dengan tekanan darahyang kembali normal dalam beberapa jam merupakan

tanda prognosis yang baik. Apabila selama observasi terjadi eklampsia merupakan prognosis

yang buruk bagi janin karena sering menyebabkan kematian intrauterine (Prawirohardjo,

2009).

16

Page 18: PEB Lapsus

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah N.M. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian / SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit

Kandungan Ed.III. - Surabaya : RSU Dr. Soetomo., 2008. - pp. 25-28.

Bisseling T.M., Maria R.E., Raijmakers M. T., N-acetylcysteine restores nitric oxide-

mediated effects in the fetoplacental circulation of preeclamptic patients. American

Journal of Obstetric and Gynecologyc. - 2004. - 1 : Vol. 191. - pp. 328-333.

Cunningham F Gary, Leveno J. Kenneth., Williams Obstetri Ed.23. - New York : The

McGraw-Hill Companies, Inc, 2009.

Elland E., Nzerue C., Faulkne M.,Review Article: Preeclampsia 2012 Journal of Pregnancy. –

New York: Hindawi Publishing Corporation, 2012. - Vol. 2012. - pp. 1-7.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitias

Kesehatan Dasar dan Rujukan. - Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2013.

Prawirohardjo Sarwono Ilmu Kebidanan. - Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, 2009.

Souza E. V., Torloni M. R., Atallah A. N. Aspirin plus calcium supplementation to prevent

superimposed preeclampsia: a randomized trial. Brazilian Journal of Medical and

Biological Research. - 2014. - 5 : Vol. 47. - pp. 419-425.

Young B, C., Levine R. J., Karumanchi S. Pathogenesis of Preeclampsia. - 2010. - Vol. 5. -

pp. 173-192.

17