pabrik gula sindanglaut , cirebon, jawa barat …

15
PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT TAHUN 1896- 1942, SEBAGAI KAJIAN ARKEOLOGI INDUSTRI Cahyandaru Kuncorojati Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424 [email protected] Abstrak Pabrik gula Sindanglaut merupakan salah satu tinggalan industri yang berasal dari masa kolonial dan diteliti menggunakan sudut pandang arkeologi industri. Masuknya bangsa Belanda ke Indonesia mulai memicu industri gula dalam skala besar dengan berdirinya pabrik gula di berbagai daerah di Jawa. Bangsa Belanda datang membawa pengaruh terhadap perkembangan teknologi produksi gula di Indonesia dengan dipergunakannya mesin-mesin hasil Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Salah satu pabrik gula yang didirikan di Jawa Barat pada masa kolonial adalah pabrik gula Sindanglaut. Pabrik gula Sindanglaut memiliki beberapa komponen penunjang kegiatan produksi gula, yaitu sumber daya alam, bahan baku, alat dan bangunan produksi, serta bangunan tempat tinggal pegawai. Berdirinya pabrik gula Sindanglaut tidak hanya memperkenalkan kegiatan industri kepada masyarakat pribumi tetapi juga ikut mengubah tatanan masyarakat yang semula feodal menjadi masyakarat industri. Pada masyarakat industri terdapat pembagian kelas sosial berdasarkan pekerjaan atau jabatan mereka. Pembagian kelas sosial menjadi beberapa golongan ditampilkan dalam bentuk bangunan pegawai dan pola ketetakanya. SINDANGLAUT SUGAR FACTORY, CIREBON, WEST JAVA, IN THE YEAR 1896-1942, A STUDY OF INDUSTRIAL ARCHAEOLOGY Abstract Sindanglaut sugar factory is one of industrial heritage, which cmose from colonial era and is being researched with industrial archaeology’s perspective. The arrival of the Dutch in Indonesia started to affect sugar industry in huge scale in some of areas in Java. The Dutch has influenced the technology development of sugar production in Indonesia, such as using the machines, which is a result from Industry Revolution in England, that happened in 18 th century. One of sugar factory that has built in West Java in colonial era is Sindanglaut sugar factory. Sindanglaut sugar factory has supporting components for activities of sugar production, such as natural resources, raw material, tools and production building, and also houses for the workers. The establishment of Sindanglaut sugar factory is not only to introduce industrial activity to the society, but also has changed the social structure of society, which at first is feudal and then became industrial society. In industrial society there is classification of social class, based on the job or their position. The classification of social class which divided the society into some classes is represented from the style of the building of worker’s houses and its position pattern. Keywords: archaeology, industrial archaeology, Sindanglaut sugar factory Latar Belakang Arkeologi sebagai sebuah ilmu yang berusaha merekonstruksi kebudayaan masa lalu berdasarkan material culture yang masih ada hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh jenis data arkeologis yang beragam yang kemudian menghasilkan bidang-bidang kajian baru dalam ilmu arkeologi. Salah satu bidang kajian baru dalam ilmu arkeologi tersebut adalah kajian Arkeologi Industri atau Industrial Archeology. Arkeologi Industri memiliki definisi yaitu: “..a definition of industrial archaeology as the systematic study of 1 Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT TAHUN 1896- 1942, SEBAGAI KAJIAN ARKEOLOGI INDUSTRI

Cahyandaru Kuncorojati

Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424

[email protected]

Abstrak

Pabrik gula Sindanglaut merupakan salah satu tinggalan industri yang berasal dari masa kolonial dan diteliti menggunakan sudut pandang arkeologi industri. Masuknya bangsa Belanda ke Indonesia mulai memicu industri gula dalam skala besar dengan berdirinya pabrik gula di berbagai daerah di Jawa. Bangsa Belanda datang membawa pengaruh terhadap perkembangan teknologi produksi gula di Indonesia dengan dipergunakannya mesin-mesin hasil Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Salah satu pabrik gula yang didirikan di Jawa Barat pada masa kolonial adalah pabrik gula Sindanglaut. Pabrik gula Sindanglaut memiliki beberapa komponen penunjang kegiatan produksi gula, yaitu sumber daya alam, bahan baku, alat dan bangunan produksi, serta bangunan tempat tinggal pegawai. Berdirinya pabrik gula Sindanglaut tidak hanya memperkenalkan kegiatan industri kepada masyarakat pribumi tetapi juga ikut mengubah tatanan masyarakat yang semula feodal menjadi masyakarat industri. Pada masyarakat industri terdapat pembagian kelas sosial berdasarkan pekerjaan atau jabatan mereka. Pembagian kelas sosial menjadi beberapa golongan ditampilkan dalam bentuk bangunan pegawai dan pola ketetakanya.

SINDANGLAUT SUGAR FACTORY, CIREBON, WEST JAVA, IN THE YEAR 1896-1942, A STUDY OF INDUSTRIAL ARCHAEOLOGY

Abstract

Sindanglaut sugar factory is one of industrial heritage, which cmose from colonial era and is being researched with industrial archaeology’s perspective. The arrival of the Dutch in Indonesia started to affect sugar industry in huge scale in some of areas in Java. The Dutch has influenced the technology development of sugar production in Indonesia, such as using the machines, which is a result from Industry Revolution in England, that happened in 18th century. One of sugar factory that has built in West Java in colonial era is Sindanglaut sugar factory. Sindanglaut sugar factory has supporting components for activities of sugar production, such as natural resources, raw material, tools and production building, and also houses for the workers. The establishment of Sindanglaut sugar factory is not only to introduce industrial activity to the society, but also has changed the social structure of society, which at first is feudal and then became industrial society. In industrial society there is classification of social class, based on the job or their position. The classification of social class which divided the society into some classes is represented from the style of the building of worker’s houses and its position pattern.

Keywords: archaeology, industrial archaeology, Sindanglaut sugar factory

Latar Belakang

Arkeologi sebagai sebuah ilmu yang berusaha

merekonstruksi kebudayaan masa lalu berdasarkan material culture yang masih ada hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh jenis data arkeologis yang beragam yang kemudian

menghasilkan bidang-bidang kajian baru dalam ilmu arkeologi. Salah satu bidang kajian baru dalam ilmu arkeologi tersebut adalah kajian Arkeologi Industri atau Industrial Archeology. Arkeologi Industri memiliki definisi yaitu:

“..a definition of industrial archaeology as the systematic study of

1  

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 2: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

2            

structures and artefacts as a means of enlarging our understanding of the industrial past.” (Palmer , 1998: 1)

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi fokus dan data dari kajian arkeologi industri. Arkeologi industri berusaha untuk memperoleh pemahaman atau gambaran mengenai kegiatan industri di masa lalu yang tidak hanya terkait dengan kegiatan industri tersebut tetapi juga aspek yang menyangkut kehidupan pelaku industri tersebut yaitu masyakarakat di masa tersebut dan yang menjadi data penelitiannya adalah artefak maupun struktur atau bangunan terkait kegiatan industri di masa lalu.

Kajian arkeologi industri awalnya muncul di Inggris di akhir abad ke-19 yang pada masa itu mulai muncul perhatian dan kegiatan konservasi terhadap bangunan-bangunan maupun monumen bagian dari masa Revolusi Industri di Inggris, masa ketika mesin mulai dipergunakan dalam kegiatan industri secara besar-besaran, namun hal ini baru populer di pertengahan tahun 1950-an dengan adanya banyak kajian dan muncul lembaga serta kebijakan terkait konservasi bangunan dan monumen industri masa lalu. Kesadaran akan masa Revolusi Industri di Inggris sebagai bagian dari sejarah Inggris menggugah para peneliti dan pemerintah untuk melakukan kegiatan lebih lanjut yang kemudian muncul lembaga seperti Research Committee on Industrial Archaeology di tahun 1959 oleh Council for British Archaeology (AIA) di tahun 1973 serta jurnal-jurnal yang berisi penelitian mengenai situs-situs atau monumen industri salah satunya adalah Industrial Archaeology Review. Menurut Palmer kegiatan preservasi situs atau monumen industri merupakan hal lain dari kajian arkeologi industri tetapi hal utamanya adalah kegiatan pendokumentasian dan penelitian terhadap material culture dari situs industri masa lalu (Palmer, 1998: 1- 3).

Lambat laun kajian arkeologi industri pun diterima oleh banyak arkeolog sebagai bagian dari ilmu arkeologi, yaitu di tahun 1960-an. Arkeologi industri dijelaskan memiliki sifat yag sedikit berbeda dengan kajian arkeologi pada umumnya, yaitu kajian arkeologi industri tidak hanya fokus kepada artefak-artefak terkait hasil kegiatan industri juga situs, struktur, dan lansekapnya. Arkeologi industri pun dalam kajiannya cenderung melakukan analisis fungsional terhadap situs dan struktur atau memberikan konteks ekonomi dan teknologi (Palmer, 1998: 3).

Perbedaan pendapat juga muncul terkait kajian arkeologi industri. Beberapa ahli menekanan bahwa arkeologi industri memiliki definisi sebagai kegiatan pelestarian bangunan industri masa lalu yang menjadi cagar budaya. Palmer dan Don Hardesty menyatakan bahwa berdasarkan sistem preservasi dan dokumentasi bangunan yang sistematik maka kita juga dapat sekaligus memperoleh informasi mengenai sistem atau

aspek sosio-teknik dan lansekap yang diciptakan oleh kegiatan industri di masa lalu (Casella, 2005: 5).

Perkembangan industri di Eropa, yang ditandai dengan revolusi Industri di Inggris, juga ikut membawa pengaruh di negara-negara lainnya yaitu dengan munculnya berbagai macam industri seperti industri perkebunan dan pertambangan. Industri di Indonesia pun sudah ada sejak lama yaitu saat kerajaan-kerajaan di Indonesia telah berinteraksi dengan bangsa pendatang. Industri yang marak saat itu adalah industri perkebunan yang masih dalam bentuk sederhana. Jenis industri perkebunan yang marak diperdagangkan saat itu salah satunya adalah industri gula.

Industri gula telah lama muncul di Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan lokal gula telah menjadi salah satu komoditas ekspor. Gula yang berasal dari bahan tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan bahan pangan yang berfungsi sebagai bahan pemanis. Pada abad ke-17 dijelaskan bahwa gula menjadi salah satu komoditas ekspor dari Kesulatanan Banten dan didistribusikan ke berbagai wilayah Jawa karena saat itu gula merupakan komoditas pasar dunia dan sangat disukai oleh bangsa Eropa (Untoro, 2007:144-146). Gula kemudian tetap menjadi salah satu komoditas industri yang banyak diminati selain jenis tanaman industri lainnya di masa kolonial di Indonesia. Pada abad ke-18 dilaporkan bahwa di Batavia dan sekitarnya banyak industri gula berupa perkebunan dan penggilingan gula yang masih sederhana dan jumlahya pun sangat banyak, sebagian besar dimiliki oleh bangsa Cina yang telah menetap di Batavia. Lambat laun orang-orang Belanda yang menetap dan memiliki pangkat tinggi di pemerintahan pun ikut berkecimpung dalam industri gula (Lombard, 2008: 245-249, 251-252; Knight, 1980: 178-179).

Maraknya usaha pabrik gula di Batavia mendorng pembukaan lahan tebu dan pabrik gula di wilayah lain Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu melihat industri gula akan sangat sangat menguntungkan pun mulai ikut serta dalam pembukaan pabrik-pabrik gula di awal abad ke-19. Kebijakan yang diterapkan pemerintahan kolonial masa itu juga didukung peraturan Tanam Paksa yang isinya menyebutkan bahwa gula sebagai salah satu komoditi wajib sehingga banyak sekali lahan padi yang beralih menjadi lahan tebu . Pada tahun 1930-an pun akhirnya Jawa menjadi daerah pengekspor gula dan penghasil keuntungan terbesar bagi kas pemerintahan Hindia Belanda dibandingkan wilayah jajahan Belanda lainnya (Ong, 2002: 36-67).

Pada tahun 1870-an di negeri Belanda sedang berlangsung politik liberal, kaum liberal terdiri atas para investor atau pengusaha swasta dengan firmna- firmanya, mereka berhasil memenangkan tuntutan mereka agar pemerintahan membuka wilayah jajahan bagi para investor untuk mendirikan usahanya berupa pabrik-pabrik gula yang telah mengadopsi teknologi

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 3: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

3  

Barat, yaitu teknologi dari Revolusi Industri di Inggris (Soekiman, 2011: 3). Pabrik-pabrik gula ini telah menggunakan mesin yang digerakkan menggunakan tenaga yang dihasilkan oleh mesin uap.

Pada wilayah Hindia Belanda di masa itu terutama pulau Jawa banyak sekali pabrik-pabrik gula yang didirikan oleh pihak swasta Eropa, beberapa diantaranya yang berada di wilayah Jawa Barat tersebar di Cirebon. Beberapa pabrik gula tersebut kini hanya tersisa beberapa saja yang masih aktif beroperasi. Cirebon telah dikenal sebagai salah satu daerah penghasil gula di pulau Jawa dan pemasok gula ke wilayah Batavia sejak abad ke-17 (Tjandrasasmita, 1996: 214).

Pabrik Gula Sindanglaut merupakan salah satu pabrik gula yang masih aktif beroperasi di Cirebon. Pabrik ini merupakan pabrik gula miliki swasta berdasarkan surat saham dari masa Hindia Belanda yang masih dapat ditemukan, pada surat tersebut tertera bahwa pabrik ini dimiliki oleh perusahaan NV. Exploitatie der Suiker Fabriek Sindanglaoet Cheribon dan didirikan tahun 1896 berdasarkan angka tahun yang terdapat pada bagian cerobong asap pabrik.

Pabrik Gula Sindanglaut merupakan salah satu tinggalan kegiatan industri dari masa kolonial yang dapat dikaji dari arkeologi industri untuk direkonstruksi kembali kegiatan industri di pabrik gula tersebut pada masa kolonial dan kehidupan sosial para pekerja. Pada Pabrik Gula Sindanglaut masih terdapat bangunan-bangunan terkait produksi, infrastruktur produksi dan rumah-rumah yang diperuntukkan bagi tempat tinggal para pegawai pabrik berkebangsaan Eropa di masa kolonial. Hal yang menjadi alasan pemilihan PG. Sindanglaut Cirebon sebagai objek kajian arkeologi industri selain karena pabrik gula ini belum dibahas adalah karena kajian terhadap salah satu pabrik gula tertua di Cirebon ini hasilnya akan dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat industri masa lalu di Cirebon yang umumnya lebih dikenal akan masyarakat agrarisnya.

Berdasarkan pernyataan Palmer terkait studi arkeologi industri tidaklah hanya berfokus kepada artefak-artefak sisa kegiatan industri tetapi juga interpretasi situs, struktur, dan lansekap maka hal itu juga diterapkan pada kajian terhadap PG. Sindanglaut Cirebon. Keletakan antar bangunan dan tata letak bangunan di dalam PG. Sindanglaut akan menjadi fokus perhatian dalam kajian ini, keletakan antar bangunan dengan bangunan lainnya seperti bangunan pabrik dengan bangunan infrastruktur dan sumber bahan baku digolongkan kedalam kajian tata letak skala mikro dan tata letak ruang atau pembagian ruang terkait sistem produksi gula dan masyarakatnya.

Selain pemberian makna terhadap tata letak bangunan-bangunan dalam pabrik guna mengetahui informasi terkait sistem produksi juga kajian ini berusaha untuk merekonstruksi kehidupan sosial yang termasuk dalam fokus kajian arkeologi industri. Usaha

merekonstruksi kehidupan sosial masyarakat atau pekerja pabrik tersebut dengan menaruh perhatian terhadap bangunan-bangunan, seperti rumah administratur dan rumah pegawai yang kemudian dilihat bentuk dan keletakannya di dalam PG. Sindanglaut Cirebon. Bentuk dan pembagian ruang bangunan tersebut dianggap dapat memperlihatkan status sosial pemiliknya dan cara hidupnya. Alat-alat terkait proses produksi pun juga dikaji guna mengetahui perkembangan teknologi yang digunakan dalam kegiatan industri di Indonesia pada masa kolonial. Jangka waktu yang dipilih dalam kajian ini adalah antara tahun 1896-1942 dengan alasan bahwa tahun tersebut adalah masa ketika PG. Sindanglaut Cirebon dikelola oleh bangsa Belanda (masa kolonial) dan di tahun 1942 merupakan masa pendudukan Jepang ketika pengelola atau pemerintah Hindia Belanda telah digantikan oleh pemerintahan kolonial Jepang dan kegiatan produksi berhenti selama Jepang berkuasa di Indonesia. Masalah Penelitian • Bagaimana bentuk dan keletakan bangunan-

bangunan terdapat di dalam emplasemen PG. Sindanglaut, seperti bangunan pabrik, bangunan infrastruktur, dan rumah tempat tinggal administratur beserta pekerja pabrik lainnya.

• Menjelaskan makna yang terdapat dalam pola keletakan antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya dimana dalam hal kegiatan industri keletakan antar bangunan tersebut berpengaruh terhadap sistem produksi dan kehidupan sosial dari pegawai atau pekerja di pabrik gula.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merekonstruksi industri gula dan kehidupan masyarakat di PG. Sindanglaut, Cirebon Jawa Barat, pada masa kolonial. Pada akhir penelitian dijelaskan mengenai keadaan industri gula di PG. Sindanglaut Cirebon pada masa itu dan kehidupan sosial dari masyarakat di sekitarnya.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kegiatan industri gula dan kehidupan pabrik gula masa kolonial di Indonesia, khususnya di wilayah Cirebon, Jawa Barat, yang selama ini kurang menjadi perhatian dalam kajian bertemakan industri gula di pulau Jawa pada masa kolonial. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau data bagi penelitian selanjutnya mengenai pabrik gula sebagai objek kajian arkeologi di Indonesia dan khususnya kajian arkeologi industri. Selain manfaat bagi kalangan akademik diharapkan juga agar hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 4: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

4  

pemikiran bagi masyarakat maupun pemerintah daerah Cirebon bahwa dengan mengetahui bahwa pabrik gula yang merupakan tinggalan masa kolonial yang masih berproduksi saat ini di wilayah Cirebon adalah warisan masa lalu yang dapat menceritakan atau melengkapi sejarah Cirebon, Jawa Barat, di abad ke-19 maka muncul kesadaran akan pentingnya mempertahankan pabrik-pabrik gula dari masa kolonial tersebut sebagai Benda Cagar Budaya (BCB).

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah

metode penelitian yang umumnya digunakan pada penelitian arkeologi, yaitu tahap pengumpulan data, lalu tahap pengolahan data, dan terakhir tahap interpretasi. Pada tahap pengumpulan data dilakukan pengumpulan dengan dua cara, yaitu pengumpulan data di lapangan atau observasi dan pengumpulan data melalui studi pustaka. Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas dua jenis, yaitu piktorial berupa foto, peta, denah, gambar baik lama maupun baru dan verbal berupa literatur arsip lama, buku, atau artikel, yang seluruhna berkaitan dengan tema penelitian dan objek penelitian. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan observasi atau mendatangi langsung lokasi penelitian. Menurut Sharer dan Ashmore tinggalan materi yang berkaitan dengan aktifitas manusia di masa lalu yang terdiri dari hal kecil hingga besar seperti bangunan arsitektural merupakan data arkeologi apabila pada benda tersebut dianggap memiliki nilai atau bukti yang menjelaskan masa lalu (1979: 70). Kemudian dilakukan juga perekaman verbal maupun piktorial terhadap bangunan-bangunan yang menjadi objek penelitian dari PG. Sindanglaut, seperti bangunan produksi, bangunan infrastruktur, dan bangunan tempat tinggal pekerja. Perekaman verbal dilakukan dengan membuat deskripsi tiap bangunan, seperti bentuk, ukuran, denah, serta keletakannya di dalam emplasemen pabrik.

Tahap selajutnya adalah tahap pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan analisis dari segi bentuk, ruang, dan gaya bangunan terhadap bangunan- bangunan yang menjadi objek penelitian, yaitu bangunan produksi, bangunan infrastruktur, dan bangunan tempat tinggal pekerja pabrik gula. Analisis yang dilakukan pada tahap ini berdasarkan hasil deskripsi sebelumnya di tahap pengumpulan data dan kemudian dibandingkan dengan deskripsi bangunan satu sama lain. Analisis tersebut meliputi bentuk, gaya, ukuran, bahan dari bangunan tersebut dan keletakannya di dalam emplasemen PG. Sindanglaut Cirebon. Khususnya analisis pada bangunan-bangunan tempat tinggal pegawai pabrik yang ada di dalam emplasemen pabrik juga dapat memberikan interpretasi mengenai status dari penghuni dari bangunan tempat tinggal tersebut yang menurut Palmer (1998: 5) bahwa sebuah bangunan di sebuah situs industri, seperti tempat

tinggal pekerjanya, dapat menampilkan prestise atau status sosial dari pemilik maupun peghuninya.

Tahap terakhir setelah tahap pengolahan data adalah tahap interpretasi atas hasil deskripsi dan pengolahan data yang telah dilakukan sebelumnya. Pada tahap ini keletakan dan penempatan suatu bangunan dalam emplasemen pabrik dilihat memliliki makna di dalamnya. Penempatan bangunan-bangunan di dalam emplasemen pabrik gula tidak sembarang namun ada pola yang umumnya didasari oleh alasan sistem produksi yang kemudian dimaknai juga bahwa sistem produksi ikut berpengaruh terhadap kehidupan sosial pekerjanya. Pada tahap ini juga digunakan hasil kajian sejarah tentang kehidupan buruh pabrik gula yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya sebelumnya guna menunjang interpretasi terkait usaha merekonstruksi kehidupan pekerja di pabrik gula. Pada tahap ini tidak hanya dilakukan interpretasi atas analisis terhadap bangunan produksi tetapi juga interpretasi atas hasil analisis pemukiman atau bangunan-bangunan tempat tinggal pegawai pabrik. Colin Renfrew dan Bahn (2004: 182) menyatakan bahwa dengan mengetahui sebuah pola pemukiman maka kita dapat mengidentifikasi sistem sosial dan politis yang diterapkan pada sebuah lansekap. Sejarah Perkebunan di Indonesia

Pada masa awal kerajaan-kerajaan di Indonesia, sebuah perkebunan masih sangat sederhana. Sistem perkebunan yang diterapkan pada masa itu sebagian masih berupa garden system yang masih bersifat tradisional karena sebagian besar digunakan untuk kebutuhan pangan tambahan. Selain itu, perkebunan masih dikelola oleh keluarga, dan kurang terorientasi pada pasar atau perdagangan (Kartodirdjo, 1991: 3-4, 15). Pada masa itu perkebunan yang bersifat komersial hanya dimiliki oleh seorang raja atau pengusaha lokal.

Gula pada masa tersebut masih diperdagangkan dalam jumlah kecil dan salah satu kerajaan yang membudidayakan tebu untuk diolah menjadi gula adalah Kerajaan Banten, saat itu budidaya tebu dan produksi gula hanya ramai ketika gula memiliki harga jual yang tinggi (Untoro, 2007: 144- 146)

Pada masa selanjutnya ketika wilayah Nusantara dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) komoditi gula mulai dilihat sebagai salah satu komoditi perdagangan dunia yang memiliki harga jual tinggi. VOC mengeksploitasi wilayah jajahannya semaksimal mungkin untuk memenuhi permintaan pasar Eropa (Kartodirdjo, 1991: 25-30). Sistem yang diterapkan oleh VOC adalah sistem penyerahan wajib dan sistem kontingensi (kuota) yang di masa Hindia Belanda kemudian menjelma menjadi sistem Tanam Paksa dimana penduduk lokal dipaksa menyerahkan lahan

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 5: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

5  

perkebunannya untuk ditanami tebu dan komoditi pasar lainnya.

Pada desa-desa di wilayah Cirebon yang dikuasai VOC banyak terdapat perkebunan dan penggilingan tebu yang dimiliki oleh orang Cina. Gula hasil produksi tersebut nantinya diberikan kepada VOC sebagai pihak yang berkuasa. Sejak saat itu pun Cirebon mulai dikenal sebagai daerah penghasil gula dari wilayah Jawa Barat seiring dengan catatan yang menyebutkan banyak kapal-kapal dari pelabuhan Cirebon datang ke Batavia dengan muatan berupa karung-karung berisi gula (Kartodirdjo, 1991: 38-40; Tjandrasasmita, 1996: 208-215).

Pada peralihan abad ke-18 ke-19 tampuk kekuasaan VOC di Indonesia digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda yang ditunjuk untuk mewakili kekuasaan negara induk, Belanda, di wilayah koloninya. Belanda saat itu sedang mengalami kekosongan kas negara akibat perang yang berkecamuk di Eropa melihat bahwa eksploitasi negara jajahan adalah salah satu cara untuk menghasilkan keuntungan untuk mengisi kembali kas negara (Kartodirdjo, 1991: 41-42). Perkebunan dan penggilingan gula sempat marak di sekitar Batavia namun jumlahnya terus berkurang karena bahan bakar berupa kayu yang membuat hutan di sekitar Batavia rusak dan dinilai tidak ramah lingkungan.

Pada tahun 1830 berlangsung sistem Tanam Paksa atau Culturstelsel yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda van den Bosch, sistem ini bertujuan untuk memaksimalkan produksi komoditi ekspor, termasuk gula, untuk dijual di Eropa (siahaan, 1996: 6). Jenis tanaman yang diwajibkan dalam sistem Tanam Paksa adalah kopi, tebu, dan indigo sebagai tanaman utama dan tembakau, lada, dan teh sebagai tanaman lainnya. Selain pemaksaan jenis komoditi ang ditanam juga berlangsung pengerahan tenaga kerja secara paksa dalam jumlah besar untuk bekerja di irigasi, perkebunan, dan pabrik.

Komoditi gula menempati posisi kedua setelah kopi sebagai komoditi Tanam Paksa yang paling banyak dihasilkan. Wilayah yang diterapkan sistem Tanam Paksa meliputi 18 karesidenan, dan salah satunya adalah Cirebon yang merupakan wilayah karesidenan paling barat yang berhasil ditanami tebu (Kartodirdjo, 1991: 33, 57, 60).

Sistem Tanam Paksa tidak berlangsung lama karena terjadi kegagalan panen yang berakibat terjadi bencana kelaparan di pulau Jawa. Hal ini disebabkan penduduk setempat tidak diberikan waktu untuk mengurus lahan perkebunan sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan. Berita ini terdengar sampai ke Belanda dan dipergunakan oleh kaum liberal untuk menuntut pembukaan wilayah jajahan bagi investor swasta. Tahun 1860 sistem Tanam Paksa pun dihapuskan dan 1870 politik liberal resmi diterakan di Belanda termasuk negara jajahannya (Kartodirdjo, 1991: 64; Leirissa, 2008: 365-366).

Tahun 1870 di Hindia Belanda pun juga mulai banyak investor Belanda yang mendirikan usahanya, baik dalam bentuk jasa perbankan, transportasi, produksi, dan lain-lain (Soekiman, 2011: 3). Perkebunan di masa liberal bersifat perkebunan komersial. Perkebunan di masa liberal tidak lagi berbentuk seperti garden system di masa kerajaan kuno atau pra kolonial melainkan telah menerapkan sistem Europe Plantation. Perkebunan yang bukan lagi tradisonal melainkan komersil, ditujukan untuk mencari keuntungan, dan kapitalistik yang bisa diartikan kepemilikannya berada di tangan pemiliki modal atau investor. Perkebunan sistem ini umumnya berskala besar dan kompleks, berdiri atas modal besar dari investor, memiliki lahan yang luas, tenaga kerja yang terorganisir berdasarkan spesialisasi atau keahliannya dan dalam jumlah banyak yang telah dilengkapi dengan pembagian kerja yang rinci serta seringkali menggunakan tenaga kerja upahan (wage labour), penggunaan teknologi produksi atau pengolahan modern (pabrik), dan dilengkapi dengan sistem administrasi dan birokrasi yang rapi. Selain itu, jenis tanaman yang ditanam pun adalah jenis-jenis tanaman yang merupakan komoditi perdagangan atau ekspor (Kartodidrdjo, 1991: 4).

Jenis perkebunan dan pabrik yang sangat digemari ketika masa itu adalah perkebunan tebu dengan pabrik gula. Cirebon sebagai salah satu wilayah paling barat pulau Jawa yang berhasil membudidayakan tebu juga menjadi salah satu tempat investor Eropa mendirikan pabrik-pabrik gulanya, salah satunya adalah Pabrik Gula Sindanglaut. Pabrik Gula Sindanglaut

Sejarah terkait Pabrik Gula Sindanglaut cukup sulit untuk ditelusuri. Bukti-bukti tertulis terkait pabrik gula ini tidak diperoleh yang kemungkinan disebabkan oleh Jepang yang menyerang Hindia Belanda di tahun 1942 yang membuat bangsa Belanda kembali ke negeri Belanda dengan membawa serta keluarga dan surat- surat penting terkait usaha miliknya. Pabrik Gula Sindanglaut terletak di desa Sindanglaut, kec. Lemabang , Cirebon, Jawa Barat. Pabrik gula ini didirikan tahun 1896. Berdasarkan surat kabar masa Hindia Belanda dan surat saham yang masih tersisa dijelaskan bahwa status Pabrik Gula Sindanglaut adalah pabrik gula swasta yang dikelola oleh NV. Exploitatie der Suikerfabriek Sindanglaoet Cheribon.

Pada tahun 1957 Pabrik Gula Sindanglaut ikut dinasionalisasikan bersama pabrik gula lainnya menjadi milik Republik Indonesia dan dikelola di bawah Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS). Lembaga negara yang mengelola mengalami perubahan seiring waktu, Pada tahun 1981 pemerintah mulai ikut menyertakan modal ke dalam pengelolaan perkebunan dan pabrik gula yang dijelaskan dalam UU. No. 10/1981 dan menjadi

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 6: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

6  

Perseroan Terbatas (PT) Perkebunan XIV. Menteri Keuangan yang saat itu melihat PTPN memperoleh keuntungan ketika dikelola oleh BUMN PT. Rajawali Nusantara Indonesia memutuskan untuk mengambil alih PTPN XIV menjadi anak perusahaan dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) di tahun 1988. Akhirnya PTPN XIV berubah menjadi PT. PG Rajawali II unit Cirebon dan bagian dari RNI Group di tahun 1996. (Kronologi Berdirinya PT Rajawali II, 2008; Kanumoyoso, 2001: 60-61,92-93, 123-126).

Foto 1. Foto udara Pabrik Gula Sindanglaut, sekitar tahun 1920 (sumber: Troppenmuseum)

Pabrik Gula Sindanglaut memiliki luas pabrik sekitar 7 Ha dan luas lahan tebu sekitar 3500 Ha yang berada disekitar pabrik, tebu yang digiling di pabrik tidak hanya berasal dari lahan pabrik sendiri tapi juga ada yang berasal dari lahan tebu miliki petani. Pada emplasemen atau komplek Pabrik Gula Sindanglaut terdapat bangunan-bangunan yang terdiri atas tiga jenis, yaitu bangunan produksi, infrastruktur penunjang produksi, dan bangunan kawasan pemukiman pegawai pabrik. Bangunan produksi terdiri atas: perkebunan dan bangunan pabrik, gudang gula, kilang tetes, kantor, gudang material, gudang pupuk. Infrastruktur penunjang produksi terdiri atas: kolam penampungan air, jalan dan jalur kereta lori. Bangunan kawasan pemukiman pegawai pabrik terdiri atas: bangunan rumah administartur atau kepala pabrik, rumah pegawai golongan menengah, rumah pekerja pribumi, dan fasilitas lapangan tenis serta taman.

Pola Keletakan Bangunan di Pabrik Gula Sindanglaut

Pabrik Gula Sindanglaut terletak di lokasi

yang cukup cocok dan strategis. Pabrik gula ini berdiri di lokasi yang memang memiliki banyak lahan tebu di masa itu dan wilayah Sindanglaut juga memang salah

satu daerah di wilayah Cirebon, Jawa Barat, yang memiliki keadaan lahan dan cuaca yang cocok untuk dibuka sebagai lahan penanaman tebu seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa karesidenan Cirebon merupakan salah satu karesidenan di wilayah Jawa Barat yang berhasil membudidayakan tebu. Selain itu pabrik ini juga didukung dengan sistem pengairan yang terjamin, baik untuk keperluan lahan tebu maupun pabrik. Suplai air berasal dari sumber air di waduk Setu Patok dan Setu Sendong yang sejak masa kolonial memang telah dijadikan waduk atau reservoir. Lokasi Pabrik Gula Sindanglaut berdiri pun dinilai sudah strategis karena dilalui oleh jalur kereta lori yang terintegrasi dengan jalur kereta dan jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah pesisir di pulau Jawa. Gambar 2. Denah Keletakan Bangunan Emplasemen PG Sindanglaut Keterangan: A1: pabrik B1: rumah administratur A2: gudang gula B2: pemukiman sektor barat A3: gudang material B3: pemukiman sektor selatan A4: garasi kendaraan B4: pemukiman sektor tenggara A5: kantor C : lapangan tenis A6: gudang pupuk D1: Stasiun kereta lori A7: kilang tetes D2: lapangan parkir lori

: rumah pegawai D3: bengkel kereta lori : pintu masuk emplasemen : kolam penampungan air

: batas emplasemen

Pada emplasemen Pabrik Gula Sindanglaut kawasan produksi berada di bagian tengah dan kemudian kawasan untuk pemukiman pegawai pabrik berada di luar kawasan produksi pabrik. Pada kawasan

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 7: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

7  

produksi terdapat bangunan-bangunan terkait fungsi produksi dan infrastruktur. Kawasan pemukiman adalah kawasan yang berisi bangunan rumah atau tempat tinggal bagi para pegawai pabrik gula yang dahulu didominasi oleh pegawai berkebangsaan Belanda dan khusus untuk para pekerja pribumi mereka tinggal di pemukiman atau kampung yang berada di luar emplasemen pabrik.

Pada kawasan produksi Pabrik Gula Sindanglaut bangunan-banguan yang terkait kegiatan produksi tebu menjadi gula terletak saling berdekatan, begitu pun dengan sarana dan bangunan infrastruktur penunjang kegiatan produksi. Bangunan pabrik sebagai bangunan produksi utama berada di tengah-tengah kawasan produksi dan dikelilingi oleh bangunan- bangunan produksi lainnya. Bangunan pabrik gula terhubung oleh jalur lori yang berasal dari lahan tebu dan masuk hingga bagian dalam bangunan pabrik.

Kawasan pemukiman pegawai Pabrik Gula Sindanglaut tersebar di tiga wilayah, yaitu pemukiman pegawai sektor Barat, sektor Selatan, dan sektor Tenggara. Ketiga pemukiman tersebut merupakan bangunan bagi administratur/ pemimpin dan pegawai pabrik berkebangsaan Belanda melihat bentuk bangunan rumahnya yang lebih layak jika dibandingkan bangunan rumah yang berada di luar kawasan pabrik yang dihuni oleh para pekerja pribumi. Pada ketiga pemukiman tersebut juga terdapat perbedaan diantara satu dan lainnya, yaitu pada pemukiman sektor Barat terdapat fasilitas taman umum dan lapangan tenis, selain itu letaknya lebih dekat dengan rumah sang administratur. Fasiltas tersebut tidak terdapat pada pemukiman pegawai sektor lainnya maupun pemukiman pekerja pribumi.

Kawasan pemukiman pegawai sektor Barat memiliki akses yang lebih dekat menuju tempat kerja, yaitu kawasan produksi Pabrik Gula Sindanglaut, dibandingkan dengan kawasan pemukiman di sektor Selatan. Sektor Tenggara, dan pemukiman pekerja pribumi. Kawasan pemukiman pekerja pribumi dahulu dikenal dengan istilah kampung dan terletak di luar wilayah emplasemen pabrik.

Tata Ruang Bangunan dan Gaya Bangunan di Pabrik Gula Sindanglaut

Pada bangunan pabrik utama Pabrik Gula

Sindanglaut ruang-ruang didalamnya dibagi berdasarkan fungsinya dalam kegiatan produksi. Ruang-ruang tersebut berisi mesin-mesin produksi yang umumnya dikenal dengan istilah stasiun pada . Pada bagian dalam bangunan pabrik gula Sindanglaut tiap stasiun tidak dibatasai oleh sekat pembatas ruangan, kecuali untuk ruang kepala teknisi atau mesin yang pada masa lalu dikenal dengan sebutan machinist, dan ruang lab tempat seorang ahli gula atau yang disebut dengan chemicher, yaitu seseorang yang mengerti proses pembuatan gula. Keduanya adalah

tenaga ahli yang bekerja di dalam pabrik memantau kegiatan seama prduksi gula berlangsung. Staisun produksi yang ada di Pabrik Gula terdiri atas tujuh stasiun, yaitu stasiun gilingan, pemurnian, evaporator, pemasakan, puteran, dan packing. Selain itu terdapat satu stasiun lagi namun tidak berfungsi sebagai bagian dari produksi melainkan sumber penyuplai tenaga untuk menggerakan mesin-mesin di stasiun lain, yaitu stasiun ketel atau boiler yang di dalamnya terdapat mesin uap. Seluruh stasiun masih menggunakan mesin- mesin dari masa kolonial, terkecuali stasiun ketel yang kini sudah tidak digunakan lagi karena bahan bakar berupa kayu bakar yang sudah tidak aramah lingkungan. Stasiun-stasiun produksi ditata secara berurutan sesuai dengan alur produksi.

Tata ruang dan gaya bangunan dari rumah yang diperuntukan bagi mereka yang bekerja di Pabrik Gula Sindanglaut dapat memperlihatkan informasi mengenai gaya hidup, status sosial, dan jabatan dari penghuni bangunan tersebut. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa terdapat beberapa pemukiman pegawai pabrik gula, tiap pemukiman memiliki bentuk atau gaya bangunan rumah tidak berbeda jauh namun selalu ada rumah yang ukurannya lebih besar dan gaya bangunannya lebih bagus dibandingkan rumah lainnya dalam pemukiman tersebut meskipun tidak sebesar dan sebagus rumah sang administratur.

Rumah administratur adalah rumah yang paling megah gaya bangunannyadan memiliki ukuran besar. Rumah sang administratur dibangun dengan lantai yang ditinggikan lebih tinggi dari permukaan tanah dan memiliki banyak variasi bentuk pintu maupun jendela, sebagian dari pintu dan jendelannya berukuran besar. Bangunan rumah ini memiliki banyak ruangan, ruangan kamar tidur dan kamar mandi memiliki jumlah lebih dari satu karena kamar bagi pembantu (orang pribumi) dan khusus pemilik rumah (orang Belanda) terpisah. Berdasarkan bentuk dan tata ruang rumahnya tampak bahwa rumah administratur pasti yang paling megah sesuai dengan jabatan yang merupakan golongan tertinggi dalam susunan pegawai pabrik gula.

Rumah pegawai di pemukiman sektor Barat memiliki gaya bangunan yang serupa dengan rumah administratur, yaitu beberapa ornamen gaya bangunan yang terdapat pada rumah administratur seperi bentuk pintu dan jendela juga terdapat pada bangunan rumah ini. Ukuran rumahnya tidak luas seperti rumah administratur sehingga jumlah ruangannya pun juga berbeda meskipun terdapat ruangan-ruangan yang memiliki fungsi sama seperti pada ruangan di rumah sang administratur pabrik. Berdasarkan deskripsi tersebut diperkirakan bangunan rumah di pemukiman pegawai sektor Barat dihuni oleh para pegawai golongan menengah. Golongan menegah yang menempati pemukiman ini adalah para kepala dari sinder atau ahli tanaman tebu, chemicher atau ahli produksi gula, dan machinist atau ahli mesin.

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 8: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

8  

Gambar 2. Denah Rumah Administratur Keterangan: 1a, 1b, 1c, 1d: Beranda 8a, 8b: kamar mandi 2 : ruang tamu 9 : kamar pembantu 3a, 3b: ruang tidur pemilik rumah 10: gudang 4 : ruang keluarga 11: taman keluarga 5 : lorong 6 : dapur 7 : garasi

Rumah pegawai di pemukiman sektor Barat

memiliki gaya bangunan yang serupa dengan rumah administratur, yaitu beberapa ornamen gaya bangunan yang terdapat pada rumah administratur seperi bentuk pintu dan jendela juga terdapat pada bangunan rumah ini. Ukuran rumahnya tidak luas seperti rumah administratur sehingga jumlah ruangannya pun juga berbeda meskipun terdapat ruangan-ruangan yang memiliki fungsi sama seperti pada ruangan di rumah sang administratur pabrik. Berdasarkan deskripsi tersebut diperkirakan bangunan rumah di pemukiman pegawai sektor Barat dihuni oleh para pegawai golongan menengah.

Gambar 3. Denah Rumah Pegawai Pemukiman Sektor Barat Keterangan:

1 : ruang tamu 6 : halaman 2 : ruang keluarga 7 : kamar mandi 3 : ruang tidur keluarga 8 : lorong terbuka 4 : beranda 9 : kamar pembantu 5 : dapur 10: garasi

Pegawai golongan menengah pada sebuah pabrik gula umumnya dijabat oleh para kepala tenaga ahli, yaitu ahli tanaman tebu atau sinder, ahli produksi gula atau kimia yang disebut chemicher, dan ahli mesin atau teknisi dikenal dengan sebutan machinist. Jabatan ini memang dijabat oleh mereka yang telah menempuh sekolah khusus dan umumnya diisi oleh orang-orang Belanda. Pada pekejaan di pabrik mereka dibantu oleh masing-masing anak buahnya yang juga orang Belanda untuk mengawasi para pekerja pribumi.

Bangunan-bangunan rumah di pemukiman pegawai sektor Selatan dan Tenggara memiliki ukuran yang tidak seluas rumah pegawai di pemukiman sektor Barat maupun rumah administratur. Ukurannya yang tidak seluas kedua jenis rumah sebelumnya membuat rumah ini juga tidak memiliki jumlah ruangan yang sebanding. Gaya bangunan rumah pada kedua pemukiman ini pun tidak memiliki kemiripan dengan rumah administratur namun lebih mirip dengan ornamen gaya bangunan di rumah pegawai pemukiman sektor Barat, baik dari bentuk bangunan maupun ornamen bentuk jendela dan pintu. Gambar 4. Denah Rumah Pegawai Pemukiman Sektor Selatan Keterangan: 1 : beranda 5 : beranda belakang 2 : ruang tamu 6 : dapur 3 : ruang keluarga 7 : kamar mandi (a,b, dan c) 4 : ruang tidur pemilik rumah (a dan b) 8 : kamar tidur pembantu (a dan b)

Berdasarkan pengamatan tersebut diperkirakan bahwa rumah di kedua pemukiman ini adalah rumah dari pegawai golongan menengah yang setingkat lebih rendah dari para pegawai di pemukiman sektor Barat, mengingat di kedua pemukiman juga tidak terdapat fasilitas seperti lapangan tenis di pemukiman sektor Barat. Kedua pemukiman ini dihuni oleh orang Belanda yang menjabat sebagai anak buah dari sinder, chemicher, dan machinist, sebagian dari mereka juga ada yang bekerja di bagian administratis atau pencatatan.

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 9: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

berdasarkan ukurannya yang kecil diperkirakan rumah para pekerja pribumi tidak memiliki sarana atau ruangan selengkap rumah administratur dan pegawai pabrik. Oleh karena itu jelas bahwa status sosial dari penghuni rumah ini termasuk golongan terendah.

Rekonstruksi Produksi Pabrik Gula Sindanglaut

Gambar 5. Denah Rumah Pegawai Pemukiman Sektor Tenggara. Keterangan:

Rekonstruksi aktifitas produksi adalah salah satu hal yang akan berusaha direkonstruksi dari penelitian ini. Rekonstruksi aktifitas produksi menampilkan interpretasi aktifitas masyarakat atau para pekerjanya tidak hanya bagaimana cara produksi gula pada umumnya tapi kemudian difokuskan kepada pelakunya yaitu status dan jabtan yang terkait selama

1 :beranda 5a, 5b : kamar tidur utama kegiatan produksi gula di Pabrik Gula Sindanglaut 2 : ruang keluarga 3 : ruang tamu

6a, 6b : kamar tidur pembantu 7a, 7c : kamar mandi

Berdasarkan keterlibatan dalam aktifitas produksi kemudian akan diperoleh gambaran mengenai aktifitas

4 : dapur dari tiap golongan status sosial, yaitu golongan tertinggi, menengah, dan terendah.

Gaya bangunan rumah pekerja pribumi

berbeda dengan rumah administratur maupun rumah pegawai pabrik yang berada di dalam kawasan Pabrik Gula Sindanglaut. Berdasarkan foto yang berasal dari masa kolonial memperlihatkan bahwa rumah para pekerja pribumi berukuran kecil dan terbuat dari bahan material yang mudah rusak, yaitu dari batang bambu, anyaman bambu sebagai dindingnya jika menggunakan dinding bata pun hanya separuh, dan menggunakan atap genteng dari tanah liat seperti yang digunakan pada rumah pegawai pabrik.

Foto 2. Bangunan rumah pekerja pribumi di sekitar pabrik gula (sumber: KITLV).

Pada foto tersebut sedikit terlihat ujung cerobong pabrik gula di bagian belakangnya yang menunjukkan bahwa pemukiman pekerja pribumi berada disekitar pabrik. Pembagian ruang bangunan rumah pribumi tidak dapat diketahui karena bangunan semacam itu tidak dapat lagi ditemkan, namun

Tahap pra produksi adalah tahap paling awal, yaitu persiapan lahan untuk ditanami bibit tebu, perawatan, hingga panen tebu dan diangkut menuju pabrik gula. Pada persiapan lahan dikerahkan tenaga kerja pribumi untuk mengerjakan pekerjaan yang oleh orang asing pda masa itu dianggap pekerjaan kasar. Pekerja pribumi ini tidak hanya bekerja di lahan tebu, mereka juga bekerja di pabrik gula. Pekerjaan di lahan tebu dipimpin oleh seorang sinder atau ahli tebu atau kepala tanaman, dia adalah seseorang yang ahli dalam membudidayakan tebu. Seorang sinder dibantu oleh anak buah lain yang juga seorang sinder untuk mengawasi kegiatan penanaman tebu hingga panen. Mereka juga dibantu oleh seorang mandor untuk memperoleh jumlah pekerja pribumi dalam jumlah banyak. Seorang mandor adalah orang dari masyarakat pribumi yang dianggap memiliki kuasa dan kekuatan untuk mengumpulkan masyarakat pribumi sebagai pekerja di lahan dan pabrik tebu. Mandor juga ikut mengawasai para pekerja pribumi agar tidak ada yang berhenti atau kabur dari tugasnya. Pada masa panen jabatan-jabatan tadi juga yang bekerja dilahan tebu, ditambah dengan seorang machinist. Machinist atau ahli mesin pada tahap ini menjalakan kereta lori untuk mengangkut tebu dari perkebunan menuju pabrik gula. Kereta lori yang digunakan saat itu masin kereta dengan tenaga mesin uap. Pengangkutan tebu dapat menggunakan kendara lain selain lori, seperti mobil truk maupun kereta atau gerobak yang ditarik oleh kerbau.

Tahap selanjutnya adalah tahap produksi dimana seluruh kegiatan produksi berlangsung di dalam pabrik gula menggunakan mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga uap. Pada tahap produksi semua pekerjaan masih tetap dilakukan oleh para pekerja pribumi, namun tetap berada di bawah pengawasan para tenaga ahli. Jabatan yang mengawasi

9  

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 10: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

1010  

         

pekerjaan di pabrik gula adalah seorang kepala machinist atau ahli mesin dan chemicher atau ahli gula atau kimia, dengan dibantu oleh anak buahnya. Machinist harus mengawasi kinerja mesin pada tiap stasiun dan pengoperasian mesin yang dilakukan oleh para pekerja pribumi, selain itu dia juga bertugas memperbaiki mesin-mesin yang rusak. Chemicher bertugas untuk memastikan bahwa produksi berjalan dengan baik dari segi proses produksi dan kimiawi, selain itu mereka juga harus menguji kualitas gula yang diproduksi di laboratorium. Machinist dan chemicher umumnya berada di tiap stasiun produksi untuk memastikan bahwa tebu diproduksi dengan benar sehingga menghasilkan gula yang berkualitas.

1                           2                            3                          4                          5                          6  

       

A                           B                                                        T    

Bagan 1. Alur produksi gula di pabrik dan hasil sampingan Keterangan: 1: Stasiun Gilingan 4: Stasiun Pemasakan 2: Stasiun Pemurnian 5: Stasiun Puteran 3: Stasiun Penguapan 6: Stasiun Penyelesaian (packing) A: limbah ampas tebu B: limbah blotong C: limbah tetes

Pada tahap pasca produksi dilakukan pemindahan gula yang telah dihasilkan dan dikemas dalam karung menuju gudang gula. Gudang gula berfungsi untuk menyimpan gula-gula yang siap didistribusikan. Pendistribusian gula menggunakan truk atau kereta yang dibawa menuju kota pelabuhan. Seorang administratur memang jarang ditampilkan melakukan pekerjaan di pabrik dan diperkebunan, sesekali administratur datang hanya untuk mengecek pekerjaan para bawahannya dan bekerja di kantor untuk melakukan pencatatan yang akan dilaporkan kepada firma pemilik pabrik gula. Kegiatan produksi gula juga menghasilkan sisa produksi yang dipergunakan kembali, yaitu ampas tebu, tetes tebu, dan blotong. Ampas tebu adalah hasil dari penggilingan tebu yang sudah tidak diperas kandungan cairan tebunya. Ampas tebu dipergunakan kembali untuk bahan pembakaran di stasiun ketelan (boiler) untuk memanaskan air sehingga menghasilkan uap. Blotong adalah hasil samping dari proses pengendapan kotoran dari kandungan nira. Blotong diperoleh secara kimiawai dan dapat dipergunakan sebagai pupuk pada lahan tebu. Hasil samping lainnya adalah tetes gula atau melasse, yaitu larutan nira yang tidak dapat terkristalkan menjadi gula. Cairan tetes gula ini disimpan dalam kilang tetes dan dapat

dipergunakan sebagai bahan baku industri alkohol atau penyedap makanan. Rekonstruksi Kelas Sosial di Pabrik Gula Sindanglaut

Berdirinya pabrik gula Sindanglaut di tengah- tengah masyarakat desa Sindanglaut dilihat tidak hanya memperkenalkan perkembangan teknologi barat kepada masyarakat saat itu tapi juga berdampak terhadap masyarakat disekitarnya. Dampak terhadap masyarakat tersebut adalah terbentuknya sebuah masyarakat industri, masyarakat industri adalah mereka yang memiliki ikatan dengan pabrik gula Sindanglaut, yaitu para pegawainya.

Masyarakat industri memiliki kelompok atau stratifikasi sosial yang berbeda dengan masyarakat pribumi. Apabila pada masa sebelum berdirinya pabrik gula Sindanglaut masyarakat sekitar menganut sistem feodal atau tuan tanah dimana seorang raja, bangsawan, menduduki jabatan tertinggi maka berbeda halnya dengan masyarakat industri, yaitu pemilik modal atau industri menduduki posisi tertinggi. Bagan 2. Struktur masyarakat Industri menurut Watson (2003: 198).

Apabila melihat jabatan serta tugasnya yang terdapat pada pekerja di pabrik gula Sindanglaut maka bentuk model masyarakat industri yang tepat untuk menjadi acuan adalah model ketiga. Model Marxis dianggap tidak sesuai karena pada model tersebut seluruh pekerja, baik dengan keahlian khusus atau tidak, digolongkan menjadi satu kelas pekerja, dan atasan atau borjuis adalah golongan yang tidak bekerja. Model pertama juga tidak sesuai karena pada model tersebut pekeja dengan keahlian administrasi digolongkan dalam pekerja golongan menengah sedang

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 11: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

1111  

pada masa kolonial umumnya tugas administrasi atau percatatan diserahkan kepada pegawai rendahan. Pekerja di pabrik gula Sindanglaut dibagi menjadi tiga golongan kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, kelas sosial menengah, dan kelas sosial rendah. Pengelompokan kelas sosial di pabrik gula Sindanglaut tidak hanya berdasarkan pada jabatannya tapi juga tempat tinggal, dan gaya berpakaian mereka.

Kelas sosial golongan atas diisi oleh administratur pabrik. Administratur adalam pemimpin di pabrik gula, dia dipercayakan oleh perusahaan untuk menjalankan pabrik gula. Administratur memiliki rumah dengan gaya bangunan yang mewah dan ukurannya yang luas dengan ruangang yang banyak dan lengkap sebagi sebuah rumah. Berdasarkan keletakannya rumah administratur tergolong strategis karena letaknya yang dekat dengan fasilitas lapangan tenis dan akses menuju pabrik yang tidak jauh. Gaya berpakaian seorang administratur berdasarkan foto tidak jauh berbeda dengan administratur pada pabrik gula lainnya di masa kolonial, yaitu berpakaian serba putih ketika bekerja, menggunakan jas lengan panjang berkancing dan celana panjang serta menggunakan sepatu sebagai alas kaki.

Kelas sosial golongan menengah diisi oleh pegawai yang merupakan tenaga ahli, yaitu sinder, machinist, dan chemicher, mereka merupakan orang- orang Belanda yang telah menempuh pendidikan khusus sama seperti sang administratur. Tempat tinggal mereka diperkirakan di kawasan pemukiman pegawai sektor Barat karena gaya bangunan rumah di pemukiman tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan rumah administratur. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan bahwa hal yang terkait dengan sang administratur dijadikan contoh atau patron mereka. Pemukiman mereka di sektor barat memiliki letak yang lebih dekat dengan rumah administratur dibandingkan kedua sektor pemukiman lainnya dan begitu pula dalam jarak menuju pabrik. Selain itu pada kawasan pemukiman tersebut terdapat fasilitas lapangan tenis dan taman umum. Para pekerja golongan menengah memiliki gaya berpakaian yang hampir sama seperti administratur sehingga diperkirakan bahwa gaya pakaian seperti itu adalah pakaian kerja atau seragam. Mereka juga mengenakan sepatu sebagai alas kaki mereka. Ketika mereka berada di lahan tebu maka mereka menggunakan topi berbentuk bundar dengan tonjolan di bagian tengahnya.

Pemukiman di sektor selatan dan tenggara pun diperkirakan dipergunakan oleh pekerja golongan menengah namun setingkat lebih rendah, yaitu anak buah atau bawahan dari para sinder, chemicher, dan machinist, atau mungkin pegawai administrasi. Bangunan tersebut tidak memiliki gaya bangunan layaknya rumah pekerja golongan menengah di pemukiman sektor barat. Namun pada bangunan di kedua pemukiman tersebut juga terdapat ruangan kecil

seperti sebuah ruangan untuk pembantu di rumah tangga.

Kelas sosial golongan bawah terdiri oleh mandor dan buruh atau koeli. Kedua jabatan tersebut diisi oleh orang-orang pribumi, mereka biasanya diambil dari sekitar pabrik gula Sindanglaut. Kedua jabatan tersebut sama-sama tidak memiliki keahlian khusus yang berkaitan dengan perkebunan tebu atau produksi pabrik, mereka bekerja atas perintah dari pekerja golongan menengah. Keduanya adalah jabatatan yang hanya dapat diisi orang pribumi namun terdapat sedikit perbedaan antara kedua jabatan tersebut, yaitu jabatan mandor lebih tinggi dibanding buruh. Hal ini disebabkan mandor merupakan kaki tangan dari pabrik gula yang berperan sebagai perantara antara orang Belanda dengan pribumi, mandor pula yang bertugas untuk mengumpulkan warga desa yang akan dipekerjakan pada lahan perkebunan tebu dan pabrik. Buruh tidak hanya terdiri dari laki-laki tetapi juga perempuan, namun yang perempuan hanya mengerjakan kegiatan penanaman bibit tebu dan perawatan.

Gaya pakaian dari seorang mandor terkadang sama seperti pakaian pegawai berkebangsaan Belanda, yaitu menggunakan baju dan celana panjang berwarna putih, namun yang membedakannya adalah mereka tidak menggunakan alas kaki dan memakai topi caping. Gaya pakaian mereka yang lain kadang seperti pakaian adat, menggunakan celana dan kain yang diikatkan di pinggang serta penutup kepala blangkon, namun tetap tidak memakai alas kaki.

Pakaian buruh pribumi jauh berbeda dengan pekerja lainnya, bagi buruh laki-laki kadang mereka bertelanjang dada atau menggunakan pakaian dengan bahan yang tipis dan mengenakan celana panjang atau kain sarung. Mereka juga tidak mengenakan alas kaki seperti para mandor. Buruh perempuannya mengunakan pakaian kebaya berlengan panjang dengan kain sebagai sarung dan tidak beralas kaki. Rekonstruksi Makna Keletakan dan Hubungan Antar Bangunan

Berdasarkan penjelasan keletakan bangunan- bangunan yang ada di Pabrik Gula Sindanglaut terlihat bahwa bangunan tersebut disusun secara berpola atas suatu tujuan tertentu. Pola itu berusaha dipahami maknanya sehingga dapat memberikan sebuah interpretasi yang lebih luas. Colin Renfrew dan Bahn (2004: 182) menyatakan bahwa dengan mengetahui sebuah pola pemukiman maka kita dapat mengidentifikasi sistem sosial dan politis yang diterapkan pada sebuah lansekap.

Pertama, keletakan bangunan-bangunan di Pabrik Gula Sindanglaut didasari oleh alasan sistem produksi gula. Bangunan yang memiliki fungsi berhubungan dengan proses produksi tebu hingga menjadi gula diletakkan saling berdekatan. Hal ini

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 12: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

1212  

tampak pada kawasan produksi pabrik gula yang terdiri atas bangunan-bangunan terkait fungsi produksi, yaitu bangunan pabrik, gudang gula, kilang tetes, kantor, gudang material, gudang pupuk, dan infrastruktur penunjang produksi, yang terdiri atas kolam penampungan air, jalan dan jalur kereta lori. Bangunan pabrik utama berada ditengah dan disekitar berdiri bangunan-bangunan produksi lainnya, serta tidak jauh dari posisinya berada terletak infrastruktur jalur lori, dan jalan beraspal yang memudahkan akses antar bangunan. Gula pada saat masa itu ketika sudah tiba saatnya penggilingan maka sebuah pabrik bisa beroperasi selama sehari penuh, tentunya diperlukan pertimbangan yang tepat agar proses produksi gula berjalan efektif dan tidak ada waktu yang terbuang sia- sia. Oleh karena itu bangunan-bangunan yang memilki hubungan produksi disusun saling berdekatan dengan bangunan pabrik utama sebagai pusat kegiatan produksi berlangsung.

Gambar 6. Pembagian Kawasan Pemukiman PG Sindanglaut Keterangan: A : pabrik B : lapangan tenis 1 : rumah administratur 2a : kawasan pemukiman sektor barat 2b : kawasan pemukiman sektor selatan 2c : kawasan pemukiman sektor tenggara 3 : kawasan pemukiman pribumi

: rumah pegawai Belanda : rumah pekerja pribumi : batas emplasemen

Kedua, pola keletakan kawasan pemukiman pegawai yang terpisah dilatarbelakangi oleh sistem sosial menyangkut jabatan penghuni rumah pada pabrik gula. Ada semacam peraturan yang berlaku bahwa seseorang dengan jabatan penting pada suatu

pabrik akan memperoleh berbagai macam keistimewaan. Keistimewan tersebut tidak hanya pada fasilitas tapi juga meliputi kemudahan akses menuju pabrik dan bentuk bangunannya yang bagus. Hal ini terlihat dari pemukiman pegawai sektor Barat yang merupakan satu-satunya pemukiman yang memiliki fasilitas hiburan lapangan tenis dan akses yang terdekat menuju pabrik. Hal ini juga menjelaskan bahwa para pegawai yang tinggal di pemukiman sektor Barat memiliki kedekatan dengan sang administratur karena fasilitas hiburan juga dapat diakses oleh administratur pabrik. Letak pemukiman yang cukup dekat dengan rumah administratur pun juga dapat menjelasan kedekatan hubungan mereka dengan jabatan golongan tertinggi di pabrik.

Selain sistem sosial, pembagian kawasan pemukiman pegawai pabrik juga menampilkan sistem politis yang berlaku di Pabrik Gula Sindanglaut. Sistem politik yang diterapkan saat itu sama seperti yang berlangsung di seluruh Hindia Belanda, yaitu sistem kolonial yang beranggapan bahwa yang berkuasa dan memiliki status sosial tertinggi adalah bangsa Belanda dibandingkan bangsa pribumi sehingga diperlukan pemisahan diantara keduanya baik dalam segala hal, salah satunya adalah tempat tinggal.Wilayah emplasemen Pabrik Gula Sindanglaut dianggap sebagai daerah kekuasaan miliki bangse Eropa, oleh karena itu para pegawai berkebangsaan Belanda tinggal bersama di dalamnya dan bangsa pribumi harus tinggal di luar wilayah Pabrik Gula Sindanglaut.

Ketiga, pola keletakan bangunan di emplasemen Pabrik Gula Sindanglaut didasari oleh pertimbangan sistem keamanan. Pada masa itu beberapa kali muncul kabar bahwa adanya usah pembakaran, pengrusakan atau sabotase pabrik gula yang dilakukan oleh para pekerja pribumi pabrik gula karena menerima perlakuan bruk dari atasannya atau pekerja lain yang berkebangsaan Belanda, sehingga diperlukan sistem keamanan yang menjamin kelangsungan dan kelancaran kegiatan produksi di pabrik gula. Hal diperlihatkan dengan posisi rumah administratur yang fungsinya serupa seperti menara pengawas. Rumah administratur yang berada diantara jalan masuk menuju kawasan produksi dan diantara ketiga pemukiman memberikan arah pandang ke segala penjuru, sehingga hanya dari teras rumahnya sang administratur dapat memantau kegiatan pegawai pada tiap pemukiman dan siapa pun yang memasuki wilayah Pabrik Gula Sindanglaut. Selain rumah administratur juga ada menara pengawas di depan bangunan pabrik yang dapat memantau aktifitas pekerja di sekitar kawasan produksi karena pada masa itu sangat sering terjadi pekerja pribumi yang melarikan diri dari tugas disebabkan tidak kuat menerima pekerjaan yang menghabiskan waktu hampir sehari penuh.

Selain adanya bangunan-bangunan yang memiliki fungsi sebagai pengawasan atau sistem keamanan pabrik gula Sindanglaut, juga terdapat

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 13: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

1313  

sistem keamanan berdasarkan pembagian wilayah atau zoning di dalam Pabrik Gula Sindanglaut. Pembagian wilayah tersebut dibagi secara berturut-turut mulai dari yang inti yaitu kawasan produksi atau pabrik, kemudian pemukiman-pemukiman pegawai pabrik golongan atas dan menengah kemudian yang terluar adalah kawasan pemukiman pekerja pribumi. Wilayah inti yaitu kawasan produksi dipahami sebagai wilayah yang memiliki fasilitas yang sangat penting dan harus dilindungi agar dapat beroperasi sehingga menjamin kelangsungan PG. Sindanglaut, kemudian selanjutnya adalah wilayah pemukiman pegawai golongan atas dan menengah yang dihuni oleh administratur pabrik dan pegawai tenaga ahli yang berkebangsaan Belanda. Mereka dapat diartikan sebagai pihak yang mengklaim bahwa PG. Sindanglaut adalah milik mereka dan bertanggung jawab untuk melindungi wilayah inti dari pihak yang belum tentu bertujuan baik, seperti para pekerja pribumi yang ketika itu merupakan musuh atau pihak yang dijajah. Wilayah atau zone terluar adalah kawasan pemukiman pekerja pribumi yang merupakan sumber tenaga kerja bagi PG. Sindanglaut dan juga pihak yang memiliki hubungan permusuhan dengan pihak bangsa Belanda yang pada masa itu sempat dikabarkan terjadi sabotase dan pengrusakan terhadap pabrik-pabrik gula milik asing.

Kesimpulan

Pabrik Gula Sindanglaut adalah salah satu

pabrik gula milik perusahaan swasta yang berdiri ketika politik liberal berlangsung di Hindia Belanda tahun 1870-an. Pabrik gula ini didirikan di tahun 1896 dan terletak di desa Sindanglaut, kecamatan Lemahabang, Cirebon, Jawa Barat. Pada masa lalu pabrik gula ini dikelola oleh perusahaan bernama NV. Exploitatie der Suikerfabriek Sindanglaoet Cheribon dan dinasionalisasikan menjadi milik Republik Indonesia di tahun 1957 oleh lembaga Badan Nasionalisasi Perusahan Belanda (BANAS). Pabrik Gula Sindanglaut adalah salah satu dari beberapa pabrik gula yang didirikan di Cirebon pada masa kolonial, namun kini tidak semuanya beroperasi karena sebagian telah ditutup dengan alasan tidak dapat lagi memenuhi jumlah permintaan komoditi gula. Kini Pabrik Gula Sindanglaut dan beberapa pabrik gula lainnya di wilayah Cirebon berada di bawah pengelolaan lembaga PT. PG Rajawali II unit Cirebon. Lokasi Pabrik Gula Sindanglaut merupakan lokasi yang cocok dari segi ekologi maupun ekonomi. Pabrik Gula Sindanglaut didirikan pada masa kolonial di residen Cirebon yang merupakan residen pesisir barat pulau Jawa yang berhasil untuk dibudidayakan tanaman tebu diantara residen lainnya di Jawa Barat. Selain itu pada wilayah residen Cirebon terdapat sumber pasoka air untuk lahan tebu berupa waduk atau reservoir yang dibuat oleh pemerintah kolonial saat itu, yaitu Setu Patok dan Setu Sedong.

Pabrik Gula Sindanglaut juga memiliki lokasi yang strategis karena berada di wilayah pesisir pulau Jawa yang dihubungkan dengan jalan raya dan jalur kereta yang terhubung ke seluruh daerh pesisir pulau Jawa. Pada masa itu jalur kereta yang digunakan dikelola oleh N.V Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij Keberadaan infrastruktur tersebut mempermudah pendistribusian gula dari Pabrik Gula Sindanglaut menuju pelabuhan kota Cirebon untuk kemudian dikirim ke Batavia.

Pada emplasemen Pabrik Gula Sindanglaut bangunan-bangunannya disusun secara berpola, tidak sembarang. Pada pabrik ini terdapat tiga jenis bangunan, yaitu bangunan terkait produksi gula, infrastruktur sebagai penunjang produksi, dan bangunan tempat tinggal bagi administratur serta para pegawai pabrik gula. Wilayah Pabrik Gula Sindanglaut dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan produksi dan kawasan pemukiman atau rumah pegawai pabrik. Pada kawasan produksi terdapat bangunan-bangunan terkait kegiatan produksi gula serta infrastruktur yang menunjangnya dan letak tiap bangunannya saling berdekatan. Kawasan pemukiman berisi rumah-rumah tempat tinggal orang-orang yang bekerja di Pabrik Gula Sindanglaut yang letaknya berada di luar kawasan produksi. Kawasan pemukiman pegawai pabrik terbagi menjadi beberapa yang letaknya tersebar di dalam wilayah Pabrik Gula Sindanglaut, yaitu sektor Barat, sektor Selatan, dan Tenggara. Pemukiman pekerja pribumi terpisah dari pemukiman administratur serta para pegawai pabrik berkebangsaan Belanda, yaitu terletak di luar wilayah Pabrik Gula Sindanglaut

Gaya bangunan rumah pada tiap pemukiman berbeda-beda. Bangunan rumah administratur memiliki gaya bangunan yang paling mewah dan ukuran yang besar serta luas dengan jumlah ruangan yang lengkap. Bangunan pemukiman pegawai di sektor Barat, Selatan, dan Tenggara tidak memiliki gaya bangunan semewah bangunan rumah administratur, namun diantara ketiganya rumah di pemukiman sektor Barat adalah yang memiliki gaya bangunan paling mewah dan pada pemukiman tersebut dilengkapi dengan fasilitas lapangan tenis dan taman umum. Gaya bangunan rumah pada pemukiman pekerja pribumi berdasarkan foto memiliki bentuk sederhana dan ukuran yang relatif sangat kecil sehingga tidak memilki sarana seperti pada rumah administratur maupun pegawai pabrik berkebangsaan Belanda di sektor Barat, Selatan, dan Tenggara. Selain itu diantara pemukiman- pemukiman pegawai, pemukiman pegawai sektor Barat memiliki letak yang lebih dekat dengan rumah administratur dan akses terdekat menuju kawasan produksi Pabrik Gula Sindanglaut seperti yang dimiliki oleh rumah administratur.

Pada Pabrik Gula Sindanglaut kegiatan produksi gula dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap praproduksi, produksi, da pascaproduksi. Pada tahap praproduksi kegiatan berlangsung di lahan tebu, yaitu

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 14: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

1414  

persiapan lahan, penanaman bibit, perawatan, dan pemanenan tebu untuk digiling di pabrik. Pada tahap praproduksi jabatan yang bekerja di perkebunan tebu dipimpin oleh sinder atau kepala tanaman yang dijabat oleh orang Belanda, dia memiliki keahlian dalam hal pemilihan bibit tebu, perawatan tebu, dan tebu panen dengan kualitas bagus. Seorang kepala sinder dibantu oleh wakil-wakilnya dan memiliki bawahan lainnya yaitu mandor. Mandor adalah jabatan yang bertugas mengawasi para buruh pribumi agar tidak berhenti bekerja. Mandor sama halnya seperti buruh dijabat oleh orang pribumi tapi mandor memiliki kemampuan membaca, menghitung, dan menulis.

Tahap kedua adalah tahap produksi. Kegiatan pengolahan tebu menjadi gula dilakukan di bangunan pabrik. Pada bagian dalam pabrik terdapat rangkaian mesin-mesin instalasi yang disebut dengan stasiun. Setiap stasiun memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam mengolah tebu menjadi gula. Mesin-mesin di setiap stasiun digerakan oleh mesin uap. Kegiatan di pabrik diawasi oleh para machinist dan chemicer. Machinist adalah tenaga ahli yang paham tentang mesin-mesin pada pabrik gula dan chemicer adalah tenaga ahli dalam pengolahan nira menjadi tebu, kedua jabtan tersebut disi oleh orang Belanda.

Tahap akhir adalah tahap pascaproduksi. Pada tahap ini gula yang sudah dikemas dalam karung disimpan sementara di gudang gula sebelum diangkut untuk didistribusikan. Pendistribusian gula menggunakanalat tarnsportasi, seperti kereta lokomotif dan truk.

Pada Pabrik Gula Sindanglaut terbentuk kelas sosial yang didasarkan oleh kemampuan atau keahlian dalam bekerja. Golongan tertinggi diisi oleh administratur pabrik, golongan menengah diisi oleh para kepala tenaga ahli yaitu sinder, machinist, dan chemicher beserta anak buahnya, kemudian golongan terendah diisi oleh para pekerja pribumi. Status sosial mereka tidak hanya diperlihatkan dari bentuk dan gaya bangunan mereka tetapi juga gaya berpakaian mereka.

Berdasarkan pola ketetakan bangunan- bangunan di Pabrik Gula Sindanglaut terdapat makna yang menjelaskan hal-hal yang mendasari pola keletakan dan hubungan antar bangunan di dalamnya. Keletakan bangunan-bangunan terkait produksi gula di kawasan produksi didasari oleh sistem produksi gula. Hal ini terlihat dari letak bangunan pabrik utama tempat proses pengolahan tebu menjadi gula yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan dengan fungsi produksi dan infrastruktur lainnya dengan jarak yang relatif dekat. Kegiatan produksi gula diharapkan dapat berjalan lancar tanpa terputus dan efisien mungkin mengingat pada masa itu gula adalah komoditas penting di dunia dan diproduksi secara harus terus menerus dalam jumlah besar.

Pola keletakan pada kawasan pemukiman pegawai yang terpisah dilatarbelakangi oleh sistem sosial menyangkut jabatan penghuni rumah pada

pabrik gula. Seseorang dengan jabatan penting pada suatu pabrik akan memperoleh berbagai macam keistimewaan. Keistimewan tersebut tidak hanya pada fasilitas hiburan tapi juga meliputi kemudahan akses menuju pabrik dan bentuk bangunannya yang bagus. Sistem politik juga terlihat berdasarkan pemisahan antara pemukiman pegawai berkebangsaan Belanda dengan pekerja pribumi, bahwa sistem politik yang ada sama halnya seperti sistem politik kolonial, yaitu bangsa Eropa lebih berkuasan dan memiliki status sosial lebih tinggi dibanding bangsa pribumi.

Pola keletakan bangunan-bangunan pada Pabrik Gula Sindanglaut juga memperlihatkan sistem keamanan yang diterapkan pada pabrik tersebut. Keberadaan bangunan rumah administratur yang strategis diantara pintu masuk menuju pabrik dan pemukiman-pemukiman pegawai dapat memberikan anggapan bahwa pada para pegawai bahwa mereka diawasi oleh sang administratur. Hal ini semakin diperjelas dengan keberadaan menara pengawasa yang berada di dalam kawasan produksi. Selain itu pola keletakan seluruh bangunan di Pabrik Gula Sindanglaut juga memperlihatkan pembagian ruang dalam wilayah pabrik yang juga didasari oleh sistem keamanan. Pembagian ruang atau zoning tersebut digambarkan dengan kawasan produksi sebagai wilayah inti yang sangat penting untuk dijaga. Pada bagian luarnya dilapisi oleh kawasan pemukiman administratur serta pegawai berkebangsaan Belanda yang beranggapan bahwa mereka adalah pemilik pabrik gula ini dan bertanggung jawab untuk menjaganya. Lapisan terluar adalah wilayah pemukiman pribumi yang merupakan pihak yang ditindas dan memiliki kebencian terhadap pihak Eropa karena mempekerjakan mereka secara kasar dan sewenang-wenang sehingga mereka memiliki alasan untuk memberontak atau merusak pabrik gula tersebut. Daftar Acuan Basri, Yusmar (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia V - Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Breman Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES. Boomgaard, Peter. 1992. “Forest Management and Exploitation in Colonial Java, 1677-1897”. Forest & Conservation History, Vol. 36, no. 1. USA: Forest History Society and American Society for Environmental History. Casella, Eleanor Collin & James Symonds. 2005. Industrial Archaelogy: Future Directions. New York: Springer.

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013

Page 15: PABRIK GULA SINDANGLAUT , CIREBON, JAWA BARAT …

1515  

Denzin, K. Norman & Yvonna S. Lincoln. 1999. Handbook of Qualitative Research. Diterjemahkan oleh John Rinaldi. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Fasseur, C. 1991. “Purse or Principle: Dutch Colonial Policy in the 1860s and the Decline of the Cultivation System”. Modern Asian Studies. Great Britain: Cambridge University Press.

Galloway, J. H. 2005. “The Modernization of Sugar Production in Southeast Asia 1880-1940”. Geographical Society, Vol. 95 no.1. New York: American Geographical Society.

Grant, Jim, Sam Gorin, and Neil Fleming. 2005. The Archaeology Couresebook: An Introduction to Study Skills, Topic and Method. London and New York: Routledge.

Hafsah, Mohammad Jafar. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kanumoyoso, Bondan. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kartodirjo, Sartono, dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia. Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Knight, G. R. 1980. “From Plantation to Padi Field: The Origis of The Nineteenth Century Transformation of Java’s Sugar Industry”. Modern Asian Studies Vol. 14 no.2. Great Britain: Cambridge University Press.

-----------------. 2007. “Descrying the Bourgeoisie Sugar, Capital and State in the Netherlands Indies, Circa 1840-1884. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde: 34-36. KITLV.

Leirissa, R.Z. (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV-Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mubyarto, dan Daryanti. 1991. Gula: Kajian Sosial- Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media

Ong Hok Ham. 2002. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Refleksi Historis Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

-------------------. 2003. The Thugs, The Curtain Thief, and The Sugar Lord. Power, Politics, and Culture in Colonial Java. Jakarta: Metafor Publishing.

Palmer, Marylin, dan Peter Neaverson. 1998. Industrial Archaeology, Principles and Practices. London: Routledge. Pradadimara, Dias. 2011. “Perkebunan dan Modal Inggris di Indonesia di Masa Kolonial dan Pasca Kolonial, 1811-1970” dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sejarah IX . Jakarta. (dalam bentuk pdf ) Preger, W. 1944. Dutch Administration In The Netherlands Indies. Melbourne: F. W. Cheshire PTY. Ltd. Renfrew, Colin, Paul Bahn. 2004. Archaeology: Theory, Methods and Practice – Fourth Edition. United Kingdom: Thames & Hudson Ltd. Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Saptono, Nanang. 2011. “Pemukiman Emplasemen Perkebunan di Daerah Subang“, dalam Akbar, Ali (ed.). Arkeologi: Peran dan Manfaat Bagi Kemanusiaan. Jatinangor: Alqaprint. Schneider, Eugene V. 1986. Industrial Sociology. Jakarta: Aksara Persada. Sharer, Robert dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamental of Archaeology. California : The Binjamin/Cummings Publishing. Inc. Soekanto, Dr. Mr. R. 1955. Peristiwa-Peristiwa Sedjarah Dan Hukum Adat. Pidato Pelantikan Guru Besar Luar Biasa dalam Hukum Adat Indonesia Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu. Untoro, Heriyanti Ongkodharma. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal. Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi Ekonomo. Depok: Komunitas Bambu. Watson, Tony J. 1995. Sociology, Work and Industry. Third Edition. London & New York: Routledge. Tjandrasasmita, Uka. 1996. “Bandar Cirebon Dalam Jaringan Pasar Dunia”, dalam Zuhdi, Susanto (ed.). Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera. Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. “Kronologi Berdirinya PT. PG. Rajawali II”. Profil PT. PG. Rajawali II Unit Cirebon, Jawa Barat. Sumber foto: http://collectie.tropenmuseum.nl/ http://kitlv.pictura-dp.nl/

Pabrik gula..., Cahyandaru Kuncorojati, FIB UI, 2013