pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

15
TINJAUAN PUSTAKA 1. Usus halus Usus halus merupakan bagian dari saluran pencernaan manusia yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus halus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Dinding usus halus melepaskan lendir yang melumasi isi usus dan air yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna. Dinding usus halus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang membantu proses pencernaan (Guyton et al. 2002). Usus halus manusia terdiri atas beberapa lapisan, yaitu lapisan mukosa, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang, dan lapisan serosa (David et al. 2006). Usus halus pada manusia dan hewan (mamalia dan unggas) memiliki lipatan mukosa yang disebut vili (Gambar 1). Vili usus halus manusia memiliki tinggi 0.5-1.5 mm, terbentuk di permukaan mukosa. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria. Sel epitel manusia memiliki mikrovili di permukaannya dengan panjang 1 μm dan diameter 0.1 μm. Mikrovili berfungsi untuk menyerap nutrisi (Jonqueira & Carneiro 2005). Kerusakan mikrovili dan atropi vili usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi (malabsorbtion syndrome). Di bagian bawah vili, baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat kripta dan kelenjar Liberkun yang terdiri atas stem sel, sel goblet, sel Panet, dan enteroendokrin sel (Jonqueira & Carneiro 2005; Samuelson 2007). Usus halus berukuran sangat panjang, pada manusia bisa mencapai 5 m yang terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung (Jonquiera & Carneiro 2005). Duodenum merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Duodenum merupakan organ retroperitoneal yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. Setelah duodenum, terdapat jejunum dan ileum yang digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Sedikit sulit untuk membedakan jejunum dan ileum secara makroskopis.

Upload: vuongkhanh

Post on 12-Jan-2017

247 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

TINJAUAN PUSTAKA

1. Usus halus

Usus halus merupakan bagian dari saluran pencernaan manusia yang

terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus halus kaya akan

pembuluh darah yang mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta.

Dinding usus halus melepaskan lendir yang melumasi isi usus dan air yang

membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna. Dinding usus

halus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang membantu proses pencernaan

(Guyton et al. 2002).

Usus halus manusia terdiri atas beberapa lapisan, yaitu lapisan mukosa,

lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang, dan lapisan serosa (David et al.

2006). Usus halus pada manusia dan hewan (mamalia dan unggas) memiliki

lipatan mukosa yang disebut vili (Gambar 1). Vili usus halus manusia memiliki

tinggi 0.5-1.5 mm, terbentuk di permukaan mukosa. Vili tersusun atas kumpulan

sel epitel silindris sebaris yang berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria.

Sel epitel manusia memiliki mikrovili di permukaannya dengan panjang 1 µm dan

diameter 0.1 µm. Mikrovili berfungsi untuk menyerap nutrisi (Jonqueira &

Carneiro 2005). Kerusakan mikrovili dan atropi vili usus halus dapat

mengganggu penyerapan nutrisi (malabsorbtion syndrome). Di bagian bawah

vili, baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat kripta dan

kelenjar Liberkun yang terdiri atas stem sel, sel goblet, sel Panet, dan

enteroendokrin sel (Jonqueira & Carneiro 2005; Samuelson 2007).

Usus halus berukuran sangat panjang, pada manusia bisa mencapai 5 m

yang terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum

adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung (Jonquiera &

Carneiro 2005). Duodenum merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai

dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Duodenum merupakan

organ retroperitoneal yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum.

Setelah duodenum, terdapat jejunum dan ileum yang digantungkan dalam tubuh

dengan mesenterium. Sedikit sulit untuk membedakan jejunum dan ileum secara

makroskopis.

Page 2: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

5

Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki jumlah

vili yang banyak, tinggi, dan berbentuk seperti lembaran daun. Duodenum juga

memiliki kripta dan kelenjar Liberkun dengan jumlah dan keadaan yang paling

baik. Selain itu, terdapat kelenjar submukosa (Brunner). Jejunum hampir mirip

dengan duodenum tetapi vilinya lebih kecil dan lebih sedikit. Di jejunum tidak

terlalu nampak adanya kelenjar submukosa (Brunner) namun jejunum memiliki

banyak sel goblet pada permukaan vilinya. Ileum adalah bagian akhir dari usus

halus, bentuk vilinya seperti ibu jari dengan jumlah kelenjar Liberkun yang

sedikit. Ileum memiliki lebih sedikit sel goblet namun dilengkapi dengan jaringan

limfatik yang besar yaitu daun Peyer (Jonqueira & Carneiro 2005; Samuelson

2007).

Gambar 1 Histologi usus halus (Samuelson 2007).

Tinggi vili usus halus menurun dari duodenum sampai ke distal ileum.

Epitel silindris vili usus selalu mengalami pergerakan dari bagian kripta menuju

apeks vili. Sel epitel di apeks vili akan mengalami apoptosis kemudian terlepas.

Pada hewan coba tikus telah diketahui bahwa lifespans sel epitel vilinya berkisar

39.4-49.4 jam (Qi et al. 2008). Sel epitel vili mengandung filamen aktin dan

Page 3: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

6

miosin yang berfungsi untuk pergerakan mikrovili, serta mengandung jaringan

terminal sebagai reseptor perlekatan mikroba (Inamoto et al. 2008).

Sejak lahir, usus halus pada manusia dan hewan terus ditantang oleh antigen

terutama dari kontaminasi makanan. Karena permukaan usus halus yang sangat

luas (akibat involusi kompleks kripta dan vili), saluran usus halus rentan sebagai

tempat kolonisasi dan masuknya agen patogen. Beberapa patogen menyerang

permukaan epitel dan yang lain menyerang hingga menembus epitel. Pertahanan

fisik pada usus halus manusia dan hewan di antaranya adalah lapisan epitel,

mikroflora normal, dan lendir yang disekresikan oleh sel goblet. Lendir di

permukaan mukosa akan mencegah patogen menyerang epitel (David et al. 2006).

2. Mikroflora usus halus

Terkait fungsinya, usus halus manusia dan hewan memiliki komponen

mikroflora normal yang menunjang proses pencernaan makanan. Keseimbangan

mikroflora normal usus halus sangat penting untuk menjaga kesehatan saluran

pencernaan. Usus halus manusia mengandung sekitar 100 spesies bakteri sebagai

mikroflora. Mikroflora ini dapat tumbuh pada kondisi aerob maupun anaerob dan

berkoloni pada bagian-bagian tetentu dari organ pencernaan manusia (Turroni

2009). Pada hewan tikus, telah dilaporkan jumlah populasi mikroflora normal

pada usus halusnya sebesar 1014

cfu (colony forming unit), terdiri atas 0-105

cfu di

jejunum dan 103-10

9 cfu di ileum (Qi et al. 2008).

Kolonisasi mikroflora usus halus pada manusia maupun hewan dimulai

segera setelah lahir. Ada beberapa kontribusi dari mikroflora normal usus

terhadap pertahanan tubuh, misalnya mencegah kolonisasi patogen dengan

bersaing mendapatkan tempat dan nutrisi penting. Selain itu, mikroflora tersebut

juga dapat memproduksi zat yang menghambat maupun membunuh bakteri

patogen (David et al. 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikroflora

usus yang seimbang dapat menstimulasi sistem imun, memproduksi enzim

pencernaan, dan membantu mengontrol pembentukan radikal bebas (Dutcosky et

al. 2006).

Kegagalan kolonisasi atau disregulasi mikroflora normal usus diduga

sebagai penyebab utama banyaknya penyakit pada saluran pencernaan manusia

Page 4: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

7

maupun hewan. Komposisi mikroflora normal usus pada manusia dapat

dipengaruhi oleh usia, makanan, kontaminasi bakteri, dan kondisi tubuh (stres)

(David et al. 2006). Menurut Lourens-Hattingh dan Viljoen (2001), mikroflora

pada usus individu dewasa relatif stabil, namun akan kembali berubah seiring

bertambahnya usia. Oleh sebab itu, keseimbangan mikroflora ini perlu tetap

dijaga.

3. Probiotik dan BAL

Istilah probiotik pertama kali dikemukakan oleh Lilley dan Stiwell yang

mendefinisikan probiotik sebagai senyawa yang dihasilkan mikroba untuk

menstimulasi pertumbuhan mikroba lainya. Kemudian definisi probiotik

berkembang menjadi organisme atau senyawa yang memiliki kontribusi terhadap

keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Definisi lainya dari probiotik

adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki

pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen

et al. 1999). Definisi probiotik terbaru dikeluarkan oleh FAO/WHO (2006), yaitu

mikroorganisme hidup yang jika diberikan dalam jumlah memadai akan

memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya, atau ketika dikonsumsi dalam

jumlah yang cukup sebagai bagian dari pangan, akan memberikan manfaat

kesehatan bagi inangnya.

Probiotik dapat berupa bakteri gram positif, negatif, khamir, dan fungi.

Probiotik biasanya dimasukkan ke dalam pangan fermentasi yang berbasis susu.

Probiotik dapat dijadikan alternatif untuk mengobati infeksi saluran pencernaan

dan untuk mencegah diare. Manfaat kesehatan dari probiotik, yaitu

kemampuannya memelihara keseimbangan mikroflora normal usus, menghambat

bakteri patogen, dan meningkatkan sistem imun (Rolfe 2000).

Probiotik yang umum dipakai pada produk pangan komersial adalah

golongan bakteri asam laktat (BAL) (FAO/WHO 2006). BAL adalah bakteri

gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu

memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. Bentuk BAL beragam, ada yang

berbentuk batang dan ada yang berbentuk koki. Jenis BAL yang sering digunakan

Page 5: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

8

pada produk pangan komersial, yaitu Lactobacillus dan Bifidobacterium (Saulnier

et al. 2009; Miyazaki et al. 2010).

Probiotik dikembangkan sebagai pangan yang mendukung kesehatan

manusia. Fungsinya untuk pencegahan dan pengobatan penyakit di saluran

pencernaan seperti diare, gastroenteritis, laktosa intoleran, dan kanker kolon (Yan

& Polk 2008). BAL dari genus Lactobacillus dan Bifidobacteria telah terbukti

memiliki efek sebagai probiotik pada manusia. Beberapa Lactobacillus dapat

menghambat bakteri patogen, seperti E. coli, Salmonella Enteritidis, dan Vibrio

cholera (Liong 2007).

Yan dan Polk (2008) mengemukakan manfaat probiotik bagi saluran

pencernaan, yaitu; (1) meningkatkan pencernaan dan penyerapan nutrisi, (2)

memelihara keseimbangan mikroflora usus, (3) mengatur crosstalk antara epitel

usus dengan sistem imun, dan (4) mengatur fungsi imun. Berdasarkan penelitian

Harimurti dan Rahayu (2009), probiotik dapat meningkatkan tinggi dan lebar vili

pada usus halus ayam broiler sebagai hewan percobaanya. Hal ini disebabkan

oleh peningkatan asam lemak rantai pendek dari hasil fermentasi oleh probiotik.

Asam lemak rantai pendek beperan dalam stimulasi perbanyakan sel epitel usus

karena asam lemak ini merupakan komponen fosfolipid membran sel.

4. Potensi BAL sebagai probiotik pada saluran pencernaan

Aktivitas probiotik BAL sangat penting dalam mengatur keseimbangan

ekosistem saluran pencernaan. Menurut Naidu dan Clemens (2000), aktivitas

probiotik BAL terbagi atas tiga spektrum yaitu nutrisi, fisiologi, dan efek

antimikroba. Dalam spektrum nutrisi, BAL menyediakan enzim untuk membantu

metabolisme komponen laktosa dalam makanan, sintesis beberapa vitamin

(vitamin K, folat, piridoksin, pantotenat, biotin, dan ribovlavin) serta

menghilangkan racun metabolit dari makanan di dalam usus. Pada spektrum

fisiologi, BAL mampu menjaga keseimbangan komposisi mikroflora normal usus

dan menstimulasi sistem kekebalan di usus. Dalam spektrum antimikroba, BAL

mampu memperbaiki ketahanan tubuh terhadap bakteri patogen.

Syarat BAL sebagai probiotik yang dikemukakan oleh Seveline (2005),

yaitu: (1) tahan terhadap pH asam lambung (1.5-4), (2) stabil terhadap garam

Page 6: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

9

empedu, (3) memproduksi senyawa antimikroba, (4) mampu menempel pada sel

usus manusia serta tumbuh dan berkembang baik dalam saluran pencernaan, dan

(5) dapat berkoagregasi membentuk lingkungan mikroflora normal yang seimbang

dalam saluran pencernaan. Kemampuan BAL untuk hidup di dalam saluran

pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga bisa

dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan. Inilah alasanya BAL

berpotensi sebagai probiotik.

Jumlah minimal sel bakteri yang memenuhi syarat sebagai probiotik sampai

sekarang masih dalam kontroversi. Di Jepang, Fermented Milks And Lactic Acid

Bacteria Association mensyaratkan jumlah minimal untuk probiotik adalah 1x107

cfu Bifidobacteria /g atau /ml produk. Penelitian Galdeano dan Perdigon (2006)

menunjukkan sebanyak 1x108

cfu Lactobacillus cassei bisa meningkatkan

pertahanan alami mukosa usus. Penelitian lain menyatakan jumlah probiotik

Lactobacillus acidophillus dan Bifidobacterium bifidum yang dapat digunakan

untuk terapi gastritis dan duodenitis adalah 1x109

cfu (Zubillaga et al. 2001).

Namun jumlah sel yang ditetapkan di atas masih dalam rentang yang

dikemukakan oleh Lee dan Salminen (2009) yaitu sebanyak 107-10

10 cfu.

5. Enteropatogenic E. coli (EPEC)

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang

lurus, berukuran 1.1-1.5 µm x 2.0-6.0 µm, tidak berspora dan bersifat fakultatif

anaerobik. Bakteri ini memiliki pili, fimbia, dan flagella peritrikus. Suhu

optimum untuk E. coli adalah 37 ºC. Bakteri E. coli adalah flora normal saluran

pencernaan, namun ada beberapa strain E. coli yang bersifat patogen (Evans &

Evans 2001).

Berdasarkan gen virulensi, E. coli dibedakan atas lima tipe, yaitu

enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic

E. coli (EHEC), enteropatogenic E. coli (EPEC), dan enteroaggregative E. coli

(EAggEC). Bakteri EPEC didefinisikan sebagai bakteri yang memiliki

karakteristik berikut: (1) kemampuan menimbulkan diare, (2) kemampuan

membentuk lesio pedestal sebagai akibat dari aktivitas attaching and effacing

pada epitel vili usus, dan (3) tidak mampu memproduksi Shiga-like toxin

Page 7: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

10

(verocytotoxin). Semua tipe E. coli (kecuali ETEC) bersifat invasif (David et al.

2006). Bakteri EPEC yang bersifat invasif menyebabkan diare sekaligus

inflamasi pada mukosa usus (Lodes et al. 2004).

Pada usus halus, EPEC berikatan secara kuat pada permukaan epitel vili

sehingga merusak mikrovili, dikenal dengan istilah “attaching and effacing”

(A/E) (Grüenheid et al. 2001). Patogenesa infeksi EPEC diawali dengan

perlekatan bundle-forming pilus (BFP) pada permukaan sel epitel diikuti sekresi

faktor virulen Tir (translicated intimin receptor). Tir berfungsi sebagai reseptor

membran plasma untuk perlekatan EPEC, sehingga EPEC tidak perlu mencari

reseptor spesifik pada sel inang (Lowe 2009). EPEC kemudian mengikat Tir

melalui protein membran luar (intimin) dan mulai mengeluarkan senyawa

proteolitik yang merusak mikrovili.

Setelah menempel dan merusak mikrovili, EPEC mensekresikan senyawa

protein untuk merangsang sitoskeleton aktin yang berada di dalam sel epitel

berkumpul dan tersusun di permukaan sel membentuk struktur pedestal sebagai

tempat bersarangnya EPEC (Gambar 2). Infeksi EPEC juga menyebabkan

perubahan konsentrasi kalsium intraseluler (Lu & Walker 2001).

Gambar 2 Bentuk infeksi EPEC pada epitel usus (Lu & Walker 2001).

Secara in vitro, EPEC bisa melakukan perlekatan dan kolonisasi dalam

waktu 5-7 jam. Janda dan Abbott (2006) mengemukakan secara in vivo dosis

infeksi EPEC berkisar antara 105-10

10 cfu/ml, dengan waktu inkubasi berkisar

antara 9-19 jam, dan durasi terjadinya diare rata-rata selama 5 hari. Keberadaan

EPEC pada saluran pencernaan kemudian direspon oleh inang dengan proses

inflamasi dan infiltrasi neutrofil ke lamina propria (Schuller et al. 2009).

Page 8: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

11

6. Radikal bebas dan antioksidan

Radikal bebas merupakan suatu atom atau beberapa atom yang memiliki

satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga

bersifat sangat labil dan mudah membentuk senyawa baru. Radikal bebas yang

terdapat dalam tubuh bisa berasal dari dalam (endogen) maupun dari luar tubuh

(eksogen). Radikal bebas endogen merupakan radikal bebas yang terbentuk

sebagai respon normal dari peristiwa biokimia di dalam tubuh secara kontinu.

Peristiwa biokimia tersebut meliputi reaksi reduksi-oksidasi normal di dalam

mitokondria maupun peroksisom, detoksikasi senyawa xenobiotik, metabolisme

obat-obatan, dan fagositosis (Halliwell & Gutteridge 1999).

Radikal bebas berasal dari senyawa hidrogen, oksigen, dan logam transisi.

Contoh senyawa radikal bebas yaitu reactive oxigen species (ROS) seperti

superoksida (O2-), radikal hidroxil (OH), dan hidrogen peroksida (H2O2).

Superoksida merupakan radikal bebas yang sangat reaktif dan paling berbahaya

bagi sel. Superoksida bersifat reduktan dan oksidan serta dapat bereaksi dengan

berbagai substrat biologis. Secara fisiologis, radikal bebas berperan dalam proses

transpor elektron, metabolisme tubuh dalam keadaan aerobik, fagositosis, serta

sintesis DNA dan protein. Namun jika jumlah radikal bebas terlalu banyak akan

mengakibatkan kerusakan pada sel-sel tubuh terutama perubahan makromolekul

seperti DNA, lipid, dan protein (Jones 2008; Evans et al. 2004).

Radikal bebas di dalam tubuh akan menarik elektron dari makromolekul

biologis disekitarnya (protein, asam nukleat, DNA, dll) untuk memenuhi

keganjilan elektronnya. Makromolekul yang teroksidasi akan terdegradasi dan

apabila makromolekul tersebut bagian dari sel maka sel akan rusak. Senyawa

radikal bebas akan membentuk pasangan dengan mengambil elektron dari atom

molekul lain sehingga menghasilkan senyawa radikal baru yang berbahaya bagi

tubuh. Radikal bebas di dalam tubuh biasanya dinetralisir oleh antioksidan

endogen. Antioksidan endogen utama pada sel-sel tubuh adalah enzim

superoksida dismutase (SOD). Enzim ini bekerja spesifik untuk mengeliminasi

radikal bebas anion superoksida (Carroll et al. 2007).

Antioksidan yaitu senyawa atau bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk

mencegah, menurunkan reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan,

Page 9: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

12

dan menstabilisasi radikal bebas (Margail 2005). Antioksidan dibedakan atas

antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen umumnya

berbentuk enzim, contohnya superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation

peroksidase, dan glutation reduktase. Antioksidan eksogen contohnya askorbat,

tokoferol, dan karoten (Nayak 2001).

Jumlah radikal bebas berpengaruh terhadap kerja antioksidan endogen.

Jumlah radikal bebas yang sedikit akan meringankan kerja antioksidan endogen,

sehingga antioksidan tersebut bisa dipertahankan di dalam sel. Namun jika

radikal bebas terlalu banyak, antioksidan endogen tidak akan mampu

menetralisirnya. Kekurangan antioksidan menyebabkan stres oksidatif yang

berujung pada kerusakan sel dan menyebabkan timbulnya berbagai macam

penyakit degeneratif (penuaan dini, kanker, dll) (Evans et al. 2004).

7. Imunohistokimia dan Cu,Zn-SOD

Imunohistokimia adalah suatu teknik untuk mendeteksi keberadaan berbagai

macam komponen yang terdapat di dalam sel atau jaringan dengan menggunakan

prinsip reaksi ikatan antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Teknik imunohistokimia

dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim spesifik serta mendeteksi

keberadaan berbagai komponen aktif yang terdapat di dalam sel atau jaringan

seperti protein dan karbohidrat (Furuya et al. 2004).

Terdapat dua metode pewarnaan imunohistokimia, yaitu metode langsung

(direct) dan metode tidak langsung (indirect) (Gambar 3). Metode langsung

hanya menggunakan satu antibodi, yaitu antibodi primer yang telah dilabel.

Metode tidak langsung menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer tanpa

dilabel dan antibodi sekunder yang telah dilabel (Polak & VanNoorden 2003).

Metode tidak langsung pun ada beberapa jenis, di antaranya avidin-biotin

methode, peroxidase methode, dan tyramin amplification methode. Namun

metode yang sering digunakan di laboratorium adalah peroxidase methode, karena

100-1000 kali lebih sensitif dibandingkan metode lainnya (Ramos & Vara 2005).

Page 10: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

13

Gambar 3 Struktur ikatan antigen-antibodi pada pewarnaan imunohistokimia;

metode langsung (kiri) dan metode tidak langsung (kanan) (Ramos &

Vara 2005).

Prinsip pewarnaan imunohistokimia metode peroksidase, yaitu antigen yang

ada pada jaringan diikatkan dengan antibodi primer yang spesifik. Lalu antibodi

primer yang terikat antigen kemudian diikatkan pula dengan antibodi sekunder

(antiantibodi primer) yang telah dilabel enzim peroksidase. Penambahan substrat

yang berisi kromogen dan H2O2 akan memunculkan endapan berwarna coklat dan

H2O. Endapan coklat merupakan hasil penguraian substrat (kromogen dan H2O2)

oleh enzim peroksidase (Gambar 4). Warna coklat yang muncul menandakan

reaksi positif (+), yang artinya di dalam jaringan terdapat antigen. Apabila di

jaringan tersebut tidak terdapat antigen, maka tidak akan muncul warna coklat

(Ramos & Vara 2005).

Gambar 4 Prinsip pewarnaan imunohistokimia metode perokdidase.

Jaringan

Antibodi sekunder

Antibodi primer

Antigen

Peroksidase

Kromogen+H2O2 Endapan coklat+H2O

Page 11: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

14

Teknik imunohistokimia yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk

mendeteksi kandungan enzim antioksidan superoksida dismutase (SOD) yang

terdapat di dalam jaringan usus halus. Enzim SOD merupakan enzim antioksidan

endogen yang mempunyai peranan penting secara langsung melindungi sel dari

gangguan radikal bebas, dan secara tidak langsung memelihara keseimbangan

oksigen yang bersifat toksik (Wresdiyati et al. 2002). Pengukuran kandungan

enzim antioksidan SOD merupakan cara untuk mengetahui kondisi pertahanan sel

terhadap radikal bebas. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas

SOD tertinggi terdapat pada hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa,

pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell & Gutteridge

1999).

Enzim SOD pada mamalia terdiri atas tiga bentuk, yaitu copper,zinc

superoxide dismutase atau Cu,Zn-SOD yang berada terutama di sitoplasma,

manganese superoxide dismutase atau Mn-SOD yang berada di mitokondria, dan

extracelular superoxide dismutase atau ECSOD. Secara umum fungsi Cu,Zn-

SOD sama dengan Mn-SOD dan ECSOD, namun ketiganya berbeda dalam

struktur protein, lokasi kromosom, metal kofaktor, distribusi gen, dan

kompartemen selular (Miao et al. 2009).

Enzim SOD mengkatalis dismutase oksigen menjadi hidrogen peroksida dan

mengubahnya menjadi air dan oksigen yang stabil (Gurer & Ercal 2000). Enzim

SOD berperan dalam proses degradasi senyawa ROS. ROS ialah senyawa yang

mempunyai gugus oksigen reaktif dan mamiliki bentuk serta aktivitas sebagai

radikal bebas. Senyawa ini cenderung menyumbangkan atom oksigen atau

elektron pada senyawa lainya (Halliwell & Gutteridge 1999).

8. Penelitian pendahuluan

Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat (BAL)

golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi

peranakan Ongol yang dijual di pasar-pasar tradisional di daerah Bogor. BAL

tersebut telah diuji kemampuanya untuk bertahan pada kondisi saluran pencernaan

manusia, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis BAL isolat indigenus yang

Page 12: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

15

mempunyai kemampuan bertahan pada pH asam lambung (pH 2) dan pH usus

(pH 7.2), serta pada kondisi garam empedu 0.5%. Bakteri asam laktat tersebut

juga mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri

patogen enterik, yaitu Salmonella Thypimurium, enterotoxigenic E. coli (ETEC),

dan Staphylococcus aureus.

Bakteri asam laktat (BAL) ini juga mempunyai kemampuan bakterisidal

terhadap mikroba patogen karena bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa

bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Kesepuluh isolat ini

layak dikatakan sebagai probiotik. Sifat fungsional lainya telah diteliti oleh

Astawan et al. (2009), yaitu mengenai kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL

terhadap bakteri enteropatogenic E. coli (EPEC) secara in vitro. Hasilnya

menunjukkan bahwa terdapat dua spesies BAL yang mempunyai kemampuan

terbaik dalam melawan EPEC, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus

fermentum. Kedua BAL inilah yang dipakai pada penelitian ini.

9. Hewan percobaan

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan

untuk dipakai sebagai hewan model dalam mempelajari dan mengembangkan

berbagai bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Hewan

percobaan banyak digunakan pada penelitian di bidang fisiologi, farmakologi,

biokimia, patologi, dan komparatif zoologi (Malole & Pramono 1989). Di bidang

kedokteran, hewan percobaan banyak digunakan untuk keperluan diagnosis.

Penelitian-penelitian medis untuk kepentingan manusia sering dilakukan

menggunakan hewan percobaan. Hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok,

yaitu: (1) hewan laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci;

(2) karnivora, seperti kucing dan anjing; (3) primata, seperti Macaca dan babon;

(4) hewan domestik besar, seperti domba, sapi, serta babi; dan (5) kelompok

hewan lainnya, seperti unggas (Wolfensohn & Lloyd 1998).

Menurut Malole dan Pramono (1989), pemilihan hewan percobaan untuk

kepentingan diagnosis harus mempertimbangkan spesies dan kondisi

fisiologisnya. Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh anthraks dan rabies

sebaiknya menggunakan hewan coba mencit, sedangkan diagnosis penyakit akibat

Page 13: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

16

enterobaktericeae dapat menggunakan hewan coba mencit maupun tikus. Hewan

percobaan kelinci baik digunakan pada penelitian mengenai hiperkolestrerolemia

karena peka terhadap kolesterol dan bisa menyimpan lemak tubuh dalam jumlah

yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap

pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005).

Hewan percobaan yang paling cocok untuk penelitian mengenai manusia

ialah primata (Wolfensohn & Lloyd 1998). Hal itu dikarenakan kedekatan

kekerabatan serta kemiripan anatomis, fisiologis, dan patologis. Namun

penggunaan hewan coba primata menemui banyak kendala, seperti sulitnya

pengadaan hewan, perawatan yang rumit dan mahal, handling yang sulit, serta

adanya bahaya penyakit menular (Sirois 2005). Hewan percobaan lain yang

memiliki karakter fisiologis mirip dengan manusia maupun mamalia lain adalah

tikus. Ada dua spesies tikus, yaitu tikus hitam (Rattus rattus) dan tikus putih

(Rattus norvegicus). Spesies yang sering dipakai sebagai hewan model pada

penelitian mengenai mamalia adalah Rattus norvegicus (Malole & Pramono

1989).

Rattus norvegicus memiliki ciri rambut berwarna putih dan mata berwarna

merah. Sebagai hewan percobaan, Rattus norvegicus memiliki beberapa

keunggulan, yaitu pemeliharaan dan penanganan mudah, kemampuan reproduksi

tinggi dan masa kebuntingan singkat, serta cocok untuk berbagai penelitian

(Malole & Pramono 1989). Rata-rata umur Rattus norvegicus adalah 4 sampai 5

tahun dengan berat badan umum tikus jantan dewasa berkisar antara 267 sampai

500 gram dan betina 225 sampai 325 gram. Tikus memasuki usia dewasa pada

umur 40-60 hari, masa bunting selama 23 hari dan disapih pada umur 21 hari

(Smith & Mangkoewidjojo 1989). Penelitian yang dapat dilakukan menggunakan

Rattus norvegicus di antaranya penelitian mengenai hipertensi, diabetes melitus,

obesitas, dan lain-lain (Sirois 2005).

Rattus norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan

Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil,

telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang

daripada badannya. Galur Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang

pendek, sedangkan galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil

Page 14: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

17

serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam (Malole &

Pramono 1989).

Pada penelitian ini, hewan percobaan yang digunakan adalah Rattus

norvegicus galur Sprague Dawley. Rattus norvegicus adalah hewan percobaan

paling populer dalam penelitian yang berkaitan dengan pencernaan (Hofstetter et

al. 2005). Hewan ini dipakai dengan pertimbangan: (1) pola makan omnivora

seperti manusia (Malole & Pramono 1989); (2) memiliki saluran pencernaan

dengan tipe monogastrik seperti manusia (Hofstetter et al. 2005); (3) kebutuhan

nutrisi hampir menyamai manusia (Wolfensohn & Lloyd 1998); serta (4) mudah

di cekok dan tidak mengalami muntah karena tikus ini tidak memiliki kantung

empedu (Smith & Mangkoewidjojo 1989). Saluran pencernaan tikus dapat dilihat

pada Gambar 5.

Gambar 5 Saluran pencernaan pada tikus (Hofstetter et al. 2005).

Penelitian ini difokuskan pada pengamatan bagian usus halus dari saluran

pencernaan tikus. Usus halus tikus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum.

Pada bagian mukosa terdapat vili, kripta, dan kelenjar Liberkun. Di permukaan

vili usus halus terdapat sel epitel silindris sebaris. Selain itu, terdapat juga sel

goblet penghasil mukus dan sel Panet penghasil lisozim. Kripta bergerak setiap

10-14 jam untuk mengganti sel-sel epitel yang lepas. Waktu yang dibutuhkan

oleh sel epitel untuk berpindah dari kripta hingga mencapai ujung vili sekitar 48

Page 15: pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic

18

jam. Jumlah kelenjar Liberkun pada usus halus tikus relatif konstan, baik pada

duodenum, jejunum maupun ileum, sedangkan jumlah vili menurun dari

duodenum sampai ke ileum. Pada bagian submukosa duodenum terdapat kelenjar

Brunner yang berfungsi menghasilkan mukus dan bikarbonat, namun kelenjar ini

hanya terdapat pada bagian proksimal dari duodenum tikus (Clarke 1970). Proses

penyerapan makanan pada tikus dan manusia terjadi di bagian jejunum dan ileum

dari usus halus. Penyerapan dilakukan oleh mikrovili sel epitel. Penyerapan

glukosa, asam amino, dan asam lemak terutama terjadi di bagian jejunum

(DeSesso & Jacobson 2001).

Melihat pertimbangan di atas, Rattus norvegicus dapat dipakai sebagai

hewan percobaan dalam pengujian probiotik secara in vivo pada saluran

pencernaan untuk kepentingan manusia. Penggunaan hewan percobaan untuk

pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar

dibandingkan dengan percobaan in vitro karena adanya variasi biologis. Supaya

variasi tersebut minimal, hewan percobaan yang dipakai sebaiknya berasal dari

spesies yang sama, umur dan jenis kelamin sama, serta dipelihara pada kondisi

yang sama pula (Malole & Pramono 1989).