paper bali

59
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI Makalah ini disusun sebagai tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur 1 Semester 1 Tahun Akademik 2010/2011 Disusun oleh : Andriany Eka Yovita / 052.10.005 Chaulla Jawwas / 052.10.013 Farisa Wirawan / 052.10.019 Dosen : S. Handjajanti, Ir, MT JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Upload: yovie888

Post on 01-Jul-2015

2.195 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: PAPER BALI

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Makalah ini disusun sebagai tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur 1

Semester 1 Tahun Akademik 2010/2011

Disusun oleh :

Andriany Eka Yovita / 052.10.005

Chaulla Jawwas / 052.10.013

Farisa Wirawan / 052.10.019

Dosen :

S. Handjajanti, Ir, MT

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

2011

KATA PENGANTAR

Page 2: PAPER BALI

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk

menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan kepada dosen pembimbing

dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah

ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak

kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-

teman.

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ….………………………………………….....................................

Page 3: PAPER BALI

Daftar Isi ………………………………………………………………...................

BAB I Pendahuluan …………………………………………....................

BAB II Isi ..........……………………………………………………………

BAB III Kesimpulan dan Saran

…………………………………………………….

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………..

BAB I

PENDAHULUAN

Page 4: PAPER BALI

A. Latar Belakang Masalah

Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan

alamnya yang mengeras ke dalam bentuk-bentuk penggunaan dengan ragam

hias yang dikenakannya. Benda-benda alam yang diterjemahkan ke dalam

bentuk- bentuk ragam hias, tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai

agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang

harmonis. Bentuk-bentuk hiasan, tata warna, cara membuat dan penempatannya

mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan bentuk dalam pola-pola

yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari bangunan

atau elemen-elemen yang memerlukan hiasan.

Ciri-ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih

menampahkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai

keindahannya. Dalam pengertian tradisional, bumi terbentuk dari lima unsur yang

disebut Panca Mahabuta, apah (air/zat cair), teja (sinar), akasa (udara), pertiwi

(tanah bebatuan/zat padat), unsur-unsur tersebut melatar belakangi perwujudan

bentuk- bentuk hiasan.

B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Sejaah Arsitektur 1 tahun ajaran 2010/2011.

2. Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini

adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan

informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar

atau pedoman. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai studi pustaka diperoleh

dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun situs – situs yang di internet.

D. Sistematika

Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :

Page 5: PAPER BALI

1. BAB I merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan latar

belakang, tujuan, metode pengumpulan data, landasan

teori dan sistematika penulisan makalah.

2. BAB II merupakan bagian pembahasan yang menguraikan

masalah yang dibahas berdasarka data dan informasi yang

diperoleh dari berbagai sumber.

4. BAB III merupakan bagian kesimpulan dan saran

BAB II

ISI

Page 6: PAPER BALI

2.1 KONSEP-KONSEP DASAR ARSITEKTUR BALI

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang

mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga

Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala

Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu

Konsep proporsi dan skala manusia

Konsep kejujuran bahan bangunan

KONSEPSI BUDAYA TRADISIONAL BALI

Keberadaan manusia pada hakekatnya, terwujud sebagai manusia bersifat sosial

dan manusia yang berbudaya, berbagai kondisi obyektif dan perjalanan historis

mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan sistem sosial dan sistem

budayanya secara khas, seperti misalnya sistem sosial Bali sebagai salah satu

sistem sosial budaya Indonesia, diantara kebhinekaan sistem sosial yang ada di

Indonesia. keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang

digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan dan pengalamannya,

serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya

kelakuan. (Astika, 1986:4). Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan

pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur

kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau

ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16). Sedangkan Meganada (1990:44),

menjelaskan budaya Bali tidak bisa lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang

mempunyai tiga unsur kerangka dasar (tatwa, susila, upacara) bagi umatnya untuk

mencapai tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam Weda; “Moksartham Jagadhita

Ya Ca Iti Dharma”. Dalam kehidupan sehari-hari dalam pembiasan-pembiasan yang

berhubungan dengan tatwa, susila, upacara, lebih mengarah pada perwujudan untuk

mencapai hubungan yang harmonis manusia (bhuana alit) dengan Tuhan Yang

Maha Esa (bhuana agung), melahirkan suatu adat yang banyak mencakup aspek

kehidupan berupa konsepsi-konsepsi.

Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai

bhuana alit dengan bhuana agung (alam semesta). Dalam kehidupan sehari-hari

Page 7: PAPER BALI

konsepsi ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin pada wadah

interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tesebut (Kaler,

1983:44). Konsepsi Tri Angga yang mengatur susunan unsur-unsur kehidupan

manusia di alamnya/lingkungan fisik, yaitu; utama angga, madya angga, dan nista

angga. Dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tata nilai rumah

maupun desa. Suatu adat atau kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya

keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama dalam

perhitungan ergonomis dan estetika bentuk bangunan adalah konsepsi Asta Kosala-

Kosali dan Asta Bumi. Dapat disimpulkan rumah arsitektur tradisional Bali yang

memiliki konsepsi- konsepsi yang dilandasi agama Hindu, merupakan perwujudan

budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma

agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan.

Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak,

dan sekehe (Bappeda, 1982:30). Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan

wilayah disebut desa adat. Konsep desa di Bali memiliki dua pengertian, yaitu desa

adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah

Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu, yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga

yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan tersendiri serta berhak

mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah

konsep Tri Hita Karana.

FILOSOFI PERUMAHAN PERMUKIMAN

TRADISIONAL BALI

Terwujudnya pola perumahan

tradisional sebagai lingkungan buatan sangat

terkait dengan sikap dan pandangan hidup

masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi-sendi

agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem

religi yang melandasi aspek-aspek kehidupan.

Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam

penataan lingkungan buatan, yaitu terjadinya

implikasi agama dengan berbagai kehidupan

Bhuana agung (alam semesta) yang

Page 8: PAPER BALI

sangat luas tidak mampu digambarkan oleh

manusia (bhuana alit), namun antara keduanya

memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita

Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai

cerminan. Konsepsi Tri Hita Karana dipakai

dalam pola perumahan tradisional yang

diidentifikasi; Parhyangan /Kahyangan Tiga

sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai

unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah

sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44).

kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos),

dalam kaitan ini bhuana agung adalah

lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit

adalah manusia yang mendirikan dan

menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990).

Manusia (bhuana alit) merupakan

bagian dari alam (bhuana agung), selain

memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama,

juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi.

Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah,

senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras

seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).

Rahim sebagai tempat yang memberikan

kehidupan, perlindungan dan perkembangan

janin tersebut, demikian pula halnya manusia

berada, hidup, berkembang dan berlindung pada

alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan

konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu

pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan

buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu

Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang

utuh, yaitu: Tri Hita Karana.

Konsepsi Tri Hita Karana melandasi

terwujudnya susunan kosmos dari yang paling

Page 9: PAPER BALI

makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal

yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam

alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan

Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga

alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta.

Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah

parhyangan (pura desa), tenaga adalah

pawongan (masyarakat) dan jasad adalah

palemahan (wilayah desa). Demikian pula

halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan

(pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga

banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah

banjar). Pada rumah tinggal jiwa adalah sanggah

pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni

dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada

manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah

sabda bayu idep dan jasad adalah stula

sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri

Hita Karana dalam susunan kosmos, dapat

dilihat dalam Tabel 1.

2.1.1 Konsep HIrarki Ruang (Tri Loka atau Tri Angga)

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya).

Tri Hita Karana  adalah konsep tentang tiga sumber kebahagiaan atau keselamatan,

di mana Tri berarti tiga, hita berarti senang, gembira, bahagia, lestari, dan Karana

berarti sebab atau sumber. Konsep Tri Hita Karana adalah kebahagiaan akan

tercipta melalui keseimbangan antara tiga buah unsur, yaitu (1) Atma: jiwa; (2)

Khaya: tenaga; (3) Angga: fisik. Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau

area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali menjadi tiga komponen atau

zone:

Page 10: PAPER BALI

Nista (bawah, kotor, kaki),

Madya (tengah, netral, badan) dan

Utama (atas, murni, kepala)

Hubungan antara rumah tinggal tradisional Bali Madya dengan pemilik atau

penggunanya, dalam konsep arsitektur tradisional Bali adalah identik dengan

hubungan manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan

makrokosmos (bhuwana agung).

Makrokosmos adalah ruang vertikal Tri Loka, yang terdiri dari Swah Loka (alam

atas), Bwah Loka (alam tengah), Bhur Loka (alam bawah). Kesetaraannya dengan

manusia sebagai unsur mikrokosmos, dijabarkan dengan tiga struktur tubuh (Tri

Angga) yang terdiri dari: Kepala, badan, dan kaki.

Sedangkan dalam arsitektur rumah tinggal, Tri Angga adalah: Bagian kepala

merupakan atap bangunan; Struktur badan adalah tembok dinding dan tiang (saka)

bangunan; Bagian kaki adalah lantai, bebaturan dan pondasi bangunan. Hubungan

harmonis antara manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan rumah

sebagai unsur makrokosmos (bhuwana agung) adalah pada saat membuat ukuran-

ukuran bangunan yang menggunakan metrik pemilik yang mempergunakan

bangunan.

Penerapan konsep Tri Angga pada pola ruang pemukiman, yaitu di teritorial

rumah tinggal dan bangunan arsitektur adalah sebagai berikut:

(1) Dalam tata ruang area rumah tinggal, utama angga adalah pelataran

pemerajan atau tempat sembahyang yang dianggap suci, madya angga adalah

lokasi massamassa bangunan tempat tinggal, nista angga adalah teba, yaitu area

kandang hewan, tempat pembuangan sampah/kotoran rumah tangga lainnya.

(2) Pada bangunan, utama angga atau yang dianggap kepala adalah bagian

atap (rab), madya angga adalah “badan” bangunan (pengawak), dan nista angga

adalah “kaki” bangunan (bebataran).

Pada bidang vertikal, seperti pada bangunan dan manusia, dengan mudah dilihat

bahwa utama angga adalah bagian atas (kepala), madya angga adalah bagian

tengah (badan), dan nista angga adalah bagianbawah (kaki).

Page 11: PAPER BALI

Tetapi pada bidang horisontal, pembagian zone utama, madya dan nista didasari

bukan oleh sumbu hierarki yang vertikal, tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi

kosmologis. Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan

bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) berorientasi pada

lintasan terbit dan terbenamnya matahari dengan arah kangin sebagai nilai

utama (arah terbitnya matahari) dan arah kauh sebagai nilai nista (arah

terbenamnya matahari), sedangkan nilai Madya ada di tengahnya.

Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut).

Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan

menempati letak di baian Kaja (utara) mengarah ke gunung seperti : letak

pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala

sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati

letak bagian kelod (selatan), seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat

pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya

Zone yang dianggap bernilai utama adalah arah kaja (menghadap gunung) dan

Page 12: PAPER BALI

kangin (Timur sebagai arah terbitnya matahari–sumber kehidupan), dan zone yang

dianggap nista atau bernilai rendah adalah arah kelod (menghadap laut) dan kauh

(Barat).

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi

kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala yang akan dibahas pada subbab

berikutnya. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur,

merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali.

2.1.2 Catuspatha

Catuspatha adalah konsep ruang kosong di tengah-tengah pertemuan

sumbu orientasi kosmologis (kaja-kelod) dan tata nilai ritual (kangin-kauh) pada pola

ruang masyarakat tradisional Bali. Area pertemuan sumbu kaja-kelod dan kangin-

kauh di tengah-tengah dibiarkan kosong karena nilai pusat dianggap kosong

(pralina) sebagai simbol pusat kekuatan yang Maha Sempurna.

Penerapan konsep catuspatha pada pola ruang area rumah tinggal tradisional Bali

adalah adanya ruang kosong (halaman tengah/inner court) di tengah-tengah sebagai

area pertemuan sumbu kaja-kelod-kangin-kauh, yang pada area rumah tinggal

disebut natah. Karena area pusat ini dinilai paling tinggi sebagai simbol yang Maha

Page 13: PAPER BALI

Sempurna, maka semua bangunan di zone arah kaja-kelod-kangin-kauh dibuat

menghadap area tengah. Di masing-masing sudut perempatan, disediakan tanah

kosong (Karang Tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai “ruang terbuka

hijau”. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang Desa.

Gambar 5.7 : Aplikasi konsep Catuspatha pada bangunan rumah tinggal Bali Madya

2.1.3 Konsep Orientasi Kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala

Konsep sangamandala adalah pengembangan dari kombinasi konsep Tri Angga

dan Catuspatha. Konsep sangamandala adalah pembagian ruang ke dalam 9 zone

yang lahir dari aplikasi konsep Tri Angga dalam bidang vertikal dan horisontal, di

mana ruang di tengah-tengah sebagai pusat dan simbol sumber kekuatan dibiarkan

Page 14: PAPER BALI

kosong (konsep catuspatha). Konsep Tri Angga membagi bidang atau sumbu

vertikal orientasi kosmologis kaja-kelod dalam 3 zone ruang: utama, madya dan

nista, sementara bidang atau sumbu horisontal orientasi tata nilai sakral kangin-kauh

juga dibagi dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista. Kombinasi pembagian

bidang vertikal dan horisontal ke dalam 3 zone ruang yang hirarkis, secara

keseluruhan, menghasilkan 9 zone ruang.

Kesembilan bagian tersebut merangkum semua kegiatan sosial, ekonomi, spiritual,

budaya dan keamanan, yang menjadi satu-kesatuan utuh dan saling berhubungan

pada masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut. Artinya seluruh kegiatan

keluarga dapat dilakukan dalam satu lingkungan rumah di dalam penyengker yang

cukup luas.

Page 15: PAPER BALI

Gambar 3. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah

Sumber: Eko Budihardjo (1986).

Konsep ruang Sanga mandala adalah konsep ruang yang dibagi menjadi sembilan

bagian area (pah pinara sanga sesa 1, 2, 3, dst.), artinya ruang dibagi sembilan dan

disisakan satu, dua, atau tiga bagian, dan seterusnya pada bagian luar sebelah kiri.

Bagian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, yaitu: Nista, Madya dan Utama.

Aplikasi Konsep Ruang Sanga Mandala pada rumah tinggal tradisional Bali Madya

a. Nista, merupakan area tiga kelompok ruang yang berada di sebelah kiri, meliputi

bangunan

kandang dan angkul-angkul, serta sebagian bale dauh dan paon.

b. Madya merupakan area ruang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti

untuk melakukan upacara adat dan keagamaan. Kelopok ruang madya yang

Page 16: PAPER BALI

merupakan ruang bagian tengah, meliputi bangunan tempat suci Penunggun

Karang, natah (halaman), jineng (lumbung) dan bangunan angkul-angkul (pintu

keluar-masuk halaman).

c. Utama merupakan area ruang tempat suci (sanggah/ merajan).

Gambar ini memperlihatkan pembagian area berdasarkan tata nilai ruang: Nista,

Madya, Utama. Area utama terletak pada tiga area di pojok kanan atas area mandya

berada di tengah dan area nista berada pada pojok kiri bawah. Sesa 1, 2, 3, dst

berada pada area paling kiri.

2.1.4 Konsep Proporsi dan Skala Manusia

Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat

serta pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan

dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh

penghuni/kepala keluarga, seperti tangan, kaki dan lainnya. Beberapa nama dimensi

ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari,

A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

Page 17: PAPER BALI

Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan

Sumber: Adhika (1994).

2.2 ASPEK-ASPEK ARSITEKTUR BALI

1. Aspek Sosial

Dalam pandangan masyarakat Bali konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu:

pertama, territorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara

bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang

ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa sebagai

kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekalan.

(Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa dengan desa adat di

Bali adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta merupakan

persekutuan hidup sosial, dalam keadaan senang maupun susah, berdasarkan

persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah (Agung, 1984: 18-29;

Covarrubias, 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga tradisional merupakan bagian

desa juga memiliki tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan tiga berupa fasilitas

lingkungan berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat

pertemuan, kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar. (Adhika, 1994:2).

Dari kesatuan wilayah, tidak ada ketentuan satu desa dinas terdiri beberapa desa

adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi. Variasinya cukup beraneka ragam

dan kompleks, antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat, 2). Satu

Page 18: PAPER BALI

desa dinas mencakup beberapa desa adat, 3). Satu desa adat mencakup beberapa

desa dinas, 4). Kombinasi 2 dan 3. Untuk memproleh pengertian tentang komunitas

masyarakat Bali, maka penggambaran tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut

aspek-aspek sebagai berikut: legitimasi, atribut- atribut dan ciri khusus.

a. Legitimasi

Disamping adanya pengakuan formal, maka legitimasi suatu komunitas berkembang

pula dikalangan warga menurut persepsinya dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta

dan terkait kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa kepribadian kelompok, 3).

Adanya pola hubungan yang bersifat intim dan cendrung bersifat suka rela, 4).

Adanya suatu tingkat penghayatan dari sebagian besar lapangan kehidupannya

secara bulat. Beberapa syarat pokok terbentuknya desa adat, yaitu: 1). Adanya

wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut dengan palemahan desa atau

tanah desa, 2). Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem

kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada orang yang telah makurenan (berumah

tangga) dan bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat untuk menjadi krama

banjar (Anonim, 1983), 3). Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang

disebut kahyangan tiga, 4). Adanya suatu pemerintahan adat yang berlandasan

pada

aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa. (Bappeda, 1982:31).

b. Atribut Desa Adat

Atribut pokok dari suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali

tersimpul dalam konsepsi Tri Hita Karana sebagai berikut: 1. Kahyangan Tiga, yang

terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh, Bale

Agung dan pura dalem. Untuk satuan banjar yang merupakan sub bagian desa

terdapat fasilitas umum berupa Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul dan pura

banjar.

2. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga

inti adakah setiap pasangan suami istri yang telah berkeluarga. Menurut jumlah

anggotanya, banjar di Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila

jumlah anggotanya lebih dari 50 kuren (kepala keluarga), banjar kecil bila

anggotanya lebih sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif dalam desa adat di Bali

adalah sekitar 200 KK setiap banjar. Maka bila rata-rata masing-masing KK ada lima

orang maka setiap banjar (penyatakan) terdiri sekitar seribu jiwa. Penelitian Prof.

Page 19: PAPER BALI

Antonic terhadap desa-desa adat dan dinas di Bali menyimpilkan besaran efektif

untuk sebuah desa adalah lima ribu jiwa (Bappeda, 1976:14).

3. Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang merupakan tempat perumahan warga

desa. Perumahan berada pada kedua belah sisi megikuti pola jalan, Bale Banjar

sebagai fasilitas sosial umumnya terletak pada posisi yang strategis, seperti pada

satu sudut persilangan atau pertigaan jalan di tengah-

tengah lingkungan bajar (Putra, 1988). Disamping atribut pokok tersebut, masih

perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan pelayanan desa yang menjadi simbol

suatu komunitas masyarakat Bali yang terwujud sebagai Desa adat, yaitu: 1). Balai

Pertemuan (Banjar) tempat terselenggaranya rapat-rapat desa, 2). Kuburan desa

yang biasanya terletak berdekatan dengan pura dalem, 3). Perempatan Desa

merupakan tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai tempat upacara, 4).

Tata susunan perumahan yang mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu: Utama, Madya,

dan Nista. Desa adat sebagai suatu komunitas dengan fokus fungsinya dibidang

adat dan agama, seperti; upacara Odalan, Galungan, Nyepi (Tawur Kesanga),

sedangkan dalam skala banjar adat, seperti; pemeliharaan pura, upacara

perkawinan, kematian dan membangun rumah. Dalam menjalankan fungsinya itu,

tiap-tiap desa adat mempunya kedudukan yang otonom, dalam arti tiap desa adat

berdiri sendiri menuruti aturan- aturan (awig-awig desa). Bidang pemerintahan

berada di tangan urusan desa dinas, menangani fungsi, antara lain: administrasi

pemerintahan, pembangunan desa, upacara nasional serta keamanan desa. Dalam

hal kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas.

2. Aspek Simbolik

Aspek simbolik pada perumahan adalah berkenaan dengan orientasi kosmologis.

Kegiatan masyarakat Bali pada umumnya dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu:

kegiatan yang bersifat sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan

yang bersifat profan (berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat). Penempatan

kegiatan tersebut dibedakan berdasarkan orientasi kesakralannya. Elemen-elemen

ruang yang dijadikan indikator kesakralan perumahan adalah: 1). Sumbu perumahan

berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang utama pada perumahan, 2). Lokasi

pura puseh (pura leluhur), 3). Lokasi pura dalem (pura kematian), dan 4). Bale

Banjar. Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan dapat mengarah: 1. Ke arah

gunung atau tempat yang tinggi dimana arwah leluhur bersemayam. 2. Sumbu jalan

Page 20: PAPER BALI

(kaja-kelod) yang menuju ke dunia leluhur yang bersemayam di gunung (kaja). 3.

Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya. 4. Arah kaja kangin yaitu arah ke

gunung Agung. Sanga Mandala yang dilandasi konsep Nawa Sanga adalah konsep

tradisional yang didasarkan pada orientasi kosmologis masyarakat Bali sebagai

pengejawantahan cara menuju ke kehidupan harmonis (Budihardjo, 1968). Nawa

sanga menunjuk ke arah delapan penjuru angin ditambah titik pusat di tengah. Dari

kesembilan orientasi ini yang paling dominan adalah orientasi dengan gunung-laut

dan sumbu terbit-terbenamnya matahari. Daerah yang paling sakral selalu

ditempatkan pada arah gunung (kaja-kangin), sedang daerah yang sifatnya profan

ditempatkan pada arah yang menuju ke laut (kelod-kauh). Berdasarkan urut-urutan

tingkat kesakralan, dari paling sakral ke paling profan elemen bangunan rumah

diurutkan sebagai berikut: Sanggah (pura rumah tangga),

pengijeng, Bale adat bale gede, meten, bale (ruang serba guna), pawon (dapur),

jineng (lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang). (Parimin, 1968).

3. Aspek Morpologis

Kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga)

peruntukan, yaitu: peruntukan inti, peruntukan terbangun, dan peruntukan pinggiran

(lihat Gambar. 7). Peruntukan inti pada perumahan yang berpola linear terletak pada

sumbu jalan menyatu dengan peruntukan terbangun, atau pada jalan utama yang

menuju ke pura desa. Pada perumahan yang berpola perempatan (Catur patha)

peruntukan inti berada pada persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti

umumnya bangunan yang memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng (lumbung desa),

Bale banjar dan

Wantilan (Parimin, 1968:91). Peruntukan terbangun adalah merupakan wilayah

lama, berupa bangunan perumahan yang dibangun pada awal terbentuknya rumah

tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan inti. Peruntukan pinggiran adalah

wilayah yang

terletak di luar wilayah terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa adat. Beberapa

desa adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.

4. Aspek Fungsional

Aspek fungsional adalah fungsi elemen ruang dalam kaitannya dengan orientasi

kosmologis, yang tercermin pada komposisi dan formasi ruang. Dari konsep Sanga

Page 21: PAPER BALI

Mandala yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik dalam skala

rumah dan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen peruntukan didasarkan atas

tingkat sakral dan profan. Elemen ruang yang paling sakral seperti

Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen sakral (utama), yaitu kaja-

kangin. Meten (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan pada segmen madya,

kandang ternak atau kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala

permukiman, penerapan konsep Sanga

Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu:

a. Pola Perempatan (Catus Patha)

Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-

selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga

Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura

desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh

(barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada

pada peruntukan madya (barat-laut).

b. Pola Linear

Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis

lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan sumbu kangin-kauh

(timur-barat). Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura

(pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod) diperuntukan

untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua daerah tersebut

terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang

terletak di plaza umum, seperti dijelaskan Gambar 9. Pola linear pada umumnya

terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi

geografis yang berlereng diatasi dengan terasering.

c. Pola Kombinasi

Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan

pola linear. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian

sistem linear. Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza)

yang ada di tengah- tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-

masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar 10.

Pola tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada

pola

tata ruang yang pada kenyataannya sangat bervariasi. Setiap daerah perumahan di

Page 22: PAPER BALI

Bali mempunyai pola tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan

pada uraian Aspek Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat

diklasifikasikan dalam 2 type, yaitu:

1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang

dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di daerah

pegunungan yang membentang membujur di tangah- tangah Bali, sebagian

beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga dicirikan

dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai ruang terbuka

milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Contoh perumahan Bali

Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah dan Bugbug (di Karangasem).

2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang banyak dipengaruhi

oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar di dataran bagian selatan

Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type pertama. Ciri utama

perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang

mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah

Utara- Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-Barat

(Parimin, 1986)

Gambar 7. Morfologi Perumahan Tradisional Bali. Sumber: Ardi P. Parimin (1986).

Gambar 8. Pola

Page 23: PAPER BALI

Perempatan (Catus patha) Perumahan Tradisional Bali. Sumber: Eko Budiharjo (1986).

Gambar 9. Pola Linear Perumahan Tradisional Bali Sumber: Eko Budiharjo (1986).

Page 24: PAPER BALI

Gambar 10. Pola Kombinasi Perumahan Tradisional Bali Sumber: Eko Budiharjo (1986).

2.3 ORNAMEN ARSITEKTUR BALI

FLORA

Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar

belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Ceritera-

ceritera pewayangan,legenda dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan

atau pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagai macam

tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya.

Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk

simbolis atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-

bentuk pepatraan dengan macam-macam ungkapan masing-masing.

Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan

dan perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan

keadaannya.

1. Keketusan

Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang

dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah

penonjolannya. Keketusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang

mekar dari jenis berdaun lebar dengan lengkung-lengkung keindahan.

Page 25: PAPER BALI

Keketusan wangga umumnya ditatahkan pada bidang-bidang luas atau

peperadaan lukisan cat perada warna emas pada lembar-lembar kain

hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung dipolakan

dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai

bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-

tumbuhan jalar atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan

sulur-sulur di sela-sela bunga-bunga dan dedaunan.

2. Kekerangan

Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau

rancangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada

dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan.

Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa

dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang

namanya simbar manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-

hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu atau

tatahan kertas pada bangunan pada bangunan bade wadah, bukur

atau hiasan-hiasan sementara lainnya.

Pura Bukit Dharma

Page 26: PAPER BALI

Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan

kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-

sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.

Pura Kediri

Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam

bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang

dalam bentuk lain dipakai bersayap garuda. Karangan suring yang

diukir dalam-dalam, memungkinkankan karena tiang tugeh bebas

beban.

Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang

atau jenis fauna yang dikarang keindahannya.

3. Pepatraan

Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-

patern yang disebut Patra atau Pepatraan. Pepatraan yang juga banyak

didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora menamai pepatraan

dengan jenis flora yang diwujudkan Pepatraan yang memakai nama yang

memungkinkan kemungkinan negara asalnya ada pula yang merupakan

perwujudan jenis-jenis flora tertentu. Ragam hias yang tergolong

pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat pula diwujudkan

dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas yang

kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam

penterapannya dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman

Sangging yang merancang tanpa meninggalkan pakem-pakem

identitasnya.

Page 27: PAPER BALI

- Patra Wangga

Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi

lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur

di selas-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga

tergolong kekerasan yang merupakan sebagian dari suatu flora

dengan penampilan bagian-bagian keindahannya.

Pura Kediri

- Patra Sari

Bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-

linggar balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas

pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun-daun dan bunga-bunga

dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra sari dapat

digunakan pada bidang-bidang lebar atas, daun umumnya untuk

bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena lingkar-

lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun bunga

merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.

Page 28: PAPER BALI

Pura Bukit Dharma

- Patra Bun-Bunan

Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-

bunan (tumbuh-tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara

daun dan bunga di rangkai batang jalar. Dapat pula divariasi dengan

julur-julur dari batang jalar.

- Patra Pidpid

Page 29: PAPER BALI

Juga melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan

daun-daun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun

yang dilukiskan penempatannya pada bidang-bidang sempit.

- Patra Punggel

Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan

lengkung-lengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada

yang disebut batu pohon kupil guling, util sebagai identitas Patra

Punggel. Pola patern patra punggel merupakan pengulangan dengan

lengkung timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut

atap berguna. Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-

bidang lebar atau bervariasi/ combinasi dengan patra lainnya.

Patra Punggel merupakan patra yang paling banyak digunakan.

Selain bentuknya yang murni sebagai Patra Punggeh utuh. Patra

Punggel umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan (patra-patra

dari jenis fauna) sebagai hiasan bagian (lidah naga patra punggel api-

apian), ekor singa, dan hiasan-hiasan. Untuk patra tunggal puncak

atap yang disebut Bantala pada atap yang bukan berpuncak satu.

Untuk hiasan atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan

motif-motif Kusuma Tirta Amertha Murdha Bajra yang masing-masing

juga dilengkapi dengan patra punggel sebagai hiasan bagian dari

Karang Goak di sudut-sudut alas Murdha.

Page 30: PAPER BALI

Pura Kediri

- Patra Samblung

Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk

patern yang disebut Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar

melengkung dengan kelopak daun dan daun-daun dihias lengkung-

lengkung harmonis.

Serupa dengan Patra Samblung ada patra Olanda, Patra Cina,

Patra Bali masing-masing dengan nama kemungkinan negara asalnya.

Ada pula patra Banci yang bervariasi dari gabungan patra yang

dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan mewujudkan identitas

baru.

- Patra Pae

Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang

dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Pura

Kediri

Page 31: PAPER BALI

- Patra Ganggong

Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang

dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Pura Bukit Dharma

- Patra Batun Timun

Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam

susunan diagonal berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-

bentuk para mas-masan setengah bidang.

- Patra Sulur

Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur

bercabang-cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula

dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang.

Pura Bukit Dharma

Arti dan Maksud

Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti

dan maksud-maksud tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol

Page 32: PAPER BALI

dan penyampaian komunikasi merupakan maksud dan arti ragam hias pada

bangunan-bangunan, peralatan dan perlengkapan.

1. Ragam hias untuk keindahan

Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan

suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat

mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu

bangunan lebih indah dan menyegarkan pandangan.

2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis

Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat

mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna

juga merupakan simbol arah orientasi, merah untuk warna kelod, kuning

untuk warna kauh atau barat putih untuk warna kangin atau timur, hitam

untuk warna kaja dan penyatuan dua bersisian untuk arah sudut.

3. Ragam hias sebagai alat komunikasi

Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan-

bangunan tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan

yang dikenakan. Hiasan serba putih pada wade wadah yang menunjukkan

fungsinya.

Page 33: PAPER BALI

FAUNA

Dijadikan materi hiasan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan atau

pepulasan. Penterapannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya.

Pada beberapa bagian keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk

penyesuaian untuk menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias

keseluruhan.

Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk

kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang bercariasi dari berbagai

macam binatang. Hiasan fauna pada penempatannya umumnya disertai atau

dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan.

Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil

jenis-jenis kera dan ceritera ramayana. Parung-patung sebagai souvenir

umumnya mengambil bentuk-bentuk garuda, naga, singa, kuda, kera, sapi dan

binatang ternak lainnya.

Ukiran fauna pada bidang-bidang relief di dinding, panil atau bidang-

bidang ukiran lainnya umumnya menterapkan ceritra-ceritra rakyat legenda

tantri dari dunia binatang. Penampilan fauna dalambentuk-bentuk patung-

patung bercorak expresionis pada kekarangan bercorak abstrak dan realis

pada relief.

Fauna sebagai hiasan dan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual

ditampilkan dalam bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai

bagian dari bangunan berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corak magic,

lengkap dengan huruf-huruf simbol mantra-mantra Fauna sebagai elemen

bangunan yang juga berfungsi sebagai ragam hiasan di kenakan sebagai sendi

alas tiang dengan bentuk-bentuk garuda, singa bersayap atau bentuk-bentuk

lainnya.

Page 34: PAPER BALI

2.2.1. NAMA

Ragam hias dari jenis-jenis faunda ditampilkan sebagai materi

hiasan dalam berbagai macam dengan namanya masing-masing.

Bentuk-bentuk penampilannya berupa patung. Kekarangan atai relief-

relief yang dilengkapi pepatraan dari berbagai jenis flora.

1. Kekarangan

Penampilannya expresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya

dari fauna yang diexpresikan secara abstrak. Kekarangan yang

mengambil bentuk-bentuk binatang gajah atau asti, burung goak dan

binatang-binatang khayal primitif lainnya dinamai dengan nama-

nama binatang yang dijadikan bentuknya.

- Karang Boma

Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas

lengkap dengan hiasan dan mahkota, diturunkan dari ceritra

Baomantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula

yang lengkap dengan tang dari pergelangan ke arah jari dengan

jari-jari mekar. Karang Boma umumnya dilengkapi dengan patra

bun-bunan atau patra punggel. Ditempatkan sebagai hiasan di

atas lubang pintu dari Kori Agung.

Page 35: PAPER BALI

- Karang Sae

Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan

gigi-gigi runcing. Karang sae umumnya dilengkapi dengan

tangan-tangan seperti pada karang boma. Penampilannya

dilengkapi dengan hiasan flora patra punggel dan patra bun-

bunan. Hiasan karang sae ditempatkan di atas pintu Kori atau

pinti rumah tinggal dan juga pada beberapa tempat lainnya.

- Karang Asti

Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya

mengambil bentuk gajah yang diabtrakkan sesuai dengan seni

hias yang diexpresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti

yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring

gadingnya bermata bulat. Hiasan flora Patra Punggel melegkapi

ke arah sisi pipi asti. Sesuai kehidupannya gajah di tanah karang

asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di

bagian bawah.

Pura Kediri

Page 36: PAPER BALI

- Karang Goak

Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut

pula karang manuk karena serupa pula dengan kepala ayam

dengan penekanan pada paruhnya. Karang goak dengan paruh

atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata bulat. Sesuai dengan

kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap, hiasan

Karangmanuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada

sudut-sudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai

hiasan bagian pipi dan kepalanya dilengkapi dengan hiasan patra

punggel. Karang Goak umumnya disatukan dengan karang

Simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah Karang

Goak.

Pura Kediri

Page 37: PAPER BALI

- Karang Tapel

Serupa dengan Karang Boma dalam bentuk yang lebih kecil

hanya dengan bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat

dengan hidung kedepan, lidah terjulur yang diambil dari jenis-

jenis muka yang galak. Hiasan kepala dan pipi mengenakan

Patra Punggel. Ke arah bawah kepala karang simbar dari jenis

flora yang disatukan. Karang tapel ditempatkan sebagai hiasan

peralihan bidang di bagian tengah.

- Karang Bentulu

Bentuknya serupa dengan Karang Tapel lebih kecil dan lebih

sederhana. Tempatnya di bagian tengah atau bagian pada

peralihan bidang di bidang tengah. Bentuknya abstrak bibir hanya

sebelah atas gigi datar taring runcing lidah terjulur. Hanya

bermata satu di tengah tanpa hidung. Hiasan kepala dan pipi

Patra Punggel yang disatukan merupakan suatu bentuk kesatuan

Karang Bentulu.

Bentuk-bentuk karangan lainnya. Karang Simbar dari jenis flora,

Karang Batu dari jenis bebatuan, Karang Bunga dari bunga jenis

flora sebagai hiasan-hiasan sudut, tepi atau peralihan bidang

yang berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.

2. P a t u n g

Untuk patung-patung hiasan permanen umumnya mengambil

bentuk-bentuk dewa-dewa dalam imajinasi manifestasinya, manusia

dari dunia pewayangan, raksasa dalam expresi wajah dan sifatnya

dan binatang dalam berbagai bentuknya. Benda-benda souvenir dari

kerajinan seni ukir ada pula yang mengambil bentuk-bentuk binatang

yang umumnya realis naturalis.

Patung-patung dari jenis-jenis fauna yang dijadikan hiasan atau

sebagai elemen bangunan umumnya merupakan patung-patung

Page 38: PAPER BALI

expresionis yang dilengkapi dengan elemen-elemen hiasan dari

jenis-jenis pepateraan.

Patung-patung dari jenis raksasa untuk elemen-elemen hiasan

yang seakan yang seakan berfungsi untuk menertibkan. Patung-

patung modern ada pula yang kembali ke bentuk-bentuk primitip

untuk elemen penghias atau taman atau ruang. Penempatannya

pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga

konstruksi puncak atap. Sesungguhnya tiang tugeh bebas beban

sehingga memungkinkan ukiran patung Garuda sebagai alas

penyenggahnya. Untuk fungsinya sebagai penyanggah tiang tugeh

bahannya dari kayu yang diselesaikan tanpa atua dengan

pewarnaan. Sesuai dengan penempatannya sebagai sendi tugeh

umumnya merupakan Garuda tunggal yang besarnya sekitar empat

kali tebal tiang.

Patung Garuda yang difungsikan sebagai hiasan ruang

umumnya lengkap dengan pijakan Naga atau Kura-kura dan naga

serta awatara Wisnu sebagai pengendaraannya. Patung garuda

sebagai hiasan simbolis pada bangunan Padmasana ditempatkan

pada bagian sisi ulu batur sari dengan sikap tegak terbang. Di atas

Patung garuda dilengkapi dengan Patung Angsa, juga dalam posisi

terbang melayang. Masing-masing dengan filosofi yang mendukung

perwujudan Padmasana. Patung Garuda Wisnu juga diwujudkan

untuk pratima yang disakralkan berfungsi ritual. Untuk benda-benda

souvenir sebagai kerajinan seni ukur Patung Garuda diwujudkan

dalam berbagai variasi dan dimensi dari sebesar biji catur sampai

setinggi orang tanpa atau dengan pewarnaan.

- Patung Singa

Wujudnya singa bersayap yang juga disebut Singa

Ambara Raja. Dalam keadaan sebenarnya tidak bersayap.

Patung Singa bersayap untuk keagungan keadaan sebenarnya

tidak bersayap. Patung singa difungsikan juga untuk sendi alas

tugeh seperti patung Garuda. Bahannya dari kayu jenis kuat,

Page 39: PAPER BALI

keras dan awet. Patung singa digunakan pula untuk sendi alas

tiang pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan

bahan dari batu padas keras, atau batu karang laut yang putih

masif dan keras. Patung singa bersayap juga dibuat sebagai

kerajinan seni ukur untuk benda-benda souvenir dari ukuran kecil

untuk hiasan meja sampai ukuran besar untuk hiasan ruang.

Bahannya dari batu padas kelabu atau kayu jenis keras yang

awet, tanpa atau dengan pewarnaan.

Patung-patung singa bersayap ada pula yang disakralkan

untuk Pratima sebagai simbol-simbol pemujaan. Untuk

petualangan sebagai tempat-tempat pembakaran mayat dalam

upacara ngaben selain patung lembu, patung singa juga dipakai

dengan perwujudan dan hiasan sementara yang ikut terbakar

bersama pembakaran mayat di badan Petualangan Patung

Singan.

Pura Bukit Dharma

- Patung Naga

Perwujudan Ular Naga dengan mahkota kebesaran hiasan

gelung kepala, bebadong leher anting-anting telingan rambut

terurai, rahang terbuka taring gigi runcing lidah api bercabang.

Page 40: PAPER BALI

Patung Naga sikap tegak bertumpu pada dada, ekor menjulang

ke atas gelang dan permata di ujung ekor. Patung naga sebagai

penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga

menghadap ke depan lekuk-lekuk ekor mengikuti tingkat-tingkat

tangga ke arah atas. Pemakaian patung Naga.

Dalam fungsinya sebagai hiasan dan stabilitas losofis,

Patung Naga yang membelit Bedawang kura-kura raksasa

ditempatkan pada dasar Padmasana (gb. 107 a.b) Bedawang

Naga juga sebagai dasar Meru seperti tumpang 11 di Pura

Kehen Bangli. Untuk bale wadah pada upacara Ngaben bagi

satria tinggi juga memakai Bedawang Naga sebagai dasar Bade

wadah yang disebut Naga Badha.

Untuk fungsi ritual Patung Naga bersayap juga digunakan

untuk pratima sebagai simbol pemujaan yang disakralkan.

Sebagai benda-benda souvenir kerajinan seni ukur juga membuat

patung-patung Naga dalam ukuran kecil atau besar yang

umumnya disatukan dengan patung Garuda atau Garuda Wisnu

yang berpijak pada belitan Bedawang Naga.

Pura Bukit Dharma

- Patung Kura-Kura

Perwujudan melukiskan Kura-kura raksasa yang disebut

Bedawang, sebagai simbol kehidupan dinamis yang abadi.

Page 41: PAPER BALI

Keempat kakinya berjari lima kuku runcing menerkam tanah.

Kepalanya berambut api hidung mancung, gigi kokoh datar

bertaring runcing mata bulat. Wajah angker memandang ke arah

atas depan berpandangan dengan Naga yang membelitnya.

Kepala Naga di atas kepala bedawang dalam posisi

berpandangan galak dinamis.

Pemakaian Bedawang tidak berdiri sendiri, selalu

merupakan kesatuan berbelit dengan Naga atau Bedawang Naga

sebagai pijakan Garuda yang dikendarai awataran Wisnu. Garuda

dan Bedawang merupakan kesatuan dalam mitologi yang

membawakan filosofi kehidupan ritual.

- Patung Kera

Perwujudannya merupakan kera-kera yang diekspresikan

dilukiskan dalam ceritera ramayana. Patung-patung anoman

(gb. 207/atas), Subali, Sugriwa merupakan patung-patung kera

yang banyak dipakai hiasan sebagai bagian dari bangunan

seperti pemegang alas tiang jajar bangunan pelinggih. Untuk

hiasan terlepas pada bangunan juga banyak digunakan patung

kera dalam bentuk realis dengan bahan kayu atau sabut kelapa

untuk dibuat benda-benda souvenir

Arti dan Makna

Ragam hias dari jenis-jenis fauna selain fungsinya sebagai hiasan juga

mengandung arti dan maksud-maksud tertentu untuk beberapa macam

hiasan. Pemakaian bahan proses pembuatan dan bentuk-bentuk penampilan

membawakan identitas pemakaiannya sebagai ragam hias. Penghias ruang

menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan ataupun di

abstrakkan. Singa bersayap, Garuda bertangan, Gajah bermata bulat dengan

deretan ggi rata kura-kura berambut api bentuk-bentuk perwujudan lainnya

sesungguhnya tidak ada fauna yang sama seperti itu. Variasi penampilannya

untuk keindahan komposisi expresi dan keserasian.

Page 42: PAPER BALI

Pepatraan dari jenis-jenis flora yang melengkapi jenis-jenis fauna untuk

keharmonisan kesatuan penampilan beberapa bagian bentuk hiasan. Untuk

keindahan karakter penampilan sikap-sikap fauna sebagai ragam hias

diexpresikan dengan kesan galak, angker atau agung mempesona.

2. Fauna sebagai simbol ritual

Penampilannya dalam huungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan

simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Bedawang naga

sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan di bumi dijadikan dasar

padmasana atau bade wadah. Garuda wisnu sebagai simbol kesetiaan

keyakinan dan ketangguhan. Singa ambara atau singa bersayap sebagai

simbol ketangkasan dan kekuasaan. Angsa dan burung merak pada patung

Saraswati masing-masing sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi.

3. Fauna sebagai media ejukatif

Ragam hias dari jenis-jenis fauna yang ditirukan dari bagian-bagian

ceritra tantri sebagai legenda yang telah memasyaratkan mengandung arti

dan maksud ejukatif konstruktif. Penampilan singa dan lembu dari

persahabatan jadi permusuhan akibat fitnah anjing ki Patih Sembade.

Mengajarkan agar kita jangan muda diadu dengan cara berbagai bentuk

fitnah.

Penampilan cangak meketu sebagai Padandabaka atau bangau yang

menyamar sebagai pendeta menipu ikan-ikan untuk dijadikan mangsanya

membawa maksud untuk mengingatkan agar kita waspada terhadap segala

bentuk penipuan yang berpura-pura baik. Waspada seperti kepiting yang

tenang dengan mata menonjol siap menghukum penipu menyepit leher

bangau.

Page 43: PAPER BALI

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat

Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat

desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati

semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur

tradisional di mana material alam merupakan “zat hidup” yang harus diperlakukan

dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian

material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan

alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur

tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam

lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang

berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang

sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di

Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan

dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya

masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya.

3.2 Saran

Sebaiknya arsitektur nusantara Bali harus dilestarikan, sebab arsitektur Bali

merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang memiliki cirri khas yang

berbeda dengan arsitektur yang ada di daerah lain. Dengan ini diharapkan agar

arsitektur Bali mendapat perhatian dari banyak pihak baik itu pemerintah,

maupun masyarakat.

Page 44: PAPER BALI

DAFTAR PUSTAKA