pastor paroki dan pengelolaan keuangan paroki

19
1 Pastor Paroki & Pengelolaan Keuangan Paroki oleh: Evaristus Angwarmase MSC Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Upload: aruibab

Post on 11-Jun-2015

1.382 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

1

Pastor Paroki &

Pengelolaan Keuangan Paroki oleh: Evaristus Angwarmase MSC

Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Page 2: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

2

Pendahuluan

Uang bukanlah segalanya. Tetapi segala sesuatu butuh uang. Termasuk untuk

urusan penyelamatan jiwa-jiwa, sebuah tujuan yang diwariskan kepada Gereja

universal pada umumnya dan Gereja lokal-setempat (paroki) pada khususnya.

Tulisan bertemakan pengelolaan keuangan paroki ini berusaha memahami

wajah Gereja lokal yakni paroki dengan penanggung jawab utama pastor parokinya.

Untuk selanjutnya menelaah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan

keuangan dalam paroki. Pada bagian akhir tulisan ini akan disajikan catatan-catatan

kritis.

1. Paroki: Memahami Sejarah dan Gagasan Teologisnya 1.1 Paroki dalam Kitab Suci

Kata ‘paroki’ dalam bahasa Latin parochia berasal dari bahasa Yunani paroikia.

Akar kata dari paroikia adalah paroikos yang berarti tetangga atau bisa juga orang

asing, yakni orang yang tinggal di sebuah negara atau kota dan memiliki hak-hak yang

dilindungi oleh negara sekalipun bukan warga negara. Kata kerja dari kata ini adalah

paroikein di satu pihak berarti hidup bersama-sama dan di lain pihak berarti hidup

sebagai orang asing. Kitab Suci berbahas Yunani terutama menggunakan istilah

paroikia berdasarkan pengertian yang lebih tua, yakni paroikos yang berarti tetangga

atau orang asing seperti di atas. Dalam Kitab Suci terjemahan Septuaginta, kata

paroikein diterjemahkan sebagai hidup dalam negeri asing, dan kata paroikos berarti

orang asing yang hidup dalam privilese tetapi tidak memiliki hak penuh sebagai warga

negara. Contoh paling kongkrit yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci adalah

Abraham yang disebut orang asing atau seorang parokial di Mesir (bdk. Kej. 12:10), di

Palestina (bdk. Kej. 21:34), di Kanaan (bdk. Kej. 17:8). Tokoh lain yang dapat disebut

yaitu Lot yang disebut orang asing di Sodom (bdk. Kej. 19:9). Juga Ishak di Kanaan

(bdk. Kej. 26:3) dan anak-anak Yakub yang dapat disebut membentuk paroki di negeri

Mesir.

Jika dikaji secara lebih dekat kisah Abraham, menjadi amat kelihatan bahwa

Abraham dan keturunannya sejak semula memelihara hidup religiusnya sebagai orang

Page 3: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

3

asing di tempat yang bukan milik mereka sendiri. Dalam arti itu dapat dikatakan paroki

(Abraham dan keturunannya) terbentuk sebagai jemaat yang berziarah ke suatu tujuan

sebagaimana yang disabdakan Yahwe yakni Tanah Terjanji. Maka jelas bahwa istilah

paroki dalam Kitab Suci tidak mengandung arti yuridis-sosiologis, namun lebih

mengandung arti religius semata. Berziarah menuju ke tanah yang dijanjikan Yahwe,

itulah tujuan religius mereka.1

Seluruh pengertian paroki dalam Perjanjian Lama (PL) tidak lain berhubungan

dengan qahal (bahasa Ibrani) dan ekklesia (Yunani) yang berarti kumpulan atau jemaat.

Ciri pertama dari jemaat itu adalah adanya panggilan bersama sebagai umat Allah (bdk.

1 Raj. 8:1-2). Dalam pertemuan jemaat itu mereka pertama-tama mendengarkan sabda

Allah (bdk. Ul. 31:1-12) yang disertai penjelasan tentang sabda itu agar iman seluruh

jemaat dinyatakan (bdk. Ul. 27:14-26). Semua itu harus disertai tindakan religius berupa

ritus pengorbanan yang disatukan dengan doa syukur dari pemimpin upacara.

Kemudian pemimpin upacara mengakhiri pertemuan itu dengan pengutusan.

Demikianlah pertemuan itu menjadi gambaran dari suatu kebersamaan yang bersifat

universal dan demi masa depan. Gambaran itu akan mencapai kepenuhannya di dalam

Kristus yang akan memanggl dan menyatukan semua menjadi kesatuan yang baru,

yakni paroki universal.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (PB) kata paroikos (bdk. Kis. 7:6; Ef. 2:19; 1

Ptr. 1:17; 2:11) dan paroikia (bdk. Kis. 13:17) serta paroikein (bdk. Luk. 24:18; Ibr. 11:9)

mempunyai arti yang sama dengan pengertian dalam Kitab Suci PL.

Baik dalam PL maupun PB “berziarah” memiliki makna yang penting. Hal itu jelas

tampak dari peziarahan bangsa Israel dari Mesir ke tanah yang dijanjikan. Di sana

Israel berhasil membentuk sebuah kerajaan yang kuat yang mencapai puncaknya

ketika dipimpin oleh Salomo. Pada waktu itulah Bait Alah di mana Tabut Perjanjian

disimpan secara terhormat dibangun. Seterusnya bangsa Israel selalu mengarahkan

pandangannya ke Sion, kota Yerusalem, sebab Tabut Perjanjian ditempatkan di sana.

Di kota suci ini mereka sebagai bangsa keturunan pengembara membentuk umat Allah, 1 JB. Mardikartono, Paroki Sepanjang Masa (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1989), hlm. 7.

Page 4: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

4

qahal Yahwe. Dan ketika mereka berada di tanah pembuangan, perjalanan kembali ke

Yerusalem memperlihatkan bahwa diri mereka adalah orang asing di tengah bangsa-

bangsa. Sebab hanya Yerusalem yang menjadi tanah air mereka dan yang selalu

menjadi tujuan perjalanan mereka.

Di dalam PB Yesus sendiri mengadakan perjalanan dua kali menuju Yerusalem

(bdk. Luk. 2:22-51; 19: 28-38). Para pengarang Injil memperlihatkan bahwa pelayanan

Yesus selalu menuju dan berakhir di Yerusalem. Di sana puncak pewartaan-Nya

terpenuhi dalam penyerahan diri-Nya kepada Bapa di atas kayu salib. Akhir dari

peziarahan-Nya di dunia ini pun terjadi di Yerusalem yakni ketika Ia naik di ke surga.

Dalam arti itu, paroki dalam Kitab Suci dimengerti bukan sebagai jemaat yang

berkumpul di sekitar tempat ibadah atau wilayah tertentu. Paroki lebih-lebih dimengerti

sebagai jemaat beriman yang berziarah sebagai orang asing di dunia ini menuju tempat

tinggal abadi di surga.2

1.2 Paroki dalam Sejarah

Paroki sudah muncul pada abad IV pada zaman Kaisar Konstantinus. Mulai pada

abad ini paroki sebagaimana artinya dalam Kitab Suci mengalami pergeseran. Paroki

pada waktu itu dimengerti sebagai sebuah lembaga gerejani. Ini disebabkan oleh

agama Katolik ditetapkan oleh kaisar sebagai agama negara. Sebagai agama negara,

penekanan pada unsur eskatologisnya perlahan menghilang. Akibatnya, Gereja dalam

hal ini paroki dipahami sebagai tidak lagi menjadi asing atau hidup di tanah asing dan

sementara berziarah. Paroki cenderung dipahami secara yuridis sebagai lingkungan

territorial.

Namun jauh sebelumnya ketika gereja-gereja setempat tumbuh dan memiliki

struktur pelayanan ke luar dan ke dalam, bentuk paroki sudah ada. Yang dimaksud

gereja-gereja setempat adalah Gereja perdana yang diwariskan oleh para Rasul.

Gereja-gereja setempat tersebut dipimpin oleh seorang uskup yang disebut

paroikias. Paroikias ini dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih kecil dan diketuai

2 Ibid, hlm. 9-10

Page 5: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

5

oleh seorang imam atau beberapa imam. Tetapi uskuplah yang menjadi pemersatu

seluruh Gereja setempat dalam pelayanannya.3

1.3 Paroki dalam Dokumen Konsili Vatikan II

Membincang paroki dalam dokumen Konsili Vatikan II tidak bisa tidak harus

dimulai dengan membincang refleksi iman Gereja tentang identitas Gereja itu sendiri

terutama sebagaimana tertuang dalam Konstusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen

Gentium, LG) yang dilengkapi dengan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (GS).

Kedua dokumen ini memperlihatkan perubahan pandangan tentang Gereja itu sendiri.

Gereja prakonsili dipandang terutama sebagai badan sosial yang memiliki pengurus,

kuasa mengajar, dan hirarki—bahkan karenanya Gereja diidentikkan dengan uskup dan

para imam. Konsili Vatikan II merombak pandangan itu dengan menempatkan Gereja

pertama-tama sebagai perwujudan karya keselamatan Allah di dunia. Tekanan kini

pada gambaran Gereja yang mengumat, Gereja yang ada di tengah dunia dan terlibat

dengan masalah-masalah yang timbul di dalam dunia.

Ciri khas Gereja yang mengumat adalah Gereja yang membangun communion,

artinya Gereja ingin membangun persekutuan dan partisipasi hidup orang beriman

dengan saling menyokong, menerima dan membagi dalam persaudaraan. Gereja

bukan lagi menjadi tujuan bagi dirinya. Sebaliknya, Gereja menjadi persekutuan yang

terbuka terhadap yang lain. Gereja yang demikian adalah Gereja yang mau melibatkan

dirinya dengan berbagai permasalahan masyarakat.

Dalam Konstusi Liturgi Sacrosantum Consilium (SC) paroki disebut secara

eksplisit. Konstitusi Liturgi memandang paroki sebagai kelompok orang beriman yang

menonjol yang dipimpin oleh seorang gembala sebagai wakil uskup dan mewakili

Gereja secara Nampak (Gereja yang dimaksudkan di sini adalah Gereja sebagai yang

direfleksikan dalam dokumen LG dan GS di atas). Pembentukan paroki pertama-tama

dilihat atas kepentingan uskup dan demi perwujudan Gereja yang kelihatan. Namun

sebagai bentuk perwujudan Gereja atau pengelompokkan umat beriman, paroki tidak

3 Ibid, hlm. 12-13.

Page 6: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

6

bisa dikatakan sebagai satu-satunya cara atau bentuk meski bentuk paroki adalah yang

paling menonjol.

Dalam dekrit tentang tugas kegembalaan para uskup, Christus Dominus (CD),

kata paroki disebutkan sembilan belas kali. Di dalamnya dimuat kemungkinan adanya

bermacam-macam paroki seperti paroki karena terbentuk oleh ritus yang sama, paroki

dengan bahasa yang sama (CD 23.3) atau supraparoki baik yang menyangkut wilayah

dioses tertentu maupun yang menyangkut jenis karya khusus (CD 29). Di dalamnya

juga diketengahkan tugas, kerja sama dan kehidupan pastor paroki sebagai pembantu

uskup dalam rangka menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin

sedemikian rupa sehingga umat beriman dan masyarakat paroki benar-benar merasa

dirinya sebagai anggota baik dari dioses maupun dari seluruh Gereja universal.

Akhirnya diingatkan pula dalam dekrit ini bahwa tugas paroki adalah kepentingan

keselamatan jiwa-jiwa (CD 31). Dikatakan bahwa tugas penyelamatan jiwa-jiwa ini

pulalah yang menjadi alasan didirikan atau ditiadakannya paroki-paroki dan perubahan

sejenis dilakukan oleh uskup berdasarkan wewenangnya sendiri (CD 32).4

1.4 Paroki dalam Kitab Hukum Kanonik

Dalam Kitab Hukum Kanonik, paroki dimengerti sebagai komunitas kaum

beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular yang

reksa pastoralnya di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada pastor-

paroki sebagai gembalanya (Kan. 515). Pengertian paroki yang demikian memiliki

beberapa unsur yang penting yang patut digarisbawahi. Pertama, anggota sebuah

paroki adalah umat beriman kristiani dan bukan yang lainnya. Kedua, paroki berada

pada ruang dan waktu yang jelas dan pasti, yakni pada wilayah tertentu (sebuah

dioses) dan terdiri dari anggota-anggota umat beriman di wilayah itu. Ketiga, pemimpin

paroki susah langsung ditentukan secara yuridis yakni pastor paroki dan bukan seorang

atau beberapa orang awam. Keempat, paroki berada di bawah uskup. Dengan

penegasan bahwa paroki berada di bawah otorita uskup diseosan maka pendirian

sebuah paroki pun pembubarannya otomatis berada di bawah wewenang uskup.

4 Ibid, hlm. 24-27

Page 7: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

7

1.5 Refleksi Teologis

Dari penjelasan tentang paroki di atas, tiga prinsip teologis dapat disarikan.

Pertama, paroki dilihat sebagai perwujudan Gereja setempat yang secara kongkret dan

pada tempat tertentu hadir. Kedua, sebagai gereja setempat paroki mempunyai tugas

perutusan struktur dasar yang tidak jauh bedanya dengan Gereja universal. Ketiga,

karena paroki pada hakekatnya sama dengan Gereja, dan demikian halnya dengan

tugas perutusannya, maka juga model hakekat dan tugas perutusan Gereja membentuk

paroki.

2. Pastor Paroki: Memahami Keberadaannya

Telah disebutkan di atas bahwa pemimpin sebuah paroki adalah pastor paroki.

Mengenai pemimpin paroki ini, Kitab Hukum Kanonik menggariskan bahwa pastor-

paroki adalah gembala parokinya sendiri yang diserahkan kepada dirinya dan

menunaikan reksa pastoral jemaat di bawah otoritas uskup diosesan yang dipanggil

mengambil bagian dalam pelayanan Kristus untuk menjalankan tugas mengajar,

menguduskan dan memimpin bagi jemaat itu, dengan kerja sama juga dengan imam-

imam lain atau diakon dan juga bantuan kaum umat beriman kristiani awam menurut

norma hukum (Kan. 519).

Dari pengertian tentang siapa pastor-paroki di atas menjadi nyata alasan

keberadaan sekaligus fungsi dan peran dari seorang pastor paroki. Alasan keberadaan

seorang pastor paroki adalah sebagai perpanjangan tangan uskup. Sementara fungsi

dan peran yang dijalankan olehnya adalah fungsi dan peran pastoral, yakni pelayanan

bagi penyelamatan jiwa-jiwa. Di dalam Sacrosantum Consilium (SC) alasan

keberadaan, fungsi dan peranan pastor paroki ini pun ditegaskan. Bahwa pastor-paroki

ada semata-mata sebagai perpanjangan tangan Uskup diosesan untuk maksud

pastoral. Dengan begitu pemberian dan pemberhentian jabatan pastor-paroki

merupakan hak sepenuhnya Uskup diosesan (Kan. 523 dan 538).

Adapun syarat-syarat seseorang layak menjadi pastor paroki adalah (lih. Kan.

521):

1. Ia harus sudah ditahbiskan menjadi imam

Page 8: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

8

2. Ia harus unggul dalam ajaran sehat dan moral

3. Ia harus memiliki perhatian pada jiwa-jiwa dan keutamaan-keutamaan lain

4. Ia harus mempunyai kualitas yang dituntut hukum universal dan partikular untuk

membina paroki yang bersangkutan.

5. Sudah ada kepastian tentang kecakapannya menurut cara yang ditentukan oleh

Uskup diosesan

6. Sudah ada kepastian tentang kecakapannya dari ujian-ujian akademik

Sedangkan tugas-tugas utama yang dipercayakan kepada seorang pastor paroki

adalah (lih. Kan. 528 dan 529):

1. Mengusahakan agar sabda Allah diwartakan secara utuh kepada orang-orang

yang tinggal di parokinya

2. Mengusahakan agar Ekaristi menjadi pusat jemaat parokial kaum beriman

3. Mengenal kaum beriman yang dipercayakan kepada reksanya

4. Secara aktif mengembangkan peranan khas yang dimiliki umat awam dalam

tugas pengutusan Gereja di tengah masyarakat.

Selain tugas-tugas utama tersebut sebagai misi yang harus dilaksanakan oleh

seorang pastor-paroki, ada juga fungsi-fungsi khusus yang dipercayakan kepadanya

sebagai reksa pastoral. Fungsi-fungsi itu adalah (lih. Kan. 530):

1. Pelayanan baptis

2. Pelayanan sakramen penguatan kepada mereka yang berada dalam bahaya

mati

3. Pelayanan viatikum (bekal suci) dan juga pengurapan orang sakit

4. Peneguhan nikah dan pemberkatan perkawinan

5. Penyelenggaraan upacara pemakaman

6. Pemberkatan bejana baptis di masa Paskah, memimpin prosesi di luar gereja,

dan juga pemberkatan meriah di luar gereja

7. Memimpin perayaan Ekaristi pada hari-hari minggu dan hari-hari raya wajib.

Page 9: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

9

3. Keuangan Paroki

Setelah memahami paroki berikut hakekatnya sebagai tanda keselamatan Allah

di tengah dunia dan pastor paroki sebagai pemimpinnya berikut reksa pastoral yang

dipercayakan padanya, pertanyaan fundamental yang mencuat adalah bagaimana

semuanya itu bisa dilaksanakan secara maksimal, efektif dan berdaya guna? Sudah

barang tentu tugas-tugas perutusan paroki sebagai Gereja setempat di tengah

masyarakat dan reksa pastoral pastor-paroki bisa terlaksana jika tersedia sarana

pendukung yakni uang.

Maka beberapa pertanyaan pantas diajukan, yakni adakah dasar yuridis yang

menjamin keharusan adanya keuangan paroki? Dari mana sumber pendapatan paroki?

Bagaimana pastor-paroki mengelolanya? Apakah umat awam bisa dilibatkan dalam

pengelolaannya? Mana landasan teologis atau spiritualitas dari pengelolan keuangan

paroki? Deretan pertanyaan ini akan dijawab pada bagian ini.

3.1 Dasar Yuridis Keuangan Paroki

Buku Lima dari Kitab Hukum Kanonik yang mengatur harta benda Gereja tidak

secara eksplisit dan spesifik menyebut keuangan paroki. Yang diatur di sana adalah

harta benda Gereja dan pengelolaannya. Pertanyaannya di mana posisi keuangan

paroki?

Pada refleksi teologis paroki (lih. 1.5) telah disebutkan bahwa paroki adakah

Gereja setempat yang kongkrit sehingga hakekat dan tugas perutusan Gereja universal

menjadi juga hakekat dan tugas perutusan paroki. Sementara keuangan sendiri dapat

dipandang sebagai salah satu bagian dari harta benda Gereja. Dengan demikian apa

yang diatur dalam Buku Lima bisa diterapkan dalam lingkup paroki.

Maka dasar yuridis dari pengadaan keuangan paroki adalah “Gereja Katolik

mempunyai hak asli, tidak tergantung pada kuasa sipil, untuk memperoleh, memiliki,

mengelola dan mengalihmilikkan harta benda guna mencapai tujuan-tujuannya yang

khas” (Kan. 1254 § 1). Selain itu, “Gereja dapat memperoleh harta benda dengan

semua cara yang adil baik menurut hukum kodrat maupun menurut hukum positif, sama

seperti yang diperbolehkan bagi semua orang lain” (Kan. 1259).

Page 10: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

10

3.2 Dasar Biblis

Jika Gereja secara yuridis dalam hal ini paroki memiliki hak asli atas keuangan

dan sah mengusahakan dan mengelolanya secara baik dan benar, maka manakah

dasar biblisnya?

Dalam Perjanjian Baru diceritakan bahwa Yesus dan para Rasul-Nya memiliki

pundi-pundi untuk memenuhi kebutuhan mereka dan membantu orang miskin (Yoh.

12:6;13:29). Dalam Kisah Para Rasul juga terdapat kisah mengenai jemaat Kristen awal

yang memperlakukan harta milik masing-masing sebagai milik bersama, atau

mempersembahkan hasil penjualan tanah atau rumah mereka kepada para Rasul (Kis.

2:44-45; 4:34-35). Selain itu, Rasul Paulus pernah membawa sumbangan yang

dikumpulkan oleh umat Makedonia dan Akhaya untuk membantu mereka yang miskin di

Yerusalem (Kis. 15:25-28).

Kisah-kisah ini mengindikasikan bahwa jalannya karya perutusan dan pelayanan

baik Yesus dan para Rasul-Nya maupun Gereja perdana ditunjang oleh adanya materi

dalam hal ini uang. Maka memiliki dan mengelola uang yang diperuntukkan bagi tugas

perutusan adalah sebuah keniscayaan.

Tetapi Kitab Suci terutama Perjanjian Baru tidak hanya berkisah tentang

pentingnya materi dalam tugas perutusan. Terdapat juga dalam Injil kisah-kisah

kontradiktif. Misalnya, Yesus yang melarang para murid-Nya membawa emas, perak

atau tembaga dalam ikat pinggang selama mereka menjalankan tugas perutusan.

Bahkan, lebih ekstrim lagi, para Rasul diminta untuk tidak membawa bekal, dua helai

baju, kasut atau tongkat (Mat. 10:9-10 par). Yesus bahkan pernah meminta seorang

pemuda kaya untuk menjual seluruh harta miliknya, membagikannya kepada kaum

miskin dan mengikuti Yesus (Luk. 18:22 par). Yesus juga pernah bersabda bahwa

barangsiapa tidak melepaskan diri dari harta miliknya, tidak dapat menjadi murid-Nya

(luk. 14:33). Singkatnya, di suatu waktu Yesus berbicara dan menunjukkan dengan

tindakan bahwa memiliki materi penting bagi tugas perutusan tetapi di waktu lain Ia

menuntut semangat kemiskinan dari pengikut-Nya. Bagaimana memahami kenyataan

ini?

Page 11: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

11

Mengenai sikap Yesus dan cara hidup jemaat perdana sehubungan dengan

kepemilikan harta benda ini, bisa ditarik tiga aspek fundamental yang bisa dijadikan

legitimasi atau justifikasi bagi kepemilikan dan pengelolaan keuangan paroki. Pertama,

perlu ada semangat dan mentalitas dasar yang benar, yakni kemiskinan dan pelayanan.

Kedua, harus ditetapkan cara-cara yang legitim dan tepat untuk memiliki dan mengelola

keuangan paroki. Ketiga, harus dirumuskan tujuan yang benar bagi setiap pemilikan

dan pengelolaan keuangan paroki. Tiga aspek ini imperatif sifatnya dalam hal pemilikan

dan pengelolaan keuangan paroki.

Paroki memiliki dan mengelola keuangan atas dasar semangat pelayanan sambil

tetap mempertimbangkan model kemiskinan injili. Dalam mengumpulkan dana,

mengelola dan menyalurkannya pun harus dengan cara-cara yang baik dan benar. Dan

kesemuanya ditujukan demi tercapainya tujuan-tujuan khas dari paroki sebagai tanda

dan sarana keselamatan Allah di tengah masyarakat. 5

3.3 Asal-Usul Keuangan Paroki

Dari mana sumber keuangan paroki? Gereja dalam hal ini paroki adalah sebuah

institusi dengan roda pelayanan yang terus bergerak, dan karenanya membutuhkan

sarana-sarana duniawi (dalam hal ini uang) untuk menggerakan secara terus menerus

roda tersebut. Tetapi kenyataan ini tidak bisa dipakai sebagai legitimasi untuk mengais

dana dari umat. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan paroki akan keuangan adalah hak

dan kewajiban umat, yang bersumber secara langsung dan spontan dari rahmat

sakramen inisiasi (baptis, krisma, dan ekaristi) yang mereka terima.

Hukum Gereja secara secara jelas menggariskan bahwa semua umat beriman

krisiani, tanpa terkecuali, melalui pembaptisan dipanggil untuk menjalankan perutusan

yang dipercayakan Allah kepada Gereja sesuai dengan kedudukan mereka masing-

masing. Dengan pembaptisan yang sama, seseorang sekaligus digabungkan dengan

Gereja dan berpartisipasi dalam karya perutusannya. Selain itu, pembaptisan

menempatkan umat beriman pada kedudukan yang setara dalam martabat dan dalam

tugas membangun Gereja Kristus sesuai dengan kondisi khas dan tugas masing-

5 Lih. Ibid, hlm. 112-113.

Page 12: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

12

masing (Kan. 208). Berdasarkan kesamaan martabat dan kebersamaan dalam tugas

dan tanggung jawab itulah kaum beriman kristiani memiliki hak dan kewajiban

fundamental untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja agar tersedia bagi mereka

apa yang untuk ibadah ilahi, karya kerasulan dan amal kasih serta penghidupan yang

wajar bagi para pelayan Gereja (Kan. 222 § 1). Bahkan, hal itu merupakan hak umat

sendiri yang bisa mereka laksanakan secara bebas tanpa pembatasan apapun dari

otoritas sipil (Kan. 1261 § 1). Jadi, hak dan kewajiban ini bersumber secara langsung

dan spontan dari rasa menggereja (sensus ecclesiae) atau rasa komunitas yang sejati,

yang diwujudkan dalam tanggung jawab bersama, partisipasi dan solidaritas.6

Sekalipun hak dan kewajiban itu seharusnya dihayati secara spontan oleh umat,

namun sering terjadi sebagian dari mereka lupa atau lalai. Maka, tidak ada salahnya

jika, otoritas gerejawi, yakni uskup diosesan, sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum

Kanonik, wajib memperingatkan umat mengenai kewajiban mereka itu, bahkan

mendesak dengan cara yang tepat agar kewajiban itu mereka penuhi (Kan. 1261 § 2).

“Cara yang tepat” mengandaikan analisis yang teliti dan tepat lebih dahulu mengenai

kebutuhan, sumber daya, dan dana yang tersedia atau yang bisa disediakan. Cara itu

tidak menggunakan model yang pemaksaan dengan kekerasan, melainkan model

persuasif yang ditimba dari nilai-nilai kristiani.7

3.4. Fungsi Keuangan Paroki

Dalam Kitab Hukum Kanonik (Kan. 1254 § 2) digariskan fungsi keuangan paroki,

yakni:

1. Mengatur ibadah ilahi

2. Memberi sustentasi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain

3. Melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya-karya amal kasih,

terutama terhadap mereka yang berkekurangan

6 Lih. Alf. Catur Raharso, Pr., “Partisipasi Umat dalam Pengelolaan Harta Benda Paroki” dalam Demokratisasi dalam Paroki: Mungkinkah?, Al. Andang Binawan (Peny.), (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 117.

7 Ibid.

Page 13: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

13

Tujuan-tujuan khas ini jelas sekali menunjukkan bahwa kepemilikan dan

pengelolaan keuangan dalam paroki semata-mata mempunyai fungsi instrumental dan

sosial.

Fungsi instrumental berarti bahwa harta benda [termasuk keuangan] tidak pernah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi melulu sebagai sarana dan alat untuk mengejar tujuan-tujuan tertentu yakni mengemban dengan setia dan murni perutusan khas yang diberikan Kristus kepada Gereja… Fungsi sosial berarti bahwa kepemilikan dan pengelolaan harta benda dalam Gereja [dalam hal ini paroki] ditujukan untuk menumbuhkembangkan kehidupan dan aktivitas paguyuban umat Allah sendiri serta untuk melayani orang miskin.8

4. Pastor Paroki sebagai Pengelola Keuangan Paroki 4.1 Mengapa Pastor Paroki?

Menurut hukum gereja, paroki yang didirikan secara legitim adalah badan hukum

(Kan. 515 § 3). Sebagai badan hukum, paroki mengelola keuangannya melalui aktivitas

pribadi-pribadi fisik yang bekerja entah secara individual maupun kolektif, yang disebut

“organ” badan hukum. Hukum Gereja menegaskan bahwa pada dasarnya kompetensi

untuk mengelola harta benda gerejawi dimiliki oleh orang yang secara langsung

memimpin badan yang memiliki harta itu. Hanya sebagai kekecualian, hokum particular

atau statuta atau kebiasaan yang legitim menentukkan lain dengan tetap berlaku

wewenang ordinaris untuk campur tangan apabila pengelola lalai (Kan. 1279 § 1).

Berdasarkan aturan ini, tanggung jawab pengelolaan keuangan otomatis berada di

tangan pastor paroki. Ini mengingat reksa pastoral paroki diserahkan oleh uskup

diosesan kepadanya. Dan reksa pastoral tersebut tidak hanya meliputi aspek

sakramental, liturgis, kateketis dan karitatif saja, tetapi juga dari aspek sipil, administratif

dan pidana (Kan. 515 §1). Selanjutnya hukum menentukkan bahwa yang mewakili

badan hukum publik dan bertindak atas namanya ialah orang yang kewenangannya

diakui oleh hukum universal atau partikular atau dalam statutanya sendiri (Kan. 118).

Orang yang dimaksud itulah pastor paroki yang dalam semua urusan yuridis mewakili

badan hukum paroki, menurut ketentuan hukum (Kan. 532). Dengan demikian, pastor

8 Ibid, hlm. 114-115.

Page 14: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

14

paroki adalah organ individual atau administrator yang bertindak untuk dan atas nama

badan hukum paroki. Sekalipun pengelolaan keuangan paroki berada di dalam tangan

pastor paroki, keuangan paroki tetaplah menjadi milik paroki bersangkutan. Dalam hal

ini, pastor paroki hanya menjalankan fungsi administrator.9

4.2 Model Pengelolaan Keuangan Paroki

Dalam Buku Lima Kitab Hukum Kanonik terutama pada Kan. 1281-1288 telah

diatur cara pengelolaan harta benda gerejawi termasuk keuangan paroki. Pastor paroki

sebagai administrator keuangan paroki wajib menaati ketentuan tersebut. Misalnya,

sebelum memulai tugasnya ia harus berjanji di bawah sumpah di hadapan ordinaris

atau orang yang dikuasakan bahwa ia akan mengelola keuangan paroki dengan baik

dan setia (Kan. 1283, 1º). Setelah itu yang harus dilakukan oleh seorang pastor paroki

adalah:

a. Mengawasi agar harta benda (dalam hal ini keuangan) yang dipercayakan

kepada reksanya janganlah hilang atau mengalami kerugian dengan cara

apapun; kalau perlu, untuk tujuan itu, dengan membuat kontrak asuransi

b. Mengusahakan agar pemilikan harta benda gerejawi diamankan dengan cara-

cara yang sah secara sipil

c. Mengindahkan ketentuan-ketentuan hokum, baik kanonik maupun sipil, atau

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pendiri, atau penderma, atau otoritas

yang legitim, dan terutama harus menjaga agar Gereja jangan mengalami

kerugian karena tidak diindahkannya undang-undang sipil

d. Menuntut secara cermat dan pada waktu yang tepat hasil harta benda serta

keuntungannya; menyimpannya dengan aman dan menggunakan sesuai dengan

maksud pendiri atau norma-norma yang legitim

e. Membayar pada waktunya bunga pinjaman atau hipotek yang harus dibayarkan

dan mengusahakan dengan baik pengembalian modal itu

9 Lih. Ibid, hlm. 118-121.

Page 15: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

15

f. Dengan persetujuan ordinaris, memanfaatkan uang yang tersisa dari

pengeluaran dan menginvestasikannya secara berguna untuk tujuan-tujuan

badan hukum

g. Memelihara dengan baik buku-buku pemasukan dan pengeluaran

h. Membuat laporan pengelolaan pada akhir tahun

i. Mengatur dan memelihara dalam arsip yang rapi dan serasi dokumen-dokumen

serta barang-barang bukti yang memberikan dasar hak-hak Gereja ataupun

lembaga terhadap harta bendanya; jika dapat dilakukan dengan mudah, berkas-

berkas yang otentik haruslah disimpan dalam arsip kuria (Kan. 1284 §1-2).

Catatan penting dalam model pengelolaan keuangan paroki ini adalah pastor

paroki dituntut menjadi administrator yang handal. Maka sudah sewajarnya jika seorang

pastor paroki memperluas keterampilan pastoralnya sehingga bukan hanya kemahiran

berkotbah saja yang dimilikinya tetapi juga keterampilan dalam managemen keuangan.

Dengan managemen dimaksudkan bahwa pastor paroki harus terampil memainkan

fungsi-fungsi yang melekat di dalamnya terkait pengelolaan keuangan paroki seperti

perencanaan anggaran, penyusunan dan atau pengaturan anggaran, penggerakan dan

pengarahan, pengawasan (termasuk di dalam fungsi terakhir ini yaitu pencegahan

penyelewengan) dan pelaporan.10

Kalau pastor paroki mengelola dengan buruk maka resiko yang akan

dihadapinya sesuai ketentuan hukum adalah diberhentikan dan dicabut jabatan.

Kelengahan yang mengandung kesalahan, melakukan atau melalaikan perbuatan

kuasa, pelayanan ataupun tugas gerejawi secara tidak legitim berkaitan dengan

pengelolaan keuangan paroki dapat berujung juga pada pemberhentian dan

pencabutan jabatan (Kan. 1741, 5º dan 1389 §2).

10 Lih. CH. Melchers, SJ, Management Paroki, (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta: 1979), hlm. 6-10.

Page 16: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

16

4.3 Peran Serta Awam

Jika pastor paroki secara legitim dan sah menjadi administrator keuangan paroki,

bagaimana posisi kaum awam dalam paroki tersebut? Apakah kaum awam bisa

dilibatkan dalam pengelolaannya? Hukum secara jelas mengisyaratkan bahwa kaum

awam mendapat tempat juga dalam pengelolaan keuangan paroki. “Di setiap paroki

hendaknya ada dewan keuangan yang diatur oleh hukum universal juga oleh norma-

norma yang dikeluarkan uskup diosesan; dan dalam dewan keuangan itu kaum beriman

kristiani dipilih menurut norma-norma itu, hendaknya membantu pastor-paroki dalam

mengelola harta benda paroki, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 532” (Kan. 537).

Dari ketentuan bisa ditarik beberapa hal penting untuk digarisbawahi. Pertama,

dengan kanon ini Gereja institusional menghargai peran dan martabat awam yang

sejajar karena sakramen-sakramen inisiasi untuk terlibat dalam pengelolaan keuangan

paroki sebagai Dewan Keuangan Paroki (DKP). Nilai komunal sebagai satu kesatuan

umat Allah hendak dikedepankan di sini. Kedua, tetapi keterlibatan ini tidak serta merta

atau otomatis. Syaratnya adalah sesuai dengan ketentuan atau norma yang berlaku

entah itu secara universal ataupun lokal (keuskupan). Pun tidak semua umat beriman

terlibat, hanya mereka yang dipilih atas dasar kompetensi yang dimiliki saja. Syarat

lainnya adalah tingkat keterlibatan itu bersifat membantu dan dengan demikian bisa

ditafsirkan sebagai suara konsultatif belaka. Karena sifatnya yang konsultatif, maka

pastor-paroki bebas untuk menerima atau menolak pertimbangan yang diberikan oleh

DKP. Konsekwensi logis di balik ini adalah pastor paroki dan DKP adalah tim kerja

dalam hal pengelolaan keuangan paroki tetapi tidak berada dalam derajat yang sama.

Peranan dan fungsi pastor paroki dan DKP berbeda dan tersusun secara hirarkis.

Dalam hal pengambilan keputusan, DKP memberikan pertimbangan dan penilaian

untuk selanjutnya dikonfirmasi dan disetujui oleh pastor paroki. Jadi, pengambilan

keputusan tidak dilaksanakan dengan model voting. Model pengambilan keputusan

seperti ini juga mencerminkan dimensi komunal dari Gereja.11

11 Bdk. Alf. Catur Raharso, Pr., “Partisipasi Umat dalam Pengelolaan Harta Benda Paroki”, hlm. 123-132.

Page 17: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

17

5. Catatan Kritis

Setelah menelaah konsep-konsep, ajaran-ajaran dan ketentuan-ketentuan

gerejawi tengtang pengelolaan keuangan di paroki, beberapa catatan kritis pantas

diangkat. Catatan kritis ini lebih sebagai hasil pengamatan kami selama bertahun

pastoral tentang praktek pengelolaan keuangan di paroki. Karena itu catatan kritis ini

bisa dibaca sebagai masukan tetapi juga sekedar menyebut tantangan riil di medan

pastoral

a. Umat sangat terbatas kemampuan finansialnya sehingga tingkat partisipasinya

pun amat rendah dan minim. Pastor paroki ‘terpaksa’ secara kreatif

mengusahakan sendiri keuangan paroki, tak jarang melalui jalur bisnis. Soalnya

adalah cara tak jarang menjadi problematis karena tujuannya amat terbuka

terhadap pemenuhan kepentingan-kepentingan yang bukan bersifat parochial.

b. Ketidaksiapan para imam terutama pastor paroki untuk memegang kendali

sebagai administrator keuangan paroki. Ketidaksiapan ini baik dalam hal mental.

Bisa jadi ini disebabkan oleh ketidakbiasaan mengelola uang dalam jumlah yang

relatif besar sekaligus. Tetapi juga ketidaksiapan dalam hal teknis management.

Jelas ini terjadi karena pendidikan formal untuk mempersiapkan calon imam

dalam bidang management keuangan. Dengan sendirinya tantangan ini menjadi

masukan bagi Sekolah Tinggi untuk memasukan kurikulum management ke

dalam silabus semester mahasiswa.

c. Ketidakselarasan antara semangat pelayanan dan kemiskinan, cara

mengumpulkan dana dan pengelolaannya dan tujuannya pemakaiannya untuk

penyelamatan jiwa-jiwa. Tak jarang ditemukan ada penyelewengan keuangan

oleh pastor paroki untuk kepentingan tertentu yang bukan untuk kebaikan paroki.

d. Pengelolaan keuangan di paroki oleh pastor paroki masih bersifat tertutup,

rahasia, dan “disimpan sendiri semua laporannya alias umat tidak perlu tahu”.

Seyogyanya (jika tidak seharusnya) diterapkan prinsip transparansi dan

akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan paroki.

Page 18: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

18

e. Pastor paroki tidak memberdayakan secara maksimal kompetensi yang dimiliki

Dewan Keuangan Paroki sehingga kesannya ‘single fighter’. Keberadaan DKP

pun dirasakan hanya formalitas belaka.

f. Di sisi lain, peran DKP bisa jadi terlalu dominan bahkan mendominasi sehingga

suara DKP tidak lagi bersifat konsultatif, pengambilan keputusan ditempuh

dengan cara voting dan tidak mengindahkan konfirmasi dan persetujuan pastor

paroki. Peran DKP menjadi sangat superior terhadap pastor paroki. Karena itu

perlu dibuat statute yang lebih tegas dan jelas mengenai posisi hirarkis,

pembagian peran dan tanggung pastor paroki dan DKP.

Penutup

Pada awalnya adalah seorang beriman yang dipanggil untuk menjelajah negeri

asing dan tinggal di sana. Dari sana cikal bakal paroki lahir. Setelah mengalami

sejumlah pergeseran makna dan bentuk, kini Gereja tampil dalam wajah yang

mengumat dan memasyarakat. Tujuan utamanya adalah demi penyelamatan jiwa-jiwa.

Dan tujuan luhur itu tentu saja membutuhkan sarana-sarana duniawi, yakni uang untuk

memungkinkan berjalan lancar. Paroki sebagai badan hukum secara legitim bisa

memiliki dan mengelola sendiri di bawah koordinasi penuh pastor paroki. Tentu saja di

depan mata masih terbentang tantangan-tantangan yang menghadang. Bahkan tak

jarang menghambat dan menghentikan gerak maju Gereja lokal dalam tugas

penyelamatan jiwa. Tugas berat ke depan adalah mempersiapkan imam-imam yang

mempuni di bidang pengelolaan keuangan dan menyadarkan umat akan peran

sertanya dalam gerak pelayanan Gereja. Hanya dengan demikian tujuan Gereja

sebagaimana diidealkan dapat terlaksana.

Page 19: Pastor Paroki Dan Pengelolaan Keuangan Paroki

19

Daftar Pustaka

Catur Raharso, Pr. Alf. “Partisipasi Umat dalam Pengelolaan Harta Benda Paroki”. Dalam Demokratisasi dalam Paroki: Mungkinkah?, Al. Andang Binawan. Peny. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Konferensi Waligereja Indonesia. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 2006.

Mardikartono, JB. Paroki Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1989.

Melchers, SJ, CH. Management Paroki. Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta: 1979.