padi hibrida

24
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asal dan Taksonomi Padi Padi (Oryza sativa L.), seperti halnya gandum, jagung dan barley termasuk dalam famili Graminae (Poaceae) atau rumput-rumputan. Genus Oryza terdiri atas 23 spesies, 21 diantaranya adalah padi liar (wild relatives) yang memiliki genom diploid atau tetraploid, sedangkan 2 lainnya merupakan padi budi daya (Makarim, 2002). Studi variasi karakter morfologi terhadap 16 spesies padi, telah dilaporkan oleh Grist (1965) yang menyatakan bahwa spesies Oryza dapat dibagi ke dalam tiga grup utama, yaitu (1) Oryza sativa dan kerabat dekatnya, (2) Oryza officinalis dan kerabatnya serta (3) spesies kerabat jauh lainnya. Kush (2000) melakukan klasifikasi ulang terhadap spesies Oryza berdasarkan jumlah kromosom, komposisi genom dan daerah penyebarannya (Tabel 1). Spesies padi liar seperti O. nivara dan O. glaberrima dilaporkan banyak mengandung gen-gen bermanfaat yang dapat ditransfer ke genom padi budidaya (O. sativa). Introgresi gen-gen bermanfaat tersebut dapat dilakukan melalui hibridisasi interspesifik (Brar et al. 1996). Menurut Kush (2000), berdasarkan tingkat kemudahan transfer gen-gen dari spesies liar ke spesies budidaya, spesies padi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga gene pool. Gene pool utama terdiri atas sejumlah spesies liar, yaitu O. 3

Upload: mansurahmadborno

Post on 09-Aug-2015

150 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: padi hibrida

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asal dan Taksonomi Padi

Padi (Oryza sativa L.), seperti halnya gandum, jagung dan barley

termasuk dalam famili Graminae (Poaceae) atau rumput-rumputan. Genus Oryza

terdiri atas 23 spesies, 21 diantaranya adalah padi liar (wild relatives) yang

memiliki genom diploid atau tetraploid, sedangkan 2 lainnya merupakan padi budi

daya (Makarim, 2002). Studi variasi karakter morfologi terhadap 16 spesies padi,

telah dilaporkan oleh Grist (1965) yang menyatakan bahwa spesies Oryza dapat

dibagi ke dalam tiga grup utama, yaitu (1) Oryza sativa dan kerabat dekatnya, (2)

Oryza officinalis dan kerabatnya serta (3) spesies kerabat jauh lainnya.

Kush (2000) melakukan klasifikasi ulang terhadap spesies Oryza

berdasarkan jumlah kromosom, komposisi genom dan daerah penyebarannya

(Tabel 1). Spesies padi liar seperti O. nivara dan O. glaberrima dilaporkan

banyak mengandung gen-gen bermanfaat yang dapat ditransfer ke genom padi

budidaya (O. sativa). Introgresi gen-gen bermanfaat tersebut dapat dilakukan

melalui hibridisasi interspesifik (Brar et al. 1996). Menurut Kush (2000),

berdasarkan tingkat kemudahan transfer gen-gen dari spesies liar ke spesies

budidaya, spesies padi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga gene pool. Gene pool

utama terdiri atas sejumlah spesies liar, yaitu O. rufipogon, O. nivara, O.

glumaepatula, O. meridionalis, O. breviligulata, O. longistaminata serta dua

spesies budidaya, yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Kelompok ini memiliki

genom AA dan transfer gen antar spesies ini dapat dilakukan melalui persilangan

dan metode seleksi tertentu. Gene pool sekunder adalah spesies kelompok O.

officinalis komplek. Persilangan antara O. sativa dan spesies-spesies dalam

kelompok ini lebih sulit dilakukan dan harus menggunakan bantuan teknik

penyelamatan embrio (embryo rescue). Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan

homologi antara genom AA (O. sativa) dengan genom BB, CC, CCDD, EE dan

FF (spesies padi liar), sehingga jumlah gen yang dapat ditransfer terbatas. Gene

pool tersier terdiri atas kelompok O. meyeriana, O. ridleyi dan O. schlechteri.

3

Page 2: padi hibrida

Tabel 1. Klasifikasi Padi

4

Page 3: padi hibrida

Species 2n Genome Distribution Useful or potentiallyO. sativa complex

O. sativa L. 24 AA Worldwide CultigenO. nivara Sharma et Shastry

24 AA Tropical and subtropical Asia

stunt virus, blast, drought avoidance

O. rufipogon Griff. 24 AA Tropical and subtropical Asia

Elongation ability, resistance to BB, source of CMS

O. breviligulata A. Chev. et Roehr.

24 Ag Ag Africa Resistance to GLH, BB, drought avoidance

O. glaberrima Steud.

24 Ag Ag West Africa Cultigen

O. longistaminata A. Chev. et Roehr

24 Ag Ag Africa Resistance to BB, drought avoidance

O. meridionalis Ng 24 Am Am Tropical Australia Elongation ability, drought avoidance

O. glumaepatula Steud.

24 Agp Agp South and Central America

Elongation ability, source of CMS

O. officinalis complexO. punctata Kotschy ex Steud

24 BB Africa Resistance to BPH, zigzag leafhopper

O. minuta J. S. Pesl. Ex C. B. Presl.

48 BBCC Philippines and Papua New Guinea

Resistance to sheath blight, BB, BPH, GLH

O. officinalis Wall ex Watt

24 CC Tropical and subtropical Asia, tropical Australia

Resistance to thrips, BFW, GLH, WBPH

O. rhizomatis Vaughan

24 CC Sri Lanka Drought avoidance, rhizomatous

O. eichingeri A. Peter

24 CC South Asia and East Africa

Resistance to yellow mottle virus, BPW, WBPH, GLH

O. latifolia Desv. 48 CCDD South and Central America

Resistance to BPH, high biomass production

O. alta Swallen 48 CCDD South and Central America

Resistance to striped stemborer, high biomass production

O. grandiglumis (Doell) Prod.

48 CCDD South and Central America

High biomass production

O. australiensis Domin.

24 EE Tropical Australia Drought avoidance, resistance to BPH

O. brachyantha A. Chev. et Roehr.

24 FF Africa Resistance to yellow stemborer, leaf-folder, whorl maggot, tolerance to laterite soil

O. meyeriana complexO. granulata Nees et Am. ex Watt

24 GG South and Southeast Asia

Shade tolerance, adaptation to aerobic soil

O. meyeriana (Zoll. Et Mor. ex Steud.) Bad.

24 GG Southeast Asia Shade tolerance, adaptation to aerobic soil

O. ridleyi complexO. logiglumis Jansen

48 HHJJ Irian Jaya, Indonesia and Papua New Guinea

Resistance to blast, BB

5

Page 4: padi hibrida

O. ridleyi Hook. f. 48 HHJJ South Asia South Asia Resistance to stemborer, whorl maggot, blast, BB

Unknown genomeO. shlechteri Pilger

48 unknown Papua New Guinea Stoloniferous

Keterangan:BPH = brown planthopper; GLH = green leafhopper; WBPH = white-backed planthopper; BB = bacterial blight; CMS = cytoplasmic male sterility

(Kush, 2000)

Oryza sativa terdiri atas banyak subspesies dan telah terdistribusi ke

seluruh dunia. Dikenal dua grup varietas padi yaitu indica dan japonica, kedua

grup ini memiliki banyak perbedaan karakter dibandingkan antar varietas

tipikalnya, tetapi variasinya saling overlap. Kedua grup ini telah dikarakterisasi

berdasarkan resistensinya, panjang bulu di apikulus dan reaksinya terhadap

phenol. Morinaga (1954) dalam Kush (2000) mengusulkan adanya grup ketiga

yang terdiri atas varietas bulu dan gundil dari Indonesia. Grup ini disebut

javanica, dan Galszmann (1987) dalam Kush (2000) menyatakan bahwa javanica

berada di antara grup japonica berdasarkan analisis isozym. Saat ini javanica

dikenal sebagai tropical japonica, sedangkan typical japonica disebut sebagai

temperate japonica

Gambar 1. Lintasan evolusi dua species padi budidaya(Kush, 2000)

6

Page 5: padi hibrida

2.2 Prinsip Padi Hibrida

Padi hibrida dikembangkan dengan memanfaatkan adanya fenomena

heterosis yang menyebabkan produksi yang lebih tinggi dibanding galur murni.

Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan dasar genetis dari heterosis.

Hipotesis dominansi menjelaskan faktor dominan salah satu tetua menutupi

gangguan mutasi resesif tetua lain pada populasi F1 heterosigot. Sebaliknya

hipotesis overdominan percaya bahwa heterosigositas pada lokus tunggal lebih

superior dibanding yang homosigos (You et al. 2006). Kedua hipotesis tersebut

telah diverifikasi melalui penelitian biologi molekuler (Stuber et al. 1992).

Hipotesis ketiga menduga bahwa heterosis mungkin akibat terjadinya epistasi

antara alel-alel pada lokus yang berbeda (You et al. 2006).

Padi hibrida di Indonesia dikembangkan dengan sistem 3 galur, yang

melibatkan tiga galur tetua meliputi galur mandul jantan sitoplasmik, galur

pelestari dan galur pemulih kesuburan. Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil

persilangan antara galur mandul jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih

kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat varietas padi hibrida

ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat

meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan berbagai

kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan

(You et al. 2006). Oleh karena itu, untuk mendapatkan varietas padi hibrida yang

baik dengan sifat-sifat yang diinginkan seperti daya hasil tinggi (ditunjukkan oleh

nilai heterosis yang tinggi), dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, maka

penelitian padi hibrida diutamakan pada proses perbaikan galur-galur tetua padi

hibrida serta proses pembentukan kombinasi persilangan yang menghasilkan

produksi dan heterosis tinggi.

Pada padi hibrida diperlukan 3 tetua, yakni tetua A sebagai galur yang

punya sifat mandul jantan, sering disebut galur CMS (Cytoplasmic male sterility

line) galur B (maintainer line) yang berfungsi sebagai tetua yang ketika

disilangkan dengan tetua A bisa menghasilkan benih yang ketika ditanam

tanamannya adalah mandul jantan juga. Tanpa tetua B benih-benih tetua A tidak

mungkin bisa diproduksi. Tetua yang lain adalah tetua R (restorer), yakni tetua

yang akan disilangkan dengan tetua A untuk menghasilkan benih F1. Ketiga tetua

7

Page 6: padi hibrida

inilah yang dipakai sebagai modal untuk menghasilkan benih F1 yang bagus.

Namun untuk mendapatkan 3 tetua tersebut tentu saja memerlukan waktu

bertahun-tahun dan penelitian yang tidak mengenal lelah. Untuk memahami

mekanisme kerja padi hibrida dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tetua A dan B merupakan pasangan yang tidak terpisahkan dan harus

cocok secara genetik. Tetua A atau galur CMS merupakan galur yang secara

genetik membawa sifat mandul jantan ditandai dengan tidak adanya kemampuan

menghasilkan polen yang fertil. Sifat ini di bawa oleh DNA faktor S (steril) yang

terdapat pada sitoplasma, ketika berinteraksi dengan DNA pada inti sel (rr) yang

juga steril maka ekspresi polen menjadi steril juga. Pada persilangan CMS (A)

dan maintainer (B), yang dipakai sebagai induk betina adalah galur A dengan gen

S pada sitoplasma. Polen yang digunakan dari galur B bersifat fertil, namun gen S

pada mitokondria B tidak terikut pada persilangan A x B. Oleh karena itulah

benih-benih yang dihasilkan dari persilangan A x B ketika ditanam akan steril.

Galur A dan B ini harus dicari dengan cara mengeskplorasi plasma nutfah yang

ada, baik dari varietas lokal/ introduksi, japonica/indica, varietas liar, dan

sebagainya. Persilangan dengan jarak genetik yang berbeda biasanya bisa

menghasilkan tanaman CMS. Untuk menghasilkan tanaman A dan B yang kembar

biasanya dilakukan silang balik berkali-kali. Hal ini perlu dilakukan agar ketika

dilakukan persilangan dengan restorer tidak banyak variasi genetik pada tanaman

CMS. Tanaman CMS harus seragam secara genetik. Dengan persilangan silang

balik berulang-ulang akan dihasilkan tanaman CMS dan maintainer yang susunan

genetik pada gen inti sama kecuali gen S pada sitoplasma (LITBANG, 2007).

Tabel 2. Mekanisme kerja padi hibrida.

Galur Fungsi Gen sitoplasma Gen inti Kondisi polen

A CMS S (rr) Steril

B Maintainer N (rr) Fertil

A/B F1 CMS (=CMS) S (rr) Steril

R Restorer N atau S (RR) Fertil

A/R F1 Hybrid S (Rr) Fertil

(LITBANG, 2007)

8

Page 7: padi hibrida

Selain sistem tiga galur, terdapat dua sistem yang dapat digunakan dalam

pengembangan padi hibrida, yaitu sistem dua galur dan sistem satu galur. Sistem

satu galur adalah penggunaan sistem apomiktik (tanpa pembuahan), namun

sampai saat ini masih dalam skala penelitian. Sistem dua galur melibatkan

penggunaan galur mandul jantan TGMS/Temperature-sensitive Genic Male

Sterility dan galur fertil. Keuntungan sistem ini adalah (1) tidak memerlukan galur

pelestari dalam produksi benih TGMS, (2) semua galur fertil dengan sifat-sifat

yang baik dapat digunakan sebagai tetua jantan dalam produksi benih hibrida, dan

(3) potensi heterosisnya lebih besar dibanding sistem tiga galur (Virmani et al.

2003).

Sistem dua galur sebenarnya cocok untuk digunakan di daerah tropis,

tetapi anomali iklim yang sering terjadi di daerah tropika seperti Indonesia

menjadi kendala. TGMS akan menjadi normal (fertil) ketika temperatur kurang

dari 300 C (Liu et al. 1998), dan di Indonesia sering sekali terjadi pergantian

temperatur yang sangat ekstrim, karena itu sistem tiga galur masih merupakan

sistem yang dapat diterapkan.

2.3 Sitem Mandul Jantan pada Padi

Mandul jantan sitoplasmik adalah kondisi dimana tanaman tidak mampu

memproduksi polen/tepung sari fungsional. Mandul jantan merupakan karakter

yang diwariskan secara maternal, dan biasanya terkait dengan adanya gangguan

pada open reading frame (ORF) di genom mitokondria (Hanson & Bentotila

2004). Pada banyak kasus, termasuk padi, kesuburan mandul jantan dapat

dipulihkan oleh gen-gen nukleus yang mengkode fertility restoration (gen Rf)

yang terdapat pada galur pemulih kesuburan (Restorer/galur R). Sistem mandul

jantan sitoplasmik terjadi karena adanya interaksi antara genom nukleus dan

mitokondria. Dalam hal ini, sterilitas akibat gen mitokondrial menyebabkan

disfungsi sitoplasmik, sedangkan gen-gen nukleus akan menekan disfungsi

sitoplasmik tersebut (Ekcard 2006).

Penggunaan galur mandul jantan merupakan prasyarat untuk eksploitasi

heterosis pada padi. Cytoplasmic-genetic male sterility (CgMS/CMS) telah

digunakan secara luas untuk mengembangkan padi hibrida. Pistil galur mandul

jantan tumbuh normal dan dapat memproduksi biji bila diserbuki oleh polen

9

Page 8: padi hibrida

normal. Jika faktor genetik yang menginduksi kemandulan tersebut tidak ada

dalam sitoplasma maka tanaman menjadi normal (male fertile).

Jika terdapat tanaman normal (male fertile) yang memiliki faktor

pengendali kemandulan pada sitoplasma dan gen inti yang memulihkan kesuburan

bersifat resesif, maka tanaman tersebut dapat mempertahankan sifat mandul

jantan. Tanaman atau galur tersebut disebut galur pelestari (maintainer line) yaitu

suatu galur yang mempunyai sitoplasma normal tetapi gen inti yang berkaitan

dengan pemulihan kesuburan resesif, galur ini berfungsi untuk melestarikan

keberadaan galur mandul jantan pasangannya. Adanya gen restorer dominan di

nukleus pada suatu galur mengakibatkan galur tersebut mampu memulihkan

kesuburan pada hibrida hasil persilangan antara galur tersebut dan galur CMS.

Galur ini disebut sebagai galur pemulih kesuburan atau restorer (septianingsih et

la, 2002).

Pada sistem tiga galur, galur mandul jantan selalu diperbanyak dengan

cara menyilangkannya dengan galur pelestari, baik secara manual (hand crossing)

untuk produksi benih skala kecil, maupun melalui persilangan alami pada plot

terisolasi untuk produksi benih dalam skala besar. Galur mandul jantan dan galur

pelestari selalu sama secara morfologi, hanya galur mandul jantan steril

sedangkan galur pelestari fertil. Namun kadang-kadang, kedua galur tersebut juga

menunjukkan beberapa sifat morfologi dan agronomis yang berbeda karena

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di dalam sitoplasma yang menginduksi

mandul jantan (Virmani et al. 1997). Restorer yang mempunyai gen pemulih

kesuburan (Rf) dominan, ketika disilangkan dengan GMJ akan menghasilkan F1

hibrida yang fertil. Perbanyakan benih galur pelestari dan pemulih kesuburan

dilakukan seperti perbanyakan padi biasa, karena kedua galur ini fertil dan

mempunyai bunga sempurna (Mashur et la, 2008).

10

Page 9: padi hibrida

Gambar 2. Skema Sistem Galur Mandul Jantan

Galur mandul jantan diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, antara

lain (1) berdasarkan perilaku genetik dari gen ms, GMJ dibedakan menjadi dua

tipe yaitu GMJ sporofitik dan gametofitik. Pada GMJ sporofitik, sterilitas atau

fertilitas polen ditentukan oleh genotipe dari sporofit sedangkan genotipe

gametofit (polen) tidak berpengaruh sama sekali. Beberapa GMJ yang tergolong

tipe ini antara lain wild-abortive (WA) dan Gambiaca (Gam). Pada kedua GMJ

tersebut, gugurnya polen terjadi pada fase awal perkembangan mikrospora.

Fertilitas GMJ gametofitik secara langsung ditentukan oleh genotipe gametofit

(polen) saja tanpa dipengaruhi oleh genotipe sporofit. Pengguguran polen

biasanya terjadi di fase akhir perkembangan mikrospora. GMJ dengan sitoplasma

Boro-type termasuk dalam tipe ini; (2) berdasarkan pola pelestarian-pemulih

kesuburan dari GMJ, terdapat tiga tipe galur mandul jantan yaitu WA, Honglian

dan Boro type (BT); dan (3) berdasarkan morfologi polen, GMJ digolongkan ke

dalam tipe typical abortion, spherical abortion, dan stained abortion. GMJ tipe

typical abortion mempunyai bentuk polen tidak beraturan dan pengguguran polen

biasanya terjadi pada fase uninukleat, sedangkan tipe spherical abortion

mempunyai polen berbentuk agak lonjong dan polen gugur kira-kira saat fase

binukleat. Terakhir, bentuk polen tipe stained abortion juga agak lonjong tetapi

11

Page 10: padi hibrida

agak lebih kecil dibanding polen normal dan polen gugur saat fase trinukleat

(Yuan, 1994).

Galur mandul jantan yang berkembang di Indonesia hampir seluruhnya

mempunyai sumber sitoplasma yang sama, yaitu Wild Abortive (WA). Apabila

galur ini digunakan secara terus-menerus, ada kekhawatiran akan mengakibatkan

kerapuhan genetik padi hibrida terhadap hama dan penyakit padi yang kemudian

akan menyebabkan ledakan populasi hama dan penyakit, sama seperti yang

pernah terjadi pada jagung hibrida (kasus Texas CMS). IRRI telah

mengembangkan beberapa galur mandul jantan dengan sumber sitoplasma yang

berbeda antara lain Gambiaca, Dissi, ARC, Kalinga, Hong Lian, Indonesian

Paddy (IP) dan beberapa sumber sitoplasma dari padi liar seperti Oryza rufipogon

dan O. perennis. Namun di Indonesia sumber-sumber sitoplasma di atas belum

digunakan dalam pembentukan dan produksi padi hibrida, karena belum

teridentifikasi galur pemulih kesuburan yang cocok berkombinasi dengan GMJ

dengan sumber-sumber sitoplasma di atas (Anwar, 1992).

2.4 Karakter Galur Mandul Jantan yang Diinginkan

Galur mandul jantan (galur A/GMJ) dapat diperoleh secara spontan di

antara galur hasil pemuliaan yang berasal dari persilangan kerabat jauh

(interspesifik) atau melalui mutagenesis (Hanson & Bentolila 2004). Ada

beberapa tipe galur mandul jantan sitoplasma, antara lain Wild-Abortive (WA),

Gambiaca, Kalinga, Dissy, Indonesian-type dan lain-lain. Galur mandul jantan

tipe WA merupakan galur yang banyak digunakan dalam pengembangan varietas

padi hibrida. Jing et al. (2001) menyebutkan bahwa 90% padi hibrida yang

ditanam di Cina menggunakan GMJ tipe WA sebagai tetua betinanya. GMJ tipe

WA merupakan GMJ yang dikembangkan pada padi indica dengan sitoplasma

yang berasal dari populasi padi liar Oryza rufipogon Griff. (Eckard 2006). Di

Indonesia, GMJ tipe WA tersebut juga digunakan untuk merakit beberapa F1

hibrida unggul (Suwarno et al. 2003). GMJ yang digunakan dalam produksi benih

padi hibrida tersebut berasal dari IRRI, seperti IR58025A, IR62829A, IR68886A,

IR68888A, dan IR68897A. Namun penggunaan satu tipe sitoplasma yang sama

untuk kepentingan komersial secara intensif, dikhawatirkan akan menimbulkan

kerapuhan genetik, seperti kasus Texas cytoplasm pada jagung. Kerapuhan

12

Page 11: padi hibrida

genetik disebabkan oleh sempitnya latar belakang genetik, sehingga tanaman

menjadi rentan terhadap penyakit, hama maupun faktor-faktor iklim yang tidak

menguntungkan (Ani et la, 2002).

Karakter yang diinginkan dalam perakitan GMJ adalah laju persilangan

alami tinggi, sterilitas tepung sari 100% dan stabil, kemandulannya mudah

dipulihkan (easy restorability), mampu menyesuaikan dengan lingkungannya,

tahan terhadap hama dan penyakit utama, mempunyai daya gabung yang baik

dengan berbagai galur pemulih kesuburan, tanaman sedang (semidwarf), malai

keluar sempurna, stigma keluar lebih dari 70%, dan kualitas biji baik. Namun

pembentukan GMJ masih banyak mengalami kendala. Sangat sulit mendapatkan

GMJ dengan tingkat sterilitas 100% dan stabil di daerah tropika. GMJ hasil

introduksi dari IRRI (IR58025A, IR62829A dan IR68897A) mempunyai laju

persilangan alami (outcrossing rate/OCR) yang rendah serta rentan terhadap hama

dan penyakit utama di Indonesia (Suwarno et al. 2003). BB Padi telah

mengembangkan GMJ baru tipe wild abortive yang telah memiliki ketahanan

terhadap hama atau penyakit. Diantaranya adalah GMJ3, GMJ4 dan GMJ5 yang

memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri (HDB) dan wereng batang coklat

(WBC) (Abdullah, 2002).

2.5 Heterosi Tanaman Hibrida

Heterosis dalam genetika adalah efek perubahan pada penampilan

keturunan persilangan (blaster) yang secara konsisten berbeda dari penampilan

kedua tetuanya. Heterosis bukan mengacu pada penggabungan dua sifat baik dari

kedua tetua kepada keturunan hasil persilangan, melainkan pada penyimpangan

dari penampilan yang diharapkan dari penampilan yang diharapkan dari

penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya. Contoh paling jelas adalah

pada jagung hibrida.  Penyimpangan ini sebagian besar bersifat positif, dalam arti

melebihi rata-rata penampilan kedua tetuanya dan menunjukkan

daya pertumbuhan (vigor) yang lebih besar. Dalam keadaan demikian (positif),

heterosis dapat dinyatakan dengan istilah hybrid vigor. Silangan yang

menunjukkan heterosis diketahui memiliki postur yang lebih besar, fertilitas yang

lebih tinggi, pertumbuhan yang lebih cepat, serta ketahanan terhadap penyakit

yang lebih baik daripada rata-rata tetuanya.

13

Page 12: padi hibrida

Sebagian besar ahli sepakat bahwa gejala heterosis adalah kebalikan dari

gejala depresi kawin sekerabat (inbreeding depression), yaitu efek penurunan

penampilan pada individu keturunan perkawinan sekerabat (Akmal, 2003).

Heterosis atau vigor hibrida adalah suatu fenomena pada padi hibrida yang

menunjukkan nilai F1 dari suatu persilangan melebihi nilai kedua tetuanya.

Persilangan antar galur homozigot yang berbeda dapat menyembunyikan sifat

cacat yang resesif dan mengembalikan vigor hibrida (Allard, 1999).

Hayes (1964) menyatakan bahwa pada tanaman menyerbuk sendiri

kemungkinan kemanfaatan heterosis diawali dengan seleksi tetua yang

mengahasilkan kombinasi karakter terbaik. Menurutnya, hal ini penting untuk

melanjutkan pemuliaan bagi kombinasi gen terbaik yang dapat diperoleh dari

varietas yang relatif homozigot. Pemulia tanaman yang memanfaatkan heterosis

telah memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dari varietas inbrida pada berbagai

jenis tanaman. Pengaruh heterosis inilah yang dimanfaatkan oleh pemulia

tanaman dalam teknologi hibrida yang telah berhasil pada berbagai komoditas

seperti jagung, sorgum, kapas, kedelai dan padi.

Gambar 3. Heterosi Padi

14

Page 13: padi hibrida

2.6 Daya Gabung Galur Murni

Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung

galur murni. Pada awalnya, daya gabung merupakan konsep umum untuk

mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya

(Septianingsih, 2002).

Daya gabung umum merupakan penampilan rata-rata galur murni dalam

berbagai kombinasi hibrida, sedangkan daya gabung khusus menunjukkan

penampilan galur murni dari suatu kombinasi hibrida dibandingkan dengan

kombinasi yang lainnya (Mashur, 2008). Daya gabung umum mengukur

penampilan hibrida dari suatu genotip e (galur murni) dibandingkan dengan

sampel acak atau genotip yang banyak, sedangkan daya gabung khusus mengukur

penampilan hibrida dari suatu genotip galur murni dibandingkan dengan genotip

galur uni lainnya (De Data, 1981).

Daya gabung umum relatif lebih penting dari pada daya gabung khusus

untuk alu-galur murnu yang belum diseleksi. Sebaliknya, daya gabung khusus

lebih penting dari daya gabung khusus untuk galur-galur murni yang sudah

diseleksi sebelumnya untuk peningkatan hasil (Mashur, 2008). Pengujian daya

gabung dapat dilakukan dengan metode di alel Cross, yakni evaluasi terhadap

seluruh kombinasi hibrida silang tunggal dari sejumlah galur murni (De Data,

1981).

Evaluasi hibrida silang tunggal dilakukan dengan menggunakan hibrida

komersial standar pada 4-6 lokasi atau lebih dalam periode dua tahun atau lebih.

Data hasil pengujian tersebut dapat menjadi dasar untuk memperkirakan hasil

hibrida silang ganda tunggal dan silang tiga (De Data, 1981).

2.7 Teknik Persilangan pada Tanaman Padi

Persilangan tanaman padi dapat berlangsung secara alami dan buatan

persilangan padi alami berlangsung dengan bantuan angin hal ini karena tanaman

padi merupakan tipe tanaman menyerbuk sendiri yang memiliki morfologi bunga

yang kecil sehingga penyerbukan yang terjedi dibantu oleh angin. Adanya varietas

padi lokal di berbagai daerah menunjukkan telah terjadi persilangan secara alami.

Contoh varietas padi lokal yang banyak ditanam petani adalah Rojolele, Mentik,

Cempo, Pandan Wangi, Markoti, Hawarabunar, Lemo, Kuwatik, dan Siam.

15

Page 14: padi hibrida

Persilangan padi secara buatan dilakukan dengan campur tangan manusia.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan membuat kombinasi

persilangan untuk menghasilkan tanaman yang sesuai dengan keinginan. Varietas

padi unggul hasil persilangan dikelompokkan berdasarkan tipologi lahan budi

dayanya, yaitu padi sawah, padi gogo dan padi rawa. Persilangan padi secara

buatan pada umumnya menghasilkan tanaman yang relatif pendek, berumur

genjah, anakan produktif banyak, dan hasil tinggi. Sementara itu persilangan

secara alami menghasilkan tanaman yang relatif tinggi, berumur panjang, anakan

produktif sedikit, dan produktifitas rendah. Untuk menghasilkan varietas padi

baru melalui persilangan diperlukan waktu 5-10 tahun (Soedyanto., et al. 1978).

Padi hibrida yang dirakit dengan memanfaatkan terjadinya heterosis pada

F1 sangat potensial untuk dikembangkan dalam usaha peningkatan produksi padi

nasional. Penelitian yang dilakukan di International Rice Research Institute

(IRRI) mulai tahun 1986 sampai 1995 menunjukkan padi hibrida memberikan

peningkatan hasil sebesar 17% dibandingkan varietas inbrida (Virmani, 1999).

Sejumlah hibrida yang menunjukkan daya hasil lebih tinggi dibandingkan varietas

padi inbrida juga telah dilepas sebagai varietas unggul nasional di Indonesia.

Padi yang merupakan tanaman menyerbuk sendiri membutuhkan sistem

mandul jantan yang efektif untuk mengembangkan dan memproduksi hibrida F1-

nya. Salah satu sistem mandul jantan yang efektif pada tanaman ini adalah mandul

jantan sitoplasma (cytoplasmic male sterility = CMS). Pembentukan padi hibrida

dengan sistem mandul jantan tersebut melibatkan tiga galur tetua yaitu galur

mandul jantan (CMS), galur pelestari kesuburan (maintainer) dan galur pemulih

kesuburan (restorer) (Virmani, 1994). Galur mandul jantan dapat digunakan

secara efektif hanya jika tersedia galur-galur pemulih kesuburan yang efektif.

Usaha pemuliaan padi hibrida selain untuk mendapatkan kombinasi-kombinasi

hibrida yang berdaya hasil tinggi, juga diarahkan untuk memperoleh hibrida-

hibrida yang memiliki sifat ketahanan terhadap cekaman lingkungan biotik dan

abiotik, serta memiliki mutu beras yang baik. Padi hibrida akan memiliki sifat-

sifat unggul tersebut hanya jika kedua tetuanya membawa sifat tersebut atau jika

salah satu tetuanya membawa karakter yang diinginkan yang dikendalikan oleh

gen-gen dominan (Virmani, 1999). Suwarno (2004) melaporkan varietas-varietas

16

Page 15: padi hibrida

padi hibrida yang telah dilepas secara umum memiliki ketahanan terhadap hama

dan penyakit lebih rendah dibandingkan dengan varietas inbrida unggul.

Perbaikan sifat padi hibrida dapat dilakukan secara langsung dengan

mengidentifikasi tetua hibrida dari galur-galur elit yang membawa sifat yang

diinginkan. Selain itu usaha perbaikan dapat dilakukan melalui program

pemuliaan untuk menggabungkan sifat-sifat unggul ke dalam galur-galur yang

telah teridentifikasi sebagai tetua hibrida baik terhadap CMS sebagai induk betina

maupun terhadap galur-galur restorer sebagai tetua jantan (Mashur, 2008).

Padi lokal (land race) merupakan plasma nutfah yang potensial sebagai

sumber gen-gen yang mengendalikan sifat-sifat penting pada tanaman.

Keragaman genetik yang tinggi pada padi-padi lokal dapat dimanfaatkan dalam

program pemuliaan padi secara umum dan juga untuk perbaikan tetua padi

hibrida. Identifikasi sifat-sifat penting yang terdapat pada padi-padi lokal perlu

terus dilakukan agar diketahui potensinya dalam program pemuliaan (Eckard,

2006).

Hal yang dilakukan sebelum melakukan persilangan padi yaitu melakukan

kastrasi atau emaskulasi. Kastrasi dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar

putik menjadi masak sempurna saat penyerbukan sehingga keberhasilan

penyilangan lebih tinggi. Setiap bunga (spikelet) terdapat enam benang sari.

Bunga pada malai yang akan dikastrasi dijarangkan hingga tinggal 15-50 bunga.

Sepertiga bagian bunga dipotong miring menggunakan gunting kemudian benang

sari diambil dengan alat penyedot vacuum pump. Bunga yang telah bersih dari

benang sari ditutup dengan glacine bag agar tidak terserbuki oleh tepung sari yang

tidak dikehendaki.Waktu yang baik untuk melakukan kastrasi adalah setelah

pukul 3.00 sore. Stadia bunga yang baik untuk dikastrasi adalah pada saat ujung

benang sari berada pada pertengahan bunga. Pada stadia demikian, benang sari

akan mekar dalam 1-2 hari (Supartopo, 2006).

Menurut Harahap (1982) terdapat banyak cara atau metode untuk

menyilangkan padi secara buatan diantaranya :

Silang tunggal (single cross) merupakan persilangan padi yang hanya

melibatkan dua tetua saja.

Silang puncak (top cross) merupakan persilangan antara F1 dan tetua lainnya.

17

Page 16: padi hibrida

Silang ganda (double cross) merupakan persilangan antara F1 dan F1 dari

persilangan tunggal.

Silang balik (backcross) merupakan persilangan F1 dengan salah satu

tetuanya.

Adapun teknik persilangan pada padi ini yaitu:

1. Kastrasi yaitu membuang bagian-bagian dari tanaman yang dapat

mengganggu proses persilangan.  Kastrasi biasanya dilakukan sehari sebelum

proses persilangan dilakukan agar putik menjadi masak sempurna saat

penyerbukan.  Hal yang perlu diiperhatikan dalam mengkastrasi yaitu setiap

bunga memiliki enam benang sari dan dua kepala putik yang tidak boleh

rusak.

2. Emaskulasi yaitu mengambil benang sari dari bunga dengan cara menyedot

atau mengambilnya dengan pinset kecil.  Bunga yang telah bersih dari benang

sari itu di tutup dengan glacine bag atau sungkup agar tidak dimasuki oleh

benang sari yang tidak dikehendaki.  Proses ini sebaiknya dilakukan pada

03.00 sore.

3. Pollinasi adalah proses penyerbukan. Proses ini baiknya dilakukan pada pagi

hari.  Padi yang telah kita emaskulasi tersebut dibuka sungkupnya kemudian

oleskan benag sari yang kita kehendaki ke dalamnya kemudia sungkup

kembali.

18