pancasila dan masa depan bangsa

5
Pancasila dan Masa Depan Bangsa; Perspektif Ideologi 31/05/2008 08:50:44 TANGGAL 1 Juni 2008 besok Pancasila sudah berusia 63 tahun. Tulisan berikut mencoba menyoroti Pancasila dengan fokus kajian ideologi. Sentralnya Pancasila bagi negara-bangsa adalah fokus status ideologinya yang berkarakter praksis serta memuat bahkan memperjuangkan suatu kepentingan yakni kepentingan nasional: merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Pengertian Ideologi Ideologi berbeda dari suatu filsafat dalam hal berikut. Jika filsafat masih berada di ranah spekulatif-refleksif, ideologi sudah berada di ranah laku tindak. Jika filsafat adalah pemikiran rasional murni yang bisa saja dianggap “bebas nilai” (dis interestedness), ideologi sudah berciri mendegradasi rasionalitas, dengan dominasi kepentingan seperti disinggung di muka. Dalam hal tipologi atau cara berpikir, ideologi mempunyai karakter yang lebih mendekati mitos. Maka itu, ideologi bukanlah ilmu karena ilmu sifatnya kritis, terbuka dan menganut relativitas kebenaran. Sedangkan ideologi sifatnya adalah tak kritis, tertutup dan nyaris memutlakkan dirinya sebagai kebenaran. Tampilan atau kinerja ideologi maujud secara implikatif dalam perjuangan sering revolusioner, sedangkan ilmu berlangsung dalam kesenyapan karena mengandalkan gerak pikiran. Sementara kemiripannya dengan mitos fungsi utama ideologi adalah mendistorsi realitas. Mitos purba dilahirkan untuk menjawab ketaksanggupan menerangkan realitas secara rasional sistematis. Ideologi di era modern dilahirkan guna menjawab kompleksitas kehidupan dalam sistematika yang berakar pada konsep hipotetis. Segi positif dari ideologi yang berciri mitis inilah diakui dunia sebagai daya dorong (impetus) dari setiap upaya perwujudan cita-cita baik kenegara-bangsaan maupun partai. Di sini ideologi mengejawantahkan tekad dan karakter; sehingga Roeslan Abdulgani (Slamet Sutrisno; 1986) menamsilkan jika pada manusia ada kekuatan hebat yang disebut mental, maka pada negara-bangsa namanya ideologi. Maka itu selain sebagai cara berpikir, pengertian berikutnya ideologi adalah posisi dan keberadaannya selaku sistem keyakinan atau sistem nilai. Ia diterima sebagai kebenaran oleh sekelompok sosial atau negara-bangsa selaku gambaran dunia menyeluruh; kiblat dari metodologi sosial yang berfungsi panacea atau obat mujarab tunggal dalam keperluan problem solving persoalan manusia. Dan persis dalam hal inilah kalangan barat menganggap usangnya era ideologi bagi suatu negara-bangsa. Aktualitas Ideologi Jadi, ketika pada tahun 1960 Prof Daniel Bell menulis buku “The End of Ideology” banyak yang tertarik kepadanya untuk berpendapat bahwa era ideologi memang sudah harus berakhir. Dalam era modernitas, apalagi globalisasi, orang tidak lagi membutuhkan ideologi apapun. Salah satu faktornya adalah realitas teknologis yang mengikuti dan mengembangkan kejayaan era ilmu pengetahuan; ipteklah yang akan memandu manusia dalam problem solving dan bukan ideologi. Di negeri kita, pengikut pandangan ini di kalangan teknolog bukan sedikit. Di mana-mana teknologi modern merasuki masyarakat guna memajukan diri dalam stelsel peradaban baru. Karena teknologi sudah menjadi sistem, ideologi sama sekali tidak diperlukan. Justru di titik itulah kesilafan kaum teknolog; tatkala teknologi transformatif selaku sistem dia adalah ideologi, yakni teknologisme. Buku “The End of Ideology” didedikasikan kepada Prof Sidney Hook, guru dari pengarang buku tersebut. Justru Sidney Hook merespons bahwa anggapan ideologi sudah berakhir perlu diberi kritik agar tidak melakukan simpulan dan generalisasi yang salah. Dijelaskan oleh Sidney Hook bahwa mesin cetak persuratkabaran di AS dan Uni Soviet (kini; Rusia) sama-sama modern dan canggih, namun demikian outcome dari persuratkabaran kedua negeri adidaya itu jelas berlainan kalau bukan berlawanan. Kebebasan pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan dapat menjatuhkan seorang presiden (Presiden Nixon dalam Watergate), sementara kebebasan pers di Uni Soviet tentu jauh berlainan dari AS berhubung begitu represif. Malahan, dalam rezim Orde Baru dengan praktik ideologis yang juga menindis; tidak usah presiden, bahkan Menpen Harmoko pun dengan gampangnya membubarkan surat kabar. Apa yang memperbedakan sistem pers di kedua negeri itu, dan di negeri kita bukan kemodernan sistem cetaknya, melainkan praksis ideologinya. Maka

Upload: hesty-oktaviany

Post on 26-Jun-2015

137 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Pancasila dan Masa Depan Bangsa; Perspektif Ideologi

31/05/2008 08:50:44 TANGGAL 1 Juni 2008 besok Pancasila sudah berusia 63 tahun. Tulisan berikut mencoba menyoroti Pancasila dengan fokus kajian ideologi. Sentralnya Pancasila bagi negara-bangsa adalah fokus status ideologinya yang berkarakter praksis serta memuat bahkan memperjuangkan suatu kepentingan yakni kepentingan nasional: merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Pengertian Ideologi Ideologi berbeda dari suatu filsafat dalam hal berikut. Jika filsafat masih berada di ranah spekulatif-refleksif, ideologi sudah berada di ranah laku tindak. Jika filsafat adalah pemikiran rasional murni yang bisa saja dianggap “bebas nilai” (dis interestedness), ideologi sudah berciri mendegradasi rasionalitas, dengan dominasi kepentingan seperti disinggung di muka. Dalam hal tipologi atau cara berpikir, ideologi mempunyai karakter yang lebih mendekati mitos. Maka itu, ideologi bukanlah ilmu karena ilmu sifatnya kritis, terbuka dan menganut relativitas kebenaran. Sedangkan ideologi sifatnya adalah tak kritis, tertutup dan nyaris memutlakkan dirinya sebagai kebenaran. Tampilan atau kinerja ideologi maujud secara implikatif dalam perjuangan sering revolusioner, sedangkan ilmu berlangsung dalam kesenyapan karena mengandalkan gerak pikiran. Sementara kemiripannya dengan mitos fungsi utama ideologi adalah mendistorsi realitas. Mitos purba dilahirkan untuk menjawab ketaksanggupan menerangkan realitas secara rasional sistematis. Ideologi di era modern dilahirkan guna menjawab kompleksitas kehidupan dalam sistematika yang berakar pada konsep hipotetis. Segi positif dari ideologi yang berciri mitis inilah diakui dunia sebagai daya dorong (impetus) dari setiap upaya perwujudan cita-cita baik kenegara-bangsaan maupun partai. Di sini ideologi mengejawantahkan tekad dan karakter; sehingga Roeslan Abdulgani (Slamet Sutrisno; 1986) menamsilkan jika pada manusia ada kekuatan hebat yang disebut mental, maka pada negara-bangsa namanya ideologi. Maka itu selain sebagai cara berpikir, pengertian berikutnya ideologi adalah posisi dan keberadaannya selaku sistem keyakinan atau sistem nilai. Ia diterima sebagai kebenaran oleh sekelompok sosial atau negara-bangsa selaku gambaran dunia menyeluruh; kiblat dari metodologi sosial yang berfungsi panacea atau obat mujarab tunggal dalam keperluan problem solving persoalan manusia. Dan persis dalam hal inilah kalangan barat menganggap usangnya era ideologi bagi suatu negara-bangsa. Aktualitas Ideologi Jadi, ketika pada tahun 1960 Prof Daniel Bell menulis buku “The End of Ideology” banyak yang tertarik kepadanya untuk berpendapat bahwa era ideologi memang sudah harus berakhir. Dalam era modernitas, apalagi globalisasi, orang tidak lagi membutuhkan ideologi apapun. Salah satu faktornya adalah realitas teknologis yang mengikuti dan mengembangkan kejayaan era ilmu pengetahuan; ipteklah yang akan memandu manusia dalam problem solving dan bukan ideologi. Di negeri kita, pengikut pandangan ini di kalangan teknolog bukan sedikit. Di mana-mana teknologi modern merasuki masyarakat guna memajukan diri dalam stelsel peradaban baru. Karena teknologi sudah menjadi sistem, ideologi sama sekali tidak diperlukan. Justru di titik itulah kesilafan kaum teknolog; tatkala teknologi transformatif selaku sistem dia adalah ideologi, yakni teknologisme. Buku “The End of Ideology” didedikasikan kepada Prof Sidney Hook, guru dari pengarang buku tersebut. Justru Sidney Hook merespons bahwa anggapan ideologi sudah berakhir perlu diberi kritik agar tidak melakukan simpulan dan generalisasi yang salah. Dijelaskan oleh Sidney Hook bahwa mesin cetak persuratkabaran di AS dan Uni Soviet (kini; Rusia) sama-sama modern dan canggih, namun demikian outcome dari persuratkabaran kedua negeri adidaya itu jelas berlainan kalau bukan berlawanan. Kebebasan pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan dapat menjatuhkan seorang presiden (Presiden Nixon dalam Watergate), sementara kebebasan pers di Uni Soviet tentu jauh berlainan dari AS berhubung begitu represif. Malahan, dalam rezim Orde Baru dengan praktik ideologis yang juga menindis; tidak usah presiden, bahkan Menpen Harmoko pun dengan gampangnya membubarkan surat kabar. Apa yang memperbedakan sistem pers di kedua negeri itu, dan di negeri kita bukan kemodernan sistem cetaknya, melainkan praksis ideologinya. Maka itu kalau sekarang ini ramai diwacanakan bahwa dengan modernitas global maka ideologi menjadi relevan; akan bagaimanakah pendirian kita berhubung dengan warisan kenega-ra-bangsaan yang didirikan dan dipertaruhkan oleh founding fathers yang dari genesisnya adalah negara-bangsa yang berideologi? Di titik krusial inilah terhampar aktualitas membincangkan kembali ideologi negara-bangsa agar gerak kemajuan pengindonesiaan tidak menghapus ideologinya (baca; jatidirinya); apalagi kalau tidak maju-maju. Agaknya jelas bahwa membincangkan ulang Pancasila (sebagai ideologi) dan masa depan bangsa, cukup pantas dan bahkan perlu. Lebih dari itu, “Maju” dan “Kemajuan” itu sendiri jangan dilupakan merupakan term dan konsep ideologis yang menjadi alas dari modernitas Barat, dengan segala plus dan minusnya. Selain sebagai alas, dan justru sebagai alas; ia (kemajuan) membutuhkan kriteria dan intensionalitas yang keduanya hanya bisa ada berkat tilikan dan orientasi ideologis. Trilogi Pancasila Berdasarkan kenyataan sejarah, budaya dan filsafat Pancasila mempunyai tiga fungsi seperti berikut : 1. Sebagai pandangan dunia/pandangan hidup, 2. Sebagai dasar negara NKRI dan 3. Sebagai ideologi nasional (Pranarka, 1985). Fungsi pertama sebagai pandangan dunia/pandangan hidup Pancasila memberi alas dan orientasi sistem kepengetahuan dan sistem nilai bagi kebutuhan proses membangsa dan menegara atau to be keindonesiaan sepanjang masa. Fungsi ke dua adalah sebagai dasar negara yang berkenaan dengan

sistem dan dasar hukum nasional, di antaranya guna mengantisipasi kehadiran sistem hukum “pra-nasional” yang bersumber ajaran keagamaan dan etnisitas eksklusif dalam tata hukum nasional yang sering kontroversial. Adapun fungsi ke tiga Pancasila sebagai ideologi nasional adalah fungsi “pragmatis” di mana laku tindak keindonesiaan menjadi keniscayaan komunitas kebangsaan. Aktualitas Pancasila sebagai Ideologi Nasional Aktualitas wacana Pancasila sebagai ideologi nasional pertama-tama adalah mengungkit kemudian perlu menggugat kesadaran dan penyadaran diri kita selaku nasion; sebab “nasional” itu adalah istilah yang kata dasarnya nasion. Dalam kerangka teori fungsi-fungsi ideologi, ideologi memiliki fungsi legitimasi (Weber) dan fungsi integrasi (Geertz). Maka itu untuk keperluan aktualisasi diri nasion, (ideologi) Pancasila perlu dinetralisir serta dieliminasi dari fungsi distorsinya, dibuat dengan elegan fungsi legitimasinya dan diperdalam fungsi integratifnya. Dari lain pihak kini makin perlu dinyatakan bahwa NKRI dengan Pancasila itu identik, ibarat air cucuran atap yang pasti mengalir secara konsisten melalui dan dalam alurnya atap tersebut (Notonagoro, 1967). Ketika dialektika dan akulturasi sudah merupakan watak keindonesiaan sejak lama, demikian pula dalam respons terhadap modernitas-global, dialektika dan akulturasi tidak boleh bergeser ke arah dikte dan pembebekan di mana Indonesia (baca: Pancasila) dibiarkan nir-peran dalam realitas objek dan bukan subjek. Di sini penting agaknya disitir “Trisakti”-nya Sukarno: “berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan”. Di lain pihak, penting pula pendirian Moh Hatta agar Pancasila tidak tampil eksklusif hanya penghias bibir (lipstick) akan tetapi berfungsi sebagai garam, tidak tampak namun terasakan. Tamsil ini diambil dari tendensi tampilan eksklusif kelompok minoritas ekonomi dan “disambung” dengan gerakan tertentu keagamaan eksklusif di negeri kita akhir-akhir ini. Padahal, Pancasila itu sendiri sebagai ideologi memiliki watak inklusif, terbukti dari simbolisme yang melekatinya, “Bhinneka Tunggal Ika”. Aktualitas ideologi Pancasila tidak bisa terlepas dari kognisi dan refleksi filosofinya, bahwa Pancasila adalah wahana dan mandala kebudayaan nasional yang mampu mengatasi kecenderungan modern peradaban dunia. Artinya, ilmu dan teknologi yang bagaimana pun pasti mempengaruhi pembentukan kebudayaan dunia, perlu dibuat distingsi yang cerdas kapan dan di mana iptek adalah budaya (terkait sistem nilai) dan iptek adalah peradaban (yang dianggap bebas nilai). Iptek, yang digerakkan oleh kekuatan nalar atau rasionalitas dalam absorbsinya ke dalam masyarakat Indonesia menunggu arahan dan “semprit” dari Pancasila ke arah pengelolaan tidak hanya dimensi etisnya, melainkan sampai dimensi kepengetahuan atau epistemologinya, bahkan segi metafisika sebab sila Ketuhanan YME mengajarkan tentang Realitas Ilahi (yang tak dikenal dalam iptek yang positivistik). Keberhasilan membangun epistemologi alternatif non- berat dicontohkan oleh bangsa Cina, semisal dengan sistem pengobatannya yang diakui dunia. Iptek di mana pun selain segi manfaat dan kemajuannya ternyata telah memicu aneka krisis dunia sebab ada latar yang ditunjukkan oleh Nicholas Maxwell (2004) sebagai faktor utama krisis-krisis itu, yakni realitas science without wisdom. Pancasila sesungguhnya mengajarkan dimensi wisdom itu, namun belum banyak dilakukan elaborasinya baik dalam ranah ilmu yang akademis dan ranah politik yang pragmatis. Studi Komparatif Ideologi Pancasila Ideologi-ideologi Barat modern bersumberkan filsafat rasionalisme dan individualisme yang menghasilkan paham modern hak-hak asasi manusia dan demokrasi Barat. Pancasila sebagai ideologi bersumberkan filsafat kebangsaan di mana masing-masing pemikiran filosofi terkait sejarah dan budaya yang berlainan, untuk mana lahir disiplin Sosiologi Pengetahuan sebagaimana dirintis dan dikembangkan oleh Marheim, Merton, Luchan dan sebagainya. Sebagai implikasinya, misalnya, adopsi HAM ke dalam konstitusi mestinya tidak dimaksudkan dalam kerangka mengubah sifat dasar konstitusi cq UUD 1945, melainkan dalam rangka tujuan lainnya. Yakni, membatasi kekuasaan agar tidak absolut, memperkaitkan hak dan kewajiban, membangun civil society dan demokratisasi. Maka itu, sekian banyak pasal-pasal HAM dalam amandemen UUD 1945 tidak dimaksudkan mencari kerangka filosofi-ideologis kebarat-baratan. Pancasila perlu diperkuat kredibilitasnya untuk menjaga agar bangsa ini tidak kebobolan dalam pembiaran realitas baru: teknologi sebagai ideologi; pembangunan ekonomi sebagai ideologi berhubung semua itu harus tetap berjalan dalam aturan main nasion, dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi nasional. Akhirnya, pengembangan ideologi Pancasila bisa ditempuh melalui cara-cara komparatif terhadap keberhasilan dan kegagalan ideologi-ideologi besar dunia. q-o/c (3643-2008) *) Drs Slamet Sutrisno MSi, Pengajar Pancasila di UGM Yogyakarta.sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=165278&actmenu=39

TB Simatupang dan Semi-Kudeta 17 Oktober 1952

21/10/2010 00:46:18 TB Simatupang (Letjen Purn) dalam pengakuannya, dialah petinggi TNI-AD yang dianggap paling terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 yang lebih dikenal dengan “semi-kudeta” militer yang dilakukan oleh sejumlah perwira TNI-AD. Ketika itu tank- tank dan sejumlah meriam diarahkan moncongnya ke istana, kediaman resmi Presiden Sukarno waktu itu. TB Simatupang yang saat itu berpangkat kolonel dan menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), akhirnya terpaksa dipurnawirakan di usia 39 tahun dari jabatan KSAP, diangkat menjadi Penasihat

Menteri Pertahanan tanpa kantor dan tanpa pernah diminta dan dibutuhkan nasihatnya. Pak Sim –begitu panggilan akrabnya— lantas lama memegang kepemimpinan Dewan Gereja Indonesia, sampai suatu saat sukses memegang jabatan Ketua Dewan Gereja- gereja Dunia. Dia adalah satu dari sedikit jenderal intelektual yang pernah mewarnai TNI. Peristiwa yang melibatkan TB Simatupang dan AH Nasution, dua kolonel terpenting TNI saat itu, oleh pemerintah akhirnya dinyatakan secara resmi bukan coup atau percobaan coup. Tentu saja terdapat kompleksitas dan bahkan komplikasi sedemikian rupa mengingat konteks makro peristiwa itu tak kurang menyangkut: posisi dan versi TNI pasca perang kemerdekaan dan di lain pihak posisi dan status Bung Karno sendiri yang dalam era 1950-an cenderung tidak puas hanya menjadi presiden sebagai kepala negara. Maka itu, dalam kerangka nation and character building yang sampai dewasa ini tak kunjung mewujud dan memadai, disamping fakta bahwa TB Simatupang kemudian tidak mendapatkan jabatan pasca Peristiwa 17 Oktober 1952, sosoknya sebagai seorang negarawan dan prajurit intelektual menarik untuk di-kilasbalik-kan. Manusia cendekiawan senantiasa akan berpegang pada prinsip-prinsip dan pantang bersikap oportunis, apalagi pecundang, pengecut, pengintrik atau plintat-plintut. Apabila dibandingkan dengan elite politik dan elite negara masa kini memang nyata benar bedanya. Banyak elite politik dan kenegaraan masa kini tampak luarnya inteligen namun suka berkilah, miskin tanggung jawab namun kaya daya citra. Jika Pak Sim lebih suka dan elegan bersikap “ini dadaku,” banyak kalangan elite negeri ini kini lebih cerdik bersikap nylingker atau bersikap kura-kura dalam perahu, cepat dan sigap berganti nama sebagai “Tumenggung Joyo Endo” manakala tanggung jawab dituntut kepadanya atas jabatan yang dipegang. Profil perwatakan seorang TB Simatupang berbeda benar dari mereka yang terpaut dalam kasus- kasus tersebut, yang berhubung dengan perseteruannya dengan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi, dia tentunya cenderung tak disukai oleh sang proklamator itu. Sukarno tak pernah sekalipun memilihnya sebagai anggota kabinet meski kecerdasan Simatupang menonjol. Kini, dengan kapasitas minimalis –namun telah dipoles melalui fit and proper test betapapun artifisialnya—seseorang mudah dilantik sebagai menteri atau “staf khusus” kepresidenan. TB Simatupang pun menguasai bahasa- bahasa Eropa. Selepas jabatan KSAP Pak Sim menolak “didubeskan” ke negara adidaya AS, meski Menlu Subandrio sendiri menawarinya. Bandingkan dengan oportunisme murahan yang suka dipertontonkan di panggung politik kontemporer, selain dari snobisme politik yang menggusarkan khalayak maupun yang menelorkan berbagai sinisme dan apatisme politik rakyat. Dan TB Simatupang segera memilih menapaki kariernya sebagai gembala umat, belajar teologi dan menghiasi mediamassa dengan berbagai artikelnya. Sebagai pribadi berintegritas, dia tak malu mengakui— demi nafkah keluarga selepas dicopot dari jabatannya sampai mesti menulis dua tiga tulisan seminggu, di antaranya dengan nama samaran “Senopati.” Itulah nasib seorang Pak Sim, sang pensiunan Kepala Staf Angkatan Perang RI. Demonstrasi para petinggi militer bersama ribuan massa di Istana Merdeka 17 Oktober 1952 tersebut tidaklah terlepas dari konteks rivalitas tajam antara kubu modernis TNI dengan kubu tradisionalis (ex Peta) dalam penataan internal pasca kemerdekaan yang disusul oleh revolusi fisik sampai dengan Perjanjian KMB. AH Nasution dan TB Simatupang adalah pionir dalam gagasan profesionalisasi TNI dengan sekaligus memanfaatkan misi militer Belanda di Indonesia pasca ditandatanganinya Perjanjian KMB. Inilah yang ditentang oleh kubu ex Peta dengan kerisauan bahwa dengan kedatangan misi militer Belanda sebagai narasumber profesionalisasi TNI, mereka (ex Peta) kemungkinan besar akan tereliminasi. Adalah Kolonel Bambang Supeno yang menjumpai Presiden Sukarno dalam rangka rivalitas tersebut; dengan gagasannya menyingkirkan KASAD Kol AH Nasution. Seolah merestui, Bung Karno menyatakan kepada Bambang Supeno “bila memang itu dikehendaki harap dinyatakan.” Itulah yang diterima secara zakelijk oleh Bambang Supeno yang segera menghimpun pernyataan yang akan ditandatangani oleh para panglima guna memuluskan ambisi tersebut. Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, KASAD Kol AH Nasution dan KASAP Kol TB Simatupang pun bersepakat menghadap Bung Karno di istana. Dalam pertemuan mana justru TB Simatupang paling getol meminta klarifikasi kepada presiden—memang betulkah rencana Bambang Supeno itu. Pokok inilah, yakni keberanian yang lugas TB Simatupang meminta klarifikasi langsung kepada Sukarno sungguh merepresentasikan watak keprajuritan inteligen, penuh integritas khas seorang cendekiawan. Kolonel berusia 32 tahun itu sungguh berani mengambil risiko demi suatu kebenaran yang ingin ditegakkannya. Keberanian itu –dalam idiom Banyumasan disebut “blaka suta”—hampir pasti sangat sulit dijumpai pada jenderal- jenderal dengan watak “nJawani,” yang serba ewuh-pakewuh. Dalam pergantian generasi, TNI/Polri memiliki jendral mirip TB Simatupang itu semisal pada diri Soemitro, Ali Sadikin dan Hugeng. Diterima di istana, Menhan Hamengku Buwono IX memulai pembicaraan dengan bertanya kepada presiden dalam bahasa Belanda;”Kami datang untuk bertanya apakah sebetulnya yang dikehendaki oleh Pangti?” T.B.Simatupang, KASAP, menimpali dengan panjang lebar yang intinya tidak setuju apabila cara penggantian KASAD Kol. A.H.Nasution ditempuh dengan menghimpun tanda tangan para panglima daerah. KASAP yang saat itu berusia 32 tahun menyatakan bahwa:”…apabila menjadi kebiasaan bahwa seorang KASAD dapat begitu saja diganti dengan mengumpulkan tanda tangan di antara para panglima, maka hal yang sama dapat terjadi dengan para panglima dengan mengumpulkan tanda tangan di antara para komendan resimen dan seterusnya.” TB Simatupang menegaskan bahwa selama dia menjadi KSAP tak akan membiarkan

hal seperti itu terjadi, TB Simatupang pun menekankan adalah bahaya jika suatu tentara yang lahir dalam perang rakyat tidak segera mengalami profesionalisasi dan modernisasi setelah perang selesai. Bisa-bisa tentara akan menjadi sumber instabilitas kontinyu seperti Amerika Latin—demikian ditegaskannya. Dan kepada arsitek terkemuka, Silaban, Bung Karno dengan gemas menyatakan bahwa selama menduduki jabatan presiden Sukarno tidak akan memberikan kesempatan kepada TB Simatupang untuk memegang suatu jabatan dalam negara RI. Selang beberapa waktu, TB Simatupang mendengar dari AK Pringgodigdo betapa presiden sangat merasa terhina oleh KASAP. Dan presiden pun konon berucap: “ Hij poept op mij,” atau “Dia telah memberaki saya.”(Simatupang, 1991;166). q-s-(1840-2010). *) Slamet Sutrisno, Dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM.