pbl - diabetes mellitus

17
DIABETES MELLITUS Definisi Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Di Indonesia dikenal juga dengan istilah penyakit kencing manis. Klasifikasi Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, tetapi ada yang berpendapat bahwa diabetes hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. 1. Juvenile Onset/Insulin Dependent/Ketosis Prone (IDDM/Diabetes tipe 1) Suatu individu mengalami kekurang insulin secara total atau hampir total. Tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada diabetes tipe ini , terdapat hubungan HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell mediated. 2. Stable/Maturity Onset/Non-Insulin Dependent (NIDDM / Diabetes tipe 2) Individu dengan tipe ini meninjukkan defisiensi Insulin yang relatif , banyak yang memerlukan suplementasi insulin, namun tidak akan menimbulkan kematian akibat ketoasidosis bila pemakaian insulin dihentikan. Kenaikan jumlah insulin secara absolut dapat terjadi dibandingkan dengan orang normal (berhubungan dengan obesitas/inaktivitas fisik). Diabetes tipe ini tidak memiliki hubungan dengan HLA , virus atau auto-imunitas dan biasanya sel Beta masih berfungsi.

Upload: mya-afiani

Post on 09-Nov-2015

46 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

PBL - Diabetes Mellitus

TRANSCRIPT

DIABETES MELLITUSDefinisi

Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Di Indonesia dikenal juga dengan istilah penyakit kencing manis.Klasifikasi

Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, tetapi ada yang berpendapat bahwa diabetes hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin.

1. Juvenile Onset/Insulin Dependent/Ketosis Prone (IDDM/Diabetes tipe 1)

Suatu individu mengalami kekurang insulin secara total atau hampir total. Tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada diabetes tipe ini , terdapat hubungan HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell mediated.

2. Stable/Maturity Onset/Non-Insulin Dependent (NIDDM / Diabetes tipe 2)

Individu dengan tipe ini meninjukkan defisiensi Insulin yang relatif , banyak yang memerlukan suplementasi insulin, namun tidak akan menimbulkan kematian akibat ketoasidosis bila pemakaian insulin dihentikan. Kenaikan jumlah insulin secara absolut dapat terjadi dibandingkan dengan orang normal (berhubungan dengan obesitas/inaktivitas fisik). Diabetes tipe ini tidak memiliki hubungan dengan HLA , virus atau auto-imunitas dan biasanya sel Beta masih berfungsi.

Etiologi

Secara umum tergantung dari tipe diabetes, yaitu:

Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus / IIDM)

Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas disebabkan oleh:

Faktor genetikPenderita DM tidak mewarisi DM tipe I itu sendiri tapi mewarisi suatu predisposisi / kencederungan genetik kea rah terjadinya DM tipe I. Ini ditemukan di individu yang mempunyai antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas angiten transplantasi dan proses imun lainnya.

Faktor imunologi

Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.

Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan reaksi destruksi sel beta.

Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus / NIIDM)Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan:

UsiaUmumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm. 73) Obesitas

Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hiper-tropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolism glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm. 73) Riwayat KeluargaPada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe II dan pada kembar non-identik resiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe I, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epide-miologi menunjukkan bahwa diabetes tipe II tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif, masing-masing memberi kontribusi pada resiko dan masing-masing juga dipengaruhi lingkungan. (Robbins, 2007, hlm. 67) Gaya Hidup (Stress)

Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji dan yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stress juga akan mening-katkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin. (Smeltzer and Bare, 1996, hlm. 610)Epidemiologi

Secara epidemiologic diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulainya terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 meningkat 5 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural tradisional menjadi urban1.

Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, dan berkurangnya aktivitas jasmani.semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.

Tabel 1. Prevalensi DM di berbagai negara1UrutanNegara1995 (juta)UrutanNegara2025 (juta)

1India19.41India57.2

2China16.02China37.6

3USA13.93USA21.9

4Russia8.94Pakistan14.5

5Jepang6.35Indonesia12.4

6Brazil4.96Russia12.2

7Indonesia4.57Mexico11.7

8Pakistan4.38Brazil11.6

9Mexico3.89Mesir8.8

10Ukraina

Semua negara lain

Jumlah 3.6

49.7

135.310Jepang8.5

103.6

300

Dari angka angka diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86 138% yang disebabkan oleh karena:

Factor demografi

Gaya hidup ke barat - baratan

Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang

Patofisiologi

Pada diabetes mellitus tipe II jumlah insulin normalatau lebih banyaktetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, jadi meskipun anak kuncinya insulin banyak, tetapi karena lubang kuncinya reseptor kurang, maka glukosa yang masuk ke sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar glukosa dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe I. Perbeadaannya adalah DM tipe II di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin. Diabetes melitus tipe 1:

Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibtakan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.

Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.

Diabetes melitus tipe 2:

Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah, dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut, namun hanya relatif.

Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasnaya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer tehadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.

Manifestasi

Poliuri (banyak kencing)Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.

Polidipsi (banyak minum)Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.

Polipagi (banyak makan)Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.

Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus.

Mata kaburHal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.Diagnosis dan Diagnosis BandingDiagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.

Berbagai keluhan dapat di temukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu difikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti:

Keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Keluhan tidak khas seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria

Diagnosis DM dapat di tegakan dengan 3 cara:

Gejala klasik DM + GDS 200mg/dl

Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaar pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

Gejala klasik DM + GDP 126mg/dl

Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam

Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200mg/dl

TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 glukosa yang dilarutkan ke dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO):

3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan diperiksa kadar glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokokAda perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut:

1) Usia > 45 tahun

2) Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT >23 kg/m2 3) Hipertensi ( 140/90 mmHg)

4) Riwayat DM dalam garis keturunan

5) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000gr

6) Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau TG 250 mg/dL

Catatan :

Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negative, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa factor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan tiap 3 tahun.

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tidak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Langkah langkah diagnosis DM dan toleransi glukosa terganggu

Langkah diagnosis DM dan TGT dari TTGO

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 menjadi normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)Plasma vena< 110110 199 200

Darah kapiler< 9090 199 200

Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)Plasma vena< 110110- 125 126

Darah kapiler< 9090 109 110

I. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah: Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial.

II. Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.

III. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

IV. Pemeriksaan Glukosa Urin

Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.V. Penentuan Benda Keton

Pemantauan benda keton dalam darah penting terutama pada penyandang DM tipe-2 buruk (glukosa darah > 300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah < 0,6 mmol/L (normal), > 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.TatalaksanaPrinsip Pengobatan DM:

1. Diet

2. Penyuluhan

3. Exercise (latihan fisik/olah raga)

4. Obat: Oral hipoglikemik, insulin

5. Cangkok pankreas

Tujuan Pengobatan:

1. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

2. Meningkatkan kualitas hidup, dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol, sehingga sama dengan orang normal.

3. Pada ibu hamil dengan DM, mencegah komplikasi selama hamil, persalinan, dan komplikasi pada bayi.

Prinsip Diet

1. Tentukan kalori basal dengan menimbang berat badan.

2. Tentukan penggolongan pasien: underweight (berat badan kurang), normal, overweight (berat badan berlebih), atau obesitas (kegemukan) Persentase = BB (kg)/(Tinggi Badan (cm) 100) X 100% Underweight: < 90% Normal: 90110% Overweight: 110130% Obesitas: > 130%

3. Jenis kegiatan sehari hari; ringan, sedang, berat, akan menentukan jumlah kalori yang ditambahkan. Juga umur dan jenis kelamin.

4. Status gizi

5. Penyakit penyerta

6. Serat larut dan kurangi garam

7. Indeks gikemik rendah

8. Kenali jenis makanan

Prinsip diet yang sederhana bagi penderita DM, selalu ingat dan patuhi 3 J, yaitu:

1. Jadwal makan (3 x selingan) & (3 x makan pokok)

2. Jumlah kalori sesuai dengan yang telah ditentukan.

3. Jenis makanan yang dilarang dan bahan makanan yang dibatasi.

Sedangkan untuk pelaksanaan diet DM itu sendiri sebagai berikut:

1.Makanlah teratur sesuai dengan jumlah pembagian makanan yang telah ditentukan.

2.Gunakan daftar makanan, sehingga dapat memilih bahan makanan yang sesuai dengan menu keluarga.

3.Hindarkanlah penggunaan gula murni dan makanan yang terbuat dari gula murni.

4.Gunakanlah gula obat untuk mengganti gula (dapat diperoleh dalambentuk tablet, tepung kristal atau cairan).

5.Makanlah banyak sayuran sesuai petunjuk yang diberikan (lihat daftar penukar). Sayuran kelompok A* boleh dimakan sekehendak sedangkan sayuran kelompok B** hanya dimakan menurut jumlah yang ditentukan.

6.Periksalah kadar gula anda secara teratur.

RETINOPATI DIABETIK

DefinisiRetinopati diabetes non proliferatif adalah cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik yang disebut mikroaneurisma, sedangkan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok.Etiologi

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah :

Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri

Adanya komposisi darah abnormal

Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan terbentuknya mikrothrombin

Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler, selanjutnyaterjadi insudasi dinding kapiler dan penebalan membran dasar dan diikuti dengan eksudasidinding haemorhagic dengan udem perikapiler

EpidemiologiPenelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan.4 The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.Manifestasi

Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal. Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak sebagai gambaran soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati DM non- proliferatif.

Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik retinopati DM proliferatif. Kebutaan pada DM dapat terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina traksional.

TatalaksanaTatalaksana dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit.

Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan.

Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah per- burukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan.

Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagula- tion harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif.

Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan