pandangan positivis tentang ronggeng dukuh paruk
DESCRIPTION
Sebuah makalah yang membahas pengaruh budaya Jawa dan keadaan sosio-politik di Indonesia pada akhir dasawarsa 50-an dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Makalah ini merupakan tugas untuk mata kuliah Sosiologi Sastra di Universitas Sanata Dharma. Mohon maaf apabila terjadi kesalahan bahasa; saya orang Kanada.TRANSCRIPT
PANDANGAN POSITIVIS TENTANGRONGGENG DUKUH PARUKKARYA AHMAD TOHARI
MakalahDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Lulus Mata Kuliah Sosiologi Sastra
OlehChristopher Allen Woodrich : NIM 084114001
Petrus Purwanto : NIM 084114006Monika Marta Ose : NIM 084114014
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIAJURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA
2010
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Kami menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang kami tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, ..........................................
Penulis
Christopher Allen Woodrich Petrus Purwanto
Monika Martha Ose
KATA PENGANTAR
Atas bantuan mereka dalam penyelesaian makalah ini kami ucapkan terima
kasih kepada orang-orang berikut:
Dra. F. Tjandrasih Adji, M. Hum., untuk bantuan dan kesabarannya
Ahmad Tohari, untuk menulis novel yang amat menarik dan khas ini
Makalah ini tidak sempurna dan apabila terjadi kekurangan kami mohon maaf
lebih dahulu. Terima kasih.
Yogyakarta, ………………….. 2010
Christopher Allen Woodrich Petrus Purwanto
NIM: 084114001 NIM: 084114006
Monika Martha Ose
NIM: 084114014
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
BAB 1: PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2. Tujuan dan Metode Analisis ........................................................... 1
1.3. Sistematika Penyajian ..................................................................... 2
BAB 2: SINOPSIS RONGGENG DUKUH PARUK..................................... 3
BAB 3: PERWUJUDAN BUDAYA JAWA DALAM NOVEL
RONGGENG DUKUH PARUK ...................................................... 6
3.1. Kebudayaan Keris ........................................................................... 6
3.2. Roh-Roh .......................................................................................... 7
3.3. Kekeramatan .................................................................................... 8
3.4. Religi ............................................................................................... 9
3.5. Nasib ............................................................................................... 9
3.6. Nerima / Cipto Tunggal................................................................... 10
3.7. Keperawanan ................................................................................... 10
3.8. Pernikahan ....................................................................................... 11
BAB 4: PERWUJUDAN MOMEN TAHUN ENAM PULUHAN
DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK ........................ 13
4.1. Ekonomi .......................................................................................... 13
4.2. Politik .............................................................................................. 13
BAB 5: KESIMPULAN ............................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 16
BAB 1: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sudah diketahui bahwa suatu karya sastra tidak dapat menjadi ada tanpa
pengaruh luar. Pengaruh ini dapat bersifat subjektif, misalnya pandangan hidup
pembaca dan penulis, dan objektif, misalnya kebudayaan asal penulis dan peristiwa
kontemporer. Ilham-ilham ini menjadi dasar pemahaman setiap karya sastra.
Demikian pula Ronggeng Dukuh Paruk, oleh Ahmad Tohari. Novel ini
mempunyai pengaruh budaya yang amat kuat. Dari bahasa yang digunakan, tarian
yang digambarkan, sampai kebudayaan bukak-klambu, yang menjadi pendorong plot
utama adalah kebudayaan di Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan.
Ada pula faktor ekonomi dan politik dasawarsa 50-an, yang melatarbelakangi
cerita dan mengilhami beberapa peristiwa, termasuk klimaks. Ekonomi Indonesia
yang kacau balau pada akhir dasawarsa 50-an dan awal 60-an, serta ketidakstabilan
politik, menjadi ilham yang cukup besar.
Namun, ilham-ilham ini belum sempat dijelaskan dengan sempurna. Dengan
demikian, dilaksanakanlah penelitian ini.
1.2. Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini dimaksud untuk menjelaskan bagaimana keadaan sosial,
budaya, politik dan ekonomi pada akhir dasawarsa 50-an dicerminkan dalam
Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari. Demi itu, akan digunakan teori
positivisme, sebagaimana diajari di perkuliahan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini cukup simpel. Novel dibaca dan
disimpulkan. Kemudian, novel diusahakan untuk dipahami dengan melihat keadaan
sosio-budaya, ekonomi dan politik kontemporer.
1.3. Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi menjadi lima bab. Bab satu adalah bab pendahuluan, yang
berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi tiga subbab dan menjelaskan
latar belakang masalah, tujuan dan metode penelitian, dan sistem penyajian.
Bab dua berfungsi sebagai informasi latar belakang yang menjelaskan garis
besar plot Ronggeng Dukuh Paruk. Ini dimaksud supaya pembaca dapat lebih
memahami peristiwa yang dijelaskan.
Bab tiga adalah pembahasan mengenai kebudayaan Jawa yang diwujudkan
dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Bab ini termasuk pembahasan singkat mengenai
gender dan seksualitas dalam masyarakat Jawa serta penjelasan kebudayaan tarian
ronggeng, keris, sopan santun dan gotong royong.
Bab empat adalah pembahasan pengaruh keadaan ekonomi dan politik pada
tahun 50-an dalam plot novel.
Bab terakhir adalah bab lima. Bab ini merupakan kesimpulan dari makalah.
BAB 2: SINOPSIS RONGGENG DUKUH PARUK
Pada suatu hari di dasawarsa 50-an, beberapa anak kecil bermain ramai-ramai.
Seorang perawan yatim-piatu, Srintil, dikerjakan dan disuruh menari bagai ronggeng
oleh teman-teman sedukuh; salah satunya Rasus. Dia tertawa, lalu mulai menari.
Ternyata Srintil, yang belum pernah belajar menjadi ronggeng, pintar sekali
menari. Setelah selesai menari, dia dicium teman-temannya di pipi. Kakeknya lihat
ini dari jauh dan merasa bahwa Srintil telah dimasuk indang (roh).
Kakek Srintil, Sakarya, berbicara dengan dukun pelatih ronggeng bernama
Kartareja dan mengajak dia melihat tarian Srintil. Dukun itu setuju, dan melihat
Srintil menari tarian ronggeng dengan pintar. Dia setuju bahwa Srintil telah dimasuk
indang, lalu mengambil keputusan bahwa Srintil harus dilatih.
Flashback. Di suatu malam sebelas tahun sebelumnya ada malapetaka.
Banyak sekali warga Dukuh Paruk sakit, dan mereka merasa telah diracuni oleh
pembuat tempe (yang kebetulan ayah dan ibu Srintil). Beberapa di antara mereka
mengajar ayah dan ibu Srintil, lalu memperlakukan mereka dengan kasar. Akhirnya
mereka makan banyak sekali tempe untuk membuktikan bahwa mereka tidak
meracuninya, tetapi mereka pun jatuh sakit.
Flashback selesai. Rasus menarasi dan menjelaskan pikirannya mengenai
kehilangan ibu dan ayah dalama malapetaka tempe itu. Ternyata dia kadang-kadang
menganggap Srintil sebagai cermin ibunya.
Namun, Rasus juga punya perasaan lain untuk Srintil. Dia memberi Srintil
suatu papaya dan merasa cemburu ketika ada laki-laki lain yang coba mendekatinya.
Agar tarian Srintil bisa lebih bagus, dia bahkan menyerahkan kepadanya sebuah keris
kecil yang dulu milik ayahnya.
Tarian Srintil menjadi lebih baik dengan keris sakti ini, tetapi dia masih belum
pantas disebut ronggeng. Agar bisa disebut ronggeng sesungguhnya ada dua tahapan
yang harus dia lewati. Pertama, dia harus dimandikan oleh Kartareja di depan
kuburan pendiri dukuh. Kedua, dia harus menjual keperawanannya dalam acara
malam bukak-klambu.
Saat Srintil dimandikan, Kartareja merasa terbawa jiwa pendiri dukuh, Ki
Secamenggala, lalu mencium dan memeluk Srintil dengan amat erat. Setelah orang
lain memohon kepada Ki Secamenggala agar Srintil dilepaskan, baru Kartareja
melepaskannya.
Rasus bertemu dengan Srintil setelah pemandian itu. Dia mengakui bahwa dia
akan merasa kehilangan teman apabila ada sesuatu yang terjadi kepada Srintil.
Setelah pemandian itu, persiapan untuk malam bukak-klambu dimulai.
Kartareja meminta satu ringgit emas untuk keperawanan Srintil. Biarpun harganya
tinggi, ada banyak orang tertarik. Namun, Rasus merasa jijik dengan kebudayaan itu.
Tiga hari sebelum hari bukak-klambu, Kartareja membeli kasur dan pelengkap
baru. Orang-orang sedukuh datang melihat kasur yang mewah sekali dan sprei dan
bantal yang putih bagai salju. Namun, untuk Rasus matras baru itu adalah barang
malang.
Satu hari sebelum hari bukak-klambu, ada seorang remaja bernama Dower
datang dari jauh untuk melamar Srintil. Dia tidak membawa seringgit emas seperti
yang diminta, tetapi membawa dua rupiah perak sebagai jaminan bahwa dia akan
lunasi semua. Kartareja menyuruh dia cepat kembali dengan uang yang diminta.
Pada pagi hari bukak-klambu, Rasus sangat sedih karena merasa bahwa Srintil
akan berhubungan seks pada malam itu. Dia bersembunyi di pemakaman, tetapi
kebetulan bertemu Srintil di sana. Srintil melihat betapa sedihnya Rasus dan
menawarkan bercinta dengannya agar dia tenang. Akan tetapi, Rasus menolak karena
mereka berada di tempat yang suci.
Pada siang itu Dower datang dengan membawa seekor kerbau besar sebagai
ganti ringgit emas. Kartareja tidak mau menerima itu, tetapi mereka mencapai
kesepakatan: kalau belum ada orang yang membawa seringgit emas, maka
keperawanan Srintil milik Dower. Namun, pada malam itu datang pula seorang lain,
Sulam, yang membawa seringgit emas.
Kedua pemuda itu berdebat keras, apalagi setelah melihat Srintil. Kartareja
dan istrinya mendapat ide yang licik. Mereka memberi minuman keras ke kedua
pemuda itu; akan tetapi, minuman Dower tidak terlalu keras. Oleh karena minuman
keras itu, Sulam tertidur dan Dower dapat menikmati bukak-klambu, lalu tidur di
lantai. Setelah dia bangun, Sulam menikmati pertemuan dengan Srintil. Mereka
berdua merasa telah mengambil keperawanan Srintil.
Namun, ternyata mereka salah. Setelah melihat mereka bertengkar di rumah,
Srintil keluar dan bertemu dengan Rasus. Srintil merasa takut, dan ingin pertama
kalinya bersama orang yang dipercayanya. Oleh karena itu, dia menawarkan diri
kepada Rasus dan mereka bercinta. Perilaku ini dirahasiakan.
Setelah malam bukak-klambu Rasus melarikan diri dari Dukuh Paruk dan
mulai bekerja di pasar Dawuan. Di sana dia bekerja sebagai penjual singkong dan
mulai mengerti bahwa dunia luar jauh berbeda dengan Dukuh Paruk; di antara lain,
perempuan di dunia luar tidak suka dicium dan ada yang berjilbab. Semakin lama dia
bekerja di sana semakin buruk pandangannya terhadap Dukuh Paruk dan orang-
orangnya, termasuk ibunya sendiri.
Oleh karena dia berpendapat buruk tentang orang Dukuh Paruk, dia mulai
tidak memuliakan Srintil sebagai cermin ibunya. Oleh karena itu, ketika Rasus
bertemu dengan Srintil di pasar dia berani mempermainkannya seperti orang lain: dia
berani minta bercinta dan tidak mengakui bahwa Srintil benar-benar mencintainya.
Setelah beberapa tahun suasana menjadi semakin bahaya, sehingga ada
angkatan bersenjata datang melindungi orang-orang sedaerah. Rasus mulai bergabung
dengan mereka, biarpun bukan sebagai prajurit. Dia belajar hal-hal tentang
ketentaraan, termasuk bagaimana menggunakan senjata.
Oleh karena telah belajar itu, setelah dikirim ke Dukuh Paruk untuk
melindungi warga dia mampu membunuh dua orang perusuh. Akhirnya dia diminta
untuk menjadi suami Srintil. Namun, Rasus menolak dan meninggalkan tempat
lahirnya untuk menjadi prajurit.
BAB 3: PERWUJUDAN BUDAYA JAWA DALAM NOVEL RONGGENG
DUKUH PARUK
3.1. Budaya Keris
Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua.
Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara
lain keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya
berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris parung
(keris yang berkeluk sembilan).1 Dalam masa perang kuna, keris dipakai sebagai
senjata.2
Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris
merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria
dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria
berhalangan hadir.3
Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat
membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain,
keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.4
Kebudayaan keris ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris
merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan;
dipercaya bahwa pemakaian keris yang benar akan membuat tariannya menjadi
semakin dahsyat.5
Ini disebabkan karena keris itu adalah pekasih, dan dianggap mempunyai
daya tarik seksual. Selain berbentuk phallus,6 keris itu mempunyai enerji yang selalu
digunakan oleh ronggeng:
1 Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia: Jakarta. Hal. 681.2 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Keris.” http://www.karatonsurakarta.com/keris.html.
Didownload Agustus 2010.3 Ibid.4 Ibid.5 Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. 2009. Cetakan Keempat. Gramedia: Jakarta. Hal. 43.6 Ibid. Hal. 40.
‘“(Sakarya dan Kartareja) mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. … dengan keris ini aku akan menjadi ronggeng tenar.’”7
Biarpun ini tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan keris sebagaimana
dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan. Oleh karena tarian ronggeng
digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat (seperti malam bukak-klambu),
keris digunakan sebagai pengganti pria. Dengan ronggeng memakai keris, pria dan
wanita menyatu.
3.2. Roh-Roh
Dalam kepercayaan Jawa ada berbagai macam roh halus yang dapat
menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk menenangkan roh-roh
halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka makanan lain atau bunga.
Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan.8
Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada
dan kadang-kadang menjenguk keluarga. Roh nenek moyang ini dihormati oleh
keluarga dan dipercaya masih dapat berkomunikasi dengan orang hidup (wangsit).
Apabila ini terjadi, apapun yang diminta dianggap sebagai hal yang terbaik.9
Dunia roh ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam plot Ronggeng Dukuh
Paruk. Wangsit terlihat sekali ketika Srintil dilihat menari dengan indah tanpa
diajari, Sakarya dan Kartareja merasa bahwa dia dirasuk indang ronggeng.
Kepercayaan ini menjadi dasar mereka untuk melatihkan Srintil menjadi ronggeng.10
Sementara, ketika Rasus mengambil keris dari rumahnya, dia memberi alasan
menerima wangsit dari ayah kepada neneknya supaya tidak banyak ditanya.11
7 Ibid. Hal. 438 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Orang Jawa.”
http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html. Didownload Agustus 2010.9 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Adat Istiadat Jawa”
http://www.karatonsurakarta.com/tradisi.html. Didownload Agustus 2010.10 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 1311 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 40.
Ada pula kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara
pemandian di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasuk:
“Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam.”12
Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan. Dengan
demikian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki Secemenggala. Setelah
Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala
melepaskannya.
3.3. Kekeramatan
Di dalam budaya Jawa, kuburuan dianggap sesuatu yang keramat. Ini
disebabkan oleh hormat untuk nenek moyang dan kepercayaan bahwa roh orang mati
masih menyaksikan segala di bumi. Dengan demikian, untuk acara tertentu, misalnya
nyewu, diadakan upacara di pemakaman. Juga diwajibkan sopan santun tinggi saat di
kuburan.13
Kepercayaan ini muncul di dua bagian Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama, saat
diadakan upacara pemandian dan tarian untuk mendapatkan restu Ki Secamenggala
agar Srintil menjadi ronggeng.14 Kali kedua ialah ketika Srintil mengajak Rasus
bercinta di pemakaman untuk menenangkannya, tetapi Rasus menolak karena tempat
itu adalah tempat yang keramat.15
3.4. Religi
Pada umumnya ada dua jenis religi Jawa, yaitu:
12 Ibid. Hal. 47.13 Karaton Surakarta. “Orang Jawa.” Op. Cit.14 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 43 – 50.15 Ibid. Hal. 66 – 67.
1. Islam santri, atau orang yang menolak kepercayaan tradisional Jawa dan
memeluk semua aspek Islam
2. Islam kejawen, atau orang yang secara resmi mengakui Islam tetapi masih
memegang erat kepercayaan Jawa. Kaum priyayi pada umumnya termasuk
kejawen.
Ada pula orang Jawa yang mempunyai religi lain, misalnya orang Jawa
Katolik, Protestan, dan sebagainya, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit.16
Religi dalam Ronggeng Dukuh Paruk mencerminkan perbedaan itu. Di
Dukuh Paruk, tidak ada orang yang dikatakan menganut ajaran Islam dengan baik.
Rasus tidak memahami konsep “dosa” sampai pindah ke Dawuan. Hal-hal seperti
pergaulan bebas sudah umum di Dukuh Paruk.17
Sementara, di Dawuan ada banyak orang yang menganut Islam dengan cara
yang lebih taat, biarpun bukan santri. Misalnya, Siti, seorang gadis seusia Srintil,
memakai kerudung dan melarikan diri setelah Rasus mencubit pipinya. Ada pula
seorang gadis yang rajin bersolat, sesuatu yang tidak ada di Dukuh Paruk.18
3.5. Nasib
Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam hidup sudah
ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat, pintar atau bodoh,
kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir.19
Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja dan Sakarya
mendiskusikan rasuknya Srintil oleh indang. Setelah melihat tarian Srintil, Kartareja
berpendapat:
“… Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki
Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.”20
16 Karaton Surakarta. “Orang Jawa.” Op. Cit.17 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 85 – 86.18 Ibid. Hal. 85 – 86.19 Karaton Surakarta. “Orang Jawa.” Op. Cit.20 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 20.
3.6. Nerima / Cipto Tunggal
Salah satu dasar hidup bersama dalam budaya Jawa adalah konsep nerima,
atau maklum atas keterjadian dalam hidup. Oleh karena emosi dianggap sesuatu yang
selayaknya dihindari, masyarakat Jawa diajari untuk menerima keadaan apa adanya
dengan senang hati.21
Ini terwujud dalam batin Srintil, yang menganggap upacara bukak klambu
sebagai sebuah keharusan dan karenanya ia tidak memberontak terhadap upacara itu.
Ia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua
yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan
pasrah. Karena itu, walaupun ia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika
menjalani upacara itu, ia tidak berani melawan atau memberontak karena menjadi
seorang ronggeng adalah suatu kehormatan dalam kedudukan sosial dan budaya
Dukuh Paruk.22
3.7. Keperawanan
Keperawanan, atau virginitas, dalam budaya Jawa sangat berarti.
Ketidakperawanan istri saat menikah dapat menjadi alasan untuk bercerai, dan wanita
tidak berpasangan yang sudah diketahui bukan perawan dianggap sangat rendah.
Biarpun hymen rusak karena hal selain berhubungan seks, itu masih dianggap bukan
perawan. Akibatnya, wanita Jawa tradisional berusaha untuk menjaganya sampai
menikah. Ini sering diwujudkan dengan tidak bergaul dengan lelaki.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada dua sudut pandang mengenai
keperawanan: satu di Pasar Duwuan, dan satu di Dukuh Paruk. Di Pasar Duwuan,
keperawanan wanita dipandang dari sudut pandang Jawa tradisional, yaitu harus
dijaga sebisa mungkin. Biarpun ada yang dapat dibayar dan sudah bukan perawan
21 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Cipto Tunggal”http://www.karatonsurakarta.com/ciptotunggal.html. Didownload Agustus 2010.
22 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 74 – 78.
lagi, ada juga yang terkenal pemalu dan sholeh. Ini terbukti dengan adanya tokoh Siti
dan satu perempuan tak ternama.23
Keperawanan di Dukuh Paruk dibahas dengan adanya upacara ritual bukak
klambu. Konsep inisiasi ini bertolak dari pandangan bahwa seseorang calon ronggeng
baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral upacara
sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Pandangan semacam itu
berasal dari konsep mitos yaitu menjadi seorang ronggeng sejati bukanlah hasil
pengajaran melainkan jika indang (semacam roh atau wangsit yang dimuliakan di
dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Para Ibu di dukuh itu merasa senang
sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa bangga jika
suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng. Dengan demikian, kita bisa
memahami bahwa keperawanan di Dukuh Paruk masih merupakan hal yang
istimewa, tetapi untuk alasan yang berbeda dari budaya Jawa tradisional: mengambil
keperawanan seseorang, khususnya ronggeng, membawa citra baik, dan menyerahkan
keperawanan dapat menghasilkan keuntungan finansial.24
3.8. Pernikahan
Dalam budaya Jawa tradisional, pernikahan adalah perjalanan hidup yang
ditempuh oleh dua orang, satu suami dan satu istri. Biarpun sultan dan raja zaman
kuna mempunyai beberapa selir, mereka tidak dianggap setara dengan istri. Dalam
kalangan orang awam, pernikahan berarti hanya boleh bersetubuh dengan istri dan
selir tidak diizinkan. Biarpun menurut ajaran Islam seorang pria boleh menikah lebih
dari satu istri, itu harus dengan izin istri pertama; akibatnya, jarang dilakukan. Orang
yang diketahui telah selingkuh dipermalukan oleh orang sekampung dan dapat diusir
dari kampung mereka.
Di Dukuh Paruk, kebudayaan ini sama sekali tidak dihormati. Apabila
seorang suami atau istri berselingkuh, secara tradisional pasangan mereka tidur
23 Ibid. Hal. 85 – 86.24 Ibid. Hal. 30 – 70.
dengan pasangan orang yang ditiduri dalam perselingkuhan itu. Setelah itu, semua
urusan dianggap beres.25 Kedudukan suami-istri di luar Dukuh Paruk tidak
digambarkan.
BAB 4: PERWUJUDAN MOMEN TAHUN ENAM PULUHAN
DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
4.1. Ekonomi
25 Ibid. Hal. 85.
Pada akhir dasawarsa 50-an, ekonomi Indonesia kacau. Ada inflasi sebanyak
650 persen per tahun. Masyarakat Indonesia tidak berani melakukan kegiatan jual-
beli, dan pada umumnya hanya menyimpan barang.26 Biarpun sebanyak 85 persen
penduduk Indonesia termasuk petani, nasi harus diimpor karena sistem infrastruktur
dan pertaniaan sudah bobrok.27
Ini dicerminkan dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Dukuh Paruk tergolong
pedukuhan yang miskin dan kecil. Penduduknya tidak ada yang bersekolah sehingga
sangat dekat dengan kebodohan. Mereka hanya mengkonsumsi gaplek dan tempe
bongkrek sebagai makanan favorit. Karena musim kemarau yang panjang, tidak ada
sayur-mayur yang dapat ditanami; ini melambangkan kelaparan yang umum terasa
oleh masyarakat pada saat itu.
Terlihat pula sistem ekonomi yang sangat sederhana ketika Srintil, yang masih
berusia sebelas tahun, bermain-main bersama teman-temannya di bawah pohon
nangka di pinggiran Dukuh Paruk. Dia, Warta, Darsun, dan Rasus saling membuat
kesepakatan. Srintil mau menari kalau teman-temannya mau mengiringi, meskipun
akhirnya mereka minta upah dengan mencium Srintil. Srintil pun rela diciumi sebagai
jaminan besuknya bisa bermain bersama lagi. Ini mencerminkan sistem barter
sederhana, yaitu menukar jasa untuk jasa.
4.2. Politik
Pada akhir dasawarsa 50-an muncul beberapa gerakan anti-pemerintah di
Indonesia. Tentara Nasional Indonesia sibuk menghadapi gerombolan DI/TII
Kartosuwirjo dan Kahar Muzakhar,28 serta berbagai pemimpin militer (seperti Dewan
Gajah, Dewan Banteng dan Dewan Lambung Mangkurat).29 Selain itu, ada percobaan
26 Abdulgani-Knapp, Retnowati. Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President. 2007. Marshall Cavendish Editions: Singapura. Hal. 79.
27 Ibid. Hal 66 – 67.28 Setiono, Benny G. Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi
Orang Tionghoa di Indonesia. Edisi Pertama. 2008. TransMedia: Jakarta. Hal. 747.29 Abdulgani-Knapp, Retnowati. Op. Cit. Hal. 34.
untuk membunuh Presiden Sukarno pada tanggal 30 November, 195730 dan pendirian
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sebuah “pemerintah” pemberontak.31
Selain itu, terjadilah ketidakpuasan rakyat dengan pemerintah. Pada pemilu
DPRD pada tahun 1957, Partai Komunis Indonesia memperoleh 34% suara di Jawa
Tengah dan terurut kedua di Jawa Timur dan Jawa Barat. Masyarakat tidak sanggup
menerima kemiskinan yang terus diderita.32
Ketidakstabilan ini terwujud di Ronggeng Dukuh Paruk pada akhir cerita,
yaitu ketika terjadi serangan perampok. Selama beberapa bulan daerah Dukuh Paruk
dan Pasar Dawuan rawan perampokan, sampai akhirnya militer dipanggil untuk
melindungi masyarakat. Rasus membantu, dan akhirnya dia mengetahui bahwa
Dukuh Paruk akan diserang. Dia minta izin membantu dalam pembelaan dukuhnya,
dan akhirnya membunuh dua perampok.33
BAB 5: KESIMPULAN
Ronggeng Dukuh Paruk adalah potret suram kehidupan rakyat kecil pedesaan
di Jawa dengan segala persoalannya. Kebudayaan Jawa yang tidak terkait dengan
30 Setiono, Benny G. Op. Cit.. Hal. 783.31 Ibid. Hal. 787 – 788.32 Ibid. Hal. 782.33 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 90 – 103.
etika dipegang erat, tetapi hal-hal seperti keperawananan dan pernikahan tidak
dimuliakan.
Situasi politik dan ekonomi tahun 50-an muncul pula. Seperti halnya dalam
sejarah, kelaparan dan kebodohan di Dukuh Paruk adalah akibat kemiskinan yang
terus mendera sepanjang waktu. Kondisi masyarakat seperti ini adalah lahan empuk
bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Perut yang lapar gampang dibeli
dengan imbalan uang dan materi. Kesulitan ekonomi dengan tingkat paling parah
adalah ladang subur bagi penyebaran pengaruh dan ajaran-ajaran yang menjanjikan
perubahan.
DAFTAR PUSTAKAAbdulgani-Knapp, Retnowati. Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second
President. 2007. Marshall Cavendish Editions: Singapura..
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Adat Istiadat Jawa” http://www.karatonsurakarta.com/tradisi.html. Didownload Agustus 2010.
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Kejawen.” http://www.karatonsurakarta.com/kejawen.html. Didownload Agustus 2010.
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Keris.” http://www.karatonsurakarta.com/keris.html. Didownload Agustus 2010.
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Orang Jawa.” http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html. Didownload Agustus 2010.
Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia: Jakarta
Setiono, Benny G. Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Edisi Pertama. 2008. TransMedia: Jakarta.
Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. 2009. Cetakan Keempat. Gramedia: Jakarta.