pai kelmpok 1

26
TUGAS KELOMPOK MPK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM I TAHUN AJARAN 2013/2014 “SUMBER AJARAN ISLAM” Kelompok 1 Amira Nur Amalia Bagas Aji Rinekso Cucu Siti Hafidoh Dwi Restaningsih Fajar Achmad Fitriyani Gigih Muhammad Firdaus Halimatusa’diyah Holidah Intan Putri Utami Lucya Sari Cahyana Sela Rahayu Veni Rosepa Yulianti Handayani 1C Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Upload: uni-artika-nove-wijaya

Post on 01-Jan-2016

37 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS KELOMPOK

MPK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM I

TAHUN AJARAN 2013/2014

“SUMBER AJARAN ISLAM”

Kelompok 1

Amira Nur Amalia

Bagas Aji Rinekso

Cucu Siti Hafidoh

Dwi Restaningsih

Fajar Achmad

Fitriyani

Gigih Muhammad Firdaus

Halimatusa’diyah

Holidah

Intan Putri Utami

Lucya Sari Cahyana

Sela Rahayu

Veni Rosepa

Yulianti Handayani

1C Agroekoteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat

serta hidayah-Nya sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan

makalah ini.

Shalawat serta salam selalu kita sanjungkan kepada junjungan Nabi Besar

Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Quran dan

Sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah pengembangan

kepribadian Pendidikan Agama Islam di jurusan Agroekoteknologi Fakultas

Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Selanjutnya, kami mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Nanah Sujanah. S.Ag., M.SI selaku

dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan kepada segenap pihak yang telah

memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-

kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penullis mengharapkan

kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah

ini.

Serang, 20 November 2013

Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar…………………………………………………………………………. ii

Daftar Isi…………………………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….1

A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1

B. Tujuan……………………………………………………………………... 1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………. 2

A. Al Quran…………………………………………………………………... 2

B. Sunnah…………………………………………………………………….. 6

C. Hadits……………………………………………………………………… 8

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….. 14

A. Kesimpulan………………………………………………………………... 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin fleksibel dan nilai-nilai ajarannya selalu dapat

diterima seperti apapun dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang

setolerir ajaran islam. Komponen utama agama islam atau unsur utama ajaran agama islam

(akidah,syari’ah, dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang

memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan adalah ajaran agama

yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain, yang dikembangkan lebih

lanjut supaya dapat dipahami oleh manusia adalah wahyu Allah dan sunnah Rasul yang

merupakan agama islam itu.

Mempelajari agama islam merupakan fardu ‘ain yakni kewajiban pribadi setiap muslim

dan muslimah, sedangkan mengkaji ajaran islam, terutama yang dikembangkan oleh akal

pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Mempelajari

ajaran islam merupakan fardu kifayah yakni kewajiban masyarakat kaum muslimin.

B. Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah:

1) untuk mengetahui sumber-sumber ajaran islam;

2) untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad;

3) untuk mempelajari sistematika dan hubungan sumber-sumber ajaran Agama islam dan

kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman dan kerangka kegiatan umat islam;

BAB II

PEMBAHASAN

Sumber ajaran islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad

SAW. dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yang di dalam kepustakaan terkenal dengan

hadits Mu’az. Menurut hadits Mu’az bin Jabal (nama sahabat nabi yang diutus Rasulullah

ke Yaman untuk menjadi gubernur disana) sumber ajaran islam ada 3, yaitu sebagai

berikut.

1) Al-Qur’an (Kitabullah);

2) As-Sunnah (kini dihimpun dalam al-Hadits);

3) Rakyu atau akala pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.

Ketiga sumber ajaran islam ini merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan

keutamaan seperti tercantum dalam kalimat di atas, tidak boleh dibalik. Dan jika

dihubungkan dengan peringkat (ranking)-nya masing-masing, al-Qur’an dan al-Hadits

merupakan sumber utama, sedangkan pikiran manusia yang memenuhi syarat berijtihad

untuk merumuskan ajaran, menentukan nilai dan norma suatu perbuatan dan benda,

merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan.

Berikut ini akan dijabarkan mengenai masing-masing sumber ajaran islam.

A. AL – QUR’AN

1. Pengertian

Secara etimologis, Al-Qur’an berasal dari kata qa-ra-a, yaq, ra-u, qur’an yang berarti

bacaan (Qs. Al-Qiyamah [75]: 17-18). Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-

firman (wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada

nabi Muhammad sebagai rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari,

mula-mula di Mekah kemudian di Madinah. Tujuannya untuk menjadi pedoman atau

petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di

dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak.

2. Klasifikasi Ayat Berdasarkan Nuzul

Al-Qur’an tidak disusun secara kronologis. Lima ayat pertama diturunkan di Gua

Hira’ pada malam 17 Ramadhan tahun pertama sebelum hijrah atau pada malam Nuzulul

Qur’an ketika Nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarang terletak di surat al-‘Alaq

(96): 1-5. Ayat terakhir yang diturunkan di Padang Arafah, ketika Nabi Muhammad

berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijrah, kini terletak di surat al-

Maidah (5): 3.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan selama kurang lebih 23 tahun itu dapat

dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di

Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari – terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke-

41 dari kelahiran Nabi (6 Agustus 610 M) sampai tanggal 1 Rabi’ul Awal tahun ke 54 dari

tahun kelahirannya yang disebut surat Makkiyah. Dengan ayat yang turun setelah nabi

Muhammad hijrah ke Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari-terhitung sejak nabi hijrah

ke Madinah sampai tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 63 dari tahun kelahirannya yang disebut

surat Madaniyah. Ciri-ciri Surat Makkiyah dan Madaniyah :

a. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi Al-

Qur’an, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-

panjang, merupakan 19/30 dari seluruh isi Al-Qur’an, terdiri dari 28 surat, 1.456 ayat.

b. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata Yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedangkan

ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata Ya ayyuhal ladzina amanu (hai orang-

orang yang beriman).

c. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengenai tauhid yakni keyakinan pada Kemaha

Esaan Allah, hari kiamat, akhlaq, dan kisah-kisah umat manusia dimasa lalu (aqidah),

sedangkan ayat-ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan

sebagainya (syariah).

3. Isi Kandungan Al-Qur’an

Secara garis besar hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dibagi menjadi 3

macam :

a. Hukum-hukum I’tiqadiyah, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,

Malaikat, Rasul, Kitab, Hari akhir, dan Takdir Ilahi.

b. Hukum Khuluqiyah, hukum yang berkaitan dengan pergaulan manusia mengenai akhlak

dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.

c. Hukum ‘amaliyah, hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku

lahirnya dalam hubungan dengan Allah, sesama dan dalam bentuk apa yang harus

dilakukan atau harus dijauhi.

4. Kedudukan dan Kehujjahan Al-Qur’an

Kedudukan Al-Qur’an dalam sistem nilai Islam adalah sebagai sumber utama dan

pertama (QS. Al-Maidah [5] : 48). Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber

hukum. Karena itu, seorang muslim tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah

sebelum meneliti dan membahas ayat-ayat al-qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan

dengan al-qur’an maka tidak boleh mencari jawaban dari luar al-qur’an. Jika akan

menggunakan sumber hukum lain di luar al-qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk al-

qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-qur’an. Ada

beberapa alasan tentang kewajiban berhujjah dengan al-qur’an :

a. Turunnya al-qur’an kepada Rasulullah SAW diketahui secara mutawatir, ini memberikan

keyakinan bahwa Al-qur’an benar-benar datangnya dari Allah SWT melalui malaikat

Jibril kepada nabi Muhammad SAW sebagai Al-Amin.

b. Banyak ayat yang menyatakan bahwa al-qur’an itu dating dari Allah SWT (QS.Ali Imran :

3), (QS.An-Nisa : 105), (QS.An-Nahl : 89).

c. Mu’jizat Al-qur’an meupakan dalil yang Qoth’i, yang bertujuan untuk menjelaskan

kebenaran Nabi Muhammad yang membawa risalah Allah SWT dengan suatu perbuatan

yang diluar kebiasaan umat manusia.

Ayat-ayat al-qur’an dari segi kejelasan artinya ada 2 macam. Keduanya dijelaskan

Allah dalam al-qur’an surat ali-imran [3] : 7 yaitu secara muhkam atau qath’I dan

mutasyabih atau dzanny ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara

terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan

adanya beberapa kemungkinan pemahaman. Sedangkan ayat mutasabih tidak beberapa

kemungkinan pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami sehingga dapat dipahami

dengan.

Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-qur’an,

yaitu :

a. Secara juz’I (terperinci), seperti dalam hal hukum ta’abbudi dan kewarisan.

b. Secara Kulli (global), sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanannya. Yang

berwenang menjelaskan adalah rasul-Nya lewat sunah.

c. Secara isyarah al-qur’an memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum lain untuk

menjawab persoalan kekinian melalui berbagai metode ijtihad.

5. Fungsi dan Peran Al-Qur’an

a. Al-qur’an sebagai pedoman hidup orang-orang yang bertakwa.

b. Sebagai obat penawar bagi orang-orang yang beriman.

c. Sebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan kepada para Rasul

sebelumnya.

6. Mu’jizat Al-Qur’an

a. Keindahan bahasa.

b. Pemberitaan mengenai masa lalu yang terbukti kebenarnnya secara arkeologis dan sesuai

dengan pemberitaan kitab suci sebelumnya.

c. Ramalan tentang masa depan yang ternyata memang kemudian terjadi.

d. Kandungannya sebagai pedoman hidup untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

e. Isyarat-isyarat ilmiah al-qur’an yang tebukri melalui kebenaran empiris ilmu pengetahuan.

7. Nama-nama lain al-qur’an

a. Al-kitab, berarti sesuatu yang ditulis (Ad-Dukhan, 44:2)

b. Alkalam, berarti ucapan ( At TAubah, 9:6)

c. Az-zikra, berarti peringatan (Al-Hijr, 15:9)

d. Alqasas, berarti cerita-cerita (Ali Imran, 3:62)

e. Alhuda, berarti petunjuk (At-Taubah, 9:33)

f. Al-Furqan berarti pemisah (Al-Furqan, 25:1)

g. Almauizah berarti nasihat (Yunus, 10:57)

h. Asy-Syifa berarti obat atau penawar jiwa (Al;Israa, 17:82)

i. An-Nur berarti cahaya (An-Nisa’, 4:174)

j. Ar-Rahmah berarti karunia (An-Naml, 22:77)

B. As - Sunnah

Pengertian sunnah nabawiyah secara etimologis berarti “tradisi atau kebiasaan nabi”.

Sedangkan secara terminologis menurut ahli ushul fiqih sunnah adalah segala yang di

riwayatkan dari nabi SAW, berupa perbuatan (fi’liyah), perkataan (qauliyah), dan

ketetapan (taqririyah) yang berkaitan dengan hukum. Jadi sunnah merupakan sumber

hukum kedua setelah Al’Quran dan di golongkan menjadi 3 :

1. Sunnah fi’liyah, perbuatan yang di lakukan oleh nabi SAW yang dilihat dan diketahui oleh

sahabat kemudian di sampaikan ke orang lain. Dalam kaitan ini, para ahli ushul fiqh,

membagi sunnah fi’liyah menjadi :

a. Perbuatan yang mucul dari rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti makan,

minum, duduk, dan pakaiannya. Perbuatan seperti ini tidak termasuk sunnah yang

wajib diikuti oleh umatnya, karna hal-hal sepert itu muncul dari rasulullah sebagai

manusia biasa dengan segala tabiatnya.

b. Perbuatan yang di lakukan rasulullah dan ada alasan yang menunjukan bahwa

perbuatan itu khusus untuk dirinya, seperti menikahi wanita lebih dari 4 orang

sekaligus, perbuatan seperti ini hanya khusus untuk dirinya dan tidak wajib diikuti

oleh umatnya.

c. Perbuatan yang berkaitan dengan hukum dan ada alasannya, maka hukumnya

berkisar antara wajib, sunnah, haram, makruh, dan jaiz (boleh). Perbuatan seperti

ini menjadi syari’at bagi umatnya.

2. Sunnah qauliyah, ucapan nabi SAW yang di dengar oleh dan disampaikan oleh beberapa

orang/sahabat kepada orang lain. Misalnya keterangan(sabda) Rasulullah yang

menjelaskan “tidak sah seseorang yang tidak membaca al-Fatihah.

3. Sunnah taqririyah, perbuatan atau ucapan sahabat yang di lakukan di hadapan atau

sepengetahuan nabi SAW. Tetapi nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam

dan tidak mencegahnya nabi SAW ini menunjukan persetujuan nabi SAW. Misalnya

ketika rasul bertanya kepada ‘Amr ibn ‘Ash “Engkau melaksanakan shalat bersama-sama

teman engkau, sementara engkau dalam keadaan junub?” ‘Amr ibn ‘Ash menjawab “Saya

ingat firman ALLAH Ta’ala yang mengatakan, ‘Jangan kamu membunuh dirimu,

sesungguhnya ALLAH itu Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang’. Lalu saya bertayamum

dan langsung shalat.” Mendengar jawaban ‘Amr ibn ‘ash ini rasulullah SAW tertawa dan

tidak berkomentar apapun.

Fungsi sunnah

Fungsi Hadist (sunnah nabawiyah) dalam hubungannya dengan Al-Qur’an adalah

untuk menjelaskan kepada umat manusia ajaran-ajaran yang diturunkan ALLAH melalui

Al-Qur’an (QS. An-Nahl [16]: 44 ; an-Nisa’ [4] : 80). Penjelasan rasulullah terhadap Al-

Quran ada beberapa bentuk, yakni :

a. Bayan tafsir wa Tudhih, memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud

dalam Al-Qur’an dalam hal :

1. menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an

2. merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebut secara garis besar.

3. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebut secara umum, dan

4. Memperluas maksud dari sesuatu yang disebut dalam Al-Qur’an

b. Bayan ta’kid wa Takrir : menguatkan dan menjelaskan hukum yang tersebut dalam

Al-Qur’an dalam bentuk ini sunnah hanya seperti mengulang apa-apa yang tersebut dalam

Al-Qur’an

c. Itsbat/insya’. Menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak

terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri

hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran.

Klasifikasi Hadist

Ditinjau dari banyak sedikitnya rawi yang menjadi sumber berita, hadist terbagi

menjadi 2 macam :

a. Mutawatir yaitu suatu hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak

mungkin sepakat untuk berdusta.

b. Ahad yaitu suatu hadist yang diriwayatkan oleh 3 orang atau leb ih tetapi belum

mencapai derajat mutawatir. Hadist Ahad terbagi menjadi 3 golongan:

1. Masyhur (diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih)

2. Aziz (diriwayatkan oleh 2 orang)

3. Gharib (diriwayatkan oleh 1 orang)

Sedangkan ditinjau dari kualitasnya, hadist terbagi menjadi :

1. Syahih yaitu hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, dhabit, sanadnya

berkesinambungan, tidak berilat dan tidak janggal

2. Hasan yaitu hadist yang memenuhi persyaratan hadist sahih akan tetapai rawinya

kurang dhabit.

3. Dhaif yaitu hadist yang tidak memenuhi persyaratan hadist sahih dan hadist hasan.

4. Maudhu’ yaitu hadist palsu (hadist dhaif yang rawinya dusta).

B. IJTIHAD

1. Pengertian ijtihad

Ijtihad artinya berusaha secara sungguh-sungguh atau secara lebih luasnya membentuk

penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah hukum, dengan kata lain ijtihad merupakan

aktualisasi hukum-hukum umum dari al-qur’an dan al-sunnah. Oleh karena itu, produk

ijtihad adalah produk hukum yang telah disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan yang

bersifat institusional, keperluan actual, dan kebutuhan kondisional.

2. Metode ijtihad

a. Ijma’ yaitu kesepakatan ulam-ulama islam pada suatu massa terhadap suatu hukum dari

suatu peristiwa, contohnya larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.

b. Qiyas yaitu menerapkan hukum perbuatan tertentu kepada perbuatan lain yang memiliki

kesamaan, contohnya al-qur’an melarang jual beli ketika salat jum’at.

c. Istihsan yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan prinsip-prinsip umum

ajaran islam, seperti prinsip keadilan dan kasih saying, contohnya seseorang mesti

memilih satu dari dua alternative perbuatan yang sama-sama buruk. Maka ia mengambil

salah satu yang diyakini paling ringan keburukannya.

d. Maslahah mursalah yaitu menetapkan hukum berdasarkan tinjauan kegunaan atau

pemanfaatannya sesuai tujuan syariat, seperti memlihara agama, memelihara jiwa,

memlihara akal, memelihara harta dan memelihara keturunan, serta kehormatan.

e. Istihhab yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan atas dasar pembahasan

dan penelitian cermat bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada massa lampau tetap

berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang.

f. ‘Urf atau adat yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan atas dasar tradisi

atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas.

g. Dzari’ah yaitu menetapkan suatu hukum persoalan atas pertimbangan bahwa perbuatan

tertentu tersebut menjadi jalan yang menuju terciptanya sesuatu yang haram.

h. Madzhab shahabi yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan atas

pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang tidak dijelaskan didalam al-

qur’an dan sunnah.

i. Syar’un man qoblana yaitu syari’at sebelum islam.

j. Ta’arud ad-dilalah yaitu pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat

yang sama.

Kalsifikasi mujtahid secara umum adalah muslim dewasa yang berakal sehat dan merdeka.

Namun secara moral seorang mujtahid haruslah seorang yang cerdas, dan adil.

A. Tingkatan mujtahid

1. Mujtahid al-mustaqil yaitu yang memiliki kaidah-kaidah teori yang dibangunnya sendiri

dalam mengistimbatkan hukum.

2. Mujtahid muntasib yaitu yang memiliki persyaratan tetapi tidak mempunyai teori dan

kaidah tersendiri bahkan hanya mengikuti salah satu teori yang ditetapkan imam

mazhabnya.

3. Mujtahid al-muqayyad yaitu yang terikat ddengan mazhab imamnya tetapi secara mandiri

menetapka kaidah-kaidah berdasarkan dalil yang dikemumkakannya dan tidak keluar dari

imam mazhabnya

4. Mujtahid at-tarjih yaitu yang tidak dapat mencapai tingkatan muqayyad tetapi dia seorang

faqih yang menghafal mazhab imamnya dan mengetahui secara baik kaidah-kaidah imam

mazhabnya.

5. Mujtahid al-fitya yaitu yang kemampuannya hanya menghafal mazhabnya sendiri dan

berusaha menjelaskan persoalan-persoalan yang sulit dalam mazhabnya pada masyarakat

tetapi tidak tau secara detail tentang dalil dan kaidah-kaidah imam mazhab.

Beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati, dan sebagian

Seseorang yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali

dengan memenuhi yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah

disepakati adalah:

a. Mengetahui al-Quran

Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam.

Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.

Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam

secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa

melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-

Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar

500 ayat.

b. Mengetahui Asbab al-nuzul

Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an

secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara

sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan memberi

analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut

kepada manusia.

Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui sebab

turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an.

Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan.

Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan

dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir

sehingga sering menimbulkan perselisihan.

c. Mengetahui nasikh dan mansukh

Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih

menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa

dipergunakan untuk dalil.

d. Mengetahui as-sunnah

Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan

as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

e. Mengetahui ilmu diroyah hadits

Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang

shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang

mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para

perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan

kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang

tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam

menggunakan hadis sebagai dasar hukum.

f. Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh

Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid

jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak

boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis

tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

g. Mengetahui asbab al-wurud hadis

Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul,

yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut ada.

h. Mengetahui bahasa Arab

Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada

objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini

tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.

i. Mengetahui tempat-tempat ijma’

Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para

ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’.

Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang

berseberangan dengan nash tersebut.Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa

bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.

j. Mengetahui ushul fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu

yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk

mengambil istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang

tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami

qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.

j. Mengetahui maksud dan tujuan syariah

Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan

manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat

(apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat

(kelapangan hidup, missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap

yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

k. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya

Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat, problemnya,

aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal hubungan maasyarakatnya dengan

masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat

tersebut.

l. Bersifat adil dan taqwa

Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar

proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinmbat

hukumnya.

3. Taqlid

Dalam bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana ijtihad

dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan aspek legal-formal pada

ulama-ulama yang telah memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada

periode ini, Islam lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang menjadi

panutan.

Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa ini

pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang

mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam

pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan

ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan

kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan

Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara

bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan

menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy

syafi’i atau pengikut Ahmad saja.

Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu.

Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam

saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa

tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap

detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah

baru yang membutuhkan hukum.

4. Ittiba’

Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan,

yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan

ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.

Definisi lainnya, ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu

mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau

nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam

Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul,

dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan

berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa

(ulama pewaris para Nabi).

5.  Talfiq

Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau

kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali

dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah

nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.

Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu

semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar

hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang

tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling

mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para

ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.

BAB III. KESIMPULAN

Jadi, sumber ajaran Islam terdiri dari Al-Qur’an As-sunnah dan ijtihad yang bisa dijadikan

sebagai pedoman hidup umat manusia dimana Al-Qur’an adalah sumber utama yang

berasal dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian as-

sunnah juga adalah kebiasaan berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan nabi beserta

sahabatnya yang bisa umat manusia ikuti, sunnah juga merupakan sumber hukum kedua

setelah Al-Qur’an dan yang terakhir adalah ijtihad yaitu untuk menentukan suatu hukum

yang tidak ditentukan secara eskplisit oleh Al-Qur’an dan hadis. Demiakanlah makalah

yang telah kelompok kami buat, semoga bermanfaat tiada gading yang tak retak kesalahan

tentulah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Islam Progresif, Untirta Press, Serang, 2005

Azra Azyumardi, Suryana Toto, Ishaq Addulhaq, Didin Hafifudin, Buku Teks Pendidikan

Agama Islam, Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2002

Thahan Mahmud, Ilmu Hadist Praktis, Bogor: Haramin, 2005

H. Daud Ali Mohammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002

http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/makalah-tentang-ijtihad-474137.html