paper ra sabb.doc

56
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Appendisitis adalah peradangan appendiks veriformis dan merupakan penyakit abdomen akut yang paling sering terjadi. Penyakit ini sering mengenai semua usia laki – laki atau perempuan, namun lebih sering mengenai laki- laki yang berusia 10 – 30 tahun. Appendektomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memotong jaringan appendiks yang mengalami peradangan. Appendektomi (tindakan yang dilakukan untuk memotong jaringan appendiks) harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya perforasi. Appendektomi dapat dilakukan dengan anastesi spinal atau umum dengan insisi abdomen bawah atau laparoskopi yang merupakan metode baru yang sangat efektif. 1.2. PERUMUSAN MASALAH Metode dan teknis anestesi apa yang aman dan sebaiknya digunakan pada proses Appendisitis dalam upaya untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas. 1

Upload: dewi-ardilla-sitorus

Post on 05-Jan-2016

23 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper RA SABB.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

 Appendisitis adalah peradangan appendiks veriformis dan merupakan

penyakit abdomen akut yang paling sering terjadi. Penyakit ini sering mengenai

semua usia laki – laki atau perempuan, namun lebih sering mengenai laki- laki

yang berusia 10 – 30 tahun.

Appendektomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk

memotong jaringan appendiks yang mengalami peradangan. Appendektomi

(tindakan yang dilakukan untuk memotong jaringan appendiks) harus dilakukan

sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya perforasi. Appendektomi dapat

dilakukan dengan anastesi spinal atau umum dengan insisi abdomen bawah atau

laparoskopi yang merupakan metode baru yang sangat efektif.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Metode dan teknis anestesi apa yang aman dan sebaiknya digunakan pada

proses Appendisitis dalam upaya untuk mengurangi angka mortalitas dan

morbiditas.

1.3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui metode anestesi yang aman untuk tindakan

appendiktomi.

2. Untuk mengetahui komplikasi yang sering terjadi setelah tindakan anestesi

RA-SAB.

1

Page 2: Paper RA SABB.doc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. APPENDISITIS

2.1.1. ANATOMI APPENDIKS

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-

kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat

perkembangan embriologi minggu kedelapan yaitu bagian ujung dari protuberans

sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih

akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup

ileocaecal. Pada bayiappendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan

menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens

appendicitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian

proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli

yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi

appendiks. Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi

appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul)

31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,

dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah

ini.

2

Page 3: Paper RA SABB.doc

Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan

limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu

setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah

sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu,

mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti

arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada

appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks didarahi oleh arteri

apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri

appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka

appendiks mengalami ganggren.

2.1.2. FISIOLOGI APPENDIKS

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis

3

Page 4: Paper RA SABB.doc

appendicitis.Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated

Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk

appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai

pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus,

serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,

pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah

jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan

seluruh tubuh.

2.1.3. DEFENISI

Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen

oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi

lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa

appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris

trichiura, dan Enterobius vermikularis.

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur

baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia

10 sampai 30 tahun.

Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran

bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk

bedah abdomen darurat.

Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi

pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering

terjadi.

4

Page 5: Paper RA SABB.doc

2.1.4. ETIOLOGI

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan

sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang

diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limf, fekalit,

tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab

yang lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis ialah erosi mukosa

apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Namun menurut E. Oswari, kuman

yang sering ditemukan dalam apendiks yang meradang adalah Escherichia coli

danStreptococcus (E. Oswari, 2000).

Para ahli menduga timbulnya apendisitis ada hubungannya dengan gaya

hidup seseorang, kebiasaan makan dan pola hidup ayang tidak teratur dengan

badaniah yang bekerja keras. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran

kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap

timbulnya apendisitis. konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah

timbulnya apendisitis akut.

2.1.5. PATOFISIOLOGI

Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua

lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi

lumen dan ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.

Obstruksi intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa

dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding

appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan

luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme

yang ada di usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut,

kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan.

5

Page 6: Paper RA SABB.doc

Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa,

dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan

infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan

dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa

ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut

supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah

sehingga terjadi ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat

potensial ruptur. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil,

dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti menimbulkan

keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami

peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

2.1.6. KLASIFIKASI

Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah

sebagai berikut:

A. APENDISITIS AKUT.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah

nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium

disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.

Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah

ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya

sehingga merupakan nyeri somatik setempat

B. APENDISITIS KRONIK.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan

adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik

apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis

kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau

6

Page 7: Paper RA SABB.doc

total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya

sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

2.1.7. MANIFESTASI KLINIK

Tanda-tanda yang paling penting pada appendicitis adalah nyeri tekan di

daerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di daerah

panggul sebelah kanan kalau apendiks terletak retrorektal. Rasa nyeri pada

pemeriksaan rectum dan vagina ditemukan didaerah rektum apabila terjadi

apendisitis pelvis. Kalau letak apendiks itu lain dari yang lain, maka rasa nyeri

mungkin terlatak di tempat lain.

Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual,

muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara

mendadak dari epigastrium, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau

kuadran kanan bawah lalu pasien mengalami mual dan muntah. Setelah beberapa

jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika

dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan

ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8°

Celsius. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian

perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah

ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam

bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.

2.1.8. PEMERIKSAAN

A. PEMERIKSAAN FISIK

Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik

dan terlihat distensi perut. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan

akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan

perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut

kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda

Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga

7

Page 8: Paper RA SABB.doc

akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg

(Blumberg Sign).

Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk

menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan

pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang

terletak di daerah pelvic.

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk

mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan

rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif

sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang

meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan

menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi

sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak

dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan

ini akan menimbulkan nyeri.

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive

protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara

10.000-18.000/mm (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP

ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen

protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses

inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka

sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed

Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian

memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada

pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan

8

Page 9: Paper RA SABB.doc

perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran

sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas

yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%

dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan

infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. Pengukuran enzim

hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung

empedu, dan pankreas. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG)

untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan. Pemeriksaan barium enema

untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy

merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon. Pemeriksaan

foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi

mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan

obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

2.1.9. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis

meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

A. PENANGGULANGAN KONSERVATIF

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian

antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi,

sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian

antibiotik sistemik.

B. OPERATIF

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan

yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan

9

Page 10: Paper RA SABB.doc

appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan

perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

2.1.10. PENCEGAHAN

Upaya yang dilakukan untuk mencegah kejadian appendicitis adalah:

A. DIET TINGGI SERAT

Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan

insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan

bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran

pencernaan.

Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan

pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan

keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada

dinding kolon.

B. DEFEKASI YANG TERATUR

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.

Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan

makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu

yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada

pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.

2.2. APPENDEKTOMI

2.2.1. DEFENISI

Appendektomi adalah pembedahan untuk memotong jaringan appendiks

yang mengalami peradangan. Berdasarkan insisi / teknik yang dilakukan, terdapat

beberapa jenis :

1. Insisi abdomen bawah

2. Laparoskopi

10

Page 11: Paper RA SABB.doc

2.2.2. SYARAT – SYARAT

Syarat untuk dapat dilakukannya appendektomi adalah:

a. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi.b. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas

terdapat tanda-tanda peritonitis.c. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat

pergeseran ke kiri.

2.3. RA – SAB

2.3.1. DEFENISI

Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah

tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid

di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang

sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.

2.3.2. INDIKASI

Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah

(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,

maksimal 2-3 jam.

2.3.3. KONTRA – INDIKASI

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua

yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

A. KONTRA INDIKASI ABSOLUT

Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan

bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.

Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun

diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya

hipovolemia.

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.

11

Page 12: Paper RA SABB.doc

Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam

rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan

intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis

Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal

bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,

maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya

Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat

menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla

spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.

Pasien menolak.

B. KONTRA INDIKASI RELATIF

Infeksi sistemi : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan

apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan

kemungkinan penyebaran infeksi.

Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat

suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis

sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan

deficit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.

Kelainan psikis

Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih

90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi

bisa bertahan hingga 150 menit.

Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea

rah jantung akibat efek obat anestesi local.

Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau

terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan

atau cairan

12

Page 13: Paper RA SABB.doc

Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat

diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila

dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman

2.3.4. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah

tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,

torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang

sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang

sakum dan koksigeus.

13

Page 14: Paper RA SABB.doc

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu:

a. menyangga berat kepala dan dan batang tubuh,

b. melindungi medula spinalis,

c. memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis,

d. tempat untuk perlekatan otot-otot,

e. memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar

sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil

sampai apex dari tulang  koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang

harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian

beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio

sacroilliaca.

Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh

suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,

kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan

stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang

berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan

kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi

subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla

spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus

medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda

equina).Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara

vertebra T12 hingga L1.

Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark

yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,

diantaranya adalah :

14

Page 15: Paper RA SABB.doc

1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang

paling terlihat di daerah leher.

2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra

torakal 3-4

3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal

5-6

4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10

5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra

lumbalis 4-5

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

15

Page 16: Paper RA SABB.doc

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan

anestesi spinal.

a. Kutis

b. Subkutis

Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.

c. Ligamentum Supraspinosum

Ligamen yang menghubungkan ujung procesus spinosus.

d. Ligamentum interspinosum

e. Ligamentum flavum

Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm. Sebagian besar

terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina ke

lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi

mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati

ligamentum dan masuk keruang epidural.

f. Epidural

Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang

keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah

tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.

g. Duramater

Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater

seperti saat menembus epidural.

h. Subarachnoid

merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.

Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada

penusukan.

16

Page 17: Paper RA SABB.doc

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra[6]

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat

arteri dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri

Spinalis posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.Arteri spinalis

anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga adreti

radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis

memperdarahi radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena

medularis anterior dan posterior.

17

Page 18: Paper RA SABB.doc

Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis

2.3.5. PERSIAPAN ANESTESI

Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih

sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib

diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi

dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat

diubah menjadi anestesi umum.

Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;

Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini

(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan

terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit

tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti

infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau

kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus

tidak teraba.

18

Page 19: Paper RA SABB.doc

Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang

perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT)

dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat

gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat

dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :

1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.

2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.

3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu

runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil

point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G

4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.

5. Kapas/ kasa steril dan plester.

6. Obat-obatan anestetik lokal.

7. Spuit 3 ml dan 5 ml.

8. Infus set.

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal[7]

2.3.6. OBAT – OBATAN PADA ANASTESI SPINAL

19

Page 20: Paper RA SABB.doc

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat

anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila

dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat

anestesi local bersifat reversible.

Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap

jaringan saraf.Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat

mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut

dalam air.

Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid

dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun

hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini

adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama

kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah

permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi

yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 370 C adalah 1.003-1.008.

Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik

local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local

dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang

sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik

local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain

diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan

umum digunakan.

Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,

dosis 20-50 mg (1-2ml).

20

Page 21: Paper RA SABB.doc

Bupivakaine 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20

mg.

Bupivakaine 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat

hiperbarik, dosis 5-15 mg(1-3 ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh

manusia.Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya

harus diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.

1. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi

local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan

terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.

2. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang

bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa

menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.

3. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi local dapat menghambat impuls

saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,

maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan

bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat

terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting

diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi

local agar tidak masuk ke pembuluh darah.

4. Sistem Imun: Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka

memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat

alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine

seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh

darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.

5. Sistem Muskular: obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila

disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi

yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.

21

Page 22: Paper RA SABB.doc

6. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan

pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan

yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain

atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya

pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal

dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme

kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local

dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses

pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan

saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat

clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi

lebih lama.

2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat

onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid

misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini

sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga

penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga

menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal

menambah efek anestesi post-operasi.

3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat

menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena

klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai

terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.

22

Page 23: Paper RA SABB.doc

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan

anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.3.7. TEHNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas

meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

pasien.

Berikut adalah prosedur pelaksanaan teknik anestesi spinal:

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -

1500 ml (pre-loading).

2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit

3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat

menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.

4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista

iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.

5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen

interspinous.

23

Page 24: Paper RA SABB.doc

6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus

menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.

7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%

2-3ml

9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar

22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum

kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),

yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan

menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum

interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.

Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes

keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid

tersebut.

24

Page 25: Paper RA SABB.doc

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median

dan paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah

25

Page 26: Paper RA SABB.doc

dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm

lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan

monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada

dermatom di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi

motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa

hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu

diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah

bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang

belumdiberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor

dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,

pusing,mual, berkeringat.

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris

26

Page 27: Paper RA SABB.doc

2.3.8. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :

Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas

daerah analgetik.

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang

tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml

larutan.

Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal

dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung

berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung

menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat

batas analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin

besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

27

Page 28: Paper RA SABB.doc

Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik

sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan

posisi pasien.[3]

2.3.9. KOMPLIKASI TINDAKAN

Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus

diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.

Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah:

A. KARDIOVASKULAR 

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi

terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi

penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat

hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.

Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang

sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.Cardiac

arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi

spinal.Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang

berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus

seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest

tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang

disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan

memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak

10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila

dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan

vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit

sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi

karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan

sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.

B. BLOK TINGGI ATAU TOTAL

28

Page 29: Paper RA SABB.doc

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan

perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa

muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis

motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok

simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,

hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal

ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak

dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke

serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada

anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan

kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas

saraf phrenikus biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral

mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,

sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi

iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan

henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan

yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen

bertekanan positif.Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali

ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang

permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang

cepat dan tepat.

C. SISTEM RESPIRASI

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan

anestesi spinal adalah :

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi

paru-paru normal.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal

tinggi.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena

hipotensi berat dan iskemia medulla. 

29

Page 30: Paper RA SABB.doc

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-

tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan

pernafasan buatan.[2]

D. KOMPLIKASI GASTOINTESTINAL

Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis

berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus

gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal

merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi

dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 – 48 jam pasca pungsi lumbal,

dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada

kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat

tambahan yaitu Ondansetron atau diberikan Ranitidine.

E. NYERI KEPALA (PUNCTURE HEADACHE)

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.

Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada

anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti

ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko

untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah

tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan

biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala

yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital,

dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling

signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien

dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan

berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu

24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara

cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen.

Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus

30

Page 31: Paper RA SABB.doc

vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan

serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif

tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk

menghentikan kebocoran.

F. NYERI PUNGGUNG

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari

tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur

ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat

dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang

dalam beberapa waktu yang singkat saja.

G. TRAKTUS URINARIUS

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun

regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali

paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.

BAB 3

LAPORAN KASUS

31

Page 32: Paper RA SABB.doc

1. IDENTITAS

Nama : Erni Agustina

Jenis Kelamin : perempuan

Umur : 40 tahun

Agama : Islam

Alamat : Huta Dangka Kotanopan

Pendidikan : SMA

Status Perkawinan : Menikah

No RM : 23 90 53

Tgl Masuk : 24 September 2015

2. ANAMNESA

Keluhan Utama : Sakit pada perut sebelah kanan bawah

Telaah : Os datang ke RS Haji Medan dengan keluhan sakit pada

perut sebelah kanan bawah, disertai perih dan panas yang menjalar sampai ke

pinggang kanan. Nyeri perut kanan bawah terasa semakin berat bila kaki

kanan Os ditekuk. Os juga mengeluhkan nyeri lambung.

RPT : (-)

RPO : (-)

RPK : (-)

3.PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Tampak Sakit

 

Vital Sign

Sensorium : Compos Mentis

Tekanan Darah : 100/80 mmHg

32

Page 33: Paper RA SABB.doc

Nadi : 75x/menit

RR : 22x/menit

Suhu : 36,00C

Tinggi Badan : 150 cm

Berat Badan : 54 kg

Pemeriksaan Umum

Kepala

Bentuk :Normocepali, tidak teraba benjolan atau luka.

Wajah : Simetris, tidak oedem.

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik, Reflex

cahaya (+/+), Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, Gerak bola mata

terkonjugasi ke segala arah.

Telinga : Bentuk normal, tidak ada deformitas, nyeri tekan (-).

Hidung : Hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung.

Mulut : Bibir merah muda, tidak ada sianosis

Leher

Pembesaran kgb : (-)

Tyroid : (+) normal

Bentuk : normal, simetris

Thorax

Paru

Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan torako

abdominal, retraksi costae -/-

Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru

Jantung

Inspeksi : Ictus tidak terlihat

Palpasi : Ictus teraba, tidak kuat angkat

33

Page 34: Paper RA SABB.doc

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung dalam batas normal

Abdomen

Inspeksi : simetris

Palpasi : Soepel, nyeri tekan pada regio inguinalis dextra

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

Ekstremitas : edema -/-

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium

Darah Rutin

Hasil Nilai Rujukan

Hb 12.1 g/Dl 12-16 g/dL

Ht 35.8 % 36-47 %

Eritrosit 4.4 x 106/µL 3.9-5.6 x 106/µL

Leukosit 19.600 /µL 4000-11000 /µL

Trombosit 226.000 / µL 150.000-450.000 /µL

Hasil Radiologi

Garis psoas baik

Distribusi udara usus merata

Rectum terisi penuh

Tidak tampak dilatasi usus

Tidak tampak udara bebas

Kesan : tidak tampak tanda-tanda ileus

  Diagnosis : Appendisitis

 

RENCANA TINDAKAN

34

Page 35: Paper RA SABB.doc

Tindakan : Appendektomi

Anesthesi : RA-SAB

PS-ASA : 2

Posisi : Supinasi

Pernapasan : Spontan

KEADAAN PRA BEDAH

Pre operatif

B1 (Breath)

Airway : Clear

RR : 20x/menit

SP : Vesikulear ka=ki

ST :Ronchi(-),Wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing

(-/-/-)

B2 (Blood)

Akral : Hangat/Merah/Kering

TD : 120/80 mmHg

HR : 88x/menit

B3 (Brain)

Sensorium : Compos Mentis

Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)

Uop : (-)

Kateter : (-)

B5 (Bowl)

Abdomen : Soepel, nyeri tekan regio inguinalis dextra

Peristaltik : Normal (+)

Mual/Muntah : (+)/(+)

B6 (Bone)

Oedem : (-)

35

Page 36: Paper RA SABB.doc

PERSIAPAN OBAT RA-SAB

Intratekal

Bupivacaine : 12,5mg

Fentanyl : 25 µg

Jumlah Cairan

PO : RL 500 cc

DO : RL 600 cc

Total : RL 1100 cc

Produksi Urin : (-)

Perdarahan

Kasa Basah : 15 x 10 = 150 cc

Kasa 1/2 basah : 5 x 5 = 25 cc

Suction : 0 cc

Jumlah : 175cc

EBV : (65) x 54 = 65 x 54 kg = 3510

EBL 10 % = 351

20 % = 702

30 % = 1053

Durasi Operatif

Lama Anestesi= 10.05 – 10.55 WIB

Lama Operasi = 10.10 – 10.55 WIB

Teknik Anestesi : RA-SAB

Posisi duduk (SITTING) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine +

alcohol → Insersi spinocan 25G + CSF (+), darah (-), injeksi

bupivacain+fentanyl → barbotase (+) → posisi supine → atur blok

setinggi T4.

36

Page 37: Paper RA SABB.doc

POST OPERASI

Operasi berakhir pukul : 10.55 WIB

Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan

darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8

Pergerakan : 2

Pernapasan : 2

Warna kulit : 2

Tekanan darah : 2

Kesadaran : 2

Dalam hal ini, pasien memiliki score 10 sehingga bisa di pindahkan ke ruang

rawat.

PERAWATAN POST OPERASI

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah

dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta

vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk

bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal

headache, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI

Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

IVFD RL 30gtt/menit

Minum sedikit-sedikit bila tidak mual muntah

Inj. Ketorolac 30mg/8 jam IV

Inj. Ranitidine 50mg/8 jam IV

Inj. Ondansetron 4mg/12 jam IV bila mual/muntah

BAB 4

PENUTUP

37

Page 38: Paper RA SABB.doc

4.1. KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan appendiks veriformis dan merupakan

penyakit abdomen akut yang paling sering terjadi. Penyakit ini sering mengenai

semua usia laki – laki atau perempuan, namun lebih sering mengenai laki- laki

yang berusia 10 – 30 tahun.

Appendektomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk

memotong jaringan appendiks yang mengalami peradangan. Appendektomi

(tindakan yang dilakukan untuk memotong jaringan appendiks) harus dilakukan

sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya perforasi. Appendektomi dapat

dilakukan dengan anastesi spinal atau umum dengan insisi abdomen bawah atau

laparoskopi yang merupakan metode baru yang sangat efektif.

Pada dasarnya persiapan untuk anastesi spinal seperti persiapan anastesi

umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah menimbulkan kesulitan,

misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali

sehingga tak teraba tonjolan proc. Spinosus.

Anastesi spinal (intratekal,intradural,subdural,subarachnoid) ialah

pemberian obat anastetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anastesi spinal

diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang

subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

DAFTAR PUSTAKA

38

Page 39: Paper RA SABB.doc

1. Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C.2000. Keperawatan Medikal

Bedah: Buku saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC

2. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : EGC

3. Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : EGC

4. Sjamsuhidaja, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.

Jakarta : EGC

5. Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal

Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih bahasa kuncara H,Y, dkk. Jakarta : EGC

6. Wilkinson, Judith M dan Ahera, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis

Keperawatan, Jakarta : EGC

39