pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

11
PANCASILA SEBAGAI SISTEM POLITIK DAN HUKUM Dian Chandra Buana Setiap bangsa yang menegara selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara, atau pedoman dasar bagi sistem pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era reformasi: Pancasila sebagai dasar Negara tidak dipermasalahkan, demokrasi yang menjadi cirri utama era reformasi menilai pelaksanaan P-4 bersifat indoktrinatif dan penjabarannya dinilai tidak berhasil dan tidak sesuai lagi dengan jamannya. Indonesia adalah suatu bangsa dan Negara yang secara politis resmi merdeka 17 Agustus 1945. Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun dianggap bapak bangsa namun berlaku tirani pada masa pemerintahannya, Soekarno pernah dinyatakan sebagai presiden seumur hidup, sehingga berkuasa sampai dua puluh satu tahun. Sedangkan Soeharto merekayasa pemilihan umum sebanyak tujuh kali sehingga berkuasa selama tiga puluh dua tahun berturut-turut. Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila, karena falsafah ini sudah berusaha menyeimbangkan sila-silanya, namun sebenarnya berasal dari UUD 1945 yang membesarkan peran eksekutif ketimbang legislative, dan lembaga tinggi lain, itulah sebabnya pada era reformasi UUD 1945 ini kemudian diamandemen. Mengapa para pendiri Republik ini membesarkan peran eksekutif, adalah karena bermaksud menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah-tengah kebhinekaan suku, pulau, agama, adat istiadat, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang ada di Indonesia. Pada dekade terakhir kita mengalami integrasi bagi persatuan dan kesatuan bangsa, saying tidak dimengerti oleh bangsa lain, bagaimana tidak kalau dalam integrasi orang Papua dan Aceh harus merasa memiliki Indonesia, bukan dimiliki Indonesia, sehingga dengan demikian, hak dan kewajibannya sama. Tentu saja pendekatannya mutlak harus kesejahteraan. Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum 1

Upload: rizki-ramadhan

Post on 20-Jul-2015

40 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

PANCASILA SEBAGAI SISTEM POLITIK DAN HUKUMDian Chandra Buana

Setiap bangsa yang menegara selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan

secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara,

atau pedoman dasar bagi sistem pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di

era reformasi: Pancasila sebagai dasar Negara tidak dipermasalahkan, demokrasi yang

menjadi cirri utama era reformasi menilai pelaksanaan P-4 bersifat indoktrinatif dan

penjabarannya dinilai tidak berhasil dan tidak sesuai lagi dengan jamannya.

Indonesia adalah suatu bangsa dan Negara yang secara politis resmi merdeka

17 Agustus 1945. Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun dianggap bapak bangsa

namun berlaku tirani pada masa pemerintahannya, Soekarno pernah dinyatakan

sebagai presiden seumur hidup, sehingga berkuasa sampai dua puluh satu tahun.

Sedangkan Soeharto merekayasa pemilihan umum sebanyak tujuh kali sehingga

berkuasa selama tiga puluh dua tahun berturut-turut.

Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila, karena falsafah ini sudah

berusaha menyeimbangkan sila-silanya, namun sebenarnya berasal dari UUD 1945

yang membesarkan peran eksekutif ketimbang legislative, dan lembaga tinggi lain, itulah

sebabnya pada era reformasi UUD 1945 ini kemudian diamandemen.

Mengapa para pendiri Republik ini membesarkan peran eksekutif, adalah karena

bermaksud menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah-tengah kebhinekaan

suku, pulau, agama, adat istiadat, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang

ada di Indonesia.

Pada dekade terakhir kita mengalami integrasi bagi persatuan dan kesatuan

bangsa, saying tidak dimengerti oleh bangsa lain, bagaimana tidak kalau dalam integrasi

orang Papua dan Aceh harus merasa memiliki Indonesia, bukan dimiliki Indonesia,

sehingga dengan demikian, hak dan kewajibannya sama. Tentu saja pendekatannya

mutlak harus kesejahteraan.

Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan

kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das

sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan

Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan

terlalu menekankan pada aspek the legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum

tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini

masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan

dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan

aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum

1

Page 2: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh

sosial.

Memahami kenyataan itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick kemudian mencoba

memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan

menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan

untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung

unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman

hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif

bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga

merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan

tertib politik. Dan menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model

perkembangan (developmental model).

Di kalangan ahli hukum dewasa ini berkembang dua pendapat tentang hubungan

sebab akibat antara politik dan hukum. Pandangan yang pertama adalah kaum idealis,

yang cenderung berpandangan dari sudut das sollen. Pandangan ini mengacu pada

pendapat Roscue Pound1 yang menyatakan bahwa ”law as a tool of social enginering”.

Pendapatnya menyatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa

perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politiknya. Wajar

jika secara idologis mereka meletakkan hukum sebagai pemandu dan penentu arah

perjalanan masyarakat, karena memang pada dasarnya hukum difungsikan untuk

menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya. Pandangan yang

kedua mengacu pada pandangan Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum selalu

berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, hukum tumbuh dan mati

bersama masyarakatnya.2 Hal ini didasarkan keyakinan bahwa pada dasarnya hukum

merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat. Artinya adalah bahwa

hukum harus menjadi dependent variable atas keadaan luarnya, salah satunya adalah

politik. Dalam bahasa lain dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik.

Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan

masyarakat, baik itu dari aspek ekonomi, sosial, ideology, agama, maupun hukum.

Peran hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan yang

terjadi dengan cara yang teratur. Artinya, hukum diciptakan dan berjalan demi

mewujudkan kehidupan yang diinginkan, yaitu keteraturan. Perubahan yang teratur

terwujud dalam perundang-undangan atau keputusan badan peradilan atau biasa kita

1 Roscoe Pound dalam Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 30

2 Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, Hal. : 9

2

Page 3: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

sebut yurispridesi. Oleh karena itu, perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan dari

masyarakat yang sedang membangun, dalam perkembangan hukum sebagai suatu alat

pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana.

Konsep Negara Hukum Indonesia menurut Prof. M. Yamin, sudah lama ada

beribu-ribu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, yang menjadi sumber

hukum secara tertulis dalam Republik Indonesia. Istilah negara hukum jauh lebih muda

daripada pengertian negara hukum yang dikenal dalam Negara-negara Indonesia,

seperti Sriwijaya, Majapahit, Melayu Minangkabau dan Mataram. Hasil penyelidikan ini

menolak pendapat seolah-olah pengertian negara hukum semata-mata bersumber atau

berasal dari hukum Eropa Barat. Tidak demikian halnya, melainkan pengertian Negara

hukum telah dikenal dengan baik dalam perkembangan peradaban yang sesuai dengan

kepribadian bangsa Indonesia.3

Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan

ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah

pancasila, yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia

seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan

kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara

eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan

nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum,

melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban

dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan garis amanah konstitusi, maka makna pembangunan nasional

harus mampu mereduksi nilai keseimbangan pada setiap aspek kehidupan sosial

masyarakat. Sejak awal bangsa ini dihadapkan dengan tanggung jawab yang begitu

besar, yaitu meneruskan perjuangan pasca penjajahan kolonialisme dalam bentuk

pembangunan nasional pada setiap dimensi sosial masyarakat. Akan tetapi

persoalannya apakah amanah yang mulia ini dapat begitu saja dijalankan dengan

mudah. Mungkin hal ini tidak perlu dijawab, karena realitas kehidupan saat ini dapat

menggambarkan potret Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional

pasca merdeka dari penjajahan tahun 1945.

Setidaknya dapat dijelaskan secara umum ada beberapa tahapan atau tingkatan

pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai

menjadi negara maju, yaitu tahap pertama, unifikasi dengan titik berat bagaimana

mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap

kedua industrialisasi dengan fokus terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan

3 M. Yamin,, Konsep Negara Hukum Indonesia, Gramedi Jakarta, 1986, hal: 6

3

Page 4: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

modernisasi politik, kemudian tahap ketiga negara kesejahteraan dimana tugas negara

terutama adalah perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.4

Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui,

setidaknya program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi

perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana

(predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi

hukum (the special development abilities of the lawyer).5

Kita mengenal ada beberapa tingkatan aturan perundang-undangan,mulai dari

yang tertinggi hingga yang terendah.6 Menurut UU No. 10 Tahun 2004 bahwa setiap

pembuatan undang-undang maka harus disertai dengan Peraturan Perundang-

undangan, dan pembuatannya tidak boleh menyimpang dari undang-undang itu sendiri,

khususnya nilai Pancasila yang mengkedepannya Persatuan dan Kesatuan. Undang-

undang pada hakekatnya bersifat idealis yang berisi hak, kewajiban dan tanggung

jawab. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah orang hanya melihat hak dan

kewajibannya saja, sedangkan unsur-unsur tanggung jawab dikesampingkan.

Dasar politik hukum dalam pembuatan hukum bersandarkan pada idiologi dan

konstitusi Negara Republik Indonesia

Melihat fungsinya, sifat hukum adalah konservatif yang artinya hukum bersifat

memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapainya. Hukum atau perundang-

undang yang ada identik dengan system kekuasaan saat hukum itu berlaku. Kita lihat

bagaimana Presiden Suharto membuat berbagai regulasi yang bertujuan melindungi apa

yang menjadi upayanya untuk mempertahankan dan melegalkan kebijakan yang

diambilnya. Dalam format pembuatan hukum hal tersebut sah-sah saja sejauh dilakukan

berdasarkan prosedur pembuatan hukum yang benar. Kita tahu bahwa itu salah, tetapi

hukum yang dibuat itu melalui proses yang “legal”. Jadi, hukum jaman Presiden Suharto

tidak bisa dikatakan dengan “cacat hukum”.

Hukum progresif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam

bernegara hukum, yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang

dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila

kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih

mengutamakan "a state with conscience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan

4 Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I, PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 127.5 Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol. 9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157. 6 Lihat UU No 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan.

4

Page 5: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

berbunyi: "bernegara hukum untuk apa?" dan dijawab dengan: "bernegara untuk

membahagiakan rakyat.7

Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum ialah mengatur tata tertib masyarakat

secara damai dan adil. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan

melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,

harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan

kepentingan golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan

kepentingan selalu menyebabkan pertikaian. Bahkan peperangan antara semua orang

melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk

mempertahankan kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan

menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan

keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur

pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan

yang mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi

sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.8

Dalam wacana reformasi kehidupan disegala bidang, terutama dalam bidang

politik dan hukum, telah mencuat berbagai pandangan tentang perlunya amandemen,

bahkan perubahan atas UUD 1945. Dikatakan bahwa UUD 1945 yang beberapa

pasalnya bersifat multi interpretable dan memberikan porsi kekuasaan sangat besar

kepada Presiden telah member kontribusi bagi terjadinya krisis politik dan mandulnya

hukum dalam memfungsikan dirinya sebagai penjamin keadilan dan penegakan

ketertiban.9

Dewasa ini cita-cita menegakkan ‘Negara Islam’ mungkin satu-satunya yang

masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan. Jika hukum Tuhan adalah hukum

yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan

sosial yang tanpa cacat. Dengan kata lain, para penganjur ‘Negara Islam’ adalah

penggagas yang tak membaca sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari

21 abad – sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah

ide dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan

khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari sabu-sabu kekuasaan.10

Para penganjur ide ‘Negara Islam’ lupa bahwa agama selamanya menjanjikan

kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada kelak yang

7 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm.678 http--www_republika_co_id.htm 9 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 59-60

10 Goenawan Mohamad, Menggali Pancasila Kembali, Naskah pidato peluncuran politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara Jakarta, Senin 27 April 2009, hal 3

5

Page 6: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak mengakui ketidak-

sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ‘Negara Islam’ yang

mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menimbulkan persoalan: bukankah

ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna? Dilema itu berasal dari

pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan, bahkan

cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan.

Agaknya akan demikian seterusnya.11

Ketika Bung Karno menjelaskan, seraya membujuk, perlunya Indonesia

mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan,

ia sebenarnya sedang meniti buih untuk selamat sampai ke seberang. Sebab itu, jika

ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada tanggal 1 Juni 1945 itu

mengandung beberapa kontradiksi yang bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno

sedang mencoba mengatasi pelbagai hal yang saling bertentangan yang dihadapi

Indonesia. Kontradiksi yang paling menonjol justru pada masalah Weltanschauung itu.

Sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ (Bung

Karno menyebutnya philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa

adalah sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan

untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna – sebuah

kecenderungan yang makin mengeras di masa ‘Orde Baru’, yang menganggap

Pancasila itu ‘sakti’. Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan:

bagaimana pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti

dikatakan Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’? Kata Bung

Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’

yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak

ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham didalamnya.12

Pembentukan berbagi sistem yang dianut bangsa Indonesia tertuang dalam

sebuah konstitusi yang disebut Undang – Undang Dasar 1945, dan juga termuat dalam

peraturan yang lain, akan tetapi pembentukan daripada sistem tersebut juga harus

mendasarkan pada sumber yang paling mendasar yang didalamnya termuat berbagai

tujuan, cita – cita, serta cermin kepribadian bangsa, sehingga diharapkan setiap sistem,

kebijakan, maupun peraturan yang disusun tidak bertentangan dengan beberapa hal

tersebut tadi. Di dalam TAP MPR RI No. 3/MPR/2000, beberapa sumber hukum tertulis

ditentukan sebagai berikut :

1. Pancasila

2. pembukaan UUD 1945

11 Ibid hal 312 Ibid hal 5

6

Page 7: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

3. batang tubuh UUD 1945 dan amandemenya

4. ketetapan majelis permusyawaratan rakyat

5. undang – undang

6. peraturan perundang – undangan

7. peraturan pemrintah

8. keputusan presiden

9. peraturan daerah

Sehingga dengan hal tersebut hendaknya pancasila benar – benar mampu

melaksanakan apa yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia artinya setiap peraturan

perundang – undangan di Indonesia harus mengacu kepadanya dan tidak menyimpang

dari ketentuan serta asas – asas yang terkandung didalamnya. Segala cita – cita luhur

bangsa Indonesia tersirat dalam naskah pancasila hal tersebut dapat diartikan bahwa

pancasila dapat dijadikan alas dalam melaksanakan cita – cita yang luhur tersebut. Dari

pengertian pancasila merupakan cermin kepribadian bangsa yang mengandung arti

pandangan hidup, dasar Negara, tujuan dan kesadaran bangsa juga terkandung

didalamnya.

Dari hal tersebut maka bangsa Indonesia memiliki cita – cita luhur yang

terkandung didalam pancasila, akan tetapi untuk dapat mewujudkan berbagai cita – cita

dan tujuan bangsa Indonesia sesuai dengan apa yang diamanatkan rakyat yang

tercantum dalam pancasila tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya memaknai

kembali nilai – nilai luhur yang terkandung dalam pancasila sehingga pancasila akan

tetap mampu menjadi sumber hukum bangsa Indonesia.

Dengan adanya pemaknaan akan nilai – nilai yang terkandung didalam pancasila

maka langkah awal untuk melakukan pembaharuan khusnya di bidang hukum yang

sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat akan dapat tercapai.

meskipun tidak dapat dipungkiri seiring dengan perkembangan jaman serta

pencampuran budaya secara global secara tidak disadari amanat yang terkandung

didalam pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sedikit demi sedikit

semakin terkikis. sehingga penulis menyatakan berbagai hal tersebut baik secara

langsung maupun tidak langsung akan muncul satu masalah yang utama adalah

semakin menipisnya rasa nasiaonalisme dan cinta tanah air bangsa Indonesia sehingga

hal tersebut akan mempengaruhi kualitas daripada sistem yang diciptakan.

Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme memberikan sumbangsih

pada kemerosotan hukum. Tidak berdayanya hukum positif untuk menyelesaikan

masalah-masalah sosial ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan

sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan

7

Page 8: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini

disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja

sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum

seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut

dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang

menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek sosial.13

Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai dalam tujuan Negara, dasar

Negara dan cita hukum diatas, maka yang diperlukan adalah suatu system nasional

yang dapat dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka kerja politik hukum nasional.

Dalam hal ini, pengertian tentang system hukum nasional Indonesia atau system hukum

Indonesia perlu dikemukakan disini.14

Sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh

Indonesia yang meliputi semua unsure hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana,

peraturan perundangan dan semua sub unsurnya) yang antara satu dengan yang

lainnya saling bergantung dan yang bersumber dari pembukaan dan pasal-pasal UUD

1945.15

Bahwa pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 merupakan sumber dari

keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Penegasan keduanya sebagai sumber

politik hukum nasional didasarkan pada dua alasan. Pertama, pembukaan dan pasal-

pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum dan norma dasar Negara Indonesia

yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di Indonesia. Kedua,

pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas yang bersumber

dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang

sejak berabad-abad yang lalu. Nilai-nilai ini lah yang membedakan sistem hukum

Indonesia dari sistem hukum lain sehingga muncul istilah Negara hukum Pancasila, jika

dikaitkan dengan literature tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai social

disebut sebagai pilihan nilai prismatic yang karenanya dalam konteks hukum dapat

disebut sebagai hukum prismatik.16

Lembaga-lembaga serta individu, pakar hukum, akademisi yang bergabung

dalam KKP telah menorehkan sejarah mekanisme pembentukkan perundang-undangan

di Indonesia. Beragam bentuk advokasi dilakukan untuk mendesakkan ruang partisipasi

publik dalam proses pengambilan kebijakan membentuk perundang-undangan17 Sebagai

13 Rikardo Simarmata, Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007. 14 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2015 Ibid, hal 2116 Ibid, hal 23 17 Kompas. 12 Mei 2004. “LSM Tolak Pengesahan RUU Perundang-undangan”; Lihat juga Kompas. 17 Mei 2004. “RUU Perundang-undangan Tidak Berpihak kepada Masyarakat” Upaya yang pernah dilakukan KKP termasuk menyelenggarakan seminar, diskusi dan konferensi pers serta mengirimkan surat pembaca ke media-

8

Page 9: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

contoh, menjelang rapat paripurna untuk persetujuan bersama DPR dan Presiden

terhadap RUU PPP, anggota KKP secara intens melobby anggota DPR dan melakukan

upaya-upaya seperti menggelar konferensi pers meminta penundaan persetujuan

sekaligus merekomendasikan dimuatnya secara eksplisit hak setiap orang untuk terlibat

dalam proses pembentukkan perundang-undangan. Rekomendasi KKP ini selanjutnya

diadopsi dalam pasal 58 UU No. 10/2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-

undangan. Anggota Panja Fraksi Reformasi, Mutammimul Ula dan Dirjen Peraturan

Perundang-undangan Depkeh HAM, Abdul Gani Abdullah sempat menyatakan bahwa

DPR dan Pemerintah telah menerima aspirasi dari kelompok masyarakat yang

tergabung dalam KKP berkaitan dengan pasal 58.18

Dalam pembuatan hukum, maka keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan

dalam pembangunan hukum nasional dengan memperhatikan kearifan local masyarakat

setempat. Pembangunan hukum harus bertumpu pada Pancasila sebagai Idiologi dan

UUD 1945 sebagai Konstitusi.

Didalam pembuatan hukum, semua kepentingan politik harus tunduk pada

hukum, karena Indonesia adalah Negara hukum, Walaupun dalam Undang Undang

Dasar 1945 baik dalam bagian Pembukaan maupun dalam Batang Tubuhnya tidak ada

suatu ketentuan yang menyatakan bahwa Negara RI adalah negara hukum. Tetapi

dalam Penjelasan Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam

UUD 1945 bagian I, II, III, IV, V dan VII. Untuk mengingat kembali secara lengkap kami

tulis sebagai berikut:

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)

Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas

kekuasaan belaka (Machtsstaat).

2. Sistim Konstitusional.

Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat

absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

3. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Disamping itu dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat 3 tujuan utama berbangsa

dan bernegara:

1. Membangun dan mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum atau

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

media cetak. Satu contoh, antara lain lihat: Afrizal Tjoetra. “Partisipasi Publik Tidak Terjamin” dimuat dalam rubrik Kontak Pembaca harian Sinar Harapan, 6 Maret 2004; lihat juga Hukumonline. 23 April 2004. “Pakar Hukum Tegaskan Perlunya Partisipasi Publik dalam Pembentukan Undang-undang”18 Pernyataan tersebut dapat dilihat di Hukumonline, 27 April 2004. “Pemerintah dan Komisi II Akhiri Deadlock RUU PPP”

9

Page 10: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

2. Membangun satu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis dan

mandiri; dan

3. Membangun masyarakat dan pemerintahan berdasarkan atas hukum.

Apabila ketiga tujuan utama berbangsa dan bernegara tersebut dikaitkan dengan

negara berdasarkan hukum (rechts staat) dengan demikian Pancasila dan UUD 1945

sebagai sumber hukum merupakan:

1. Instrumen mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum atau sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat

2. Instrumen mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri

3. Instrumen mewujudkan masyarakat dan pemerintahan berdasarkan atas hukum.

Negara Hukum menurut UUD 1945 mempunyai 7 unsur, yaitu :

1. Hukumnya bersumber pada pasal dan adanya pertingkatan hukum (stufenbouw

desrecht-nya Hans Kelsen)

2. Sistemnya, yaitu sistem konstitusi.

Alasannya, UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang tubuh dan

Penjelasan hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja, sedangkan peraturan

lebih lanjut dibuat oleh organ negara, sesuai dengan dinamika pembangunan

dan perkembangan serta kebutuhan masyarakat.

3. Kedaulatan rakyat

Dapat dilihat dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 2 (1) “Kedaulatan berada

ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.

4. Persamaan hak/persamaan hukum (pasal 27 (1) UUD 1945)

5. Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif)

6. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR)

7. Sistem pemerintahannya (Presiden) sebagai mandataris MPR

Menurut Prof. Sri Sumantri, Indonesia, sistem pemerintahannya berada ditengah-

tengah, yaitu antara sistem Parlementair dan sistem Presidensiil, hal ini dapat dilihat

dimana Indonesia ada kabinet tapi menterinya bertanggung-jawab kepada Presiden

(tidak kepada Parlemen).19

Goenawan Muhammad dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa:

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan bahasa

untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam sikap sewenang-wenang

yang juga pongah: sikap mereka yang merasa mewakili suara Tuhan dan suara Islam,

19 Dibicarakan dalam Seminar di Aula Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, Pada tanggal 18-19 September 1996, dengan tema Sistem Pemerintahan Indonesia.

10

Page 11: Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum

meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu datang ke tangan mereka;

sikap mereka yang terbakar oleh ‘egoisme-agama’ dan menafikan cita-cita Indonesia

yang penting, agar tiap manusia Indonesia ‘bertuhan Tuhannya sendiri’ – hingga agama

tak dipaksakan, dan para penganut tak bersembunyi dalam kemunafikan.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka

yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan

darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu,

ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus

menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah Tunggal , tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan

tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu

yang Maha Benar. Kita membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakana di atas,

kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia.

11