paper halmahera

30
Pendahuluan Pulau Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya merupakan daerah tektonik yang sangat kompleks. Interaksi ini melibatkan pertemuan Sublempeng Filipina di utara, Lempeng Pasifik di timur, Lempeng Eurasia di barat, dan Lempeng Indo-Australia di selatan. Batas selatan dari interaksi ini adalah Sesar Sorong dan batas utara merupakan sesar yang menerus ke Mindanao, Filipina (Gambar 1). Gambar 1. Fitur tektonik saat ini dari Laut Molucca dan wilayah sekitarnya. Laut Molucca diperkirakan merupakan daerah forearc dari Busur Sangihe yang menutupi forearc Busur Halmahera. Lempeng Laut Molucca seluruhnya tersubduksi (Hall, 1999). Wilayah Halmahera memiliki sistem subduksi ganda dengan dijumpai pegunungan vulkanik di barat dan non-vulkanik di timur. Sistem

Upload: jamil-misbah

Post on 29-Jan-2016

321 views

Category:

Documents


55 download

DESCRIPTION

Halmahera

TRANSCRIPT

Pendahuluan

Pulau Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya merupakan daerah tektonik yang sangat

kompleks. Interaksi ini melibatkan pertemuan Sublempeng Filipina di utara, Lempeng Pasifik di

timur, Lempeng Eurasia di barat, dan Lempeng Indo-Australia di selatan. Batas selatan dari

interaksi ini adalah Sesar Sorong dan batas utara merupakan sesar yang menerus ke Mindanao,

Filipina (Gambar 1).

Gambar 1. Fitur tektonik saat ini dari Laut Molucca dan wilayah sekitarnya. Laut Molucca diperkirakan merupakan daerah forearc dari Busur Sangihe yang menutupi forearc Busur

Halmahera. Lempeng Laut Molucca seluruhnya tersubduksi (Hall, 1999).

Wilayah Halmahera memiliki sistem subduksi ganda dengan dijumpai pegunungan vulkanik di

barat dan non-vulkanik di timur. Sistem subduksi ganda ini terdapat pada Lempeng Molucca,

subduksi berarah barat di bawah Busur Sangihe dan berarah timur di bawah Busur Halmahera

(Gambar 2). Sebaran gunung api di Busur Sangihe dan Busur Halmahera memperkuat adanya

fenomena subduksi ganda tersebut (Hamilton, 1979 dalam Hall, 1988).

Penelitian intersect gempa diketahui ada dua zona kegempaan benioff yang berpotongan di

bawah Laut Molucca dan mengindikasikan terjadinya penutupan cekungan Lempeng Laut

Molucca akibat subduksi lempeng yang mendesaknya dari dua arah berlawanan (collision

subduction). Zona benioff miring sedang ke arah barat di bawah Busur Sangihe dan Laut

Sulawesi dan miring landai ke timur di bawah Busur Halmahera (Hall, 1988).

Rekaman seismik terhadap subduksi di bawah Halmahera tercatat hingga kedalaman 200-300

km, sedangkan Zona Benioff yang berasosiasi dengan subduksi di bawah Busur Sangihe dapat

diidentifikasi setidaknya hingga kedalaman 600 km (McCaffrey dkk., 1980). Lempeng Laut

Molucca saat ini seluruh bagiannya tersubduksi dan tenggelam ke dalam mantel secara menerus

dari selatan ke utara berdasarkan data dari tomografi (Spakman dan Bijwaard, dalam Hall dan

Wilson, 2000).

Bentuk Halmahera yang menyerupai huruf K mirip dengan Sulawesi tetapi dengan umur yang

lebih muda dan dimensi lebih kecil. Lengan barat terbentuk dari busur pulau vulkanik klasik dan

area tengah serta lengan timur mengandung kompleks ofiolit dan sedimen yang tumpang tindih

(van Gorsel, 2013).

Gambar 2. Konfigurasi saat ini dari Lempeng Laut Molucca (Cardwell dkk., 1980 dalam Hall dkk., 1988). Halmahera yang berlokasi di atas sublempeng diangkat dari barat oleh Lempeng

Laut Molucca dan dari timurlaut oleh Lempeng Laut Filipina.

Kondisi Fisiografi

Apandi dan Sudana (1976) membagi fisiografi Halmahera menjadi tiga mandala (Gambar 3),

yaitu:

1. Halmahera Timur

Mandala ini terdiri dari Lengan Timur Laut, Tenggara, dan pulau-pulau kecil di sebelah

timur. Morfologinya berupa pegunungan dengan lereng terjal, sungai dalam, dan karst.

Sementara itu, litologi terdiri dari batuan ultrabasa, batuan sedimen, dan batugamping.

2. Halmahera Barat

Mandala ini terdiri dari Lengan Utara dan Selatan. Morfologinya berupa perbukitan

batuan sedimen, karst dari batugamping Neogen, dan morfologi kasar dengan batuan

vulkanik berumur Oligo-Miosen.

3. Busur Kepulauan (vulkanik Kuarter)

Mandala ini terdiri dari pulau-pulau kecil sebelah barat Halmahera dan deretan vulkanik

Kuarter yang sebagiannya masih aktif.

Gambar 3. Pembagian mandala Halmahera (Apandi dan Sudana, 1976).

Kondisi Geologi

Pada umumnya, berdasarkan geologi dan fisiografi Maluku Utara, Halmahera dapat dibedakan

menjadi dua bagian yaitu Halmahera bagian barat dan Halmahera bagian timur (Darman dan

Hasan, 2000). Peta geologi dari Halmahera sendiri dapat dilihat pada Gambar 4.

Halmahera bagian barat adalah bagian sabuk vulkanik muda yang disusun dari batuan gunung

api dan batuan sedimen Tersier hingga Kuarter, yang merupakan perpanjangan dari Morotai

melalui Halmahera Barat, Ternate, dan Tidore Sampai menuju Bacan. Halmahera bagian timur

merupakan perpanjangan ke arah timur melalui pulau Gebe dan terhadap bagian utara kepala

burung Papua. Bagian ini terdiri dari lengan Halmahera bagian timur laut dan tenggara yang

merupakan busur luar yang tersusun dari batuan ultramafik, sedimen Tersier dan sedimen

Kuarter di bagian pesisir.

Gambar 4. Peta geologi Halmahera (Nichols dkk., 1991).

Batuan ofiolit membentuk basement dari Halmahera timur (Hall dkk., 1988) yang terbentuk di

busur intra-oseanik berumur Mesozoikum Awal. Batuan ofiolit ditindih batuan vulkanik busur

berumur Kapur, Eosen, dan Oligosen. Di lengan barat, batuan vulkanik busur Oligosen

membentuk basement. Batuan karbonat berumur Miosen menindih secara tidak selaras semua

batuan yang lebih tua. Busur Halmahera umur Neogen menjadi aktif sekitar sebelas juta tahun

lalu (Hall dkk., 1995a dalam Hall dan Wilson, 2000).

Vulkanisme dimulai pada bagian selatan dan berkembang ke utara yang menghasilkan busur

vulkanik yang mirip dengan posisi dan perkembangan Busur Halmahera saat ini. Ke arah barat

busur, turbidit dan debris flow diendapkan di bawah slope submarine terjal berarah barat yang

mengandung material dari batuan busur vulkanik dan batugamping terumbu. Ke arah timur

busur, cekungan ekstensif berkembang (Hall, 1987; Hall dkk., 1988b; Nichols dan Hall, 1990

dalam Hall dan Wilson, 2000) yang mengandung debris tetapi diendapkan di laut yang lebih

dangkal.

Selain itu, di daerah ini juga terdapat ketidakselarasan berumur sekitar tiga juta tahun lalu di

antara Neogen lebih tua dan batuan sedimen Pliosen atas yang menindihnya. Pada bagian

baratdaya dan tengah Halmahera, batuan sedimen dari daerah backarc naik ke barat menutupi

busur dan forearc Neogen. Busur Halmahera saat ini berada tidak selaras di atas batuan busur

Neogen dan cekungan sedimen yang berdekatan (Hall dan Wilson, 2000).

Stratigrafi

Stratigrafi Halmahera ditunjukkan dalam Gambar 5. Basement bagian timur dari Pulau

Halmahera terbentuk dari ofiolit Mesozoikum terimbrikasi dengan kompleks batuan

vulkaniklastik Kapur atas dan Eosen serta batugamping yang diendapkan pada bagian forearc,

Grup Buli (Hall dkk., 1988a, b dalam Nichols dkk., 1991). Basement ini terdeformasi,

terangkatkan, dan sebagian tererosi sebelum awal Miosen, konglomerat basal dari fluvial dan

litoral ditemukan menindih sekuen karbonat Miosen dengan tebal 500 m. Karbonat ini dari

Formasi Batugamping Subaim (Hall dkk., 1988c dalam Nichols dkk., 1991) dan didominasi oleh

terumbu laut dangkal.

Di Halmahera barat, basement-nya merupakan asosiasi terdeformasi dari batuan vulkaniklastik

kasar dan vulkanik berkomposisi basal hingga andesit yang dinamakan sebagai Formasi

Vulkanik Oha (Hall dkk., 1988b; Hakim, 1989 dalam Nichols, 1991). Batuan vulkanik Formasi

Vulkanik Oha sangat mirip dengan komponen vulkanik Grup Buli dari sisi petrologi, tekstur,

mineralogi, dan kimiawinya (Hakim, 1989 dalam Nichols dkk., 1991). Ini menunjukkan bahwa

Halmahera barat dan timur membentuk sebuah kompleks forearc-arc pada Kapur Akhir dan

Eosen.

Formasi Loku diendapkan secara tidak selaras di atas basement (Formasi Vulkanik Oha) dan

tersingkap di bagian barat dari lengan barat Halmahera. Formasi ini merupakan sekuen batupasir

turbidit dan batulanau yang terdeformasi kuat dan ditindih oleh batuan sedimen tak terdeformasi

dari Grup Weda. Grup ini dibagi ke dalam beberapa formasi berumur Miosen Akhir hingga

Pliosen dengan kandungan foraminifera dan nanofosil. Pada Halmahera barat, Formasi Superak

dan Akelamo berumur Miosen Akhir; Formasi Dufuk dan Gola berumur Pliosen Awal. Formasi

Saolat pada Halmahera timur secara stratigrafi sama dengan formasi pada lengan barat dan

berumur Miosen Akhir hingga Pliosen Awal. Pada bagian tengah Halmahera, batuan sedimen

berumur Miosen Atas hingga Pliosen Bawah dan Pliosen merupakan batuan yang tidak berbeda

dengan Grup Weda (Nichols dkk., 1991).

Pada tepi utara dari lengan baratdaya diendapkan Formasi Kulefu secara tidak selaras di atas

batuan terlipatkan dari Grup Weda. Tidak ada fauna yang ditemukan dalam Formasi Kulefu dan

formasi ini berumur Pliosen (Nichols dan Hall, 1990 dalam Nichols dkk., 1991)

Gambar 5. Rangkuman stratigrafi dari Halmahera tengah, selatan, dan timur (Nichols dkk., 1991).

Evolusi Tektonik

A. Saat ini (present day)

Kondisi tektonik dan penampang Halmahera saat ini dapat dilihat pada Gambar 6. Kondisi

tektonik Busur Halmahera dan Busur Sangihe merupakan contoh di dunia untuk kolisi

antarbusur. Saat ini Busur Sangihe mengalami pengangkatan menutupi forearc Halmahera.

Kedua busur tersebut aktif sejak Neogen (awal Miosen - pertengahan Miosen), sedangkan kolisi

antara kedua busur terjadi pada umur Pliosen. Sampai saat ini, belum ditemukan melange yang

tersingkap di Laut Molucca. Hanya basement dari forearc Sangihe yang tersingkap di Pulau

Talaud (Hall, 1999).

Gambar 6. Penampang melintang yang melewati Laut Molucca dari selatan (bawah) ke utara (atas) untuk merepresentasikan urutan konvergensi Busur Halmahera dan Sangihe sejak dua juta tahun yang lalu. Konvergensi antarbusur paling berkembang di Talaud. Kolisi ini menyebabkan

penghilangan busur dan forearc Halmahera (Hall, 1999).

Penampang yang melewati Pulau Talaud memberikan informasi bahwa hampir semua busur

vulkanik dan forearc Halmahera ditutupi oleh forearc Sangihe (Gambar 7A). Punggungan

Snellius diinterpretasikan sama kondisinya dengan daerah backarc Halmahera yang

komposisinya berupa batuan karbonat berumur Mio-Pliosen yang diendapkan secara tidak

selaras di atas ofiolot Neogen dan kerak busur. Penebalan kompleks kolisi oleh akresi dan kerak

forearc Halmahera serta pemendekan forearc Sangihe menyebabkan pengangkatan basement

Pulau Talaud (dan secara lokal juga Mayu) sehingga ofiolit dapat tersingkap (Hall, 1999).

Penampang yang melewati Morotai menunjukkan penindihan Busur Halmahera oleh backarc

nya sendiri (Gambar 7B) pada akhir Pliosen. Aktivitas vulkanik di selatan Morotai aktif kembali

selama Kuarter dan busur saat ini terletak di atas kerak yang tebal. Aktivitas vulkanik di utara

Morotai berhenti dan saat ini forearc Halmahera tertutup oleh forearc Sangihe. Pensesaran naik

(overthrusting) dari satu forearc oleh yang lainnya memicu penebalan kompleks akresi sehingga

menghasilkan sejumlah besar material berdensitas rendah dengan gravitasi rendah pada Laut

Molucca tengah (Hall, 1999).

Gambar 7. Penampang melintang melewati Laut Molucca yang menunjukkan konvergensi Busur Halmahera dan Sangihe (Hall, 1999). Pada penampang A di Talaud, busur dan forearc

Halmahera seluruhnya tertutupi oleh forearc Sangihe. Ofiolit dari basement forearc Sangihe tersingkap di Pulau Talaud. Pada penampang B, hanya sebagian forearc yang tertutupi, tetapi

Busur Halmahera tertutupi oleh backarc nya sendiri pada awal episode pensesaran (naik).

B. Neogen Akhir

Evolusi tektonik dan penampang Halmahera, Laut Molucca, dan wilayah sekitarnya pada

Neogen Akhir ditunjukkan dalam Gambar 8 dan 9.

Gambar 8. Rekonstruksi dari Lempeng Laut Molucca sebelum hilang akibat subduksi ke arah timur dan barat (Hall, 1999).

Subduksi ke arah barat dari Laut Molucca di bawah Busur Sangihe diperkirakan dimulai pada

awal Miosen. Subduksi berarah timur dari Lempeng Laut Molucca di bawah Halmahera dimulai

pada pertengahan Miosen. Subduksi ganda terjadi pada saat itu sehingga membentuk lempeng

baru, Lempeng Molucca, yang berpisah dari Lempeng Filipina (Hall, 1999).

Batuan vulkanik tertua dari Busur Halmahera terdeteksi pada umur sebelas juta tahun lalu di Obi

pada tepi selatan dan termuda di utara (Baker dan Malaihollo, 1996 dalam Hall, 1999). Indikasi

awal dari kolisi busur-busur terjadi pada Pliosen. Busur Halmahera yang tidak berhasil menjadi

busur vulkanik aktif, sepertinya merefleksikan kelemahan yang berkaitan dengan mineralogi dan

magmatisme. Terdapat pensesaran (naik) berarah barat pada daerah backarc yang menghadap

forearc. Di Obi, busur ternaikan/dorong ke atas forearc. Di selatan Halmahera, daerah backarc

ternaikan ke atas forearc, di tempat yang seluruhnya menghilangkan Busur Neogen (Hall, 1999).

Setelah episode ini, pensesaran terjadi, berarah barat dan vulkanisme di Busur Halmahera

kembali aktif di antara Bacan dan Halmahera utara. Di Obi dan dari Morotai ke arah utara,

vulkanisme berhenti. Di utara Laut Molucca, forearc Sangihe kemudian terdorong ke timur di

atas forearc dan Busur Halmahera. Daerah antara Morotai dan bagian Punggungan Snellius dari

forearc dan Busur Halmahera Neogen, saat ini menghilang. Lebih jauh lagi, bagian selatan dari

pensesaran berarah timur membawa forearc Halmahera naik ke sisi Busur Halmahera aktif dan

batuan Pra-Neogen dari basement forearc Halmahera yang sekarang tersingkap di Kepulauan

Grup Bacan dan pesisir dari Halmahera barat laut (Hall, 1999).

Gambar 9. Penampang melintang melewati Laut Molucca yang mengilustrasikan urutan konvergensi antarbusur saat sebelas juta tahun lalu ketika aktivitas vulkanik dimulai di Busur

Halmahera dan dua juta tahun lalu ketika Busur Halmahera gagal aktif dan tertutupi oleh backarc nya sendiri (Hall, 1999).

Ketika forearc dan Busur Halmahera secara signifikan dinaikkan, forearc Sangihe terangkat.

Kompleks kolisi Laut Molucca berkomposisi akresi dari kedua busur. Basement forearc dari

Busur Sangihe tersingkap akibat ternaikkan seluruh bagiannya. Batuan ofiolit dari Laut Molucca

tengah bukan bagian dari Lempeng Laut Molucca tetapi basement dari forearc Sangihe.

Melange yang ditemukan di Talaud (Moore dkk., 1981 dalam Hall, 1999) dan saat ini di Mayu,

tidak terbentuk dari kolisi saat ini tetapi dari batuan lebih tua yang membentuk bagian basement

Pra-Neogen forearc Sangihe. Melange yang diduga dari kompleks kolisi saat ini merupakan

submarine dan bagian yang dangkal secara batimetri dan secara seismik terdiri dari sejumlah

sedimen di Laut Molucca tengah (Hall, 1999).

Potensi Ekonomi

A. Hidrokarbon di Cekungan Halmahera

Subduksi di Halmahera dimulai pada Akhir Miosen (Hall, 1988). Pada akhir Miosen, terjadi

pengangkatan pada tepi barat dari pulau dan penurunan pada bagian timur yang membentuk

Cekungan Halmahera (Nichols dan Hall, 1990 dalam Nichols dkk., 1991). Pada akhir Miosen,

Halmahera menjadi cekungan belakang busur (Gambar 10).

Grup Weda mengisi Cekungan Halmahera yang berkembang di belakang Busur Halmahera oleh

pelengkungan kerak selama Neogen Akhir (Nichols dan Hall, 1990 dalam Nichols dkk., 1991).

Cekungan ini panjangnya 200 km dari timur ke barat dan 400 km sejajar dengan palung

Halmahera. Rekonstruksi Cekungan Halmahera pada Pliosen Akhir berarah timur-barat

panjangnya 60 km melewati jalur lipatan dan sesar naik dari Zona Tengah (Hall dkk., 1988b;

Nichols dan Hall, 1990 dalam Nichols dkk., 1991).

Gambar 10. Rekonstruksi paleogeografi dari Cekungan Halmahera pada Miosen Akhir – Pliosen (Nichols dkk., 1991).

Cekungan Halmahera adalah cekungan frontier yang terletak di antara Kepulauan Indonesia

Timur dan Papua Barat. Daerah ini memiliki investigasi geologi yang relatif sedikit dan hanya

menggunakan seismik 2D dalam eksplorasi hidrokarbonnya. Eksplorasi hidrokarbon di

Cekungan Halmahera dimulai pada akhir tahun 1980 an ketika area laut dangkal Cekungan

Halmahera pertama kali dieksplorasi oleh Enterprise oil dari tahun 1988 hingga 1990 dan oleh

Premier dari tahun 1995 hingga 1999 (Ryan dkk., 2012).

Seismik 2D kaitannya dengan awal eksplorasi dilakukan oleh Nichols dan Hall (1991) untuk

menjelaskan pengisian dan evolusi dari Cekungan Halmahera. Seismik 2D spekulatif saat ini

dilakukan untuk eksplorasi lebih jauh (Flett dkk., 2011 dalam Ryan dkk., 2012) dan mengarah

pada laut dalam. Statoil dan Niko mendapatkan 8.215 km2 area Halmahera II PSC dan memasuki

periode izin eksplorasi dengan prospek hidrokarbon yang dapat diterima.

Cekungan Halmahera dilingkupi dengan spasi yang luas gridnya (15 x 15 km) sekitar 4.500

berdasarkan seismik 2D. Kebanyakan data ini diperoleh pada 2010awal oleh Searcher Seismic.

Tidak ada sumur yang menembus stratigrafi dalam cekungan, sumur terdekat di Batanta Utara

AX1 berlokasi di cekungan yang berdekatan beberapa ratus km ke arah barat (Ryan dkk., 2012)

(Gambar 11 dan 12).

Gambar 11. Lokasi dari Halmahera PSC II dan cakunpan datanya (Ryan dkk., 2012).

Kecepatan seismik rata-rata melalui penampang pada Gambar 12 meningkat yang melewati

daerah tinggi Klaarbeek. Pengaruh kecepatan dari karbonat laut dangkal yang tebal di area yang

lebih tinggi ini kemudian dipertimbangkan, namun anomali kecepatan bersifat tetap. Efek

dominan dari kecepatan basement diinterpretasikan sebagai bagian tinggian dari kerak dan/atau

adanya stratigrafi yang lebih tua (Ryan dkk., 2012).

Gambar 12. Penampang lintasan berarah NW - SE Cekungan Halmahera ke arah Batanta NA - 1X dan kecepatan rata-rata yang berkaitan (Ryan dkk., 2012).

Lima permukaan menerus secara regional dan ekstensif lateral diinterpretasikan di Cekungan

Halmahera: Batugamping Miosen dasar, Batugamping Miosen atas, ‘Klasafet’ Miosen atas

dekat, ketidakselarasan Pliosen Tengah, dan dasar laut (Gambar 13). Sebuah rangkuman dari

elemen utama dari sistem petroleum ditunjukkan dalam Gambar 14a dan Gambar 14b

menunjukkan penampang cekungan dan konsep play. Dua play kuat yang diidentifikasi dan

mencakup analisis sistem petroleum adalah (Ryan dkk., 2012):

1. Miocene Carbonate Reefal Buildup Play

2. Pliocene Re-deposited Carbonate Play

Gambar 13. Tektonostratigrafi Cekungan Halmahera dengan interpretasi horizon seismik (Ryan dkk., 2012).

Gambar 14. a. Sistem petroleum Cekungan Halmahera (atas). b. Penampang geologi dan konsep play Cekungan Halmahera (bawah) (Ryan dkk., 2012).

Selain itu, Nichols dkk. (1991) menempatkan Cekungan Weda sebagai backarc berdasarkan

posisi Lempeng Molucca pada Miosen Akhir. Cekungan ini memiliki ketebalan sedimen dari

15.000 hingga 20.000 kaki dan hidrokarbon terbukti dengan penemuan rembesan minyak di

Lalobata, Halmahera Utara (Hall dan Nichols, 1990 dalam Nichols dkk., 1991).

B. Penambangan emas di Gosowong

Daerah Gosowong adalah wilayah penambangan emas primer dengan sistem terbuka dan

endapan baru yang ditemukan yaitu Prospek Kencana direncakan akan ditambang dengan sistem

bawah tanah. Pemegang izin usaha pertambangan PT. Nusa Halmahera Minerals, merupakan

kerjasama (join venture company) antara Newcrest (Australia) 82,5% dan PT. Aneka Tambang

Tbk 17,5 % (Tain dkk., 2005).

Gosowong merupakan nama salah satu dari pit yang ada dan telah ditinggalkan, namun masih

meninggalkan bahan galian emas yang belum ditambang (insitu) dan di stock pile. Pit yang

masih aktif ditambang yaitu Pit Toguraci, yang penambangannya dimulai sejak Mei 2003.

Secara administratif daerah Gosowong termasuk dalam Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi

Maluku Utara. Secara geografis terletak di antara 127° 30′ BT dan 00° 45 ′ LU (Gambar 15).

Gambar 15. Lokasi daerah pemantauan dan evaluasi konservasi sumber daya mineral (Tain dkk., 2005).

Batuan penyusun daerah ini terdiri dari lava submarine andesitik – dasitik dan batuan vulkanik

klastik dengan sedikit perselingan tuf berumur Pliosen. Penyusun batuan vulkanik tersebut secara

setempat diterobos oleh andesit porfiri dan diorit kuarsa sebagian tertutup oleh aliran abu dan

tufa batuapung yang berumur Resen (Gambar 16). Citra landsat menggambarkan bahwa sistem

urat Gosowong berada pada tepi bagian selatan dari struktur berbentuk lingkaran dengan

diameter 3-4 km yang terpotong oleh struktur berarah utara-timur laut dan barat laut yang

kemungkinan berperan sebagai saluran untuk terjadinya migrasi aliran pembentuk mineralisasi

(Tain dkk., 2005).

Terdapat dua tipe mineralisasi ditemukan di daerah Gosowong. Tipe Cu-Au pofiri (low grade)

pada diorit kuarsa porfiritik terdapat di daerah Tobobo 2,5 km ke arah barat timur laut dari

Gosowong dan di Bora yang terletak 2,5 km ke barat barat laut dari Gosowong. Selain itu, urat-

urat kuarsa secara setempat berkadar emas bonanza terdapat di Toguraci dan Kencana yang

terdapat bagian emplacement dalam Porfiri Bora (Tain dkk., 2005).

Gambar 16. Peta geologi daerah Gosowong dan sekitarnya, Kabupaten Halmahera Utara (Tain dkk., 2005).

Di daerah Gosowong dan sekitarnya dari hasil ekplorasi yang telah dilakukan oleh PT.Newcrest

banyak ditemukan daerah prospek emas dan ikutannya, antara lain di daerah Gosowong,Toguraci

North, Ruwait, Bora Porfiri, Gosowong North, Tobobo Porfiri (Gosowong North West),

Sambiki, Langsat-Imur, Seksekel, Coto (Gosowong North East) T-Fault, Wakola dan daerah

Kencana (Gosowong Extended) seperti dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Sejarah penemuan “Gosowong Gold Mines” di Maluku Utara (Tain dkk., 2005).

C. Bahan galian di Pulau Bacan

Daerah bahan galian berada di Pulau Bacan, secara administratif termasuk dalam Kabupaten

Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Secara geografis terletak diantara 127º 16´ 8,5" -

127º 54´ 35" BT sampai 0º 17´ 41,72" – 0º 52´ 24,15" LS (Gambar 18).

Gambar 18. Peta lokasi pemercontoan daerah Yaba, Kabupaten HalmaheraSelatan, Provinsi Maluku Utara (Suhandi dkk., tanpa tahun).

Geologi daerah penyelidikan ditempati oleh Formasi Bacan yang terdiri dari breksi volkanik dan

tufa andesitik dan batuan terobosan (granit/granodiorit) (Gambar 19). Batuan-batuan tersebut

sebagian besar telah mengalami ubahan sedang hingga kuat, dicirikan adanya kloritisasi-piritisasi

sebagian telah mengalami argilitisasi biasanya terbentuk pada beberapa lokasi yang dilalui oleh

patahan lokal. Intrusi granodiorit muncul menerobos andesit tua (Formasi Bacan) terlihat berupa

plug atau bentuk stok berukuran kecil. Pada bagian kontak dengan batuan samping telah terjadi

mineralisasi yang tidak begitu berkembang secara luas, sehingga hanya terbentuk secara

setempat didekat intrusi/aureole mineralized (Suhandi dkk., tanpa tahun).

Gambar 19. Peta Geologi Daerah Bacan, Kabupaten Halmahera SelatanProvinsi Maluku Utara (Suhandi dkk., tanpa tahun).

Dari hasil penelitian di daerah Yaba argilitisasi yang terbentuk pada sayap selatan dari Bukit

Kailaka jaraknya mencapai 1 km, terlihat adanya piritisasi kuat tetapi tidak mengandung

magnetit yang mengarah ke tipe porfiri sebagai hallo dari intrusi granodiorit (di sekitar lokasi

penambangan tradisional). Ditemukan adanya intrusi bagian tengah dari granodiorit yang

memperlihatkan khloritisasi-piritisasi, tidak terlihat adanya epidot sebagai tanda-tanda

hidrotermal temperatur tinggi. Pada lokasi penambangan tradisional (pada kedalaman >20 m) di

daerah Yaba mineralisasi cukup tinggi pada batuan terkersikan dari batuan samping tersilisifikasi

dengan kandungan Au 76263 ppb, begitu juga logam dasar dengan kandungan Cu 10.15 %, Pb

8.13 %, Zn 22.04 %, disertai dengan kandungan logam lain relatif rendah (As, Sn, Mo, Sb )

(Suhandi dkk., tanpa tahun). Mineralisasi dan alterasi daerah Yaba dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Peta Geologi, Mineralisasi dan Alterasi Daerah Yaba,Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara (Suhandi dkk., tanpa tahun).

Referensi

Apandi, T. dan Sudana, D. (1978): Peta Geologi Lembar Ternate Maluku Utara, P3G, Bandung.

Caffrey, R. M. dan Silver, E. A. (1980): Crustal structure of the Molucca Sea collision zone Indonesia, Geophysical Monograph The Tectonic and Geological Evolution of Southeast Asian Seas and Island, 23, 161-177.

Darman, H. dan Hasan, S. F. (2000): An Outline of The Geology Indonesia, Indonesian Association of Geologist.

Hall, R., Audley, M.G., Banner, F.T., Hidayat, S., dan Tobing, S.L. (1988): Late Paleogene–Quaternary geology of Halmahera, Eastern Indonesia: Initiation of a volcanic island arc, Journal of the Geological Society, 48, 577-590.

Hall, R. (1999): Neogene history of collision in the Halmahera region, Indonesia, Proc. 27th Ann. Conv. Indonesian Petrol. Assoc., G014, hal. 8.

Hall, R. dan Wilson, M.E.J. (2000): Neogene sutures in Eastern Indonesia, Jurnal of Asian Earth Sciences, 18, 781-808.

Nichols, G., Kusnama, dan Hall, R. (1991): Sandstones of arc and ophiolite provenance in backarc basin, Halmahera, Eastern Indonesia, Geology Society, Special Publications, 57, hal. 291-303.

Ryan, M., Demichelis, J., Kuilman, L. W., van Koeverden, J. H., Butcher, H., Halvorsen, T., Sayentika, Janson, A., Wall, M., Messina, C., dan Hay, S. (2012): An early look at the hydrocarbon prospectivity of the Halmahera Basin, Eastern Indonesia, 36th Annual Convention & Exhibition, Indonesia Petroleum Association.

Suhandi, Arief, R., dan Kamal, S. (tanpa tahun): Penelitian potensi bahan galian pertambangan sekala kecil di daerah Bacan Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, Kelompok Penelitian Konservasi, ESDM.

Tain, Z., Sabtanto, J.S ., dan Sutrisno (2005): Pemantauan dan evaluasi konservasi sumber daya mineral di daerah Gosowong Kabupaten Halmahera Utara - Provinsi Maluku Utara, Subdit Konservasi, ESDM.

van Gorsel, J. T. (2013): Bibliography of the geology of Indonesia and surrounding areas, edisi V, diakses dari http://www.vangorselslist.com/ pada 27 November 2015 pukul 16.00 WIB.