pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
TRANSCRIPT
![Page 1: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/1.jpg)
PANCASILA SEBAGAI SISTEM POLITIK DAN HUKUMDian Chandra Buana
Setiap bangsa yang menegara selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan
secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara,
atau pedoman dasar bagi sistem pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di
era reformasi: Pancasila sebagai dasar Negara tidak dipermasalahkan, demokrasi yang
menjadi cirri utama era reformasi menilai pelaksanaan P-4 bersifat indoktrinatif dan
penjabarannya dinilai tidak berhasil dan tidak sesuai lagi dengan jamannya.
Indonesia adalah suatu bangsa dan Negara yang secara politis resmi merdeka
17 Agustus 1945. Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun dianggap bapak bangsa
namun berlaku tirani pada masa pemerintahannya, Soekarno pernah dinyatakan
sebagai presiden seumur hidup, sehingga berkuasa sampai dua puluh satu tahun.
Sedangkan Soeharto merekayasa pemilihan umum sebanyak tujuh kali sehingga
berkuasa selama tiga puluh dua tahun berturut-turut.
Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila, karena falsafah ini sudah
berusaha menyeimbangkan sila-silanya, namun sebenarnya berasal dari UUD 1945
yang membesarkan peran eksekutif ketimbang legislative, dan lembaga tinggi lain, itulah
sebabnya pada era reformasi UUD 1945 ini kemudian diamandemen.
Mengapa para pendiri Republik ini membesarkan peran eksekutif, adalah karena
bermaksud menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah-tengah kebhinekaan
suku, pulau, agama, adat istiadat, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang
ada di Indonesia.
Pada dekade terakhir kita mengalami integrasi bagi persatuan dan kesatuan
bangsa, saying tidak dimengerti oleh bangsa lain, bagaimana tidak kalau dalam integrasi
orang Papua dan Aceh harus merasa memiliki Indonesia, bukan dimiliki Indonesia,
sehingga dengan demikian, hak dan kewajibannya sama. Tentu saja pendekatannya
mutlak harus kesejahteraan.
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan
kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das
sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan
terlalu menekankan pada aspek the legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum
tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini
masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan
dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan
aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum
1
![Page 2: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/2.jpg)
hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh
sosial.
Memahami kenyataan itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan
menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan
untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung
unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman
hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif
bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga
merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan
tertib politik. Dan menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model
perkembangan (developmental model).
Di kalangan ahli hukum dewasa ini berkembang dua pendapat tentang hubungan
sebab akibat antara politik dan hukum. Pandangan yang pertama adalah kaum idealis,
yang cenderung berpandangan dari sudut das sollen. Pandangan ini mengacu pada
pendapat Roscue Pound1 yang menyatakan bahwa ”law as a tool of social enginering”.
Pendapatnya menyatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa
perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politiknya. Wajar
jika secara idologis mereka meletakkan hukum sebagai pemandu dan penentu arah
perjalanan masyarakat, karena memang pada dasarnya hukum difungsikan untuk
menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya. Pandangan yang
kedua mengacu pada pandangan Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, hukum tumbuh dan mati
bersama masyarakatnya.2 Hal ini didasarkan keyakinan bahwa pada dasarnya hukum
merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat. Artinya adalah bahwa
hukum harus menjadi dependent variable atas keadaan luarnya, salah satunya adalah
politik. Dalam bahasa lain dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik.
Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan
masyarakat, baik itu dari aspek ekonomi, sosial, ideology, agama, maupun hukum.
Peran hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan yang
terjadi dengan cara yang teratur. Artinya, hukum diciptakan dan berjalan demi
mewujudkan kehidupan yang diinginkan, yaitu keteraturan. Perubahan yang teratur
terwujud dalam perundang-undangan atau keputusan badan peradilan atau biasa kita
1 Roscoe Pound dalam Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 30
2 Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 9
2
![Page 3: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/3.jpg)
sebut yurispridesi. Oleh karena itu, perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan dari
masyarakat yang sedang membangun, dalam perkembangan hukum sebagai suatu alat
pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana.
Konsep Negara Hukum Indonesia menurut Prof. M. Yamin, sudah lama ada
beribu-ribu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, yang menjadi sumber
hukum secara tertulis dalam Republik Indonesia. Istilah negara hukum jauh lebih muda
daripada pengertian negara hukum yang dikenal dalam Negara-negara Indonesia,
seperti Sriwijaya, Majapahit, Melayu Minangkabau dan Mataram. Hasil penyelidikan ini
menolak pendapat seolah-olah pengertian negara hukum semata-mata bersumber atau
berasal dari hukum Eropa Barat. Tidak demikian halnya, melainkan pengertian Negara
hukum telah dikenal dengan baik dalam perkembangan peradaban yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.3
Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan
ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah
pancasila, yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia
seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan
kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara
eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan
nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum,
melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban
dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan garis amanah konstitusi, maka makna pembangunan nasional
harus mampu mereduksi nilai keseimbangan pada setiap aspek kehidupan sosial
masyarakat. Sejak awal bangsa ini dihadapkan dengan tanggung jawab yang begitu
besar, yaitu meneruskan perjuangan pasca penjajahan kolonialisme dalam bentuk
pembangunan nasional pada setiap dimensi sosial masyarakat. Akan tetapi
persoalannya apakah amanah yang mulia ini dapat begitu saja dijalankan dengan
mudah. Mungkin hal ini tidak perlu dijawab, karena realitas kehidupan saat ini dapat
menggambarkan potret Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional
pasca merdeka dari penjajahan tahun 1945.
Setidaknya dapat dijelaskan secara umum ada beberapa tahapan atau tingkatan
pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai
menjadi negara maju, yaitu tahap pertama, unifikasi dengan titik berat bagaimana
mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap
kedua industrialisasi dengan fokus terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan
3 M. Yamin,, Konsep Negara Hukum Indonesia, Gramedi Jakarta, 1986, hal: 6
3
![Page 4: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/4.jpg)
modernisasi politik, kemudian tahap ketiga negara kesejahteraan dimana tugas negara
terutama adalah perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.4
Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui,
setidaknya program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi
perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana
(predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi
hukum (the special development abilities of the lawyer).5
Kita mengenal ada beberapa tingkatan aturan perundang-undangan,mulai dari
yang tertinggi hingga yang terendah.6 Menurut UU No. 10 Tahun 2004 bahwa setiap
pembuatan undang-undang maka harus disertai dengan Peraturan Perundang-
undangan, dan pembuatannya tidak boleh menyimpang dari undang-undang itu sendiri,
khususnya nilai Pancasila yang mengkedepannya Persatuan dan Kesatuan. Undang-
undang pada hakekatnya bersifat idealis yang berisi hak, kewajiban dan tanggung
jawab. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah orang hanya melihat hak dan
kewajibannya saja, sedangkan unsur-unsur tanggung jawab dikesampingkan.
Dasar politik hukum dalam pembuatan hukum bersandarkan pada idiologi dan
konstitusi Negara Republik Indonesia
Melihat fungsinya, sifat hukum adalah konservatif yang artinya hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapainya. Hukum atau perundang-
undang yang ada identik dengan system kekuasaan saat hukum itu berlaku. Kita lihat
bagaimana Presiden Suharto membuat berbagai regulasi yang bertujuan melindungi apa
yang menjadi upayanya untuk mempertahankan dan melegalkan kebijakan yang
diambilnya. Dalam format pembuatan hukum hal tersebut sah-sah saja sejauh dilakukan
berdasarkan prosedur pembuatan hukum yang benar. Kita tahu bahwa itu salah, tetapi
hukum yang dibuat itu melalui proses yang “legal”. Jadi, hukum jaman Presiden Suharto
tidak bisa dikatakan dengan “cacat hukum”.
Hukum progresif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam
bernegara hukum, yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang
dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila
kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih
mengutamakan "a state with conscience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan
4 Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I, PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 127.5 Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol. 9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157. 6 Lihat UU No 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan.
4
![Page 5: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/5.jpg)
berbunyi: "bernegara hukum untuk apa?" dan dijawab dengan: "bernegara untuk
membahagiakan rakyat.7
Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum ialah mengatur tata tertib masyarakat
secara damai dan adil. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan
kepentingan golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan
kepentingan selalu menyebabkan pertikaian. Bahkan peperangan antara semua orang
melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk
mempertahankan kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan
menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan
keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur
pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan
yang mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi
sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.8
Dalam wacana reformasi kehidupan disegala bidang, terutama dalam bidang
politik dan hukum, telah mencuat berbagai pandangan tentang perlunya amandemen,
bahkan perubahan atas UUD 1945. Dikatakan bahwa UUD 1945 yang beberapa
pasalnya bersifat multi interpretable dan memberikan porsi kekuasaan sangat besar
kepada Presiden telah member kontribusi bagi terjadinya krisis politik dan mandulnya
hukum dalam memfungsikan dirinya sebagai penjamin keadilan dan penegakan
ketertiban.9
Dewasa ini cita-cita menegakkan ‘Negara Islam’ mungkin satu-satunya yang
masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan. Jika hukum Tuhan adalah hukum
yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan
sosial yang tanpa cacat. Dengan kata lain, para penganjur ‘Negara Islam’ adalah
penggagas yang tak membaca sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari
21 abad – sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah
ide dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan
khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari sabu-sabu kekuasaan.10
Para penganjur ide ‘Negara Islam’ lupa bahwa agama selamanya menjanjikan
kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada kelak yang
7 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm.678 http--www_republika_co_id.htm 9 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 59-60
10 Goenawan Mohamad, Menggali Pancasila Kembali, Naskah pidato peluncuran politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara Jakarta, Senin 27 April 2009, hal 3
5
![Page 6: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/6.jpg)
‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak mengakui ketidak-
sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ‘Negara Islam’ yang
mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menimbulkan persoalan: bukankah
ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna? Dilema itu berasal dari
pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan, bahkan
cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan.
Agaknya akan demikian seterusnya.11
Ketika Bung Karno menjelaskan, seraya membujuk, perlunya Indonesia
mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan,
ia sebenarnya sedang meniti buih untuk selamat sampai ke seberang. Sebab itu, jika
ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada tanggal 1 Juni 1945 itu
mengandung beberapa kontradiksi yang bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno
sedang mencoba mengatasi pelbagai hal yang saling bertentangan yang dihadapi
Indonesia. Kontradiksi yang paling menonjol justru pada masalah Weltanschauung itu.
Sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ (Bung
Karno menyebutnya philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa
adalah sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan
untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna – sebuah
kecenderungan yang makin mengeras di masa ‘Orde Baru’, yang menganggap
Pancasila itu ‘sakti’. Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan:
bagaimana pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti
dikatakan Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’? Kata Bung
Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’
yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak
ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham didalamnya.12
Pembentukan berbagi sistem yang dianut bangsa Indonesia tertuang dalam
sebuah konstitusi yang disebut Undang – Undang Dasar 1945, dan juga termuat dalam
peraturan yang lain, akan tetapi pembentukan daripada sistem tersebut juga harus
mendasarkan pada sumber yang paling mendasar yang didalamnya termuat berbagai
tujuan, cita – cita, serta cermin kepribadian bangsa, sehingga diharapkan setiap sistem,
kebijakan, maupun peraturan yang disusun tidak bertentangan dengan beberapa hal
tersebut tadi. Di dalam TAP MPR RI No. 3/MPR/2000, beberapa sumber hukum tertulis
ditentukan sebagai berikut :
1. Pancasila
2. pembukaan UUD 1945
11 Ibid hal 312 Ibid hal 5
6
![Page 7: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/7.jpg)
3. batang tubuh UUD 1945 dan amandemenya
4. ketetapan majelis permusyawaratan rakyat
5. undang – undang
6. peraturan perundang – undangan
7. peraturan pemrintah
8. keputusan presiden
9. peraturan daerah
Sehingga dengan hal tersebut hendaknya pancasila benar – benar mampu
melaksanakan apa yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia artinya setiap peraturan
perundang – undangan di Indonesia harus mengacu kepadanya dan tidak menyimpang
dari ketentuan serta asas – asas yang terkandung didalamnya. Segala cita – cita luhur
bangsa Indonesia tersirat dalam naskah pancasila hal tersebut dapat diartikan bahwa
pancasila dapat dijadikan alas dalam melaksanakan cita – cita yang luhur tersebut. Dari
pengertian pancasila merupakan cermin kepribadian bangsa yang mengandung arti
pandangan hidup, dasar Negara, tujuan dan kesadaran bangsa juga terkandung
didalamnya.
Dari hal tersebut maka bangsa Indonesia memiliki cita – cita luhur yang
terkandung didalam pancasila, akan tetapi untuk dapat mewujudkan berbagai cita – cita
dan tujuan bangsa Indonesia sesuai dengan apa yang diamanatkan rakyat yang
tercantum dalam pancasila tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya memaknai
kembali nilai – nilai luhur yang terkandung dalam pancasila sehingga pancasila akan
tetap mampu menjadi sumber hukum bangsa Indonesia.
Dengan adanya pemaknaan akan nilai – nilai yang terkandung didalam pancasila
maka langkah awal untuk melakukan pembaharuan khusnya di bidang hukum yang
sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat akan dapat tercapai.
meskipun tidak dapat dipungkiri seiring dengan perkembangan jaman serta
pencampuran budaya secara global secara tidak disadari amanat yang terkandung
didalam pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sedikit demi sedikit
semakin terkikis. sehingga penulis menyatakan berbagai hal tersebut baik secara
langsung maupun tidak langsung akan muncul satu masalah yang utama adalah
semakin menipisnya rasa nasiaonalisme dan cinta tanah air bangsa Indonesia sehingga
hal tersebut akan mempengaruhi kualitas daripada sistem yang diciptakan.
Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme memberikan sumbangsih
pada kemerosotan hukum. Tidak berdayanya hukum positif untuk menyelesaikan
masalah-masalah sosial ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan
sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan
7
![Page 8: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/8.jpg)
hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini
disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja
sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum
seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut
dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang
menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek sosial.13
Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai dalam tujuan Negara, dasar
Negara dan cita hukum diatas, maka yang diperlukan adalah suatu system nasional
yang dapat dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka kerja politik hukum nasional.
Dalam hal ini, pengertian tentang system hukum nasional Indonesia atau system hukum
Indonesia perlu dikemukakan disini.14
Sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh
Indonesia yang meliputi semua unsure hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana,
peraturan perundangan dan semua sub unsurnya) yang antara satu dengan yang
lainnya saling bergantung dan yang bersumber dari pembukaan dan pasal-pasal UUD
1945.15
Bahwa pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 merupakan sumber dari
keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Penegasan keduanya sebagai sumber
politik hukum nasional didasarkan pada dua alasan. Pertama, pembukaan dan pasal-
pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum dan norma dasar Negara Indonesia
yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di Indonesia. Kedua,
pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas yang bersumber
dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang
sejak berabad-abad yang lalu. Nilai-nilai ini lah yang membedakan sistem hukum
Indonesia dari sistem hukum lain sehingga muncul istilah Negara hukum Pancasila, jika
dikaitkan dengan literature tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai social
disebut sebagai pilihan nilai prismatic yang karenanya dalam konteks hukum dapat
disebut sebagai hukum prismatik.16
Lembaga-lembaga serta individu, pakar hukum, akademisi yang bergabung
dalam KKP telah menorehkan sejarah mekanisme pembentukkan perundang-undangan
di Indonesia. Beragam bentuk advokasi dilakukan untuk mendesakkan ruang partisipasi
publik dalam proses pengambilan kebijakan membentuk perundang-undangan17 Sebagai
13 Rikardo Simarmata, Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007. 14 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2015 Ibid, hal 2116 Ibid, hal 23 17 Kompas. 12 Mei 2004. “LSM Tolak Pengesahan RUU Perundang-undangan”; Lihat juga Kompas. 17 Mei 2004. “RUU Perundang-undangan Tidak Berpihak kepada Masyarakat” Upaya yang pernah dilakukan KKP termasuk menyelenggarakan seminar, diskusi dan konferensi pers serta mengirimkan surat pembaca ke media-
8
![Page 9: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/9.jpg)
contoh, menjelang rapat paripurna untuk persetujuan bersama DPR dan Presiden
terhadap RUU PPP, anggota KKP secara intens melobby anggota DPR dan melakukan
upaya-upaya seperti menggelar konferensi pers meminta penundaan persetujuan
sekaligus merekomendasikan dimuatnya secara eksplisit hak setiap orang untuk terlibat
dalam proses pembentukkan perundang-undangan. Rekomendasi KKP ini selanjutnya
diadopsi dalam pasal 58 UU No. 10/2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-
undangan. Anggota Panja Fraksi Reformasi, Mutammimul Ula dan Dirjen Peraturan
Perundang-undangan Depkeh HAM, Abdul Gani Abdullah sempat menyatakan bahwa
DPR dan Pemerintah telah menerima aspirasi dari kelompok masyarakat yang
tergabung dalam KKP berkaitan dengan pasal 58.18
Dalam pembuatan hukum, maka keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan
dalam pembangunan hukum nasional dengan memperhatikan kearifan local masyarakat
setempat. Pembangunan hukum harus bertumpu pada Pancasila sebagai Idiologi dan
UUD 1945 sebagai Konstitusi.
Didalam pembuatan hukum, semua kepentingan politik harus tunduk pada
hukum, karena Indonesia adalah Negara hukum, Walaupun dalam Undang Undang
Dasar 1945 baik dalam bagian Pembukaan maupun dalam Batang Tubuhnya tidak ada
suatu ketentuan yang menyatakan bahwa Negara RI adalah negara hukum. Tetapi
dalam Penjelasan Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam
UUD 1945 bagian I, II, III, IV, V dan VII. Untuk mengingat kembali secara lengkap kami
tulis sebagai berikut:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)
Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Sistim Konstitusional.
Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Disamping itu dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat 3 tujuan utama berbangsa
dan bernegara:
1. Membangun dan mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum atau
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
media cetak. Satu contoh, antara lain lihat: Afrizal Tjoetra. “Partisipasi Publik Tidak Terjamin” dimuat dalam rubrik Kontak Pembaca harian Sinar Harapan, 6 Maret 2004; lihat juga Hukumonline. 23 April 2004. “Pakar Hukum Tegaskan Perlunya Partisipasi Publik dalam Pembentukan Undang-undang”18 Pernyataan tersebut dapat dilihat di Hukumonline, 27 April 2004. “Pemerintah dan Komisi II Akhiri Deadlock RUU PPP”
9
![Page 10: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/10.jpg)
2. Membangun satu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis dan
mandiri; dan
3. Membangun masyarakat dan pemerintahan berdasarkan atas hukum.
Apabila ketiga tujuan utama berbangsa dan bernegara tersebut dikaitkan dengan
negara berdasarkan hukum (rechts staat) dengan demikian Pancasila dan UUD 1945
sebagai sumber hukum merupakan:
1. Instrumen mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum atau sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat
2. Instrumen mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri
3. Instrumen mewujudkan masyarakat dan pemerintahan berdasarkan atas hukum.
Negara Hukum menurut UUD 1945 mempunyai 7 unsur, yaitu :
1. Hukumnya bersumber pada pasal dan adanya pertingkatan hukum (stufenbouw
desrecht-nya Hans Kelsen)
2. Sistemnya, yaitu sistem konstitusi.
Alasannya, UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang tubuh dan
Penjelasan hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja, sedangkan peraturan
lebih lanjut dibuat oleh organ negara, sesuai dengan dinamika pembangunan
dan perkembangan serta kebutuhan masyarakat.
3. Kedaulatan rakyat
Dapat dilihat dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 2 (1) “Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.
4. Persamaan hak/persamaan hukum (pasal 27 (1) UUD 1945)
5. Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif)
6. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR)
7. Sistem pemerintahannya (Presiden) sebagai mandataris MPR
Menurut Prof. Sri Sumantri, Indonesia, sistem pemerintahannya berada ditengah-
tengah, yaitu antara sistem Parlementair dan sistem Presidensiil, hal ini dapat dilihat
dimana Indonesia ada kabinet tapi menterinya bertanggung-jawab kepada Presiden
(tidak kepada Parlemen).19
Goenawan Muhammad dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa:
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan bahasa
untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam sikap sewenang-wenang
yang juga pongah: sikap mereka yang merasa mewakili suara Tuhan dan suara Islam,
19 Dibicarakan dalam Seminar di Aula Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, Pada tanggal 18-19 September 1996, dengan tema Sistem Pemerintahan Indonesia.
10
![Page 11: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071817/55ac5af31a28abcc4c8b4704/html5/thumbnails/11.jpg)
meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu datang ke tangan mereka;
sikap mereka yang terbakar oleh ‘egoisme-agama’ dan menafikan cita-cita Indonesia
yang penting, agar tiap manusia Indonesia ‘bertuhan Tuhannya sendiri’ – hingga agama
tak dipaksakan, dan para penganut tak bersembunyi dalam kemunafikan.
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka
yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan
darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu,
ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus
menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah Tunggal , tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan
tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu
yang Maha Benar. Kita membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakana di atas,
kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia.
11