paper edward said tentang orientalisme

18
Orientalisme dan Edward W. Said “Mengenang 10 Tahun Meninggalnya Edward W. Said” Presentasi Kajian Paska Kolonial, 25 September 2013 Oleh: Andre, Titin, Koko Karyanya yang paling berpengaruh, Orientalisme (1978), diperhitungkan membantu perubahan arah berbagai disiplin ilmu dengan membongkar suatu aliansi jahat antara proyek pencerahan dan kolonialisme. 1 Tepat sepuluh tahun yang lalu, 25 September 2003, seorang intelektual Amerika, ahli sastra komparatif, kritikus opera, pianis, selebritis, aktifis politik, esaist, guru bangsa, telah meninggal dunia. Dia adalah Edward W. Said. Sebuah Surat Kabar harian, The Guardian, menulis obituari sehari setelah meninggalnya dengan sungguh sangat indah. Dalam ulasan obituari itu, dikisahkan bahwa Said mempunyai pengaruh yang besar dalam membongkar cara pandang barat terhadap timur khususnya Islam. Ia dijuluki "Professor of Terror" dalam komentar-komentar dari majalah-majalah yang berhaluan kanan karena cara pandangnya yang kritis. Sketsa ringkas ini tidak ingin menjelaskan dengan lengkap bagaimana kehidupan dan karyanya yang sedemikian raksasa. Tetapi, kami akan memperlihatkan panorama peran Edward W. Said dalam Kajian Paska Kolonial. Kami menyadari bahwa tema ini masih terlalu luas. Beberapa hal-hal akan kami lihat secara lebih detil nantinya. Pembicaraan ini tak bisa dilepaskan dari kisah hidup Edward W. Said sendiri. Oleh karena itu, terlebih dahulu akan diperlihatkan secara singkat bagaimana perjalanan hidup Edward W. Said. Kemudian setelah itu akan juga diperlihatkan point-point penting berkaitan dengan salah satu bukunya yaitu, Orientalism. Buku-buku Ania Loomba dan Leela Gandhi akan coba ditelaah pula untuk melihat bagaimana mereka mencoba menginsterpretasikan gagasan orientalisme dari Said ini. Dan yang terakhir, kami akan memperlihatkan relevansi gagasan orientalisme ini dalam perdebatan pembentukan identitas kebangsaan di Indonesia di era tahun 1920-an atau 1930-an dalam diskursus berkaitan dengan Wayang. I. Hidup dan Karya Edward Said Edward W. Said lahir pada tanggal 1 November 1935 di Yerusalem, Palestina. Ibunya bernama Hilda, Orang Lebanon, berasal dari Nazareth. Ayahnya bernama Wadie. Ia adalah orang kelahiran 1 Malise Ruthven. 2003. “Edward Said; Controversial Literary Critic and Bold Advocate of The Palestinian Cause in America” dalam The Guardian. Jumat, 26 September 2013. 1

Upload: irbusd2013

Post on 27-Oct-2015

1.412 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

Orientalisme dan Edward W. Said“Mengenang 10 Tahun Meninggalnya Edward W. Said”Presentasi Kajian Paska Kolonial, 25 September 2013

Oleh: Andre, Titin, Koko

Karyanya yang paling berpengaruh, Orientalisme (1978), diperhitungkan membantu perubahan arah berbagai disiplin ilmu dengan membongkar suatu aliansi jahat antara proyek

pencerahan dan kolonialisme.1

Tepat sepuluh tahun yang lalu, 25 September 2003, seorang intelektual Amerika, ahli sastra komparatif, kritikus opera, pianis, selebritis, aktifis politik, esaist, guru bangsa, telah meninggal dunia. Dia adalah Edward W. Said. Sebuah Surat Kabar harian, The Guardian, menulis obituari sehari setelah meninggalnya dengan sungguh sangat indah. Dalam ulasan obituari itu, dikisahkan bahwa Said mempunyai pengaruh yang besar dalam membongkar cara pandang barat terhadap timur khususnya Islam. Ia dijuluki "Professor of Terror" dalam komentar-komentar dari majalah-majalah yang berhaluan kanan karena cara pandangnya yang kritis.

Sketsa ringkas ini tidak ingin menjelaskan dengan lengkap bagaimana kehidupan dan karyanya yang sedemikian raksasa. Tetapi, kami akan memperlihatkan panorama peran Edward W. Said dalam Kajian Paska Kolonial. Kami menyadari bahwa tema ini masih terlalu luas. Beberapa hal-hal akan kami lihat secara lebih detil nantinya. Pembicaraan ini tak bisa dilepaskan dari kisah hidup Edward W. Said sendiri. Oleh karena itu, terlebih dahulu akan diperlihatkan secara singkat bagaimana perjalanan hidup Edward W. Said. Kemudian setelah itu akan juga diperlihatkan point-point penting berkaitan dengan salah satu bukunya yaitu, Orientalism.

Buku-buku Ania Loomba dan Leela Gandhi akan coba ditelaah pula untuk melihat bagaimana mereka mencoba menginsterpretasikan gagasan orientalisme dari Said ini. Dan yang terakhir, kami akan memperlihatkan relevansi gagasan orientalisme ini dalam perdebatan pembentukan identitas kebangsaan di Indonesia di era tahun 1920-an atau 1930-an dalam diskursus berkaitan dengan Wayang.

I. Hidup dan Karya Edward Said Edward W. Said lahir pada tanggal 1 November 1935 di Yerusalem, Palestina. Ibunya

bernama Hilda, Orang Lebanon, berasal dari Nazareth. Ayahnya bernama Wadie. Ia adalah orang kelahiran Yerusalem. Seorang pedagang alat-alat tulis dan buku. Wadie mempunyai bisnis di Kairo, Mesir. Gambarannya tentang ayah dapat dilihat dalam kesan berikut ini:

“Kenyataan sejarah apapun yang telah terjadi, ayah telah menjadi figur dari kombinasi aneh antara kekuasaan dan otoritas, kedisiplinan rasional dan emosi yang tertekan; dan semua ini, kelak saya sadari, telah membebani hidup saya dan memberi efek yang baik, namun sekaligus menghambat dan melumpuhkan.”2

Dia mempunyai dua kakak perempuan bernama Jean dan Rocy. Ia juga mempunyai dua adik perempuan bernama Grace dan Joyce.

Pada tahun 1937, keluarga Edward kembali ke Kairo. Sebelum kelahiran Edward di Yerusalem, keluarga ini tinggal di Kairo. Karena pengalaman ibu Edward yang melahirkan dan ternyata bayinya meninggal, maka keluarga ini memutuskan melahirkan Edward di Yerusalem. Selama perang dunia, keluarga Edward bolak balik dari Kairo ke Palestina mereka tinggal di Yerusalem Utara, di Kota Ramallah.

1 Malise Ruthven. 2003. “Edward Said; Controversial Literary Critic and Bold Advocate of The Palestinian Cause in America” dalam The Guardian. Jumat, 26 September 2013.

2 Edward W. Said. 2000. Out of Place. New York: Vintage Book. Hlm. 19

1

Page 2: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

Ada tiga pengaruh dari masa kecilnya yang menyebabkan ia sungguh tertarik terhadap sastra. Pertama, Cerita-cerita tentang peri dan cerita Kitab Suci yang dibacakan rutin oleh nenek dan ibunya. Pada usia tujuh tahun ia diperbolehkan untuk membaca mitos-mitos Yunani. Kedua, Film-film yang diperbolehkan oleh orang tuanya pada masa kecilnya adalah film-film untuk anak-anak. Contohnya: film-film seribu satu malam dan film-film Walt Disney. Film Tarzan juga ia sukai pada masa-masa kecil dan remajanya. Ketiga, Ia juga menyukai konser di masa kecil dan remaja. Ia suka menghadiri konser-konser yang diadakan di Kairo.

Perjalanan pendidikannya di Kairo secara singkat adalah sebagai berikut. 1941- Mei 1942 ia masuk Gezira Preparatory School (GPS). Antara tahun 1942-1943 ia

meninggalkan Kairo sehingga berhenti sekolah. 1943-1946 ia kembali masuk ke sekolah ini. 1946 musim gugur, ia masuk ke Cairo School fo American Children 1949 ia masuk Victoria college

Hal yang menarik dari pendidikan Said adalah bahwa ia bersekolah dalam suasana multi-etnis dan multi-religius dalam komunitas Timur Tengah.3

Tiga hal menarik muncul sebagai kesadarannya ketika ia bersekolah di Kairo ini yaitu berkaitan dengan strata sosial, musik, dan agama. Demikian ia berujar berkaitan dengan strata sosial:

“Kairo pasca perang memberi saya perasaan tersendiri untuk pertama kalinya tentang strata sosial yang begitu dibedakan. Perubahan utama yang terjadi adalah tergesernya lembaga-lembaga Inggris dan penduduknya oleh orang-orang Amerika yang baru saja menang, kerajaan lama diambil alih oleh kerajaan baru...”4

Kisah hidupnya dalam olah musik berkaitan erat dengan upayanya untuk membaca realita kenyataan hidup sehari-hari.

“Hanya Beethoven yang paling mengilhami pengetahuan musik otodidak saya secara konsisten. Saya dianggap bukan pianis yang tepat untuk sonatanya (saya tidak menyukai Mozart), meskipun saya berkali-kali berusaha memainkan Sonata ‘Pathetique’ dan dalam proses itu mengembangkan rasa pembacaan yang berada di luar kemampuan saya.”5

Pendidikan Kristiani dengan ritus Timur mempengaruhi cara berpikirnya yang berbeda dengan Kristiani dengan ritus Barat.

“Saya bersikukuh untuk menjalani Komuni pertama pada minggu awal Juli 1949 dengan Bibi Nabiha, yang berdiri bersebelahan dengan saya di katedral itu. Fedden berada di sana namun hanya dengan peran yang kecil, sementara Uskup Allen memimpin upacara dalam sikap yang nyaris Oriental (lilin-lilin, doa-doa yang dilantunkan, salib-salib, lagu-lagu, organ dan koor, prosesi, dll)”6

Tahun 1951 pada umur 17 tahun, ia dikeluarkan dari Victoria College karena kenakalannya. Edward pindah ke Amerika dan masuk ke Princeton University dengan jurusan sejarah dan sastra Inggris. Ia mengatakan bahwa masa pendidikannya selama sebelah tahun hingga ia mendapat gelar doktoral dari Harvard.

Selama tahun 1958-1963, Ia menjadi mahasiswa Harvard Jurusan Sastra. Pergulatan intelektualnya terpengaruh gagasan para tokoh-tokoh filsafat besar. Hingga pada akhirnya ia menuliskan disertasi tentang Joseph Conrad. Ia menuliskan:

3 Stephen P. Sheehi. 2001. “Edward Said” dalam Encyclopedia of Postcolonial Studies. JOHN C.HAWLEY (Ed). London: GREENWOOD PRESS

4 Edward W. Said. 2000. Out of Place. New York: Vintage Book. hlm. 1285 ibid. hlm. 155

6 ibid. hlm. 225

2

Page 3: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

“Bacaan-bacaan seperti New Science dari Vico, History of Class Consciousness dari Lukacs, Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty, semuanya memperkaya disertasi saya tentang Conrad, di bawah bimbingan para dosen yang baik hati, yakni Monroe Engel dan Harry Levin.”7

Beberapa catatan karya dan kariernya dapat dilihat dalam daftar berikut ini: 1968, ia menuliskan artikel pertamanya tentang Arab dan Palestina dengan judul

“Arab Portrayed”. 1977 ia terpilih sebagai anggota dari Palestinian National Congress 1975-1976 mulai menuliskan gagasan dari buku Orientalism 1978 menerbitkan Orientalism 1981 menerbitkan Covering Islam 1989 menerbitkan The Question of Palestine 1980-an Said aktif dalam lobi politik di PLO untuk mengevaluasi strategi kebebasan

nasional. Selama periode ini dia adalah target yang jelas untuk gerakan Yahudi dan Zionis.

1990an setelah Ibunya meninggal, ia terkena penyakit leukemia. Pada masa inilah ia menuliskan Out of Place.

1993 ia menerbitkan Culture and Imperalism 1994 ia menerbitkan essay: Representations of the Intellectual 1995 ia menerbitkan The politics of Dispossession and Peace and Its Discontents 1998 Ia menjadi ketua Modern Language Association

Pada akhir hidupnya, ia masih menderita Leukimia. Pada tanggal 25 September 2003 di Amerika, Edward W. Said meninggal.

II. OrientalismeDalam bukunya Orientalism, Edward Said merekonstruksi ulang istilah Orientalisme.

Ada tiga definisi yang ia sebutkan dalam pengantar bukunya. Pertama, Orientalisme adalah suatu cara untuk memberi nama bagi dunia timur, berdasarkan tempat-tempat khusus di timur menurut pengalaman manusia Barat Eropa.8 Di sini, dipahami bahwa orientalisme dilihat oleh para akademisi barat yang melihat dunia timur. Kedua, Orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan ontologi dan epistemologi antara ‘timur’ dan (hampir selalu) ‘barat’.9 Istilah ini khusus dipakai oleh para akademisi di level universitas. Ketiga, Orientalisme dipahami sebagai sesuatu yang didefinisikan secara historis dan material dari pada kedua arti yang telah diterangkan sebelumnya. Dengan mengambil konteks akhir abad kedelapan belas sebagai suatu batasan titik tolak yang nyata, Orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum (corporate institution) yang berurusan dengan dunia Timur – berurusan dengannya berarti juga membuat istilah-istilah tentangnya, mempunyai kuasa atas cara pandangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menempatinya, mengaturnya: singkatnya, Orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai dunia timur.10 Di sini, dipahami bahwa dalam menggunakan istilah orientalisme sudah ada pengandaian adanya jalinan kekuasaan-kekuasaan yang kemudian perlu untuk ditelaah. Said menggunakan pemahaman ketiga ini untuk melanjutkan pembahasannya mengenai orientalisme.

Tujuan dari penulisan buku orientalisme adalah untuk menunjukkan bahwa budaya Eropa mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan menempatkan diri berhadapan dengan dunia Timur sebagai semacam pelindung.11 Hal ini dapat dipahami bahwa buku ini

7 ibid. hlm. 4618 Edward Said. 1978. Orientalism. London: Penguin Books. Hlm. 19 ibid. hlm. 210 ibid. hlm. 311 ibid. hlm. 3

3

Page 4: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

ingin menunjukkan bahwa upaya “barat” dalam menjelaskan “timur” adalah upaya untuk menerangkan diri mereka sendiri. Untuk bisa mencapai tujuan itu kemudian, Said menunjukan bagaimana ia mengumpulkan data-data:

“Argumentasi saya tidaklah berdasarkan pada banyaknya buku-buku tentang dunia timur yang dijadikan sumber bacaan, ataupun pada sejumlah terbatas buku-buku, pengarang-pengarang dan ide-ide yang bersama-sama membentuk Kitab orientalis. Alih-alih, saya mendasarkan diri pada alternatif metodologi yang berbeda – yang tulang punggungnya dalam suatu arti adalah seperangkat generalisasi sejarah yang sejauh ini telah saya kemukakan pada bagian depan, dan generalisasi inilah yang nantinya akan saya bahas secara lebih detil.”12

Ada tiga catatan yang perlu untuk disadari bagi orang yang merekonstruksi kembali Orientalisme a’la Said ini: Pertama-tama, perlu dipahami bahwa sangatlah salah jika menarik kesimpulan bahwa dunia timur pada dasarnya adalah sebuah ide, atau suatu ciptaan tanpa bertautan dengan realita. Pada tahap kedua adalah bahwa ide-ide, budaya-budaya, sejarah-sejarah tak mungkin mampu dengan jeli ditangkap atau dipelajari tanpa kekuatan, atau lebih tepatnya pembentukan dari kekuatan itu. Hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Dan yang ketiga, seseorang tak bisa menganggap bahwa struktur orientalisme tidak lebih daripada struktur kebohongan atau mitos-mitos belaka yang, seandainya kebenaran tentangnya diungkapkan, dengan mudah akan lenyap tertiup angin. Said sendiri yakin bahwa orientalisme ini khususnya lebih bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa atas Dunia Timur daripada sebagai wacana murni mengenai Timur (sebagaimana yang didakwakannya dalam bentuk akademis dan ilmiah).13

III. Orientalisme dan Wacana KolonialPada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana Ania Loomba memahami Orientalisme

dari Edward Said yang terpengaruh konsep “Wacana” dari Michel Faucoult. Orientalisme memakai konsep wacana untuk menata kembali studi kolonialisme. Buku ini menelaah bagaimana studi formal atas “timur” (yang sekarang di sebut timur tengah), bersama dengan naskah-naskah kunci literer dan kultural, mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat dan memikirkan yang kemudian membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Semua ini bukanlah bahan-bahan yang telah dibahas oleh para analisis tradisional tentang kolonialisme, tetapi kini bisa dilihat sangat penting dan sentral untuk pembentukan dan fungsinya masyarakat-masyarakat kolonial, berkat adanya buku orientalism dan perubahan perspektif-perspektif tentang ideologi dan budaya yang di jelaskan di atas. Dan said menjelaskan bahwa naskah-naskah tertentu itu diberi:

Otoritas akademis, lembaga-lembaga, pemerintah-pemerintah. Yang terpenting, naskah-naskah seperti itu bisa menciptakan bukan saja pengetahuan , tetapi juga realitas yang justru mereka paparkan itu. Pada waktunya nanti pengetahuan dan realitas menghasilkan suatu tradisi, atau yang disebut Michel Foucault suatu wacana , yang kewibawaan atau bobot materialnya itulah, bukan orisinalitas penulisnya, yang benar-benar bertanggung jawab untuk naskah-naskah yang dihasilkan darinya.14

Orientalism bisa disebut mengantarkan satu jenis studi baru atas kolonialisme. Said menyatakan bahwa penggambaran-penggambaran “timur” dalam naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan, dan tulisan-tulisan lain membantu terciptanya suatu dikotomi antara eropa dan” pihak-pihak lain”-nya, suatu dikotomi yang menempati posisi sentral dalam

12 ibid. hlm. 413 ibid. hlm. 5-614Edward Said. 1978. Orientalism. London: Penguin Books. Hlm. 94 bdk. Ania Loomba. 1998.

Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge. Hlm. 44

4

Page 5: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

pembentukan budaya Eropa, selain mempertahankan dan meluaskan hegemoni Eropa atas negeri-negri lain. Proyek said adalah untuk memperlihatkan “pengetahuan” tentang orang-orang non-Eropa yang adalah bagian dari proses mempertahankan kekuasaan Eropa atas mereka; itu jadi status “pengetahuan” didemistifikasi, dan batas-batas antara yang ideologi dengan yang objektif menjadi kabur. Jadi pengetahuan para Orientalis yang mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka, karena “studi” atas timur itu tidak objektif melainkan

suatu visi politis atas realitas yang strukturnya mengemukakan perbedaan antara yang dikenal (Eropa, Barat, “kita”) dan yang asing (Orient, timur,”mereka”), ketika orang menggunakan kategori-kategori seperti Oriental dan barat baik sebagai titik awal dan mau pun titik akhir dari analisis, riset, kebijakan publik maka hasilnya biasanya adalah memoralisasi perbedaan yang timur menjadi makin timur, yang barat semakin barat dan membatasi pertemuan manusiawi antara berbagai budaya tradisi dan masyarakat yang berbeda.15

Analisis wacana, seperti telah kita bahas sebelumnya, memungkinkan kita menelusuri hubungan-hubungan antara yang tampak dengan yang tersembunyi, yang dominan dengan yang marginal, gagasan-gagasan dengan lembaga-lembaga. Ini memungkinkan kita melihat bagaimana kekuasaan itu bekerja melalui bahasa, sastra, budaya, dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan kita sehari-hari. Dengan memakai definisi yang diperluas tentang kekuasaan ini, Said bisa meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas kolonial dan memperlihatkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan menghasilkan suatu ”wacana tentang Timur” yaitu dengan melahirkan struktur-struktur pemikiran yang terlihat dalam produksi literer dan artistik, dalam tulisan-tulisan politis dan ilmiah dan terutama, dalam penciptaan studi-studi Timur. Tesis dasar said adalah bahwa Orientalisme, atau “studi” Timur, akhirnya merupakan suatu visi politis tentang realitas yang strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang dikenal (Eropa, Barat, “kita”) dengan yang asing (Orient, Timur,”merdeka”).

Apa hubungan “Orientalisme” dengan kolonialisme dan pengetahuan?Kolonialisme membentuk kembali struktur-struktur pengetahuan manusia yang sudah

ada. Tidak ada cabang pengetahuan yang tidak disentuh oleh pengalaman kolonial. Prosesnya agak mirip dengan berfungsinya ideologi itu sendiri, dan sekaligus merupakan suatu kekeliruan gambaran tentang realitas serta penataan ulang-nya. Seperti ideologi, kolonialisme itu berasal dari ”keadaan-keadaan material” dan efek-efeknya material. Sebuah aspek penting dari proses ini adalah pengumpulan dan penataan informasi tentang tanah-tanah dan penduduknya yang dikunjungi, dan kemudian menjadi tunduk kepada, kekuasaan-kekuasaan kolonial. Pertualangan–pertualangan orang-orang Eropa abad kelima belas dan enam belas ke Asia, Amerika, dan Afrika bukanlah pertemuan-pertemuan pertama antara orang-orang Eropa dengan non-Eropa, tetapi tulisan-tulisan tentang periode ini memang menandai suatu cara pemikiran baru tentang, malahan memproduksi, kedua kategori rakyat ini sebagai lawan-lawan biner. Tulisan perjalanan merupakan sarana penting untuk memproduksi “konsepsi-konsepsi Eropa tentang dirinya yang berbeda dalam hubungan dengan sesuatu yang bisa disebutnya sebagai ’dunia selebihnya’ (Pratt, 1992:5;lihat juga, 1993).16

Penting untuk diingat bahwa produksi pengetahuan kolonialis bukanlah suatu proses sederhana. Proses ini tentu melibatkan konflik dengan, dan marginalisasi terhadap, sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan dari mereka yang ditaklukan, selain juga dengan pandangan-pandangan yang bertentangan di negara asal (Eropa). Tetapi, jika proses penaklukan itu menonjolkan keberutalan dan perbedaan kultural, maka bersamaan dengan itu proses ini juga merupakan suatu pengaburan terus- menerus posisi-posisi “murni” dari

15 Edward Said. 1978. Orientalism. London: Penguin Books. Hlm. 46-47, bdk. Ania Loomba. 1998. Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge. Hlm. 45-46

16 Ania Loomba. 1998. Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge. Hlm. 57

5

Page 6: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

“diri” dan “pihak lain”( seperti yang akan kita telaah dengan lebih terperinci dalam bagian tentang identitas-identitas kolonial). Pengetahuan-pengetahuan kolonialis dihasilkan juga melalui negosiasi dengan, atau pemasukan, gagasan-gagasan pribumi untuk memperoleh akses ke tanah-tanah ”baru” dan rahasia-rahasia mereka.17

Apa hubungan “Orientalisme” dan kolonialisme dan sastra?Objektifitas bukan satu-satunya dasar yang dipakai untuk mengklaim kepolosan

ideologis dan politis. Studi-studi literatur (atau paling tidak literatur yang baik) tidak ada kaitannya dengan perpolitikan, atas dasar-dasar bahwa yang pertama itu terlalu subjektif, individual, dan personal ataupun terlalu universal dan transenden untuk dipengaruhi. Karena itu, hubungan antara kolonialisme dan literatur tidak dibahas dengan kritik literer, sampai belakangan ini.18

Dalam dewasa ini, situasinya tampak membalik dengan cepat, dengan banyak, kalaupun bukan mayoritas, dari para penganalisis atas wacana kolonial berasal dari pendidikan, atau afiliasi(kerja sama) profesional dengan, studi-studi sastra. Ini tidak berarti bahwa keortodokan-keortodokan di dalam studi-studi literer telah hilang begitu saja: sering analisis-analisis atas kolonialisme, atau ras, seperti analisis-analisis atas gender, masih dianggap sebagai topik-topik “minat khusus” yang tidak banyak mengubah pengajaran dan riset dalam disiplin selebihnya. Meski demikian, perhatian belakangan ini terhadap hubungan antara sastra dengan kolonialisme telah memancing penilaian ulang yang serius atas masing-masing dari istilah-istilah ini.19

Naskah-naskah literer beredar dalam masyrakat bukan hanya karena nilai intrinsik mereka, tetapi karena mereka adalah bagian-bagian dari lembaga-lembaga lain seperti pasar, atau sistem pendidikan. Melalui lembaga-lembaga ini, mereka memainkan peran penting dalam membangun suatu otoritas kultural bagi para penjajah, baik di metropolis maupun di koloni-koloni. Namun, naskah-naskah literer tidak hanya mencerminkan ideologi-ideologi dominan, tetapi mengodekan ketegangan-ketegangan, kompleksitas, dan nuansa-nuansa di dalam budaya-budaya kolonial. Literatur adalah suatu “zona kontak” yang penting, memakai istilah Mary Louse Pratt, di mana “transkulturasi” terjadi dalam segala kompleksitasnya. Literatur yang ditulis baik oleh penjajah maupun oleh yang dijajah itu dalam prosesnya sering menyerap, mengambil, dan menulis, aspek-aspek dari budaya “lain”, menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas baru. Akhirnya , literatur juga merupakan sarana penting untuk ambil, membalikan atau menantang sarana-sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial.20

Kontak kolonial itu bukan hanya ”tercermin” dalam bahasa atau gambaran-gambaran naskah-naskah literer, bukan hanya latar atau “konteks”untuk pementasan drama-drama manusia, tetapi merupakan suatu aspek sentral dari apa yang dikatakan naskah-naskah ini tentang identitas, hubungan, dan budaya.21 Naskah-naskah literer penting bagi pembentukan wacana-wacana kolonial justru karena mereka bekerja secara imajinatif dan berpengaruh terhadap orang-orang sebagai individu-individu. Tetapi naskah-naskah literer tidak hanya mencerminkan ideologi-ideologi, atau berisi unsur-unsur yang bertentangan dengan ideologi-ideologi itu.22

IV. Orientalisme sebagai Buku Klasik Kajian Paska KolonialDi awal bab 4 “Edward said and his critics”, Gandhi mencoba mengulas Pandangan

Edward Said dalam Orientalism. Said menolak suatu relasi yang tidak mudah dengan Marxisme, khususnya postrukturalis dan anti humanis dalam memahami persinggungan

17 ibid. hlm. 6618 ibid. hlm. 6819 ibid. hlm. 69-7020 ibid. hlm. 70-7121 ibid. hlm. -7322 ibid. hlm. 74

6

Page 7: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

antara kekuatan kolonial dan pemahaman barat, dan keyakinan umum dalam warisan politik dan dunia atas intelektual paska kolonial. Bagian ini juga membicarakan konteks-konteks untuk memahami bagaimana buku ini bisa diterima sebagai warisan klasik paska kolonial yang membawa pengaruh besar bagi pembahasan akademis dan pembatasan teoritis.23

Leela Gandhi memperlihatkan empat tokoh yang memberi komentar terhadap Orientalisme-nya Edward Said. Pertama, Gayatri Spivak yang dengan jelas mengatakan bahwa buku karya Edward Said ini bisa dijadikan sumber primer melalui disiplin ilmu yang mendapatkan status termarjinalkan, seperti kutipan Gandhi atas Spivak: “pembahasan wacana kolonial, secara langsung dimulai dengan karya Said ini, telah menyebar ke berbagai tempat dimana kaum marginal bisa berbicara dan dibicarakan, bahkan berbicara untuk. Ini adalah hal penting dalam suatu disiplin ilmu saat ini.”24 Kedua, Zakia Pethak menyebutkan bahwa Said memberi kontribusi dalam bagiamana memahami teks sastra dengan men-dekonstruksi teks, menguji dan mengidentifikasikaan mitos-mitos imperialisme, dan hal itu ditunjukkkan dan dibangkitkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik dalam momentum sejarah.25 Ketiga, Partha Chaterjee, seorang sejarawan paska kolonial, mengatakan bahwa arah dari satu perjuangan anti-kolonialisme yang berhasil, banyak orang paham akan maksud orientalisme namun sangat sulit untuk merumuskan makna-maknanya secara tepat dalam suatu kalima.26 Keempat, Tim Brenann mengatakan kepada para pembenci/pencela Said bahwa disiplin keilmuan tersebut sangat penting dan memberi pemahaman inspirasi suatu ciri yang telah terjadi.27

Gandhi memperlihatkan bahwa ternyata Orientalisme adalah salah satu dari Trilogi yang dibuat oleh Edward Said. Kedua yang lain adalah Question of Palestina (1979) dan Covering Islam (1981). Orientalisme mempunyai latar belakang abad ke19 dengan Imperialisme Inggris dan Perancis. Sedangkan kedua buku yang lain berbicara tentang bahaya laten imperialisme dalam relasi antara Zionisme dan Palestina dan antara Amerika dan dunia islam.28

Dalam bukunya Culture and Imperalism, Edward Said menyatakan: “Imperialisme ataupun kolonialisme merupakan tindakan sederhana mengakumulasi dan merebut. Keduanya didukung dan mungkin juga dipaksa dengan suatu formasi ideologis yang menyertakan gagasan-gagasan tentang wilayah dan orang membutuhkan dan memohon kekuasaan, seperti juga bentuk bentuk pengetahuan yang bergandengan dengan kekuasaan.”29

Tidak bisa dipungkiri apa yang dikatakan Edward Said dalam bukunya berjudul Orientalisme mendapatkan posisi fenomenal atas nilai imperatif politik dan sosial yang mendunia. Dalam bukunya Culture and imperialisme, ia mengatakan bahwa meskipun teks-teks tersebut mendunia dan bisa dijadikan master piece, sikap sikap struktural menjadi referensi umum terhadap indikasi kemungkinan-kemungkinan akan batasan-batasan struktural itu sendiri.30

Lain halnya Raymod Williams yang mengungkapkan bahwa teks-teks yang indikatif dan subjunktif, hal tersebut dirangsang secara sosial dan politik dalam tatanan sosial, atas batasan-batasan dalam bentuk dan isi produksi ideologi yang sederhana tersebut mendapatkan pencerahan. Bagi Edward Said, kritik Raymond yang adalah kritikus dunia akademik, seperti masa otoriter dan negara yang kapitalis, contoh Stalin, dan juga kegagalan teori marxis 1968.31 Akhir 1970 dianggap momen bahwa para anti marxis itu salah jalan,

23 Leela Gandhi. 1998. Postcolonial Theory Critical Introduction. Sydney: Allen & Unwin. Hlm. 6424 ibid. hlm. 6525 ibid. hlm. 6526 ibid. hlm. 6627 ibid. hlm. 6628 ibid. hlm. 6629 ibid. hlm. 6730 ibid. hlm. 6831 ibid. hlm. 69

7

Page 8: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

sentimentil terhadap kaum dunia ketiga, karena bagi Said hal tersebut menunjukkan batasan-batasan tekanan hubungan marxis dengan historis, postrukturalisme dengan dunia ketiga yang harus dilawan batasan-batasan formal tersebut secara struktural.32 Bagi said hal tersebut merupakan kegagalan radikal dari penggolongan marxisme karena ketidakmampuan mereka untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan politik khusus bagi dunia yang terjajah.

V. Orientalisme di Jawa dalam Perdebatan tentang Wayang sebagai Pembentuk Identitas Bangsa

Edward Said memang memberi fokus utama pada perilaku imperial Inggris, Perancis dan Amerika, tetapi argumennya bisa diperluas juga kepada perilaku kolonial di Hindia Belanda (Indonesia) dan khususnya perilaku Belanda terhadap Islam. Bagian ini ingin memperlihatkan sebuah contoh khusus diskursus orientalis dalam tegangan kekuatan yang mempengaruhi representasi Eropa dan Jawa atas sastra Jawa dan tradisi sejarah.33

Dengan mengutip Ahmad Aijaz, Laurie Sears melihat bahwa Orientalism mengkaji teks-teks sejarah dunia barat berhadapan dengan dunia timur yang terisolasi berhadapan dengan bagaimana teks itu diterima, disetujui, dimodifikasi, ditantang, dibuang dan kembali diproduksi oleh para cendekia negara-negara koloni. Sears memfokuskan diri pada bagaimana tindakan-tindakan para bangsawan lokal dan para cendekia sebagai “agen-agen sosial yang disituasikan” yang terdorong oleh logika dan kebutuhannya, dan bagaimana aktifitas mereka terjegal, terhalangi atau kadang kala dihubungkan dengan usaha Belanda untuk merepresentasikan dan mengkontrol produksi sastra dan sejarah Jawa.34

Pada tahun 1920an dan 1930an, para penulis dan pemerhati Jawa memperlihatkan bahwa wayang dan kisah-kisahnya tersampaikan dengan cara mistik karena nilai-nilai yang berada dalam mistisisme itu oleh kelompok-kelompok kaum intelektual Jawa dan Belanda terpengaruh pemikiran teosofi. Perwakilan kunci yang berperan dalam wayang pada tahun 1930an ditulis dalam bahasa Belanda oleh para ilmuwan, pegawai militer, bisnisman, dan Mangkunegara VII, raja wilayah kecil di Kota Solo, Jawa Tengah. Pangeran ini sangat terpengaruh dengan gagasan teosofi Belanda. Ia menganjurkan supaya setiap pertunjukan wayang di jawa menunjukkan sebuah pencarian spiritual atas pengetahuan mistik.35

Kebangkitan dan secara bersamaan hilangnya kesadaran nasionalisme Jawa diganti nasionalisme pan-Hindi yang kemudian tercermin dalam Proklamasi kemerdekaan indonesia tahun 1945 berkait dan dengan hikayat mahabarata, pemikiran teosofi, dan gagasan tentang subjektifitas manusia yang dibawa ke Jawa dalam kebangkitan politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Berkaitan dengan subjek manusia otonom ini, tentu saja ada pengaruh dari liberalisme Eropa pada abad ke-19 yang mempertanyakan subjek manusia yang otonom dan gagasan perkembangan pada abad ke-19. Gagasan para pengikut Freud bahwa individu-individu sedikit banyak dikontrol oleh Id otonom daripada pemikiran-pemikiran yang ada. Sekali lagi bahwa bagian ini menunjukkan bagaimana kaum intelektual Jawa bernegosiasi berkaitan dengan perubahan subjektifitas mereka dan munculnya identitas nasional melalui keterhubungan mentalitas Jawa dan Belanda dalam diskursus modernitas.36

Teosofi dan Nasionalisme JawaBeberapa intelektul bangsa mendapatkan pengaruh yang cukup kuat dari teosofi.

Mereka antara lain: Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, H.S. Tjokroaminoto, dan Soekarno. Mereka mendapatkan pengaruh gagasan teosofi dari seorang Teosofis Belanda,

32 ibid. hlm. 7033 Laurie J. Sears. 2005. “Intellectuals, Theosophy, and Failed Narratives of the Nation in Late Colonial Java.”

dalam A Companion to Postcolonial Studies. Henry Schwarz and Sangeeta Ray (ed). Oxford: Blackwell Publishing. Hlm. 333

34 ibid. hlm. 333-33435 ibid. hlm. 33436 ibid. hlm. 355

8

Page 9: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

D. van Hinloopen Lambberton dan istierinya. Hinloopen adalah Presiden dari Indies Theosophical Society dari tahun 1912-1913. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan teosofi itu? Ricklefs menyebutkan bahwa Teosofi adalah salah satu di antara gerakan-gerakan yang menyatukan Elite jawa, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Belanda pada masa itu, dan sangat berpengaruh di kalangan banyak anggota Budi Utomo.37

Sebagai suatu gerakan keagamaan, Teosofi mulai pada tahun 1875 di Amerika dan secara cepat menyebar di Eropa dan Australia. Para perempuan yang berpengaruh dalam gerakan ini adalah: 1) Helena Blavatsky, 2) Anne Besant, 3)Dan Alice Bailey. Dikisahkan bahwa para pemimpin ini kemudian berkelana hingga ke Australia dan India. Krishnamurti dari India terpengaruh dengan aliran pemikiran ini.

Ajaran teosofi sendiri adalah sebuah gabungan dari beberapa agama-agama dunia dan menekankan pada toleransi terhadap seluruh praktek-praktek keagamaan.38 Ramayana dan Mahabarata menjadi teks-teks kunci bagi para teosofis, khususnya bagian Bhagavad Gita yaitu kisah legenda pencerahan Arjuna oleh Krisna sebagai inkarnasi dari Tuhan pada saat Perang Kurusetra.

Di sisi lain, Teosofi adalah suatu produk dari Darwinisme Sosial yang kemudian menjadi gerakan keagamaan; hidup manusia bertujuan diarahkan pada suatu rancangan evolusi dimana 7 Akar Bangsa atas kemanusiaan mengarah pada kesempurnaan. sempurna. Tanah Atlantis yang hilang memainkan peranan penting dalam pemikiran teosofi, mewakili tahap terakhir dari keagamaan manusia dan perkembangan mistis dan rumah dari keempat akar bangsa. Bangsa Arya berasal dari Indo-Eropa Kuno dipercayai sebagai Akar Ras yang kelima. Dan Orang Pribumi Hindia, adalah akar ras yang keempat.

Di Jawa, situasinya sedikit berbeda. Ketika Para Teosofis Belanda bertemu dengan kisah-kisah Ramayana dan Mahabarata orang-orang Jawa, mereka menyadari bahwa orang-orang Jawa adalah juga mewarisi pengajaran-pengajaran mistik. Sebagian besar orang-orang Jawa adalah anggota dari Akar Bangsa yang keempat, suatu bangsa yang mampu mengembangkan inti chakra, memusat pada rasa perasaan (roso?), tetapi terbatas dalam perkembangan mental mereka jika dibandingkan dengan para anggota Akar Bangsa kelima, Bangsa Arya.

Beberapa anggota dari kelompok sumarah menempatkan bahwa orang-orang Jawa adalah anggota dari Akar Bangsa keempat dan hanya bisa mencempai perkembangan dari rasa atau perasaan. Sedangkan orang-orang Euroamerika yang belajar dalam kelompok adalah anggota akar Bangsa kelima dan mencapai kesempurnaan intelektual atau budi. Dalam gagasan teosofi, semua anggota dari kelompok-kelompok bangsa yang berbeda ini mempunyai perbedaan pula dalam kecepatan dalam evolusi. Sangat mungkin bahwa satu orang bisa melampaui orang lain dengan cepat.39

Ketika Mevr. C. Van Hinloopen Labberton menuliskan pemikirannya atas Wayang Jawa, ia percaya bahwa ia melihat suatu bukti kontak Jawa Kuno dengan pengetahuan tertinggi. Perjumpaan ini membawa pada jaman pemujaan Shiva dan kerajaan-kerajaan Budha sebelum periode Islam, ketika koloni-koloni bangsa India dipercaya membawa peradaban tingginya ke Jawa. Di sini wayang menjadi semacam sarana ke arah pengetahuan yang lebih tinggi, sebuah akses ke arah kebijakan kuno yang kabur. Hanyalah orang-orang Jawa yang mendapatkan pendidikan Belanda mulai sadar adanya potensi atas tradisi-tradisi bangsa Jawa, dasar dari nasionalisme Jawa dengan pembentukan BU pada tahun 1908.40

37 M.C. Ricklefs. 1981. A History of Modern Indonesia. Hlm. 15738 Laurie J. Sears. 2005. “Intellectuals, Theosophy, and Failed Narratives of the Nation in Late Colonial Java.”

dalam A Companion to Postcolonial Studies. Henry Schwarz and Sangeeta Ray (ed). Oxford: Blackwell Publishing. Hlm. 337

39 ibid. hlm. 33840 ibid. hlm. 337-338

9

Page 10: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

Wacana tentang wayang dianggap merosot, maka wacana ini harus dipulihkan lagi; pemulihan ini harus dilakukan dalam cara “modern” melalui pembangunan sekolah-sekolah bagi dalang; pemulihan tradisi yang baru kemudian digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan masyarakat Jawa yang dibutakan oleh berbagai ritual di pedesaan- seperti wayang- dan keterkaitan mereka yang salah terhadap Islam. Suatu susunan tradisi wayang baru mungkin bisa membantu untuk menolong para petani jawa yang belum bisa sepenuhnya memahami Islam berhadapan dengan suatu identifikasi tradisi-tradis non-islam yang lampau, dan mengajak mereka memasuki masa depan “modern”.

Walaupun demikian pada tahun 1913, Tjipto Mangoenkoesoemo menunjukkan bahwa tidak hanya teosofi yang mengubah cara pandang dan cara berbicara orang-orang Jawa berkaitan dengan tradisi wayang di Jawa Tengah pada era abad 20.

Pendidikan dan PengasinganDalam pembicaraan dan debat panjang tentang wayang pada era 1920an dan 1930an,

ternyata para Nasionalis Jawa mempunyai inisiatif memperluas gagasan tentang wayang dan memanipulasi pertunjukan wayang dan kisah-kisahnya.

Sears mengutip Kenji Tsuchiya dan Takashi Shiraishi untuk memperlihatkan latar belakang dari wayang purwa sebagai posisi dasar. Wayang dalam karya para cendekia menjadi sinonim dari budaya jawa, mengilustrasikan gagasan-gagasan dasar tentang konsep-konsep kekuasaan Jawa. Sears mengemukakan bahwa gagasan tentang wayang sebagai inti dari budaya jawa adalah suatu hasil dari jalinan antara pandangan estetik dan agenda-agenda intelektual Jawa dan Belanda yang menyebabkan dan disebabkan oleh diskursus modernitas.41

Ketika menempatkan wayang sebagai inti dari budaya jawa, para nasionalis menggunakan wayang untuk berbicara tentang politik di hadapan pemerintah Belanda. Dalam artikel yang ditulis oleh Tjipto Mangoenkoesoemo berjudul “De Wajang” dalam De Indische Gids, yang dipublikasikan di Belanda tahun 1914, Ia menempatkan diri di dalam dan di luar cara pandang dunia wayang dan mulai berbicara tentang wayang dalam cara yang baru. Shiraishi melihat bahwa Tjipto melihat dirinya sebagai Satria Jawa. Berbicara tentang wayang, Tjipto kemudian dianggap menjadi dalang. Ia melepaskan diri dari cengkeraman dunia wayang itu sendiri. Dengan sungguh cerdas, ia membawa pembaca Belandanya ke dalam etnografi dan kemudian suatu diskursus teosofi mistik atas wayang sebagai gambaran Ada yang melampaui, kedalaman hidup, kesakitan dan kesengsaraan.42 Dia menuliskan:

“...Wayang adalah suatu ciptaan asli orang Jawa dan telah dimunculkan sebagai pertunjukan di Keraton Daha kurang lebih tahun 800, diperbaharui pada tahun 1500 oleh Sunan Kali Jaga, seorang misionaris Islam. Tepat karena ini adalah suatu ciptaan dari orang-orang Jawa, melalui hal ini seseorang bisa mempelajari suatu keselarasan terhadap kedalam hidup orang-orang Jawa. Masyarakat Teosofi cabang Hindia Belanda melakukan peran yang tepat dengan menambahkan (Peran india) Sakuntala dan menuliskan hasil dari penelitian.”

Dua hal yang penting di sini: Pertama, Tjipto telah membaca para ilmuwan belanda berkaitan dengan wayang, khususnya gagasan Hazeu tentang orang Jawa, daripada mengambil gagasan dari India, Keaslian dari pertunjukan wayang. Kedua, ia memuji pengaruh dan usaha masyarakat teosofi untuk memberi kontribusi terhadap wayang dengan makna mistik yang baru yang menafsirkan kembali rajutan wayang Jawa dengan ajaran sufi islam.43 Wayang adalah inti dari budaya Jawa dan sebuah jendela dimana orang luar mampu memahami jiwa Bangsa Jawa.

Pada awalnya keyakinan orang jawa tentang wayang berhubungan dengan dengan ajaran mistik sufi. Perubahan yang terjadi pada tahun 1920an atau 1930an adalah bahwa

41 ibid. hlm. 34042 ibid. hlm. 34143 ibid. hlm. 342

10

Page 11: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

Kekuatan yang tersembunyi diinterpretasikan dalam istilah-istilah mistikal-religius Hindu-Budha karena pengaruh dari teosofi. Pada tahun 1950an dan khususnya 1960an, kekuatan tersembunyi diinterpretasikan dalam istilah politik partai pada masa itu.44 Telaah Tjipto tentang wayang adalah juga kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Orang-orang Belanda sebagai danawa, raksasa, orang sabrang dimana para satria harus memeranginya.

Teosofi dan WayangPada tahun 1919, Java Institute didirikan di Batavia. Pada tahun 1923, dibuka sekolah

pertama bagi para dalang di Solo. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan gaya pertunjukkan wayang. Hal ini menandakan bagaimana pendidikan Belanda terhadap kaum elite Jawa mengadopsi evaluasi para cendekia Belanda berkaitan dengan tradisi-tradisi wayang mereka. Mevr. Hinloopen Labberton dan Tjipto Mangoenkoesoemo adalah yang pertama menyuarakan cara baru untuk membicarakan tentang wayang melalaui tulisan mereka pada tahun 1912 dan 1914. Hinloopen Labberton memunculkan hubungan-hubungan utama yang kemudian menjadi perbincangan para akademisi tentang wayang di abad 20: ia menghubungkan wayang Jawa, Bhagavad Gita, dan pengetahuan-pengetahuan rahasia yang membingkai jargon teosofi. Apa yang sebenarnya ia singkiri? Tak lain daripada Islam Jawa. Ia menunjukkan bahwa wayang adalah bagian dari hidup rasial, seperti halnya hidup moral masyarakat Jawa. Ia menyimpulkan:

“sebagai bangsa Jawa sangat mungkin sekarang telah merosot, bentuk-bentuk baru yang telah ditambahkan ke wayang adalah sesuatu yang lebih rendah dari pada yang asli.”45

Tjipto Mangoenkoesomo dan Soetatmo Soeriokoesoemo sedikit bertentangan. Tjipto Mangoenkoesomo menerima gagasan teosofi yagn dibawa oleh Hinloopen tetapi ia menolak gagasan tentang rasial. Ia menggunakan pembahasan tentang wayang untuk tujuannya sendiri. Ia menerapkan Bhagavad Gita dalam perang Diponegoro. Soetatmo menganggap bahwa wayang adalah suatu pertunjukan bangsa yang sakral. Ia juga mencoba menghubungkan ajaran teosofi dengan padnangan negara bangsa di Jawa.

Dengan demikian perdebatan gagasan mengenai individualitas dan identitas orang jawa dalam wayang dalam dirumuskan demikian:

“Nasionalisme Bangsa jawa didasarkan pada individualitas orang jawa, pada kepribadian orang jawa, dan memperoleh makna-makna nasionalisme yang lain dari barat, yang datang dari kecintaan terhadap tanah air. Nasionalisme oran gjawa tak bisa dipisahkan dari budaya orang jawa dan tak mungkin dalam kontradiksi dengan teosofi, dimana harus menandakan yang ilahi. Nasionalisme tertinggi hanya dapat dicapai dalam kealamian, pemahaman dan dapat dirasakan mellaui segala hal yang mendekatkan dengan jantung budaya jawa.”46

Seperti Soetatmo, Mangkunegaran mengadopsi pendekatan Orientalis Belanda terhadap Misteri dan eksotik Jawa, walaupun pendengar Soetatmo bukanlah cendekiawan Belanda tetapi orang muda Jawa. Mangkunegara memperkenalan gagasan R.M. Ir. Sarsita yang membedakan dengan jelas antara magic dan mistisisme. Magic mengacu pada takhayul dan evolusi yang rendah. Mistisisme lebih menyuarakan diskursus tingkat tinggi pemikiran teosofis.

Mangkunegaran mencoba menghubungkan wayang dengan teks-teks suci India dan juga puisi-puisi Belanda dan juga inti dari budaya eropa. Mangkunegara menyatakan bahwa gagasan Noto Soeroto menghubungkan kebijaksaan wayang dengan pandangan filsafat Plato, yagn menganggap bahwa dunia ini adalah refleksi dari dunia idea. Dengan demikian kini kebijaksanaan dalam wayang dihubungkan dengan gagasan platonic.

44 ibid. hlm. 34245 ibid. hlm. 34546 ibid. hlm. 349

11

Page 12: Paper Edward Said Tentang Orientalisme

Seluruh Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa Sears ini menganalisis kemunculan cara pandang dan berbicara secara baru berkaitan dengan wayang Jawa dan menelaah pembentukan subjektivitas baru jawa melalui pengaruh dari teosofi, pengasingan, dan imajinasi. Kesimpulan yang bisa ditarik dari perdebatan di atas adalah bahwa konstruksi identitas bergerak antara otonomi dan gagasan subjektifitas kolonial. Demikianlah, gagasan orientalisme mendarat dalam perdebatan-perdebatan sengit di tanah koloni.

Daftar Pustaka

Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory Critical Introduction. Sydney: Allen & Unwin

Malise Ruthven. 2003. “Edward Said; Controversial Literary Critic and Bold Advocate of The

Palestinian Cause in America” dalam The Guardian. Jumat, 26 September 2013

Laurie J. Sears. 2005. “Intellectuals, Theosophy, and Failed Narratives of the Nation in Late

Colonial Java.” dalam A Companion to Postcolonial Studies. Henry Schwarz and Sangeeta

Ray (ed). Oxford: Blackwell Publishing

Loomba, Ania. 1998. Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge

Ricklefs, M.C.. 1981. A History of Modern Indonesia. London: The Macmillan Press

Said, W. Edward. 1978. Orientalism. London: Penguin Books

Said, W. Edward. 2000. Out of Place. New York: Vintage Book

Sheehi, P. Stephen. 2001. “Edward Said” dalam Encyclopedia of Postcolonial Studies. John. C. Hawley (Ed). London:

Greedwood Press

12