pasar modern dan tradisional di indonesia.pdf

28
Dikumpulkan 14 November 2011 PASAR MODERN DAN PASAR TRADISIONAL DI INDONESIA “Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Industri Ritel Semester VII Tahun Ajaran 2011” Disusun Oleh Kelompok 5: Wendi Irawan D 150310080137 Sandra Rosandy 150310080141 Indah Dian Ning 150310080144 Eva Riani 150310080145 Satria Harianto 150310080156 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011

Upload: alvian-gabriel

Post on 10-Aug-2015

283 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

eksistensi pasar

TRANSCRIPT

Page 1: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

Dikumpulkan 14 November 2011

PASAR MODERN DAN PASAR TRADISIONAL DI INDONESIA

“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Industri Ritel

Semester VII Tahun Ajaran 2011”

Disusun Oleh Kelompok 5:

Wendi Irawan D 150310080137

Sandra Rosandy 150310080141

Indah Dian Ning 150310080144

Eva Riani 150310080145

Satria Harianto 150310080156

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2011

Page 2: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

Kehadiran pasar modern, terutama supermarket dan hipermarket, dianggap

oleh berbagai kalangan telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional di

perkotaan. Di Indonesia, terdapat 13.450 pasar tradisional dengan sekitar 12,6 juta

pedagang kecil (Kompas 2006). Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen, pasar

modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional

menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan jutaan

pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. Pasar tradisional mungkin

akan tenggelam seiring dengan trend perkembangan dunia ritel saat ini yang

didominasi oleh pasar modern.

Pesatnya pembangunan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak

berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Di satu sisi, pasar modern

dikelola secara profesional dengan fasilitas yang serba lengkap; di sisi lain, pasar

tradisional masih berkutat dengan permasalahan klasik seputar pengelolaan yang

kurang professional dan ketidaknyamanan berbelanja. Pasar modern dan

tradisional bersaing dalam pasar yang sama, yaitu pasar ritel. Hampir semua

produk yang dijual di pasar tradisional seluruhnya dapat ditemui di pasar modern,

khususnya hypermarket. Semenjak kehadiran hypermarket di Jakarta, pasar

tradisional di kota tersebut disinyalir merasakan penurunan pendapatan dan

keuntungan yang drastic (Kompas 2006).

Meskipun demikian, argumen yang mengatakan bahwa kehadiran pasar

modern merupakan penyebab utama tersingkirnya pasar tradisional tidak

seluruhnya benar. Hampir seluruh pasar tradisional di Indonesia masih bergelut

dengan masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan

prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk

penerimaan retribusi,1 menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang mengurangi

pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi

pedagang tradisional. Keadaan ini secara tidak langsung menguntungkan pasar

modern.

Page 3: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

Pedagang yang terlebih dahulu bangkrut biasanya adalah pedagang yang

menjual aneka barang, makanan olahan, dan produk-produk olahan susu, diikuti

oleh toko-toko yang menjual bahan makanan segar dan pasar tradisional. Mereka

hanya dapat bertahan selama beberapa tahun. Setelah itu, tinggal pedagang yang

berdagang produk-produk spesifik atau mereka yang berdagang di daerah yang

dilindungi dari keberadaan supermarket saja yang dapat tetap bertahan.

Page 4: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Mengenai Pasar Tradisional dan Modern

Bermula dari Keppres No 96/2000 tentang usaha tertutup dan terbuka bagi

penanaman modal asing (PMA) yang memasukkan ritel terbuka bagi asing, ritel

asing-pun menguasai berbagai kota. Akibatnya hipermarket tumbuh dari 83 pada

2005 menjadi 121 pada 2007, minimarket dari 6.465 tahun 2005 menjadi 8.889

pada 2007. Pada 2002-2008 Pasar Modern tumbuh 31,4 %. Bahkan, pada 2009

peritel asing, Wallmart, Casino, Tesco, dan Central Thailand, berebut masuk.

Adapun, Pasar Tradisional pada 2002-2008 turun 11,7 %. Sepuluh tahun terakhir,

pedagang Pasar Tradisional turun 40%. Pesatnya pembangunan Pasar Modern

dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan Pasar Tradisional.

Untuk itu dibuatlah peraturan untuk mengatur mengenai perdagangan ritel.

Peraturan-peraturan nasional yang ada mengenai perdagangan ritel adalah

keputusan menteri perdagangan, yang dikeluarkan pada 1997 dan 1998.

Mengingat lemahnya kedudukan SK menteri dalam sistem hukum di Indonesia,

pemerintah saat ini tengah merumuskan rancangan peraturan presiden mengenai

pasar modern (Rancangan Peraturan Presiden tentang Toko Modern dan Pasar

Modern). Namun demikian, rancangan tersebut tidak memuat sanksi pidana bagi

pasar modern bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut karena

pemberlakuan sanksi dalam peraturan presiden dianggap melanggar

perundangundangan nasional. Dengan demikian, kedudukan peraturan presiden

tidak akan jauh berbeda dengan SK menteri. Terlebih lagi, beberapa pasalnya

tidak mudah untuk diimplementasikan. Salah satu contohnya adalah pasal 3,

paragraf 4 yang menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasar modern dan/atau

dua toko modern yang diizinkan untuk setiap satu juta orang.

Dengan demikian, Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan perubahan

bentuk peraturan dari peraturan presiden menjadi perundang-undangan nasional

atau menyerahkannya kepada kebijakan pemda. Mengingat sistem pemerintahan

di Indonesia telah terdesentralisasi, Pemerintah Pusat seharusnya hanya

bertanggung jawab untuk memantau investor dalam dan luar negeri, sementara

Page 5: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

pemda memiliki hak penuh untuk mengeluarkan izin operasi dan kegiatan bisnis.

Di tingkat lokal, saat ini hanya segelintir pemda yang memiliki peraturan daerah

yang secara khusus mengatur industri ritel modern. Peraturan Pemda DKI No.

2/2002 tentang Pasar Swasta di Jakarta, yang dilaksanakan melalui SK Gubernur

DKI Jakarta No. 44/2003, merupakan salah satu contoh perda mengenai pasar

modern. Perda tersebut mengatur jenis pasar swasta; klasifikasi pasar berdasarkan

jumlah modal pelaku usaha dan luas lantainya; syarat-syarat pembukaan pasar

swasta; dan jarak yang wajib diperhatikan antara pasar modern dan pasar

tradisional. Di wilayah lain di mana peraturan-peraturan seperti itu belum

dimiliki, pemdanya mendasarkan kebijakannya pada perundang-undangan

nasional.

Tabel. Regulasi Berkenaan dengan Pasar Tradisional dan Pasar Modern

Meski memiliki banyak batasan-batasannya, rancangan peraturan tentang

pasar modern dan peraturan tentang pengelolaan pasar tidak secara gamblang

menjelaskan tugas dan tanggung jawab khusus dari masing-masing dinas pasar

terkait. Demikian juga, peraturan tersebut tidak memuat hak atau tanggung jawab

pedagang dan pengelola pasar, demikian pun sanksi bagi pemda atau pedagang

yang melanggarnya. Selain itu, sosialisasi peraturan ini masih lemah.

Page 6: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

2.1 Perkembangan Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota Besar di

Indonesia

2.2.1 Perkembangan Pasar Modern di Kota Besar di Indonesia

Supermarket di Indonesia semuanya milik swasta dan izinnya dikeluarkan

oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Pemda umumnya

tidak berwewenang untuk menolak izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat,

meskipun beberapa pemda mensyaratkan agar supermarket mengajukan izin lokal.

Sebagai contoh, Pemda Depok mensyaratkan agar supermarket memiliki Izin

Usaha Pasar Modern (IUPM), yang dikeluarkan oleh Depdag dan Izin Prinsip

Pembangunan Pasar Modern (IP3M), yang dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan

dan Perindustrian Kota Depok. Selain izin yang dikeluarkan secara terpusat,

supermarket biasanya harus mendapatkan izin lokal lainnya yang diperlukan oleh

setiap usaha pribadi, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan

(HO). Keadaan ini mirip dengan yang terjadi di Bandung, meskipun Pemda

Bandung telah menyiapkan rancangan peraturan tentang usaha ritel modern.

Supermarket pertama di Indonesia dibuka pada 1970-an, dan jumlahnya

meningkat dengan pesat antara 1977 dan 1992—dengan rata-rata pertumbuhan

85% setiap tahunnya. Hypermarket muncul pertama kali pada 1998, dengan

pembukaan pusat belanja Carrefour dan Continent (yang kemudian diambil alih

oleh Carrefour) di Jakarta. Dari 1998 hingga 2003, hypermarket bertumbuh rata-

rata 27% per tahun, dari 8 menjadi 49 toko. Kendati tidak mudah memastikan

jumlah supermarket dan hypermarket di seluruh Indonesia, sejak 2003, sekitar

200 supermarket dan hypermarket merupakan milik dari 10 pemilik ritel terbesar

(PricewaterhouseCoopers 2004).

Pertumbuhan supermarket dalam hal pangsa pasar juga mengesankan.

Laporan World Bank (2007) menunjukkan bahwa pada 1999 pasar modern hanya

meliputi 11% dari total pangsa pasar bahan pangan. Menjelang 2004, jumlah

tersebut meningkat tiga kali lipat menjadi 30%. Terkait dengan tingkat penjualan,

studi tersebut menemukan bahwa jumlah penjualan di supermarket bertumbuh

rata-rata 15%, sementara penjualan di ritel tradisional menurun 2% per tahun.

PricewaterhouseCoopers (2004) memperkirakan bahwa penjualan di supermarket

akan meningkat 50% antara 2004 dan 2007, dengan penjualan di hypermarket

Page 7: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

yang meningkat 70% pada periode yang sama. Menurut laporan AC Nielsen Asia

Pacific Retail and Shopper Trend 2005, kecenderungan publik untuk berbelanja di

pasar-pasar tradisional telah mengalami penurunan rata-rata 2% per tahun. Meski

pertumbuhan jumlah supermarket di Indonesia terbilang pesat, penduduk yang

tinggal di luar Jakarta dan beberapa kota kecil lainnya di Jawa relatif belum

tersentuh—86% hypermarket berada di Jawa.

Profil lima jaringan supermarket terbesar di Indonesia dibahas berikut ini.

Dari kelimanya, jaringan Carrefour dan Superindo menyertakan perusahaan asing

sebagai pemegang saham terbesar. Jaringan-jaringan besar ini beroperasi di kota-

kota besar di Indonesia, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tiga dari lima jaringan

terbesar membuka supermarket dan hypermarket, Carrefour secara khusus

mengoperasikan hypermarket, sedangkan Superindo hanya mengoperasikan

supermarket. Selain jaringan-jaringan besar tersebut, terdapat jaringan

supermarket yang lebih kecil, terutama yang beroperasi di luar Jakarta dan

berfokus di satu wilayah tertentu. Daftar usaha ritel utama didiskusikan di bawah

ini, dimulai dari yang tertinggi hingga terendah berdasarkan angka penjualan.

Matahari, usaha ritel terbesar di Indonesia, pertama kali membuka tempat

belanjanya (department store) pada 1958. Supermarket pertama dibuka pada 1995.

Pada 2002, Matahari mendirikan dua entitas bisnis terpisah, yang satu mengelola

department store, yang lain mengelola supermarket. Matahari kemudian membuka

hypermarket pertamanya, yang diberi nama Hypermart, pada 2004. Nilai

penjualan yang tergabung dalam jaringan Matahari pada 2005 mencapai Rp 7

triliun (Matahari Putra Prima 2006). Pada akhir 2005, Matahari telah memiliki 37

supermarket dan 17 Hypermart, dan masih banyak lagi yang direncanakan di masa

depan.

Usaha ritel terbesar kedua adalah yang salah satu yang termuda di

Indonesia. Carrefour masuk Indonesia pada 1998, dan menjadi pioner

hypermarket di Indonesia bersama dengan Continent, yang diambil alih Carrefour

pada 2000. Pada 2004 Carrefour memiliki 15 hypermarket. Total nilai penjualan

pada 2004 mencapai Rp 4,9 triliun (PricewaterhouseCoopers 2004).

Pemain utama ketiga adalah Hero, jaringan supermarket domestik terbesar

dan tertua di Indonesia. Jaringan ini mulai beroperasi pada 1970-an, dan pada

Page 8: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

2005 Hero telah memiliki 99 supermarket. Saat ini, sekitar 30% saham Hero

dikuasai oleh Dairy Farm International (DFI), sebuah perusahaan yang berbasis di

Hong Kong. Pada 2002, Hero turut meramaikan ―boom‖ hypermarket di

Indonesia dengan membuka Giant, merek usaha ritel Malaysia yang juga dikuasai

oleh DFI. Pada 2004 terdapat 10 hypermarket Giant di Indonesia. Total penjualan

yang tergabung dalam Hero pada 2004 mencapai Rp 3,8 triliun.

(PricewaterhouseCoopers 2005).

Pemain peringkat empat, Alfa, mulai beroperasi pada 1989 dan pada 2004

memiliki 35 supermarket dan hypermarket di seluruh Indonesia. Total nilai

penjualan pada 2004 mencapai Rp 3,3 triliun (PricewaterhouseCoopers 2004).

Terakhir, usaha ritel terbesar kelima adalah Superindo, yang mulai

beroperasi pada 1997 dan pada 2003 memiliki 38 supermarket. Superindo adalah

perusahaan pribadi, dan Delhaize, sebuah perusahaan ritel Belgia, memiliki

proporsi saham terbesar. Total nilai penjualan Superindo pada 2003 mencapai Rp

985 miliar (PricewaterhouseCoopers 2003).

Barang yang dijual supermarket relatif merupakan barang-barang bermutu

tinggi, dengan harga pasti, harga yang bersaing, dan kadang-kadang ditawarkan

diskon borongan. Telebih lagi, mereka menawarkan aneka pilihan pembayaran,

mulai dari tunai dan kartu kredit hingga pendanaan untuk barang-barang yang

lebih besar. Tempat pembelanjaan juga terang, bersih, dan memiliki fasilitas yang

berfungsi dengan baik, seperti toilet dan tempat makan.

Kunjungan ke kantor pusat supermarket mengungkap bahwa penyediaan

barang dilakukan oleh bagian pembelian (merchandising) yang didasarkan atas

perjanjian kontrak atau nonkontrak. Dalam kontrak tersebut harga dan jumlah

barang dicantumkan sesuai perjanjian untuk dikirimkan berdasarkan jadwal yang

telah ditentukan. Barang-barang dalam kontrak ini umumnya berupa sayuran dan

daging, yang harus memenuhi standar pengemasan dan harus lolos dari standar

yang ditetapkan Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (BPOM)

Pemerintah Pusat. Barang-barang di bawah kontrak umumnya disediakan

berdasarkan konsinyasi. Sebaliknya, perjanjian tanpa kontrak dilakukan melalui

negosiasi berdasarkan kasus per kasus dan berlaku untuk semua produk. Selain

Page 9: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

itu, supermarket lazim mengenakan biaya memajang barang dan menentukan

lamanya periode pembayaran.

Supermarket menerapkan strategi harga campuran dan strategi nonharga

untuk menarik pelanggan dan untuk bersaing dengan para peritel lainnya. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa berbagai strategi penetapan harga digunakan,

seperti strategi penetapan harga batasan untuk menghambat masuknya pelaku

bisnis baru; strategi pemangsaan melalui penetapan harga untuk menyaingi pelaku

bisnis lainnya; dan diskriminasi harga antar waktu yang berarti bahwa

mengenakan harga yang berbeda pada kesempatan yang berbeda, seperti

memberikan diskon pada akhir pekan atau antara jam-jam tertentu. Selain itu,

supermarket juga melakukan survei pada pasar tradisional untuk mendapatkan

perkiraan tingkat harga pasar sehingga mereka akan menjualnya dengan harga

bersaing. Terakhir, praktik subsidi silang kerap dilakukan, saat mereka mengalami

kerugian atas sejumlah barang dagangan dalam rangka memenangkan persaingan.

Contoh-contoh strategi nonharga yang dipakai oleh supermarket adalah jam

operasi yang lebih panjang, khususnya pada akhir pekan toko dibuka hingga larut

malam; pembundelan dan pengikatan, di mana barang-barang berbundel dijual

dengan lebih rendah dibanding jika dijual eceran atau terpisah; transpor umum

gratis dan parkir gratis bagi pelanggan; dan strategi terpenting adalah gencarnya

kampanye melalui iklan. Supermarket berada beberapa tingkat di atas pasar

tradisional di hampir semua aspek kompetisi. Meskipun supermarket tidak

menganggap pasar tradisional sebagai pesaing utamanya, seorang manajer

supermarket yang diwawancarai mengingatkan bahwa pasar tradisional tidak akan

mampu bertahan lebih lama jika pemda tidak berupaya untuk meningkatkan daya

saing pasar tradisional.

Pertumbuhan pasar modern di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang, dan Bekasi) dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Pada 1999–

2004, terjadi peningkatan pangsa pasar supermarket terhadap total pangsa pasar

industri makanan yang cukup tajam dari 11% menjadi 30%. Penjualan

supermarket pun tumbuh rata-rata 15% per tahun, sedangkan penjualan pedagang

tradisional turun 2% per tahunnya (Natawidjadja 2006). Pricewaterhouse Coopers

(2005) memprediksi bahwa penjualan supermarket akan meningkat sebesar 50%

Page 10: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

dari periode 2004 hingga 2007, sedangkan penjualan hypermarket akan meningkat

sebesar 70% untuk periode yang sama. Salah satu penyebab meningkatnya jumlah

dan penjualan pasar modern adalah urbanisasi yang mendorong percepatan

pertumbuhan penduduk di perkotaan serta meningkatnya pendapatan per kapita.

Dari 1998 hingga 2003, hypermarket di seluruh Indonesia tumbuh 27% per tahun,

dari delapan menjadi 49 gerai. Meskipun demikian, pertumbuhan hypermarket

terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek dengan proporsi 58% dari keseluruhan

hypermarket

Sebagai kota penyangga Jakarta, Depok telah mengalami pertumbuhan

ekonomi dan penduduk secara amat pesat. Meski Depok telah menjadi daerah

hunian supermarket selama dekade terakhir, tahun 2004 dan 2005 menjadi era

pembangungan intensif supermarket-supermarket baru. Sebagai akibatnya,

beberapa supermarket yang telah lebih dulu ada tersingkir oleh supermarket yang

baru. Tampak juga minimarket dan berbagai bentuk usaha ritel modern lain yang

mulai menjamur. Hingga kini terdapat 62 usaha ritel modern di Depok, 46 di

antaranya adalah minimarket. Tiga supermarket mulai beroperasi dan salah

satunya membuka toko keduanya di Depok antara Juli 2005 dan Maret 2006:

Carrefour; Hypermart baru sebagai pelengkap Hypermart yang dibuka di daerah

perbatasan antara Depok dan Jakarta; Giant, pelengkap Giant lainnya yang telah

dibuka pada 2003; dan Superindo. Supermarket-supermarket ini dibangun saling

berdekatan di sepanjang sisi jalan yang sama. Jumlah usaha ritel modern di Depok

diperkirakan akan meningkat di masa datang—khususnya minimarket, akibat

relatif mudahnya mendapatkan izin dan relatif kecilnya jumlah modal yang

dibutuhkan untuk membuka minimarket. Akan tetapi, tidak terdapat pengajuan

pembangunan supermarket baru selama 2006. Hanya terdapat satu supermarket

baru yang akan dibuka pada 2007 di Depok, dekat Pasar Musi, pasar yang

bertindak sebagai pasar kontrol dalam studi ini. Akan tetapi, penurunan ini hanya

bersifat sementara—ekspansi direncanakan akan meningkat lagi karena beberapa

alasan, seperti pembangunan jalan tol baru yang menghubungkan Depok dengan

beberapa kota terdekat, dan alasan pertumbuhan penduduk yang kian bertambah.

Di Bandung, department store pertama dibuka pada 1977 dan dikuti

supermarket pertama pada 1979. Ledakan jumlah supermarket di kota ini bermula

Page 11: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

pada 2002. Semua terletak di pusat kota, sering kali saling berdekatan akibat

ketatnya persaingan. Sementara itu, persaingan demikian telah memaksa beberapa

supermarket untuk gulung tikar— terutama supermarket yang memiliki jaringan

lokal seperti Merlin dan Ria—pembangunan supermarket baru kian bertambah.

Sejak 2006, Bandung menjadi tuan rumah bagi 65 supermarket, 6 hipermarket,

dan 3 pusat grosir modern, ditambah minimarket yang tak terhitung.

2.2.2 Perkembangan Pasar Tradisional di Kota Besar di Indonesia

Berbeda dengan supermarket, kebanyakan pasar tradisional merupakan

milik pemda. Pemda di Indonesia umumnya memiliki Dinas Pasar yang

menangani dan mengelola pasar tradisional. Dinas ini mengelola pasar miliknya

sendiri atau bekerja sama dengan swasta. Metode kerja sama umumnya

melibatkan pemberian izin kepada pihak swasta untuk membangun dan

mengoperasikan pasar tradisional di bawah skema Bangun, Operasi, dan Transfer

(BOT), dengan pembayaran oleh pihak swasta kepada Dinas Pasar setiap tahun.

Terdapat beberapa kelas pasar tradisional, umumnya berdasarkan area (luas

meter persegi) dan jumlah pedagang. Metode klasifikasi berbeda pada setiap

pemda, namun biasanya pasar Kelas I atau Kelas A adalah pasar terbesar. Sudah

menjadi kebiasaan bagi Dinas Pasar untuk menentukan target penerimaan tahunan

untuk setiap pengelola pasar, yang lazimnya meningkat setiap tahun. Untuk

beberapa tahun terakhir, proporsi penerimaan dari Dinas Pasar terhadap

pendapatan asli daerah (PAD) di Depok dan Bandung berkisar antara 1,5% hingga

3%. Kegagalan untuk memenuhi target umumnya berdampak pada pergantian

kepala pengelola pasar. Karena itu, tidaklah mengherankan bila didapati banyak

kepala pasar yang lebih mencurahkan perhatian pada tugas untuk memenuhi target

pemungutan retribusi daripada upaya pengelolaan pasar dengan baik.

Terdapat sembilan pasar tradisional di Depok sejak 2006. Yang paling baru

adalah Depok Jaya dan Sentra UKM, sementara Pasar Tradisional Agung

mengalami renovasi total pada 2004. Tabel VI.1 memperlihatkan daftar pasar di

Depok. Pasar tersebut terbagi dalam tiga kelas, yang didasarkan terutama pada

layanan yang tersedia bagi pedagang dan fasilitas yang tersedia di pasar-pasar

Page 12: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

tersebut. Retribusi pasar yang terkumpul dari pasar-pasar Kelas I adalah yang

tertinggi, sementara yang berasal dari Kelas III adalah yang terendah.

Beberapa jenis retribusi pasar ditarik dari pelanggan dan pedagang yang

berada dalam pasar dan pedagang kaki lima (PKL) yang berada dalam radius 300

meter. Ini mencakup retribusi parkir, kebersihan, dan bongkar-muat. Sejak 2004,

total target penerimaan Dinas Pasar Depok dari retribusi mencapai Rp1,6 miliar—

meningkat dua kali lipat dari target 2001 (lihat Lampiran VI). Selain itu, pedagang

di pasar tradisional di Depok disyaratkan untuk memiliki surat keterangan hak

penggunaan tipe bangunan (SKHPTB), yang berlaku hingga 20 tahun dan harus

diperbarui setiap 5 tahun, serta kartu tanda berdagang (KTB) yang harus

diperbaharui setiap tahun.

Di Bandung, terdapat 49 pasar tradisional, 36 di antaranya dimiliki dan

dikelola oleh Dinas Pasar Bandung, sementara sisanya dimiliki dan dikelola

swasta. Pasar pemda tersebar di 17 dari 26 kecamatan yang ada di Bandung.

Sistem klasifikasi pasar di Bandung berbeda dengan Depok dan didasarkan atas

jumlah pedagang dan lokasi pasar. Pasar Kelas I memiliki lebih dari 235 kios, 250

pedagang, dan berada di jalan utama. Bila tidak terletak di jalan utama, sebuah

pasar paling sedikit harus memiliki 475 kios dan 500 pedagang untuk diklasifikasi

sebagai Pasar Kelas I. Pasar Kelas II memiliki kios dan pedagang lebih sedikit,

sedangkan Pasar Kelas III memiliki jumlah pedagang dan kios paling kecil. Dari

Page 13: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

36 pasar pemerintah, 6 di antaranya adalah Pasar Kelas I, 21 Pasar Kelas II, dan 9

Pasar Kelas III. Saat ini hanya terdapat 26 kepala pasar untuk 36 pasar—beberapa

kepala pasar bertanggung jawab atas lebih dari satu pasar. Ketiga pasar perlakuan

yang dikunjungi adalah Pasar Kelas II.

Dinas Pasar Bandung kini sedang merevitalisasi 13 pasar, umumnya dengan

menambah ruang parkir, dan menyediakan tempat berdagang di dalam pasar bagi

para PKL. Selain itu, Dinas Pasar juga telah menandatangani perjanjian dengan

beberapa perusahaan swasta untuk membangun dan mengoperasikan pasar di

lahan Pemda Bandung. Hampir sama halnya dengan Dinas Pasar Depok, Dinas

Pasar Bandung juga telah menetapkan target retribusi tahunan bagi setiap pasar

dengan total Rp4,6 miliar pada 2006 (lihat Lampiran VI). Retribusi yang dibayar

oleh setiap pedagang berbeda-beda sesuai dengan kelas pasar, lokasi kios, jenis

barang yang dijual, dan ukuran kios.

Tidak seperti di Depok, Dinas Pasar di Bandung hanya mengumpulkan

retribusi kios dan keamanan, sementara Dinas Pengelolaan Sampah Bandung

mengumpulkan retribusi kebersihan, dan Dinas Perhubungan Bandung

mengumpulkan retribusi parkir. Jumlah retribusi yang dibayarkan oleh pedagang

untuk keamanan berbeda, berkisar antara Rp300 dan Rp600 per hari, bergantung

pada lokasi kios. Seperti di Depok, Pasar di Bandung semakin banyak dikerubuti

oleh para PKL—mereka umumnya adalah pedagang yang baru saja direlokasi

atau pedagang pasar yang berpindah karena ingin mendapatkan pelanggang atau

meraup untung dari jumlah retribusi yang lebih kecil ketika berdagang di jalan.

2.3 Tingkat Persaingan Ritel Pada Pasar Tradisional

Jenis komoditas yang diperdagangkan di pasar tradisioanal sangat beragam

(lihat tabel1). Masing-masing pedagang menjual rata-rata dua jenis komoditas.

Proporsi terbesar menjual sayur segar yang diikuti oleh bahan makanan dan

minuman. Tingginya tingkat kompetisi di pasar mengakibatkan penetapan harga

yang yang kompetitif dan kualitas barang yang lebih baik. Sebaliknya, harga beras

dan daging, komoditas dengan jumlah pedagang yang lebih sedikit, cenderung

berubah-ubah dan lebih sering meningkat.

Page 14: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

Tabel 1. jenis komoditas dan proporsinya pada pasar tradisional

Tabel 2. Proporsi pembelian

Pangsa pasar pasar tradisional adalah toko kecil, rumah tangga, restoran

dan lainnya. Pangsa pasar terbesar pasar tradisional adalah toko eceran seperti

terlihat pada tabel 2. Dominan barang yang dijual merupakan barang borongan

atau untuk dijual kembali kepada konsumen sebagai barang eceran. Sedangkan

barang yang dijual untuk konsumsi rumah tangga hanya merupakan sepertiga dari

total nilai barang yang dijual di pasar tradisional.

Dalam perdagangan pasti terjadi persaingan demikian halnya dengan

pedangan pasar tradisional berdasarkan suvey smeru, pesaing terberat mereka

adalah sesama pedagang, sementara supermarket mendukuki posisi kedua, lalu

diikuti oleh para PKL (pedagang kaki lima). Strategi pasar yang dilakukanoleh

para pedagang antara lain menarik para pembeli dengan sikap sopan-santun

sebagai kunci sukses bisnis mereka. Strategi yang kedua dan ketiga adalah yang

bersifat lebih konkret: kualitas dan harga. Dengan kualitas yang baik dan harga

terjangkau mampu lebih menarik pembeli. Sekiranya terdapat sekitar 10%

pedagang tidak memiliki strategi. Meskipun proporsi utama responden

Page 15: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

menganggap supermarket sebagai salah satu pesaingnya, mayoritas tidak

menggunakan strategi khusus untuk bersaing dengan supermarket. Yang lebih

menarik perhatian adalah gabungan proporsi pesaing di dalam dan luar pasar

tradisional masih lebih tinggi daripada supermarket.

Tabel 3. Persaingan dan strategi di pasar tradisional

Tabel 4. Pemasok dan sistem pembayaran bagi pedagang pasar tradisional

Mengenai pemasok utama para pedagang dan metode pembayaran yang

paling banyak dipakai kepada para pemasok. Lebih dari 40% pedagang

menggunakan pemasok profesional, lainnya 31% kebanyakan memanfaatkan

pasar grosir tradisional, dan hanya 6% melakukan kontak langsung dengan

produsen. Akan tetapi, kebanyakan pedagang tidak hanya mengandalkan satu

pemasok. Sekitar 8% mendapatkan barang dari pasar tradisional lain. Pembayaran

tunai adalah metode yang paling utama digunakan.

Hal ini tidak mengherankan karena kebanyakan dari mereka adalah

pedagang berskala kecil, dan karena itu tidak memiliki kekuatan untuk

Page 16: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

meyakinkan para pemasok untuk menyediakan jasa kredit. Sedangkan untuk

sumber modal, mayoritas pedagang menggunakan modal usaha sendiri sedangkan

sisinya berasal dari sumber lain dan kredit dari bank baik swasta maupun

pemerintah.

Karena kurangnya akses terhadap modal maka mereka menganggung semua

pengeluaran dan resiko tinggi barang tidak terjual atau sudak tidak layak jual.

Meskipun demikian, kemampuan untuk melakukan tawar-menawar atau

memberikan potongan harga untuk pelanggan setia merupakan dua aspek utama

yang membuat pasar tradisional unggul atas supermarket.

2.4 Performa Bisnis Pedagang di Pasar Tradisional

Hal-hal yang berkenaan dengan performa bisnis pedagang dan dampak

supermarket bisa terlihat dari omzet pedagang dan tingkat keuntungan. Sebagai

contoh, beberapa pedagang di Pasar Cisalak, khususnya mereka yang menjual

bahan pangan pokok dan sayuran, mengaku bahwa pendapatannya telah menurun

tajam dalam 3 tahun terakhir (2003-2006). Seorang di antaranya bahkan

menjelaskan bahwa penurunan pendapatan dan keuntungannya mencapai 60%

dibandingkan dengan tahun 2003. Selain itu, pedagang dan pengelola pasar

memperkirakan bahwa jumlah pembeli harian telah menurun 40–50%. Demikian

pula dengan pedagang di Pasar Tugu yang juga mengalami penurunan pendapatan

hingga 50% dan jumlah pembeli telah menurun hingga 40%. Seorang pedagang di

pasar ini menyebutkan bahwa jumlah pembeli saat ini hanya separuh dari jumlah

pembeli pada 3 tahun yang lalu. Namun, cukup mengejutkan bahwa ternyata

jumlah pedagang malah bertambah. Kebanyakan dari mereka adalah PKL yang

menggunakan bagian-bagian kosong sekitar bangunan pasar sebagai tempat

berdagang.

Berbeda dengan keadaan jumlah pedagang di Pasar Tugu yang semakin

bertambah, pedagang di Pasar Musi malah telah menurun hingga seperempat,

yang tampak dari banyaknya kios dan lapak-lapak jualan yang kosong. Ini

disebabkan oleh penurunan jumlah pembeli dan fakta bahwa banyak pedagang

beralih menjadi PKL karena dianggap menguntungkan dibanding berjualan di

dalam pasar. Kebanyakan para pedagang yang berpindah ke jalan menjual sayur-

Page 17: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

sayuran dan bahan pangan pokok. Akan tetapi, beberapa pedagang

menginformasikan adanya beberapa pedagang yang bangkrut dan terpaksa

kembali ke kampung halamannya. Secara umum, pendapatan pedagang di semua

pasar telah menurun dibandingkan dengan keadaan tahun 2003. Menurut seorang

pedagang, keadaan di Pasar Musi sama sekali berbeda dengan keadaan pada 2003,

di mana hanya terdapat segelintir PKL seputar pasar.

Persaingan sehat terjadi di antara pedagang. Hal ini berbeda dengan keadaan

sekarang. Gangguan yang terus-menerus dilakukan oleh PKL mendorong

terjadinya penurunan drastik omzet dan keuntungan pasar tradisional di Pasar

Musi. Seorang penjual sayur dan bahan pangan pokok mengungkapkan bahwa

omzet dan keuntungan hariannya telah merosot hingga 50%. Ia juga menjelaskan

bahwa pada 2003 para pembeli masih berdatangan hingga pukul 19.00, namun

kini mereka hanya berkunjung hingga pukul 10.00.

Tabel ini juga menunjukkan bahwa pedagang di kelompok perlakuan

maupun di kelompok kontrol mengalami penururan kinerja bisnisnya dalam 3

tahun terakhir. Penurunan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan

penurunan omzet, dan hal ini mungkin mengindikasikan bahwa pedagang lebih

mengutamakan kemampuan untuk menjual di banding upaya untuk

mempertahankan tingkat keuntungan. Dari kejadian tersebut, terungkap empat isu

utama yang menjelaskan penyebab kelesuan bisnis, baik di pasar perlakuan

maupun di pasar kontrol. Pertama, kurangnya infrastruktur dasar di pasar; kedua,

persaingan kuat dengan PKL yang menggelar dagangannya di seputar pasar;

Page 18: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

ketiga, minimnya dana bagi ekspansi bisnis; keempat, penurunan kemampuan

daya beli masyarakat akibat lonjakan harga BBM pada 2005.

Selain itu, beberapa pedagang di pasar perlakuan juga mengatakan bahwa

supermarket telah meraup sebagian keuntungan bisnis mereka. Kasus ini

khususnya terjadi di Pasar Pamoyanan, di mana pasar tersebut berlokasi dekat

dengan supermarket dan basis pelanggannya berasal dari rumah tangga kelas

menengah, dan tidak ada masalah PKL. Di Depok, masalah utama terletak pada

masalah pengorganisasian para pedagang, khususnya para PKL; kondisi

bangungan pasar yang tidak terpelihara; masalah transportasi, seperti terbatasnya

lahan parkir dan akses jalan menuju pasar; keamanan yang kurang terjamin;

ketidaknyamanan kondisi berbelanja; dan masalah kebersihan pasar seperti

minimnya fasilitas pembuangan sampah dan sistem drainase yang tidak berfungsi.

Hal ini diperparah oleh ringannya sanksi hukum yang diberikan kepada

pedagang yang melanggar peraturan pasar dan lemahnya kerja sama antara Dinas

Pasar dan pengelola pasar. Pengelola pasar tidak memiliki wewenang untuk

melakukan terobosan-terobosan yang diperlukan; tugas utama mereka, seperti

yang telah ditentukan oleh Dinas Pasar, adalah mengumpulkan retribusi untuk

mencapai target yang telah ditetapkan. Selain masalah internal, penurunan yang

terjadi di pasar di Depok dipicu oleh beratnya persaingan dengan PKL. Terdapat

sekitar 100 PKL di sekitar Pasar Tugu, 830 di sekitar Pasar Cisalak, dan 154 di

dekat Pasar Musi. Meskipun Pemda Depok telah mengalihkan para PKL, banyak

di antara mereka tetap kembali, dan di Pasar Cisalak dan Pasar Musi mereka

bahkan memblok jalan masuk ke dalam pasar. Jalan depan Pasar Cisalak dan

Pasar Tugu dijejali oleh para PKL sehingga memaksa pelanggan yang

berkendaraan untuk memarkir kendaraannya sejauh 1 kilometer. Kasus yang sama

juga terjadi di Pasar Musi, di mana terjadi peningkatan jumlah rumah yang

dijadikan kios dagang.

Para pedagang, APPSI, dan pengelola pasar secara tegas menyatakan bahwa

para PKL menjadi penyebab utama penurunan drastis jumlah pembeli, omzet, dan

keuntungan. Seperti telah ditegaskan sebelumnya, pedagang di dalam pasar,

khususnya di Pasar Cisalak dan Pasar Musi,menganggap PKL sebagai pesaing

utamanya dan mereka juga telah menyebabkan meningkatnya persaingan tajam di

Page 19: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

antara pedagangpedagang di dalam pasar. Keluhan utama pedagang di Bandung

juga terkait dengan meningkatnya jumlah PKL di seputar pasar. Di Pasar

Leuwipanjang, masalah tersebut diperparah oleh perubahan rute transportasi

publik. Terlebih lagi, pasar grosir tradisional yang lebih bersih dan lebih luas,

Pasar Caringin, yang terletak tidak jauh dari Pasar Leuwipanjang, juga telah mulai

menjual barang ritel untuk menghadapi persaingan dengan supermarket.

Keputusan pemda untuk mengubah rute transportasi publik telah menyulitkan

pelanggan yang ingin berbelanja di Pasar Pamoyanan. Lebih lanjut, pada 2003

supermarket Hero telah dibuka tidak jauh dari Pasar Pamoyanan, hanya berjarak

300 meter dari pasar tersebut, dan para pedagang yakin inilah yang menjadi

penyebab utama penurunan usaha mereka.

Menurut para pedagang di Bandung, penyebab utama lainnya adalah

turunnya daya beli konsumen akibat lonjakan harga BBM. Penyebab lain yang

lebih kecil adalah kekhawatiran terhadap wabah flu burung dan isu penggunaan

formaldehida dalam makanan olahan. Menurunnya jumlah konsumen menjadi

faktor utama kelesuan. Terlebih lagi diikuti oleh meningkatnya persaingan dengan

pedagang lain dalam pasar, meningkatnya persaingan dengan supermarket, dan

meningkatnya harga barang-barang. Meskipun para pedagang menggunakan

beberapa strategi,antara lain penambahan variasi pada barang dagangan,

memberikan pelayanan yang prima, mempertahankan mutu barang, mengantarkan

barang langsung ke rumah konsumen, memberikan potongan harga, dan bahkan

mencocokan dengan harga-harga supermarket, kondisi usaha mereka masih tetap

tidak berubah drastis.

APPSI telah melakukan strategi dua jurus untuk meningkatkan performa

bisnis pasar tradisional. Pertama, mereka sedang melobi pendekatan zonasi bagi

supermarket, di mana supermarket hanya dapat beroperasi di daerah pinggir kota

dan pada jarak tertentu dari pasar tradisional. Kedua, mereka tengah

mengkampanyekan kepada pemda untuk memperbaiki cara-cara pemda

menangani pasar tradisional, contohnya dengan menyediakan kredit kepada para

pedagang dan mensubsidi biaya penyewaan kios.

Page 20: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

2.5 Dampak Ritel ModernTerhadap Pasar Tradsional

Studi tentang terancamnya pasar tradisional karena penertasi massif ritel

modern, sejatinya bukan barang baru. Studi AC Nielsen (2005) menunjukkan

membesarnya volume ritel modern di satu sisi, justru melemahkan ritel

tradisional. Berdasarkan studi tersebut, jumlah ritel tradisional pertumbuhan

stagnan pada kisaran 3%. Lebih memprihatinkan, omzet pasar tradisional justru

menurun. Menurut APPSI (2004), 7 pasar tradisional di DKI Jakarta telah pailit,

yaitu Blora, Cilincing, Cipinang Besar, Kramat Jaya, Muncang, Prumpung

Tengah dan Sinar, serta hampir semua pasar tradisional di DKI Jakarta mengalami

penurunan sampai 75%.

Studi terbaru Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2011) menemukan

bahwa ritel tradisional di Yogyakarta mengalami penurunan rata-rata sebesar

5,9%. Yang mengenaskan, penurunan terbesar justru terjadi pada peritel dengan

modal kecil. Peritel dengan modal Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25

juta masing-masing mengalami penurunan masing-masing sebesar 14,6%, 11%

dan 20,5%. Berdasarkan wilayah, penurunan terbesar terjadi di Kota Yogyakarta

dan Kabupaten Sleman yakni sebesar 25,5% dan 22,9%.

Berdasarkan studi yang dilakukan Nielsen (2005), jumlah ritel modern

meningkat meningkat lebih dari 100% persen per tahun. Dari 2003 hingga 2005,

Page 21: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

peningkatan jumlah ritel modern di Indonesia berturut-turut sebesar 132%, 176%,

dan 193%. Menurut Ngadiran, pada akhir 2004 jumlah minimarket (Indomaret

dan Alfamart) di DKI hanya berjumlah 400-an unit. Pada tahun ini, jumlah

minimarket di DKI hampir mencapai 2000 unit. Bahkan, akhir-akhir ini

bermunculan pemain baru di ritel modern baik asing maupun local seperti 7

Eleven (Jepang) dan Circle-K.

Di Jakarta hingga 2004, dari 67 lokasi pusat perbelanjaan, 27 diantaranya

(atau sebesar 40%) melanggar zonasi(penetapan lokasi dan jarak antar ritel),

dimana tiap ritel baik tradisional maupun modern harus memiliki zonasi dengan

radius 0,5 km hingga 2,5 km tergantung dari luas lantai. Faktanya, banyak ritel

modern didirikan tepat di sebelah ritel tradisional (kasus Blok M), atau ritel

modern satu berhadapan langsung—hanya dipisahkan jalan utama—dengan ritel

modern lain (kasus Carrefour dan Giant Lebak Bulus).

Di tingkat nasional, 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar

ritel dengan omzet Rp 70,5 trilyun. Ini berarti bahwa satu ritel modern menikmati

Rp 2,5 trilyun omzet per tahun atau Rp 208,3 trilyun per bulan. Bahkan, porsi

terbesar keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh 10 ritel modern inti seperti

Indomaret dan Alfamart, Supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart,

Yogya, Ramayana, hypermart Carrefour, Hypermart, Giant, Makro (sekarang

LotteMart), dan Indogrosir (2009). Jika dibiarkan, kondisi ini cenderung

mengarah pada praktik monopoli atau oligopoli, yang bertentangan dengan

semangat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 mengenai Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pedagang dan pasar tradisional kian terjepit oleh ekspansi usaha ritel

modern. Dalam rentang waktu tahun 2003-2008, pertumbuhan gerai ritel modern

fantastis, yaitu mencapai 162 persen. Bahkan, pertumbuhan gerai minimarket

mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301

gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun

tersebut cenderung stagnan.

Beberapa kalangan menganggap bahwa dengan cara memperluas pendirian

pasar modern di Indonesia, bisa berdampak makin baiknya pertumbuhan ekonomi

serta iklim investasi usaha karena diasumsikan bahwa pasar modern memiliki

Page 22: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

segmen yang berbeda dengan pasar tradisional sehingga hal itu tidak menggangu

stabilitas pasar tradisional. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian,

justru antara pasar modern dan pasar tradisional memiliki segmen yang sama dan

saling berhadap-hadapan langsung dan secara jelas menunjukan bahwa yang

menjadi korban utama adalah pasar tradisional akibat dari persaingan yang sengit

antar sesama pasar modern. Situasi seperti ini dapat berdampak lebih jauh lagi

terhadap istilah kegagalan pasar yang akan diderita oleh pasar tradisional akibat

persaingan dengan segmen yang sama serta memaksa secara langsung berhadap-

hadapan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Kegagalan pasar adalah

situasi ketika pasar tidak mampu secara efektif mengorganisasikan produksi atau

mengalokasikan barang dan jasa kepada konsumen. Situasi seperti ini dapat

tercipta ketika kekuatan pasar telah kehilangan kemampuannya dalam memenuhi

kepentingan-kepentingan publik.

Supermarket menjamur di berbagai kota besar selama 3 dekade terakhir.

Namun sejak pemberlakuan liberalisasi sektor ritel pada 1998, pengelola

supermarket asing mulai memasuki Indonesia, yang mencetuskan persaingan

tajam dengan pengelola supermarket lokal. Beberapa kelompok mengklaim bahwa

pasar tradisional merupakan korban sesungguhnya dari persaingan tersebut karena

mereka terpaksa kehilangan pelanggan akibat tawaran produk-produk bermutu

dengan harga murah dan kenyamanan lingkungan berbelanja dari supermarket.

Karena itu, ada desakan agar pembangunan supermarket dibatasi, khususnya pada

lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional.

Kehadiran ritel-ritel modern membuat posisi pasar tradisional makin

terpinggirkan. Apalagi pasar tradisional biasanya juga dikeroyok kehadiran

Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekelilingnya. Beberapa pengamat mencatat, dari

tahun ke tahun dimulai dari tahun 2000, pangsa pasar retail tradisional terus

menurun karena semakin mengguritanya retail-retail modern, hal tersebut

diperparah dengan adanya pergeseran kondisi sosial ekonomi yang dilakukan oleh

para pelakuretail modern yang pada awalnya hanya di kujungi oleh kalangan A

Consumers (konsumen kelasatas), sekarang merambah ke Band Consumers

(konsumen menengah dan bawah).

Page 23: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

Hadirnya ritel modern di Indonesia telah menyebabkan terjadinya

perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, yang berdampak pada perubahan

kinerja ritel tradisional di sekitarnya. Persaingan yang semakin ketat di industri

ritel mendatangkan manfaat tersendiri bagi konsumen, akan tetapi mengganggu

keberlangsungan usaha ritel tradisional karena konsumen mulai beralih dari ritel

tradisional ke ritel modern yang menawarkan beragam kemudahan dan

kenyamanan dalam berbelanja.Pertarungan sengit antara pedagang tradisional

dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika

Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres

Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara

sistematis.

Page 24: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

1. Ritel modern terus mengalami pertumbuhan yang pesat setiap tahunnya

sehingga keberadaannya memang berpotensi sangat besar untuk menggerus

ritel kecil/tradisional terlebih lagi didukung dengan perubahan pola belanja

dari masyarakat yang semakin modern dan semakin membutuhkan hadirnya

ritel modern.

2. Permasalahan dalam industri ritel lebih banyak merupakan masalah

ketidaksebandingan bersaing dan bargaining position. Akar permasalahan

industri ritel saat ini berasal dari ―market power‖ ritel modern yang tinggi

yang antara lain terbangun karena modal yang tidak terbatas, brand image

yang kuat, terdapat peritel yang menjual barang termurah, trend setter ritel

Indonesia, serta pencipta traffic konsumen Indonesia. Market power ini

menciptakan ketidaksebandingan dalam persaingan ritel modern dengan

ritel kecil/tradisional. Market power semakin bertambah dengan semakin

luasnya cakupan wilayah yang terjangkau oleh gerai ritel modern, karena

minimnya kebijakan pembatasan jumlah dan wilayah (zonasi) bagi ritel

modern.

3. Pemerintah telah menerbitkan kebijakan yang mengatur penataan ritel

modern dan ritel tradisional yang tertuang dalam Perpres 112/2007 dan

Permendag 53/2008. Namun sepertinya kebijakan tersebut belum dapat

diimplementasikan secara nyata di lapangan mengingat dibutuhkannya

peran pemerintah daerah dalam implementasinya di lapangan. Sementara

itu, daerah pun tampaknya belum siap untuk mengatur secara ketat industri

ritel di daerah mereka, yang terbukti dengan belum adanya aturan turunan

dari regulai nasional tersebut di daerah. Akibatnya kedua peraturan

perundangan tersebut seolah menjadi macan kertas dengan fungsi yang

sangat minimal.

4. Solusi kebijakan paling tepat untuk mengatasi persoalan ketidaksebandingan

bersaing ritel kecil/tradisional-ritel modern dapat dilakukan dengan

Page 25: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

mengefektifkan kebijakan zonasi, yang secara umum pada akhirnya

memiliki makna pembatasan jumlah peritel modern dalam wilayah tertentu.

3.5 Saran

1. Perbaikan Sistem Pengelolaan Pasar Tradisional

Untuk penanganan yang tepat atas masalah-masalah khusus yang

menghambat pasar tradisional, system pengelolaan pasar harus diperbaiki.

Adanya tekanan untuk mencapai target retribusi membuat banyak pengelola

pasar saat ini lebih disibukkan oleh tugas pengumpulan retribusi semata.

Dinas pasar seharusnya menentukan target retribusi yang realistis dan tugas

penarikan retribusi didelegasikan secara tepat. Di samping itu, pengelola

pasar harus memiliki kualifikasi yang memadai dan mendapat kewenangan

untuk mengambil keputusan tentang pengelolaan pasar. Pengelola pasar

hendaknya didorong untuk berkonsultasi dan berkoordinasi dengan

pedagang untuk mencapai suatu sistem pengelolaan yang lebih baik.

2. Perbaikan Infrastruktur Pasar Tradisional

Untuk menarik lebih banyak pelanggan, lingkungan umum dalam pasar

tradisional harus dibenahi. Ventilasi dan penerangan yang cukup, fasilitas

pembuangan sampah yang memadai bagi pedagang, dan pemantauan dan

pemeliharaan sanitasi dan tingkat kebersihan umum harus dijamin.

Peraturan kesehatan dan keamanan harus dapat dipenuhi dan pemantauan

berkala untuk melihat kesesuaian dengan aturan harus dilakukan pemda

untuk memulihkan kepercayaan konsumen. Selain itu, fasilitas parkir yang

memadai dan mudah diakses menjadi kebutuhan. Rute transportasi umum

hendaknya juga melayani kepentingan pasar tradisional. Rancangan

konstruksi pasar bertingkat tidak disukai di kalangan pedagang karena para

pelanggan enggan untuk menuju ke lantai atas. Akan tetapi, kondisi pasar

yang sudah dibangun bertingkat dapat diperbaiki dengan membangun

tangga masuk yang tidak terlalu curam, cukup penerangan, dan tidak

terhalangi. Setiap lantai harusnya secara khusus menjual jenis barang-

barang tertentu saja sehingga akan mendorong arus pelanggan ke lantai-

lantai lainnya.

Page 26: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

3. Pengorganisasian Para PKL

Pengorganisasian para PKL dengan menegakkan aturan larangan bagi PKL

untuk membuka lapak jualan di sekitar pasar tradisional dan memindahkan

mereka ke dalam kios-kios yang ada di dalam bangunan pasar tradisional

perlu dilakukan. Hal ini akan memberikan dampak positif yang signifikan

pada tingkat perdagangan di pasar tradisional. Hal ini juga akan menjamin

sistem yang lebih adil, yakni semua pedagang tunduk pada peraturan dan

retribusi yang sama. Selain itu, para pembeli akan masuk ke dalam

bangunan pasar untuk berbelanja.

4. Penyediaan Dukungan bagi Pedagang Tradisional

a. Pengkajian terhadap pilihan asuransi usaha

Pemda hendaknya menyediakan dukungan bagi upaya kajian terhadap

pilihan asuransi usaha bagi pedagang tradisional untuk melindungi

mereka bila terjadi kerugian pada penyediaan stok dan asset yang

dimiliki. Pilihan yang diambil harus dapat dengan mudah diakses dan

sesuai dengan kemampuan pedagang pasar tradisional. Informasi

mengenai asuransi dan proses perlindungan yang diberikan asuransi

terhadap setiap kerugian yang dialami hendaknya juga disosialisasikan di

pasar-pasar tradisional.

b. Bantuan modal bagi pedagang tradisional

Saat ini beberapa bank menawarkan pinjaman kepada pedagang, namun

bunga dan syarat yang ditetapkan menyulitkan para pedagang tradisional

untuk mengakses pinjaman. Pemda, melalui dinas pasar, seharusnya

menjamin bahwa para pedagang dapat memiliki akses bagi pilihan

pinjaman keuangan mikro sehingga mereka dapat melakukan

pengembangan usaha.

5. Regulasi Terperinci untuk Pasar Modern

Pemerintah Pusat dan pemda harus memiliki mekanisme kontrol dan sistem

pemantauan yang diterapkan untuk menjamin persaingan yang adil antara

pedagang pasar modern dan pasar tradisional. Regulasi bagi pasar modern

hendaknya mencakup isu-isu seperti hak dan tanggung jawab pengelola

pasar modern dan pemda, dan juga sanksi terhadap pelanggaran aturan.

Page 27: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

Beberapa pemda mungkin menganggap perlu untuk memiliki peraturan

khusus yang terpisah, namun perbaikan atas peraturan yang ada saat ini

seharusnya sudah memadai.

Page 28: Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Poesoro, Adri. 2007. Pasar Tradisional di Era Persaingan Global. Jakarta:

Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/newslet/2007/news22.pdf> [11/11/11].

Rosfadhila, Meuthia. 2007. Mengukur Dampak Supermarket Terhadap Pasar

Tradisional. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/newslet/2007/news22.pdf> [11/11/11].

Budiyanti, Sri. 2007. Pasar Tradisional Dengan Struktur Bangunan Bertingkat:

Siapa Diungutngkan?. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/newslet/2007/news22.pdf> [11/11/11].

Akhmadi. 2007. Retribusi Pasar Tradisional: Kewajiban Tanpa Pelayanan yang

Memadai. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/newslet/2007/news22.pdf> [11/11/11].

Ahmad, Taufik. 2007. Regulasi Persaingan Usaha di Industri Ritel. Jakarta:

Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/newslet/2007/news22.pdf> [11/11/11].

Firdaus, Muhammad. 2007. Pemberdayaan Terpadu Perempuan Pedagang Kecil

dan Mikro. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/newslet/2007/news22.pdf> [11/11/11].

Suryadarma, Daniel. et. al.. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan

Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta:

Lembaga Penelitian SMERU. Melalui

<http://www.smeru.or.id/report/research/supermarket/supermarket_ind.pdf>

[11/11/11].