pada upacara muncang di dusun iii namo rindang …aron, merupakan salah satu bentuk penggunaan...
TRANSCRIPT
i
FUNGSI DAN PENGGUNAAN GENDANG LIMA SEDALANEN
PADA UPACARA MUNCANG DI DUSUN III NAMO RINDANG
DESA MBARUAI KECAMATAN BIRU BIRU KABUPATEN
DELI SERDANG
Skripsi sarjana
Disusun
O L E H NAMA: ELIESER BARUS NIM: 070707004
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
2013
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karo adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara yang
memiliki ragam kebudayaan dalam kehidupan masyarakatnya. Kebudayaan yang
diturunkan secara turun temurun tersebut dapat kita lihat dari segala aktivitas
kehidupan masyarakat Karo. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat kita lihat dari
berbagai kegiatan upacara adat dan upacara ritual yang dilaksanakan oleh
masyarakat Karo. Upacara adat terdiri dari adat perkawinan, pemakaman, adat
(untuk anak-anak, remaja, dan orang tua), adat tanah dan pertanian. Sedangkan
upacara ritual terdiri upacara Erpangir Ku Lau, upacara Raleng Tendi, upacara
Muncang dan lain sebagainya. Didalam pelaksanaannya upacara-upacara yang
dilakukan tersebut menggunakan musik Karo.
Musik Karo terdiri dari musik vokal,musik instrumental dan
penggabungan musik vokal dan musik instrumental. Selain itu secara umum
musik Karo memiliki beberapa reportoar lagu meliputi Simalungun Rakyat, Mari-
Mari, Odak-Odak, Patam-Patam, dan Gendang Seluk. Alat-alat musik yang
dipakai di dalam musik Karo terdiri dari beberapa instrumen musik seperti Sarune
(aerophone), Gendang Singanaki (membranophone), Gendang Singindungi
(membranofone), Gong (idiofone), Penganak (idiofone), Kulcapi (kordofone),
Keteng-Keteng (idio-kordofone), Belobat (aerofone), Surdam (aerofone).
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan kebudayaan yang di
tunjukkan melalui pelaksanaan kegiatan upacara adat dan upacara ritual sudah
mengalami banyak perubahan. Perubahan ini dapat kita lihat dari intensitas
2
kegiatan kebudayan yang sudah jarang dilaksanakan dan bahkan ada yang sudah
tidak pernah dilaksanakan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh perubahan pola
pikir masyarakat Karo pada umumnya yang telah banyak dipengaruhi oleh budaya
lain. Salah satu upacara ritual yang sudah jarang dilaksanakan adalah upacara
Muncang.
Menurut Jabal Sembiring, “Muncang adalah upacara tolak bala dengan
cara memanggil Tembun- Tembunen Kuta (roh-roh nenek moyang penjaga
kampung) melalui mediator seorang Guru Sibaso untuk menolak bala dan
mengusir roh-roh jahat yang dianggab mengganggu di kampung tersebut.1
Hal sama juga di ungkapkan Arus Perangin angin , “Muncang adalah
upacara penghormatan dan pemujaan roh-roh nenek moyang yang dipercayai
dapat menyembuhkan dari penyakit, menolak bala, dan mengusir roh–roh yang
mengganggu di desa tersebut”.2
Arus Perangin-angin menambahkan dalam wawancara bahwa “dulunya di
Kuta Namorindang sendiri upacara Muncang ini sering dilaksanakan minimal
lima tahun sekali, namun tidak menutup kemungkinan upacara dilakukan sesuai
dengan kebutuhan masayarakat Kuta3 Namorindang.
Jadi upacara ritual Muncang adalah upacara penyembahan dan
penghormatan kepada roh nenek leluhur penjaga sebuah kampung (Tembun-
Tembunen Kuta) yang dipercayai dapat menyembuhkan dari penyakit, menolak
bala, dan mengusir roh-roh yang mengganggu di kampung tersebut. Dalam proses
upacara ritual muncang Guru Sibaso yang berperan sebagai mediator. Dengan
1 Wawancara dengan Bapak Jabal Sembiring tanggal 29 Maret 2012 2 Wawancara dengan Bapak Arus Perangin-angin tanggal 27 Oktober 2011 3 Kuta adalah sebutan untuk Kampung atau Desa
3
iringan musik Guru Sibaso akan mengalami suatu keadaan diluar sadar
(kesurupan).
Musik Karo yang digunakan di dalam upacara Muncang tersebut adalah
Gendang Lima Sedalanen. Musik Gendang Lima Sedalanen digunakan sebagai
pengiring di dalam proses upacara ritual Muncang tersebut. Gendang Lima
Sedalanen merupakan salah satu unsur pokok dalam upacara Muncang, karena
Gendang Lima Sedalanen sebagai musik pengiring di dalam upacara. Pengertian
Gendang Lima Sedalanen yaitu Gendang dalam kasus ini berarti “alat musik”,
Lima berarti “lima”, dan Sedalanen berarti “sejalan” atau secara bersama sama”.
Jadi dari penjelasan diatas pengertian Gendang Lima Sedalanen adalah lima buah
instrumen musik yang dimainkan sejalan atau bersana–sama. Gendang Lima
Sedalanen adalah seperangkat (ensambel) instrumen musik Karo yang terdiri dari
Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Gung dan Penganak.
Gendang Lima Sedalanen digunakan sebagai musik pengiring dalam
berbagai upacara adat seperti upacara pemakaman, upacara perkawinan, upacara
adat anak, remaja, orang tua, dan upacara adat tanah dan pertanian. Sedangkan
dalam upacara ritual, Gendang Lima Sedalanen digunakan sebagai pengiring
dalam upacara Erpangir Ku Lau, upacara Raleng Tendi, upacara Muncang dan
lain sebagainya.
Di dalam memainkan instrumen musik Gendang Lima Sedalanen ini
terdiri dari 4 – 5 orang pemain. Terdapat istilah untuk orang yang memainkan alat
musik itu, yaitu untuk orang yang memainkan Sarune disebut Penarune, sebutan
untuk orang yang memainkan Gendang Singindungi disebut Penggual
Singindungi, untuk Gendang Singanaki disebut Penggual Singanaki, sedangkan
4
untuk orang yang memainkan Penganak disebut Simalu Penganak , dan untuk
orang yang memainkan Gung disebut juga Simalu Gung.
Di dalam proses pelaksanaan upacara Muncang sendiri, Gendang Lima
Sedalanen berfungsi membawakan beberapa reportoar musik yang dimainkan
oleh Penggual. Reportoar musik yang dimainkan dalam upacara ritual Muncang
ini adalah reportoar Gendang Guru yang di dalamnya terdapat lagu-lagu seperti
Gendang Siarak Araki Guru, Gendang Siadang Adangi, Gendang Pengelimbei,
Gendang Sabung Tukuk, dan Gendang Peselukken.
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti tertarik untuk melihat peran
Gendang Lima Sedalanen pada upacara Muncang di Dusun III Namorindang Desa
Mbaruai. Untuk itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk
dijadikan skripsi dengan judul penelitian “FUNGSI DAN PENGGUNAAN
GENDANG LIMA SEDALANEN PADA UPACARA MUNCANG DI DUSUN III
NAMORINDANG DESA MBARUAI KECAMATAN BIRU BIRU
KABUPATEN DELI SERDANG”
1.2 Pokok- Pokok Permasalahan
Identifikasi masalah adalah sejumlah masalah yang berhasil ditarik dari
uraian latar belakang masalah atau kedudukan masalah dan lingkup permasalahan
yang lebih luas. Tujuan dari identifikasi masalah adalah agar penelitian yang
dilakukan menjadi terarah serta cakupan masalah yang dibahas tidak terlalu luas.
1. Bagaimana pelaksanaan Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang
Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru .
5
2. Bagaimana Fungsi Musik Gendang Lima Sedalanen pada Upacara
Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-
Biru
3. Bagaimana Penggunaan Musik Gendang Lima Sedalanen pada Upacara
Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-
Biru
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh peneliti
sebelum melakukan penelitian. Tanpa adanya tujuan yang jelas, maka arah
kegiatan yang dilakukan tidak terarah karena tidak tahu apa yang akan dicapai
dalam kegiatan tersebut.
Oleh karena itu tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara Muncang di Dusun III Namo
Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru Biru .
2. Untuk mengetahui Fungsi dan Penggunaan musik Gendang Lima
Sedalanen pada upacara Muncang di Dusun III Namorindang Desa
Mbaruai Kecamatan Biru Biru.
3. Untuk menyelesaikan salah satu syarat agar memperoleh gelar sarjana
seni di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu budaya Universitas
Sumatera Utara.
6
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penulis mengambil beberapa manfaat penelitian yang diambil dari
kegiatan penelitian tersebut.
1. Sebagai bahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai
Fungsi dan Penggunaan Musik Gendang Lima Sedalanen pada upacara
Muncang di Dusun III Desa Mbaruai Kecamatan Biru Biru
2. Sebagai bahan refrensi bagi peneliti berikutnya yang memiliki
keterkaitan tentang topik penelitian ini.
3. Sebagai bahan skripsi sarjana yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa
Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Mely G.Tan, dalam Koentjaraningrat (1985:21) mengatakan konsep
merupakan suatu defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
Konsep juga merupakan defenisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan
variabel-variabel yang di inginkan untuk menemukan hubunngan empiris.
Allan. P. Merriam (1964:210-222) mengatakan, kegunaan musik
mencakup semua kebiasaan memakai musik, baik sebagai suatu aktifitas sendiri
maupun sebagai aktifitas yang berdiri sendiri maupun sebagai iringan aktifitas
lain. Atau dengan singkat Merriam mengatakan bahwa kegunaan musik
menyangkut cara pemakaian musik dalam konteksnya, sedangkan fungsi musik
menyangkut tujuan pemakaian musik dalam pandagan luas.
7
Gendang Lima Sedalanen merupakan sebuah istilah musik dalam
kebudayaan etnis Karo. Menurut Jabatin Bangun (1994:23-27) pengertian
Gendang ada tujuh :
1. Gendang dapat berarti instrument atau alat musik, contoh Gendang Singindungi artinya gendang menyatakan sebuah alat musik yang dinamakan singindungi termasuk dalam klasifikasi membranofone, dua sisi yang berbentuk double konis yang dimainkan dengan dua buah pemaluh (stik).
2. Gendang dapat berarti suatu upacara ritual, contoh Gendang Guro-Guro Aron, merupakan salah satu bentuk penggunaan konsep gendang sebagai upacara (kegiatan).
3. Gendang dapat berarti ensambel musik , contoh ensambel musik Gendang Lima Sedalanen.
4. Gendang sebagai reportoar (kumpulan komposisi), contoh Gendang Guru adalah suatu kumpulan komposisi yang terdiri dari beberapa komposisi yang mungkin di tampilkan secara alternatif. Artinya ada beberapa komposisi yang akan di tampilkan, misalnya Gendang Peselukken (komposisi trance) dalam upacara Erpangir Ku Lau, sehingga pada saat Guru Landek (mediator menari) dapat di pilih salah satu komposisi yang masuk dalam Gendang Guru.
5. Gendang sebagai musik, musik disini mengacu pada pengertian suatu bunyi yang teratur dan terdiri dari ritmis dan melodis
6. Gendang sebagai arti menunjukkan acara atau kesempatan (giliran naik panggung atau bernyanyi)
7. Dan gendang sebagai komposisi (nyanyian), contoh Gendang Odak-Odak, Gendang Simalungun Rakyat, dan lain-lain, merupakan komposisi yang ada dalam gendang.
Dari uraian di atas penulis mengambil pengertian konsep gendang sebagai
musik. Dimana musik sebagai aktifitas yang berdiri sendiri maupu sebagai iringan
aktifitas lain. Musik dalam hal ini mengacu kepada pengertian suatu bunyi yang
teratur dan terdiri dari ritmis dan melodis.
Gendang Lima Sedalanen yaitu Gendang dalam kasus ini berarti alat
musik, Lima berarti lima, dan Sedalanen berarti sejalan atau secara bersama sama.
Jadi dari penjelasan diatas pengertian Gendang Lima Sedalanen adalah lima buah
instrumen musik yang dimainkan sejalan atau bersana-sama. Gendang Lima
Sedalanen adalah seperangkat (ensambel) instrumen musik Karo yang terdiri dari
8
Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Gong dan Penganak.
Instrumen-instrumen musik di dalam Gendang Lima Sedalanen memiliki fungsi
masing-masing. Sarune sebagai pembawa melodi, sedangkan Gendang Singanaki,
Singindungi, Gung dan Penganak sebagai pembawa ritem dan tempo.4
Muncang ialah upacara ritual untuk mengusir segala pengganggu seperti
roh halus agar desa tersebut terhindar dari penyakit atau malapetaka. Hal ini
sejalan juga dengan pendapat Ginting (1999:70) yang mejelaskan bahwa:
”Muncang adalah diberi pemujaan setahun sekali atau juga pada waktu terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan atau musim penyakit tiba, ayam kena sampar, hasil pertanian terganggu atau ada semacam gerakan-gerakan yang kurang baik dirasakan anak desa”.5
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Muncang adalah upacara pemujaan dan pemanggilan roh-roh nenek
moyang (pendiri kampung) untuk menolak bala dan pengusiran roh-roh jahat
dengan memakai musik Karo sebagai pengiring dalam upacara tersebut.
Jadi dari keseluruhan penjelasan diatas dapat penulis menyimpulkan
bahwa tulisan denga judul PENGGUNAAN DAN FUNGSI GENDANG LIMA
SEDALANEN DALAM UPACARA MUNCANG DI DUSUN III
NAMORINDANG DESA MBARUAI KECAMATAN SIBIRU BIRU
KABUPATEN DELI SERDANG adalah pembahasan mengenai kegunaan dan
fungsi musik Gendang Lima Sedalanen sebagai iringan aktifitas upacara muncang
yang pelaksanaannya bertujuan untuk pemujaan dan pemanggilan roh-roh nenek
moyang untuk menolak bala dan pengusiran roh-roh jahat yang ada di Dusun III
Namorindang.
4 Perikuten Tarigan dalam buku musik tradisional karo 5 (http://silima merga.blogspot.com/2011/03/pemujaan-dan-upacara-ritual.html).
9
1.4.2. Teori
Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan teori adalah alat yang terpenting
dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian
fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Teori adalah landasan dasar
keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama
dalam memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai
pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori
yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini.
Malinowski (1986:215) mengatakan fungsionalisme adalah berbagai unsur
kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan
suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup makhluk manusia (basic
human needs). Maka dari itu unsur kesenian mempunyai fungsi guna memusakan
hasrat naluri manusia akan keindahan, unsur sistem pengetahuan untuk
memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu.
Menurut Alan. P. Merriam (1964:209-226) mengungkapkan bahwa
terdapat 10 fungsi musik yang telah diungkapkan namun tidak semua berlaku
untuk seluruh suku bangsa yang ada di dunia. Fungsi musik yang diungkapkan
oleh Merriam seperti yang tertera dibawah ini:
1. Fungsi Pengungkapan Emosional 2. Fungsi Penghayatan Estetis 3. Fungsi Hiburan 4. Fungsi Komunikasi 5. Fungsi Perlambangan 6. Fungsi Reaksi Jasmani 7. Fungsi yang Berkaitan dengan Norma- Norma Sosial 8. Fungsi Pengesahan Lembaga Soial dan Upacara Agama 9. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan 10. Fungsi Pengintegerasian Masyarakat
10
Terkait dengan Merriam (1964: 217-218), menulis pandangan Herkovits
yang membagi penggunaan musik menjadi 5 kategori:
1. his first divisioner, material cultural its sanctions, is divided into two part, tecnology and economics, associated music activities are numerous.
2. herkcovits second division social institutions, which comprises social organization, education and political structures.
3. man and the univers comprise herkcovits, third aspect of culture, subdivided into belief system and the control of power.
4. herkcovits’ fourth category is Aesthetics, devided into graphiec and plastie,arts, folklore, and music, drama and the dance; the relationships to music very close.
5. herkcovits final category is language, which exist in the closet association with music. In addition, special kinds of language are conveyed by music devices as is drum, whistle, and trumpet language , secret languages are also used Frequently in music.
Dari pandangan Herkcovits di atas yang mengatakan penggunaan musik
dibagi dalam lima kategori. Pertama adalah materi budaya yang dibagi menjadi
dua bagian yaitu teknologi dan ekonomi. Kedua adalah lembaga sosial yang
terdiri dari organisai sosial, pendidikan, dan struktur sosial. Ketiga adalah sistem
kepercayaan dan kontrol kekuasaan. Keempat adalah estetika yang terdiri dengan
seni, tari, cerita rakyat, drama, dan sebagainya. Kelima adalah Bahasa.
Selain itu dalam mendeskripsikan komponen-komponen upacara ritual
penulis mengacu kepada pendapat Koentjaraningrat (1985:243) yaitu,
1. Tempat upacara
2. Waktu saat upacara
3. Benda-benda dan alat upacara
4. Serta orang yang melakukan dan memimpin upacara
11
1.5 Metode Penelitian
Menurut Netll (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan
aktifitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu: kerja lapangan (field
work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan
informan, pendekatan dan pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data.
Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan
membuat kesimpulan dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Namun
demikian, sebelum melakukan hal ini terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan
yakni mendapatkan literatur atau sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan
pokok permasalahan.
Menurut Sanafiah (1990:1) dalam metode penelitian, peneliti
menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu
sebuah metodologi penelitian yang mencakup pandangan-pandangan falsafi
mengenai realitas obyek studi dalam ilmu-ilmu sosial dan tingkah laku. Metode
penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan atau gejala atau frekwensi atau penyebaran suatu gejala atau
frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat.
Penelitian kualitatif merupakan rangkaian kegiatan atau proses menyaring
data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam
kondisi aspek/ bidang lain dalam kehidupan tertentu pada obyeknya.
Menurut Aswita dan Thamrin (2009:136), penelitian kualitatif adalah
penelitian eksploratif yang biasanya lebih bersifat studi kasus. Dalam penelitian
kualitatif data merupakan sumber atau teori berdasarkan data. Kategori-kategori
dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Data lapangan dapat
12
dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul dilapangan, dan terus menerus
disempurnakan selama proses penelitian berlangsung secara berulang-ulang.
Subagyo (2001:259) menambahkan bahwa analisis data kualitatif erat
hubunganya dengan pengumpulan data, pengolahan data, termasuk penyimpanan,
dan pengeluaran yang efektif untuk tujuan penelitian.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis memulai dengan mencari
informasi awal melalui studi kepustakaan yang berhubungan dan mendukung
dengan tulisan ini di dalam penelitian. Studi kepustakaan dilakukan sebagai
landasan awal dalam penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau
sumber bacaan untuk mendapat informasi dan pengetahuan dasar tentang objek
penelitian. Sumber bacaan dan literatur dapat berupa buku-buku, makalah, artikel,
skipsi-skripsi, ensiklopedia, file internet, jurnal, dan lain-lain.
1.5.2 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan observasi atau pengamatan
langsung ketempat diselenggarakan upacara Muncang di Dusun III Namo
Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru Biru Kabupaten Deli Serdang. Penulis
mengamati semua kejadian secara langsung yang bertujuan untuk memperoleh
data-data yang tidak didapatkan tentang objek penelitian melalui wawancara.
Selain itu penulis juga berusaha memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
objek penelitian tersebut.
13
Kerja lapangan merupakan salah satu metode pengumpulan data yang
paling akurat karena peneliti langsung dapat mengamati langsung objek yang akan
diteliti sehingga data yang diperoleh lebih objektif. Dalam hal ini data yang
dibutuhkan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang paling utama menjadi kebutuhan peneliti yang
diperoleh dari hasil pengamatan langsung dilapangan, sementara data sekunder
adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Selain itu dalam pelaksanan
pengambilan data primer ada beberapa tahapan yang penting dilakukan yaitu:
1.5.2.1 Observasi langsung
Adapun observasi langsung ini dilakukan uantuk mendapatkan secara
langsung data-data yang dibutuhkan selama berlangsungnya kegiatan yang
diamati tersebut. Selain mengamati kegiatan dari observasi langsung ini penulis
dapat langsung menentukan orang-orang yang dianggap mampu menjadi nara
sumber dalam pengumpulan data-data yang dibutuhkan penulis.
1.5.2.2 Wawancara
Wawancara ini merupakan salah satu proses untuk mendapatkan data dari
para informan yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan penulisan ini.
Tekhnik wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah seperti yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:138-140) mengatakan bahwa
wawancara dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Wawancara berfokus: pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu dan
selalu berpusat kepada satu pokok permasalahan
14
2. Wawancara bebas: pertanyaan yang diajukan tidak hanya berpusat pada
pokok permasalahan tetapi beraneka ragam selama masih berkaitan
dengan objek peneitian.
3. Wawancara sambil lalu: pertanyaan dalam hal ini diajukan kepada nara
sumber dalam situasi yang tidak terkonsep ataupun tanpa persiapan.
Dengan kata lain informan dijumpai secara kebetulan.
Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu menentapkan
informan yang dapat memberikan informasi yang mendukung tulisan. Terdapat
dua jenis informan, yaitu informan pangkal dan informan pokok
(Koentjaraningrat, 1997: 163-164). Wawancara dengan informan pangkal penulis
lakukan dengan mewawancarai Bapak Arus Keliat sebagai Sukut (pelaksana
upacara). Penulis juga melakukan wawancara dengan Efendi Ginting sebagai
orang yang mengatur jalannya upacara. Selain itu penulis juga mewawancarai
salah satu Penggual pada upacara Muncang tersebut yaitu Bapak Jabal Sembiring.
Penulis tidak hanya terfokus pada satu informan saja tetapi mencari
informan lain seperti Guru Sibaso (mediator), pemain musik, Simantek Kuta
(dalam bahasa Indonesia: pendiri kampung), dan tokoh- tokoh adat Karo di Dusun
III Namo Rindang Desa Mbaruai, dan lain sebagainya yang dianggab
berkompeten.
1.5.2.3 Perekaman
Dalam proses perekaman wawancara penulis menggunakan alat perekam
audio yaitu handpone NOKIA 2323 CLASSIC. Dalam pengambilan foto penulis
menggunakan kamera digital SONY DSC-W-380 sedangkan dalam pengambilan
15
audio video penulis menggunakan HANDYCAME SONY dan HANDYCAME
CANON. Pengumpula data dilakukan secara bertahap dengan melakukan
beberapa kali pengamatan dan wawancara.
1.5.3 Kerja Labolatorium
Kerja labolatorium adalah tahap penganalisisan data data yang telah
dikumpulkan untuk memperoleh dari permasalahan yang ada. Semua data yang
ada dikumpulkan dalam kerja labolatorium untuk dianalisis. Data-data wawancara
yang telah di dapat akan di koreksi ulang agar tidak ada data yang tumpang tindih.
Data-data yang di dapat akan disusun dan diatur untuk memeperoleh hasil yang
dibutuhkan.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian
Dalam menetapkan lokasi penelitian, penulis menetapkan Dusun III Namo
Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Sibiru Biru Kabupaten Deli Serdang yang
melaksanakan Upacara Muncang pada tanggal 28 Oktober 2011.
Penulis memilih Namo Namorindang sebagai wilayah penelitian karena
pelaksanaan upacara Muncang dilakukan tidak berdasarkan jadwal waktu yang
sudah ditetapkan sebelumnya oleh masyarakat Karo di daerah tersebut (misalnya:
Gendang Guro-Guro Aron), tetapi pelaksanaannya berdasarkan kebutuhan
masyarakat untuk melakukan upacara Muncang tersebut. Selain di Namo
Rindang, upacara Muncang sudah sangat jarang dilakukan di desa-desa yang
didiami oleh masyarakat Karo pada umumnya. Selain itu karena tempat upacara
17
BAB II GEOGRAFIS DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO
DI DUSUN III NAMORINDANG DESA MBARUAI KECAMATAN SIBIRU BIRU
2.1 Wilayah Geografis Masyarakat Karo di Dusun III Namo Rindang
Desa Mbaruai
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100°
Bujur Timur dengan luas daratan 71.680 km². Provinsi Sumatera Utara berbatasan
dengan:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh dan Selat Malaka
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau, Provinsi Sumatera
Barat, dan Samudera Indonesia
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Aceh dan Samudera Indonesia
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka
Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 33 Kabupaten dan Kota seperti yang
tertera di bawah ini:
1. Kabupaten Asahan 2. Kabupaten Batubara 3. Kabupaten Dairi 4. Kabupaten Deli Serdang 5. Kabupaten Humbang Hasundutan 6. Kabupaten Karo 7. Kabupaten Labuhanbatu Selatan 8. Kabupaten Labuhan Batu Utara 9. Kabupaten Langkat 10. Kabupaten Mandailing 11. Kabupaten Mandailing Natal 12. Kabupaten Nias 13. Kabupaten Nias Barat 14. Kabupaten Nias Selatan 15. Kabupaten Nias Utara 16. Kabupaten Padang Lawas 17. Kabupaten Padang Lawas Utara
18
18. Kabupaten Pakpak Barat 19. Kabupaten Samosir 20. Kabupaten Serdang Bedagai 21. Kabupaten Simalungun 22. Kabupaten Tapanuli Selatan 23. Kabupaten Tapanuli Tengah 24. Kabupaten Tapanuli Utara 25. Kabupaten Toba Samosir 26. Kota Binjai 27. Kota Gunung Sitoli 28. Kota Medan 29. Kota Padang Sidempuan 30. Kota Pematang Siantar 31. Kota Sibolga 32. Kota Tanjung Balai 33. Kota Tebing Tinggi
Menurut Darwan Prins (2008:1), Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,
yakni salah satu suku di Indonesia. Pada zaman keemasannya kekuasaan Kerajaan
Haru mulai dari Aceh Besar sampai ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo
di Aceh dapat di pastikan dengan beberapa nama desa berasal dari bahasa Karo.
Misalnya Kuta Raja sekarang menjadi Banda Aceh, Kuta Bijei di Aceh Timur,
Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane,
dan lainnya. Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut
Karee.
Dari pendapat Darwan Prins tersebut kita dapat melihat penyebaran suku
Karo yang terdapat di beberapa daerah. Suku Karo pada umumnya mendiami
dataran tinggi Kabupaten Karo, namun selain daerah Kabupaten Karo suku Karo
juga terdapat di daerah-daerah lain, misalnya di daerah Kabupaten Deli Serdang.
Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 Kecamatan yaitu:
1. Bangun Purba 2. Batang Kuis 3. Beringin 4. Biru-Biru
19
5. Deli Tua 6. Galang 7. Gunung Meriah 8. Hamparan Perak 9. Kutalimbaru 10. Labuhan Deli 11. Lubuk Pakam 12. Namo Rambe 13. Pagar Merbau 14. Pancur Batu 15. Pantai Labu 16. Patumbak 17. Percut Sei Tuan 18. Sibolangit 19. Sinembah Tanjung Muda Hilir 20. Sinembah Tanjung Muda Hulu 21. Sunggal 22. Tanjung Morawa
Wilayah penelitian dari tulisan ini adalah berada di daerah Kabupaten Deli
Serdang, Kecamatan Biru-Biru, Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai.
Kecamatan Biru-Biru terdiri dari 17 Desa yaitu: Aji Baho, Biru-Biru, Kampung
Selamat, Kuala Dekah, Kuto Mulyo, Mardinding Julu, Mbaruai, Namo Suro Baru,
Namo Tualang, Penen, Peria-Ria, Rumah Gerat, Sari Laba Jahe, Sidodadi,
Tanjung Sena, Candi Rejo, Sidomulyo.
Desa Mbaruai terbagi menjadi 4 dusun yaitu, Dusun I Kepala Gajah,
Dusun II Mbaruai, Dusun III Namo Rindang, Dusun IV Suka Rakyat. Upacara
Muncang tersebut dilaksanakan di Dusun III Namorindang. Dari Kota Medan
sendiri berjarak kurang lebih 30 Km, dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam
pejalanan dengan mengendarai kendaraan bermotor.
20
2.2 Unsur-unsur Kebudayaan Karo di Dusun III Namo Rindang Desa
Mbaruai
Koentjaraningrat pada bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1986)
mengungkapkan bahwa ada 7 unsur kebudayan yang dapat ditemukan pada semua
bangsa di dunia,yaitu:
1. Bahasa 2. Sistem Pengetahuan 3. Organisasi Sosial 4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi 5. Sistem Mata Pencaharian Hidup 6. Sistem Religi 7. Sistem Kesenian
2.2.1 Sistem Bahasa
Deskripsi dari bahasa suku bangsa dalam karangan etnografi tentu tak
perlu sama dalamnya seperti suatu deskripsi khusus yang dilakukan oleh seorang
ahli bahasa tentang bahasa yang bersangkutan. Deskripsi mendalam oleh seorang
ahli bahasa khusus mengenai susunan sistem fonetik, fonologi, sintaks, dan
semantik suatu bahasa akan menghasilkan suatu buku khusus, yaitu suatu buku
tata bahasa tentang yang bersangkutan. Sedangkan deskripsi mendalam mengenai
kosa kata suatu bahasa akan menghasilkan suatu daftar teksikografi, atau
vocabulary, atau lebih mendalam lagi suatu kamus kecil ataupun besar.
Masyarakat suku Karo biasanya menyebut diri mereka sendiri sebagai
Kalak Karo atau orang Karo. Istilah Batak umumnya tidak digunakan pada saat
orang Karo saling memperkenalkan diri satu sama lain kecuali jika mereka sedang
memperkenalkan diri dengan orang-orang dari etnis lain (Sunda, Jawa, dan lain-
21
lain) sedangkan bahasa asli Karo mereka sebut sebagai Cakap Karo atau Bahasa
Karo
Dalam ilmu antropologi bahasa/language dikenal dengan sistem
pelambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia.
Dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia. Menurut Kamisa
(1997:49)
“Bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri: percakapan (perkataan) yang baik , tingkah laku yang baik, sopan santun”.
Menurut Drs. Tridah Bangun (1986:65), dialek dalam bahasa Karo dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Dialek Gunung (Cakap Kalak Julu) yaitu di daerah Kecamatan Munte, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh dan Mardinding. Contohnya: bila seorang orang Karo pergi ke apotek, dan ia ingin membeli obat mata dengan menggunakan dialek gunung-gunung, maka pengucapannya dalam kalimat adalah lit dayaken ndu tambar mate
b. Dialek Kabanjahe (Cakap Kalak Julu) di daerah Kecamatan Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat dan Payung. Contohnya: bila seorang orang Karo pergi ke apotek, dan ingin membeli obat mata dengan menggunakan dialek Kaban Jahe, maka pengucapannya dalam kalimat adalah lit dayaken ndu tambar mata.
c. Dialek Jahe-jahe (Cakap Kalak Karo Jahe) dipakai oleh penduduk di Kecamatan-Kecamatan Pancur Batu, Biru-biru, Sibolangit, Lau Mbekeri dan Namo Rambe (termasuk Kabupaten Deli Serdang) dan di daerah kabupaten Langkat Hulu seperti Salapian, Kuwala, Bahorok dan sebagainya. Contohnya: bila seorang Karo pergi ke apotek, dan ia ingin membeli obat mata dengan menggunakan dialek Kabanjahe, maka pengucapannya dalam kalimat adalah lit dayaken ko tambar mata. Dari ketiga dialek diatas dapat silihat perbedaan pengucapan, tetapi
mempunyai arti yang sama. Dapat dilihat pada penggunaan kalimat lit dayaken
ndu tambar mate, lit dayaken ndu tambar mata, dan lit dayaken ko tambar mata
yang mempunyai arti bahwa seseorang ingin membeli obat untuk sakit mata. Hal
ini dapat dilihat pada penggunaan kata mate menurut dialek Gunung-Gunung,
22
penggunan kata mata menurut dialek Kabanjahe, dan penggunaan kata mata pada
dialek Jahe-jahe yang mempunyai arti yang sama yaitu mata. Penggunaan kata
mate dalam konteks lain menurut dialek Kabanjahe dan dialek Jahe-Jahe dapat
berarti menyebutkan seseorang telah meninggal. Contoh dalam kalimat enggo
mate nini bulang Raja Sembiring artinya bahwa kakek dari Raja Sembiring telah
meninggal dunia.
Untuk penggunakaan kata ndu dalam kalimat lit dayaken ndu tambar mate
dan lit dayaken ndu tambar mata mempunyai makna yang lebih halus yaitu kamu,
serta untuk penggunaan kata ko dalam kalimat lit dayaken ko tambar mata
mempunyai maksud yang sama yaitu kamu, akan tetapi penggunaan kata ko pada
dialek Jahe-Jahe seperti ini lebih kasar menurut kata ngko yang berarti kau.
Masyarakat Karo pada umumnya baik menggunakan dialek Gunung-Gunung
dan dialek Kabanjahe kurang sopan mengucapkan kata kau terhadap lawan bicara
yang tua dan kepada turang. Akan tetapi pada masyarakat Karo menggunakan
dialek Jahe-Jahe menggunakan kata ko adalah hal yang wajar baik kepada yang
lebih tua atau pun kepada turang.
Untuk masyarakat Karo yang berada di wilayah Desa Mbaruai
menggunakan dialek Jahe-Jahe (Cakap Karo Kalak Jahe) karena berada di
Kecamatan Biru-Biru.
2.2.2 Organisasi Sosial yang Terdapat Pada Masyarakat Desa Mbaruai
Dalam setiap kehidupan bermasyarakat diatur oleh adat istiadat dan
aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia
hidup dan bergaul sehari-hari. Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kesatuan
23
kekerabatan, yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain.
Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar kerabat tapi dalam lingkungan
komunitas. Setiap masyarakat manusia, dan masyarakat desa, terbagi-bagi
kedalam lapisan-lapisan, maka tiap orang di luar kaum kerabatnya menghadapi
lingkungan orang-orang yang lebih tinggi daripadanya, tetapi orang-orang yang
sama tingkatnya. Diantara golongan terakhir ini ada orang-orang yang dekat
padanya ada pula yang jauh padanya.
Di Desa Mbaruai terdapat organisasi sosial bagi pemuda-pemudi desa,
yaitu Karang Taruna Desa Mbaruai. Menurut Amat Suka Ginting pengertian dari
Karang Taruna adalah Organisasi Sosial wadah pengembangan generasi muda
untuk berinteraksi dengan masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar
kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat terutama
generasi muda di wilayah desa/kelurahan dan terutama bergerak di bidang
kesejahteraan sosial.
Di Desa Mbaruai fungsi Karang Taruna adalah sebagai wadah untuk
pembinaan bagi generasi muda untuk berinteraksi dengan masyarakat, hal ini
dapat di lihat dalam pelaksanaam pesta adat. Contoh bila ada salah satu dari
masyarakat desa sedang melaksanakan pesta adat, baik itu upacara pernikahan,
kemalangan, dan lain sebagainya, maka fungsi dari Karang Taruna adalah Ngelai
(pengertian Ngelai dalam bahasa Indonesia yaitu membantu anak beru untuk
membagiakan makanan dan minuman untuk orang yang ada dalam pesta atau
upacara).
24
2.2.3 Sistem Kekerabatan Pada Masayarakat Karo
Banyak masayarakat yang membuat kebiasaan identitas diri dengan
memakai nama keluarga. Nama keluarga didapat dari nama ayah, nama ibu, nenek
moyang, atau asal usul dari keluarga tersebut. Hal ini terjadi karena masyarakat
ingin mempertahankan system kehidupan keluarga untuk keberlangsungan hidup
dalam mempertahankan nilai-nilai yang dimilikinya, terutama yang berkaitan
dengan jati diri. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh E. Evans. Pritchard
(1986:154)
“Dalam tiap-tiap masayarakat walaupun bentuk yang paling sederhana sekali kita akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, system ekonomi dan politik, status sosial,cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat, dan lain-lain, disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengetahuan mengenai alam semesta dan tradisi”
Menurut Roberto Bangun (1989:18)
“Jika dilihat sepintas pada masyarakat Karo yang beranggapan bahwa dalam menarik garis keturunan secara patrilineal akan tetapi kalau diteliti secara lebih mendalam lagi barulah dimengerti letak kekhasan masayarakat Karo dalam menarik garis keturunannya. Mereka bukan patrilineal melainkan parental (bilateral) yang menarik garis keturunan melalui garis keturunan melalui garis ayah dan ibu sekaligus”.
2.2.3.1 Merga Silima
Sistem kekerabatan pada masyarakat Karo dikenal dengan istilah Merga
Silima. Merga Silima artinya terdapat lima kelompok marga pada masyarakat
suku Karo, yaitu:
a. Karo- Karo b. Ginting c. Tarigan d. Sembiring
25
e. Perangin-angin Klan (nama keluarga) dalam suku Karo disebut merga. Berbeda halnya
dengan suku Batak (Silindungi-Samosir-Humbang-Toba) yang disebut dengan
marga. Menurut Martin L.Perangin-angin (hal 147-151) persebaran marga suku
Karo adalah sebagai berikut:
A. Merga Karo-Karo, cabang-cabangnya, dan daerah asal merga
1. Karo-Karo Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.
2. Karo-Karo Surbakti di Surbakti dan Gajah. 3. Karo-Karo Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat 4. Karo-Karo Sinukaban di Kaban dan Sumbul 5. Karo-Karo Barus di Barus Jahe, dan Pitu Kuta 6. Karo-Karo Sinubulan di Bulan Julu, dan Bulan Jahe 7. Karo-Karo Ujung di Kuta Nangka, Kalang, Perbesi, dan Batu Karang 8. Karo-Karo Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu) 9. Karo-Karo Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen 10. Karo-Karo Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh 11. Karo-Karo Kaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman
dan L.LinggaKaro 12. Karo Sinuhaji di Ajisiempat 13. Karo-Karo Sekali di Seberaya 14. Karo-Karo Kemit di Kuta Bale 15. Karo-Karo Bukit di Bukit dan Buluh Awar 16. Karo-Karo Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata 17. Karo-Karo Samura di Samura 18. Karo-Karo Sitepu di Naman dan Sukanalu
B. Merga Ginting, cabang-cabangnya, dan daerah asal merga
1. Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah dan Bulan Jahe
2. Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat 3. Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung 4. Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur. 5. Ginting Ajartambun di Rajamerahe 6. Ginting Capah di Bukit dan Kalang 7. Ginting Beras di Laupetundal 8. Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, dan Tengging 9. Ginting Jadibata di Juhar 10. Ginting Suka di Suka, Lingga julu, Naman dan Berastepu 11. Ginting Manik di Tengging dan Lingga 12. Ginting Sinusinga di Singa
26
13. Ginting Jawak di Cingkes 14. Ginting Seragih di Lingga Julu 15. Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem 16. Ginting Pase tidak ada sumber yang pasti yang menyebutkan dimana
marga ini sekarang
C. Merga Tarigan, Cabang-Cabangnya, dan Daerah Asal merga
1. Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga
2. Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu 3. Tarigan Silangit di Gunung Meriah 4. Tarigan Tua di Pergendangen dan Talimbaru 5. Tarigan Tegor di Suka dan Gurubenua 6. Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu 7. Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun) 8. Tarigan Gana-Gana di Batu Karang 9. Tarigan Jampang di Pergendangen 10. Tarigan Tambun di Rakut Besi, Binangara dan Sinaman 11. Tarigan Bondong di Lingga 12. Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu 13. Tarigan Purba di Purba (Simalungun)
D. Merga Sembiring, Cabang-cabangnya, dan Daerah Asal Merga
I. Sembiring Siman Biang
Sembiring Siman Biang artinya merga sembiring yang memakan daging
anjing. Sembiring Siman Biang tidak bisa kawin campur darah dengan cabang
Sembiring lainnya, artinya tidak diperbolehkan perkawinan sesama merga
Sembiring.
1. Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang
Melas
2. Sembiring Sinulaki di Silalahi
3. Sembiring Keloko di Pergendangen
4. Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri.
27
II. Sembiring Simantangken Biang
Sembiring Simantangken Biang artinya merga sembiring tetapi tidak
memakan daging anjing. Sembiring Simantangken Biang dapat melakukan
perkawinan antara cabang merga Sembiring.
1. Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya 2. Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding 3. Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan 4. Sembiring Brahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang 5. Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kidupen,
Kabanjahe, Naman, Berastepu dan Biaknampe 6. Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga 7. Sembiring Tekang di Kaban 8. Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi 9. Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte 10. Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak
(Deli). 11. Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon 12. Sembiring Sinikapar di Pertumbuken dan Sarintono 13. Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah 14. Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kuta Tonggal, dan Beganding 15. Sembiring Malau di Lau Renun
E. Merga Peranginangin, Cabang-Cabangnya, dan Asal Daerah Merga
1. Peranginangin Namohaji Kuta di Kutabuluh 2. Peranginangin Sukatendel di Sukatendel 3. Peranginangin Mano di Pergendangen 4. Peranginangin Sebayang di Perbesi 5. Peranginangin Pencawan di Perbesi 6. Peranginangin Sinurat di Kerenda 7. Peranginangin Perbesi di Seberaya 8. Peranginangin Ulunjan di di Juhar 9. Peranginangin Penggarus di Susuk 10. Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang) 11. Peranginangin Uwir di Singgamanik 12. Peranginangin Laksa di Juhar 13. Peranginangin Singarimbun di Mardinding, Kutambaru, dan Temburun 14. Peranginangin Keliat di Mardinding 15. Peranginangin Kacinambun di Kacinambun 16. Peranginangin Bangun di Batukarang 17. Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu 18. Peranginangin Benjerang di Batukarang
28
2.2.3.2 Tutur Siwaluh
Pengertian dari Tutur Siwaluh yaitu dibagi menjadi dua kata: Tutur dan
Siwaluh. Tutur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kedudukan dalam adat,
dan Siwaluh adalah kedelapan. Jadi yang dimaksud dengan Tutur Siwaluh dalam
penelitian ini adalah delapan kedudukan dalam adat bagi masayarakat suku Karo.
Pembagian Tutur Siwaluh pada masyarakat Karo adalah sebagai berikut:
1. Sembuyak
Sembuyak adalah orang-orang yang bersaudara (satu ayah dan satu ibu),
atau satu kakek. Misalnya, Anto Ginting, mempunyai adik laki-laki yang
berasal dari ayah dan ibu yang sama. Maka Anto dan adik laki-lakinya
adalah Sembuyak. Contoh lain, Anto Ginting dan Andi Ginting, keduanya
mempunyai kakek yang sama yaitu Dermawan Ginting. Maka Anto
Ginting dan Andi Ginting dapat juga dikatakan Sembuyak.
2. Senina
Senina adalah setiap orang yang memiliki merga yang sama, terkecuali
bila ada seorang laki-laki dan seorang perempuan memiliki klan merga
yang sama maka mereka adalah erturang. Misalnya, Adi Tarigan dan Sanja
Tarigan maka mereka adalah Senina. Contoh lain Adi Tarigan dan Doni br
Tarigan maka mereka adalah erturang berdasarkan klan merga yang sama
walaupun tidak berasal dari satu kakek.
3. Senina Sipemeren
Senina Sipemeren adalah orang yang bersaudara (ersenina, erturang)
karena ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama. Misalnya, Anto
Barus mempunyai mempunyai ibu beru Ginting, dan Juah Tarigan
29
memiliki ibu beru Ginting, maka Anto Barus dan Juah Tarigan adalah
Senina Sipemeren.
4. Senina Siparibanen
Senina Siparibanen adalah orang-orang yang bersaudara karena beru istri
mereka sama. Misalnya, Robby Ginting mempunyai istri beru Tarigan,
dan Budi Barus mempunyai istri beru Tarigan. Maka Robby dan Budi
adalah Senina Siparibanen.
5. Kalimbubu
Kalimbubu yaitu kelompok pemberi istri bagi keluarga (merga) tertentu.
Misalnya Henry Tarigan mempunyai istri beru Bangun. Maka kalimbubu
dari Henry adalah klan merga Bangun.
6. Puang Kalimbubu
Puang Kalimbubu adalah Kalimbubu dari Kalimbubu atau dapat juga
disebut Kalimbubu pihak Paman. Misalnya, RudiTarigan, mempunyai ibu
beru Bangun bere-bere Sembiring, maka Puang Kalimbubu dari Rudi
adalah merga Sembiring atau dalam bahasa Karo puang kalimbubu dapat
juga disebut mama nandenta (Kalimbubu dari ibu).
7. Anak Beru
Anak Beru adalah sekelompok yang mengambil istri dari keluarga (merga)
tertentu Misalnya Joni Tarigan menikah dengan seorang perempuan beru
Ginting. Maka Joni Tarigan akan menjadi anak beru di keluarga merga
Ginting (istri).
30
8. Anak Beru Menteri
Anak beru menteri adalah anak beru dari anak beru. Misalnya, Riko
Ginting mempunyai saudara perempuan, kemudian saudara perempuan
Riko Ginting menikah dengan Aldo Tarigan. Dari hasil pernikahan itu
lahirlah seorang anak perempuan, yaitu Mbelgah br Tarigan. Kemudian
Mbelgah Tarigan menikah dengan Tangke Bangun, maka Tangke Bangun
tersebut beserta keturunannya menjadi anak beru menteri di keluarga Riko
Ginting.
2.2.3.3 Rakut Si Telu
Pengertian Rakut Si Telu menurut Maju Sitepu adalah Rakut mempunyai
arti ikatan, dan Si Telu berarti tiga, jadi Rakut Si Telu adalah tiga ikatan hubungan.
Rakut Si Telu dapat juga mempunyai arti sangkep nggeluh (kelengkapan hidup)
bagi orang Karo. Kelengkapan hidup yang dimaksud adalah lembaga sosial yang
terdapat pada masyarakat Karo yaitu:
1. Kalimbubu
Yang dimaksud dengan kalimbubu adalah marga pihak pemberi istri, dan
saudara laki-laki dari pihak istri.
2. Anak Beru
Anak beru adalah anak perempuan yang dalam kehidupan masyarakat
Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga
tertentu
31
3. Senina
Senina dibagi menjadi dua kata yaitu “ se” berarti satu, “nina” berarti kata
atau pendapat, jadi yang dimaksud dengan senina adalah orang-orang yang
satu kata dalam permusyawaratan adat. Pengertian senina dalam konteks
lain yaitu orang yang mempunyai marga yang sama dan masih satu
keturunan atau masih terdapat satu marga.
Ke-3 inilah yang disebut dengan Rakut Si Telu atau ada juga yang
menyebutnya dengan Sangkep Si Telu. Rakut Si Telu sangat berperan penting
dalam upacara adat bagi masyarakat Karo, jika dalam sebuah upacara adat salah
satu dari Rakut Sitelu belum hadir maka acara adat tersebut tidak dapat dimulai.
2.2.4 Mata Pencaharian Masyarakat di Desa Mbaruai
Di Desa Mbaruai sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah
petani dan buruh tani. Dimana petani maksudnya adalah orang yang sudah
mempunyai lahan sendiri untuk diolah dan dapat ditanami berbagai jenis tanaman,
sedangkan buruh tani maksudnya adalah orang yang tidak mempunyai lahan
sendiri, dan bekerja di lahan orang lain dengan menerima upah baik harian
ataupun mingguan.
Hasil pertanian masyarakat Desa Mbaruai adalah padi, coklat, sawit,
karet, jagung, ubi kayu, kelapa, dan palawija yang lainnya. Jenis tanaman yang
banyak di tanam di Desa Mbarua adalah padi dan coklat. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya lahan pertanian masyarakat yang ditanamai dengan tanaman padi dan
coklat yang di jual ke luar daerah asal Desa Mbaruai.
32
Selain dari pertanian masyarakat Desa Mbaruai ada juga yang bekerja
sebagi Pegawai Negeri Sipil yang terdiri dari guru, TNI/POLRI, dan pegawai
swasta yang bekerja di kantor. Serta ada juga masyarakat yang bekerja sebagai
wiraswasta yang meliputi pedagang, bengkel, dorrsmer, peternakan dan lain-lain.
Mata pencaharian masyarakat di Desa Mbaruai pada tahun 2012 dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Mata pencaharian dari masyarakat Desa Mbaruai Tahun 2012
No Nama Pekerjaan Jumlah
1 Petani dan Buruh Tani 788 orang
2 Pegawai: PNS, Guru, TNI/POLRI Swasta, dan lain-lain
108 orang
3 Wiraswasta: Pedagang, Bengkel, Dorrsmer, Depot, Peternakan, dan lain-lain
134 orang
Jumlah total masyarakat yang bekerja 1030 orang
Sumber: Data-data buku kependudukan Sekretariat Desa Mbaruai tahun 2012, jumlah keseluruhan masyarakat Desa Mbaruai yaitu 1452 orang.
2.2.5 Sistem Religi Masyarakat Karo di Desa Mbaruai
Sistem religi pada masyarakat Karo pada zaman dahulu adalah animisme
dan dinamisme. Kata animisme berasal dari bahasa latin, yaitu anima yang berarti
roh. Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh-
roh. Paham animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi mempunyai jiwa
yang mesti dihormati agar jiwa tersebut tidak mengganggu manusia, bahkan roh-
roh tersebut diminta untuk membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos, sedangkan dalam
bahasa Inggris berarti dynamic dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan arti kekuatan, daya, dan kekuasaan. Definisi dari dinamisme memiliki arti
33
tentang kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang memiliki
kekuatan gaib.
Menurut masyarakat Karo, roh manusia yang masih hidup disebut Tendi.
Tendi atau jiwa atau roh manusia yang masih hidup sewaktu-waktu bias
meninggalkan badan manusia, misalnya saat melihat kejadian luar biasa atau
terkejut. Maka untuk itu diperlukan pengadaan upacara yang dipimpin oleh Guru
Sibaso (datu atau dukun) agar tendi itu segera kembali ke badan manusia tersebut.
Tendi yang keluar meninggalkan badan manusia tadi dapat di panggil kembali
melalui upacara Raleng Tendi (atau memanggil Tendi atau roh seseorang) dengan
menggunakan Gendang Kulcapi. Apabila Tendi seseorang keluar dari tubuh untuk
selama-lamanya, maka orang tersebut meninggal dunia (Mate). Masyarakat Karo
menyebut roh manusia yang sudah meninggal dengan sebutan arwah atau Begu.
Kepercayaan terhadap Begu sering di sebut Perbegu atau Sipelbegu yang
diartikan menyembah setan. Adapun untuk menghindari konotasi negatif terhadap
kepercayaan Karo tersebut maka pada tahun 1946 istilah Perbegu diganti menjadi
Pemena yang artinya agama mula-mula, dengan tujuan untuk menghindari
anggapan bahwa kepercayaan bahwa kepercayaan Perbegu menyembah roh-roh
jahat atau menyembah setan (putro 1981:46)
Ada beberapa upacara ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo secara
umum, yang bersifat mistis (gaib) sesuai dengan kepercayaan zaman dahulu,
yaitu:
1. Perumah Begu yaitu upacara pemanggilan arwah seseorang yang sudah
meninggal melalui media Guru Sibaso (dukun)
34
2. Ndilo Tendi upacara ini sering dilakukan apabila ada seseorang yang
terkejut karena mengalami suatu kejadian, baik karena pengelihatan,
pendengaran atau jatuh, hanyut, dan lain-lain. Dimana tendi tersebut akan
meninggalkan tubuhnya karena terkejut.
3. Nengget adalah upacara yang di tujukan pada pasangan suami istri yang
setelah sekian tahun berumah tangga namun belum memiliki anak.
4. Ngarkari ialah upacara menghindari suatu kemalangan yang dialami oleh
suatu keluarga dimana guru sibaso berperan penting dalam upacara ritual.
5. Perselihi ialah upacara pengobatan suatu penyakit seseorang, untuk
memperoleh kesembuhan dan untuk menghindari penyakit menjadi
semakin parah.
6. Ngulaken adalah upacara yang dilaksanakan karena suatu penyakit yang
sengaja di buat oleh seseorang untuk menyerang orang lain hingga orang
tersebut jatuh sakit. Orang yang jatuh sakit tersebut meminta kepada guru
sibaso untuk memantulkan penyakit tersebut kepada si pembuatnya.
7. Erpangir Ku Lau adalah upacara untuk membersihkan diri seseorang atau
keluarga secara keseluruhan, menghilangkan kesulitan, malapetaka, dan
lainnya.
8. Ndilo Wari Udan adalah upacara untuk memanggil turunnya hujan kepada
Tuhan agar kemarau tidak berkepanjangan.
9. Ngeluncang (Muncang) adalah upacara ritual untuk menolak bala dan
mengusir segala pengganggu seperti roh-roh halus agar terhindar dari
bahaya dan bencana alam.
35
10. Njujungi Beras Piher adalah suatu upacara selamatan dan doa agar orang
tersebut dapat diberikan keteguhan iman, berkat, dan lain-lain.
11. Guro- Guro Aron pesta yang dilakukan oleh masyarakat desa setahun
sekali. Guro-guro Aron adalah ungkapan rasa syukur atas pertanian yang
dilaksanakan dalam waktu setahun telah membuahkan hasil yang
melimpah, sehingga masyarakat desa berinisiatif untuk melakukan pesta
syukuran.
Pada saat sekarang ini masyarakat Karo sudah memiliki agama, dan
masyarakat di Desa Mbaruai sudah tidak terlalu percaya kepada kekuatan benda-
benda gaib atau keramat. Menurut Amat Suka Ginting sebagai kepala Desa
Mbaruai ada empat agama yang berkembang di Desa Mbaruai yaitu:
1. Kristen Protestan
2. Kristen Khatolik
3. Islam
Berikut ini tabel yang menunjukkan jumlah masyarakat yang memeluk
kepercayaan dari ke-3 agama diatas:
Tabel 2 Perkembangan Agama di Desa Mbaruai Tahun 2012
No. Agama yang berkembang di masyarakat Jumlah
1 Kristen Protestan 566 orang
2 Kristen Khatolik 496 orang
3 Islam 390 orang
Jumlah seluruh masyarakat Desa Mbaruai 1452 0rang Sumber: Data-data buku kependudukan Sekretariat Desa Mbaruai tahun 2012
36
2.2.6 Sistem Kesenian yang Terdapat pada Masyarakat Karo
Kesatuan alam, budaya dan seni merupakan perwujudan menyeluruh dari
sebuah etnik. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan ragam etnik juga
mempunyai keragaman kesenian yang dimiliki masing-masing etnik tersebut.
Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara
tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan kesenian Karo inilah yang
menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan budayanya. Tapi potensi dan
pengembangan kesenian Karo tidak terlepas dari bagaimana masyarakat Karo
dalam mengapresiasikan kesenian Karo itu sendiri.
Menurut Joey Bangun, dalam Art is My Blood kesenian pada masyarakat
Karo pada umumnya terdiri dari: (1) Seni Sastra, (2) Seni Musik, (3) Seni Suara,
(4) Seni Tari, (5) Seni Pahat dan Seni Ukir, dan (6) Seni Drama
1. Seni Sastra
Bahasa Karo adalah bahasa yang digunakan masyarakat Karo. Ruang
lingkup penggunaan bahasa itu sendiri tidak mengenal ruang dan waktu.
Dimanapun dan pada saat kapanpun jika ada sesame Karo bertemu ataupun bukan
orang karo berhak untuk berdialog dengan bahasa Karo. Aksara Karo merupakan
salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo
bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong,
Komering, dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India selatan,
Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip
dengan Simalungun dan Pakpak Dairi. Aksara Karo dulu di tulis di kulit kayu,
tulang dan bambu.
37
2. Seni Musik
Alat musik tradisional suku Karo biasanya disebut Gendang Lima
Sedalanen yang artinya terdiri dari lima unsur yaitu Sarune, Gendang
Singindungi, Gendang Singanaki, Penganak, dan Gung. Alat Musik tradisional ini
sering digunakan untuk mengiringi tarian, nyayian dan berbagai ritus tradisi.
3. Seni Suara
Seni suara dapat juga diartikan sebagai musik vocal. Pengertian Rende
secara umum adalah bernyanyi, sedangkan Ende-enden berarti nyanyian. Orang
Karo yang pintar bernyanyi disebut Perende-rende. Perende-rende yang biasa
dipanggil untuk bernyanyi sekaligus menari dalam satu konteks upacara disebut
Perkolong-kolong.
Menurut Perikuten Tarigan (2004: 118-119) musik vocal atau nyanyian
dalam kebudayaan masyarakat Karo terdiri dari beberapa jenis, yaitu Katoneng-
Katoneng, Tangis-Tangis, Io-Io, Didong Doah, dan nyanyian percintaan muda-
mudi. Katoneng-Katoneng merupakan suatu musik vocal yang diiringi Gendang
Lima Sedalanen. Seacara komposisi, Katoneng-Katoneng telah memiliki garis
melodi yang baku, namun lirik atau teks dari komposisi tersebut senantiasa
berubah disesuaikan dengan satu konteks upacara. Katoneng-katoneng dapat juga
disebut dengan Pemasu-masun.
Tangis-Tangis adalah nyayian yang berisi tentang kesedihan atau
penderitaan seseorang. Contoh Tangis-Tangis pada masyarakat Karo dapat dilihat
pada upacara kemalangan. Isi dari tema lagu adalah berupa ungkapan kesedihan
38
karena salah satu anggota keluarga telah meninggal dunia. Io-Io merupakan
nyanyian tentang rasa rindu.
Didong Doah adalah rangkaian kata yang disajikan Bibi Sirembah Ku Lau
(saudara perempuan ayah pengantin wanita) pada saat pesta perkawinan
permennya (anak perempuan saudara laki-laki) dengan cara bernyanyi.
4. Seni Tari
Tari dalam bahasa Karo disebut Landek. Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam tari Karo yaitu Endek, Jole atau Jemole, dan Tan Lemampir.
Namun disamping itu bagaimana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam
gerakan-gerakan tari, terkait dengan musik pengiring itu sendiri dan dalam
konteks tarian itu sendiri, misalnya dalam tarian adat, muda-mudi, khusus, dan
sebagainya.
Tarian yang bersifat khusus dan berhubungan dengan peran seseorang
biasanya dipimpin oleh seorang Guru (dukun) misalnya Mulih-Mulih, Tari Baka,
Tari Begu Deleng, Tari Muncang, Tari Tungkat, Erpangir Ku Lau, dan lain-lain.
Tarian yang berkaitan dengan adat dan peranan kelompok-kelompok sosial
tertentu yang sesuai dengan filosofi adat Karo Merga Silima, Tutur Siwaluh, dan
Rakut Si Telu misalnya Tari Kalimbubu, Tari Senina, Tari Anak Beru, dan lain
sebagainya. Tarian yang berkaitan dengan hiburan kepada masyarakat Karo
secara umum. Misalnya Tari Adu Perkolong-kolong, Tari Mayan atau Ndikar
(seni bela diri khas Karo), Tari Gundala-Gundala (Tembut-Tembut Seberaya),
dan lain sebagainya. Tari kreasi baru yang berkaitan dengan muda-mudi yaitu Tari
39
Roti Manis, Tari Terang Bulan, Tari Lima Serangkai, Tari Telu Serangke, Tari
Uis Gara, dan sebagainya.
Pada umumnya tari yang unsur dasarnya adalah gerak dapat kita temui
dalam ritus-ritus dalam upacara-upacara yang ada pada masyarakat Karo. Dengan
demikian setiap gerakan dalam tari mempunyai makna dan filosofi tergantung
jenis tariannya. Disamping itu juga makna gerakan-gerakan tangan juga
mempunyai makna tersendiri.
Menurut Julianus P. Limbeng ada beberapa makna dari gerakan tari Karo
berupa perlambangan, yaitu:
Gerak Tangan Kiri naik, gerakan tangan kanan ke bawah melambangkan
tengah rukur, yaitu maknanya selalu menimbang segala sesuatunya dalam
bertindak;
Gerakan tangan kanan ke atas gerakan tangan kiri ke bawah
melambangkan sisampat-sisampaten, yang artinya saling tolong menolong
dan saling membantu
Gerakan tangan kanan kedepan melambangkan ise pe la banci ndeher adi
lenga si oraten, yang artinya siapa pun tidak boleh dekat kalu belum
mengetahui hubungan kekerabatan, ataupun tidak kenal maka tidak saying
Gerakan tangan memutar dan mengepal mengepal melambangkan
perarihen enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan dan
musyawarah untuk mencapai mufakat, gerakan tangan ke atas
melambangkan ise pe la banci ndeher, artinya siapapun tidak bisa
mendekat dan berbuat sembarangan.
40
Gerakan tangan sampai kepala dan membentuk seperti burung merak,
melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang sebelum
memutuskan, pikirkan dulu pendapat, sesal kemudian tiada berguna
Gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, malambangkan baban simberat
ras menahang ras sibaba, yang bermakna ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul. Artinya mampu berbuat mampu bertanggung jawab dan
serasa sepenanggungan, gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh
tanggung jawab
Dan gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri
melambangkan isepe reh adi enggo ertutur ialo-aloalu mehuli, artinya
siapapun yang datang jika sudah berkenalan dan mengetahiu hubungan
kekerabatan diterima dengan baik sebagai keluarga (kade-kade).
5. Seni Pahat dan Seni Ukir
Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam
bangunannya. Hal ini terlihat dari beberapa jenis seni pahat dan seni ukir dalam
budaya masayarakat Karo secara umum seperti.
a. Pengret-ret adalah suatu ukiran yang terbuat dari ijuk dan merupakan
pengikat untuk memperkuat dinding (derpik) pada Rumah Siwaluh Jabu.
Pengret-ret di ukir dan saling dihubungkan sehingga bentuknya seperti
cecak. Contoh lukisan Pengret-ret pada gambar di bawah ini
41
Gambar 1: Pengeret-ret Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 123)
b. Pucuk Tengiang adalah lukisan yang diukir berbentuk seperti akar pakis
yang terletak pada dinding bagian bawah rumah siwaluh jabu. Contoh
lukisan Pucuk Tenggiang dapat kita lihat pada gambar dibawah ini
Gambar 2: Pucuk Tenggiang
Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 127)
c. Tapak Raja Sulaiman yaitu berupa tali yang terbuat dari ijuk yang diukir
pada dinding rumah adat Karo, Gantang Beru-Beru, dan Ukat. Contoh
lukisan Tapak Raja Sulaiman dapat kita lihat pada gambar di bawah ini
Gambar 3: Tapak Raja Sulaiman Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 121)
42
d. Embun Sikawiten adalah ukiren berbentuk awan yang berarak, di ukir pada
tangkai pisau. Contoh lukisan Embun Sikawiten dapat kita lihat pada
gambar di bawah ini
Gambar 4: Embun Sikawiten Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 121)
e. Keret-Keret Ketadu adalah ukiran yang berbentuk sejenis ulat hijau, di
ukir pada Gantang Beru-Beru, dan Ukat (sendok nasi atau pun sayur).
Contoh lukisan Keret-Keret Ketadu dapat kita lihat pada gambar di bawah
ini:
Gambar 5: Keret-Keret Ketadu Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 128)\
f. Ipen-Ipen adalah ukiran yang pola berbentuk gigi, diukir pada Ciken
(tongkat). Contoh lukisan Ipen-Ipen dapat kita lihat pada gambar di bawah
ini.
Gambar 6: Ipen-Ipen Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 127)
43
g. Lukisan Tonggal yaitu gambar tunggal atau satu-satunya, diukir pada
busan (tempat yang digunakan untuk menyimpan bibit padi atau jagung).
Contoh Lukisan Tunggal dapat kita lihat pada gambar dibawah ini
Gambar 7: Lukisen Tonggal Sumber: Ir. M. Nawaiy Loebis dkk (2004: 128)
6. Seni Drama
Seni drama tergolong langka pada masyarakat Karo. Kalaupun ada
biasanya berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang
berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul garam), Tari Tungkat, dan
Tari Guru.
44
BAB III
UPACARA MUNCANG DALAM KONTEKS BUDAYA
3.1 Sejarah Awal Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa
Mbaruai
Upacara Muncang yang dilaksanakan tidak lepas dari sistem kepercayaan
masyarakat Karo yang dulunya menganut sistem kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sistem kepercayaan masyarakat Karo dulunya di sebut dengan Pemena
atau agama mula-mula. Aliran kepercayaan Pemena ini merupakan sebuah ajaran
yang mempercayai bahwa roh-roh nenek moyang dan benda-benda (seperti
pohon besar, batu besar), dianggap mempunyai kekuatan spiritual yang dapat
memberi pengaruh besar dalam sistem kehidupan masyarakat tersebut sehari-hari.
Implementasi kepercayaan Pemena ini di tunjukkan melalui upacara-upacara yang
dilaksanakan untuk menghormati dan meminta perlindungan dari roh-roh atau
benda benda keramat yang dipercayai mempunyai kekuatan tersebut.
Implementasi yang disebutkan di atas juga dilakukan oleh masyarakat
Karo di daerah Namo Rindang. Pada zaman pembentukan Kuta Namo Rindang,
daerah ini masih di jajah oleh Belanda. Banyak pejuang yang telah gugur dalam
perlawanan melawan penjajah. Perlawanan untuk melawan penjajahan Belanda
oleh masyarakat Kuta Namo Rindang dipimpin oleh Pengulu Kuta. Pengulu Kuta
adalah orang yang membuka atau mendirikan sebuah kampung. Di Kuta Namo
Rindang Pengulu Kuta adalah marga Keliat. Kekuatan perlawanan yang dilakukan
oleh masyarakat di Kuta Namo Rindang terhadap penjajahan Belanda yang masih
terlalu kecil sehingga Pengulu Kuta Namo Rindang berinisiatif untuk memperluas
45
basis perlawanannya. Untuk memperluas basis perlawanan tersebut Pengulu Kuta
memanggil sanak saudaranya untuk membentuk dua kampung lagi yaitu Kuta
Suka Rakyat dan Kuta Rumah Tualah. Kedua kampung tersebut adalah bagian
dari Kuta Namo Rindang.
Selain perjuangan tesebut Pengulu Kuta juga mempunyai kekuatan untuk
mengorganisir kekuatan-kekuatan mistis roh-roh leluhurnya untuk membantu
perjuangannya. Pengulu Kuta dipercaya mampu untuk berkomunikasi dengan roh-
roh leluhur mereka agar roh leluhur mereka tersebut bersedia untuk menjaga dan
membantu masyarakat dalam perjuangannya. Untuk ketiga Kuta kembar, Kuta
Namorindang, Kuta Rumah Tualah, dan Kuta Suka Rakyat, Pengulu Kuta
mempercayakan penjagaan kampung kepada roh Debata Porling. Semasa
hidupnya Debata Purling adalah seorang panglima yang mempunyai kesaktian
dan kekuatan yang lebih dari orang-orang pada umumnya. Selain itu Debata
Porling adalah seorang panglima yang berjuang gagah berani dalam membela
masyarakat di Kuta Namo Rindang dari penjajahan Belanda. Kegagahannya di
tunjukkan sampai saat-saat terakhir sebelum ia gugur ditembak tentara penjajah.
Saat Debata Porling ditangkap ia tidak mau menyerah dan mengejek dengan cara
menungging ke arah penjajah Belanda, pada saat itulah tentara penjajah
menembak bagian dubur dan peluru tembus sampai ke mulutnya.
Untuk menghormati dan mengenang para leluhur tersebut, Pengulu Kuta
bersama dengan masyarakat melakukan musyawarah dan berinisiatif untuk
membuat sebuah tempat penghormatan kepada para leluhur masyarakat Kuta
Namo Rindang. Tempat penghormatan itu disebut dengan Mabar. Dalam
pengesahan tempat penghormatan leluhur tersebut dilakukan upacara yang
46
dinamakan Muncang. Pada waktu inilah awal dari upacara Muncang dilakukan di
Namo Rindang. Selain Mabar, tempat lain yang disakralkan oleh masyarakat
Namo Rindang adalah makam Debata Porling.
Menurut masyarakat Namo Rindang, dalam roh-roh leluhur mereka juga
mempunyai stuktur seperti struktur pada sistem kerajaan. Struktur tesebut terdiri
atas pemimpin, penasehat, panglima dan lain-lain seperti sruktur pada sistem
kerajaan. Struktur pada roh-roh leluhur mereka inilah yang disebut dengan
Tembun-Tembunen Kuta. Mabar adalah sebuah pohon besar yang dipercayai
sebagai tempat Tembun-Tembunen bersemayam.
3.2 Perencanaan Upacara Muncang
Komponen-komponen upacara ritual dapat di deskripsikan menjadi 4
bagian (Koentjaraningrat 1985:243) yaitu:
1. Tempat Upacara
2. Waktu Pelaksanaan Upacara
3. Benda-Benda dan Alat Upacara
4. Serta Orang yang Melakukan dan memimpin Upacara
Dengan melihat pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka adapun
perencanaan yang dibutuhkan untuk melaksanakan upacara Muncang adalah
1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Upacara Muncang
2. Perlengkapan Upacara Muncang
3. Guru sibaso pada upacara Muncang
47
3.2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Upacara Muncang
Untuk melaksanakan upacara Muncang maka harus terlebih dahulu harus
diketahui tempat dan waktu pelaksanannya. Sesuai dengan hasil musyawarah
Sukut6 dan semua masyarakat Namo Rindang maka tempat pelaksanaan yaitu di
Balai Desa yang terdapat di Namo Rindang.
Gambar 8: Balai Desa Namo Rindang
Sesuai hasil musyawarah Sukut dan masyarakat Namo Rindang bahwa
pelaksanaan Upacara Muncang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 2011.
Waktu pelaksanaan dilaksanakan jam 08.00 WIB sampai dengan selesai pada sore
hari. Pemilihan tanggal dan hari dipilih berdasarkan hari-hari Karo yang disebut
dengan niktik wari. Niktik wari adalah memilih hari dan tanggal yang baik dalam
melakukan aktivitas pada masyarakat Karo, seperti melakukan upacara, menanam
padi, pesta perkawinan, dan lain-lain.
3.2.2 Perlengkapan Upacara Muncang
6 Sukut adalah semua keturunan (titisan) Pengulu Kuta bermarga Keliat
48
Untuk Melaksanakan Upacara Muncang dibutuhkan beberapa
perlengkapan yaitu:
1. Pangan-Panganen (sesajen) 2. Gendang Lima Sedalanen 3. Perlengkapan Guru Sibaso 4. Sound Sistem Dan Genset
3.2.2.1 Pangan-panganen (Sesajen)
Dalam upacara Muncang ada beberapa sesajen yang di siapkan berupa
beberapa macam makanan yang telah disiapkan untuk roh-roh leluhur. Pada saat
upacara berlangsung roh-roh leluhur melalui mediator akan meminta makanannya
(sesajen) yang telah dipersiapkan. Adapun Pangan-panganen (sesajen) yang
dipersiapkan kepada roh-roh leluhur adalah sebagai berikut.
1. Sangkep Manuk Megara
Sangkep Manuk Megara adalah ayam yang bulunya berwarna merah
digulai dengan santan. Ayam tersebut digulai secara utuh atau tanpa di
potong-potong. Sangkep Manuk Megara adalah Pangan- panganen
(sesajen) yang diperuntukkan kepada roh-roh leluhur yang memiliki
jabatan sebagai Panglima.
2. Sangkep Manuk Megersing
Sangkep Manuk Megersing adalah ayam yang bulunya berwarna kuning
digulai dengan santan. Ayam tersebut digulai secara utuh atau tanpa di
potong-potong. Sangkep Manuk Megersing adalah pangan- panganen
(sesajen) yang diperuntukkan kepada roh-roh leluhur yang memiliki
jabatan sebagai orang tua.
3. Sangkep Manuk Mentar
49
Sangkep Manuk Mentar adalah ayam yang bulunya berwarna putih digulai
dengan santan. Ayam tersebut digulai secara utuh atau tanpa di potong-
potong. Sangkep Manuk Mentar adalah pangan- panganen (sesajen) yang
diperuntukkan kepada roh-roh leluhur yang dinamakan Bicara Guru.
Bicara Guru adalah roh-roh leluhur yang dulunya meninggal pada saat
masih bayi.
4. Biang Mbiring
Biang mbiring adalah seekor anjing berwarna hitam yang di panggang,
kemudian dimasak dengan cara digulai. Biang Mbiring adalah Pangan-
Panganen (sesajen) yang diperuntukkan kepada roh leluhur Debata
Porling.
5. Apel dan Jeruk
Apel dan Jeruk adalah Pangan-Panganen (sesajen) yang diperuntukkan
kepada roh leluhur yang di sebut Nini Petir.
Selain kelima Pangan-Pangaen (sesajen) diatas ada beberapa (sesajen)
tambahan untuk melengkapi Pangan-Panganen yang dipersiapkan yaitu:
1. Cimpa Rambai-Rambai
Cimpa Rambai-Rambai adalah beras yang tumbuk halus di taburi sedikit
garam. Setelah halus adonan ditempelkan pada daun pandan kemudian di
kukus.
50
2. Cimpa Buka Siang
Cimpa Buka Siang adalah beras yang ditumbuk halus , kemudian diberi
garam, merica, kelapa parut, dan gula merah. Bahan-bahan tersebut di
ditumbuk dan di haluskan bersama.
3. Cimpa Unung-Unung
Cimpa Unung-Unung adalah beras ketan yang ditumbuk halus di campur
dengan santan kelapa. Saat di bungkus di tengah-tengahnya diberi
campuran kelapa parut dan gula merah.
4. Kelapa muda, Pisang Masak, Air Nira Manis (air nira berasal dari batang
pohon enau yang di sadap).
3.2.2.2 Perlengkapan Guru Sibaso
Dalam Upacara Muncang ada beberapa perlengkapan yang disiapkan untuk
Guru Sibaso yaitu:
1. Beras Pengian-ngiani
Beras Pengian-ngiani adalah beras, telor ayam kampung satu butir,
gambir, sirih, pinang, kapur sirih, gula aren satu keping, pisau belati satu
buah, dimasukkan dalam satu buah wadah yang di sebut sumpit mentar.
Sumpit Mentar adalah anyaman dari daun pandan yang dibentuk
menyerupai wadah.
2. Pukulen ( Upah)
Pukulen (Upah) adalah Beras, Amak Mentar (tikar putih), satu ekor ayam
kampung, gula aren, kelapa, dan sejumlah uang.
51
3. Pakaian dan senjata
Pakaian yang dipersiapkan adalah kain berwarna merah, kain berwarna
putih, dan Peci putih. Sedangkan senjata yang di persiapkan adalah dua
buah pedang.
4. Perlengkapan Tambahan
Selain perlengkapan diatas ada beberapa perlengkapan tambahan lain
yang di sediakan pada saat upacara yaitu Jeruk Purut (bahan Lau
Penguras), minyak kelapa, bunga pinang Tanduk, Amak Mentar (tikar
putih), kemenyan dan kain putih,
5. Langkaten
Langkaten adalah tempat meletakkan Pangan-Panganen (sesajen) dan
semua perlengkapan yang disiapkan pada saat proses upacara
berlangsung. Langkaten dihisasi dengan daun janur enau muda, pinang
rangkai dan di setiap sudut dari langkaten tersebut di letakkan daun
Mbertuk. Langkaten dibuat pada dua tempat berbeda, yang pertama
Langkaten terletak di sudut balai Desa dan yang kedua di terletak di
Mabar dan Kuburan Debata Porling.
Gambar 9: Langkaten
52
3.2.2.3 Gendang Lima Sedalanen
Gendang Lima Sedalanen yaitu Gendang dalam kasus ini berarti alat
musik, Lima berarti lima, dan Sedalanen berarti sejalan atau secara bersama sama.
Jadi dari penjelasan diatas pengertian Gendang Lima Sedalanen adalah lima
buah instrumen musik yang dimainkan sejalan atau bersana-sama. Gendang Lima
Sedalanen adalah seperangkat (ensambel) instrumen musik Karo yang terdiri dari
Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi, Gong dan Penganak.
Instrumen-instrumen musik di dalam Gendang Lima Sedalanen memiliki fungsi
masing- masing. Sarune sebagai pembawa melodi, sedangkan Gendang
Singanaki, Singindungi, Gung dan Penganak sebagai pembawa ritem dan tempo.
Pada upacara Muncang, Gendang Lima Sedalanen sangat berperan penting
dalam pelaksanaan upacara Muncang. Menurut Arus Keliat, upacara Muncang
tidak dapat dilaksanakan jika tidak memakai pengiring Gendang Lima Sedalanen.
Dalam hal ini dapat dipahami bagaimana pentingnya Gendang Lima Sedalanen
digunakan sebagai pengiring dalam upacara.
Gendang Lima Sedalanen pada upacara muncang di Namo Rindang
dimainkan oleh lima orang pemain orang Penggual (pemain), yaitu Ismail
Sembiring, Bantu Ginting, Jabal Sembiring, Anto Sinulingga, dan Orde Sitepu
3.2.2.4 Sound System
Dalam Upacara Muncang sound sistem digunakan sebagai pengeras suara.
Sound sistem berfungsi mengeraskan suara yang dihasilkan oleh Gendang Lima
Sedalanen sebagai musik pengiring dalam upacara. Sound system juga sudah
dilengkapi dengan mixer yang berfungsi untuk menampung semua suara yang
53
berhubungan dengan Gendang Lima Sedalanen. Setiap alat musik diberi sebuah
microfone sebagai penangkap suara. Selain itu protokol dalam upacara juga
menggunakan microfone sebagai pengeras suara agar terlaksananya upacara
secara teratur. Sound system digunakan berfungsi untuk komunikasi yang lebih
terarah dan teratur dari protokol (pengarah acara).
Genset juga merupakan perlengkapan pendukung pada upacara Muncang,
dan di butuhkan apabila terjadi pemadaman arus listrik pada saat upacara
Muncang berlangsung. Apabila terjadi pemadaman listrik maka genset akan
dihidupkan untuk di hubungkan dengan sound system agar upacara yang
berlangsung terlaksana dengan baik.
3.2.3 Guru Sibaso pada Upacara Muncang
Menurut Jabal Sembiring, Guru Sibaso adalah seseorang yang bisa
melakukan komunikasi dengan dunia roh atau mistis.7 Guru Sibaso biasanya
dapat mengetahui dan mampu untuk menjadi perantara bagi roh-roh tersebut .
Selain berkomunikasi, Guru Sibaso juga dapat mengkordinir roh-roh tersebut saat
dilaksanakannya upacara-upacara ritual pada masyarakat Karo. Guru Sibaso
adalah mediator pada upacara upacara-upacara ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Karo.
Pada upacara Muncang tanggal 28 oktober di Namo Rindang yang menjadi
Guru Sibaso adalah Prista Imanuel Keliat dan Wina Sitepu. Kedua remaja ini
adalah keturunan (titisan) dari Pengulu Kuta Namorindang. Menurut Arus Keliat,
kedua anak remaja ini mampu melakukan komunikasi dengan roh-roh leluhur
7 Wawancara dengan Bapak Jabal Sembiring 29 Maret 2012
54
mereka. Kedua keturunan (titisan) pengulu kuta ini sering mengalami keadaan
diluar kesadaran (trance). Kedua titisan tersebut menjadi media perantara bagi
roh-roh leluhur (Tembun-Tembunen Kuta) untuk berkomunikasi dengan
masyarakat desa bila ada hal-hal yang ingin di sampaikan oleh masyarakat dan
begitu juga sebaliknya . Dengan melihat kemampuan tersebut maka kedua titisan
dipercaya oleh masyarakat Namo Rindang sebagai Guru Sibaso pada upacara
Muncang pada tanggal 28 oktober 2011.
Pada upacara Muncang Guru Sibaso berfungsi untuk mengkordinir,
memimpin dan menjadi mediator pada saat upacara dilaksanakan. Guru Sibaso
memiliki kemampuan untuk mengetahui roh-roh yang akan di mediasi. Selain itu,
Guru Sibaso berfungsi untuk menghalau apabila ada roh-roh jahat yang
mengganggu saat upacara berlangsung.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat yang berperan sebagai Guru Sibaso
adalah kedua remaja titisan dari Pengulu Kuta Namo Rindang. Jadi kedua remaja
tersebut memimpin setiap kegiatan yang dilakukan pada upacara Muncang pada
tanggal 28 Oktober 2011 di Namo Rindang.
55
BAB IV
FUNGSI DAN PENGGUNAAN GENDANG LIMA SEDALANEN PADA
UPACARA MUNCANG
4.1 Pengantar
Alan P. Merriam (1964:210-222) membedakan penggunaan dan kegunaan
musik. Penggunaan musik dalam masyarakat sering disadari dan diakui oleh
pewaris budaya musik itu sendiri. Penggunaan dilakukan dalam konteks upacara
yang dilihat pada saat itu juga. Penggunaan musik mencakup semua kebiasaan
memakai musik, dan sebagai suatu aktifitas lain. Fungsi musik tidak disadari oleh
suatu budaya musik dalam suku bangsa tertentu, padahal fungsi musik itu sendiri
mempunyai dampak yang lebih mendalam dan jauh.
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Alan P. Merriam, maka Gendang
Lima Sedalanen dalam kebudayaan Karo merupakan musik yang digunakan untuk
mengiringi upacara Muncang yang diadakan pada tanggal 28 oktober 2011 di
Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai.
Untuk melihat sejauh apa fungsi musik dalam upacara Muncang,
diperlukan penjelasan mengenai jalannya upacara agar kita dapat melihat pada
bagian-bagian acara mana saja Gendang Lima Sedalanen dimainkan. Berikut ini
adalah kronologis pelaksanaan upacara Muncang pada masyarakat Karo di Namo
Rindang.
56
4.2 Kronologis Jalannya Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang
Desa Mbaruai.
Secara garis besar jalannya upacara Muncang ini dibagi ke dalam dua
bagian, yaitu kegiatan pra-upacara dan kegiatan upacara. Berikut ini akan dibahas
mengenai kedua bagian tersebut.
4.2.1 Kronologis kegiatan Pra-Upacara Muncang 28 Oktober 2011
Menurut Efendi Ginting, kegiatan muncang ini diadakan sebagai hasil dari
sebuah kesepakatan masyarakat yang diambil dalam musyawarah yang diadakan
di desa tersebut.8 Musyawarah tersebut dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2011.
Pengulu Kuta mengundang semua masyarakat untuk hadir dalam musyawarah
tersebut guna membahas tentang perencanaan pelaksanaan upacara Muncang.
Musyawarah ini menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab dalam
mempersiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan pada upacara Muncang.
Satu hari sebelum upacara Muncang diadakan, masyarakat membersihkan
lokasi-lokasi yang akan digunakan dalam pelaksanaan upacara. Lokasi yang akan
dibersihkan adalah Mabar dan makam Debata Porling. Dalam pembersihan ini
semua masyarakat Namo Rindang berkumpul di rumah Pengulu Kuta Namo
Rindang. Sebelum keberangkatan menuju Mabar dan makam Debata Porling,
Sukut membersihkan diri dengan membasuh kaki, tangan, kepala dengan Lau
Penguras dan Mengasap dengan kemenyan untuk menyucikan diri agar kegiatan
esok hari dapat terlaksana dengan baik karena mereka adalah pelaksana pada
kegiatan upacara. Setelah tiba di lokasi Mabar dan makam Debata Porling, maka
8 Wawancara dengan Bapak Efendi Ginting tanggal 1 Februari 2012
57
Sukut mengawali pembersihan lokasi dan kemudian diikuti oleh masyarakat Namo
Rindang. Setelah selesai dibersihkan, lokasi pelaksanaan upacara dihias dengan
daun janur kuning dan bunga pinang Tanduk dan kemudian ditempatkan sebuah
wadah untuk meletakkan Pangan-Panganen (sesajen) yang di sebut dengan
Langkaten9. Setelah wadah diletakkan, proses persiapan lokasi pelaksanaan
upacara pun selesai.
Setelah pembersihan Mabar dan makam Debata Porling, pada malam
harinya masyarakat Namo Rindang berkumpul kembali di rumah Pengulu Kuta.
Acara yang dilakukan adalah memberangkatkan Sinutu Cimpa. Sinutu Cimpa
adalah orang yang ditugaskan untuk menumbuk Cimpa yang akan
dipersembahkan kepada leluhur. Sinutu Cimpa berjumlah dua orang perempuan
yang dipilih dari masyarakat Namo rindang. Kedua perempuan yang dipilih
tersebut memiliki status belum menikah dan masih memiliki kedua orang tua yang
lengkap (tidak yatim piatu). Menurut informasi yang penulis dapatkan dari
narasumber, dahulunya kegiatan Sinutu Cimpa ini diiringi oleh musik Gendang
Lima Sedalanen. Namun, dikarenakan faktor biaya, kegiatan ini tidak lagi diiringi
oleh Gendang Lima Sedalanen. Setelah kegiatan Sinutu Cimpa selesai diadakan,
selesai pula kegiatan pra-upacara Muncang dan upacara siap untuk dilaksanakan.
4.2.2 Kronologis Jalannya Upacara Muncang
Pada upacara Muncang yang diadakan tanggal 28 Oktober 2011, terdapat
beberapa tahapan yang dilakukan. Rangkaian tahapan tersebut adalah;
9 Langkaten adalah tempat untuk meletakkan Pangan-panganen (sesajen)
58
1. Persiapan
2. Ndahi Tembun-Tembunen
3. Perumah Begu
4.2.2.1 Persiapan
Kegiatan ini merupakan sebuah kegiatan yang tujuannya untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang akan dipergunakan dalam pelaksanaan
upacara. Masyarakat Namo Rindang berkumpul di Balai Desa. Sukut dengan di
bantu masyarakat mempersiapkan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan,
seperti Pangan-Panganen (sesajen), perlengkapan Guru Sibaso, dan
perlengkapan-perlengkapan lainnya yang mendukung pelaksanaan upacara. Selain
itu Sukut melakukan pembersihan diri dengan cara membasuh diri dengan minyak
kelapa dan jeruk purut. Salah seorang dari Sukut membawa minyak kelapa dan
jeruk purut dalam sebuah mangkok putih menemui satu per satu Sukut. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menyucikan tubuh, dengan harapan agar upacara
dapat berjalan dengan baik.
Gambar 10: Sukut melakukan pembersihan diri dengan minyak kelapa dan jeruk purut
59
Selain itu, dalam persiapan ini ditentukan pula posisi setiap pengisi acara
di dalam Balai Desa. Penggual yang telah tiba di Balai Desa segera
mempersiapkan alat musik mereka dan duduk di amak mentar (tikar putih) yang
telah di persiapkan sebelumnya. Sound man juga segera mempersiapkan
Microphone pada setiap alat musik Karo yang akan dimainkan oleh penggual.
Setelah semua perlengkapan dan peralatan yang diperlukan sudah tersedia
pada tempatnya, Penggual memainkan Gendang Lepas sebagai penghormatan
kepada roh-roh yang ada di sekitar Kuta Namo Rindang. Hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya gangguan dari roh-roh jahat yang ingin menggangu
jalannya upacara berlangsung. Acara Gendang Lepas ini dilakukan khusus oleh
tim Penggual saja.
Setelah Gendang Lepas selesai dimainkan, salah seorang Sukut melakukan
komunikasi dengan Guru Sibaso yang sudah dimasuki oleh roh leluhur untuk
mengetahui apakah persiapan sudah sesuai dengan yang mereka inginkan. Setelah
mendapat persetujuan dari roh leluhur, maka upacara siap untuk dimulai.
Gambar 11: Sukut menanyakan Guru Sibaso mengenai persiapan upacara
60
4.2.2.2 Ndahi Tembun-Tembunan
Ndahi Tembun-tembunen adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menjemput Tembun-Tembunen (roh-roh leluhur) yang bertempat di
sebuah pohon mereka sebut Mabar dan makam Debata Porling. Proses menuju
lokasi tersebut dilakukan dengan cara arak-arakan. Kegiatan Arak-arakan Ndahi
Tembun-tembunen ini dipimpin oleh Sukut yang berjenis kelamin perempuan dan
dituakan sambil membawa wadah yang berisi beras dan sesajen, kemudian diikuti
oleh Guru Sibaso, Penggual, dan masyarakat. Selama proses Arak-arakan ini,
penggual membawa alat musik sambil berjalan dengan bantuan masyarakat dan
memainkan Gendang Siarak-Araki Guru. Sukut yang berada di barisan depan
memercikkan beras ke berbagai penjuru sambil meneriakkan kata
“alop…..alopa…lopa…” yang dipimpin oleh seorang Sukut yang paling tua dan
kemudian diikuti oleh seluruh masyarakat yang ikut dalam arak-arakan. Teriakan
tersebut dilakukan karena dipercayai mampu menambah semangat mereka.
Gambar 12: Arak-arakan yang dipimpin oleh Sukut wanita menuju Mabar dan makam Dibata
Porling
61
Gambar 13: Penggual memikul Gung dengan bantuan seorang masyarakat Namo Rindang
Setelah sampai di Mabar, barisan arak-arakan kemudian mengelilingi
sambil tetap diiringi oleh repertoar Gendang Guru meliputi komposisi Gendang
Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk, dan Gendang
Peselukken. Sukut kemudian meletakkan sesajen di Langkaten yang sudah
dipersiapkan sebelumnya sambil mengasapi dengan kemenyan. Setelah itu, Mabar
pun dikelilingi dengan menggunakan kain putih. Selanjutnya Guru Sibaso dan
Sukut masuk dalam celah diantara makam dengan kain putih tersebut lalu mulai
mengelilingi makam sambil menari. Kain putih tersebut dianggap mampu
mempermudah proses trance.
Gambar 14:
Seluruh arak-arakan masyarakat Namo Rindang tiba di Mabar
62
Gambar 15: Guru Sibaso dan Sukut mengelilingi Mabar yang diselubungi kain putih
Dalam proses ini penggual terus memainkan repertoar Gendang Guru
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sukut pun mengelilingi Mabar sambil
menari mengikuti irama repertoar Gendang Guru tersebut. Ketika Gendang
Peselukken dimainkan terjadi reaksi yang berbeda pada Guru Sibaso. Guru Sibaso
kelihatan mengalami suatu keadaan diluar kesadaran atau dalam bahasa
etnomusikologi disebut trance. Dibawah pimpinan Guru Sibaso terlihat beberapa
Sukut yang ikut mengalami trance. Tidak hanya satu atau dua orang saja yang
mengalami, tetapi bisa enam sampai sepuluh orang. Hal ini dikarenakan
sebagaimana yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya mengenai konsep
Tembun-Tembunen yang memiliki struktur seperti kerajaan. Roh-roh leluhur yang
memasuki mediator tersebut akan menunjukkan kesaktian dan karakter mereka
masing-masing selama mereka masih hidup dahulu. Kesaktian tersebut mereka
tunjukkan dengan membuat gerakan- gerakan seperti tarian-tarian perang,
keahlian mereka memainkan pedang, dan ada juga yang menunjukkannya
meyerupai seperti binatang.
63
Gambar 16: Penggual memainkan Gendang Lima Sedalanen di lokasi Mabar
Gambar 17: Guru Sibaso mengalami Trance
64
Salah seorang Sukut ternyata kemasukan oleh roh yang memiliki
kekuasaan tertinggi di dalam Tembun-tembunen. Semasa hidupnya roh ini adalah
seorang Penghulu kuta dan masyarakat memberikan gelar Datuk10 kepadanya.
Ketika masyarakat mengetahui bahwa salah seorang Sukut kemasukan roh Datuk,
mereka pun mendatangi Sukut tersebut untuk berkomunikasi dan mendengarkan
hal-hal yang ingin disampaikan roh leluhur mengenai masalah-masalah apa yang
sering terjadi di desa tersebut. Selain itu roh-roh leluhur tersebut juga
menyampaikan pesan-pesan kepada seluruh masyarakat Namo Rindang.
Gambar 18: Masyarakat berkomunikasi dengan roh leluhur yang memasuki tubuh salah
seorang Sukut
10 Datuk adalah sebutan untuk roh tertinggi (pemimpin) dalam struktur Tembun-tembunen
65
Setelah proses komunikasi selesai dilakukan, roh leluhur yang memasuki
tubuh Guru Sibaso diarak kembali menuju Balai Desa. Guru Sibaso diarak dengan
membentangkan tikar putih sebagai pijakan kakinya sampai menuju Balai Desa.
Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan penduduk desa terhadap leluhur
mereka. Setelah tiba di Balai Desa kegiatan dihentikan sementara untuk
melakukan makan siang bersama. Setelah makan selesai upacara dilanjutkan
dengan kegiatan Perumah Begu
4.2.2.3 Perumah Begu
Perumah Begu merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk
memanggil roh-roh yang sudah dijemput dari Mabar agar masyarakat dapat
berkomunikasi dengan para roh leluhur. Roh-roh leluhur ini dipanggil untuk dapat
membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang
terjadi dalam desa.
Perumah Begu dimulai oleh Guru Sibaso yang melakukan komunikasi
dengan para roh leluhur. Komunikasi ini dilakukan untuk meminta kepada roh
leluhur agar berkenan masuk ke dalam tubuh Guru Sibaso. Berdasarkan kondisi
yang penulis saksikan dan menurut informasi dari Bapak Efendi Ginting, ada 4
tahapan yang terjadi dalam Perumah Begu yaitu,11
1. Perumah Begu Nini Petir
2. Perumah Begu Situa-tua
3. Perumah Begu Dibata Porling
4. Perumah Begu Si Jogal
11 Wawancara dengan Bapak Efendi Ginting tanggal 1 Agustus 2012
66
4.2.2.3.1 Perumah Begu Nini Petir
Perumah Begu Nini Petir adalah kegiatan pemanggilan roh Nini Petir.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Bapak Arus Keliat bahwa roh Nini
Petir adalah roh yang dianggap memiliki kemampuan untuk untuk mengatur
cuaca.12 Roh ini dipanggil dengan tujuan agar masyarakat dapat berkomunikasi
dan meminta kepadanya agar diberikan cuaca yang baik untuk membantu kegiatan
pertanian yang dilakukan oleh masyarakat desa. Ciri-ciri dari roh Nini Petir ini
dapat dilihat dari sesajen yang diminta, yaitu buah-buahan seperti buah apel dan
jeruk. Dalam kegiatan ini tidak ada musik pengiring yang dimainkan.
Gambar 19:
Guru Sibaso yang kemasukan roh Nini Petir memakan sesajen berupa buah
12 Wawancara dengan Bapak Arus Keliat tanggal 1 Agustus 2012
67
4.2.2.3.2 Perumah Begu Situa-tua
Perumah Begu Situa-tua adalah kegiatan pemanggilan roh orang-orang
yang dahulunya dituakan dan dihormati semasa hidupnya. Tujuan dari
dipanggilnya roh Situa-tua ini adalah agar masyarakat dapat meminta petunjuk
dan nasehat di dalam menjalani kehidupan bermasyarakat di desa tersebut. Jika
roh ini sudah masuk, tubuh Guru Sibaso akan di pakaikan jubah putih dan
dikenakan peci putih diatas kepalanya. Roh ini biasanya meminta sesajen berupa
Sangkep Manuk Megersing. Dalam kegiatan ini musik pengiring juga tidak
dimainkan.
Gambar 20: Roh leluhur Situa-tua yang memasuki tubuh Guru Sibaso
4.2.2.3.3 Perumah Begu Dibata Porling
Perumah Begu Dibata Porling adalah kegiatan pemanggilan roh Dibata
Porling. Dibata Porling adalah roh yang semasa hidupnya adalah seorang
panglima yang sakti dan berjuang untuk desa seperti yang dibahas pada bab
sebelumnya. Untuk mengiringi pemanggilan, musik Repertoar Gendang Guru
pun dimainkan. Ketika musik dimainkan, Guru Sibaso mulai melakukan gerakan
68
seperti tarian dan silat yang menjadi ciri dari Dibata Porling. Guru Sibaso
kemudian meminta pedang dan ikat kepala berwarna merah lalu kembali
melakukan gerakan silat tersebut dengan menggunakan pedang. Hal ini untuk
menunjukkan kesaktiannya semasa hidupnya dahulu bahwa dia merupakan
panglima yang sakti. Pada saat ini biasanya bukan hanya Guru Sibaso yang
mengalami trance. Hal ini disebabkan roh Dibata Porling membawa serta
prajurit-prajuritnya untuk hadir. Beberapa orang sukut mengalami trance dari roh-
roh prajurit-prajurit Dibata Porling tersebut. Sesajen yang menjadi santapannya
adalah Gulai Biang Biring (anjing hitam).
Gambar 21:
Roh Dibata Porling yang memasuki salah seorang Sukut meminta Pangan-panganen Gulai Biang
69
Gambar 22: Roh Dibata Porling yang memasuki salah seorang Sukut memakan Pangan-
panganen Gulai Biang
Dibata Porling kemudian melakukan interaksi dengan masyarakat dan
menanyakan hal-hal apa yang perlu dia lakukan untuk masyarakat. Biasanya
masyarakat meminta bantuan kepada Dibata Porling untuk mengobati berbagai
macam penyakit dan memberikan pasu-pasu kepada balita yang dibawa
orangtuanya kepadanya. Setelah tidak ada lagi masyarakat yang meminta, dia dan
prajuritnya pun keluar dari tubuh mediator.
70
Gambar 23: Masyarakat melakukan komunikasi dengan alah seorang Sukut yang sudah
dimasuki roh Dibata Porling
4.2.2.3.4 Perumah Begu Si Jogal
Perumah Begu Si Jogal adalah pemanggilan terhadap roh yang menjaga
kampung yang disebut Si Jogal. Si Jogal ini memiliki dua orang pengawal dan
pemanggilannya diiringi dengan musik Gendang Guru. Ketika Si Jogal dan
pengawalnya sudah masuk ke dalam tubuh mediator, mereka meminta agar
dipakaikan pakaian kebesaran mereka yaitu jubah putih dan sorban berwarna
putih. Setelah dikenakan pakaian kebesarannya, Si Jogal lalu meminta bunga
pinang lalu dia membawanya sambil menari dan memberikannya kepada
Penggual sebagai tanda penghormatan.
71
Gambar 24:
Guru Sibaso memakai jubah putih dan sorban putih
Gambar 25: Guru Sibaso memberikan bunga pinang kepada Penggual sebagai tanda
kehormatan
72
Setelah memberikan bunga pinang, Si Jogal meminta pedang lalu menari
dengan gerakan-gerakan seperti silat untuk menunjukkan kesaktiannya. Kemudian
Si Jogal keluar dari balai desa dan mulai mengelilingi desa dan masuk ke dalam
rumah-rumah penduduk sambil terus melakukan gerakan-gerakan seperti silat itu
dengan diiringi musik yang dimainkan dari dalam balai desa. Berdasarkan
informasi yang penulis dapatkan dari Bapak Arus Keliat, hal tersebut dilakukan Si
Jogal untuk mengusir roh-roh jahat yang ada di sekitar daerah Namo Rindang.13
Setelah selesai mengelilingi desa, dia kembali ke dalam Balai Desa dan menambil
posisi untuk melakukan komunikasi serta melayani masyarakat yang meminta
bantuan kepadanya. Biasanya masyarakat meminta penyembuhan atas penyakit
yang mereka derita. Setelah selesai berkonsultasi dengan penduduk, Si Jogal pun
meninggalkan tubuh mediator dan musik pun berhenti.
Gambar 26:
Si jogal dalam tubuh mediator mengelilingi kampung untuk mengusi r roh-roh jahat
13 Wawancara dengan Bapak Arus Keliat tanggal 1 Agustus 2012
73
Gambar 27: Si Jogal dalam tubuh mediator memberikan pengobatan kepada masyarakat
4.2.2.3.5 Pemberian Pukulen Kepada Guru Sibaso dan Penggual
Kegiatan terakhir dari upacara Muncang ini adalah pemberian Pukulen
(Imbalan) kepada Guru Sibaso dan Penggual. Pukulen ini terdiri dari beras, Amak
mentar (tikar putih), satu ekor ayam kampung, gula aren, kelapa, dan sejumlah
uang. Setelah pukulen diberikan maka upacara Muncang telah selesai
dilaksanakan.
4.3 Pembahasan
Pada upacara Muncang di Namo Rindang musik Karo yang digunakan
untuk mengiringi adalah Gendang Lima Sedalanen. Bunyi yang dihasilkan dari
permainan musik Gendang Lima Sedalanen pada upacara Muncang adalah
reportoar Gendang Guru. Di dalam reportoar Gendang Guru terdapat beberapa
komposisi yaitu Gendang Siarak-araki Guru, Gendang Siadang-adangi, Gendang
74
Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk, dan Gendang Peselukken. Pada sub-bab ini
akan dibahas tentang fungsi musik pada upacara Muncang di Namo Rindang.
4.3.1 Gendang Guru
Pada upacara Muncang di desa Mbaruai musik yang digunakan adalah
reportoar Gendang Guru. Menurut Bapak Jabal Sembiring musik reportoar
Gendang Guru tersebut terdapat beberapa komposisi lagu yang dimainkan secara
bersamaan yaitu Gendang Siarak-araki Guru, Gendang Siadang-adangi, Gendang
Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk, dan Peselukken.
Dalam upacara Muncang di Desa Mbaruai pemakaian reportoar Gendang
Guru dapat dilihat saat mengiringi arak-arakan Ndahi Tembun-Tembunen dan
Perumah Begu . Komposisi-komposisi yang digunakan untuk mengiringi arak-
arakan Ndahi Tembun-tembunen adalah Gendang Siarak-araki Guru, Gendang
Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk, dan Gendang
Peselukken. Saat dimainkan komposisi-komposisi tersebut menjadi sebuah
kesatuan iringan musik yang sambung menyambung tanpa henti. Hal ini dapat
kita lihat pada kegiatan Ndahi Tembun-tembunen, musik diawali dengan
komposisi Gendang Siarak-araki Guru untuk mengiringi arak-arakan dari Balai
Desa menuju Mabar dan makam Debata Porling, setelah sampai di makam
Debata Porling dimana Guru Sibaso dan Sukut telah mengambil posisi
mengelilingi makam tersebut komposisi musik berubah menjadi komposisi
Gendang Siadang-adangi dan diikuti oleh gerakan seperti menari oleh Guru
Sibaso. Selanjutnya tanpa menghentikan komposisi sebelumnya perubahan
komposisi kembali terjadi, dilanjutkan oleh komposisi Gendang Pengelimbei,
75
komposisi Gendang Sabung Tukuk, dan komposisi Gendang Peselukken.
Komposisi-komposisi tersebut seperti sebuah kesatuan untuk mengahantarkan
mediator dalam sebuah suasana trance.
Dalam kegiatan Perumah Begu cara pemakaian komposisi-komposisi
Gendang Guru yang digunakan untuk mengiringi kegiatan tersebut adalah diawali
dengan Gendang Siadang-adangi. Saat musik tersebut dimainkan Guru Sibaso
melakukan sebuah gerakan seperti sebuah tarian, selanjutnya tanpa menghentikan
komposisi sebelumnya perubahan komposisi kembali terjadi, dilanjutkan dengan
komposisi Gendang Pengelimbei, komposisi Gendang Sabung Tukuk, dan
komposisi Gendang Peselukken.
Secara umum pemakaian komposisi-komposisi dalam reportoar Gendang
Guru dalam mengiringi kegiatan Ndahi Tembun-tembunen dan Perumah begu
mempunyai persamaan yang hampir sama. Pemakainan komposisi yang berbeda
terlihat pada komposisi Gendang Siarak-araki Guru, karena komposisi ini
digunakan hanya pada saat kegiatan arak-arakan Ndahi Tembun-tembunen.
4.3.2 Proses Transkripsi
Dalam proses transkripsi penulis memiliki data rekaman audio dan video
yang proses perekamannya di lakukan pada saat kegiatan upacara Muncang pada
tanggal 28 Oktober 2011. Dari rekaman audio video dan hasil wawancara tanggal
20 Desember 2011 dengan Bapak Jabal Sembiring bahwa reportoar yang
mengiringi kegiatan upacara Muncang tersebut adalah reportoar Gendang Guru.
Dalam reportoar Gendang Guru terdapat beberapa komposisi yaitu Gendang
76
Siarak-araki Guru, Gendang Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei, Gendang
Sabung Tukuk dan Gendang Peselukken.
Penulis menemukan kesulitan dalam proses transkripsi secara langsung
dari hasil rekaman data audio video yang penulis miliki. Hal ini disebabkan
musik yang dimainkan dalam setiap kegiatan memiliki durasi yang cukup lama
yaitu antara 30 menit - 60 menit. Selain itu terdapat pengulangan-pengulangan
yang terjadi pada setiap komposisi-komposisinya.
Dalam mengatasi kesulitan tersebut penulis melakukan proses rekaman
ulang audio reportoar Gendang Guru dan juga komposisi-komposisi nya seperti
Gendang Siarak-araki Guru, Gendang Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei,
Gendang Sabung Tukuk dan Gendang Peselukken. Penulis meminta bantuan
Bapak Jabal Sembiring untuk memainkan kembali reportoar Gendang Guru dan
masing-masing komposisi-komposisinya dengan alat musik Sarune. Dalam
memainkan reportoar Gendang Guru dan komposisi-komposisinya tersebut
Penulis meminta untuk tidak melakukan pengulangan seperti yang dilakukan saat
mengiringi upacara Muncang, hal ini dilakukan kerena penulis hanya ingin
melihat bentuk dasar dari Gendang Guru dan komposisi-komposisinya sehingga
mempermudah dalam proses transkripsi.
Dari data rekaman ulang tersebut penulis juga menemukan kesulitan untuk
melakukan proses transkripsi karena nada-nada melodi yang dihasilkan dari alat
musik sarune sangat khas dan memiliki frekwensi nada yang tidak sama dengan
alat musik barat. Selain itu reportoar Gendang Guru memiliki perubahan tempo
semakin cepat yang terjadi saat perpindahan komposisi yang satu ke komposisi
berikutnya. Untuk mengatasi hal tersebut penulis menggunakan bantuan software
77
komputer VLC Media Player dan alat musik Keayboard PSR 450. Software VLC
Media Player berfungsi untuk delay (memperlambat) setiap komposisi yang
dimainkan dalam software tersebut. Selanjutnya penulis mendengarkan komposisi
dan mencari setiap nada melodi yang dimainkan dari Software tersebut secara
manual. Untuk mengatasi kekeliruan pendengaran penulis, maka penulis
memainkan nada-nada melodi yang penulis dengar mengunakan Keayboard PSR
450. Selanjutnya satu per satu nada-nada melodi yang penulis temukan tersebut
ditranskripsikan dalam bentuk data not angka.
Data yang telah ditranskripsikan dalam bentuk not angka tersebut
dilanjutkan dengan mengubahnya dalam bentuk data partitur. Dalam proses ini
Penulis menggunakan Sofware Sibellius yang dibantu oleh Saidul Hutabarat S.Sn.
Data not angka yang diubah dengan Software Sibellius tersebut menjadi sebuah
data transkripsi dalam bentuk partitur.
4.3.3 Data Transkripsi
Dalam data transkripsi akan dilampirkan bentuk dasar dari bunyi yang
dihasilkan oleh musik Gendang Lima Sedalanen pada upacara Muncang. Adapun
data transkripsi yang dimaksud diatas yaitu;
1. Gendang Guru 2. Siarak-araki Guru 3. Siadang-adangi 4. Pengelimbei 5. Sabung Tukuk 6. Peselukken
78
4.3.3.1 Gendang Guru
Pada upacara Muncang reportoar yang digunakan untuk mengiringi
kegiatan upacara adalah reportoar Gendang Guru. Gendang Guru adalah sebuah
kesatuan dari beberapa komposisi Gendang Siarak-araki Guru, Gendang
Siadang-adangi, Gendang Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk dan Gendang
Peselukken. Dalam kegiatan yang dilakukan pada upacara Muncang, Gendang
Guru berfungsi untuk menghantarkan Guru Sibaso mencapai suatu keadaan
trance. Dibawah ini adalah lampiran transkripsi bentuk dasar dari reportoar
Gendang Guru.
79
4.3.3.2 Gendang Siarak-araki Guru
Komposisi Gendang Siarak-araki Guru adalah sebuah komposisi dari
reportoar Gendang Guru yang digunakan untuk mengiringi dalam proses arak-
arakan Ndahi Tembun-Tembunen yang dilakukan pada upacara Muncang.
Komposisi Gendang Siarak-araki Guru ini tidak digunakan dalam kegiatan
upacara Muncang lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam upacara
Muncang, komposisi Gendang Siarak-araki Guru hanya digunakan dalam proses
arak-arakan Ndahi Tembun-Tembunen.
Dari data rekaman audio video upacara Muncang pada tanggal 28 Oktober
dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Siarak-araki Guru. Dengan
bantuan Metronome Meazel, dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang
Siarak-araki Guru. Dibawah ini adalah lampiran data transkripsi bentuk dasar
komposisi Gendang Siarak-araki Guru:
Transkriptor: Elieser Barus
80
4.3.3.3 Gendang Siadang-adangi
Komposisi Gendang Siadang-adangi adalah sebuah komposisi dari
Gendang Guru. Komposisi ini adalah komposisi awal dari reportoar Gendang
Guru yang dimainkan untuk mengiringi proses kegiatan pada upacara Muncang,
kecuali pada kegiatan Ndahi Tembun-tembunen. Dalam kegiatan Ndahi Tembun-
Tembunen perpindahan komposisi Gendang Siarak-araki Guru ke komposisi
Gendang Siadang-adangi terlihat setelah arak-arakan tiba di Mabar, perubahan
komposisi tersebut yang diikuti dengan gerakan seperti tari yang dilakukan oleh
Guru Sibaso mengelilingi tempat tersebut. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa komposisi Gendang Siadang-adangi adalah komposisi awal
yang dimainkan untuk menghantarkan Guru Sibaso untuk mencapai suatu suasana
trance, sedangkan komposisi Gendang Siarak-araki Guru hanya digunakan untuk
mengiringi arak-arakkan dalam kegiatan Ndahi Tembun-Tembunen.
Dari data rekaman audio video upacara Muncang pada tanggal 28 Oktober
dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Siadang-adangi. Dengan bantuan
MM: 65
Transkriptor: Elieser Barus
81
Metronome Meazel, dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Pengelimbei.
Dibawah ini adalah lampiran data transkripsi bentuk dasar komposisi Gendang
Siadang-adangi:
4.3.3.4 Gendang Pengelimbei
Komposisi Gendang Pengelimbei adalah salah satu komposisi dari
Gendang Guru. Komposisi ini adalah komposisi kedua dari reportoar Gendang
Guru yang dimainkan untuk mengiringi proses kegiatan pada upacara Muncang.
Komposisi Gendang Pengelimbei adalah sebuah kelanjutan dari perpindahan
komposisi Gendang Siadang-adangi. Hal yang paling sederhana untuk
mengetahui perpindahan komposisi Gendang Siadang-adangi ke komposisi
Gendang Pengelimbei adalah perubahan tempo yang semakin cepat. Pada upacara
Muncang perpindahan komposisi ini diikuti oleh Guru Sibaso dengan melakukan
gerakan seperti tari sesuai dengan irama musik komposisi tersebut. Jadi dapat
disimpulkan komposisi Gendang Pengelimbei adalah bagian dari reportoar
Gendang Guru yang mengantarkan Guru Sibaso dalam suatu sauasana trance.
Dari data rekaman audio video upacara Muncang pada tanggal 28 Oktober
dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Pengelimbei. Dengan bantuan
Metronome Meazel, dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Pengelimbei.
MM: 85
Transkriptor: Elieser Barus
82
Dibawah ini adalah lampiran data transkripsi bentuk dasar komposisi Gendang
Pengelimbei:
4.3.3.5 Gendang Sabung Tukuk
Komposisi Gendang Sabung Tukuk adalah salah satu komposisi dari
reportoar Gendang Guru. Pada upacara Muncang komposisi ini adalah komposisi
ke tiga dari reportoar Gendang Guru yang menghantarkan kedalam sebuah
suasana trance. Komposisi Gendang Sabung Tukuk adalah sebuah kelanjutan
perpindahan dari komposisi Gendang Pengelimbei. Proses yang hampir sama
dengan perpindahan komposisi sebelumnya. Hal paling sederhana untuk
mengetahui perpindahan komposisi Gendang Pengelimbei ke komposisi Gendang
Sabung Tukuk adalah perubahan tempo yang semakin cepat. Selain itu pada
upacara Muncang, perpindahan komposisi ini diikuti oleh Guru Sibaso dengan
melakukan gerakan seperti tari sesuai dengan irama musik komposisi tersebut.
Dari data rekaman audio video upacara Muncang pada tanggal 28 Oktober
dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Sabung Tukuk. Dengan bantuan
Metronome Meazel, dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Sabung
MM: 114
Transkriptor: Elieser Barus
83
Tukuk. Dibawah ini adalah lampiran data transkripsi komposisi Gendang Sabung
Tukuk;
4.3.3.6 Gendang Peselukken
Komposisi Gendang Peselukken adalah salah satu komposisi dari
reportoar Gendang Guru. Komposisi Gendang Peselukken adalah komposisi
puncak dari reportoar Gendang Guru. Komposisi ini adalah kelanjutan dari
perpindahan komposisi Gendang Sabung Tukuk. Perpindahan komposisi dapat
dilihat dari perubaha tempo yang semakin cepat. Pada upacara Muncang dalam
mengiringi kegiatan upacara, perpindahan komposisi Gendang Sabung Tukuk ke
komposisi Gendang Peselukken adalah sebuah klimaks dari rangkaian komposisi-
komposisi sebelumnya yang menghantarkan Guru Sibaso untuk mencapai suatu
suasana trance.
Pada komposisi ini, Guru Sibaso mengalami keadaan diluar kesadaran
dirinya (trance). Hal itu dapat dilihat dari gerakan-gerakan tubuh dan berbicara
yang tidak lazim dilakukan oleh orang dalam keadaan kesadaran normal. Guru
Sibaso melakukan gerakan-gerakan tubuh seperti gerakan tarian, gerakan
menyembah, gerakan silat, gerakan seperti binatang (naga, ular, harimau, dan
MM: 140
Transkriptor: Elieser Barus
84
monyet) dan gerakan menggunakan pedang. Selain itu Guru Sibaso juga berbicara
tidak biasa seperti saat kesadarannya dalam keadaan normal.
Pada upacara Muncang komposisi Gendang Sabung Tukuk adalah
komposisi yang berdurasi paling lama karena komposisi ini adalah komposisi
yang mengiringi Guru Sibaso yang telah mengalami suatu keadaan trance.
Komposisi ini dihentikan setelah roh-roh yang memasuki tubuh Guru Sibaso
selesai melakukan tugasnya di desa tersebut.
Dari data rekaman audio video upacara Muncang pada tanggal 28 Oktober
dapat diketahui tempo dari komposisi Gendang Peselukken. Dengan bantuan
Metronome Meazel, dapat diketahui tempo dari komposisi Peselukken. Dibawah
ini adalah lampiran data transkripsi komposisi Gendang Peselukken;
4.3.4 Penggunaan dan Fungsi Gendang Lima Sidalanen pada Upacara
Muncang
Berdasarkan kronologis yang telah disebutkan di atas, dapat ditemukan
bagaimana penggunaan dan fungsi Gendang Lima Sedalanen dalam upacara
MM: 180
Transkriptor: Elieser Barus
85
Muncang. Dalam upacara Muncang ini, Gendang Lima Sidalanen digunakan
sebagai musik pengiring selama upacara berlangsung.
Berbicara tentang fungsi, Alan P. Merriam mengemukakan sepuluh fungsi
musik, antara lain: (1) Fungsi pengungkapan emosional; (2) Fungsi penghayatan
estetika; (3) Fungsi hiburan; (4) Fungsi komunikasi; (5) Fungsi perlambangan; (6)
Fungsi reaksi jasmani; (7) Fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial; (8)
Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan; (9) Fungsi
kesinambungan kebudayaan; dan (10) Fungsi pengintegrasian (pemersatu)
masyarakat. (1964:219-226).
Selanjutnya, dari sepuluh fungsi musik yang ditawarkan Alan P. Merriam
di atas akan dijadikan sebagai dasar untuk melihat bagaimana fungsi Gendang
Lima Sidalanen di dalam upacara Muncang.
4.3.4.1 Fungsi Pengungkapan Emosional
Musik atau nyanyian mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa emosi para penyanyi atau pemusik dan dapat menimbulkan
emosi para pendengarnya. Hal ini dapat dilihat dari gerakan tubuh baik berupa
semangat, kesedihan, dan ekspresi lainnya
Pada upacara Muncang di Namo Rindang bunyi musik yang dihasilkan
oleh Gendang Lima Sedalanen dapat mempengaruhi emosional dari Guru Sibaso
dan masyarakat di dalam kegiatan upacara. Hal itu dapat dilihat dari perpindahan
komposisi Gendang Siadang-adangi ke komposisi Gendang Pengelimbei dan ke
komposisi berikutnya yang mengalami perubahan tempo yang semakin cepat.
Terlihat ekspresi semangat dari Guru Sibaso yang ditunjukkan melalui gerakan-
86
gerakan tubuh mengikuti ritme musik yang dimainkan. Selain itu ekspresi
semangat juga ditunjukkan oleh masyarakat Namo Rindang yaitu dengan
melakukan gerakan bertepuk tangan dan meneriakkan “alop…alopa…lopa”
Ekspresi semangat yang ditunjukkan oleh masyarakat Namo Rindang ini seperti
sebuah ungkapan emosional untuk mengahantarkan Guru Sibaso memcapai suatu
keadaan trance
4.3.4.2 Fungsi komunikasi
Komunikasi merupakan suatu hubungan timbal-balik antara satu pihak
dengan pihak yang lain. Tanpa komunikasi segala sesuatu tidak akan dapat
berjalan seperti apa yang diinginkan. Fungsi komunikasi tersebut juga terdapat di
dalam permainan Gendang Lima Sidalanen ketika mengiringi upacara muncang.
Pada upacara Muncang di Namo Rindang musik Gendang Lima Sedalanen
sebagai pengiring memiliki hubungan timbal-balik dengan Guru Sibaso. Hal ini
dapat kita lihat saat komposisi Gendang Siadang-adangi dimainkan maka terlihat
Guru Sibaso mengerti pesan yang disampaikan dari bunyi musik yang dia dengar.
Dengan mendengar pesan yang disampaikan oleh bunyi musik tersebut maka
Guru Sibaso melakukan suatu tindakan yaitu berupa gerakan-gerakan mengikuti
ritme musik. Selain itu komunikasi dapat kita lihat saat terjadi perpindahan
komposisi Gendang Siadang-adangi ke komposisi Gendang Pengelimbei dan
komposisi-komposisi berikutnya. Dalam perpindahan komposisi tersebut terjadi
perubahan tempo yang semakin cepat. Guru Sibaso menerima pesan perpindahan
komposisi bunyi musik yang dia dengar. Dengan mendengar pesan yang
disampaikan dari perubahan komposisi tersebut maka Guru Sibaso melakukan
87
suatu tindakan yaitu berupa gerakan-gerakan.mengikuti ritme musik yang semakin
cepat pula.
4.3.4.3 Fungsi Reaksi Jasmani
Musik memiliki pengaruh kepada pendengarnya sehingga menimbulkan
reaksi-reaksi dalam tubuhnya dalam bentuk gerakan tubuh yang mengikuti ritme
musik tersebut. Hal itulah yang dikatakan sebagai fungsi reaksi jasmani yang
dimiliki oleh musik. Alunan musik tersebut direspon oleh pendengar yang berada
di lokasi upacara. Reaksi yang timbul adalah pendengar melakukan gerakan-
gerakan yang mengikuti ritme musik.
Pada upacara Muncang di Namo Rindang reaksi jasmani ditimbulkan oleh
bunyi yang dihasilkan oleh Gendang Lima Sedalanen. Hal ini dapat dilihat saat
reportoar Gendang Guru dimainkan untuk menghantarkan Guru Sibaso pada
suatu keadaan trance. Saat komposisi Siadang-adangi dimainkan terlihat Guru
Sibaso merespon alunan musik tersebut dengan melakukan gerakan-gerakan
mengikuti ritme musik. Pada reportoar Gendang Guru rangkaian komposisi yang
satu dengan lainnya mengalami perubahan tempo yang berubah semakin cepat.
Perubahan komposisi tersebut juga direspon oleh Guru Sibaso dengan melakukan
gerakan-gerakan yang mengikuti ritme komposisi yang dimainkan. Jadi bunyi
yang dihasilkan Gendang Lima Sedalanen direspon dengan reaksi jasmani yang
dilakukan Guru Sibaso.
4.3.4.3 Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan
Musik memiliki fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan
disini berarti bagaimana musik memiliki nilai yang mampu mengesahkan sebuah
88
upacara ataupun lembaga sosial tertentu. Dalam upacara Muncang ini, musik
Gendang Lima Sidalanen memiliki peranan yang sangat penting. Setiap proses
dalam upacara ini haruslah menggunakan musik Gendang Lima Sidalanen sebagai
pengiringnya, karena musik dianggap memiliki peranan dalam penyampaian
pesan yang ingin disampaikan dalam upacara. Jika musik Gendang Lima
Sidalanen tidak dimainkan, maka upacara tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Pada upacara Muncang di Namo Rindang Gendang Lima Sedalanen
memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara. Menurut Arus
Keliat, Gendang Lima Sedalanen merupakan salah satu perlengkapan terpenting
dalam pelaksanaan upacara Muncang. Jadi dapat disimpulkan bahwa upacara
Muncang tidak dapat dilaksanakan tanpa Gendang Lima Sedalanen sebagai
pengiring dalam setiap kegiatan upacara yang dilakukan.
4.3.4.5 Fungsi kesinambungan kebudayaan
Penggunaan musik Gendang Lima Sidalanen dalam upacara muncang ini
merupakan sebuah aplikasi nilai penghargaan terhadap kebudayaan. Dengan
dimainkannya musik Gendang Lima Sedalanen ini, proses kesinambungan dari
sebuah kebudayaan sedang berlangsung.
Gendang Lima Sedalanen adalah bagian dari budaya Karo. Menurut Arus
Keliat, pada upacara Muncang yang dilakukan oleh leluhur mereka dahulu sampai
saat ini selalu menggunakan Gendang Lima Sedalanen pada setiap iringan
kegiatan upacara. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
89
penggunaan musik Gendang Lima Sedalanen pada upacara Muncang memiliki
fungsi kesinambungan kebudayaan Karo.
4.3.4.6 Fungsi pengintegrasian (pemersatu) masyarakat
Penggunaan musik Gendang Lima Sidalanen memiliki fungsi
pengintegrasian (pemersatu) masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat
pengaruh yang diberikan kepada para pendengar. Dengan dilakukannya upacara
Muncang yang menggunakan musik Gendang Lima Sedalanen maka seluruh
masyarakat Namo Rindang berkumpul bersama di Balai Desa Namo Rindang.
Dalam pertemuan dalam upacara Muncang ini, dimanmfaatkan untuk
bersilaturahmi dan menjalin komunikasi diantara masyarakat yang satu dengan
yang lainnya di Namo Rindang. Mereka terlihat saling membantu di dalam
melaksanakan semua kegiatan upacara yang dilakukan dari awal hingga akhir
upacara.
Upacara Muncang yang dilakukan di Namo Rindang adalah sebuah
kesepakatan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat. Hal ini dikarenakan mereka
merasa memiliki persamaan sebagai satu kesatuan masyarakat di Namo Rindang.
Selain itu, leluhur mereka telah memiliki hubungan yang erat yang ditunjukkan
dari awal pembentukan Kuta dan melindungi Kuta dari hal-hal yang mengganggu
dan membahayakan masyarakat di Namo Rindang.
90
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Muncang adalah sebuah upacara ritual pada masyarakat Karo yang
dilakukan sebagai wujud penghormatan masyarakat Karo kepada roh leluhur.
Maksud dari diadakannya upacara Muncang ini adalah untuk menjaga agar
keharmonisan antara masyarakat dengan leluhur mereka tetap terkalin dengan erat
sehingga dengan demikian roh leluhur tersebut sudi untuk menjaga dan
melindungi masyarakat desa dari gangguan-gangguan yang berasal dari roh-roh
jahat dan juga membantu masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari mereka.
Ada dua bagian besar dari upacara Muncang ini. Bagian pertama adalah
kegiatan pra-upacara. Kegiatan yang dilakukan dalam pra-upacara ini adalah
membersihkan tempat yang disakralkan dan dianggap merupakan tempat
beradanya roh-roh leluhur yang disebut dengan tembun-tembunen, yaitu Mabar.
Selain itu ada pula makam dari seorang panglima sakti yang dahulunya banyak
membantu masyarakat desa untuk melawan penjajah. Makam tersebut diberi nama
makam Dibata Porling.
Bagian kedua adalah kegiatan upacara. Kegiatan ini dimulai dengan
meminta izin kepada roh leluhur agar upacara berlangsung dengan baik yang
dilakukan oleh Guru Sibaso. Setelah itu pihak sukut dan juga mediator yang akan
dijadikan sebagai mediator disucikan Lau Penguras yang terdiri dari air yang
berisi jeruk purut dan jera. Acara selanjutnya adalah Ndahi Tembun-tembunan,
91
yaitu sebuah kegiatan mendatangi roh leluhur yang bertempat di Mabar dan
makam Dibata Porling. Kegiatan ndahi Tembun-tembunen ini dilakukan dengan
cara arak-arakan yang diiringi oleh reportoar Gendang Siarak-araki Guru yang
merupan bagian dari repertoar Gendang Guru.
Acara selanjutnya dari upacara ini adalah acara Perumah Begu. Perumah
Begu adalah kegiatan pemanggilan roh leluhur ke dalam tubuh mediator, agar
masyarakat dapat melakukan komunikasi dengan roh leluhur tersebut. Ada 4 roh
yang dipanggil dalam upacara ini. Roh yang pertama adalah roh Nini Petir, yaitu
roh yang dipercayai masyarakat mampu mengatur cuaca. Masyarakat meminta
kepada roh Nini Petir agar diberikan cuaca yang baik untuk mendukung kegiatan
pertanian. Roh selanjutnya adalah roh Situa-tua. Roh Situa-tua ini merupakan
sebutan masyarakat kepada roh-roh orang yang dituakan dan dianggap memiliki
kebijaksanaan. Diharapkan dengan datangnya roh Situa-tua ini, masyarakat dapat
meminta nasehat dan petuah dari roh ini dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Roh yang ketiga adalah roh Dibata Porling. Dibata
Porling adalah roh yang semasa hidupnya adalah seorang panglima yang sakti dan
berjuang untuk Kuta. Untuk mengiringi pemanggilan, musik yang dimainkan
adalah lagu Gendang Siadang Adangi, Gendang Pengelimbei, Gendang Sabung
Tukuk, dan Gendang Peselukken yang merupakan bagian dari repertoar Gendang
Guru. Dan roh selanjutnya adalah si Jogal. Si Jogal merupakan roh yang dianggap
sebagai penjaga kampung dari gangguan-gangguan roh jahat. Si Jogal
mengelilingi desa dan masuk ke rumah-rumah penduduk untuk mengusir roh-roh
jahat yang ingin mengganggu kenyamanan desa.
92
Upacara ini diakhiri dengan pemberian pukulen, yaitu imbalan berupa
amak mentar, beras, ayam kampung, kelapa, gula aren, dan sejumlah uang kepada
pemusik dan Guru Sibaso.
Selain beberapa hal diatas maka dapat diuraikan pembahasan dari analisa
musikal dan fungsi musik pada upacara Muncang di Namo Rindang.
1. Dari sisi analisa musikal, Gendang Lima Sedalanen adalah musik yang
digunakan dalam kegiatan upacara Muncang di Namo Rindang. Gendang
Guru adalah reportoar yang dimainkan untuk mengiringi upacara
Muncang. Terdapat beberapa komposisi dalam reportoar gendang Guru
yaitu Gendang Siarak-araki Guru, Gendang Siadang-adangi, Gendang
Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk dan Gendang Peselukken. Melihat
fungsinya di dalam upacara maka komposisi Gendang Siarak-araki Guru
hanya digunakan untuk mengiringi proses arak-arakan Ndahi Tembunen.
Sedangkan komposisi seperti Gendang Siadang-adangi, Gendang
Pengelimbei, Gendang Sabung Tukuk, dan Gendang Peselukken berfungsi
sebagi iringan mengahantarkan Guru Sibaso untuk mencapai suatu
suasana trance. Dalam proses iringan tersebut terjadi perpindahan dari satu
komposisi ke komposisi berikutnya yang dimana dalam setiap
perpindahannya mengalami perubahan tempo yang semakin cepat.
2. Dari sisi fungsi musik, seperti yang diungkapkan oleh Alan. P. Merriam
bahwa terdapat sepuluh fungsi musik yang mungkin tidak semua berlaku
dibeberapa wilayah. Pada Upacara Muncang di Namo Rindang terdapat
enam fungsi musik yang ditemukan yaitu
93
(a) Fungsi pengungkapan emosional, dimana musik dapat mempengaruhi
emosional Guru Sibaso dan masyarakat Namo Rindang yang begitu
bersemangat melakukan gerakan-gerakan tubuh.
(b) Fungsi komunikasi, dimana adanya hubungan timbal balik antara
musik dan Guru Sibaso. Musik memberikan pesan yang dimengerti
dan kemudian diikuti dengan gerakan-gerakan yang dilakukan Guru
Sibaso mengikuti ritme musik.
(c) Fungsi reaksi jasmani, dimana musik dapat mempengaruhi reaksi
jasmani Guru Sibaso
(d) Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, dimana
musik Gendang Lima Sedalanen sangat berperan penting didalam
upacara Muncang. upacara Muncang tidak dapat dilaksanakan jika
tidak ada musik Gendang Lima Sedalanen.
(e) Fungsi kesinambungan kebudayaan, dimana pada upacara Muncang
penggunaan Gendang Lima Sedalanen adalah proses keberlangsungan
aktivitas dari budaya Karo.
(f) Fungsi Pengintegrasian masyarakat, dimana musik dapat
mempersatukan masyarakat Namo Rindang pada saat kegiatan upacara
Muncang berlangsung.
5.2 Saran
Muncang merupakan sebuah upacara tradisional yang mengandung nilai
nilai kearifan lokal masyarakat kebudayaan Karo. Salah satunya adalah musik
94
tradisional Gendang Lima Sedalanen. Dengan diadakannya upacara ini, secara
otomatis keberadaan Gendang Lima Sedalanen tetap terjaga.
Hal ini harus disadari oleh pemerintah dan masyarakat saat ini. Kepada
pemerintah khususnya, agar memperhatikan dan menjaga keberadaan upacara ini.
Jika dikemas dengan lebih menarik, upacara ini dapat dimanfaatkan dengan cara
dijual sebagai produk pariwisata budaya dalam kemasan seni pertunjukan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah mampu dikatakan sebagai
tulisan yang baik. Penulis sangat mengharapkan partisipasi dari rekan-rekan
pecinta budaya, khususnya budaya Karo demi memperbaiki tulisan ini. Tulisan ini
hanyalah sebuah awal dari tujuan untuk menjaga eksistensi kebudayaan
Nusantara, terkhususnya budaya Karo. Kritik dan saran dari kawan-kawan
sekalian sangatlah penulis harapkan.
95
DAFTAR PUSTAKA
Aswita, Effi & Thamrin. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Medan: Diktat Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan Bangun, Jabatin. 1994. Perlakuan Sosial dan Gaya Penyajian Reportoar Guro-Guro Aron pada Masyarakat Karo: Studi Kasus Analisis Komperatif Musikologis Gendang Patam-Patam oleh Tiga Instrumen Pembawa Melodi. Skripsi S-1 Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Usu Bangun, Roberto. 1989. Mengenal Orang Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima Bangun, Roberto. 2006. Mengenal Suku Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Idayu Press Bangun, Tridah. 1990. Adat Istiadat Karo. Bandung: Yayasan Merga Silima Ginting, E.P. 1999. Religi Karo. Kabanjahe: Abdi Karya Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika Koendtjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineke Cipta Koendtjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Koendjtaraningrat. 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern University Press Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. New York. The Free Press Perangin-angin. Martin L. Orang Karo di Antara Orang Batak. Jakarta: Pustaka Sora Mido Phil, M. dan Loebis, Nawawiy. 2004. Raibnya Para Dewa Kajian Arsitektur Karo. Medan: Bina Media Perintis Prins, Darwan. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media Prins, Darwan. 2008. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis
96
Pritchard, E. Evans. 1986. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara Putro, Brahma. 1981. Karo Sepanjang Zaman Sanafiah, Faisal. 1990. Penelitian Kualitatif. Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Tan, Mely G. 1985. Metode Penelitian Masyarakat oleh Koentjaraningrat. Tarigan, Perikuten. 2004. Musik Tradisional Karo. Dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angola, Karo, Simalungun, Pusat Dokumentasi, dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Medan: Universitas HKBP Nomensen. Subagyo, B. Andreas. 2001. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Data Website:
http://deliserdangkab.co.id
http://id.wikipedia.org
http://joeybangun.wordpress.com
http://karosiadi.blogspot.com
http://silimamerga.blogspot.com
http://xeanexiero.blogspot.com
http://zonadiskusi.blogspot.com
http://www.karoweb.or.id
97
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Arus Keliat Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 10 Agustus 1969 Umur : 44 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
2. Nama : Djabal Sembiring Temp/Tgl Lahir : Lau Rakit 14 April 1955 Umur : 58 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun IV Namo Punti Desa Sarilaba Jahe Kecamatan
Biru-Biru
3. Nama : Ependi Ginting B.A Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 18 Februari 1957 Umur : 56 Tahun Pekerjaan : PNS Guru Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan
Biru-Biru
4. Nama : Ngamehi Br Tarigan Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 31 Desember 1941 Umur : 72 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan
Biru-Biru
5. Nama : Terhai Br Sitepu Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 12 Agustus 1934 Umur : 79 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
98
6. Nama : Namaken Sitepu Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 23 Juli 1959 Umur : 54 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
7. Nama : Asni Br Keliat Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 21 Desember 1969 Umur : 50 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun IV Suka Rakyat Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
8. Nama : Astiana Keliat Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 23 Juni 1973 Umur : 40 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
9. Nama : Riahminta Br Tarigan Temp/Tgl Lahir : Biru-Biru 22 Agustus 1976 Umur : 37 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
10. Nama : Markus Barus Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 27 Juli 1974 Umur : 39 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
99
11. Nama : Masa Sitepu Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 20 Juni 1966 Umur : 47 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
12. Nama : Rospita Br Sitorus Temp/Tgl Lahir : Medan 4 April 1964 Umur : 49 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
13. Nama : Murni Br Ginting Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 18 Juli 1951 Umur : 62 Tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Dusun I Kepala Gajah Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
14. Nama : Prista Imanuel Keliat Temp/Tgl Lahir : Namo Rindang 3 September 1995 Umur : 18 Tahun Pekerjaan : Pelajar Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru
15. Nama : Wina Juniartika Temp/Tgl Lahir : Suka Rakyat 22 Agustus 1996 Umur : 17 Tahun Pekerjaan : Pelajar Alamat : Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai Kecamatan Biru-Biru