pbl 1 emergency

47
LI. 1 Memahami dan Mengetahui Cedera Kepala LI.1.1. Definisi Cedera Kepala Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. LI.1.2. Epidemiologi Cedera Kepala 1) Orang Menurut Data CDC (1997), di Amerika Serikat penderita trauma kapitis untuk laki-laki kira-kira dua kali lebih tinggi daripada perempuan dengan IR penderita laki-laki 91,9 per 100.000 penduduk dan IR perempuan 47,7 per 100.000 penduduk.27 Menurut Miller (2004) anak-anak < 15 tahun berisiko untuk mengalami trauma kapitis (33%) dan berumur > 65 tahun 70-88%.28 Angka kematian pada pasien yang berusia 15-24 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada pasien yang sudah berusia lanjut (≥ 65 tahun) adalah sekitar 31,4 orang per 100.000 orang.11 Menurut penelitian Junandar Siahaan (2000) di RS. Santa Elisabeth Medan, proporsi penderita trauma kapitis terbanyak pada kelompok umur 17-24 tahun (23,8%).29 2) Tempat Penelitian Tagliaferri et al di Eropa (2006), rata-rata kematian akibat trauma kapitis sekitar 15 kasus per 100.000 dan CFR yaitu 11 per 100.30 Penelitian Kleiven di Swedia (1987-2000) terdapat 22.000 pasien trauma kapitis menunjukkan IR tahunan sebesar 229 per 100.000 penduduk.31. Di Norwegia IR trauma kapitis pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan menjadi 83,3 per 100.000 penduduk. Penurunan ini dapat dilihat mulai dari tahun

Upload: dezaharati14

Post on 29-Jan-2016

251 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Emergency

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 1 Emergency

LI. 1 Memahami dan Mengetahui Cedera Kepala

LI.1.1. Definisi Cedera KepalaTrauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

LI.1.2. Epidemiologi Cedera Kepala1) Orang

Menurut Data CDC (1997), di Amerika Serikat penderita trauma kapitis untuk laki-laki kira-kira dua kali lebih tinggi daripada perempuan dengan IR penderita laki-laki 91,9 per 100.000 penduduk dan IR perempuan 47,7 per 100.000 penduduk.27 Menurut Miller (2004) anak-anak < 15 tahun berisiko untuk mengalami trauma kapitis (33%) dan berumur > 65 tahun 70-88%.28 Angka kematian pada pasien yang berusia 15-24 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada pasien yang sudah berusia lanjut (≥ 65 tahun) adalah sekitar 31,4 orang per 100.000 orang.11 Menurut penelitian Junandar Siahaan (2000) di RS. Santa Elisabeth Medan, proporsi penderita trauma kapitis terbanyak pada kelompok umur 17-24 tahun (23,8%).29

2) Tempat Penelitian Tagliaferri et al di Eropa (2006), rata-rata kematian akibat trauma kapitis sekitar 15 kasus per 100.000 dan CFR yaitu 11 per 100.30 Penelitian Kleiven di Swedia (1987-2000) terdapat 22.000 pasien trauma kapitis menunjukkan IR tahunan sebesar 229 per 100.000 penduduk.31. Di Norwegia IR trauma kapitis pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan menjadi 83,3 per 100.000 penduduk. Penurunan ini dapat dilihat mulai dari tahun 1974 IR trauma kapitis yaitu 236 per 100.000 penduduk menjadi 200 per 100.000 pada tahun 1979–1980, dan menjadi 169 per 100.000 penduduk pada tahun 1993.32 Di Australia pada tahun 1996-1997 terdapat IR penderita trauma kapitis sebesar 149 per 100.000 penduduk. Kelompok umur yang berisiko tinggi mengalami trauma kapitis yaitu 15-19 tahun (284 per 100.000) dan anak-anak pada umur 0-4 tahun (244 per 100.000). Kelompok umur yang berisiko rendah untuk terkena trauma kapitis yaitu 45-64 tahun (69 per 100.000).Menurut penelitian Arifin di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung (februari-April 2008) terdapat 120 kasus trauma kapitis. Dari seluruh kasus terdapat 95 orang (79,2%) dengan trauma kapitis sedang dan 25 orang (20,8%) dengan trauma kapitis berat.

3) WaktuDi Inggris, menurut Thornhill S dkk (2000) terdapat 71% penderita trauma kapitis yang berumur > 14 tahun.35 Di Amerika Serikat, menurut Centers for Disease Control and Prevention (2002-2006) terdapat 1,7 juta orang yang mengalami trauma kapitis setiap tahunnya dengan CFR 3,1%, dan dirawat dirumah sakit

Page 2: PBL 1 Emergency

sebesar 16,2%. Trauma kapitis adalah faktor penyumbang ketiga (30,5%) dari semua kematian terkait trauma di Amerika Serikat.Menurut Dawodu (2004), IR trauma kapitis ringan di Amerika Serikat yaitu 131 kasus per 100.000 penduduk, IR trauma kapitis sedang 15 kasus per 100.000 penduduk, dan IR trauma kapitis berat 14 kasus per 100.000 penduduk.11 Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007 cedera menempati urutan ke-7 pada 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%.1 Menurut penelitian Lusiyawati di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali (2009), dari sepuluh kasus penyakit yang terbanyak terdapat 32,28% trauma kapitis, yang terbagi menjadi 20,05% trauma kapitis ringan, 9,12% trauma kapitis sedang, 2,11% trauma kapitis berat.37 2.5.2.

LI.1.3. Etiologi (faktor predisposisi) Cedera Kepala Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

JatuhMenurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah

KekerasanMenurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan)

LI.1.4. Klasifikasi Trauma KepalaCedera Kepala Berdasarkan MekanismenyaCedera kepala berdasarkan mekanismenya dikelompokkan menjadi dua yaitu:1) Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

2) Cedera tembusCedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Cedera Kepala Berdasarkan Keparahan Cedera1) Ringan : GCS 14–15

(tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada kelainan anatomi)Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi

Page 3: PBL 1 Emergency

(Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.

2) Sedang : GCS 9-13(penurunan kesadaran ringan)Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.

3) Berat : GCS 3–8(penurunan kesadaran berat, mata tidak sama, pemeriksaan motor tidak sama, bocornya cairan otak, perburukan saraf, fraktur tengkorak depressed)Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak.

Cedera Kepala Berdasarkan MorfologinyaBerdasarkan morfologi cedera kepala, dibedakan menjadi (Cedera kepala menurut

Tandian, 2011):1) Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

2) Fraktur tulang kepalaFraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:a. Fraktur linier — Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal

atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

b. Fraktur diastasis — Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura

Page 4: PBL 1 Emergency

belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

c. Fraktur kominutif — Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

d. Fraktur impresi — Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

e. Fraktur basis kranii — Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.

LI.1.5. Patofisiologi Cedera KepalaOtak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat

terpenuhi. Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.Kebutuhan glukosa 25% dariseluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa plasmaturun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic anaerob yang dapat

Page 5: PBL 1 Emergency

menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis metabolic.

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekundera. Kerusakan Primer

Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.

b. Kerusakan SekunderKerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), hidrosefalus dan infeksi.

LI.1.6. Manifestasi Klinis Cedera Kepala Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah: a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Page 6: PBL 1 Emergency

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan; a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian

sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah.

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

e. Perubahan keperibadian diri.

f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat; a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak

menurun atau meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan). d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi

abnormal ekstrimitas.

LI.1.7. Diagnosis dan Diagnosis banding Cedera Kepala1) AnamnesisSedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keliarga pasien ditanyakan apa yang terjadi. 2) Pemeriksaan fisik umumPada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur), soporokomo atau koma.43 Selain itu ditentukan pula Skala Koma Glasgow sebagai berikut :

Respon Mata

≥1 tahun0-1 tahun

4 Membuka mata spontan Membuka mata spontan

3 Membuka mata dengan perintah

Membuka mata oleh tarikan

2 Membuka mata oleh nyeri Membuka mata oleh nyeri

1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata

Respon

motorik

≥1 tahun

0-1 tahun

6 Mengikuti perintah Belum dapat dinilai

Page 7: PBL 1 Emergency

5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri

4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri

3 Fleksi abnormal (decorticasi) Fleksi abnormal (decorticasi)

2 Ekstensi abnormal (deserebrasi)

Ekstensi abnormal (deserebrasi)

1 Tidak ada respon Tidak ada respon

Respon

verbal 5 tahun 2 – 5 tahun 0 - 2 tahun

5 Orientasi baik dan mampu berkomunikasi

Menyebutkan kata – kata yang sesuai

Menangis kuat

4 Disorientasi tapi mampu berkomunikasi

Menyebutkan kata – kata yang tidak sesuai

Menangis lemah

3 Menyebutkan kata – kata yang tidak sesuai (kasar, jorok)

Menangis dan menjerit Kadang – kadang menangus/menjerit lemah

2 Mengeluarkan suara

Mengeluarkan suara lemah

Mengeluarkan suara lemah

1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon

Nilai tertinggi dari pemerikasan Skala Koma Glasgow (SKG) adalah 15 dan terendah adalah 3. Berdasarkan nilai SKG trauma kapitis dapat dibagi atas :

kategori SKG Gambaran klinik Skening Otak

Trauma kapitis ringan

13 – 15Pingsan ≤ 10 menit, defisit neurologis (-)

Normal

Trauma Kapitis Sedang

9 – 12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam,

defisit

Abnormal

Page 8: PBL 1 Emergency

neurologis (-)

Trauma Kapitis berat

3 - 8Pingsan >6jam,

defisit neurologis (+)

Abnormal

Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk menimbulkan respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.

3) Pemeriksaan PupilPupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.

Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala.

Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.Perubahan pupil pada hematom epidural dapat dilihat dari tabel

Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.

4) Pemeriksaan Neurologis

Page 9: PBL 1 Emergency

Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu :a. nervus I (nervus olfaktoris)b. nervus II (nervus optikus)c. nervus III (nervus okulomotoris)d. nervus IV (troklearis)e. nervus V (trigeminus)f. nervus VI (Abdusens)g. nervus VII (fasialis)h. nervus VIII (oktavus)i. nervus IX (glosofaringeus)j. nervus X (vagus)k. nervus XI (spinalis) l. nervus XII (hipoglosus)

nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik

5) Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat peningkatan tekanan intracranial.

6) Pemeriksaan radiologis, yang berupa : a. Foto Rontgen polosPada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.

Page 10: PBL 1 Emergency

b. Compute Tomografik Scan (CT-Scan) CT. Scan untuk menentukan hemoragi, ukuran ventrikel, pergeseran jaringan

otak. CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis :a) SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran b) Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak c) Adanya tanda klinis fraktur basis kranii d) Adanya kejang e) Adanya tanda neurologis fokal f) Sakit kepala yang menetap.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas. Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.

d. AngiografiAngiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

LI.1.8. Tatalaksana Cedera KepalaPedoman penatalaksanaan cedera kepalaa. Pada semua pasien dengan cedera kepala dilakukan foto tulang belakang, servical,

pastikan tulang servical C1-C7 normal. b. Pada pasien dengan cedera kepala sedang dan berat.

Pasang infus dengan larutan NaCl 0,9% atau RL untuk menghindari adanya oedema cerebri.

Lakukan pemeriksaan laboratorium : hematokrit, trombosit, darah periferlengkap, glukosa protombin.

c. Lakukan CT. scan, foto rontgen kepala, tidak diberikan jika susah, dilakukanCT. scan karena lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan CKR/CKB harus dievaluasi adanya :

Page 11: PBL 1 Emergency

Hematoma epidural Darah dalam subarachnoid dan interventrikel Kontusio dan perdarahan jaringan otak Oedema cerrebri Pergeseran garis tengah Fraktur cranium

Cedera kepala ringan Umumnya dapat dipulangkan tanpaCT. scan dengan criteria : a) Hasil pemerksaan neurolgis normalb) Foto servical jelas normalc) Adanya orang yang bertanggung jawab megamati pasien 24 jam

Cedera kepala sedang Klien yang menderita konkusi otak (komosio otak) dengan GCS 15 dan CT. scan normal, tidak perlu dirawat meski terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, amnesia, resiko timbulnya lesi mata cranial lanjut yang bermakna pada pasien.

Cedera kepala berat Indikasi intervensi bedah saraf segera. Jika ada indikasi harus segera dikonsultasikan tindakan operasi. Penatalaksanaan CKB seharusnya dilakukan di unit rawat intensif. Meski kerusakan primer akibat akibat cedera otak akibat cedera sangat minim untuk diatasi, tapi sedikitnya untuk mengurangi kerusakan otak akibat hipoksia, hipotensi atau tekanan intracranial yang meningkat. a) Penilaian ulang jalan nafas b) Monitor TTV c) Penatalaksanaan cairand) Nutrisie) Terapi obat-obatanf) Temperatur suhu tubuhg) Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan GCS <8

A. Primary survey dan resusitasi 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg ) 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas

2 kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathingSering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi apnoe yang berlangsung lama.Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 % .Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah

Page 12: PBL 1 Emergency

dilatasi dan penurunan kesadaran. PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

2. Sirkulasi Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension pneumothorax. Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan yang hilang UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B. seconady surveyPenderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari : GCS Reflek cahaya pupil Gerakan bola mata Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.

D. Prosedur Diagnosis

TERAPY MEDIKAMENTOSA :Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cederaA. Cairan Intravena

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera.Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl.Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig.

B. HyperventilasiTindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun.

Page 13: PBL 1 Emergency

PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah.Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. ManitolDosis 1 gram/kg BB bolus IV.Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia.

D. FurosemidDiberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E. SteroidSteroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

F. BarbituratBermanfaat untuk menurunkan TIK.Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah.

G. AnticonvulasanPenggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam.

LI.1.9. Komplikasi Cedera KepalaA. Jangka pendek :1. Hematom Epidural

Letaknya antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat pecahnya arteri meningea media atau cabangnya. Gejalanya : setelah kecelakaan pasien pingsa/nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meningkat, pupil pada sisi perdarahan mula-mula miosis lalu menjadi lebar dan akhirnya tidak bereaksi terhadap cahaya. Ini adalah tanda-tanda terjadi herniasi tentorial.Keadaan akut (minimal 24 jam sampai 3X24 jam), adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparesis.Pemeriksaan CT scan menunjukan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih. Tatalaksana berupa tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.

2. Hematom SubduralLetak dibawah duramater. Akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater serta arackhinoid dari korteks serebri. Gejala subakut mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala cronis timbul 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada pemeriksaan CT Scan setelah hari ke 3 kemudian diulang 2 xkemudia terdapat bagian hipodens berbentuk creesent.)Operasi : segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom aku t terdiri dari tranplasntasi dekompresi.

3. Perdarahan intracerebralPerdarahan dalam koretek serebri yang berasal dari arteri kortikal, banyak terdapat pada lobus temporal.

Page 14: PBL 1 Emergency

4. Perdarahan subarachnoidPerdarahan di dalam rongga subarachinoid akibat robek pembuluh darah dan permukaan otak, selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

5. Udem cerebri Otak membengkak, penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-

jam. Tekanan darah naik, nadi melambat, gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada, cairan otak normal, hanya tekanan meninggi dan kesadaran menurun.

B. Jangka panjang :1. Kerusakan saraf kranial

AnosmiaKerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sesnsasi pembauan yang jika total disebut anosmia, jika parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.

Gangguan penglihatanGangguan pada nervus optikus, timbul segera setelah terjadi trauma. Disertai hematoma disekitar mata, proptosis akibat perdarahan, dan edema dalam orbita. Gejala berupa penurunan visus,skotoma, dilatasi pupil dengan reflek cahaya negative. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi pupil yang difus, kebutaan bersifat irreversible.

OftalmoplegiKelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini, tapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.

Paresis fasialisGejala muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut mencong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.

Gangguan pendengaranGangguan pendengaran yang berat biasanya disertai dengan vertigo dan nystagmus karena ada hubungan erat antara koklea, vestibula dan saraf.

2. DisfagiaKesulitan untuk memahami / memproduksi Bahasa disebabkan oleh penyakit SSP. Penderita disfagia membutuhkan perwatan yang lebih lama, rehabilitasi juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Pengobatan untuk disfagia hanya speech therapy.

3. HemiparesisManifestasi dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebab karena perdarahan otak, empyema subdural, dan herniasi transtentorial.

4. Syndrome pasca cedera kepalaKumpulan gejala yang kompleks, sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala berupa nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidura dan gangguan fungsi seksual.

5. EpilepsiEpilepsy pasca trauma muncul dalam minggu pertama pasca trauma da nada yang muncul setelah 4 tahun pasca trauma.

Page 15: PBL 1 Emergency

LI.1.10. Prognosis Cedera KepalaBerdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators

(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis.

Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3.

LI.1.11. Pencegahan Cedera Kepala1) Pencegahan Primordial

Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orang-orang yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor (sidewalk), jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan (traffic signal); dan peraturan (law enforcement).

2) Pencegahan Primer Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma, seperti : \

a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt) c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anak-anak, seperti :

meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai tidak licin, membuat pegangan pada kedua sisi tangga.

3) Pencegahan Sekunder

Page 16: PBL 1 Emergency

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang terjadi. Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis

4) Pencegahan TersierPencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan penderita trauma kapitis. Tujuan dari rehabilitasi setelah trauma kapitis yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan penderita untuk berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma kapitis untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi lingkungan tempat tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah. Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita yang mengalami gangguan psikologis, selain itu dukungan keluarga juga membantu proses penyembuhan psikis penderita.

LI. 2. Memahami dan Mempelajari Perdarahan Intracranial

Perdarahan epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.Perdarahan epidural atau kita singkat dengan EDH adalah perdarahan yang terjadi di antaraselaput pembungkus otak (duramater) dan tulang kepala. Perdarahan ini terjadi akibat retaknya tulang kepala pada trauma kepala yang selanjutnya retakan tulang itu akan menjadi sumber perdarahan atau dapat pula mencederai pembuluh darah yang berada diselaput pembungkus otak tersebut. Darah kemudian akan berkumpul dan bertambah banyak baik secara perlahan-lahan atau dalam tempo yang singkat. Pada awalnya dimana jumlah darah masih sangat sedikit, mungkin penderita tidak merasakan suatu keluhan yang berat atau berarti sehingga sering diabaikan.

Page 17: PBL 1 Emergency

Namun bila jumlah perdarahannya sudahcukup banyak maka dampaknya sangat berat hingga kematian.Gejala: lucid interval, pupil midriasis,Adanya garis fraktur menyokong didiagnosis hematom epidural dan lokasinya. Sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar.

Etiologi Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan

spontan bisa saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan pada bayi baru lahir.

Manifestasi klinikGejala klinis yang khas adalah : Lucid Interval (adanya fase sadar diantara 2 fase

tidak sadar karena bertambahnya volume darah). Gelaja paling menonjol yaitu penurunan kesadaran secara progresif.  Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.

Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :

Hipertensi Bradikardi BradipneuKontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma. Dilatasi

pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai adanya epidural hematom.

Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu:

Coma Fixasi dan dilatasi pupil DeserebrasiGejala lain yang sering tampak :   Bingung  Penglihatan kabur  Susah bicara  Nyeri kepala yang hebat Keluar cairan darah dari hidung atau telinga Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala  Mual  Pusing  Berkeringat  Pucat  Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar

Pemeriksaan penunjang-Foto polos : sulit untuk menentukan-CT Scan akan tampak area hiperdens biconvex.

Page 18: PBL 1 Emergency

-MRI 

PenatalaksanaanPenatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara trepanasi

dengan tujuan melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan 

Prognosis Prognosis tergantung pada : • Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )• Besarnya • Kesadaran saat masuk kamar operasi.  Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.  

SUBDURAL HEMATOMA

DEFINISI Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena.

ETIOLOGY Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak.

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.

Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada

Page 19: PBL 1 Emergency

pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua.

Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural

Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:- Trauma kapitis- Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

- Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak – anak.

- Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.

- Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

- Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

PATOFISIOLOGI Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,

kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar.Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai

Page 20: PBL 1 Emergency

mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.

Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Page 21: PBL 1 Emergency

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

KLASIFIKASI Terbagi atas 3 bagian iaitu:

a) Perdarahan subdural akut - Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,

respon yang lambat, serta gelisah. - Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. - Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar

dan cedera batang otak. b) Perdarahan subdural subakut

- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.

c) Perdarahan subdural kronis - Terjadi karena luka ringan. - Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

Page 22: PBL 1 Emergency

- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas.

- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. - Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

LO. 2.1 Memahami dan Mempelajari TRIAS CUSHINGDEFINISISindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat badan yang cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face), penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada abdomen, penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain. Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932.

ETIOLOGI & PATOGENESISSecara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.

Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.

Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah penyebab tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting pituitary adenoma bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing endogen dan sering juga disebut Cushing disease.

Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10% kasus sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang menyebabkan hal ini adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40 sampai 50 tahun.

Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal merupakan penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara biokimia tanda yang bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH

Page 23: PBL 1 Emergency

rendah. Hiperkortisolisme pada karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma atau hiperplasia.

MANIFESTASI KLINIS Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu

khususnya pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi jaringan adiposa yang aneh ini belum diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan resistensi insulin atau peningkatan kadar insulin.

Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fast-twitch (tipe 2) yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada ekstremitas bagian proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi glukoneogenesis dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel yang menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi. Efek kataboliknya menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit menjadi tipis, mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang menyebabkan osteoporosis.

Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat, hirsutisme, oligomenorea atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat dijumpai perubahan emosional, mudah tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau psikosis.

TATA LAKSANA Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat

administrasi glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah memberikan terapi secara hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi glukokortikoidnya.

Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat dicabut (opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan membutuhkan terapi replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi adenomanya. Pada pasien yang dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan prednisolone.

Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan bertahap 8-10g perhari.

LI. 3. Memahami dan Mempelajari Fraktur Basis Cranii

LI.3.1. Definisi Fraktur Basis CraniiSuatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi

pada dasar tulangtengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regiotemporal dan regio occipital condylar . Fraktur

Page 24: PBL 1 Emergency

basis cranii dapat dibagi berdasarkanletak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, danfraktur fossa posterior.

LI.3.2. Epidemiologi Fraktur Basis CraniiCedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya

angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya. 5

Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat.

LI.3.3. Etiologi (faktor predisposisi) Fraktur Basis CraniiTrauma

LI.3.4. Klasifikasi Fraktur Basis Cranii1) Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan

umumnya tidak diperlukan intervensi2) Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau

tanpakerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.

3) Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadimelebar

4) Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal(Cerebrospinal Fluid)

Fraktur TemporalDijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan transversal.

fraktur condylar occipital,

Page 25: PBL 1 Emergency

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

Fraktur clivusDigambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.

Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.

a. Fraktur Calvarium.Beberapa contoh fraktur calvarium

Fraktur LiniairBila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.

Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan  garis – garis frakturnya nya menyebar secara radial.

Fraktur ImpressiePada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak Fraktur atap orbita

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes

Fraktur melintas Lamina CribrosaFraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)

Page 26: PBL 1 Emergency

Fraktur Fossa Media• Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).

• Fraktur Sella TursicaDi atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes Insipidus.

• Sinus Cavernosus Syndrome.Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula).Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit  , conjunctiva berwarna merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,

Fraktur Fossa Posterior.• Fraktur melintas os petrosum

Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid, menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.

• Fraktur melintas Foramen Magnumdi Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

LI.3.5. Patofisiologi Fraktur Basis CraniiFraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah

daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟ dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya

Page 27: PBL 1 Emergency

kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula. Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum

Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :   Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )   Sinus duramatis Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan

vena diploica

LI.3.6. Manifestasi Klinis Fraktur Basis Cranii

Page 28: PBL 1 Emergency

Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena. 1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

a. Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleedingb. Epistaksisc. Rhinorrhoe

2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:a. Hematom retroaurikuler, Ottorhoeb. Perdarahan dari telinga

Keterangan :1) Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur

pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping membrane timpani (tidak robek)

2) Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke posterior dan merusak sinus sigmoid.

3) Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior menyebabkan darah bocor masuk ke jaringan periorbital.

LI.3.7. Diagnosis dan Diagnosis banding Fraktur Basis CraniiStudi Imaging 1) Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria

panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.

2) CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

3) MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran

CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

Diagnosis banding1) Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti

kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang

Page 29: PBL 1 Emergency

yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).

2) Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :a. Kongenitalb. Ablasi tumor atau hidrosefalusc. Penyakit-penyakit kronis atau infeksid. Tindakan bedah

LI.3.8. Tatalaksana Fraktur Basis CraniiDiagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena:a. Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat berbahaya

tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan

b. Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.

c. Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.

Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:a. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,

mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.b. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan

tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,c. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrheapenderita tidur

dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat.d. Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis

masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan alasan penderita fraktur basis kranii dirawat bukan diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan pemberian kami batasi sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.

Terapi medis Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural

neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus

Page 30: PBL 1 Emergency

ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi controversial. Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang serius. Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989, menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan antibiotic profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah antibiotic tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii14. Studi lain juga menunjukkan dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien dengan fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat antibiotic profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic profilaksis. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii. (odds ratio (OR) = 1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.

Terapi Bedah Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak

dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

LI.3.9. Komplikasi Fraktur Basis Cranii1) Gangguan pendengaran2) Parese N.VII perifer3) Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

LI.3.10. Prognosis Fraktur Basis CraniiWalaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera

nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi

LI.3.11. Pencegahan Fraktur Basis CraniiPencegahan sama seperti trauma kepala, ada pencegahan primer, sekunder, tersier.