pbl sk 1 smester 7

41
Rizweta Destin 1102009253 I.1 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Post partum (HPP) 1. Definisi HPP Perdarahan pasca persalinan (HPP) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta. ( PERDARAHAN POST PARTUM oleh Dr. Fransisca S. K Fak. Kedokteran Univ. Wijaya Kusuma Surabaya) 2. Klasifikasi HPP Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : A. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama. B. Perdarahan masa nifas (Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal. (Cunningham FG, et all. 2005) 3. Epidemiologi HPP a) Insiden Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. b) Peningkatan angka kematian di Negara berkembang Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan

Upload: rizweta-destin

Post on 03-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

TUGAS

TRANSCRIPT

Page 1: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

I.1 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Post partum (HPP)

1. Definisi HPP

Perdarahan pasca persalinan (HPP) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta.

( PERDARAHAN POST PARTUM oleh Dr. Fransisca S. K Fak. Kedokteran Univ. Wijaya Kusuma Surabaya)

2. Klasifikasi HPPMenurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :

A. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

B. Perdarahan masa nifas (Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

(Cunningham FG, et all. 2005)

3. Epidemiologi HPPa) Insiden

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.

b) Peningkatan angka kematian di Negara berkembangDi negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi

(DeCherney, Alan H. 2003)

4. Faktor Resiko HPP dan Etiologi

Page 2: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

5. Etiologi HPPEtiologi dari perdarahan post partum berdasarkan klasifikas adalah :a. Etiologi perdarahan postpartum dini :

1. Atonia uteriAtonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi

dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.

Page 3: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

2. Laserasi Jalan lahirRobekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan postpartum.

Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan servik atau vagina.

Robekan ServiksPersalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik seorangmultipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekanservik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawahuterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudahlahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkanperlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.

Robekan VaginaPerlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak seringdijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadisebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar.Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaanspeculum.

Robekan PerineumRobekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarangjuga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaristengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkuspubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawahdengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipito bregmatika.Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahanyang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat

3. HematomaHematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus genitalia, dan tampak

sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum yang ekimotik. Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali secara alami. Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada daerah jahitan perineum.

4. Retensio PlasentaRetensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi

lahir. Penyebab retensio plasenta : Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam.

Menurut tingkat perlekatannya :1) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.2) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua

endometrium sampai ke miometrium.3) Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.4) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding

rahim.

Page 4: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan

5. SubinvolusiSubinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi, dan keadaan

ini merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan pascapartum. Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4 hingga 6 minggu pascapartum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/pelvis dari yang diperkirakan. Keluaran lokia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa, lalu ke bentuk lokia alba. Lokia bisa tetap dalam bentuk rubra, atau kembali ke bentuk rubra dalam beberapa hari pacapartum. Lokia yang tetap bertahan dalam bentuk rubra selama lebih dari 2 minggu pascapatum sangatlah perlu dicurigai terjadi kasus subinvolusi. Jumlah lokia bisa lebih banyak dari pada yang diperkirakan. Leukore, sakit punggung, dan lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi. Ibu bisa juga memiliki riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau perdarahan yang berlebihan setelah kelahiran.

6. Inversio UteriInversio Uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya

masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.

Pembagian inversio uteri :• Inversio uteri ringan : Fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun belum

keluar dari ruang rongga rahim.• Inversio uteri sedang : Terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.• Inversio uteri berat : Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar

vagina.

Penyebab inversio uteri :• Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra

abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).• Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang

dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.

b. Etiologi perdarahan postpartum lambat :1. Tertinggalnya sebagian plasenta2. Subinvolusi di daerah insersi plasenta3. Dari luka bekas seksio sesaria

6. Diagnosis dan Gejala Klinis HPP

Volume Kehilangan Darah

Tekanan Darah Sistolik

Gejala dan Tanda Derajat Syok

Page 5: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

500-1.000 mL(10-15%)

Normal Palpitasi,Takikardi,Pusing

Terkompensasi

1000-1500 mL(15-25%)

Penurunan ringan (80-100 mm Hg)

Lemah,Takikardi,Berkeringat

Ringan

1500-2000 mL(25-35%)

Penurunan scdang (70-80 mm Hg)

Gelisah,Pucat,Oligouria

Sedang

2000-3000 mL(35-50%)

Penurunan tajam (50-70 mm Hg)

Pingsan,Hipoksia,Anuria

Berat

Anamnesis Riwayat obstetric : GPA riwayat kehamilan : HPHT, tanggal perkiraan, kehamilan sebelumnya, penyulit kehamilan dan

persalinan sebelumnya. Adakah riwayat hipertensi? riwayat nutrisi riwayat penyakit berat riwayat penyakit darah terutama gangguan pembekuan mulai kapan merasa mules melahirkan dimana sudah diberikan oksitosin belum saat lahir ada tindakan pakai alat (forcep?)

Pemeriksaan Fisik Inspeksi dan palpasi

- cek kesadaran dan tanda – tanda vital • Suhu badan : Suhu biasanya meningkat sampai 380 C dianggap normal. Setelah satu hari suhu akan

kembali normal (360 C – 370 C), terjadi penurunan akibat hipovolemia• Nadi Denyut : nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi hipovolemia yang semakin

berat.• Tekanan darah : tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia• Pernafasan : bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan juga menjadi tidak normal.

- periksa in spekulo: apakah ada luka jalan lahir atau tidak, kemudian lihat sumber perdarahannya apakah dari dalam corpus uteri atau dari jalan lahir

- akral dingin- tinggi fundussegera setelah placenta lahir, tinggi fundus setingi pusat, kemudian berangsur mengecil. Kalau tinggi fundusnya masih sama seperti saat melahirkan (di atas pusat) curigai atonia uteri. Kalau perutnya teraba keras dan pasien sangat kesakitan berarti dicurigai ruptur uteri.

b. Pemeriksaan penunjang1. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang

Page 6: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

2. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)

3. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum4. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih5. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP),

penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID

6. Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan

c. Pemeriksaan KhususObservasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda-tanda komplikasi dengan mengevaluasi

sistem dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi :A. Nyeri/ketidaknyamanan

Nyeri tekan uterus (fragmen-fragmen plasenta tertahan) Ketidaknyamanan vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma)

B. Sistem vaskuler1. Perdarahan di observasi tiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap 8 jam berikutnya2. Tensi diawasi tiap 8 jam3. Apakah ada tanda-tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah4. Haemorroid diobservasi tiap 8 jam terhadap besar dan kekenyalan5. Riwayat anemia kronis, konjungtiva anemis/sub anemis, defek koagulasi kongenital,

idiopatik trombositopeni purpura.6. Sistem Reproduksi

1. Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari post partum, kemudian tiap 8 jam selama 3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya

2. Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna, banyak dan bau3. Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda-tanda infeksi, luka jahitan dan

apakah ada jahitannya yang lepas4. Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak5. Payudara dilihat kondisi areola, konsistensi dan kolostrum6. Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan fungsi sebelum

kehamilan (sub involusi)7. Traktus urinarius

Diobservasi tiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi lancar atau tidak, spontan dan lain-lain

8. Traktur gastro intestinalObservasi terhadap nafsu makan dan obstipasi

9. Integritas Ego : Mungkin cemas, ketakutan dan khawatir

7. Tatalaksana dan Pencegahan Tataklaksana UmumKetahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan

perdarahan pasca persalinan)Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat

Page 7: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi

Atasi syokPastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus, berikan

uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairanCari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik

Tatalaksana KhususA. Atonia uteri

Upaya penanganan perdarahan postpartum disebabkan atonia uteri, harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup:

1. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal seperti pada:

• Polihidramnion • Kehamilan kembar • Makrosomi

2. Persalinan lama 3. Persalinan terlalu cepat 4. Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin 5. Infeksi intrapartum 6. Paritas tinggi

Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan. Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:

1. Menyuntikan Oksitosin - Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal. - Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar

paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.

2. Peregangan Tali Pusat Terkendali - Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau menggulung

tali pusat - Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus, sementara tangan

kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva

- Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial

Page 8: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

3. Mengeluarkan plasenta - Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah panjang dan

terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva.

- Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak ± 5-10 dari vulva.

- Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit - Suntikan ulang 10 IU Oksitosin i.m - Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh - Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual

4. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.

5. Masase Uterus - Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan menggosok

fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)

6. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan - Kelengkapan plasenta dan ketuban - Kontraksi uterus - Perlukaan jalan lahir

Page 9: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Page 10: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Kompresi Bimanual Internal

Letakan satu tangan pada dinding perut, dan usahakan untuk menahan bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang lain pada korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan untuk mengkompresi pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah darah yang keluar yang ditampung dalam pan. Jika perdarahan berkurang, teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau hingga pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah mengajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksaan atonia uteri.

Kompresi bimanual interna

Kompresi Bimanual Eksternal

Letakkan satu tangan pada dinding perut, dan usahakan sedapat mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakan tangan yang lain dalam keadaan terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian rapatkan kedua tangan untuk menekan pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan menjepit uterus di antara kedua tangan tersebut

Kompresi bimanual eksterna

B. Perlukaan Jalan Lahir

Page 11: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Tatalaksana

a. Episiotomi, robekan perineum, dan robekan vulva

Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit.

1. Robekan perineum tingkat I

Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan (figure of eight).

2. Robekan perineum tingkat II

Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I atau tingkat II, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau delujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.

3. Robekan perineum tingkat III

Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit, kemudian fasia perirektal dan fasial septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit dengan klem / pean lurus, kemudian dijahit dengan 2 – 3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.

4. Robekan perineum tingkat IV

Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk melakukan perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya, maka dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota.

b. Hematoma vulva

1. Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan kompres.

2. Pada hematoma yang besar lebih-lebih disertai dengan anemia dan presyok, perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan, perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar.

c. Robekan dinding vagina

1. Robekan dinding vagina harus dijahit. 2. Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke rumah sakit

Page 12: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

d. Robekan serviks Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan

C. Retensio PlasentaTatalaksana :

• Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya terutama bila retensi telah lama. Sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelum tindakan dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan vulva termasuk daerah seputarnya, labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina

Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ke ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan (false route).

• Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh pembantu (asisten). Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking (ulner), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar.

• Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual ialah adanya lingkaran konstriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan dihentikan.

Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan disuntikkan Ergometrin 0.2 mg IM atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera dilakukan tindakan pencegahan perdarahan postpartum. Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan pada atonia uteri. Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi.

Page 13: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Pelepasan plasenta secara manual

D. sisa Plasenta1. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.

Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.

2. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.

3. Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.

Jenis uterotonika

Page 14: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

8. Pencegahan1. PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN

1. Pencegahan masa kehamilana. Perawatan masa kehamilan

Mencegah atau sekurang – kurangnya bersiap siaga pada kasus – kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik.Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu – ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.

b. Persiapan persalinanDi rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila memunkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank darah. Pemasangan kateter intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila diperlukan tranfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan tranfusi.Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.

c. PersalinanSetelah bayi lahir massase uterus dengan arah gerakan circular atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik.massase yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama, ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan postpartum.

d. Kala III dan IV Uteronica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study

memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang mendapat oksitosin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya lebih baik berhati – hati pada pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk memastikan. Pemberian oksitosin selama kala III terbukti mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.

Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat secara hati – hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk ‘manual plasenta” ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual plasent. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir.

Page 15: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian – bagian kecil dari sisa plasenta.

Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka trauma ataupun episiotomy segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan berkontraksi dengan baik.

9. Komplikasi HPPKomplikasi perdarahan post partum primer yang paling berat yaitu syok. Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi komplikasi lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam keadaan anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai oleh pembekuan intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi organorgan seperti gagal ginjal mendadak (Chalik, 2000)

10. PrognosisAngka kematian ibu mencapai 7,9 % (Mochtar. R), dan menurut Wignyosastro angka kematian ibu mencapai 1,8-4,5% dari kasus yang ada. Tergantung dari penanganannya pengobatan dari perdarahan post partum tersebut.

Page 16: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

I. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipotermi dan Hipoglikemi Neonatus1. DefinisiHipotermi adalah suhu tubuh kurang dari 36.5ºC pada pengukuran suhu melalui ketiak.

Hipotermi sering terjadi pada neonatus terutama pada BBLR karena pusat pengaturan suhu tubuh bayi yang belum sempurna, permukaan tubuh bayi relatif luas, kemampuan produksi dan menyimpan panas terbatas. • Suhu tubuh rendah dapat disebabkan oleh karena terpapar dengan

lingkungan yang dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah) atau bayi dalam keadaan basah atau tidak berpakaian.

• Hipotermi merupakan suatu tanda bahaya karena dapat menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme tubuh yang akan berakhir dengan kegagalan fungsi jantung paru dan kematian.

Mekanisme kehilangan panas

1. Radiasi: dari bayi ke lingkungan dingin terdekat. 2. Konduksi: langsung dari bayi ke sesuatu yang kontak dg bayi 3. Konveksi: kehilangan panas dari bayi ke udara sekitar 4. Evaporasi: penguapan air dari kulit bayi

2. Klasifikasi1) Hipotermia ringan, suhu <36,5oC 2) Hipotermia sedang, suhu antara 32oC-36oC 3) Hipotermia berat, suhu kurang dari 32oC

3. EtiologiPenyebab utama terjadinya hipotermia, karena kurangnya pengetahuan tentang mekanisme

kehilangan panas dari tubuh bayi dan pentingnya mengeringkan bayi secepat mungkin. Dan resiko untuk terjadinya hipotermia dikarenakan perawatan yang kurang tepat setelah bayi lahir, bayi dipisahkan dari ibunya segera setelah lahir, berat badan bayi yang kurang dan memandikan bayi segera setelah lahir. Dan faktor pencetus terhadap timbulnya hipotermia adalah faktor lingkungan, syok, infeksi, KEP (Kekurangan Energi Protein), gangguan endokrin metabolik, cuaca, dan obat-obatan

4. Manifestasi klinis1) Gejala hipotermia bayi baru lahir:

Bayi tidak mau menetek, bayi lesu, tubuh bayi teraba dingin, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras.

2) Tanda-tanda hipotermia:

a) Hipotermia sedang: Aktivitas berkurang, tangisan melemah, kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata), kemampuan menghisap lemah dan kaki teraba dingin.

b) Hipotermia berat: sama dengan hipotermia sedang, bibir dan kuku kebiruan, pernafasan tidak teratur, bunyi jantung lambat, selanjutnya timbul hipoglikemi dan asidosis metabolik

Page 17: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

5. DiagnosisAnamnesis

• Riwayat asfiksia pada waktu lahir • Riwayat bayi yang segera dimandikan sesaat sesudah lahir • Riwayat bayi yang tidak dikeringkan sesudah lahir, dan tidak dijaga kehangatannya. • Riwayat terpapar dengan lingkungan yang dingin • Riwayat melakukan tindakan tanpa tambahan kehangatan pada bayi.

Pemeriksaan Fisik

6. Tatalaksana dan pencegahanTatalaksana

HIPOTERMIA BERAT

• Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang telah dinyalakan sebelumnya, bila mungkin. Gunakan inkubator atau ruangan hangat, bila perlu.

• Ganti baju yang dingin dan basah bila perlu. Beri pakaian yang hangat, pakai topi dan selimuti dengan selimut hangat.

• Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering diubah. • Bila bayi dengan gangguan napas (frekuensi napas lebih 60 atau kurang 30 kali/menit, tarikan

dinding dada, merintih saat ekspirasi), lihat bab tentang Gangguan napas. • Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan pipa infus tetap terpasang di

bawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan. • Periksa kadar glukose darah, bila kadar glukose darah kurang 45 mg/dL (2.6 mmol/L), tangani

hipoglikemia. • Nilai tanda bahaya setiap jam dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai suhu tubuh

kembali dalam batas normal. Ambil sampel darah dan beri antibiotika sesuai dengan yang disebutkan

dalam penanganan Kemungkinan besar sepsis.

Page 18: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

• Anjurkan ibu menyusui segera setelah bayi siap : - Bila bayi tidak dapat menyusu, beri ASI peras dengan menggunakan salah

satu alternatif cara pemberian minum; - Bila bayi tidak dapat menyusu sama sekali, pasang pipa lambung dan beri ASI

peras begitu suhu bayi mencapai 35 ºC. • Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik paling tidak 0.5 ºC/jam,

berarti upaya menghangatkan berhasil, kemudian lanjutkan dengan memeriksa suhu bayi setiap 2 jam.

• Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu ruangan setiap jam.

• Setelah suhu tubuh bayi normal: o Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi; o Pantau bayi selama 12 jam kemudian, dan ukur suhunya setiap 3 jam.

• Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotika. Bila suhu bayi tetap dalam batas normal dan bayi minum dengan baik dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit, bayi dapat dipulangkan dan nasehati ibu bagaimana cara menjaga agar bayi tetap hangat selama di rumah.

HIPOTERMIA SEDANG

• Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang hangat, memakai topi dan selimuti dengan selimut hangat.

• Bila ada ibu/pengganti ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan melakukan kontak kulit dengan kulit (perawatan bayi lekat).

• Bila ibu tidak ada: o Hangatkan kembali bayi dengan menggunakan alat pemancar panas.

Gunakan inkubator dan ruangan hangat, bila perlu; o Periksa suhu alat penghangat dan suhu ruangan, beri ASI peras dengan

menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum dan sesuaikan pengatur suhu.

o Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi lebih sering diubah. • Anjurkan Ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan

ASI peras menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. • Mintalah ibu untuk mengamati tanda bahaya (mis. gangguan napas, kejang) dan

segera mencari pertolongan bila terjadi hal tersebut. • Periksa kadar glukose darah, bila < 45 mg/dL (2.6 mmol/L), tangani hipoglikemia. • Nilai tanda bahaya, Periksa suhu tubuh bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0.5

ºC/jam, berarti usaha menghangatkan berhasil, lanjutkan memeriksa suhu setiap 2 jam.

• Bila suhu tidak naik atau naik terlalu pelan, kurang 0.5 ºC/jam, cari tanda sepsis1. • Setelah suhu tubuh normal:

o Lakukan perawatan lanjutan. o Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu setiap 3 jam. Bila suhu

tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan, bayi dapat dipulangkan. Nasihati ibu cara menghangatkan bayi di rumah.

Page 19: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Pencegahan

Jangan memandikan bayi sebelum berumur 12 jam Rawat bayi kecil di ruang yang hangat (tidak kurang 25°C dan bebas dari

aliran angin). Jangan meletakkan bayi dekat dengan benda yang dingin (misal dinding

dingin atau jendela) walaupun bayi dalam inkubator atau di bawah pemancar panas.

Jangan meletakkan bayi langsung di permukaan yang dingin (mis. alasi tempat tidur atau meja periksa dengan kain atau selimut hangat sebelum bayi diletakkan).

Pada waktu dipindahkan ke tempat lain, jaga bayi tetap hangat dan gunakan pemancar panas atau kontak kulit dengan perawat.

Bayi harus tetap berpakaian atau diselimuti setiap saat, agar tetap hangat walau dalam keadaan dilakukan tindakan. Misal bila dipasang jalur infus intravena atau selama resusitasi dengan cara: o Memakai pakaian dan mengenakan topi. o Bungkus bayi dengan pakaian yang kering dan lembut dan selimuti. o Buka bagian tubuh yang diperlukan untuk pemantauan atau tindakan.

Berikan tambahan kehangatan pada waktu dilakukan tindakan (mis. menggunakan pemancar panas).

Ganti popok setiap kali basah. Bila ada sesuatu yang basah ditempelkan di kulit (mis. kain kasa yang

basah), usahakan agar bayi tetap hangat. Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin. Ukur suhu tubuh sesuai jadwal

Jadwal pengukuran suhu

Suhu inkubator yang direkomendasikan menurut umur dan berat bayi

Page 20: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

cara menghangatkan bayi

7. Komplikasi

a.  hipoglikemia karena kekurangan cadangan glikogen.

b.  Asidosis metabolik disebabkan vasokonstriksi perifer dengan metabolisme anaerobik dan

asidosis.

c.   Hipoksia dengan kebutuhan oksigen yang meningkat, gangguan pembekuan, dan perdarahan

pulmonal dapat menyertai hipotermia berat.

d.  Schok dengan akibat penurunan tekanan arteri sistemik, penurunan volume plasma, dan

penurunan cardiac output. Metabolisme meningkat sehingga pertumbuhan terganggu.

e.  Apnea.

f.    Perdarahan Intra Ventricular. (Indarso, F, 2001).

8. prognosis

Page 21: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

HIPOGLIKEMIA1. definisi

Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L)

2. etiologia. kelainan yang menyebabkan pemakasian glukosa berlebihan contohnya pada hiperinsulinisme

(pada bayi dari ibu penderita DM), sepsis atau dengan penyakit hipermetabolikb. kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa contohnya pada simpanan glukosa yang

tidak adekuat (premature, malnutrisi), kelainan pada produksi glukosa di hepar, kelainan hormonal, toksin dan penyakit lain.

3. Manifestasi klinisGejala yang sering terlihat adalah: • tremor ("jitteriness") • bayi lemah, apatis, letargik, keringat dingin • sianosis • kejang • apne atau nafas lambat, tidak teratur • tangis melengking atau lemah merintih. • hipotoni • masalah minum • nistagmus gerakan involunter pada mata

4. Tatalaksana Berikan glukose 10% 2 mL/kg secara IV bolus pelan dalam lima menit. Jika jalur IV tidak dapat dipasang dengan cepat, berikan larutan glukose

melalui pipa lambung dengan dosis yang sama. Infus Glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan, kemudian lakukan rujukan Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras

dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.

5. Pencegahan

I.3 menahami dan menjelaskan Hiperbilirubinemia pada neonatus 1. Definisi

Hiperbilirubinemia neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin total pada minggu pertama kelahiran aterm. Gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Kadar normal bilirubin maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 μmol/L).

BILIRUBIN PADA JANIN DAN NEONATUSBilirubin, sebagian besar terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem

retikuloendotelial (RES). Laju penghancuran hemoglobin pada neonatus cenderung lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua, dimana satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin

Page 22: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

indirek. Pada cairan amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu.

Kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis pada kejadian inkompatibilitas darah ABO dan Rh. Selain itu, peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Mekanisme masuknya bilirubin ke cairan amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga melalui mukosa saluran napas dan saluran cerna

Pembentukan bilirubin pada fetus dan neonatus diperkirakan sama besar, tetapi kemampuan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Selain itu, terdapat keterbatasan dalam kemampuannya untuk membentuk bilirubin terkonyugasi. Sehingga, hampir semua bilirubin pada janin berada dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Dalam keadaan fisiologis, pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin pada masa neonatus. Pada masa janin, fungsi ini dilakukan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini menyebabkan penumpukan bilirubin dan disertai gejala hiperbilirubinemia. Pada bayi baru lahir, karena fungsi hepar yang belum matang, gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis, karena kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.4

Bayi yang lahir kurang bulan, kadar albumin biasanya rendah, hal ini menyebabkan kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Kapasitas pengikatan bilirubin indirek maksimal neonatus yang mempunyai kadar albumin normal pada umumnya dicapai saat kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%.5

Page 23: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin

2. EtiologiHiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh penyebab tunggal ataupun

dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi hiperbilirubinemia neonatorum dapat dibagi:

1. Produksi yang berlebihanBilirubin yang terbentuk melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, enzim piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi heparGangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Crigler-Najjar). Selain itu dapat disebabkan oleh defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian dibawa ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat dan sulfafurazol. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

4. Gangguan dalam ekskresiGangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Neonatarum

Faktor Maternal

Ras,

Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO, Rh)

ASI

Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hopotonik

Obat:diazepam (Valium), oxytocin (Pitocin)

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Amerika,Yunani)

Faktor Neonatus

Trauma kelahiran: cephalohematoma, cutaneous bruising, instrumented delivery

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

Infeksi: TORCH (toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses)

Rendahnya asupan ASI

Faktor genetik

Polisitemia

Prematuritas

Page 24: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

3. Menifestasi klinis

Hiperbilirubinemia adalah tingginya kadar bilirubin di dalam darah yang didapat dari pemeriksaan laboratorium. Faktor penyebab tingginya bilirubin pada bayi baru lahir karena tingginya eritrosit bayi dengan masa hidup yang lebih pendek (70-90 hari), belum matangnya fungsi hati dan meningkatnya reabsorbsi bilirubin indirek dari usus (siklus enterohepatis). Tingginya kadar bilirubin ini terjadi pada bayi usia 2-3 hari pertama, mencapai puncaknya pada hari ke 5-7. Pada hiperbilirubinemia fisiologis, kadar biliriubin akan turun kembali pada hari ke 10-14. Batasan kadar bilirubin yang aman pada bayi dapat dilihat pada tabel sesuai American Academy of Pediatric (AAP) tetapi secara umum dipakai batasan tidak > 10 mg/dL untuk untuk bayi kurang bulan dan tidak > 15 mg/dL pada bayi cukup bulan.

Ikterus dianggap fisiologis bila memenuhi kriteria sebagai berikut: ikterus timbul pada usia 2-3 hari dengan kadar bilirubin indirek pada usia tersebut tidak > 15 mg/dL (bayi cukup bulan) dan tidak > 10 mg/dL (bayi kurang bulan). Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak > 5 mg/dL per 24 jam, dengan kadar bilirubin direk > 1 mg/dL. Ikterus hilang pada 10 hari pertama dan tidak terbukti berhubungan dengan keadaan non fisiologis.

Bila didapatkan hasil laboratorium dengan kadar bilirubin indirek tinggi dan tidak diatasi segera, maka dapat menimbulkan risiko berupa efek toksik pada sistem saraf pusat. Gejala kinis yang ditemukan seperti mengantuk, reflek hisap menurun, muntah, dan kejang. Kondisi awala ini disebut Bilirubin ensefalopati. Efek jangka panjang bila hal ini terus berlangsung dan tidak diatasi, maka akan terjadi perubahan pada syaraf pusat yang ditandai penumpukan bilirubin pada otak terutama ganglia basalis, pons dan serebelum yang disebut Kern ikterus. Kern ikterus merupakan kondisi bilirubin ensefalopati yang kronis dengan gejala sisa (sekuele) yang permanen. Sekuele dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral, gangguan pendengaran, dan kelumpuhan otot motorik mata.

4. Diagnosis

Anamnesis

• Riwayat ikterus pada anak sebelumnya • Riwayat penyakit anemi dengan pembesaran hati, limpa atau pengangkatan limpa

dalam keluarga. • Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil • Riwayat infeksi maternal, ketuban pecah dini Riwayat trauma persalinan, asfiksia. • Riwayat infeksi maternal, ketuban pecah dini

Pemeriksaan • Pemeriksaan klinis ikterus dapat dilakukan pada bayi baru lahir asal dengan

menggunakan pencahayaan yang memadai. Ikterus akan terlihat lebih berat bila dilihat dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang. Tekan kulit dengan ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan: - Hari 1 tekan pada ujung hidung atau dahi; - Hari 2 tekan pada lengan atau tungkai; - Hari 3 dan seterusnya, tekan pada tangan dan kaki.

• Ikterus muncul pertama di daerah wajah, menjalar ke arah kaudal tubuh, dan ekstremitas. Pemeriksaan penunjang kadar bilirubin serum total saat tanda klinis

Page 25: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

ikterus pertama ditemukan sangat berguna untuk data dasar mengamati penjalaran ikterus ke arah kaudal tubuh.

• Tentukan tingkat keparahan ikterus secara kasar dengan melihat pewarnaan kuning pada tubuh metode Kremer. Pemeriksaan kadar bilirubin

Pemeriksaan tanda klinis lain seperti gangguan minum, keadaan umum, apnea, suhu yang labil, sangat membantu menegakkan diagnosis penyakit utama disamping keadaan hiperbilirubinemianya.

• Tindak lanjut pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia harus dilakukan setelah bayi dipulangkan terutama pada 7 hari pertama pasca kelahiran.

• Bila ikterus menetap sampai minggu ke 2 pasca kelahiran, dianjurkan untuk pemeriksaan kadar billirubin serum total dan direk, serta kadar bilirubin dalam urin.

Pembagian icterus menurut metode

Kremer

Pemeriksaan penunjang • Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat

kelahiran. • Bila ibu memiliki golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali pusat

pada setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan. • Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam

pertama kelahiran

Page 26: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

Page 27: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

5. Tatalaksana Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat rawat jalan

dengan nasehat untuk kembali jika ikterus berlangsung lebih dari 2 minggu. • Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI

eksklusif lebih sering minimal setiap 2 jam. • Jika bayi tidak dapat menyusui, ASI dapat diberikan melalui pipa nasogastrik atau

dengan gelas dan sendok. • Letakkan bayi ditempat yang cukup mendapat sinar mata hari pagi selama 30

menit selama 3-4 hari. Jaga agar bayi tetap hangat. • Kelola faktor risiko (asfiksia dan infeksi) karena dapat menimbulkan ensefalopati

biliaris. • Setiap Ikterus yang timbul sebelum 24 jam pasca kelahiran adalah patologis dan

membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut; minimal kadar bilirubin serum total, pemeriksaan kearah adanya penyakit hemolisis.

• Pada bayi dengan Ikterus Kremer III atau lebih perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap setelah keadaan bayi stabil

1) Mengatasi hiperbilirubinemia1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja

sebagai “enzyme inducer” sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.

2. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar.Indikasi terapi sinar adalah2:

a. bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL. b. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.

4. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

Page 28: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dLb.Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dLc. Peningkatan bilirubin >1 mg/dLBagan penatalaksanaan ikterus dapat dilihat pada tabel di bawah :

Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubinBilirubin serum

(mg/dL)<24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500<5 Tidak perlu terapi-observasi5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar bila hemolisis

Terapi sinar

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar>20 Transfusi tukar

Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II

5. Terapi suportif, antara lain :a. Minum ASI atau pemberian ASI peras.b.Infus cairan dengan dosis rumatan.

Pada kasus jika dilihat dari bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin maka pasien ini seharusnya mendapat terapi transfusi tukar tetapi indikasi transfusi tukar untuk pasien ini tidak terpenuhi sehingga diganti dengan terapi sinar atau fototerapi di mana indikasi terapi pada pasien ini telah terpenuhi sedangkan pemberian dengan terapi lain kurang begitu efektif. Pada pasien ini dicoba diberikan ASI dan kebutuhan cairan tercukupi oleh ASI sehingga untuk pemberian infus cairan tidak perlu dilakukan.

MonitoringMonitoring yang dilakukan antara lain :

1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.Pada pasien ini kadar bilirubin serum setelah fototerapi ditentukan dengan pemeriksaan lab karena

pasien belum melebihi 24 jam setelah terapi sinar. Pasien juga dipulangkan pada hari ke-4 MRS karena kadar bilirubin yang telah di bawah nilai untuk ditentukan sebagai keadaan hiperbilirubinemia (<12 mg/dL untuk neonatus cukup bulan).

Pencegahan Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan :

a. Pengawasan antenatal yang baikb. Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa

kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan lain-lain.c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatusd. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahire. Pemberian makanan yang dinif. Pencegahan infeksig. Pemberian ASI eksklusifh. Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir.

Page 29: PBL SK 1 Smester 7

Rizweta Destin1102009253

i. Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga, periksa kadar G6PD

6. Komplikasi

3.2 Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalh sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.

Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.

1. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana

Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta

2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD. Uterine

Leiomyomas. In : Williams Obstetrics. 22nd edition.Mc Graw-Hill. New York : 2005.

3. Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition : Alan H. DeCherney

and Lauren Nathan , 2003 by The McGraw-Hill Companies, Inc.

4. Prawirohardjo S. Perdarahan Paca Persalinan. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan

Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP. 2002.

5. Buku acuan Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar. 2005. Depkes RI.

Jakarta