pcs 2

18

Click here to load reader

Upload: bunga-fatimah-ademi

Post on 14-Aug-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PCS 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Post conccussion syndrome (PCS) adalah suatu kondisi yang biasanya

berhubungan dengan cedera kepala. Post concussion syndrome atau sindrom

paska trauma  adalah suatu kumpulan gejala (symptoms) pada seseorang yang

dapat muncul pada beberapa minggu, bulan atau kadang tahunan setelah terjadi

suatu “concussion”, yaitu suatu trauma atau cedera kepala ringan (mild traumatic

brain injury) (Aji, 2008)

Menurut Legome (2006) PCS merupakan suatu sequele dari cedera kepala

ringan yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Beberapa hal yang

menyebabkan PCS masih menjadi perdebatan antara lain ialah tentang durasi

simptomya, ada tidaknya defisit neurologis yang ditemukan, kondisi yang tidak

konsisten, etiologi yang masih belum jelas diketahui, dan masalah statistik yang

belum signifikan menunjukkan PCS. Tergantung pada definisi dan populasi yang

digunakan, sekitar 29-90% pasien akan mengalami simptom paska konkusi segera

setelah terjadinya trauma kepala.

Post conccusion syndrome pertama kali dijelaskan oleh Strauss dan Savitsky

pada tahun 1934, ditandai dengan gangguan dalam memori, perhatian, dan

konsentrasi (kognisi), keadaan emosional, dan perilaku setelah terjadinya cedera

kepala ringan. Post concussion syndrome biasanya mengikuti cedera kepala

ringan, dimana kerugian atau perubahan dalam kesadaran berlangsung kurang dari

20 menit. Gejala kognitif termasuk konsentrasi yang buruk, defisit perhatian, dan

memori terganggu. Gejala afektif mungkin termasuk lekas marah, kecemasan,

depresi, atau fluktuasi suasana hati (lability emosional). Gejala fisik dapat

termasuk kelelahan, sakit kepala, vertigo, atau intoleransi kebisingan

(phonophobia) dan lampu terang (fotofobia). Kadang-kadang, akan ada gangguan

pendengaran dan penglihatan atau hilangnya indera penciuman (anosmia), yang

dapat mempengaruhi nafsu makan.

3

Page 2: PCS 2

2.2 Gejala

Gejala PCS dapat muncul segera setelah cedera kepala terjadi atau baru

muncul beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Pola gejala yang muncul

dapat berupa gejala fisik, mental atau emosional, dan dapat berubah  menurut

dimensi waktu. Pola yang umum adalah muncul gejala fisik terlebih dahulu segera

setelah terjadi cedera, selanjutnya gejala akan berubah menjadi gejala psikologis

yang lebih dominan (Aji, 2008).

Gejala yang muncul pada PCS menurut Sivax et al. (2005) terbagi menjadi

tiga yaitu: (1) Somatik, (2) Kognitif, dan (3) Emosional. Secara rinci gejala

tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Gejala-gejala yang sering muncul pada PCS

Tipe Gejala

Somatik Nyeri kepala, dizziness, pandangan kabur, diplopia, nausea,

vomitus, gangguan tidur, mudah kecapaian, hipersensitif

terhadap suara dan cahaya, tinitus.

Kognitif Gangguan atensi, memori, bicara, slow thingking, gangguan

fungsi eksekutif           

Emosional Instabilitas emosional, sedih, anxietas, apatis

Sumber: Sivax et.al (2005)

Gejala seperti menjadi lebih sensitif terhadap kegaduhan, gangguan

konsentrasi dan memori, iritabel, depresi, ansietas, fatique dan gangguan dalam

pengambilan keputusan (judgment) dapat dikatakan sebagai gejala “late onset”

karena gejala-gejala tersebut tidak muncul segera setelah cedera kepala terjadi,

namun muncul beberapa hari atau beberapa minggu kemudian. Nausea dan rasa

kantuk (drowsiness) sering muncul segera setelah cedera kepala terjadi namun

tidak berlangsung lama, sementara nyeri kepala dan dizziness muncul segera

setelah cedera kepala dan biasanya berlangsung lama (Aji, 2008).

2.3 Diagnosa

Merujuk pada Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, kode untuk

PCS adalah F07.2. Kriteria diagnosis untuk PCS pertama kali disampaikan dalam

International Classification of Disease revisi ke sepuluh (ICD-10) pada tahun

4

Page 3: PCS 2

1992 (Boake et al., 2005). Menurut ICD-10 tersebut kriteria diagnostik untuk PCS

adalah adanya riwayat cedera kepala (traumatic brain injury / TBI) dan disertai

dengan 3 atau lebih dari gejala-gejala berikut ini, yaitu (Leddy et all., 2012) :

1.     Nyeri kepala (headache)

2.     Dizziness

3.     Fatique

4.     Iritabel

5.     Insomnia

6.     Gangguan konsentrasi

7.     Gangguan memori

Selain berdasar pada ICD-10, terdapat kriteria lain yang juga telah

dikenalkan, yaitu menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder

(DSM) yang telah mencapai revisi ke empat. Menurut DSM-IV, kriteria untuk

PCS meliputi (Leddy et al., 2012) :

a. Riwayat trauma kepala yang menyebabkan adanya konkusi serebral yang

signifikan.

b. Gangguan kognitif dan atau memori

c. Terdapat 3 atau lebih dari 8 gejala (fatique, gangguan tidur, nyeri kepala,

dizziness, iritabel, gangguan afektif, perubahan kepribadian, apatis) yang

muncul setelah trauma dan menetap selama 3 bulan.

d. Gejala-gejala muncul pada saat injuri atau memburuk setelah injuri.

e. Mengganggu fungsi sosial

f. Dieksklusi adanya demensia paska trauma atau kelainan lain yang menerangkan

gejala yang muncul.

Kriteria c dan d mensyaratkan bahwa munculnya gejala atau perburukan

gejala harus mengikuti/setelah trauma kepala, dibedakan dengan gejala yang

muncul sebelum trauma, dan minimal durasinya adalah 3 bulan (Boake et al,

2005).

Menurut Boake et.al (2004) yang membandingkan kedua kriteria PCS

berdasarkan ICD-10 maupun DSM-IV didapatkan hasil bahwa prevalensi PCS

menurut ICD-10 lebih besar sekitar enam kali lipat dibandingkan dengan

menggunakan DSM-IV. Perbedaan tersebut sangat signifikan baik untuk pasien

5

Page 4: PCS 2

TBI maupun ekstrakranial trauma kepala. Hal tersebut menyebabkan kriteria

berdasarkan ICD-10 lebih inklusif dan hal ini dikarenakan ICD-10 memiliki

kriteria yang lebih sedikit dibandingkan bila menggunakan DSM-IV. Namun,

kedua kriteria tersebut masih menjadi perdebatan oleh para ahli, sehingga sampai

saat ini masih diperlukan penyesuaian dan belum didapatkan kesepakatan untuk

kriteria yang baru.

Kriteria pada ICD-10 dan DSM-IV terdapat beberapa poin yang overlaping,

yaitu: nyeri kepala, fatique, gangguan tidur, iritabel dan dizziness. Kelima kriteria

ini memiliki nilai kesepakatan yang tinggi (Boake et.al, 2005).

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi dari PCS masih belum sepenuhnya jelas. Namun tidak bisa

lepas dari patofisiologi proses cedera kepala itu sendiri.(Legome, 2006). Cedera

kepala ringan menunjukkan adanya benturan kepala yang disertai adanya periode

loss of consciousness (LOC) atau pingsan yang singkat dan atau disertai adanya

amnesia post trauma atau adanya disorientasi. Pada saat terjadinya trauma, skala

koma Glasgow (GCS) menunjukkan angka 13-15, meskipun beberapa literatur 

terkini mengatakan bahwa  skor GCS 15 dan kadang 14 menunjukkan adanya

injuri yang minor, sedangkan skor 13 berkaitan dengan kemungkinan adanya

kelainan intrakranial yang akan nampak pada pemeriksaan CT Scan kepala.

Pingsan (LOC) adalah merupakan manifestasi trauma pada batang otak (brain

stem) atau menandakan adanya cedera otak yang difus (diffuse cerebral injury).

Pada cedera kepala ringan, gejala yang muncul karena diffuse axonal injury

(DAI) yang ringan dimana hal ini disebabkan oleh mekanisme perenggangan atau

puntiran (shear) akson-akson saraf akibat dari gerakan akselerasi dan deselerasi

yang cepat saat terjadi cedera kepala (Sivak et al., 2005). Diffuse axonal injury

dapat mengakibatkan gejala kognitif sekuel seperti gangguan memori dan

konsentrasi (Willer, 2006).

Benturan yang mengakibatkan terjadinya konkusi dapat disertai dengan

peregangan akson yang disebut kaskade dari perubahan neurokemikal. Pada

penelitian yang dilakukan pada hewan, kaskade ini terjadi dalam waktu beberapa

6

Page 5: PCS 2

jam. Hal inilah yang menjelaskan mengapa beberapa tanda dan gejala dari

konkusi dapat terlambat (Giza, 2001).

2.5 Faktor Resiko

Sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas etiologi terjadinya PCS,

dimana pada sebagian orang yang sembuh dari cedera kepala dapat muncul gejala

PCS dan pada sebagian orang yang lain tidak. Namun demikian telah diketahui

beberapa faktor resiko yang telah diidentifikasi untuk munculnya gejala PCS.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi terjadinya dan severitas dari PCS,

antara lain: status sosioekonomi yang rendah, adanya riwayat cedera kepala ringan

sebelumnya, adanya nyeri kepala, dan usia lebih dari 40 tahun. Adanya riwayat

penggunaan alkohol, adanya kemampuan kognitif yang rendah sebelum terjadinya

cedera kepala, atau adanya gangguan kepribadian atau adanya penyakit psikiatri

dapat digunakan sebagai prediktor akan munculnya PCS yang persisten.

Adapun faktor-faktor dari CKR itu sendiri yang dapat dipakai sebagai

prediktor akan munculnya PCS yang persisten antara lain adalah: nyeri kepala

yang akut, dizziness atau nausea, GCS 13-14, post traumatic amnesia (PTA) yang

berlangsung lebih dari satu jam, atau adanya trauma sebelumnya yang belum

mengalami recoveri (trauma kedua sebelum traua kepala pertama sembuh). Risiko

PCS akan meningkat pada pasien yang mengalami stress, memiliki memori yang

traumatik dari cedera kepala tersebut (Legome, 2006).

Beberapa ahli menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki riwayat

kelainan depresi atau ansietas, adanya kepribadian premorbid, kemampuan

“coping” yang rendah dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya PCS meskipun

belum cukup data yang adekuat. Adapun kekakuan leher (neck stiffness) terbukti

tidak berhubungan dengan perkembangan PCS. Juga telah terdapat penelitian

yang menyimpulkan bahwa perkembangan munculnya gejala PCS berhubungan

dengan adanya nausea, nyeri kepala,  dan dizziness. Pada pemeriksaan serum S-

100 dan pemeriksaan neuron-specific enolase didapatkan adanya kerusakan otak

minor. Protein tersebut dilepaskan bersamaan dengan kerusakan otak dan dapat

ditemukan pada pemeriksaan serum darah tepi, sehingga meskipun spesifitasnya

rendah, peningkatan kadar serum S-100 selalu berkaitan dengan adanya gejala

7

Page 6: PCS 2

neusea, dizziness dan nyeri kepala yang akan menjadi PCS yang persisten

(Legome, 2006).

2.6 Pemeriksaan Fisik

Menurut Aji (2008) secara umum pemeriksaan pasien dengan PCS akan

didapatkan hasil pemeriksaan fisik yang normal. Pasien dengan PCS kadang

hanya didapatkan kelainan neurologi yang sangat minimal, namun bila didapatkan

adanya defisit motorik fokal maka harus dipikirkan adanya perdarahan

intrakranial. Beberapa hal yang dapat ditemukan pada pasien dengan PCS antara

lain:

a.     Adanya tanda-tanda depresi

b.     Adanya penurunan kemampuan membau dan merasakan (lidah).

c.     Adanya neurasthenia atau hiperesthesia (tapi bukan dermatomal).

d.     Gangguan kognitif, antara lain: naming (vocabularies), short-term memory

dan intermediate memory, atensi, informasi processing, recall, menggambar dan

fungsi eksekutif.

2.7 Pemeriksaan Penunjang 

a. Laboratorium

Untuk menegakkan diagnosa PCS, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang

spesifik. Adapun pemeriksaan laboratrium yang dilakukan lebih kepada pencarian

underlying disease yang lain yang mungkin sebagai penyebab munculnya gejala

yang menyerupai PCS. Beberapa kondisi yang mungkin dapat memberikan gejala

yang mirip PCS yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan laboratorium antara

lain adalah adanya toksisitas dan penyakit metabolik. Selain itu pemeriksaan

laboratorium juga dilakukan bila ada kecurigaan adanya penyakit lain yang

menyertai adanya PCS (Aji, 2008).

b. Imaging

Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada pasien PCS adalah CT-

scan dan MRI, namun harus dengan indikasi yang jelas. CT Scanning digunakan

untuk mengetahui adanya kelainan intrakranial dan adanya fraktur tulang

tengkorak. Pada pasien yang tidak disertai adanya episode pingsan (LOC) dan dari

pemeriksaan neurologinya dalam batas normal, hasil CT Scan biasanya tidak

didapatkan gambaran yang patologis (Aji, 2008).

8

Page 7: PCS 2

Bila pemeriksaan CT Scan telah dilakukan segera setelah cedera kepala

terjadi, maka CT scan ulang sudah tidak diperlukan pada pasien yang tidak ada

defisit neurologi, kecuali pasien yang memiliki risiko perdarahan yang tertunda

(lucid interval). Pasien dengan riwayat pingsan (LOC) dan memiliki kesadaran

yang baik (GCS 15) sebagian besar akan memberikan gambaran CT scan yang

normal, meskipun terdapat sejumlah kecil yang didapatkan adanya lesi struktural

yang membutuhkan ntervensi bedah. Legome (2006) menyatakan bahwa secara

umum pemeriksaan CT Scan tunggal (sekali) masih bisa diterima (reasonable),

cepat dan merupakan alat skrinning yang efektif yang dapat dilakukan pada pasien

trauma kepala dengan gejala klinis yang nyata.

 Tidak adanya pingsan dan atau hasil CT scan yang normal tidak serta merta

menyatakan bahwa tidak ada kerusakan pada otak. Adanya puntiran atau

peregangan akson dan neuron yang akan menyebabkan diffuse axonal injury dapat

muncul tanpa kelainan yang nyata pada gambaran CT scan kepala. Hal ini diduga

oleh adanya penguatan (strained) dari jaringan lunak sekitar leher yang

melindungi batang otak dan mencegah terjadinya pingsan (LOC) (Aji, 2008).

Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan pada kasus cedera

kepala ringan atau kasus PCS. Lesi di daerah frontotemporal adalah lesi yang

paling sering ditemui dan nampaknya berhubungan dengan defisit yang ditemui

pada pemeriksaan neuropsikologi. MRI yang dilakukan 24 jam setelah terjadinya

cedera kepala dapat melihat adanya bekas kontusi yang lama, kaburnya batas

antara white matter dan gray matter, dan adanya kontur otak yang irreguler. MRI

yang dilakukan pada fase akut (segera setelah terjadinya cedera kepala) hanya

memiliki sedikit manfaat saja, sehingga disarankan dilakukan observasi terlebih

dahulu sampai paling tidak 24 jam dan dilakukan follow up untuk melihat adanya

defisit neurologis ataupun adanya gejala klinis yang menetap atau bahkan

memberat sebagai salah satu indikasinya (Aji, 2008).

2.8 Pemeriksaan lain

Pemeriksaa lain yang sangat penting pada kasus cedera kepala dan PCS

adalah pemeriksaan neuropsikologi. Pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan pada

fase akut, meskipun sebenarnya pemeriksaan ini dapat sebagai prediktor

perkembangan simptom yang ada. Suatu seri pemeriksaan standar dan pertanyaan

9

Page 8: PCS 2

kuesioner digunakan untuk memeriksa atensi, bahasa, memori, fungsi emosional,

dan beberapa parameter neurobehavioral lainnya. Untuk pasien PCS, gejalanya

dapat dikuantifikasi dengan alat The Rivermead Post concussional symptoms

Quesionaire. Selain itu dapat pula digunakan asesment neuropsikologikal yang

lain, misalnya: Wechsler Adult Intellegence Scale dan subset spesifik (digit span

dan vocabulary), Trail making test, menggambar gambar yang kompleks, copy

trial dan memory trial, kategori tes, Hopkins Verbal Learning Test, dan lain-lain.

Untuk melihat personalitinya dapat digunakan MMPI-2 (Minnesota

Multiphasic Personality Inventory, second edition). Juga penggunaan TOAG

(Galveston Orientation and Amnesia Test) dapat digunakan untuk menentukan

prognosis dan kemungkinan adanya persisten dari PCS.

Temuan pada pemeriksaan neuropsikologi dapat menunjukkan severitas dari

simptom yang sering tidak disertai adanya defisit neurologi yang muncul segera

setelah cedera kepala terjadi. Menurut beberapa serial kasus, lamanya pingsan

(LOC) atau adanya post traumatic amnesia berhubungan dengan probabilitas

terjadinya PCS.  

Manifestasi klinik paling sering muncul pada minggu-minggu awal dan akan

membaik selama 3 bulan setelah cedera kepala, namun terdapat pula yang

gejalanya menetap pada sepertiga pasien cedera kepala ringan. Beberapa ahli

menyatakan bahwa adanya PCS yang muncul awal akan menunjukkan adanya lesi

organik. Rekoveri dari PCS sangat tergantung dari severitas injuri, usia,

pendidikan, kemampuan kerja, kemampuan psikososial, fungsi kognitif dan faktor

personaliti.

2.9 Manajemen

Manajemen PCS masih menjadi banyak perdebatan para ahli. Willer dan

Leddy (2006) menyatakan bahwa terapi rehabilitasi neurokognitif adalah terapi

yang paling banyak dilakukan, namun bukti empirik yang signifikan akan

keberhasilan terapi ini belum ada. Sehingga sindrom yang ada dapat dikatakan

tidak diterapi, kecuali hanya terapi simptomatik saja. Misalnya adalah penggunaan

analgetik untuk nyeri kepala yang muncul, antidepresan untuk gejala depresi,

dizziness atau anti muntah untuk terapi  nausea yang muncul. Istirahat total sering

10

Page 9: PCS 2

dinasehatkan, namun hanya memberikan sedikit efektifias. Fisioterapi dan

behavioral terapi sering diberikan pada pasien yang memiliki gangguan atensi.

a. Medikasi

Pengobatan yang paling sering disarankan oleh banyak neuropsikologi pada

pasien PCS adalah antidepresan (Mittenberg, 2001). Salah satu yang menjadi

terapi utama adalah golongan SSRI (Serotonin selektif reuptake inhibitor) dimana

obat golongan ini diberikan pada pasien post trauma dengan depresi. Keunggulan

dari SSRI adalah golongan ini memiliki efikasi klinis yang baik dengan sedikit

sekali efek samping. Namun, obat ini juga belum didukung dengan penelitian

yang luas, sehingga level of evidence-nya masih relatif rendah. Dari berbagai

penelitian yang ada (level of eviden rendah), dapat disimpulkan bahwa SSRI

memiliki efikasi klinis dalam menurunkan gejala depresi dan kelemahan kognitif.

Pada satu studi didapatkan pemberian sertraline dengan dosis 25mg/hari dan

perlahan ditingkatkan menjadi 100-200 mg/hari didapatkan 87% pasien

mengalami penurunan gejala depresi yang signifikan dan disertai peningkatan

variabel kognitif seperti kecepatan psikomotor dan memori visual (Fann, 2000;

Zasler, 1993)

Pada salah satu penelitian didapatkan bahwa amytriptyline tidak efektif

untuk pasien depresi paska konkusi. Namun pada penelitian lainnya didapatkan

bhwa amytriptyline efektif mengurangi gejala sakit kepala pada pasien tanpa

depresi (Willer and Leddy, 2006). Salah satu obat, Trazodone, telah digunakan

untuk mengobati gangguan tidur pada pasien-pasien dengan trauma kepala.

Namun, efek antikholonergik dan kardiogenik obat ini membuat obat ini sangat

terbatas penggunaannya.

Pada pasien cedera kepala terdapat gangguan sistem cholinergic, dimana

kondisi ini mirip dengan kondisi penyakit Alzheimer. Salah satu gejalanya adalah

adanya gangguan atensi dan gangguan kemampuan mempelajari hal baru yang

sangat mirip dengan alzheimer. Gangguan memori ini biasanya akan membaik

dengan memberikan preparat cholinergik. Physostigmine dan donepezil adalah

suatu preparat acethylcholin esterase inhibitor yang secara temporari (sementara)

akan menjaga kadar acethilcholin di otak, dimana golongan lechitine dan CDP-

cholin adalah prekursor yang akan meningkatkan kadar acethylcholin di otak.

11

Page 10: PCS 2

Pada salah satu penelitian RCT, didapatkan hasil bahwa pemberian physostigmine

tunggal atau dikombinasikan dengan preparat lechitine akan memberikan

peningkatan performa pada tes neuropsikologi pada pasien trauma kepala.

Kesulitannya adalah waktu paruh yang relatif pendek, cara pemberian yang tidak

bisa per oral, dan adanya beberapa efek samping  yang sering muncul (Willer and

Leddy, 2006)

Pemberian CDP-Cholin setelah trauma kepala selama satu bulan

menunjukkan perbaikan pada tes performa neuropsikologi dan mengurangi

kemunculan PCS. Namun, penelitian ini tidak menunjukkan durasi dari

peningkatan tersebut setelah pengobatan CDP-Cholin dihentikan (Leddy, 2012).

Preparat donepezil sudah terbukti meningkatkan fungsi kognitif pada pasien

AD dan pasien trauma kepala berat, terutama untuk fungsi short dan long term

memori.  Donepezil juga bermanfaat untuk mengurangi ansietas, depresi, dan

apathi pada pasien trauma kepala berat (Leddy, 2012).

Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa preparat kolinergik  sangat

bermanfaat pada manajemen trauma kepala, namun untuk cedera kepala ringan

dan PCS, belum ada penelitian yang signifikan. Sehingga bila berbasis pada dasar

mekanisme, preparat kolinergik dapat diterima, namun bila berbasis evidence,

masih belum cukup bukti yang mendukung (Willer and Leddy, 2006).

b. Psikoterapi

Pengobatan psikoterapi telah terbukti dapat mengurangi gejala PCS. Adanya

disabilitas yang muncul akibat trauma kepala atau karena PCS dapat diterapi

dengan psikoterapi ini sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja

dan kehidupan sosial pasien. Hampir 40% pasien PCS dirujuk ke bagian

psikologi. Pasien PCS akan dilakukan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

sebagai protap standarnya, dimana tujuan CBT ini adalah untuk mempengaruhi

kemampuan emosional dengan meningkatkan kepercayaan dirinya (Leddy, 2012).

Salah satu risiko yang kadang muncul dari CBT ini adalah bahwa “power of

suggestion” yang diberikan malah dapat memperburuk gejala dan menyebabkan

disabilitas yang lebih lama. Hal ini dapat terjadi bila pasien merasakan kondisi

yang dialaminya (kelainan fisik) benar-benar akibat dari cedera kepala yang

dialaminya sehingga malah akan semakin membuat dia merasa bersalah dan

12

Page 11: PCS 2

semakin tertekan. Oleh karena itu, bila diindikasikan konsultasi psikologi, maka

terapis harus fokus pada masalah psikologi saja, tidak perlu membahas masalah

kelainan secara fisik akibat trauma kepala.

c. Edukasi Pasien dan Keluarga

Post concussion syndrom adalah suatu penyakit yang self-limitted disease.

Maksudnya adalah bahwa sebagian besar kondisi PCS akan mengalami remisi

dengan sendirinya. Sifat ini sangat penting dikomunikasikan kepada pasien,

sehingga secara psikologis akan sangat membantu proses kesembuhan pasien itu

sendiri.

Selain sifat tersebut, adanya gejala-gejala yang menyertai PCS sangat

penting disampaikan kepada pasien. Harapannya adalah bahwa pasien akan

mengenali kondisi atau gejala yang akan mungkin timbul sehingga dia bisa

mempersiapkan mentalnya dengan baik.

2.10 Prognosis

Penelitian tentang prognosis yang sesungguhnya sangat sulit didapatan. Hal

ini disebabkan karena pasien PCS dengan keluhan yang minimal sering tidak

mendatangi pusat kesehatan. Mereka yang memiliki gejala yang sedang-berat saja

yang mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan. Hal ini akan membuat penelitian

tentang prognosis yang riil menjadi bias.

Kebanyakan pasien akan membaik dalam waktu kurang dari 3 bulan,

meskipun terdapat beberapa penelitian yang menyatakan adanya defek kognitif

minor yang persisten pada pasien CKR yang asimptomatik. Hampir 15% pasien

akan mengeluhkan gejala PCS lebih dari 12 bulan setelah trauma kepala, dimana

pada kelompok ini biasanya akan mengalami gangguan yang lebih persisten dan

intrusif sehingga refrakter terhadap berbagai pengobatan dan sering keluhan atau

kecacatan yang muncul akan berlangsung sangat lama (lifelong disability).

Terdapat sebuah penelitian yang menyatakan bahwa adanya dizziness setelah

trauma menunjukkan akan adanya PCS yang persisten dan akan muncul gejala

PCS yang kompleks. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa depressi, nyeri dan

gejala invaliditiberhubungan dengan simptom yang lebih berat dan lebih lama.

13