partai politik & nation state revitalisasi fungsi...
TRANSCRIPT
RESUME
HASIL PENELITIAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS)
PARTAI POLITIK & NATION STATE REVITALISASI FUNGSI KEBANGSAAN PARTAI POLITIK
Tim Peneliti:
Dr. A. Bakir Ihsan : Koordinator Dr. Nawiruddin : Anggota Dr. Sirojuddin Aly : Anggota
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN)
LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
ABSTRAK
Judul: “Partai Politik & Nation State, Revitalisasi Fungsi Kebangsaan Partai Politik”
Keberadaan partai politik di era reformasi diamini sebagai pilar penting dalam memperkuat demokrasi sekaligus pilar kebangsaan. Paling tidak, kehadiran partai politik menjadi pintu mudah untuk mengagregasi beragam aspirasi berdasarkan irisan kebhinnekaan warga bangsa. Selama ini fungsi dan peran partai politik lebih berfokus pada ranah seleksi elit dan sirkulasi suksesi kekuasaan. Hal tersebut sebagai sebuah kemestian, karena partai politik hadir untuk mempengaruhi bahkan mengubah kekuasaan. Di sisi lain, sekat sosial-budaya dan politik tidak jarang melahirkan diferensiasi yang berujung pada intoleransi. Fakta ini seakan mengkonfirmasi kekhawatiran para pendiri negara bangsa terhadap kemunculan partai politik sebagai penyumbang disintegrasi dan pemecah kebersamaan sebagai bangsa. Paling tidak perhatian partai politik terhadap masalah toleransi tidak sekuat ikhtiarnya terhadap partisipasi dan mobilisasi untuk kepentingan kekuasaan. Merebaknya kecenderungan negasi bahkan diskriminasi atas dasar etnisitas, agama, dan sekat sosial lainnya tidak banyak mendapatkan respons dari partai politik. Berangkat dari realitas tersebut, penelitian ini berusaha mencari jawab atas tingkat responsi partai politik terhadap problem toleransi sebagai dasar kebangsaan yang majemuk dan langkah yang harus dilakukan untuk memperkuat kebersamaan warga bangsa dengan tetap menjunjung pluralitas.
Penempatan partai politik sebagai variabel penting dalam upaya peneguhan toleransi sebagai dasar eksistensi negara bangsa (nation-state) tidak terlepas dari peran strategis dan ranah kuasanya yang eksesif baik pada ranah negara (state) dan warga (society). Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini menelaah secara kritis kerangka dasar partai politik di Indonesia baik melalui dokumen-dokumen primer maupun wawancara langsung dengan key informan baik secara individu maupun kelembagaan, termasuk simpul-simpul sosial. Melalui telaah dan wawancara mendalam, penelitian ini berusaha menemukan sekaligus menawarkan solusi atas problem krisis toleransi seiring dengan menguatnya negasi dan intoleransi di tengah sistem demokrasi dirayakan.
Melalui teori partai politik, nation-state, multikulturalisme, dan toleransi, penelitian ini mengukur korelasi dan signifikansi peran partai politik dalam merawat multikulturalisme melalui penguatan toleransi yang terinstitusionalisasi baik pada individu maupun kelembagaan partai. Konsepsi besar tentang kebangsaan (nasionalisme) yang berbasis pada realitas sosial yang majemuk akan menguat apabila toleransi sebagai landasan sikap dan perilaku kewargaan berjalin kelindan dengan langkah partai politik. Indikator lain yang menjadi pijakan analisis terhadap korelasi partai politik dengan bangunan nation state adalah tindakan korupsi sebagai aktualisasi dari sikap egoisme baik atas nama individu maupun kelompok dengan menegasikan kepentingan individu atau kelompok lainnya. Bukti bahwa partai politik belum sepenuhnya menjadi bagian bagi penguatan bangunan nation state terlihat dari tindakan korupsi yang masih menjadi bagian kuat dari partai politik dan belum adanya keberpihakan secara maksimal terhadap penguatan toleransi.
Keyword: Partai politik, nation-state, kebhinnekaan, toleransi, multikulturalisme, anti korupsi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
i
KATA PENGANTAR
Masalah partai politik selalu urgen untuk ditelaah karena perannya yang sangat
strategis baik secara kultural maupun struktural. Partai politik tidak hanya berbicara pada ranah seleksi kepemimpinan (struktural), tapi juga menjadi bagian bagi penguatan nilai (kultural). Karena itu, partai politik ditempatkan sebagai jembatan yang menghubunkan antara masyarakat (society) dan negara (state). Dalam konteks inilah kajian terhadap peran partai politik terhadap penguatan bangunan nation state mendapatkan urgensinya.
Banyak indikator yang bisa dijadikan pijakan untuk melihat peran partai politik dalam penguatan nation state, dua di antaranya adalah toleransi dan anti korupsi. Toleransi merupakan ikon untuk melihat sepak terjang partai politik dalam relasi sosial yang majemuk secara etnis, suku, agama, dan golongan. Sementara anti korupsi merupakan langkah untuk menghentikan dominasi kepentingan pribadi maupun kelompok di tengah masyarakat yang beragam.
Dari rangkaian analisis data, dokumen, dan wawancara, penelitian ini sampai pada temuan bahwa secara konseptual, partai politik memiliki komitmen terhadap penegakan toleransi dengan beragam ekspresi bahasanya. Namun secara faktual partai politik belum memberikan jalan kuat bagi penguatan toleransi. Hal tersebut terlihat dari kurang maksimalnya respons partai politik dalam setiap terjadinya konflik di tengah masyarakat. Partai politik masih lebih mempertimbangkan kepentingan elektabalitas yang berasal dari suara mayoritas masyarakat. Karena itu, dalam konflik yang menempatkan minoritas sebagai korban, partai politik tidak banyak bergerak. Namun ketika persoalan menyangkut mayoritas, partai politik mendukungnya walaupun kontraproduktif secara normatif.
Begitu pun dalam hal anti korupsi. Sebagian besar partai politik memiliki komitmen untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Bahkan sebagian partai menyatakan secara eksplisit tentang perlawanan terhadap korupsi. Namun faktanya, tidak ada satu pun partai politik yang kadernya tidak terlibat korupsi. Walaupun demikian, tindakan partai politik terhadap kadernya yang terlibat dalam korupsi menjadi tolok ukur juga untuk melihat relevansi antara konsepsi anti korupsi dengan aktualisasi komitmen partai politik terhadap pemberantasan korupsi. Beberapa fakta menunjukkan bahwa sebagian partai politik langsung melakukan tindakan pemecatan terhadap kadernya yang terlibat korupsi.
Penyelesaian penelitian tidak mudah dilakukan karena terkait isu-isu yang tidak semuanya memiliki kependulian, bahkan sebagian partai politik menjadi terdepan dalam tindakan yang kontraproduktif, terutama dalam hal korupsi. Menurut survei 2017, partai politik yang terepresentasi di lembaga legislatif menjadi lembaga paling tinggi dalam tingkat korupsinya. Sebuah perkembangan yang bisa menjadi sinyal bagi menguatnya kepentingan kelompok dan rapuhnya bangunan negara bangsa (nation state). Namun berkat dukungan keluarga, kawan-kawan dosen FISIP dan seluruh civitas akademika, terutama support dari Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) penelitian ini bisa diselesaikan sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan. Untuk itu, selain ucapan terima kasih, juga permohonan maaf apabila dalam laporan ini ada yang masih perlu disempurnakan. Namun dalam konteks hasil penelitian sepenuhnya menjadi tanggungjawab peneliti sebagai bagian dari pertaruhan dan pertanggungjawaban intelektualitas sebagai bagian dari ruh tridharma perguruan tinggi.
Jakarta, 30 November 2017
A. Bakir Ihsan
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................. i KATA PENGANTAR ......................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................ 2 C. Tujuan Penelitian ........................................................... 3
BAB II : KAJIAN TEORI DAN LITERATURE REVIEW
A. Kajian Teori ....................................................................... 5 1. Negara Bangsa (Nation-State) ................................... 5 2. Partai Politik ........................................................... 5 3. Multikulturalisme ........................................................... 5 4. Toleransi ....................................................................... 6
B. Literature Review ........................................................... 7
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 8 B. Setting (Latar) Penelitian ............................................... 8 C. Metode Penelitian ........................................................... 9 D. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 9 E. Prosedur Pengolahan Data ............................................... 9 F. Pemeriksaan Keabsahan Data ............................................... 10 G. Teknik Analisis Data ........................................................... 10
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Temuan Penelitian ................................................................ 11 B. Pembahasan Hasil Penelitian .................................................... 19
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 26 B. Implikasi ............................................................................. 26 C. Rekomendasi ............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu problem terbesar dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia adalah
toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Bangunan kewargaan dalam kebhinnekaan
menjadi prinsip dasar atas berdirinya negara bernama Indonesia. Ketika intoleransi merebak,
maka NKRI sebagai representasi dari kebhinnekaan terancam. Gejala tersebut belakangan ini
mulai menyeruak seiring dengan adanya ruang kebebasan sebagai bagian dari demokrasi
yang dimaknai sebagai arena aktualisasi beragam ideologi, paham, dan gerakan bahkan yang
mengancam terhadap kebhinnekaan.
Demokrasi sebagai sistem yang dipilih dalam menjalankan kehidupan bernegara di
Indonesia tidak semata dirayakan dalam bentuk rutinitas pergantian kepemimpinan melalui
Pemilu maupun Pemilukada untuk memilih langsung pemimpinnya. Demokrasi dipilih
sebagai ikhtiar untuk menguatkan kehidupan bernegara yang berpusat pada partisipasi dan
kebersamaan warga negara. Partisipasi dan kebersamaan warga negara akan kuat apabila
ditopang oleh kerja elite (pemerintah dan politisi) sesuai dengan fungsinya dan berdampak
bagi kehidupan masyarakat. Di sinilah partai politik dapat memerankan dirinya sebagai pintu
masuk bagi lahirnya pemimpin yang memenuhi standard harapan rakyat, sehingga
memperkokoh kebersamaan dan bangunan berbangsa.
Di tengah ruang kebebasan yang tersedia begitu luas, muncul arus balik berupa
fenomena penguatan kelompok dan penegasian terhadap kelompok lainnya. Aspek toleransi
sebagai fondasi terbangunnya negara bangsa dengan warga yang sangat majemuk mulai
tergerus oleh penguatan pengelompokan dengan beragam kepentingannya. Hal tersebut dapat
dilihat dari beberapa temuan penelitian yang memperlihatkan rapuhnya toleransi di kalangan
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.1 Belakangan juga bermunculan persepsi yang
patut dikhawatirkan terkait NKRI, Pancasila, kebhinnekaan, dan konstitusi seiring dengan
tawaran perspektif (ideologi) lain yang meragukan terhadap keberadaan empat pilar negara
1 Di antara hasil penelitian menunjukkan masih tidak siapnya masyarakat menerima kehadiran tempat ibadah agama yang berbeda di lingkungannya. Hal ini terlihat dari terjadinya penolakan sebagian masyarakat terhadap pendirian tampat ibadah kelompok minoritas. Menurut hasil survei opini publik, terdapat 42,3% responden yang menyatakan beratan terhadap pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungan sekitar responden. Baca; Tim Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Survei Opini Publik: Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia, Jakarta: LSI, 2006.
2
bangsa tersebut. Sebuah tawaran yang pada titik tertentu tidak ramah terhadap perbedaan dan
melahirkan sikap intoleran.2
Partai politik sebagai pilar penting demokrasi, sejatinya memiliki tanggung jawab
besar untuk ikut menumbuhkan nasionalisme melalui penguatan toleransi dalam setiap
kontestasi. Toleransi dibutuhkan agar masing-masing warga, apa pun agamanya, dapat
memberikan sumbangsihnya bagi pembangunan bangsa secara bersama-sama. Kekuatan
intoleransi dan radikalisme dengan sendirinya bisa menyusut seiring dengan penguatan peran
partai politik sebagai kekuatan yang tidak hanya bergerak pada ranah kekuasaan tapi juga
berbasis massa dengan segala keragamannya. Dalam masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia toleransi tidak hanya menjadi prasyarakat dalam demokrasi, tetapi juga dalam
penguatan negara bangsa.
Di sisi lain, partai politik belum berhasil tampil sebagai garda terdepan dalam
penegakan kesejahteraan rakyat. Dalam beberapa pendekatan, kesejahteraan menjadi salah
satu jalan bagi penguatan toleransi sebagai bagian penting dalam demokrasi.3 Partai politik
tidak memiliki kaitan langsung dengan persoalan kesejahteraan masyarakat, namun melalui
wakil-wakilnya di lembaga legislatif, partai politik dapat mendorong kebijakan yang
memberikan peluang luas bagi terciptanya kesejahteraan. Paling tidak, DPR RI bisa menjadi
simbol kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, melalui
penyusunan anggaran yang akuntabel dan transparan dan penguatan bantuan bagi program-
program yang terkait dengan kepentingan masyarat luas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah, maka untuk lebih
mendapatkan data yang lebih relevan dan mendalam, maka penelitian ini memfokuskan pada
tiga pertanyaan penting sebagai berikut; Bagaimana respons partai politik terhadap nation-
state dan apa saja langkah-langkah yang dilakukan partai politik dalam rangka penguatan
kebangsaan yang multikultural? Partisipasi tanpa toleransi bisa mengancam demokrasi dan
2 Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh paham keagamaan terhadap toleran tidaknya terhadap penganut agama lain. Baca: Baidi Bukhori, Toleransi Terhadap Umat Kristiani Ditinjau dari Fundamentalisme Agama dan Kontrol Diri, Semarang: IAIN Walisongo, 2012. Baca juga; H. Bahari, MA (Ed.), Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri, Jakarta: Balitbangdiklat, Kementerian Agama RI, 2010.
3 Dalam konteks yang lebih luas, beberapa ahli meyakini bahwa masalah kesejahteraan yang salah satu indikatornya adalah pendapatan, menjadi faktor penting bagi penguatan demokrasi. Baca; Lipset, Seymour Martin, Political Man: Basis Sosial tentang Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
3
nation-state. Begitu juga korupsi menjadi bukti sempitnya kepentingan di tengah keragaman
bangsa. Karena itu, bagaimana bentuk partisipasi politik yang dikembangkan oleh partai
politik berkorelasi dengan toleransi di tengah masyarakat yang plural dan upayanya untuk
mencegah meluasnya tindakan korupsi yang dapat memperlemah nilai-nilai kebersamaan
sebagai warga bangsa? Sejauhmana tingkat keberhasilan atau kegagalan peran partai politik
dalam konteks pengembangan toleransi dan pencegahan korupsi sekaligus penguatan
multikulturalisme dan nasionalisme?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi peran yang dijalankan
oleh partai politik, sebagai organisasi politik yang memiliki peran sangat strategis terkait
platform kebangsaan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons partai
politik terhadap konsep negara bangsa (nation-state) sebagai landasan utama eksistensi
NKRI, memukan korelasi antara asas dan platform partai politik dengan praktik toleransi di
tengah masyarakat yang plural dan multikultur, mengetahui langkah-langkah partai politik
dalam pengembangan toleransi di tengah masyarakat yang multikural, dan mengetahui
peluang dan kendala yang dihadapi partai politik dalam penguatan toleransi. 5. Merumuskan
langkah-langkah konstruktif bagi peran dan fungsi partai politik dalam menguatkan toleransi
sebagai basis eksistensi nation-state sekaligus penguatan terhadap konsolidasi demokrasi.
4
BAB II
KAJIAN TEORI DAN LITERATURE REVIEW
Literatur yang mengkaji tentang peran partai politik sudah sangat banyak. Bahkan
cenderung menjadi klasik terkait dengan peran awal partai politik yang dianggap sebagai
jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan negara di satu sisi, dan dianggap sebagai
kendala bagi integrasi dan persatuan negara bangsa. Kajian terkait partai politik terus
berkembang, khususnya dalam hal relasi partai politik dengan ideologi sebagai jalan penentu
bagi eksistensi partai politik. Paling tidak ada tiga relasi ideologi dengan partai politik. Partai
politik lahir sebagai upaya sosialisasi ideologi yang diperjuangkan, partai politik sebagai
organisasi yang hendak menghimpun ide-ide kebersamaan yang pada akhirnya dijadikan
ideologi partai, dan partai politik yang bergerak sesuai dengan konteks dan zamannya tanpa
mempedulikan ideologinya. Lebih jauh, perkembangan partai politik tergambar dari bentuk
atau tipe partai politik, mulai dari bentuk partai proto, partai kader, partai massa, partai catch-
all, dan partai kartel. Kajian tersebut lebih mengacu pada tipologi partai politik yang
didasarkan pada skop atau cakupan dan tujuan partai politik.4
Dalam hal toleransi, kajian yang berlangsung selama ini lebih ditekankan sebagai
ranah kultural yang diinisiasi oleh kekuatan civil society. Beberapa kajian tentang hal tersebut
biasanya dikaitkan dengan multikulturalisme atau kewargaan multikultural atau faktor-faktor
lain yang bersifat psikologis. Ada juga yang mengaitkan toleransi beragama dengan aktivitas
organisasi yang digelutinya sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi terhadap pola
pandang dan sikap seseorang terhadap pemeluk agama lainnya.5 Sementara kajian yang
mengaitkan penguatan toleransi di tengah pluralitas warga dengan partai politik sebagai
kekuatan strategis dalam sistem demokrasi belum dilakukan secara intensif. Di antara
penelitian yang mengaitkan toleransi dengan politik dalam konteks yang lebih luas (baca;
demokrasi) dapat dilihat pada disertasi Saiful Mujani di Ohio State University. Namun
4 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, Bandung: Nusamedia, 2014, hal. 412 5 Beberapa kajian terkait kewargaan dan multikulturalisme bisa dibaca pada karya; Will Kymlicka,
Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2003. Baca juga; Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Baca juga beberapa hasil penelitian: Baidi Bukhori, Toleransi Terhadap Umat Kristiani Ditinjau dari Fundamentalisme Agama dan Kontrol Diri, Semarang: IAIN Walisongo, 2012 dan H. Bahari, MA (Ed.), Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri, Jakarta: Balitbangdiklat, Kementerian Agama RI, 2010.
5
temuan tersebut lebih mengacu pada konsepsi makro tentang penguatan demokrasi
berdasarkan pada tingkat toleransi politik warga.6
A. Kajian Teori
1. Negara Bangsa (Nation-State)
Bangunan negara bangsa merupakan representasi dari keragaman warga bangsa.
Negara hadir sebagai hasil dari kontrak sosial dan transaksi terbuka antara beragam
komponen bangsa yang ada di dalamnya. Karena itu, negara bangsa meniscayakan
keragaman dan perbedaan baik dari segi suku, agama, ras, etnis, dan bahasa dengan posisi
yang setara.7 Kecenderungan dominasi dalam negara bangsa juga bisa menjadi pemicu yang
dapat merongrong soliditas relasi antar warga. Karena itu, dalam negara bangsa
dipertaruhkan toleransi karena menempatkan semua warga secara setara dengan kebebasan
yang dijamin dalam demokrasi.
2. Partai Politik
Partai politik sebagai pilar demokrasi memiliki beragam fungsi dan bergerak di antara
beragam isu baik yang bersifat ideologis maupun pragmatis, dari partai yang mengedepankan
isu-isu spesifik ke isu-isu yang serba mencakup (catch-all party) bahkan menjadi kartel
dengan beragam kepentingannya.8 Partai politik tidak bisa dilepaskan dari tiga aspek yang
saling terkait sebagai indikator dari eksistensinya. Pertama, motivasi dan landasan sikap
partai. Kedua, program kerja partai. Ketiga, implementasi program kerja partai. Asas atau
ideologi partai sebagai landasan sikap partai merupakan bagian penting dalam
mendefinisikan dan memahami partai politik. Motivasi dan landasan tersebut menjadi akar
dari program kerja dan proses implementasi program kerja partai.9
3. Multikulturalisme
Keragaman warga dengan identitas primordialnya mengharuskan adanya ruang yang
setara dalam rangka aktualisasinya. Masyarakat multikultural meliputi dua atau lebih
6 Disertasi Saiful Mujani di Ohio State University berjudul; Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia diterjemahkan menjadi; Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
7 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 42 8 Tipologi partai politik didasarkan pada ideologi, cakupan anggota, juga tujuan yang hendak dicapai. Baca;
Ichlasul Amal (Editor), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012. 9 Moshe Maor, Political Parties & Party System, London: Routledge, 1997, hal. 3.
6
komunitas yang mengacu pada keanekaragaman kultural.10 Multikultur seperti dua sisi mata
pedang. Beberapa ahli mengkhawatirkan realitas multi kultur akan menjadi pemantik
instabilitas demokrasi dan memancing ketegangan yang berujung pada matinya toleransi.11
Multikulturalisme merupakan paham yang menempatkan seluruh identintas budaya sebagai
realitas yang setera dengan hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, dalam konteks ini
kategorisasi minoritas dan mayoritas menjadi tidak bermakna karena masing-masing
memiliki kekuatan. Dalam perspektif multikultural negara tidak memiliki hak untuk
mengintegrasikan atau menyesuaikan minoritas terhadap mayoritas. Masing-masing identitas
dalam beragam skalanya terbebas dari diskriminasi dan negasi.12 Namun demikian,
multikulturalisme tidak identik, apalagi mengistimewakan, minoritas. Multikulturalisme tetap
mengacu pada kehadiran yang setara dalam perbedaan.
4. Toleransi
Toleransi bukan merupakan teori tersendiri dalam kajian politik. Namun ia menjadi
komponen penting dalam memastikan berjalannya demokrasi yang terkonsolidasi. Toleransi
berjalin kelindan dengan keragaman dan perbedaan dalam realitas sosial untuk tetap hadir
secara setara dalam konteks kehidupan negara bangsa maupun demokrasi. Karena itu,
toleransi mengacu pada “pembiaran” terhadap perbedaan yang ada di tengah masyarakat
sebagai bagian dari kemestian kesetaraan. Dalam konteks demokrasi, toleransi merupakan
bagian dari budaya penerimaan warga negara dan elit politik terhadap prinsip-prinsip yang
menjadi landasan kebebasan berbicara, berserikat, beragama, dan lainnya.13 Walaupun
toleransi tidak identik dengan demokrasi, namun stabilitas demokrasi banyak ditentukan oleh
tingkat toleransi politik yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan kata lain, semakin
toleran masyarakat politik, maka demokrasi akan semakin terkonsolidasi, dan negara bangsa
dengan keragaman identintas warganya akan semakin terapresiasi.
B. Literature Review
Literatur yang mengkaji tentang peran partai politik sudah sangat banyak. Bahkan
cenderung menjadi klasik terkait dengan peran awal partai politik yang dianggap sebagai
jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan negara di satu sisi, dan dianggap sebagai
10 Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, hal. 20 11 Salah satu ahli yang mengkhawatirkan efek negatif dari multi kultur berupa merebaknya intoleransi adalah
Robert Dahl. Menurutnya sulit dibantah bahwa pluralisme subkultural kerapkali menimbulkan kegaduhan dan ketegangan dalam interaksi. Baca; Saiful Mujani, Muslim Demokrat, hal. 154
12 Willy Kymlicka, Kewargaan Multikultural, hal. 13 13 Saiful Mujani, Muslim Demokrat, hal. 153
7
kendala bagi integrasi dan persatuan negara bangsa. Kajian terkait partai politik terus
berkembang, khususnya dalam hal relasi partai politik dengan ideologi sebagai jalan penentu
bagi eksistensi partai politik. Paling tidak ada tiga relasi ideologi dengan partai politik. Partai
politik lahir sebagai upaya sosialisasi ideologi yang diperjuangkan, partai politik sebagai
organisasi yang hendak menghimpun ide-ide kebersamaan yang pada akhirnya dijadikan
ideologi partai, dan partai politik yang bergerak sesuai dengan konteks dan zamannya tanpa
mempedulikan ideologinya. Lebih jauh, perkembangan partai politik tergambar dari bentuk
atau tipe partai politik, mulai dari bentuk partai proto, partai kader, partai massa, partai catch-
all, dan partai kartel. Kajian tersebut lebih mengacu pada tipologi partai politik yang
didasarkan pada skop atau cakupan dan tujuan partai politik.14
Sementara aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam konteks kajian partai politik
adalah pemilih atau audience yang menentukan terhadap eksistensi partai politik di satu sisi,
tapi partai politik juga punya peran untuk memenangkan kontestasi berdasarkan ideologi atau
tujuan yang diperjuangkannya. Dalam hal ini, kajian diarahkan pada konsepsi besar tentang
demokrasi sebagai ujung perjuangan partai politik. Konsolidasi demokrasi menjadi pijakan
dan kerangka dasar dalam kajian peran partai politik melalui penguatan budaya politik (civil
culture) dan partisipasi.15 Lebih jauh, kajian ini berfokus pada latar belakang yang
mendorong orang berpartisipasi atau absen dalam pemilihan umum (voter turnout) baik
dalam konteks pemilu legislatif maupun pemilihan presiden maupun kepala daerah. Tiga
model penjelas dalam kajian ini meliputi model sosiologis, psikologis, dan rational choice.16
14 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, Bandung: Nusamedia, 2014, hal. 412 15 Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, Yogyakarta: IRE Press, 2003 16 Di antara kajian yang menelaah model pendorong partisipasi pemilih dalam p emilu adalah karya Saiful
Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat, Jakarta: Mizan, 2011 dan Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004, Surabaya: Pustaka Eureka, 2006.
8
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bagian ini diuraikan langkah-langkah penelitian berdasarkan kerangka
metodologi penelitian kualitatif dengan menjadikan dokumen-dokumen sebagai data primer
dan diperkuat oleh wawancara. Data primer dalam penelitian ini bertumpu pada dokumen-
dokumen terkait langsung dengan masalah penelitian, yaitu sikap dan tindakan partai politik
terhadap dua agenda penting dalam penegakan negara bangsa (nation-state), yaitu masalah
toleransi dan anti korupsi sebagai indikator untuk mengukur keberpihakan partai politik
terhadap persoalan kebangsaan. Selain dokumen, penelitian ini juga bertumpu pada
wawancara dengan partai politik untuk melihat konsistensi kebijakan yang diambil oleh
partai politik terhadap dua masalah utama tersebut.
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan beberapa tempat terkait dengan tema penelitian ini,
selama 5 bulan (Juli-November 2017). Tempat penelitian adalah DPR RI, partai politik, civil
society, beberapa ahli atau pakar, dan tokoh-tokoh penting sebagai narasumber dalam
penelitian ini. Mengingat terpusatnya data-data untuk mendukung terhadap penelitian ini,
yaitu di Jakarta dan terpusat di lembaga-lembaga politik, maka penelitian ini menekankan
pada kualitas data melalui penyajian analisis kritis dan mendalam berdasarkan dokumen dan
wawancara baik sebagai sumber primer maupun sekunder.
B. Setting (Latar) Penelitian
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perhatian penulis terhadap fenomena kuatnya
peran partai politik dalam konteks politik nasional di era refomasi, sehingga ia menjadi
sorotan kuat dari masyarakat. Peran partai politik melalui wakil-wakilnya di lembaga
legislatif telah menjelma menjadi kekuatan yang sangat strategis bagi perjalanan negara
bangsa dan kekuasaan.
Korupsi bukan sekadar penyimpangan terhadap uang negara, namun juga merupakan
kejahatan moral karena mengambil nafas hidup orang banyak untuk kepentingan diri,
keluarga, dan kelompoknya. Korupsi memonumenkan kejahatan finansial yang bila terjadi
9
secara terus menerus akan mewariskan tradisi yang dianggap legal. Peluang besar untuk
melakukan korupsi justru kekuasaan yang sejatinya menjadi epicentrum kebaikan bagi
publik. Kekuasaan, sebagaimana disitir oleh Lord Acton, cenderung korup (power tends to
corrupt).
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif17 dengan
menelaah secara detail dan mendalam terkait peran yang dijalankan oleh partai politik dalam
upaya penguatan nation-state. Telaah mendalam tersebut didasarkan pada data yang
diperoleh baik melalui dokumen maupun hasil wawancara secara mendalam (depth-
interview) dengan narasumber terkait masalah dua hal penting yang menjadi sorotan utama
dalam penelitian ini, yaitu masalah sikap partai politik terhadap korupsi dan gejala
intoleransi. Dari proses tersebut diharapkan diperoleh pemahaman yang mendalam (deep-
understanding) tentang pandangan partai politik terhadap nation-state yang terimplementasi
dalam langkah yang dijalankan oleh partai politik terkait penindakan terhadap korupsi dan
penguatan toleransi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh melalui kajian terhadap berbagai
bahan pustaka (library research), berupa dokumen-dokumen baik berupa buku, jurnal,
maupun dokumen temuan penelitian terkait. Dokumen-dokumen tersebut menjadi primer
apabila terkait langsung dengan masalah penelitian, termasuk dokumen yang memuat latar
belakang pendirian partai, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, kebijakan yang
mengarah pada penguatan nation-state dan support terhadap penguatan toleransi, termasuk
sikap dan tindak lanjut yang dilakukan partai politik terhadap beberapa undang-undang,
seperti undang-undang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
E. Prosedur Pengolahan Data
Data-data yang dikumpulkan dari dokumen-dokumen maupun hasil wawancara
diklasifikasi antara data primer dan sekunder. Data primer menjadi bahan utama dalam
analisis masalah yang menjadi pertanyaan penelitian, yaitu terkait fungsi partai politik
17 Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 86.
10
terhadap penguatan negara bangsa (nation state). Analisis berdasarkan data primer tersebut
diperkuat oleh data sekunder yang diperoleh dari berbagai bahan yang terkait dengan masalah
penelitian.
F. Pemeriksaan Keabsahan Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh melalui kajian terhadap berbagai
bahan pustaka (library research), baik berupa buku, makalah ilmiah, jurnal, atau naskah-
naskah (dokumen-dokumen) lainnya yang berkaitan dengan sikap dan perilaku partai politik
dalam merespons masalah intoleransi dan korupsi yang terjadi dan melibatkan kader-
kadernya. Di samping itu, digunakan pula bahan-bahan lain yang diperoleh melalui data
lapangan (field research) dan wawancara mendalam (depth-interview)18 dengan narasumber
yang berkompeten, yaitu dari kalangan pengurus partai politik yang memiliki otoritas untuk
menjelaskan dan memiliki posisi strategis dalam menentukan sikap partai politik terhadap
dalam hal memberikan tindakan (reward and punishment) terhadap kader-kader atau
anggotanya.
G. Teknik Analisis Data
Hasil temuan dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa tahapan analisis
terhadap; pertama, platform partai politik terkait dengan eksistensi negara bangsa baik yang
tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik maupun dari data-
data atau dokumen lainnya yang terkait. Kedua, bukti-bukti otentik yang telah dilakukan
partai politik terkait dengan penguatan eksistensi negara bangsa (nation-state).
Melalui analisis terhadap kedua perspektif tersebut, akan dilihat korelasi antara
pandangan partai politik tentang negara bangsa dengan aspek konsistensi partai dalam
mewarnai agenda-agenda yang dilakukan untuk kepentingan bangsa secara setara, termasuk
dalam hal toleransi. Hasil dari temuan tersebut akan menjadi tolok ukur untuk melihat
prospek negara bangsa di tengah kebebasan dan kemajemukan yang dirasakan oleh
masyarakat di satu sisi dan langkah-langkah konkret yang harus ditindaklanjuti bagi
kepentingan eksistensi negara bangsa.
18John W. Creswel, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Jakarta: KIK Press, 2002, hal. 140.
11
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Toleransi dalam Perspektif Partai Politik
Konsepsi partai politik terhadap masalah toleransi bisa dilihat dari rumusan anggaran
dasarnya sebagai pijakan gerak partai. Secara umum, semua partai politik menempatkan
kebangsaan dan kebhinnekaan sebagai bagian penting dalam gerak partai dengan beragam
istilah yang dipakainya. Partai Golkar misalnya menyebutkan pembangunan yang
dilaksanakan harus didasarkan pada kepentingan semua golongan, tanpa membeda-bedakan
suku, agama, ras, dan golongan.19
Paradigma Partai Golkar terhadap persoalan toleransi ditempatkan sebagai bagian dari
proses pembangunan, sementara pada kenyataannya problem dalam masyarakat tidak semata
bisa diselesaikan melalui pembangunan, apalagi hanya menjadi bagian dari proses
pembangunan. Bahwa pembangunan harus didasarkan pada kepentingan semua golongan
adalah semua kemestian dalam konteks negara bangsa, namun realitas kultural yang majemuk
juga menjadi bagian penting yang harus mendapatkan perhatian sejajar dengan perhatian
negara terhadap pembangunan, sehingga pembangunan dapat berjalan di atas nilai-nilai
kebersamaan dalam kemajemukan, termasuk untuk meminimalisasi terjadi kesenjangan.
Pembangunan yang mengedepankan pada pembangunan materi semata, berdampak pada
terbengkalainya nilai-nilai sosial, seperti pemerataan dan kepedulian yang semakin timpang
dan menjauh seiring konsentrasi modal pada segelintir orang.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lebih tegas lagi menyebutkan sebagai
sebuah pembelaan terhadap rakyat demi terwujudnya suatu kehidupan beragama tanpa
egoisme agama. Partai Gerindra secara umum menegaskan tentang eksistensi warga bangsa
yang sama di mata hukum. Hal tersebut tertuang dalam misi Partai Gerindra yang
menyebutkan urgensi penegakan hukum dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah
dan persamaan hak di hadapan hukum serta melindungi seluruh warga Negara Indonesia
secara berkeadilan tanpa memandang suku, agama, ras dan/atau latar belakang golongan.20
Partai Demokrat menempatkan masalah toleransi menjadi bagian dalam penjelasan
ideologi partai, yaitu nasionalisme-religius. Bagi Partai Demokrat nasionalisme-religius
dimaknai sebagai kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama
19 Anggaran Dasar Partai Golkar, Pasal 9 ayat b. 20 Anggaran Dasar Partai Gerindra, Pasal 10 ayat 4.
12
serta memperhatikan aspek nasionalisme, humanisme, dan pluralisme dalam rangka
mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.21 Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai partai yang berasaskan Islam memiliki pandangan spesifik
terkait dengan toleransi sebagai penghargaan atas keragaman. Dalam anggaran dasarnya, PPP
menyebutkan enam prinsip perjuangannya. Bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masalah
toleransi tidak secara khusus disebutkan, namun menekankan pada masalah kebangsaan.
Misalnya tentang sifat partai, PKB menyebutkan dalam anggaran dasarnya bahwa partai
bersifat kebangsaan, demokratis, dan terbuka.22 Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan
partai yang identik dengan reformasi karena didirikan oleh salah satu tokoh yang
menyuarakan secara lantang urgensi reformasi di akhir Orde Baru, yaitu Amien Rais.
Semangat ini tampaknya terlihat dari anggaran dasar PAN yang concern terhadap masalah
kontrol rakyat terhadap negara.23 Hal tersebut berkorelasi dengan semangat kelahirkan PAN
untuk mengakhiri otoritarianisme Orde Baru dengan demokrasi. Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) merupakan partai berasaskan Islam yang lahir di era reformasi dan dikenal sebagai
partai dakwah. Dalam masalah toleransi dan equality (kesetaraan) bagi warga negara PKS
tidak secara khusus dan tegas menempatkan sebagai masalah penting. Partai Nasional
Demokrat (Nasdem) menempatkan kebhinnekaan sebagai bagian dari fungsi partai. Dalam
anggaran dasar Nasdem disebutkan salah satu fungsi partai adalah memenuhi hak asasi
manusia dan hak warga negara, serta mengembangkan kepribadian bangsa dalam kehidupan
sosial budaya yang egaliter berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.24 Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura) menekankan pentingnya nasionalis-religius sebagai ciri partainya dan
kebersamaan sebagai nilai dasar perjuangannya.25 Salah satu nilai dasar perjuangan Partai
Hanura adalah menjalin keharmonisan dari keberagaman etnis, suku, agama, bahasa, dan adat
istiadat.
Partai Politik dan Anti Korupsi Secara keseluruhan, partai politik memiliki kecenderungan untuk menolak korupsi
dengan beragam ekspresi konsepsinya dalam anggaran dasarnya. Kalau sepluh partai politik
21 Anggaran Dasar Partai Demokrat, Pasal 3 22 Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Pasal 5 23 Dari 20 usaha untuk mencapai tujuan partai, PAN menekan kan pentingnya penegakan prinsip-prinsip
demokrasi dan hak asasi manusia, serta kontrol masyarakat terhadap negara. Lihat Anggaran Dasar Partai Amanat Nasional (PAN), Pasal 7
24 Anggaran Dasar Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Pasal 9 ayat 6 dan 7 25 Anggaran Dasar Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Pasal 12 dan 13 ayat 4.
13
yang memiliki kursi di DPR RI dikelompokkan berdasarkan konsepsinya terhadap
pemberantasan korupsi, maka muncul tiga kategori. Pertama, partai politik yang secara tegas
dan eksplisit menyebutkan menolak korupsi. Kedua, partai politik yang secara implisit
menolak korupsi melalui bahasa bersih. Ketiga, partai politik yang tidak menunjukkan secara
implisit sekalipun punya komitmen kuat untuk pemberantasan korupsi.
Kelompok pertama, partai yang secara eksplisit menyatakan menolak korupsi adalah
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). PDIP secara
eksplisit menyatakan menolak atau melarang segala bentuk pemberian atau penerimaan uang
atau materi untuk kepentingan pribadi.26 Begitu juga PAN secara eksplisit berusaha untuk
menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Komitmen PAN
dalam pemberantasan korupsi sebagai terkonsepsi dalam anggaran dasarnya tidak terlepas
dari eksistensi kelahirannya dari rahim reformasi dengan isu kuat dan mainstream saat 1998,
yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).27 Sementara Partai Gerindra menekankan
pemberantasan korupsi sebagai bagian dari jati diri kader partai. Dalam jati diri kader partai,
disebutkan bahwa kader bersumpah untuk pantang berbuat korupsi. Selain secara spesifik
menyebutkan tentang penolakan terhadap korupsi, Partai Gerindra juga menekankan
penolakan untuk berbuat curang, pantang mencuri terhadap uang partai dan uang negara.28
Partai Hanura juga memberikan penekanan secara khusus terhadap korupsi sebagai bagian
dari misi partai. Pemberantasan korupsi bagi Partai Hanura merupakan syarat mutlak bagi
terwujudnya kemajuan, kemandirian, dan martabat Indonesia.29
Kelompok kedua, partai yang secara implisit menunjukkan concernnya terhadap
pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan amanah. Dalam konteks ini, pemaknaan terhadap
istilah-istilah tersebut bisa beragam karena masing-masing menunjukkan kata yang umum.
Bersih misalnya bisa dalam konteks memenuhi standar atau prosedur, sementara korupsi
sendiri tidak lebih spesifik pada problem penyimpangan. Begitu juga akuntabel memiliki
26 Anggaran Dasar PDIP, Pasal 22 F 27 Anggaran Dasar PAN, Pasal 7 ayat 20 tentang usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan partai
adalah; “Memperjuangkan berjalannya pemerintahan yang bersih, efektif, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.”
28 Anggaran Dasar Partai Gerindra, Pasal 60 tentang Jadi Diri Kader Partai: “Kami Kader Partai GERINDRA adalah Ksatria yang membela kebenaran, kejujuran dan keadilan. Dalam hidup dan perilaku kami sehari-hari, kami akan selalu bertindak dengan sopan, disiplin dan rendah hati. Kami pantang berbuat curang, pantang mencuri dan pantang berbuat korupsi terhadap uang Partai, uang rakyat ataupun uang Negara.”
29 Anggaran Dasar Partai Hanura, Pasal 17 tentang Misi Partai ayat 7: “Memberantas korupsi secara total dalam rangka mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri dan bermartabat.”
14
makna yang sarat prosedur. Dengan kata lain, pelaksanaan kerja yang sesuai prosedur dan
dapat dipertanggungjawabkan melalui mekanisme yang ada, termasuk akuntabel, sementara
korupsi tidak sekadar penyimpangan pada prosedur, tapi terkait nilai dan kejujuran.
Contohnya, beberapa lembaga dinilai oleh lembaga penilai termasuk yang akuntabel, tapi
pada kenyataannya ada aparaturnya yang terlibat penyimpangan anggaran dengan
memanipulasi atau menutup celah agar tidak terbaca oleh mekanisme prosedural. Karena itu,
istilah bersih, akuntabel, dan sejenisnya lebih bermakna implisit dan tidak selalu
menunjukkan kesejajaran dengan anti korupsi. Namun demikian, istilah-istilah tersebut bisa
saja mengacu pada anti korupsi, persoalannya mengapa tidak langsung pada istilah anti
korupsi. Dalam hal ini beberapa partai politik yang memakai istilah implisit tersebut adalah
Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Kelompok ketiga, partai politik yang tidak menyinggung masalah korupsi sebagai
bagian penting untuk dieliminasi, bahkan dalam konteks penggunaan bahasa yang lebih
mendekati dengan masalah pemberantasn korupsi. Dalam hal ini adalah Partai Golongan
Karya (Golkar). Partai Golkar hanya menyinggung dalam anggaran rumah tangga (ART) nya
masalah sumber dana partai dengan menyebutkan bahwa pemasukan dan pengeluaran
keuangan dilaporkan kepada lembaga berwenang sesuai dengan peraturan.30 Standar ini
sangat formalistik legalistik dengan penafsirannya yang bermacam-macam. Bahkan muncul
kecenderungan pembelaan Partai Golkar terhadap kadernya yang ditetapkan sebagai
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketiga pengelompokan partai politik yang didasarkan pada konsepsinya terhadap
masalah pemberantasan korupsi berlaku pada ranah legal formal, yaitu anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga partai politik. Dengan segala tingkat penekanannya yang berbeda,
bahkan pada tingkat yang “absurd” dalam konteks sikap anti korupsi, secara faktual, tidak
ada partai politik yang suci dari korupsi, bahkan dari partai politik yang baru pertama kali
ikut pemilu dan mendapatkan kursi di DPR RI, yaitu Partai Nasdem. Korupsi adalah realitas
yang mudah menimpa lembaga yang secara otoritas memiliki ranah yang sangat luas, dalam
hal ini partai politik. Fungsi dan peran partai politik di Indonesia menjadi pintu dari segala
kepentingan, bahkan untuk menjadi pimpinan nasional negara, harus melalui partai politik.
30 Anggaran Rumah Tanggal Partai Golongan Karya (Golkar), Pasal 51 ayat 2
15
Kekuasaan yang begitu hegemonik inilah yang melahirkan inequality atau ketidak setaraan
sebagai realitas paradoks dengan demokrasi.
Korupsi, menurut Transparency International, terkait dengan inequality atau
ketidaksetaraan.31 Dalam konteks ketidaksetaraan ini ada dua makna dengan segala bentuk
dampaknya. Pertama, ketidaksetaraan sebagai adanya hirarki. Hirarki menyebabkan yang
dominan melakukan tindakan semaunya terhadap determinan, sehingga memungkinkan
terjadinya tindakan deviasi, termasuk korupsi. Ketidaksetaraan menyebabkan tidak
terkendalinya korupsi. Kedua, ketidaksetaraan sebagai konsekuensi atau akibat. Inequality
menunjukkan adanya diskriminasi akibat korupsi yang lebih mementingkan diri dan
kelompoknya. Inequality ini pada akhirnya bisa memuncak pada kecemburuan dan
ketidakpercayaan antar warga bangsa. Dengan kata lain, ancaman perpecahan atau instabilitas
akibat korupsi dapat terjadi bahkan bisa mengguncang bangunan negara bangsa.
Korupsi yang selama ini dipahami lebih sebagai bentuk penyimpangan keuangan
negara. Sebenarnya logika tersebut menjadi awal untuk masuk lebih jauh bahwa negara
adalah simbol dari warga. Karena itu, korupsi bisa dipahami sebagai bentuk penyimpangan
terhadap kehendak warga yang simbol dari negara bangsa.
Persoalan korupsi mengait pada masalah bangunan negara bangsa, karena ia bisa
merusak tata nilai yang sudah terbangun, khususnya dalam masalah kebersamaan sebagai
anak bangsa. Tindak korupsi adalah penyempitan ruang kebersamaan sekaligus penyekatan
terhadap kepentingan kolektif publik. James Zagel seorang hakim di Illinois, Amerika
Serikat, dalam memutuskan hukuman bagi koruptor (2011) didasarkan pada dampak eksesif
dari tindakan menyimpang (korupsi) bagi tatanan sosial. ”When it is the governor who goes
bad, the fabric of Illinois is torn and disfigured and not easily repaired. You did that
damage.”32
Koruptor tak sekadar penjarah harta. Ia sekaligus perusak bangunan sosial. Itulah
dakwaan Hakim Zagel terhadap mantan gubernur Illinois, AS, Rod Blagojevich, sebagaimana
dikutip chicagotribune.com (11 Desember 2011). Zagel menjatuhkan hukuman 14 tahun bagi
gubernur dari Partai Demokrat yang memimpin Negara Bagian Illinois 2003-2009 itu.
31Finn Heinrich, “Corruption And Inequality: How Populists Mislead People,” https://www.transparency.org/news/feature/corruption_and_inequality_how_populists_mislead_ people., 25 Januari 2017
32“The Fabric of Illinois is Torn “http://www.chicagotribune.com/news/ct-met-zagel-statement-1211-20111211-story.html, 11 Desember 2011
16
Korupsi tak sekadar urusan uang yang ditilap (financial manipulations), karena itu bisa
dikembalikan atau dirampas kembali; atau hanya terkait perilaku menyimpang (misuse of
public power) sebagaimana didefinisikan JJ Senturia (1993) yang bisa diselesaikan secara
hukum. Korupsi, menurut Zagel, terkait destruksi atas senyawa sosial yang kohesif. Korupsi
berefek pada kerusakan sinergi sosial yang sudah berjalin secara fungsional.33
Ia menghambat, memutus, dan membusukkan rangkaian kehidupan sosial yang
sejatinya saling memberi efek dan energi positif bagi kehidupan yang lebih baik. Kehadiran
koruptor jadi duri yang berpotensi memborokkan tatanan sosial dari dalam. Dan ini patut kita
prihatinkan seiring kian runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di
negeri ini. Rilis Lembaga Survei Indonesia (8 Januari 2012), opini masyarakat terhadap
penegakan antikorupsi 2011 kian menurun dibandingkan 2010.
Beberapa kali kita dikejutkan oleh putusan bebas terdakwa kasus korupsi. Catatan
Komisi Yudisial, puluhan koruptor divonis bebas Pengadilan Tipikor. Indonesia Corruption
Watch menyebutkan, sampai November 2011 terdapat 40 terdakwa korupsi divonis bebas.
Logika hukum para hakim tak berdaya menjamah para koruptor. Kebebasan para koruptor
sedikit banyak memberikan angin segar bagi para calon dan pelaku korupsi yang belum
terendus untuk terus nekat korupsi. Jangankan efek jera, mereka justru kian cerdik cari celah
berkorupsi secara sistemik.
Ironisnya, ini ”mendapat angin” dari anggota DPR. Upaya interpelasi atas kebijakan
pengetatan pemberian remisi untuk para koruptor dan teroris sedikit banyak menggoyah
upaya sungguh-sungguh pemberantasan korupsi. DPR yang mempertanyakan kebijakan
moratorium terjebak pada problem formalistik-legalistik yang selama ini sering dijadikan
kedok koruptor untuk korupsi. Seharusnya, sebagai wakil rakyat, mereka lebih melihat
dampak eksesif korupsi bagi rakyat dan mendukung sepenuhnya logika dan upaya
pemberantasan korupsi.
Lemahnya komitmen antikorupsi oknum penegak hukum dan legislatif jadi pelengkap
sengkarut korupsi di segala lini kehidupan negeri ini. Korupsi masif ini berdampak terhadap
deviasi kehidupan yang tersamarkan di balik euforia demokrasi prosedural. Dampak
sosiologis inilah yang cenderung terlupakan dan terabaikan. Pada titik tertentu, korupsi jadi
ajang selebrasi kaum bedebah. Bahkan kalau bisa melakukan perlawanan balik.
33 A. Bakir Ihsan, “Eksklusi untuk Pelaku Korupsi” Kompas, Senin, 16 Januari 2012
17
Kesadaran tentang efek destruktif korupsi bagi tatanan sosial belum sepenuhnya
tumbuh di masyarakat. Hal ini terlihat dari belum adanya korelasi signifikan antara persepsi
masyarakat yang negatif terhadap korupsi dan penyikapan terhadap koruptor. Persepsi tak
selalu berkorelasi dengan aksi. Korupsi lebih dilihat sebagai kejahatan ekonomi dan hukum
(struktural), bukan beban sosial (kultural). Akibatnya, sanksi sosial dan operasi masif atas
potensi korupsi tak hadir secara komprehensif.
Lebih jauh, ini berdampak pada sikap permisif terhadap korupsi. Korupsi dipandang
bukan sesuatu yang aneh dan najis, karena itu tak perlu dieliminasi dan dieksklusi. Bahkan
dalam beberapa kasus, koruptor tetap mendapatkan simpati (suara) dari konstituen untuk
jabatan publik baik di legislatif maupun di eksekutif. Dalam kurun 2008-2011 terjadi delapan
kali pelantikan kepala daerah berstatus tersangka dan terdakwa.34
Padahal, secara moral, koruptor berperilaku di luar kewajaran sosial dan secara
personal mereka mengidap kejiwaan menyimpang (psychiatric deviations). Pada titik
tertentu, apabila dibiarkan, ini bisa menjalar dan menular. Karena itu, perlu eksklusi,
pemisahan secara tegas, baik secara kategoris maupun sosiologis terhadap koruptor. Eksklusi
ini penting untuk memastikan berjaraknya efek domino dari tindak koruptif yang destruktif
para pelaku korupsi dengan tatanan sosial yang belum sepenuhnya terkontaminasi.
Eksklusi harus jadi gerakan masif masyarakat madani dan didukung media massa, di
tengah runtuhnya citra bersih institusi negara. Sebagaimana ditekankan Michel Foucault,
identitas menyimpang (gila) para koruptor bukan masalah empiris atau medis semata. Ini juga
terkait nilai-nilai sosial dan diskursus-diskursus yang terbentuk dalam masyarakat.
Eksklusi dibentuk karena kebutuhan rakyat untuk kepentingan formasi sosial yang
bersih dari korupsi. Paling tidak, ada komitmen masif untuk menegaskan jarak antara kami
(rakyat) dan mereka (koruptor). Kami sebagai rakyat yang tak mau jadi korban, dan mereka
sebagai yang aneh dan beda, karena itu harus dieksklusi.
Beberapa kasus korupsi di Indonesia melibatkan orang-orang yang memiliki posisi
strategis, khususnya ketua partai politik. Posisi ketua umum partai politik menjadi sangat
strategis karena partai politik menjadi penentu pembuka pintu kekuasaan, khususnya pada
tingkat nasional. Kenyataan ini memperkuat adagium bahkan kekuasaan cenderung korup,
semakin kuat kekuasaan, kecenderungan menjadi korup juga semakin kuat. Hal ini terlihat
pada kasus korupsi yang melanda partai politik. Sampai saat ini, paling tidak terdapat 4
34 Kompas, 9 Januari 2012.
18
(empat) ketua umum partai politik yang terjerat korupsi atau terjerat korupsi di saat menjabat
sebagai ketua umum partai politik.35
Pertama, Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Anas terjerat kasus
proyek Hambalang. Penetapan Anas sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan
pusat olahraga di Hambalang. Anas diduga menerima pemberian hadiah dari proyek tersebut
saat menjadi ketua fraksi Partai Demokrati di Dewan Perwakilan Rakyat sebelum menjadi
ketua umum Partai Demokrat. Anas dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal
11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Anas dinyatakan terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek
APBN lainnya. Atas banding yang dilakukannya justru memperberat hukumannya menjadi
14 tahun.
Kedua, Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaaq. Anggota DPR RI dari PKS ini terjerat kasus
suap impor sapi. Luthfi didakwa memberikan rekomendasi kuota impor daging kepada
kementerian pertanian yang juga merupakan kader PKS. Jaksa Penuntut Umum KPK menilai
Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah, terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari
Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman, terkait kepengurusan
penambahan kuota impor daging sapi. Atas dakwaan tersebut, Luthfi divonis bersalah dan
mendapat hukuman tahanan selama 16 tahun.
Ketiga, Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali. Ketua umum PPP yang juga menjabat
sebagai menteri agama pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode
kedua ini didakwa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di
Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Suryadharma dianggap merugikan
keuangan negara sebesar Rp 27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Saudi karena menunjuk
orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi petugas panitia
penyelenggara ibadah haji di Arab Saudi. Kalau dilihat dari platform PPP terkait anti korupsi
memang tidak secara eksplisit menunjukkan adanya keingin kuat untuk pemberantasan
korupsi. Aspek bersih dan akuntabilitas yang menjadi penekanannya belum menunjukkan
komitmen tersurat terhadap masalah pemberantasan korupsi. Namun sebagai partai yang
berasaskan Islam, sejatinya PPP, apalagi ketua umum sebagai pemangku puncak
kepemimpinan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan atau bersikap dan bertindak
tegas untuk menolak korupsi. Ketidakpuasan Suryadharma Ali terhadap hasil keputusan
35 Rakhmat Nur Hakim, “Empat Ketua Umum Partai Dijerat KPK dalam Kasus Korupsi, Siapa Saja Mereka?”, Kompas.com, 18 Juli 2017
19
pengadilan yang menghukumnya 6 tahun dan karenanya mengajukan banding, jusru
memperberat hukumannya menjadi 10 tahun.
Keempat, Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto yang diduga terlibat dalam kasus
proyek pengadaan e-KTP. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya Novanto
sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Dalam kasus pertama sebagai tersangka Novanto
melakukan praperadilan dan dimenangkannya. Namun KPK kembali menetapkannya sebagai
tersangka melalui bukti-bukti baru. Novanto diduga terlibat dalam tindakan penyimpangan
keuangan proyek kartu penduduk berbasis elektronik yang menyebabkan negara mengalami
kerugian sebesar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Novanto disangka melanggar
Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
ayat 1 ke-1 KUHP. Kasus Novanto sebagai tersangka korupsi menyita banyak perhatian
karena posisinya selain sebagai ketua umum partai terbesar kedua, Partai Golkar, juga
sebagai ketua DPR RI. Ketika menjadi tersangka pada kali pertama, melalui perdebatan
panjang, Novanto akhirnya menyatakan mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua DPR
RI, sampai akhirnya prapradilan memutuskan Novanto tidak bersalah dan kembali menjadi
ketua DPR RI. Kembalinya Novanto menjadi ketua DPR RI menunjukkan adanya dukungan
kuat dari lingkaran dalam Golkar terhadap Novanto untuk menempati tampuk pimpinan DPR
RI tanpa mempersoalkan beberapa kasus yang menimpa sebelumnya. Kasus Novanto yang
mendapatkan dukungan dan pembelaan dari koleganya di Partai Golkar semakin
mempertegas bahwa Partai Golkar sebagai partai politik tidak memiliki platform kuat
terhadap persoalan korupsi. Bahkan dalam beberapa survei, Partai Golkar merupakan salah
satu partai yang kadernya banyak terlibat dalam korupsi.
Analisis tentang Toleransi dan Anti Korupsi Deskripsi konsepsi toleransi dan anti korupsi yang ada di masing-masing partai politik
merupakan pijakan dalam memastikan perannya di dalam masyarakat yang sedang
merayakan demokrasi. Partai politik dengan posisinya yang sangat strategis menjadi tumpuan
untuk mendapatkan manfaat besar dari proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk. Kebhinnekkan masyarakat menjadi lahan subur yang dapat menumbuhkan
beragam kepentingan di atas altar kebebasan atas nama demokrasi. Karena itu, di alam
demokrasi tumbuh beragam kepentingan baik yang terinstitusionalisasi melalui organisasi
20
kemasyarakatan maupun partai politik dengan segala agenda dan aktualisasinya, bahkan pada
titik tertentu tumbuh menjadi kekuatan yang kontra terhadap demokrasi. Itulah sebabnya
sebagian pandangan menyebutkan bahwa demokrasi menggali kuburnya sendiri karena
memungkinkan lahirnya individu atau kelompok yang menentang terhadap keberadaan
demokrasi itu sendiri. Hal ini sangat rentan terjadi di tengah masyarakat yang secara etnis,
agama, suku, maupun kelompok sangat beragam. Di sinilah urgensi memperkuat fondasi
yang bisa merawat bangunan negara bangsa dengan segala keragamannya.
Negara sebagai sebuah teritorial sudah final. Gugusan pulau-pulau bersatu dalam
sebuah ikatan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Namun negara
sebagai rangkaian dinamis sejumlah entitas sangatlah labil. Nation as imagined community
semakin tua. Tua bisa menjadi simbol semakin dewasa, tapi juga simbol lupa karena renta.
Keduanya tergantung pada cara memupuk ragam entitas yang hadir di negeri ini.
Semakin kuat transendensi primordialitas masing-masing entitas, menunjukkan negara
ini berhasil memupuk warganya yang beragam. Sebaliknya ketika tuntutan-tuntutan
primordialistik mencengkram, imagined community akan semakin terancam. Dalam
kacamata demokrasi, kedewasaan sebuah bangsa ditentukan oleh sejauhmana negara mampu
menyuburkan keragaman dalam bingkai kebersamaan dan menegakkan kebersamaan tanpa
menyobek keragaman.
Proses pendewasaan yang salah kaprah terhadap negara dapat mempercepat kepikunan
negara. Orde Baru memperlakukan negara sebagai monster yang totaliter demi stabilitas
nasional. Hasilnya bukan stabilitas negara, justru menyiram bensin pada altar primordialisme.
Tidak heran apabila lempengan primordial mulai bergerak mengancam negara saat euforia
menjadi berhala.
Ada yang tergerak untuk menguatkan kembali eksistensi negara bangsa (nasionalisme),
sebagian lagi begitu asyik membangun demarkasi berdasarkan kepentingan primordialnya.
Primordialisme dan nasionalisme merupakan dua kata yang tak mungkin kompromi.
Primordialisme mengacu pada eksklusivitas dan homogenitas, sementara nasionalisme
mengagungkan inklusivitas dan pluralitas.Kompromi hanya mungkin melalui proses
transendensi. Disinilah political will kebangsaan, menjadi penting karena politik di negeri ini
telah menorehkan sejarah yang centang perenang akibat personifikasi kekuasaan. Kebangsaan
hanya menjadi khutbah yang dikumandangkan setiap Agustusan. Setelah itu kita seakan
kembali hidup di negeri tak bertuan.
21
Eksistensi partai politik sejatinya menjadi garda terdepan bagi pemberdayaan politik
yang merekatkan keragaman warga. Hal ini akan ditentukan oleh platform partai dan
visibilitas aktualisasinya. Namun karena pertimbangannya adalah tingkat laku parpol, maka
platform politik (political platform) di antara sekian parpol cenderung monolitik dan
legalistik-formalistik. Mereka cenderung bergulat dalam isu-isu besar dan seragam yang
dianggap laku. Konsekuensinya terjadi inflasi isu yang pada akhirnya melahirkan isu
murahan. Keberanian untuk berbeda menjadi hantu bagi parpol karena khawatir tidak
marketable dan acceptable. Pada titik ini parpol yang seharusnya menjadi pilar demokrasi
yang berpijak pada penghargaan pluralitas, menjebak masyarakat untuk berpikir linear,
pragmatis tanpa alternatif.
Belum ada parpol yang secara konsisten mengaktualisasikan platformnya yang bersifat
spesifik, seperti masalah lingkungan, buruh, petani, atau identitas spesifik lainnya.Kalau pun
ada parpol yang mengidentifikasi dirinya pada salah satu isu tersebut, biasanya lebih bersifat
simbolik dan karitatif.Konsentrasi dan orientasinya tetap pada kekuasaan, bukan pada
pemberdayaan isu-isu spesifik tersebut.Fakta politik di negeri ini menunjukkan orientasi
kekuasaan lebih menonjol daripada orientasi kebangsaan.Paling tidak dari wacana yang
sering dilontarkan oleh para politisi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah segalanya. Isu
reshuffle kabinet (baik perampingan maupun penambahan menteri muda), perlunya perdana
menteri, percepatan pemilu dan isu kekuasaan lainnya lebih dominan daripada wancana sosial
kemasyarakatan. Bahkan warna-warni partai yang melingkupi setiap susunan kabinet di
setiap rezim ditengarai sebagai pemicu lambannya kinerja kabinet. Masing-masing terbebani
oleh kepentingan partainya.
Lemahnya pijakan platform ini berimplikasi pada rentannya soliditas parpol. Parpol
mudah pecah dan bergulat dalam konflik yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian,
agenda pemberdayaan politik masyarakat jelas hanya mimpi.Wajar kiranya bila parpol sulit
mendapat tempat di hati rakyat. Anehnya di tengah harga diri parpol terus menurun di mata
rakyat, sebagian orang berlomba mendirikan partai politik atas nama kepentingan rakyat.
Kenyataan tersebut merupakan tantangan bagi konsolidasi demokrasi di negeri
ini.Realitas parpol yang rapuh karena tidak berpijak di hati rakyat dapat mengancam
eksistensi demokrasi. Belum lagi personifikasi kekuasaan (jabatan) yang dilakukan
parpol.Terjadinya personifikasi jabatan berdasarkan parpol dapat mendistorsi public service
sebagai misi utama jabatan. Dan hal ini tampaknya sulit dielakkan di tengah orientasi
22
kekuasaan yang begitu kuat dan lemahnya visi kebangsaan. Apalagi menjelang pemilu,
konsolidasi kader partai baik yang ada di legislatif dan eksekutif akan gencar dilakukan untuk
kepentingan mobilisasi massa. Pada titik tertentu, tentu ada korban dari konsolidasi seperti
ini. Yaitu tersingkirnya kaum minoritas politik. Langkah ini sekaligus mempertegas
kepentingan parpol di atas kepentingan warga bangsa.
Kenyataan tersebut patut kita khawatirkan, karena baru saja kita mengesahkan UU
Kewarganegaraan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai terobosan baru bagi eksistensi
warga bangsa tanpa kasta. Namun semua produk ini akan sia-sia apabila partai politik masih
memainkan primordialisme (kepentingan kelompok) sebagai basis kekuatan partainya.
Kapling politik yang dilakukan parpol ini menjadi pembuka bagi pengaplingan ranah
publik lainnya.Masing-masing politisi berjuang untuk memperoleh sumber ekonomi sebesar-
besarnya untuk kepentingan kelompoknya.Isu percaloan yang melibatkan beberapa anggota
DPR merupakan puncak gunung es problem orientasi kebangsaan.Masing-masing menggerek
bendera partai politiknya demi fasilitas kelompoknya. Akibat distorsi orientasi kebangsaan
pula anggota DPR menggunakan dana serap aspirasi hanya untuk memperkuatkonstituen
partainya dan eksistensi dirinya, bukan untuk pemberdayaan politik warga bangsa tanpa
kasta. Semakin lengkaplah pengaplingan negara ini.Mudah-mudahan ini bukan gejala
munculnya Negara Kapling Republik Indonesia (NKRI). Inilah tantangan demokratisasi di
tengah masyarakat yang majemuk. Bila demokrasi hanya tumbuh kuat dalam sebuah tata
kebangsaan yang setara, maka partai politik sebagai elan vital demokrasi mengharuskan ko-
eksistensi. Ko-eksistensi bukan koalisi partai, apalagi fusi. Ko-eksistensi justru memberi
ruang bagi eksistensi identitas politik sebagai pertaruhan bagi penguatan kebangsaan warga.
Ini penting, bukan hanya bagi warga, tapi juga bagi partai agar tak menjelma menjadi apa
yang John Keane (2009) sebut sebagai viral politics yang mengkroposkan demokrasi.
Secara konseptual, concern partai politik untuk pemberantasan korupsi dan upaya
penegakan toleransi terbaca dalam anggaran dasarnya. Bahkan sebagian partai secara tersurat
menyatakan “perang” terhadap korupsi. Begitu juga dalam hal toleransi, partai politik di DPR
RI telah mengesahkan undang-undang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Walaupun
terjadi perdebatan khususnya dalam pembahasan undang-undang penghapusan diskriminasi
ras dan etnis, namun secara umum, semua partai setuju dengan penghargaan terhadap
perbedaan sebagai wujud dari hukum alam (sunnatullah), bahkan partai politik Islam, seperti
PPP dan PKS dalam pandangan awal terhadap pembahasan undang-undang tersebut
23
menguatkan dengan ayat Alquran tentang penciptaan Tuhan yang bersuku-suku dan
bergolongan agar saling mengenal dan menghargai.36
Konsepsi terkait korupsi dan toleransi yang dimiliki partai politik tidak berbanding
lurus dengan implementasi di lapangan. Dalam hal korupsi, partai politik, khususnya melalui
kadernya di DPR RI, menjadi bagian terdepan. Bahkan dalam survei Global Corruption
Barometer (GCB) yang disusun Transparency International memperlihatkan 65% masyarakat
Indonesia menganggap level korupsi meningkat dalam 12 bulan terakhir dan menempatkan
DPR RI sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Hasil ini memperlihatkan adanya
peningkatan citra buruk koruptif DPR RI dibandingkan pada tahun sebelumnya yang
menempatkan lembaga kepolisian sebagai lembaga terkorup.37
Kerangka ideal yang disematkan partai politik belum berhasil menggerakkan kader-
kadernya menunjukkan beberapa faktor. Pertama, lemahnya pelembagaan (institusionalisasi)
partai politik. Partai politik tampil seperti lembaga penyedia jasa untuk mendapatkan
kekuasaan baik di legislatif dan eksekutif. Partai politik tidak peduli apakah yang mau
mendapatkan kekuasaan memahami visi dan misi partainya, yang penting bisa memenuhi
tuntutan pragmatis partai. Di sinilah partai politik memberi ruang terjadinya money politics
melalui transaksi kekuasaan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak (partai
dan penggila kekuasaan).
Kedua, tingginya biaya politik. Langkah-langkah partai politik dalam meraih dukungan
masyarakat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya dengan memberikan pundi-pundi
politik. Dukungan masyarakat dikalkulasi berdasarkan jumlah materi yang diberikan. Suara
begitu mudah diberikan oleh masyarakat dengan iming-iming uang dan pundi-pundi lainnya
dengan segala konsekuensinya, termasuk tingginya biaya politik. Kondisi ini mendorong
partai politik dan pencari (petualang) kekuasaan hanya berpikir bagaimana mencari uang
dengan berbagai cara untuk tetap mendapatkan dukungan dari pemilih dan eksis sebagai
politisi.
Ketiga, lemahnya kaderisasi. Partai politik belum menjadi institusi yang menyeleksi
para kadernya secara meritokratif agar dapat mengisi posisi-posisi strategis kepemimpinan
baik di legislatif maupun eksekutif. Kaderisasi dan rekrutmen yang sejatinya menjadi pintu
masuk untuk seleksi kepemimpinan yang berkualitas dan kapabel belum berjalan secara
36Risalah pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras, DPR RI, 2008
37http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39189729
24
maksimal karena partai seringkali memberi pintu masuk bagi orang baru yang sama sekali
tidak punya kaitan, apalagi memahami visi partai, tetapi karena pertimbangan fasilitas atau
sumbangan (pundi-pundi) nya pada partai politik.
Keempat, belum kuatnya kesadaran politik masyarakat. Kesadaran politik masyarakat
masih berada level apa yang disebut oleh Almond dan Verba sebagai parokhial, paling tidak
subyek yang menyadari adanya diferensiasi, namun tidak punya kekuatan atau semangat
untuk terlibat dalam proses input dan proses.38 Kontrol terhadap sistem politik belum berjalan
secara maksimal, sehingga peluang terjadinya deviasi atau penyimpangan dalam proses yang
berlangsung di antara legislatif dan eksekutif mudah terjadi. Di samping itu, masyarakat
menempatkan deviasi politisi bukan sebagai cacat yang destruktif, sehingga sanksi sosial
terhadap beragam penyimpangan, terutama korupsi, tidaklah maksimal, bahkan pada titik
tertentu terjadi sikap permissif masyarakat atas penyimpangan yang disertai dengan bantuan.
Kondisi ini seakan memperkuat persepsi masyarakat bahwa politik adalah sumber fasilitas
dan serba uang. Masyarakat memahami politik sebagai jalan kekuasaan untuk mendapatkan
dana besar dan dibagikan kepada masyarakat. Kondisi ini dipergunakan oleh partai politik
untuk menarik dukungan dari masyarakat berdasarkan pundi-pundi sesaat. Simbiosis
mutualisme antara politisi dan masyarakat berlangsung secara deviatif dan distortif.
Begitu juga perhatiannya terhadap tolernasi. Kasus kekerasan yang melibatkan
kelompok mayoritas terhadap minoritas baik dalam hal agama, aliran, maupun etnis tidak
mendapatkan perhatian kuat. Kalau pun terlibat, sebagian partai lebih mementingkan
kepentingan mayoritas dibandingkan minoritas yang menjadi korbannya. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa kasus, seperti sikap partai politik terhadap Ahmadiyah yang cenderung
membernarkan terhadap tindakan masyarakat yang mendiskriminasi keberadaannya. Begitu
juga dalam kasus Syiah di Madura yang secara tidak langsung melibatkan kepala daerah yang
diusung oleh partai politik dengan lebih mementingkan kehendak mayoritas masyarakat yang
menghendaki adanya pengucilan terhadap penganut syiah.
Pertimbangan kehendak mayoritas menjadi dilema di tengah pemahaman sebagian
masyarakat terhadap demokrasi. Atas nama mayoritas dan kebebasan, kelompok minoritas
baik dalam hal agama, etnis, dan lainnya cenderung menjadi korban. Padahal kalau kembali
pada nilai-nilai dasar demokrasi dan kebhinnekaan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan
negara bangsa, setiap orang (individu) memiliki hak yang sama untuk menjalankan
38 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1984, hal. 20-23
25
keyakinannya dan mendapat kehidupan yang sama di bawah naungan negara bangsa bernama
Indonesia.
Ada kecenderungan pembiaran oleh partai politik dalam merespon terhadap kasus relasi
mayoritas-minoritas. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan dukungan
masyarakat dalam kontestasi. Partai politik lebih mementingkan kemenangan kontestasi
daripada berusaha membangun kehidupan berbangsa yang mengedepankan kebersamaan
dalam keragaman. Kepentingan elektabilitas mengalahkan kebersamaan yang sejatinya
terbangun dalam negara bangsa. Bahkan tidak jarang, relasi sosial terpecah oleh kepentingan
segelintir elit partai yang kalah dalam kontestasi. Kerasnya perdebatan di lembaga legislatif
lebih didasarkan pada kepentingan masing-masing, bukan pada kepentingan masyarakat
sebagai realitas yang diwakilinya.
Kondisi partai politik yang belum maksimal mencurahkan perhatiannya pada agenda
kebangsaan, khususnya dalam hal penguatan toleransi dan antikorupsi berdampak pada
semakin lemahnya kedekatan masyarakat terhadap partai politik. Dalam khazanah ilmu
politik disebutkan bahwa salah satu bukti adanya kedekatan partai politik dengan publik
adanya adanya pengidentifikasian warga terhadap partai atau party identification (partyID).
Kedekatan inilah yang akan menggerakkan warga untuk ikut terlibat dalam beragam kegiatan
dan agenda partai karena ia bangga dan merasakan dampak dari peran yang dimainkan oleh
partai politik. Namun sebaliknya dengan realitas yang menunjukkan belum kuatnya
kepedulian partai politik terhadap masalah toleransi sebagai basis penting bagi penguatan
integrasi sosial yang beragam dan semakin kuatnya tindakan korupsi yang dilakukan oleh
kader partai politik, masyarakat semakin jauh dengan partai politik. Dampak yang lebih
berbahaya adalah gagalnya partai politik membangun kohesivitas sosial karena lebih
mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Keikutsertaan masyarakat dalam
setiap pemilu sekadar rutinitas yang dibangun berdasarkan kepentingan pragmatis dan sesaat,
bukan didasarkan pada adanya ikatan partyID. Di sinilah urgensi revitalisasi fungsi partai
politik dalam ikut memperkuat bangunan kebangsaan dengan menumbuhkan rasa bangga
sebagai bangsa yang memiliki sistem demokrasi yang saling menghargai dan karenanya
berpartisipasi dengan penuh toleransi.
26
BAB V
PENUTUP
Keberhasilan partai politik menjadi pintu sekaligus fondasi negara bangsa tergantung
pada bagaimana negara bangsa dipersepsikannya. Dari pembacaan terhadap platform partai
politik yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai
politik secara umum menunjukkan komitmen kuat bagi penguatan negara bangsa. Paling
tidak, semua partai politik, khususnya yang mendapatkan kursi di lembaga legislatif dan
memiliki posisi di pemerintahan menempatkan negara bangsa yang teraktualisasi dalam
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pilihan yang mendapatkan
dukungan kuat dari partai politik. Pencantuman istilah kebhinnekaan, keragaman,
kemajemukan, dan sejenisnya menunjukkan pandangan partai politik terhadap realitas yang
harus dirawat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara konsepsional, modal partai politik untuk memperkuat kebangsaan terlihat dari
beragam ekspresi yang tertuang dalam AD/ART-nya baik pada aspek politik, ekonomi,
budaya, hukum, dan lainnya. Ada dua kategori yang menjadi dasar untuk menilai tingkat
relasi antara partai politik bagi penguatan negara bangsa. Pertama, pada tataran konsepsi
yang tertuang dalam AD/ART terkait toleransi dan anti korupsi. Kedua, pada tataran
aktualisasi toleransi dan antikorupsi partai politik. Terkait dengan masalah toleransi, partai
politik tidak memiliki ekspresi bahasa yang sama dengan segala konkuensinya termasuk
dalam pemaknaan terhadap istilah yang dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan
masalah toleransi. Penggunaan istilah kemajemukan, keragaman, dan bhinneka tunggal ika
dalam AD/ART partai politik pada akhirnya tergantung pada perspektif dan sudut pandang
kader partai dalam penerapannya, karena tidak penjelasan rinci terkait masalah tersebut.
B. Implikasi
Peran partai politik baik secara konseptual maupun aktual sebagaimana pembacaan di
atas berimplikasi pada belum adanya konsistensi baik pada ranah teoretis maupun praksis.
Partai politik yang sejatinya merupakan fondasi sekaligus penguat bagi bangunan nation state
belum mampu mengaktualisasikannya secara maksimal. Modal besar dan strategis yang
dimiliki partai politik belum berjalinkelindan dengan peran yang dimainkannya pada ranah
publik. Secara teoretis, temuan di atas memiliki dua implikasi. Pertama, partai politik yang
27
ditempatkan sebagai fondasi partisipasi dalam demokrasi lebih mengedepankan mobilisasi
dan karenanya partyID (partisanship) tidak menguat. Kedua, demokrasi yang selama ini
dipahami sebagai sistem yang mengedepankan massa (bottom up), masih top down. Ketiga,
masalah nation state tidak semata masalah nilai tapi juga tindakan.
C. Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan peran partai politik bagi penguatan bangunan negara bangsa
di atas, ada beberapa rekomendasi sebagai pijakan tindak lanjut baik secara akademik
maupun praksis. Pertama, nation state merupakan realitas sejarah kebangsaan yang harus
terus dirawat melalui penguatan pilar-pilar demokrasi, di antaranya partai politik. Kedua,
perlu dilakukan rekonstruksi terhadap konsepsi yang belum sepenuhnya menempatkan
masalah toleransi dan antikorupsi sebagai bagian penting dalam AD/ART. Ketiga, partai
politik yang ada saat ini harus mereorientasikan dirinya berdasarkan kepentingan masyarakat
dengan segala warna irisan sosialnya, sehingga partai politik menjadi katalisator bagi aspirasi
masyarakat. Keempat, nation state sebagai sebuah kerangka kehidupan berbangsa dan
bernegara akan kuat ketika masing-masing komponen mengedepankan toleransi dan
bertindak berdasarkan kepentingan kolektif sebagai warga bangsa. Dua diantara tindakan
yang bisa memperkuat bangunan negara bangsa adalah toleransi dan antikorupsi. Keenam,
merawat bangunan negara bangsa merupakan tanggung jawab kolektif seluruh komponen
bangsa. Ketujuh, perlu penguatan kesadaran toleransinya, karena partisipasi tanpa toleransi
bisa melahirkan dominasi dan diskriminasi atas nama kelompok, kekuasaan, dan lainnya.
Kedelapan, perlu keteladanan secara kultural dan struktural. Kesembilan, perlu penyadaran
bahwa korupsi memberi sumbangsih bagi rapuhnya bangunan negara bangsa.
28
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul (Editor), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012
Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. The Civic Culture, Political Attitudes and Democracy in Five Nations, California: Sage Publication Incs. 1989
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-LSI, 2009
Asfar, Muhammad, Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004, Surabaya: Pustaka Eureka, 2006
Bahari, H, MA (Ed.), Toleransi Beragama Mahasiswa, Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri, Jakarta: Balitbangdiklat, Kementerian Agama RI, 2010.
Bukhori, Baidi, Toleransi Terhadap Umat Kristiani Ditinjau dari Fundamentalisme Agama dan Kontrol Diri, Semarang: IAIN Walisongo, 2012
Diamond, Larry, Developing Democracy Toward Consolidation, Yogyakarta: IRE Press, 2003
Diamond, Larry dan Richard Gunther (ed). Political Parties and Democracy, Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2001
Duverger, Maurice, Political Parties, New York, John Wiley & Sons, Inc., 1965 -----------, Sosiologi Politik, Jakarta, Rajawali Pers, 2005
Evans, Kevin Raymond. Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta, PT. Arise Consultancies, 2003
Harrison, Lisa, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007 Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, Grafiti Pers, 1995 Ihsan, A. Bakir, “Corak Ideologis Partai Politik Islam Dalam Pembahasan Rancangan
Undang-Undang di Era Reformasi (2004-2009)”, Jakarta, Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen), LP2M UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015
--------------, Ideologi Islam dan Partai Politik, Jakarta: Orbit Puslishing, 2016 Huntington, Samuel P, Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, Jakarta,
Rajagrafindo Persada, 2003 Jones, Tod, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20
Hingga Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015 Katz, Richard S. dan William Crotty, Handbook Partai Politik, Bandung: Nusamedia, 2014 Keane, John, The Life and Death of Democracy, London, Simon & Schuster, 2009 Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2003
29
Lipset, Seymour Martin dan Stein Rokkan. “Cleavage Structures, Party Systems, and Voter
Alignments” dalam Peter Mair, The West European Party System, Oxford: Oxford University Press, 1990
Lively, Jack. Democracy, Oxford: Basil Blackwell, 1975
Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004
Mainwaring, Scott, dan Mariano Torcal. Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper for Kellogg Institute, April 2005
Mair, Peter. Party System Change, Approaches and Interpretations, New York: Oxford University Press, 1997
Mair, Peter, Wolfgang C. Muller, dan Fritz Plasser (Ed.). Political Parties and Electoral Change, California: Sage Publications Ltd., 2004
Manning, Chris, & Peter van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LKiS, 2000
Mair, Peter, Wolfgang C. Muller, dan Fritz Plasser (Ed.), Political Parties and Electoral Change, California: Sage Publications Ltd., 2004
Maor, Moshe, Political Parties & Party System, London: Routledge, 1997 Michels, Robert, Partai Politik, Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, Jakarta:
Rajawali, 1984 Mujani, Saiful, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2007 Mujani, Saiful, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat, Jakarta: Mizan, 2011 Parekh, Bhikhu, Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik,
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Putnam, Robert D. The Comparative Study of Political Elites, New Jersey, Prentice Hall, 1976
Sartori, Giovanni, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis, UK: ECPR Press, 2005
Segal, David R. Society and Politics,Uniformity and Diversity in Modern Democracy, Illinois: Scott, Foresman and Company, 1974
Setiawan, Bambang, (ed.). Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Kompas, 2004.
Verba, Sydney, Norman H. Nie, & Jae-on Kim. Participation and Political Equality, New York: Cambridge University Press, 1978
Woods, Brett F, Thomas Jefferson: Diplomatic Correspondence, New York: Algora Publishing, 2016