paper pemakaian bahan kimia
DESCRIPTION
tulisan pemakaian bahan kimia di pembangkit listrik batubara di berauTRANSCRIPT
2009PEMAKAIAN BAHAN KIMIA DI PLTU LATI – BERAU - KALTIM
Pendahuluan
PLTU Lati, adalah pembangkit listrik skala kecil dengan kapasitas hanya 14 MW yang dipergunakan untuk menyuplai kebutuhan listrik di daerah Berau ( Untuk saat ini masih di lingkup Sistem Kelistrikan Tanjung Redeb ). Teknologi pembangkitan yang dipergunakan dalam PLTU Lati merupakan kombinasi teknologi tua dengan sistem pengontrolan komputerisasi ( belum 100 %, karena sebagian mempergunakan kontrol manual ). Namun secara keseluruhan, permasalahan yang dihadapi PLTU Lati sama kompleksnya dengan pembangkit skala besar yang ada karena sistem dan proses yang dipergunakan relatif sama namun berbeda skala / ukuran saja.
Permasalahan yang dimiliki oleh PLTU Lati antara lain :
1. Kualitas Batubara yang tidak seragam2. Kualitas air sungai yang berfluktuasi3. Lokasi PLTU Lati di Berau, jauh dari manufaktur dan suplier.4. Kandungan sulfur di batubara berau cukup tinggi.5. Slagging dan Fouling di ruang bakar.
Berbagai permasalahan diatas memerlukan penanganan tersendiri dan menimbulkan penambahan biaya yang reatif besar untuk ukuran pembangkit skala kecil seperti PLTU Lati.
Sebagai harapan utama masyarakat Berau khususnya di Tanjung Redeb, PLTU Lati dituntut untuk selalu beroperasi secara penuh agar roda perekonomian dan kehidupan tetap berlangsung. Masyarakat telah terbiasa diterangi listrik selama 24 jam setiap hari untuk dapat bekerja dengan baik. Keterbatasan backup dari PLN di Cabang Berau menyebabkan PLTU Lati menopang mendekati 100 % kebutuhan daya di masyarakat. Ketergantungan yang sangat tinggi ini memacu operator PLTU Lati yang juga merupakan bagian dari masyarakat untuk berupaya agar unit tetap berjalan dengan prima.
Agar hal ini dapat diwujudkan, maka pemakaian bahan kimia menjadi cukup vital dalam pengoperasian PLTU Lati. Mulai dari bahan kimia untuk mengendalikan slagging, hingga bahan kimia untuk mengendalikan kualitas air sebagai bahan baku uap PLTU Lati, kesemuanya dipergunakan hingga pada batas operasi yang dapat menjamin kelangsungan pasokan listrik ke masyarakat. Sehingga roda kehidupan di Kabupaten Berau dapat berjalan dengan baik.
ANALISA PEMAKAIAN BAHAN KIMA UNTUK AIR
PROSES PENJERNIHAN AIR
KOAGULASI
Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positip yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatip partikel. Dalam pengolahan air sering dipakai garam dari Aluminium, Al (III) atau garam besi (II) dan besi (III).
Berikut adalah gambaran proses koagulasi :
Koagulan yang umum dan sudah dikenal yang digunakan pada pengolahan air adalah seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Proses Koagulasi
particles
Tabel jenis-jenis koagulan
Zat Koagulan terhidrolisa yang paling umum digunakan dalam proses pengolahan air minum
adalah garam besi (ion Fe3+ ) atau Aluminium (ion Al3+ ) yang terdapat didalam bentuk yang
berbeda-beda seperti tercantum di atas dan bentuk lainnya seperti :
1. AlCl3
2. Aluminium klorida dan sulfat yang bersifat basa/alkalis
3. Senyawa kompleks dari zat-zat tersebut diatas.
Alum/Tawas
Tawas/Alum adalah sejenis koagulan dengan rumus kimia Al2S04 .11 H2O atau 14
H2O atau 18 H2O umumnya yang digunakan adalah 18 H2O. Semakin banyak ikatan
molekul hidrat maka semakin banyak ion lawan yang nantinya akan ditangkap akan tetapi
umumnya tidak stabil. Pada pH < 7 terbentuk Al ( OH )2+, Al ( OH )2 4+, Al2 ( OH )2 4+.
Pada pH > 7 terbentuk Al ( OH )-4. Flok –flok Al ( OH )3 mengendap berwarna putih.
Gugus utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang optimum pada
pH netral. Apabila pH tinggi atau boleh dikatakan kekurangan dosis maka air akan nampak
seperti air baku karena gugus aluminat tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi
apabila pH rendah atau boleh dikata kelebihan dosis maka air akan tampak keputih –
putihan karena terlalu banyak konsentrasi alum yang cenderung berwarna putih. Dalam
cartesian terbentuk hubungan parabola terbuka, sehingga memerlukan dosis yang tepat
dalam proses penjernihan air. Reaksi alum dalam larutan dapat dituliskan.
Al2S04 + 6 H2O —–à Al ( OH )3 + 6 H+ + SO42-
Reaksi ini menyebabkan pembebasan ion H+ dengan kadar yang tinggi ditambah oleh
adanya ion alumunium. Ion Alumunium bersifat amfoter sehingga bergantung pada suasana
lingkungan yang mempengaruhinya. Karena suasananya asam maka alumunium akan juga
bersifat asam sehingga pH larutan menjadi turun.
Jika zat-zat ini dilarutkan dalam air, akan terjadi disosiasi garam menjadi kation
logam dan anion. Ion logam akan menjadi lapisan dalam larutan dengan konsentrasi lebih
rendah dari pada molekul air, hal ini disebabkan oleh muatan posistif yang kuat pada
permukaan ion logam (hidratasi) dengan membentuk molekul heksaquo (yaitu 6 molekul air
yang digabung berdekatan) atau disebut dengan logam (H2O)63+ , seperti [Al.(H2O)6]3+ .
Ion seperti ini hanya stabil pada media yang sedikit asam , untuk aluminium pada pH
< 4, untuk Fe pada pH < 2.
Jika pH meningkat ada proton yang akan lepas dari ion logam yang terikat tadi dan
bereaksi sebagai asam.
Sebelum digunakan satu hal yang harus disiapkan yaitu larutan koagulan. Di dalam
larutan, koagulan harus lebih efektif, bila berada pada bentuk trivalen (valensi 3) seperti
Fe3+ atau Al3+, menghasilkan pH < 1,5. Bila larutan alum ditambahkan ke dalam air yang
akan diolah terjadi reaksi sebagai berikut :
Reaksi hidrolisa : Al3+ + 3H2O → Al(OH)3 + 3H+….1)
Jika alkalinitas dalam air cukup, maka terjadi reaksi :
Jika ada CO32− : CO3
2− + H+ → HCO3− + H2O ………..2)
Atau dengan HCO3− : HCO3
− + H+ → CO2 + H2O ……3)
Dari reaksi di atas menyebabkan pH air turun.
Kelarutan Al(OH)3 sangant rendah, jadi pengendapan akan terjadi dalam bentuk flok.
Bentuk endapan lainnya adalah Al2O3. nH2O seperti ditunjukkan reaksi :
2Al3+ + (n+3)H2O → Al2O3.nH2O + 6H+
Ion H+ bereaksi dengan alkalinitas.
Reaksi-reaksi hidrolisa yang tercantum di atas merupakan persamaan reaksi
hidrolisa secara keseluruhan. Reaksi 1) biasanya digunakan untuk menghitung perubahan
alkalinitas dan pH.
Pada kenyataannya ion Al3+ dalam larutan koagulan terhidrasi dan akan
berlangsung dengan ketergantungan kepada pH hidrolisa. Senyawa yang terbentuk
bermuatan positip dan dapat berinteraksi dengan zat kotoran seperti koloid.
[Al(H2O)6]3+ —à [Al(H2O)5OH]2+ + H+
[Al(H2O)5OH]2+ —à [Al(H2O)4(OH)2]+ + H+
[Al(H2O)4(OH)2]+ —à [Al(H2O)3(OH)3] + H+ endapan
[Al(H2O)3(OH)3] —à [Al(H2O)2(OH)4]− + H+ terlarut
Tahap pertama terbentuk senyawa dengan 5 molekul air dan 1 gugus hidroksil yang muatan
total akan turun dari 3+ menjadi 2+ misalnya : [Al(H2O)5OH]2+.
Jika pH naik terus sampai mencapai ±5 maka akan terjadi reaksi tahap kedua
dengan senyawa yang mempunyai 4 molekul air dan 2 gugus hidroksil. Larutan dengan pH
>6 (dipengaruhi oleh Ca2+) akan terbentuk senyawa logam netral (OH)3 yang tidak bisa
larut dan mempunyai volume yang besar dan bisa diendapkan sebagai flok (di IPA).
Jika alkalinitas cukup ion H+ yang terbentuk akan terlepas dan endapan
[Al(H2O)3(OH)3] atau hanya Al(OH)3 yang terbentuk. Pada pH lebih besar dari 7,8 ion
aluminat [Al(H2O)2(OH)4]− atau hanya Al(OH)4]− yang terbentuk yang bermuatan negatip
dan larut dalam air. Untuk menghindari terbentuknya senyawa aluminium terlarut, maka
jangan dilakukan koagulasi dengan senyawa aluminium pada nilai pH lebih besar dari 7,8.
Polimerisasi senyawa aluminium hidroksil berlangsung dengan menghasilkan
kompleks yang mengandung ion Al yang berbeda berikatan dengan ion lainnya oleh grup
OH−. Contoh :
OH [(H2O)4 Al Al(H2O)4]4+ atau Al2(OH)24+
OH Polinuklir Al kompleks diajukan untuk diadakan, seperti :
[Al7(OH)17]4+ ; [Al8(OH)20]4+ ; [Al13(OH)34]5+
Selama koagulasi pengaruh pH air terhadap ion H+ dan OH− adalah penting untuk
menentukan muatan hasil hidrolisa. Komposisi kimia air juga penting, karena ion divalen
seperti SO42− dan HPO4
2− dapat diganti dengan ion-ion OH− dalam kompleks oleh karena
itu dapat berpengaruh terhadap sifat-sifat endapan.
Presipitasi dari hidroksida menjamin adanya ion logam yang bisa dipisahkan dari air
karena koefisien kelarutan hidroksida sangat kecil. Senyawa yang terbentuk pada pH antara
4 – 6 dan yang terhidrolisa, dapat dimanfaatkan untuk polimerisasi dan kondensasi (bersifat
membentuk senyawa dengan atom logam lain) misalnya Al6(OH)153+.
Aluminium sering membentuk komplek 6 s/d 8 dibandingkan dengan ion Fe (III) yang
membentuk suatu rantai polimer yang panjang. Senyawa itu disebut dengan cationic
polynuclier metal hydroxo complex dan sangat bersifat mengadsorpsi dipermukaan zat-zat
padat. Bentuk hidrolisa yang akan terbentuk didalam air , sebagian besar tergantung pada
pH awal, kapasitas dapar (buffer), suhu, maupun konsentrasi koagulan dan kondisi ionik
(Ca2+ dan SO42–) maupun juga dari kondisi pencampuran dan kondisi reaksi.
Senyawa Al yang lainnya adalah sodium aluminat, NaAlO2 atau Na2Al2O4.
Kelebihan NaOH yang ditambahkan (rasio Na2O/Al2O3 dalam Na2Al2O4 adalah : 1,2 −
1,3/1) untuk menaikkan stabilitas sodium aluminat. Penambahan zat ini dalam bentuk
larutan akan menghasilkan reaksi berikut :
AlO2− + 2H2O → Al(OH)4
−
Al(OH)4− → Al(OH)3 + OH−
Reaksi kedua hanya mungkin bila asiditas dalam air cukup untuk menghilangkan ion
OH− yang terbentuk sehingga menyebabkan kenaikan pH.
CO2 + OH− → HCO3−
HCO3− + OH− → CO3
2− + H2O
Kadang-kadang bila air tidak mengandung alkalinitas, perpaduan antara sodium
aluminat dan alum digunakan untuk menghindari perubahan pH yang besar dan untuk
membuat pH relatif konstan.
2Al3+ + 3SO42− + 6H2O → 2Al(OH)3 + 3SO2− + 6H+
6AlO2 + 6Na+ + 12H2O → 6Al(OH)3 + 6Na+ + 6OH−
_________________________________________________________
2Al3+ + 3SO42− + 6Na+ + 6AlO2
− + 12H2O → 8Al(OH)3 + 6Na+
+3SO42−
Pada prakteknya satu hal dipertimbangkan memberikan kelebihan asam dari larutan alum (pH 1,5) yang ditambahkan dan yang lainnya kelebihan NaOH di dalam sodium aluminat (untuk stabilitas).
Pada kekeruhan yang disebabkan tanah liat sangat baik dihilangkan dengan batas
pH antara 6,0 sampai dengan 7,8; penghilangan warna umumnya dilakukan pada pH yang
sedikit asam, lebih kecil dari 6, bahkan di beberapa daerah harus lebih kecil dari 5. Dari
beberapa penelitian (untuk air gambut dari daerah Riau), efisiensi penghilangan warna akan
baik bila pH lebih kecil dari 6 untuk setiap dosis koagulan alum sulfat yang digunakan.
Walaupun demikian efisiensi penghilangan warna masih tetap tinggi dihasilkan pada
koagulasi dengan pH sampai 7, tetapi dengan dosis alum sulfat yang lebih tinggi (sampai
100 mg/l), tetapi bila dosis alum sulfat lebih kecil (60 mg/l) pada pH yang sama (sampai
dengan 7), terjadi penurunan efisiensi penghilangan warna secara drastis (sampai dengan
10 %).
Air setelah diolah dengan koagulasi – flokulasi untuk menghilangkan warna, pH
harus ditetapkan diatas 6,5 (kurang dari 7,8) sebelum air disaring, karena pada pH tersebut
bentuk aluminium tidak larut, jadi residu Al3+ terlarut didalam air dapat
dihilangkan/dikurangi, pada pH > 7,8 bentuk Al adalah Al terlarut yaitu ion aluminat,
[Al(H2O)2(OH)4]– Untuk hal ini dilakukan penambahan kapur sebelum proses filtrasi, dan
biarkan aluminium berubah bentuk menjadi bentuk tidak larut/endapan supaya dapat
dihilangkan dengan penyaringan. Dengan cara ini residu Al3+ dapat ditekan sampai tingkat
yang diijinkan. Setelah itu baru boleh dilakukan penambahan kembali kapur atau soda abu
untuk proses Stabilisasi dengan harapan tidak akan terjadi perubahan alum terlarut menjadi
alum endapan. Bila cara diatas tidak dilakukan, kemungkinan akan terjadi pengendapan
alum di reservoir atau pada jaringan pipa distribusi, akibat penambahan kapur atau soda
abu untuk proses stabilisasi dilakukan setelah air keluar dari filter, seperti halnya yang
dilakukan pada pengolahan air yang biasa ( tidak berwarna ).
Proses koagulasi dengan koagulan lain seperti halnya garam Fe (III) yang
mempunyai rentang pH lebih besar (4–9) dan penggunaan koagulan Polyaluminium chloride
(PAC), tanpa penetapan pH pun proses koagulasi – flokulasi tetap dapat berlangsung, tetapi
pembentukan flok tidak optimum, hanya flok-flok halus yang terbentuk, sehingga beban filter
akan bertambah.
Jika kehadiran alkalinitas didalam air cukup, pada koagulasi dengan koagulan garam
Al ion H+ yang terbentuk akan diambil dan terbentuk endapan [Al(H2O)3(OH)3] atau hanya
Al(OH)3, dimana bentuk ini bermanfaat pada pertumbuhan flok ( mekanisme adsorpsi ).
Adanya alkalinitas didalam air jika pH air > 4,5. Jadi jika pH air baku < 4,5 perlu
penambahan bahan alkali (kapur atau soda abu).
PAC ( Poly Aluminium Chloride )
Senyawa Al yang lain yang penting untuk koagulasi adalah Polyaluminium chloride (PAC),
Aln(OH)mCl3n-m.
Ada beberapa cara yang sudah dipatenkan untuk membuat polyaluminium chloride
yang dapat dihasilkan dari hidrolisa parsial dari aluminium klorida, seperti ditunjukkan reaksi
berikut :
n AlCl3 + m OH− . m Na+ → Al n (OH) m Cl 3n-m + m Na+ + m Cl−
Senyawa ini dibuat dengan berbagai cara menghasilkan larutan PAC yang agak
stabil.
PAC adalah suatu persenyawaan anorganik komplek, ion hidroksil serta ion
alumunium bertarap klorinasi yang berlainan sebagai pembentuk polynuclear mempunyai
rumus umum Alm(OH)nCl(3m-n). Beberapa keunggulan yang dimiliki PAC dibanding
koagulan lainnya adalah :
1. PAC dapat bekerja di tingkat pH yang lebih luas, dengan demikian tidak diperlukan
pengoreksian terhadap pH, terkecuali bagi air tertentu.
2. Kandungan belerang dengan dosis cukup akan mengoksidasi senyawa karboksilat
rantai siklik membentuk alifatik dan gugusan rantai hidrokarbon yang lebih
pendek dan sederhana sehingga mudah untuk diikat membentuk flok.
3. Kadar khlorida yang optimal dalam fasa cair yang bermuatan negatif akan cepat
bereaksi dan merusak ikatan zat organik terutama ikatan karbon nitrogen yang
umumnya dalam truktur ekuatik membentuk suatau makromolekul terutama
gugusan protein, amina, amida dan penyusun minyak dan lipida.
4. PAC tidak menjadi keruh bila pemakaiannya berlebihan, sedangkan koagulan
yang lain (seperti alumunium sulfat, besi klorida dan fero sulfat) bila dosis
berlebihan bagi air yang mempunyai kekeruhan yang rendah akan bertambah
keruh. Jika digambarkan dengan suatu grafik untuk PAC adalah membentuk
garis linier artinya jika dosis berlebih maka akan didapatkan hasil kekeruhan
yang relatif sama dengan dosis optimum sehingga penghematan bahan kimia
dapat dilakukan. Sedangkan untuk koagulan selain PAC memberikan grafik
parabola terbuka artinya jika kelebihan atau kekurangan dosis akan menaikkan
kekeruhan hasil akhir, hal ini perlu ketepatan dosis.
5. PAC mengandung suatu polimer khusus dengan struktur polielektrolite yang dapat
mengurangi atau tidak perlu sama sekali dalam pemakaian bahan pembantu,
ini berarti disamping penyederhanaan juga penghematan untuk penjernihan air.
6. Kandungan basa yang cukup akan menambah gugus hidroksil dalam air sehingga
penurunan pH tidak terlalu ekstrim sehingga penghematan dalam penggunaan
bahan untuk netralisasi dapat dilakukan.
7. PAC lebih cepat membentuk flok daripada koagulan biasa ini diakibatkan dari
gugus aktif aluminat yang bekerja efektif dalam mengikat koloid yang ikatan ini
diperkuat dengan rantai polimer dari gugus polielektrolite sehingga gumpalan
floknya menjadi lebih padat, penambahan gugus hidroksil kedalam rantai koloid
yang hidrofobik akan menambah berat molekul, dengan demikian walaupun
ukuran kolam pengendapan lebih kecil atau terjadi over-load bagi instalasi yang
ada, kapasitas produksi relatif tidak terpengaruh.
Senyawa Besi
Untuk senyawa besi, tipe hidrolisa yang sama dapat berlangsung seperti :
Fe3+ + 3H2O → Fe(OH)3 + 3H+
Reaksi di atas dilanjutkan dengan reaksi H+ dengan alkalinitas seperti ditunjukkan oleh
reaksi 2) dan 3). Terdapat pula ion ferri hidrat seperti : [Fe(H2O)6]3+ dengan persamaan
reaksi yang sama dengan hidrolisa [Al(H2O)6]3+.
Pembentukan [Fe(H2O)2(OH)4]− atau Fe(OH)4− hanya terjadi pada pH tinggi, tetapi
tidak biasa ditemui pada pengolahan secara konvensional, jadi batas pH untuk koagulasi
dengan Fe3+ lebih besar dari pada untuk Al3+, sebagai contoh pH 9 untuk koagulasi
dengan Fe3+ dan 7,8 untuk Al3+.
Senyawa besi mempunyai tendensi membentuk jenis polinuklir yang lebih kecil
dibandingkan dengan aluminium.
Dosis kagulan yang diperlukan tergantung pada :
1. Konsentrasi warna.
2. Zeta potential (pengukuran mobilitas elektroforesa) juga merupakan faktor penting
untuk menghilangkan warna secara efektif. Hal ini erat hubungannya dengan
sisa konsentrasi warna. Pada pH yang optimum, sisa warna berkurang secara
proporsional dengan penambahan dosis koagulan.
3. Jenis koagulan → koagulan yang dapat digunakan untuk menghilangkan warna
adalah :
- Garam aluminium : Alum sulfat/tawas, Al2(SO4)3.xH2O, Polyaluminium
chloride, PAC (PACl), Aln(OH)mCl3n-m
- Garam besi (III) : Ferri sulfat, Fe2(SO4)3.xH2O, Ferri klorida, FeCl3.
Semakin tinggi dosis koagulan yang digunakan akan menghasilkan efisiensi penghilangan
warna yang lebih besar pula, akan tetapi residu koagulan akan semakin besar.
Pada kasus pembentukan flok yang lemah dengan menggunakan dosis tawas
optimum untuk menghilangkan warna, polialumunium klorida (PAC) dapat digunakan
sebagai koagulan pilihan selain tawas. Koagulasi dengan poli alumunium klorida dapat
dengan mudah memproduksi flok yang kuat dalam air dengan jangkauan dosis yang lebih
kecil dan rentang pH yang lebih besar, tanpa mempertimbangkan kehadiran alkalinitas yang
cukup.
Stabilitas koloid merupakan aspek penting dalam proses koagulasi untuk menghilangkan
koloid-koloid. Stabilitas koloid tergantung ukuran koloid dan muatan elektrik, juga
dipengaruhi oleh media pendispersi (dalam hal ini media pendispersi adalah air) seperti
kekuatan ion , pH. Muatan permukaan partikel-partikel koloid penyebab kekeruhan di dalam
air adalah sejenis, oleh karena itu jika kekuatan ionik di dalam air rendah, maka koloid akan
tetap stabil. Stabilitas merupakan daya tolak koloid karena partikel-partikel mempunyai
muatan permukaan sejenis (negatif). Antara koloid-koloid ada gaya tolak menolak dan gaya
tarik massa (van der Waals). Dengan adanya enersi interaksi kedua gaya tersebut yang
disebabkan oleh gerakan Brownian, dihasilkan suatu enersi kinetik. Jika kekuatan ionik di
dalam air cukup tinggi, maka gaya tolak menolak memberi keuntungan kepada situasi
dimana tumbukan yang terjadi menghasilkan aglomerasi partikel-partikel.
Ada beberapa daya yang menyebabkan stabilitas partikel, yaitu :
1). Gaya elektrostatik yaitu gaya tolak menolak terjadi jika partikel-partikel
mempunyai muatan yang sejenis (negatif atau positif ).
2). Bergabung dengan molekul air (reaksi hidrasi)
3). Stabilisasi yang disebabkan oleh molekul besar yang diadsorpsi pada
permukaan.
Mekanisme yang disebut diatas seringkali terjadi pada saat yang sama. Dalam
suspensi yang keruh seringkali hanya ada partikel bermuatan negatip yang disebabkan oleh
penggantian kation maupun adsorpsi zat anionik.
Mineral seperti silika, tanah liat, oksida dan hidroksida seringkali selain mempunyai daya
elektrostatik, juga ada hidrasi yang mampu untuk mengadsopsi zat penyebab stabilisasi..
Suspensi atau koloid bisa dikatakan stabil jika semua gaya tolak menolak antar partikel lebih
besar dari gaya tarik massa, sehingga didalam waktu tertentu tidak terjadi agregasi.
Untuk menghilangkan kondisi stabil, harus merubah gaya interaksi diantara partikel dengan
pembubuhan zat kimia (sebagai donor muatan positip) supaya gaya tarik menarik menjadi
lebih besar.
Untuk destabilisasi ada beberapa mekanisme yang berbeda :
1. Kompresi lapisan ganda listrik (Compression of electric double layer) dengan muatan
yang berlawanan.
2. Mengurangi potensial permukaan yang disebabkan oleh adsorpsi molekul yang
spesifik dengan muatan elektrostatik.
3. Adsorpsi molekul organik diatas permukaan partikel bisa membentuk jembatan
molekul diantara partikel.
4. Penggabungan partikel koloid kedalam senyawa presipitasi yang terbentuk dari
koagulan/ flokulan.
Destabilisasi yang terjadi tergantung dari mekanime destabilisasi yang mana atau bisa saja
hanya ada satu mekanisme yang menyebabkan agregasi atau kombinasi dari mekanisme
yang lain (diantara yang tersebut diatas). Untuk aplikasi praktis di IPA Instalasi pengolahan
air) ada kombinasi dari beberapa mekanisme destabilisasi yang disebabkan adanya
kompresi lapisan ganda, tetapi hal ini biasanya tidak begitu penting untuk aplikasi praktis.
Secara garis besar (berdasarkan uraian di atas), mekanisme koagulasi dan flokulasi adalah :
1. Destabilisasi muatan negatip partikel oleh muatan positip dari koagulan
2. Tumbukan antar partikel
3. A d s o r p s I
Selain tumbukan antar partikel terdestabilisasi/mikroflok yang bertujuan membentuk flok
dengan ukuran yang relatif besar (makroflok), adsorpsi merupakan mekanisme flokulasi
diantaranya dilakukan oleh Al(OH)3, aluminium hidroksida yaitu bentuk hidroksida Al, hasil
reaksi hidrolisa Al dengan air. Senyawa ini berbentuk agar-agar (jelly) yang mempunyai sifat
“adsorpsi (menyerap di permukaan). Jika kekuatan ionik di dalam air cukup besar, maka
keberadaan koloid di dalam air sudah dalam bentuk terdestabilisasi. Destabilisasi disini
disebabkan oleh ion monovalen (valensi 1) dan divalen (valensi 2) yang berada di dalam air.
Kejadian ini dinamakan “Koagulasi elektrostatik”, sedangkan koagulasi kimiawi adalah suatu
proses dimana zat kimia seperti garam Fe dan Al, ditambahkan ke dalam air untuk merubah
bentuk (transformasi) zat-zat kotoran. Zat-zat tersebut akan bereaksi dengan hidrolisa
garam-garam Fe atau Al menjadi flok dengan ukuran besar yang dapat dihilangkan secara
mudah melalui sedimentasi dan filtrasi.Pada sistem pengolahan air, koagulasi terjadi pada
unit pengadukan cepat (flash mixing), karena koagulan harus tersebar secara cepat dan
reaksi hidrolisa hanya terjadi dalam beberapa detik, jadi destabilisasi muatan negatip oleh
muatan positip harus dilakukan dalam perioda waktu hanya beberapa detik. Nilai gradien
kecepatan (G), waktu tinggal/detensi ( td ) dan kecepatan aliran air adalah jarang berubah
selama instalasi pengolahan air (IPA) berjalan.
Faktor – faktor yang mempengaruhi koagulasi :
1. Pemilihan bahan kimia
Pemilihan koagulan dan koagulan pembantu , merupakan suatu program lanjutan dari
percobaan dan evaluasi yang biasanya menggunakan Jar – test. Seorang operator dalam
pengetesan untuk memilih bahan kimia , biasanya dilakukan di laboratorium. Untuk
melaksanakan pemilihan bahan kimia, perlu pemeriksaan terhadap karakteristik air baku
yang akan diolah yaitu :
S u h u
pH
Alkalinitas
Kekeruhan
W a r n a
Efek karakteristik tersebut terhadap koagulan adalah sebagai berikut
SUHU
Suhu rendah berpengaruh terhadap daya koagulasi/flokulasi dan memerlukan
pemakaian bahan kimia berlebih, untuk mempertahankan hasil yang dapat diterima.
PH
Nilai ekstrim baik tinggi maupun rendah, dapat berpengaruh terhadap
koagulasi/flokulasi, pH optimum bervariasi tergantung jenis koagulan yang
digunakan, seperti yang digambarkan dalam tabel koagulan.
ALKALINITAS
Alum sulfat dan ferri sulfat berinteraksi dengan zat kimia pembentuk alkalinitas
dalam air, membentuk senyawa aluminium atau ferri hidroksida, memulai proses
koagulasi. Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan koagulasi
yang kurang baik, pada kasus demikian, mungkin memerlukan penambahan
alkalinitas ke dalam air, melalui penambahan bahan kimia alkali/basa ( kapur atau
soda abu)
KEKERUHAN
Makin rendah kekeruhan, makin sukar pembentukkan flok yang baik. Makin sedikit
partikel, makin jarang terjadi tumbukan antar partikel/flok, oleh sebab itu makin
sedikit kesempatan flok berakumulasi. Operator harus menambah zat pemberat
untuk menambah partikel- partikel untuk terjadinya tumbukan.
WARNA
Warna berindikasi kepada senyawa organik, dimana zat organik bereaksi dengan
koagulan, menyebabkan proses koagulasi terganggu selama zat organik tersbut
berada di dalam air baku dan proses koagulasi semakin sukar tercapai. Pengolahan
pendahuluan terhadap air baku harus dilakukan untuk menghilangkan zat organic
tersebut, dengan penambahan oksidan atau adsorben (karbon aktif).
Keefektifan koagulan atau flokulan akan berubah apabila karakteristik air baku berubah.
Keefektifan bahan kimia koagulan/koagulan pembantu, dapat pula berubah untuk alasan
yang tidak terlihat atau tidak diketahui, oleh karena itu ada beberapa factor yang belum
diketahui yang dapat mempengaruhi koagulasi – flokulasi . Untuk masalah demikian
Operator harus memilih bahan kimia terlebih dahulu, dengan menggunakan jar –test dengan
variasi bahan kimia, secara tunggal atau digabungkan atau dikombinasikan.
Jar–test secara subyektif masih merupakan uji yang paling banyak digunakan dalam
mengontrol koagulasi dan tergantung semata-mata kepada penglihatan kita ( secara visuil )
untuk mengevaluasi suatu interpretasi/tafsiran. Selain itu seorang Operator juga harus
melakukan pengukuran pH, kekeruhan, bilamana mungkin harus melakukan uji “filtrabilitas”
dan “potensial zeta”.
2. Penentuan dosis optimum koagulan
Untuk memperoleh koagulasi yang baik, dosis optimum koagulan harus ditentukan. Dosis
optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di
dalam air baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat
tertentu dimana terjadi perubahan kekeruhan yang drastis (waktu musim hujan/banjir) perlu
penentuan dosis optimum berulang-ulang.
Perlu diingat bahwa hasil jar-test tidak selalu sama dengan operasional di WTP, jadi harus
dibuat koreksi dosis yang dihasilkan jar-test dengan aplikasi dosis di WTP. Seorang
operator perlu membuat suatu grafik hubungan antara nilai kekeruhan vs dosis koagulan,
melalui percobaan jar – test untuk variasi nilai kekeruhan ( rendah, sedang, tinggi ) selama
periode waktu minimal satu tahun atau dari data - data yang lalu selama beberapa tahun
untuk sumber air baku yang sama. Sehingga dengan adanya grafik ini mempermudah
penentuan dosis secara cepat jika ada perubahan kekeruhan secara tiba–tiba . Selanjutnya
penentuan dosis dilanjutkan dengan melakukan jar-test.
3. Penentuan pH optimum
Penambahan garam aluminium atau garam besi, akan menurunkan pH air, disebabkan oleh
reaksi hidrolisa garam tersebut, seperti yang telah diterangkan di atas. Koagulasi optimum
bagaimanapun juga akan berlangsung pada nilai pH tertentu (pH optimum), dimana pH
optimum harus ditetapkan dengan jar-test. Untuk kasus tertentu ( pada pH air baku rendah
dan pada dosis koagulan yang relatif besar ) dan untuk mempertahankan pH optimum,
maka diperlukan koreksi pH pada proses koagulasi, dengan penambahan bahan alkali
seperti : soda abu ( Na2CO3 ) , kapur ( CaO ) atau kapur hidrat { Ca(OH)2 }. Dilakukan
penentuan dosis alkali pada dosis optimum koagulan yang digunakan.
FLOKULAN
Setelah proses koagulasi partikel-partikel terdestabilisasi dapat saling bertumbukan
membentuk agregat sehingga terbentuk flok, tahap ini disebut ” Flokulasi “. Flokulasi adalah
suatu proses aglomerasi (penggumpalan) partikel-partikel terdestabilisasi menjadi flok
dengan ukuran yang memungkinkan dapat dipisahkan oleh sedimentasi dan filtrasi. Dengan
kata lain proses flokulasi adalah proses pertumbuhan flok (partikel terdestabilisasi atau
mikroflok) menjadi flok dengan ukuran yang lebih besar (makroflok).
Berikut adalah gambaran proses flokulasi :
Terdapat 2 (dua) perbedaan pada proses flokulasi yaitu :
1. Flokulasi Perikinetik adalah aglomerasi partikel-partikel sampai ukuran μm dengan
mengandalkan gerakan Brownian. Biasanya koagulan ditambahkan untuk
meningkatkan flokulasi perikinetik.
2. Flokulasi Ortokinetik adalah aglomerasi partikel-partikel sampai ukuran di atas 1μm
dimana gerakan Brownian diabaikan pada kecepatan tumbukan antar partikel, tetapi
memerlukan pengaduk buatan (artificial mixing)
Setelah destabilisasi selesai mulai terbentuk agregasi partikel yang mana diameternya lebih
kecil dari 1 mikrometer untuk sementara cuma bergerak berdasarkan difusi dan akan terjadi
agregasi antar mereka. Dengan ukuran flok dan partikel yang semakin besar semakin
penting terjadi agregasi yang disebabkan oleh ortokinetik , maka perbedaan kecepatan
diantara partikel semakin besar, akan terjadi pembentukan flok. Dilain pihak jika flok terlalu
besar tidak bisa menahan tekanan abrasi didalam air, artinya dengan nilai gradien
kecepatan ( G value) yang semakin besar ukuran flok rata-rata akan menurun. Untuk
mempertahankan nilai G yang berhubungan dengan ukuran partikel, pada prakteknya
dilakukan semacam pengadukan pendahuluan (premixing) dengan nilai G yang tinggi, kalau
sudah terjadi flok, nilai G diturunkan. Semakin lama agregat akan menumpuk semakin
banyak, tahap berikutnya nilai G diturunkan. Dalam beberapa instalasi, misalnya dari nilai G
= 100/dt diturunkan menjadi 10/dt. Dengan demikian ada kesempatan untuk menentukan
daya enersi yang akan dimasukkan ke dalam masing-masing tahap sesuai dengan kondisi
air baku dan sesuai dengan sistem pemisahan yang akan dilakukan selanjutnya.
Jika ditinjau dari mekanisme tersebut di atas, maka pada proses flokulasi memerlukan
waktu (yang dinyatakan oleh waktu tinggal / detensi = td , dalam detik) yaitu waktu untuk
memberi kesempatan ukuran flok menjadi lebih besar dengan berbagai cara yang sudah
diterangkan di atas. Disamping memperhatikan waktu, pada proses flokulasi diperhatikan
pula kecepatan pengadukan (yang dinyatakan oleh gradien kecepatan = G , dalam dt−1).
Kombinasi dari kedua hal penting tersebut, yaitu nilai G x td merupakan kriteria penting yang
harus dipenuhi pada proses flokulasi. Nilai spesifik adalah : 104 − 105. Jika nilai spesifik G
td dilampaui, maka flok yang sudah terbentuk akan pecah kembali, sebaliknya jika kurang
dari nilai spesifik, maka flok tidak akan terbentuk seperti yang diharapkan.
Untuk menghasilkan flokulasi yang baik, maka perlu diperhatikan:
Nilai G : 20 - 70 dt−1
Waktu tinggal (waktu ditensi) : 20 - 50 menit.
Karena proses flokulasi ini memerlukan waktu, dan kecepatan yang relatif rendah, maka
flokulasi dilakukan pada unit yang disebut “Pengadukan lambat” atau biasa disebut
“Flokulator” dimana jenis pengadukan bisa berupa pengaduk mekanis atau hidraulik.
Dengan dosis koagulan/flokulan pembantu (+ 0,1 – 1 mg/l) kestabilan flok bisa
dipertahankan terhadap abrasi yang menjadi lebih besar dengan adanya flokulan pembantu.
Penambahan koagulan/flokulan pembantu yaitu jenis polimer, flok yang terbentuk akan lebih
besar pada nilai G (gradien kecepatan) yang sama. Harus ada selisih waktu antara
pembubuhan koagulan/flokulan pembantu dengan pembubuhan koagulan (misalnya Al3+
atau Fe3+). Pembubuhan koagulan/flokulan pembantu paling sedikit 30 dtk setelah
pembubuhan koagulan.
Jika polimer dibubuhkan terlalu awal, kebutuhannya bisa jauh lebih besar dibandingkan
dengan adanya selisih waktu diantara kedua pembubuhan tersebut di atas. Jika dicampur
dengan efisien, pemakaian koagulan/flokulan pembantu akan lebih baik. Jika ada flok yang
besar yang terbentuk dengan koagulan/flokulan pembantu polimer, setelah flok ini hancur
maka tidak bisa dibentuk kembali (jadi bila digunakan koagulan/flokulan pembantu polimer
tidak boleh ada arus yang dapat menghancurkan flok sebelum terjadi sedimentasi atau
proses separasi yang diinginkan).
Efisiensi dari proses flokulasi pada prakteknya seringkali dapat dilihat dari kualitas air
setelah dilakukan pemisahan flok secara mekanik. Dengan demikian, cara pemisahan zat
padat atau flok sangat penting dan sangat dipengaruhi oleh bentuk flok yang ada, misalnya
untuk melakukan flotasi diperlukan bentuk flok yang lain berbeda dengan flok untuk
sedimentasi. Jika dipakai sedimentasi diperlukan flok dengan berat jenis dan diameter yang
besar. Pada proses flotasi dibutuhkan flok yang lebih kecil dan mempunya berat jenis yang
lebih ringan tetapi mempunyai sifat untuk bergabung dengan gelembung udara. Untuk filtrasi
dibutuhkan flok yang kompak yang cukup homogen dengan struktur yang kuat terhadap
abrasi dan dengan sifat mudah melekat diatas partikel media penyaring (filter) untuk
menjamin pemisahan yang efisien dan operasional penyaringan yang ekonomis.
Untuk efek penjernihan air secara keseluruhan, belum cukup apakah flok bisa dipisahkan
dari air secara efektif, karena belum dapat menjamin dengan pasti apakah kualitas air yang
diinginkan bisa tercapai hanya dengan kondisi ini saja. Selain itu dibutuhkan bahwa semua
zat yang akan dihilangkan dari air juga melekat pada flok.
Untuk mencapai kondisi flokulasi yang dibutuhkan, ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan, seperti misalnya :
Waktu flokulasi,
Jumlah enersi yang diberikan
Jumlah koagulan
Jenis dan jumlah koagulan/flokulan pembantu
Cara pemakaian koagulan/flokulan pembantu
Resirkulasi sebagian lumpur (jika memungkinkan)
Penetapan pH pada proses koagulasi
RANGKAIAN PROSES KOAGULASI – FLOKULASI DAN SEDIMENTASI
Seringkali terdapat zat padat dalam bentuk atau ukuran yang tidak memungkinkan
mengendap pada proses sedimentasi saja atau dengan proses lain di dalam waktu dentensi
yang efisien.
Zat tersuspensi yang mempunyai ukuranlebih dari 5 – 10 μm dapat dihilangkan agak mudah
dengan filtrasi atau sedimentasi dan filtrasi. Sedangkan penghilangan koloid yang tidak
tercemar berat dapat menggunakan Saringan pasir lambat. Timbul kesulitan bilamana
kualitas air baku tidak baik sehingga tidak semua zat koloid dan kotoran lainnya dapat
dihilangkan dengan saringan pasir cepat atau saringan pasir lambat. Untuk mengatasi hal ini
maka proses koagulasi dengan menggunakan bahan kimia dilakukan.
Dengan aplikasi teknologi koagulasi-flokulasi zat yang berbentuk suspensi atau koloid
dirubah bentuknya menjadi zat yang dapat dipisahkan dari air. Agregasi sebagai akibat dari
pemakaian koagulan/flokulan adalah tahap awal dimana selanjutnya dilakukan pemisahan
flok dari air misalnya dengan proses sedimentasi, filtrasi atau flotasi.
Proses koagulasi-flokulasi selain untuk menurunkan tingkat kekeruhan untuk memperoleh
air yang bening, juga ada efek samping yaitu fraksi zat tersuspensi dalam air yang seringkali
menyebabkan pencemaran. Dengan koagulasi-flokulasi zat suspensi tersebut yang juga
sebagai pencemar, bisa dihilangkan dari air.
Selain itu juga penting bagi proses desinfeksi dengan adanya pemisahan zat padat sebelum
desinfeksi dilakukan, karena sering kali mikroorgamisme terdapat di dalam zat padat, yang
tidak dapat dimusnahkan oleh proses oksidasi reduksi, karena oksidan akan tereduksi oleh
zat organik didalam flok sebelum bisa menembus mikroorganisme untuk dimusnahkan.
Proses koagulasi-flokulasi bisa juga menghilangkan sebagian atau seluruh zat terlarut,
sehingga hal ini yang menjadi fungsi utama dari koagulasi-flokulasi.
Teknologi koagulasi-flokulasi bisa juga dipadukan dengan proses pengendapan secara
kimiawi (bukan proses pengendapan flok secara fisik), akan tetapi reaksi kimia antara
koagulan/flokulan dan zat terlarut didalam air yang menghasilkan senyawa kimia yang tidak
larut.
Semua zat yang ada didalam air bisa terdiri dari beberapa macam komponen misalnya
organik atau anorganik. Komponen ini beraneka ragam termasuk partikel dari erosi tanah,
maupun sisa tanaman, hidroksida logam hasil proses oksidasi, atau plankton, bakteri
maupun virus, yang merupakan tantangan utama untuk proses pengolahan yaitu dapat
merubah jenis dan komposisi zat-zat tersebut yang dilakukan dalam waktu yang cepat.
Sangat sulit untuk menghilangkan algae dan bakteri dari dalam air karena ukuran maupun
sifat-sifatnya yang spesifik menyulitkan dalam proses pemisahan.
Di dalam air permukaan terdapat partikel-pertikel dengan ukuran yang berbeda. Klasifikasi
yang dikenal adalah :
Molekul yang mempunyai ukuran diameter lebih kecil dari 1 nm
Koloid pada umumnya mempunyai ukuran antara 1 nm - 1 μm
Zat-zat tersuspensi mempunyai ukuran lebih besar dari 1 μm
Contoh koloid yang biasa terdapat di dalam air permukaan adalah : zat humus (asam
humus), tanah liat, silika dan virus. Sedangkan yang tergolong zat tersuspensi adalah
bakteria, algae, lumpur, pasir, sisa berupa kotoran organik,
Diameter partikel yang ada didalam air sangat bervariasi, hal ini menjadi dasar klasifikasi zat
di dalam air juga jangkauan ukuran zat di dalam air dan waktu sedimentasi untuk beberapa
zat dengan berat jenis yang berbeda, yaitu waktu sedimentasi yang dibutuhkan untuk
melewati jarak 1 meter oleh 2 (dua) berat jenis zat padat yang berbeda. Sebagai contoh
berat jenis 2,6 kg/lt berlaku untuk partikel silikat, berat jenis 1,1, kg/lt berlaku untuk flok
hidroksida. Semua partikel yang berdiameter < 10 μm, mengendap sangat lambat bila
dibandingkan dengan flok yang berukuran antara 100 – 1000 μm yang mengendap jauh
lebih mudah.
Partikel-partikel terdispersi yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 1 μm dan lebih besar
dari ukuran molekul-molekul itu sendiri ( 1 nm ) disebut partikel-partikel koloid. Partikel-
partikel ini dapat menghamburkan/menyebarkan cahaya menghasilkan apa yang disebut
“Efek Tyndall”. Penyebaran cahaya ini di dalam sorotan cahaya hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop. Dengan cara ini adanya partikel-partikel secara individu di dalam
larutan koloid akan nampak sebagai kilatan cahaya yang dihamburkan. Jika tidak ada
pertikel-partikel koloid, tidak ada cahaya yang dihamburkan maka yang terlihat adalah
bayangan hitam. Melalui mikroskop partikel-partikel koloid terlihat bergerak kesegala arah
secara terus menerus, fenomena ini disebut ” Gerakan Brownian (Brownian movement) “,
dimana gerakan ini disebabkan oleh bombardir partikel-partikel koloid oleh molekul air. Jadi
gerakan partikel-partikel ini sebagai akibat langsung dari gerakan molekul-molekul
disekelilingnya.
Muatan listrik yang dipunyai oleh partikel-partikel koloid merupakan dasar yang penting
karena tanpa hal ini, larutan koloid (sol) menjadi tidak stabil. Muatan awal partikel dapat
diadsorpsi di permukaan oleh gaya van der Waals dari ion spesifik, disosiasi grup fungsional
tertentu atau mengganti kisi-kisi kristal Si dengan Al. Semua partikel koloid mempunyai
muatan elektrik, dimana besarnya muatan bervariasi, tergantung dari material koloid dan
dapat bermuatan positip dan negatip. Pada air alam (pada pH 6 – 7 ) pada umumnya koloid
bermuatan negatif. Kandungan ion yang dekat dengan koloid dalam air dipengaruhi oleh
muatan permukaan. Koloid bermuatan negatip mempunyai konfigurasi lapisan ion. Lapisan
pertama merupakan kation yang melekat pada permukaan muatan negatip yang melekat
pada koloid dan bergerak bersama koloid tersebut. Ion-ion lainnya di sekitar koloid tersusun
teratur dimana konsentrasi ion positip atau ion yang berlawanan lebih dekat dengan
permukaan koloid. Susunan ini menghasilkan jaringan yang sangat kuat pada lapisan yang
melekat dan akan berkurang kekuatannya sebanding dengan jarak koloid.
Dispersi koloid dalam air secara umum terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Sifat hidrofilik (senang air) dan
2. Sifat hidrofobik (tidak senang air)
Sifat hidrofilik menyebabkan ikatan koloid dengan air menjadi lebih kuat, sehingga koloid
akan lebih stabil dan sulit dipisahkan dengan air. Kestabilan sistem koloid hidrofobik
disebabkan oleh adanya fenomena hidrasi, yaitu suatu keadaan dimana molekul-molekul air
tertarik oleh permukaan koloid, sehingga menyebabkan terhalangnya kontak antara koloid
yang satu dengan lainnya. Kestabilan koloid hidrofobik terjadi karena koloid-koloid
bermuatan sejenis, sehingga terjadi gaya tolak menolak antar koloid. Koloid bermuatan
negatip akan menarik ion yang berlawanan pada permukaan, membentuk lapisan pelindung
dari air di sekelilingnya. Keadaan ini menghasilkan lapisan ganda listrik (”electrical double
layer”) dari muatan positif dan negatif.
Kelebihan muatan listrik dipermukaan sering dikompensasi karena pada bagian luar dari
lapisan ganda listrik, dengan konsentrasi ion yang muatannya berlawanan dan yang bersifat
difusi disebabkan oleh gerakan molekul air yang disebabkan oleh termic. Lapisan molekul
air diatas permukaan partikel menghindari partikel langsung bisa bergabung dengan partikel
lain dan bisa tidak mendekati cukup dekat dengan partikel yang muatannya berlawanan dan
mempunyai daya tarik. Sebagai contoh untuk suspensi stabil itu adalah asam silikat yang
baru mengendap, ada hidroksida maupun zat dengan molekul besar dengan proses
hidrolisa lengkap misalnya ekstrak kanji (startch), protein, karbohidrat, asam humus dan
polimer sintetis yang terlarut. Permukaan zat suspensi di dalam air bisa tertutup oleh zat
yang netral yang diadsorpsi diatas permukaan supaya tidak bisa terjadi lagi pendekatan
dengan daya tarik ion. Terutama lapisan adsorpsi dari zat sintetis atau zat kimia alami
dengan molekul besar bisa menyebabkan daya tolak yang sangat besar dan dengan ini
menghindari suspensi tersebut bergabung (efek perlindungan koloid).
PROSES PENJERNIHAN AIR DI PLTU LATI
Proses penjernihan air di PLTU Lati mempergunakan bahan kimia yang berfungsi untuk
proses koagulasi dan flokulasi dalam satu rangkaian proses yang sama. Bahan kimia untuk
proses koagulasi adalah PAC ( Polyaluminium Chloride ), untuk proses Flokulasi
menggunakan Praestol ™ dan untuk pengaturan pH air menggunakan Soda Ash.
Pemakaian dalam proses ini dijelaskan dalam gambar sebagai berikut :
Air sungai berau, sebagai bahan baku utama air di PLTU Lati dipompa dengan
menggunakan pompa intake dengan kapasitas 120 m3/jam untuk dialirkan ke clarifier.
Sebelum memasuki clarifier, air sungai diinjeksikan bahan kimia koagulan, flokulan dan pH
adjuster untuk memperoleh kondisi air yang sesuai dengan proses koagulasi. Setelah
diinjeksikan bahan kimia, dan melewati static mixer, maka air sungai tersebut akan
memasuki clarifier ( model tube settler ) untuk diendapkan. Setelah melalui clarifier, air
dialirkan menuju ke bak pengendapan dan akhirnya menuju ke basin cooling tower.
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air sungai, pada umumnya air sungai berada pada
pH dibawah 7. Dengan pH ini apabila telah melewati tahap pemurnian air dengan
menggunakan membran Reverse Osmosis, produk air yang dihasilkan akan memiliki pH
Water Intake Clarifier Bak Raw Water
1. Koagulan
2. Flokulan
3. Soda Ash (pH adjuster)
dikisaran 5. Untuk itu, agar dapat bekerja dengan optimal, maka pH air sungai dinaikkan ke
kisaran 7 dengan menambahkan Soda Ash.
PERHITUNGAN PEMAKAIAN BAHAN KIMIA PENJERNIHAN AIR
Cap. Air baku 120 m3/jam. Actual dosis pemakaian bahan kimia untuk treatment air baku :
Estimasi produksi air bersih : 2.880 m3/hari
• Portable Coagulant 15 – 25 ppm (Portable Coagulant) atau 2160 Ton/bulan
Dengan asumsi bahwa pompa berjalan selama 24 jam per hari, maka
Perhitungan :
Bahan baku
120 m3/jam 2880 m3/hari
PAC 15 ppm 43,2 kg/hari
1296 kg/bulan
25 ppm 72 kg/hari
2160 kg/bulan
• Polymer 0.05 ppm atau 4 Kg/bulan. Rekomendasi 0.1 – 0.2 ppm atau 9 – 18
Kg/bulan
Perhitungan :
Bahan baku
120 m3/jam 2880 m3/hari
Praestol 0,1 ppm 0,29 kg/hari
8,64 kg/bulan
0,2 ppm 0,58 kg/hari
17,28 kg/bulan
• Soda Ash (Adjust pH) sampai pH air bersih 6.8 – 7.5 (500 – 750 Kg/bulan)
Untuk melakukan adjusment berdasarkan kondisi air sungai dilakukan jar test dengan hasil
sebagai berikut :
Berdasarkan hasil analisa jar test tersebut, kondisi ideal bahan kimia untuk menghasilkan air
dengan tingkat turbidity 5 NTU dapat diperoleh dengan menggunakan dosis PAC sebesar
20 ppm dengan praestol sebesar 0,2 ppm sehingga perkiraan pemakaian bahan kimia PAC
dan praestol dihitung menjadi :
Perhitungan :
Bahan baku
120 m3/jam 2880 m3/hari
PAC 20 ppm 57,6 kg/hari
1728 kg/bulan
Praestol 0,2 ppm 0,58 kg/hari
17,28 kg/bulan
Dari pemakaian bahan kimia diatas masih proporsional dengan produksi air bersih dan
turbidity < 10 NTU.
Berdasarkan perhitungan diatas, maka didapat realisasi pemakaian bahan kimia penjernih
air untuk tahun 2008 adalah sebagai berikut :
Realisasi pemakaian bahan kimia tahun 2008 untuk PAC masih mendekati hitung-hitungan
teoritisnya. Khusus untuk praestol, realisasi pemakaiannya masih dibawah perhitungan
teoritisnya. Untuk pemakaian harian, dapat dilihat pada lampiran dokumen ini.
Sedangkan pemakaiannya pH adjuster disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu melihat
seberapa besar pH air sungai dan air produk dari Reverse Osmosis.
PROSES PENGELOLAAN AIR PENDINGIN
Colling tower atau menara pendingin adalah suatu sistem pendinginan dengan prinsip air
yang disirkulasikan. Air dipakai sebagai medium pendingin, misalnya pendingin
condenser, AC, diesel generator ataupun mesin – mesin lainnya.
Jika air mendinginkan suatu unit mesin maka hal ini akan berakibat air pendingin
tersebut akan naik temperaturnya, misalnya air dengan temperature awal ( T1 ) setelah
digunakan untuk mendinginkan mesin maka temperaturnya berubah menjadi ( T2 ).
Disini fungsi cooling tower adalah untuk mendinginkan kembali T2 menjadi T1 dengan
blower / fan dengan bantuan angin. Demikian proses tersebut berulang secara terus
menerus.Sedangkan pada chiller temperature yang dibutuhkan relative lebih rendah
dibandingkan penggunaan Colling tower.
Beda antara cooling dan chiller adalah pada sistem yang digunakan. Maksudnya, bila
cooling adalah sistem terbuka sedangkan pada chiller adalah sistem tertutup sehingga
proses penguapan lebih rendah dibandingkan dengan sistem terbuka.
Sistem air cooling dapat dikategorikan dua tipe dasar, sebagai berikut :
1. Sistem air cooling satu aliran
Sistem air cooling satu arah adalah satu diantara aliran air yang hanya melewati satu kali
penukar panas. Dan lalu dibuang kepembuangan atau tempat laindalam proses.
Sistem tipe ini mempergunakan banyak volume air. Tidak ada penguapan dan mineral
yang terkandung didalam air masuk dan keluar penukar panas. Sistem air cooling satu
arah biasa digunakan pada terminal tenaga besar dalam situasi tertutup dari air laut
atau air sungai dimana persediaan air cukup tinggi.
2. Sistem air cooling sirkulasi
Pada sistem sirkulasi terbuka ini, air secara berkesinambungan bersikulasi melewati
peralatan yang akan didinginkan dan menyambung secara seri. Transfer panas dari
peralatan ke air, dan menyebabkan terjadinya penguapan ke udara. Penguapan
menambah konsentrasi dan padatan mineral dalam air dan ini adalah efek kombinasi
dari penguapan dan endapan, yang merupakan konstribusi dari banyak masalah dalam
pengolahan dengan sistem sirkulasi terbuka.
Pada peristiwa sirkulasi air ini, akan terjadi proses – proses sebagai berikut :
a. Pendinginan air cooling tower adakah atas dasar penguapan ( Evaporasi )
Pada peristiwa fisika dikenal prinsip “ jumlah kalor yang diterima = jumlah kalor yang
dilepaskan “. Kalor untuk melakukan pendinginan dari T2 menjadi T1 sama dengan kalor
penguapan atau dengan kata lain air tersebut menjadi dingin dikarenakan sebagian dari
air tersebut menguap.
Untuk cooling tower, besarnya penguapan dapat dihitung bila diketahui kapasitas pompa
sirkulasi ( m3/jam )
b. Pada air Cooling tower terjadi pemekatan Garam.
Dengan adanya penguapan maka lama kelamaan seluruh mineral yang tidak dapat
menguap akan berkumpul sehingga terjadi pemekatan. Dengan banyaknya mineral yang
terkandung pada air Cooling tower perlu dilakukan proses Bleed Off dan penambahan air
make up. Air yang menguap adalah air yang murni bebas dari garam – garam mineral
dengan konsentrasi = 0. Pada cooling tower dapat diketahui siklus air pada unit cooling
tower adalah dengan cara :
Dengan rumus
Cycle =
Tower water chloride
Mak
e
up
wat
er
chlo
ride
Tanpa menggunakan parameter khlorida, siklus dapat diketahui dengan membaca
konduktivity, yaitu dengan membandingkan konduktivity air tower dengan konduktivity
air make up.
Masalah yang sering timbul dalam pada seluruh sistem air cooling adalah:
a. Korosi
Merupakan proses pembalikan logam pada kondisi teroksidasi atau kondisi alamiahnya.
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan korosi pada sistem pendingin antara
lain :
pH Air
Temperatur Air
Padatan terlarut
Kecepatan alir air
Pertumbuhan Mikroorganisme
Deposit
Pada pH yang rendah menyebabkan terjadinya korosi pada logam. Begitu juga nitrifying.
Penyebab lain adalah dengan adanya bakteri yang dapat menghasilkan asam sulfat.
Bakteri yang memiliki kemampuan untuk mengubah hydrogen sulfide menjadi sulfur
kemudian mengubah menjadi asam sulfat. Bakteri ini menyerang logam besi, logam
lunak dan steiless steel, hidup sebagai anaerobic ( tanpa udara )
Berikut adalah gambaran terjadinya korosi pada sistem pendingin.
Untuk dapat mencegah terjadinya korosi terdapat alternatif antara lain :
Material tahan korosi
Coating (inert barrier)
Cathodic Protection
Pengaturan sifat kimia air
Bahan kimia pencegah korosi
Untuk dapat mencegah terjadinya korosi, maka metode yang sering dilakukan selain
menggunakan coating logam pada cooling tower adalah menggunakan bahan kimia
antara lain :
A. Anodic inhibitor.
Ada dua tipe anodic inhibitor yaitu :
- Oxidizing
“mengoksidasi permukaan logam dan membentuk lapisan metal oxide di anoda”
Bahan yang sering dipergunakan untuk anodic inhibitor tipe oxidizing :
Chromate
Nitrite
- Film-Forming
“ bereaksi dgn metal ion dan membentuk film di anoda ”
Bahan yang sering dipergunakan untuk anodic inhibitor tipe film forming :
Orthophosphate
Silicate
Molybdate
Bicarbonate
B. Cathodic Inhibitor
Bekerja dengan melakukan perubahan kimiawi pada daerah Katoda ( daerah dengan pH
tinggi)
Bahan kimia yang umum dipergunakan antara lain :
Zinc
Ortho Phosphate (low dose)
Polyphosphate
Phosphonates
Calcium Carbonate
Gambar berikut menunjukkan adanya korosi pada sistem pendingin.
b. Kerak
Terjadinya pelapisan pada permukaan alat perpindahan panas oleh mineral-mineral
yang larut dalam air karena melebihi daya kelarutan mineral-mineral tersebut.
Pembentukan kerak diakibatkan oleh kandungan padatan terlarut dan material anorganik
yang mencapai limit control.
Faktor – faktor yang memungkinkan terjadinya kerak pada sistem pendingin antara lain :
Terkonsentrasinya ion
pH
Waktu
Temperatur
Sedangkangkan jenis kerak yang sering muncul pada sistem pendingin antara lain :
Calcium Carbonate
Calcium Phosphate
Besi Phosphate
Besi oksida
Silikat
Magnesium silikat
Silika
Metode yang digunakan untuk mencegah terjadinya pembentukan kerak antara lain :
1. Menghambat kerak dengan mengontrol pH
Dalam keadaan asam lemah ( kira – kira pH 6,5 ). Asam sulfat yang paling sering
digunakan untuk ini, memiliki dua efek dengan memelihara pH dalam daerah
yang benar dan mengubah kalsium karbonat, ini memperkecil resiko
terbentuknya kerak kalsium sulfat. Ini memperkecil resiko terbentuknya kerak
kalsium karbonat dan membiarkan cycle yang tinggi dari konsentrasi dalam
sistem.
2. Mengontrol kerak dengan bleed off
Bleed off pada sirkulasi air cooling terbuka sangat penting untuk memastikan
bahwa air tidak pekat sebagai perbandingan untuk mengurangi kelarutan dari
garam mineral yang kritis. Jika kelarutan ini berkurang kerak akan terbentuk pada
penukar panas.
3. Mengontrol kerak dengan bahan kimia penghambat kerak.
Bahan kimia umumnya berasal dari organic polimer, yaitu polyacrilik dan
polyacrilik buatan.
Gambar berikut menunjukkan contoh terjadinya pengerakan pada pipa pendingin.
Selain Scalling, dalam air pendingin juga sering terjadi Fouling, yaitu akumulasi material
solid (suspended solid) di dalam sistem air pendingin terutama pada daerah dengan laju
alir yang rendah. Selain itu fouling juga dapat terjadi sebagai hasil pertumbuhan
mikrobiologi yang tidak terkontrol
c. Masalah mikrobiologi
Microorganisme juga mampu membentuk deposit pada sembarangan permukaan.
Hampir semua jasad renik ini menjadi kolektor bagi debu dan kotoran lainnya. Hal ini
dapat menyebabkan efektivitas kerja cooling tower menjadi terganggu.
Berikut adalah gambar pertumbuhan mikro organisme yang membuat suatu lapisan
dalam sistem pendingin (biofilm). Lapisan ini menyebabkan penurunan daya hantar
panas pada heat exchanger pada sisi pendingin dan mengurangi kemampuan
pendinginannya.
d. Masalah kontaminasi
EFEK ADANYA BIOFILM
P P
FLOWFLOW
Keadaan cooling tower yang terbuka dengan udara bebas memungkinkan organisme
renik untuk tumbuh dan berkembang pada sistem, belum lagi kualitas air make up yang
digunakan.
PROSES PENGOLAHAN AIR PENDINGIN DI PLTU LATI
Pada proses pendinginan di PLTU Lati, air pendingin dari Cooling Tower dipergunakan
untuk mendinginkan :
a. Condenser, untuk mengubah uap keluar turbin menjadi air
b. Auxilary, untuk mendinginkan alat-alat bantu di PLTU Lati
Pada proses pendinginan uap di condenser ( pengembunan) air dari cooling tower
dialirkan menuju kondenser dengan menggunakan pompa CWP ( Cooling Water Pump )
dengan volume yang cukup besar guna mengembunkan semua uap yang keluar dari
turbin sehingga dapat disirkulasi kembali ke boiler dengan menggunakan pompa
kondensat. Setelah melewati kondenser, air pendingin kembali ke cooling tower melalui
spray nozzle yang berada di atas cooling tower. Pada bagian atas cooling tower dipasang
fan (kipas) untuk mensirkulasi udara keluar dari cooling tower. Dengan demikian terjadi
kontak langsung antara udara dan air di dalam cooling tower untuk melaksanakan
perpindahan panas.
Berikut adalah skema sirkulasi air pendingin di cooling tower.
BOILER TURBIN
CONDENSER
Sirkulasi air pendingin
Sirkulasi air di boiler
Cooling Tower
Sedangkan untuk pendingin alat bantu di PLTU Lati, mempergunakan sistem once
through, dimana air yang dipakai untuk mendinginkan air pendingin langsung dibuang ke
drainase.
Dalam pengolahan air pendingin di PLTU Lati mempergunakan bahan-bahan sebagai
berikut :
Cooling Tower
Drainase
ID Fan
FD Fan
Grate Boiler
BFP
SFDFan
Bottom Ash
Zat Kimia Penghambat Korosi (Corrosion Inhibitor)
Zat Kimia Pendispersi Kerak (Scale Inhibitor atau Dispersant)
Zat Kimia Pendispersi bahan microbio (Biodispersant)
Zat Kimia Pembunuh Bakteri (Biocide)
Untuk Penghambat korosi dan Kerak, dipergunakan satu macam bahan kimia yaitu
Multifunctional Treatment (P3330)
SCALE AND CORROSION INHIBITOR
Scale / kerak merupakan musuh dari sistem pendinginan. Adanya kerak pada sistem
pendingin menyebabkan turunya kemampuan perpindahan panas pada heat exchanger.
Pada sistem PLTU Lati terdapat 2 jenis heat exchanger yang menggunakan air sebagai
pendingin yaitu :
1. Condenser,
2. Oil Cooler.
Sedangkan Cooling Tower sendiri berfungsi untuk mendinginkan air dengan
menggunakan media udara.
Kedua heat exchanger tersebut merupakan alat yang vital dalam pengoperasian PLTU
Lati. Penurunan kemampuan perpindahan panas pada kedua alat tersebut secara
langsung dapat berdampak pada kemampuan daya yang dibangkitkan oleh PLTU Lati.
Agar dalam sistem pendingin ini tidak terjadi kerak,maka dalam sistem pendingin
dipergunakan bahan kimia scale inhibitor, zat yang dapat mencegah terjadinya scale.
Bahan kimia scale and Corrosion inhibitor yang dipergunakan di PLTU Lati mempunyai
fungsi sebagai berikut :
Mencegah pembentukan kerak CaCO3
Menstabilkan dan mencegah pembentukan kerak dari mineral2 anti korosi (Zn,
PO4; dll).
Mencegah pembentukan deposit (fouling) dari besi, silica, dirt; dan lain
sebagainya.
Mekanisme kerja dari scale inhibitor adalah sebagai berikut :
Crystal Modifications
Sequestrants (chelating agents)
Scale Conditioners
Berikut adalah pemakaian bahan kimia untuk sistem Pendingin di PLTU Lati pada tahun
2008
Kondisi Operasi
Kualitas Air Make up Cooling Tower
Treatmen yang digunakan untuk menjaga kualitas air di cooling Tower :
A. Pencegahan Scaling dan Corrosion
Pada sistem pendingin PLTU Lati dipergunakan bahan kimia treatment multi fungsi untuk cooling sistim berbasis Sodium Molybdate/Phosphate dan polymer dan dipergunakan untuk untuk mengontrol masalah korosi , kerak dan fouling dalam sistim air pendingin dengan kandungan hardnes dan alkalinity yang rendah dalam air.
Penggunaan Dosis :
Initial Treatment:
Dosis : 50 ppm dari Holding Volume
Sistim Injeksi : Diberikan langsung ke basin
Kebutuhan : 80 Kg
Maintenance Treatment:
Dosis : 40 – 50 ppm dari Blow Down
Sistim Injeksi : Kontinyu
Kebutuhan : 26 - 32 Kg/Hari
B. Pencegahan pertumbuhan Mikro Organisme
B1. Non Oxidizing Biocide
Bahan Kimia yang dipergunakan adalah bahan kimia non-oxidizing biocide yang berfungsi untuk
mengontrol pertumbuhan mikroorganisme tanpa melalui proses oksidasi.
Dosis yang dipergunakan
Initial Treatment:
Dosis : 25 ppm dari Holding Volume
Sistim Injeksi : Diberikan langsung ke basin
Kebutuhan : 40 Kg
Maintenance Treatment:
Dosis : 40 ppm dari Holding Volume
Sistim Injeksi : Intermittent
Kebutuhan : 40 Kg/2 minggu
B2. Oxidizing Biocide
Oxidizing biocide berfungsi untuk mengurangi pollutant seperti alge,slime dll. Berbasis Chlorine (Gas Chlorine, Sodium Hypo Chlorite atau Calsium Hypo Chlorite).
Maintenance Treatment:
Dosage : Tergantung kondisi air dengan residual chlorine dijaga 0.2 – 0.5 ppm Cl
Sistim injeksi : Kontinyu
ANALISA PEMAKAIAN BAHAN KIMA UNTUK BATUBARA.DAMPAK KUALITAS BATUBARA TERHADAP PEMAKAIAN COAL ADDITIVE
BATUBARA
Secara akademis, batubara terbentuk dari tanaman-tanaman pra-sejarah yang diproses melalui proses kimia dan geologi selama ribuan hingga jutaan tahun lamanya. Berbagai proses dilalui untuk menghasilkan batubara. Komposisi kimia yang ada dalam batubara baik jumlah karbon atau impurities (material pengotor, misalnya belerang, sodium, silica) dan lain – lain biasana spesifik terhadap lokasi batubara di tambang. Lokasi yang berbeda pun menyebabkan kandungan yang ada pada batubara berbeda pula. Berdasarkan ASTM D 388, batubara dibagi menjadi 4 ( empat ) tingkatan yaitu :
1. Anthracitic, dengan kandungan Fixed Carbon antara 86 % hingga 98 %, Volatile matter antara 2 % hingga 14 %
2. Bituminous, dengan kandungan Fixed Carbon antara 69 % hingga 78 %, volatile matter antara 14 % hingga 31 % dan Nilai kalori diatas 11.500 Btu/lb adb (26.749 kJ/kg )
3. Sub Bituminous, dengan nilai kalori antara 8.300 Btu/lb hingga 11.500 Btu/lb ( 19.306 kJ/kg sampai 26.749 kJ/kg )
4. Lignite, dengan nilai kalori hingga 8.300 Btu/lb (19.306 kJ/kg )
Analisa yang dipergunakan dalam menentukan kuallitas batubara, menurut ASTM ada beberapa jenis antara lain :
1. Moisture determination, ASTM D 3302, mengukur total moisture hingga inherent moisture
2. Proximate analysis, ASTM D 3172, mengukur volatile matter, fixed carbon, dan ash
3. Ultimate analysis, ASTM D 3176, mengukur kandungan Karbon, Hydrogen,Nitrogen dan Sulfur.
4. Heating Value, ASTM D 2015, mengukur nilai kalori dengan mempergunakan adiabatic bomb calorimeter.
5. Grindability, ASTM D 409, mengukur kekerasan batubara
6. Sulfur form, ASTM D 2492 mengukur sulfur dalam bentuk-bentuk sulfat, pyritic, atau organik.
7. Ash Fusion temperature, ASTM D1857, mengukur suhu leleh batubara.
8. Ash Composition, ASTM D 3174, mengukur kandungan elemen dalam abu batubara.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hasil – hasil pengukuran batubara akan menentukan jenis kelompok kualitas batubara yang pada akhirnya sebagai parameter utama untuk disain ruang bakar dalam suatu pembangkit listrik yang sesuai dengan kharakteristik batubara tersebut. Aspek nilai kalori batubara amat penting dalam merancang ukuran ruang bakar, dan luas area perpindahan panasnya. Aspek Ash analysis juga turut berperan dalam ash handling, termasuk berperan dalam penentuan pengendalian lingkungan sekitar, dan potensi pembentukan slagging / fouling dari komposisi kimia dalam ash tersebut, khususnya temperature leleh dari ash. Grindabillity, menentukan preparasi batubara sebelum dapat dipergunakan sebagai bahan bakar.
Selain itu, perlu juga diketahui mengenai komponen-kompenen mineral yang ada di dalam batubara selain komponen karbon. Mineral-mineral ini berpengaruh terhadap abu yang dihasilkan oleh pembakaran batubara. Mineral yang umum ditemukan dalam batubara :
Clay Mineral (tanah liat )
- Montmorillonite Al2Si4O10(OH)2.H2O- Illite KAl2(AlSi3O10)(OH2)- Kaolinite Al4Si4O10(OH)8
Sulfide Mineral :
- Pyrite FeS2
- Marcasite FeS2
Sulfate minerals :
- Gypsum CaSO4.2H2O
- Anhydrite CaSO4
- Jarosite (Na,K)Fe3(SO4)2(OH)6
Carbonate Mineral :
- Calcite CaCO3
- Dolomite (Ca,Mg)CO3
- Siderite FeCO3
- Ankerite (Ca,Fe,Mg)CO3
Chloride Mineral :
- Halite NaCl
- Sylvite KCl
Silicate Mineral :
- Quartz SiO2
- Albite NaAlSi3O8
- Orthoclase KAlSi3O8
Oxide Mineral :
- Hematite Fe2O3
- Magnetite Fe3O4
- Rutile TiO2
Komposisi komponen mineral ini dapat dilihat dari hasil analisa kandungan abu di batubara ( Ash analysis )
PEMBAKARAN
Energi yang ada di dalam batubara, dapat dipergunakan dengan cara pembakaran. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran adalah sebagai berikut :
2C + O2 = 2CO (1) (pembakaran tidak sempurna, Panas = 3.950 Btu/lb )
2CO + O2 = 2CO2 (2) (penyempurnaan pembakaran, Panas = 4.347 Btu/lb )
C + O2 = CO2 (3) (pembakaran sempurna, Panas = 14.093 Btu/lb )
2H2 + O2 = 2H2O (4) (pembentukan air, Panas = 61.095 Btu/lb )
C ( carbon ) adalah komponen bahan bakar. Pada bahan bakar fossil, seperti batubara dan minyak bumi terdiri dari rangkaian C dan H. Batubara sendiri memiliki unsur utama karbon (pada analisa ultimate dapat dilihat dari porsentase fixed carbon) yang pada batubara jenis anthracite, memiliki kandungan carbon hingga 98 %. Sehingga, pada proses pembakaran yang terjadi adalah proses 1 hingga proses 3.
Pembakaran sempurna, menghasilkan panas yang lebih tinggi dibanding pembakaran tidak sempurna. Pembakaran ini hanya dapat dihasilkan apabila oksigen yang ada di dalam udara pembakaran mencukupi untuk menghasilkan pembakaran yang sempurna (udara berlebih / excess air). Akan tetapi kelebihan udara yang terlalu besar menyebabkan menurunnya panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler. Hal ini dikarenakan panas yang dihasilkan akan dipergunakan untuk memanaskan udara yang berlebih dan terikut keluar melalui cerobong. Kesempurnaan pembakaran sangat penting bagi pembangkitan panas.
ABU BATUBARA
Apabila batu bara dibakar, disamping menghasilkan energi panas, juga akan menghasilkan sisa pembakaran berupa abu. Sebagian abu tetap berada di tempatnya ( Bottom Ash ) dan sebagian lagi berterbangan mengikuti aliran gas buang ( Flue Gas ). Abu yang berterbangan ini sebagian akan
menempel di dinding ruang bakar dan juga pada sistem-sistem lain yang dilaluinya dan menempel di Electrostatic Precipitator, hanya sebagian kecil yang langsung terbawa keluar menuju udara bebas. Abu yang menempel pada dinding ruang bakar maupun system-sistem lainnya disebut sebagai Deposit.
Mekanisme terbentuknya deposit sangat ditentukan oleh temperature ruang bakar (Flue Gas), Temperatur permukaan pipa, kecepatan aliran gas,Turbulensi aliran gas, Kandungan mineral didalam abu, dll.
Deposit yang terbentuk pada temperatur tinggi, Dapat di kategorikan kedalam dua jenis yaitu : SLAGGING dan FOULING.
Slagging adalah Deposit yang terjadi karena mencairnya abu pada permukaan dinding ruang bakar (juga permukaan lainnya). Umumnya slagging terjadi di ruang bakar yang terkena panas radiasi secara langsung, tetapi apabila suhu flue gas terlalu tinggi (mencapai AFT – Ash Fusion Temperature) maka tidak menutup kemungkinan slagging juga terbentuk di area aliran Konveksi
Fouling adalah Deposit yang terjadi karena penguapan unsur-unsur anorganik yang bersifat volatile pada suhu tertentu. Unsur-unsur anorganik yang menguap tadi, ketika bersentuhan dengan permukaan yang lebih dingin akan terkondensasi dan membentuk semacam perekat yang kemudian mengikat partikel-partikel abu, sehingga membentuk lapisan deposit.
PEMBENTUKAN DEPOSIT PADA SISA PEMBAKARAN
Deposit Index adalah ukuran yang mengungkapkan ( memperlihatkan ) kecendrungan abu batu bara membentuk deposit sesuai dengan klasifikasi abu batu bara nya. Ada dua macam deposit index bila ditinjau dari perilaku abu batu bara dalam membentuk deposit, yaitu :
1 - Slagging index
a. Untuk klasifikasi Abu Bituminous : adalah rasio basa / asam dikali kandungan sulfur ( Belerang ) pada kondisi dry basis ( moisture content sangat rendah ).
Rsb= Slagging index untuk abu bituminous
B = Basa (Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O + K2O)
A = Asam ( SiO2 + Al2O3 + TiO2 )
S = Kandungan sulfur ( % berat, dry basis )
Untuk skala perilakunya ( slagging potential ) adalah sebagai berikut :
Rsb < 0,6 = Slagging Ringan
Rsb =B
X SA
0,6 < Rsb < 2,0 = Slagging Sedang
2,0 < Rsb < 2,6 = Slagging Berat
Rsb > 2,6 = Slagging Parah
b. Untuk klasifikasi Abu Lignitic : dihitung berdasarkan standart ASTM sesuai hasil pengukuran temperature leleh abu.
Rsl =( Max HT ) + 4 ( Min IT )
(Bobot rata rata)5
Rsl = Slagging index untuk abu Lignitic.
Max HT = Temperatur hemispherical softening max ( Reducing atau Oxidizing )
Min IT = Temperatur initial deformation min ( Reducing atau Oxidizing ).
Skala perilakunya ( slagging potential ) adalah sebagai berikut : ( Dalam 0 F )
24500 < Rsl = Slagging Ringan
22500 < Rsl < 24500 = Slagging Sedang
21000 < Rsl < 22500 = Slagging Berat
Rsl < 21000 = Slagging Parah
2 - Fouling index
a. Untuk abu Bituminous :
Rfb = Fouling index abu Bituminous.
Na2O = % berat kandungan Na2O.
Untuk skala perilakunya ( fouling potential ) adalah sebagai berikut :
Rfb < 0,2 = Fouling Ringan
0,2 < Rfb < 0,5 = Fouling Sedang
0,5 < Rfb < 1,0 = Fouling Berat
Rfb > 1,0 = Fouling Parah
b. Untuk abu Lignitic : Ditentukan oleh jumlah kandungan natrium dalam abu.
Bila kandungan ( CaO + MgO + Fe2O3 ) > 20% dari total berat abu, maka untuk :
Na2O < 3 = Fouling Ringan sampai sedang
3 < Na2O < 6 = Fouling Berat
Na2O > 6 = Fouling Parah
Bila kandungan ( CaO + MgO + Fe2O3 ) < 20% dari total berat abu, maka untuk :
Na2O < 1,2 = Fouling Ringan sampai sedang
1,2 < Na2O < 3 = Fouling Berat
Na2O > 3 = Fouling Parah
3 - Temperatur T250 :
Asumsi yang dipakai pada rumus rasio basa – asam adalah bahwa unsur basa maupun asam mempunyai (memberikan) efek yang sama terhadap proses pencairan abu. Akan tetapi hasil riset menunjukkan bahwa bermacam macam unsur basa maupun asam menghasilkan kekuatan Flux ( kecepatan aliran ) abu cair yang berbeda.
Rfb =B
X Na2OA
Mempertimbangkan hal tersebut, B&W ( Babcock & Wilcock ) melakukan studi tentang pengaruh perbedaan komposisi asam maupun basa terhadap viskositas abu. Berdasarkan penelitian empiris B& W abu mulai mengalir secara steady ( kontinyu / mantap ) bila viskositasnya mencapai < 250 poise, Temperatur di mana viskositas abu mencapai 250 poise disebut T250.
T250 ini dapat juga digunakan sebagai acuan potensi pembentukan slagging, T250 yang rendah mengindikasikan AFT yang rendah. Dengan demikian meningkatkan potensi terbentuknya slagging.
Untuk abu Bituminous
Persen dolomite : Adalah perbandingan kandungan unsur alkali tanah terhadap unsur basa
=( CaO + MgO )
X 100%( Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O + K2O )
Pada nilai persen basa tertentu, persen dolomite yang tinggi menggambarkan T250 yang tinggi pula, dan juga menunjukkan bahwa calsium dan magnesium (alkali tanah) punya kecendrungan menaikan viskositas dan fusion temperatur. Sedangkan apabila terjadi peningkatan unsure basa yang lainnya ( Fe2O3 , Na2O , K2O ) yaitu unsur besi dan alkali maka T250 cendrung turun.
Bila dirangkum semua ( kesimpulannya ) Abu yang komposisi kandungannya silicon dan aluminium atau kalsium dan magnesium tinggi , maka titik leleh maupun viskositas abu akan tinggi juga.
Bila perbandingan ( SiO2 + Al2O3 ) terhadap ( CaO + MgO ) seimbang ,maka titik leleh abu menurun. Akan tetapi dengan perbandingan komposisi seperti apapun, bila kandungan ( Fe2O3 , Na2O, dan K2O ) tinggi maka potensi slagging meningkat.
4 - Pengaruh Oksida Besi Fe2O3
Unsur besi memiliki pengaruh yang paling dominan dalam pembentukan slagging, terutama pada abu batu bara kategori bituminous. Unsur besi dapat hadir dalam berbagai bentuk senyawa mineral seperti: Pyrite ( FeS2 ), Siderite ( FeCO3 ) Hematite ( Fe2O3 ), Magnetite ( Fe3O4 ), dan Ankerite (( Ca, Fe, Mg ) CO3 ).
Dalam ruang bakar dengan atmosfer yang mengandung oksigen berlebihan Pyrite ( FeS2 ) di konversi menjadi Fe2O3 dan SO2. Bila kandungan oksigen di dalam ruang bakar sangat minim, maka peluang terbesar adalah pyrite dikonversikan menjadi FeS, FeO, dan Fe. Senyawa hasil reaksi reduksi ini mempunyai titik leleh yang lebih rendah dibanding senyawa hasil oksidasi.
Dengan demikian maka, reaksi oksidasi cenderung menaikan AFT, sedangkan reaksi reduksi akan menurunkan AFT.
Berbeda keadaannya bila kategori abu adalah Lignitic, dimana unsur besinya rendah, Pada abu jenis lignitic yang dominan adalah kalsium dan magnesium, Bila kandungan kalsium dan magnesium nya
tinggi, maka pada reaksi oksidasi AFT cenderung turun bila dibanding dengan kondisi reaksi yang bersifat reduksi.
Kandungan unsur besi yang sangat tinggi akan menghasilkan slagging maupun fouling yang keras sehingga sulit untuk dibersihkan ( Dibongkar ).
Seperti disinggung di atas bahwa kemampuan unsur besi untuk meleleh dan melarutkan abu, sangat berhubungan erat dengan status reaksinya ( oksidasi atau reduksi ) . Logam Besi ( Fe ), Besi Ferrous ( FeO ) Merupakan Flux ( Pelarut ) yang kuat bila dibanding ( Fe 2O3 ) dan cendrung menurunkan AFT serta viskositas slag.
Derajat reaksi oksidasi besi, biasanya di representasikan dalam persen Ferric:
Pengalaman menunjukkan bahwa ruang bakar yang di operasikan pada kondisi normal dengan kelimpahan udara ( Excess air ) 15 s/d 20% menghasilkan Slag dengan persen ferric mendekati 20 %.
5 - Pengaruh Alkali pada terjadinya Fouling
Sudah sejak lama diketahui bahwa logam – logam alkali seperti sodium (Natrium) dan Potasium (Kalium) merupakan precursor (penyebab awal) terjadinya fouling.
Wujud Volatile dari logam – logam tersebut, pada temperatur ruang bakar akan menguap. Ketika logam-logam alkali tersebut menguap, maka akan terjadi reaksi ikutan dengan komponen sulfur yang terkandung didalam flue gas. Hasil reaksi alkali dengan sulfur pada temperature ruang bakar, bersifat lunak dan lengket yang kemudian menangkap partikel – partikel abu dan membentuk lapisan kerak (deposit) pada permukaan system perpindahan panas konveksi
Penelitian yang dilakukan oleh B & W sejak tahun 1950 menemukan adanya hubungan langsung antara total kandungan logam – logam alkali pada batu bara (dengan klasifikasi Bituminous) terhadap besarnya potensi pembentukan fouling.
Untuk mencermati korelasi tersebut, dilakukan test laboratorium dengan prosedur khusus yang disebut Sintering Strength Test. Pada prinsipnya test ini dilakukan untuk mengukur daya tahan (kekuatan) terhadap tekanan abu yang terlebih dahulu dibentuk menjadi Pellet dan dipanasi sampai dengan 9820 C
Hasil dari test yang kemudian di Cross Check dengan data – data pengamatan terhadap terbentuknya fouling di boiler, menunjukkan bahwa batu bara dengan potensi fouling yang tinggi menghasilkan Fly Ash yang memiliki Sintering Strength yang tinggi pula, sebaliknya batu bara dengan potensi fouling rendah, maka sintering strength dari fly ash nya rendah juga
Bila dikorelasikan dengan standart test ASTM untuk analisa abu, maka metode sintering test yang dilakukan oleh B & W menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (memberi kesimpulan yang
Persen Ferric =( Fe2O3 )
X 100%( Fe2O3 + 1,11 FeO + 1,43 Fe )
sama) antara total kandungan alkali (Na2O dan K2O yang di ekspresikan sebagai total ekivalen Na2O) terhadap sintering strength dari fly ash, test yang lainnya pada skala laboratorium dimana pembuatan fly ash dikontrol agar mirip dengan kondisi ruang bakar boiler sebenarnya terhadap berbagai varian batu bara bituminous menunjukkan bahwa sodium merupakan unsur penyebab fouling yang paling dominan, sedangkan potasium tidak signifikan. Pada test laboratorium tersebut ditemukan juga indikasi bahwa unsur sodium yang mudah larut di air adalah juga unsur sodium yang mudah untuk menguap dan unsur ini merupakan unsur utama yang memberikan kekuatan (kekerasan) terhadap fouling yang terbentuk. Sodium yang mudah larut tersebut bisa dicuci (dibilas) dengan air. Pada skala laboratorium, pencucian batu bara memakai kondensate panas, ternyata dapat menurunkan kandungan natrium sampai 70 %, sedangkan unsur potasium sampai 4 %.
Karena batu bara juga mengandung unsur klorida yang cukup tinggi, maka ada kemungkinan bahwa sodium yang mudah larut tersebut merupakan senyawa NaCl.
BATUBARA DARI TAMBANG LATI
Batubara yang diterima PLTU Lati merupakan batubara yang diambil langsung dari tambang, tanpa dilakukan treatmen apapun. Dari lokasi tambang, area stokpile PLTU Lati saat ini berjarak sekitar 17 km, mengikuti jalur pengangkutan batubara. Jalur ini sebagian besar merupakan jalur tanah yang dikeraskan dengan traffik yang cukup padat mengikuti volume produksi tambang milik PT. Berau Coal di site Lati. Karena diambil langsung dari tambang, kualitas batubara yang diterima cukup beragam, mengikuti kualitas pada lokasi yang diambil.
Berikut adalah gambaran kualitas batubara yang diterima dari PT. Berau Coal pada tahun 2008.
No
Month TahunTonage TM IM Ash VM
Fixed Carbon
SulphurGross
Caloric Value
MT ar adb adb adb adb adb ar1 Januari 2008 6.895,60 26,28 14,74 6,65 37,93 40,68 1,09 48272 Februari 2008 6.599,18 24,88 15,48 5,05 38,91 40,56 1,13 50093 Maret 2008 4.568,27 25,29 13,44 4,43 39,85 42,28 1,12 50364 April 2008 4.462,41 24,88 13,69 4,02 39,71 42,58 0,94 51035 Mei 2008 8.681,69 24,46 14,92 5,08 38,46 41,54 1,08 50966 Juni 2008 5.327,27 23,52 15,64 5,46 37,87 41,03 1,28 51447 Juli 2008 6.200,36 23,73 13,96 5,15 38,35 42,54 1,07 51558 Agustus 2008 6.239,37 23,81 12,9 4,52 39,31 43,27 1,23 51769 September 2008 6.338,38 22,47 11,66 5 39,44 43,9 1,02 523610 Oktober 2008 5.778,83 25,71 15,64 5,2 37,23 41,93 1,03 501211 Nopember 2008 7186,68 23,84 18,85 5,84 36,57 38,74 1,16 507412 Desember 2008 7907,62 26,17 13,27 7,85 37,71 41,17 1,04 4728
Secara umum, kualitas batubara yang dikirim oleh PT. Berau Coal masih memenuhi kontrak sebagaimana yang termuat dalam Kontrak Jual Beli Batubara No : 810/20.400.665/01/BC/X-02/JB yaitu sebagai berikut :
- Nilai Kalori : 4480 – 5300 kcal/kg
- Kadar sulfur : 0,5 – 4,5 %
- Kadar abu : 3,25 – 14,7 %
- Moisture : > 24 %
- Nitrogen (adb) : 1,1 %
- Na2O : 0,3 – 10,4 %
- AFT (initial) : 1060 – 1420 oC
- Ukuran : maks 200 mm.
Untuk pemantauan nilai AFT dan analisa ultimate (ar) untuk tahun 2008 didapatkan hasil sebagai berikut ;
Berdasarkan hasil analisa diatas, AFT batubara untuk initial deformation berada pada kisaran 1050 – 1160 oC (dalam range kontrak) dan untuk kandungan nitrogen pada kosaran 0,45 – 1,34 %
Untuk kandungan abu untuk pengiriman batubara pada tahun 2008 dapat dilihat pada tabel berikut :
Dimana berdasarkan hasil analisa diatas, kadar Na2O memang bervariasi dari 0,86 – 8 %, yang berarti masih dalam range kontrak suplai batubara yang ada.
Distribusi ukuran partikel batubara yang dikirim dari PT. Berau Coal adalah sebagai berikut :
Dari ukuran tersebut, pada pengiriman bulan Januari – Maret, masih terdapat batubara berukuran >200mm. sedangkan pada bulan-bulan selanjutnya tidak ada.
Selain itu, secara umum batubara dari site lati dikenal memiliki potensi slagging dan fouling yang cukup tinggi, yang dilihat dari komposisi abu yang ada didalam batubara tersebut. Adanya slagging dan fouling ini dalam ruang bakar menimbulkan masalah yang cukup serius. Salah satu dampak adanya slagging menyebabkan kedua unit boiler berhenti beroperasi selama satu bulan pada akhir tahun 2005. Hal ini dikarenakan bongkahan slagging yang cukup besar jatuh menimpa travelling grate, dan mengakibatkan grate macet (berujung pada shaft grate yang bengkok).
Untuk mencegah permasalahan tersebut terulang kembali, dipergunakan bahan kimia additive batubara yang berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan slagging yang ada di ruang bakar. Tujuan penggunaan additive adalah untuk memodifikasi prilaku abu batu bara baik secara fisika maupun kimia. Sifat sifat negative abu batu bara yang sangat mengganggu proses perpindahan panas yaitu dapat mencairkan dan lengket, sehingga berperilaku sebagai perekat bagi partikel partikel abu yang tidak mencair.
Untuk boiler yang memang di desain dan di operasikan pada suhu jauh dibawah AFT, maka abu yang dihasilkan oleh pembakaran tidak terlalu jadi masalah, karena abu tersebut masih dalam fase padat dan berbentuk partikel partikel abu yang mudah dikeluarkan. Namun untuk boiler yang bertekanan tinggi serta adanya pemanasan lanjut bagi uap (Super heated steam) maka proses pembakaran batu bara dapat mendekati AFT. Padahal seperti dibahas di depan, bahwa atmosfer reaksi yang bersifat reduksi serta tingginya kandungan unsur alkali, dapat menurunkan AFT sampai di bawah temperatur operasional ruang bakar. Pada kondisi seperti inilah maka additive di perlukan.
Umumnya additive padat yang biasa dipakai oleh boiler berbahan bakar batu bara terbuat dari campuran unsur-unsur logam (Akali tanah maupun non alkali) sedangkan additive cair biasanya berupa senyawa metal organic.
Pemakaian additive tidak bisa diberlakukan secara umum tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik abunya. Jadi, suatu produk additive tidak bisa di aplikasikan untuk semua jenis batu bara. Kesalahan dalam penggunaan additive justru akan memperburuk kinerja boiler.
Ada dua factor yang harus di penuhi oleh additive agar dapat berfungsi secara efektif yaitu :
1. Dapat menaikkan AFT. Jadi bila sifat abu asam, maka additive juga harus bersifat asam dan jika abu bersifat basa maka additive juga harus bersifat basa. Hal ini perlu diperhatikan agar supaya proses pembentukan garam bisa dihindari.
Untuk abu bituminous yang banyak mengandung unsur besi, perlu kelimpahan udara (Excess air) yang banyak, agar proses oksidasi terjadi dengan baik. Pada kondisi seperti ini additive tidak boleh mengandung senyawa alkali yang justru bersifat menurunkan AFT.
2. Additive harus bisa membuat deposit menjadi rapuh dengan cara menghasilkan kantung kantung udara ( mirip dengan busa / sponge )
Unsur-unsur logam yang biasa di pakai sebagai additive diantaranya adalah :
Magnesium (basa) , Alumunium dan Silikon (asam).
Unsur magnesium atau unsur alumunium biasa dipakai untuk menaikan AFT, sedangkan senyawa silikon dipakai untuk merapuhkan deposit.
Mengenai komposisi dan jenis unsur yang akan dipakai, kembali lagi bergantung pada komposisi serta sifat sifat kimiawi abu. Kelebihan pemberian (Over feeding) additive terutama magnesium dapat menimbulkan masalah baru. Magnesium yang bersenyawa dengan sulfur trioksida ( SO3 ) dapat membentuk deposit magnesium sulfat pada daerah aliran konveksi seperti Super Heater, Econimizer dan Air Heater.
Pada boiler PLTU Lati dipergunakan additive batubara dengan pemakaian bulanan adalah sebagai berikut :
No Nama Bahan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agsts Sept Okt Nop Des
1 PC 99 632 600 940 1160 600 220 0 0 0 0 0 0
2 P 505 720 620 440 40 0 0 0 780 80 420 420 0
3 P 505 L 0 0 0 0 0 0 300 750 2850 3300 2850 2745
TOTAL 1352 1220 1380 1200 600 220 300 1530 2930 3720 3270 2745
Pada bulan Januari hingga Agustus pemakaian bahan kimia berada pada kisaran dibawah 1500 kg per bulan. Akan tetapi pada bulan september, pemakaian bahan kimia melonjak menjadi diatas 1500 kg per bulan. Perhitugan pemakaian bahan kimia ini didasarkan pada dosis. Penggunaan dosis untuk additive batubara di PLTU Lati pada awalnya berdasarkan jumlah batubara yang dibakar. Namun mengingat alat pengukur tonase batubara ke bunker mengalami kerusakan, mengakibatkan perhitungan dilakukan dengan perkiraan volume batubara yang dibakar. Lonjakan pemakaian batubara pada bulan september disebabkan pada waktu itu cuaca di tambang pada kondisi hujan, yang mengakibatkan batubara berada pada kondisi basah. Apalagi pada saat cuaca tersebut volume batubara yang dikirim sangat terbatas, sehingga batubara yang dikirim langsung dipergunakan untuk pembakaran.
Karena daya listrik yang dihasilkan oleh PLTU sangat diharapkan oleh masyarakat, maka agar pembakaran dapat terjadi dengan baik diperlukan penambahan additive dengan dosis yang cukup. Pada awalnya dosis yang dipergunakan adalah 1 kg additive untuk setiap 5 ton batubara, dinaikkan ke 1 kg additive untuk setiap 2 ton batubara.
PENGATURAN DISTRIBUSI UDARA DI RUANG BAKAR
Pada awal pengoperasian unit boiler hanya menggunakan 2 saluran udara pembakaran, sesuai dengan instruksi yang pernah diberikan oleh operator china sebelumnya. Ternyata hal ini dapat mengakibatkan konsentrasi panas yang berlebih pada satu daerah didalam ruang bakar sementara pada daerah lain memiliki temperature yang lebih rendah, padahal semua pipa penguap diharapkan dapat menghasilkan/memproduksi uap yang sama.
Dari hasil pengukuran sebelum dilakukan pengaturan, temperature ruang bakar > 1200 C pada daerah dimana saluran udara pembakaran dibuka 80 - 100 %, sementara pada daerah lain temperature ruang bakar lebih rendah (< 550 – 800 0 C). Artinya panas didalam ruang bakar tidak merata. Dan dari hasil pengamatan bahwa partikel abu cenderung mencair dengan temperature ruang bakar di tas 1200 0C dan tepat berada pada daerah dengan konsentrasi panas yang berlebih.
Oleh karena itu kami mencoba mengatur pembukaan saluran udara pembakaran agar didapatkan panas yang lebih merata. Prinsip dasar pengaturan ini adalah pada daerah yang memiliki temperature lebih tinggi diturunkan dengan mengurangi pembukaan saluran udara pembakaran dan pada daerah lain yang memiliki temperature lebih rendah kami naikkan temperaturnya dengan menambah pembukaan saluran udara pembakaran. Dari data pengukuran dapat dilihat temperature ruang bakar tidak melebihi dari 1100 0C kecuali pada beban puncak. Karena pada beban puncak dibutuhkan panas yang lebih banyak untuk mempertahankan laju produksi uap pada volume ruang yang sama.
Kondisi temperatur ruang bakar pada saat belum dilakukan pengaturan distribusi udara.
TimeDEPAN Tengah Belakang
Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 223.00 1070 1145 >1200 535 677 41623.30 1097 1070 >1200 640 775 31524.00 997 >1200 >1200 625 761 43624.30 1030 1070 >1200 815 587 51401.00 1098 >1200 1115 610 449 51401.30 1011 1095 >1200 755 670 55002.00 1020 1105 >1200 802 654 44302.30 1015 1094 >1200 745 679 47903.00 1018 1090 >1200 768 654 46503.30 1011 1108 >1200 687 639 44004.00 1009 1115 >1200 798 662 44804.30 1014 1074 >1200 625 583 39805.00 1028 1065 >1200 644 589 43705.30 1022 1078 >1200 573 545 42206.00 1003 1088 1196 552 569 436
Kondisi saaat pengujian pengaturan distribusi udara
Tanggal : 30 Maret 2007 Perbandingan Udara : 20 : 70 : 10
TimeDEPAN Tengah Belakang
Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 223.30 1030 1070 >1200 815 587 51424.00 962 1030 1073 1065 628 52424.30 970 982 1055 1032 524 4781.00 891 927 1086 1022 564 5011.30 881 932 1060 1051 595 4732.00 886 987 1033 1020 650 5392.30 837 890 1068 983 751 5123.00 915 873 1020 998 640 5113.30 917 895 1015 995 540 4394.00 923 875 1042 1009 691 5224.30 907 861 1028 1022 675 4835.00 914 870 1056 1035 677 5095.30 927 892 1070 1060 623 5216.00 890 868 1011 1020 596 587
Tanggal : 3 April 2007 Perbandingan Udara : 20 : 70 : 10
TimeDEPAN Tengah Belakang
Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 2 Titik 1 Titik 28.00 754 798 1035 1028 537 5158.30 902 780 1016 1082 673 4169.00 897 763 982 1012 624 4029.30 914 878 1055 956 460 483
10.00 770 875 1036 970 374 41310.30 987 924 1050 1003 375 41811.00 916 930 972 1001 386 41111.30 915 851 1033 935 403 42612.00 946 878 1001 950 415 39712.30 931 856 995 1003 417 401
13.00 925 847 1002 1010 421 39713.30 913 825 995 1021 418 38714.00 919 842 1005 1009 428 39914.30 911 823 999 1010 410 384
Dari data hasil pengukuran dapat kita lihat bahwa temperature ruang bakar pada saat beban puncak masih berada dibawah 1200 C sementara pada beban normal temperature ruang bakar berada dibawah 1100 C.
Kondisi ruang bakar saat ini.
Dari data-data diatas, sebenarnya hingga saat ini operator Boiler PLTU Lati masih mempergunakan pengaturan distribusi udara sebagaimana yang pernah diujicobakan sebelumnya. Hal ini terlihat kondisi temperatur pada ruang bakar man hole (pengujian pada tanggal 8 februari 2009) hampir mirip dengan kondisi pada saat pengujian dulu (titik depan 30 maret 2007 dan 3 april 2007). Hal ini sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi awal sebelum dilakukan pengaturan distribusi udara.
Selain pengaruh distribusi udara, penurunan temperatur ini juga turut dibantu dengan penambahan additive batubara di ruang bakar.