paper inversi mt 2d

19
Inversi Magnetotellurik 2D untuk Penentuan Zona Reservoar, Cap Rock, Basement dan Heat Source di Lapangan Panas Bumi “AAA” Sulawesi Utara - Indonesia Affandi Anugrah Adiatmoko, Dr. Ir. H. Suharsono. MT, Prof. Dr. Ir. Sutanto, DEA ( Prodi Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogyakarta Jln SWK Ring Road Utara Condong Catur 55283, email : [email protected] ) ABSTRAK Telah dilakukan survey magnetotelluric dengan frekuensi 10 4 – 10 -4 Hz di lapangan panas bumi AAA, Sulawesi Utara, Indonesia sebanyak 105 titik sounding dengan line pengukuran N 60 o E. Kemudian dilakukan pengolahan nilai impedansi sampai didapatkan penampang resistivitas semu dengan metode inversi 2D. Berdasarkan hasil inversi matlab pada lintasan Synyster, Rev, dan Shadow maka variasi nilai resistivitas semu (rho) dikelompokkan menjadi tiga zona utama yaitu zona konduktif yang memiliki nilai rho sekitar 1 – 6 Ohm.m pada elevasi 325 m apl - 500 m bpl (dangkal) dan 500 meter apl sampai 1000 meter bpl (dalam) diinterpretasi sebagai cap rock, kemudian zona semi konduktif 7 – 70 Ohm.m pada elevasi 500 meter apl – 1500 meter bpl (dangkal) dan 100 – 2500 meter bpl (dalam) diinterpretasi sebagai reservoar, dan terakhir adalah zona resistif 80 – 200 Ohm.m pada 500 m sampai >2500 meter bpl yang diinterpretasikan sebagai batuan andesit kompak yang merupakan produk dari gunung api tua berumur Tersier, namun belum merupakan zona basement. Untuk basement dan heat source tidak terinterpretasi pada hasil inversi karena kedalamannya terlalu besar ( > 4 km bpl). Dari penampang juga diketahui bahwa cap rock dan reservoir dangkal relatif lebih tipis dari cap rock dan reservoar dalam. Kata Kunci : Panas bumi, Magnetotellurik, Impedansi, Resistivitas semu, Reservoar, Cap Rock, Basement, Heat Source, Inversi 2D ABSTRACT Magnetotelluric survey has been carried out with a frequency of 10 4 - 10 -4 Hz at AAA geothermal field, North Sulawesi, Indonesia as many as 105 sounding stations, with the direction of measurement line N 60 o E. Processing of impedance value was conducted using 2D inversion method to obtain the apparent resistivity section. From pseudodepthsection of matlab inversion in line Synyster, Rev, and Shadow, the variation of apparent resistivity (rho) are grouped into three main zones which are conductive zone with a value of rho approximately 1-6 Ohm.m at 325 m amsl - 500 m bmsl (shallow) and 500 m amsl - 1000 m bmsl (deep) interpreted as cap rock, the second zone is semi-conductive zone 7-70 Ohm.m at 500 m amsl - 1500 m bmsl (shallow) and 100 – 2500 m bmsl (deep) interpreted as reservoir rock, and the last is resistive zone 80-200 ohm.m at 500 - > 2500 m bmsl interpreted as compact andesitic rock which is product of Tertiary old volcano, and not deep enough to be a part of basement. Both

Upload: affandi-anugrah-adiatmoko

Post on 27-Dec-2015

140 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Inversi Magnetotellurik 2D untuk Penentuan Zona Reservoar, Cap Rock, Basement dan Heat Source di Lapangan Panas Bumi “AAA” Sulawesi Utara - Indonesia

Affandi Anugrah Adiatmoko, Dr. Ir. H. Suharsono. MT, Prof. Dr. Ir. Sutanto, DEA(Prodi Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogyakarta Jln SWK Ring Road Utara Condong Catur 55283,

email : [email protected])

ABSTRAK

Telah dilakukan survey magnetotelluric dengan frekuensi 104 – 10-4 Hz di lapangan panas bumi AAA, Sulawesi Utara, Indonesia sebanyak 105 titik sounding dengan line pengukuran N 60o E. Kemudian dilakukan pengolahan nilai impedansi sampai didapatkan penampang resistivitas semu dengan metode inversi 2D. Berdasarkan hasil inversi matlab pada lintasan Synyster, Rev, dan Shadow maka variasi nilai resistivitas semu (rho) dikelompokkan menjadi tiga zona utama yaitu zona konduktif yang memiliki nilai rho sekitar 1 – 6 Ohm.m pada elevasi 325 m apl - 500 m bpl (dangkal) dan 500 meter apl sampai 1000 meter bpl (dalam) diinterpretasi sebagai cap rock, kemudian zona semi konduktif 7 – 70 Ohm.m pada elevasi 500 meter apl – 1500 meter bpl (dangkal) dan 100 – 2500 meter bpl (dalam) diinterpretasi sebagai reservoar, dan terakhir adalah zona resistif 80 – 200 Ohm.m pada 500 m sampai >2500 meter bpl yang diinterpretasikan sebagai batuan andesit kompak yang merupakan produk dari gunung api tua berumur Tersier, namun belum merupakan zona basement. Untuk basement dan heat source tidak terinterpretasi pada hasil inversi karena kedalamannya terlalu besar ( > 4 km bpl). Dari penampang juga diketahui bahwa cap rock dan reservoir dangkal relatif lebih tipis dari cap rock dan reservoar dalam.

Kata Kunci : Panas bumi, Magnetotellurik, Impedansi, Resistivitas semu, Reservoar, Cap Rock, Basement, Heat Source, Inversi 2D

ABSTRACT

Magnetotelluric survey has been carried out with a frequency of 104 - 10-4 Hz at AAA geothermal field, North Sulawesi, Indonesia as many as 105 sounding stations, with the direction of measurement line N 60 o E. Processing of impedance value was conducted using 2D inversion method to obtain the apparent resistivity section. From pseudodepthsection of matlab inversion in line Synyster, Rev, and Shadow, the variation of apparent resistivity (rho) are grouped into three main zones which are conductive zone with a value of rho approximately 1-6 Ohm.m at 325 m amsl - 500 m bmsl (shallow) and 500 m amsl - 1000 m bmsl (deep) interpreted as cap rock, the second zone is semi-conductive zone 7-70 Ohm.m at 500 m amsl - 1500 m bmsl (shallow) and 100 – 2500 m bmsl (deep) interpreted as reservoir rock, and the last is resistive zone 80-200 ohm.m at 500 - > 2500 m bmsl interpreted as compact andesitic rock which is product of Tertiary old volcano, and not deep enough to be a part of basement. Both basement and heat source is not detected on inverison result, because its to deep ( > 4 km bmsl). From the apparent resistivy section also we know that the shallow cap rock and reservoir are thinner than the deeper one.

Keywords: Geothermal, Magnetotelluric, Impedance, Apparent resistivity (rho), Reservoir, Cap Rock, Basement, Heat Source, 2D Inversion

I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUANSalah satu energi alternatif yang sustainable dan

ramah lingkungan dan saat ini sedang dikembangkan secara internasional adalah energi panas bumi atau geothermal. Di Indonesia sendiri sangatlah prospek untuk energi panas bumi atau geothermal ini, dikarenakan Indonesia dilewati rangkaian gunungapi yang disebut ring of fire yang terbentang dari pulau Sumatera sampai dengan Nusa Tenggara yang kemudian dilanjutkan ke Sulawesi. Seperti yang kita

ketahui dari banyaknya rangkaian gunungapi tersebut sangat berpotensi terbentuk sumber daya panas bumi. Dari hasil survey geologi, Indonesia merupakan negara dengan potensi paling besar di dunia yakni mencapai 27.000 Mega Watt (MW) atau setara dengan 40 % cadangan dunia. Dari potensi sebesar itu, baru 1194 MW yang termanfaatkan. Andaikata potensi tersebut benar-benar dimaksimalkan dalam 30 tahun, bahan bakar fosil yang bisa dihemat

mencapai 465 juta barel (Kompasiana.com, posting: 7 Juli 2012).

Geofisika merupakan salah satu ilmu geoscience yang mendasari kegiatan eksplorasi geothermal. Derajat keberhasilan penggunaan metode-metode geofisika untuk eksplorasi panas bumi tergantung pada kontras sifat fisis batuan di sekitarnya atau sistem panas buminya yang mampu memberikan kenampakan anomali geofisika. Penelitian ini lebih menekankan pada proses memvisualisasikan anomali yang diakibatkan oleh fluida panas bumi yang panas dan efek alterasi sehingga menyebabkan anomali geofisika berupa kontras resistivitas semu (rho) pada batuan.

Lapangan panas bumi yang akan diteliti adalah lapangan AAA di Sulawesi Utara yang merupakan bagian dari Ring of Fire di Indonesia dan telah dilakukan produksi energi panas bumi oleh PT. Pertamina Geothermal Energy pada daerah tersebut. Metode geofisika yang akan digunakan adalah magnetotellurik dengan memanfaatkan medan magnet alamiah berfrekuensi sangat rendah antara 10-

4 – 104 Hz sehingga anomali target bisa tercapai dengan resolusi yang bagus meskipun berada sangat dalam di subsurface dan pada akhirnya bisa dilakukan pendekatan untuk menentukan persebaran serta kedalaman zona reservoar berdasarkan hasil pengolahan dan inversi data magnetotellurik tersebut.

II. MAKSUD DAN TUJUANDalam tugas akhir ini peneliti bermaksud

mengolah data tensor impedansi magnetotellurik yang diakuisisi pada suatu lapangan panas bumi. Pengolahan dilakukan dengan menghilangkan atau meminimalkan noise dan pemilihan frekuensi sinyal yang tepat untuk kemudian dijadikan model inversi 2D dan diinterpretasi secara kasar. Dan tujuan akhirnya adalah :1. Mengetahui nilai resistivitas semu dari cap rock,

heat source, dan reservoar.2. Mengetahui kedalaman serta persebaran reservoar

panas bumi sebagai target eksplorasi.

III. TINJAUAN GEOLOGILapangan AAA merupakan bagian timur dari

lembar geologi Kotamobagu, Sulawesi Utara dan berbatasan dengan lembar geologi Manado. Berikut adalah indeks lokasinya berdasarkan peta yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (1997).

Gambar 1. Indeks lokasi lapangan AAA pada lembar geologi Kotamobagu, Sulawesi Utara (Apandi dan Bachri, 1997)

Daerah penelitian terletak di lengan utara Sulawesi, yang merupakan busur gunungapi yang terbentuk karena adanya tunjaman (subduksi) ganda, yaitu lajur tunjaman Sulawesi Utara di sebelah utara lengan utara Sulawesi dan lajur tunjaman Sangihe Timur di sebelah timur dan selatan lengan utara (Simandjutak, 1986).

Gambar 2.Tatanan tektonik Sulawesi (Simandjutak, 1986)

Penunjaman ganda tersebut mengakibatkan terjadinya kegiatan magmatisma dan kegunungapian yang menghasilkan batuan plutonik dan gunungapi yang tersebar luas. Di lembar Kotamobagu ini tunjaman Sulawesi Utara diduga aktif sejak awal tersier dan menghasilkan busur gunungapi tersier yang terbentang dari sekitar Tolitoli sampai dekat Manado. Sedangkan tunjaman Sangihe Timur diduga aktif sejak awal Kuarter dan menghasilkan lajur gunungapi Kuarter di bagian timur lengan utara Sulawesi dan menerus ke arah barat daya hingga daerah gunung Una-una (Simandjutak, 1986).

Struktur geologi yang dapat diamati di lapangan pada citra penginderaan jauh antara lain berupa sesar dan lipatan. Sesar normal arahnya kurang beraturan, namun di bagian barat lembar geologi Kotamobagu cenderung berarah kurang lebih timur-barat.

Gambar 3.Struktur geologi lembar Kotamobagu, Sulawesi Utara (Apandi dan Bachri, 1997)

Sesar mendatar berpasangan dengan arah NNW – SSE (sesar menganan) dan NNE – SSW (sesar mengiri). Sesar mendatar terbesar adalah sesar Gorontalo yang berdasarkan analisis kekar penyertanya menunjukkan arah pergeseran menganan. Beberapa zona sesar naik bersudut sekitar 30o. dapat diamati di beberapa tempat, khususnya pada batuan gunungapi Bilungala (Villeneuve dkk, 1990). Struktur patahan tersebut mengontrol pemunculan mata air panas dan fumarola. Dan terdapat struktur grabben memotong kaldera tua

Ambang membentuk dataran Pinasungkulan – Makaroyen. (PGE, 2006)

Lapangan panas bumi AAA merupakan sistem panas bumi vulkanik – hidrotermal, karena berada pada busur vulkanik dengan gunungapi berumur Kuarter serta ketersediaan fluida alamiah yang berupa air magmatik dan meteorik sebagai media transfer panasnya. Selain itu kecocokan model geothermal sistem vulkanik – hidrotermal ini juga didukung oleh penelitian terdahulu mengenai sistem hidrotermal dan geokimia di lapangan AAA, dan menghasilkan model konseptual lapangan panas bumi sebagai berikut.

Gambar 4.Model konseptual lapangan panas bumi AAA (Riogilang dkk, 2009)

Pada gambar di atas fluida geotermal bersuhu tinggi berupa Cl-SO4 mengalir keatas (upflow) tepat dibawah gunung Muayat dan mengalami boiling di dalam, sehingga melepaskan gas H2S yang kemudian bercampur dengan air permukaan yang kaya oksigen dan membentuk steam heated waters di dekat fumarol. Fluida yang berada lebih dalam juga mengalir lebih jauh secara lateral ke arah selatan menuju elevasi yang lebih rendah dan keluar ke permukaan (discharges) dalam bentuk air karbonatan (HCO3) melalui sistem patahan (Riogilang dkk, 2009).

Geotermal sistem seperti yang telah dibahas sebelumnya terdiri dari heat source, fluida, reservoar, dan cap rock. Pada lapangan AAA ini heat source merupakan tubuh magma yang mengintrusi basement dan lapisan batuan di atasnya. Kedalaman heat source biasanya mencapai kedalaman lebih dari 5 km dan suhu > 600oC. Heat source ini kemudian akan memanaskan basement rock sebagai medium perambatan panas secara konduktif. Basement pada lapangan AAA adalah batuan sedimen berumur tersier yang termetamorf karena panas dan tekan yang tinggi.

Reservoarnya kemungkinan adalah batuan vulkanik dengan permeabilitas sekunder karena

adanya efek intrusi magma dan tektonik aktif, yang menyebabkan terbentuknya zona-zona rekahan, dan air meteorik masuk ke dalamnya dari permukaan melewati patahan yang dalam. Karena batuan yang memiliki porositas primer seperti batupasir dan gamping hanya terdapat di basement yang notabene sudah mengalami metamorfisme.

Gambar 5.Andesit terbreksiasi sebagai reservoar berporositas sekunder (www.sciencedirect.com/science/article/ pii/S0377027303001975)

Untuk cap rock tentunya merupakan batuan impermeable. Pada lapangan AAA ini kemungkinan cap rock nya adalah batu lempung yang terbentuk karena alterasi tufa batuapung oleh fluida hidrotermal yang tertransport karena adanya zona-zona rekahan. Alterasi ini jika terjadi terus menerus akan menyebabkan terbentuknya mineral lempung, serta penambahan unsur-unsur sulfida yang berasal dari air magmatik. Peristiwa ini biasa dikenal dengan istilah self sealing, dan umumnya dijumpai pada lapangan panas bumi bertipe vulkanik-hidrotermal (M.P. Hochstein & P.R.L. Browne, 2000).

Interpretasi lithologi dari sistem geotermal lapangan panas bumi AAA tersebut didukung oleh penampang geologi hasil penelitian terdahulu (Riogilang dkk, 2010) yang menyayat lapangan panas bumi AAA dengan arah SW – NE memotong gunung Muayat. Model geologi tersebut juga mendukung model konseptual lapangan panas bumi AAA yang bertipe vulkanik hidrotermal.

Gambar 6.Model geologi lapangan panas bumi AAA (Riogilang dkk, 2010)

IV. TEORI DASAR MAGNETOTELLURIKGelombang Magnetotellurik (MT) adalah

gelombang elektromagnetik, yaitu gelombang yang dapat merambat tanpa melalui medium. Gelombang ini merupakan kombinasi antara medan listrik dan medan magnetik yang berosilasi dan membawa energi dari satu tempat ke tempat lainnya.

Gambar 7.Ilustrasi Perambatan Gelombang Elektromagnetik (Unsworth, 1999)

Seorang ilmuwan bernama James Clerk Maxwell (1873) mengajukan sebuah hipotesis mengenai perambatan gelombang elektromagnetik. Hipotesis tersebut yaitu, “Jika perubahan fluks magnet dapat menimbulkan medan listrik maka perubahan fluks listrik juga harus dapat menimbulkan medan magnetik”. Hipotesis ini dikenal sebagai sifat simetri medan listrik dengan medan magnetik. Seandainya hipotesis Maxwell ini benar berarti perubahan medan listrik akan menghasilkan perubahan medan magnetik juga, begitupun sebaliknya dan keadaan ini akan terus berulang.

Beberapa hukum-hukum fisika seperti hukum Faraday, hukum Ampere, dan konsep mengenai displacement current telah disusun oleh Maxwell secara sistematik menjadi apa yang kita kenal

sekarang yaitu persamaaan Maxwell. Persamaan – persamaan Maxwell tersebut antara lain :

dimana E adalah medan listrik (V/m), B adalah induksi magnetik (T), H adalah intensitas magnet (A/m), D adalah displacement current (C/m2), jf

adalah densitas arus listrik (A/m2), ηf adalah densitas muatan listrik (C/m3).

Hukum Faraday menjelaskan bahwa perubahan induksi medan magnetik terhadap waktu akan menyebabkan timbulnya perubahan medan listrik. Hukum Ampere menjelaskan bahwa adanya sumber arus listrik dan perubahan medan listrik terhadap waktu akan menyebabkan terbentuknya medan magnetik. Hukum Gauss menyatakan bahwa fluks elektrik pada suatu ruang sebanding dengan muatan total yang ada dalam ruang tersebut. Sedangkan persamaan terakhir yang identik dengan persamaan Gauss berlaku untuk medan magnet,namun dalam hal ini tidak ada monopol magnetik (Vozoff, 1991).

Secara singkat proses terjadinya medan listrik dan medan magnetik di permukaan Bumi adalah sebagai berikut :

Gambar 8.Prinsip Dasar Metode Magnetotellurik (Unsworth, 2000)

Dari gambar di atas dapat dijelaskan pada saat arus dialirkan dari transmitter (TX) akan timbul medan magnetik primer maka terjadilah medan elektromagnetik (EM) primer di permukaan Bumi. Arus di sini dapat dibuat sendiri ataupun secara alami. Untuk sumber arus yang alami digunakan pada

metode Magnetotellurik. Apabila arus dimatikan kemudian dinyalakan kembali secara berulang, medan magnetik tersebut akan mengalami perubahan. Perubahan medan magnetik ini dikenal sebagai fluks magnet.

Jika terdapat benda konduktor atau ore body di bawah permukaan bumi, medan magnetik primer ini akan menghasilkan arus listrik akibat adanya induksi arus listrik. Arus listrik yang dihasilkan dinamakan arus Eddy. Arus Eddy ini akan menimbulkan medan magnetik sekunder maka terjadilah medan elektromagnetik sekunder. Medan listrik (E) dan medan magnetik (B) sekunder inilah yang diukur di receiver (RX) (Unsworth, 2000).

Metode magnetotellurik merupakan metode pasif artinya metode ini menggunakan sumber alami. Sumber-sumbernya berupa solar wind dan lightning activity. Solar wind adalah partikel bermuatan yang bergerak dan dipancarkan dari matahari. Partikel ini memiliki frekuensi kurang dari 1 Hz, sedangkan lightning activity merupakan fenomena terjadinya petir yang memiliki frekuensi lebih dari 1 Hz.

Gambar 9.Fenomena Solar Wind (atas) dan Ligtning Activity (bawah) (Daud, 2010)

Metode MT ini dapat mendeteksi keadaan bawah permukaan dari kedalaman 100 m sampai 100 km karena pada metode ini menggunakan frekuensi 10-4-104 Hz. Pada metode magnetotellurik ini, depth

penetration dari gelombang EM dapat dicari dengan persamaan,

Dengan δ adalah depth penetration (m), ρa

adalah resistivitas semu (Ωm), dan f adalah frekuensi gelombang EM (Hz). Ini disebut juga skin depth, yang didefinisikan sebagai kedalaman pada suatu medium homogen dimana amplitudo gelombang EM telah ter-reduksi menjadi 1/e dari amplitudonya di permukaan bumi (ln e = 1atau e = 2.718 ...).

Parameter-parameter yang diukur di lapangan pada metode MT ini adalah medan listrik, medan magnetik, dan time series, sedangkan parameter yang dianalisis adalah resistivitas semu dan fase. Pada pengukuran medan listrik ini, terdapat empat buah elektroda non polarisasi yaitu dua elektroda sumbu X (Ex) dan dua elektroda di sumbu Y (Ey) kemudian diukur tegangan antara elektroda tersebut.

Pada pengukuran medan magnetik terdapat tiga komponen sensor magnetik. Saat frekuensinya di atas 0,01 Hz maka dapat digunakan induksi coil. Coil ini berbentuk silinder dengan jutaan lilitan kawat tembaga. Perubahan dalam medan magnetik sepanjang poros coil akan menginduksi tegangan pada coil. Coil ini biasanya ditanam untuk meminimalisasi pergeseran. Untuk frekuensi rendah digunakan tiga komponen dari flux gate magnetometer. Ini akan memberikan pengukuran yang sebenarnya dari medan magnetik dengan presisi sampai 0,01 nT (Unsworth, 2008).

Dari data medan listrik dan medan magnet tersebut kemudian didapatkan nilai impedansi. Impedansi merupakan perbandingan antara komponen medan listrik dan medan magnetik yang saling tegak lurus. Pada metode magnetotellurik (MT), salah satu variabel yang dicari yaitu tensor impedansi Z (ω). Secara umum, hubungan linier antara medan listrik, medan magnetik, dan impedansi dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

atau

dimana Z merepresentasikan tensor impedansi. Pada persamaan diatas, Hx(ω), Hy(ω), Ex(ω), Ey(ω) adalah transformasi Fourier dari perubahan medan magnetik (H) dan medan listrik (E). Sesuai definisi sebelumnya maka nilai impedansi dapat diperoleh dengan persamaan :

Berdasarkan persamaan di atas, impedansi bumi homogen adalah suatu bilangan skalar kompleks yang merupakan fungsi dari tahanan jenis medium (ρ), konstanta permeabilitas magnetik (μ0=4π.10-7

H/m), dan frekuensi gelombang EM (ω). Dalam hal ini impedansi yang diperoleh berasal dari dua pasangan komponen medan listrik dan medan magnet yang berbeda (Ex/Hy dan Ey/Hx) secara numerik berharga sama mengingat simetri radial medium homogen atau medium 1D. Untuk selanjutnya impedansi bumi homogen disebut impedansi intrinsik (ZI = Zxy = - Zyx).

Impedansi kompleks dapat pula dinyatakan sebagai besaran amplitudo dan fasa. Dalam praktek besaran tersebut lebih sering dinyatakan dalam bentuk tahanan jenis dan fasa sebagai berikut,

tampak bahwa fasa untuk bumi homogen adalah konstan, yaitu 45o yang merupakan beda fasa antara medan listrik dan medan magnet. Perbedaan fasa tersebut dapat berupa bilangan positif atau negatif bergantung pada pemilihan fungsi variasi terhadap waktu.

Dengan demikian, impedansi sebagai fungsi dari frekuensi jika dikombinasikan dengan persamaan skin depth memberikan informasi mengenai tahanan jenis medium sebagai fungsi dari kedalaman. Berdasarkan hal tersebut metode sounding MT dilakukan dengan merekam data berupa variasi medan listrik dan medan magnet pada beberapa periode tertentu (T=f-1).

Dari elemen-elemen pada tensor Z dapat diketahui informasi tentang dimensi dan arah. Untuk

Bumi sebagai objek 1D, dimana konduktivitas hanya bervariasi terhadap kedalaman, maka elemen diagonal pada tensor impedansi yaitu Zxx dan Zyy

(komponen medan listrik dan medan magnet yang sejajar) akan bernilai nol. Sedangkan elemen off-diagonal yaitu Zxy dan Zyx (komponen medan listrik dan medan magnet yang tegak lurus) memiliki magnitudo yang sama besarnya namun berlawanan arah (Simpson & Bahr, 2005:35).

Zxx = Zyy = 0 Zxy = - Zyx

Untuk Bumi sebagai objek 2D, dimana konduktivitas bervariasi secara lateral (horizontal) maupun terhadap kedalaman (vertikal), maka Zxx dan Zyy memiliki magnitudo yang sama besarnya namun berlawanan arah. Sedangkan Zxy dan Zyx memiliki nilai yang berbeda (Simpson & Bahr, 2005:35).

Zxx = - Zyy Zxy = - Zyx

Tetapi ketika sumbu-x dan sumbu-y dari Bumi 2D mengikuti arah strike elektromagnetik maka nilai Zxx dan Zyy menjadi nol. Artinya secara matematis Bumi 1D anisotropik ekuivalen dengan Bumi 2D (Simpson & Bahr, 2005:35).

Pada kasus 2D yang ideal, hubungan antara medan magnetik dan medan listrik selalu orthogonal, artinya medan listrik yang sejajar strike hanya akan menginduksi medan magnet yang tegak lurus strike dan melewati bidang vertikal. Dan sebaliknya, medan magnet yang sejajar strike hanya akan menginduksi medan listrik yang tegak lurus strike dan melewati bidang vertikal (Simpson & Bahr, 2005:28).

Gambar 10.Model sederhana Bumi 2D (Simpson & Bahr, 2005:28)

Pada gambar diatas menunjukkan adanya dua modus pengukuran yang dapat dipilih untuk memperoleh nilai variasi apparent resistivity (ρapp) pada model 2D. Modus pertama adalah E-polarisation atau sering disebut sebagai Transverse Electric (TE mode) dimana arus listrik mengalir sejajar strike (searah sumbu-x pada Gambar 10),

dengan komponen elektromagnetik yang diukur adalah Ex, Hy, Hz (Simpson & Bahr, 2005:29).

Kemudian modus kedua adalah B-Polarisation atau sering disebut Transverse Magnetic (TM mode) dimana arus listrik mengalir tegak lurus strike (searah sumbu-y pada Gambar 10), dengan komponen electromagnetik yang diukur adalah Hx, Ey, Ez

(Simpson & Bahr, 2005:29).

Gambar 11.Kurva rho vs T untuk jarak 0,3 - 19,3 km di sebelah kiri batas kontak (atas) & Kurva rho vs T untuk jarak 0,3 - 19,3 km di sebelah kanan batas kontak (bawah) (Simpson & Bahr, 2005:30)

Dari dua gambar diatas menunjukkkan bahwa TM mode lebih bagus untuk mengidentifikasi variasi lateral daripada TE mode. Meskipun demikian, TE mode memiliki komponen medan magnet vertikal yang dihasilkan oleh gradien atau batas konduktivitas lateral, maka dari itu TE mode dapat menggunakan variasi spasial dari Hz/Hy untuk menganalisa kontras konduktivitas lateral.

1D

2D

V. METODOLOGI PENELITIANBerikut ini adalah diagram alir proses

pengolahan hingga inversi data MT.

Gambar 12.Diagram alir penelitian

Berikut adalah data yang diperlukan untuk pengolahan data MT:

1. EDI filePeneliti tidak melakukan pengolahan dari

RAW data, melainkan RAW data yang telah melalui beberapa tahap pre-processing seperti, time window selection, Fourier transform, dan kalibrasi. Sehingga data yang diperoleh sudah berupa data tensor impedansi dalam domain frekuensi, apparent resistivity, frekuensi, fasa, dan azimuth pengukuran, yang semuanya disimpan dalam bentuk file dengan ekstensi *.edi atau sering disebut EDI file.

2. Fault DirectionInformasi arah struktur geologi (sesar utama)

di daerah penelitian, karena akan berpengaruh terhadap nilai impedansi yang terukur.

3. Tabel Resistivitas BatuanKarena tidak ada informasi log resistivity di

daerah penelitian maka peneliti memerlukan tabel resistivitas batuan yang ditampilkan pada

lampiran. Ini digunakan untuk membantu penentuan zona cap rock, reservoar, basement dan heat source pada saat interpretasi penampang resistivitas semu hasil inversi 2D.

Interpretasi dikontrol dengan informasi geologi serta hasil penelitian terdahulu seperti survey magnetotellurik yang dilakukan Pertamina Geothermal Energy di lapangan panas bumi Lahendong, Sulawesi Utara yang kebetulan berdekatan serta memiliki kemiripan sistem geotermal dengan lapangan panas bumi “AAA”. (ditampilkan di lampiran).

Dari semua EDI file yang tersedia. tentukan stasiun MT mana saja yang akan digabungkan dalam satu lintasan untuk kemudian digunakan sebagai parameter awal model inversi 2D. Pada penelitian ini akan digunakan 30 EDI file (30 stasiun pengukuran MT) yang terbagi dalam tiga lintasan yaitu :

1. Lintasan Synyster, yang terdiri dari yang terdiri dari 8 stasiun pengukuran yaitu MT03, MT08, MT13, MT18, MT23, MT28, MT33, dan MT37.

2. Lintasan Rev, yang terdiri dari 12 stasiun pengukuran yaitu MT55 - MT66.

3. Lintasan Shadow, yang terdiri dari 10 stasiun pengukuran yaitu MT90-MT99.

Stasiun-stasiun MT yang telah dijadikan dalam satu subset (lintasan) kemudian dirotasikan tegak lurus struktur utama di lapangan (main fault). Maksudnya adalah untuk mendapatkan nilai Zxx dan Zyy (komponen tensor diagonal) bernilai nol atau minimum, dengan kata lain nilai Zxy dan Zyx

(komponen tensor off-diagonal) akan maksimum. Karena itu dibutuhkan data informasi geologi mengenai arah struktur utama.

Sesuai teori, model bumi 2D yang ideal adalah ketika hubungan antara medan magnetik dan medan listrik selalu orthogonal, artinya medan listrik yang sejajar strike hanya akan menginduksi medan magnet yang tegak lurus strike dan melewati bidang vertikal. Dan sebaliknya, medan magnet yang sejajar strike hanya akan menginduksi medan listrik yang tegak lurus strike dan melewati bidang vertikal.

Ketika merotasi, secara otomatis akan menggeser kurva rho TE dan rho TM ke atas atau ke bawah dari posisinya semula (shifting) karena nilai tensor impedansi akan berubah sesuai respon elektromagnetik medium dengan heterogenitas permukaan, vertical contact, dan topografi yang berbeda dari arah tensor sebelumnya. Kecuali untuk medium 1D maka nilai rho TE dan rho TM bisa jadi tetap, karena tidak ada variasi nilai resistivitas (kontak resistivitas). Shifting sendiri sebenarnya telah

dikoreksi atau diminimalisir pada saat pre-processing sebelum data disimpan dalam bentuk EDI file.

Proses pemilihan lintasan dilakukan dengan MATLAB dan rotasinya dilakukan dengan rotate.exe (script dan program dibuat oleh Imam B. Raharjo, Manajer Geofisika PT. Pertamina Geothermal Energy).

Setelah tensor impedansi dirotasi sesuai mode yang dipilih dan nilai impedansinya didapatkan, kemudian dilakukan pengeplotan nilai apparent resistivity (rho) pada kurva rho vs periode atau bisa juga rho vs frekuensi. Kurva rho yang diplot merupakan milik subset data TE, data TM, serta komponen impedansi diagonal yaitu Zxx dan Zyy. Sehingga terdapat empat kurva yaitu rho xy (TE), rho yx (TM), rho xx dan rho yy. Nilai sudut fasa juga diplotkan dalam kurva fasa. Dari kurva inilah bisa dilihat perbandingan sebelum dan sesudah tensor dirotasi, salah satunya adalah fenomena shifting. Selain itu juga sebagai dasar untuk melakukan filtering pada tahap selanjutnya.

Ada dua tahap yang dilakukan saat filtering, yaitu:1. Frequency Window Selection.

Yaitu pemilihan frekuensi yang tepat sebagai parameter inversi 2D. Seperti yang dijelaskan pada dasar teori, bahwa Bumi 1D anisotropik sama halnya dengan Bumi 2D isotropik. Sehingga kita harus memilih respon medium 1D untuk kemudian dijadikan parameter inversi 2D.

Untuk itulah pentingnya dilakukan plotting parameter. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa untuk Bumi 1D nilai Zxy dan Zyx adalah sama,, hanya arahnya yang berlawanan. Sedangkan Zxx dan Zyy (elemen tensor impedansi diagonal) haruslah bernilai nol. Artinya secara tak langsung nilai ρxx dan ρyy juga harus bernilai nol. Berdasarkan teori tersebut maka bisa ditentukan batas frekuensi untuk medium 1D pada kurva rho vs periode yang dihasilkan dari tahap sebelumnya.

2. Excluding Data Error. Terkadang dalam beberapa stasiun

pengukuran terdapat satu atau beberapa nilai rho yang melenceng jauh dari trend kurva, dan dapat terjadi pada semua frekuensi, sehingga perlu dihilangkan atau dikeluarkan (exclude) dari data secara manual. Namun di sini yang diperlukan adalah menghilangkan data error hanya pada window yang telah dipilih, karena akan berimbas pada hasil inversi bila tidak dihilangkan. Dan

perlu diingat yang dihilangkan adalah data ρxy

karena peneliti memakai TE mode.Setelah beberapa data di exclude karena

dianggap error, tentu akan terjadi ketidakseragaman jumlah data pada tiap stasiun, alias ada data rho yang hilang pada frekuensi tertentu. Akibatnya inversi tidak bisa dilakukan karena parameter pada salah satu frekuensi tidak lengkap. Maka dari itu program filter.exe menghilangkan indeks data yang sama pada semua stasiun MT dalam satu lintasan, meskipun data yang dihilangkan tersebut bukanlah error. Tujuannya semata-mata adalah untuk menyeragamkan jumlah data. Lalu bagaimana mengganti semua data non-error yang hilang pada frekuensi tersebut ? Disinalah peran binning.

Metode binning ini pada dasarnya berupaya mendekatkan nilai rho sebelum dan sesudah indeks data yang dihilangkan, dengan suatu metode statistika tertentu yang ada dalam program binfreq.exe. Pada tahap ini parameter yang telah diproses dapat langsung diinversi, namun sebelumnya perlu disiapkan terlebih dahulu mesh 2D sebagai media untuk membuat model inversi.

Mesh 2D yang disiapkan dalam penelitian ini berukuran 128 x 25 dengan lintasan maksimum yang dapat dimodelkan sepanjang 250 km. Nantinya hasil inversi MT diplotkan ke model dengan finite element method. Setelah media pemodelan dan parameter lengkap maka dilakukan inversi dengan metode conjugate gradient dengan jumlah iterasi maksimal adalah 10 untuk mendapatkan nilai RMS error yang paling kecil.

VI. HASIL DAN PEMBAHASANDi bawah ini adalah penampang subsurface di

lintasan Rev sebagai contoh hasil inversi.

Gambar 13.Zonasi reservoar, cap rock, dan basement rock pada lintasan Rev

Nilai RMS error inversi lintasan Rev pada iterasi kesepuluh adalah sebesar 3,3 dan tergolong error yang lumayan tinggi karena masih belum mendekati nol. Penyebabnya yaitu terdapat artifact pada elevasi +325 m sampai +750 m. Yaitu nilai rho tinggi (biru) di atas batas permukaan topografi, yang kenyataannya adalah medium udara yang tidak diukur nilai rho nya (tidak terdapat data).

Pada lintasan Rev diinterpretasikan terdapat reservoar dangkal antara elevasi 100 meter apl sampai 250 meter bpl, terletak pada jarak 13 – 17 km. Reservoar dalam ditemukan pada kedalaman 500 – 1250 meter bpl, pada jarak 3 – 7 km. Nilai rho nya adalah 10 – 30 Ohm.m (warna kuning). Reservoarnya kemungkinan adalah batuan vulkanik dengan permeabilitas sekunder (Gambar 5) karena adanya efek intrusi magma dan tektonik aktif, yang menyebabkan terbentuknya zona-zona rekahan, dan air meteorik masuk ke dalamnya dari permukaan melewati patahan yang dalam.

Kemudian untuk cap rock reservoar dangkal berada antara elevasi 325 meter apl sampai mean sea level (0 meter), pada jarak 13 – 17 km. Cap rock milik reservoar dalam berada di elevasi 250 meter apl hingga kedalaman 500 meter bpl, pada jarak 3–7 km. Dengan nilai rho 1-5 Ohm.m (warna merah). Kemungkinan cap rock nya adalah batu lempung yang terbentuk karena alterasi tufa batuapung oleh fluida hidrotermal yang tertransport karena adanya zona-zona rekahan. Alterasi ini jika terjadi terus menerus akan menyebabkan terbentuknya mineral lempung, serta penambahan unsur-unsur sulfida yang berasal dari air magmatik.

Lokasi basement berada di kedalaman 1-3 km bpl dan terlihat pada jarak 0 - 4 km dan 13 – 17 km. Dengan nilai rho antara 80–120 Ohm.m (biru muda). Basement pada lapangan AAA adalah batuan sedimen dan vulkanik kompak berumur tersier yang termetamorf karena panas dan tekan yang tinggi. Untuk heat source (> 120 Ohm.m) tidak terdeteksi, besar kemungkinan ia berada di kedalaman > 3 km.

VII.KESIMPULANDari penelitian ini dapat diambil kesimpulan

bahwa :1. Hasil inversi 2D vertikal pada data

magnetotellurik di lapangan AAA dapat menzonasi reservoar, cap rock, dan basement berdasarkan variasi nilai resistivitas semu, dan data geologi. Untuk heat source tidak dapat teridentifikasi karena terlalu dalam letaknya.

2. Zona cap rock di lapangan AAA ditandai dengan warna merah dengan nilai rho 1-5 Ohm.m. Lithologinya kemungkinan besar

adalah andesit teralterasi. Untuk posisi cap rock dangkal berada antara elevasi 325 meter apl sampai mean sea level (msl), sedangkan yang dalam berada antara msl hingga 500 meter bpl.

3. Zona reservoar di lapangan AAA ditandai dengan warna kuning dengan nilai rho 30 – 70 Ohm.m. Lithologinya kemungkinan besar adalah lava terbreksiasi yang memiliki porositas sekunder yang tinggi sebagai ruang untuk menampung fluida. Reservoar dangkal berada antara kedalaman 100 meter apl – 500 meter bpl dan reservoar dalam berada antara 500 – 1500 meter bpl.

4. Zona basement di lapangan AAA ditandai dengan warna biru muda dengan nilai rho 80 – 120 Ohm.m. Lithologinya kemungkinan besar adalah batuan sedimen dan vulkanik Tersier yang termetamorf akibat panas dan tekanan sangat tinggi. Basement berada pada kedalaman 1-3 km bpl.

5. Cap rock dan reservoar dangkal relatif lebih tipis dari cap rock dan reservoar dalam.

6. Karena keterbatasan teknik inversi maka kedalaman heat source dengan frekuensi sangat rendah (3D medium) tidak didapatkan pada penampang.

PUSTAKA

Apandi, T.& Bachri, S.1997.Peta Geologi Lembar Kotamobagu, Sulawesi.PPPG:Bandung.

Daud, Y.2010.Bahan Mata Kuliah Metode Elektromagnetik.Universitas Indonesia:Depok.

Hochstein, M.P., and Browne, P.R.L.2000.Surface manifestations of geothermal systems with volcanic heat sources, in Encyclopedia of Volcanoes, edited by H.Sigurdson, pp. 835-865.Academic Press: San Diego

Pertamina Geothermal Energy Co.2006.Feasibility Studies Kotamobagu-North Sulawesi-June 2006.Unpublished Report.

Raharjo, I.B., Wannamaker, P.E., Timisela, D.P., dan Arumsari, A.F.2008.3D inversion of magnetotellurik, study of the Lahendong geothermal field. Progress Research, 33th HAGI Annual Meeting, Indonesia.

Riogilang, H., Itoi, R., dan Taguchi, S.2010.Recharge elevation of hot spring study in the Mt.Muayat at the Kotamobagu geothermal field, North Sulawesi, Indonesia using the stable isotope O18

and H2. Proceedings, 36th Workshop on Geothermal Reservoir Engineering Stanford University, Stanford, California.

Riogilang, H., Itoi, R., dan Taguchi, S., Yamashiro, R.,Yamashita, S., dan Masloman, H.2009.Geochemical study on hot spring water in Kotamobagu geothermal field, North Sulawesi, Indonesia. Proceedings, 36th Workshop on Geothermal Reservoir Engineering Stanford University, Stanford, California.

Simandjuntak, T., O.1986.Struktur duplek (dwi unsur) sesar sungkup sesar jurus mendatar di lengan timur Sulawesi. PIT XV IAGI.

Simpson, F. and Bahr, K.2005.Practical Magnetotelluric.Cambridge University Press:United Kingdom.

Todd, D., K.1976.Groundwater Hydrology 2nd

edition.New York: Jhon Wiley & Sons

Unsworth, M.1999.Magnetotellurics, in McGraw-Hill 2000 Yeaarbook of Science and Technology.McGraw-Hill: New York

Unsworth, M.2000.CSAMT exploration at Sellafield: characterization of a potential radioactive waste disposal site, 65, 1070-1079, Geophysics.

Villeneuve, M., S.Bachri, C., Rangin, & H.Bellon.1990.Structural Geology of North Sulawesi (abstract): paper presented at seminar on the first progress report of the cooperation program in the field of geodynamics, mineral and energy.

Sumber Website:

http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/07/07/potensi-geothermal-indonesia-dan-pemanfaatannya-469720.html

Diunduh: 25 Feburari 2013, jam 23.59

www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0377027303001975 Diuduh: 11 April 2013, jam 21.05

Ωm

LAMPIRAN

Nilai resistivitas semu berbagai material. (Todd, 1976)

Nilai resistivitas batuan yang umum ditemui (After Palacky, 1987)

Tabel resistivitas batuan yang umum ditemui

Jenis Batuan/Tanah/Air Tingkat Resistivitas (Ωm)

Clay/lempung 1-100

Silt/lanau 10-200

Marls/batulumpur 3-70

Kuarsa 10-2x108

Sandstone/BatuPasir 50-500

Limestone/Batukapur 100-500

lava 100-5x104

Air tanah 0,5-300

Air laut 0,2

Breksi 75-200

andesit 100-200

Tufa vulkanik 20-100

konglomerat 2x103-104

(Telford, 1990; Astier; 1971, Mori, 1993)

Penampang resistivitas semu hasil pengukuran MT di lapangan panas bumi Lahendong (Raharjo dkk, 2008)