parenting class bagi orang tua berpendidikan rendah …
TRANSCRIPT
1
PARENTING CLASS BAGI ORANG TUA BERPENDIDIKAN
RENDAH DALAM PENGASUHAN ANAK DI DESA
Ratriana Yuliastuti E.Kusumiati. M.Si., Psi. Wahyuni Kristinawati, M.Si., Psi.
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola pengasuhan (parenting) pada
orang tua berpendidikan rendah dengan metode pengumpulan data berupa diskusi
kelompok terarah. Subjek adalah 20 pasang suami istri yang memiliki anak usia 7
bulan – 13 tahun, berpendidikan maksimal SMP, dan tinggal di dusun Kopeng,
desa Kopen, Kecamatan Geasan, Kab. Semarang. Berdasar data diketahuia bahwa
keterbatasan pendidikan orang tua berpotensi menjadi kendala dalam pola
pengasuhan. Responsivitas dan kontrol orang tua cenderung menekankan
pengembangan aspek perkembangan yang sifatnya konkrit, yaitu perkembangan
fisik dan perkembangan sosial, sementara perkembangan emosi dan kognitif
masih belum memperoleh perhatian yang memadai. Bentuk-bentuk respon juga
masih miskin oleh keterbatasan wawassan dan pengetahuan orang tua. Budaya di
desa memberi keuntungan dalam pengembangan aspek sosial karena sejak kecil
turut menghidupi budaya kolektivism dalam hal saling menolong.
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah pilar utama pembentukan kepribadian. Oleh keluarga
berbagai kebiasaan anak dilatih dan dibentuk, segala potensi anak dikembangkan,
dan ketrampilan dasar kehidupan diajarkan. Pada sebagian orang tua, tindakan
pendidikan dan pengasuhan anak didasarkan atas pengalaman semata atau pada
tradisi lingkungannya. Betapa penting atribut positif orang tua dalam menjalankan
fungsi optimal berorangtua (parenting). Parenting yang efektif meliputi
kemampuan mengembangkan harapan yang jelas pada anak, sikap tenang saat anak
merajuk atau mengamuk, memberikan konsekuensi positif dan negatif secara
konsisten, menjadi model peran yang positif, dan memberi pujian yang tepat pada
perilaku yang diharapkan. Aspek perkembangan anak yang mendapat pengaruh
dalam kebefungsian orang tua dapat dibagi menjadi empat (4) aspek perkembangan
2
yaitu: Perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan emosi-
kepribadian, dan perkembangan psikososial.
Pada masyarakat desa, menjadi orang tua yang trampil memiliki tantangan
yang berbeda dari orang tua di kota. Di Kopeng, misalnya, sebuah desa di
Kabupaten Semarang ini, sekitar 80% penduduknya mengenyam pendidikan
Sekolah Dasar (profil desa Kopeng, 2008). Keterbatasan pendidikan ini diduga
memiliki pengaruh terhadap cara masyarakat melaksanakan fungsi berorang tua
(parenting). Selain kemampuan mereka yang masih sederhana, keterbatasan akses
membuat orang tua kurang trampil mengevaluasi gaya pengasuhan yang mereka
terapkan. Di sisi lain orang tua dari kelompok sosial bawah (termasuk mereka
dengan pendidikan rendah) memiliki ambisi untuk mendorong anak-anak
bersekolah lebih tinggi dari mereka sendiri. Hal ini membuat anak-anak dari orang
tua berpendidikan rendah dituntut mengadopsi nilai dan perilaku yang berbeda dari
yang mereka lihat pada orang tua (Lamanna dan Riedmann, 1994).
Uraian di atas mengindikasikan bahwa upaya mendorong pola parenting
yang adekuat selalu menjadi tindakan penting yang layak diperhitungkan, suatu
lompatan yang terpenting dalam kehidupan anak-anak kita, dan jika upaya ini
dikerjakan, evaluasi atas efektivitas usaha itu merupakan kunci utama dalam rangka
memperoleh tinjauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menemukan metode yang
sehat bagi anak dalam proses parenting adalah upaya yang memerlukan
waktu,biaya, dan energi cukup besar sekaligus bernilai guna tinggi. Karena itulah
peneliti tertarik untuk meneliti tentang Efektivitas Parenting Class Bagi Orangtua
Berpendidikan Rendah dalam Pengasuhan Anak di Desa.
B. Tujuan Khusus
1. Memperoleh gambaran pola pengasuhan orang tua berpendidikan rendash di desa.
2. Menerapkan ilmu psikologi dalam bentuk modul strategi parenting khususnya
bagi orangtua berpendidikan rendah.
3
C. Urgensi Penelitian
Penelitian ini memiliki urgensi bagi pengembangan institusi dan
pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan non formal bagi orangtua
berpendidikan rendah . Adapun urgensi penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Memperkaya kajian ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan
psikologi keluarga.
2. Membekali orang tua berpendidikan rendah dalam hal pengasuhan anak yang
meliputi: mengenali pola pengasuhan yang salah dan yang tepat, pengaruh relasi
suami-istri dalam pembentukan perilaku anak, model-model modifikasi perilaku
dalam pengasuhan sehari-hari.
3. Meningkatkan peran ayah dan ibu sebagai mitra sejajar dalam pengasuhan anak.
4. Menciptakan „agent of change’ dalam masyarakat desa terkait hal menjadi orang
tua yang bertanggung jawab.
BAB II. TINJAUAN
A. Psikologi Belajar
Belajar merupakan proses perubahan suatu rangkaian tingkah laku yang
sifatnya menetap. Menurut Gunarsa (1981), pada dasarnya setiap anak mengalami
dua proses belajar, yaitu:
1) Belajar melalui kondisioning, yaitu memberikan penguatan dan hukuman dalam
proses pembentukan, penghilangan, atau modifikasi perilaku.
2) Belajar melalui pengamatan terhadap model-model perilaku di luar dirinya.
Pihak yang menjadi model bisa berasal dari kelompok anak usia sebaya, guru,
dan model yang intensif memaparkan contoh perilaku adalah orang tua.
Keunikan yang dimiliki setiap individu di dunia terjadi antara lain
karena perbedaan proses belajar antara setiap individu dan perbedaan dinamika
faktor yang mempengaruhi perkembangan. Hereditas, lingkungan, dan kematangan
fungsi tubuh merupakan penentu pertama. Namun penentu lain adalah faktor yang
tak kalah penting, yaitu konteks kehidupan individu; termasuk di dalamnya adalah
4
keluarga, status sosial ekonomi, dan budaya setempat (Papalia, Olds, dan Feldman,
2004).
B. Parenting
Parenting (menjadi orang tua) adalah proses meningkatkan dan mendorong
perkembangan fisik, sosial, emosional, dan intelektual anak dari masa bayi hingga
dewasa. Parenting menunjuk pada aktivitas mengasuh anak daripada hubungan
biologikal (http://en.wikipedia.org/wiki/Parenting).
Menjadi orang tua merupakan suatu titik penting dalam perkembangan
hidup. Ketergantungan anak yang baru lahir mampu mengubah individu dan
mengubah hubungan relasional. Dalam proses ini, anak berkembang dan orang tua
pun berkembang ((Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Kualitas interaksi antara
orang tua dan anak akan menentukan kualitas anak baik secara fisik, sosial, dan
emosional anak; sekaligus juga berpengaruh pada kepuasan pernikahan suami dan
istri.
C. Dimensi- Dimensi Parenting
Dimensi pola asuh menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) terdiri dari 2
dimensi yaitu responsiveness dan demandingness. Dimensi responsiveness
mengacu pada derajat atau kadar orangtua dalam memperhatikan kebutuhan dalam
suatu bentuk atau cara penerimaan, dukungan, kehangatan dan dorongan. Adapun
dimensi demandingness mengacu pada pola orangtua dalam mengontrol perilaku
anak untuk mencapai perilaku yang diharapkan, kematangan dan perilaku
tanggung jawab. Keseimbangan antara dua dimensi tersebut menghasilkan
pengaruh positif terhadap perkembangan anak hingga dewasa.
D. Aspek Perkembangan Anak
Aspek perkembangan pada anak meliputi perkembangan fisik, perkembangan emosi,
perkembangan kognitif (intelektual) dan perkembangan psikososial.
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang
5
anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang
kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak.
Perkembangan fisik meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus,
keduanya berkembang sesuai usia anak. Kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan
melompat termasuk contoh perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan
sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan
tubuh. Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak.
Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang
anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya. Adapun perkembangan motorik halus
merupakan perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau
sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh
kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Kemampuan menulis, menggunting,
dan menyusun balok termasuk contoh gerakan motorik halus.
2. Perkembangan Emosi
Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk mencintai; merasa
nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada
aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan orang-orang
di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang
diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan
belajar untuk menyayangi.
3. Perkembangan Kognitif
Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam
menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya.
Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan
maupun isyarat), memahami kata, dan berbicara.
4. Perkembangan Sosial
Aspek psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menyapa dan bermain bersama
teman-teman sebayanya.
6
Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dapat memberikan
rangsangan serta latihan agar keempat aspek tersebut berkembang secara seimbang.
Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus hanya pada satu atau sebagian aspek.
Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan dengan tetap memerhatikan
kesiapan anak, bukan dengan paksaan.
E. Krisis Keluarga dan Kemampuan Adaptasi
Berkeluarga tentu tidak lepas dari permasalahan dan keterbatasan. Berbagai
jenis masalah ini menimbulkan krisis bagi keluarga. Di Indonesia, semakin
banyaknya jumah orang miskin mengindikasikan semakin banyak pula keluarga
yang menghadapi persoalan. Sumber stress dan kesulitan hidup menuntut orang tua
dan anggota keluarga untuk mengatasinya. Keluarga yang memandang masalah
sebagai akibat kesalahan mereka sendiri akan merasa lebih menderita daripada
keluarga yang berpandangan bahwa masalah yang terjadi berasal dari luar dirinya.
Keterbatasan pendidikan orang tua merupakan salah satu sumber krisis
potensial keluarga. Yang terpenting adalah reaksi orang tua terhadap krisis yang
terjadi dan bagaimana orang tua mampu beradaptasi. Keluarga yang mampu
mengatasi masalah yang dihadapi adalah keluarga yang kuat, di mana satu anggota
saling memberi dukungan dengan anggota yang lain. Sebaliknya keluarga yang
lemah akan lebih rentan terhadap akibat yang tidak menguntungkan jika
menghadapi kejadian pemicu krisis (Lamanna dan Riedmann, 1994). Orang tua
pada keluarga lemah ini memiliki potensi menerapkan pola asuh yang keliru. Jika
perlakuan orang tua pada anak keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku
yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak (Ramadhan dalam
http://tarmizi.wordpress.com/2009).
F. Parenting pada Orang Tua Berpendidikan Rendah
Status sosial ekonomi memiliki peran besar dalam meraih akses
pendidikan. Pada masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah, maka
pendidikan masyarakatnya juga cenderung rendah (NCES Digest dalam Papalia,
Olds, dan Feldman, 2004), padahal pendidikan merupakan aspek penting dalam
memberi pengasuhan pada anak. Semakin tinggi pendidikan, sesesorang semakin
7
mampu menggunakan penalaran dan semakin fleksibel dan memegang komitmen
dan tata nilai yang dipilihnya secara bebas.
Menurut Lamanna dan Riedmann (1994) orang tua dengan status sosial
rendah memperoleh pendapatan dan jaminan kehidupan yang tergantung pada
pemberi kerja. Pada orang tua status social rendah, masalah ekonomi dan
penggunaan waktu lebih banyak dihadapi sekalipun suami dan istri keduanya
bekerja. LeMaster dan DeFrain (dalam Lamanna dan Riedmann, 1994)
menyatakan bahwa masalah pada orang tua ini bahwa lebih buruk oleh keinginan
untuk memenuhi standard hidup yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan uraian
sebelumnya, pendidikan rendah memberi peluang lebih besar bagi orang tua untuk
menerapkan pengasuhan yang keliru terkait keterbatasan wawasan dan akses
informasi.
Selanjutnya orang tua dengan status social rendah memiliki ambisi untuk
mengupayakan pendidikan anak yang lebih tinggi dari mereka. Hal ini membuat
anak mengadopsi nilai dan perilaku yang berbeda: masa kecil orang tua semula
memiliki banyak waktu luang, sedangkan saat ini anak dituntut memenuhi tujuan
orang tua. Perubahan ini juga mampu menjadi potensi masalah antar generasi
dalam keluarga.
Fungsi keluarga untuk bereproduksi, memberi dukungan ekonomi, dan
memberikan keamanan emosi bagi anggotanya memang lebih dimungkinkan pada
keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah di mana umumnya memiliki
orang tua dengan pendidikan yang memadai (paling tidak melewati syarat
pendidikan dasar). Oleh karena itu diperlukan adanya dukungan bagi orang tua
berpendidikan rendah untuk memiliki wawasan yang lebih baik dari sebelumnya
khususnya terkait bagaimana mendidik anak yang efektif.
.
B. Roadmap Penelitian
Tema parenting atau ketrampilan sebagai orang tua telah disadari memiliki
urgensi yang tinggi pada beberapa elemen masyarakat. Selama ini peneliti sebagai
pribadi maupun di bawah koordinasi Fakultas Psikologi UKSW telah melakukan
upaya sosialisasi dengan tema-tema serupa, baik bagi orang tua dalam lingkup
gereja maupun PPA (pusat pengembangan anak), pengasuh di panti asuhan; baik di
kota Salatiga, Semarang, juga luar Jawa. Selama ini kegiatan-kegiatan tersebut
8
dilakukan sebagai bentuk pengabdian masyarakat dengan pengembangan materi
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa, tanpa dilakukan
evaluasi yang berkesinambungan.
Kami melihat bahwa kebutuhan masyarakat tentang bagaimana memberi
pengasuhan yang sesuai dengan tumbuh kembang anak di era globalisasi ini
semakin diperlukan khususnya pada kelompok masyarakat desa dengan pendidikan
yang rendah. Hal ini merupakan bentuk pemberdayaan orang tua, masyarakat dalam
rangka mempersiapkan masa depan anak. Materi parenting class ini disusun
berdasar kajian teoritik, pelatihan dan pengalaman penanganan kasus anak, serta
pertemuan-pertemuan bersama orang tua. Jika dapat diperoleh data empiris tentang
efektivitas materi dan metode pelatihan parenting pada kelompok sasaran ini, maka
replikasi sosialisasi parenting pada kelompok orang tua pendidikan rendah sebagai
kelompok berisiko akan semakin terfokus dan tepat sasaran.
Disain tersebut memberi kesempatan orang tua berpartisipasi dalam
parenting class sehingga akan terbuka wawasan orang tua dalam pengasuhan anak
di rumah dan mengopimalkan keberfungsian keluarga. Dengan mengikuti parenting
class, orang tua memiliki kesempatan mengevaluasi pola pengasuhannya selama ini,
mengembangkan pola baru yang lebih positif, sehingga mampu mengantisipasi
munculnya permasalahan dalam keluarga.
Kami yakin usaha ini berdampak pada deteksi dini gangguan
perkembangan pada anak dan meningkatnya komunikasi antara guru dan orang tua
untuk mengantisipasi kesulitan belajar pada anak. Dengan demikian potensi
terjadinya masalah dalam perkembangan anak dapat diminimalisir. Anak yang
tumbuh dalam keluarga yang memperoleh bekal dari parenting class memiliki
kualitas hidup yang lebih baik sehingga secara ekonomi maupun sosial ia lebih
mampu menjadi individu yang bertanggung jawab.. Berbagai masalah remaja
(narkoba, hubungan seksual pra dan ekstra marital, konsumsi minuman keras) dan
gangguan perkembangan dapat diatisipasi dan dideteksi lebih dini.
Keadaan ini akan mendorong terciptanya masyarakat yang lebih baik;
dengan demikian keluarga-keluarga dalam masyarakat mampu memfungsikan diri
sebagai support group system, Budaya kolektivisme masyarakat desa dapat
dioptimalkan fungsinya dalam kontrol sosial. Merekapun kemudian dapat menjadi
9
model orang tua yang menerapkan pengasuhan yang relatif lebih sehat dalam
komunitasnya.
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Ruang lingkup
Desa Kopeng adalah sebuah desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang dengan luas wilayah 136,20 ha. Desa Kopeng bukan
sebuah desa yang terisolasi di mana jarak desa dengan ibukota kecamatan adalah 3
kilometer dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Beberapa pusat fasilitasi umum
(puskesmas, bidan, sekolah dasar dan sekolah menengah) dapat dijangkau
masyarakat dengan cukup cepat. Berikut lokasi desa Kopeng dalam peta Jawa
Tengah:
Sebagian besar penduduk di desa Kopeng mengandalkan pertanian dan
peternakan sebagai mata pencarian utama. Menurut data Profil Desa Kopeng tahun
2008, terdapat 6.186 jiwa penduduk desa kopeng dengan + 40% diantaranya bekerja
di sektor pertanian tanaman pangan dan +21% bekerja di sektor peternakan.
Berdasar sumber data yang sama diketahui bahwa kualitas penduduk
berdasar tingkat pendidikan masih sangat rendah. Penduduk usia dewasa di desa
Kopeng didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (80,7%) dan diikuti tamatan Sekolah
Menengah Pertama (10,7%). Sebagian lainnya tersebar dengan tingkat pendidikan
Kopeng
10
Sekolah Menengah Atas hingga Sarjana, dan masih ada 2,5 % penduduk yang buta
aksara.
B. Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 20 pasang orang tua sehingga total subjek adalah 40 orang.
Kriteria subjek penelitian sebagai berikut:
1. Berpendidikan maksimal SMP.
2. Memiliki anak berusia maksimal 12 tahun.
3. Anak, ibu, dan ayah tinggal di rumah yang sama.
C. Disain Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah parenting (pola pengasuhan orang tua)
terdiri dari 2 dimensi yaitu responsiveness dan demandingness dalam empat aspek
perkembangan anak yang dilakukan oleh ayah, ibu, dan ayah-ibu secara bersama-
sama. Data pola pengasuhan dilakukan dalam parenting class yang direncanakan
dilakukan dalam 10 kali tatap muka ( empat kali tatap muka bersama ibu, empat
tatap muka bersama ayah, dan dua kali tatap muka bersama-sama). Sebelum
pertemuan pertama terlebih dahulu dilakukan pembicaraan informal dengan Kepala
Dusun Kopeng. Metode yang digunakan adalah bentuk diskusi kelompok terarah
yang dipimpin seorang fasilitator pada tiap kelompok dan dua orang pencatat proses.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif berdasar catatan
proses yang dilakukan dalam kegiatan diskusi kelompok terarah.
D. Disain Analisis Data
Semua data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, sehingga memungkinkan
diperoleh pemahaman mendalam yang sejalan dengan prinsip intepretatif dan yang
digunakan dalam penelitian (Poerwandari, 2005). Analisa yang dilakukan bertujuan
untuk menggambarkan berbagai aspek dari fenomena yang berimplikasi pada
pendekatan yang relasional. Proses analisis dilakukan dalam langkah-langkah
(Patton, 2006): (1) Mengumpulkan data mentah, (2) Menyusun rekaman data
dengan cara mengklasifikasi dan mengorganisasi data, (3) Menulis kajian kasus
secara naratif, yang menyajikan potret menyeluruh tentang objek penelitian.
11
BAB IV. ANALISA DATA
A. Gambaran Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 40 orang tua (20 pasang suami istri) berusia 20-
40 orang berpendidikan maksimal SMP atau sederajat. Mereka memiliki 1-2 anak
yang saat ini dalam range usia 7 bulan – 13 tahun. Sebagian besar subjek bekerja
sebagai petani dan/atau peternak sapi, dan satu orang sebagai bidan sapi. Terdapat
satu pasang suami istri yang bekerja di bidang seni: istri sebagai penyanyi, suami
seorang penari. Seluruh subjek adalah warga Dusun Kopeng Desa Kopeng
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
Pemilihan subjek diserahkan kepada Kepala Dusun Kopeng Desa Kopeng
berdasar kriteria yang ditetapkan peneliti sebelumnya. Sebagai pengganti atas waktu
dan keikutsertaan dalam penelitian ini, subjek memperoleh reward berupa training
kit (tas, buku, dan alat tulis), lauk pada setiap pertemuan, dan beberapa hadiah kecil
dalam forum diskusi.
Dalam observasi ditemukan bahwa terdapat variasi dalam hal tingkat partisipasi
subjek. Ada yang berperan sebagai penghangat suasana, partisipasi aktif, dan ada
pula yang memerlukan dorongan untuk berbicara di depan umum. Pada kelompok
ibu, 16 orang dari 20 ibu hadir penuh, dan 11 dari 20 ayah hadir di setiap
pertemuan. Terdapat satu ibu yang dua kali absen dari pertemuan karena selain ibu
rumah tangga, ia memenuhi undangan sebagai penyanyi panggilan; sementara pada
kelompok ayah, taerdapat dua orang yang hanya datang satu kali dalam seluruh
pertemuan.
B. Pola Pengasuhan Ayah Berdasar Aspek Perkembangan Anak
1. Perkembangan Fisik
National Parent Teacher Asosiation (2002) yang mendasarkan hasil-hasil
penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi
anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio-emosional,
ketrampilan kognitif, pengetahuan (http://exc09dharmautomo.wordpress.com/
2009/ 06/25/peran-ayah-dalam-kepribadian-anak/).
Berkaitan dengan perkembangan fisik anak, yang meliputi perkembangan
tubuh dan kaitannya dengan fungsi indera serta penggunaan motorik halus dan
12
kasar, nampak bahwa sebagian besar ayah dapat memahami bahwa anak adalah
individu yang mengalami pertumbuhan pesat terutama di masa bayi dan kanak-
kanak awal.
Dalam mengasuh anak terutama berkaitan dengan pertumbuhan fisik, ayah
berusaha memahami anak dengan memberi dorongan dan dukungan agar anak
berani untuk bertumbuh seperti melakukan kegiatan yang melibatkan kemampuan
fisik baik motorik halus maupun kasar. Jika anak mulai senang melempar-lempar,
ayah berusaha melibatkan diri tetapi ketika mulai membahayakan, cenderung
akan diarahkan dengan kegiatan yang lain sebagai pengganti. Demikian pula
ketika anak mulai suka menggunting maka ayah akan berusaha untuk mengawasi
dan mengarahkan. Ketika melakukan sesuatu yang dianggap berbahaya, seperti
bermain api maka ayah cenderung melarang dan mengajak anak untuk bermain
sesuatu yang lain yang dianggap tidak mengandung resiko membahayakan.
Dari ke duapuluh subjek penelitian, mereka berusaha untuk melibatkan diri
terutama dalam kegiatan yang melibatkan permainan-permainan fisik karena bagi
sebagian besar ayah, hal itulah yang dapat dilakukan dibandingkan jika
melakukan kegiatan yang lebih bersifat merawat seperti menyuapi,
menggendong, memandikan dimana hal ini lebih banyak dilakukan oleh kaum
ibu. Hal ini senada dengan pendapat dari Santrock (2002) yang mengatakan
bahwa ayah lebih sering melibatkan diri dengan anak dalam kegiatan yang
bersifat fisik seperti berguling-guling, bermain bola. Ada kecenderungan para
Subjek masih membedakan antara hal yang umumnya dilakukan ibu dan
umumnya dilakukan ayah dalam mengasuh anak karena mereka beranggapan
bahwa ayah lebih banyak berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.
2. Perkembangan Kognitif
Keingintahuan yang besar di masa kanak-kanak menunjukkan perkembangan
kognitif yang terus berkembang pesat di masa ini. Anak belajar melalui dunia
disekitarnya dan hal ini juga dapat dipahami oleh para ayah meski mereka lebih
banyak hanya sekedar memberikan nasihat karena keterbatasan waktu dan
pengetahuan sehingga kurang dapat memberikan pendampingan dalam belajar.
Kadang ayah hanya menemani tetapi mengalami kesulitan jika anak bertanya
terutama tentang pelajaran matematika.
13
Pada umumnya, para ayah memberikan motivasi berupa “iming-iming”
hadiah jika anaknya naik kelas atau memiliki prestasi belajar yang baik. Ada juga
ayah yang menakut-nakuti anak dengan mengatakan bahwa ia akan segera disusul
adiknya jika tidak naik kelas. Umumnya ayah tidak terlalu mempermasalahkan
nilai yang diperoleh asal mereka dapat naik kelas.
Kesulitan yang dialami adalah adanya kendala anak kurang memiliki
motivasi belajar dan lebih senang menonton televisi. Para ayah mengalami
kesulitan untuk mendorong anaknya belajar karena mereka sendiri juga kurang
memahami bagaimana cara membuat anak dapat tekun belajar. Mereka juga
jarang membacakan cerita atau mendongeng sehingga anak kurang memiliki
kebiasaan membaca. Ada beberapa ayah yang berusaha memanfaatkan
kesenangan anak menonton televisi dengan mendampingi mereka dan
memberikan penjelasan maupun belajar bersama melalui acara televisi yang
mereka tonton.
Berdasar hasil diskusi diketahui bahwa anak lebih sering dibelikan mainan
daripada buku bacaan, hanya sedikit ayah yang membelikan buku bacaan untuk
anak. Adapun mainan yang diberikan juga terbatas pada mainan yang disukai
anak tetapi ada juga ayah yang berusaha memanfaatkan alat-alat sederhana untuk
belajar seperti misalnya karet gelang atau kelereng untuk belajar berhitung.
Inisiatif dari ayah untuk mengembangkan kemampuan kognitif anak terlihat
masih kurang karena mereka merasa kurang memiliki kemampuan dalam hal itu
dan motivasi untuk membuat anak bisa mencapa prestasi yang optimal juga
rendah.
3. Perkembangan Emosi
Dalam pembahasan mengenai perkembangan emosi, hampir semua ayah
memiliki pemahaman bahwa emosi adalah sesuatu yang bersifat negatif seperti
kemarahan, kejengkelan. Mereka juga nampak kurang memahami bahwa anak
juga dapat dan boleh merasa tidak suka atau tidak senang. Ada anggapan bahwa
anak juga harus selalu menurut kepada orangtua tanpa mereka memahami
bagaimana sebennarnya perasaan anak ketika harus menurut terutama ketika
terpaksa melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai.
14
Ketika anak mengalami permasalahan atau perasaan tidak nyaman, sebagian
besar ayah masih kurang dapat memberi tanggapan yang berkaitan dengan
ekspresi emosi anak sehingga cenderung memberikan respon supaya anak segera
diam, tidak menangis, atau bersabar.
Ketika berhubungan dengan anak, ayah cenderung lebih sering hanya
menanyakan kegiatan anak sehari-hari dibandingkan menanyakan perasaan anak
termasuk ketika anak menunjukkan raut sedih atau diam saja sepulang sekolah.
Orangtua, dalam hal ini ayah kurang menggali perasaan yang dialami anak. Disisi
lain ayah juga memahami bahwa mereka dapat menjadi model bagi anak dalam
mengekspresikan emosinya kepada orang lain. Hal ini pulalah yang membuat
beberapa ayah mengaku menyesal ketika mereka marah kepada anak-anak
mereka sampai memukul dan membuat anak mereka bersedih.
4. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak, dimulai dengan relasi anak dalam keluarga lalu
meluas kepada lingkungan disekitar, terutama teman-teman sebaya sebelum pada
akhirnya mereka akan terjun bermasyarakat sebagai makhluk sosial. Pada
pembahasan mengenai perkembangan sosial anak, diketahui bahwa para
umumnya ayah berusaha untuk aktif di lingkungan agar anak juga dapat meniru
terutama ketika kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan positif seperti misalnya
kegiatan keagamaan.
Ayah juga berusaha mengetahui teman sepermainan anak dan mengetahui
pula apa yang dilakukan anak bersama teman-temannya. Pada umumnya orangtua
(ayah) memberi kebebasan bagi anak untuk bermain kecuali bermain petasan dan
kartu remi karena di daerah tersebut biasanya kartu remi digunakan untuk berjudi.
Dalam berhubungan dengan orang lain, ayah memberi kebebasan kepada anak
untuk bermain dengan siapa saja tanpa membedakan suku atau agama. Anak juga
sering diajak mengikuti pertemuan atau kegiatan meski terkadang anak
melakukan sesuatu yang dianggap mengganggu seperti memecahkan gelas atau
membuat keributan.
Di rumah, pada umumnya para ayah mengaku memiliki keterbatasan waktu
untuk bermain dengan anak daripada ibu. Ayah lebih banyak memberikan nasihat
seperti misalnya mendorong anak untuk saling tolong menolong agar ketika
15
dirinya mengalami kesulitan juga akan ada teman yang menolong. Pemahaman
ayah terhadap perkembangan sosial anak bertujuan agar anak dapat
menyesuaikan diri hidup di masyarakat.
C. Pola Pengasuhan Ibu Berdasar Aspek Perkembangan Anak
1. Perkembangan Fisik
Pola pengasuhan dalam aspek perkembangan fisik adalah aspek yang paling
mendapat perhatian oleh para ibu, mungkin karena sifatnya yang konkrit dan
kasat mata. Sebagian besar ibu mengupayakan pemberian ASI sebagai makanan
terbaik bagi bayi dan memberikan makanan bayi jika anak telah menginjak usia 6
bulan. Pada anak-anak yang aktif, saat mereka sudah mulai bermain keluar
rumah, gerakan motorik kasar dikembangkan dengan baik karena geografis desa
yang luas, banyaknya anak-anak dengan usia sebaya, dan orang tua sering
membawa anak ke ladang. Perkembangan motorik halus tidak mendapat
perhatian sebanyak perkembangan motorik kasar. Jika anak menggunakan
gunting, sisir, dan benda stimulan motorik halus lainnya, hal itu lebih karena
minta anak sendiri, bukan karena orang tua dengan sengaja hendak
mengembangkan ketrampilan motorik halus anak.
Pembedaan jenis mainan masih didasarkan pada jenis kelamin anak, dan
hingga akhir diskusi, pendapat ini masih dipertahankan. Anak laki-laki boleh
bermain laying-layang, memanjat, dan semacmnya; sementara anak perempuan
dianggap lebih baik jika tenang, bermain peran, atau jenis permainan yang tidak
memerlukan kekuatan fisik. Ada kekawatiran bahwa perkembangan emosi anak
dapat menyimpang jika mereka bermain dengan mainan yang dianggap tidak
sesuai dengan jenis kelaminnya.
Pengawasan dan kontrol dilakukan orang tua jika anak dianggap melewati durasi
bermain yang semestinya. Ibu mengenali dan dapat menyebutkan dengan siapa
anak bermain, terutama saat anak masih bersekoah di Sekolah Dasar. Ibu
menyatakan bahwa semakin anak beranjak besar, makin tidak diketahui dengan
siapa anak bermain.
16
2. Perkembangan Kognitif
Keadaan sebagai ibu yang berpendidikan rendah membatasi ruang gerak ibu
dalam mengembangkan perkembangan kognitif anak. Ibu merasa bahwa mereka
tidak mampu memahami mata pelajaran yang dipelajari anak di sekolah.
Sejauh ini mengembangkan rasa ingin tahu anak secara kognitif masih
dipahami ibu dalam batasan pengembangan kemampuan akademis. Adalah hal
baru bagi ibu bahwa daya pikir anak dapat dikembangkan sejak usia sangat dini
dan melalui peristiwa apapun di sekitarnya. Ibu-ibu yang lebih muda memiliki
dorongan lebih kuat untuk memberi stimulasi pada anak seperti mengajarkan
anak lagu, membimbing penggenalan huruf dan angka, dan membelikan buku
mewarnai, namun pada ibu dengan anak yang lebih besar, interaksi untuk
mengembangkan kemampuan berpikir lebih minimal. Buku cerita atau bacaan
anak-anak tidak populer di kalangan para ibu. Selain karena kegiatan anak
didominasi aktivitas fisik dan televisi, membeli buku bacaan dianggap merupakan
pengeluaran ekstra. Hanya satu ibu yang mengatakan kerap membacakan buku
cerita sebelum anak tidur.
3. Perkembangan Emosi
Pada saat diskusi dilakukan, para ibu belum memiliki pemahaman tentang
makna emosi yang benar. Pemahaman mereka terbatas pada perkembangan emosi
negatif (marah) sebagaimana penggunaan kata dalam pembicaraan sehari-hari.
Berdasar hasil diskusi diketahui bahwa respon emosi ibu terhadap anak
sangat terbatas. Meskipun ekspresi emosi ibu lebih bebas terhadap anak daripada
terhadap suaminya, misal dalam menyatakan kasih sayang, namun ibu masih
minimal dalam mengemukakan respon emosi yang positif terhadap anak. Ibu
lebih banyak menggali ingatan dan pengalaman fisik dalam suatu kejadian
daripada menggali perasaan dan emosi anak terkait suatu peristiwa. Kritik masih
lebih mendominasi relasi ibu dengan anak dibandingkan pujian dan dorongan.
Dalam taraf pengetahuan, ibu belum memiliki pemahaman tentang
pengelolaan emosi dan pentingnya melakukannya pada anak. Hanya ada dua ibu
yang menyatakan biasa meminta maaf kepada anak. Sebagian ibu berusaha tidak
17
bertengkar dengan suami di hadapan anak, tetapi lebih bnayak yang tidak
berpendapat dengan hal itu. Namun secara umum para ibu menyetujui bahwa
orang tua (termasuk ibu) dapat menjadi model bagi anak dalam mengekspresikan
emosinya pada orang lain.
4. Perkembangan Sosial
Secara umum ibu mengetahui bagaimana mengembangkan kemampuan
social anak. Sebagai masyarakat tradisional dengan budaya kolektivisme,
sebagaimana ibu lainnya, responden terbiasa untuk terlibat dalam aktivitas social
di desa. Hal ini juga mendorong anak untuk melakukan aktivitas (terutama
bermain) bersama-sama dalam kelompok. Sebagian ibu terkesan berusaha
berelasi dengan anak tetapi secara umum mereke menyetujui tema yang dingkat
dalam pembicaraan dengan anak. Dalam pembicaraan yang dianggap tabu (Jawa:
saru), ibu berpendapat bahwa pertanyaan anak tidak perlu dijawab dan lebih baik
dialihkan ke pembicaraan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tema-tema
seksualitas tidak akan diangkat dalam pembicaraan anak dengan ibu, sehingga
anak berpotensi mencari informasi dari sumber lain.
Selanjutnya meskipun ibu yakin anak memahami bahasa kasih yang
digunakan ibu, ibu menyadari adanya perlakuan yang tidak adil pada anak karena
anak sulung atau anak yang lebih besar dituntut untuk bertanggung jawab pada
anak yang lebih kecil dan mereka cenderung dipersalahkan atas tindakan yang
dianggap salah oleh orang tua. Dalam hal ini orang tua abai terhadap perasaan
anak yang lebih besar dan menganggap bahwa hal tersebut sebagai hal wajar.
Dalam diskusi tidak ditermukan adanya pembatasan pergaulan anak: anak
diperbolehkan bergaul dengan teman lintas agama, jenis kelamin, dan usia.
Mereka juga menyadari bahwa kebanggaan ibu pada anak akan terkait dengan
penerimaan anak terhadap diri sendiri dan orang lain. Ibu mengawasi dengan
siapa anak bermain, membatasi jam bermain anak, dan sebagian besar
membiarkan anak lebih banyak menonton televisi karena ibu sibuk dengan
pekerjaan domestik.
18
Ibu di rumah memegang peran sangat penting dalam hal pengasuhan anak.
Hal ini dapat dilihat bahwa dalam setiap sesi diskusi, anak selalu berdekatan
dengan ibu, sementara saat ayah berdiskusi sangat jarang anak mendekati ayah.
Pada orang tua dengan anak usia bayi (di bawah dua tahun), anak selalu bersama
ibu. Saat anak menangis, ibu yang menemani dan mengalihkan perhatian anak.
Hal ini sesuai dengan pengakuan subjek yang menyatakan bahwa anak adalah
urusan ibu, ayah mencari nafkah. Saat diminta menyebutkan kuantifikasi, ibu
menyatakan bahwa peran ayah sebesar 10-20% saja dalam perkembangan anak.
D. Pola Pengasuhan Anak pada Orang Tua Berpendidikan Rendah
Responsivitas (dimensi responsiveness) Subjek di Desa Kopeng cenderung
menekankan pengembangan aspek perkembangan yang sifatnya konkrit. Respon
para ibu dan ayah lebih banyak dilakukan pada aspek perkembangan fisik dan
sosial (pergaulan) daripada pengembangan aspek emosi dan kognitif. Secara
umum bentuk-bentuk respon juga masih miskin oleh keterbatasan pemahaman
orang tua. Perkembangan emosi, misalnya, dimaknai sebagai emosi negatif saja.
Dalam hal kontrol terhadap pengembangan anak (dimensi demandingness)
Subjek ayah maupun ibu lebih banyak memberikan nasihat kepada anak. Hal ini
terjadi karena sebagian besar Subjek merasa tidak mampu memberi
pendampingan langsung kepada anak. Kebutuhan pemberdayaan mereka sebagai
orang tua, dalam hal ini perluasan wawasan dan informasi, sangat perlu
dilakukan. Bagi orang tua dengan pendidikan rendah, aplaagi tinggal di desa,
tantang untuk melakukan parenting yang efektif lebih terkendala karena wawasan
yang terbatas akan turut membatasi kemampuan mengembangkan harapan yang
jelas pada anak dan konsistensi untuk memberikan konsekuensi positif dan
negative.
Dukungan terhadap perkembangan fisik terlihat cukup nyata dalam bentuk
stimulasi gerak ada usia bayi, bimbingan mewarnai dan pengenalan huruf pada
anak usia balita, dan penyediaan fasilitas sekolah. Namun kebiasaan membaca
tidak tumbuh dalam keluarga sehingga anak menjadi kurang tertarik dengan
buku. Tuntutan orang tua lebih terkait dengan penggunaan waktu anak, dan
19
belum memberi perhatian pada kualitas aktivitas, meski baik ibu maupun ayah
menyetujui bahwa keingintahuan yang besar di masa kanak-kanak sangat penting
bagi perkembangan kognitif anak. Respon ibu masih terbatas pada anjuran untuk
belajar. Sementara sebagian ibu mengandalkan ayah untuk mendampingi anak
belajar, para ayah justru mengakui bahwa mereka lebih banyak sekedar
memberikan nasihat karena keterbatasan waktu dan pengetahuan sehingga kurang
dapat memberikan pendampingan dalam belajar.
Responsivitas dan kontrol dalam hal aspek perkembangan sosial berjalan
cukup lancar. Lepas dari rendahnya tingkat pendidikan, pola kehidupan budaya
desa yang menekankan kebersamaan memberi peran besar sehingga anak
mendapatkan model-model dalam kehidupan berbagi dan saling menolong tanpa
pamrih. Baik ibu maupun ayah juga memberi kebebasan anak bergaul dengan
teman dari budaya, agama, dan status sosial yang berbeda. Namun ketidakadilan
berespon pada anak sulung dan anak berikutnya diakui masih terjadi. Selanjutnya
peran ibu (pekerjaan domestik) dan peran ayah (mencari nafkah) masih
terpisahkan jelas. Hal ini juga membawa pengaruh dalam hal pengasuhan anak.
Orang tua membuat pembedaan tajam antara apa yang seharusnya dilakukan anak
laki-laki dan perempuan. Pengasuhan androgini masih menjadi hal asing bagi
Subjek. Ibu khususnya, masih menganggap bahwa tema yang „tabu‟ tidak perlu
dibicarakan bersama anak, hal ini dapat berpotensi memunculkan permasalahan
terkait tema yang sensitif, misalnya seksualitas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Keterbatasan pendidikan orang tua merupakan salah satu kendala dalam pola
pengasuhan. Responsivitas dan kontrol orang tua cenderung menekankan
pengembangan aspek perkembangan yang sifatnya konkrit, yaitu perkembangan
fisik dan perkembangan sosial, sementara perkembangan emosi dan kognitif
masih belum memperoleh perhatian yang memadai. Bentuk-bentuk respon juga
masih miskin oleh keterbatasan wawassan dan pengetahuan orang tua. Budaya di
20
desa memberi keuntungan dalam pengembangan aspek sosial karena sejak kecil
turut menghidupi budaya kolektivism dalam hal saling menolong.
B. Saran
1. Saran bagi Aparat Desa dan Pemerintah Daerah
Aparat dusun, aparat desa, dan pemerintah daerah hendaknya melakukan
lebih banyak program pemberdayaan masyarakat sehingga anggota masyarakat
berpendidikan rendah dapat mengejar ketertinggalannya. Akses informasi
hendaknya didorong untuk dapat dinikmati seluruh anggota masyarakat, tua
maupun muda. Diskusi pengasuhan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini
dapat dilanjutkan bagi kelompok orang tua lainnya.
2. Saran bagi Peneliti Selanjutnya
Modul parenting class yang dihasilkan oleh penelitian ini belum diuji
efektivitasnya. Penelitian selanjutnya dapat melakukan uji perbandingan baik di
Desa Kopeng mauoun desa lainnya. Metode pengumpulan data dapat
ditambahkan dengan metode observasi dan wawancara dengan anak. Jika bentuk
diskusi kelompok terarah dipertahankan, dapat dilakukan pada kelompok yang
lebih kecil dengan memperhatikan standard objektivitas pemandu diskusi jika
pemandu lebih dari satu orang. Pencatatan proses di tempat (on the spot record)
perlu dilakukan, jika perlu dapat dipertimbangkan penggunaan video sepanjang
tidak menimbulkan perilaku nyang tidak natural pada subjek.
21
VI. DAFTAR PUSTAKA
Data Dasar Profil Desa Kopeng. (2008). Semarang: Desa Kopeng, Kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang.
Gunarsa, S. (1981). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Lamanna, M.A., dan Riedmann, A. (1994). Marriages and Families, Making
Choices and Facing Change. California: Wadsworth Inc.
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2004). Human Development. Boston:
McGraw Hill.
Patton, M. Q. (2006). Metode evaluasi kualitatif. (Budi Priyo Priyadi. Trans).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poerwandari, K. E. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ramadhan, T. Pola Asuh Orang Tua dalam Mengarahkan Perilaku Anak.
http://tarmizi.wordpress.com/2009/01/26/pola-asuh-orang-tua-dalam-
mengarahkan-perilaku-anak/. Diunduh 27 Maret 2009.
Sandjaja, S. Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Baca Anak Ditinjau
dari Pendekatan Stres Lingkungan. www.unika.ac.id/fakultas/psikologi/ss1-
1.pdf). Diunduh 24 Maret 2009.
Santrock, W. J. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup jilid 2
Jakarta : Erlangga.
Utomo, D. (2002). Peran Ayah Dalam Keluarga: Ayah Adalah Seorang Pejuang
yang patut dikasihi dan dicintai juga. Diunduh dari http://exc09
dharmautomo. wordpress.com/ 2009/06/25/peran-ayah-dalam-kepribadian-
anak/ tanggal 29 Juni 2011.