ozaena

9
EPIDEMIOLOGI Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara- negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. 1,2 Penyakit ozaena ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875. Menurut dr.Spencer Watson penyakit ini menyerang wanita usia 1-35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Dari segi umur beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Sarniadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. 3,4 ETIOLOGI Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis

Upload: adebrilliant

Post on 14-Nov-2015

235 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

THT

TRANSCRIPT

BAB 1

EPIDEMIOLOGIRinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.1,2 Penyakit ozaena ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875. Menurut dr.Spencer Watson penyakit ini menyerang wanita usia 1-35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Dari segi umur beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Sarniadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. 3,4ETIOLOGIPenyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 5,7,8 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Defisiensi Fe dan vitamin ADilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran diet pada penyakit ini. Infeksi sekunder: Sinusitis kronis Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin juga berperan pada penyebab penyakit ini. Secara garis besar disimpulkan sebagai adanya kelainan hormon atau ketidakseimbangan hormon estrogen Penyakit kolagen (Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun) Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS) HerediterDilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.

Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus. Supurasi di hidung dan sinus paranasal. Golongan darah. Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.9 Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.2,7 Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.9Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak 1%.9PATOLOGI DAN PATOGENESIS

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 9a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa, dan juga ditemukan adanya infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.9 Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 7 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurangAnalisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).2,7,9DAFTAR PUSTAKA1. Soedarjatni, dr. Foetor Ex Nasi, Cermin Dunia Kedokteran . 1997; 9 : 21 24

2. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci 2003;33: 405 4073. Anonim. Atrophic Rhinitis. [online] tersedia di URL: http://www.yasser-nour.com/atrophic-rhinitis.pdf.4. Mangunkusumo, Endang. Infeksi Hidung Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Jakarta, 2003 h. 110 1145. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.6. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.7. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2014, Agustus 10. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.8. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from : http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2014, Agustus 10. Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.9. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of Otolaryngology 2005