pbl b7.docx

30

Click here to load reader

Upload: eldiana-lepa

Post on 21-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PBL B7.docx

Sinus Paranasalis dan Mekanisme Pernapasan

Eldiana Lepa

Mahasiswa Kedokteran Universitas Krida Wacana. Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510

Alamat Korespondensi : [email protected]

Abstrak

Sistem respirasi pada manusia memiliki struktur dan mekanisme kerja yang saling

menunjang. Struktur pernafasan tersebut terdiri dari jalan nafas yang di mulai dari hidung

(kavum nasal), faring, laring, trakea, bronkus, masuk ke paru, bronkiolus dan udara tersebut

bertukar pada membran alveolus. Struktur tersebut terbagi menjadi saluran yang hanya

menyalurkan udara dan saluran yang permukaannya berfungsi sebagai pertukaran O2 dan

CO2. Mekanismenya sendiri berupa pengaturan PCO2 dan keasaman tubuh, dan pertukaran

O2 dan CO2 dala alveolus.

Kata kunci: respirasi, struktur, meanisme.

Abstract

Respiratory system in humans has a structure and mechanism of action each other. The

structure consist of respiratory airway at the star of the nose (nasal cavity), pharynx, larynx,

trachea, bronchi, into the lungs the bronchiaoles and air exachange in the membane

alveolus. The structure is divided into a channel that only transmits the air anda surface

channel which serves as the exchange of O2 and CO2. Its own mechhanism ofregulation that

regulates breathing and respiratory muscle work in response to pressurechanges in PO2 or

PCO2 and acidity, and the exchange of O2 and CO2 in the alveoli.

Key words : Respiration, structure, mechanism.

Page 2: PBL B7.docx

Pendahuluan

Hidung merupakan organ penciuman dan jalan utama keluar masuknya udara dari dan

ke paru-paru. Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada suara dan merupakan

tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata. Hidung bagian atas terdiri dari

tulang dan hidung bagian bawah terdiri dari tulang rawan (kartilago). Didalam hidung

terdapat rongga yang dipisahkan menjadi 2 rongga oleh septum, yang membentang dari

lubang hidung sampai ke tenggorokan bagian belakang. Tulang yang disebut konka nasalis

menonjol ke dalam rongga hidung, membentuk sejumlah lipatan. Lipatan ini menyebabkan

bertambah luasnya daerah permukaan yang dilalui udara. Rongga hidung dilapisi oleh selaput

lendir dan pembuluh darah. Luasnya permukaan dan banyaknya pembuluh

darah memungkinkan hidung menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk dengan

segera. Sel-sel pada selaput lendir menghasilkan lendir dan memiliki tonjolan-tonjolan kecil

seperti rambut (silia).1

Biasanya kotoran yang masuk ke hidung ditangkap oleh lendir, lalu disapu oleh silia

ke arah lobang hidung  atau ke tenggorokan. Cara ini membantu membersihkan udara

sebelum masuk ke dalam paru-paru. Bersin secara otomatis membersihkan saluran hidung

sebagai respon terhad apiritasi, sedangkan batuk membersihkan paru-paru. Sel-sel penghidu

terdapat di rongga hidung bagian atas. Sel-sel ini memiliki silia yang mengarah ke bawah

(ke rongga hidung) dan serat saraf yang mengarah ke atas (ke bulbus olfaktorius, yang

merupakan penonjolan pada setiap saraf olfaktorius/saraf penghidu). Saraf olfaktorius

langsung mengarah ke otak.

Skenario 6

Seorang laki-laki usia 27 tahun datang kedokter dengan keluhan sering sakit kepala sejak dua

minggu yang lalu. Dari anamnesis, pasien juga megatakan sering ada cairan mengalir dari

ujung tenggorokan. Dari pemeriksaan rontgen posisi WATERS didapatkan cairan pada

beberapa sinus paranasal.

Rumusan Masalah

Seorang laki-laki usia 27 tahun mengeluh sering sakit kepala sejak dua minggu yang lalu dan

keluar cairan dari ujung tenggorokan.

Page 3: PBL B7.docx

ISI

Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada

garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian :

yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah

kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang

mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung

(hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk

oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa

otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.1 Kerangka

tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3)

prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang

tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis

lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.2

Anatomi hidung dalam

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di

sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan

konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior,

berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas

konka media disebut meatus superior.1,2

Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk

oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) ,

premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista

maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.2

Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari:

1. Dasar hidung

Page 4: PBL B7.docx

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os

palatum.2

2. Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os. nasal, processus

frontalis os. maxillaris, korpus os. etmoid, dan korpus os. sphenoid. Sebagian besar

atap hidung dibentuk oleh lamina kribosa yang dilalui oleh filament-filament n.

olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju

bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.2

3. Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,

konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.2

4. Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka

inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan

inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka

suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid,

sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian

superior dan palatum.2

Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum

dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior

bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya

bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus

sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.3

Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan

bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal

sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang

menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.

Page 5: PBL B7.docx

Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci

dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu

bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila,

dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel

etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di

posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus

nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.3

Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara

duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas

posterior nostril.3

Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,

berbentuk oval dan terdapat disebelah kanan dan kiri septum.Tiap nares posterior bagian

bawahnya dibentuk oleh lamina horizontalis palatum, bagian dalam oleh os. vomer, bagian

atas oleh processus vaginalis os. sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus

maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar

di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke

fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.3

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang

berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya

berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-

sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan

melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah

mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.4

Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah

pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat

jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus

unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus

Page 6: PBL B7.docx

frontal. Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang

keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum

masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah

sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal

drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara

prosesus unsinatus dan konka media.2,3

Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung

mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina

mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina

dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.5

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,

a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach

(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,

sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak.Vena-

vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya .

Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan

dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.5

Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui

ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris

juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut-serabut sensoris dari n. maxilla (N.V-2), serabut paraasimpatis dari n.

patrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosos profundus.

Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikt di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius, saraf ini turun dari lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus

Page 7: PBL B7.docx

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mokosa olfaktorius di

daerah segitiga atas hidung.5

Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air

conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan

mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius

(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik

yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran

suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan

beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.6

Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan

karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat

pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus

frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila,

yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri.

Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi

udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.6

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan

posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat

infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid.

Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel

posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral

hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu

fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak

terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.6

Fungsi Sinus Paranasal

Fungsi sinus paranarsal antara lain adalah :

1. Sebagai pengatur kondisi udara

Page 8: PBL B7.docx

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara

ispirasi.Volume pertukaran udara dalam pentilasi sinus kurang lebih 1/100 volume sinus pada

tiap kali bernapas sehingga di butuhkan beberapa jam udara total dalam sinus.6

2. Sebagai penahan suhu

Sinus paranarsal berpungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari

suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Tetapi bila udara dalam sinus di ganti dengan tulang,

hanya akan memberikan pertabahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini

dianggap tidak bemakna.6

3. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas

suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, pasisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan

sinus berfungsi sebagai resonator yag efektif.6

4. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fingsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada

waktu bersin atau membuang ingus.6

5. Membantu produksi mukus

Mukus yang di hasilkan oleh sinus para narsal memang jumlahnya kecil dibandingkan

dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut

masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang

paling strategis.6

Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.

Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi

pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian

berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat

dewasa. Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal

yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah

medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila

yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga

terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila.

Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm

vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada

dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan

Page 9: PBL B7.docx

setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan

rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan

maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksila berbentuk piramid ireguler

dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus

zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang

disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding

medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk

oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka

inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding

inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.6

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara

ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi

tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk

usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan

infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di

bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi

ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini

mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. Dari segi klinik yang perlu

diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan

dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-

kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke

dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar

kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke

dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja.3

Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus

melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan

hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat

menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar

sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui

infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan

pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus

maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.3

Page 10: PBL B7.docx

Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat fetus,

berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus

frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum

usia 20 tahun.5

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda

bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang

rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari

pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang

dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak

berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan

isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus

pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang

yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal

mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di

ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.5

Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini

dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sel-

sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan

suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid

sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia

sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid

dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4

cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-

kira 14 ml.2,5

Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,

yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media

dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid

anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di

meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula

etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat

Page 11: PBL B7.docx

bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan

sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus

etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus

sphenoid.6

Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi mukosa di

bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu

lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior

maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah

berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid

dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh

septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan

lebih besar daripada sisi lainnya.5,6

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid

dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm,

dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus

berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat

berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,

sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus

kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah

posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.5

Mekanisme pernapasan

Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan

tertidur sekalipun karena sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom. Menurut

tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan atas 2 jenis, yaitu

pernapasan luar dan pernapasan dalam. Pernapasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi

antara udara dalam alveolus dengan darah dalam kapiler, sedangkan pernapasan dalam adalah

pernapasan yang terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh. Masuk keluarnya

udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan

Page 12: PBL B7.docx

tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara akan

masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar.7

Gambar 5. Pernapasan manusia4

Pernapasan dada

Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antar tulang rusuk.

Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut.

Fase Inspirasi

Fase ini berupa berkontraksinya otot antar tulang rusuk sehingga rongga dada

membesar, akibatnya tekanan dalam tulang dada menjadi kecil dari pada tekanan di

luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk.7

Fase ekspirasi

Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antar tulang rusuk ke posisi

semula yang diikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil.

Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar dari pada

tekanan luar, sehingga udara dalam rongga yang kaya karbondioksida keluar.7

Pernapasan perut

Penapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan aktifitas otot-otot

diagfragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada. Mekanismenya dapat dibedakan

menjadi dua tahap.7

Fase inspirasi

Pada fase ini, otot diafragma berkontrasi sehingga diafragma mendatar, akibatnya

rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga udara luar masuk.7

Page 13: PBL B7.docx

Fase ekspirasi

Fase ini merupakan fase berelaksasinya otot diafragma ( kembali ke posisi

semula,mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan menjadi lebih

besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.7

Pertukaran Gas

Pertukaran gas mencakup dua proses yang independen, pernapasan internal-

pertukaran gas antara alveoli dengan aliran darah dan pernapasan eksternal-pertukaran gas

antara kapiler dalam tubuh dengan sel-sel tubuh. Kedua proses tersebut mencakup

perpindahan gas melalui difusi-perpindahan gas dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke

tempat berkonsentrasi lebih rendah.  Kecepatan perpindahan gas ini bergantung pada

konsentrasi (kepekatan) atau pada tekanan yang dikeluarkan oleh gas (tekanan parsial).

Secara umum udara yang kita hirup sebenarnya merupakan campuran yang mengandung

kira-kira 21% oksigen, 0,04% karbon dioksida, dan 78% nitrogen. Tekanan parsial (yang juga

dikenal dengan hukum Dalton) adalah tekanan yang dikelarukan oleh salah satu dari

sembarang gas dalam suatu campuran gas-gas yang secara langsung berhubungan dengan

konsentrasi gas tersebut dalam campuran dan dengan tekanan total campuran gas. Tekanan

parsial, kadang cukup disebut tension mempunyai symbol P dan satuan mm Hg.8

Transport O2

Sekitar 97% oksigen dalain darah dibawa eritrosit yang telah berikatan dengan

hemoglobin (Hb) 3% oksigen sisanya larut dalam plasma. Setiap molekul dalam keempat

molekul besi dalam hemoglobin berikatan dengan satu molekul oksigen untuk membentuk

oksihemoglobin (Hb02) berwarna merah tua. Ikatan ini tidak kuat dan reversibel.

Hemoglobin tereduksi berwarna merah kebiruan. Kapasitas oksigen adalah volume

maksirnum oksigen yang dapat berikatan dengan sejumlah hemoglobin dalam darah. Setiap

sel darah merah mengandung 280 juta molekul hemoglobin. Kejenuhan oksigen darah adalah

rasio antara volume oksigen aktual yang terikat pada hemoglobin dan kapasitas oksigen.

Kejenuhan oksigen dibatasi oleh jumlah hemoglobin atau PO2.8

Besarnya oksigen yang berdifusi ke dalam darah setiap menit bergantung pada faktor:

1. Gradient tekanan oksigen antara udara alveolar dan darah pulmonal yang masuk (PO2

alveolar-PO2 darah)

2. Area permukaan fungsional total membrane pernapasan

3. Volume pernapasan satu menit

4. Ventilasi alveolar.

Page 14: PBL B7.docx

Keempat faktor tersebut mempunyai hubungan langsung dengan difusi oksigen. Apa

saja yang menurunkan PO2 alveoli cederung akan menurunkan gradient tekanan oksigen

darah alveolar dan karenanya cenderung menurunkan jumlah oksigen yang memasuki darah.8

Transport CO2

Karbon dioksida yang berdifusi ke dalam darah dan janingan dibawa ke paru-paru melalui

cara berikut ini: (nella)

1. Sejumlah kecil karbon dioksida (7% sampai 8%) tetap terlarutdalamplasma. Karbon

dioksida yang tersisa bergerak ke dalam sel darah merah, di mana 25%-nya bergabung

dalam bentuk reversibel yang tidak kuat dengan gugus amino di bagian globin pada

hemoglobin untuk membentuk karbaminohemoglobin.8

2. Sebagian besar karbon dioksida dibawa dalam bentuk bikarbonat, terutama dalam plasma.

Karbon dioksida dalam sel darah merah berikatan dengan air untuk membentuk asam

karbonat dalam reaksi bolak-balik yang dikatalis oleh anhidrase karbonik. Reaksi di atas

berlaku dua arab, bergantung konsentrasi senyawa.8

3. Jika konsentrasi CO2 tinggi, seperti dalam Jaringan, reaksi beglangsung ke kanan

sehingga lebih banyak terbentuk ion hidrogen dan bikarbonat. Dalam paru yang

konsentrasi CO2-nya lebih rendah, reaksi berlangsung ke kiri dan melepaskan karbon

dioksida.8

Keseimbangan asam basa

Gangguan keseimbangan asam basa disebabkan oleh faktor-faktor yang

mempengaruhi mekanisme pengaturan keseimbangan antara lain sistem buffer, sistem

respirasi, fungsi ginjal, gangguan sistem kardiovaskular maupun gangguan fungsi susunan

saraf pusat. Gangguan keseimbangan asam basa serius biasanya menunjukkan fase akut

ditandai dengan pergeseran PH menjauhi batas nilai normal. Secara umum, analisis

keseimbangan asam basa ditujukan untuk mengetahui jenis gangguan keseimbangan asam

basa yang sedang terjadi pada pasien. Gangguan keseimbangan asam basa dikelompokkan

dalam 2 bagian utama yaitu respiratorik dan metabolik. Kelainan respiratorik didasarkan pada

nilai pCO2 yang terjadi karena ketidakseimbangan antara pembentukan CO2 di jaringan

perifer dengan ekskresinya di paru, sedangkan metabolik berdasarkan nilai HCO3-, BE, SID

(strong ions difference), yang terjadi karena pembentukan CO2 oleh asam fixed dan asam

Page 15: PBL B7.docx

organic yang menyebabkan peningkatan ion bikarbonat di jaringan perifer atau cairan

ekstraseluler.9

1. Asidosis Respiratorik

Terjadi apabila terdapat gangguan ventilasi alveolar yang mengganggu eliminasi CO2

sehingga akhirnya terjadi peningkatan PCO2 (hiperkapnia). Beberapa factor yang

menimbulkan asidosis respiratorik ialah Inhibisi pusat pernafasan yaitu obat yang mendepresi

pusat pernafasan (sedative, anastetik), kelebihan O2 pada hiperkapnia.

Penyakit neuromuscular yaitu neurologis (poliomyelitis, SGB), muskular (hipokalemia,

muscular dystrophy) Obstruksi jalan nafas : asma bronchial, PPOK, aspirasi, spasme laring

Kelainan restriktif yaitu penyakit pleura (efusi pleura, empiema, pneumotoraks), kelainan

dinding dada (kifoskoliosis, obesitas), kelainan restriktif paru (pneumonia, edema)

Overfeeding yaitu Prinsip dasar terapi asidosis respiratorik adalah mengobati penyakit

dasarnya dan dukungan ventilasi. hiperkapnia akut merupakan keadaan kegawatn medis

karena respon ginjal berlangsung lambat dan biasanya disertai dengan hipoksemia, sehingga

bila terapi yang ditujukan untuk penyakit dasar maupun terapi oksigen sebagai suplemen

tidak member respon baik maka mungkin diperlukan bantuan ventilasi mekanik baik invasive

maupun non invasive.9

2. Alkalosis Respiratorik

Terjadi hiperventilasi alveolar sehingga terjadi penurunan PCO2 (hipokapnia) yang dapat

menyebabkan peningkatan ph. Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya stimulus baik

langsung maupun tidak langsung pada pusat pernafasan, penyakit paru akut dan kronik,

overventilasi iatrogenic (penggunaan ventilasi mekanik).Beberapa etiologi alkalosis

respiratorik: Rangsangan hipoksemik :penyakit jantung dengan edema paru, penyakit jantung

dengan right to left shunt, anemia gravis ,stimulasi pusat pernafasan di medulla : kelainan

neurologis, psikogenik (panic, nyeri), gagal hati dengan ensefalopati,kehamilan

,mechanical overventilation ,sepsis,pengaruh obat : salisilat, hormone progesteron.9

Page 16: PBL B7.docx

3. Asidosis Metabolik

Ditandai dengan turunnya kadar ion HCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsial CO2 di

dalam arteri. Kompensasi umumnya terdiri dari kombinasi mekanisme respiratorik dan ginjal,

ion hydrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat membentuk molekul CO2 yang dieliminasi

di paru sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi ion hydrogen ke urin dan memproduksi

ion bikarbonat yang dilepaskan ke cairan ekstraseluler.Beberapa penyebab asidosis

metabolik:

Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh : asidosis laktat, ketoasidosis, intoksikasi

salisilat, intoksikasi etanol; berkurangnya kadar ion HCO3 di dalam tubuh : diare, renal

tubular acidosis; Adanya retensi ion H di dalam tubuh: penyakit ginjal kronik

Dari persamaan Henderson-Hasselbalch pH dipengaruhi oleh rasio kadar bikarbonat (HCO3-)

dan asam karbonat darah (H2CO3) sedangkan kadar asam karbonat darah dipengaruhi oleh

tekanan CO2 darah (pCO2). Bila rasio ini berubah, pH akan naik atau turun. Penurunan pH

darah di bawah normal yang disebabkan penurunan kadar bikarbonat darah disebut asidosis

metabolik. Sebagai kompensasi penurunan bikarbonat darah, akan dijumpai pernafasan cepat

dan dalam (pernafasan Kussmaul) sehingga tekanan CO2 darah menurun (hipokarbia).

Di samping itu ginjal akan membentuk bikarbonat baru (asidifikasi urine) sehingga

pH urine akan asam. Penurunan kadar bikarbonat darah bisa disebabkan hilangnya bikarbonat

dari dalam tubuh (keluar melalui saluran cerna atau ginjal) ataupun disebabkan penumpukan

asam-asam organik, -baik endogen maupun eksogen-, yang menetralisir bikarbonat.

Khusus penilaian terhadap faktor penyebab asidosis metabolic terdapat dua cara yaitu cara

tradisional dengan kesenjangan anion (anion gap), dan cara kuantitatif kimia-fisik (stewart)

dengan menghitung strong ion gap dan atau BE gap. Menurut analisis stewart, untuk mencari

factor penyebab asidosis metabolic diperlukan pemeriksaan elektrolit natrium, klor dan juga

albumin.9

4.Alkalosis Metabolik

Suatu proses terjadinya peningkatan primer bikarbonat dalam arteri. Akibat peningkatan ini,

rasio PCO2 dan kadar HCO3 dalam arteri berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini

Page 17: PBL B7.docx

dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi) sehingga PCO2 meningkat

dalam arteri dan meningkatnya konsentrasi HCO3 dalam urin.

Penyebab alkalosis metabolik: Terbuangnya ion H- melalui saluran cerna atau melalui ginjal

dan berpindahnya ion H masuk ke dalam sel,Terbuangnya cairan bebas bikarbonat dari dalam

tubuh, Pemberian bikarbonat berlebihan

Asam didefinisikan sebagai zat yang dapat memberikan ion H+ ke zat lain (disebut

sebagai donor proton), sedangkan basa adalah zat yang dapat menerima ion H+ dari zat lain

(disebut sebagai akseptor proton). Suatu asam baru dapat melepaskan proton bila ada basa

yang dapat menerima proton yang dilepaskan. Oleh karena itu, reaksi asam basa adalah suatu

reaksi pelepasan dan penerimaan proton.Keseimbangan asam basa adalah suat keadaan

dimana konsentrasi ion hydrogen yang diproduksi setara dengan konsentrasi ion hydrogen

yang dikeluarkan oleh sel. Pada proses kehidupan keseimbangan asam pada tingkat molecular

umumnya berhubungan dengan asam lemah dan basa lemah, begitu pula pada tingkat

konsentrasi ion H+ atau ion OH- yang sangat rendah.Keseimbangan asam basa adalah

keseimbangan ion hydrogen. Walaupun produksi akan terus menghasilkan ion hydrogen

dalam jumlah sangat banyak, ternyata konsentrasi ion hydrogen dipertahankan pada kadar

rendah 40 + 5 nM atau pH 7,4. Pengaturan keseimbangan asam basa diselenggarakan melalui

koordinasi dari 3 sistem: 1. Sistem buffer yaitu menetralisir kelebihan ion hydrogen, bersifat

temporer dan tidak melakukan eliminasi.9

Fungsi utama system buffer adalah mencegah perubahan pH yang disebabkan oleh

pengaruh asam fixed dan asam organic pada cairan ekstraseluler. Sebagai buffer, system ini

memiliki keterbatasan yaitu: Tidak dapat mencegah perubahan pH di cairan ekstraseluler

yang disebabkan karena peningkatan CO2,System ini hanya berfungsi bila system respirasi

dan pusat pengendali system pernafasan bekerja normal, Kemampuan menyelenggarakan

system buffer tergantung pada tersedianya ion bikarbonat.9

Ada 4 sistem bufer:

1. Bufer bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan

yang disebabkan oleh non-bikarbonat

2. Bufer protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel

3. Bufer hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam

karbonat.9

Page 18: PBL B7.docx

4. Bufer fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.

Sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan

buferkimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan

dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam

darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian

mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal

mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan

menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

Proses eliminasi dilakukan oleh paru dan ginjal. Mekanisme paru dan ginjal dalam

menunjang kinerja system buffer adalah dengan mengatur sekresi, ekskresi, dan absorpsi ion

hydrogen dan bikarbonat serta membentuk buffer tambahan (fosfat, ammonia).

Untuk jangka panjang, kelebihan asam atau basa dikeluarkan melalui ginjal dan paru

sedangkan untuk jangka pendek, tubuh dilindungi dari perubahan pH dengan system buffer.

Mekanisme buffer tersebut bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35- 7,45.9

Kesimpulan

Struktur respirasi manusia dibentuk oleh struktur makroskopik maupun mikroskopik yang

masing-masing sangat berperan dalam proses pernapasan. Pada mekanisme

pernapasan,ekspirasi dan inspirasilah yang sangat berperan. Pada saat inspirasi, manusia

mengambil oksigen dan pada saat ekspirasi, manusia mengeluarkan karbondioksida yang

merupakan hasil metabolisme tubuh. adanya cairan pada beberapa sinus paranasal

mengakibatkan peradangan pada sinus paranasal. Nyeri/ sakit kepala yang terjadi pada

skenario ini sisebabkan oleh adanya gangguan/ peradangan di sinus paranasal tepatnya di

sinus frontalis.

Page 19: PBL B7.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunardi S. Anatomi sistem pernafasan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;20092.

2. Faiz O, Moffat D. At a glance anatomi. Jakarta: Penerbit Erlangga;2002.h.1-22.4.

3. Pearce GE. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: EGC; 2007.p.11.

4. Fawcett DW. Buku ajar histologi. Jakarta: EGC; 2005.p.52-3.

5. Gibson J. Fisiologi dan anatomi modern untuk perawat. Jakarta: EGC; 2003.p.22,137

6. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed.11. Jakarta: EGC, 2007; 597-

667.

7. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke system edisi 6. Jakarta: EGC;2011.h.499-

5008.

8. Djojodibroto D. respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit BukuKedokteran

EGC;2009.h.57-93.

9. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper. 25th ed.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.