pangan mahal untuk menaikkan produksi mahal...bubur kacang hijau, salon kecantikan, dll mulai...

3
Pangan Mahal untuk Menaikkan Produksi Oleh : Viktor Siagian Masyarakat saat ini dihadapkan pada mahalnya harga kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, tepung terigu, belum lagi barang lainnya seperti tahu, tempe, minyak tanah dsb. Hampir seluruh sembilan kebutuhan bahan pokok sudah mengalami kenaikan yang tajam. Kenaikan harga barang domestik ini memicu meningkatnya laju inflansi yang menurunkan daya beli masyarakat. Atau kenaikan harga barang domestik akan menaikkan kurs rill (real exchange rate) rupiah yang selanjutnya akan menurunkan nilai ekspor bersih kita. Secara empiris kita bisa melihat dampak dari menurunnya daya beli masyarakat. Volume penjualan pedagang warung makanan, angkutan umum, pedagang bubur kacang hijau, salon kecantikan, dll mulai menurun. Pelanggan mulai sepi karena masyarakat memilih lebih berhemat. Pedagang makanan misalnya lebih memilih mengurangi bobot makanannya dari pada menaikkan harga jual. Para pedagang sapi pun sudah berdemonstrasi menuntut pemerintah untuk harga menurunkan harga karena sepinya pembeli, mereka menuntut harga diturunkan menjadi Rp 38.000/kg dari harga saat ini Rp 50.000 – Rp 55.000/kg (Sinar Harapan 21 Februari 2008). Pemerintah sudah menanggapi ini dengan melakukan impor daging sapi, saat ini harga sudah turun berkisar Rp 40.000 – Rp 50.000/kg. Kenapa pemerintah mempertahankan strategi harga pangan mahal ini? Alasan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi. Karena dengan naiknya harga pangan petani lebih bergairah untuk menanam tanaman pangan petani lebih bergairah untuk menanam tanaman pangan seperti padi, kedelai, tebu, jagung apalagi pemerintah mentargetkan swasembada untuk komoditas tersebut. Langkah ini memang tepat dari sisi supply-nya tapi dari sisi demand-nya merugikan. Hanya petani yang diuntungkan dengan keadaan sedangkan konsumen dirugikan. Petani padahal juga bertindak sebagai konsumen , dimana pada masa penceklik akan membeli beras karena persediaannya sudah habis. Situasi ini sangat jelas terlihat pada kasus komiditi beras dan gula. Pemerintah masih enggan menurunkan harganya karena beranggapan dengan mempertahankan harga tinggi produksi akan meningkat yang selanjutnya akan menuju swasembada.

Upload: vomien

Post on 07-Jul-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pangan Mahal untuk Menaikkan Produksi Mahal...bubur kacang hijau, salon kecantikan, dll mulai menurun. Pelanggan mulai sepi karena masyarakat memilih lebih berhemat. Pedagang makanan

Pangan Mahal untuk Menaikkan Produksi

Oleh : Viktor Siagian

Masyarakat saat ini dihadapkan pada mahalnya harga kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, tepung terigu, belum lagi barang lainnya seperti tahu, tempe, minyak tanah dsb. Hampir seluruh sembilan kebutuhan bahan pokok sudah mengalami kenaikan yang tajam. Kenaikan harga barang domestik ini memicu meningkatnya laju inflansi yang menurunkan daya beli masyarakat. Atau kenaikan harga barang domestik akan menaikkan kurs rill (real exchange rate) rupiah yang selanjutnya akan menurunkan nilai ekspor bersih kita. Secara empiris kita bisa melihat dampak dari menurunnya daya beli masyarakat. Volume penjualan pedagang warung makanan, angkutan umum, pedagang bubur kacang hijau, salon kecantikan, dll mulai menurun. Pelanggan mulai sepi karena masyarakat memilih lebih berhemat. Pedagang makanan misalnya lebih memilih mengurangi bobot makanannya dari pada menaikkan harga jual. Para pedagang sapi pun sudah berdemonstrasi menuntut pemerintah untuk harga menurunkan harga karena sepinya pembeli, mereka menuntut harga diturunkan menjadi Rp 38.000/kg dari harga saat ini Rp 50.000 – Rp 55.000/kg (Sinar Harapan 21 Februari 2008). Pemerintah sudah menanggapi ini dengan melakukan impor daging sapi, saat ini harga sudah turun berkisar Rp 40.000 – Rp 50.000/kg. Kenapa pemerintah mempertahankan strategi harga pangan mahal ini? Alasan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi. Karena dengan naiknya harga pangan petani lebih bergairah untuk menanam tanaman pangan petani lebih bergairah untuk menanam tanaman pangan seperti padi, kedelai, tebu, jagung apalagi pemerintah mentargetkan swasembada untuk komoditas tersebut. Langkah ini memang tepat dari sisi supply-nya tapi dari sisi demand-nya merugikan. Hanya petani yang diuntungkan dengan keadaan sedangkan konsumen dirugikan. Petani padahal juga bertindak sebagai konsumen , dimana pada masa penceklik akan membeli beras karena persediaannya sudah habis. Situasi ini sangat jelas terlihat pada kasus komiditi beras dan gula. Pemerintah masih enggan menurunkan harganya karena beranggapan dengan mempertahankan harga tinggi produksi akan meningkat yang selanjutnya akan menuju swasembada.

Page 2: Pangan Mahal untuk Menaikkan Produksi Mahal...bubur kacang hijau, salon kecantikan, dll mulai menurun. Pelanggan mulai sepi karena masyarakat memilih lebih berhemat. Pedagang makanan

Menahan Beras Produsen utama beras dunia seperti Thailand dan Vietnam mengalami penurunan produksi. China menaikkan cadangannya dari 32 juta ton menjadi 40 juta ton untuk antisipasi efek dari global warning. Efek dari harga kenaikan beras di pasar dunia ini semakin mempersulit konsumen, harga beras didalam negeri tentunya akan naik menuju keseimbangan baru. Pemerintah sudah mengantisipasinya dengan menerapkan pajak ekspor untuk mengurangi keinginan mengekspor beras. Saat ini untuk mendapatkan kontrak impor beras juga sangat sulit karena Negara-negara produsen Manahan ekspor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Harga beras di Vietnam naik hingga 60 % sehingga pemerintahnya mengenakan pajak ekspor untuk menekan inflansi.Filipina yang semula dapat jatah ekspo 1,5 juta ton dari Vietnam ternyata hanya mampu 1 juta ton. Harga kontrak terakhir 2008 naik dibandingkan tahun lalu. Produksi beras dunia tahun 2007 hanya 420 juta ton sedangkan permintaan 423 juta ton, sehingga cadangan menurun. Penurunan harga pangan lainnya ini tergantung pada pemerintah, jika pemerintah menginginkan tinggal menurunkan bea masuk impor pada jagung dan gula. Kenyataannya pemerintah tidak melakukannya. Dengan mengacu pada produksi rata-rata nasional 3,5 ton per ha saja,penerimaan petani jagung mencapai mencapai Rp 7,0 juta – Rp 9,6 juta/ha sedangkan biaya produksi mencapai Rp 2 juta/ ha maka petani sudah memperoleh pendapatan berkisar 5 sampai 7,6 juta rupiah per hektarare per tiga bulan. Harga beras diprediksi pada bulan April baru turun, karena puncak panen raya terjadi pada masa tersebut. Dari pantauan penulis di Kabupaten Banyuasin, Sumsel harga beras di tingakat petani berkisar Rp 3.600–Rp 3.800/kg atau Rp 2.100 – Rp 2.200 gabah kering panen, sedikit diatas Harga Pembelian Pemerintah, yakni Rp 2.000/kg gkp. Seluruh harga pangan yang harga internasionalnya lebih tinggi dari pada harga domestik relatif sulit untuk turun kecuali dibuat kebijakan harga atap (ceiling price). Pengeluaran 60% Menetapkan harga pangan mahal untuk meningkatkan produksi memang bukan hanya untuk Indonesia. Jepang misalnya menetapkan Bea Masuk Impor yang tinggi untuk beras sehingga harga beras mencapai 30.000/kg untuk melindungi petaninya. Tapi jika negeri kita di analogikan dengan Jepang, akan mengalami kesulitan presentase pengeluaran rumah tangga di Jepang untuk membeli beras relatif kecil karena tingginya tingkat pendapatan mereka.

Page 3: Pangan Mahal untuk Menaikkan Produksi Mahal...bubur kacang hijau, salon kecantikan, dll mulai menurun. Pelanggan mulai sepi karena masyarakat memilih lebih berhemat. Pedagang makanan

Berbeda dengan Indonesia yang pengeluaran rumah tangga beras dan lauk pauk bisa mencapai sedikitnya 60%. Apalagi dampak kenaikkan BBM tahun 2005 masih terasa hingga saat ini yang membuat daya beli masyarakat semakin lemah. Jadi apakah pemerintah bisa merasakan kesulitan yang di hadapi masyarakat saat ini? Tentu salah satu untuk mengatasinya dengan memberikan subsidi langsung kepada masyarakat miskin seperti beras raskin (rakyat miskin), subsidi minyak goreng, subsidi kepada pengrajin tahu dan tempe dsb. Tetapi subsidi beras raskin ini sebenarnya tidak efektif karena masih banyak sebenarnya masyarakat yang patut menerima subsidi langsung. Hanya rakyat yang di anggap benar-benar sangat miskin mendapatkannya. Kemudian untuk subsidi minyak goreng jumlahnya sangat terbatas, banyangkan hanya Rp 350 miliar untuk seluruh Indonesia. Jadi apa solusinya agar harga pangan dapat terjangkau? Tentunya harus ada supply yang cukup terutama untuk beras dan gula. Jika stok di dalam negeri sudah menipis maka perlu dilakukan impor, juga penurunan Bea Masuk Hal yang sama berlaku untuk gula. Di tengah mahalnya harga-harga barang dan jasa maka penurunan harga pangan ini dapat menjadi pemicu semangat agar masyarakat kembali bergairah bekerja, memiliki harapan pada kehidupan yang lebih baik. Sebenarnya bila tingkat investasi asing dan swasta nasional relatif tinggi, beban pengeluaran untuk pangan ini masih bisa dimaksimalkan. Investasi berarti membuka lapangan kerja baru, tapi dalam kenyataannya tingkat investasi masih rendah. Akibatnya kondisi saat ini banyak terjadi pengangguran. Perusahaan mengurangi jumlah produksinya akibatnya lemahnya daya beli. Pengurangan jumlah produksi mengakibatkan pengurangan jam kerja atau pemutusan hubungan kerja. Jika kondisi ini terus berlanjut maka resesi ekonomi bisa menghadang kita.

Viktor Siagian, BPTP Sumsel,Badan Litbang Pertanian, Deptan

Di muat pada surat kabar Sinar Harapan, 3 April 2008