paper tantangan aec 2015

28
Perkembangan Profesi Akuntansi Data keuangan dan data ekonomi sangat diperlukan seiring dengan kemajuan perekonomian saat ini. Para pemilik atau penanam modal sudah menyebar ke segala pelosok daerah dan operasinya sudah tidak hanya di lingkungan dalam negeri namun sudah meluas hingga ke luar negeri. Modal yang ditanamkan dalam perusahaan harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Oleh karena itu, mereka sangat memerlukan laporan keuangan yang dapat dipercaya dari perusahaan dimana mereka menanamkan modalnya. Bank-bank melakukan pengawasan dalam pemberian kredit agar uang yang dipinjamkan tersebut selamat dan menghasilkan bunga yang diharapkan. Sehingga mereka sangat memerlukan laporan keuangan guna menilai kemampuan ekonomi para nasabah atau calon nasabahnya. Dalam pasar modal juga sangat diperlukan laporan keuangan bagi perusahaan yang akan go public. Demikian juga pemerintah memerlukan laporan keuangan wajib pajak sebagai dasar penentuan pajak agar lebih obyektif. Pihak-pihak lain seperti calon kreditur, calon investor, serikat buruh, lembaga-lembaga keuangan serta industri lainnya juga sangat memerlukan laporan keuangan. Oleh karena itu 1

Upload: kurniawan-doank

Post on 12-Nov-2014

583 views

Category:

Economy & Finance


2 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Paper tantangan AEC 2015

Perkembangan Profesi Akuntansi

Data keuangan dan data ekonomi sangat diperlukan seiring dengan kemajuan

perekonomian saat ini. Para pemilik atau penanam modal sudah menyebar ke segala

pelosok daerah dan operasinya sudah tidak hanya di lingkungan dalam negeri namun

sudah meluas hingga ke luar negeri. Modal yang ditanamkan dalam perusahaan harus

mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Oleh karena itu, mereka sangat

memerlukan laporan keuangan yang dapat dipercaya dari perusahaan dimana mereka

menanamkan modalnya.

Bank-bank melakukan pengawasan dalam pemberian kredit agar uang yang

dipinjamkan tersebut selamat dan menghasilkan bunga yang diharapkan. Sehingga

mereka sangat memerlukan laporan keuangan guna menilai kemampuan ekonomi

para nasabah atau calon nasabahnya. Dalam pasar modal juga sangat diperlukan

laporan keuangan bagi perusahaan yang akan go public. Demikian juga pemerintah

memerlukan laporan keuangan wajib pajak sebagai dasar penentuan pajak agar lebih

obyektif. Pihak-pihak lain seperti calon kreditur, calon investor, serikat buruh,

lembaga-lembaga keuangan serta industri lainnya juga sangat memerlukan laporan

keuangan. Oleh karena itu laporan keuangan yang disajikan harus mencerminkan

keadaan yang sebenarnya, sehingga para pengambil keputusan yang mendasarkan diri

pada laporan keuangan tersebut tidak tersesat. Hal itulah yang menjadikan peranan

akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan.

Peluang Profesi Akuntansi di Indonesia

Profesi Akuntan Publik Masih Langka

Profesi akuntan publik di Indonesia dinilai masih sangat langka, padahal

kebutuhan profesi tersebut bagi lembaga keuangan dan perusahaan sebagai tenaga

audit sangat tinggi. Akibat kelangkaan profesi itu, maka peluang menjadi akuntan

sangat terbuka lebar.

1

Page 2: Paper tantangan AEC 2015

Demikian salah satu poin penting yang terungkap dalam seminar akuntansi

bertema ‘’Perkembangan Terkini Praktik Akuntan Publik dan Dampaknya Program

Studi Akuntansi’’ di Hotel Beringin Salatiga. Seminar yang dimoderatori Dosen FE

UKSW itu, menghadirkan pembicara Ketua Umum IAPI dan Ketua Pengawas IAPI.

Ketua Umum IAPI mengatakan, dibandingkan Malaysia jumlah akuntan publik

di Indonesia masih sangat kurang. Berdasarkan data Institut Akuntan Publik

Indonesia (IAPI), sampai saat ini akuntan publik yang memegang izin praktik

sebanyak 866 orang. Anggota tersebut tersebar di 517 kantor, termasuk kantor

cabang. ‘’Sedangkan jumlah akuntan di Malaysia 14 ribu orang,’’ kata staf pengajar

FE Universitas Indonesia (UI) itu.

Pengawas IAPI mengungkapkan, kekurangan profesi itu tidak hanya terjadi di

Indonesia, tetapi negara tetangga lain, seperti Singapura. Sejumlah akuntan yang

bekerja di lembaganya pernah dibajak perusahaan di luar negeri dengan iming-iming

pendapatan lebih menjanjikan.

Etika Profesi Diakuinya, bila profesi akuntan publik itu berpotensi sebagai

penjahat ‘’kerah putih’’ bila tidak dibarengi moral yang baik serta menjalankan etika

profesi yang benar. Dia mencontohkan kasus kejahatan ‘’kerah putih’’ di luar negeri

yang melibatkan akuntan.

Lalu sejalan dengan tingginya kebutuhan profesi akuntan, harus sinergi dengan

universitas, seperti FE UKSW sebagai pencetak tenaga akuntan. Karena selama ini

perguruan tinggi seakan berjalan seadanya, tanpa lihat misi sebagai akuntan. Adapun

IAPI merupakan organisasi profesi akuntan publik di Indonesia yang telah diakui

pemerintah mulai Februari 2008 lalu.

Anak Muda Tak Mau Jadi Akuntan Publik

Dewan Kehormatan Ikatan Akuntansi Publik Indonesia (IAPI) Sukrisno Agoes

mengatakan, profesi akuntan publik tidak diminati kalangan muda dan fresh graduate

(sarjana baru).

2

Page 3: Paper tantangan AEC 2015

"Dari 430 kantor akuntan publik (KAP) dan 2 koperasi jasa audit (KJA) di Indonesia,

sebagian besar personelnya didominasi kalangan orang tua," katanya pada seminar

yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Padjadjaran

(Unpad) di Bandung. Hadir pada kesempatan itu, Ketua IAPI Dra Tia Adityasih CPA

dan sejumlah dosen Akuntansi Unpad.

Kurangnya minat kalangan muda karena profesi akuntan publik sangat berisiko.

Namun, penghasilannya masih minim. Menurut dia, risiko yang dimaksud adalah

akuntan harus mampu menjaga independensi karena mengaudit laporan keuangan

BUMN. Ketua IAPI Tia Adityasih mengatakan, sampai sekarang, akuntan publik

masih diatur oleh pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Seharusnya,

jika akuntan publik terkena kasus hukum, Departemen Keuangan harus bertanggung

jawab.

Selain itu, kata dia, sekarang banyak "akuntan palsu" yang bebas membuka

praktik. Ini terjadi karena belum ada pengawasan dari pemerintah, sementara

"akuntan palsu" tidak bertanggung jawab kepada lembaga profesi. "Berbagai kasus

hukum yang dihadapi akuntan publik masih merupakan kasus pidana, dan maksimal

hukuman penjara lima tahun, padahal seharusnya menggunakan kitab undang-undang

hukum perdata," katanya.

Menurut Sukrisno, jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat sedikit,

dan tidak sebanding dengan banyaknya laporan keuangan yang harus diaudit. Sejak

disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), akuntan publik

harus mengaudit laporan keuangan semua perguruan tinggi negeri (PTN) dan

perguruan tinggi swasta (PTS). Sedikitnya ada 87 PTN dan 2.700 PTS yang laporan

keuangannya harus diaudit.

Meskipun penghasilan dari profesi ini sedikit. Namun, dari segi kualitas hasil

kerja, akuntan publik masih jauh di atas akuntan perusahaan. "Akuntan publik

berkesempatan mengaudit laporan keuangan dari berbagai bidang sehingga pada 10

tahun mendatang akan ada perbedaan kualitas antara akuntansi publik dan akuntansi

3

Page 4: Paper tantangan AEC 2015

perusahaan," kata Ilya. Jadi sampai dengan hari ini peluang profesi akuntansi di

Indonesia masih sangat terbuka lebar.

Tantangan Profesi Auditor Internal dalam Penerapan Good Governance

Governance secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu cara atau metode

bagaimana membuat alokasi sumber daya organisasi secara efisien dan efektif dalam

upaya mencapai tujuan organisasi. Secara sederhana juga dapat dikatakan bahwa

Outcome Governance sebuah organisasi dapat dikatakan memberikan nilai tambah

berarti apabila organisasi tersebut menunjukkan peningkatan kinerja, konflik

kepentingan berhasil di tekan pada level yang minimal, dan harmonisasi para

pengambil keputusan berjalan dengan baik serta sumber daya organisasi dialokasikan

secara efisien dan efektif. Outcome governance diatas dapat dicapai apabila proses

governancenya memiliki pencapaian ukuran parameter yang kompetitif, yaitu:

kompetensi, keselarasan, komitmen, dan biaya (4C: competence, congruence,

commitment, and cost). Disamping ukuran parameternya, praktek-praktek

governance harus selalu bernafaskan jiwa transparansi, akuntabilitas, dan berkeadilan

serta memiliki struktur dan mekanisme governance yang handal.

Berdasarkan teori organisasi, governance akan berjalan sesuai dengan target

yang diinginkan apabila instrumen-instrumen governance proses terus di tumbuh

kembangkan sesuai dengan dinamika lingkungan demi mencapai tujuan yang

dinginkan. Pertama, Peraturan Perundang-undangan perlu terus diperkuat agar supaya

pemakaian sumber daya bisa secara terus menerus dikelola secara efisien dan efektif,

lingkungan organisasi bisa dikendalikan dan terkendali untuk memberikan nilai

tambah bagi pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu tujuan organisasi harus

ditentukan terlebih dahulu sehingga adanya kesamaan persepsi terhadap tujuan

bersama para pihak yang berkepentingan, alokasi sumber daya organisasi memiliki

arah yang jelas sehingga efesiensi dan efektifitas dapat terukur dan terkendali.

Kedua, dalam sebuah organisasi apakah sebuah organisasi publik ataupun privat

harus ada pemisahan fungsi yang tegas antara wewenang, tugas, dan tanggungjawab

4

Page 5: Paper tantangan AEC 2015

antara pihak yang menjalankan dengan pihak yang mengawasi. Fungsi kedua pihak

ini harus selalu terjaga secara seimbang dan kuat serta efektif. Pemisahan fungsi ini

dimaksudkan agar supaya pengelolaan sumber daya organisasi berjalan secara sehat.

Ketiga, dalam sebuah organisasi akan selalu ada beraneka sikap, tingkah laku, dan

kepentingan individual atau kelompok dimana seringkali berbagai tujuan ini tidak

konsisten dengan tujuan bersama organisasi. Untuk itu, pengembangan Praktek-

Praktek Good Governance akan banyak menghadapi kendala dan tantangan sehingga

sistim dan prosedur, peraturan, dan kebijakan Organisasi yang ada harus selalu

disesuaikan dan disempurnakan agar supaya fit-in dengan kondisi organisasi. Dengan

kata lain, governance sistim itu bersifat dinamis, responsif, dan adaptif. Perangkat

Kebijakan Governance yang dikembangkan harus bisa mengadopsi berbagai

kepentingan tersebut dengan tetap mengedepankan tujuan organisasi.

Dalam kontek Governance untuk Manajemen Pengeluaran Publik, payung

hukum Governancenya secara jelas telah memiliki peraturan perundang-undangan

yang kuat. Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan

Negara pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan

memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan

Pemerintahan. Dengan demikian maka Presiden sebagai Kepala Pemerintahan

(eksekutif) memiliki dan memegang kekuasaan yang besar untuk ‘mengembangkan

dan menjaga’ governance atas manajemen anggaran pengeluaran, bagaimana

membuat alokasi anggaran pengeluaran kepada publik secara efisien dan efektifitas.

Sistim Anggaran yang ada saat ini telah di dukung oleh berbagai peraturan baik

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan

Menteri dan Surat Edaran Menteri.

Dewan Direksi sebagai Decision Management. Peraturan perundang-undangan

yang ada baik bagi Perusahaan Publik maupun BUMN secara konseptual telah

menyatakan bahwa rencana anggaran harus disusun berdasarkan rencana kerja.

Artinya adanya keterkaitan antara anggaran dengan strategic planning. Namun

demikian proses penyusunan anggaran sejak perencanaan sampai dengan pelaporan

5

Page 6: Paper tantangan AEC 2015

masih memiliki berbagai kelemahan atas governancenya. Kelemahan utama dalam

sistim anggaran adalah masih belum bekerjanya mekanisme pengendalian internal

dan eksternal. Sebagai akibatnya, misalnya: (1) ketidak efisienan dan efektifan

anggaran masih relatif tinggi, dan (2) distorsi ‘mismatch’ antara strategic planning

dengan program kerja dan anggaran masih relatif tinggi. Kedua hal ini merupakan

masalah klasik yang terus kita upayakan penyelesaiannya.

Apabila dicermati secara baik maka faktor-faktor penyebab kedua hal tersebut

diatas adalah sebagai berikut. Pertama, keterlibatan aparat pengawas internal untuk

menjaga akuntabilitas dan kredibilitas atas sistim anggaran masih belum berjalan

sebagaimana mestinya. Kedua, belum jelasnya siapa, apa, bagaimana, dan dimana

mekanisme pengendalian internal atas sistim anggaran ada ‘exist’ demi menjaga

substansi anggaran berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, transparansi dalam sistim

anggaran masih sangat terbatas sekali dimana transparansi baru ada dalam tahapan

pelaporan yaitu laporan keuangan hasil audit Kantor Akuntan Publik. Keempat

parameter governance sistim anggaran seperti competence, congruence, commitment,

dan cost belum menjadi kebutuhan yang harus ditegakkan pada semua proses

pengendalian yang berkelanjutan ‘continious control’ pada semua tahapan dalam

sistim anggaran dan adanya ‘feedback control’.

Dewan Komisaris sebagai Decision Control. Pihak komisaris merupakan pihak

yang bertanggungjawab untuk memonitor sistim anggaran. Dewan Komisaris harus

menilai apakah program-program kerja yang diajukan oleh Dewan Direksi telah

sesuai/konsisten dengan Visi/Misi Perusahaan? Apakah alokasi anggaran yang

disusun telah sesuai dengan prioritas program dan apakah “cost’ anggaran masing-

masing prioritas program tersebut besarannya kompetitif. Namun pada kenyataannya,

dewan Komisaris cenderung mengedepankan pembahasan yang bersifat operasional

dibandingkan yang bersifat strategis untuk memonitor sistim anggaran agar supaya

menjadi anggaran yang kompetitif. Fakta yang ada sekarang formalitas pelaksanaan

dan monitoring sistim anggaran lebih menonjol dibandingkan dengan substansi

anggaran itu sendiri (form over substance).

6

Page 7: Paper tantangan AEC 2015

Untuk mengatasi kendala-kendala sistim anggaran tersebut diatas Perusahaan

harus menguatkan mekanisme governance yang ada melalui penyempurnaan

Peraturan dan kebijakan Perusahaan yang berlaku dan mengeluarkan beberapa

Kebijakan Governance untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas atas sistim

anggaran yang handal. Pemberdayaan dan penguatan fungsi internal control adalah

merupakan aksi nyata yang harus diambil Perusahaan sebagai prasyarat penegakkan

good governance. Budaya disiplin atas konformiti terhadap semua peraturan

perundang-undangan yang berlaku juga harus menjadi sebuah kebutuhan sehingga

terjadi transformasi dari ‘form over substance’ menjadi ‘substance over form’.

Governance dan Pengendalian Internal

Pertanyaan paling umum yang muncul di dalam praktik adalah; apa manfaat

yang dapat terlihat (tangible benefits) dari penerapan corporate governance di sebuah

perusahaan? Apakah dengan diterapkannya konsepsi corporate governance secara

“baik” akan dapat meningkatkan laba atau minimal meningkat kinerja keuangan

perusahaan. Jika esensi dari governance adalah; untuk meyakinkan seluruh pihak

yang berkepentingan bahwa aktivitas organisasi dijalankan secara profesional serta

“bebas” dari berbagai konflik kepentingan, maka seharusnya kinerja perusahaan

meningkat, minimal kinerja keuangan. Lebih lanjut jika governance memberikan

penekanan pada unsur pengendalian atas pihak yang membuat keputusan di dalam

sebuah organisasi; apakah penerapan governance juga diharapkan dapat mengurangi

terjadinya penyalahgunaan wewenang (kekuasaan)?

Disamping sebagai seorang akademisi, penulis juga berprofesi sebagai seorang

konsultan dimana penulis pernah mendapat sebuah pertanyaan aplikatif yang

mengarah pada esensi pertanyaan di atas. Salah satu Perusahaan perbankan yang telah

go-public di Indonesia telah mendapatkan peringkat (rating) sebagai perusahaan yang

telah menerapkan governance secara baik oleh sebuah lembaga pemeringkat. Namun

demikian, beberapa waktu kemudian diperoleh berita bahwa perusahaan tersebut

“telah dibobol” oleh sindikat yang juga melibatkan “orang dalam” dengan jumlah

7

Page 8: Paper tantangan AEC 2015

uang yang fantastis. Pertanyaan yang muncul adalah; bukankah Perusahaan dimaksud

telah dianggap memiliki dan menerapkan governance secara baik? Kenapa masih

terjadi penyelewengan pada korporasi tersebut?

Dalam kaitan ini perlu dipisahkan antara isu corporate governance dan

pengendalian internal. Isu corporate governance lebih menekankan pada hubungan

berbagai pihak pada pengendalian di tingkatan “stratejik” atau di level korporasi,

sementara isu pengendalian internal lebih menitik beratkan pada upaya pengendalian

di tingkat operasional. Dengan demikian, walaupun fungsi keduanya berbeda dalam

tingkatan, keduanya mempunyai hubungan yang erat. Dalam kaitan ini Root (1998, p.

8) menyatakan bahwa sudah saatnya konsepsi pengendalian internal disatukan

(merge) dengan tujuan dari corporate governance sehingga pada akhirnya akan

menghilangkan keraguan terhadap fungsi masing-masing dalam kerangka

pengendalian korporasi.

Di dalam konsepsi governance Board of Directors (dalam pola Anglo-Saxon)

mempunyai peranan yang krusial dalam penerapannya atau yang dikenal dengan

mekanisme board governance. Sementara itu di dalam pengendalian internal, peranan

Chief Executive Officers (manajemen) merupakan pihak yang memegang peranan

kunci di dalam melakukan tugasnya (internal control oversight) yang diharapkan

dapat memberikan nilai tambahan terbaik (add the best value) untuk korporasi.

Namun demikian menurut Root (1998) dalam melaksanakan fungsi oversight

dimaksud pihak manajemen harus mempunyai sikap (attitudes), tindakan (actions)

serta pertimbangan (judgments) yang sesuai dan koheren (compatible) dengan

berbagai prinsip good corporate governance. Jika hal ini dilakukan diharapkan kedua

konsepsi (governance dan pengendalian internal) dapat berjalan beriringan dan

memberikan sinergi di dalam pelaksanaan aktivitas korporasi, baik operasional

maupun stratejik, di dalam mencapai tujuan perusahaan secara lebih efektif.

Namun demikian mengharapkan manajemen untuk melakukan hal di atas relatif

tidak mudah karena posisi mereka dalam korporasi sarat dengan potensi munculnya

konflik kepentingan. Untuk itu dari sudut governance, secara simultan “harapan” ini

8

Page 9: Paper tantangan AEC 2015

juga harus dilakukan pada tingkatan board (supervisory board – dewan pengawas)

agar dapat menghasilkan esensi pengendalian yang efektif . Dalam kaitan inilah

sebenarnya diperlukan adanya komite audit (audit committee) sebagai elemen penting

di dalam suatu kerangka board governance. Komite audit, seperti halnya berbagai

bentuk komite lainnya yang dikenal dalam governance , merupakan “perangkat” kerja

board governance sebagai organ penting di dalam sebuah korporasi. Dalam kaitan

fungsi komite audit inilah dianggap fungsi governance dan pengendalian internal

dapat dilihat hubungannya lugas.

Sesuai dengan cakupan tugas dan tanggung jawabnya, komite audit dipimpin

oleh komisaris independen yang merangkap sebagai ketua komite audit. Di dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya, anggota komite ini dapat berasal dari pihak yang

berada di luar struktur perusahaan (misalnya profesional dan akademisi yang

memiliki latar belakang audit) yang mempunyai kualifikasi serta bebas dari hubungan

konflik dengan berbagai organ perusahaan lainnya (independen).

Komite audit berperan penting dalam proses pelaporan keuangan, sebagai

sebuah “financial monitor” dan berperan penting dalam proses laporan keuangan

(Abott, Parker, dan Peters, 2004). Komite audit akan berhubungan dengan

pengendalian keuangan perusahaan, termasuk melakukan telaah (review) terhadap

kehandalan pengendalian internal yang dimiliki perusahaan serta kepatuhan

(compliance) terhadap berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Komite audit juga berfungsi untuk melakukan seleksi penunjukkan kantor akuntan

publik dan melakukan evaluasi atas kinerja kantor akuntan publik yang ada. Cakupan

tugas komite audit dengan melakukan “hubungan” tidak saja dengan internal auditor

perusahaan tetapi juga dengan auditor eksternal dalam upaya menghasilkan laporan

keuangan perusahaan yang dapat mencermin tingkat “good governance” (Abott,

Parker dan Peters, 2004; Raghunandan dan Rama, 2003; dan Asbaugh dan Warfield,

2003).

Abott, Parker dan Peters (2004) menyatakan bahwa komite audit berperan

penting dalam menilai efektifitas kinerja fungsi internal audit dan eksternal audit. Hal

9

Page 10: Paper tantangan AEC 2015

ini konsisten dengan pernyataan Raghunandan dan Rama (2003) yang menyatakan

bahwa komite audit memainkan peran kunci dalam proses pelaporan keuangan

dengan “overseeing and monitoring management” dan juga keterlibatannya dengan

eksternal auditor dalam proses pelaporan keuangan.

Uraian di atas mengindikasikan bahwa tingkatan mekanisme governance

(strategic level) dan pengendalian internal (operational level) adalah berbeda. Namun

demikian fungsi keduanya dapat “diselaraskan” di dalam rangka mempromosikan

(enhancing) praktik governance agar menjadi lebih baik melalui upaya kompatibilitas

fungsi keduanya. Diharapkan melalui proses ini keduanya akan bersinergi di dalam

efektifitas pencapaian tujuan korporasi.

Tantangan Profesi Internal Auditor: Road Map for Governance Policy

Period 2007-2030

Perkembangan implementasi CG diawali dengan adanya komitmen pemerintah

untuk menerapkan prinsip GCG diikuti dengan pembentukan Komite Nasional

Kebijakan Corporate Governance (KNKG). Hal tersebut dilakukan pada saat

Republik Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang melemahkan sendi-sendi

perekonomian negara. Melalui adopsi prinsip GCG tersebut diharapkan kegiatan

perekonomian Nasional dapat segera pulih dan mampu berakselerasi lebih cepat,

karena salah satu penyebab rentannya NKRI dalam menghadapi krisis adalah

lemahnya penerapan GCG (ADB, 2000). Namun demikian, pada awal periode

adaptasi prinsip CG tersebut di awal tahun 1997 tingkat awareness dari masayarakat

atau pelaku bisnis belum sampai pada tahapan substantif. Dengan kata lain praktek-

praktek governance yang berjalan masih bersifat sebagai sebuah kewajiban

ketimbang kebutuhan.

Di dalam perjalanan penerapan prinsip CG hingga satu dekade berikutnya, fase

penerapan CG di Indonesia masih berada dalam tahap introduksi dan berbagai upaya

telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian (awareness)

terhadap berbagai aspek CG. Dalam periode ini, peranan pemerintah terlihat masih

10

Page 11: Paper tantangan AEC 2015

sangat dominan, sementara para pelaku bisnis, terutama non-multinational companies

masih belum sepenuh hati di dalam menerapkan CG. Hal ini diduga disebabkan oleh

karena belum terdapat bukti dan manfaat nyata (tangible) dari penerapan CG yang

dilakukan. Namun demikian, dengan semakin gencarnya pemerintah untuk

mendorong penerapan CG, terutama setelah mewajibkan perusahaan Publik dan

BUMN sebagai lokomotif pengembangannya, maka telah dapat diamati terjadinya

peningkatan yang signifikan dari implementasi CG. Minimal hal ini tergambar dari

semakin banyaknya (kuantitas) perusahaan dan organsiasi lainnya yang mengadopsi

CG.

Dari sudut pemerintah dan berbagai pihak, perkembangan penerapan CG dalam

dekade pertama ini, juga ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup signifikan

sebagai “daya ungkit” (leverage) dalam upaya implementasi CG secara substantif.

Disamping berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi

praktik CG (seperti untuk BUMN, perusahaan yang Go-publik, institusi perbankan),

maka telah dilakukan perbaikan terhadap lembaga KNKCG. Lembaga yang awalnya

menggunakan nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)

selanjutnya berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).

Perubahan nama lembaga juga ini juga diikuti dengan perubahan paradigma

pendekatan implementasi governance secara sistematis. Hal ini terbukti dengan

memperhatikan governance untuk sektor publik (public sector governance), karena

secara sistem keberadaan institusi publik berhubungan dengan institusi privat seperti

perusahaan atau corporate.

Perkembangan institusi menjadi KNKG juga menandai perlunya perhatian yang

berimbang antara implementasi CG di dua sektor utama tersebut; institusi korporasi

yang bergerak di sektor riil dan institusi publik yang bergerak dan berhubungan

dengan penyediaan infrastruktur dan kebijakan (termasuk moneter) yang akan

mendorong berjalannya sektor korporasi secara lebih baik. Disamping perbaikan

institusi KNKG, perkembangan lainnya yang dominan selama periode awal ini adalah

11

Page 12: Paper tantangan AEC 2015

dengan dikeluarkannya Pedoman CG baru (versi 2006) yang merupakan revisi dan

penyempurnaan dari pedoman CG (governance code) versi tahun 2000. Namun

demikian, terlepas dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, implementasi

CG di Indonesia belum mencapai tahap optimal yang diharapkan. Kurva PEM

Governance pada gambar 1 di atas, memperlihatkan pasang surut implementasi CG

selama periode tersebut, walaupun telah mengalami peningkatan yang berarti.

1. Tahap Introduction

Pada tahap sebelumnya (1997-2007) diasumsikan telah dilalui tahap

Awareness. Pada tahapan ini “aware” (peduli) berhubungan dengan pemahaman

terhadap keberadaan (apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana) terhadap berbagai

aspek CG. Hal ini telah dilakukan melalui “sosialisasi dan komunikasi” terhadap

stakeholders (internal and eksternal) dari setiap organisasi yang menerapkan

governance. Dalam jangka waktu satu dekade dan diikuti dengan berbagai upanya

nyata oleh berbagai pihak, maka tahapan ini dapat dianggap telah dilalui secara

baik. Dengan demikian, untuk periode berikutnya (2007-2016), diharapkan fase

implementasi CG di Indonesia telah dapat memasuki tahap berikutnya walaupun

masih dalam kualitas penerapan masih mengacu kepada “conformity”.

2. Tahap Conformance

Pada tahap conformance di periode 2007-2016, akan dilalui tiga tahapan

berikutnya yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, tahapan understanding

atau memahami isu CG melebihi prinsip-prinsip dasar yang ada (TARIF),

sehingga komunikasi menjadi lebih intensif karena memunculkan berbagai

pertanyaan substansial tentang CG dan penerapannya. Pada penerapan ini,

seharusnya para pelaku bisnis yang menerapkan CG sudah harus mempunyai

kreangka pikir “beyond compliance” sehingga esensi dari CG telah dapat dipahami

dengan baik. Namun demikian,pemahaman secara baik saja tidak cukup untuk

mencapai penerapan kualitas CG yang lebih baik. Untuk itu diperlukan tahapan

12

Page 13: Paper tantangan AEC 2015

berikutnya berupa keinginan dari berbagai pihak untuk menerapkan CG secara

sadar dan substansial.

Tahapan willingness to adopt berhubungan dengan pemahaman terhadap isu

substantif CG, dengan pengertian bahwa CG tidak mempunyai arti jika tidak

diikuti oleh keinginan (willingness) dari seluruh perangkat organisasi terkait untuk

mengadopsi dan menerapkannya di dalam organisasi. Di dalam hal ini yang

diperlukan adalah kesediaan untuk merubah cara berpikir (mindset) melalui

change management yang terencana secara baik. Pada tahapan ini diasumsikan

bahwa keinginan menerapkan perlu dilakukan untuk dapat memasuki tahapan

substansial berupa komitmen untuk menerapkannya.

Pada tahapan commitment, pemahaman dan kesediaan menerima dan

menerapkan prinsip governance sangat ditentukan oleh komitmen seluruh

stakeholder di dalam mendukung implementasi CG (secara formal ditandai dengan

penandatanganan pakta integritas, governance charter dan sebagainya). Jika

dihubungkan dengan proses sekuensial penerapan CG sebelumnya, maka

komitmen menerapkan ini tidak akan dapat dilakukan jika para governance

stakeholders tidak peduli (aware) dengan keberadaan dan manfaat CG, tidak

memahami (understanding) fungsi dan peranan serta tujuan CG yang dilanjutkan

dengan adanya “niat” (willingness) untuk menerapkannya.

Upgrading posisi implementasi CG di Indonesia ke level medium

diperkirakan akan terjadi pada tahiun 2012 yang diperkirakan terjadi pada tahapan

“willingness to adopt”. Namun demikian hal ini hanya bisa di capai jika tahapan

dan proses sebelumnya dilalui dengan baik serta memperoleh hasil optimal.

Namun demikian tidak tertutup kemungkinan posisi ini baru dapat di up-grade

setelah memasuki tahapan committment. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

percepatan implementasi CG dan capaian (outcomes) dari hasil implementasi

tersebut sangat ditentukan oleh partisipasi dan dorongan semua pihak atau

stakeholders yang terlibat di dalam sistem governance.

3. Tahap Performance and Improvement

13

Page 14: Paper tantangan AEC 2015

Diperkirakan, penerapan CG mencapai tahapan yang lebih baik (good)

setelah memasuki periode ke tiga (2016-2022). Hal ini hanya dapat terlaksana jika

semua proses sebelumnya dilalui secara baik. Pada tahapan ini esensi penerapan

CG diperkirakan sudah memasuki tahapan performance. Pada tahapan ini seluruh

perangkat organisasi (sub-system) telah menerapkan CG didukung perubahan

mindset yang ada, sehingga muncul slogan “from conformance to performance”.

Pada tahapan ini, dengan asumsi seluruh perangkat governance yang dibutuhkan

(governance structure dan governance system/termasuk governance mechanism)

telah berjalan secara baik , maka outcomes “awal” dari implementasi governance

seharusnya sudah dapat dirasakan (e.g. reduce of conflict of interests, improved

performance, efficient allocation of resources dll). Sesuai dengan sudut pandang

bahwa governance sebagai suatu system dan berada dalam suatu system yang lebih

besar (NKRI), maka pada tahapan ini juga diperlukan pemahaman dan jaminan

terhadap sustainability dari implementasi CG. Hal ini hanya dapat dicapai jika

organisasi bersifat “dinamis” terhadap perubahan lingkungan serta melakukan

berbagai “perubahan” secara “proaktif” (bukan reaktif). Pada tahapan lebih jauh,

implementasi governance seharusnya sudah menjadi “jiwa” (soul) dari setiap

individu dan elemen organisasi dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Sehingga pada tahapan ini CG sudah menjadi “embedded culture” dalam setiap

organisasi. Pada tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menjaga

sustainablity penerapan CG secara substansial.

4. Tahap Sustainable

Pada tahap ini, terlepas dari berbagai uraian di atas, perlu dicatat beberapa

hal berikut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi CG di

Indonesia sesuai dengan format yang telah direncanakan.(1) Setiap organisasi

dengan kondisi internal (walaupun berada dalam kondisi eksternal yang relatif

sama dan uncontrollable) adalah berbeda, dan pada akhirnya akan memperoleh

hasil penerapan CG secara berbeda pula. (2) diagnosis yang tepat terhadap kondisi

organisasi serta desain system CG yang sesuai (appropriate) sangat menentukan

14

Page 15: Paper tantangan AEC 2015

tingkat kesuksesan implementasi CG. (3) Untuk kondisi Indonesia, tahap

conformance (stage 1) telah berjalan cukup lama (1997-2007), namun belum

mencapai/memasuki tahap performance (stage 2), diantaranya diduga karena tidak

dapat melalui tahapan dalam stage 1 secara baik dan gradual. (4) Faktor eksternal

terhadap kesuksesan implementasi CG (seperti rules and regulations, enforcement

& culture) belum mendukung sepenuhnya penerapan CG di Indonesia. Dengan

demikian diperlukan adanya dukungan dari seluruh elemen sub-sistem di dalam

memperkuat CG sistem yang ada di dalam menjamin implementasi dan

pencapaian CG outcomes.

15

Page 16: Paper tantangan AEC 2015

Kesimpulan

Pada saat ini hasil penilaian atas good governance Negara Indonesia oleh

Transparansi Internasional masih menunjukkan capaian dibawah angka ‘phychologis’

(4 dari skala 10). Sejak krisis ekonomi tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 hasil

penilaian good governance negara Indonesia masih berkisar angka + 2,5. Dalam

kacamata Governance, masih rendahnya capaian penilaian good governance ini

memberikan indikasi bahwa governance Indonesia masih dalam tahap pengenalan

‘introduction’ yaitu masih bersifat kepedulian ‘awareness. Pada tahapan ini praktek-

praktek good governance masih mengejar untuk memenuhi formalitas dibandingkan

substansinya (forms over substance).

Ke depan praktek-praktek good governance atas sistim anggaran sudah harus

ditambah dengan spirit pemahaman ‘understanding’, keinginan ‘willingness’, dan

komitmen ‘commitment’. Hijrah dari forms over substance menuju substance over

forms membutuhkan penyempurnaan mekanisme governance dengan aura ketiga

spirit tersebut. Mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam

mekanisme governancenya, Insya Allah dalam waktu 5 (lima) tahun ke depan Negara

Indonesia sudah bisa melewati angka phychologis nilai 4. Tantangan Fungsi Internal

Auditor ke depan adalah bagaimana menilai praktek-praktek CG untuk mendapatkan

update mekanisme governance yang ada sehingga selalu terjadi continous and

feedback control dalam upaya selalu menciptakan better performance dan better

competition. Untuk itu profesi internal auditor harus selalu mengedepankan capaian

parameter governance yang handal (credible score for 4C).

16

Page 17: Paper tantangan AEC 2015

DAFTAR PUSTAKA

Nanang Sasongko, Profesi Akuntansi : Masa Kini dan Tantangan Masa Depan, ejurnal.stiedharmaputra-smg.ac.id › Beranda › Vol 36, No 36 (19)

http://rizki-ahmad.blogspot.com/2010/11/perkembangan-peluang-serta-tantangan.html

17