pbl sk2 alergi [imun] -hadi syarifudin_1102010116

44
LO 1. Hipersensitivitas Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Ada beberapa ciri-ciri yang umum pada hipersensitivitas yaitu antigen dari eksogen atau endogen dapat memicu reaksi hipersensitivitas, penyakit hipersensitivitas biasanya berhubungan dengan gen yang dimiliki setiap orang, reaksi hipersensitivitas mencerminkan tidak kompaknya antara mekanisme afektor dari respon imun dan mekanisme kontrolnya. I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi A. Reaksi cepat Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal. B. Reaksi intermediet Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa: Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES

Upload: widya-amalia-swastika

Post on 02-Dec-2015

51 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

LO 1. Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Ada beberapa ciri-ciri yang umum pada hipersensitivitas

yaitu antigen dari eksogen atau endogen dapat memicu reaksi hipersensitivitas, penyakit

hipersensitivitas biasanya berhubungan dengan gen yang dimiliki setiap orang, reaksi hipersensitivitas

mencerminkan tidak kompaknya antara mekanisme afektor dari respon imun dan mekanisme

kontrolnya.

I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi

A. Reaksi cepat

Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang

antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator

vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.

B. Reaksi intermediet

Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.

Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan

melalui komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat

berupa:

Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun

Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis

nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES

Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang

disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.

C. Reaksi lambat

Reaksi lambat telihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen

yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan

sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat

adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:

tipe I hipersensitif anafilaktik,

tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi,

tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun,

tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat).

Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory

hipersensitivity.

Page 2: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk

mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya

seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan

mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/imuunology/2140486-hipersensitivitas/

#ixzz1N4a5ZcKx

Imunologi Dasar

LO 2. Hipersensitivitas tipe 1

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel

ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum

diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran

penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,

yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Page 3: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

I. Klasifikasi Hipersensitivitas tipe I

1.1. Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi:

anafilaktik (tipe Ia)

Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi

antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan

alergen yang bersangkutan. Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik

yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen

hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang

menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau

gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

anafilaktoid (tipe Ib).

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai

contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin

yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik

eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan

salah satu daripreformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain

histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang

terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan

pada reaksi tipe I.

1.2. Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase

lambat.

o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya

terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam

beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan

basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik

reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

o Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas

tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel

yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang

Page 4: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator

kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator

fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan

sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat

dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan

sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel

lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein(MBP) afau eosinophil

cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal

bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada

infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan

menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

II. Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)

Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen

dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua

kelompok, yaitu:

mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator)

mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).

Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:

mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer)

mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder)

II.1. Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu:

histamin, 

eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A),

neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Page 5: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.

Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil

dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi

dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat

histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan,

kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi

dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos

bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare,

dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin

mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala

alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis).

Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama

pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi

dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin

bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak

diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi

tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi

respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang

diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam

granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk

setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat

dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak

selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan

dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah

provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi

penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik

Page 6: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

(dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia

merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas

tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4

juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

II.2. Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi

trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari:

jalur siklooksigenase

jalur lipoksigenase

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih

produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan

TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit.

Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase

lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator

karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos

bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta

TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi

peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow

reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil

dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast

manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A

yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

Slow reacting substance of anaphylaxis

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama

dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis

mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin

Page 7: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain

itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi,

SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta

LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat

menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga

menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi

trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin

ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada

manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi

produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang

mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi

sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang

kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein

pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu

misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik

dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat

dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein.

Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai

alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan

menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma

yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam

jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada

sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen

yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini

memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF

Page 8: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

(diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini

merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel

T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast

sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi.

Produksi interleukin diperkirakan  dapat  langsung  dari  sel  mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi

oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis

IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada

sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating

factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ,

TGFβ, PGE2, dan IL-I0 

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau

meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat

Gambar 12-6).  Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte

chemotactic and activating factor)dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and

presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada

reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik

dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil

tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a,

LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi.

GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor)serta SCF berperan

dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel

mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami

peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF

(eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-

CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih

banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

III. Mekanisme timbulnya hipersensitivitas tipe I

Antigen yang masuk tubuh akan ditangkapnoleh fagosit, diproses lalu dipresentasikan ke sel Th2.

Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat oleh

sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Bila tubuh

Page 9: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik)

pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut

mengeluarkan berbagai mediator antara lain hiatamin yang didapat dalam granul-granul sel dan

menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.

Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma

bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopok. Di samping histamin, mediator lain seperti

prostaglandin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada

fase lambat dari reaksi tipe I yang sering yimbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.

IV. Manifestasi reaksi tipe I

a. Reaksi lokal

Reaksi hipersensitivitas tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang

biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecenderungan untuk

menunjukkan reaksi tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi

menunjukkan pnyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis

atopi.

Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh

melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20%

masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3%-10% yang menderita asma

bronkial. IgE yang sudah ada pada permukaan sek mast akan menetap untuk beberapa

Page 10: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi

dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,

mata, hidung, dan saluran napas.

b. Reaksi sistemik-anafilaksis

Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.

Anafilaksis adalah reaksi hipersemsitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi alergi yang

cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan

sek efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergen seperti

makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks,

latihan jasmani dan bahab diagnostik kainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis,

pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.

c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid

Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan

penglepasan mediator oleh sel mast yang tejadi tidak melalui IgE. Mekanisme

pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor non imun. Secara klinis reaksi ini

menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi

tidakberdasarkan atas reaksi imun. Menifestasi klinis sering serupa, sehingga sulit

dibedakan satu dengan yang lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu

untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditiimbulkan antimikroba,

protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.

V. Diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat,

makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap

penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang

diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema. Bila ditemukan reaksi

sistemik berat harus dipertimbangkan semua penyebab distres pernapasan, kolaps kardiovaskular dan

hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi vasovagal dan serangan sinkop, infark miokard, reaksi

insulin, atau reaksi histeris.

Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah penyuntikan. Pada keadaan ini nadi

teraba lambat dan biasanya tidak terjadi sianosis. Walau tekanan darah menurun biasanya masih dapat

diukur. Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering ditemukan. Infark miokard disertai gejala

yang menonjol seperti sakit dada dengan atau tanpa penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih

Page 11: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

lambat dan tanpa emfisema atau sumbatan bronkial. Tidak terdapat edema atau sumbatan jalan napas

atas.

Reaksi insulin yang karakteristik adalah lemah, pucat, diaforesis dan tidak sadar. Tidak terjadi

sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan. Tekanan darah biasanya sedikit menurun. Reaksi

histeris tidak disertai bukti distres pernapasan, hipotensi atau sianosis. Parestesia lebih sering dari

pada pruritus. Sinkop dapat terjadi tetapi kesadaran cepat kembali.

VI. Penatalaksanaan

Page 12: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi

vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut

mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan

intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serta

pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana anafilaksis secara umum.

Evaluasi segera

Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami

henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmonen.

Adrenalin

Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml

(larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.

Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml

(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen.

Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan.

Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi

intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB  dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan

1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-

10 menit.

Intubasi dan trakeostomi

Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas

oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.

Turniket

Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan

berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut.

Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.

Oksigen

Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis, dispneu yang

jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit)

diberikan melalui masker atau kateter hidung. 

Difenhidramin

Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit),

intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal,

tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah

merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24

jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema.

Page 13: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Kalau penderita tidak memberikan respons dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap

hipotensif atau tetap dengan kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan

intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.

Cairan intravena

Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%

dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok

teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat

badan dan umur anak.

Aminofilin

Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan

dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini

diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme,

aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5

mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin

serum harus dimonitor.

Vasopresor

Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat

(Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan

memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis

ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan

vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan

intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama

infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

Kortikosteroid

Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi

anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan Kortikosteroid bergunan untuk

mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10

mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan

biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.

VII. Pengobatan suportif

Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan

selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi,

pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.

Page 14: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

IPD jilid I

Imunologi Dasar

http://annisainayatims.blog.uns.ac.id/2011/03/31/reaksi-hipersensitivitas/

LO 3. Hipersensitivitas tipe II

I. Mekanisme terjadinya hipersensitivitas tipe II

Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya dengan adanya suatu

proses penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan

pada:

1. sel tumor

2. sel terinfeksi virus

3. sel yang terinduksi mutagen

Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya faktor

lingkungan sel tersebut mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel tersebut

harus diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan melalui sistem imunologik. Jika sel tersebut tidak

dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang menjadi klon baru yang

selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.

Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis, pemvigus.

Mekanisme reaksinya ada 3 macam yaitu` :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya

Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi IgG/IgM sehingga

mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan komplemen 

sehingga menyebabkan lisis.

Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;

1. Melalui jalur ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)

Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.

Adanya Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi

IgG/IgM sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

Page 15: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

2. Melalui aktivitas sistem komplemen

a. Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O.

Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang

mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M)

yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap

antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat

mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling

sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3

jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti

urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun

dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.

b. Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir

dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung

oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi

ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini

akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta.

IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi

atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada

fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk

mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

c. Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap

sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang

progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang

dibutuhkan untuk aglutinasi.

I. Manifestasi klinis

Page 16: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

d. Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan

pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk

terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat

mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.

e. Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal

glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan

linier yang terlihat pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya

sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan,

plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit

auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah

mengalami infeksi streptococ.

f. Myasthenia gravis

Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler,

sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.

g. Pempigus

Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang

menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

LO 4. Hipersensitivitas tipe 3 atau komplex imun

Dalam keadaan normal komplex imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan

disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan

komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh

makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama

berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fumhsi fagosit merupakan salah satu penyebab

mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi

dalam jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun

tersebut mengendap di jaringan.

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah.

Page 17: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebih, tapi tanpa adanya

respon antibodi yang efektif.

Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun

sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepaskan berbagai

bahan yang dapat merusak jaringan.

Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3

( dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal

ginjal yang menimbulkan inflamasi lokal dan luas.

Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi

makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast.

2. Kompleks imun mengendap dijaringan

Hal yang mungkin terjadi pada pengendapan kompleks imun dijaringan adalah

- Ukuran kompleks imun

Kompleks imun yang sangat besar yang dibentuk pada kelebihan antibodi ,

dengan cepat akan dibuang dari sirkulasi oleh sistem fagosit ik mononuklir

dan kerena itu relatif tidak berbahaya. Kompleks imun yang sangat patogen

yang pada umumnya berukuran kecil ataunsedang, beredar lebih lama dan

mengikat kurang kuat pada sel-sel fagosit.

- Permeabilitas vaskular yang meningkat

Karena histamin yang dilepaskan oleh sel mast.

3. Bentuk reaksi

Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk reaksi, lokal dan sistemik.

a. Reaksi lokal atau Fenomen Arthus

Arthus merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Antibodi yang ditemukan

adalah jenis presipitin. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil

menempel pada endotel vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks

imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan

vaskular akibat akumyulasi cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis.

Pertama suntikan obat dapat memicu pembentukan kompleks imun yang

mengaktifkan komplemen yaitu C3a dan C5a ( anafilatoksin ) yang terbentuk

pada aktivasi komplemen, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang

Page 18: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik,

lalu komplemen diikat oleh sel mast.

Dan neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan menimbulkan

stasis dan obstruksi total aliran darah, sasaran dari anafilatoksin adalah pembuluh

darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi

otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons

triple terhadap kulit, neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan

bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai enzim litik

( protease, kolagenase), akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis

jaringan setempat.

b. Reaksi tipe III sistemik – serum sickness

Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang

diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan

basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7)

mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein

polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-

tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus,

misalnya dalam kapiler glomerolus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid

dan korpus silier mata. Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium

membentuk anti-IgG (FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di

sendi. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk

mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel

mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan vaskular dan

inflamasi. Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil

yang terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks,

tetapi akan melepas granulnya(angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih

banyak kerusakan jaringan. Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (tipe

III) yang terjadi sesudah pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi

kronis.

LO 5. Hipersensitivitas tipe 4

I. Etiologi reaksi hipersensitivitas IV

Page 19: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Reaksi ini terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen

tertentu.terdapat dua tipe reaksi dalam hipersensitivitas IV yaitu hipersensitivitas lambat dan

sitotoksisitas diperantarai sel.

II. Mekanisme reaksi hipersensitivitas IV

CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV.sel T melepas

sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksiklainnya menimbulkan respons inflamasi

yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat.

Reaksi hipersensitivitivitas tipe IV dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan

T cell mediated cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.

1. Delayed type hypersensitivity tipe IV

Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis.biasanya terjadi

terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam

rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit.ada beberapa fase :

Fase sensitasi yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan

antigen.Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II.

Berbagai APC seperti sel langerhans (SD dikulit)dan makrofag yang

menangkap antigen dan membawanya kekelenjar limfoid regional untuk

dipersentasikan ke sel T.sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+

terutama Th 1,tetapi ada beberapa hal sel CD8+ dapat juga diaktifkan.

Fase efektor ,ssel Th 1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan

makrofag dan sel inflamasi non spesifik lain.gejala biasanya baru nampak 24 jam

sesudah kontak kedua dengan antigen.makrofag merupakan efektor utama respons

DTH.sitokin yang dilepas sel Th1 menginduksi monosit menempel keendotel

vaskuler,bermigrasi dari sirkulasi darah kejaringan sekitar.

Influks makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasit dan

bakteri intraselular yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi.enzim litik yang dilepas

makrofag menimbulkan destruksi nonspesifik patogen intraseluler yang hanya

menimbulkan sedikit kerusakan jaringan.

III. Manifestasi klinis

a. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak adalah penyakit CD4 yang dapat terjadi akibat kontak dengan

bahan tidak berbahaya ,merupakan contoh reaksi DTH.

b. Hipersensitivitas tuberkulin

Page 20: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk fitrat biakan M.tuberkulosis yang

bila disuntikkan kekulit,akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV.yang

berperan sel limfosit CD4+ T.

c. Reaksi jones mote

Reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap antigen protein yang berhubungan dengan

infiltrat basofil mencolok dikulit dibawah dermis.

d. T cell mediated cytolysis

Kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran

dan penyakit yang ditimbulkannya cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan

biasanya tidak sistemik.

LO 6. Antihistamin dan Kortikosteroid

Diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses fisiologik dan

patologik.maka dicarikan obat yang mengantagonisefek histamin. Contoh-contoh antihistmin

epniefrin,antargen,defidramin,dan tripelenamin.

Ada dua jenis antihistamin:

antagonis resptor H1 (AN1)

I. Farmakodinamik

antagonis terhadap histamine. AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh

darah,bronkus dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk

mengobati reaksi hipersensifitas atau keadaaan lain disertai penglepasan histamin

endogen berlebihan.

1. Otot polos. Bronkokonstriksi akibat histamine dapat dihambat oleh AH1

2. Phermabilitas kapiler. Peninggian phermabilitas kapiler dapat dihambat oleh AH1

3. Reaksi anafilaksis dan alergi

4. Kelenjar eksokrin AN1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan

lambung.AH1 dapat menghambat sekresi salivia dan sekresi kelenjar eksorin lain

akibat histamine

5. Susunan saraf pusat.

6. Anestetik local

Page 21: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

7. Antikolinergik

8. System kardiovaskular

II. Farmakokinetik

Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorbsi secara baik. Efeknya timbul 15-

30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2jam.

Temapat utama biotransformasi AH1 ialah hati,tetapi dapat juga pada paru-paru dan

ginjal. AH1 dieksresi melalui urin setelah 24jam,terutama dala bentuk metabolitnya.

III. Indikasi

1. penyakit alergi

2. mabuk perjalanan dan keadaan lain

IV. Efek samping

efek samping yang paling sering adalah sedasi (mengantuk)

antagonis resptor H2(AH2)

Antagonis reseptor H2 berkerja menghambat sekresi asam lambung. AH2 yang ada

dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin.

A. Simetidin dan Ranitidin

Farmakodinamik

Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan

reversible.perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam

lambung,sehingga pada pemberian smetidin dan ranitidin sekresi asam lambung

dihambat.

Farmakokinetik

Page 22: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV

atau IM.Ikatan protein plasmanya hanya 20% arbsobsi simetidin diperlambat oleh

makanan.sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan

maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Arbsobsi simetidin

terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam ssp dan kadarnya

dalam cairan spinal 10-20%

Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan

meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3jam pada orang

dewasa. Dan memanjang pada orang tua dan pada paien gagal ginjal. Pada pasien

penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada

gagal ginjal . antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi fetus

Indikasi

Simetidin ,ranitidine dan antagonis resptor h2 lainya efektif untuk mengatasi

gejala akut tutak duodenum dan mempercepat penyembuhanya dengan dosis lebih

kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak duodenum.

Efek samping

Efek samping ini antara lain nyeri kepala,pusing,malaise ,mialgia, mual diare

konstipasi,ruam kulit, pruritus,kehilanagan libido dan impoten

B.Famotidin

Farmakodinamik

Sama dengan halnya simetidin dan ranitidin,famotidin merupakan AH2

senhingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan

akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada

simetidin.

Farmakodinamik

Famotidin mencapai kadar puncaknya di plasma kira-kira dalm 2jam stelah

penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailibilitas 40-50%.

Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25%

Page 23: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

dari dosis ditemukan dalam bentuk asal urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa

paruh eliminasi dapat melebihi 20jam

Indikasi

Profilaksis tukak lambung,refluks esofagnitis dan pencegahan tukak strees

kurang lebih sama dengan antagonis reseptor H2 lainya.

Efek samping

Ringan dan jarang terjadi misalnya skit kepala,pusing konstipasi dan diare.

Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin

karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

B. Nizatidin

Farmakodinamik

Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih

sama dengan ranitidine.

Farmakokinetik

Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak di pengaruhi oleh

makan atau antikolegenik.kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai

dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampaii dengan

10jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal 90% dari dosis yang digunakan di

temukan di urin dalam 16jam.

Indikasi

Efektifitas untuk pengobatan ganguan asam lambung sebanding dengan

ranitidine dan simetidin

Efek samping

Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi.peningkatan kadar asam urat

dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak

menimbulkan gejala klinik yang bermakna , sperti halnya dengan AH2 lainya.

Page 24: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Kortikosteroid

1. Mekanisme kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul

hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.

2. Farmakodinamik

- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu

juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan

organ lain.

- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu

glukokortikoid dan mineralokortikoid.

a. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-

inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.

b. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,

sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.

- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa

kerjanya.

a. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.

b. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.

c. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

3. Farmakokinetik

Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai

kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan

protein.

Page 25: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.

Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek

sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

4. Indikasi

Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum

obat ini digunakan :

- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan

error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.

- Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.

- Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,

tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.

- Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi

dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.

- Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan

terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-

inflamasinya.

- Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,

mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

5. Kontraindikasi

Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.

Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang

mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada

keadaan yang mengancam jiwa pasien.

Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu,

kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat,

hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.

6. Efek samping

Page 26: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau

pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.

- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan

insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.

- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit ,

hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien

tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.

- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat

kortikosteroid sintetik.

- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan

kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan

pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

LO 7. Hukum memilih obat

Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah Subhanahu

wa Ta'ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah Subhanahu wa

Ta'ala atas hamba-hamba- Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi

kaum mukminin. Shuhaib Ar-Rumi radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam

bersabda: "Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah

kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia

mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa

kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya." (HR. Muslim no. 2999)

Termasuk keutamaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia

menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka.

Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau

lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahan nya sebagaimana pohon

menggugurkan daun-daunnya." (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511) Di sisi lain,

sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat bersama

penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba- Nya, baik

yang mukmin maupun yang kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu

Page 27: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Hurairah radhiallahu 'anhu: "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk

penyakit itu obatnya." (HR. Al-Bukhari no. 5678)

Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya.

(Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang

mengetahuinya." (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah

no. 451) Jabir radhiallahu 'anhu membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah

Subhanahu wa Ta'ala." (HR. Muslim no. 5705)

Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang

bermanfaat dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu

berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa

sekarang ini. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-Iraqi)Karena itulah

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata: 'Sungguh para tabib telah sepakat bahwa

ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan

(kimiawi, -pent.). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih

memakai obat yang kompleks.

Ibnul Qayyim juga berkata: "Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya

berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat." (Ath-

Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)

Mereka mengatakan: "Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan

pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan." Ibnul Qayyim juga berkata:

"Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari

pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat." (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)

Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar

sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang

utama, karena kepastiannya datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu

'alaihi wa sallam.

Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang

didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi

kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba. (Fathul Bari, 10/210)

Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh

bersandar semata dengan pengobatan tertentu. Dan tidak boleh meyakini bahwa obatlah yang

Page 28: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

menyembuhkan sakitnya. Namun seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Dzat yang

memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seorang

hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya ia selalu

berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala kemudharatan yang tengah menimpanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Siapakah yang mengijabahi (menjawab/ mengabulkan)

permintaan orang yang dalam kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah) Dia yang

menghilangkan kejelekan?" (An-Naml: 62) Sungguh tidak ada yang dapat memberikan kesembuhan

kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Karena itulah, Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata memuji

Rabbnya: "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.' (Asy Syu'ara`: 80)

SOLUSI : Pengobatan Nabawi Untuk Asam Urat

Asam urat sudah dikenal sejak 2.000 tahun yang lalu dan menjadi salah satu penyakit tertua yang

dikenal manusia. Dulu, penyakit ini juga disebut "penyakit para raja" karena penyakit ini

diasosiasikan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman yang enak-enak. Kini, asam

urat bisa menimpa siapa saja, Tidak hanya penggemar makanan enak.

Asam urat adalah hasil metabolisme tubuh oleh salah satu unsur protein (zat purin) dan ginjal adalah

organ yang mengatur kestabilan kadarnya dalam tubuh dan akan membawa sisa asam urat ke

pembuangan air seni. Namun jika kadar asam urat itu berlebihan, ginjal tidak akan sanggup

mengaturnya sehingga kelebihan itu akan menumpuk pada jaringan dan sendi. Otomatis, ginjal juga

akan mengalami gangguan. Kandungan asam urat yang tinggi menyebakan nyeri dan sakit

dipersedian yang amat sangat.

Gangguan asam urat ditandai dengan suatu serangan tiba-tiba di daerah persendian. Saat bangun

tidur, misalnya, ibu jari kaki dan pergelangan kaki Anda terasa terbakar, sakit dan membengkak.

Bahkan selimut yang Anda gunakan terasa seperti batu yang membebani kaki Anda. Seperti itulah

gejala asam urat atau arthritis gout.

Gangguan asam urat disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah, yang menyebabkan

terjadinya penumpukan kristal di daerah persendian sehingga menimbulkan rasa sakit. Selain rasa

sakit di persendian, asam urat juga menyerang ibu jari kaki, dapat membentuk tofi atau endapan

natrium urat dalam jaringan di bawah kulit, atau bahkan menyebabkan terbentuknya batu ginjal.

System Pengobatan Nabawi untuk mengatasi asam urat menggunakan metode Hijamah dan Herbal

Islami. Penyebab Utama asam urat adalah kelebihan zat purin dalam darah, sehingga bila kandungan

purinnya sedikit atau normal, tubuh bisa membuangnya lewat ginjal. Kelebihan purin ini harus

dikeluarkan dengan cara dibekam/hijamah bersama unsur-unsur kotor lainnya dalam darah.

Page 29: PBL Sk2 Alergi [Imun] -Hadi Syarifudin_1102010116

Selanjutnya disarankan untuk mengkonsumsi herbal-herbal Islami terutama Habbatussauda dan

minyak zaitun. Habbatussauda berfungsi untuk menggelontor toksin dalam darah dan melakukan

detoksifikasi intra sel (pengeluaran racun yang ada dalam sel), yang kemudian bersama unsur darah

kotor lainnya dikeluarkan dari tubuh lewat bekam/hijamah. Habbatussauda juga berfungsi

menghilangkan rasa nyeri di persendian karena mengandung zat yang memiliki efek anti inflamatori

atau anti peradangan.

Sementara minyak zaitun sangat efektif untuk menghilangkan rasa sakit dipersendian yang amat

mengganggu. Bergabung bersama efek anti peradangan dari habbatussauda maka rasa sakit ini akan

sangat terkurangi.

Dengan mengamalkan system nabawi ini InsyaAlloh penyakit asam urat anda dapat diatasi dan

sekaligus berpahala karena telah mengamalkan sunnah Nabi SAW.

WallohuAlamu bisshowab

http://metallicaniack.multiply.com/journal/item/26/

Hakekat_Sakit_dan_Obat_dalam_Pandangan_Islam