paper bali
TRANSCRIPT
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
Makalah ini disusun sebagai tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur 1
Semester 1 Tahun Akademik 2010/2011
Disusun oleh :
Andriany Eka Yovita / 052.10.005
Chaulla Jawwas / 052.10.013
Farisa Wirawan / 052.10.019
Dosen :
S. Handjajanti, Ir, MT
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan kepada dosen pembimbing
dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-
teman.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ….………………………………………….....................................
Daftar Isi ………………………………………………………………...................
BAB I Pendahuluan …………………………………………....................
BAB II Isi ..........……………………………………………………………
BAB III Kesimpulan dan Saran
…………………………………………………….
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan
alamnya yang mengeras ke dalam bentuk-bentuk penggunaan dengan ragam
hias yang dikenakannya. Benda-benda alam yang diterjemahkan ke dalam
bentuk- bentuk ragam hias, tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai
agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang
harmonis. Bentuk-bentuk hiasan, tata warna, cara membuat dan penempatannya
mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan bentuk dalam pola-pola
yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari bangunan
atau elemen-elemen yang memerlukan hiasan.
Ciri-ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih
menampahkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai
keindahannya. Dalam pengertian tradisional, bumi terbentuk dari lima unsur yang
disebut Panca Mahabuta, apah (air/zat cair), teja (sinar), akasa (udara), pertiwi
(tanah bebatuan/zat padat), unsur-unsur tersebut melatar belakangi perwujudan
bentuk- bentuk hiasan.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Sejaah Arsitektur 1 tahun ajaran 2010/2011.
2. Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini
adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan
informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar
atau pedoman. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai studi pustaka diperoleh
dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun situs – situs yang di internet.
D. Sistematika
Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. BAB I merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan latar
belakang, tujuan, metode pengumpulan data, landasan
teori dan sistematika penulisan makalah.
2. BAB II merupakan bagian pembahasan yang menguraikan
masalah yang dibahas berdasarka data dan informasi yang
diperoleh dari berbagai sumber.
4. BAB III merupakan bagian kesimpulan dan saran
BAB II
ISI
2.1 KONSEP-KONSEP DASAR ARSITEKTUR BALI
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:
Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
Konsep proporsi dan skala manusia
Konsep kejujuran bahan bangunan
KONSEPSI BUDAYA TRADISIONAL BALI
Keberadaan manusia pada hakekatnya, terwujud sebagai manusia bersifat sosial
dan manusia yang berbudaya, berbagai kondisi obyektif dan perjalanan historis
mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan sistem sosial dan sistem
budayanya secara khas, seperti misalnya sistem sosial Bali sebagai salah satu
sistem sosial budaya Indonesia, diantara kebhinekaan sistem sosial yang ada di
Indonesia. keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang
digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan dan pengalamannya,
serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya
kelakuan. (Astika, 1986:4). Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan
pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur
kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau
ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16). Sedangkan Meganada (1990:44),
menjelaskan budaya Bali tidak bisa lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang
mempunyai tiga unsur kerangka dasar (tatwa, susila, upacara) bagi umatnya untuk
mencapai tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam Weda; “Moksartham Jagadhita
Ya Ca Iti Dharma”. Dalam kehidupan sehari-hari dalam pembiasan-pembiasan yang
berhubungan dengan tatwa, susila, upacara, lebih mengarah pada perwujudan untuk
mencapai hubungan yang harmonis manusia (bhuana alit) dengan Tuhan Yang
Maha Esa (bhuana agung), melahirkan suatu adat yang banyak mencakup aspek
kehidupan berupa konsepsi-konsepsi.
Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai
bhuana alit dengan bhuana agung (alam semesta). Dalam kehidupan sehari-hari
konsepsi ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin pada wadah
interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tesebut (Kaler,
1983:44). Konsepsi Tri Angga yang mengatur susunan unsur-unsur kehidupan
manusia di alamnya/lingkungan fisik, yaitu; utama angga, madya angga, dan nista
angga. Dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tata nilai rumah
maupun desa. Suatu adat atau kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya
keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama dalam
perhitungan ergonomis dan estetika bentuk bangunan adalah konsepsi Asta Kosala-
Kosali dan Asta Bumi. Dapat disimpulkan rumah arsitektur tradisional Bali yang
memiliki konsepsi- konsepsi yang dilandasi agama Hindu, merupakan perwujudan
budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma
agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan.
Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak,
dan sekehe (Bappeda, 1982:30). Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan
wilayah disebut desa adat. Konsep desa di Bali memiliki dua pengertian, yaitu desa
adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah
Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu, yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga
yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan tersendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah
konsep Tri Hita Karana.
FILOSOFI PERUMAHAN PERMUKIMAN
TRADISIONAL BALI
Terwujudnya pola perumahan
tradisional sebagai lingkungan buatan sangat
terkait dengan sikap dan pandangan hidup
masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi-sendi
agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem
religi yang melandasi aspek-aspek kehidupan.
Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam
penataan lingkungan buatan, yaitu terjadinya
implikasi agama dengan berbagai kehidupan
Bhuana agung (alam semesta) yang
sangat luas tidak mampu digambarkan oleh
manusia (bhuana alit), namun antara keduanya
memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita
Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai
cerminan. Konsepsi Tri Hita Karana dipakai
dalam pola perumahan tradisional yang
diidentifikasi; Parhyangan /Kahyangan Tiga
sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai
unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah
sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44).
kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos),
dalam kaitan ini bhuana agung adalah
lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit
adalah manusia yang mendirikan dan
menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990).
Manusia (bhuana alit) merupakan
bagian dari alam (bhuana agung), selain
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama,
juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi.
Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah,
senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras
seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).
Rahim sebagai tempat yang memberikan
kehidupan, perlindungan dan perkembangan
janin tersebut, demikian pula halnya manusia
berada, hidup, berkembang dan berlindung pada
alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan
konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu
pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan
buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu
Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang
utuh, yaitu: Tri Hita Karana.
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi
terwujudnya susunan kosmos dari yang paling
makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal
yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam
alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan
Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga
alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta.
Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah
parhyangan (pura desa), tenaga adalah
pawongan (masyarakat) dan jasad adalah
palemahan (wilayah desa). Demikian pula
halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan
(pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga
banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah
banjar). Pada rumah tinggal jiwa adalah sanggah
pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni
dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada
manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah
sabda bayu idep dan jasad adalah stula
sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri
Hita Karana dalam susunan kosmos, dapat
dilihat dalam Tabel 1.
2.1.1 Konsep HIrarki Ruang (Tri Loka atau Tri Angga)
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya).
Tri Hita Karana adalah konsep tentang tiga sumber kebahagiaan atau keselamatan,
di mana Tri berarti tiga, hita berarti senang, gembira, bahagia, lestari, dan Karana
berarti sebab atau sumber. Konsep Tri Hita Karana adalah kebahagiaan akan
tercipta melalui keseimbangan antara tiga buah unsur, yaitu (1) Atma: jiwa; (2)
Khaya: tenaga; (3) Angga: fisik. Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau
area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali menjadi tiga komponen atau
zone:
Nista (bawah, kotor, kaki),
Madya (tengah, netral, badan) dan
Utama (atas, murni, kepala)
Hubungan antara rumah tinggal tradisional Bali Madya dengan pemilik atau
penggunanya, dalam konsep arsitektur tradisional Bali adalah identik dengan
hubungan manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan
makrokosmos (bhuwana agung).
Makrokosmos adalah ruang vertikal Tri Loka, yang terdiri dari Swah Loka (alam
atas), Bwah Loka (alam tengah), Bhur Loka (alam bawah). Kesetaraannya dengan
manusia sebagai unsur mikrokosmos, dijabarkan dengan tiga struktur tubuh (Tri
Angga) yang terdiri dari: Kepala, badan, dan kaki.
Sedangkan dalam arsitektur rumah tinggal, Tri Angga adalah: Bagian kepala
merupakan atap bangunan; Struktur badan adalah tembok dinding dan tiang (saka)
bangunan; Bagian kaki adalah lantai, bebaturan dan pondasi bangunan. Hubungan
harmonis antara manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan rumah
sebagai unsur makrokosmos (bhuwana agung) adalah pada saat membuat ukuran-
ukuran bangunan yang menggunakan metrik pemilik yang mempergunakan
bangunan.
Penerapan konsep Tri Angga pada pola ruang pemukiman, yaitu di teritorial
rumah tinggal dan bangunan arsitektur adalah sebagai berikut:
(1) Dalam tata ruang area rumah tinggal, utama angga adalah pelataran
pemerajan atau tempat sembahyang yang dianggap suci, madya angga adalah
lokasi massamassa bangunan tempat tinggal, nista angga adalah teba, yaitu area
kandang hewan, tempat pembuangan sampah/kotoran rumah tangga lainnya.
(2) Pada bangunan, utama angga atau yang dianggap kepala adalah bagian
atap (rab), madya angga adalah “badan” bangunan (pengawak), dan nista angga
adalah “kaki” bangunan (bebataran).
Pada bidang vertikal, seperti pada bangunan dan manusia, dengan mudah dilihat
bahwa utama angga adalah bagian atas (kepala), madya angga adalah bagian
tengah (badan), dan nista angga adalah bagianbawah (kaki).
Tetapi pada bidang horisontal, pembagian zone utama, madya dan nista didasari
bukan oleh sumbu hierarki yang vertikal, tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi
kosmologis. Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan
bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) berorientasi pada
lintasan terbit dan terbenamnya matahari dengan arah kangin sebagai nilai
utama (arah terbitnya matahari) dan arah kauh sebagai nilai nista (arah
terbenamnya matahari), sedangkan nilai Madya ada di tengahnya.
Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut).
Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan
menempati letak di baian Kaja (utara) mengarah ke gunung seperti : letak
pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala
sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati
letak bagian kelod (selatan), seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat
pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya
Zone yang dianggap bernilai utama adalah arah kaja (menghadap gunung) dan
kangin (Timur sebagai arah terbitnya matahari–sumber kehidupan), dan zone yang
dianggap nista atau bernilai rendah adalah arah kelod (menghadap laut) dan kauh
(Barat).
Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi
kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala yang akan dibahas pada subbab
berikutnya. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur,
merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali.
2.1.2 Catuspatha
Catuspatha adalah konsep ruang kosong di tengah-tengah pertemuan
sumbu orientasi kosmologis (kaja-kelod) dan tata nilai ritual (kangin-kauh) pada pola
ruang masyarakat tradisional Bali. Area pertemuan sumbu kaja-kelod dan kangin-
kauh di tengah-tengah dibiarkan kosong karena nilai pusat dianggap kosong
(pralina) sebagai simbol pusat kekuatan yang Maha Sempurna.
Penerapan konsep catuspatha pada pola ruang area rumah tinggal tradisional Bali
adalah adanya ruang kosong (halaman tengah/inner court) di tengah-tengah sebagai
area pertemuan sumbu kaja-kelod-kangin-kauh, yang pada area rumah tinggal
disebut natah. Karena area pusat ini dinilai paling tinggi sebagai simbol yang Maha
Sempurna, maka semua bangunan di zone arah kaja-kelod-kangin-kauh dibuat
menghadap area tengah. Di masing-masing sudut perempatan, disediakan tanah
kosong (Karang Tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai “ruang terbuka
hijau”. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang Desa.
Gambar 5.7 : Aplikasi konsep Catuspatha pada bangunan rumah tinggal Bali Madya
2.1.3 Konsep Orientasi Kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
Konsep sangamandala adalah pengembangan dari kombinasi konsep Tri Angga
dan Catuspatha. Konsep sangamandala adalah pembagian ruang ke dalam 9 zone
yang lahir dari aplikasi konsep Tri Angga dalam bidang vertikal dan horisontal, di
mana ruang di tengah-tengah sebagai pusat dan simbol sumber kekuatan dibiarkan
kosong (konsep catuspatha). Konsep Tri Angga membagi bidang atau sumbu
vertikal orientasi kosmologis kaja-kelod dalam 3 zone ruang: utama, madya dan
nista, sementara bidang atau sumbu horisontal orientasi tata nilai sakral kangin-kauh
juga dibagi dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista. Kombinasi pembagian
bidang vertikal dan horisontal ke dalam 3 zone ruang yang hirarkis, secara
keseluruhan, menghasilkan 9 zone ruang.
Kesembilan bagian tersebut merangkum semua kegiatan sosial, ekonomi, spiritual,
budaya dan keamanan, yang menjadi satu-kesatuan utuh dan saling berhubungan
pada masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut. Artinya seluruh kegiatan
keluarga dapat dilakukan dalam satu lingkungan rumah di dalam penyengker yang
cukup luas.
Gambar 3. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah
Sumber: Eko Budihardjo (1986).
Konsep ruang Sanga mandala adalah konsep ruang yang dibagi menjadi sembilan
bagian area (pah pinara sanga sesa 1, 2, 3, dst.), artinya ruang dibagi sembilan dan
disisakan satu, dua, atau tiga bagian, dan seterusnya pada bagian luar sebelah kiri.
Bagian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, yaitu: Nista, Madya dan Utama.
Aplikasi Konsep Ruang Sanga Mandala pada rumah tinggal tradisional Bali Madya
a. Nista, merupakan area tiga kelompok ruang yang berada di sebelah kiri, meliputi
bangunan
kandang dan angkul-angkul, serta sebagian bale dauh dan paon.
b. Madya merupakan area ruang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti
untuk melakukan upacara adat dan keagamaan. Kelopok ruang madya yang
merupakan ruang bagian tengah, meliputi bangunan tempat suci Penunggun
Karang, natah (halaman), jineng (lumbung) dan bangunan angkul-angkul (pintu
keluar-masuk halaman).
c. Utama merupakan area ruang tempat suci (sanggah/ merajan).
Gambar ini memperlihatkan pembagian area berdasarkan tata nilai ruang: Nista,
Madya, Utama. Area utama terletak pada tiga area di pojok kanan atas area mandya
berada di tengah dan area nista berada pada pojok kiri bawah. Sesa 1, 2, 3, dst
berada pada area paling kiri.
2.1.4 Konsep Proporsi dan Skala Manusia
Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat
serta pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan
dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh
penghuni/kepala keluarga, seperti tangan, kaki dan lainnya. Beberapa nama dimensi
ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari,
A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.
Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan
Sumber: Adhika (1994).
2.2 ASPEK-ASPEK ARSITEKTUR BALI
1. Aspek Sosial
Dalam pandangan masyarakat Bali konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu:
pertama, territorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara
bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang
ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa sebagai
kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekalan.
(Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa dengan desa adat di
Bali adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta merupakan
persekutuan hidup sosial, dalam keadaan senang maupun susah, berdasarkan
persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah (Agung, 1984: 18-29;
Covarrubias, 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga tradisional merupakan bagian
desa juga memiliki tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan tiga berupa fasilitas
lingkungan berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat
pertemuan, kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar. (Adhika, 1994:2).
Dari kesatuan wilayah, tidak ada ketentuan satu desa dinas terdiri beberapa desa
adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi. Variasinya cukup beraneka ragam
dan kompleks, antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat, 2). Satu
desa dinas mencakup beberapa desa adat, 3). Satu desa adat mencakup beberapa
desa dinas, 4). Kombinasi 2 dan 3. Untuk memproleh pengertian tentang komunitas
masyarakat Bali, maka penggambaran tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut
aspek-aspek sebagai berikut: legitimasi, atribut- atribut dan ciri khusus.
a. Legitimasi
Disamping adanya pengakuan formal, maka legitimasi suatu komunitas berkembang
pula dikalangan warga menurut persepsinya dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta
dan terkait kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa kepribadian kelompok, 3).
Adanya pola hubungan yang bersifat intim dan cendrung bersifat suka rela, 4).
Adanya suatu tingkat penghayatan dari sebagian besar lapangan kehidupannya
secara bulat. Beberapa syarat pokok terbentuknya desa adat, yaitu: 1). Adanya
wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut dengan palemahan desa atau
tanah desa, 2). Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem
kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada orang yang telah makurenan (berumah
tangga) dan bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat untuk menjadi krama
banjar (Anonim, 1983), 3). Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang
disebut kahyangan tiga, 4). Adanya suatu pemerintahan adat yang berlandasan
pada
aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa. (Bappeda, 1982:31).
b. Atribut Desa Adat
Atribut pokok dari suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali
tersimpul dalam konsepsi Tri Hita Karana sebagai berikut: 1. Kahyangan Tiga, yang
terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh, Bale
Agung dan pura dalem. Untuk satuan banjar yang merupakan sub bagian desa
terdapat fasilitas umum berupa Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul dan pura
banjar.
2. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga
inti adakah setiap pasangan suami istri yang telah berkeluarga. Menurut jumlah
anggotanya, banjar di Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila
jumlah anggotanya lebih dari 50 kuren (kepala keluarga), banjar kecil bila
anggotanya lebih sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif dalam desa adat di Bali
adalah sekitar 200 KK setiap banjar. Maka bila rata-rata masing-masing KK ada lima
orang maka setiap banjar (penyatakan) terdiri sekitar seribu jiwa. Penelitian Prof.
Antonic terhadap desa-desa adat dan dinas di Bali menyimpilkan besaran efektif
untuk sebuah desa adalah lima ribu jiwa (Bappeda, 1976:14).
3. Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang merupakan tempat perumahan warga
desa. Perumahan berada pada kedua belah sisi megikuti pola jalan, Bale Banjar
sebagai fasilitas sosial umumnya terletak pada posisi yang strategis, seperti pada
satu sudut persilangan atau pertigaan jalan di tengah-
tengah lingkungan bajar (Putra, 1988). Disamping atribut pokok tersebut, masih
perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan pelayanan desa yang menjadi simbol
suatu komunitas masyarakat Bali yang terwujud sebagai Desa adat, yaitu: 1). Balai
Pertemuan (Banjar) tempat terselenggaranya rapat-rapat desa, 2). Kuburan desa
yang biasanya terletak berdekatan dengan pura dalem, 3). Perempatan Desa
merupakan tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai tempat upacara, 4).
Tata susunan perumahan yang mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu: Utama, Madya,
dan Nista. Desa adat sebagai suatu komunitas dengan fokus fungsinya dibidang
adat dan agama, seperti; upacara Odalan, Galungan, Nyepi (Tawur Kesanga),
sedangkan dalam skala banjar adat, seperti; pemeliharaan pura, upacara
perkawinan, kematian dan membangun rumah. Dalam menjalankan fungsinya itu,
tiap-tiap desa adat mempunya kedudukan yang otonom, dalam arti tiap desa adat
berdiri sendiri menuruti aturan- aturan (awig-awig desa). Bidang pemerintahan
berada di tangan urusan desa dinas, menangani fungsi, antara lain: administrasi
pemerintahan, pembangunan desa, upacara nasional serta keamanan desa. Dalam
hal kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas.
2. Aspek Simbolik
Aspek simbolik pada perumahan adalah berkenaan dengan orientasi kosmologis.
Kegiatan masyarakat Bali pada umumnya dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu:
kegiatan yang bersifat sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan
yang bersifat profan (berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat). Penempatan
kegiatan tersebut dibedakan berdasarkan orientasi kesakralannya. Elemen-elemen
ruang yang dijadikan indikator kesakralan perumahan adalah: 1). Sumbu perumahan
berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang utama pada perumahan, 2). Lokasi
pura puseh (pura leluhur), 3). Lokasi pura dalem (pura kematian), dan 4). Bale
Banjar. Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan dapat mengarah: 1. Ke arah
gunung atau tempat yang tinggi dimana arwah leluhur bersemayam. 2. Sumbu jalan
(kaja-kelod) yang menuju ke dunia leluhur yang bersemayam di gunung (kaja). 3.
Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya. 4. Arah kaja kangin yaitu arah ke
gunung Agung. Sanga Mandala yang dilandasi konsep Nawa Sanga adalah konsep
tradisional yang didasarkan pada orientasi kosmologis masyarakat Bali sebagai
pengejawantahan cara menuju ke kehidupan harmonis (Budihardjo, 1968). Nawa
sanga menunjuk ke arah delapan penjuru angin ditambah titik pusat di tengah. Dari
kesembilan orientasi ini yang paling dominan adalah orientasi dengan gunung-laut
dan sumbu terbit-terbenamnya matahari. Daerah yang paling sakral selalu
ditempatkan pada arah gunung (kaja-kangin), sedang daerah yang sifatnya profan
ditempatkan pada arah yang menuju ke laut (kelod-kauh). Berdasarkan urut-urutan
tingkat kesakralan, dari paling sakral ke paling profan elemen bangunan rumah
diurutkan sebagai berikut: Sanggah (pura rumah tangga),
pengijeng, Bale adat bale gede, meten, bale (ruang serba guna), pawon (dapur),
jineng (lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang). (Parimin, 1968).
3. Aspek Morpologis
Kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga)
peruntukan, yaitu: peruntukan inti, peruntukan terbangun, dan peruntukan pinggiran
(lihat Gambar. 7). Peruntukan inti pada perumahan yang berpola linear terletak pada
sumbu jalan menyatu dengan peruntukan terbangun, atau pada jalan utama yang
menuju ke pura desa. Pada perumahan yang berpola perempatan (Catur patha)
peruntukan inti berada pada persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti
umumnya bangunan yang memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng (lumbung desa),
Bale banjar dan
Wantilan (Parimin, 1968:91). Peruntukan terbangun adalah merupakan wilayah
lama, berupa bangunan perumahan yang dibangun pada awal terbentuknya rumah
tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan inti. Peruntukan pinggiran adalah
wilayah yang
terletak di luar wilayah terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa adat. Beberapa
desa adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.
4. Aspek Fungsional
Aspek fungsional adalah fungsi elemen ruang dalam kaitannya dengan orientasi
kosmologis, yang tercermin pada komposisi dan formasi ruang. Dari konsep Sanga
Mandala yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik dalam skala
rumah dan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen peruntukan didasarkan atas
tingkat sakral dan profan. Elemen ruang yang paling sakral seperti
Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen sakral (utama), yaitu kaja-
kangin. Meten (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan pada segmen madya,
kandang ternak atau kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala
permukiman, penerapan konsep Sanga
Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu:
a. Pola Perempatan (Catus Patha)
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-
selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga
Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura
desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh
(barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada
pada peruntukan madya (barat-laut).
b. Pola Linear
Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis
lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan sumbu kangin-kauh
(timur-barat). Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura
(pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod) diperuntukan
untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua daerah tersebut
terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang
terletak di plaza umum, seperti dijelaskan Gambar 9. Pola linear pada umumnya
terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi
geografis yang berlereng diatasi dengan terasering.
c. Pola Kombinasi
Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan
pola linear. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian
sistem linear. Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza)
yang ada di tengah- tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-
masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar 10.
Pola tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada
pola
tata ruang yang pada kenyataannya sangat bervariasi. Setiap daerah perumahan di
Bali mempunyai pola tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan
pada uraian Aspek Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat
diklasifikasikan dalam 2 type, yaitu:
1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang
dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di daerah
pegunungan yang membentang membujur di tangah- tangah Bali, sebagian
beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga dicirikan
dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai ruang terbuka
milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Contoh perumahan Bali
Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah dan Bugbug (di Karangasem).
2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang banyak dipengaruhi
oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar di dataran bagian selatan
Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type pertama. Ciri utama
perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang
mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah
Utara- Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-Barat
(Parimin, 1986)
Gambar 7. Morfologi Perumahan Tradisional Bali. Sumber: Ardi P. Parimin (1986).
Gambar 8. Pola
Perempatan (Catus patha) Perumahan Tradisional Bali. Sumber: Eko Budiharjo (1986).
Gambar 9. Pola Linear Perumahan Tradisional Bali Sumber: Eko Budiharjo (1986).
Gambar 10. Pola Kombinasi Perumahan Tradisional Bali Sumber: Eko Budiharjo (1986).
2.3 ORNAMEN ARSITEKTUR BALI
FLORA
Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar
belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Ceritera-
ceritera pewayangan,legenda dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan
atau pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya.
Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk
simbolis atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-
bentuk pepatraan dengan macam-macam ungkapan masing-masing.
Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan
dan perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan
keadaannya.
1. Keketusan
Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang
dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah
penonjolannya. Keketusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang
mekar dari jenis berdaun lebar dengan lengkung-lengkung keindahan.
Keketusan wangga umumnya ditatahkan pada bidang-bidang luas atau
peperadaan lukisan cat perada warna emas pada lembar-lembar kain
hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung dipolakan
dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai
bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-
tumbuhan jalar atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan
sulur-sulur di sela-sela bunga-bunga dan dedaunan.
2. Kekerangan
Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau
rancangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada
dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan.
Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa
dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang
namanya simbar manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-
hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu atau
tatahan kertas pada bangunan pada bangunan bade wadah, bukur
atau hiasan-hiasan sementara lainnya.
Pura Bukit Dharma
Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan
kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-
sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.
Pura Kediri
Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam
bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang
dalam bentuk lain dipakai bersayap garuda. Karangan suring yang
diukir dalam-dalam, memungkinkankan karena tiang tugeh bebas
beban.
Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang
atau jenis fauna yang dikarang keindahannya.
3. Pepatraan
Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-
patern yang disebut Patra atau Pepatraan. Pepatraan yang juga banyak
didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora menamai pepatraan
dengan jenis flora yang diwujudkan Pepatraan yang memakai nama yang
memungkinkan kemungkinan negara asalnya ada pula yang merupakan
perwujudan jenis-jenis flora tertentu. Ragam hias yang tergolong
pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat pula diwujudkan
dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas yang
kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam
penterapannya dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman
Sangging yang merancang tanpa meninggalkan pakem-pakem
identitasnya.
- Patra Wangga
Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi
lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur
di selas-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga
tergolong kekerasan yang merupakan sebagian dari suatu flora
dengan penampilan bagian-bagian keindahannya.
Pura Kediri
- Patra Sari
Bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-
linggar balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas
pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun-daun dan bunga-bunga
dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra sari dapat
digunakan pada bidang-bidang lebar atas, daun umumnya untuk
bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena lingkar-
lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun bunga
merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.
Pura Bukit Dharma
- Patra Bun-Bunan
Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-
bunan (tumbuh-tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara
daun dan bunga di rangkai batang jalar. Dapat pula divariasi dengan
julur-julur dari batang jalar.
- Patra Pidpid
Juga melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan
daun-daun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun
yang dilukiskan penempatannya pada bidang-bidang sempit.
- Patra Punggel
Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan
lengkung-lengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada
yang disebut batu pohon kupil guling, util sebagai identitas Patra
Punggel. Pola patern patra punggel merupakan pengulangan dengan
lengkung timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut
atap berguna. Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-
bidang lebar atau bervariasi/ combinasi dengan patra lainnya.
Patra Punggel merupakan patra yang paling banyak digunakan.
Selain bentuknya yang murni sebagai Patra Punggeh utuh. Patra
Punggel umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan (patra-patra
dari jenis fauna) sebagai hiasan bagian (lidah naga patra punggel api-
apian), ekor singa, dan hiasan-hiasan. Untuk patra tunggal puncak
atap yang disebut Bantala pada atap yang bukan berpuncak satu.
Untuk hiasan atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan
motif-motif Kusuma Tirta Amertha Murdha Bajra yang masing-masing
juga dilengkapi dengan patra punggel sebagai hiasan bagian dari
Karang Goak di sudut-sudut alas Murdha.
Pura Kediri
- Patra Samblung
Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk
patern yang disebut Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar
melengkung dengan kelopak daun dan daun-daun dihias lengkung-
lengkung harmonis.
Serupa dengan Patra Samblung ada patra Olanda, Patra Cina,
Patra Bali masing-masing dengan nama kemungkinan negara asalnya.
Ada pula patra Banci yang bervariasi dari gabungan patra yang
dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan mewujudkan identitas
baru.
- Patra Pae
Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang
dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.
Pura
Kediri
- Patra Ganggong
Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang
dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.
Pura Bukit Dharma
- Patra Batun Timun
Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam
susunan diagonal berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-
bentuk para mas-masan setengah bidang.
- Patra Sulur
Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur
bercabang-cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula
dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang.
Pura Bukit Dharma
Arti dan Maksud
Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti
dan maksud-maksud tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol
dan penyampaian komunikasi merupakan maksud dan arti ragam hias pada
bangunan-bangunan, peralatan dan perlengkapan.
1. Ragam hias untuk keindahan
Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan
suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat
mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu
bangunan lebih indah dan menyegarkan pandangan.
2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis
Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat
mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna
juga merupakan simbol arah orientasi, merah untuk warna kelod, kuning
untuk warna kauh atau barat putih untuk warna kangin atau timur, hitam
untuk warna kaja dan penyatuan dua bersisian untuk arah sudut.
3. Ragam hias sebagai alat komunikasi
Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan-
bangunan tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan
yang dikenakan. Hiasan serba putih pada wade wadah yang menunjukkan
fungsinya.
FAUNA
Dijadikan materi hiasan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan atau
pepulasan. Penterapannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya.
Pada beberapa bagian keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk
penyesuaian untuk menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias
keseluruhan.
Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk
kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang bercariasi dari berbagai
macam binatang. Hiasan fauna pada penempatannya umumnya disertai atau
dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan.
Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil
jenis-jenis kera dan ceritera ramayana. Parung-patung sebagai souvenir
umumnya mengambil bentuk-bentuk garuda, naga, singa, kuda, kera, sapi dan
binatang ternak lainnya.
Ukiran fauna pada bidang-bidang relief di dinding, panil atau bidang-
bidang ukiran lainnya umumnya menterapkan ceritra-ceritra rakyat legenda
tantri dari dunia binatang. Penampilan fauna dalambentuk-bentuk patung-
patung bercorak expresionis pada kekarangan bercorak abstrak dan realis
pada relief.
Fauna sebagai hiasan dan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual
ditampilkan dalam bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai
bagian dari bangunan berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corak magic,
lengkap dengan huruf-huruf simbol mantra-mantra Fauna sebagai elemen
bangunan yang juga berfungsi sebagai ragam hiasan di kenakan sebagai sendi
alas tiang dengan bentuk-bentuk garuda, singa bersayap atau bentuk-bentuk
lainnya.
2.2.1. NAMA
Ragam hias dari jenis-jenis faunda ditampilkan sebagai materi
hiasan dalam berbagai macam dengan namanya masing-masing.
Bentuk-bentuk penampilannya berupa patung. Kekarangan atai relief-
relief yang dilengkapi pepatraan dari berbagai jenis flora.
1. Kekarangan
Penampilannya expresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya
dari fauna yang diexpresikan secara abstrak. Kekarangan yang
mengambil bentuk-bentuk binatang gajah atau asti, burung goak dan
binatang-binatang khayal primitif lainnya dinamai dengan nama-
nama binatang yang dijadikan bentuknya.
- Karang Boma
Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas
lengkap dengan hiasan dan mahkota, diturunkan dari ceritra
Baomantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula
yang lengkap dengan tang dari pergelangan ke arah jari dengan
jari-jari mekar. Karang Boma umumnya dilengkapi dengan patra
bun-bunan atau patra punggel. Ditempatkan sebagai hiasan di
atas lubang pintu dari Kori Agung.
- Karang Sae
Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan
gigi-gigi runcing. Karang sae umumnya dilengkapi dengan
tangan-tangan seperti pada karang boma. Penampilannya
dilengkapi dengan hiasan flora patra punggel dan patra bun-
bunan. Hiasan karang sae ditempatkan di atas pintu Kori atau
pinti rumah tinggal dan juga pada beberapa tempat lainnya.
- Karang Asti
Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya
mengambil bentuk gajah yang diabtrakkan sesuai dengan seni
hias yang diexpresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti
yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring
gadingnya bermata bulat. Hiasan flora Patra Punggel melegkapi
ke arah sisi pipi asti. Sesuai kehidupannya gajah di tanah karang
asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di
bagian bawah.
Pura Kediri
- Karang Goak
Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut
pula karang manuk karena serupa pula dengan kepala ayam
dengan penekanan pada paruhnya. Karang goak dengan paruh
atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata bulat. Sesuai dengan
kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap, hiasan
Karangmanuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada
sudut-sudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai
hiasan bagian pipi dan kepalanya dilengkapi dengan hiasan patra
punggel. Karang Goak umumnya disatukan dengan karang
Simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah Karang
Goak.
Pura Kediri
- Karang Tapel
Serupa dengan Karang Boma dalam bentuk yang lebih kecil
hanya dengan bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat
dengan hidung kedepan, lidah terjulur yang diambil dari jenis-
jenis muka yang galak. Hiasan kepala dan pipi mengenakan
Patra Punggel. Ke arah bawah kepala karang simbar dari jenis
flora yang disatukan. Karang tapel ditempatkan sebagai hiasan
peralihan bidang di bagian tengah.
- Karang Bentulu
Bentuknya serupa dengan Karang Tapel lebih kecil dan lebih
sederhana. Tempatnya di bagian tengah atau bagian pada
peralihan bidang di bidang tengah. Bentuknya abstrak bibir hanya
sebelah atas gigi datar taring runcing lidah terjulur. Hanya
bermata satu di tengah tanpa hidung. Hiasan kepala dan pipi
Patra Punggel yang disatukan merupakan suatu bentuk kesatuan
Karang Bentulu.
Bentuk-bentuk karangan lainnya. Karang Simbar dari jenis flora,
Karang Batu dari jenis bebatuan, Karang Bunga dari bunga jenis
flora sebagai hiasan-hiasan sudut, tepi atau peralihan bidang
yang berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.
2. P a t u n g
Untuk patung-patung hiasan permanen umumnya mengambil
bentuk-bentuk dewa-dewa dalam imajinasi manifestasinya, manusia
dari dunia pewayangan, raksasa dalam expresi wajah dan sifatnya
dan binatang dalam berbagai bentuknya. Benda-benda souvenir dari
kerajinan seni ukir ada pula yang mengambil bentuk-bentuk binatang
yang umumnya realis naturalis.
Patung-patung dari jenis-jenis fauna yang dijadikan hiasan atau
sebagai elemen bangunan umumnya merupakan patung-patung
expresionis yang dilengkapi dengan elemen-elemen hiasan dari
jenis-jenis pepateraan.
Patung-patung dari jenis raksasa untuk elemen-elemen hiasan
yang seakan yang seakan berfungsi untuk menertibkan. Patung-
patung modern ada pula yang kembali ke bentuk-bentuk primitip
untuk elemen penghias atau taman atau ruang. Penempatannya
pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga
konstruksi puncak atap. Sesungguhnya tiang tugeh bebas beban
sehingga memungkinkan ukiran patung Garuda sebagai alas
penyenggahnya. Untuk fungsinya sebagai penyanggah tiang tugeh
bahannya dari kayu yang diselesaikan tanpa atua dengan
pewarnaan. Sesuai dengan penempatannya sebagai sendi tugeh
umumnya merupakan Garuda tunggal yang besarnya sekitar empat
kali tebal tiang.
Patung Garuda yang difungsikan sebagai hiasan ruang
umumnya lengkap dengan pijakan Naga atau Kura-kura dan naga
serta awatara Wisnu sebagai pengendaraannya. Patung garuda
sebagai hiasan simbolis pada bangunan Padmasana ditempatkan
pada bagian sisi ulu batur sari dengan sikap tegak terbang. Di atas
Patung garuda dilengkapi dengan Patung Angsa, juga dalam posisi
terbang melayang. Masing-masing dengan filosofi yang mendukung
perwujudan Padmasana. Patung Garuda Wisnu juga diwujudkan
untuk pratima yang disakralkan berfungsi ritual. Untuk benda-benda
souvenir sebagai kerajinan seni ukur Patung Garuda diwujudkan
dalam berbagai variasi dan dimensi dari sebesar biji catur sampai
setinggi orang tanpa atau dengan pewarnaan.
- Patung Singa
Wujudnya singa bersayap yang juga disebut Singa
Ambara Raja. Dalam keadaan sebenarnya tidak bersayap.
Patung Singa bersayap untuk keagungan keadaan sebenarnya
tidak bersayap. Patung singa difungsikan juga untuk sendi alas
tugeh seperti patung Garuda. Bahannya dari kayu jenis kuat,
keras dan awet. Patung singa digunakan pula untuk sendi alas
tiang pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan
bahan dari batu padas keras, atau batu karang laut yang putih
masif dan keras. Patung singa bersayap juga dibuat sebagai
kerajinan seni ukur untuk benda-benda souvenir dari ukuran kecil
untuk hiasan meja sampai ukuran besar untuk hiasan ruang.
Bahannya dari batu padas kelabu atau kayu jenis keras yang
awet, tanpa atau dengan pewarnaan.
Patung-patung singa bersayap ada pula yang disakralkan
untuk Pratima sebagai simbol-simbol pemujaan. Untuk
petualangan sebagai tempat-tempat pembakaran mayat dalam
upacara ngaben selain patung lembu, patung singa juga dipakai
dengan perwujudan dan hiasan sementara yang ikut terbakar
bersama pembakaran mayat di badan Petualangan Patung
Singan.
Pura Bukit Dharma
- Patung Naga
Perwujudan Ular Naga dengan mahkota kebesaran hiasan
gelung kepala, bebadong leher anting-anting telingan rambut
terurai, rahang terbuka taring gigi runcing lidah api bercabang.
Patung Naga sikap tegak bertumpu pada dada, ekor menjulang
ke atas gelang dan permata di ujung ekor. Patung naga sebagai
penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga
menghadap ke depan lekuk-lekuk ekor mengikuti tingkat-tingkat
tangga ke arah atas. Pemakaian patung Naga.
Dalam fungsinya sebagai hiasan dan stabilitas losofis,
Patung Naga yang membelit Bedawang kura-kura raksasa
ditempatkan pada dasar Padmasana (gb. 107 a.b) Bedawang
Naga juga sebagai dasar Meru seperti tumpang 11 di Pura
Kehen Bangli. Untuk bale wadah pada upacara Ngaben bagi
satria tinggi juga memakai Bedawang Naga sebagai dasar Bade
wadah yang disebut Naga Badha.
Untuk fungsi ritual Patung Naga bersayap juga digunakan
untuk pratima sebagai simbol pemujaan yang disakralkan.
Sebagai benda-benda souvenir kerajinan seni ukur juga membuat
patung-patung Naga dalam ukuran kecil atau besar yang
umumnya disatukan dengan patung Garuda atau Garuda Wisnu
yang berpijak pada belitan Bedawang Naga.
Pura Bukit Dharma
- Patung Kura-Kura
Perwujudan melukiskan Kura-kura raksasa yang disebut
Bedawang, sebagai simbol kehidupan dinamis yang abadi.
Keempat kakinya berjari lima kuku runcing menerkam tanah.
Kepalanya berambut api hidung mancung, gigi kokoh datar
bertaring runcing mata bulat. Wajah angker memandang ke arah
atas depan berpandangan dengan Naga yang membelitnya.
Kepala Naga di atas kepala bedawang dalam posisi
berpandangan galak dinamis.
Pemakaian Bedawang tidak berdiri sendiri, selalu
merupakan kesatuan berbelit dengan Naga atau Bedawang Naga
sebagai pijakan Garuda yang dikendarai awataran Wisnu. Garuda
dan Bedawang merupakan kesatuan dalam mitologi yang
membawakan filosofi kehidupan ritual.
- Patung Kera
Perwujudannya merupakan kera-kera yang diekspresikan
dilukiskan dalam ceritera ramayana. Patung-patung anoman
(gb. 207/atas), Subali, Sugriwa merupakan patung-patung kera
yang banyak dipakai hiasan sebagai bagian dari bangunan
seperti pemegang alas tiang jajar bangunan pelinggih. Untuk
hiasan terlepas pada bangunan juga banyak digunakan patung
kera dalam bentuk realis dengan bahan kayu atau sabut kelapa
untuk dibuat benda-benda souvenir
Arti dan Makna
Ragam hias dari jenis-jenis fauna selain fungsinya sebagai hiasan juga
mengandung arti dan maksud-maksud tertentu untuk beberapa macam
hiasan. Pemakaian bahan proses pembuatan dan bentuk-bentuk penampilan
membawakan identitas pemakaiannya sebagai ragam hias. Penghias ruang
menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan ataupun di
abstrakkan. Singa bersayap, Garuda bertangan, Gajah bermata bulat dengan
deretan ggi rata kura-kura berambut api bentuk-bentuk perwujudan lainnya
sesungguhnya tidak ada fauna yang sama seperti itu. Variasi penampilannya
untuk keindahan komposisi expresi dan keserasian.
Pepatraan dari jenis-jenis flora yang melengkapi jenis-jenis fauna untuk
keharmonisan kesatuan penampilan beberapa bagian bentuk hiasan. Untuk
keindahan karakter penampilan sikap-sikap fauna sebagai ragam hias
diexpresikan dengan kesan galak, angker atau agung mempesona.
2. Fauna sebagai simbol ritual
Penampilannya dalam huungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan
simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Bedawang naga
sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan di bumi dijadikan dasar
padmasana atau bade wadah. Garuda wisnu sebagai simbol kesetiaan
keyakinan dan ketangguhan. Singa ambara atau singa bersayap sebagai
simbol ketangkasan dan kekuasaan. Angsa dan burung merak pada patung
Saraswati masing-masing sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi.
3. Fauna sebagai media ejukatif
Ragam hias dari jenis-jenis fauna yang ditirukan dari bagian-bagian
ceritra tantri sebagai legenda yang telah memasyaratkan mengandung arti
dan maksud ejukatif konstruktif. Penampilan singa dan lembu dari
persahabatan jadi permusuhan akibat fitnah anjing ki Patih Sembade.
Mengajarkan agar kita jangan muda diadu dengan cara berbagai bentuk
fitnah.
Penampilan cangak meketu sebagai Padandabaka atau bangau yang
menyamar sebagai pendeta menipu ikan-ikan untuk dijadikan mangsanya
membawa maksud untuk mengingatkan agar kita waspada terhadap segala
bentuk penipuan yang berpura-pura baik. Waspada seperti kepiting yang
tenang dengan mata menonjol siap menghukum penipu menyepit leher
bangau.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat
Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat
desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati
semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur
tradisional di mana material alam merupakan “zat hidup” yang harus diperlakukan
dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian
material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan
alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur
tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam
lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang
berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang
sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di
Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan
dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya
masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya.
3.2 Saran
Sebaiknya arsitektur nusantara Bali harus dilestarikan, sebab arsitektur Bali
merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang memiliki cirri khas yang
berbeda dengan arsitektur yang ada di daerah lain. Dengan ini diharapkan agar
arsitektur Bali mendapat perhatian dari banyak pihak baik itu pemerintah,
maupun masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA